BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK 2.1 Pembatalan Suatu Perjanjian 2.1.1 Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut: 1. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum; 2. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat: a. perjanjian batal demi hukum, atau b. perjanjian dapat dibatalkan; 3. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat; 4. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana; 5. pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undangundang. 2.1.2 Akibat Pembatalan Perjanjian Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-perjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab 40 41 bagaimanapun perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek Pada keadaan seperti itu, hukum menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 harus dikembalikan. Pasal 1359 berbunyi “Tiap pembayaran mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali”. Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim, mengakibatkan „kembalinya‟ barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1451 yang berbunyi “Pernyataan batalnya perikatanperikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang tersebut dalam Pasal 1330, mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tak berwenang, akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali, bila barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang yang tidak berwenang itu, atau bila ternyata bahwa 42 orang ini telah mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu, atau bila apa yang telah dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya. Kemudian, khusus untuk perjanjian yang dibuat oleh orang yang berada di bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas disebutkan dalam Pasal 1452, yakni “Pernyataan batal yang berdasarkan adanyapaksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat.” Apabila pihak-pihak yang tidak cakap hukum, dan/atau yang tidak memiliki kehendak bebas, ketika membuat perjanjian mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada alasan untuk itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1453 yang berbunyi “Dalam halhal tersebut dalam Pasal 1446 dan 1449, orang yang terhadapnya tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan dikabulkan, wajib juga mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ada alasan untuk itu.” 2.2 Asas Kebebasan Berkontrak 2.2.1 Ideologi Asas Kebebasan Berkontrak Kebebasan berkontrak, hingga kini tetap menjadi asas penting dalam berbagai sistem hukum. Asas kebebasan berkontrak dalam sistem civil law dan common law lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. Pada abad sembilan belas, kebebasan berkontrak sangat diagungkan baik oleh para filosuf, ekonom, sarjana hukum maupun pengadilan. Kebebasan berkontrak sangat mendominasi 43 teori hukum kontrak. Inti permasalahan hukum kontrak lebih tertuju kepada realisasi kebebasan berkontrak. Pengadilan juga lebih mengkedepankan kebebasan berkontrak dari pada nilai-nilai keadilan dalam putusan-putusannya. Pengaturan melalui legislasi pun memiliki kecenderungan yang sama. Pada saat itu, kebebasan berkontrak memiliki kecenderungan ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).51 Keberadaan asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai aliran filsafat politik dan ekonomi liberal yang berkembang pada abad kesembilanbelas. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip nonintervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Filsafat utilitarian Jeremy Bentham yang menekankan adanya ideologi free choice juga memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak tersebut. Baik pemikiran Adam Smith maupun Bentham didasarkan filsafat individualisme.52 Kedua pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat etika Immanuel Kant. Semua filsafat yang menekankan pada aspek kebebasan individu yang dikembangkan para filosuf Barat di atas jika dilacak lebih jauh lagi, berakar kepada filsafat hukum alam (natural law) yang sangat berkembang pada abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung).53 51 Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak,” Jurnal Hukum, Vol.18, hal. 39-40 (selanjutnya disebut II). 52 Ibid. 53 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 108. 44 Hukum kontrak yang berkembang pada abad sembilan belas telah banyak mendapat pengaruh aliran filsafat yang menekankan individualisme sebagaimana tercermin pula dari pemikiran (politik) ekonomi klasik Adam Smith dan utilitarianisme Jeremy Bentham. Mereka memandang bahwa tujuan utama legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness for the greatest number. Mereka menjadikan kebebasan berkontrak sebagai paradigma baru dalam hukum kontrak.54 Paradigma kebebasan berkontrak ini sangat mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan saat itu. Di Perancis diakui bahwa ketika Code Civil dikodifikasikan pada 1804, alam pikiran orang-orang di Perancis sangat dipengaruhi paham individualisme dan liberalisme. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jerman (Burgerliches Gezetzbuch/BGB) juga tidak lepas dari paradigma kebebasan berkontrak tersebut.55 Gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan dengan penekanan akan persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak. Selain itu, gagasan kebebasan berkontrak juga berkaitan dengan pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan bebas (free choice). Dengan gagasan utama ini, kemudian dianut paham bahwa tidak seorang pun terikat kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. Gagasan tersebut menjadi prinsip utama baik dalam sistem civil law maupun common law bahwa kontrak perdata individual di mana para pihak bebas 54 Irdanuraprida Idris, 2007, “Ketidakadilan dalam Kebebasan Berkontrak dan Kewenangan Negara untuk Membatasinya,” Lex Jurnalica, Vol. 4, No.2, hal. 89. 55 Ridwan Khairandy II, Op.Cit. 45 menentukan kesepakatan kontraktual tersebut. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bertindak untuk membuat kontrak (capacity) memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri, menentukan isi, akibat hokum yang timbul dari kontrak itu.56 Sebagai konsekuensi adanya penekanan kebebasan berkontrak, kemudian dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh maksud atau kehendak para pihak. Hal tersebut menjadi prinsip mendasar hukum kontrak yang mengikat untuk dilaksanakan segera begitu mereka telah mencapai kesepakatan. Dengan demikian, kebebasan berkontrak di dalam teori hukum kontrak klasik memiliki dua gagasan utama, yakni kontrak didasarkan kepada persetujuan, dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.57 Doktrin mendasar yang melekat pada kebebasan berkontrak adalah bahwa kontrak itu dilahirkan ex nihilo, yakni kontrak sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) para pihak yang membuat kontrak (contractors). Kontrak secara eksklusif merupakan kehendak bebas para pihak yang membuat kontrak. Melalui postulat bahwa kontrak secara keseluruhan menciptakan kewajiban baru dan kewajiban yang demikian secara eksklusif ditentukan oleh kehendak para pihak, kebebasan berkontrak telah memutuskan hubungan antara kebiasaan dan kewajiban-kewajiban kontraktual. Kebebasan berkontrak membolehkan kesepakatan (perdata) untuk mengesampingkan kewajibankewajiban berdasarkan kebiasaan yang telah ada sebelumnya.58 56 Irdanuraprida Idris, Op.Cit. Septarina Budiwati, 2014, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perspektif Pendekatan Filosofis,” Publikasi Ilmiah, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 278. 58 Lina Jamilah, 2012, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar Baku,” Fakultas Hukum, Universitas Bandung, Vol. 13, No. 1, hal. 232. 57 46 Pada abad pertengahan, hukum Kanonik di bawah pengaruh teori teologis, diterima prinsip konsensus dan mengembangkan prinsip nudus consensus obligat, pacta nuda servanda sunt. Persyaratan esensial bagi pertumbuhan generalisasi teori kontrak modern, terjadi pergantian numeros clausus dari kontrak dengan doktrin (nodus) consensus dengan prinsip bahwa semua transaksi (kontrak) informal adalah mengikat. Prinsip ini dengan baik menghubungkan lahirnya dan pengaruh besar maksim ex nudo pacto oritur actio. Maksim ini diformulasikan untuk melawan prinsip dalam hukum Romawi nuda factio obligationem non parit.59 2.2.2 Asas Kebebasan Berkontrak dalam BW Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral didalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturanhukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh faham individualisme yang secara embrional lahir dari zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen danberkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin ditumbuh kembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Huho de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis.60 Sebagai asas yang bersifat universal yangbersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.61 Kebebasan berkontrak pada 59 Ridwan Khairandy II, Op.Cit. Badrulzaman I, Op.Cit, hal. 110. 61 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 75. 60 47 dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Dalam buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya.Apa yang diatur dalam Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi(regelend recht – aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II BW yangmenganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana parapihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada didalam Buku II BWtersebut. Sistem terbuka Buku III BW ini tercermin dari Pasal 1338 (1) BW yangmenyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Subekti,62 cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankna pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” di dalamnya terkandung-asas partij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijhed-memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk 62 Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. VI, Alumni, Bandung, hal. 4-5 (selanjutnya disingkat subekti II). 48 penuangan dalam bentuk kontrak standar. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, otentik, non otentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar/baku dan lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.63 Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjian dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Menurut Sutan Remi, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:64 a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dalam Pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam 63 Peter Mahmud Marzuki, 2003, “Batas-Batas Kebebasan Berkontra,” Yuridika, Vol. 18 No. 3, hal. 31. 64 Sjahdeni, Op.Cit, hal. 47. 49 kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acapkali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang,65 tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Menurut Soepomo66 BW mempunyai landasan liberalisme, suatu sistem berdasarkan atas kepentingan individu. Mereka yang memiliki modal yang kuat menguasai mereka yang lemah ekonominya. Di dalam sistem liberal terdapat kebebasan yang luas untuk berkompetisi sehingga golongan yang lemah tidak mendapat perlindungan. Pengaruh faham individualisme mulai memudar pada akhir abad XIX seiring dengan berkembangnya faham etid dan sosialis. Faham individualisme dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan umum.67 Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 (1)BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, yaitu: 65 R.M. Pangabean, 2010, Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 4, hal.662. 66 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 43-44. (selanjutnya disingkat Badrulzaman II). 67 Ibid, hal. 110-111. 50 a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak); b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan; c. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusialaan baik atau ketertiban umum; d. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik; e. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan; f. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding). Apabila mengacu rumusan Pasal 1338 (1) BW yang dibingkai oleh pasalpasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak (vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 (3) serta 1339 BW), maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal berikut: a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak; b. Untuk mencapai tujuan para piha, kontrak harus mempunyai causa; c. Tidak mengandung causa palsu atau dilarang undang-undang; 51 d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusialaan dan ketertiban umum; e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi perhatian, bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 (1) BW tersebut hendaknya dibaca/diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang-proporsional. Asas ini secara filosofis menabukan apabila dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah dan lainlain, yang pada intinya menempatkan salah satu pihak di atas pihak yang lain, suatu “exploatation de’lhomme par l’homme.” Apabila hal itu terjadi, maka justru merupakan pengingkaran terhadap asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu dengan terwujudnya proporsionalitas dalam hubungan para pihak akan membuat kontrak menjadi bernilai.68 2.2.3 Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai indikator untuk mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan memperoleh kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu. Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi sangat berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan bagian 68 Agus Yudha Hernoko, 2009, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Group, Jakarta, hal. 7. 52 terbesar dari kewenangan hukum yang mengaturnya,69 di sinilah terlihat hubungan ekonomi dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum berlainan bidangnya, tetapi kedua bidang ini saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang dapat dijadikan objek perdagangan (in de handel).70 Oleh karena itulah, perjanjian merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari dan untuk seseorang. Cara lain adalah melalui perikatan yang lahir karena undang-undang semata-mata dan berdasarkan undang-undang karena perbuatan manusia yaitu perbuatan manusia yang melawan hukum dan perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum. Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus Badrulzaman mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III KUHPerdata berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot 69 Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum, yaitu hukum tentang apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik anda. Save M.Dagun, 1992, Pengantar Filsafat Ekonomi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 8. 70 Pasal 1332 KUH Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah semua benda yang dapat diperdagangkan. Benda yang dapat diperdagangkan mempunyai arti bahwa benda tersebut adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi. 53 (Grotius), Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam memenuhi kebutuhannya.71 Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh fahamatau ideologi yang dianut suatu masyarakat. Asas kebebasan berkontrak mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris sebagai awal dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak. Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum.72 a. asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syaratsyarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syaratsyarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat. b. asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua 71 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni Bandung, hal. 118-119. 72 Remy Syahdeini, 1993, ”Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari kreditur dan debitur,” Makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal 27 April, hal. 2. 54 sistem hukum”.73 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum utama dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal dalam civil law system maupun dalam common law system, bahkan dalam sistem hukum Islam. Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang untuk pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman Romawi oleh Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533, bagian Institutiones.74 Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law :75 a. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if he didnot chose todo so); b. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat kontrak (everyone had a choice of persons with whom he could contract); c. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could make virtually any kind of contract); d. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they chose). Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam 73 Ridwan Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atau liberty of contract (Ridwan Khairandy, 2003, Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan, hal. 49. 74 Johannes Gunawan, 2008, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak” dalam Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, 2008, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, Aditama, Bandung, hal. 259. 75 Ibid, hal. 265. 55 KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak kepemilikan. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:76 a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya; d. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Istilah kontrak tidak terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Indonesia. Kodifikasi itu di dalam Buku III-nya tentang Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur mengenai Overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti Perjanjian.77 Istilah kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris contract. Di dalam konsep continental, penempatan pengaturan perjanjian 76 pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 10. Soebekti menggunakan istilah “persetujuan”. Menurut pendapat saya, overeenkomst lebih tepat diterjemahkan “perjanjian” karena istilah “persetujuan” mengandung konotasi pemberian ijin yang dalam bahasa Belanda disebut consent atau dalam Bahasa Inggris approval. Sedangkan overeenkomst dalam bahasa Inggris berarti agreement. 77 56 mengindikasikan bahwa perjanjian memnag berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (vermogen). Hal ini mirp dengan contract pada konsep Anglo- American, contract selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir AngloAmerican, perjanjian yag bahasa Belandanya overeenkomst dalam bahasa inggris disebut sebagai agreement. Akan tetapi agreement lebih luas daripada contract karena agreement dapat mengenai bisnis atau bukan bisnis. Agreement yang berkaitan dengan bisnis itulah yang disebut contract. Sedangkan agreement untuk hal – hal yang tidak berkaitan dengan bisnis tidak dapat disebit sebagai kontrak, melainkan hanya disebut agreement. Azaz – azaz hukum dapat timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan social yang kemudian diadopsi oleh pembuat undang – undang sehingga menjadi aturan hukum. Sebagai contoh asas itikad baik telah dituangkan ke dalam undang – undang sehingga menjadi aturan hukum. Suatu azaz yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak tetapi tidak dituangkan menjadi aturan hukum adalah asas kebebasan berkontrak. Menurut azaz kebebasan berkontrak, bahwa seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam azaz ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat – syarat perjanjian.78 Di dalam pandangan Eropa continental, azaz kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari dua azas lainnya dalam perjanjian, yaitu 78 Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 13. 57 konsesualisme dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt servanda. Konsesualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian, swdangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi perjanjian. Pacta sunt servanda mempunyai pengertian bahwa suatu pactun, yaitu persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu, menurut hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu perjanjian yang mengikat. Begitu pula nudum pactum, yaitu suatu persesuaian kehendak saja, sudah memenuhi syarat. Azas semacam ini disebut consesualisme.79 Pengertian pacta sunt servanda itu sendiri adalah perjanjian harus ditaati.80 Azas tersebut yang menyatakan seseorang yang membuat janji secara moral, melainkan juga secara hukum mengindikasikan bahwa suatu masyarakat dengan tingkat prkembangan tertentu berfikir mengenai adanya kebebasan dalam melakukan bisnis. Konsekuensinya, timbulan azas yang lain, yaitu azas kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu dari hak – hak kemerdekaan seseorang. Bisnis tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya perlindungan terhadap azas kebebasan berkontrak. Memang, tidak dapat disangkal bahwa tidak mungkin azas ini dilakukan secara mutlak tanpa batasan. Batasan – batasan tersebut dapat berubah – ubah seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan umum. 79 Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 13. Dalam bahasa Latin, servanda dari kata servare yang artinya menepati atau menjalankan dengan sungguh-sungguh. Seringkali azas ini ditafsirkan sebagai perjanjian mengikat sebagai undang-undang. Penafsiran demikian timbul karena bunyi pasal 1338 (1) BW Indonesia. 80 58 2.2.4 Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak oleh Negara Pembatasan asas kebebasan berkontrak datangnya dari pembuat perundang-undangan dapat dilihat dari adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuanketentuan polis asuransi, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menyangkut upah minimum, maksimum jam kerja, kondisi kerja, programprogram asuransi sosial bagi para pekerja yang diharuskan sehubungan dengan perjanjian kerja antara perusahaan dan pegawai atau buruhnya. Menurut Treitel81 asas kebebasan berkontrak digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum. Asas umum yang pertama menetukan „bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh dibuat oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak”. Asas yang kedua menentukan “bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki perjanjian”. Menurut Treitel82 di Inggris pada dewasa ini pada kedua asas umum itu berlaku pembatasan-pembatasan. Terhadap asas umum yang pertama pada saat ini terlihat adanya kecenderungan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Akibatnya, asas kebebasan berkontrak telah sangat dibatasi baik oleh keateantuan perundang-undangan maupun olehputusan pengadilan. Pendobrakan-pendobrakan besar yang dilakukan oleh pihak legislatif terhadap asas ini misalnya telah dilakukan dalam “Low of 81 Dikutip dari Irdanuraprida Idris, Op.Cit, hal. 92. Dikutip dari Purwahid Patrik, 2006, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Penerbit Undip, Semarang, hal. 43. 82 59 landlord and tenant”, “Low of consumen sales” dan “Low of consumen credit”. Sementara itu telah pula dilakukan pembatasan-pembatasan baik (standard form contracts), yaitu sebagian oleh putusan-putusan pengadilan dan sebagian oleh ketentuan perundang-undangan. Pada dewasa ini perkembangan-perkembangan tersebut memberikan perlindungan kepada orang yang dianggap menjadi pihak yang lemah dalam suatu hubungan kontraktor. Namun dalam sebagian besar transaksi-transaksi antara orang-orang bisnis, dimana tawar-menawar dapat dilakukan secara leluasa, asas kebebasan berkontrak masih merupakan hal yang penting. Menurut Treitel terhadap asas umum yang kedua terdapat pengecualian dengan pertimbangan demi kepentingan umum (public interest). Pengecualianpengecualian yang paling akhir ialah yang berlaku terhadap mereka yang terlibat dalam apa yang dinamakan “common collings” dengan cara mengharuskan mereka untuk menyediakan jenis pelayanan-pelayanan tertentu kepada umum. Cotoh-contoh yang terkenal adalah dalam bidan penginapan dan angkutan umum. Mereka tidak dapat sekehendaknya sendiri menolak untuk memberikan pelayanan kepada pihak tertentu. Mereka hanya dapat berbuat demikian berdasarkan alaanalasan tertentu yang ditentukan oleh hukum.dalam zaman moderen ini asas yang sama telah ditetapkan pula dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, sehingga misalnya, seseorang tidak dapat menolak untuk memasok barang-barang kepada seorang pengacara dengan alasan bahwa pengacara tersebut telah melakukan “price cutting” atau “banting harga”.83 Demikian pula dalam hal-hal seseorang tidak dapat menolak untuk memberikan pekerjaan atau akomondasi atau fasilitas83 Resale Prices Act 1976, hal.11. 60 fasilitas lain kepada seseorang dengan alasan ras atau jenis kelamin.84 Tampaknya pengeluaran secara paksa terhadap seseorang dari suatu asosiasi (misalnya berdasarkan alasan agama atau politik), dan mencabut kesempatan seseorang untuk dapat melaksanakan profei tersebut, dalam hal-hal tertentu dapat digugat menurut ketentuan common law.85 Sudah barang tentu, kata Treitel, bahwa makin besar turut campurnya hukum terhadap hubungan para pihak, maka menjadi makin kurang pula pentingnya faktor kesepakatan. Dalam beberapa situasi, derajat dari urut campur tersebut demikian besarnya sehingga tdak patut untuk menggambarkan bahwa hubungan-hubungan diantara pihak tersebut adalah suatu perjanjian. Ilustrasi yang jelas mengenai hubungan yang demikian ini ialah yang menyangkut perkawinan. Disini para pihak hanya dapat menentukan apakah mereka akan memasuki atau tidak memasuki hubungan tersebut. Begitu mereka telah menentukan untuk memasuki hubungan tersebut, maka segala sesuatunya ditentukan oleh hukum. Misalnya suatu perjanjian yang memperjanjikan bahwa suatu perkawinan akan berlangsung melalui masa percobaan selama tiga tahun, tidak mempunyai akibat hukum apa pun. Dalam hal-hal lain bahkan dapat terjadi bahwa salah satu pihak tidak mempunyai pilihan apa pun, misalnya dalam hal pembelian secara paksa atau harta seseorang yang bertentangan dengan kehendaknya berdasarkan kekuataan ketentuan perundang-undangan. 84 Resale Prices Act 1976, Pts. II dan III; Sex Discrimination Act 1975, Pts. II dan III. 85 Putusan Perkara Nagle v. Feilden, 1962, 2 Q.B. 633, yaitu suatu perkara yang menyangkut diskriminasi jenis kelamin; pada saat ini hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum menurut ketentuan Sex Diskrimination Act 1975, s.13. 61 Dari apa yang dikemukan diatas, dapat diketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Hal tersebut adalah sesuatu dengan yang telah dikemukakan oleh Corley dan Shedd, bahwa hak-hak konstitusional, yaitu hak-hak yang dijamin oleh konstitusi Amerika Serikat, bukan merupakan hal-hal mutlak tetapi terbatas. Oleh karena freedom of contract merupakan salah satu hak konstitusional, maka asas atau karakteristik tersebut berlaku juga terhadapnya; dengan kata lain, freedom of contract atau asas kebebasan berkontrak di Amerika Serikat, yang merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individual itu, adalah asas yang tidak mutlak. Di Amerika Serikat, pembatansan-pembatasan tersebut datangnya baik dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Federasi maupun Negara Bagian.86 Misalnya, campur tanggan Negara diterapkan pada hukum perburuan, hukum antar trust, peraturan-peraturan bisnis, dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh adalah pada 1838 Negara Bagian Wisconsin mengesahkan “a limited partnership act” yang dititu dari New York. Selanjutnya dilakukan pula “Negotiable instruments Law” dan “The Uniform Sales Act”. Berbagai undang-undang diatas adalah sebagai jawaban atas perkembangan ekonomi negara bagian tersebut.87 86 Ridwan Khairandy II, Op.Cit., hal. 46. Lawrenc M. Fredman, 2005, Hukum Kontrak, Teori dan Praktek, terj. Bambang Widjonarko, Erlangga, Jakarta, hal. 91. 87 62 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa campur tangan negara dalam perjanjian-perjanjuian yang sifatnya privasi sudah merupakan kelaziman bahkan suatu keharusan untuk melindungi pihak yang lemah. Dengan demikian, kebebasan berkontrak yang tak terbatas sudah lama ditinggalkan. Sehubungan dengan pembatasan-poembatasan terhadap bekerjanya asas kebebasan berkontrak oleh negara, maka timbul pertanyaan yang mendasar, yaitu: “Apakah setiap tingkat peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasan berkontyrak?88 Penulis berpendapat bahwa tidak setiap tingkat peraturan perundang-undangan didalam tata urutan peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasan berkontrak.Asas kebebasan berkontrak keberadaan dan berlakunya ditentukan dan diakui oleh peraturan perundang-undangan yang bertingkat undang-undang, yaitu KUH Perdata. Oleh karena itu, undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengantu Undangg-undang atau peraturan perundangundangan yang bertinggkat lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkonbtrak.oleh karena itu, seyogyanya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak bukan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang bertingkat Peraturan Pemerintah apalagi Keputusan Menteri dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah lagi. Peraturan perundang-undangan yang bertingkat lebih rendah dari undang-undang atau 88 Tata urutan perundang-undangan yang dimaksud adalah tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia Menurut Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana ditetapkan menurut TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber Tertib Hukum Republik Indonesia san Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. 63 Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang hanya dapat mengatur pelaksanaan dari pembatasan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh suatu Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan bukannya menetapkan pembatasan itu sendiri. Azas tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja, melainkan harus dipertimbangkan juga latar belakang kehidupan bermasyarakat, tingkat perkembangan perekonomian, dan perubahan social yang terjadi. Penerapan yang tanpa mengingat akan hal-hal tersebut menyebabkan tepatlah apa yang dikemukakan oleh T.H Green bahwa kebebasan berkontrak merupakan konsepsi formal masa awal liberalism dan mengarah kepada suatu perbudakan baru yang bukan disadarkan pada ketidakmampuan manusia secara hukum, melainkan pada ketidakmampuan secara ekonomis.89 Apabila ditelaah secara seksama dari segi historis, azas kebebasan berkontrak tersebut ditujukan untuk perbaikan kehidupan manusia. Akan tetapi pada kenyataannya azas tersebut kemudian disalahgunakan sehingga apa yang dikemukakan oleh T.H Green di atas terjadi. Hal itu bertentangan dengan maksud diadakannya azas kebebasan berkontrak. Oleh karena itulah kebebasan berkontrak harus memberi kesempatan kepada Negara menaruh perhatian agar pelaksanaan azas itu janga sampai bertentangan dengan makna diciptakan azas itu dan agar etika menjadi landasan pelaksanaan azas itu. Azas kebebasan berkontrak perlu didampingi dengan azas aequitas praestationis, yaitu azas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran 89 Peter Mahmud Marzuki, op. cit., p. 225. 64 justrum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Memang, pada kenyataannya pihak yang lemah menyadari akan kelemahan posisinya sehingga dalam banyak hal menerima saja persyaratan yang diajukan oleh pihak yang kuat asalkan eksistensinya tidak ditiadakan. Dalam situasi semacam inilah hakim ataupun arbitrator yang diberi kewenangan untuk menilai kontrak tersebut tidak harus membatalkan kontra demikian, melainkan dapat membuatnya seimbang melalui azas aequitas praestationis, dan ajaran justrum pretium sehingga kontrak itu masih berlaku bagi para pihak tetapi lebih mencerminkan equitability. Apabila ditealaah, dapat dikatakan bahwa azas kebebasan bekontrak emang bukan tanpa batasan. Di Negara – Negara civil law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh undang – undang, kepatutan dan ketertiban umum (openbare orde). Sedangkan menurut system common law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh undang-undang dan kebijakan public (public policy) yang di dalamnya terdapat kepatutan.90 Menurut hukum Indonesia, pembatasan terhadap azas kebebasan berkontrak tersebut dikaitkan dengan salah syarat sahnya perjanjian. salah satu syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 BW Indonesia adalah adanya geoorloofde oorzaak atau sebab yang tidak dilarang.91 90 91 Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 19. Bukan Sebab yang halal sebagaimana terjemahan Soebekti. 65 Pasal 1337 BW menetapkan bahwa “suatu sebab dilarang apabila bertentangan dengan undang-undang, bertentangn dengan kepatutan atau ketertiban umum. Dapat dikatakan bahwa apabila perjanjian itu memenuhi salah satu batasan yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 1337, perjanjian itu menjadi perjanjian yang dilarang sehingga menjadi tidak sah karena tanpa kausa. Perjanjian demikian menurut studi Hukum Perjanjian system civil law merupakan suatu perjanjian yang bersifat nietig van rechtswege atau batal demi hukum.