BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi Diabetes Melitus
DM merupakan kelainan kronis pada homeostasis glukosa yang ditandai
dengan beberapa hal yaitu peninggian kadar gula darah, kelainan dari kerja
insulin, sekresi insulin dari pankreas yang abnormal dan peningkatan produksi
glukosa oleh hepar (Camacho, 2011)
2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi diabetes melitus :
a. Tipe 1 : DM yang disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas dan
rentan terhadap ketoasidosis. DM tipe ini termasuk juga DM yang
disebabkan oleh autoimun dan etiologi kerusakan sel beta yang tidak
diketahui
b. Tipe 2 : DM yang disebabkan resistensi insulin.
c. Gestasional : DM yang onsetnya saat Kehamilan.
d. Tipe lain : DM yang terjadi karena penyakit lain, atau karna penggunaan
narkoba
Menurut ADA (2012) dalam Goldenberg (2013)
2.1.3. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kerusakan sel-sel beta pada pankreas secara selektif. Pada DM tipe 1 atau IDDM
(Insulin Dependent Diabetes Melitus). Inti permasalahannya adalah gangguan
atau destruksi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Penderita DM tipe 1
akan menunjukan gejala ketika umur 14 tahun, oleh karena itu diabetes tipe ini
disebut diabetes melitus juvenilis. Tanpa insulin penderita DM tipe I akan
mengalami penyulit metabolik yang parah seperti ketoasidosis akut dan koma
(Robin & Kumar, 2003).
6
DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari DM tipe 1.
Penelitian di Finlandia membuktikan pada seorang yang kembar akan
meningkatkan faktor resiko saudara kembarnya mengalami DM setinggi 40%.
Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkat kejadian
Diabetes tipe 2 lebih tinggi daripada tipe 1. Studi genetika molekular pada
diabetes tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan
sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini disebut sebagai
insulinopati (Al Homsi, 1993).
Pada diabetes melitus tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependen Melitus),
faktor auotoimun tidak berperan disini. Genetik, faktor lingkungan, gaya hidup,
asam lemak bebas dan mediator inflamasi jelas lebih berperan dalam DM tipe
2. Dua defek metabolik yang menandai DM tipe 2 yaitu gangguan dalam
sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespon
terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan sekresi insulin akan
menyebabkan penurunan respon terhadap glukosa sehingga terjadi gangguan
toleransi glukosa (TTGO). Pasien dengan gangguan sekresi insulin pada tahap
awal akan menunjukan hiperglikemik postprendial. Salah satu penyebab
gangguan sekresi insulin adalah faktor genetik. Faktor genetik tidak hanya
mempengaruhi reseptor insulin pada IRS 1, penelitian terakhir menunjukan
adanya pengaruh suatu protein. Protein ini disebut UCP 2 (incoupling protein
2) yang diekspresikan pada sel beta. Kadar UCP 2 yang meningkat di intrasel
akan menimbulkan kurang sensitifnya respon insulin terhadap peningkatan
glukosa sedangkan kadar UCP 2 yang rendah akan memperkuatnya. Oleh
karena itu peningkatan jumlah UCP 2 akan menghilangkan sinyal glukosa.
Selain gangguan dalam sekresi insulin, DM tipe 2 juga disebabkan oleh
resistensi insulin. Mekanisme seluler utama resistensi insulin masih belum
jelas, tetapi ada kaitannya dengan tempat kerja utama insulin pada otot dan
jaringan lemak serta hati. Gangguan dapat terjadi pada reseptor insulin atau
sinyal pasca reseptor di jaringan kerja utama insulin (Robin & Kumar, 2003;
Ozougwu et al., 2013 ).
7
Sebagian besar pasien dengan insulinopati menderita hiperinsulinemia,
dan bereaksi normal terhadap insulin eksogen. Insulin resistensi tidak cukup untuk
menyebabkan overt glucose intolerance, tetapi dapat mempengaruhi peranan yang
signifikan dalam kasus obesitas yaitu dengan penurunan fungsi insulin. Sel lemak
mengeluarkan molekul seperti faktor nekrosis tumor (TNF) dan asam lemak. TNF
yang lebih dikenal efeknya terhadap peradangan dan imunitas, dapat
menyebabkan resistensi insulin melalui sinyal pasca reseptor. Asam lemak yang
dikeluarkan sel lemak dapat menimbulkan resistensi insulin tetapi mekanismenya
belum jelas (Kohei, 2010).
2.1.4. Gejala dan Tanda
Gejala yang mengarah ke diagnosis DM yaitu dimulai adanya tiga gejala
klasik yaitu poliuria (sering buang air kecil), polidipsi (sering merasa haus) dan
polifagi (nafsu makan yang meningkat) oleh penderita DM. Gejala lain yang dapat
muncul yaitu kesemutan, mata kabur, impotensi pada pria dan pruritus vulva pada
wanita (Robin & Kumar, 2003).
Menurut Al Homsi 1993 pada awalnya, penderita DM dapat mengalami
peningkatan berat badan oleh karena kadar gula yang tinggi di dalam tubuhnya.
Perlu waspada apabila keinginan minum terlalu berlebihan dan juga merasa ingin
makan terus. Berat badan yang pada awalnya terus melejit naik dan tiba-tiba turun
terus tanpa diet. Gejala lain, yang dapat dialami adalah gangguan saraf tepi berupa
kesemutan terutama di malam hari, gangguan penglihatan, gatal di daerah
kemaluan atau lipatan kulit, bisul atau luka yang lama sembuh, gangguan ereksi
pada pria dan keputihan pada perempuan. Pada tahap awal gejala umumnya
ringan sehingga tidak dirasakan, baru diketahui sesudah adanya pemeriksaan
laboratorium.
Pada tahap lanjut gejala yang muncul antara lain :
a. Rasa haus
d. Rasa lapar
b. Banyak kencing
e. Badan lemas
c. Berat badan turun
f. Rasa gatal
8
g. Kesemutan
i. Kulit Kering
h. Mata kabur
j. Gairah sex lemah
Selain ditemukan tiga trias diatas, untuk menentukan seseorang mengalami
DM juga terdapat beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis menurut
ADA 2015 yang di rekomendasikan oleh NDEI kriteria diagnosis DM ada 4
katagori yaitu :
a.
A1C ≥6.5% ( Menggunakan metode NGSP-certified dan DCCT assay)
b.
GDP ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L) ( waktu puasa tanpa ada masukan kalori
selama ≥ 8 jam)
c.
2 jam GD ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) during OGTT (75-g)
d.
Random GD ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Namun bagi pasien yang memiliki faktor resiko terkena DM harus dilakukan
skrining tes karena bisa jadi pasien tersebut mengalami DM tipe 2 yang
asimptomatik. Skrining dilakukan pada pasien yang
BMI ≥ 25 pada orang
amerika atau ≥ 23 pada orang asia (NDEI, 2015).
Skrining juga harus dilakukan pada seseorang yang masuk, minimal 1 dari kriteria
dibawah ini :
Tabel 2. Faktor Resiko Diabetes ( NDEI, 2015)
Diabetes Risk Faktors
 Physical inactivity
 First-degree relative with diabetes
 High-risk race/ethnicity
 Women who delivered a baby > (lb or were diagnosis GDM
 HDL-C <35 mg/dL ± TG >250 mg/dL
 Hypertension (≥140/90 mm Hg or on teraphy)
 A1C ≥5.7%, IGT, or IFG on previous testing
 Conditions associated with insulin resistence: severa obesity, acanthosis
nigricans, PCOS
 CVD history
9
Skrining ini dimulai ketika seseorang berusia 45 tahun terutama mereka yang
memiliki kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas. Jika pada skrining
awal ditemukan hasil yang normal perlu dilakukan pemantauan skrining setiap 3
tahun sekali. Tes skrining yang dilakukan bisa menggunakan salah satu dari 4
kriteria diagnosa DM (NDEI, 2015).
2.1.5. Terapi
Tujuan umum penatalaksanaan DM adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang DM, yang dapat dibagi lagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangka
panjang:
1. Menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah pada jangka pendek
2. Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati pada jangka panjang (Perkeni, 2011).
Tujuan akhir pengelolaan DM adalah penurunan morbiditas dan mortalitas
DM (Perkeni, 2011). Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah
perbaikan gaya hidup. Strategi lain adalah penggunaan obat-obatan untuk
mengontrol kadar glukosa darah (Maritim et al, 2003).
Di Indonesia dikenal empat pilar penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani, dan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani bersifat aerobik dengan frekuensi 3-4 kali
seminggu berdurasi 30 menit, dan bila target kadar glukosa darah belum tercapai
maka ditambahkan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin (Perkeni, 2011).
Intervensi farmakologis dalam penatalaksanaan DM yaitu :
1.
Obat hipoglikemik oral, terdiri dari:

Golongan obat pemicu sekresi insulin, yaitu sulfonilurea dan glinid.

Golongan obat yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
yaitu metformin dan tiazolidindion.
10
2.

Golongan obat penghambat glukoneogenesis, yaitu metformin.

Golongan obat penghambat absorpsi glukosa, yaitu acarbose.

Golongan inhibitor dipeptidyl peptidase-4(DPP-4).
Suntikan :

Insulin

Agonis glucagon-like peptide-1(GLP-1) atau incretin mimetic
(Perkeni, 2011).
2.1.6. Prognosis
Prognosis pasien DM tergantung pada kadar glukosa darah, HbA1c,
kolesterol, tekanan darah, dan berat badan yang terkontrol sangat penting sebagai
faktor penentu prognosis. Pasien DM tipe 1 yang dapat survive dalam waktu 1020 tahun setelah onset tanpa komplikasi, pasien tersebut memeiliki prognosis
yang baik. Faktor lain yang berpengaruh terhadap prognosis penyakit ini adalah
edukasi dan motivasi, kesadaran pasien, serta tingkat pendidikan pasien
(Soegondo, 2004)
2.1.7. Komplikasi
Komplikasi Akut
Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60
mg/dL. Hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar,
sakit kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku
yang aneh, sensorium yang
tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa
serangan hipoglikemia adalah serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau
bahkan kematian (Perkeni, 2011).
11
b. Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius
yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua
keadaan diatas. Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 bisaanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara
lain infeksi penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal
dan obat-obatan (Smeltzer, dkk, 2002).
Komplikasi Kronik
Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar
disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM
tersebut hampir mengenai semua organ tubuh Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi
makrovaskular (Sudoyo, 2009).
a. Komplikasi Mikrovaskular :
1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)
Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan
penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati
diabetik, atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina
adalah jaringan yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan
mengalami kerusakan secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk
mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan (Soegondo,
2004).
12
2. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting
pada DM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua
lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus
(peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difusi pada
membrane basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin
dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan
vascular secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit
kardiovaskular. Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya
disertai dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah
terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin > 0,5 g/24 jam), GFR menurun
secara progresif dan terjadi gagal ginjal (Bakta at al, 1999).
3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)
Neuropati akan terdeteksi pada pasien yang telah memiliki DM selama 10
tahun dan presentasinya 40%-50% (Dyck et al., 1993). Sedangkan pada seseorang
yang mengalami DM tipe 1 dan onsetnya muncul sebelum usia 5 tahun akan
mengalami neuropati >50% (Nelson et al., 2006). Faktor resiko dari neuropati
adalah peningkatan kadar glukosa darah, peningkatan trigliserid, peningkatan
IMT, merokok dan hipertensi ( Tesfaye et al., 2005). Neuropati disbetik yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom (Soegondo, 2004).
b. Komplikasi Makrovaskular :
Komplikasi
makrovaskular
terutama
terjadi
akibat
aterosklerosis
(pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan
gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan
mortalitas. Pada DM terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel arteri dan dapat
disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada
pasien DM. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat
sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel
13
endotel akan mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi
pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos
berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin
merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang merobek-robek sel
endotel ( International Diabetes Federation, 2008).
Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular.
Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi
vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan gangren pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri
koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun
(Perkeni, 2002).
2.2. HDL dan LDL
2.2.1. Definisi
LDL (low density lipoprotein) adalah lipoprotein pengangkut kolesterol
terbesar manusia, yaitu 70%. LDL terbentuk dari sisa VLDL atau IDL. LDL
mempunyai reseptor di hati yaitu Apo B-100 E. Sehingga sebagian sisa LDL akan
diangkut menuju hati melalui reseptor tersebut sedangkan sebagian lainnya akan
mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A(SR-A) di makrofag
dan akan menjadi sel busa (Murray et al, 2009).
HDL (high density lipoprotein)adalah lipoprotein yang disintesis di hati dan
disekresikan di usus. HDL yang disintesiskan ini mengandung Apo A, C, dan E
namun ia miskin kolesterol hal ini disebut dengan HDL nascent yang menerima
kolesterol bebas dari sel termasuk makrofag. Setelah HDl nascent menerima
koleterol bebas maka HDL akan berubah menjadi bulat. Kolesterol bebas akan
terakumulasi pada HDL tersebut dan akan mengalami esterifikasi oleh enzim
lecithin cholesterol acyltransfease (LCAT) menjadi ester. HDL akan membawa
sebagian kolesterol ester ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor kelas B
tipe 1 (SR-B1). Sebagian lagi akan ditukar dengan trigliserida dari VLDL dan
IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP) (Adam, 2006).
14
2.2.2. Fisiologi dan Biokimiawi HDL dan LDL
HDL adalah partikel lipoprotein terkecil, memiliki densitas yang paling
tinggi karena lebih banyak mengandung protein dibandingkan kolesterol.
Kandungan apolipoprotein terbanyak adalah Apo A-I dan Apo A-II. Hati
mensintesis lipoprotein sebagai kompleks dari
apolipoprotein dan fosfolipid,
yang membentuk partikel kolesterol bebas, kompleks ini mampu mengambil
kolesterol yang dibawa secara internal dari sel melalui interaksi dengan ATPbinding cassette transporter AI (ABCA1). Suatu enzim plasma yang disebut
Lecithin-cholesterol acyltransferase (LCAT) mengkonversi kolesterol bebas
menjadi kolesterol ester (bentuk yang lebih hidrofobik dari kolesterol), yang
kemudian tersekuestrasi kedalam inti dari partikel lipoprotein, akhirnya
menyebabkan HDL yang baru disintesis berbentuk bulat. Partikel HDL
bertambah besar karena mereka beredar melalui aliran darah dan memasukkan
lebih banyak kolesterol dan molekul fosfolipid dari sel dan lipoprotein lainnya,
misalnya dengan interaksi dengan transporter ABCG1 dan Phospholipid
Transport Protein (PLTP) (Murray, 2009).
HDL mengangkut kolesterol sebagian besar ke hati atau organ
steroidogenik seperti adrenal, ovarium, dan testis oleh kedua jalur langsung dan
tidak langsung. HDL akan dibersihkan oleh reseptor HDL seperti Scavenger
Reseptor BI (SR-BI), yang memediasi penyerapan selektif kolesterol dari HDL.
Pada manusia, mungkin jalur yang paling relevan adalah yang tidak langsung,
yang diperantarai oleh Kolesterol Ester Transfer Protein (CETP). Protein ini
merubah trigliserida dari VLDL terhadap ester kolesterol HDL. Sebagai hasilnya,
VLDL diproses untuk LDL, yang dibuang dari sirkulasi oleh reseptor LDL jalur.
Kolesterol yang ditranspor ke hati akan dieksresikan ke empedu usus baik secara
langsung maupun tidak langsung setelah konversi menjadi asam empedu.
Pengiriman kolesterol HDL ke adrenal, ovarium, dan testis penting untuk sintesis
hormon steroid (Murray, 2009).
15
HDL
dilepaskan
sebagai
partikel
kecil
miskin
kolesterol
yang
mengandung apoliprotein (apo) A, C, dan E disebut HDL nascent. HDL nascent
berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan mengandung
apoliprotein A1. HDL nascent akan mendekati makrofag untuk mengambil
kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil
kolesterol dari
makrofag. HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa yang berbentuk bulat.
Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol bebas) dibagian
dalam dari makrofag harus dibawa kepermukaan membran sel makrofag oleh
suatu
transporter
yang
disebut
adenosine
triphosphate-binding
cassette
transporter-1 atau disingkat ABC-1 (Adam, 2006).
Sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua
jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh reseptor SR-B1. Jalur kedua
dari VLDL dan LDL dengan bantuan CETP. Dengan demikian fungsi HDL
sebagai “penyiap” kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung
ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan LDL untuk membawa
kolesterol kembali ke hati (Adam, 2006).
Berikut klasifikasi kadar kolesterol pada manusia yang dikutip dari ATP
(Adult Treatment Panel III) yang ditetapkan oleh National Cholesterol Education
Program, National Institutes of Health, Lung and Blood Institutes, 2002 :
Tabel 3. Klasifikasi Total kolesterol dan LDL Kolesterol (Grundy, ATP III,
2002)
Total Cholesterol (mg/dl)
<200
200-239
≥240
Desirable
Borderline High
High
LDL Cholesterol (mg/dl)
<100
Optimal
100-129
130-159
160-189
≥190
Near optimal/above optimal
Borderline High
High
Very High
Tabel 4. Klasifikasi HDL (Grundy, ATP III, 2002)
Serum HDL Cholesterol (mg/dl)
<40 mg/dl
Low HDL cholesterol
≥60 mg/dl
High HDL cholesterol
16
LDL mengandung lebih banyak lemak daripada HDL sehingga LDL akan
mengambang di dalam darah. Protein utama yang membentuk LDL adalah ApoB (apolipoprotein-B). LDL dianggap sebagai lemak yang "jahat" karena apabila
jumlah LDL tersebut melebihi batas aman yang dapat ditoleransi oleh tubuh, ada
kemungkinan kolesterol tertinggal di dinding pembuluh darah membentuk plak
yang lama-kelamaan dapat menyumbat pembuluh darah (Grundy, 2002).
Sebaliknya HDL disebut sebagai lemak yang baik karena dalam
operasinya ia membersihkan kelebihan kolesterol dari dinding pembuluh darah
dengan mengangkutnya kembali ke hati. Protein utama yang membentuk HDL
adalah Apo-A (apolipoprotein). HDL ini mempunyai kandungan lemak lebih
sedikit dan mempunyai kepadatan tinggi atau lebih berat. Sisa IDL dimodifikasi
oleh lipase hepatik untuk membentuk LDL (gambar 2.1). Selama proses ini,
kebanyakan trigliserida dihidrolisis dan semua apolipoprotein kecuali apo B-100
dipindahkan ke lipoprotein lainnya (kolesterol dalam LDL berjumlah ~ 70% dari
kolesterol plasma pada sebagian besar individu (Rader dan hobbs, 2005).
Kira-kira 70% LDL yang ada dalam sirkulasi dibersihkan lewat
endositosis melalui reseptor LDL dalam hati (Rader dan hobbs, 2005). Jumlah
kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung
di LDL. Beberapa sediaan mempengaruhi tingkat oksida yaitu meningkatnya
jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan
DM. Semakin tinggi kadar kolesterol HDL akan bersifat protektif terhadap
oksidasi LDL (Adam, 2006).
Gambar 1.Jalur Eksogen dan Endogen (Harrison’s Principle of Internal
Medicine, 2005)
17
HDL dilepaskan
sebagai
partikel
kecil
miskin
kolesterol
yang
mengandung apolipoprotein A, C, dan E disebut HDL nascent (Adam, 2006).
HDL nascent disintesis oleh usus dan hati. HDL discoid yang baru terbentuk
mengandung apo A-1 dan
fosfolipid
(terutama lesitin) tetapi secara cepat
memperoleh kolesterol yang tidak teresterifikasi dan tambahan fosfolipid dari
jaringan perifer dengan transport melalui protein membran ABCA1 (ATP-binding
Cassette Protein A1). Setelah dimasukkan ke dalam partikel HDL , kolesterol
diesterifikasi oleh lecithin-cholesterol acyltransferase (LCAT), enzim plasma
yang berhubungan dengan HDL. Karena HDL memperoleh kolesterol ester lagi,
HDL akan menjadi sferis, dan tambahan apolipoprotein serta lipid akan
dipindahkan ke partikel dari permukaan kilomikron dan VLDL selama lipolisis
(Rader dan Hobs, 2005).
Setelah itu sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan
mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger
receptor class B type 1 dikenal dengan SR-B1 (Gambar 2.2). Jalur kedua ialah
kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan
IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian
fungsi HDL sebagai “penyerap” kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur
yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk
membawa kolesterol kembali ke hati (Adam, 2006).
Gambar 2. Metabolisme HDL dan Transport Kolesterol (Harrison’s principle
of Internal Medicine, 2005)
18
2.2.3. Hubungan DM dengan Peningkatan LDL dan Penurunan HDL
Pada pasien diabetes melitus akan ditemukan masalah terhadap metabolisme
insulin. Insulin diketahui dapat menghambat lipolisis oleh lipase. Insulin dapat
mengaktifkan lipoprotein lipase, yang meningkatkan katabolisme lipoprotein
dalam menghambat produksi VLDL oleh hati. Insulin juga dapat merangsang
aktivitas reseptor Apo B yang merupakan reseptor LDL sehingga mempertinggi
degradasi LDL. LDL hanya mengandung reseptor Apo B yang berfungsi
melekatkan LDL kepada reseptor sel sehingga LDL dapat diendositosis oleh selsel tubuh (Rajasekaran et al, 2006). Insulin mampu merangsang lipogenesis
dengan cara meningkatkan transport glukosa ke dalam sel sehingga terjadi
peningkatan persediaan piruvat untuk sintesis asam lemak dan gliserol. Aktivasi
hormone-sensitive lipase (HSL) pada keadaan defisiensi insulin menyebabkan
dilepaskankannya asam lemak bebas dari jaringan adiposta. Kelebihan asam
lemak bebas akan meningkatkan perubahan asam lemak bebas menjadi fosfolipid
dan kolesterol. Jika kadar LDL seseorang meningkat dengan otomatis maka kadar
HDL akan menurun. Pada DM ditemukan kadar LDL yang meningkat dan
penurunan kadar HDL (Rajasekaran et al, 2006).
Pasien dengan DM Tipe II bisaanya mengalami dislipidemia. Kadar insulin
yang tinggi dan resistensi insulin yang terkait dengan DM Tipe II memiliki
beberapa efek pada metabolisme lemak. Pada keadaan resistensi insulin, hormon
sensitive lipase di jaringan adiposta akan menjadi aktif sehingga lipolisis
trigliserida di jaringan adiposta semakin meningkat. Keadaan ini akan
menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan
memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan
sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentuk trigliserida. Di hati
asam lemak bebas akan kembali menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian
dari VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistensi
insulin akan sangat kaya dengan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau
VLDL besar. Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar
dengan kolesterol ester dari kolesterol LDL, yang mana akan menghasilkan LDL
19
yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted
LDL) (Soegondo, 2004).
Trigliserid yang mengandung LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hepatik
(yang biasanya meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan LDL
kecil tetapi padat, yang dikenal dengan small dense LDL. Partikel LDL kecil
padat ini sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid
VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan
menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL
bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL
serum menurun. Oleh karena itu pada pada resistensi insulin terjadi kelainan profil
lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserida tinggi, kolesterol HDL rendah dan
meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe
lipoprotein aterogenik atau lipid trial (Adam, 2006).
Seseorang yang mengalami resistensi insulin akan dapat berkembang menjadi
dislipidemia dengan berbagai banyak faktor. Peningkatan insulin pada DM tipe 2,
merupakan bentuk kompensasi insulin karena peningkatan glukosa darah yang
merupakan feedback positif, selanjutnya akan menyebabkan meningkatkan
pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan lemak di hepar (Boden, 1997).
Meskipun patofisiologi dari dislipidemia diabetes belum diketahui secara pasti,
namun dari hasil penelitian menghasilkan bahwa resistensi insulin dan defisiensi
insulin pada pasien dengan diabetes tipe 2 berpengaruh terhadap perubahan lipid,
karena insulin berperan penting dalam mengatur metabolisme lipid (Vergès,
2015). Selain itu beberapa adiposit, seperti adiponektin atau retinol-binding
protein 4, juga dapat berkontribusi untuk pengembangan dislipidemia pada pasien
dengan tipe 2 diabetes (Vergès, 2015).
2.3. Glibenklamid
2.3.1. Golongan Glibenklamid
Glibenklamid adalah obat yang masuk dalam golongan sulfonilurea.
Sulfonilurea menginduksi sekresi insulin melalui ikatan dengan subunit
20
sulfonilurea reseptor. Sulfonilurea reseptor merupakan salah satu penyusun kanal
KATP (kanal ion yang mengkonduksi K+ dan sensitif terhadap ATP). Terikatnya
sulfonilurea pada subunit SUR kanal KATP menyebabkan penghambatan
aktivitas kanal KATP sehingga terjadi depolarisasi membran sel β pankreas yang
menyebabkan terbukanya kanal ion kalsium. Akibatnya terjadi peningkatan
konsentrasi kalsium intrasel yang menjadi pemicu eksositosis insulin. Sulfonilurea
dibagi menjadi generasi pertama (tolbutamide, chlorpropamide, dan tolazamide)
dan generasi kedua (glyburide atau glibenclamide, glipizide, dan glimepiride)
(Katzung, 2010).
Sulfonilurea generasi kedua lebih sering diresepkan karena efek samping dan
interaksi obat yang tidak sebanyak generasi pertama. Di antara obat-obat generasi
kedua, glibenklamid merupakan obat yang paling sering diresepkan (Katzung,
2010).
2.3.2. Cara kerja Glibenklamid serta keutamaan Glibenklamid
Gambar 3. Struktur Kimia Glibenklamid (Katzung, 2010)
Glibenklamid adalah obat hipoglikemik oral derivat sulfonilurea yang bekerja
aktif menurunkan kadar glukosa darah. Glibenklamid bekerja dengan merangsang
sekresi insulin dari pankreas. Oleh karena itu glibenklamid hanya bermanfaat
pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi
insulin. Pada penggunaan per oral, sebagian glibenklamid di absorbsi ke cairan
ektrasel, dan sebagian terikat dengan protein plasma. Pemberian glibenklamid
dosis tunggal akan menurunkan darah dalam 3 jam dan kadar ini dapat bertahan
selama 15 jam. Glibenklamid diekskresikan bersama feses dan sebagai metabolit
bersama urin (Anonim, 2009). Sebelum diekskresi glibenklamid dimetabolisme di
hepar dan menghasilkan produk yang memiliki aktivitas hipoglikemik rendah.
21
Sehingga kontraindikasi diberikannya glibenklamid adalah pasien dengan
gangguan hepar dan insufisiensi ginjal (Katzung, 2010).
Penelitian Mughal et al. (1999) menunjukkan pemberian glibenklamid selama
12 minggu pada pasien DM tipe 2 dapat meningkatkan kadar HDL secara
signifikan walaupun belum mencapai kadar normal, sedangkan kadar kolesterol
total, trigliserida, LDL, dan VLDL tidak menurun secara signifikan. Perbaikan
HDL yang masih di bawah nilai normal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
katabolisme apolipoprotein A-I (apo A-I) pada dislipidemia diabetikum.
Glibenklamid secara relatif mempunyai efek samping yang rendah, hal ini
umum terjadi pada golongan Sulfonilurea. Efek samping bersifat ringan dan
hilang sendiri setelah obat dihentikan. Efek samping pemberian glibenklamid
adalah hipoglikemia (gemetar, cemas, berkeringat, tampak pucat, merasa lapar,
palpitasi, pusing), konstipasi, diare, dan peningkatan berat badan (Allen, 2014)
2.4. Aloe vera
2.4.1. Sejarah
Lidah buaya telah digunakan dalam pengobatan sejak abad ke-4 ketika dokter
yunani kuno menemukan lidah buaya di pulau Socotra di Samudra Hindia
(Manvitha et al., 2014). Pada tahun 1964 Dr Bill C. Coates yang merupakan
seorang apoteker di Dallas, Texas, Amerika Serikat, mempunyai keinginan untuk
meneliti manfaat lengkap Aloe vera. Dr. Coates mendedikasikan dirinya untuk
mempelajari rahasia kimia dari tanaman Aloe vera bagian yang digunakan beliau
adalah ekstrak dalam bentuk gel, dan pada tahun 1968 ia berhasil. Sejak saat itu,
banyak penelitian yang mengembangkan manfaat gel Aloe vera dalam medis,
atletik, kesehatan dan kecantikan, kosmetik dan perawatan hewan (Manvitha et
al., 2014).
22
2.4.2. Klasifikasi
Tanaman lidah buaya diklasifikasikan sebagai berikut berdasarkan Badan
POM RI, 2008 yaitu ;
1. Nama umum
: Lidah Buaya
2. Divisi
: Spermatophyta
3. Sub divisi
: Angiospermae
4. Kelas
: Monocotyledoneae
5. Bangsa
: Liliales
6. Suku
: Liliaceae
7. Marga
: Aloe
8. Jenis
: Aloe vera (L.) Burm. f.
Gambar 4. Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera)
2.4.3. Jenis
Aloe merupakan tanaman Liliceae. Genus Aloe terdapat 300 spesies yang
berbeda, namun hanya Aloe vera yang digunakan sebagai obat dari ribuan tahun
yang lalu. Aloe vera yang umum digunakan yaitu Aloe barbadensis miller, Aloe
ferox miller dan Aloe ferry baker (Kathuria et al, 2011).
Tabel 5. Jenis-jenis Aloe vera (Kathuria et al, 2011).
No.
1.
Karakteristik
Batang
Aloe
barbadensi
s miller
Tidak terlihat
jelas
Aloe ferox Miller
Aloe perry baker
Terlihat jelas
(tinggi 3m / lebih)
Tidak terlihat jelas
(lebih kurang 0,5 m)
23
No.
Karakteristik
2.
Bentuk daun
3.
Lebar daun
4.
Lapisan lilin
pada daun
Duri
5.
6.
Tinggi bunga
(mm)
7.
Warna bunga
Aloe
barbadensi
s miller
Lebar dibagian
bawah,
dengan
pelepah
bagian atas
cembung
6-13 cm
Aloe ferox Miller
Aloe perry baker
Lebar bagian
bawah
lebar di bagian
bawah.
10-15 cm
5-8 cm
Tebal
Tebal
Tipis
Dibagian pinggir
daun dan
bawah daun
35-40
Dibagian pinggir
daun
Dibagian
pinggir daun
25-30 (tinggi
tangkai
bunga 60100 cm)
Kuning
25-30
Merah tua hingga
Merah terang
jingga
Dari ketiga jenis Aloe vera tersebut, yang paling sering digunakan dan
berkembang secara komersil sampai saat ini adalah Aloe barbadensis miller.
2.4.4. Pengembangan Aloe vera sebagai Tanaman Obat serta Efek Terhadap
LDL dan HDL
Lidah buaya merupakan tanaman yang termasuk dalam suku Liliaceae. Ada
tiga bagian bentuk dari tanaman Aloe vera yang dapat dimanfaatkan yaitu daun,
eksudat dan gel Aloe vera (Sahu, 2013).
a. Daun Aloe vera
Unsur yang ditemukan dalam daun Aloe vera sebagai berikut :
Tabel 6. Kandungan Daun Aloe vera (Utami dan prapti, 2013)
NNo
1.
2.
Zat
Saponin
Poliphenol
Kegunaan
Saponin
mempunyai
kemampuan
untuk
membersihkan dan bersifat antiseptik serta bahan
pencuci yang baik
Sebagai antioksidan
24
b.
Eksudat Aloe vera
Eksudat terletak terpisah antara kulit luar dan dalam. Eksudat ini
mengandung fenolik yang memberikan rasa pahit pada gel Aloe vera (Yudo,
2004). Kandungan lain pada eksudat Aloe vera sebagai berikut:
Tabel 7. Kandungan Eksudat Aloe vera ( Utami dan prapti, 2013)
No
1.
Zat
Anthraguinone
2.
Polifenol
c.
Kegunaan
Sebagai bahan laktif, penghilang rasa sakit,
mengurangi racun, sebagai antibakteri dan
antibiotik.
Sebagai antioksidan
Gel Aloe vera
Gel Aloe vera adalah bagian berlendir yang diperoleh dengan menyayat
bagian dalam daun setelah eksudat dikeluarkan. Gel Aloe vera memiliki sifat
mudah rusak karena ada kandungan nutrisi dan enzim (Sahu, 2013). Zat-zat yang
terkandung dalam Aloe vera antara lain :
Tabel 8. Kandungan Gel Aloe vera (Sahu, 2013).
No
Zat
Kegunaan
1.
Lignin
Lignin mempunyai kemampuan penyerapan
yang tinggi sehingga mempermudah peresapan
gel kedalam kulit mukosa.
2.
Saponin
3.
Komplek
Anthraquinone
4.
Acemannan
Mempunyai kemampuan membersihkan dan
bersifat antiseptik
Komplek anthraquinone sebagai bahan laksatif,
penghilang rasa sakit, mengurangi racun,
sebagai antibakteri dan antibiotik.
Acemannan sebagai antivirus, antibakteri,
antijamur dan menghancurkan sel tumor serta
meningkatkan daya tahan tubuh.
25
No
Zat
5.
Enzim
Kegunaan
-
Enzim bradikinase, karbiksipeptidase
mengurangiinflamasi, antialergi dan dapat
mengurangi rasa sakit.
Enzim glukomannan, mukopolisakarida
dan memberikan efek imonodulasi.
Enzim amilasi, lipase, oksidase dan
protease berfungsi mengatur proses kimia
dalam tubuh dan membantu
menyembuhkan luka baik dari dalam
maupun dari luar.
-
6.
7.
8.
Tennin
Salisilat
Vitamin B1, B2, B6 dan
niacinamide (vitamin
B3), cholin, Vitamin
C dan asam folat
9.
Monosakarida,
polisakarida,
selulosa, glukosa,
mannosa,
aldopentosa ,
rhamnosa
10.
Mineral :
Kalsium (Ca),Fosfor (P)
Besi (Fe),Magnesium
(Mg)
Mangan (Mn),Kalium
(K)
Natrium (Na),Tembaga
(Cu)
Kromium (Cr)
11.
Asam amino :
Asam apartat,Asam
glutamat
Alanin, Isoleusin,
Valin, Fenilalanin,
Theonin, Prolin,
12
Alprogen
Tennin dan aloktin sebagai inflamasi.
Sebagai antiinflamsi
Berfungsi sebagai antioksidan dan menjalankan
fungsi tubuh baik dalam keadaan normal dan
sehat.
-
Untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh dan menghasilkan mukopolisakarida.
-
Memberikan ketahanan tubuh terhadap
penyakit, memberikan kesehatan dan
memberikan vitalitas.
Berinteraksi dengan vitamin untuk
mendukung fungsi-fungsi tubuh.
Membantu dalam sintesis insulin
-
-
Bahan untuk pembentukan dan
pertumbuhan .
Sebagai bahan energi dan membantu
sintesis kimia di tubuh.
-
Hambat penyerapan glukosa disaluran
cerna.
Serat (polisakarida acemannan, lignin), menghambat absorbsi lemak
dalam usus sehingga kolesterol yang masuk dalam darah berkurang (Atherton,
26
2007). Aloe vera memiliki banyak kandungan yang bermanfaat bagi tubuh, selain
terkenal dapat menurunkan kadar glukosa darah, Aloe vera juga di percaya dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam darah hal tersebut dikarenakan Aloe vera
mengandung beberapa zat aktif yang diduga dapat menurunkan kadar kolesterol
seperti niasin (vitamin B3), Vitamin C, Vitamin E, Vitamin A, anthraquinone,
Magnesium, dan polifenol (Hermawan, 2006).
Vitamin C merupakan salah satu zat yang terkandung dalam Aloe vera dan
dikenal mampu membantu menurunkan kadar kolesterol total dalam darah, hal
tersebut karena vitamin C dapat membantu proses hidroksilasi dalam
pembentukan garam empedu, sehingga akan meningkatkan ekskresi kolesterol
(Murray et al., 2009). Vitamin B3 atau yang lebih dikenal dengan niasin,
merupakan salah satu zat aktif yang terdapat di Aloe vera, niasin mampu
menurunkan jumlah asam lemak bebas dengan cara menghambat enzim hormone
sensitive lipase dijaringan adiposa, asam lemak bebas dalam darah merupakan
sumber pembentukan VLDL dalam hati, penurunan sintesis VLDL dalam hati ini
akan mengakibatkan penurunan IDL dan LDL, selain itu niasin juga
meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase, yang dapat menurunkan kadar
kilomikron dan trigliserida (Purwanti, 2012).
27
2.5. Kerangka Teori
Dislipidemia dalam Diabetes
melitus tipe 2
Gangguan sekresi insulin pada sel β
{]
pankreas
Resistensi insulin
glibenklamid
Jus Aloe vera
Niasin (Vitamin
Vitamin C
Serat
B3)
Magnesiu,
GD
Reaksi
Apolipoprotein
A-1 plasma
Resistensi Insulin
Magnesium,
hidroksilas
Magnesiu
Menghambat
m
absorbsi
i dan
lemak
pembentu
kan asam
empedu
Meningkatkan
sekresi
kolesterol
Lipolisis
Menurunkan kadar LDL dan meningkatkan HDL
Gambar 5. Kerangka Teori Penelitian
28
2.6. Kerangka Konsep
Variabel bebas :
Variabel tergantung :
Kombinasi
Penurunan kadar LDL dan
peningkatan kadar HDL
Jus Aloe vera + glibenklamid
Dan glibenklamid sendiri
Variabel pengaruh terkendali :
1. Variabel subyek penelitian
a. Jenis kelamin subyek
b. Umur subyek
c. Berat badan subyek
d. Jenis hewan coba
2. Variabel perawatan
Kualitas dan kuantitas makanan serta
minuman setiap subyek sama.
3. Variabel bahan coba
Jus Aloe vera dan glibenklamid
diberikan dengan cara yang sama.
Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian
2.7. Hipotesis
1. Kombinasi jus Aloe vera dan glibenklamid mampu menurunkan kadar
LDL pada model tikus Dislipidemia Diabetes.
2. Kombinasi jus Aloe vera dan glibenklamid mampu meningkatkan
kadar HDL pada model tikus Dislipidemia Diabetes.
29
Download