1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malnutrisi berat (MB) masih merupakan penyebab kematian utama anak-anak di bawah usia lima tahun. Sekitar 20 juta anak menderita MB di seluruh dunia. Sebagian besar penderita MB terdapat di Asia Selatan dan Afrika SubSahara. Angka kematian anak MB sebesar 5-20 kali lebih tinggi dibanding anak dengan status nutrisi baik. Malnutrisi berat merupakan penyebab langsung dan tidak langsung kematian pada anak. Penyebab tidak langsung adalah meningkatkan case fatality rate anak-anak yang menderita penyakit yang umum diderita pada masa anak-anak seperti diare dan pneumonia. Perkiraan saat ini sekitar satu juta anak meninggal setiap tahun karena MB (World Health Organization, dkk., 2007). Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010 menyatakan bahwa prevalens status gizi balita nasional untuk gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih masing-masing adalah 4,9%, 13%, 76,2%, dan 5,8%. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali menunjukkan prevalens terendah gizi buruk yaitu 1,4% dan 1,7%. Provinsi Gorontalo dan NTB menduduki posisi tertinggi gizi buruk yaitu 11,2% dan 10,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Faktor penyebab masalah gizi selain asupan makanan kurang adalah terpaparnya bayi dan balita terhadap penyakit infeksi yang secara langsung merupakan penyebab kematian balita seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut, campak, malaria, HIV/AIDS, dan lain-lain. Secara global lebih dari 50% 2 balita yang mengidap berbagai penyakit tersebut juga menderita malnutrisi (World Health Organization, 1999a). Infeksi dan malnutrisi merupakan suatu mata rantai yang saling berkaitan. Anak kurang gizi amat rentan terhadap infeksi dan infeksi menyebabkan anak kehilangan napsu makan, yang berakhir dengan kematian. Balita yang bertahan hidup dalam proses perkembangan selanjutnya banyak mengalami hambatan seperti keterbelakangan mental (World Health Organization, 2003). Konsentrasi antioksidan (konsentrasi glutathione (GSH) dan vitamin E plasma) didapatkan berkurang pada kwashiorkor (Sauerwein dkk.,1997). Konsentrasi antioksidan yang rendah ini merupakan suatu akibat bukan sebagai penyebab terjadinya kwashiorkor (Ciliberto, A dkk., 2005). Pada tikus yang mengalami malnutrisi protein jika dibandingkan dengan tikus tanpa malnutrisi protein didapatkan adanya penurunan glutathione total hati sebesar 65% (Ling dkk., 2004). Kondisi ini serupa dengan respon selama fase inflamasi. Kadar glutathione hati berhubungan terbalik dengan tingkat aktivasi NF-KB hati, menyebabkan peningkatan transkripsi IL-1β dan TNF-α (Sies, 1999). Deplesi glutathione juga dapat meningkatkan lipid peroxidation hati (Sinbandhid-Tricot, dkk., 2003) dan merusak kapasitas hati untuk menginaktivasi reactive oxygen species (ROS), yang merupakan stimulator utama produksi sitokin (Sies, 1999). Pengurangan glutathione hati yang diinduksi oleh deplesi diet protein kemungkinan merupakan salah satu faktor kontribusi yang penting dalam aktivasi respon inflamasi sistemik. Deplesi glutathione juga dapat merupakan hasil dari 3 aktivasi sitokin, sehingga sulit membedakan antara perubahan primer dan sekunder dari glutathione (Ling dkk., 2004). Produksi yang berlebihan dari reactive oxygen intermediates (superoxide anion (O2–), hydroxyl radical (OH•), singlet oxygen dan hydrogen peroxide (H2O2) dalam eritrosit terjadi pada kondisi malnutrisi yang menimbulkan terjadinya stres oksidatif. Malondialdehyde (MDA) merupakan suatu produk antara teroksidasi yang sering digunakan sebagai petanda yang dapat dipercaya terhadap lipid peroxidation pada malnutrisi. Malonndialdehyde (MDA) serum meningkat jumlahnya dan terjadi penurunan kadar zinc (Ghone, dkk., 2013, Jain, dkk., 2008), vitamin E serum, dan erythrocyte superoxide dismutase pada pasien MB. Setelah diberikan suplementasi antioksidan selama sebulan didapatkan kadar MDA menurun secara bermakna dan kadar zinc serta kapasitas erythrocyte superoxide dismutase meningkat secara bermakna. Kadar vitamin E mengalami peningkatan yang tidak bermakna jika dibandingkan dengan kadar sebelum disuplementasi. Defisiensi yang berat dari berbagai macam nutrisi pada MB menimbulkan generasi stres oksidatif berat. Efek ini dapat diminimalisasi dengan pemberian suplementasi antioksidan (Ghone, dkk., 2013). Beberapa mekanisme menjelaskan kemungkinan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada MB. Faktor terpenting adalah asupan yang kurang dari nutrien misalnya karbohidrat, protein, vitamin, sehingga menimbulkan akumulasi ROS. Pada malnutrisi didapatkan kekurangan konsentrasi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik bersamaan dengan trace elemen. Mekanisme yang ke dua terhadap terjadinya peningkatan stres oksidatif 4 pada MB adalah kemungkinan karena aktivasi kronik nonspesifik dari sistem kekebalan tubuh karena inflamasi kronik (Bosnak, dkk., 2010). Pada kondisi malnutrisi terjadi disfungsi berbagai elemen imun yang lebih disebabkan disregulasi dibandingkan dengan imunodefisiensi, tetapi gangguan pada proses tersebut masih belum jelas (Hughes dan Kelly, 2006). Malnutrisi protein menginduksi suatu kondisi inflamasi derajat rendah pada tikus, yang dibuktikan dengan adanya aktivasi mitogen-activated protein (MAP) kinase pada hati, peningkatan kadar serum Tumor Necrosis Factor (TNF), interleukin-1 (IL1), interleukin-6 (IL-6), dan serum α1-acid glycoprotein, disertai pengurangan kadar serum albumin. Jadi deplesi diet protein itu sendiri (tanpa adanya stimulus eksogen) merupakan salah satu faktor stimulus untuk terjadinya inflamasi sistemik (Ling, dkk., 2004). Sitokin-sitokin yang dilepaskan dalam proses inflamasi, di antaranya IL-1, TNF-α, IL-6 merupakan mediator utama dari metabolisme intermedia. Sitokinsitokin ini mengakibatkan penurunan masukan makanan, meningkatkan energi metabolisme basal, glukoneogenesis, oksidasi glukosa, dan sintesis hepar (asam lemak dan protein fase akut), penurunan uptake asam lemak oleh sel lemak dan perubahan distribusi zink, besi dan copper (Madeddu dan Mantovani, 2006). Produksi yang berkepanjangan dari TNF ini menimbulkan wasting sel otot dan lemak, yang disebut kakeksia. Hal ini terjadi karena TNF menginduksi penekanan napsu makan dan mengurangi sintesis lipase lipoprotein, suatu enzim yang diperlukan untuk melepaskan asam lemak dari lipoprotein sirkulasi sehingga dapat digunakan oleh jaringan (Abbas, dkk., 2012a). Jika keadaan hiperkatabolik ini 5 berlangsung berkepanjangan maka akan menimbulkan hal-hal yang merugikan (Madeddu dan Mantovani, 2006). Tumor necrosis factor (TNF)-α merupakan suatu sitokin yang bersifat pleiotropik. Sitokin ini menginduksi respon seluler yaitu proliferasi, produksi mediator inflamasi, dan kematian sel. Tumor necrosis factor (TNF)-α memegang peranan penting dalam patofisiologi dari syok septik dan wasting syndrome. Tumor necrosis factor (TNF)-α pada jaringan hati terlibat dalam patofisiologi hepatitis virus, penyakit hati karena alkohol, nonalcoholic fatty liver disease, dan ischemia-reperfusion injury. Tumor necrosis factor (TNF)-α memegang peranan dikotomi pada jaringan hati, sebagai mediator kematian sel dan juga menginduksi proliferasi hepatosit dan regenerasi hati (Schwabe dan Brenner, 2006). Malnutrisi protein menimbulkan peningkatan pengaktivan NF-KB yang diinduksi lipopolisakarida. Aktivasi NF-KB berhubungan terbalik dengan level GSH basal dan berkorelasi dengan potensial reduksi GSSG/2GSH (indikator kunci status redoks). Pemberian suplementasi N-acetyl cysteine (NAC), suatu antioksidan, pada tikus malnutrisi protein efektif memperbaiki kadar GSH, status redoks, dan pengurangan aktivasi NF-KB. Suplementasi NAC ini juga menormalkan produksi yang berlebihan dari IL-1β dan TNF-α (Li dkk., 2002). Antioksidan bekerja dengan jalan menginhibisi inducible NF-KB binding. Pada sel makrofag murine, pemberian DMSO 1% menginhibisi NF-KB translokasi yang diinduksi lipopolisakarida. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ling dkk. (2004) didapatkan pemberian antioksidan preterapi menurunkan secara dramatis PMA-, TNF-α, H2O2-induced NF-KB binding pada beberapa tipe sel (sel T Jurkat, 6 Ltk mouse fibroblast, 70Z/3 mouse pre B cell). Efek antioksidan dalam translokasi NF-KB tampaknya berupa cell-type-dependent dan stimulus-dependent. Infiltrasi lemak yang ekstensif merupakan salah satu gambaran kardinal dari MB. Akumulasi lemak terjadi melalui salah satu atau kombinasi dari tiga mekanisme yaitu peningkatan sintesis lemak hati, gangguan pada transportasi pengeluaran lemak hati, atau penurunan pemecahan lemak dalam hati. Mekanisme peningkatan sintesis lemak hati tidak dapat dikonfirmasi dengan didapatkannya penurunan dari aktivitas glucose-6-phosphatase. Mekanisme tidak adekuatnya sintesis lipoprotein dan sekresinya secara teori tampaknya merupakan penjelasan yang tepat. Konsentrasi lipoprotein sirkulasi didapatkan rendah pada anak dengan malnutrisi berat dan sintesis protein mengalami gangguan. Lemak hati tidak berkorelasi baik dengan konsentrasi sirkulasi lipoprotein. Mekanisme yang ke tiga yaitu penurunan pemecahan lemak hati. Pada penelitian Leung dan Peter (1986) melihat biopsi hati yang diambil dari pasien perlemakan hati karena alkohol dan mendapatkan adanya gangguan β-oksidation, menyimpulkan bahwa penurunan β-oksidation ini penting dalam patogenesis perlemakan hati. Beta-oxidation lemak terutama terjadi dalam mitokondria tetapi fungsi mitokondria pada anak malnutrisi berat masih baik (Waterlow, 1961), sehingga hipotesis gangguan β-oxidation sebagai penyebab perlemakan hati menjadi jauh. Lazarow dan de Duve (1976) mendapatkan peranan peroxisomal βoxidation serupa tetapi merupakan suatu sistem yang terpisah dari yang terjadi pada mitokondria. Kemungkinan disfungsi peroxisomal sebagai bagian dari patogenesis perlemakan hati (Doherty, dkk., 1991). 7 Aktivitas sistem peroxisomal β-oxidation dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal. Peroxisome memiliki waktu paruh yang pendek dan ini dapat berkurang lagi dengan adanya stres tertentu. Glutathione (GSH) serum dan hati didapatkan menurun pada kondisi MB. Glutathione berhubungan terbalik dengan perlemakan hati pada MB. Pada kondisi malnutrisi, status karnitin dan riboflavin marginal, sehingga peranan peroxisomal β-oxidation secara relatif akan meningkat. Hubungan antara infeksi dan malnutrisi telah diketahui dengan baik, infeksi bakteri juga diketahui mengurangi jumlah peroxisome. Reaksi awal sistem peroxisomal akan menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat radikal sementara pada kondisi MB kadar antioksidan berkurang. Radikal bebas tersebut akan merusak peroxisome itu sendiri, sehingga akan terjadi bunuh diri metabolik dari peroxisome. Hal ini dapat dilihat dari hasil biopsi anak-anak MB yang meninggal jika dibandingkan dengan anak-anak MB yang dalam pemulihan nutrisi ditemukan adanya pengurangan jumlah peroxisome pada anak-anak yang meninggal tersebut. Radikal bebas diperkirakan memegang peranan dalam patogenesis gambaran klinis malnutrisi anak, dan defek dari β-oxidation kemungkinan berkontribusi terhadap perlemakan hati, jadi kemungkinan disfungsi peroxisome menghubungkan ke dua hal tesebut (Doherty, dkk., 1991). Tata laksana anak MB terdiri dari 3 tahap yaitu penanganan awal (stabilisasi), rehabilitasi, dan follow-up (World Health Organization, 1999b). Pemberian asupan makanan pada tahap awal harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena pada kondisi MB terjadi gangguan pada fungsi pencernaan, hati dan keseimbangan elektrolit, sehingga tidak memungkinkan pemberian nutrisi dengan 8 kandungan protein, lemak dan natrium yang cukup sesuai dengan usianya, tetapi harus lebih rendah disertai dengan kandungan karbohidrat yang tinggi. World Health Organization mengajukan formula 75 (F75) dan formula 100 (F100) untuk tahap awal dan rehabilitasi. Formula 75 diberikan untuk tahap awal, dan setelah napsu makan mulai pulih diberikan F100. Salah satu komposisi F75 dan F100 adalah minyak sayur (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Minyak sayur yang sering digunakan adalah minyak jagung. Penyediaannya pada beberapa daerah di Indonesia terkadang susah. Alternatif minyak lain diperlukan untuk menggantikan minyak jagung. Kelapa banyak terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia. Virgin coconut oil (VCO) mudah untuk dibuat sendiri dari bahan kelapa. Penggunaan VCO dalam F75 dan F100 perlu dipertimbangkan untuk menggantikan minyak jagung. Minyak jagung terdiri dari 99% triacyglycerols dengan polyunsaturated fatty acid (PUFA) 59%, monounsaturated fatty acid 24%, dan saturated fatty acid (SFA) 13% (Dupont, dkk., 1990). Polyunsaturated fatty acid (PUFA) minyak jagung terdiri dari 98% omega-6 linoleic acid (C18:2 n-6 c,c) dan 2% omega-3 alpha-linolenic acid (C18:3 n-3 c,c,c). Monounsaturated fatty acid minyak jagung mengandung 99% oleic acid (C18:1c). Saturated fatty acid minyak jagung terdiri dari 80% palmitic acid (C16:0), 14% stearic acid (C18:0), dan 3% arachidic acid (C20:0) (U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, 2007). Berdasarkan strukturnya, lemak jenuh dibagi menjadi lemak rantai pendek, menengah dan panjang, sementara monounsaturated fatty acid dan polyunsaturated fatty acid merupakan lemak rantai panjang (St-Onge, dkk., 9 2008). Minyak jagung tidak mengandung asam lemak rantai pendek dan menengah. Minyak jagung mengandung antioksidan sebanyak 0,33-0,34 mmol/100 g minyak jagung (Halvorsen, dkk., 2006). Mediator inflamasi antara lain adalah n-6 eicosanoid, prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotriene B4 (LTB4) yang terbentuk dari n-6 PUFA arachidonic acid (AA; 20:4n-6). Lemak n-6 PUFA ini banyak terdapat pada diet dengan linoleic acid (LA; 18:2n-6) yaitu pada minyak kedele, jagung, safflower dan bunga matahari. n-3 homolog LA adalah -linolenic acid (ALA; 18:3n-3) yang terdapat dalam sayuran hijau berdaun, minyak flaxseed dan canola. Saat dicerna, 18-carbon fatty acid tersebut akan mengalami desaturasi dan perpanjangan menjadi 20-carbon n-6 fatty acids. Linoleic acid menjadi AA, dan ALA menjadi eicosapentaenoic acid (EPA; 20:5n-3). n-6 PUFA arachidonic acid merupakan progenitor dari PGE2 dan LTB4 lewat jalur enzim cyclooxygenase dan 5- lipoxygenase. Eicosapentaenoic acid dapat menginhibisi metabolisme AA secara kompetitif melalui jalur enzimatik, sehingga dapat menekan produksi dari mediator inflamasi n-6 eicosanoid. Eicosapentaenoic acid juga dapat menekan produksi IL-1 dan TNF- dengan mekanisme yang belum jelas. Semakin tinggi kandungan EPA dalam bahan makanan maka kandungan AA akan semakin berkurang (James, dkk., 2000). Minyak jagung dengan kadar AA tinggi maka akan menurunkan kadar EPA menyebabkan efek proinflamasi yang akan meningkat. Penelitian pada tikus mengenai modulasi sitokin oleh diet lemak setelah tikus diinduksi dengan endotoksin dan TNF-α, didapatkan bahwa pada pemberian 10 selama 8 minggu minyak jagung menimbulkan peningkatan produksi IL-1 dan IL6. Pada pemberian minyak kelapa selama 8 minggu menekan produksi IL-1 (Tappia dan Grimble, 1994). Intake linoleic acid juga dapat meningkatkan katalase, glutathione peroxidase dan superoxide dismutase pada hepar. Aktivitas peroxisomal catalase juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme eliminasi peroxide diaktivasi oleh intake linoleic acid. Saat tikus diberi minyak jagung dalam makanannya, maka linoleic acid menimbulkan peroksidasi lipid dan mengaktivasi mekanisme pertahanan terhadap peroksidasi lipid (stres oksidatif) dengan meningkatkan aktivitas glutathione peroxidase (Iritani dan Ikeda, 1982). Virgin coconut oil adalah minyak yang didapatkan dari kelapa tua segar dengan menggunakan alat atau secara alami, tanpa pemanasan, tanpa menggunakan pemurnian, tanpa pemutihan, dan tanpa pemberian aroma secara kimia, sehingga didapatkan suatu minyak yang tidak mengalami perubahan seperti minyak alami apa adanya. Minyak ini banyak mengandung asam lemak rantai sedang (medium-chain fatty acid /MCFAs) sekitar 64%, dengan asam lemak laurat (C12) terbanyak kandungannya (47-53%) (Bawalan dan Chapman, 2006). Kandungan linoleic acid VCO rendah yaitu berkisar antara 0,90-1,72% (Marina, dkk., 2009a). Sementara kandungan linolenic acid juga rendah yaitu berkisar dari tidak terdeteksi sampai 0,2% (Bawalan dan Chapman, 2006). Fraksi polifenol VCO memiliki efek inhibisi yang lebih tinggi pada peroksidasi lipid mikrosomal jika dibandingkan dengan minyak kopra dan minyak kacang tanah. Virgin coconut oil memiliki vitamin E dan polifenol yang lebih 11 tidak saponifiable dibuktikan dengan peningkatan kadar enzim antioksidan dan pencegahan peroksidasi lipid secara in vivo dan in vitro (Nevin dan Rajamohan, 2006). Virgin coconut oil mengandung aktivitas antioksidan antara 52-80% jika dibandingkan dengan kontrol tokoferol dan BHA. Aktivitas antioksidan ini berkorelasi dengan total kandungan fenolik (Marina, dkk., 2009a). Pada penelitian mengenai pengaruh senyawa fenolik dan sumber makanan terhadap produksi sitokin dan antioksidan oleh sel A549, didapatkan bukti bahwa senyawa fenolik secara bermakna mengubah produksi sitokin dan antioksidan, terjadi inhibisi produksi IL-6 dan interleukin-8 (IL-8) (Gaulliard, dkk., 2008). Senyawa fenolik dapat meningkatkan GSH. Sintesis GSH dari asam aminonya melibatkan aksi dua enzim ATP dependent yaitu γ-glutamylcysteine ligase (GCL) dan GSH synthetase. Gamma-glutamylcysteine ligase (enzim yang mengontrol laju keseluruhan jalur) merupakan suatu heterodimer yang terdiri dari suatu katalitik (GCLC; 73 kDa) dan modulator (GCLM; 30kDa). Gammaglutamylcysteine ligase catalysator (GCLC) menguasai semua aktivitas katalitik, GCLM memperbaiki efisiensi katalitik dengan menurunkan Km glutamate dan meningkatkan Ki GSH. Ekspresi basal dan teriduksi dari bahan GCL dimediasi oleh antioxidant response element (ARE). Antioxidant response element (ARE) merupakan suatu cis-acting enhancer sequence (yang secara transkripsi meregulasi enzim detoksifikasi fase II) yang penting untuk mempertahankan status redox sel dan mencegah kerusakan oksidatif (Suh, dkk., 2004). Faktor transkripsi Nrf2 meregulasi ARE-mediated expression dari gen enzim 12 detoksifikasi fase II. Keterlibatan jalur Nrf2 terdapat dalam phenolic acidmediated antioxidant enzyme gene induction (Yeh dan Yen, 2006). Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat pemberian MCT. Perubahan mukosa dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada usus halus bagian atas terjadi pada MB (Peny, 2003). Medium chain triglyceride (MCT) menginhibisi formasi radikal bebas hati dan produksi TNF-α sel Kuffer yang diaktivasi endotoksin. Medium chain triglyceride (MCT) mengubah struktur usus halus dan memengaruhi permeabilitas atau mikroflora saluran cerna. Aktivasi sel Kupffer mengeluarkan mediator (sitokin, eicosanoids, dan radikal bebas). Medium chain trigyceride (MCT) menghilangkan peningkatan Ca2+ intraseluler yang disebabkan lipopolisakarida. Aktivasi sel Kupffer memerlukan Ca2+, yang mengandung voltage-dependent Ca2+ channel (Kono, dkk., 2000). Penelitian lainnya mengenai pengaruh MCT pada malnutrisi protein dilakukan pada tikus yang sedang dalam masa pertumbuhan (usia 4 minggu). Tikus tersebut diberikan diet rendah protein (3 g kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT selama 30 hari dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan cukup protein (20 g kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT. Tikus dengan diet rendah protein selama 30 hari mengalami perlemakan hati dan lebih prominen terjadi pada tikus yang mendapatkan diet tanpa MCT (Kuwahata, dkk. 2011). Pemberian MCT menggantikan minyak polyunsaturated (minyak jagung) pada diet tikus model NAFLD yang mengkonsumsi 70% lemak, dapat melindungi patologi hati. Tikus tersebut diberikan diet yang mengandung 10%, 35% dan 70% dari total energi berasal dari minyak jagung dibandingkan dengan 70% lemaknya 13 digantikan dengan lemak saturated (18:82, lemak sapi: minyak MCT) pada konsentrasi 20% sampai 65% selama 21 hari. Peningkatan konsentrasi minyak jagung meningkatkan steatosis hati dan serum alanine amino transferases (p<0,05). Penggantian lemak unsaturated seperti minyak jagung dengan MCT pada diet dapat digunakan sebagai terapi yang potensial dalam penanganan NAFLD (Ronis, dkk., 2013). Pada kondisi MB didapatkan kondisi kadar antioksidan berkurang, peningkatan radikal bebas, perlemakan hati, dan peningkatan sitokin proinflamasi sehingga menimbulkan kondisi hiperkatabolik yang berkepanjangan. Kondisi ini menimbulkan sulitnya peningkatan berat badan. Virgin coconut oil dengan kandungan MCT dan antioksidan yang tinggi diharapkan dapat mengatasi hal tersebut jika dibandingkan dengan minyak jagung dengan kandungan prekursor proinflamasi dan kadar antioksidan yang rendah. Penelitian mengenai VCO yang digunakan dalam penanganan MB belum ada (Lampiran 1). Peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh pemberian VCO dalam penanganan MB. Peneliti membandingkan pemberian VCO dengan minyak jagung dalam komposisi F75 dan F100 untuk memperbaiki sistem imun tikus MB sehingga mempercepat kenaikan berat badan. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kadar glutathione hati lebih tinggi pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB? 14 2. Apakah ekspresi MDA hati yang rendah lebih banyak pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB? 3. Apakah kadar TNF-α hati lebih rendah pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB? 4. Apakah perlemakan hati lebih sedikit pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB? 5. Apakah peningkatan berat badan pada tikus yang diberikan VCO lebih tinggi dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum: untuk mengetahui pengaruh antioksidan VCO dalam memodulasi sitokin proinflamasi pada tikus malnutrisi berat guna meningkatkan kecepatan kenaikan berat badan. Tujuan khusus: 1. Membuktikan bahwa kadar glutathione hati lebih tinggi pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB. 2. Membuktikan bahwa ekspresi MDA hati yang rendah lebih banyak pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB. 3. Membuktikan bahwa kadar TNF-α hati lebih rendah pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB. 4. Membuktikan bahwa perlemakan hati lebih sedikit pada pemberian VCO dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB. 15 5. Membuktikan bahwa peningkatan berat badan pada tikus yang diberikan VCO lebih tinggi dibanding minyak jagung dalam penanganan tikus MB. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Manfaat akademik dari penelitian ini adalah: 1. Pemahaman terhadap patofisiologi dan pengaruh nutrisi yang diberikan dalam penanganan MB dapat ditingkatkan dengan mengetahui mekanisme imunologis yang berpengaruh terhadap peningkatan kecepatan peningkatan berat badan pada MB. 2. Landasan bagi penelitian selanjutnya dalam bidang nutrisi dengan mengetahui mekanisme VCO dapat memperbaiki metabolisme tubuh yang terganggu pada MB dan peranannya dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh. 1.4.2 Manfaat praktis Virgin coconut oil mudah untuk dibuat sendiri dari bahan buah kelapa yang banyak terdapat di setiap wilayah negara kita, bahkan di daerah pedesaan hampir setiap rumah memiliki pohon kelapa. Pemberian VCO dalam tata laksana MB memberikan hasil yang baik sehingga dapat digunakan oleh masyarakat terutama masyarakat di pedesaan. Bagi para praktisi medis, keunggulan dari VCO dalam memodulasi imunitas MB, memperbaiki kerusakan dan perlemakan hati yang terjadi pada MB memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam bidang tata laksana MB yang lebih baik. Penerapan pemberian VCO pada MB diharapkan 16 dapat digunakan pada anak-anak (manusia), sehingga pada tahap selanjutnya untuk penentuan kebijakan dalam penanganan MB diberikan VCO dalam standar operasional praktis (SOP) atau protokol tetap (PROTAP) tata laksana MB.