Dua Mata Pisau e-Communication: Media Glokalisasi dan Bencana

advertisement
Dua Mata Pisau e-Communication: Media
Glokalisasi dan Bencana Komunikasi
Dikirim oleh denok pada 05 Januari 2017 | Komentar : 0 | Dilihat : 3458
Anang Sujoko, D.COMM
Melimpahnya media exposure, arus percakapan dan lalu lalang informasi telah merubah realitas kehidupan
manusia menjadi realitas yang bisa direkayasa dan dimanipulasi. Di era Revolusi Informasi 4.0 ini masyarakat
banyak mendapatkan kemudahan baik dalam berkomunikasi, bertransaksi, maupun berinvestasi.
Kekuatan teknologi komunikasi dalam memacu produksi informasi dan diseminasinya telah mengantarkan
masyarakat dunia pada era globalisasi dan era informasi. Hal ini menuntut kebijaksanaan para penerima dan
pelakunya. Pasalnya, di era ini e-communication bisa menjadi sebilah mata pisau yang bisa digunakan untuk
kegiatan produktif maupun destruktif.
Sebagai inti komunikasi, persepsi sangat mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi. Semakin mendekati
kebenaran atau jauh dari bias maka persepsi tesebut akan mampu mendorong proses selanjutnya lebih akurat.
Persepsi merupakan cara pandang terhadap sebuah peristiwa yang tidak bisa lepas dari keyakinan baik dari
pengalaman maupun referensi yang menjadi pegangan hidup. Ketepatan pengukuran persepsi dan produksi pesan
yang efektif akan melahirkan informasi yang bisa "diperjualbelikan"
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universiitas Brawijaya Anang Sujoko, S.Sos.,
M.Si., D.COMM menyampaikan hal ini dalam orasi ilmiahnya di hadapan ribuan sivitas akademika UB. Orasi
ilmiah berjudul "E-Communication: Mendorong Munculnya Entrepreneur Bervisi Internasional dengan Strategi
dan Nilai Lokal serta Terjadinya Bencana Komunikasi" dipaparkan pada Rapat Terbuka Senat dalam rangka dies
natalies UB ke-54 di Gedung Samantha Krida, Kamis (5/Jan/2016).
Perkembangan teknologi komunikasi dan konsumsi media, menurut Anang bisa memunculkan pemikiran inovatif.
Apalagi dengan berbagai fenomena komunikasi dan bisnis internasional (terutama Amerika Serikat) yang
diperkirakannya juga akan masuk ke Indonesia. Alumni University of South Australia ini mencontohkan trend
munculnya generasi FANG (Facebook, Amazon, Netflix dan Google) serta shared economy menyusul creative
economy, crowd content dan crowd funding.
Di Indonesia, Anang menilai munculnya transportasi berbasis aplikasi seperti GOJEK dan UBER, yang diminati
masyarakat dengan berbagai kemudahan dan kelebihannya, merupakan tren internasional dengan strategi dan aksi
lokal. Global visi yang disertai aksi dan strategi lokal merupakan penerjemahan dari glokalisasi yang dinilainya
bisa menjadi pilar memenangkan persaingan global yang cenderung liberal. Terkait hal ini, Anang berharap UB
bisa memanfaatkan potensinya untuk membangun bangsa ini dengan lebih cerdas seperti sharing economy untuk
produsen lokal melalui KPRI serta technopark dan UB Forest sebagai virtual sharing forest.
New media, disampaikan Anang juga hadir dalam proses politik di Indonesia pasca reformasi. Pada 2014, tercatat
sebanyak 56 lembaga survey dan hitung cepat terdaftar di KPU. Pada waktu tersebut, politik pencitraan merupakan
bagian penting Pilkada, Pileg dan Pilpres. Popularitas dan citra positif menjadi produk utama lembaga-lembaga
polling dan konsultan marketing politik.
Perkembangan teknologi telah menyediakan media komunikasi yang portable, asimetris dan fashionable. Menurut
Anang, komunikasi kini sudah masuk pada ranah kreativitas, inovasi, gaya hidup dan bisnis, bukan lagi sekedar
kebutuhan rutinitas hidup. Penyebaran informasi juga bukan lagi hanya dimiliki industri media mainstream tetapi
sekelompok orang, organisasi non industri media atau sukarelawan. Bahkan seseorang secara personal pun
memiliki kemampuan memproduksi dan menyebarkan informasi layaknya industri media. Hal ini memunculkan
sisi positif seperti munculnya potensial market dan wirausaha. Kreativitas, inovasi dan kejelian membaca tren
merupakan kunci untuk menjadi entrepreneur berbasis user-generated tersebut seperti youtubers, bloggers dan
aplikasi kreatif lainnya.
Teknologi media sosial menawarkan komunikasi bisa terjadi secara equal, cepat, mudah dan terdokumentasi
dengan mudah. "Komunikasi gethok tular kini tidak lagi menunggu jam atau hari untuk bisa menyebar ke berbagai
belahan dunia, tetapi bisa dengan satu detik," kata Anang. Karena itu, informasi bukan lagi sebagai barang mahal,
tetapi telah menjadi produk massal. "Bahkan dalam beberapa isu, masyarakat telah kebanjiran informasi. Artinya,
berlimpahnya terpaan media, baik mainstream media, media sosial, maupun instant messaging telah membuat
manusia menerima informasi begitu bertubi-tubi dengan beragam perspektifnya," ungkapnya. Realitas media
sebagai fakta yang telah direkayasa dan dimanipulasi sesuai kepentingan media, kini lebih dipercaya dan dianggap
lebih nyata dari fakta sebenarnya.
Perilaku komunikasi seseorang yang cenderung memilih sumber informasi yang menguatkan opini atau
keyakinannya, menurut Anang akan membuat masyarakat mudah dan cepat membangun sebuah hyperreality (fakta
yang direkayasa dan dimanipulasi). Ketika realitas-realitas yang hyper tersebut dalam pusaran isu-isu
kontroversial, maka bencana komunikasi akan terjadi. Konflik sosial horizontal, kata Anang, bisa terjadi akibat
informasi dan jaringan komunikasi yang terpapar dalam dunia virtual. Lebih celaka lagi, ternyata melalui media
sosial, pesan-pesan yang beredar dan menjadi trending topic tidak memiliki jaminan kebenaran. [Denok/Humas
UB]
Artikel terkait
FILKOM Perkenalkan Aplikasi Mobile dan Robotika di Expo Pendidikan dan Teknologi
Dies Natalis UB Gelar Expo Pendidikan dan Teknologi
Menko Ekuin Darmin: Alumni SMK Perlu Dibekali Sertifikasi Kompetensi
Darmin Nasution: "Ekonomi Digital Untuk Mendukung Kewirausahaan"
Dies-54 UB Diisi dengan Operasi Katarak Gratis
Download