IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI Persiapan kultur bakteri uji bertujuan menjamin keseragaman kultur yang digunakan selama pengujian. Kultur bakteri uji terlebih dahulu dilakukan uji konfirmasi sederhana menggunakan pewarnaan Gram untuk mengetahui bakteri uji yang digunakan tidak terkontaminasi dengan bakteri lain. Bakteri diwarnai dengan zat warna kristal violet dan iodium, dibilas dengan alkohol, kemudian diwarnai lagi dengan zat warna merah safranin. Struktur dinding sel akan menentukan respon pewarnaan. Bakteri Gram-positif ditandai dengan warna violet sedangkan bakteri Gramnegatif ditandai dengan warna merah. Selanjutnya kultur bakteri uji disegarkan dalam media NB inkubasi 24 jam. Kemudian bakteri uji ditumbuhkan dalam media NA menggunakan metode tuang untuk mengetahui jumlah bakteri awal. Gambar 16. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk kokus (bulat). Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 5,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. aureus memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 17. Bentuk morfologi bakteri B.cereus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x 20 B. cereus ditandai dengan bentuk morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri B. cereus pada penelitian ini sebesar 7,4 x 106 CFU/ml (Lampiran 1). Jumlah Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri B. cereus memerlukan pengenceran sebesar 1/10 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri B. cereus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 18. Bentuk morfologi bakteri S.Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x S. Typhimurium ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna merah dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri S. Typhimurium pada penelitian ini sebesar 6,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri ini disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. Typhimurium memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri S. Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri Gram-positif terdiri dari peptidoglikan akan menjerap warna violet. Sedangkan bakteri Gram-negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan, yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar selnya tetap menahan zat warna merah. Jumlah awal kultur bakteri ini digunakan penyeragaman jumlah bakteri pada saat pengujian sehingga dapat terukur secara proporsional. Jumlah bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas antimikroba berkisar 105. Jumlah bakteri dengan kisaran tersebut dianggap jumlah yang cukup yaitu bakteri dapat tumbuh cukup sehat dan tidak terlalu banyak. Inokulum berkisar 105 direkomendasikan dalam pengujian aktivitas antimikroba (CDRH, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk bakteri uji B. cereus diperlukan pengenceran sebesar 1/10 sedangkan untuk bakteri uji S. aureus dan S. Typhimurium diperlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Bakteri B. cereus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 20 jam, bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 16 jam dan bakteri S. Typhimurium mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 12 jam (Parhusip, 2006). Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Menurut Sheu dan Freese (1972) bakteri pada fase stasioner lebih sensitif terhadap antimikroba 21 asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat daripada fase pertumbuhannya. Hal ini disebabkan penambahan asam lemak rantai pendek dapat dimanfaatkan oleh bakteri pada saat pertumbuhan sebagai sumber pembentuk asam lemak. B. PEMBUATAN SERBUK JAHE Sebanyak 3,06 kg rimpang jahe gajah segar dicuci bersih, ditiriskan dan diiris menggunakan slicer dengan ketebalan 1,5 mm. Jahe yang digunakan untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin yaitu jahe yang berumur 8 – 10 bulan (Purseglove et al., 1981). Pengupasan kulit tidak dilakukan untuk menghindari hilangnya kandungan minyak atsiri dalam jahe (Guenther, 1952). Semakin tipis lembaran jahe yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 55 oC selama 5 jam hingga kering. Proses pengeringan dapat menghilangkan air dengan baik sehingga sampel tidak mudah rusak dalam jangka waktu yang lama. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 °C sampai 90 °C, tetapi suhu yang terbaik tidak melebihi 60 °C (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dihaluskan dan diayak dengan ukuran 20 mesh hingga didapatkan serbuk jahe halus yang homogen. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas permukaan dan meningkatkan interaksi antara pelarut dengan senyawa yang akan diekstrak sehingga senyawa yang terekstrak semakin banyak pada tahap ekstraksi (Singh, 2008). Rendemen serbuk jahe gajah kering yang diperoleh dalam penelitian yaitu sebesar 9,98 % (w/w) (Lampiran 2). Serbuk jahe yang diperoleh kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk meminimalisir kerusakan. Serbuk jahe yang digunakan dalam penelitian hanya mengalami penyimpanan dalam lemari pendingin selama dua hari untuk selanjutnya dilakukan tahap ekstraksi. C. EKSTRAKSI MASERASI BERTINGKAT HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL DENGAN PELARUT Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam serbuk jahe dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Serbuk jahe sebanyak 100 g diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker sebesar 150 rpm. Pada metode maserasi bertingkat digunakan pelarut pada berbagai tingkat kepolaran maka akan diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik. Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan menguapkan dalam rotavapor. Pelarut heksan dan etil asetat diuapkan pada suhu 50 oC dan pelarut etanol diuapkan pada suhu 70 oC. Sisa pelarut dihilangkan dengan dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak jahe menguap. Setelah itu pemekatan disempurnakan dengan proses keringbeku menggunakan freeze dry. Kemudian ditutup rapat dalam vial dan disimpan dalam lemari pendingin hingga dilakukan analisis lanjut. Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi bertingkat diperoleh beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe. Masing-masing jenis ekstrak yang diperoleh dihitung rendemennya berdasarkan persentase bobot ekstrak jahe setelah dipekatkan dengan rotavapor dibandingkan dengan bobot serbuk jahe kering (100 gram). Data rendemen ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 3. 22 Tabel 10. Hasil ekstraksi jahe metode maserasi bertingkat dengan berbagai pelarut Jenis ekstrak Rendemen ekstrak jahe Warna ekstrak jahe (g/100g serbuk jahe kering) * Ekstrak Heksan (EH) 3,57 Coklat pekat Ekstrak Etil asetat (EEA) 3,17 Coklat pekat Ekstrak Etanol (EE) 3,02 Coklat pekat Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa ekstraksi yang diperoleh dari maserasi bertingkat dengan pelarut heksan menghasilkan rendemen ekstrak yang paling besar yaitu 3,57 % (w/w) kemudian ekstraksi dengan pelarut etil asetat yaitu 3,17 % (w/w) dan rendemen yang terkecil yaitu ekstraksi dengan etanol yaitu 3,02 % (w/w). Hasil ini menunjukkan kandungan pada jahe yang bersifat non-polar lebih dominan dibandingkan dengan komponen semi-polar dan polar pada jahe. Rendemen ekstrak jahe dihasilkan serupa dengan yang telah dilakukan oleh Radiati (2002) yang menyatakan ekstrak heksan dan etanol jahe dengan menggunakan metode maserasi bertingkat diperoleh sebesar 3,23 ± 0,25 dan 2,16 ± 0,31 % (w/w). Perbedaan tingkat kematangan jahe yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan perolehan rendemen ekstrak. Hal ini disebabkan akibat perbedaan kandungan senyawa dan jumlah senyawa yang terekstrak (Houghton dan Raman, 1998) . Pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang diharapkan dapat menguapkan sisa pelarut heksan, etil asetat dan etanol yang terdapat pada ekstrak jahe namun diduga menyebabkan komponen aktif pada ekstrak jahe ikut menguap dan dimungkinkan komponen aktif terdegradasi pada suhu pemekatan tersebut. Perlakuan keringbeku dimaksudkan untuk menghilangkan air yang masih terkandung dalam ekstrak dan menghindari pengeringan dengan panas yang dapat menghilangkan komponen volatil dalam ekstrak, namun perlakuan kering-beku menyebabkan rendemen ekstrak jahe berkurang. Kehilangan ekstrak jahe setelah perlakuan kering-beku berakibat pada hilangnya komponen aktif yang bersifat volatil yang terdapat dalam ekstrak jahe (Tabel 11, Lampiran 3). Tabel 11. Kehilangan ekstrak jahe setelah freeze dry Jenis ekstrak Rendemen ekstrak jahe (%) (g ekstrak /100g serbuk jahe kering) * Rendemen ekstrak jahe setelah freeze dry (%) (g ekstrak setelah freeze dry /100g serbuk jahe kering) * Ekstrak Heksan (EH) 3,57 2,68 % kehilangan ekstrak setelah freeze dry (((rendemen ekstrak– rendemen ekstrak setelah freeze dry) / rendemen ekstrak) x 100 %) 24,82 Ekstrak Etil asetat (EEA) Ekstrak Etanol (EE) 3,17 2,08 34,23 3,02 0,44 85,43 Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan Ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut heksan didapatkan rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,00 % (w/w) dan ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut 23 etanol didapatkan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,13 % (w/w) dan ekstrak jahe menggunakan microwave didapatkan rendemen sebesar 0,88 % (w/w) dengan pelarut heksan sedangkan dengan pelarut etanol didapatkan rendemen sebesar 1,14 % (w/w) (Alfaro et al., 2003). Menurut Fakhrudin (2008) ukuran serbuk jahe yang berbeda serta lamanya waktu ekstraksi dapat berpengaruh terhadap rendemen ekstrak jahe yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan diduga masih terdapat kadar air dalam jumlah yang sangat kecil pada ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan esktrak etanol jahe dapat dilihat dari karakteristik fisik hasil ekstrak yang berbentuk pasta setelah tahap perlakuan keringbeku. Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Gambar beragam ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 19. Heksan Etil asetat Etanol Gambar 19. Ekstrak kasar jahe dengan maserasi bertingkat D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL JAHE Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat diujikan aktivitas antimikrobanya terhadap B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium menggunakan metode difusi sumur pada konsentrasi ekstrak jahe sebesar 100 mg/ml dengan diameter sumur sebesar 5 mm ketebalan 4 mm. Pemilihan konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. (2007) yang secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella anatum dengan menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman. Uji difusi sumur bertujuan mengetahui potensi awal beragam ekstrak jahe sebagai antimikroba alami (Parish dan Davidson, 1993). Aktivitas antimikroba ekstrak jahe dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media NA yang diisikan ekstrak sampel, kontrol positif serta kontrol negatif. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri tidak tumbuh. Zona hambat diukur dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Nilai zona hambat ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 12 dan pada Lampiran 4. 24 Tabel 12. Zona hambat ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri uji Bakteri uji Zona hambat (mm) EH EEA EA Kontrol (+) Kontrol (-) B. cereus 20,6 0,0 6,1 6,6 6,0 S. aureus 16,6 0,0 5,0 5,7 1,3 S. Typhimurium 15,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Keterangan : EH: ekstrak heksan jahe; EEA: ekstrak etil asetat jahe; EA: ekstrak etanol jahe; (+) kontrol positif /antibiotik kloramfenikol 100µg/ml air steril; (-) kontrol negatif /DMSO Gambar 20 menunjukkan diameter hambat berupa zona bening yang menandakan adanya penghambatan dihasilkan oleh beragam ekstrak pada bakteri uji. Ekstrak heksan Kontrol (-) / DMSO Kontrol (+) / kloramfenikol Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol Gambar 20. Zona bening ekstrak jahe pada bakteri uji Secara umum terlihat bahwa kloramfenikol dengan konsentrasi 100 µg/ml air steril sebagai kontrol positif menunjukkan diameter penghambatan terbesar (15,0 – 20,6 mm). Pelarut DMSO sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona bening yang menandakan tidak adanya diameter penghambatan yang dihasilkan, sedangkan ekstrak jahe yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol menunjukkan diameter penghambatan yang beragam terhadap bakteri uji (1,3 – 6,6 mm), kecuali bakteri S. Typhimurium tidak menunjukkan adanya diameter penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mg/ml. Kontrol negatif yaitu DMSO merupakan pelarut untuk melarutkan ekstrak jahe sebelum digunakan dalam pengujian. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa DMSO tidak menunjukkan adanya zona bening sehingga peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antimikroba ekstrak jahe. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Singh et al. (2008) yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO merupakan pelarut umum yang digunakan dalam pengujian karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik non-polar maupun polar. DMSO berperan sebagai emulsifier. Selain itu, DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut komponen organik yang baik (Carey dan Sundberg, 2007). Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat. Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan karenanya digunakan dalam konsentrasi 25 yang kecil yaitu 0,01 % (w/v) sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak dengan kontrol positif yaitu sebesar 10.000 : 1. Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan mengukur potensi aktivitas antimikroba jahe. Kloramfenikol dapat menghambat sintesis protein pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida pada ribosom. Kloramfenikol dapat melumpuhkan sel bakteri tanpa mengganggu sel manusia dan eukariota lain (Madigan et al., 2003). Penggunaan antibiotik kloramfenikol mengacu pada penelitian Ahmad dan Beg (2001) yang secara efektif dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 100 µg/ml. selain itu kloramfenikol termasuk antibiotik yang memiliki spektrum penghambatan yang luas (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil penelitian antibiotik kloramfenikol diketahui dapat menghambat bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium berturut-turut yaitu 20,6; 16,6; 15,0 mm. Kloramfenikol dilaporkan dapat menghambat bakteri patogen lain diantaranya pada 20 serogroups E. coli yaitu serogroups yang bersifat patogen seperti E. coli O8 (enterotoxigenic E. coli, ETEC) dan E. coli O157 (enterohemorrhagic E. coli, EHEC) serta E. coli yang bersifat non-patogen seperti E. coli O86, O30, O1, O69, O80, O88, O91, O51, O25, O116, O78, O22, O101, O33, O173, O104, O165 dan O63 dengan penghambatan berkisar antara 22 – 31 mm pada konsentrasi 30 µg/disk (Indu et al., 2006). Kloramfenikol pada konsentrasi 10 mg/ml DMSO dilaporkan tidak dapat menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae (Singh et al., 2008). Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml tidak dapat menghambat bakteri uji S. Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. Typhimurium lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Kandungan ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml belum mampu melisis sel bakteri S. Typhimurium. Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dari dinding sel yaitu lapisan lipopolisakarida (LPS) antara bakteri Gram-negatif dan bakteri Gram-positif. Bakteri Grampositif memiliki dinding sel yang lebih sederhana, dengan jumlah peptidoglikan yang relatif banyak. Dinding sel bakteri Gram-negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel Gram-negatif mengandung lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik (beracun) dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem pertahanan sel inangnya (Campbell et al., 2003). Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri S.Typhimurium ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh sehingga diduga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat. Penggolongan sifat aktivitas penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri S. aureus, B. cereus dan S. Typhimurium pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Sagdic et al. (2005) yang menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan sebesar > 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm. 26 Gambar 21. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml (diameter lubang = 5 mm, rata – rata diameter hambat diperoleh dari duplo) Secara umum dapat dilihat pada Gambar 21 bahwa ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mempunyai kemampuan antimikroba yang tergolong lemah terhadap bakteri uji (1,3 – 6,6 mm), kecuali S. Typhimurium yang tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mg/ml. Secara umum bakteri Gram-positif paling baik dihambat oleh ekstrak etil asetat jahe. Aktivitas antimikroba ekstrak jahe yang tergolong lemah ini disebabkan pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang tinggi serta perlakuan kering-beku sehingga menyebabkan komponen volatil dalam ekstrak jahe menguap. Komponen yang dapat terekstrak oleh pelarut heksan bersifat non-polar meliputi parafin, asam lemak, asam lemak metil ester, di-, dan tri-terpen serta pigmen (Shi et al., 2007). Pelarut etil asetat bersifat semi-polar sehingga dapat melarutkan komponen yang bersifat semi-polar meliputi senyawa steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid dan glikosida sedangkan pelarut etanol bersifat polar sehingga dapat melarutkan komponen polar meliputi senyawa tannin, terpenoid, alkaloid, sterol dan polifenol (Cowan, 1999). Pelarut heksan merupakan pelarut organik non-polar yang digunakan pertama dalam tahap ekstraksi menggunakan maserasi bertingkat. Pelarut heksan hanya dapat mengekstrak senyawasenyawa yang juga bersifat non-polar dari jahe. Kandungan utama senyawa yang ada dalam ekstrak heksan jahe yaitu zingiberen, farnesen, ß-phellandren. Senyawa ini diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus (Singh et al., 2008). Diameter penghambatan yang terukur diketahui bahwa senyawa non-polar yang terkandung dalam ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba tertinggi kedua (5,0 – 6,1 mm) setelah ekstrak jahe menggunakan pelarut etil asetat (5,7 – 6,6 mm) dengan maserasi bertingkat. Ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter penghambatan yang lebih tinggi dibanding ekstrak etanol jahe (1,3 – 6,0 mm) yang diperoleh dengan maserasi bertingkat terhadap bakteri S. aureus dan B. cereus. 27 Senyawa steroid dan terpenoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi heksan jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa steroid dan terpenoid merupakan golongan minyak atsiri termasuk senyawa yang berperan sebagai antimikroba. Nychas (1995) menyatakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Senyawa ini memiliki mekanisme penghambatan dengan cara merusak dinding sel disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya juga mengandung fenol yang merupakan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil (CO) (Beuchat, 1994). Minyak atsiri dapat terekstrak dalam pelarut heksan yang bersifat non-polar. Komponen bioaktif terbesar dalam minyak atsiri jahe telah dikarakterisasi oleh El-Baroty et al. (2010) dengan menggunakan bioautografi TLC yaitu β-sesquiphellandren, caryophyllen dan zingiberen. Senyawa tersebut menurut El-Baroty et al. (2010) merupakan senyawa yang berperan dalam menghambat bakteri B. subtilis, S. aureus dan K. pneumoniae. Daya penghambatan yang dihasilkan oleh senyawa antimikroba tidak hanya ditentukan dari jumlah komponen terbesar pada bahan. Senyawa antimikroba dapat pula dihasil dari komponen minor pada bahan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ekstrak heksan pada jahe dapat menghambat bakteri Coliform bacillus, Strapylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans berturut-turut yaitu 4,0; 4,5 dan 5,0 mm pada konsentrasi 1 % (v/v) (Malu et al., 2009). Hal ini menunjukkan ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat menghasilkan aktivitas penghambatan pada bakteri namun masih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat. Selain itu, penggunaan pelarut heksan, metanol dan aseton sebagai pelarut pangan sangat dibatasi akibat sifat pelarut yang tidak ramah lingkungan (Singh, 2008) serta limit residu pelarut heksan dalam bahan makanan tidak dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut heksan (Handa, 2008), dengan demikian ekstrak heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai sumber pengawet pangan alami. Pelarut etil asetat merupakan pelarut kedua yang digunakan pada ekstraksi jahe gajah maserasi bertingkat setelah pelarut heksan. Pelarut etil asetat jahe dapat mengekstrak senyawa alkaloid, flavonoid dan glikosida yang terdapat pada ekstrak jahe gajah. Senyawa tersebut dapat bersifat antimikroba dengan mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri yang berbeda sesuai karateristiknya(Cowan, 1999). Senyawa flavonoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa flavonoid termasuk dalam salah satu subklas senyawa fenolik. Subklas senyawa fenolik lainnya yaitu fenol sederhana, asam fenolik, quinone, flavon, flavonol dan tannin (Cowan, 1999). Senyawa flavonoid pada tumbuhan berfungsi mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, serta mengatur kerja antiserangga (Harborne, 1993). Senyawa flavonoid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara membentuk kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999). Membran sitoplasma pada bakteri berperan mempertahankan kandungan yang di dalam sel serta mengatur keluar masuknya bahan-bahan yang dibutuhkan oleh sel bakteri. Membran berfungsi memelihara integritas komponen-komponen seluler. Senyawa yang bersifat antimikroba dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada membran sel. Kerusakan pada membran sel dapat mengakibatkan pertumbuhan sel terganggu bahkan dapat menyebabkan sel mati (Madigan et al., 2003). 28 Senyawa alkaloid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa alkaloid merupakan senyawa alami amina yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1993). Senyawa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu sintesis DNA dan dinding sel (Cowan, 1999). Ekstrak etil asetat yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dan S. aureus dengan zona penghambatan lebih tinggi dibanding ekstrak heksan dan etanol yang diperoleh dengan maserasi bertingkat yaitu sebesar 6,6 mm dan 5,7 mm. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh praktik produksi yang baik (GMP/ Good Manufacturing Practices). Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etil asetat sebesar 400 ppm (Handa, 2008). Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat jahe disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak jahe merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar (air) tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat berikatan dengan membran bakteri (Branen, 1993), sehingga pada bakteri uji, komponen aktif bersifat lipofilik yang terdapat dalam ekstrak etil asetat jahe diduga dapat berikatan dengan membran sel B. cereus dan S. aureus sedangkan komponen hidrofilik menyeimbangkan dengan lingkungan sekitar sehingga membran sel mengalami peningkatan permeabilitas membran yang kemudian dapat menyebabkan kandungan mineral dalam sitoplasma keluar sehingga menyebabkan sel lisis. Pelarut etanol merupakan pelarut polar yang digunakan pada tahap akhir dari ekstraksi jahe maserasi bertingkat. Ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat mempunyai kemampuan menghambat bakteri uji terendah (1,3 – 6,6 mm) dibandingkan ekstrak heksan jahe (5,0 – 6,1 mm) dan ekstrak etil asetat jahe (5,7 – 6,6 mm). Rendahnya aktivitas penghambatan dari ekstrak etanol jahe gajah ini dapat diakibatkan oleh kandungan komponen aktif pada ekstrak etanol yang berkurang akibat ekstraksi sebelumnya dengan menggunakan etil asetat, diduga senyawa bersifat polar yang ikut terekstrak dalam pelarut etil asetat sehingga menyebabkan berkurangnya komponen aktif yang ada pada ekstrak etanol jahe diantaranya senyawa alkaloid dan senyawa flavoniod. Hal ini terlihat pula pada rendemen ekstrak etanol jahe diperoleh lebih rendah dibanding ekstrak heksan dan ekstrak etil asetat jahe dengan maserasi bertingkat. Ekstrak etanol jahe mempunyai kemampuan hambat dengan diameter penghambatan 6,0 mm terhadap B. cereus dan 1,3 mm terhadap S. aureus namun penghambatannya tidak sebesar ekstrak heksan jahe dan ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Senyawa tannin yang bersifat polar diduga terlarut dalam fraksi ekstrak etanol jahe dengan maserasi bertingkat. Senyawa tannin yang berada dalam fraksi ekstrak etanol jahe dapat berperan sebagai senyawa antimikroba. Senyawa tannin merupakan salah satu subklas dari senyawa fenolik polimer. Senyawa tannin memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim sel bakteri (Cowan, 1999). Penelitian sebelumnya menyatakan ekstrak etanol jahe dapat menghambat kapang diantaranya Aspergillus flavus, Aspergillus solani, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan 29 Fusarium moniliforme dengan dosis 2 µl secara berturut-turut 9,2 ± 1,2; 35,6 ± 1,1; 29,2 ± 1,0; 25,3 ± 0,4; 20,6 ± 1,1 mm (Singh et al., 2008). Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etanol cukup besar yaitu 1000 ppm (Handa, 2008). Namun dalam penelitian ini didapat bahwa ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat bukan merupakan senyawa antimikroba yang baik untuk dikembangkan sebagai pengawet alami. Hal ini dapat terlihat dari rendemen ekstrak etanol yang rendah setelah perlakuan kering-beku (0,44 % (w/w)) dibanding rendemen ekstrak heksan jahe dan ekstrak etil asetat jahe, sehingga dimungkinkan kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak etanol lebih sedikit daripada ekstrak heksan dan etil asetat jahe. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat memiliki aktivitas antimikroba yang tertinggi terhadap bakteri B. cereus dan S. aureus. Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif (Parish dan Davidson, 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak etil asetat yang diperoleh dari maserasi bertingkat dijadikan sebagai ekstrak terpilih untuk tahap selanjutnya yaitu tahap pengujian aktivitas penghambatan dengan menggunakan metode dillution broth terhadap bakteri yang menunjukkan penghambatan oleh ekstrak etil asetat yaitu bakteri B. cereus dan S. aureus. E. PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN EKSTRAK ETIL ASETAT JAHE Pengujian aktivitas penghambatan lanjut dilakukan terhadap ekstrak etil asetat jahe melalui pengujian aktivitas antimikroba dengan metode dillution broth. Metode tersebut direkomendasikan oleh Gutierrez et al. (2009) sebagai metode yang baik untuk pengujian aktivitas penghambatan yang bertujuan mengetahui konsentrasi hambat minimal. Metode pengenceran memiliki kelebihan yaitu dapat diketahui adanya kontaminasi dan dapat dilakukan untuk bahan berwarna keruh serta data yang diperoleh bersifat kuantitatif (Parish dan Davidson, 1993). Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 mg/ml untuk S. aureus dan B. cereus. Pemilihan kisaran konsentrasi ini mengacu pendekatan yang dilakukan oleh Radiati (2002) yang menemukan bahwa pada kisaran konsentrasi tersebut terdapat konsentrasi hambat minimal untuk bakteri uji yaitu dengan menggunakan ekstrak semipolar (diklorometan) dapat menghambat bakteri S. Typhi sebesar 10 mg/ml. Ekstrak etil asetat jahe akan menunjukkan aktivitas antimikroba kandungan semi-polar dari jahe. Pengujian aktivitas antimikroba secara kuantitatif dilakukan pada ekstrak terpilih yaitu ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat pada suhu pemekatan 50 oC terhadap bakteri uji yang menunjukkan aktivitas penghambatan. Penurunan jumlah bakteri dihitung berdasarkan persentase selisih dari jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) ditentukan jika pada konsentrasi ekstrak jahe terendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau terjadi penurunan jumlah bakteri sebesar 90 % dari jumlah bakteri awal. Nilai penghambatan secara kuantitatif didapat dilihat pada Tabel 13, Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7. 30 Tabel 13. Hasil pengujian aktivitas penghambatan ekstrak etil asetat jahe Jenis bakteri Konsentrasi Jumlah bakteri (CFU/ml) ekstrak etil asetat jahe (mg/ml) Inkubasi 0 jam Inkubasi 24 jam 5 B. cereus 0 2,3 x 10 1,0 x 108 5 10 S. aureus 5 1,9 x 10 5 1,8 x 10 5 Penurunan jumlah bakteri (%) - 7 - 5 4,7 x 10 8,8 x 104 73,13 85,22 1,0 x 10 15 3,2 x 10 20 2,0 x 105 9,0 x 105 2,2 x 104 9 - 5 6 - 6 - 6 - 5 47,25 0 5 10 15 20 8,7 x 10 5 9,1 x 10 5 9,4 x 10 5 9,1 x 10 1,5 x 10 9,8 x 10 5,2 x 10 4,7 x 10 4,8 x 10 Nilai penghambatan seperti ditunjukkan pada Tabel 13, menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak etil asetat jahe 15 % (mg/ml DMSO) bakteri B. cereus mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 73,13 % dan pada konsentrasi ekstrak etil asetat jahe 20 % (mg/ml DMSO) bakteri B. cereus mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 85,22 % sedangkan pada konsentrasi ekstrak etil asetat jahe 20 % (mg/ml DMSO) bakteri S. aureus mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 47,25 %. Konsentrasi ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dengan suhu pemekatan 50 oC menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri uji setelah inkubasi 24 jam dibandingkan dengan jumlah bakteri awal namun belum mencapai 90% sehingga nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) tidak dicapai pada konsentrasi ekstrak etil asetat yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dengan suhu pemekatan 50 oC antara 5 – 20 mg/ ml terhadap B. cereus dan S. aureus. Penggunaan konsentrasi hambat yang lebih besar tidak dilakukan karena tidak efektif dalam aplikasinya. Penurunan jumlah bakteri yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat jahe dari maserasi bertingkat terhadap B. cereus lebih kecil dibandingkan terhadap bakteri S. aureus. Hasil penelitian yang diperoleh dari metode ini tidak lebih efektif dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Coopoosamy et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang lebih rendah ekstrak etil asetat dengan maserasi tunggal dari tamanan Siphonochilus aethiopicus yaitu sebesar 4,0 mg/ml telah dapat menghambat minimal terhadap bakteri S. aureus dan B. cereus. Nilai MIC yang lebih rendah menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari tamanan Siphonochilus aethiopicus lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Siphonochilus aethiopicus merupakan jenis tanaman yang dikenal sebagai jahe liar berasal dari Afrika Selatan. Siphonochilus aethiopicus bukan termasuk dalam genus Zingiber. Begitupula dengan ekstrak etil asetat dari bahan lain seperti Eupatorium lindleyanum dengan maserasi tunggal menghasilkan nilai penghambatan minimal pada bakteri S. aureus yaitu sebesar 0,4 mg/ml dan pada B.cereus sebesar 0,8 mg/ml (Ji et al., 2008). Hal ini berarti ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dengan suhu pemekatan 50 oC dan perlakuan kering-beku tidak lebih efektif dibanding ekstrak etil asetat tanaman Eupatorium lindleyanum dalam menghambat bakteri S. aureus dan B. cereus. Ekstrak metanol jahe dengan menggunakan maserasi tunggal didapatkan nilai penghambatan minimal yaitu 0,66 mg/ml pada B. cereus dan 2,64 mg/ml pada S. aureus (Al-Zoreky dan Nakahara, 2003). Ekstrak jahe dengan menggunakan satu macam pelarut yaitu dengan metanol 31 dapat menghasilkan aktivitas antimikroba yang lebih kuat dibandingkan dengan aktivitas antimikroba ekstrak jahe yang dihasilkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat. Ekstrak yang didapatkan dengan menggunakan maserasi bertingkat menghasilkan komponen yang lebih spesifik sesuai dengan pelarut yang digunakan, namun tidak lebih baik dibandingkan dengan ekstrak jahe yang didapatkan menggunakan maserasi tunggal dengan satu macam pelarut. Ekstrak dengan maserasi tunggal dapat mengekstrak komponen yang tidak lebih spesifik dari maserasi bertingkat. Hal ini menandakan adanya sinergi antar komponen yang terdapat pada ekstrak jahe dalam satu macam pelarut. Ekstraksi komponen aktif pada jahe dengan menggunakan maserasi bertingkat pada suhu pemekatan yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpotensi untuk dikembangkan sebagai metode dalam mengekstrak komponen jahe untuk keperluan antimikroba alami. Sinergi merupakan peningkatan aktivitas penghambatan yang terjadi saat dua bahan antimikroba yang dikombinasikan kemudian dibandingkan dengan bahan antimikroba tunggal (Parish dan Davidson, 1993). Ekstrak etanol jahe dikombinasikan dengan ekstrak etanol dari tanaman lainnya seperti lemon (Citrus aurantifolia Linn) dapat menghasilkan aktivitas penghambatan dengan diameter penghambatan antara 9 – 19 mm terhadap bakteri B. cereus, S. aureus, E. coli dan Salmonella spp. (Onyeagba et al., 2004). Aktivitas penghambatan ekstrak etanol jahe dengan ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum) juga menunjukkan adanya sinergi dalam menghambat bakteri S. aureus, S. Typhi dan E. coli (Neogi et al., 2007). 32