PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN OSTEOSARKOMA KEMENTERIAN KESEHATAN KOMITE PENANGGULANGAN KANKER NASIONAL BAB I i KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN OSTEOSARKOMA Disetujui oleh: Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia (PABOI) Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN) Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI) Ikatan Ahli Patologi Anatomi Indonesia (IAPI) Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Indonesia (PERDOSRI) Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) i DAFTAR KONTRIBUTOR DR.dr. Achmad Fauzi Kamal, Sp.OT(K) dr. Yogi Prabowo, Sp.OT(K) DR.dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD-KHOM dr. Irwan Ramli, Sp.Rad(K)Onk.Rad dr. Siti Annisa Nuhonni, Sp.KFR(K) dr. Indriani, Sp.KFR(K) dr. Fenny Lovitha Dewi, Sp.KFR dr. Andi Dala Intan Sapta Nanda, Sp.KFR DR. dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK(K) dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, MGizi, SpGK dr. Lily Indriani Octovia, MT, MGizi, SpGK ii KATA PENGANTAR iii PENYANGKALAN Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini merupakan pedoman yang dibuat berdasarkan data dan konsensus para kontributor terhadap tata laksana saat ini yang dapat diterima.PNPK ini secara spesifik dapat digunakan sebagai panduan pada pasien dengan keadaan pada umumnya, dengan asumsi penyakit tunggal (tanpa disertai adanya penyakit lainnya/penyulit) dan sebaiknya mempertimbangkan adanya variasi respon individual. Oleh karena itu PNPK ini bukan merupakan standar pelayanan medis yang baku. Para klinisi diharapkan tetap harus mengutamakan kondisi dan pilihan pasien dan keluarga dalam mengaplikasikan PNPK ini. Apabila terdapat keraguan, para klinisi diharapkan tetap menggunakan penilaian klinis independen dalam kondisi keadaan klinis individual yang bervariasi dan bila diperlukan dapat melakukan konsultasi sebelum melakukan suatu tindakan perawatan terhadap pasien. PNPK ini disusun dengan pertimbangan pelayanan kesehatan dengan fasilitas dan SDM sesuai kompetensi yang dibutuhkan tersedia. Bila fasilitas atau SDM dengan kompetensi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, agar melaksanakan sistem rujukan. iv KLASIFIKASI TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN Tingkat Pelayanan Primer {I} KLASIFIKASI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN BERDASAR TINGKAT PELAYANAN KLASIFIKASI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN BERDASAR TINGKAT PELAYANAN dengan fasilitas Tingkat Pelayanan Primer {I} pelayanan kesehatan dalam Yang dimaksud tingkatan pelayanan dasar (Primer) adalah:fasilitas Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan dalam tingkatan Dokter Praktik Mandiri, pelayanan dasar (Primer) adalah: KlinikPratama (DokterUmum) dan Dokter Praktik Mandiri, Puskesmas. KlinikPratama (DokterUmum) dan Tingkat PelayananSekunder {II} Puskesmas. Tingkat PelayananSekunder {II} Yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan dalam fasilitas tingkatan Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatanadalah: dalam tingkatan pelayanan sekunder pelayanan sekunder adalah: Klinik Utama (Spesialistik), Klinik Utama (Spesialistik), RS Tipe B, C, dan D. RS Tipe B, C, dan D. Tingkat PelayananTersier {III} Tingkat PelayananTersier {III} Yang Yang dimaksud dimaksud dengan dengan fasilitas fasilitas pelayanan pelayanan kesehatan kesehatan dalam dalam tingkatan tingkatan pelayanan A.A. pelayanantersieradalah: tersieradalah: RS RSTipe Tipe Segala tindak tatalaksana diagnosis dan Segala tindak tatalaksana diagnosis dan terapi pada Panduan Praktik Klinis ini terapi pada Panduan Praktik Klinis ini ditujukan untuk panduan penanganan di ditujukanPelayananTersier untuk panduan penanganan Tingkat {III}. Namun di Tingkat PelayananTersier {III}. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tidak tersebut dapat dilakukan di demikian, menutup kemungkinan Tingkat Pelayanan {II} bila di bahwa hal tersebutSekunder dapat dilakukan kompetensi SDM dan fasilitas yang Tingkat Pelayanan Sekunder {II} bila tersedia memenuhi persyaratan. kompetensi SDM dan fasilitas yang Tindakan promotif dan preventif dapat tersedia memenuhi persyaratan. dilakukan mulai dari Tingkat Pelayanan Tindakan promotif dan preventif dapat dilakukan mulai dari Tingkat Pelayanan v DAFTAR ISI Daftar kontributor ii Kata pengantar iii Penyangkalan iv Klasifikasi tingkat pelayanan kesehatan v Daftar isi vi Bab I. Pendahuluan 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Permasalahan 2 1.3 Tujuan 2 1.4 Sasaran 3 Bab II. Metodologi 6 2.1 Penelusuran kepustakaan 6 2.2 Penilaian-telaah kritis kepustakaan 6 2.3 Peringkat bukti 6 2.4 Derajat rekomendasi 7 Bab III. Hasil dan Diskusi 8 3.1 Epidemiologi 8 3.2 Faktor risiko 8 3.3 Diagnosis 10 3.4 Klasifikasi histologi dan stadium 14 3.5 Prognosis 15 3.6 Tatalaksana 15 3.7 Rehabilitasi 25 3.8 Dukungan nutrisi 31 3.9 Algoritma tatalaksana 46 BAB IV. Simpulan dan Rekomendasi 47 vi Daftar Pustaka 52 Lampiran. Prinsip Kemoterapi 58 vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang primer yang berasal dari sel mesenkimal primitif yang memproduksi tulang dan matriks osteoid. Osteosarkoma merupakan tumor ganas tulang primer non hemopoetik yang paling sering ditemukan. Insiden osteosarkoma pada semua populasi menurut WHO sekitar 4-5 per 1.000.000 penduduk. Perkiraan insiden osteosarkoma meningkat menjadi 8-11 per 1.000.000 penduduk per tahun pada usia 15-19 tahun. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terdapat 219 kasus (16.8 kasus/tahun) dalam kurun waktu 13 tahun (1995-2007) yang merupakan jumlah terbanyak dari seluruh keganasan tulang (70,59%) dengan distribusi terbanyak pada dekade ke-2. Osteosarkoma konvensional lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dengan perbandingan 3:2. Hal ini bisa disebabkan masa pertumbuhan tulang pada pria lebih lama daripada wanita. Tumor ini paling sering diderita oleh anak-anak usia dekade ke-2 kehidupan, lebih dari 60% pada pasien kurang dari 25 tahun. Insiden osteosarkoma dapat meningkat kembali pada usia di atas 60 tahun, sehingga penyakit ini disebut juga memiliki distribusi yang bersifat bimodal. Dahulu osteosarkoma memiliki prognosis yang buruk dengan kesintasan sekitar 20%, meskipun untuk osteosarkoma yang masih terlokalisir. Perkembangan kemoterapi dan teknik operasi mampu menurunkan morbiditas dan meningkatan kesintasan secara signifikan, dengan kesintasan 5 tahun dapat mencapai diatas 60%. 1 Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penanganan penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu. Penemuan osteosarkoma pada stadium terlokalisir akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya. 1.2 Permasalahan Diagnosis dan penatalaksanaan osteosarkoma memerlukan pendekatan multidisiplin; sementara itu belum terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan diagnostik dan terapi yang komprehensif. Selain itu terdapat kesenjangan fasilitas dan sumber daya manusia dari berbagai fasilitas/institusi layanan kesehatan di Indonesia. Atas dasar permasalahan tersebut diperlukan panduan diagnostik dan penatalasanaan osteosarkoma, agar masing masing fasilitas kesehatan dapat berperan optimal dan menghasilkan keluaran onkologi dan fungsional yang baik. 1.3 1.3.1 Tujuan Tujuan umum Meningkatkan upaya penatalaksanaan osteosarkoma yang maksimal secara komprehensif sehingga dapat meningkatkan angka harapan hidup keseluruhan (angka kesintasan), bebas penyakit, dan peningkatan fungsi ekstremitas dan kualitas hidup pasien osteosarkoma di Indonesia 2 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mendukung usaha-usaha menurunkan insidensi dan morbiditas osteosarkoma pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi. 2. Mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi. 3. Membuat pedoman diagnostik secara multidisiplin melalui pertemuan clinico-pathological conference secara rutin, yang melibatkan ahli: orthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal, dan patologi anatomi. 4. Membuat pedoman berdasarkan evidence based medicine dalam penatalaksanaan pasien osteosarkoma yang melibatkan berbagai ahli ; orthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal, patologi anatomi, hematologi onkologi deawasa dan anak, radiasi onkologi, rehabilitasi medik dan ahli terkait lainnya. 5. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini. 6. Meningkatkan usaha rujukan dini, pencatatan dan pelaporan yang konsisten 1.4 1. Sasaran Seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat dalam penatalaksanaan osteosarkoma, sesuai dengan tugas, wewenang, dan kondisi sarana dan prasarana yang tersedia di pelayanan kesehatan masing-masing. 2. Pembuat kebijakan di seluruh tingkat layanan kesehatan, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait. 3. BPJS 3 Daftar Pustaka 1. Ando K, Heymann M, Stresing V, Mori K, Redini F, Heymann D. Current therapeutic strategies and novel approaches in osteosarcoma. Cancers. 2013;5:591-616 2. Salter R. Neoplasm of musculoskeletal tissues. In: Textbook of disorder and injuries of musculoskeletal system. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott-Williams-Wilkins. 1999; p. 400-3. 3. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S dkk. Conventional osteosarcoma. In: World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st ed. Lyon: IARC Press. 2002; p. 264-85. 4. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:320-5 5. Messerschmitt PJ, Garcia RM, Karim FW, Greenfield EM, Getty PJ. Osteosarcoma. J Am Acad Orthop Surg. 2009;17:515-27 6. Kamal AF, Ismail, Mi’raj F, Hutagalung EU. Outcomes of stage IIB osteosarcoma treated by LSS surgery using extracorporeally irradiated (ECI) autograft. Med J Indones. 2011;20:131-7 7. Bacci G, Ferrari S, Ari S. Osteosarcoma of the limb, amputation or LSS in patients treated by neoadjuvant chemotherapy, J Bone Joint Surg. 2002;84B:88-92 8. Ward WG, Mikaelian K, Mirra JM. Pulmonary metastases of stage IIB extremity osteosarcoma and subsequant pulmonary metastases. J Clin Oncol. 2004;12:1894-58 9. DiCaprio MR, Friedlander GE. Malignant bone tumors: limb sparing versus amputation. J am Acad Orthop Surg. 2003;11:25-37 10. Meyers P, Gorlick R. General principles of chemotherapy. In : Menendez LR ed. Orthopaedic knowledge update : musculoskeletal tumors. 1st ed, AAOS. 2001:49-58 4 11. Hutagalung EU, Gumay S, Budiatmoka B. Neoplasma tulang: diagnosis dan terapi. PT Galaxy Puspa Mega. 2005;p. 69-73 12. Unni KK. Osteosarcoma. In: Dahlin’s bone tumors, 5 th ed. Philadelphia: Lippicott-Raven Publishers. 1996; p. 122-43 13. Leung KS, Fung KP, Sher AHL. Plasma bone-specific alkaline phosphatase as an indicator of osteoblastic activity. J Bone Joint Surg. 1993;75:288-92 14. Mirabello L, Troisi RJ, Savage SA. International osteosarcoma incidence patterns in children and adolescent, middle ages, and eldery persons. Int J Cancer 2009;125(1):229-234. 5 BAB II METODOLOGI 2.1 Penelusuran kepustakaan Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik dan secara manual. Penelusuran bukti sekunder berupa uji klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak samar (randomised controlled trial), telaah sistematik, ataupun pedoman berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane Systematic Database Review, dan termasuk semua istilah-istilah yang ada dalam Medical Subject Heading (MeSH). Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari Pubmed, Medline, dan Tripdatabase dengan kata kunci yang sesuai. Penelusuran secara manual dilakukan pada daftar pustaka artikelartikel review serta buku-buku teks yang ditulis 5 tahun terakhir. 2.2 Penilaian – telaah kritis kepustakaan Seluruh bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dokter spesialis/subspesialis yang kompeten sesuai dengan kepakaran keilmuan masing-masing. 2.3 Peringkat bukti (level of evidence) Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai tingkatan bukti ilmiah tertinggi. Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence Based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai bukti : IA metaanalisis, uji klinis IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik IC all or none 6 II uji klinis tidak terandomisasi III studi observasional (kohort, kasus kontrol) IV konsensus dan pendapat ahli 2.4 Derajat Rekomendasi Berdasarkan peringkat itu dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA, IB atau IC Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level II Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III Rekomendasi D bila berdasar atas bukti level IV Daftar Pustaka 1. Sudigdo S. Telaah kritis makalah kedokteran. Dalam: Sudigdo S, Ismail S, editor. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta:CVSagung Seto. 2002. Hal.341-364. 7 BAB III HASIL DAN DISKUSI 3.1. Epidemiologi Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu keganasan tersering pada anak-anak dan usia dewasa muda. Insidensi osteosarkoma memiliki sifat bimodal yaitu dengan usia tersering pada anakanak dan dewasa muda serta usia tua di atas 65 tahun serta lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan perbandingan 1.2:1. Predileksi tersering pada: daerah lutut yaitu distal femur, proksimal tibia, proksimal humerus, osteosarkoma muncul terutama pada daerah metafisis tulang panjang dengan rasio pertumbuhan yang cepat meskipun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada semua tulang. 3.2. Faktor risiko Menurut Fuchs dan Pritchad (2002) osteosarkoma dapat disebabkan oleh beberapa faktor : 1. Senyawa kimia : Senyawa antrasiklin dan senyawa pengalkil, beryllium dan methylcholanthrene merupakan senyawa yang dapat menyebabkan perubahan genetik 2. Virus : Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-Src yang merupakan proto-onkogen, virus FBJ yang mengandung protoonkogen c-Fos yang menyebabkan kurang responsif terhadap kemoterapi. 3. Radiasi, dihubungkan dengan sarcoma sekunder pada orang yang pernah mendapatkan radiasi untuk terapi kanker. 4. Lain-lain 8 Penyakit lain : Paget’s disease, osteomielitis kronis, osteochondroma, poliostotik displasia fibrosis, eksostosis herediter multipel dll. Genetik : Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma, sindrom Werner, Rothmund-Thomson, Bloom. lokasi implan logam. Aspek molekuler/genetik Perubahan genetik yang paling penting pada osteosarkoma adalah loss of heterozygosity dari gen retinoblastoma (RB) yang merupakan tumor suppressor gen. TGF- yang merupakan faktor pertumbuhan ditemukan dalam level yang tinggi pada osteosarcoma high-grade dan dikenal dapat menghambat produksi gen RB. Mutasi P53 (gen tumor supresor) juga dihubungkan dengan osteosarcoma. Human Epidermal Growth Factor Receptor (Her-2 atau Erb-2) adalah aspek molecular lain yang dihubungkan dengan osteosarcoma. Over ekspresi Her-2 dihubungkan dengan agresifitas tumor, dan peningkatan potensial metastatis, rekurensi yang memendek, dan kesintasan yang lebih buruk. P-Glycoprotein sebagai mediator multidrug resistance pada sel tumor dan VEGF dilaporkan berhubungan dengan prognosis osteosarkoma. 3.3. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis (usia umumnya muda, adanya keluham nyeri), pemeriksaan fisik (lokalisasi, besar tumor), dan pemeriksaan penunjang. 9 3.3.1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda dan gejala, antar lain: Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap) Massa (pada ekstremitas yang membesar dengan cepat, nyeri pada penekanan dan venektasi) Edema jaringan lunak ( ± ) Fraktur patologis dapat terjadi pada 5-10% pasien osteosarkoma Keterbatasan gerak (range of motion ) Penurunan berat badan Anemia 3.3.2. Pemeriksaan Penunjang 3.3.2.1. Radiografi konvensional Merupakan pemeriksaan radiologi pertama pada kasus-kasus osteosarkoma. Osteosarkoma konvensional menunjukkan lesi litik moth eaten atau permeatif, lesi blastik, destruksi korteks, reaksi periosteal tipe agresif (segi tiga Codman, sunburst, hair on end), massa jaringan lunak, dan formasi matriks (osteoid maupun campuran osteoid dan khondroid). Osteosarkoma parosteal menunjukkan massa eksofitik berlobulasi dengan kalsifikasi sentral berdensitas tinggi, berlokasi di dekat tulang, kadang disertai gambaran string sign. Osteosarkoma periosteal memperlihatkan massa jaringan lunak dengan reaksi periosteal perpendikuler, erosi kortikal, dan penebalan korteks. High grade surface osteosarcoma menunjukkan ossifikasi 10 berdensitas tinggi, reaksi periosteal, erosi dan penebalan korteks. Dapat juga ditemukan invasi intramedular. Osteosarkoma telangiektatik memperlihatkan lesi litik geografik ekspansil asimetrik, tepi sklerotik minimal dan destruksi korteks yang menunjukkan pola pertumbuhan agresif. Dapat ditemukan fraktur patologik dan matriks osteoid minimal. Small cell osteosarcoma memperlihatkan lesi litik permeatif, destruksi korteks, massa jaringan lunak, reaksi periosteal, serta kalsifikasi matriks osteoid. Low grade central osteosarcoma memperlihatkan lesi litik destruktif ekspansil, disrupsi korteks, massa jaringan lunak dan reaksi periosteal. Pasca kemoterapi, radiografi konvensional dapat digunakan untuk menilai pengurangan ukuran massa, penambahan ossifikasi, dan pembentukan peripheral bony shell. Foto x-ray thorax proyeksi AP/PA, untuk melihat adanya metastasis paru dengan ukuran yang cukup besar, 3.3.2.2. Computed Tomography (CT) Scan Ct-scan dapat berguna untuk memperlihatkan detil lesi pada tulang kompleks dan mendeteksi matriks ossifikasi minimal. Selain itu dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis paru. Kegunaan lain dari CT scan adalah tuntunan biopsi tulang (CT guided bone biopsy). CT scan thoraks berguna untuk mengidentifikasi adanya metastasis mikro pada paru dan organ thoraks. 3.3.2.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI merupakan modalitas terpilih untuk evaluasi ekstensi lokal tumor dan membantu menentukan manajemen bedah yang paling sesuai. MRI dapat menilai perluasan massa ke intramedular (ekstensi longitudinal, keterlibatan 11 epifisis, skip lesion), perluasan massa ke jaringan lunak sekitarnya dan intraartikular, serta keterlibatan struktur neurovaskular. Pemberian kontras gadolinium dapat memperlihatkan vaskularisasi lesi, invasi vaskular, dan area kistik atau nekrotik. Pasca kemoterapi, MRI digunakan untuk menilai ekstensi massa dan penambahan komponen nekrotik intramassa. Dynamic MRI juga dapat digunakan untuk menilai respon pasca kemoterapi. 3.3.2.4. Kedokteran Nuklir Bone scintigraphy digunakan untuk menunjukkan suatu skip metastasis atau suatu osteosarkoma multisentrik dan penyakit sistemik 3.3.2.5. Biopsi Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy-FNAB) atau dengan core biopsy bila hasil FNAB inkonklusif. FNAB mempunyai ketepatan diagnosis antara 7090%. Penilaian skor Huvos untuk mengevaluasi secara histologis respons kemoterapi neoadjuvant. Pemeriksaan ini memerlukan minimal 20 coupe. Penilaian dilakukan secara semi kuantitatif dengan membanding kan luasnya area nekrosis terhadap sisa tumor yang riabel : • Grade 1 : sedikit atau tidak ada nekrosis (0 - 50%) • Grade 2 : nekrosis>50 - <90 % • Grade 3 : nekrosis 90 - 99 % • Grade 4 : nekrosis 100 % 12 Penilaian batas sayatan diperoleh dari jaringan intramedulari segmen tulang proksimal. 3.3.2.6 .Pemeriksaan lainnya Pemeriksaan lainya sebagai penunjang, adalah fungsi organ-organ sebagai persiapan operasi, radiasi maupun kemoterapi. Khususnya kemoterapi merupakan pemberian sitostatika, bersifat sistemik baik khasiat maupun efek samping, sehingga fungsi organ-organ harus baik. Disamping itu juga diperiksa adanya komorbiditas yang aktif, sehingga harus diobati, atau dicari jalan keluarnya sehingga penderita tidak mendapat efek samping yang berat, bahkan dapat menyebabkan morbidatas, bahkan mungkin mortalitas pada waktu terekspose kemoterapi (treatment related morbidity/mortality). Pemeriksaan tersebut: fungsi paru, fungsi jantung (echo), fungsi liver , darah lengkap, termasuk hemostasis, D-Dimer, fungsi ginjal, elektrolit, dan LDH sebagai cermin adanya kerusakan sel yang dapat digunakan sebagi prognosis. Pada waktu tindakan, fungsi organ yang relevan harus dapat toleran terhadap tindakan tersebut. 3.4. Klasifikasi histologi dan stadium 3.4.1. Klasifikasi histologi Terdapat tiga jenis sub tipe secara histologi : 1. Intramedullary a. High- grade intramedullary osteosarcoma b. Low-grade intramedullary osteosarcoma 2. Surface 13 a. Parosteal osteosarcomas b. Periosteal osteosarcomas c. High –grade surface osteosarcoma 3. Extraskeletal 3.4.2. Penentuan stadium Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7. Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking) • IA : derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis • IB : derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa metastasis • IIA : derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis : derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, • IIB : tanpa metastasis • III : ditemukan adanya metastasis Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7 • IA derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8 • IB derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya diskontinuitas • IIA derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8 • IIB derajat keganasan tinggi, ukuran > 8 • III derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas 14 • IVA metastasis paru • IVB metastasis lain 3.5. Prognosis Beberapa faktor yang menentukan prognosis pada pasien osteosarkoma 1. Tumor related: • Lokasi tumor • Ukuran tumor • Histopatologi (high grade, low grade) • Luasnya (infiltrati, kelenjar regional, penyebaran/metastasis lokal,/jauh) • Respon terhadap pengobatan Respon histologi terhadap kemoterapi ( Huvos ) • Tipe dan margin operasi • ALP dan LDH level : menggambarkan luasnya lesi • D dimer (hiperkoagulasi) 2. Patient related Usia Status gizi (BMI) Performonce status Komorbiditas (mis. TB,Hepatitis, gagal ginjal, gagal jantung.) 3. Management related Delay diagnosis dan terapi Pengalaman tenaga medis (operasi, kemoterapi, radiasi dan suprtif terapi) Fasilitas kurang (tenaga dan alat) 15 3.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan osteosarkoma meliputi terapi pembedahan (limb salvage surgery (LSS) atau amputasi), kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi yang diberikan konkuren ataupun sekuensial sesuai indikasi. Terapi pada keganasan muskuloskeletal mengalami perubahan drastis dalam beberapa dekade terakhir. Sebelum tahun 1970, manajemen osteosarkoma, sebagai keganasan tulang yang paling sering ditemukan, dilakukan secara rutin dengan amputasi dan disartikulasi. Tindakan tersebut hanya memiliki kesintasan 5 tahun antara 10-20%. Dengan pemberian kemoterapi neoadjuvant, adjuvant, atau kombinasi keduanya kesintasan jangka panjang dapat mencapai 75-80%. Pemberian kemoterapi berguna untuk mengontrol mikrometastasis, memungkinkan penilaian histopatologi untuk melihat respons kemoterapi (Huvos), memungkinkan perencanaan limb salvage surgery (LSS) serta memudahkan tindakan reseksi tumor pada saat tindakan LSS. Pembedahan merupakan terapi utama osteosarkoma melalui prinsip reseksi secara en bloc dengan mempertahankan fungsi semaksimal mungkin. Protokol penatalaksanaan osteosarkoma meliputi pemberian kemoterapi 3 siklus neoadjuvan terlebih dahulu. Jika setelah neoadjuvan ukuran tumor mengecil tanpa disertai keterlibatan struktur neuro-vaskular utama (sesuai indikasi LSS), yang ditunjang oleh pemeriksaan radiologi (restaging), dilanjutkan dengan pembedahan LSS. Sebaliknya, bila terjadi pertumbuhan tumor yang progresif disertai keterlibatan struktur neuro-vaskuler utama atau ekstensi jaringan yang sangat luas, amputasi menjadi pilihan utama pembedahan. Pasca pembedahan, pasien dipersiapkan untuk peberian 16 kemoterapi adjuvant 3 siklus dengan regimen yang sama (bila hasil Huvos minimal 3); Bila hasil Huvos kurang dari 2, regimen kemoterapinya harus diganti dengan obat anti kanker lainnya (second line). Kontraindikasi untuk tindakan LSS adalah bila : • Ada keterlibatan pembuluh darah ataupun struktur saraf, • Pathologial Fracture (kontra indikasi relatif) • Contaminated biopsy • Infeksi • Immature skeletal age. Leg-length discrepancy should not more than 8 cm. • Ekstensi tumor yang sangat luas ke jaringan lunak. Amputasi pada osteosarkoma dilakukan bila persyaratan LSS tidak terpenuhi. Pada osteosarkoma derajat keganasan tinggi yang tidak memungkinkan pemberian kemoterapi neoadjuvan ( misalnya : adanya ulkus, peradarahan, tumor dengan ukuran yang sangat besar) maka langsung dilakukan pembedahan terlebih dahulu, selanjutnya diikuti dengan pemberian kemoterapi adjuvant. Pada pasien osteosarkoma yang sudah bermetastasis maka penatalaksanaannya juga terbagi menjadi dua yaitu resectable dan unresectable. Pada yang resectable (metastasis paru, visceral) maka terapi untuk tumor primernya sama dengan penatalaksanaan osteosarkoma derajat keganasan tinggi dan didukung dengan kemoterapi dan juga metastasectomy. Metastasis ke organ lain bukanlah kontraindikasi untuk LSS. Sedangkan pada yang unresectable penatalaksanaan yang dilakukan adalah kemoterapi, radioterapi dan melakukan evaluasi ulang tumor primer untuk mengontrol 17 tumor secara lokal, paliatif treatment. Pada pembedahan dengan margin positif yang memberikan respons buruk terhadap kemoterapi maka pertimbangkan mengganti kemoterapi dan juga terapi tambahan secara lokal (surgical resection) dan atau radioterapi. Pada pasien yang menolak dilakukan tindakan pembedahan amputasi. pemberian kemoterapi dan radioterapi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi utama. Pada osteosarkoma, radioterapi berperan relatif kecil karena kanker ini masuk dalam golongan kelompok radioresisten dan sifat metastasisnya yang cenderung hematogen tidaklah begitu sesuai dengan konsep radioterapi sebagai terapi lokoregional. Walaupun demikan peran radioterapi saat ini menjadi lebih besar karena kemajuan teknologi dan komputer. Radioterapi terutama diberikan sebagai ajuvan pasca bedah; dukungan radiasi dosis sangat tinggi pada limb sparing surgery; pada kelompok derajat keganasan relatif rendah, Ewing sarcoma, Chondrosarkoma dan pada tindakan paliatif untuk daerah metastasis. Radioterapi juga diindikasikan pada lokasi axial skeleton dan osteosarkoma pada tulang muka karena keterbatasan tindakan bedah dan masalah kosmesis. Oleh karena di Indonesia sebagian besar kasus datang sudah dalam stadium lanjut maka radioterapi juga dipertimbangkan pada kasus sisa tumor pasca operasi/ margin positif, dan kasus yang sangat lanjut, serta pada kasus residif yang tak mungkin di operasi. 3.6.1 Pembedahan Limb Salvage Surgery Limb salvage surgery (LSS) merupakan suatu prosedur pembedahan yang dilakukan untuk menghilangkan tumor, pada ekstremitas dengan tujuan 18 untuk menyelamatkan ekstremitas. Prosedur LSS merupakan tindakan yang terdiri dari pengangkatan tumor tulang atau sarkoma jaringan lunak secara en-bloc dan rekonstruksi defek tulang atau sendi dengan megaprostesis (endoprostesis), biological reconstruction (massive bone graft baik auto maupun allograft) atau kombinasi megaprostesis dan bone graft. Dalam melakukan tindakan LSS harus dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Rekurensinya dan survival rate pasien tidak lebih buruk daripada amputasi 2. Prosedur yang dilakukan tidak boleh menunda terapi adjuvant 3. Fungsi ekstremitas harus lebih baik dari amputasi. Fungsi ekstremitas pascarekonstruksi harus mencapai functional outcome yang baik, mengurangi morbiditas jangka panjang dan mengurangi/meminimalkan perlunya pembedahan tambahan. 4. Rekonstruksi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan komplikasi yang membutuhkan pembedahan berikutnya atau hospitalisasi yang berulangulang. 3.6.1.1. Limb Salvage Surgery dengan Megaprostesis Megaprostesis adalah alat yang terbuat dari logam yang didesain sebagai pengganti segmen tulang dan atau sendi pada defek tulang yang terjadi pasca reseksi. Penggunaan megaprostesis, memungkinkan pasien lebih cepat pulih dan lebih awal menjalani rehabilitasi dan weight bearing. Dalam dua minggu pasca operasi latihan isometrik atau non-bending exercise dapat dimulai. Dalam periode enam minggu pasien sudah berjalan weight bearing sesuai dengan toleransi pasien. 19 3.6.1.2. Limb Salvage Surgery dengan Biological Reconstruction Biological reconstruction adalah metode rekonstruksi yang ditandai dengan integrasi autograft dan atau proses inisiasi pembentukan tulang secara de novo pada rekonstruksi defek tulang atau sendi. Dalam ruang lingkup onkologi ortopaedi, biological reconstruction diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1). transplantasi tulang yang vital-vascularized atau nonvascularized autograft, 2). implantasi tulang non-vital berupa extracorporeal devitalized autograft (allograft), dan 3). sintesis tulang secara de novo dengan distraction osteogenesis. Pendekatan LSS dengan metode biological reconstruction dapat dilakukan dengan menggunakan teknik rotational plasty, free microvascular bone transfer, extracorporeal irradiation autograft, pasteurized autograft, serta dengan allograft. 3.6.1.3. Limb Salvage Surgery dengan metode lainnya Metode LSS lainnya dilakukan pada ostaeosarkoma yang mengenai tulang expandable seperti fibula proksimal, ulna distal, ilium dengan indikasi pelvic resection tipe I, costae yang diindikasikan untuk reseksi tanpa rekonstruksi. Pada ekstremitas dengan defek tulang massif yang tidak memungkinakan dilakukan rekonstruksi dengan megaprostesis atau biological reconstruction, seperti defek tulang pada tibia atau distal femur, rekonstruksi dapat dilakukan dengan IM nail atau plate dengan bone cement atau disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia di RS setempat. Amputasi Amputasi pada osteosarkoma dilakukan bila persyaratan LSS tidak terpenuhi. Pada osteosarkoma derajat keganasan tinggi yang tidak memungkinkan pemberian kemoterapi neoadjuvan ( misalnya : adanya ulkus, peradarahan, tumor dengan ukuran yang sangat besar) maka langsung 20 dilakukan pembedahan terlebih dahulu, selanjutnya diikuti dengan pemberian kemoterapi adjuvant. 3.6.2. Kemoterapi Osteosarkoma salah satu dari solid tumor dimana adjuvant kemoterapi terbukti bermanfaat. Ketentuan umum; a. Karena kemoterapi adalah sistemik terapi, akan memmpengaruhi dan dipengaruhi organ-organ lain. Oleh karena itu dilakukan oleh dokter penyakit dalam dan spesialis onklologi medis. Atau paling sedikit oleh internis plus latihan singkat onkologi medis, bersertifikat. (internis plus). b. Pemeriksaan pendahuluan (work up) adalah, patologi anatomi: osteosarkoma, grade, stadium. c. Performance status 0,1 (WHO) , fungsi organ-organ (jantung, paru, liver, ginjal) baik. Komorbid infeksi, TB,hepatitis B dan C., bila ada diobati. d. Pasca kemoterapi; follow up: respon terapi yang terukur, diameter, vaskularisasi, konsistensi, berkala, klinis dan radiologi (RECIST) darah perifer lengkap, ureum–kreatinin dan fungsi organ lain yang terkait oleh internis. e. Kemoterapi neoadjuvant diberikan 2-3 siklus, setelahnya dilakukan evaluasi pre-operasi (penilaian respon histopatologi berdasarkan kriteria HUVOS). Bila menurut HUVOS kurang respon, maka diberikan kemoterapi second line. f. Bila adjuvant 6 siklus . g. Pada kemoterapi palliative, tergantung respons penyakit. Prinsipnya kualitas hidup diperbaiki dan survival dapat diperpanjang. 21 Dengan demikian efek samping yang merugikan secara dini bisa diketahui dan pencegahan atau pengobatan dini bisa dilakukan. Kemoterapi terdiri dari berbagai obat kemo dan berbagai protokol. Namun untuk mempermudah dibagi dalam berbagai kelompok.: 1. First line therapy (primary/neoadjuvant/adjuvant therapy or metastatic disease) : • Cisplatin dan doxorubicin • MAP ( High-dose Methotrexate, cisplatin dan doxorubicin ) • Doxorubicin, cisplatin, ifosfamide dan high dose methotrexate • Ifosfamide, cisplatin dan epirubicin Protokol tersebut merupakan komponen utama. Dengan bukti reccurent rate 80% tanpa adjuvant versus 30% dengan adjuvant kemoterapi. Dan 2 tahun bebas relaps adalah 17% pada kelompok observasi versus 66% pada kelompok adjuvant. (Mayo clinic). Penelitian EOI (European Osteosarcoma Intergroup), 6 siklus cisplatin-doxorubicyn versus 4 cylus High-dose MTX, doxorubicyn dan cisplatin, walau stastitik tidak bermakna, pada kelompok cisplati – doxorubicyn, overall survival (OS) lebih tinggi 64% versus 50%. Dan 5 tahun disease free survival (DFS) pada kelompok cisplatin-doxorubicyn lebih tinggi, yakni 57% versus 41%, dimana secara statistik bermakna p=0,02. (Mayo clinic). Pemilihan protokol dianjurkan cisplatindoxorubicyn sebagai first line. 2. Second line therapy (relapsed/ refractory or metastatic disease) Docetaxel dan gemcitabine 22 Cyclophosphamide dan etoposide Gemcitabine Ifosfamide dan etoposide Ifosfamide, carboplatin dan etoposide High dose methotrexate, etoposide dan ifosfamide Follow-up kemoterapi dilakukan tiap minggu, yakni pemeriksaan darah perifer ditambah absolute neutrophil count. Bila rendah dikoreksi dengan dengan growth factor ataupun transfuse. Pemeriksaan ureum/creatinin tiap 3 minggu. Echocardiografi bila ada indikasi. Hal ini supaya pasien bisa mendapat kemoterapi sesuai jadwal tiap 3 minggu. Jadwal kontrol pasien dilakukan tiap 3 bulan pada tahun pertama dan kedua terapi, tiap 4 bulan pada tahun ke 3 , tiap 6 bulan pada tahun ke 4 dan 5, dan follow up pada tahun berikutnya dilakukan setahun sekali. Jika terjadi relaps maka dilakukan kemoterapi dan / atau reseksi jika memungkinkan, targeted therapy (mTOR inhibitor, sorafenib ), transplatasi stem cell (HDT/SCT) atau terapi suportif. Apabila pasien relaps, target adalah palliative terapi, yaitu kualitas hidup, dan bila mungkin desertai survival lebih panjang. Apabila memungkinkan di dilakukan salvage kemoterapi paliatif dengan regimen sebagai berikut: Ifosfamide–etoposide High dose MTX–carboplatin Gemcitabine -docetaxel. 23 3.6.3. Radioterapi Prinsip radioterapi pada osteosarkoma dapat dibedakan untuk lokasi tumor primer dan lesi metastasis. Radiasi pada tumor primer Radiasi eksterna dipertimbangkan pada kasus batas sayatan positif pasca operasi, reseksi subtotal, dan kasus yang tidak dapat dioperasi Dosis radiasi pasca operasi: 54-66 Gy Dosis radiasi pada kasus unresectable: 60-70 Gy, bergantung pada toleransi jaringan sehat Radiasi juga dapat diberikan sebagai terapi paliatif pada kasus metastasis, misalnya nyeri hebat atau perdarahan. Dosis paliatif biasanya 40 Gy yang dapat terbagi dalam fraksinasi konvensional, 2 Gy per hari atau hipofraksinasi. 3.6.4. Localized disease Menurut rekomendasi guidelines, wide excision merupakan terapi primer pada pasien dengan low grade (intramedullary dan surface) oteosarkoma dan lesi pariosteal. Pada periosteal osteosarkoma penatalaksanaan disesuaikan dengan highgrade osteosarkoma lainnya. Setelah wide excision maka dilanjutkan dengan kemoterapi setelah operasi. Operasi re-reseksi dengan atau tanpa radioterapi perlu dipertimbangkan untuk pasien dengan margin jaringan positif. 3.6.5. Osteosarkoma yang disertai metastasis Sepuluh sampai dengan 20 % pasien osteosarkoma terdiagnosis saat sudah terjadi metastasis. Walau kemoterapi menunjukan hasil yang membaik pada 24 pasien non metastatik, high grade, localized osteosarcoma kemoterapi justru menunjukan hasil kurang memuaskan pada osteosarkoma yang disertai metastasis. Pada yang resectable dengan metastasis paru, visceral, atau tulang, maka terapi untuk tumor primernya sama dengan penatalaksanaan osteosarkoma derajat keganasan tinggi dan didukung dengan kemoterapi serta metastasektomi. Pada yang unresectable penatalaksanaan yang dilakukan adalah kemoterapi, radioterapi dan melakukan evaluasi ulang tumor primer untuk mengontrol tumor secara lokal. 3.6.6 Tatalaksana Nyeri Tatalaksana nyeri dapat mengikuti tiga langkah stepladder WHO: Nyeri ringan: analgetik sederhana seperti NSAID atau paracetamol Nyeri sedang: opioid lemah dan analgetik sederhana Nyeri berat: pioid kuat dan analgetik sederhana Terapi nyeri adjuvan seperti kortikosteroid (deksamatason), antikonvulsan (gabapentin) atau antidepresan (amitriptilin) juga dapat diberikan sebagai tambahan. Nyeri breakthrough dapat ditangani dengan opioid kerja cepat seperti morfin lepas cepat, morfin intravena atau fentanil intravena. 3.7. Rehabilitasi medik pasien osteosarkoma Layanan rehabilitasi medik pada pasien osteosarkoma bertujuan untuk pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan efektif, sesuai kemampuan fungsional yang ada. Pendekatan layanan tersebut dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan 25 dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker yaitu bersifat prefentif, restorasi, suportif atau paliatif. 3.7.1. Disabilitas pada Pasien Kanker Osteosarkoma Kedokteran fisik dan rehabilitasi memerlukan konsep fungsi dan keterbatasan dalam penanganan pasien. Pada kanker osteosarkoma, penyakit dan penanganannya dapat menimbulkan gangguan fungsi pada manusia sebagai makhluk hidup seperti gangguan fisiologis, psikologis ataupun perilaku yang berpotensi mengakibatkan terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas (disabilitas) dan partisipasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan mobilitas dan perawatan diri umum terjadi pada sarkoma ekstremitas bawah (45%) dan atas (15%). Keterbatasan Aktivitas 1. Nyeri, akibat massa tumor pada muskuloskeletal, pascaoperasi dan radiasi serta kemoterapi; impending fracture atau fraktur patologis 2. Gangguan mobilisasi akibat : - Nyeri (lihat butir 1) - Gangguan defek anggota tubuh pada musculoskeletal : Impending fracture / fraktur patologis Keterbatasan lingkup gerak sendi (sesuai lokasi massa tumor) sebelum dan atau sesudah operasi: amputasi, limb sparing procedure dengan rekonstruksi, eksisi luas Pembengkakan ekstremitas/limfedema pada disfungsi drenase limfatik. - Gangguan kekuatan otot pada cedera saraf tepi pra dan atau pasca operasi 3. Impending / sindrom dekondisi akibat tirah baring lama 26 4. Gangguan fungsi kardiorespirasi pada metastasis paru, sindrom dekondisi 5. Gangguan fungsi psikososial-spiritual Hambatan Partisipasi 1. Gangguan aktivitas sehari-hari 2. Gangguan prevokasional dan okupasi 3. Gangguan leisure 4. Gangguan seksual pada disabilitas Pemeriksaan/ Asesmen - Asesmen nyeri - Uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi - Uji kekuatan otot - Uji kemampuan fungsional dan perawatan - Evaluasi alat bantu jalan dan prostesis - Pemeriksaan komprehensif Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Pemeriksaan Penunjang - Bone Scan, spot foto, roentgen thorax - CT Scan/ MRI (sesuai indikasi) Tujuan Tatalaksana - Pengontrolan nyeri - Pengembalian dan pemeliharaan fungsi lingkup gerak sendi (fleksibilitas) - Mengoptimalkan pengembalian kemampuan mobilisasi - Memaksimalkan dan memelihara endurance / kebugaran kardiorespirasi - Memelihara dan atau meningkatkan fungsi psiko-sosial-spiritual 27 - Meningkatkan kualitas hidup dengan mengoptimalkan kemampuan aktivitas fungsional 3.7.2. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Pasien Kanker Osteosarkoma A. Sebelum Tindakan (operasi, kemoterapi, dan radioterapi) 1. Promotif: peningkatan fungsi fisik, psikososial dan kualitas hidup 2. Preventif terhadap keterbatasan/ gangguan fungsi yang dapat timbul 3. Penanganan terhadap keterbatasan/ gangguan fungsi yang sudah ada B. Pasca Tindakan (operasi, kemoterapi dan radioterapi) 1. Penanggulangan keluhan nyeri Nyeri yang tidak diatasi dengan baik dan benar dapat menimbulkan disabilitas. - Edukasi, farmakoterapi, modalitas kedokteran fisik dan rehabilitasi - Edukasi pasien untuk ikut serta dalam penanganan nyeri memberi efek baik pada pengontrolan nyeri (Level 1). Rekomendasi Pasien sebaiknya diberi informasi dan instruksi tentang nyeri dan penanganan serta didorong berperan aktif dalam penanganan nyeri (Rekomendasi B) - Terapi medikamentosa sesuai prinsip tatalaksana nyeri World Health Organization (WHO) (Level 4) & WHO analgesic ladder (Level 2). - Terapi non medikamentosa modalitas kedokteran fisik dan rehabilitasi Trans Electrical Nerve Stimulation (TENS) (Level 1) Mengoptimalkan pengembalian mobilisasi dengan modifikasi aktifitas aman dan nyaman (nyeri terkontrol), dengan atau tanpa alat bantu jalan serta dengan pendekatan psikososial-spiritual 28 Rekomendasi - Prinsip pengontrolan nyeri WHO sebaiknya digunakan ketika mengobati pasien kanker dengan nyeri (Rekomendasi D) - Penggunaan WHO Analgesic ladder pada pasien kanker dengan nyeri digunakan sesuai dengan tingkat nyeri pasien (Rekomendasi B) - Asesmen nyeri kronis secara komprehensif termasuk skirining rutin psikologis (Rekomendasi B) √ Rekomendasi terbaik : penanganan optimal pasien nyeri kanker memerlukan pendekatan multidisiplin 2. Preventif terhadap gangguan fungsi yang dapat terjadi pasca tindakan: keterbatasan lingkup gerak sendi (fleksibilitas), gangguan mobilitas, dan sindrom dekondisi. 3. Penanganan gangguan fungsi/ disabilitas yang ada (lihat butir C). C. T atalaksana Gangguan Fungsi/ Disabilitas 1. Tatalaksana Gangguan Fungsi Mobilisasi, pada : 1.1 Nyeri (lihat butir B.1) 1.2 Gangguan defek anggota tubuh / musculoskeletal pada kasus : 1.2.1 Impending fracture atau sudah terjadi fraktur patologis Tatalaksana pencegahan fraktur patologis : Edukasi pencegahan fraktur patologis : prinsip menjaga kesegarisan dan pengurangan beban pada tulang dengan gangguan / hendaya Latihan ambulasi dan latihan keseimbangan aman dengan alat bantu jalan, pembebanan sesuai kondisi tulang Terapi medikamentosa untuk menghambat progresivitas metastasis tulang: biphosponate, kemoterapi, dan lain-lain sesuai dengan penyebab 29 1.2.2 Keterbatasan lingkup gerak sendi pada area sekitar massa tumor atau area operasi, sejak sebelum dan atau sesudah operasi. Tatalaksana sesuai jenis operasi dan hendaya yang ada : - Operasi amputasi, tatalaksana : o pemeliharaan lingkup gerak sendi dan penguatan sisi puntung o evaluasi prostesis sesuai tipe operasi o latihan ambulasi dan keseimbangan dengan alat bantu jalan, dengan atau tanpa prosthesis. o Pemilihan alat bantu jalan sesuai gangguan pasca operasi - Limb sparing procedure dan operasi fiksasi interna o latihan sesuai hendaya pasca tindakan o latihan ambulasi dengan atau tanpa alat bantu jalan. o Pemilihan alat bantu jalan sesuai gangguan pascaoperasi - Operasi eksisi : latihan lingkup gerak sendi dan peregangan sesuai hendaya, precaution, dan toleransi 1.2.3 Tungkai bengkak / limfedema ektremitas bawah pada disfungsi drenase limfatik. Tatalaksana ditujukan untuk pengontrolan tungkai bengkak dan komplikasi / keluhan serta pengembalian fungsi tungkai terkena dengan: edukasi, reduksi edema dengan manual lymphatic drainage (MLD) dan kompresi eksternal, serta kompresi garmen dengan balutan/stocking, latihan gerak ekstremitas dan pernafasan. Atasi komplikasi: nyeri, infeksi, limforrhoea. 1.3 Gangguan kekuatan otot pada cedera saraf tepi sebelum dan atau sesudah operasi. Tatalaksana sesuai hendaya / gangguan yang ada: latihan penguatan dan stimulasi saraf dari otot yang terganggu serta pengembalian kemampuan aktivitas. 30 1.4 Kelemahan umum, fatigue dan sindrom dekondisi akibat tirah baring lama. Tatalaksana sesuai hendaya / gangguan yang ada. Pencegahan sindrom dekondisi dengan latihan pernapasan, lingkup gerak sendi, penguatan otot, ketahanan kardiopulmonar, ambulasi dan keseimbangan, dan Electrical Stimulation (ES / NMES). 2. Penanganan Gangguan Fungsi / Disabilitas pada Sistem Organ Lain akibat Kanker Tulang Osteosarkoma Gangguan fungsi kardiorespirasi akibat metastasis paru, infeksi, tirah baring lama, dan efek penanganan. Tatalaksana sesuai gangguan fungsi pada hendaya paru dan jantung latihan respirasi dan ketahanan kardiopulmonal. 3.Evaluasi dan Tatalaksana Kondisi Psikososial dan Spiritual 4. Adaptasi aktivitas Kehidupan Sehari-hari 5.Rehabilitasi Prevokasional dan Rehabilitasi Okupasi 6.Rehabilitasi Medik Paliatif 3.8. Dukungan Nutrisi Sebanyak 5080% pasien kanker mengalami kaheksia, termasuk osteosarkoma. Pasien osteosarkoma harus menjalani terapi pembedahan, kemoterapi dan radioterapi, yang dapat meningkatkan meningkatkan stress metabolisme dan risiko malnutrisi, sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Tatalaksana nutrisi dimulai dari skrining, diagnosis, serta tatalaksana, baik umum maupun khusus, sesuai dengan kondisi dan terapi yang dijalani pasien. Pasien yang menjadi penyintas masih memerlukan tatalaksana nutrisi, yang meliputi edukasi dan terapi gizi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 31 3.8.1. Skrining Masalah nutrisi perlu mendapat perhatian serius dalam tatalaksana pasien kanker, sehingga harus dilakukan skrining dan diagnosis lebih lanjut. European Partnership for Action Against Cancer (EPAAC) dan The European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) menyatakan bahwa pasien kanker perlu dilakukan skrining gizi untuk mendeteksi adanya gangguan nutrisi, gangguan asupan makanan, serta penurunan berat badan (BB) dan indeks massa tubuh (IMT) sejak dini, yaitu sejak pasien didiagnosis kanker dan diulang sesuai dengan kondisi klinis pasien. Pasien kanker dengan hasil skrining abnormal, perlu dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan nutrisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistemik. Pada semua pasien kanker lanjut, disarankan untuk dilakukan skrining rutin untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuat serta penilaian BB dan IMT, yang apabila berisiko, perlu dilakukan diagnosis lebih lanjut. Rekomendasi tingkat A Disarankan untuk melakukan srining rutin pada semua pasien kanker lanjut, baik yang menerima maupun tidak menerima terapi antikanker, untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuar, penurunan berat dan IMT yang rendah, dan apabila berisiko maka dilanjutkan dengan assesmen gzi Rekomendasi tingkat A Syarat pasien kanker yang membutuhkan tatalaksana nutrisi: Skrining gisi dilakukan untuk mendeteksi gangguan nutrisi, gangguan asupan nutrisi, serta penurunan BB dan IMT sedini mungkin Skrining gizi dimulai sejak pasien didiagnosis kanker dan dilang sesuai dengan kondisi klinis pasien Pada pasien dengan hasil skrining abnormal, perlu dilakukan penilaian objektif dan kuantitaif asupan nutrisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistemik. 32 3.8.2. Diagnosis Permasalahan nutrisi yang sering dijumpai pada pasien kanker adalah malnutrisi dan kaheksia. Secara umum, World Health Organization (WHO) mendefinisikan malnutrisi berdasarkan IMT <18,5 kg/m 2, namun diagnosis malnutrisi menurut ESPEN 2015 dapat ditegakkan berdasarkan kriteria: - Pilihan 1: IMT <18,5 kg/m2 - Pilihan 2: Penurunan BB yang tidak direncanakan >10% dalam kurun waktu tertentu atau penurunan berat badan >5% dalam waktu 3 bulan, disertai dengan salah satu pilihan berikut: 1. IMT <20 kg/m2 pada usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun 2. Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk laki-laki Selain diagnosis malnutrisi, dapat ditegakkan diagnosis kaheksia apabila tersedia sarana dan prasarana yang memungkinkan. Kaheksia adalah suatu sindrom kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa lipolisis, yang tidak dapat dipulihkan dengan dukungan nutrisi konvensional, serta dapat menyebabkan gangguan fungsional progresif. Diagnosis kaheksia ditegakkan apabila terdapat penurunan BB ≥5% dalam waktu ≤12 bulan atau IMT<20 kg/m2 disertai dengan 3 dari 5 kriteria: (1) penurunan kekuatan otot, (2) fatique atau kelelahan, (3) anoreksia, (4) massa lemak tubuh rendah, dan (5) abnormalitas biokimiawi, berupa peningkatan petanda inflamasi (C Reactive Protein (CRP) >5 mg/L atau IL-6 >4pg/dL), anemia (Hb <12 g/dL), penurunan albumin serum (<3,2 g/dL), yang selanjutnya dapat dilihat pada Box 1. 33 Kriteria diagnosis sindrom kaheksia: Adanya penurunan BB 5% dalam 12 bulan atau kurang (atau IMT < 20 kg/m2) Ditambah 3 dari 5 gejala berikut ini: 1. 2. 3. 4. 5. Berkurangnya kekuatan otot Fatigue Anoreksia Indeks massa bebas lemak rendah Laboratorium abnormal: Peningkatan petanda inflamasi(IL-6 >4 pg/dL, CRP >5 mg/L ) Anemia (Hb < 12 g/dL) Hipoalbuminemia (<3,2 g/dL) Berdasarkan kriteria diagnosis tersebut, dapat dijelaskan beberapa hal berikut ini: 1. Fatigue diartikan sebagai kelelahan fisik ataupun mental dan ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik dengan intensitas dan performa sebaik sebelumnya. 2. Anoreksia diartikan sebagai asupan makanan yang kurang baik, ditunjukkan dengan asupan energi kurang dari 20 kkal/kg BB/hari atau kurang dari 70% dari asupan biasanya atau hilangnya selera makan pasien. 3. Indeks massa bebas lemak rendah menunjukkan penurunan massa otot, diketahui dari: 1. Hasil pengukuran lingkar lengan atas (LLA) kurang dari persentil 10 menurut umur dan jenis kelamin, atau 2. Bila memungkinkan, dilakukan pengukuran indeks otot skeletal dengan dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), diperoleh hasil pada laki-laki <7,25 kg/m2 dan perempuan <5,45 kg/m2. 34 3.8.3. Tatalaksana nutrisi umum Sindrom kaheksia membutuhkan tatalaksana multidimensi yang melibatkan pemberian nutrisi optimal, farmakologi, dan aktifitas fisik. Pemberian nutrisi optimal pada pasien kaheksia perlu dilakukan secara individual sesuai dengan kondisi pasien. 1. Kebutuhan nutrisi umum: a. Kebutuhan energi Idealnya, perhitungan kebutuhan energi pada pasien kanker ditentukan dengan kalorimetri indirek. Namun, apabila tidak tersedia, penentuan kebutuhan energi pada pasien kanker dapat dilakukan dengan formula standar, misalnya rumus Harris Benedict yang ditambahkan dengan faktor stres dan aktivitas, tergantung dari kondisi dan terapi yang diperoleh pasien saat itu. Penghitungan kebutuhan energi pada pasien kanker juga dapat dilakukan dengan rumus rule of thumb: Pasien ambulatory : 3035 kkal/kg BB/hari Pasien bedridden : 2025 kkal/kg BB/hari Pasien obesitas : menggunakan berat badan ideal Pemenuhan energi dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan toleransi pasien. Rekomendasi tingkat A Direkomendasikan, untuk tujuan praktis, bahwa kebutuhan energi total pasien kanker, jika tidak diukur secara individual, diasumsikan menjadi agak mirip dengan subyek sehat dan berkisar antara 25-30 kkal/kg BB/hari Selama menjalani terapi kanker, perlu dipastikan bahwa pasien mendapat nutrisi adekuat 35 b. Makronutrien Kebutuhan protein : 1.22,0 g/kg BB/hari, pemberian protein perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal dan hati. Kebutuhan lemak : 2530% dari energi total 3550% dari energi total untuk pasien kanker dengan stadium penurunan lanjut BB (rekomendasi tingkat A) Kebutuhan karbohidrat (KH) : sisa dari perhitungan protein dan lemak c. Mikronutrien Sampai saat ini, pemenuhan mikronutrien untuk pasien kanker hanya berdasarkan empiris saja, karena belum diketahui jumlah pasti kebutuhan mikronutrien untuk pasien kanker. ESPEN menyatakan bahwa suplementasi vitamin dan mineral dapat diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG). Rekomendasi tingkat A Direkomendasikan pemberian vitamin dan mineral sebesar satu kali angka kecukupan gizi d. Cairan Kebutuhan cairan pada pasien kanker umumnya sebesar: Usia kurang dari 55 tahun : 3040 mL/kgBB/hari Usia 55−65 tahun : 30 mL/kgBB/hari Usia lebih dari 65 tahun : 25 mL/kgBB/hari 36 Kebutuhan cairan pasien kanker perlu diperhatikan dengan baik, terutama pada pasien kanker yang menjalani radio- dan/atau kemoterapi, karena pasien rentan mengalami dehidrasi. Dengan demikian, kebutuhan cairan dapat berubah, sesuai dengan kondisi klinis pasien. Rekomendasi tingkat E Pada pasien kaheksia, direkomendasikan pemberian cairan dan natrium kurang dari 30mL/kg BB/hari dan 1 mmol/kg BB/hari e. Nutrien spesifik 1) Branched-chain amino acids (BCAA) BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk memperbaiki selera makan pada pasien kanker yang mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak berskala kecil dari Cangiano (1996). Penelitian intervensi BCAA pada pasien kanker oleh Le Bricon, menunjukkan bahwa suplementasi BCAA melalui oral sebanyak 3 kali 4,8 g/hari selama 7 dapat meningkatkan kadar BCAA plasma sebanyak 121% dan menurunkan insiden anoreksia pada kelompok BCAA dibandingkan plasebo. Selain melalui suplementasi, BCAA dapat diperoleh dari bahan makanan sumber yang banyak dijumpai pada putih telur, ikan, ayam, daging sapi, kacang kedelai, tahu, tempe, dan polongpolongan. Rekomendasi tingkat D Pasien kanker lanjut yang tidak merespon terapi nutrisi standar, disarankan untuk mempertimbangkan suplementasi BCAA untuk meningkatkan massa otot 37 2) Asam lemak omega-3 Suplementasi asam lemak omega-3 secara enteral terbukti mampu mempertahankan BB dan memperlambat kecepatan penurunan BB, meskipun tidak menambah BB pasien. Konsumsi harian asam lemak omega-3 yang dianjurkan untuk pasien kanker adalah setara dengan 2 gram asam eikosapentaenoat atau eicosapentaenoic acid (EPA). Jika suplementasi tidak memungkinkan untuk diberikan, pasien dapat dianjurkan untuk meningkatkan asupan bahan makanan sumber asam lemak omega-3, yaitu minyak dari ikan salmon, tuna, kembung, makarel, ikan teri, dan ikan lele. Rekomendasi tingkat D Pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berisiko mengalami penurunan BB, disarankan untuk menggunakan suplementasi asam lemak omega-3 atau minyak ikan untuk menstabilkan/meningkatkan selera makan, asupan makan, massa otot, dan berat badan 2. Jalur pemberian nutrisi Pilihan pertama pemberian nutrisi melalui jalur oral. Apabila asupan belum adekuat dapat diberikan oral nutritional supplementation (ONS) hingga asupan optimal. Bila 57 hari asupan kurang dari 60% dari kebutuhan, maka indikasi pemberian enteral. Pemberial enteral jangka pendek (kurang dari 46 minggu) dapat menggunakan pipa nasogastrik (NGT). Pemberian enteral 38 jangka panjang (lebih dari 46 minggu) menggunakan percutaneus endoscopic gastrostomy (PEG). Penggunaan pipa nasogastrik tidak memberikan efek terhadap respons tumor maupun efek negatif berkaitan dengan kemoterapi. Pemasangan pipa NGT tidak harus dilakukan rutin, kecuali apabila terdapat ancaman ileus atau asupan nutrisi tidak adekuat. Nutrisi parenteral digunakan apabila nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdarahan masif saluran cerna, diare berat, obstruksi usus total atau mekanik, dan malabsorpsi berat. Pemberian edukasi nutrisi dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperlambat toksisitas radiasi pada pasien kanker dibandingkan pemberian diet biasa dengan atau tanpa suplemen nutrisi. Jalur pemberian nutrisi dapat dilihat pada bagan Rekomendasi tingkat A Direkomendasikan intervensi gizi untuk meningkatkan asupan oral pada pasien kanker yang mampu makan tapi malnutrisi atau berisiko malnutrisi, meliputi saran diet, pengobatan gejala dan gangguan yang menghambat asupan makan, dan menawarkan ONS. Direkomendasikan pemberian nutrisi enteral jika nutrisi oral tetap tidak memadai meskipun telah dilakukan intervensi gizi, dan pemberian nutrisi parenteral apabila nutrisis enteral tidak cukup atau memungkinkan Direkomendasikan untuk memberikan edukasi tentang bagaimana mempertahankan fungsi menelan kepada pasien yang menggunakan nutrisi enteral Nutrisi parenteral tidak dianjurkan secara umum untik pasien radioterapi; nutrisi parenteral hanya diberikan apabila nutrisi oral dan enteral tidak adekuat atau tidak memungkinkan, misalnya enteritis parah, mukositis berat, atau obstruksi massa kanker kepala-leher/esofagus 39 Bagan pemilihan jalur nutrisi Pemilihan jalur nutrisi Asupan 75100% dari kebutuhan Asupan 5075% dari kebutuhan Asupan <60% dari kebutuhan Tidak dapat makan selama 57 hari atau lebih. Saluran cerna berfungsi Asupan <50% dari kebutuhan Tidak dapat makan selama 57 hari atau lebih Saluran cerna tidak berfungsi optimal (ileus,fistula high output, diare berat) Edukasi dan terapi gizi ONS Jalur enteral Jalur parenteral pipa nasogastrik/gastrostomi <7 hari: parsial parenteral >7 hari: parenteral total dengan pemasangan central venous cathether (CVC) 40 3. Farmakoterapi Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi multimodal, yang meliputi pemberian obat-obatan sesuai dengan kondisi pasien di lapangan: a. Progestin Studi meta-analisis menunjukkan bahwa MA bermanfaat dalam meningkatkan selera makan dan meningkatkan BB pada kanker kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam peningkatan massa otot dan kualitas hidup pasien. Dosis optimal penggunaan MA adalah sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua minggu tidak memberikan efek optimal. Rekomendasi tingkat D Direkomendasikan untuk mempertimbangkan menggunakan kortikosteroid untuk meningkatkan selera makan pasien kanker anorektik untuk jangka pendek, tetapi dengan mempertimbangkan potensi efek samping (misalnya muscle wasting) b. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien. Rekomendasi tingkat D Disarankan untuk menggunakan progestin untuk meningkatkan selera makan pasien kanker anorektik untuk jangka pendek, tetapi dengan mepertimbangkan potensi efek samping serius. 41 c. Siproheptadin Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT3, yang dapat memperbaiki selera makan dan meningkatkan BB pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang sering timbul adalah mengantuk dan pusing. Umumnya digunakan pada pasien anak dengan kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa (Rekomendasi tingkat E). 4. Aktivitas fisik Direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisik pada pasien kanker selama dan setelah pengobatan untuk membantu pembentukan massa otot, fungsi fisik dan metabolisme tubuh (Rekomendasi tingkat A). 5. Terapi nutrisi operatif a. Pra pembedahan Makanan padat dapat diberikan hingga 6 jam dan makanan cair hingga 2 jam sebelum induksi anestesi. Jika klinis dan fasilitas memungkinkan, pasien dapat diberikan karbohidrat oral prapembedahan pada pasien non-diabetes, sedangkan pada pasien diabetes, karbohidrat oral diberikan bersama dengan obat diabetes (Rekomendasi tingkat A) b. Pasca pembedahan Pasien dapat diberikan nutrisi secara dini berupa makanan biasa, sedangkan ONS diberikan untuk mendukung pencapaian nutrisi total (Rekomendasi tingkat A). Pemasangan NGT tidak rutin dilakukan pascapembedahan (Rekomendasi tingkat A). 42 3.8.4. Tatalaksana nutrisi khusus Pasien osteosarkoma dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa nausea, vomitus, kembung, konstipasi, disgeusia, dan fatique, akibat tindakan pembedahan serta kemo- dan /atau radio-terapi. Tatalaksana khusus pada kondisi tersebut, diberikan sesuai dengan kondisi pasien: 1. Nausea dan Vomitus a. Edukasi dan terapi gizi b. Medikamentosa (antiemetik) Antiemetik digunakan sebagai anti mual dan muntah pada pasien kanker, tergantung sediaan yang digunakan, misalnya golongan antagonis reseptor serotonin (5HT3), antihistamin, kortikosteroid, antagonis reseptor neurokinin-1 (NK1), antagonis reseptor dopamin, dan benzodiazepin. Berikan anti emetik 5-HT3 antagonis (ondansetron) 8 mg atau 0,15 mg/kg BB (i.v) atau 16 mg (p.o). Jika keluhan menetap dapat ditambahkan deksametason. Pertimbangkan pemberian antiemetik IV secara kontinyu jika keluhan masih berlanjut. Penanganan antiemetik dilakukan berdasarkan penyebabnya, yaitu: Tabel 1. Pemberian antiemetik berdasarkan penyebab Penyebab Tatalaksana Gastroparesis Metokloperamid 4 x 5–10 mg (p.o), diberikan 30 menit sebelum makan Obstruksi usus Pembedahan, pemasangan NGT atau PEG, nutrisi parenteral total 43 Obstruksi karena Dekompresi tumor intra Endoscopic stenting abdomen, Pemberian kortikosteroid, metokloperamid, metastasis hati Gastritis penghambat pompa proton Penghambat pompa proton H2 antagonis 2. Kembung a. Edukasi dan terapi gizi b. Medikamentosa Apabila memungkinkan, pasien dapar diberikan simetikon. 3. Konstipasi a. Edukasi dan terapi gizi b. Suplementasi dan medikamentosa Suplemen serat Laksatif, terdiri atas golongan surfaktan (stool softener), lubrikan, salin, stimulan, hiperosmotik, prokinetik, dan antagonis reseptor opioid. 6. Disgeusia Pasien diberikan edukasi dan terapi gizi 7. Fatigue Pasien diberikan edukasi dan terapi gizi 44 3.8.5. Nutrisi bagi Penyintas Osteosarkoma Penyintas kanker perlu mendapat edukasi dan terapi gizi serta preskripsi gizi. Para penyintas disarankan memiliki BB ideal dan menerapkan pola makan yang sehat, tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta rendah lemak, daging merah, dan alkohol. Para penyintas kanker juga dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik sesuai kemampuan masing-masing. Rekomendasi tingkat A Penyintas kanker sebaiknya memiliki BB ideal dan menerapkan pola makan yang sehat, tinggi buah, sayur, dan biji-bijian, serta rendah lemak, dging merah, dan alcohol. Direkomendasikan bagi para penyintas kanker untuk terus melakukan aktivitas fisik sesuai kemampuan secara teratur dan menghindari sedentari 45 3.9. Algoritma diagnosis dan tatalaksana Anamnesis & pem.fisik Lab & Pemeriksaan Radiologi FNAB/Core Biopsy Osteosarkoma dengan indikasi amputasi absolut, sep : ·! Ulkus ·! Perdarahan ·! Ukuran sangat besar Clinico-pathological conference : diagnosis dan staging osteosarkoma Low grade osteosarkoma : ·! Parosteal osteosarkoma ·! Low grade intramedularry ost Highgrade osteosarkoma : ·! Osteosarkoma konvensional ·! Highgrade surface ost ·! Periosteal osteosarkoma Amputasi Clinico-pathological confrence Evaluasi Diagnostis dan batas sayatan Kemoterapi neoadjuvan Pembedahan : LSS atau amputasi* Rehabilitasi Medik & Follow up Lesi metastasis soliter : metastatektomi Kemoterapi adjuvan Stage II - Pembedahan : LSS atau amputasi* Clinico-pathological confrence Evaluasi batas sayatan & Huvos* Stage III Ennecking Pembedahan : LSS atau amputasi* Evaluasi batas sayatan &Huvos* Batas sayatan bebas tumor Lab & Pemeriksaan Radiologi : Re-staging ! Lesi metastasis multipel : paliatif Batas sayatan bebas tumor Batas sayatan tidak bebas Re-eksisi* Radioterapi Kemoterapi adjuvan Batas sayatan tidak bebas Kemoterapi adjuvan Re-eksisi* Radioterapi Kemoterapi adjuvan Rehabilitasi Medik Follow up Rekuren CPC ulang Kemoterapi dan Pembedahan 46 BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu keganasan tersering pada anak-anak dan usia dewasa muda. Beberapa faktor risiko yang dikaitkan dengan patogenesis terjadinya osteosarkoma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (usia umumnya muda, adanya keluham nyeri), pemeriksaan fisik (lokalisasi, besar tumor), dan pemeriksaan penunjang. Radiologi konvensional merupakan pemeriksaan radiologi pertama pada kasus-kasus osteosarkoma. Radiografi konvensional juga dapat digunakan untuk evaluasi pasca kemoterapi. Foto x-ray thorax proyeksi AP/PA, untuk melihat adanya metastasis paru dengan ukuran yang cukup besar. CT-scan dapat berguna untuk memperlihatkan detil lesi pada tulang kompleks dan mendeteksi matriks ossifikasi minimal, tuntunan biopsi tulang (CT guided bone biopsy), dan deteksi metastasis paru (CT scan thoraks). MRI merupakan modalitas terpilih untuk evaluasi ekstensi lokal tumor dan membantu menentukan manajemen bedah yang paling sesuai. Bone scintigraphy digunakan untuk menunjukkan suatu skip metastasis atau suatu osteosarkoma multisentrik dan penyakit sistemik. Pemeriksaan laboratorium darah (LDH / ALP ) Untuk mengevaluasi status keadaan umum dan persiapan terapi Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy-FNAB) atau dengan core biopsy bila hasil FNAB inkonklusif. Penilaian skor Huvos untuk mengevaluasi secara 47 histologis respons kemoterapi neoadjuvant. Pemeriksaan ini memerlukan minimal 20 coupe. Penilaian batas sayatan diperoleh dari jaringan intramedulari segmen tulang proksimal. Penegakkan diagnosis dan penentuan stadium dengan pendekatan multidisiplin melalui pertemuan clinico-pathological conference secara rutin, yang melibatkan ahli: orthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal, dan patologi anatomi. Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7. Seperti halnya penegakkan diagnosis, penatalaksanaan pasien osteosarkoma juga membutuhkan pendekatan multidisiplin, yang melibatkan berbagai ahli: orthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal, patologi anatomi, hematologi onkologi deawasa dan anak, radiasi onkologi, rehabilitasi medik dan ahli terkait lainnya. Penatalaksanaan osteosarkoma meliputi terapi pembedahan (limb salvage surgery (LSS) atau amputasi), kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi yang diberikan konkuren ataupun sekuensial sesuai indikasi. Pembedahan merupakan terapi utama osteosarkoma melalui prinsip reseksi secara en bloc dengan mempertahankan fungsi semaksimal mungkin. Protokol penatalaksanaan osteosarkoma meliputi pemberian kemoterapi 3 siklus neoadjuvan terlebih dahulu. Jika setelah neoadjuvan ukuran tumor 48 mengecil tanpa disertai keterlibatan struktur neuro-vaskular utama (sesuai indikasi LSS), yang ditunjang oleh pemeriksaan radiologi (restaging), dilanjutkan dengan pembedahan LSS. Sebaliknya, bila terjadi pertumbuhan tumor yang progresif disertai keterlibatan struktur neuro-vaskuler utama atau ekstensi jaringan yang sangat luas, amputasi menjadi pilihan utama pembedahan. Pasca pembedahan, pasien dipersiapkan untuk peberian kemoterapi adjuvant 3 siklus dengan regimen yang sama (bila hasil Huvos minimal 3); Bila hasil Huvos kurang dari 2, regimen kemoterapinya harus diganti dengan obat anti kanker lainnya (second line). Amputasi pada osteosarkoma dilakukan bila persyaratan LSS tidak terpenuhi. Pada osteosarkoma derajat keganasan tinggi yang tidak memungkinkan pemberian kemoterapi neoadjuvan ( misalnya : adanya ulkus, peradarahan, tumor dengan ukuran yang sangat besar) maka langsung dilakukan pembedahan terlebih dahulu, selanjutnya diikuti dengan pemberian kemoterapi adjuvant. Pada pasien osteosarkoma yang sudah bermetastasis maka penatalaksanaannya juga terbagi menjadi dua yaitu resectable dan unresectable. Pada yang resectable (metastasis paru, visceral) maka terapi untuk tumor primernya sama dengan penatalaksanaan osteosarkoma derajat keganasan tinggi dan didukung dengan kemoterapi dan juga metastasectomy. Metastasis ke organ lain bukanlah kontraindikasi untuk LSS. Sedangkan pada yang unresectable penatalaksanaan yang dilakukan adalah kemoterapi, radioterapi dan melakukan evaluasi ulang tumor primer untuk mengontrol tumor secara lokal, paliatif treatment. Pada pembedahan dengan margin positif yang memberikan respons buruk 49 terhadap kemoterapi maka pertimbangkan mengganti kemoterapi dan juga terapi tambahan secara lokal (surgical resection) dan atau radioterapi. Pada pasien yang menolak dilakukan tindakan pembedahan amputasi. pemberian kemoterapi dan radioterapi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi utama. Osteosarkoma salah satu dari solid tumor dimana adjuvant kemoterapi terbukti bermanfaat. Pemilihan protokol dianjurkan cisplatin-doxorubicyn sebagai first line Kemoterapi neoadjuvant diberikan 2-3 siklus, setelahnya dilakukan evaluasi pre-operasi (penilaian respon histopatologi berdasarkan kriteria HUVOS). Bila menurut HUVOS kurang respon, maka diberikan kemoterapi second line. Bila adjuvant 6 siklus. Pada kemoterapi palliative, tergantung respons penyakit. Prinsipnya kualitas hidup diperbaiki dan survival dapat diperpanjang. Radiasi eksterna dipertimbangkan pada kasus batas sayatan positif pasca operasi, reseksi subtotal, dan kasus yang tidak dapat diperasi. Radiasi juga dapat diberikan sebagai terapi paliatif pada kasus metastasis, misalnya nyeri hebat atau perdarahan. Follow up pasien dilakukan tiap 2 bulan pada tahun pertama dan kedua terapi, tiap 3 bulan pada tahun ke 3, tiap 6 bulan pada tahun ke 4 dan 5, dan follow up pada tahun berikutnya dilakukan setahun sekali. Jika terjadi rekurensi maka dilakukan kemoterapi, LSS atau amputasi, radioterapi paliatif ( radium–223, Samarium-1 , 153Sm-EDTMP) dan terapi suportif. Pada kanker osteosarkoma, penyakit dan penanganannya dapat menimbulkan gangguan fungsi pada manusia sebagai makhluk hidup seperti gangguan fisiologis, psikologis ataupun perilaku yang berpotensi mengakibatkan 50 terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas (disabilitas) dan partisipasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Layanan rehabilitasi medik pada pasien osteosarkoma bertujuan untuk pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan efektif, sesuai kemampuan fungsional yang ada. Pendekatan layanan tersebut dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker yaitu bersifat prefentif, restorasi, suportif atau paliatif. Pasien osteosarkoma harus menjalani terapi pembedahan, kemoterapi dan radioterapi, yang dapat meningkatkan meningkatkan stress metabolisme dan risiko malnutrisi, sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Tatalaksana nutrisi dimulai dari skrining, diagnosis, serta tatalaksana, baik umum maupun khusus, sesuai dengan kondisi dan terapi yang dijalani pasien. Pasien yang menjadi penyintas masih memerlukan tatalaksana nutrisi, yang meliputi edukasi dan terapi gizi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 51 DAFTAR PUSTAKA 1. Ando K, Heymann M, Stresing V, Mori K, Redini F, Heymann D. Current therapeutic strategies and novel approaches in osteosarcoma. Cancers. 2013;5:591-616 2. Salter R. Neoplasm of musculoskeletal tissues. In: Textbook of disorder and injuries of musculoskeletal system. 3 rd ed. Philadelphia: Lippincott-Williams-Wilkins. 1999; p. 400-3. 3. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S dkk. Conventional osteosarcoma. In: World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st ed. Lyon: IARC Press. 2002; p. 264-85. 4. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:3205 5. Messerschmitt PJ, Garcia RM, Karim FW, Greenfield EM, Getty PJ. Osteosarcoma. J Am Acad Orthop Surg. 2009;17:515-27 6. Kamal AF, Ismail, Mi’raj F, Hutagalung EU. Outcomes of stage IIB osteosarcoma treated by LSS surgery using extracorporeally irradiated (ECI) autograft. Med J Indones. 2011;20:131-7 7. Bacci G, Ferrari S, Ari S. Osteosarcoma of the limb, amputation or LSS in patients treated by neoadjuvant chemotherapy, J Bone Joint Surg. 2002;84B:88-92 8. Ward WG, Mikaelian K, Mirra JM. Pulmonary metastases of stage IIB extremity osteosarcoma and subsequant pulmonary metastases. J Clin Oncol. 2004;12:1894-58 9. DiCaprio MR, Friedlander GE. Malignant bone tumors: limb sparing versus amputation. J am Acad Orthop Surg. 2003;11:25-37 10. Meyers P, Gorlick R. General principles of chemotherapy. In : Menendez LR ed. Orthopaedic knowledge update : musculoskeletal tumors. 1st ed, AAOS. 2001:49-58 52 11. Hutagalung EU, Gumay S, Budiatmoka B. Neoplasma tulang: diagnosis dan terapi. PT Galaxy Puspa Mega. 2005;p. 69-73 12. Unni KK. Osteosarcoma. In: Dahlin’s bone tumors, 5 th ed. Philadelphia: Lippicott-Raven Publishers. 1996; p. 122-43 13. Leung KS, Fung KP, Sher AHL. Plasma bone-specific alkaline phosphatase as an indicator of osteoblastic activity. J Bone Joint Surg. 1993;75:288-92 14. Mirabello L, Troisi RJ, Savage SA. International osteosarcoma incidence patterns in children and adolescent, middle ages, and eldery persons. Int J Cancer 2009;125(1):229-234. 15. Huvos AG. Bone Tumors : Diagnosis, Treatment, and Prognosis. 2nd edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1991 16. National Comprehensive Cancer Network. Bone Cancer. NCCN Guidelines Version 1.2015. Available at: http://www.nccn.org/ professionals/physician_gls/pdf/bone.pdf 17. http://www.cancer.org/cancer/osteosarcoma 18. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002616 19. ESMO guidelines working group. Clinical practice guidelines. Management of cancer pain: ESMO clinical practice guidelines. Annals of oncology 23 (supplement 7): vii 139 – vii154,2012 20. Tulaar ABM, Wahyuni L.K, Nuhonni S.A., et al. Pedoman Pelayanan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada Disabilitas. Jakarta: Perdosri; 2015. p.13-7; 339-79. 21. Wahyuni LK, Tulaar ABM. Pedoman Standar Pengelolaan Disabilitas Berdasarkan Kewenangan Pemberi Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Perdosri; 2014. 22. Nuhonni, S.A, Indriani, et.al. Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran 53 Fisik dan Rehabilitasi: Disabilitas Pada Kanker. Jakarta: Perdosri; 2014. P. 109-16 23. Vargo MM, Riuta JC, Franklin DJ. Rehabilitation for patients with cancer diagnosis. In: Frontera W, DeLisa JA, Gans BM, Walsh NE, Robinson LR, et al, editors. Delisa’s Physical Medicine and Rehabilitation, Principal & Practice. 5th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 1172 24. Malawen MM, Helman LJ, O’sullivan B. Sarcomas of bone. In: DeVita VT, Lawrence TS, Rosenberg SA. Devita, Hellman, and Rosenberg’s Cancer Principles&Practice of Oncology. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2011. p. 1578-609. 25. Vargo MM, Smith RG, Stubblefield MD. Rehabilitation of the cancer patient. In: DeVita, Hellman, and Rosenberg’s Cancer : principles & practice of oncology. 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p. 2876-8. 26. Christian M. Best practice for the management of lymphoedema. International Consensus. London: MEP Ltd; 2006. p.3. 27. Scottish Intercollegiate Guideline Network. Control of pain in adult with cancer. A National Clinical Guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guideline Network;2008. p. 14 28. The British Pain Society. Cancer pain management. London : The British Pain Society; 2010. p7-8. 29. Silver JK. Nonpharmacologic pain management in the patient with cancer. In: Stubblefield DM, O’dell MW. Cancer Rehabilitation, Principles and Practice. New York: Demos Medical Publishing; 2009. p. 479-83. 30. Yasko AW, Reece GP, Gillis AT, Pollock RE. Limb-salvage strategies to optimize quality of life: the M.D. Anderson Cancer Center 54 Experience. CA Cancer J Clin. 1997;47(4):226-38. 31. National Cancer Institute. Lymphedema. 2014 March 18. [cited 2014 July 11]. Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/supportivecare/lymphedema/h ealthprofessional/page2. 32. Lymphoedema Framework. Best practice for the management of lymphoedema. International consensus. London: Medical Education Partnership; 2006. p. 23. 33. Cancer Research UK. Statistics and outlook for bone cancer. 30 May 2013. [cited 2014 Sept 26]. Available from: http://www.cancerresearchuk.org/about-cancer/type/bonecancer/treatment/statistics-and-outlook-for-bone-cancer 34. August DA, Huhmann MB, American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) Board of Directors. ASPEN clinical guidelines: Nutrition support therapy during adult anticancer treatment and in hematopoietic cell transplantation. J Parent Ent Nutr 2009; 33(5): 472-500. 35. Arends J. ESPEN Guidelines: nutrition support in Cancer. 36 th ESPEN Congress 2014 36. Caderholm T, Bosaeus I, Barrazoni R, Bauer J, Van Gossum A, Slek S, et al. Diagnostic criteria for malnutrition-An ESPEN consensus statement. Clin Nutr 2015;34:335-40 37. Evan WJ, Morley JE, Argiles J, Bales C, Baracos V, et al. Cachexia: A new definition. Clin Nutr 2008;27:793-799. 38. Laviano A, Meguid MM, Inui A, Muscaritoli M, Rossi-Fanelli F. Therapy Insight: cancer anorexia-cachexia syndrome. When all you can eat is yourself. Nature Clinical Practice Oncology 2005;2: 158–65 39. National Comprehensive Cancer Network Guidelines. Version 1.2016. 55 Palliative Care. 2015. 40. Nutrition for the person with cancer during treatment: a guide for patients and families. American Cancer Society. Diunduh darihttp://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/0029 03-pdf.pdf. 41. Clinical Practice Guideline in Oncology (NCCN Guideline). National Comprehensive Cancer Network Version 1.2016. Palliative Care. 42. Trentham K. Palliative Care. Dalam: Marian M, Roberts S, editor. Clinical Nutrition for Oncology Patients. 2010. Miami: Jones and Bartlett Publishers. Hal. 351–78. 43. Fearon K, Strasser F, Anker S, et al. Definition and classification of cancer cachexia: an international consensus. Lancet Oncol 2011;12:489-95 44. Arends J, Bodoky G, Bozzetti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G, et al. ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition : Non Surgical Oncology.Clin Nutr 2006;25:245–59. 45. Cohen DA, Sucher KP. Neoplastic disease. In: Nelms M, Sucher KP, Lacey K, Roth SL, eds. Nutrition therapy and patophysiology. 12 ed. Belmont: Wadsworth; 2011:702-74. 46. Grant BL, Hamilton KK. Medical nutrition therapy for cancer prevention, treatment, and recovery. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL, eds. Krause’s food & nutrition therapy. 13 ed. Missouri: Saunders Elsevier; 2013:832-56 47. Cangiano C, Laviano A, Meguid MM, Mulieri M, Conversano L, Preziosa I, et al. Effects of administration of oral branched-chain amino acids on anorexia and caloric intake in cancer patients. J Natl Cancer Inst.1996;88:550-2. 48. T. Le Bricon. Effects of administration of oral branched-chain amino 56 acids on anorexia and caloric intake in cancer patients. Clin Nutr Edinb Scotl1996;15:337. 49. Ravasco P, Monteiro-Grillo I, Camilo M. Individualized nutrition intervention is of major benefit of colorectal cancer patients: long-term follow-up of randomized controlled trial of nutritional therapy. Am J Clin Nutr 2012;96: 1346–53. 50. Gustafsson OU, Scott MJ, Schwenk W, Demartines N, Roulin D, Francis N, et al. Guidelines for perioperative in elective colon surgery: Enhance recovery after surgery (ERAS) society recommendation. Clin Nutr 2012;31: 783–800. 51. Ruiz GV, Lopez-Briz E, Corbonell Sanchis R, Gonzavez Parales JL, Bort-Marti S. Megesterol acetate for treatment of cancer-cachexia syndrome (review). The Cochrane Library 2013, issue 3 52. Arends J. Nutritional Support in Cancer: Pharmacologic Therapy. ESPEN Long Life Learning Programme. Available from: lllnutrition.com/mod_lll/TOPIC26/m 264.pdf 53. Tazi E, Errihani H. Treatment of cachexia in oncology. Indian J Palliant Care 2010;16:129-37 54. Argiles JM, Olivan M, Busquets S, Lopez-Soriano FJ. Optimal management of cancer anorexia-cachexia syndrome. Cancer Manag Res 2010;2:27-38 55. Radbruch L, Elsner F, Trottenberg P, Strasser F, Baracos V, Fearon K. Clinical practice guideline on cancer cachexia in advanced cancer patients with a focus on refractory cachexia. Aachen: Departement of Palliative Medicinen/European Paliative Care Research Collaborative: 201 57 LAMPIRAN 1. Prinsip Kemoterapi Prinsip Kemoterapi (1) Adapun regimen kemoterapi yang dapat diberikan adalah : • Doxorubicin dan Cisplatin (AP) • Metotreksat dosis tinggi, Cisplatin dan Doxorubicin (MAP) • Doxorubicin, Cisplatin, Ifosfamid+Mesna, Metotreksat dosis tinggi • Ifosfamid+Mesna, Cisplatin, Epirubicin • Etoposide, Ifosfamid dosis tinggi+Mesna • Doxorubicin, Ifosfamid+Mesna, Dacarbazin Obat-obatan Simptomatik Keluhan yang biasa timbul saat sedang dikemoterapi terutama adalah akibat reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. • Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung tanda septik dan adstringent, (diberikan 3 – 4 sehari). • Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik. 58 Prinsip Kemoterapi (2) Nama regimen DOXORUBICIN DAN CISPLATIN Osteosarkoma baru terdiagnosis, resectable Tujuan kuratif, neoajuvan, adjuvant, metastasis Jenis kanker Regimen Kemoterapi Protokol ini biasanya digunakan sebagai terapi neoajuvan. Biasanya diberikan 3 siklus sebelum pembedahan dan dilanjutkan 3 siklus lagi setelah pembedahan. Doxorubicin diberikan intravena secara kontinyu selama 72 jam (hari 1-3), sedangkan cisplatin diberikan hanya pada hari pertama. Siklus diulang setiap 21 hari. Penggunaan Rasional Terapi ini terutama diberikan sebagai kemoterapi neoadjuvan yang bertujuan untuk mengecilkan ukuran tumor primer dan membunuh sel kanker yang menyebar ke seluruh tubuh. B. Efek samping Efek samping yang paling sering terjadi Myelosupresi dan risiko neutropenia dan sepsis Mual dan muntah Mukositis Alopecia Amenorhea Kardiotoksik Neuropati perifer Nefrotoksik Ototoksik Diare 59 C. Hal-hal yang harus diperhatikan Pastikan pre dan post-hidrasi dan diuresis manitol sebagai elemen yang esensial sebelum penggunaan regimen ini. Pastikan fungsi 9 9 . ginjal yang adekuat dan tunda penggunaan regimen ini bila neutrofil kurang dari 1,5 x 10 /L atau platelet kurang dari 100 x 10 /L. Regimen ini memiliki potensi muntah yang tinggi pasca kemoterapi. Pastikan penghitungan status performa dan penentuan staging sebelum menggunakan regimen. Periksa darah lengkap, fungsi ginjal dan hepar, LDH, EKG serta elektrolit sebelum memulai terapi regimen ini. 60 Prinsip Kemoterapi (3) Nama regimen Jenis kanker METOTREKSTAT DOSIS TINGGI, CISPLATIN, DAN DOXORUBICIN Osteosarkoma high grade Tujuan kuratif, neoajuvan, adjuvant, metastasis Regimen Kemoterapi Regimen kemoterapi dengan menggunakan dosis tinggi metotreksat hari 1 diikuti dengan cisplatin pada hari ke 7-9 dan doxorubicin hari-9. Siklus ini dulang dalam 4 minggu. Penggunaan Rasional Regimen ini dapat digunakan sebagai lini pertama untuk osteosarkoma primer, adjuvan, neo adjuvan maupun metastasis B. Efek samping Efek samping yang paling sering terjadi Mual muntah Nefrotoksik Neurotoksik dan ototoksik Myelosupresi dan infeksi Stomatitis Fatigue Kardiotoksik Transaminitis C. Hal-hal yang harus diperhatikan Hidrasi yang cukup dengan pemberian natrium bikarbonat untuk tujuan alkalinisasi urine pada pemberian metotreksat Selama siklus terapi periksa fungsi ginjal setiap hari. Setelah pemberian methotrexate sistemik dosis tinggi periksa kadar methotrexate setiap hari. Sebelum setiap siklus periksa darah lengkap, serum BUN dan Kreatinin, AST dan ALT, serta serum elektrolit 61 D. Catatan Meskipun regimen ini relatif aman digunakan, efek samping yang berat tetap mungkin terjadi terutama pada penderita dengan status performa yang kurang baik (ECOG 2). Penderita dengan status performa kurang baik atau penderita yang status performanya menurun selama pengobatan, sebaiknya disarankan rawat inap agar dapat dilakukan monitor ketat untuk mencegah timbulnya efek samping yang berat. Selama terapi sangat penting untuk mengedukasi penderita agar mempertahankan asupan makanan dan cairan cukup untuk mengurangi risiko terjadinya mukositis yang berat. Pemasangan selang nasogastrik sejak awal perlu dipertimbangkan untuk mempertahankan asupan makanan dan minuman. 62 Prinsip Kemoterapi (4) Nama regimen Jenis kanker IFOSFAMID-MESNA, CISPLATIN, EPIRUBICIN Osteosarkoma high grade Tujuan kuratif, neoajuvan, adjuvan, metastasis Regimen Kemoterapi Regimen ini dipilih dengan tujuan mendapatkan kombinasi kemoterapi terbaik untuk osteosarkoma namun dengan efek samping yang minimal terutama dari golongan antrasiklin, yaitu epirubicin. Penggunaan Rasional Regimen ini dapat digunakan sebagai lini pertama untuk osteosarkoma non metastasis B. Efek samping Efek samping yang paling sering terjadi Mual muntah Nefrotoksik Neurotoksik Myelosupresi dan infeksi Fatigue Kardiotoksik Transaminitis Sistitis hemoragik C. Hal-hal yang harus diperhatikan Pemberian mesna bersamaan dengan ifosfamid dapat diberikan dalam satu kontainer yang sama ataupun terpisah. Filgrastim disarankan untuk mencegah terjadinya neutropenia yang berat. 63 Prinsip Kemoterapi (5) Nama regimen Jenis kanker ETOPOSID+IFOSFAMID DOSIS TINGGI +MESNA Osteosarkoma rekuren/metastasis Tujuan paliatif Regimen Kemoterapi Protokol ini merupakan regimen lini kedua, terutama diberikan pasien yang sebelumnya menerima metotreksat dosis tinggi, cisplatin, dan doxorubicin sebagai bagian dari terapi awal. Penggunaan Rasional Osteosarkoma relaps/ refrakter atau metastasis B. Efek samping Efek samping yang paling sering terjadi Myelosupresi Mual dan muntah Demam, reaksi hipersensitivitas Retensi cairan Efek pada kulit; ruam Stomatitis Sistitis hemorargik Nefrotoksik Sindroma fanconi C. Hal-hal yang harus diperhatikan Penanganan Suportif setelah induksi adalah dengan pemberian Filgrastim 5mcg/kg per hari subkutan, dimulai dari hari ke 6 dan dilanjutkan sampai pemulihan. Regimen ini memiliki potensi muntah moderat tinggi (skor = 4) pada hari ke 1-5 pasca kemoterapi. 64 Prinsip Kemoterapi (6) Nama regimen Jenis kanker DOXORUBICIN + IFOSFAMID + MESNA + DACARBAZINE Osteosarkoma high grade, resectable Tujuan kuratif, ajuvan Regimen Kemoterapi Protokol ini biasanya digunakan sebagai terapi adjuvan. Biasanya diberikan 6 siklus setelah pembedahan. Doxorubicin dan dacarbazine diberikan intravena secara kontinyu selama 96 jam (hari 1-4), sedangkan ifosfamide diberikan dengan intravena secara kontinyu selama 72 jam (hari1-3) dicampur bersama mesna. Pemberian mesna dilanjutkan 24 jam pasca ifosfamid (hari 1-4). Siklus diulang selama 21 hari. Penggunaan Rasional Terapi ini merupakan kemoterapi adjuvant yang bertujuan untuk membasmi sel tumor metastatic subklinik, menghambat atau menunda mtastase paru dan mengontrol pertumbuhan tumor primer. Operasi di kombinasi dengan kemoterapi membuat survival 5 tahun osteosarkoma meningkat dari 20% menjadi 50% lebih. B. Efek samping Regimen Ifosfamide memiliki efek hematuri lebih besar namun dengan perlindungan mesna diharapkan efek samping tersebut dapat dikurangi Efek samping yang paling sering terjadi Myelosupresi dan risiko neutropenia dan sepsis Mual dan muntah Mukositis Alopecia Kardiotoksik Neuropati perifer Nefrotoksik 65 Encephalopathy Diare C. Hal-hal yang harus diperhatikan Penanganan Suportif setelah induksi adalah dengan pemberian Filgrastim 5mcg/kg per hari subkutan, dimulai dari hari ke 4 dan dilanjutkan sampai pemulihan. Regimen ini memiliki potensi muntah moderat tinggi pada hari ke 1-5 pasca kemoterap. Pastikan 9 fungsi ginjal yang adekuat dan tunda penggunaan regimen ini bila neutrofil kurang dari 1,5 x 10 /L atau platelet kurang dari 100 x 9 10 /L. Pastikan penghitungan status performa dan penentuan staging sebelum menggunakan regimen. Periksa darah lengkap, fungsi ginjal dan hepar, LDH, EKG serta elektrolit sebelum memulai terapi regimen ini. 66