HUKUM DAN MORAL Posotivist-Transcendentalist Oleh : Bahrul Fawaid Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang [email protected] Abstract Hukum dan moral selalu menjadi tema yang menarik untuk dibahas. Pada tataran praktis aplikatif, di antara keduanya seringkali terjadi pertentangan satu sama lain, dimana seharusnya pada tataran teoretis, keduanya menjadi bagian yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Hal itu karena kedua entitas tersebut masing-masing memiliki peran yang sama penting dalam penegakan hukum. Berhukum secara normatif semata dipastikan tidak akan mampu mengatasi permasalahan yang multi-kompleks dalam masyarakat, lebih-lebih dalam upaya mewujudkan masyarakat yang ideal. Dalam kenyataannya, penyikan secara normatif semata seringkali memunculkan persoalan baru yang mungkin lebih pelik. Dengan adanya sinergitas antara hukum dan moral diharapkan akan menghasilkan tatanan hukum positivist-transcendentalist. Keywords : Moral,Law,Positivist-Transcendentalist A. PENDAHULUAN Hukum pada dasarnya ditujukan untuk memaksimalkan potensi maslahat dan meminimalisir potensi mafsadat, sehingga diharapkan akan terpenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Namun pada prakteknya penegakan hokum kerapkali memunculkan kekecewaan-kekecewaan, baik itu disebabkan oleh faktor penegak hukum maupun sistem hukum itu sendiri. Terkadang hukum pada prakteknya juga dirasa kurang adil, dengan keras dan tegas pada kelompok minoritas, sementara di satu sisi lunak, bahkan kadang dengan pelbagai dalih melindungi kelompok mayoritas dari jeratnya sendiri. Fenomena tersebut dirasa kurang sesuai dengan asas equality beforethelaw. Adanya polarisasi antara normatifitas dan substantifitas dalam hukum acapkali memberi celah bagi kelompok mayoritas. Tanpa bermaksud mengesampingkan arti penting prosedur dan tekhnis penegakan hukum, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 1 terkadang hal tersebut menjadi salah satu pintu masuk bagi kelompok tertentu untuk bisa berkelit dari jerat hukum. Setidaknya itu kesan yang bisa ditangkap dari fenomena beberapa kasus, yaitu susahnya menghukum pelanggar "kelas kakap" karena pelbagai dalih dan alasan, dan begitu mudahnya menghukum pelanggar "kelas teri", atau bahkan di beberapa kasus "menghukum" orang yang belum terbukti melakukan pelanggaran hukum. Persoalan tersebut tentu tidak akan pernah bisa dilihat dari aspek yang berorientasi pada normatifitas hukum semata, akan tetapi terasa sangat mengganggu ketika dilihat dari aspek substantif, dengan perspektif moral. Permasalahan tidak berhenti hanya sampai di situ, karena sebagai masyarakat beragama, bukan sesuatu yang muluk ketika berada dalam proses penegakan hukum, kita juga berharap akan menuju kondisi ketuhanan, sebagai manifestasi dari pemenuhan perintah-perintah Tuhan, yang tentunya hanya bisa dicapai dengan penegakan hukum yang sebaik dan seadil mungkin. Penegakan hukum yang baik dan adil selain sebagai keharusan dalam kehidupan bermasyarakat, juga dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Begitu juga sebaliknya, pengingkaran terhadap hal itu juga dimaknai pengingkaran terhadap Tuhan. Konsep pensinergian hukum dan moral tersebut bisa dilacak misalnya dalam the philosophyof cosmonomic idea yang digagas oleh Herman Dooyeweerd (1894-1977), yang berusaha menghembuskan ruh ketuhanan dalam bangunan dasar hukum dan ilmu pengetahuan. Alam raya merupakan manifestasi dan hasil kreasi Tuhan, maka konsep alam raya harus dihubungkan dengan penebusan dosa sebagai ajaran tertinggi mengenai kemanusiaan. Hukum keteraturan atau regulasi alam semesta mencerminkan pikiran tuhan. Apabila kita mampu menghayati keteraturan semesta, kita akan dibimbing menuju pikiran Tuhan. Penghayatan atas keteraturan alam mengarah pada proses transendensi diri. Keteraturan alam mengilhami juga hukum keteraturan sosial. Keteraturan sosial sering rusak karena ruh manusia tidak lagi mampu menyentuh hakikat logos Tuhan. Hukum 2 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 negara dan norma masyarakat tidak lagi efektif ketika hakikat kemanusiaannya sudah tercerabut dari semangat tujuan dibentuk keduanya. Maka, kemanusiaan adalah alasan dan tujuan tertinggi dimunculkannya hukum negara dan pranata sosial, dan ini tercermin dari regularitas alam raya yang juga merupakan manisfestasi pikiran logos Tuhan.1 Dooyeweerd mengembangkan pandangan keterkaitan antara hukum dan moralitas yang mirip dengan positivisme hukum modern. Pertama, konsep tentang hukum menyiratkan gagasan tentang hukum yang sah yang independen dari kriteria moral; maka keberadaan hukum adalah satu hal, sementara moralitas atau keadilan adalah hal lain, tetapi keduanya bukan berarti tidak bisa bersatu. Kedua, sebagaimana positivis modern seperti Mac Cormick, Dooyeweerd mampu mempertahankan kekhasan hukum dan moralitas tanpa menyatakan bahwa perpisahan keduanya harus dipertimbangkan dalam yurisprudensi, seolah-olah keduanya berada di ruang yang tertutup rapat, meskipun bagi Dooyeweerd, "moralitas" atau aspek moral, memiliki arti yang lebih terbatas dibandingkan yurisprudensi saat ini dan literatur etis.2 Dari uraian di atas, tulisan berikut bertujuan untuk ikut mencoba berkontribusi dalam menyikapi persoalan seputar hukum dan moral dengan cara menawarkan sejumlah gagasan untuk mencoba mensinergikan kedua entitas tersebut pada tataran praktis. B. PEMBAHASAN 1. Moral Law Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me (langit yang berbintang di atasku, dan hukum moral dalam diriku).3 Kalimat yang tertulis di batu nisan Immanuel Kant (1724 – 1804) ini menggambarkan 1 John Glenn Friesen, The Mystical Dooyeweerd, (Notre Dame, 2011), hlm. 35. Alan Cameron, DooyeweerdOn LawAnd Morality: Legal ethics – a test case, (AMC, 1998), hlm.7. 3 S.P. Lili Tjahjadi, Hukum dan Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 5. 2 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 3 betapa Kant menaruh perhatian besar terhadap hukum moral. Dalam bukunya, Stephen Hawking menyebut Immanuel Kant sebagai salah satu filsuf yang diabadikan namanya dalam lembaran sejarah sains karena Kant ikut meramaikan debat tentang asal-usul semesta, bukti argumen moral tentang adanya Tuhan, dan penyelidikan batas-batas kemampuan rasio untuk menemukan hakikat realitas yang paling sahih dan adekuat.4 Immanuel Kant adalah filsuf besar yang hidup secara teratur, disiplin, dan asketis. Kita tidak bisa memahami Hegel, Marx, aliran Neo-Kantian seperti William Dilthey, Fenomenologi Husserl, Eksistensialisme, Lingkaran Wina, Positivisme-Logis, dan Mazhab Frankfurt, tanpa terlebih dahulu mengenal dan mengerti ajaran-ajaran Immanuel Kant.5 Kant adalah figur sentral filsuf modern, yang meletakkan konsep dimana semua pemikir berikutnya harus bergulat dalam pemikiran. Dia berargumen bahwa persepsi manusia menstruktur hukum alam, dan dasar itu adalah sumber moralitas. Pemikirannya terus memegang pengaruh yang cukup besar di pemikiran kontemporer, terutama di bidang metafisik, epistemology, etika, filsafat politik, dan estetika. Kant mengembangkan filsafat moralnya ke dalam tiga proyek, Groundwork of the Metaphysic of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan MetaphysicsofMorals (1797).6 Filsafat ilmu yang dibangun oleh Kant merupakan konstruk formulasi filosofis atas ilmu mekanika atau fisika Isaac Newton (1643-1727). Menurut Kant, kebebasan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk diketahui apabila kita ingin mendalami hukum moral. Sebaliknya, ide tentang Tuhan dan keabadian bukan merupakan syarat bagi hukum moral, tetapi hanya syarat bagi tujuan sebuah kehendak yang ditentukan oleh hukum moral tersebut sebagai fungsi praktis dari akal budi murni kita. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengetahui atau mengerti realitas atau bahkan kemungkinan ide tentang Tuhan dan keabadian ini.7 4 5 Stephen Hawking, RiwayatSangKala, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 10. Francisco Budi Hardiman, KritikIdeologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 111. 6 http://en.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant#cite_note-1, diakses pada Minggu,19 Mei 2013, jam 14.18 WIB. 7 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, (terjemah; Kritik Atas Akal Budi 4 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 Menurut Kant, rasio pada subjek manusia itu memiliki keterbatasan, ia hanya mampu menangkap objek pengetahuan sejauh mana pengetahuan itu merupakan gejala atau phenomenon dari realitas. Menurut Kant pengetahuan manusia terbatas pada bidang penampakan atau fenomena, sehingga benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich) tidak pernah bisa diketahui manusia.8 Menurut Kant, dalam wilayah empirik, kita tidak bebas, karena seluruh indera kita tunduk mutlak pada dunia luar dan pengetahuan kita pada obyek-obyek luar. Tetapi dalam wilayah non-empirik (thinginitself) kita adalah mahluk bebas.9 Kant mendefinisikan tuntutan hukum moral sebagai “categorical imperatives”, adalah prinsip-prinsip yang pada hakekatnya sah, baik di dalam dan dari dirinya sendiri, harus dipatuhi dalam dan oleh semua, serta situasi dan lingkungan, jika perilaku kita adalah untuk mengamati hukum moral. Hukum moral Immanuel Kant didasarkan pada landasan bahwa watak alamiah manusia bersifat baik. Manusia adalah tujuan diadakannya hukum moral, kemanusiaan bukanlah alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Lebih lanjut Kant menjelaskan, suatu sikap dianggap bermoral apabila ia didorong oleh kebebasannya sendiri karena kewajiban. Kewajiban (duty) merupakan etika deontologi, karena suatu perbuatan dianggap bermoral apabila didorong demi kewajiban itu sendiri dan bukannya disebabkan oleh paksaan dari luar, rasa kasihan, kesenangan, emosi, sentimen atau pencapaian kebahagian. Perbuatan moral itu dapat diketahui dengan kata hati.10 Kebahagiaan bukanlah summum bonum11 atau tujuan tertinggi dari perbuatan moral, karena kebahagiaan hanya atribut yang menyertai dari pemenuhan keutamaan atau kewajiban. Etika Kantian berpusat pada kesadaran akan pemenuhan kewajiban sebagai tujuan dirinya sendiri. Praktis), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 4-5. 8 S.P. Lili Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 329-333. 9 Immanuel Kant, Fundamental Principles of the Metaphysical of Morals, dalam Ahmad Mahmud Shubhi, FlsafatEtika, (Jakarta: Serambil Ilmu Semesta, 2001), hlm. 163. 10 Nainggolan, Z.S, Pandangan Cendikiawan Muslim Tentang Moral Pancasila, Moral Barat, dan MoralIslam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), hlm. 68. 11 Franz Magnis Suseno, 13TokohEtika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 138. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 5 Hukum moral mensyaratkan adanya otonomi dan kebebasan. Suatu perbuatan dianggap bermoral bukan karena paksaan dari luar atau sebuah penyesuaian diri dengan tuntutan-tuntutan dan norma-norma masyarakat dari luar. Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak pelaku. Moralitas otonom, di sisi lain, digambarkan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun lantaran takut terhadap pemberi hukum, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik.12 Kant merumuskan hukum moral dalam tiga prinsip utama, yang pertama dan yang ketiga memiliki variasi-variasi yang dimaksudkan untuk membawa hukum lebih dekat pada intuisi dan membuatnya lebih mudah untuk diaplikasikan. Formulasi-formulasi utama dari hukum moral dipersingkat sebagai berikut. Pertama, Formula of Universal Law; “Bertindaklah sesuai dengan maxim yang pada saat yang sama, hendak anda jadikan hukum universal”, dengan variannya “bertindaklah seolah-olah maxim anda akan menjadi kehendak anda melalui hukum alam universal”. Kedua, Formula of Humanity; “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan tidak sebagai alat belaka, baik perihal pribadi anda sendiri, maupun perihal pribadi orang lain”. Ketiga, Formula of Autonomy; “gagasan kehendak setiap rasional menjadi kehendak memberikan hukum universal”.13 2. Hukum dan Moral; Positivist Transcendentalist Salah satu permasalahan hukum saat ini adalah diskursus antara “benar atau salah” dan “baik atau buruk”. Kelihatan sederhana, namun 12 S.P. Lili Tjahjadi, HukumdanMoral,Op.Cit, hlm. 47. 13 Lihat Immanuel Kant, GroundworkfortheMetaphysicsofMorals, edited and translated by Allen W. Wood, (London: Yale University, 2002), hlm. 111-156. 6 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 sering menjerumuskan manusia pada "lubang jebakan" keilmuan. Diskursus tersebut pada ranah praktis sering melahirkan pertentangan antara normatifisme dengan substantifisme, yang seharusnya antara keduanya bisa bersinergi dan tidak saling bertentangan, karea keduanya memainkan peranan penting dalam penegakan hukum. Menilik kasus semacam “nenek Minah”, seharusnya kita bisa belajar bahwa dalam setiap disiplin ilmu, termasuk hukum, menggunakan pendekatan yang komprehenship dan saling berkaitan, dan tidak lagi terjadi polarisasi antara normatifisme dan substantifisme. a. Integratif-Interkonektif (Bayani,Irfany,Burhany) Pada dasarnya semua bangunan pengetahuan didasari oleh pandangan epistemologi tertentu. Sebagai mana nalar Arab, yang oleh al Jabiry dikelompokkan menjadi tiga corak yaitu 1)EpistemBayani, yakni epistem yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan yang hakiki adalah teks-teks keagamaan. Epistem ini melahirkan ilmu-ilmu yang berbasiskan bahasa, seperti balaghah, nahwu, kalam.14 2) Epistem Irfany, yaitu suatu proses bernalar yang mendasarkan diri pada ilham sebagai sumber pengetahuan.15 Lebih dari itu, epistem ini berusaha menjadikan ilmu-ilmu kuno pra Islam, yakni tradisi Persi Kuno, Hermetisisme, dan Neo Platonisme sebagaisumberpemikiran. Menjadikan tradisi-tradisi pra Islam tersebut sebagai kandungan esoteris dari yang diungkap oleh teks agama secara lahiriah.16 3) Epistem Burhany, yaitu epistem yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Jadi akal menurut epistem ini mempunyai kemampuan untuk menemukan pelbagai pengetahuan. Epistem ini banyak dipakai oleh aliran berpaham rasional. Ciri utama epistem ini adalah penggunaan akal secara maksimal untuk menemukan kebenaran pengetahuan.17 14 Muhammad Abid al Jabiry, Bunyat al‟Aql al‟Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat alwahdah al-„arabiyyah, 1990), hlm. 531. 15 Ibid, hlm. 251. 16 Muhammad Abid al Jabiry, Takwin al-Aql al-„Araby, (Beirut: Markaz Dirasat al-wahdah al-„arabiyyah, 1991), hlm. 190. 17 Anom S. Putra, Revolusi Nalar Islami; Menangguhkan teks, Mencuri Subjek, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 7 Sebenarnya ketiga kluster epistemologi keilmuan sebagaimana disebutkan di atas berada dalam satu rumpun dan idealnya bisa saling melengkapi dan menyempurnakan antara satu sama lain. Tetapi pada prakteknya, ketiga corak pemikiran tersebut cenderung berdiri sendiri dan tidak mau saling bertegur sapa, hampir tidak pernah mau akur, bahkan cenderung saling menyalahkan dan mengkafirkan satu sama lain. Di antara ketiga epistem tersebut, umumnya nalar Bayani lah yang paling mendominasi dan bersifat hegemonic, yang kemudian mengakibatkan pola pemikiran menjadi kaku dan rigid. Kelemahan lain yang lebih mencolok adalah model Bayani ini tidak dapat terbuka ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa, atau masyarakat yang beragama lain.18 Ketiga epistem tersebut, diakui atau tidak, masing-masing memiliki kontribusi yang beragam teradap nalar disiplin hukum Islam yang lazim disebut dengan ushualfiqh. Sebagaimana umumnya dipahami, ushualfiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang memberikan gambaran tentang metode-metode untuk mengistinbath-kan hukum ‘amali dari dalil tafshili.19 Epistem Bayani memberikan kontribusi dalam pemikiran hukum Islam yang sangat besar khususnya dalam menjaga otentisitas ajaran Islam, karena kebenaran dalam pola pikir Bayani senantiasa bergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas, sehingga nash atau teks selalu menjadi tolok ukur (norma) dalam memandang realitas. Namun di sisi lain, pola pikir yang demikian ini menjadikan hukum Islam cenderung statis dan normatif, kurang mampu berdialektika dengan realitas kehidupan. Sementara epistem‘irfani memberikan kontribusi yang lebih banyak berhubungan dengan konteks sosial pemahaman keagamaan dalam kehidupan dalam Gerbang, edisi 02, tahun 1999, hlm. 26. 18 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 203. 19 Abu Zahrah, Usulal-Fiqh, (Mesir: Dar al Fikr, 1958), hlm. 7. 8 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 masyarakat yang plural, bukan secara spesifik berhubungan dengan hukum-hukum yang menjadi sikap yuridis dari ajaran Islam. Sedangkan epistem burhani memberikan kontribusi dalam pemikiran hukum Islam, khusunya dalam hal memberikan landasan rasional bagi epistem bayani (ta’sisalbayanalaal-burhan).20 Jika memang begitu gambaran sekilas dari ketiga wilayah epistemology ilmu-ilmu Keislaman, lantas bagaimana bentuk relasi yang ideal di antara ketiganya? Pararelkah, linearkah, atau sirkularkah? Karena setelah kita mengenal ketiga corak epistemologi di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai fundamentalnya adalah menentukan bentuk hubungan antara ketiganya. 21 Gambar 1: Model Pola Hubungan Pararel (Amin: 2006) Nalar Bayani Nalar ‘Irfani Nalar Burhany Gambar 2: Model Pola Hubungan Linear (Amin: 2006) Nalar Bayani 20 Nur Kholis, Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspesktif Muhammad Abed AlJabiri, Jurnal Fenomena: Vol. 2 No. 1 Maret 2004, hlm. 30. 21 Amin Abdullah, IslamicStudies,Op.Cit, hlm. 218. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 9 Gambar 3: Model Pola Hubungan Sirkuler (Amin: 2006) Nalar Bayani Tekstual Normatif KontekstualHistoris-Empiris Nalar Irfani Nalar Burhani Sebagaimana tampak pada gambar di atas, pola hubungan pararel tidak dapat membuka horizon, wawasan, dan gagasan baru yang bersifat transformatif. Masing-masing epistem terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan sulit untuk berdiaog antara masing-masing corak. Ketiganya akan tetap berada pada jalurnya sendiri-sendiri dan tidak akan dapat bertemu dalam satu titik convergent. Sedangkan pola hubungan linear akan melihat epistemologi yang lain sebagai epistemologi yang tidak valid. Kemudian ia akan memaksakan salah satu jenis epistemologi yang biasa dimilikinya dengan menafikan masukan dari epistem lain, yang pada akhirnya akan berujung pada truthclaim.22 Menurut Amin Abdullah (2006), yang ideal adalah penggabungan ketiga corak epistem dengan menggunakan bentuk relasi sirkular, dalam arti bahwa masing-masing corak epistemologi keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain, 22 10 Ibid, hlm. 218-224. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri. Corak hubungan yang bersifat sirkular tidak menunjukkan adanya finalitas, eksklusivitas, serta hegemoni. Finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya kemungkinankemungkinan baru yang barangkali lebih mampu menjawab persoalan-persoalan social-keagamaan kontemporer. Finalitas dan eksklusivitas sama sekali menepikan kenyataan bahwa keberagamaan sesungguhnya bukanlah peristiwa yang “sekali jadi”. Keberagamaan (dalam hal ini berhukum) adalah proses panjang (on going process) menuju kematangan dan kedewasaan sikap beragama.23 b. Hukum Progresif Dalam bidang hukum, beberapa pakar sudah berupaya mencari terobosan dalam upaya pensinergian hukum dan moral, salah satunya gagasan hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo (2002) yang muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survei malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga pada akhirnya menuai kekecewaan.24 Gagasan hukum progresif tidak lahir secara instan dan dalam waktu singkat. Kemungkinan besar, jauh sebelum istilah hukum progresif diintrodusir, butir-butir progresifitas Satjipto sudah dapat dilihat ketika beliau mulai mengampu mata kuliah Sosiologi Hukum, mengikuti 23 24 Ibid, hlm. 218-224. Satjipto Rahardjo, Arsenal Hukum Progresif, (makalah), hlm. 2. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 11 visiting scholar pada bidang hukum dan masyarakat di Amerika Serikat, dan pada saat yang sama menyelesaikan studi S3. Gagasan hukum progresif agak mustahil lahir di tangan ilmuwan yang madzhabnya normatif-positivistik. Keberanian untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), yang kadang berbeda dengan bunyi pasal-pasalnya, adalah ciri khas hukum progresif.25 Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo tersebut. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal. Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.26 Menurut Satjipto, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking, yaitu pertama, menggunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum dengan mencari jalan baru dan tidak terkekang dengan cara-cara lama. Kedua, pencarian makna yang lebih mendalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum diharapkan selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam, dan ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak hanya menurut prinsip logika semata, akan tetapi perlu ada pensinergian dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan kepada kelompok yang lemah.27 Berbicara dalam terma tipologi, maka cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe berhukum dengan nurani (conscience). 25 Abu Rokhmad, Hukum Progresif Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam Perspektif Teori Maslahah, (Semarang: Walisongo Press, 2011), hlm. 98. 26 Satjipto Rahardjo, Arsenal HukumProgresif,Op.Cit, hlm. 2. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, vol.1, no.1, April 2005, (Semarang: Undip), hlm. 5. 27 12 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 Berhukum sebagai mesin bertolak belakang dengan tipe hukum bernurani ini. Penilaian keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas. Cara berhukum itu tidak hanya menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion. Di sinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti tersebut di atas, yaitu empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara mengenai “nurani pengadilan” (conscience of the court),“nurani kejaksaan”, “nurani advokat” dan seterusnya.28 Kendatipun hukum progresif sangat menekankan pada perilaku nyata dari para aktor hukum, namun ia tidak mengabaikan peran dari sistem hukum di mana mereka berada. Dengan demikian hukum progresif memasuki dua ranah, yaitu sistem dan manusia. Keduanya membutuhkan suntikan yang mencerahkan sehingga menjadi progresif. Para pelaku boleh bertindak progresif, tetapi apabila sistemnya menghambat, maka tindakan mereka menjadi sia-sia belaka.29 Dari sedikit gambaran gagasan di atas, diharapkan kehadiran gagasan hukum progresif mampu mengatasi kelemahan hukum modern yang kerap meminggirkan keadilan sejati. Lebih dari itu secara moral, Hukum progresif secara aktif berusaha untuk mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih meningkat. C. Simpulan Bukan suatu hal yang sulit sebenarnya, apabila kita mau memposisikan diri sebagai mahluk yang menyadari bahwa apapun yang ada di muka bumi ini pada dasarnya bersumber dan kembali pada Tuhan. Sebagaimana konsepsi Herman Dooyeweerd tentang ilmu dan (perk/peng)embangannya, yang menggambarkan di mana seseorang berada, aspek modal yang dimiliki, yang menggambarkan bahwa semua yang ada di dunia ini sudah diciptakan oleh Tuhan, tinggal bagaimana 28 Satjipto Rahardjo, Arsenal HukumP rogresif, Op.Cit, hlm. 2-3. 29 Ibid, hlm. 2-3. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 13 manusia memelihara itu semua, dan kemudian mempertanggungjawabkan kepada Tuhan. Salah satu tawaran dalam menimbang keterkaitan antara hukum dan moral adalah model unifikasi manusia sebagaimana yang disampaikan oleh Liek Wilardjo,30 yakni manusia disinungi "4 n", yakni naluri, nalar, nurani dan nala. Kedua "n" yang pertama mendorong manusia untuk berusaha memperoleh "posisi di atas angin". "n" yang ketiga membuat manusia dapat mendengar bisikan kata hatinya, "einRufausmir, und doch ueber mich", sehingga mampu melakukan pertimbangan moral-etika untuk menentukan sikap dan tindakannya yang terbaik dalam situasi dan konteks aktual yang dihadapi atau diantisipasinya.31 Model ini dirasa damai, merangkul, dan tidak mengorbankan satu pihak, persuasif, sehingga lebih membuat manusia untuk tidak merasa enggan menggunakannya. Dijelaskan lebih lanjut,32 “terbaik" secara moral-etika berarti menghadirkan kebaikan tertinggi (summum bonum) bagi sebanyak-banyaknya liyan, atau setidak-tidaknya menghadirkan kebaikan bersama (the common good). Tak apalah kalau rumusan ini berbau utilitarianisme,33 asalkan tanpa tumbal dan, kalau itu berupa kewajiban terhadap liyan, didasarkan pada tepa sarira (Einfuehlung; empathy). 30 Guru besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 24 September 1939, ia menempuh Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (1964); menyelesaikan Program Magister (S2), Michigen State University, East Lansing Michigen, Amerika Serikat (1965), Program Doktor (S3), Michigen State University, East Lansing, Michigen AS (1970) 31 Liek Wilardjo, Meluruskan Jalan Reformasi : (Perspektif Kebijakan Sains dan Teknologi Untuk Mendukung Masyarakat Industri), makalah dalam Seminar Nasional “Meluruskan Jalan Reformasi”. Universitas Gadjah Mada, 25-27 September 2003 32 Ibid 33 Utilitarianisme, konsep dasarnya adalah, “kebaikan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang” Utilitarianisme dapat dipilah atas Utilitarianisme Tindakan (J.S. Mill) dan Utilitarianisme Kaidah (R. Brandt). Dalam Liek Wilardjo, Masalah Etika dalam Pembangunan Tekhnologi di Indonesia, Bunga Rampai, (Salatiga: UKSW, 1996), hlm. 161. 14 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, 2006, IslamicStudies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta: Pustaka Pelajar Abid al Jabiry, Muhammad, 1990, Bunyat al’Aql al’Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-wahdah al-„arabiyyah Abid al Jabiry, Muhammad, 1991, Takwin al-Aql al-‘Araby, Beirut: Markaz Dirasat al-wahdah al-„arabiyyah Cameron, Alan, 1998, Dooyeweerd On Law And Morality: Legal ethics – a test case, AMC Friesen, John Glenn, 2011, TheMysticalDooyeweerd, Notre Dame Hardiman, Francisco Budi, 1994, KritikIdeologi, Yogyakarta: Kanisius Hawking, Stephen, 1996, RiwayatSangKala, Jakarta: Gramedia http://en.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant#cite_note-1 Kant, Immanuel, 2005, Critique of Practical Reason, (terjemah; Kritik Atas Akal Budi Praktis), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kant, Immanuel, 2002, Groundwork for the Metaphysics of Morals, edited and translated by Allen W. Wood, London: Yale University Kholis, Nur, Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspesktif Muhammad Abed Al-Jabiri, Jurnal Fenomena: Vol. 2 No. 1 Maret 2004 Nainggolan, Z.S, 1997, Pandangan Cendikiawan Muslim Tentang Moral Pancasila, MoralBarat,danMoralIslam, Jakarta: Kalam Mulia Putra, Anom S., Revolusi Nalar Islami; Menangguhkan teks, Mencuri Subjek, dalam Gerbang, edisi 02, tahun 1999 Rahardjo, Satjipto, ArsenalHukumProgresif, (makalah) Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, vol.1, no.1, April 2005, Semarang: Undip Rokhmad, Abu, 2011, Hukum Progresif Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam Perspektif Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012 15 Teori Maslahah, Semarang: Walisongo Press Shubhi, Ahmad Mahmud, 2001, Flsafat Etika, Jakarta: Serambil Ilmu Semesta Suseno, Franz Magnis, 1997, 13Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius Tjahjadi, S. P. Lili, 1991, Hukum dan Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan ImperatifKategoris, Yogyakarta: Kanisius Tjahjadi, S. P. Lili, 2004, Petualangan Intelektual,Yogyakarta: Kanisius Wilardjo, Liek, 1996, Masalah Etika dalam Pembangunan Tekhnologi di Indonesia, Bunga Rampai, Salatiga: UKSW Wilardjo, Liek, Meluruskan Jalan Reformasi : (Perspektif Kebijakan Sains dan Teknologi Untuk Mendukung Masyarakat Industri), makalah dalam Seminar Nasional “Meluruskan Jalan Reformasi”. Universitas Gadjah Mada, 25-27 September 2003 Zahrah, Abu, 1958, Usulal-Fiqh, Mesir: Dar al Fikr 16 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 2 Agustus 2012