MARGINALISASI MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA (Studi Kasus di Desa Ungasan Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung) Muhammad Ali Azhar Staf Pengajar FISIP Universitas Udayana ABSTRACT The aim of this research is to investigate the impact of the facility development tourism service at Ungasan Village of sub-district South Kuta of Badung Regency, Bali Province. This research uses quantiative-description method by structural interviewing as the primary data. The choice of the method is to ensure the validity and accuracy of data to investage and to understand the problem. The finding of this research is that development of the tourism service facility at Ungasan Village is very paradoxical. On one side brings the prosperity of the society, but on the other side results the margialization of the society toward their ownership of the land right. The impact of the policy at this village is difficult prevent to the rise of new local powers, and the society do not have power defends the ownership of their land right. Key words : Business, power relation, Tourism, and Marginalization PENDAHULUAN. Sejak dibukanya kran Bali sebagai daerah tujuan (destinasi) pariwisata, banyak perubahan-perubahan besar yang terjadi di pulau mungil ini. Kebijakan yang dibuka sejak pemerintahan Orde baru ini, telah berhasil mengubah wajah pulau ini menjadi lebih menarik dan memiliki daya tarik buat wisatawan baik yang berasal dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri (manca negara). Sejarah perkembangan pariwisata Bali diawali dengan ketertarikan masyarakat internasional terhadap budaya Bali, merupakan sejarah yang panjang dan mengalami pasang surut dengan berbagai kendala dengan permasalahannya. Selanjutnya konsep pengembangan pariwisata pulau Bali ini mulai dilakukan secara terencana dengan bantuan konsorsium internasional yang disebut SCETO. Dengan bantuan organisasi tersebut disusunlah master plan pembangunan pariwisata Bali pada tahun 1971 yang menetapkan tiga kawasan wisata yaitu, Kuta, Sanur dan Nusa Dua. SCETO merekomendasikan bahwa Bali ke depan memerlukan Tourist Resort yang terpisah dari masyarakat, tanah yang produktif dan memiliki aksesibilitas. Untuk saat itu daerah yang paling cocok dikembangkang dan memenuhi kriteria yang diajukan SCETO pada waktu itu adalah Nusa Dua dan daerah sekitarnya( Baiquni, 2010). Tahun 1980-an merupakan masa kejayaan/keemasan/booming pariwisata Bali. Sejumlah sarana dan prasarana yang tersedia sangat seimbang dengan jumlah wisatawan yang datang ke Bali (supply and Demand) sangat berimbang. Sehingga tingkat hunian hotel saat itu sangat tinggi. Hasil pariwisata juga banyak dinikmati oleh banyak pihak. Pada masamasa ini prinsip-prinsip keseimbangan dan keharmonisan sudah diterapkan dalam pembangunan pariwisata di Bali. Tidak mengherankan apabila di Bali dewasa ini pariwisata telah menjadi semacam “ideologi” baru bagi manusia Bali. Artinya pariwisata adalah bagian integral dari kebudayaan Bali. Anggapan ini seperti yang dijelaskan pengalaman seorang penelitian Philip Frick Mc. Kean (1973) yang menangkap hal ini sebagai suatu partial equivalent structure (struktur kesepadanan parsial). Artinya adalah, pada peristiwa pariwisata di Bali, masyarakat Bali memberikan layanan wisata (baca: kesenian, panorama alam 166 167 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 Bali) sembari pada saat yang sama, si wisatawan memberikan kepuasan ekonomi (baca;uang) kepada tuan rumah. Kelebihan seperti ini, disadari penuh oleh pemerintah daerah beserta stakeholdernya untuk memusatkan perhatian terhadap pembangunan pariwisata sebagaimana kita menyaksikan Bali dewasa ini sebagai tujuan pariwisata berkelas dunia. Pada tahuan 1988 Gubernur Bali pada waktu itu Ida Bagus Oka (Mr Oke) mengeluarkan kebijakan untuk menambahkan 15 lokasi pengembangan izin pariwisata. Perkembangan sektor pariwisata semakin marak ditunjang dengan kencangnya arus deregulasi sektor perbankan memfasilitasi peningkatan tajam investasi swasta ke 15 lokasi pengembangan tersebut (Nordholt, 2010:7). Salah satu kawasan wisata yang mendukung industri pariwisata Bali pada waktu itu adalah kawasan Bali Selatan yang terkenal dengan kawasan Pantai Nusa Duanya (Madiun, 2010). Kawasan ini yang menyediakan lokasi yang relatif banyak dikembangkan karena keindahan pantai Nusa Dua sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Secara administratif kawasan Pantai Nusa dan sekitarnya masuk wilayah Kabupaten Badung yang sampai saat ini dikenal sebagai kabupaten yang mempunyai sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi pertama di Provinsi Bali dan Kedua secara nasional (BPS, 2012). Kebanyakan sumbersumber tersebut berasal dari sektor pariwisata. Sebagai kawasan yang sebagian besarnya terletak di Bali bagian Selatan, Kabupaten ini sangat menarik bagi para wisatawan karena ditunjang oleh keindahan panorama pantainya yang potensial untuk dikembangkan sebagai industri pariwisata. Menyadari potensi ini pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Badung kemudian meneruskan kebijakan pemerintah Provinsi Bali untuk mengembangkan kebijakan sektor pariwisata dengan memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas untuk mendukung primadona sang penghasil PAD tersebut. Maka dimulailah proses pembangunan tersebut salah satunya ADMINISTRATIO dengan mengundang para pemilik modal (investor). Sukses pembangunan pariwisata memang tidak terbantahkan. Namun, dibalik kesuksesan tersebut, ternyata menyisakan sisi gelap pembangunan yakni keterpinggiran masyarakat dari kepemilikan hak atas tanah yang telah diwariskan secara turun temurun dari leluhur mereka. Beberapa desa di kabupaten tersebut masyarakatnya seolah menjadi penonton di daerahnya sendiri akibat ketidak berdayaan mereka melawan arus perubahan kepemilikan hak atas tanah mereka yang secara diam-diam telah dicaplok oleh korporasi/pemodal besar yang selama ini dikembangkan sebagai penyediaan usaha jasa di bidang pariwisata, seperti; hotel, vila, restoran dan lain-lain. Salah satu dari sekian banyak desa yang menghadapi persoalan tersebut, seperti yang terjadi di Desa Ungasan. Masyarakat di desa ini tidak berdaya menghadapi perluasan kepemilikan hak tanah yang dimiliki oleh kelas-kelas korporasi yang berada di desanya. Sebagai desa yang masuk salah satu kawasan Bali Selatan yang dekat dengan Nusa Dua yang kini dikenal sebagai pusat pengembangan pariwisata modern di Bali, Desa ini sulit menghindari dampak dari desakan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri pariwisata. Dampak dari kebijakan ini adalah maraknya pembangunan fasilitas penunjang pariwisata untuk memenuhi keinginan para investor sehingga masyarakat merasa kehilangan hak atas kepemilikan tanah mereka (Adhika, 2012:152-153). Dapat dikatakan bahwa semua lahan strategis yang dekat dengan kawasan pengembangan industri pariwisata ini terkena dampak dari kebijakan ini. Dengan mengambil latar belakang kawasan Bali Selatan khususnya Desa Ungasan kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung sebagai daerah tujuan pariwisata sampai kemudian menimbulkan korban-korban rezim pariwisata dengan gemerincing dollarnya, tulisan ini merumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana terjadinya proses marginalisasi masyarakat Desa Ungasan ISSN : 2087-0825 M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 168 terhadap kepemilikan hak atas tanah mereka kepada investor? GAMBARAN UMUM DESA UNGASAN Kondisi lahan di desa Ungasan berbukit-bukit, umumnya terbentuk batu kapur/karang dengan sedikit lapisan humus dibagian atasnya. Kondisi ini menjadikan lahan kurang produktif, humus terbatas, dan sumber air terbatas menyebabkan kondisi lahan relatif rendah dibandingkan dengan humus yang lebih tebal dari daerah lain. Akan tetapi pesona topografi yang berbukit-bukit tersebut memiliki daya pesona bagi para investor memasuki wilayah tersebut untuk mendirikan tourism resort, seperti pembangunan vila-vila dan hotel-hotel yang bertaraf internasional. Desa Ungasan merupakan daerah yang terletak + 4 Km. dari Ibu Kota Kecamatan Kuta Selatan dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan kendaraan umum, 34 Km. Dari Ibu Kota Kabupaten dan 24 Km dari Ibu Kota Propinsi. Desa ini dikelilingi oleh desa-desa lain yang berada di Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung. Adapun batas-batas desa Ungasan: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Jimbaran; (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kutuh; (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia; (4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pecatu. Sampai dengan 31 Desember 2011 jumlah penduduk Desa Ungasan sebanyak 11175 jiwa dengan 2424 Kepala keluarga (KK). Sampai dengan 31 Desember 2012 jumlah penduduk Desa Ungasan sebanyak 11445 jiwa dengan 2.468 Kepala keluarga (KK). Penduduk Desa Ungasan kurang lebih 50 % adalah warga pendatang yang berasal dari luar Desa Ungasan. Kebanyakan dari mereka adalah buruh, petani, dan pekerja diberbagai bidang jasa-jasa pariwisata1. MARGINALISASI MASYARAKAT Tulisan ini mengasumsikan bahwa terjadinya proses marginalisasi warga desa Ungasan terhadap kepemilikan hak 1 Wawancara dengan I Nyoman Suarjana, Nusa dua 5 Juli 2013 ADMINISTRATIO atas tanah mereka dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang paradoksal. Disatu sisi pariwisata dengan segala dinamikanya akan diproyeksikan untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakatnya, akan tetapi di sisi lain munculnya kebijakan itu menimbulkan keterpinggiran masyarakat dalam hal kepemilikan hak atas tanahnya tidak bisa dihindarkan. Hal tersebut, karenakan kebijakan ini tunggangi oleh pola relasi bisnis dan kuasa demi peningkatan sumber asli pendapatan daerah (PAD). Pemerintah mengandalkan kekuatan korporasi untuk untuk menggerakan industri pariwisata. Kerjasama keduanya menimbulkan ketidakberdaayan masyarakat terhadap kepemilikan lahan mereka. Selain itu terdapat pula bentuk pemarginalisasi lain yang tidak dapat dihindarkan seperti adanya calo-calo penjual tanah. Adanya calo-calo ini merupakan perantara juga sekaligus alat kedua aktor; bisnis dan kuasa ini, untuk melakukan pengaruhnya ditengah masyarakat. Berdasarkan pengamatan yang terus terjadi, yang kini tengah menimpa kehidupan masyarakat, untuk menjawab rumusan masalah tersebut diatas, secara garis besarnya penulis memakai konsep duo relasi; bisnis dan kuasa yang berjalan dalam kerangka sistem pemerintahan otonomi daerah. Dari perselingkuhan ini menghasilkan politik budaya penguasa yang didalamnya dapat dijelaskan dengan teori diskursus teori hegemoni sebagaimana akan dielaborasi berikut ini: 1. Relasi Bisnis dan Kuasa Perubahan lanskap sistem politik dan ekonomi Indonesia saat ini oleh sebagian besar pengamat dinilai sudah sarat dengan berbagai implikasi negatif. Implikasi tersebut sudah sampai pada dinamika sistem politik dan ekonomi diaras lokal. Perubahan ini merupakan akibat bekerjanya sistem politik desentralisasi yang sampai saat ini dinilai gagal mengubah arah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Suatu prediksi yang sebelumnya sama sekali ISSN : 2087-0825 169 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 tidak dibayangkan oleh para tokoh gerakan pejuang reformasi yang muncul setelah orde baru diruntuhkan. Salah satu dari kegagalan politik desentralisasi ini bertumbuhkembangnya relasi bisnis kapital antara pengusaha dan negara yang kini sulit dihindarkan. Gurita menjamurnya relasi ini pun menjamur pula sampai ke tingkat bawah (baca; daerah) yang kini semakin banyak dijumpai dalam dinamika politik lokal di tingkat daerah. Banyak elit politik yang membarterkan kewenangan yang mereka miliki dengan suntikan dana dari kekuasaan kapital tertentu yang mempunyai kepentingan ekonomi. Semakin mahal dan tidak transparannya suatu sistem politik, semakin besar aktor politik itu bergantung kepada oligarki kapital. Memang relasi diantara keduanya tidak dapat dihindari, diantara keduanya telah terjalin persekutuan yang sudah cukup lama dalam jagad politik dimana pun, termasuk di Indonesia. Dalam kajian historisnya hubungan keduanya sebagaimana pernah dilakukan oleh Barington Moore (1996) dalam kajiannya tentang akar demokrasi dan kedikatatoran. Simpulan kajian ini menurut Moore bahwa “no bourgeoisie no democracy”. Maksudnya, demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi. Lebih jauh Gordon Tullock dalam "Theory of Economic Rentseeking" menjelaskan, bahwa relasi keduanya memang telah terjadi sejak lama, sebagaimana terlihat dalam fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaan atas bidang tersebut. Sedangkan di Indonesia, terhitung sejak Richard Robison (1978), menerbitkan bukunya Indonesia: The Rise Of Capital di Indonesia mulai muncul fenomena ini sebagai suatu analisa penting dalam membedah sistem politik dan ekonomi Indonesia selama orde baru. Substansi pokok dari buku ini adalah penampilan antara kelompok politik berkuasa dengan kelompok usaha. Mereka berkembang ADMINISTRATIO mengikuti kerangka analisis kembar siam politico-business; fusi yang terjadi antara kelompok usaha dan politik akibat perubahan sistem politik. Dampaknya negara telah kehilangan “hak otonominya” terhadap kelompokkelompok usaha (Prisma, 2013). Hilangnya otonomi negara ini mengundang keresahan Joel S Hellman(2002) yang dikemukakan lewat konsepnya state cupture yang ditemukan melalui riset mereka di Rusia (sebelumnya Uni Soviet). Premis utama konsep ini adalah ketimpangan pola relasi diantara negara dan kapital atau antar elit berkuasa dan kelompok usaha dikarenakan dengan kekuatan kapital yang dimiliki, pengusaha “menyandera” proses pembuatan kebijakan yang dilakukan penguasa. Berdasarkan konsepsi itu, entitas politik yang tersandera, baik eksekutif maupun legislatif bekerja demi kepentingan modal. Sejalan dengan pemikiran Robison dan Hellman, David Kang menegaskan bahwa mustahil sebuah bisnis berkembang tanpa memiliki hubungan dekat dengan penguasa. Alhasil karya besar ini ternyata relevansinya masih berlaku sampai sekarang. Seiring dengan berlakukannya otonomi daerah, sampai saat ini di daerah sangat sulit menghindari munculnya berbagai macam bentuk kerangka kerja analis duo-kembar siam ini. Mereka bekerja dalam kedap suara yang sempit yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas, mengatur sekian banyak sektor yang menjadi ajang persengkokolan diantara keduanya sehingga keuntungan yang diperole h dari perselingkuhan diantara kedua aktor ini semakin berlipat. Sukses pembangunan pariwisata di Kabupaten Badung tidak lepas dari analisis seperti ini, sehingga melahirkan politik budaya, yakni adanya gerakan kepada masyarakat yang tidak memiliki kekuatan apapun selain kepasrahan ketika penguasa melakukan kebijakan keterpinggiran terhadap diri mereka. Suatu kebijakan dengan perencanaan awal yang mengandung keinginan mendalam untuk mensejahterakan masyarakat lokal di kawasan itu dengan ISSN : 2087-0825 M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 170 mengundang kekuatan investor sebagai motor penggerak ekonomi, tetapi realitas dalam pelaksanaannya pembangunan kawasan tersebut berjalan penuh dengan kekuatan penguasaan wacana dan kekuatan yang menghegemonik (Madiun, 2010). 2. Politik Pariwisata Bali Studi-studi tentang Bali (Robinson, 1995, Vikcers, 1997), memperlihatkan Bali merupakan hasil sebuah konstruksi sosial yang panjang, dilakukan oleh rezim yang memerintah dan seringkali tidak konsisten dalam menjalankan urusan kebijakannya. Penyebab dari semua itu adalah sifat pulau Bali yang identik dengan potensi pengembangan industri pariwisata dan mengundang banyak pihak berkompetisi untuk meraup keuntungan dari industri pariwisata. Sebagai ikon dan figurasi pariwisata Indonesia, Bali telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata dunia yang sangat populer. Pariwisata tidak ubahnya bak generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat Bali. Sumbangsihnya dalam mendorong perkembangan perekonomian masyarakat Bali tidak terbantahkan lagi. Dari berbagai pengamatan empiris, tidak kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak salah jika pada akhirnya pemerintah provinsi sebagai pemegang otoritas dan legitimasi beserta seluruh stakeholdernya yang berinteraksi langsung ditataran implementatif mulai mengulirkan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan demi menjaga konsistensi dan kontuinitas peran dan kontribusinya di Bali. Pemerintah daerah (baca : Pemprov. Bali) telah menetapkan peraturan daerah atau perda nomor 3 tahun 1974 tentang pariwisata budaya sebagai acuan pembangunan kepariwisataan secara komprehensif. Perda tersebut dalam perjalannya kemudian diperbaharui menjadi perda nomor 3 tahun 1991 yang pada prinsipnya mengyatakan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya ADMINISTRATIO yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan demikian, kegiatan pariwisata diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi dan harmonis dengan kebudayaan setempat dan berakar pada nilai-nilai luhur agama Hindu (Widiateja, 2011). Berikut ini sederet kebijakan yang menyangkut konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali: (1) Perda Tk. I Bali nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Tk.I Bali nomor 3 Tahun 1991 tentang pariwisata budaya; (2) Perda prov. Bali Nomor 3 Tahun 205 tentang RTRW Provinsi Bali yang didalamnya diatur tentang penetapan 15 kawasan pariwisata; (3) Perda Prov. Bali nomor 4 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; (4) Perda Prov. Bali nomor 5 Tahun 2005 tentang persyaratan arsitektur Bangunan Gedung; (5) Perda Prov. Bali Nomor 7 tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan sarana Wisata Tirta; (6) Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata. Serangkaian perda diatas, kemudian diikuti oleh beberapa kabupaten yang bersentuhan langsung dengan sektor pembangunan pariwisata Bali seperti Kabupaten Badung, Gianyar, Klungkung, Karang Asem dan Kota Denpasar. Kabupaten/kota tersebut berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang dengan keperluan pentingnya pembangunan sektor pariwisata sebagai primadona. Kebijakan tersebut nampak progresif bagi kemajuan perekonomian Bali secara umum, berdasarkan catatan Badan penanaman Modal (BPM) Bali, realisasi investasi pada tahun 2012 sebesar Rp13,5 triliun. Realisasi ini naik dari tahun 2010 yang tercatat 5,3 triliun. Penyumbang terbesar dari realisasi itu adalah sektor tersier. Sektor ini adalah, hotel vila dan restoran (Kompas 24 Juni 2013). Peningkatan terbesar pertumbuhan angka tersier tersebut ada di Bali bagian Selatan yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. 3. Proses Marginalisasi Hak Tanah Warga Desa Ungasan Tidak dapat dihindari, ketika suatu wilayah tertentu dianggap mempunyai potensi dan posisi yang strategis untuk ISSN : 2087-0825 171 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, sebuah proses transaksi ekonomi pasti harus terjadi. Makin strategi posisi tanah maka akan semakin tinggi nilainya yang berarti pula semakin tinggi harganya (Burgess, 1988). Realitas ini secara nyata tampak di Desa ini, ketika desa ini direncanakan menjadi kawasan pinggiran pariwisata Nusa Dua. Desa Ungasan merupakan salah satu desa yang dinilai memiliki daya pesona bagi para investor. Dalam hal ini lahan menjadi sangat strategis bagi investor untuk mengembangkan pembangunan fasilitas jasa pariwisata seperti; villa, hotel, dan restoran. Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka transaksi ekonomi harus terjadi di desa ini. Tanah akan menjadi komoditas yang siap dipertukarkan atau dipindahtangankan dari sang pemilik, yang dalam hal ini tidak lain adalah penduduk lokal, kepada penguasa, yang tidak jarang harus melewati suatu tekanan eksploitasi dalam proses pertukarannya. Berdasarkan pola pengamatan di lapangan, proses marginalisasi hak atas tanah yang dialami oleh warga Desa Ungasan pada dasarnya dapat dipetakan kedalam dua bentuk; pertama, melalui proses yang wajar. Dalam bentuk ini terjadi kesengajaan penduduk untuk menjual dan tanah-tanah hak miliknya karena adanya pemenuhan kebutuhan keluarga. Pola pengalihan lahan seperti ini merupakan kehendak masyarakat, dengan harapan anak ataupun sanak keluarganya mendapatkan bahagian dari dampak pembangunan pariwisata. Selain itu, kebutuhan peningkatan spritualitas yang perlihatkan dalam perbaikan rumahrumah atau tempat-tempat peribadatan keluarga seperti perbaikan pura-pura pembangunan sanggah-sanggah keluarga. Proses yang wajar ini semakin kompleks ketika masyarakat berada dalam kondisi minimnya pengetahuan pentingnya tanah buat diri dan keluarganya. Kondisi minimnya pengetahuan ini dilakukan masyarakat dengan menjual secara masif tanah yang dimiliki karena ingin kaya mendadak. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh globalisasi ikut pula mewarnai proses ADMINISTRATIO terjadinya pengalihan tanah ke pihak lain. Kedua, melalui proses yang tidak wajar. Proses ini berjalan dengan memanfaatkan kondisi seperti dijelaskan diatas. Proses marginaliasi seperti ini sebagaimana berjalan sebagaimana berikut ini: a. Kebijakan Sertifikasi Tanah Sertifikat benar-benar mengusik ketentraman hati masyarakat dalam hal kepemilikan hak atas tanah. Dahulu sebelum ada istilah ini masyarakat Bali secara umum dan khususnya warga Desa Ungasan hanya mengenal istilah pipil untuk mengesahkan kepemilikan mereka terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Pada era sebelum dan sesudah kemerdekaan (sampai zaman orde lama), orang Bali tidak mengenal istilah sertifikat. Sebagai daerah yang memiliki banyak kearifan lokal, ada beberapa istilah dalam hal kepemilikan hak atas tanah yang lebih dikenal luas oleh masyarakat Bali, seperti “pipil, plesiran, dan klasiran”. Istilah-istilah ini sangat melekat dengan masyarakat Bali utamanya para penguasa tanah untuk mengesahkan kepemilikan mereka terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Diantara istilah kearifan lokal tersebut pipil lebih sering dipakai untuk mengesahkan kepemilikan hak atas tanah mereka. Seiring dengan perjalanan waktu, ketika pemerintah memperkenalkan UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 atau yang disebut dengan UUPA Tahun 1960, UU ini mempopulerkan istilah sertifikat dalam kepemilikan hak atas tanah, pipil yang dahulu dikenal oleh masyarakat Bali perlahan-lahan mulai hilang dari sebutan masyarakat Bali, digantikan dengan istilah sertifikat, sebagai istilah yang dipakai untuk mengabsahkan hak kepemilikan tanah masyarakat. Dalam produk kebijakan (UU) ini pemerintah banyak meredusir istilah-istilah masyarakat ditingkat daerah dengan istilah-istilah baru kemudian diseragamkan dan dijalankan secara nasional, sehingga masyarakat utamanya di daerah menjadi asing dengan istilah yang sebelumnya pernah menjadi kearifan lokal. ISSN : 2087-0825 M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 172 Pergantian pemakaian istilah ini ternyata mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat Bali terhadap kepemilikan hak atas tanah. Dalam dinamika perebutan kepemilikan hak atas tanah, sertifikat inilah jalan masuk bagi investor untuk menguasai tanah-tanah yang dimiliki oleh masyarakat Bali. b. Beban pajak yang tinggi Pemicu jual beli didasarkan beberapa pertimbangan antara lain kondisi lahannya yang kurang produktif, meningkatnya jumlah pajak yang harus dibayar, karena kebutuhan akan dana, serta adanya desakan dari pihak lain. Khusus pengenaan pajak yang tinggi, hal tersebut karena dampak dari kebijakan pemerintah yang mengenakan pajak yang tinggi terhadap wilayah-wilayah yang terkena dampak kawasan pariwisata. Hal itu mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya karena faktor keterbatasan yaitu kemiskinan dan nilai tawar yang rendah terhadap penguasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberian izin pembelian tanah kepada pemilik-pemilik modal besar sebagai lahan atau sumber pemasukan pendapatan asli daerah. Selain itu adanya tawaran yang melebihi hasil pengolahan lahan seperti biasanya menyebabkan masyarakat tertarik untuk mengalihkan lahannya kepada pihak lain yang mampu mengelola lahan yang kurang produktif tersebut. Hal ini menjadi salah satu pendorong masyarakat melepas hak miliknya kepada pihak lain. Apalagi ada janji-janji yang akan memperkerjakan pemilik lahan pada usaha yang akan didirikan menjadikan masyarakat melepas haknya sebagai pemilik. Adanya pergerakan uang (finanscape) oleh wisatawan seperti yang disampaikan Apparudai (dalam Ritzer, 2007;598) telah mempengaruhi masyarakat karena menawarkan keuntungan. Pengalihan kepemilikan juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah dibidang perpajakan. Dengan ditetapkannya jumlah pajak sesuai dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), menyebabkan banyak keluhan masyarakat ADMINISTRATIO dalam hal membayar pajak, utamanya masyarakat yang memiliki jumlah lahan yang relatif luas. Masyarakat memang memiliki lahan yang relatif luas tetapi tidak sebanding antara hasil lahan dengan pajak yang harus dibayar. Hal ini disebabkan oleh lahan yang kurang produktif, tetapi memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga nilai pajak pun menjadi tinggi pula. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki kecenderungan menjual sebagian lahannya kepada pihak lain, walaupun secara emosional masih cukup berat untuk mengalihkannya/menjualnya. Dari kenyataan diatas, mengindikasikan bahwa penjualan lahan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menetapkan nilai pajak berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Walaupun lahan kurang produktif tetap harus membayar pajak sesuai dengan nilai jula pada saat itu. Kondisi atau keadaan demikian, menyebabkan adanya pilihan-pilihan baru yang semula tidak ada menjadi ada (Sudikan, 2001;29). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah ikut andil dalam percepatan penjualanlahan masyarakat melalui instrumen pajaknya. c. Lemahnya Kontrol/pengawasan Pemerintah Pengalihan kepemilikan sebagai proses distribusi di kawasan dari pemilik kepada pemakai jasa-jasa yang memanfaatkan kawasan sebagai komoditas bangunan, jika ditelusuri lebih jauh, akan ditemukan beberapa hal; pertama, proses pengalihan kepemilikan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengalihan kepemilikan, bentuk-bentuk kepemilikan, serta pihakpihak yang berkepentingan terhadap proses pengalihan tersebut. Hal itu disebabkan lemahnya kontrol pemerintah kabupaten sebagai leading sector pemberian izin pengalihan kepemilikan hak atas tanah terhadap para pembeli tanah, dalam hal ini para pemilik modal yang akan menguasai tanah-tanah strategis untuk pengembangan kawasan jasa pariwisata di wilayah tersebut. Pengalihan kepemilikan dilakukan oleh masyarakat setempat, ataupun oleh ISSN : 2087-0825 173 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 orang lain yang berperan sebagai penawar jasa (formal dan Norformal), bahkan wisatawan pun juga melakukan hal tersebut. Berdasarkan pelakunya, pengalihan kepemilikan dilakukan oleh masyarakat lokal maupun d ari luar daerah yang berperan sebagai perantara dan bekerjasama dengan masyarakat lokal. Hal tersebut dilakukan karena mereka memiliki informasi sebagai pengetahuan sesuai yang disampaikan Barker (2009;84) bahwa pengetahuan dapat memberikan kekuasaan dalam hal tertentu. Pejabat dan investor seperti media juga ikut berperan dalam terjadinya pengalihan lahan (Atmaja, 2009;12). Pejabat mempunyai kepentingan yang tersembunyi dalam kegiatan tersebut. Secara tidak langsung oknum pejabat memberikan data tentang lahan yang potensial untuk dijual atau dialihkan kepemilikannya, dengan berbagai prasyarat dibawah tangan. Secara formal kegiatan ini tidak tampak, tetapi dalam pelaksanaanya tetap berjalan dengan moto “tahu sama tahu” dalam artian pihak yang berkepentingan akan posisi, informasi rekomendasi yang akan diberikan atas kewenangan memaklumi kondisi tersebut dan akan memberikan imbal jasa terhadapnya. Dengan kata lain imbal jasa menjadi motivasi yang sesungguhnya. d. Calo-calo Tanah/Makelar Tanah Pengalihan lahan juga disebabkan oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap terjadinya pengalihan kepemilikan. Pihak-pihak lain ini tidak disadari tenyata ikut mempercepat terjadinya masifitas proses pengalihan lahan dari pemilik lahan ke pemilik baru. Banyak pihak yang berkepentingan terkait dengan pengalihan seperti perantara, pihak yang terlibat dalam administrasi pengurusan pengalihan hak, ataupun lembaga yang menangani pengalihan hak. Pihak-pihak lain melakukan desakan disebabkan oleh kepentingan akan kemajuan pemilik lahan dalam struktur masyarakat, tetapi ada pula yang disebabkan oleh kepentingan ADMINISTRATIO karena adanya imbal jasa terhadap kegiatan yang dilakukan. Pihak-pihak yang bertujuan untuk kemajuan atau mensejahterakan pemilik lahan umumnya datang dari pihak yang memiliki hubungan dekat dengan pemilik lahan, sedangkan pihak lain dengan kepentingan tertentu datang dari berbagai pihak. Pihak lain menjadi berkentingan karena imbal jasanya (mendapatkan Uang) sangat menjanjikan. Perantara pengalihan kepemilikan akan mendapatkan 2 - 5 % dari nilai transaksi yang terjadi, bila dilakukan secara terbuka. Terkadang pemilik hanya memberi nilia tertentu saja, selanjutnya perantara diberikan kebebasan untuk menjual/menyewa kepada pihak lain. Perantara juga dapat mendapatkan imbal jasa dari kedua pihak, imbal jasa dari pembeli maupun imbal jasa dari pihak penjual. Pihak-pihak yang terlibat dalam kepengurusan pengalihan kepemilikan lahan juga memiliki peran dalam memberi desakan, karena dengan terjadinya trasaksi maka imbal jasa akan didapat sebagai penghasilan tambahan. Terkadang ada imbal jasa yang bersifat informal dalam bentuk tanda jasa dan tips-tips lainnya. Tidak kalah gesitnya, wisatawan pun berperan dalam praktek sebagai calo dengan memperhatikan kepentingan masyarakat pemilik lahan. Hal ini diperkuat oleh diberitakannya wisatawan sebagai calo pengalihan kepemilikan lahan. Kedatangan orang asing di Bali tidak semuanya untuk bertujuan berekreasi ataupun berlibur. Sebagian kedatangan mereka hanya untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai kegiatan formal atau sebagai karyawan perusahaan tertentu tetapi tidak jarang pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan informal seperti menjadi perantara dalam jual beli lahan untuk pembangunan Vila. Bali pos edisi 16 Juni 2009 lalu menyoroti peran ganda wisatawan seperti diatas. Makin banyak vila di daerah wisata, makin banyak pula orang asing yang berkerja di Bali. lain dengan yang dulu turis datang hanya untuk wisata, tetapi turis sekarang malah mencari ISSN : 2087-0825 M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 174 pekerjaan di Bali. Bahkan ada yang menjadi calo untuk menjual tanah di Bali. Sebagian kalangan menilai hal tersebut diakibatkan oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menindak peran yang dimainkan para wisatawan, kondisi maraknya pembangunan fasilitas pariwisata semacam villa hotel dan lainlainnya ditunjukkan dengan semakin lemahnya pengawasan Pemkab Badung dari tahun ke tahun. Akibatnya vila bodong alias tanpa izin semakin menjamur. Banyak villa beroperasi tanpa mengantongi izin atau bodong, bahkan izin kepada aparat desa pun tidak ada (Radar Bali 4 Juni 2013). Rata-rata pemilik vila adalah orang bule, mereka diyakini tidak memiliki izin karena tidak mendapatkan laporan dari aparat desa. Hal ini pernah diungkapkan oleh salah seorang aparat desa I wayan Sukses, kami yakin pembengunan vila-vila di desa kami itu tidak berizin karena kami tidak pernah mendapatkan laporan, selanjutnya terang sukses, kami juga sudah tanya ternyata mereka tidak berizin. Hal tersebut terjadi karena adanya kongkalingkong antara Dinas terkait (dinas pendapatan dan perizinan kabupaten Badung dengan pemilik Villa). Hal ini dibenarkan oleh salah satu anggota DPRD Badung A Made Duarta, menurutnya ada permainan kucing-kucingan dalam pemberian izin bangunan vila-vila ini. Pariwisata tetap belum ada yang menghambat bagi dunia investasi di Bali (Kompas 24 Juni 2013). Bali Selatan merupakan tempat yang cocok untuk berkembang. Perkembangan ini seiring dengan ketidak tegasan pemerintah dalam menghambat laju pembangunan pariwisata utamanya pembangunan hotelhotel dan vila-vila. Hal tersebut dikemukakan oleh ketua asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Bali, Pandudiana Kuhn. Pembangunan hotel dan vila untuk pelayanan pariwisata ada dimana-mana khususnya Bali Selatan tetapi tidak diiringi dengan soal ketegasan pemerintah dalam hal penataan yang baik. ADMINISTRATIO DAMPAK MARGINALISASI MASYARAKAT DESA TERHADAP KEPEMILIKAN HAK TANAH 1. Munculnya Penguasa-penguasa Baru Terjadinya Pengalihan kepemilikan tanah, telah memunculkan penguasapenguasa baru pada daerah tujuan (destinasi) pariwisata. Penguasa-penguasa baru tersebut mirip dengan munculnya bos-bos lokal (local bosisme) yang terjadi diera otonomi daerah. Kesamaannya, adalah penguasaan area-area yang sangat bernilai ekonomis untuk dijadikan sebagai lahan bisnis dan berpenghasilan sebagai sumber pendapatan yang cepat mendatangkan kapital dan modal. Demikian pula yang terjadi dikawasan area pariwisata, di kawasan desa ini lahan yang dulu tidak produktif kemudian berubah fungsi menjadi lahan-lahan ekonomis, seperti terbentuknya kelompok pengelola parkir yang dikoordinir oleh pemilik lahan baru yang dahulunya lahannya direlakan untuk dialihkan. Tak ketinggalan, jalan-jalan yang menuju tempat-tempat pariwisata. Setiap kendaraan yang masuk di kenakan restribusi. Restribusi tersebut dipungut oleh pemilik lahan yang kebanyakan disewa oleh wisatawan mancanegera (Wisman) untuk penggunaan hotel dan restoran. Berdasarkan kondisi tersebut telah menunjukkan adanya kekuasaan baru dalam wilayah-wilayah yang strategis yang berada di desa tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan dia memiliki modal yang berupa tanah yang dijadikan jalan, walaupun telah dijadikan jalanan umum, atau pun modal tanah yang kini sebahagian lagi disewakan pada orang lain. 2. Ketidakberdayaan mempertahankan kepemilikan hak atas tanah Terbukanya pasar penjualan tanah oleh pemerintah mendorong sebagian masyarakat untuk menjual tanahnya. Selain itu, penjualan tanah juga disebabkan oleh adanya tekanan dari pihak tertentu (jasa perantara dalam jual beli lahan) yang ingin mendapatkan keuntungan dari proses penjualan tanah, ISSN : 2087-0825 175 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 ataupun karena kebutuhan akan sejumlah dana untuk memenuhi keinginan dan tuntutan kekinian, adanya hal ini maka memunculkan ketidak berdayaan masyarakat dalam proses penjulan tanah. Ketidakberdayaan juga dialami oleh oleh lembaga adat akibat hegemoni oleh pemerintah. Hal itu direpresentasikan oleh ketua lembaga/Desa Adat. Dahulu sebelum pembangunan dilakukan oleh masyarakat atau pengusaha maka ada pemberitahuan (pesadok) terlebih dahulu, sesuai dengan ketentuan adat (awig-awig) yang berlaku. Namun demikian desa adat yang sifatnya hanya mengetahui saja. Sepanjang izin untuk pembangunan sampai diketahui pemerintah, baru tiang (saya) sarankan untuk melanjutkan kegiatan. Yan sampun (kalau sudah) ada ijin dari pemerintah tiang tidak ada masalah, peng ten tiang buklekanga nanti (agar tidak disudutkan nanti). Dari pernyataan ketua desa adat tersebut menunjukkan bahwa ada korporasi kapital dalam pengalihan kepemilikan tanah. Nampaknya ada struktur kelas dalam hal ini, adat memiliki modal kekuasaan, pengusaha punya modal uang, dan pemerintah mempunyai modal ijin pembangunan. Ketidakberdayaan masyarakat adat atas kekuasaan pemerintah mengindikasikan adat dalam kelas sub-ordinat. Hal tersebut seperti ditunjukkan dalam pernyataan ketua desa adat yang mengikuti kehendak pemerintah (pemberian ijin-ijin secara formal dibuat pemerintah). Selain itu, dalam pembuatan awig-awig (aturan-aturan kesatuan masyarakat banjar/desa) juga menunjukkan adanya hegemoni pemerintah. Hal ini ditunjukkan dalam acara-acara peresmian awig-awig desa disyahkan oleh pemerintah dan isinya pun tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Dengan demikian, lembaga adat sudah terhegemoni dengan berbagai alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah. REFLEKSI KRITIS Peranan modal sangat besar bagi pengusaha-penguasa yang berada di daerah tujuan (destinasi) pariwisata. Bagi duo-kembar ini adanya modal merupakan ADMINISTRATIO peluang guna menanamkan pengaruh dan modalnya pada kawasan potensial pariwisata. Sebagaimana dijelaskan diatas, Desa Ungasan sebagai obyek kajian ini, kondisi lingkungan alamnya sangat mendukung pengembangan fasilitas penunjang pariwisata, maka kawasan tempat dimana Desa ini berada merupakan ladang yang sangat memungkinkan untuk menanamkan modal dibidang pariwisata mengingat tingginya permintaan pasar pariwisata. Pasar dunia priwisata pada umumnya dikuasasi oleh kaum pemiliki modal pengetahuan, pengalaman, sehingga kebanyakan pembangunan dimiliki oleh mereka. Ketika masyarakat lokal menyadari dampak dari pariwisata ini, dengan kenyataan hampir semua lahan dikawasan tempat tinggal mereka telah dikuasai oleh kaum pemilik modal yang bekerjasama dengan penguasa, mereka tidak berdaya. Disinilah terasa, betapa sulitnya masyarakat lokal mengembangkan usaha mereka karena adanya kendala ketersediaan lahan yang telah dipindahtangan kan kepada pihak lain. Pemindahan hak kepemilikan hak tanah di Desa ini sudah berjalan cukup lama. Proses pemindahan bahkan berlangsung masif tanpa melalui sosialisasi dengan masyarakat desa. Bagi pemerintah kabupaten dan sebagian pemerintahan desa memanfaatkan proses ini dengan menggunakan pengaruh/kekuasaannya untuk mengelabui masyarakat. Karena hanya mereka ini yang memiliki pengetahuan yang akan mengendalikan situasi. Hal tersebut sejalan dengan teori kekuasaan, uang, dan pengatahuan yang menyatu dalam sebuah pengusaan atau hegemon. Hal inilah yang dulu pertama kali dirisaukan oleh Kritikus Michael Foucoult (2002;136) tentang pengaruh kekuasaan terhadap pengetahuan. Kritikus yang berkebangsaan perancis ini pernah merisaukan dampak kekuasaan dengan ilmu pengetahuan. Lewat kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki pihak pemerintah bisa menjalankan program dan kebijakannya dengan memanfaatkan ketidaktahuan pihak masyarakat. Hal yang sama pernah dirisaukan oleh Antonio ISSN : 2087-0825 M Ali Azhar; Marginalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata 176 Gramsci (1989), lewat konsep hegemoninya, tokoh yang berkebangsaan Italia ini mengkhawatirkan keterpinggiran masyarakat karena adanya hegemoni dari pihak penguasa beserta kelompokkelompoknya yang bersatu untuk mempertahankan eksistensi mereka. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Adhika, I Made, (2012). Komodifikasi kawasan Suci Pura Uluwatu, Denpasar: Udayana University press. Arida, I Nyoman Sukma, (2009). Meretas Jalan Ekowisata Bali; Proses Pengembangan, Partisipasi Lokal, dan Tantangan Ekowisata di Tiga Desa Kuno Bali, Denpasar; Udayana University Press. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2012, Bali dalam angka 2011. Baiquni, M., dkk, (2010). Pariwisata Berkelanjutan dalam pusaran Krisis Global Denpasar; Udayana University press. Madiun, I Nyoman, (2010). Nusa dua model Pengembangan kawasan ADMINISTRATIO wisata Modern, Denpasar; Udayana university press. Nordholt, Henk Schulte, (2010), Bali Benteng Terbuka 1995-2005, Denpasar; Pustaka Larasan Widiateja, I.G.N Parikesit, (2011). Kebijakan Liberalisasi Pariwisata; konstruksi, konsep ragam masalah dan Alternatif solusi, Denpasar; Udayana University press. Jurnal/makalah Prisma; Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi; Perselingkuhan Bisnis & Politik Kapitalisme Indonesia Pasca Otoritarianisme, edisi 32/2013. Jakarta; LP3ES. Pustaka; Jurnal Jurnal Ilmu Budaya, Volume XI, Nomor 2 edisi Agustus 2011. Denpasar: Udayana University Press. Makalah; Ajeg Bali Keragaman Bali, terpublikasi. & Tantangan (2006). Tidak Makalah; Tanggungjawab Desa Pakraman dan Desa Dinas dalam Hubungannya dengan Investasi, (2012). Tidak terpublikasikan. ISSN : 2087-0825