(Studi Kasus di Desa Ungasan Kecamatan Kuta

advertisement
MARGINALISASI MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA
(Studi Kasus di Desa Ungasan Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung)
Muhammad Ali Azhar
Staf Pengajar FISIP Universitas Udayana
ABSTRACT
The aim of this research is to investigate the impact of the facility development tourism
service at Ungasan Village of sub-district South Kuta of Badung Regency, Bali Province.
This research uses quantiative-description method by structural interviewing as the
primary data. The choice of the method is to ensure the validity and accuracy of data to
investage and to understand the problem. The finding of this research is that
development of the tourism service facility at Ungasan Village is very paradoxical. On one
side brings the prosperity of the society, but on the other side results the margialization
of the society toward their ownership of the land right. The impact of the policy at this
village is difficult prevent to the rise of new local powers, and the society do not have
power defends the ownership of their land right.
Key words : Business, power relation, Tourism, and Marginalization
PENDAHULUAN.
Sejak dibukanya kran Bali sebagai
daerah tujuan (destinasi) pariwisata,
banyak perubahan-perubahan besar yang
terjadi di pulau mungil ini. Kebijakan
yang dibuka sejak pemerintahan Orde
baru ini, telah berhasil mengubah wajah
pulau ini menjadi lebih menarik dan
memiliki daya tarik buat wisatawan baik
yang berasal dari dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri (manca negara).
Sejarah perkembangan pariwisata Bali
diawali dengan ketertarikan masyarakat
internasional terhadap budaya Bali,
merupakan sejarah yang panjang dan
mengalami pasang surut dengan berbagai
kendala dengan permasalahannya.
Selanjutnya konsep pengembangan
pariwisata pulau Bali ini mulai dilakukan
secara
terencana
dengan
bantuan
konsorsium internasional yang disebut
SCETO. Dengan bantuan organisasi
tersebut
disusunlah
master
plan
pembangunan pariwisata Bali pada tahun
1971 yang menetapkan tiga kawasan
wisata yaitu, Kuta, Sanur dan Nusa Dua.
SCETO merekomendasikan bahwa Bali ke
depan memerlukan Tourist Resort yang
terpisah dari masyarakat, tanah yang
produktif dan memiliki aksesibilitas.
Untuk saat itu daerah yang paling cocok
dikembangkang dan memenuhi kriteria
yang diajukan SCETO pada waktu itu
adalah Nusa Dua dan daerah sekitarnya(
Baiquni, 2010).
Tahun 1980-an merupakan masa
kejayaan/keemasan/booming pariwisata
Bali. Sejumlah sarana dan prasarana yang
tersedia sangat seimbang dengan jumlah
wisatawan yang datang ke Bali (supply
and Demand) sangat berimbang. Sehingga
tingkat hunian hotel saat itu sangat
tinggi. Hasil pariwisata juga banyak
dinikmati oleh banyak pihak. Pada masamasa ini prinsip-prinsip keseimbangan dan
keharmonisan sudah diterapkan dalam
pembangunan pariwisata di Bali. Tidak
mengherankan apabila di Bali dewasa ini
pariwisata telah menjadi semacam
“ideologi” baru bagi manusia Bali. Artinya
pariwisata adalah bagian integral dari
kebudayaan Bali. Anggapan ini seperti
yang dijelaskan pengalaman seorang
penelitian Philip Frick Mc. Kean (1973)
yang menangkap hal ini sebagai suatu
partial equivalent structure (struktur
kesepadanan parsial). Artinya adalah,
pada peristiwa pariwisata di Bali,
masyarakat Bali memberikan layanan
wisata (baca: kesenian, panorama alam
166
167 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
Bali) sembari pada saat yang sama, si
wisatawan
memberikan
kepuasan
ekonomi (baca;uang) kepada tuan rumah.
Kelebihan seperti ini, disadari penuh oleh
pemerintah
daerah
beserta
stakeholdernya
untuk
memusatkan
perhatian
terhadap
pembangunan
pariwisata sebagaimana kita menyaksikan
Bali dewasa ini sebagai tujuan pariwisata
berkelas dunia.
Pada tahuan 1988 Gubernur Bali
pada waktu itu Ida Bagus Oka (Mr Oke)
mengeluarkan
kebijakan
untuk
menambahkan 15 lokasi pengembangan
izin pariwisata. Perkembangan sektor
pariwisata semakin marak ditunjang
dengan kencangnya arus deregulasi sektor
perbankan memfasilitasi peningkatan
tajam investasi swasta ke 15 lokasi
pengembangan
tersebut
(Nordholt,
2010:7). Salah satu kawasan wisata yang
mendukung industri pariwisata Bali pada
waktu itu adalah kawasan Bali Selatan
yang terkenal dengan kawasan Pantai
Nusa Duanya (Madiun, 2010). Kawasan ini
yang menyediakan lokasi yang relatif
banyak dikembangkan karena keindahan
pantai Nusa Dua sangat sulit dilukiskan
dengan kata-kata. Secara administratif
kawasan Pantai Nusa dan sekitarnya
masuk wilayah Kabupaten Badung yang
sampai saat ini dikenal sebagai kabupaten
yang
mempunyai
sumber-sumber
pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi
pertama di Provinsi Bali dan Kedua secara
nasional (BPS, 2012). Kebanyakan sumbersumber tersebut berasal dari sektor
pariwisata.
Sebagai kawasan yang sebagian
besarnya terletak di Bali bagian Selatan,
Kabupaten ini sangat menarik bagi para
wisatawan
karena
ditunjang
oleh
keindahan panorama pantainya yang
potensial untuk dikembangkan sebagai
industri pariwisata. Menyadari potensi ini
pemerintah
khususnya
pemerintah
Kabupaten Badung kemudian meneruskan
kebijakan pemerintah Provinsi Bali untuk
mengembangkan
kebijakan
sektor
pariwisata dengan memberikan berbagai
kemudahan
dan
fasilitas
untuk
mendukung primadona sang penghasil PAD
tersebut.
Maka
dimulailah
proses
pembangunan tersebut salah satunya
ADMINISTRATIO
dengan mengundang para pemilik modal
(investor).
Sukses pembangunan pariwisata
memang tidak terbantahkan. Namun,
dibalik kesuksesan tersebut, ternyata
menyisakan sisi gelap pembangunan yakni
keterpinggiran
masyarakat
dari
kepemilikan hak atas tanah yang telah
diwariskan secara turun temurun dari
leluhur mereka. Beberapa desa di
kabupaten tersebut masyarakatnya seolah
menjadi penonton di daerahnya sendiri
akibat
ketidak
berdayaan
mereka
melawan arus perubahan kepemilikan hak
atas tanah mereka yang secara diam-diam
telah dicaplok oleh korporasi/pemodal
besar yang selama ini dikembangkan
sebagai penyediaan usaha jasa di bidang
pariwisata, seperti; hotel, vila, restoran
dan lain-lain.
Salah satu dari sekian banyak desa
yang menghadapi persoalan tersebut,
seperti yang terjadi di Desa Ungasan.
Masyarakat di desa ini tidak berdaya
menghadapi perluasan kepemilikan hak
tanah yang dimiliki oleh kelas-kelas
korporasi yang berada di desanya. Sebagai
desa yang masuk salah satu kawasan Bali
Selatan yang dekat dengan Nusa Dua yang
kini dikenal sebagai pusat pengembangan
pariwisata modern di Bali, Desa ini sulit
menghindari
dampak
dari
desakan
kebijakan
pemerintah
dalam
pengembangan
industri
pariwisata.
Dampak dari kebijakan ini adalah
maraknya
pembangunan
fasilitas
penunjang pariwisata untuk memenuhi
keinginan
para
investor
sehingga
masyarakat merasa kehilangan hak atas
kepemilikan tanah mereka (Adhika,
2012:152-153). Dapat dikatakan bahwa
semua lahan strategis yang dekat dengan
kawasan
pengembangan
industri
pariwisata ini terkena dampak dari
kebijakan ini. Dengan mengambil latar
belakang kawasan Bali Selatan khususnya
Desa Ungasan kecamatan Kuta Selatan
Kabupaten Badung sebagai daerah tujuan
pariwisata sampai kemudian menimbulkan
korban-korban rezim pariwisata dengan
gemerincing
dollarnya,
tulisan
ini
merumuskan
permasalahan
sebagai
berikut; Bagaimana terjadinya proses
marginalisasi masyarakat Desa Ungasan
ISSN : 2087-0825
M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 168
terhadap kepemilikan hak atas tanah
mereka kepada investor?
GAMBARAN UMUM DESA UNGASAN
Kondisi lahan di desa Ungasan
berbukit-bukit, umumnya terbentuk batu
kapur/karang dengan sedikit lapisan
humus dibagian atasnya. Kondisi ini
menjadikan lahan kurang produktif,
humus terbatas, dan sumber air terbatas
menyebabkan kondisi lahan relatif rendah
dibandingkan dengan humus yang lebih
tebal dari daerah lain. Akan tetapi pesona
topografi yang berbukit-bukit tersebut
memiliki daya pesona bagi para investor
memasuki
wilayah
tersebut
untuk
mendirikan tourism resort, seperti
pembangunan vila-vila dan hotel-hotel
yang bertaraf internasional.
Desa Ungasan merupakan daerah
yang terletak + 4 Km. dari Ibu Kota
Kecamatan Kuta Selatan dapat ditempuh
dalam waktu 15 menit dengan kendaraan
umum, 34 Km. Dari Ibu Kota Kabupaten
dan 24 Km dari Ibu Kota Propinsi. Desa ini
dikelilingi oleh desa-desa lain yang
berada di Kecamatan Kuta Selatan
Kabupaten Badung. Adapun batas-batas
desa Ungasan: (1) Sebelah Utara
berbatasan dengan Kelurahan Jimbaran;
(2) Sebelah Timur berbatasan dengan
Desa Kutuh; (3) Sebelah Selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia;
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan
Desa Pecatu.
Sampai dengan 31 Desember 2011
jumlah penduduk Desa Ungasan sebanyak
11175 jiwa dengan 2424 Kepala keluarga
(KK). Sampai dengan 31 Desember 2012
jumlah penduduk Desa Ungasan sebanyak
11445 jiwa dengan 2.468 Kepala keluarga
(KK). Penduduk Desa Ungasan kurang
lebih 50 % adalah warga pendatang yang
berasal
dari
luar
Desa
Ungasan.
Kebanyakan dari mereka adalah buruh,
petani, dan pekerja diberbagai bidang
jasa-jasa pariwisata1.
MARGINALISASI MASYARAKAT
Tulisan ini mengasumsikan bahwa
terjadinya proses marginalisasi warga
desa Ungasan terhadap kepemilikan hak
1
Wawancara dengan I Nyoman Suarjana, Nusa dua
5 Juli 2013
ADMINISTRATIO
atas tanah mereka dikarenakan adanya
kebijakan pemerintah yang paradoksal.
Disatu sisi pariwisata dengan segala
dinamikanya akan diproyeksikan untuk
meningkatkan
kemakmuran
bagi
masyarakatnya, akan tetapi di sisi lain
munculnya kebijakan itu menimbulkan
keterpinggiran masyarakat dalam hal
kepemilikan hak atas tanahnya tidak bisa
dihindarkan. Hal tersebut, karenakan
kebijakan ini tunggangi oleh pola relasi
bisnis dan kuasa demi peningkatan
sumber asli pendapatan daerah (PAD).
Pemerintah
mengandalkan
kekuatan
korporasi untuk untuk menggerakan
industri pariwisata. Kerjasama keduanya
menimbulkan
ketidakberdaayan
masyarakat terhadap kepemilikan lahan
mereka. Selain itu terdapat pula bentuk
pemarginalisasi lain yang tidak dapat
dihindarkan seperti adanya calo-calo
penjual tanah. Adanya calo-calo ini
merupakan perantara juga sekaligus alat
kedua aktor; bisnis dan kuasa ini, untuk
melakukan
pengaruhnya
ditengah
masyarakat.
Berdasarkan pengamatan yang terus
terjadi, yang kini tengah menimpa
kehidupan masyarakat, untuk menjawab
rumusan masalah tersebut diatas, secara
garis besarnya penulis memakai konsep
duo relasi; bisnis dan kuasa yang berjalan
dalam kerangka sistem pemerintahan
otonomi daerah. Dari perselingkuhan ini
menghasilkan politik budaya penguasa
yang didalamnya dapat dijelaskan dengan
teori
diskursus
teori
hegemoni
sebagaimana akan dielaborasi berikut ini:
1. Relasi Bisnis dan Kuasa
Perubahan lanskap sistem politik
dan ekonomi Indonesia saat ini oleh
sebagian besar pengamat dinilai sudah
sarat dengan berbagai implikasi negatif.
Implikasi tersebut sudah sampai pada
dinamika sistem politik dan ekonomi
diaras lokal. Perubahan ini merupakan
akibat
bekerjanya
sistem
politik
desentralisasi yang sampai saat ini dinilai
gagal
mengubah
arah
kehidupan
masyarakat yang lebih baik. Suatu
prediksi yang sebelumnya sama sekali
ISSN : 2087-0825
169 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
tidak dibayangkan oleh para tokoh
gerakan pejuang reformasi yang muncul
setelah orde baru diruntuhkan.
Salah satu dari kegagalan politik
desentralisasi ini bertumbuhkembangnya
relasi bisnis kapital antara pengusaha dan
negara yang kini sulit dihindarkan. Gurita
menjamurnya relasi ini pun menjamur
pula sampai ke tingkat bawah (baca;
daerah) yang kini semakin banyak
dijumpai dalam dinamika politik lokal di
tingkat daerah. Banyak elit politik yang
membarterkan kewenangan yang mereka
miliki dengan suntikan dana dari
kekuasaan
kapital
tertentu
yang
mempunyai
kepentingan
ekonomi.
Semakin mahal dan tidak transparannya
suatu sistem politik, semakin besar aktor
politik itu bergantung kepada oligarki
kapital.
Memang relasi diantara keduanya
tidak dapat dihindari, diantara keduanya
telah terjalin persekutuan yang sudah
cukup lama dalam jagad politik dimana
pun, termasuk di Indonesia. Dalam kajian
historisnya
hubungan
keduanya
sebagaimana pernah dilakukan oleh
Barington Moore (1996) dalam kajiannya
tentang
akar
demokrasi
dan
kedikatatoran.
Simpulan kajian ini
menurut Moore bahwa “no bourgeoisie no
democracy”. Maksudnya, demokrasi akan
tumbuh dan berkembang jika kelas
borjuis menjadi kuat dan aktif dalam
proses demokratisasi. Lebih jauh Gordon
Tullock dalam "Theory of Economic Rentseeking" menjelaskan, bahwa relasi
keduanya memang telah terjadi sejak
lama,
sebagaimana
terlihat
dalam
fenomena perilaku pegusaha untuk
mendapatkan lisensi khusus, monopoli
dan fasilitas lainnya dari pihak yang
berwenang, yang mempunyai kekuasaan
atas bidang tersebut. Sedangkan di
Indonesia,
terhitung
sejak Richard
Robison (1978), menerbitkan bukunya
Indonesia: The Rise Of Capital di
Indonesia mulai muncul fenomena ini
sebagai suatu analisa penting dalam
membedah sistem politik dan ekonomi
Indonesia selama orde baru. Substansi
pokok dari buku ini adalah penampilan
antara kelompok politik berkuasa dengan
kelompok usaha. Mereka berkembang
ADMINISTRATIO
mengikuti kerangka analisis kembar siam
politico-business; fusi yang terjadi antara
kelompok usaha dan politik akibat
perubahan sistem politik.
Dampaknya negara telah kehilangan
“hak otonominya” terhadap kelompokkelompok usaha (Prisma, 2013). Hilangnya
otonomi
negara
ini
mengundang
keresahan Joel S Hellman(2002) yang
dikemukakan lewat konsepnya state
cupture yang ditemukan melalui riset
mereka di Rusia (sebelumnya Uni Soviet).
Premis
utama konsep
ini adalah
ketimpangan pola relasi diantara negara
dan kapital atau antar elit berkuasa dan
kelompok usaha dikarenakan dengan
kekuatan kapital yang dimiliki, pengusaha
“menyandera”
proses
pembuatan
kebijakan yang dilakukan penguasa.
Berdasarkan konsepsi itu, entitas politik
yang tersandera, baik eksekutif maupun
legislatif bekerja demi kepentingan
modal. Sejalan dengan pemikiran Robison
dan Hellman, David Kang menegaskan
bahwa
mustahil
sebuah
bisnis
berkembang tanpa memiliki hubungan
dekat dengan penguasa. Alhasil karya
besar ini ternyata relevansinya masih
berlaku sampai sekarang.
Seiring
dengan
berlakukannya
otonomi daerah, sampai saat ini di daerah
sangat sulit menghindari munculnya
berbagai macam bentuk kerangka kerja
analis duo-kembar siam ini. Mereka
bekerja dalam kedap suara yang sempit
yang tidak banyak diketahui oleh
masyarakat luas, mengatur sekian banyak
sektor
yang
menjadi
ajang
persengkokolan
diantara
keduanya
sehingga keuntungan yang diperole h dari
perselingkuhan diantara kedua aktor ini
semakin berlipat.
Sukses pembangunan pariwisata di
Kabupaten Badung tidak lepas dari
analisis seperti ini, sehingga melahirkan
politik budaya, yakni adanya gerakan
kepada masyarakat yang tidak memiliki
kekuatan apapun selain kepasrahan ketika
penguasa
melakukan
kebijakan
keterpinggiran terhadap diri mereka.
Suatu kebijakan dengan perencanaan
awal
yang
mengandung
keinginan
mendalam
untuk
mensejahterakan
masyarakat lokal di kawasan itu dengan
ISSN : 2087-0825
M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 170
mengundang kekuatan investor sebagai
motor penggerak ekonomi, tetapi realitas
dalam pelaksanaannya pembangunan
kawasan tersebut berjalan penuh dengan
kekuatan
penguasaan
wacana
dan
kekuatan yang menghegemonik (Madiun,
2010).
2. Politik Pariwisata Bali
Studi-studi tentang Bali (Robinson,
1995, Vikcers, 1997), memperlihatkan
Bali merupakan hasil sebuah konstruksi
sosial yang panjang, dilakukan oleh rezim
yang memerintah dan seringkali tidak
konsisten dalam menjalankan urusan
kebijakannya. Penyebab dari semua itu
adalah sifat pulau Bali yang identik
dengan potensi pengembangan industri
pariwisata dan mengundang banyak pihak
berkompetisi untuk meraup keuntungan
dari industri pariwisata.
Sebagai ikon dan figurasi pariwisata
Indonesia, Bali telah menjelma menjadi
salah satu destinasi wisata dunia yang
sangat populer. Pariwisata tidak ubahnya
bak generator penggerak pembangunan
perekonomian
masyarakat
Bali.
Sumbangsihnya
dalam
mendorong
perkembangan perekonomian masyarakat
Bali tidak terbantahkan lagi. Dari
berbagai pengamatan empiris, tidak
kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali
menggantungkan
hidupnya
pada
pariwisata, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tidak salah jika pada
akhirnya pemerintah provinsi sebagai
pemegang otoritas dan legitimasi beserta
seluruh stakeholdernya yang berinteraksi
langsung ditataran implementatif mulai
mengulirkan
konsep
pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan demi
menjaga konsistensi dan kontuinitas
peran dan kontribusinya di Bali.
Pemerintah daerah (baca : Pemprov.
Bali) telah menetapkan peraturan daerah
atau perda nomor 3 tahun 1974 tentang
pariwisata
budaya
sebagai
acuan
pembangunan
kepariwisataan
secara
komprehensif. Perda tersebut dalam
perjalannya
kemudian
diperbaharui
menjadi perda nomor 3 tahun 1991 yang
pada prinsipnya mengyatakan bahwa
kepariwisataan yang dikembangkan di
daerah Bali adalah pariwisata budaya
ADMINISTRATIO
yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan
demikian, kegiatan pariwisata diharapkan
dapat berjalan secara selaras, serasi dan
harmonis dengan kebudayaan setempat
dan berakar pada nilai-nilai luhur agama
Hindu (Widiateja, 2011). Berikut ini
sederet kebijakan yang menyangkut
konsep
pengelolaan
pariwisata
berkelanjutan di Bali: (1) Perda Tk. I Bali
nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Tk.I Bali
nomor 3 Tahun 1991 tentang pariwisata
budaya; (2) Perda prov. Bali Nomor 3
Tahun 205 tentang RTRW Provinsi Bali
yang
didalamnya
diatur
tentang
penetapan 15 kawasan pariwisata; (3)
Perda Prov. Bali nomor 4 tahun 2005
tentang pengendalian pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup; (4) Perda
Prov. Bali nomor 5 Tahun 2005 tentang
persyaratan arsitektur Bangunan Gedung;
(5) Perda Prov. Bali Nomor 7 tahun 2007
tentang Usaha Penyediaan sarana Wisata
Tirta; (6) Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun
2008 tentang Pramuwisata.
Serangkaian perda diatas, kemudian
diikuti oleh beberapa kabupaten yang
bersentuhan langsung dengan sektor
pembangunan pariwisata Bali seperti
Kabupaten Badung, Gianyar, Klungkung,
Karang Asem dan Kota Denpasar.
Kabupaten/kota tersebut
berikhtiar
untuk memenuhi kebutuhan di masa
mendatang dengan keperluan pentingnya
pembangunan sektor pariwisata sebagai
primadona. Kebijakan tersebut nampak
progresif bagi kemajuan perekonomian
Bali secara umum, berdasarkan catatan
Badan penanaman Modal (BPM) Bali,
realisasi investasi pada tahun 2012
sebesar Rp13,5 triliun. Realisasi ini naik
dari tahun 2010 yang tercatat 5,3 triliun.
Penyumbang terbesar dari realisasi itu
adalah sektor tersier. Sektor ini adalah,
hotel vila dan restoran (Kompas 24 Juni
2013). Peningkatan terbesar pertumbuhan
angka tersier tersebut ada di Bali bagian
Selatan yaitu Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung.
3. Proses Marginalisasi Hak Tanah Warga
Desa Ungasan
Tidak dapat dihindari, ketika suatu
wilayah tertentu dianggap mempunyai
potensi dan posisi yang strategis untuk
ISSN : 2087-0825
171 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
dikembangkan
menjadi
kawasan
pariwisata, sebuah proses transaksi
ekonomi pasti harus terjadi. Makin
strategi posisi tanah maka akan semakin
tinggi nilainya yang berarti pula semakin
tinggi harganya (Burgess, 1988). Realitas
ini secara nyata tampak di Desa ini,
ketika desa ini direncanakan menjadi
kawasan pinggiran pariwisata Nusa Dua.
Desa Ungasan merupakan salah satu
desa yang dinilai memiliki daya pesona
bagi para investor. Dalam hal ini lahan
menjadi sangat strategis bagi investor
untuk mengembangkan pembangunan
fasilitas jasa pariwisata seperti; villa,
hotel, dan restoran. Sejalan dengan hal
tersebut diatas, maka transaksi ekonomi
harus terjadi di desa ini. Tanah akan
menjadi
komoditas
yang
siap
dipertukarkan atau dipindahtangankan
dari sang pemilik, yang dalam hal ini
tidak lain adalah penduduk lokal, kepada
penguasa, yang tidak jarang harus
melewati suatu tekanan eksploitasi dalam
proses pertukarannya.
Berdasarkan pola pengamatan di
lapangan, proses marginalisasi hak atas
tanah yang dialami oleh warga Desa
Ungasan pada dasarnya dapat dipetakan
kedalam dua bentuk; pertama, melalui
proses yang wajar. Dalam bentuk ini
terjadi kesengajaan penduduk untuk
menjual dan tanah-tanah hak miliknya
karena adanya pemenuhan kebutuhan
keluarga. Pola pengalihan lahan seperti
ini merupakan kehendak masyarakat,
dengan harapan anak ataupun sanak
keluarganya mendapatkan bahagian dari
dampak pembangunan pariwisata. Selain
itu, kebutuhan peningkatan spritualitas
yang perlihatkan dalam perbaikan rumahrumah atau tempat-tempat peribadatan
keluarga seperti perbaikan pura-pura
pembangunan sanggah-sanggah keluarga.
Proses yang wajar ini semakin
kompleks ketika masyarakat berada
dalam kondisi minimnya pengetahuan
pentingnya
tanah
buat
diri
dan
keluarganya.
Kondisi
minimnya
pengetahuan ini dilakukan masyarakat
dengan menjual secara masif tanah yang
dimiliki karena ingin kaya mendadak. Hal
ini
membuktikan
bahwa
pengaruh
globalisasi ikut pula mewarnai proses
ADMINISTRATIO
terjadinya pengalihan tanah ke pihak
lain. Kedua, melalui proses yang tidak
wajar. Proses ini berjalan dengan
memanfaatkan kondisi seperti dijelaskan
diatas. Proses marginaliasi seperti ini
sebagaimana
berjalan
sebagaimana
berikut ini:
a. Kebijakan Sertifikasi Tanah
Sertifikat benar-benar mengusik
ketentraman hati masyarakat dalam hal
kepemilikan hak atas tanah. Dahulu
sebelum ada istilah ini masyarakat Bali
secara umum dan khususnya warga Desa
Ungasan hanya mengenal istilah pipil
untuk mengesahkan kepemilikan mereka
terhadap hak atas tanah yang dimiliki
oleh masyarakat Bali. Pada era sebelum
dan sesudah kemerdekaan (sampai zaman
orde lama), orang Bali tidak mengenal
istilah sertifikat. Sebagai daerah yang
memiliki banyak kearifan lokal, ada
beberapa istilah dalam hal kepemilikan
hak atas tanah yang lebih dikenal luas
oleh masyarakat Bali, seperti “pipil,
plesiran, dan klasiran”. Istilah-istilah ini
sangat melekat dengan masyarakat Bali
utamanya para penguasa tanah untuk
mengesahkan
kepemilikan
mereka
terhadap hak atas tanah yang dimiliki
oleh masyarakat Bali. Diantara istilah
kearifan lokal tersebut pipil lebih sering
dipakai untuk mengesahkan kepemilikan
hak atas tanah mereka.
Seiring dengan perjalanan waktu,
ketika pemerintah memperkenalkan UU
Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 atau
yang disebut dengan UUPA Tahun 1960,
UU ini mempopulerkan istilah sertifikat
dalam kepemilikan hak atas tanah, pipil
yang dahulu dikenal oleh masyarakat Bali
perlahan-lahan mulai hilang dari sebutan
masyarakat Bali, digantikan dengan istilah
sertifikat, sebagai istilah yang dipakai
untuk mengabsahkan hak kepemilikan
tanah
masyarakat.
Dalam
produk
kebijakan (UU) ini pemerintah banyak
meredusir
istilah-istilah
masyarakat
ditingkat daerah dengan istilah-istilah
baru
kemudian
diseragamkan
dan
dijalankan secara nasional, sehingga
masyarakat utamanya di daerah menjadi
asing dengan istilah yang sebelumnya
pernah
menjadi
kearifan
lokal.
ISSN : 2087-0825
M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 172
Pergantian pemakaian istilah ini ternyata
mempunyai dampak yang besar bagi
masyarakat Bali terhadap kepemilikan
hak atas tanah. Dalam dinamika
perebutan kepemilikan hak atas tanah,
sertifikat inilah jalan masuk bagi investor
untuk menguasai tanah-tanah yang
dimiliki oleh masyarakat Bali.
b. Beban pajak yang tinggi
Pemicu
jual
beli
didasarkan
beberapa pertimbangan antara lain
kondisi lahannya yang kurang produktif,
meningkatnya jumlah pajak yang harus
dibayar, karena kebutuhan akan dana,
serta adanya desakan dari pihak lain.
Khusus pengenaan pajak yang tinggi, hal
tersebut karena dampak dari kebijakan
pemerintah yang mengenakan pajak yang
tinggi terhadap wilayah-wilayah yang
terkena dampak kawasan pariwisata. Hal
itu mendorong masyarakat untuk menjual
tanahnya karena faktor keterbatasan
yaitu kemiskinan dan nilai tawar yang
rendah terhadap penguasa. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
mempercepat pemberian izin pembelian
tanah kepada pemilik-pemilik modal
besar sebagai lahan atau sumber
pemasukan pendapatan asli daerah.
Selain itu adanya tawaran yang
melebihi hasil pengolahan lahan seperti
biasanya
menyebabkan
masyarakat
tertarik untuk mengalihkan lahannya
kepada pihak lain yang mampu mengelola
lahan yang kurang produktif tersebut. Hal
ini menjadi salah satu pendorong
masyarakat melepas hak miliknya kepada
pihak lain. Apalagi ada janji-janji yang
akan memperkerjakan pemilik lahan pada
usaha yang akan didirikan menjadikan
masyarakat melepas haknya sebagai
pemilik.
Adanya
pergerakan
uang
(finanscape) oleh wisatawan seperti yang
disampaikan Apparudai (dalam Ritzer,
2007;598)
telah
mempengaruhi
masyarakat
karena
menawarkan
keuntungan.
Pengalihan
kepemilikan
juga
disebabkan oleh kebijakan pemerintah
dibidang
perpajakan.
Dengan
ditetapkannya jumlah pajak sesuai
dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP),
menyebabkan banyak keluhan masyarakat
ADMINISTRATIO
dalam hal membayar pajak, utamanya
masyarakat yang memiliki jumlah lahan
yang relatif luas. Masyarakat memang
memiliki lahan yang relatif luas tetapi
tidak sebanding antara hasil lahan dengan
pajak yang harus dibayar. Hal ini
disebabkan oleh lahan yang kurang
produktif, tetapi memiliki nilai jual yang
tinggi, sehingga nilai pajak pun menjadi
tinggi pula. Dengan demikian, masyarakat
akan memiliki kecenderungan menjual
sebagian lahannya kepada pihak lain,
walaupun secara emosional masih cukup
berat untuk mengalihkannya/menjualnya.
Dari
kenyataan
diatas,
mengindikasikan bahwa penjualan lahan
salah satunya disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang menetapkan nilai pajak
berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP). Walaupun lahan kurang produktif
tetap harus membayar pajak sesuai
dengan nilai jula pada saat itu. Kondisi
atau keadaan demikian, menyebabkan
adanya pilihan-pilihan baru yang semula
tidak ada menjadi ada (Sudikan,
2001;29). Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah ikut andil dalam percepatan
penjualanlahan
masyarakat
melalui
instrumen pajaknya.
c. Lemahnya
Kontrol/pengawasan
Pemerintah
Pengalihan kepemilikan sebagai
proses distribusi di kawasan dari pemilik
kepada
pemakai
jasa-jasa
yang
memanfaatkan
kawasan
sebagai
komoditas bangunan, jika ditelusuri lebih
jauh, akan ditemukan beberapa hal;
pertama, proses pengalihan kepemilikan,
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
pengalihan
kepemilikan,
bentuk-bentuk kepemilikan, serta pihakpihak yang berkepentingan terhadap
proses pengalihan tersebut. Hal itu
disebabkan lemahnya kontrol pemerintah
kabupaten
sebagai
leading
sector
pemberian izin pengalihan kepemilikan
hak atas tanah terhadap para pembeli
tanah, dalam hal ini para pemilik modal
yang
akan
menguasai
tanah-tanah
strategis untuk pengembangan kawasan
jasa pariwisata di wilayah tersebut.
Pengalihan kepemilikan dilakukan
oleh masyarakat setempat, ataupun oleh
ISSN : 2087-0825
173 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
orang lain yang berperan sebagai penawar
jasa (formal dan Norformal), bahkan
wisatawan pun juga melakukan hal
tersebut.
Berdasarkan
pelakunya,
pengalihan kepemilikan dilakukan oleh
masyarakat lokal maupun d ari luar
daerah yang berperan sebagai perantara
dan bekerjasama dengan masyarakat
lokal. Hal tersebut dilakukan karena
mereka memiliki informasi sebagai
pengetahuan sesuai yang disampaikan
Barker (2009;84) bahwa pengetahuan
dapat memberikan kekuasaan dalam hal
tertentu.
Pejabat dan investor seperti media
juga ikut berperan dalam terjadinya
pengalihan lahan (Atmaja, 2009;12).
Pejabat mempunyai kepentingan yang
tersembunyi dalam kegiatan tersebut.
Secara tidak langsung oknum pejabat
memberikan data tentang lahan yang
potensial untuk dijual atau dialihkan
kepemilikannya,
dengan
berbagai
prasyarat dibawah tangan. Secara formal
kegiatan ini tidak tampak, tetapi dalam
pelaksanaanya tetap berjalan dengan
moto “tahu sama tahu” dalam artian
pihak yang berkepentingan akan posisi,
informasi
rekomendasi
yang
akan
diberikan atas kewenangan memaklumi
kondisi tersebut dan akan memberikan
imbal jasa terhadapnya. Dengan kata lain
imbal jasa menjadi motivasi yang
sesungguhnya.
d. Calo-calo Tanah/Makelar Tanah
Pengalihan lahan juga disebabkan
oleh
pihak-pihak
lain
yang
berkepentingan
terhadap
terjadinya
pengalihan kepemilikan. Pihak-pihak lain
ini
tidak
disadari
tenyata
ikut
mempercepat terjadinya masifitas proses
pengalihan lahan dari pemilik lahan ke
pemilik baru. Banyak pihak yang
berkepentingan terkait dengan pengalihan
seperti perantara, pihak yang terlibat
dalam
administrasi
pengurusan
pengalihan hak, ataupun lembaga yang
menangani pengalihan hak. Pihak-pihak
lain melakukan desakan disebabkan oleh
kepentingan akan kemajuan pemilik lahan
dalam struktur masyarakat, tetapi ada
pula yang disebabkan oleh kepentingan
ADMINISTRATIO
karena adanya imbal jasa terhadap
kegiatan yang dilakukan.
Pihak-pihak yang bertujuan untuk
kemajuan atau mensejahterakan pemilik
lahan umumnya datang dari pihak yang
memiliki hubungan dekat dengan pemilik
lahan, sedangkan pihak lain dengan
kepentingan
tertentu
datang
dari
berbagai pihak. Pihak lain menjadi
berkentingan karena imbal jasanya
(mendapatkan Uang) sangat menjanjikan.
Perantara pengalihan kepemilikan akan
mendapatkan 2 - 5 % dari nilai transaksi
yang terjadi, bila dilakukan secara
terbuka.
Terkadang
pemilik
hanya
memberi nilia tertentu saja, selanjutnya
perantara diberikan kebebasan untuk
menjual/menyewa kepada pihak lain.
Perantara juga dapat mendapatkan imbal
jasa dari kedua pihak, imbal jasa dari
pembeli maupun imbal jasa dari pihak
penjual. Pihak-pihak yang terlibat dalam
kepengurusan pengalihan kepemilikan
lahan juga memiliki peran dalam memberi
desakan, karena dengan terjadinya
trasaksi maka imbal jasa akan didapat
sebagai penghasilan tambahan. Terkadang
ada imbal jasa yang bersifat informal
dalam bentuk tanda jasa dan tips-tips
lainnya.
Tidak kalah gesitnya, wisatawan pun
berperan dalam praktek sebagai calo
dengan
memperhatikan
kepentingan
masyarakat pemilik lahan. Hal ini
diperkuat oleh diberitakannya wisatawan
sebagai calo pengalihan kepemilikan
lahan. Kedatangan orang asing di Bali
tidak
semuanya
untuk
bertujuan
berekreasi ataupun berlibur. Sebagian
kedatangan mereka hanya untuk mencari
pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan
dapat dikategorikan sebagai kegiatan
formal atau sebagai karyawan perusahaan
tertentu tetapi tidak jarang pekerjaan
yang dilakukan adalah pekerjaan informal
seperti menjadi perantara dalam jual beli
lahan untuk pembangunan Vila.
Bali pos edisi 16 Juni 2009 lalu
menyoroti peran ganda wisatawan seperti
diatas. Makin banyak vila di daerah
wisata, makin banyak pula orang asing
yang berkerja di Bali. lain dengan yang
dulu turis datang hanya untuk wisata,
tetapi turis sekarang malah mencari
ISSN : 2087-0825
M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 174
pekerjaan di Bali. Bahkan ada yang
menjadi calo untuk menjual tanah di Bali.
Sebagian kalangan menilai hal tersebut
diakibatkan
oleh
ketidaktegasan
pemerintah dalam menindak peran yang
dimainkan para wisatawan, kondisi
maraknya
pembangunan
fasilitas
pariwisata semacam villa hotel dan lainlainnya ditunjukkan dengan semakin
lemahnya pengawasan Pemkab Badung
dari tahun ke tahun. Akibatnya vila
bodong alias
tanpa izin semakin
menjamur. Banyak villa beroperasi tanpa
mengantongi izin atau bodong, bahkan
izin kepada aparat desa pun tidak ada
(Radar Bali 4 Juni 2013).
Rata-rata pemilik vila adalah orang
bule, mereka diyakini tidak memiliki izin
karena tidak mendapatkan laporan dari
aparat desa. Hal ini pernah diungkapkan
oleh salah seorang aparat desa I wayan
Sukses, kami yakin pembengunan vila-vila
di desa kami itu tidak berizin karena kami
tidak pernah mendapatkan laporan,
selanjutnya terang sukses, kami juga
sudah tanya ternyata mereka tidak
berizin. Hal tersebut terjadi karena
adanya
kongkalingkong antara Dinas
terkait (dinas pendapatan dan perizinan
kabupaten Badung dengan pemilik Villa).
Hal ini dibenarkan oleh salah satu anggota
DPRD Badung A Made Duarta, menurutnya
ada permainan kucing-kucingan dalam
pemberian izin bangunan vila-vila ini.
Pariwisata tetap belum ada yang
menghambat bagi dunia investasi di Bali
(Kompas 24 Juni 2013). Bali Selatan
merupakan tempat yang cocok untuk
berkembang. Perkembangan ini seiring
dengan ketidak tegasan pemerintah
dalam menghambat laju pembangunan
pariwisata utamanya pembangunan hotelhotel dan vila-vila. Hal tersebut
dikemukakan
oleh
ketua
asosiasi
pengusaha Indonesia (Apindo)
Bali,
Pandudiana Kuhn. Pembangunan hotel
dan vila untuk pelayanan pariwisata ada
dimana-mana khususnya Bali Selatan
tetapi tidak diiringi dengan soal
ketegasan
pemerintah
dalam
hal
penataan yang baik.
ADMINISTRATIO
DAMPAK MARGINALISASI MASYARAKAT
DESA TERHADAP KEPEMILIKAN HAK
TANAH
1. Munculnya Penguasa-penguasa Baru
Terjadinya Pengalihan kepemilikan
tanah, telah memunculkan penguasapenguasa baru pada daerah tujuan
(destinasi) pariwisata. Penguasa-penguasa
baru tersebut mirip dengan munculnya
bos-bos lokal (local bosisme) yang terjadi
diera otonomi daerah. Kesamaannya,
adalah penguasaan area-area yang sangat
bernilai ekonomis untuk dijadikan sebagai
lahan bisnis dan berpenghasilan sebagai
sumber
pendapatan
yang
cepat
mendatangkan
kapital
dan
modal.
Demikian pula yang terjadi dikawasan
area pariwisata, di kawasan desa ini lahan
yang dulu tidak produktif kemudian
berubah fungsi menjadi lahan-lahan
ekonomis, seperti terbentuknya kelompok
pengelola parkir yang dikoordinir oleh
pemilik lahan baru yang dahulunya
lahannya direlakan untuk dialihkan.
Tak ketinggalan, jalan-jalan yang
menuju tempat-tempat pariwisata. Setiap
kendaraan yang masuk di kenakan
restribusi. Restribusi tersebut dipungut
oleh pemilik lahan yang kebanyakan
disewa oleh wisatawan mancanegera
(Wisman) untuk penggunaan hotel dan
restoran. Berdasarkan kondisi tersebut
telah menunjukkan adanya kekuasaan
baru
dalam
wilayah-wilayah
yang
strategis yang berada di desa tersebut
tidak dapat dihindarkan. Hal ini
disebabkan dia memiliki modal yang
berupa tanah yang dijadikan jalan,
walaupun telah dijadikan jalanan umum,
atau pun modal tanah yang kini
sebahagian lagi disewakan pada orang
lain.
2. Ketidakberdayaan mempertahankan
kepemilikan hak atas tanah
Terbukanya pasar penjualan tanah
oleh pemerintah mendorong sebagian
masyarakat untuk menjual tanahnya.
Selain itu, penjualan tanah juga
disebabkan oleh adanya tekanan dari
pihak tertentu (jasa perantara dalam jual
beli lahan) yang ingin mendapatkan
keuntungan dari proses penjualan tanah,
ISSN : 2087-0825
175 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
ataupun karena kebutuhan akan sejumlah
dana untuk memenuhi keinginan dan
tuntutan kekinian, adanya hal ini maka
memunculkan
ketidak
berdayaan
masyarakat dalam proses penjulan tanah.
Ketidakberdayaan juga dialami oleh
oleh lembaga adat akibat hegemoni oleh
pemerintah. Hal itu direpresentasikan
oleh ketua lembaga/Desa Adat. Dahulu
sebelum pembangunan dilakukan oleh
masyarakat atau pengusaha maka ada
pemberitahuan (pesadok) terlebih dahulu,
sesuai dengan ketentuan adat (awig-awig)
yang berlaku. Namun demikian desa adat
yang sifatnya hanya mengetahui saja.
Sepanjang izin untuk pembangunan
sampai diketahui pemerintah, baru tiang
(saya) sarankan untuk melanjutkan
kegiatan. Yan sampun (kalau sudah) ada
ijin dari pemerintah tiang tidak ada
masalah, peng ten tiang buklekanga nanti
(agar tidak disudutkan nanti).
Dari pernyataan ketua desa adat
tersebut
menunjukkan
bahwa
ada
korporasi kapital dalam pengalihan
kepemilikan tanah. Nampaknya ada
struktur kelas dalam hal ini, adat
memiliki modal kekuasaan, pengusaha
punya modal uang, dan pemerintah
mempunyai modal ijin pembangunan.
Ketidakberdayaan masyarakat adat atas
kekuasaan pemerintah mengindikasikan
adat dalam kelas sub-ordinat. Hal
tersebut seperti ditunjukkan dalam
pernyataan ketua desa adat yang
mengikuti
kehendak
pemerintah
(pemberian ijin-ijin secara formal dibuat
pemerintah).
Selain
itu,
dalam
pembuatan awig-awig (aturan-aturan
kesatuan masyarakat banjar/desa) juga
menunjukkan
adanya
hegemoni
pemerintah. Hal ini ditunjukkan dalam
acara-acara peresmian awig-awig desa
disyahkan oleh pemerintah dan isinya pun
tidak
boleh
bertentangan
dengan
pemerintah. Dengan demikian, lembaga
adat sudah terhegemoni dengan berbagai
alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
REFLEKSI KRITIS
Peranan modal sangat besar bagi
pengusaha-penguasa yang berada di
daerah tujuan (destinasi) pariwisata. Bagi
duo-kembar ini adanya modal merupakan
ADMINISTRATIO
peluang guna menanamkan pengaruh dan
modalnya
pada
kawasan
potensial
pariwisata.
Sebagaimana
dijelaskan
diatas, Desa Ungasan sebagai obyek
kajian ini, kondisi lingkungan alamnya
sangat
mendukung
pengembangan
fasilitas penunjang pariwisata, maka
kawasan tempat dimana Desa ini berada
merupakan
ladang
yang
sangat
memungkinkan untuk menanamkan modal
dibidang pariwisata mengingat tingginya
permintaan pasar pariwisata. Pasar dunia
priwisata pada umumnya dikuasasi oleh
kaum pemiliki modal pengetahuan,
pengalaman,
sehingga
kebanyakan
pembangunan dimiliki oleh mereka.
Ketika masyarakat lokal menyadari
dampak dari pariwisata ini, dengan
kenyataan hampir semua lahan dikawasan
tempat tinggal mereka telah dikuasai oleh
kaum pemilik modal yang bekerjasama
dengan penguasa, mereka tidak berdaya.
Disinilah
terasa,
betapa
sulitnya
masyarakat lokal mengembangkan usaha
mereka
karena
adanya
kendala
ketersediaan
lahan
yang
telah
dipindahtangan kan kepada pihak lain.
Pemindahan hak kepemilikan hak
tanah di Desa ini sudah berjalan cukup
lama.
Proses
pemindahan
bahkan
berlangsung
masif
tanpa
melalui
sosialisasi dengan masyarakat desa. Bagi
pemerintah kabupaten dan sebagian
pemerintahan desa memanfaatkan proses
ini
dengan
menggunakan
pengaruh/kekuasaannya
untuk
mengelabui masyarakat. Karena hanya
mereka ini yang memiliki pengetahuan
yang akan mengendalikan situasi. Hal
tersebut sejalan dengan teori kekuasaan,
uang, dan pengatahuan yang menyatu
dalam sebuah pengusaan atau hegemon.
Hal inilah yang dulu pertama kali
dirisaukan oleh Kritikus Michael Foucoult
(2002;136) tentang pengaruh kekuasaan
terhadap pengetahuan. Kritikus yang
berkebangsaan perancis ini pernah
merisaukan dampak kekuasaan dengan
ilmu pengetahuan. Lewat kekuasaan dan
pengetahuan
yang
dimiliki
pihak
pemerintah bisa menjalankan program
dan kebijakannya dengan memanfaatkan
ketidaktahuan pihak masyarakat. Hal
yang sama pernah dirisaukan oleh Antonio
ISSN : 2087-0825
M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 176
Gramsci
(1989),
lewat
konsep
hegemoninya, tokoh yang berkebangsaan
Italia ini mengkhawatirkan keterpinggiran
masyarakat karena adanya hegemoni dari
pihak penguasa beserta kelompokkelompoknya
yang
bersatu
untuk
mempertahankan eksistensi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Adhika, I Made, (2012). Komodifikasi
kawasan Suci Pura Uluwatu,
Denpasar: Udayana University
press.
Arida, I Nyoman Sukma, (2009). Meretas
Jalan Ekowisata Bali; Proses
Pengembangan, Partisipasi Lokal,
dan Tantangan Ekowisata di Tiga
Desa
Kuno
Bali,
Denpasar;
Udayana University Press.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2012,
Bali dalam angka 2011.
Baiquni, M., dkk, (2010). Pariwisata
Berkelanjutan dalam pusaran Krisis
Global
Denpasar;
Udayana
University press.
Madiun, I Nyoman, (2010). Nusa dua
model Pengembangan kawasan
ADMINISTRATIO
wisata
Modern,
Denpasar;
Udayana university press.
Nordholt, Henk Schulte, (2010), Bali
Benteng
Terbuka
1995-2005,
Denpasar; Pustaka Larasan
Widiateja,
I.G.N Parikesit,
(2011).
Kebijakan Liberalisasi Pariwisata;
konstruksi, konsep ragam masalah
dan Alternatif solusi, Denpasar;
Udayana University press.
Jurnal/makalah
Prisma;
Majalah
Pemikiran
Sosial
Ekonomi; Perselingkuhan Bisnis &
Politik Kapitalisme Indonesia Pasca
Otoritarianisme,
edisi
32/2013.
Jakarta; LP3ES.
Pustaka; Jurnal Jurnal Ilmu Budaya,
Volume XI, Nomor 2 edisi Agustus
2011. Denpasar: Udayana University
Press.
Makalah; Ajeg Bali
Keragaman Bali,
terpublikasi.
& Tantangan
(2006). Tidak
Makalah; Tanggungjawab Desa Pakraman
dan Desa Dinas dalam Hubungannya
dengan Investasi, (2012). Tidak
terpublikasikan.
ISSN : 2087-0825
Download