BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
2.1 Pembatalan Suatu Perjanjian
2.1.1 Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata,
terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut:
1. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
2. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
a. perjanjian batal demi hukum, atau
b. perjanjian dapat dibatalkan;
3. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
4. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;
5. pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undangundang.
2.1.2 Akibat Pembatalan Perjanjian
Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi
hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-perjanjian itu
menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi
hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab
40
41
bagaimanapun perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum
perjanjian semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek Pada keadaan seperti
itu, hukum menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula
seperti pada saat perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup.
Karena perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan
prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi
pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini,
menurut Pasal 1359 harus dikembalikan. Pasal 1359 berbunyi “Tiap pembayaran
mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk
itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah
dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali”.
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian
dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim,
mengakibatkan „kembalinya‟ barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan
seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat
keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini
ditegaskan
dalam
Pasal
1451
yang
berbunyi
“Pernyataan
batalnya
perikatanperikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang tersebut dalam Pasal
1330, mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan
dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala
sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tak berwenang,
akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali, bila barang yang bersangkutan
masih berada di tangan orang yang tidak berwenang itu, atau bila ternyata bahwa
42
orang ini telah mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar
itu, atau bila apa yang telah dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.
Kemudian, khusus untuk perjanjian yang dibuat oleh orang yang berada di
bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas
disebutkan dalam Pasal 1452, yakni “Pernyataan batal yang berdasarkan
adanyapaksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang
yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat.”
Apabila pihak-pihak yang tidak cakap hukum, dan/atau yang tidak
memiliki kehendak bebas, ketika membuat perjanjian mengajukan tuntutan
pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk
mengganti biaya, kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada
alasan untuk itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1453 yang berbunyi “Dalam halhal tersebut dalam Pasal 1446 dan 1449, orang yang terhadapnya tuntutan untuk
pernyataan batalnya suatu perikatan dikabulkan, wajib juga mengganti biaya,
kerugian, dan bunga, jika ada alasan untuk itu.”
2.2 Asas Kebebasan Berkontrak
2.2.1 Ideologi Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak, hingga kini tetap menjadi asas penting dalam
berbagai sistem hukum. Asas kebebasan berkontrak dalam sistem civil law dan
common law lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat
yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. Pada abad sembilan
belas, kebebasan berkontrak sangat diagungkan baik oleh para filosuf, ekonom,
sarjana hukum maupun pengadilan. Kebebasan berkontrak sangat mendominasi
43
teori hukum kontrak. Inti permasalahan hukum kontrak lebih tertuju kepada
realisasi kebebasan berkontrak. Pengadilan juga
lebih mengkedepankan
kebebasan berkontrak dari pada nilai-nilai keadilan dalam putusan-putusannya.
Pengaturan melalui legislasi pun memiliki kecenderungan yang sama. Pada saat
itu, kebebasan berkontrak memiliki kecenderungan ke arah kebebasan tanpa batas
(unrestricted freedom of contract).51
Keberadaan asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh berbagai aliran filsafat politik dan ekonomi liberal yang
berkembang pada abad kesembilanbelas. Dalam bidang ekonomi berkembang
aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip nonintervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar.
Filsafat utilitarian Jeremy Bentham yang menekankan adanya ideologi free choice
juga memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak
tersebut. Baik pemikiran Adam Smith maupun Bentham didasarkan filsafat
individualisme.52
Kedua pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat
etika Immanuel Kant. Semua filsafat yang menekankan pada aspek kebebasan
individu yang dikembangkan para filosuf Barat di atas jika dilacak lebih jauh lagi,
berakar kepada filsafat hukum alam (natural law) yang sangat berkembang pada
abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung).53
51
Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya
Kontrak,” Jurnal Hukum, Vol.18, hal. 39-40 (selanjutnya disebut II).
52
Ibid.
53
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 108.
44
Hukum kontrak yang berkembang pada abad sembilan belas telah banyak
mendapat pengaruh aliran filsafat yang menekankan individualisme sebagaimana
tercermin pula dari pemikiran (politik) ekonomi klasik Adam Smith dan
utilitarianisme Jeremy Bentham. Mereka memandang bahwa tujuan utama
legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness
for the greatest number. Mereka menjadikan kebebasan berkontrak sebagai
paradigma baru dalam hukum kontrak.54
Paradigma kebebasan berkontrak ini sangat mempengaruhi pembentukan
peraturan perundang-undangan saat itu. Di Perancis diakui bahwa ketika Code
Civil dikodifikasikan pada 1804, alam pikiran orang-orang di Perancis sangat
dipengaruhi paham individualisme dan liberalisme. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Jerman (Burgerliches Gezetzbuch/BGB) juga tidak lepas dari
paradigma kebebasan berkontrak tersebut.55
Gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan dengan penekanan akan
persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak. Selain itu, gagasan kebebasan
berkontrak juga berkaitan dengan pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari
pilihan bebas (free choice). Dengan gagasan utama ini, kemudian dianut paham
bahwa tidak seorang pun terikat kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas
dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan sesuatu.
Gagasan tersebut menjadi prinsip utama baik dalam sistem civil law
maupun common law bahwa kontrak perdata individual di mana para pihak bebas
54
Irdanuraprida Idris, 2007, “Ketidakadilan dalam Kebebasan Berkontrak
dan Kewenangan Negara untuk Membatasinya,” Lex Jurnalica, Vol. 4, No.2, hal.
89.
55
Ridwan Khairandy II, Op.Cit.
45
menentukan kesepakatan kontraktual tersebut. Bagi mereka yang memiliki
kemampuan bertindak untuk membuat kontrak (capacity) memiliki kebebasan
untuk mengikatkan diri, menentukan isi, akibat hokum yang timbul dari kontrak
itu.56
Sebagai konsekuensi adanya penekanan kebebasan berkontrak, kemudian
dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh
maksud atau kehendak para pihak. Hal tersebut menjadi prinsip mendasar hukum
kontrak yang mengikat untuk dilaksanakan segera begitu mereka telah mencapai
kesepakatan. Dengan demikian, kebebasan berkontrak di dalam teori hukum
kontrak klasik memiliki dua gagasan utama, yakni kontrak didasarkan kepada
persetujuan, dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.57
Doktrin mendasar yang melekat pada kebebasan berkontrak adalah bahwa
kontrak itu dilahirkan ex nihilo, yakni kontrak sebagai perwujudan kebebasan
kehendak (free will) para pihak yang membuat kontrak (contractors). Kontrak
secara eksklusif merupakan kehendak bebas para pihak yang membuat kontrak.
Melalui postulat bahwa kontrak secara keseluruhan menciptakan kewajiban baru
dan kewajiban yang demikian secara eksklusif ditentukan oleh kehendak para
pihak, kebebasan berkontrak telah memutuskan hubungan antara kebiasaan dan
kewajiban-kewajiban
kontraktual.
Kebebasan
berkontrak
membolehkan
kesepakatan (perdata) untuk mengesampingkan kewajibankewajiban berdasarkan
kebiasaan yang telah ada sebelumnya.58
56
Irdanuraprida Idris, Op.Cit.
Septarina Budiwati, 2014, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam
Perspektif Pendekatan Filosofis,” Publikasi Ilmiah, Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 278.
58
Lina Jamilah, 2012, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian
Standar Baku,” Fakultas Hukum, Universitas Bandung, Vol. 13, No. 1, hal. 232.
57
46
Pada abad pertengahan, hukum Kanonik di bawah pengaruh teori teologis,
diterima prinsip konsensus dan mengembangkan prinsip nudus consensus obligat,
pacta nuda servanda sunt. Persyaratan esensial bagi pertumbuhan generalisasi
teori kontrak modern, terjadi pergantian numeros clausus dari kontrak dengan
doktrin (nodus) consensus dengan prinsip bahwa semua transaksi (kontrak)
informal adalah mengikat. Prinsip ini dengan baik menghubungkan lahirnya dan
pengaruh besar maksim ex nudo pacto oritur actio. Maksim ini diformulasikan
untuk melawan prinsip dalam hukum Romawi nuda factio obligationem non
parit.59
2.2.2 Asas Kebebasan Berkontrak dalam BW
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
didalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi
aturanhukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan
kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh faham individualisme yang
secara embrional lahir dari zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen
danberkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin ditumbuh
kembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Huho de
Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai
puncaknya setelah periode Revolusi Perancis.60 Sebagai asas yang bersifat
universal yangbersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom
of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang
mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.61 Kebebasan berkontrak pada
59
Ridwan Khairandy II, Op.Cit.
Badrulzaman I, Op.Cit, hal. 110.
61
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 75.
60
47
dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi
manusia
yang
perkembangannya
dilandasi
semangat
liberalisme
yang
mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan
BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan
revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan dan
persaudaraan).
Dalam buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi
keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan
hukumnya.Apa yang diatur dalam Buku III BW hanya sekedar mengatur dan
melengkapi(regelend recht – aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku
II BW yangmenganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht),
dimana parapihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada didalam Buku II
BWtersebut. Sistem terbuka Buku III BW ini tercermin dari Pasal 1338 (1) BW
yangmenyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Subekti,62 cara
menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankna
pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan
bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi)
bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu
hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah
“semua” di dalamnya terkandung-asas partij autonomie; freedom of contract;
beginsel van de contract vrijhed-memang sepenuhnya menyerahkan kepada para
pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk
62
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. VI, Alumni, Bandung, hal. 4-5
(selanjutnya disingkat subekti II).
48
penuangan dalam bentuk kontrak standar. Kebebasan berkontrak disini
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan
bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, otentik, non
otentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar/baku dan lain-lain), serta dengan isi
atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. Dengan demikian menurut asas
kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk
mengadakan perjanjian.63 Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa
orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan
siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjian dan bebas
untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Menurut Sutan Remi, asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai
berikut:64
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak
sebagaimana tersimpul dalam Pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam
63
Peter Mahmud Marzuki, 2003, “Batas-Batas Kebebasan Berkontra,”
Yuridika, Vol. 18 No. 3, hal. 31.
64
Sjahdeni, Op.Cit, hal. 47.
49
kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu
dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acapkali asas kebebasan
berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan)
pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan
berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki
posisi tawar (bargaining position) yang seimbang,65 tetapi dalam kenyataannya
para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Menurut Soepomo66
BW mempunyai landasan liberalisme, suatu sistem berdasarkan atas kepentingan
individu. Mereka yang memiliki modal yang kuat menguasai mereka yang lemah
ekonominya. Di dalam sistem liberal terdapat kebebasan yang luas untuk
berkompetisi sehingga golongan yang lemah tidak mendapat perlindungan.
Pengaruh faham individualisme mulai memudar pada akhir abad XIX
seiring dengan berkembangnya faham etid dan sosialis. Faham individualisme
dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih
banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi
arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan
umum.67
Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka
penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal
1338 (1)BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau
ketentuan-ketentuan yang lain, yaitu:
65
R.M. Pangabean, 2010, Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku,
Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 4, hal.662.
66
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 43-44. (selanjutnya disingkat Badrulzaman II).
67
Ibid, hal. 110-111.
50
a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak);
b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat
berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan
konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan;
c. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusialaan baik atau ketertiban umum;
d. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan
dengan itikad baik;
e. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal
1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan
yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan;
f. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak
(bestandig gebruiklijk beding).
Apabila mengacu rumusan Pasal 1338 (1) BW yang dibingkai oleh pasalpasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak (vide Pasal 1320, 1335,
1337, 1338 (3) serta 1339 BW), maka penerapan asas kebebasan berkontrak
ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti
kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;
b. Untuk mencapai tujuan para piha, kontrak harus mempunyai causa;
c. Tidak mengandung causa palsu atau dilarang undang-undang;
51
d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusialaan dan
ketertiban umum;
e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi perhatian,
bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338
(1) BW tersebut hendaknya dibaca/diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang
menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang-proporsional. Asas ini
secara
filosofis
menabukan
apabila
dalam
suatu
perjanjian
terdapat
ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah dan lainlain,
yang pada intinya menempatkan salah satu pihak di atas pihak yang lain, suatu
“exploatation de’lhomme par l’homme.” Apabila hal itu terjadi, maka justru
merupakan pengingkaran terhadap asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh
karena itu dengan terwujudnya proporsionalitas dalam hubungan para pihak akan
membuat kontrak menjadi bernilai.68
2.2.3 Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian
Setiap
warga
Negara
Indonesia
memiliki
hak
konstitusi
untuk
mewujudkan kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang
berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai
indikator untuk mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan
memperoleh kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu.
Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi
sangat berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan bagian
68
Agus Yudha Hernoko, 2009, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Group, Jakarta, hal. 7.
52
terbesar dari kewenangan hukum yang mengaturnya,69 di sinilah terlihat hubungan
ekonomi dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum berlainan
bidangnya, tetapi kedua bidang ini saling membutuhkan dan melengkapi satu
dengan yang lainnya.
Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam
Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta
kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan
berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang dapat
dijadikan objek perdagangan (in de handel).70 Oleh karena itulah, perjanjian
merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari dan untuk
seseorang. Cara lain adalah melalui perikatan yang lahir karena undang-undang
semata-mata dan berdasarkan undang-undang karena perbuatan manusia yaitu
perbuatan manusia yang melawan hukum dan perbuatan manusia yang sesuai
dengan hukum.
Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai
realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya
adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus
Badrulzaman mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam
Buku III KUHPerdata berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan
berkembang pesat pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot
69
Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum,
yaitu hukum tentang apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik
anda. Save M.Dagun, 1992, Pengantar Filsafat Ekonomi, Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 8.
70
Pasal 1332 KUH Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah
semua benda yang dapat diperdagangkan. Benda yang dapat diperdagangkan
mempunyai arti bahwa benda tersebut adalah sesuatu yang mempunyai nilai
ekonomi.
53
(Grotius), Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya
dalam periode setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam
memenuhi kebutuhannya.71
Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi
kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi
yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan
seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh fahamatau ideologi yang dianut
suatu masyarakat.
Asas kebebasan berkontrak mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum
perjanjian Inggris sebagai awal dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of contract
digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum.72
a. asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi
syaratsyarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya
karena syaratsyarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu
pihak. Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup
asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.
b. asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut
hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut
Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan
berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua
71
Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya, Alumni Bandung, hal. 118-119.
72
Remy Syahdeini, 1993, ”Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan
yang seimbang dari kreditur dan debitur,” Makalah yang disampaikan pada
Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal 27 April, hal. 2.
54
sistem hukum”.73 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum utama
dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal dalam civil
law system maupun dalam common law system, bahkan dalam sistem hukum
Islam.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan
dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang untuk
pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman Romawi oleh
Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533, bagian
Institutiones.74
Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law :75
a. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak
menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if
he didnot chose todo so);
b. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat
kontrak (everyone had a choice of persons with whom he could
contract);
c. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could
make virtually any kind of contract);
d. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang
dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they
chose).
Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang
digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak
kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam
73
Ridwan Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common
law adalah freedom of contract atau liberty of contract (Ridwan Khairandy, 2003,
Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak
Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan, hal. 49.
74
Johannes Gunawan, 2008, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan
Berkontrak” dalam Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, 2008, Butir-butir
Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta,
Aditama, Bandung, hal. 259.
75
Ibid, hal. 265.
55
KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan
kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata.
Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada
saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk
kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena
perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak
kepemilikan.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:76
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
dibuatnya;
d. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk
kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Istilah kontrak tidak terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Indonesia.
Kodifikasi itu di dalam Buku III-nya tentang Verbintenissenrecht (Hukum
Perikatan) mengatur mengenai Overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia berarti Perjanjian.77 Istilah kontrak merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris contract. Di dalam konsep continental, penempatan pengaturan
perjanjian
76
pada
Buku
III
BW
Indonesia
tentang
Hukum
Perikatan
Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 10.
Soebekti menggunakan istilah “persetujuan”. Menurut pendapat saya,
overeenkomst lebih tepat diterjemahkan “perjanjian” karena istilah “persetujuan”
mengandung konotasi pemberian ijin yang dalam bahasa Belanda disebut consent
atau dalam Bahasa Inggris approval. Sedangkan overeenkomst dalam bahasa
Inggris berarti agreement.
77
56
mengindikasikan bahwa perjanjian memnag berkaitan dengan masalah Harta
Kekayaan
(vermogen).
Hal ini mirp dengan contract pada konsep Anglo-
American, contract selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir AngloAmerican, perjanjian yag bahasa Belandanya overeenkomst dalam bahasa inggris
disebut sebagai agreement. Akan tetapi agreement lebih luas daripada contract
karena agreement dapat mengenai bisnis atau bukan bisnis. Agreement yang
berkaitan dengan bisnis itulah yang disebut contract. Sedangkan agreement untuk
hal – hal yang tidak berkaitan dengan bisnis tidak dapat disebit sebagai kontrak,
melainkan hanya disebut agreement.
Azaz – azaz hukum dapat timbul dari pandangan akan kepantasan dalam
pergaulan social yang kemudian diadopsi oleh pembuat undang – undang
sehingga menjadi aturan hukum. Sebagai contoh asas itikad baik telah dituangkan
ke dalam undang – undang sehingga menjadi aturan hukum.
Suatu azaz yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak tetapi
tidak dituangkan menjadi aturan hukum adalah asas kebebasan berkontrak.
Menurut azaz kebebasan berkontrak, bahwa seseorang pada umumnya
mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam azaz ini
terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak
melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas
tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk ia mengadakan perjanjian, bebas
tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat – syarat
perjanjian.78
Di dalam pandangan Eropa continental, azaz kebebasan berkontrak
merupakan konsekuensi dari dua azas lainnya dalam perjanjian, yaitu
78
Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 13.
57
konsesualisme dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai
pacta sunt servanda. Konsesualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian,
pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya
para pihak yang mengadakan perjanjian, swdangkan kebebasan berkontrak
menyangkut isi perjanjian.
Pacta sunt servanda mempunyai pengertian bahwa suatu pactun, yaitu
persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan
tindakan atau formalitas tertentu, menurut hukum, persesuaian kehendak itu
membentuk suatu perjanjian yang mengikat. Begitu pula nudum pactum, yaitu
suatu persesuaian kehendak saja, sudah memenuhi syarat. Azas semacam ini
disebut consesualisme.79 Pengertian pacta sunt servanda itu sendiri adalah
perjanjian harus ditaati.80
Azas tersebut yang menyatakan seseorang yang membuat janji secara
moral, melainkan juga secara hukum mengindikasikan bahwa suatu masyarakat
dengan tingkat prkembangan tertentu berfikir mengenai adanya kebebasan dalam
melakukan bisnis. Konsekuensinya, timbulan azas yang lain, yaitu azas kebebasan
berkontrak yang merupakan salah satu dari hak – hak kemerdekaan seseorang.
Bisnis tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya perlindungan terhadap azas
kebebasan berkontrak. Memang, tidak dapat disangkal bahwa tidak mungkin azas
ini dilakukan secara mutlak tanpa batasan. Batasan – batasan tersebut dapat
berubah – ubah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan umum.
79
Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 13.
Dalam bahasa Latin, servanda dari kata servare yang artinya menepati
atau menjalankan dengan sungguh-sungguh. Seringkali azas ini ditafsirkan
sebagai perjanjian mengikat sebagai undang-undang. Penafsiran demikian timbul
karena bunyi pasal 1338 (1) BW Indonesia.
80
58
2.2.4 Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak oleh Negara
Pembatasan
asas
kebebasan
berkontrak
datangnya
dari pembuat
perundang-undangan dapat dilihat dari adanya peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuanketentuan polis asuransi, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang menyangkut upah minimum, maksimum jam kerja, kondisi kerja, programprogram asuransi sosial bagi para pekerja yang diharuskan sehubungan dengan
perjanjian kerja antara perusahaan dan pegawai atau buruhnya.
Menurut Treitel81 asas kebebasan berkontrak digunakan untuk merujuk
kepada dua asas umum. Asas umum yang pertama menetukan „bahwa hukum
tidak membatasi syarat-syarat yang boleh dibuat oleh para pihak: asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak”. Asas yang kedua
menentukan “bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat
dipaksa untuk memasuki perjanjian”.
Menurut Treitel82 di Inggris pada dewasa ini pada kedua asas umum itu
berlaku pembatasan-pembatasan. Terhadap asas umum yang pertama pada saat ini
terlihat adanya kecenderungan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan
oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Akibatnya, asas kebebasan
berkontrak telah sangat dibatasi baik oleh keateantuan perundang-undangan
maupun olehputusan pengadilan. Pendobrakan-pendobrakan besar yang dilakukan
oleh pihak legislatif terhadap asas ini misalnya telah dilakukan dalam “Low of
81
Dikutip dari Irdanuraprida Idris, Op.Cit, hal. 92.
Dikutip dari Purwahid Patrik, 2006, Asas Itikad Baik dan Kepatutan
Dalam Perjanjian, Penerbit Undip, Semarang, hal. 43.
82
59
landlord and tenant”, “Low of consumen sales” dan “Low of consumen credit”.
Sementara itu telah pula dilakukan pembatasan-pembatasan baik (standard form
contracts), yaitu sebagian oleh putusan-putusan pengadilan dan sebagian oleh
ketentuan perundang-undangan. Pada dewasa ini perkembangan-perkembangan
tersebut memberikan perlindungan kepada orang yang dianggap menjadi pihak
yang lemah dalam suatu hubungan kontraktor. Namun dalam sebagian besar
transaksi-transaksi antara orang-orang bisnis, dimana tawar-menawar dapat
dilakukan secara leluasa, asas kebebasan berkontrak masih merupakan hal yang
penting.
Menurut Treitel terhadap asas umum yang kedua terdapat pengecualian
dengan pertimbangan demi kepentingan umum (public interest). Pengecualianpengecualian yang paling akhir ialah yang berlaku terhadap mereka yang terlibat
dalam apa yang dinamakan “common collings” dengan cara mengharuskan
mereka untuk menyediakan jenis pelayanan-pelayanan tertentu kepada umum.
Cotoh-contoh yang terkenal adalah dalam bidan penginapan dan angkutan umum.
Mereka tidak dapat sekehendaknya sendiri menolak untuk memberikan pelayanan
kepada pihak tertentu. Mereka hanya dapat berbuat demikian berdasarkan alaanalasan tertentu yang ditentukan oleh hukum.dalam zaman moderen ini asas yang
sama telah ditetapkan pula dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, sehingga
misalnya, seseorang tidak dapat menolak untuk memasok barang-barang kepada
seorang pengacara dengan alasan bahwa pengacara tersebut telah melakukan
“price cutting” atau “banting harga”.83 Demikian pula dalam hal-hal seseorang
tidak dapat menolak untuk memberikan pekerjaan atau akomondasi atau fasilitas83
Resale Prices Act 1976, hal.11.
60
fasilitas lain kepada seseorang dengan alasan ras atau jenis kelamin.84 Tampaknya
pengeluaran secara paksa terhadap seseorang dari suatu asosiasi (misalnya
berdasarkan alasan agama atau politik), dan mencabut kesempatan seseorang
untuk dapat melaksanakan profei tersebut, dalam hal-hal tertentu dapat digugat
menurut ketentuan common law.85
Sudah barang tentu, kata Treitel, bahwa makin besar turut campurnya
hukum terhadap hubungan para pihak, maka menjadi makin kurang pula
pentingnya faktor kesepakatan. Dalam beberapa situasi, derajat dari urut campur
tersebut demikian besarnya sehingga tdak patut untuk menggambarkan bahwa
hubungan-hubungan diantara pihak tersebut adalah suatu perjanjian. Ilustrasi yang
jelas mengenai hubungan yang demikian ini ialah yang menyangkut perkawinan.
Disini para pihak hanya dapat menentukan apakah mereka akan memasuki atau
tidak memasuki hubungan tersebut. Begitu mereka telah menentukan untuk
memasuki hubungan tersebut, maka segala sesuatunya ditentukan oleh hukum.
Misalnya suatu perjanjian yang memperjanjikan bahwa suatu perkawinan akan
berlangsung melalui masa percobaan selama tiga tahun, tidak mempunyai akibat
hukum apa pun. Dalam hal-hal lain bahkan dapat terjadi bahwa salah satu pihak
tidak mempunyai pilihan apa pun, misalnya dalam hal pembelian secara paksa
atau harta seseorang yang bertentangan dengan kehendaknya berdasarkan
kekuataan ketentuan perundang-undangan.
84
Resale Prices Act 1976, Pts. II dan III; Sex Discrimination Act 1975, Pts.
II dan III.
85
Putusan Perkara Nagle v. Feilden, 1962, 2 Q.B. 633, yaitu suatu perkara
yang menyangkut diskriminasi jenis kelamin; pada saat ini hal tersebut merupakan
perbuatan yang melanggar hukum menurut ketentuan Sex Diskrimination Act
1975, s.13.
61
Dari apa yang dikemukan diatas, dapat diketahui bahwa tidak ada
kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang
suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan
masyarakat.
Hal tersebut adalah sesuatu dengan yang telah dikemukakan oleh Corley
dan Shedd, bahwa hak-hak konstitusional, yaitu hak-hak yang dijamin oleh
konstitusi Amerika Serikat, bukan merupakan hal-hal mutlak tetapi terbatas. Oleh
karena freedom of contract merupakan salah satu hak konstitusional, maka asas
atau karakteristik tersebut berlaku juga terhadapnya; dengan kata lain, freedom of
contract atau asas kebebasan berkontrak di Amerika Serikat, yang merupakan
negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individual itu, adalah asas yang
tidak mutlak.
Di Amerika Serikat, pembatansan-pembatasan tersebut datangnya baik
dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Federasi maupun
Negara Bagian.86 Misalnya, campur tanggan Negara diterapkan pada hukum
perburuan, hukum antar trust, peraturan-peraturan bisnis, dan kesejahteraan
masyarakat. Salah satu contoh adalah pada 1838 Negara Bagian Wisconsin
mengesahkan “a limited partnership act” yang dititu dari New York. Selanjutnya
dilakukan pula “Negotiable instruments Law” dan “The Uniform Sales Act”.
Berbagai undang-undang diatas adalah sebagai jawaban atas perkembangan
ekonomi negara bagian tersebut.87
86
Ridwan Khairandy II, Op.Cit., hal. 46.
Lawrenc M. Fredman, 2005, Hukum Kontrak, Teori dan Praktek, terj.
Bambang Widjonarko, Erlangga, Jakarta, hal. 91.
87
62
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa campur tangan negara dalam
perjanjian-perjanjuian yang sifatnya privasi sudah merupakan kelaziman bahkan
suatu keharusan untuk melindungi pihak yang lemah. Dengan demikian,
kebebasan berkontrak yang tak terbatas sudah lama ditinggalkan.
Sehubungan dengan pembatasan-poembatasan terhadap bekerjanya asas
kebebasan berkontrak oleh negara, maka timbul pertanyaan yang mendasar, yaitu:
“Apakah setiap tingkat peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasan berkontyrak?88
Penulis berpendapat bahwa tidak setiap tingkat peraturan perundang-undangan
didalam tata urutan peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas
kebebasan berkontrak.Asas kebebasan berkontrak keberadaan dan berlakunya
ditentukan dan diakui oleh peraturan perundang-undangan yang bertingkat
undang-undang, yaitu KUH Perdata. Oleh karena itu, undang-undang atau
Peraturan Pemerintah Pengantu Undangg-undang atau peraturan perundangundangan yang bertinggkat lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum
untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkonbtrak.oleh karena itu,
seyogyanya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak bukan diatur dengan
peraturan perundang-undangan yang bertingkat Peraturan Pemerintah apalagi
Keputusan Menteri dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah lagi. Peraturan
perundang-undangan yang bertingkat lebih rendah dari undang-undang atau
88
Tata urutan perundang-undangan yang dimaksud adalah tata urutan
perundang-undangan Republik Indonesia Menurut Undang-undang Dasar 1945
sebagaimana ditetapkan menurut TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai sumber Tertib Hukum Republik Indonesia san
Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
63
Peraturan
Pemerintah
Penganti
Undang-undang
hanya
dapat
mengatur
pelaksanaan dari pembatasan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh suatu
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan
bukannya menetapkan pembatasan itu sendiri.
Azas tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja, melainkan harus
dipertimbangkan
juga
latar
belakang
kehidupan
bermasyarakat,
tingkat
perkembangan perekonomian, dan perubahan social yang terjadi. Penerapan yang
tanpa mengingat akan hal-hal tersebut menyebabkan tepatlah apa yang
dikemukakan oleh T.H Green bahwa kebebasan berkontrak merupakan konsepsi
formal masa awal liberalism dan mengarah kepada suatu perbudakan baru yang
bukan disadarkan pada ketidakmampuan manusia secara hukum, melainkan pada
ketidakmampuan secara ekonomis.89
Apabila ditelaah secara seksama dari segi historis, azas kebebasan
berkontrak tersebut ditujukan untuk perbaikan kehidupan manusia. Akan tetapi
pada kenyataannya azas tersebut kemudian disalahgunakan sehingga apa yang
dikemukakan oleh T.H Green di atas terjadi. Hal itu bertentangan dengan maksud
diadakannya azas kebebasan berkontrak. Oleh karena itulah kebebasan berkontrak
harus memberi kesempatan kepada Negara menaruh perhatian agar pelaksanaan
azas itu janga sampai bertentangan dengan makna diciptakan azas itu dan agar
etika menjadi landasan pelaksanaan azas itu.
Azas kebebasan berkontrak perlu didampingi dengan azas aequitas
praestationis, yaitu azas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran
89
Peter Mahmud Marzuki, op. cit., p. 225.
64
justrum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa
kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk ke
dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidaksamaan
tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan
kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Memang, pada
kenyataannya pihak yang lemah menyadari akan kelemahan posisinya sehingga
dalam banyak hal menerima saja persyaratan yang diajukan oleh pihak yang kuat
asalkan eksistensinya tidak ditiadakan. Dalam situasi semacam inilah hakim
ataupun arbitrator yang diberi kewenangan untuk menilai kontrak tersebut tidak
harus membatalkan kontra demikian, melainkan dapat membuatnya seimbang
melalui azas aequitas praestationis, dan ajaran justrum pretium sehingga kontrak
itu masih berlaku bagi para pihak tetapi lebih mencerminkan equitability.
Apabila ditealaah, dapat dikatakan bahwa azas kebebasan bekontrak
emang bukan tanpa batasan. Di Negara – Negara civil law, kebebasan berkontrak
dibatasi oleh undang – undang, kepatutan dan ketertiban umum (openbare orde).
Sedangkan menurut system common law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh
undang-undang dan kebijakan public (public policy) yang di dalamnya terdapat
kepatutan.90
Menurut hukum Indonesia, pembatasan terhadap azas kebebasan
berkontrak tersebut dikaitkan dengan salah syarat sahnya perjanjian. salah satu
syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 BW Indonesia adalah adanya
geoorloofde oorzaak atau sebab yang tidak dilarang.91
90
91
Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 19.
Bukan Sebab yang halal sebagaimana terjemahan Soebekti.
65
Pasal 1337 BW menetapkan bahwa “suatu sebab dilarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, bertentangn dengan kepatutan atau
ketertiban umum. Dapat dikatakan bahwa apabila perjanjian itu memenuhi salah
satu batasan yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 1337, perjanjian itu menjadi
perjanjian yang dilarang sehingga menjadi tidak sah karena tanpa kausa.
Perjanjian demikian menurut studi Hukum Perjanjian system civil law merupakan
suatu perjanjian yang bersifat nietig van rechtswege atau batal demi hukum.
Download