Templat tugas akhir S1

advertisement
PERFORMA RESPIRASI BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix
Japonica) PERIODE LAYER PADA PENGARUH CEKAMAN
PANAS YANG BERBEDA
AYU SUMARYETTY PANDIANGAN
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa Respirasi
Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Periode Layer pada Pengaruh
Cekaman Panas yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Ayu S Pandiangan
B04120144
ABSTRAK
AYU S PANDIANGAN. Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix
Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda.
Dibimbing oleh ISDONI dan KOEKOEH SANTOSO.
Burung puyuh merupakan jenis unggas yang tidak dapat terbang, ukuran
tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung Puyuh (Coturnix
coturnix Japonica) memiliki potensi untuk di kembangkan karena permintaan
akan telur burung puyuh cukup tinggi dan harganya relatif dapat dijangkau oleh
masyarakat. Tujuan umum beternak burung puyuh untuk menghasilkan telur
konsumsi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh cekaman panas
yang berbeda-beda terhadap frekuensi respirasi pada burung puyuh. Penelitian ini
menggunakan 24 ekor burung puyuh yang dipelihara dari umur DOQ hingga
periode layer yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok A diatur pada suhu
26°C, kelompok B diatur pada suhu 29°C, kelompok C diatur pada suhu 33°C dan
kelompok D diatur pada suhu 36°C. Pengambilan data dilakukan pada periode
layer untuk dihitung frekuensi respirasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
frekuensi respirasi pada kelompok A sampai kelompok D mengalami peningkatan
dari frekuensi respirasi normal namun tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Kata Kunci: burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica), cekaman panas, DOQ,
periode layer
ABSTRACT
AYU S PANDIANGAN. Respiration performance of Quail (Coturnix coturnix
Japonica) Layer Periode on the Effects of Different Heat Stress. Supervised by
ISDONI and KOEKOEH SANTOSO.
Quail is a type of bird that can not fly, the body size is relatively small,
short-legged and can be pitted. Quail (Coturnix coturnix Japonica) has the
potential to be developed because high demands of quail eggs and the price is
affordable. The general objective of raising quail is to produce eggs for
consumption. This study was conducted to determine the effect of heat stress
varying the frequency of respiration in quail. This study used 24 male quails that
are raised from DOQ till layer periode and divided into 4 groups. Group A is set
at 26 ° C, group B is set at 29 ° C, group C is 33 ° C and group D is set at 36 ° C.
Data was collected in the layer periode to calculate the respiration frequency. The
results showed that the frequency of respiration in the Group A until group D
show an increase of the normal frequency but were not significantly different.
Keywords: quail (Coturnix coturnix Japonica), heat stress, DOQ, period layer
PERFORMA RESPIRASI BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix
Japonica) PERIODE LAYER PADA PENGARUH
CEKAMAN PANAS YANG BERBEDA
AYU SUMARYETTY PANDIANGAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)
Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda
Nama
: Ayu Sumaryetty Pandiangan
NIM
: B04120144
Disetujui oleh
Drh Isdoni,M.Biomed
Pembimbing I
Dr Drh Koekoeh Santoso
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Drh Agus Setiyono , MS PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia dan rahmatnya-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan.
Penelitian ini berjudul Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix
Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda. Tugas
akhir ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Isdoni,M.Biomed dan Dr
Drh Koekoeh Santoso atas kesabaran dan bimbingan selama proses penelitian dan
penyusunan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh
Koekoeh Santoso juga selaku pembimbing akademik yang telah membantu dan
bertukar pikiran selama proses belajar mengajar di FKH IPB. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, abang dan adik, nenek, tante
dan keluarga, Ladies in waiting, KPAnis 49, Pengurus (Seven, Grace, Riska, Juni,
Harjono, Erik, Arin) dan anggota Kopral 49, untuk Rinda, Tomi, Clara, Indira,
Nia, Henny, Winu dan teman-teman satu penelitian, serta buat Risko atas
dukungan, doa dan semangat yang diberikan.
Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas
Akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB, ASTROCYTE 49 dan pihak yang
telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesain tugas
akhir ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna. Penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang
membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan
Bogor, Agustus 2016
Ayu S Pandiangan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Burung Puyuh
2
Sistem Respirasi
3
Cekaman Panas
5
Respon Fisiologis (Adaptasi) Puyuh
6
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
7
Waktu dan Tempat Penelitian
7
Alat dan Bahan
7
Metode Penelitian
7
Persiapan Penelitian
8
Persiapan Kandang
8
Persiapan Hewan
8
Pelaksanaan Penelitian
8
Pemeliharaan Burung Puyuh
8
Pengukuran Frekuensi Respirasi Burung Puyuh
8
Analisis Data Statistik
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
9
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL
1 Frekuensi respirasi burung puyuh pada tiap kelompok perlakuan
9
DAFTAR GAMBAR
1 Sistem respirasi pada unggas
2 Bagan penelitian
3 Grafik linier pengaruh suhu kelompok 26°C, 29°C, 33°C dan 36°C
terhadap frekuensi respirasi burung puyuh
4
9
10
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur puyuh merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia. Selain memiliki nilai gizi, sifat mutu, dan sifat fungsional
yang serupa dengan telur ayam ras, telur puyuh juga memungkinkan untuk
dimanfaatkan secara lebih luas dan bervariasi dalam pengolahan pangan (Syamsir
et al. 1994). Permintaan konsumen akan telur puyuh meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Konsumsi protein per kapita sehari untuk daging
pada tahun 2014 sebesar 2,68 gram, meningkat sebesar 8,50 persen dibandingkan
konsumsi tahun 2013 sebesar 2,47 gram. Konsumsi protein per kapita sehari
untuk telur dan susu pada tahun 2014 sebesar 3,17 gram, atau meningkat sebesar
2,92 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 3,08 gram
(Ditjennakkeswan 2015).
Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan
ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,
laut, dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu ratarata di permukaan bumi telah meningkat sebesar 0.74 ± 0.18 °C. (Utina 2009).
Industri atau usaha peternakan unggas di hadapkan dengan tingginya suhu
lingkungan yang berdampak pada peningkatan suhu tubuh unggas. Hal ini
menyebabkan produksi daging maupun telur tidak sesuai dengan potensi genetik
yang dimiliki unggas (Bahri dan Syafriati 2011).
Burung puyuh merupakan unggas yang bersifat homeothermik dimana suhu
tubuh normal ungas pada umumnya berkisar antara 40,5-41,5oC (Etches et al.
2008). Untuk dapat berproduksi dan berkembang dengan baik dan optimal maka
unggas harus dipelihara dalam kisaran suhu nyaman atau comfort zone dari
lingkungannya. Comfort zone untuk unggas umumnya berkisar antara 25-28°C
(Zurriyati dan Dahono 2013). Hiperthermia / kenaikan suhu pada burung puyuh
harus segera diatasi melalui mekanisme thermoregulasi, agar suhu tubuh puyuh
dapat kembali pada suhu tubuh normal. Proses thermoregulasi dalam rangka
adaptasi terhadap cekaman panas mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi
dengan cara panting/hiperventilasi (Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et al.
2002).
Dasar pemikiran penelitian ini adalah perlakuan cekaman panas sejak usia
sehari (DOQ) hingga periode layer menyebabkan gangguan pada sistem
thermoregulasi pada puyuh, sehingga mengakibatkan peningkatan frekuensi
respirasi yang berkaitan kepada penurunan performa burung puyuh.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi respirasi burung puyuh
terhadap pemberian cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer.
2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai respon
dari sistem respirasi burung puyuh terhadap pemberian cekaman panas sejak usia
sehari (DOQ) hingga periode layer.
TINJAUAN PUSTAKA
Burung Puyuh
Burung puyuh merupakan jenis unggas yang tidak dapat terbang, memiliki
ukuran tubuh yang relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh
disebut juga Gemak (bahasa Jawa-Indonesia). Burung puyuh dalam bahasa
Inggris disebut “Quail”. Burung puyuh merupakan bangsa burung (liar) yang
pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870, kemudian
dikembangkan hingga ke penjuru dunia. Indonesia mulai mengenal dan
menjadikan puyuh sebagai unggas ternak semenjak akhir tahun 1979. Menurut
Nugroho dan Mayun (1986), burung puyuh Coturnix coturnix Japonica memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Gallivormes
Subordo
: Phasianoidea
Famili
: Phasianidae
Sub-famili
: Phasianinae
Genus
: Coturnix
Spesies
: Coturnix coturnix Japonica
Burung puyuh yang baru menetas sudah ditutupi dengan bulu, berbeda
dengan tubuh burung merpati, dimana pada saat menetas belum memiliki bulu
(telanjang pada saat menetas) atau jika tumbuh bulu jumlahnya sangat sedikit dan
jarang. Bagian yang ditumbuhi bulu pada burung puyuh saat baru menetas terlihat
pada dada, sayap, punggung, leher, bahu, paha dan ekor. Pertumbuhan bulu yang
paling cepat terdapat pada bagian sayap (Sari et al. 2013). Burung Puyuh
(Coturnix coturnix Japonica) termasuk salah satu ternak yang memiliki prospek
usaha yang cukup baik karena memiliki beberapa keunggulan, seperti tidak
membutuhkan lahan yang luas karena ukuran puyuh yang relatif kecil, tidak
membutuhkan modal yang besar, mudah dalam pemeliharaannya, multiusaha
sebagai penghasil daging dan telur, permintaan akan telur burung puyuh pun
cukup tinggi dan harganya relatif dapat dijangkau oleh masyarakat. Tujuan umum
beternak burung puyuh untuk menghasilkan telur konsumsi. Oleh karena itu,
keberadaan burung puyuh jantan terkadang tidak diperlukan karena burung puyuh
betina dapat bertelur tanpa burung puyuh jantan. Konsumsi pakan burung puyuh
jantan pun lebih banyak dibandingkan burung puyuh betina. Burung puyuh jantan
kurang efisien apabila dijadikan sebagai puyuh pedaging, hanya diperlukan untuk
usaha pembibitan tetapi dengan jumlah yang sedikit (Marsudi dan Saparinto 2012).
3
Daging dan telur puyuh memiliki kandungan protein yang tinggi, dan
merupakan pilihan yang tepat bagi pasien yang memiliki hipertensi (Olubamiwa
et al.1999). Puyuh memiliki karakteristik yang unik dan kelebihan dari jenis
ternak unggas lainnya dimana memiliki kematangan seksual yang cukup cepat,
jarak generasi yang sangat singkat sehingga memungkinkan banyaknya produksi
puyuh dalam setiap tahunnya. Burung puyuh merupakan salah satu jenis unggas
yang cukup produktif (Sunarno 2004), dapat bertelur sebanyak 300 butir/tahun
(Helinna dan Mulyantono 2002).
Sistem Respirasi
Rangkaian saluran respirasi unggas pada umumnya dimulai dari lubang
hidung luar dan dalam (external dan internal nares), glottis, larynx, trachea,
syrinx (rongga suara), bronchi, paru-paru dan kantong udara. Paru-paru terletak di
antara tulang rusuk dan vertebrae dorsalis yang berfusi dengan kantong udara.
Sistem respirasi pada unggas berbeda dengan sistem repirasi pada mamalia.
Perbedaan sistem respirasi pada unggas terletak pada fungsi paru-paru yang
berhubungan langsung dengan kantong udara dan rongga tulang dimana hal
tersebut tidak terdapat pada mamalia. Unggas tidak memiliki diafragma yang
berfungsi mengontrol ekspansi dan kontraksi paru-paru. Hal ini menyebabkan
paru-paru tidak mengembang dan kontraksi selama ekspirasi dan inspirasi. Paruparu hanya berperan sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas di dalam
darah (Suprijatna et al. 2005).
Sebagian besar unggas memiliki delapan kantong udara, kecuali pada ayam,
bebek, burung dara, dan kalkun memiliki sembilan buah kantong udara. Kantong
udara (air sac) pada unggas terdiri dari sepasang pada daerah abdomial, sepasang
di daerah thorakalis anterior, sepasang di thorakalis posterior, sepasang di daerah
servicalis, dan satu buah di klavicularis (Fedde 1976). Kantong udara berfungsi
untuk membantu paru-paru dalam pernapasan, meringankan tubuh saat terbang,
membantu mengapungkan tubuh saat unggas terbang (di udara) serta membantu
difusi air dari darah untuk diekskresikan lewat paru-paru sebagai uap air.
Respirasi pada unggas merupakan suatu usaha pengambilan oksigen (O2) dari
udara dan pengeluaran karbondioksida (CO2) beserta dengan uap air melalui
sistem pernapasan setelah diproses di dalam paru-paru, rongga tulang, rongga
udara dan darah (Yuwanta 2008).
Mekanisme pernapasan pada burung puyuh terdiri dari dua fase yaitu
inspirasi dan ekspirasi. Proses pengambilan udara (inspirasi) berbeda pada saat
burung terbang dan istirahat. Pernapasan pada burung saat istirahat terjadi ketika
adanya pergerakan tulang rusuk ke depan sehingga rongga dada membesar dan
paru-paru mengembang. Keadaan tersebut menyebabkan udara dapat masuk ke
paru-paru. Sebagian udara yang kaya oksigen ini akan diambil paru-paru dan
sebagian lagi akan masuk ke kantong udara belakang (posterior). Sedangkan udara
yang miskin oksigen akan masuk ke kantong udara depan (anterior). Pernafasan
pada burung saat terbang, mengakibatkan pergerakan aktif dari rongga dada tidak
dapat dilakukan karena tulang dada dan tulang rusuk merupakan pangkal
perlekatan otot yang berfungsi untuk terbang. Pada saat terbang, kantong udara
berperan sangat penting. Inspirasi dan ekspirasi dilakukan bergantian oleh
4
kantong udara di antara tulang coracoid (interclavicular sac) dan kantong udara di
bawah tulang axillaris (subscapular sac). Ketika sayap terangkat, kantong udara
pada pangkal lengan mengembang, sehingga udara masuk ke kantung udara
abdominal. Kemudian, udara dialirkan ke paru-paru dan sebagian masuk ke dalam
kantung udara, sehingga darah dapat mengambil oksigen dari paru-paru.
Sedangkan pada fase ekspirasi terjadi ketika sayap diturunkan, kantung udara
pada pangkal lengan mengempis, sehingga kantong udara thorakalis mengembang
dan mendorong udara keluar, sehingga terjadi pergantian gas oksigen dan
karbondioksida di dalam paru-paru. Semakin tinggi burung terbang, maka
semakin cepat kepakan sayapnya, karena kadar oksigen pada udara di lapisan atas
semakin kecil atau menipis (Isnaeni 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi pada unggas yaitu: 1) Umur
unggas, semakin tinggi umur unggas, semakin tinggi respirasinya, 2) Jenis unggas,
unggas tipe ringan (contoh tipe SCWL) lebih tinggi respirasinya daripada tipe
berat (contoh tipe RIR) dan respirasi unggas petelur lebih tinggi daripada unggas
pedaging, 3) Aktivitas, semakin banyak aktivitas, semakin tinggi respirasinya, 4)
Temperatur lingkungan, yang paling sesuai dengan unggas adalah Zone Neutral
Thermic (ZNT), yakni antar 10°C-20°C, 5) Sirkulasi udara serta 6) Kepadatan
kandang, semakin padat kandang dapat meningkatkan frekuensi respirasi
(Yuwanta 2008).
Gambar 1 Sistem respirasi pada unggas
Faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen, yaitu spesies hewan,
suhu lingkungan (terutama bagi hewan eksoterm) dan aktivitas tubuh. Hewan
5
endoterm, hewan yang berukuran tubuh kecil akan memiliki laju konsumsi
oksigen per unit massa yang lebih besar dibanding hewan yang berukuran lebih
besar. Suhu lingkungan tinggi berhubungan dengan peningkatan respirasi yang
menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan
darah lebih banyak untuk mensuplai oksigen dan nutrien melalui aliran darah
dengan jalan peningkatan denyut nadi, sehingga mempercepat pemompaan darah
ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh (Isnaeni
2006). Esmay (1978) menambahkan bahwa peningkatan aktivitas frekuensi
pernapasan sebagai akibat suhu lingkungan merupakan suatu upaya untuk
memelihara suhu tubuh pada tingkatan yang normal.
Cekaman Panas
Cekaman panas atau heat stress merupakan kondisi saat ternak mengalami
kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan pembuangan panas
tubuh yang disebabkan suhu lingkungan yang melebihi zona nyaman. Hal ini
menjadi salah satu permasalahan utama di dunia perunggasan Indonesia. Ternak
unggas tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri spesifik yaitu
tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup
bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi
panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya,
ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas.
Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang disebabkan
meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam
tubuh ternak (Ewing et al. 1999), sedangkan Moberg (2000) mendefinisikan stres
sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan
mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan
dampak negatif pada kesejahteraan ternak dapat dikategorikan sebagai stres.
Puyuh akan dapat bertahan hidup apabila mampu beradaptasi dengan lingkungan
yang terus berubah-ubah.
Heat stress dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu akut dan kronis. Bentuk akut
terjadi saat suhu dan kelembaban meningkat drastis, sedangkan bentuk kronis
dipicu kondisi meningkatnya suhu dan kelembaban dalam waktu yang relatif lama.
Cekaman panas akut biasanya terjadi saat bumi mengalami peristiwa equinox
Cekaman panas kronis dapat terjadi akibat pemanasan global serta pada daerah
yang mempunyai iklim tropis. Suhu lingkungan yang melebihi suhu nyaman,
mengakibatkan produksi panas meningkat karena unggas tidak dapat
mengeluarkan panas dari dalam tubuh. Unggas tidak memiliki kelenjar keringat
untuk menguapkan air dari pori-pori keringat, sehingga cara yang dilakukan ialah
melalui pernafasan yang cepat, dangkal dan suara terengah-engah (panting).
Panting tidak dapat digunakan sebagai alat mengontrol hilangnya panas untuk
waktu yang lama. Apabila suhu lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang
berlebihan tidak dibuang, maka unggas akan mati karena mengalami hipertermia/
kelebihan suhu (Austic 2000).
6
Respon fisiologis (adaptasi) puyuh
Suhu tubuh normal pada ternak ungas pada umumnya berkisar antara 40,541,5 C (Etches et al. 2008). Untuk dapat berproduksi dan berkembang dengan
baik dan optimal maka unggas harus dipelihara dalam kisaran suhu nyaman atau
comfort zone dari lingkungannya. Comfort zone untuk unggas umumnya berkisar
antara 25-28°C (Zurriyati dan Dahono 2013). Suhu lingkungan dapat
mempengaruhi fisiologis unggas secara langsung, yaitu dengan cara memberikan
pengaruh terhadap fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat
pernafasan; serta dapat mempengaruhi secara tidak langsung dengan
meningkatnya hormon kortikosteron dan kortisol, serta menurunnya hormon
adrenalin dan tiroksin dalam darah (Sohail et al. 2010).
Perubahan habitat yang terjadi akibat faktor-faktor suhu, kelembaban dan
produktivitas primer (sumber nutrisi) menyebabkan sejumlah hewan akan
melakukan adaptasi atau bahkan migrasi untuk menemukan habitat baru yang
sesuai. Kemampuan adaptasi unggas dalam mempertahankan suhu tubuh dalam
kisaran yang normal memengaruhi reaksi biokimiawi dan respon fisiologis unggas
seperti frekuensi pernapasan. Menurut Amstrong (1994), temperatur yang tinggi
mengakibatkan cekaman panas pada ternak, sehingga terjadi perubahan fisiologis
berupa peningkatan suhu tubuh, konsumsi air minum, frekuensi pernapasan,
evaporasi air, denyut jantung, dan perubahan konsumsi ransum. Unggas sebagai
hewan berdarah panas (homeoterm) ketika menghadapi cekaman panas, tubuhnya
akan beradaptasi melalui proses thermoregulasi, agar panas yang dilepaskan
sebanding dengan panas yang diterima dan yang dibentuk dalam tubuh (Lin et al.
2005). Proses thermoregulasi dalam rangka adaptasi terhadap cekaman panas ini
mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi.
Unggas petelur khususnya tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur
utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui
penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran pernafasan dengan cara panting
(Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et al. 2002). Peningkatan pengeluaran panas
melalui mulut (panting) merupakan mekanisme pengeluaran kelebihan panas yang
utama pada unggas (Aengwanich et al. 2003). Pada saat suhu lingkungan tinggi,
tubuh unggas akan mendeteksi perubahan melalui thermoreseptor perifer yang
terletak di dalam kulit. Impuls akan dikirim ke pusat integrasi thermoregulasi
tubuh di hipotalamus. Selanjutnya, hipotalamus akan mengirim respon kepada
efektor yang berupa kelenjar keringat dan kapiler kulit agar dapat mengurangi
peningkatan suhu tubuh melalui pelebaran pembuluh darah, berkeringat dan
kontrol sistem metabolik tubuh (Sloane 2003).
Selama stres panas pusat respirasi di otak bekerja lebih giat. Kebutuhan
oksigen meningkat dan frekuensi respirasi meningkat sehingga terjadi
hiperventilasi (panting). Panting menyebabkan hilangnya air dari tubuh lewat
respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah meningkat, konsentrasi CO2
dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis (UMM 2008).
o
7
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Desember 2015.
Pemeliharaan dan pengambilan sampel dilakukan di Laboratorium Percobaan
Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pembacaan sampel dengan Spirometer menggunakan komputer dilakukan di
Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan 24 ekor burung puyuh dari periode starter satu
hari/ day old quail (DOQ) yang dipelihara hingga periode layer berumur sekitar
15 minggu dengan diberi perlakuan. Bahan lain yang digunakan adalah air, pakan,
vitamin dan vaksin Newcastle disease (ND). Kandang yang digunakan dengan
sistem pemantauan suhu yaitu menggunakan termostat diberi lampu penerangan
dan kipas kecil pada setiap kandang. Peralatan lain yang digunakan adalah alat
respirometer „Spirometer AD Instrument 5‟, komputer/laptop yang telah memiliki
software Chart 5 for Windows, kotak persegi dari plastik yang kedap udara, box
plastik berukuran sedang sebagai tempat pengukuran respirasi, termostat, bola
lampu, selang penghubung ukuran kecil dan sedang, masker, sarung tangan,
tempat pakan, tempat minum, alat tulis serta tisu.
Metode Penelitian
Burung puyuh dipelihara dari masa starter di dalam kandang percobaan,
dimana setiap kandang diberi perlakuan suhu yang berbeda-beda. Burung puyuh
diberikan pakan,minum dan vitamin serta diperhatikan kebersihan kandang setiap
harinya. Respirasi diukur pada puyuh setelah berumur sekitar 15 minggu yaitu
pada masa layer. Burung puyuh dimasukkan ke dalam kotak plastik kedap udara,
kotak plastik dihubungkan dengan alat respirometer yaitu „Spirometer AD
Instrument 5‟ yang sebelumnya telah tersambung dengan komputer/laptop.
Kemudian suhu di atur dengan menggunakan lampu dan termostat sesuai suhu
puyuh dari kandang asal. Kotak plastik diusahakan agar benar-benar tidak masuk
udara, karena dapat mempengaruhi hasil selama proses pengukuran. Burung
puyuh di handle dengan kain atau kawat untuk menghindari terjadinya pergerakan
yang berlebih dari puyuh. Apabila setiap prosedur peralatan respirometer sudah
benar, maka hasil pengukuran respirasi akan diperoleh pada komputer/laptop
yang telah memiliki software Chart 5 for Windows.
8
Persiapan Penelitiaan
Persiapan Kandang
Kandang adalah hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum
penelitian dimulai. Kandang puyuh terdiri dari 4 buah yang berukuran tiap
kandang 1m x 0,6m x 0,6m. Tiap kandang diatur suhu yang berbeda-beda dengan
menggunakan lampu sebagai sumber panas dan kipas kecil untuk menjaga
kelembaban. Kandang 1 diatur pada suhu 26°C, kandang 2 diatur pada suhu 29°C,
kandang 3 diatur pada suhu 33°C dan kandang 4 diatur pada suhu 36°C. Untuk
menjaga agar suhu dalam kisaran yang ditentukan digunakan suatu alat yang
dipasang pada lampu kandang disebut dengan termostat. Alas kandang dipasang
kawat yang dilapisi dengan kertas koran agar menghindari kaki burung puyuh
terluka. Pada kandang juga diberi tempat pakan dan tempat minum.
Persiapan Hewan
Burung puyuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah burung puyuh
(Coturnix coturnix Japonica) sebanyak 24 ekor. Burung puyuh dipelihara dari
DOQ (Day old quail) hingga periode layer puyuh bertelur berumur sekitar 15
minggu. Burung puyuh dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan cekaman panas.
Masing-masing kelompok perlakuan masing-masing terdiri dari 6 ekor burung
puyuh.
Pelaksanaan Penelitiaan
Pemeliharaan Burung Puyuh
Burung puyuh dari DOQ hingga periode layer dipelihara dan diberi
perlakuan suhu yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Kelompok 1 diatur pada
suhu 26°C, kelompok 2 diatur pada suhu 29°C, kelompok 3 diatur pada suhu
33°C dan kelompok 4 diatur pada suhu 36°C. Paparan suhu diberikan pada saat
burung puyuh dalam periode starter hingga dilakukannya pengambilan data. Pada
setiap kandang diberikan koran sebagai alas. Pegantian pakan dan pembersihan
kandang dilakukan sebanyak dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Dalam masa
adaptasi, burung puyuh diberikan pakan, minum, vitamin serta vaksin ND
(Newcastle disease) untuk menjaga agar puyuh tetap hidup dan tidak stress. Puyuh
diberi perlakuan suhu sejak puyuh masuk dalam kandang hingga proses
pengambilan data.
Pengukuran Frekuensi Respirasi Burung Puyuh
Setelah periode layer, frekuensi respirasi puyuh dihitung dengan
menggunakan respirometer “Spirometer AD Instrument 5” . Alat ini terhubung ke
puyuh dan laptop sehingga ketika puyuh bernapas, frekuensi respirasi dapat secara
otomatis terekam di layar komputer/laptop yang telah memiliki software Chart 5
for Windows.
.
9
Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan, kemudian dianalisis
mengunakan Micrososft Office Excel 2007 dan program SPSS 16.0 metode One
Way Analysis of Variance (ANOVA) serta regresi linier.
24 ekor
Burung Puyuh
Kelompok A
(26°C)
6 ekor puyuh
Kelompok B
(29°C)
6 ekor puyuh
Kelompok C
(33°C)
6 ekor puyuh
Kelompok D
(39°C)
6 ekor puyuh
Gambar 2 Bagan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu lingkungan tinggi akan mempengaruhi tingkah laku ternak serta fungsi
beberapa organ tubuh, seperti jantung dan alat pernapasan, serta secara tidak
langsung mempengaruhi peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol,
menurunnya hormon adrenalin dan tiroksin dalam darah (Sohail et al. 2010), serta
meningkatkan suhu rektal (Delezie et al. 2007; Tamzil et al. 2013). Ternak yang
mengalami stres, maka sistem neurogeniknya langsung diaktifkan (Virden dan
Kidd 2009), yang pada fase alarm ditandai dengan peningkatan tekanan darah,
peningkatan tosmus otot, sensitivitas saraf, peningkatan gula darah serta
peningkatan respirasi. Hasil pengukuran frekuensi respirasi pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Frekuensi respirasi burung puyuh pada tiap kelompok perlakuan
Kelompok ke-
Frekuensi Respirasi (/menit)
A(26˚C)
B(29˚C)
C(33˚C)
D(36˚C)
49.13±15.72ᵃ
49.93±26.18ᵃ
50.23±14.44ᵃ
74.57±48.83ᵃ
Keterangan: Data disajikan dalam rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript yang sama yang
mengikuti angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P >0.05)
10
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cekaman suhu tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap frekuensi respirasi burung puyuh. Tabel
diatas diperoleh bahwa perlakuan pada kelompok A memiliki nilai terendah pada
frekuensi respirasi yaitu 49.13±15.72/menit. Kelompok A merupakan kelompok
dengan suhu terendah yaitu 26°C yang digunakan sebagai suhu kontrol. Suhu ini
masih berada di sekitar batas normal suhu kandang pada ternak unggas sehingga
puyuh tidak mengalami tekanan stres. Suhu tubuh normal pada ternak unggas
berkisar antara 40,5-41,5oC (Etches et al. 2008). Untuk dapat berproduksi dan
berkembang dengan baik dan optimal maka unggas harus dipelihara dalam kisaran
suhu nyaman atau comfort zone dari lingkungannya. Comfort zone untuk unggas
umumnya berkisar antara 25-28°C (Zurriyati dan Dahono 2013).
Perlakuan pada kelompok B yaitu pada suhu 29°C memiliki frekuensi
respirasi yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan perlakuan pada kelompok
A (kontrol). Frekuensi respirasi yang diperoleh pada kelompok B yaitu
49.93±26.18/menit. Perlakuan pada kelompok C, pada suhu 33°C sedikit
meningkat dibanding perlakuan kelompok A dan B yaitu 50.23±14.44/menit. Hal
ini terjadi diakibatkan oleh suhu lingkungan yang semakin meningkat dan
menyebabkan peningkatan frekuensi respirasi. Perlakuan pada kelompok D
memiliki hasil frekuensi respirasi yang tertinggi yaitu 74.57±48.83. Suhu pada
kelompok D yaitu sekitar 36°C. Suhu ini tentunya berada di atas kisaran suhu
kandang unggas yang normal. Bila pemeliharaan dilakukan di atas kisaran suhu
nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulitan membuang suhu tubuhnya
ke lingkungan akibatnya frekuensi respirasi puyuh akan semakin meningkat
(Cooper & Washburn 1998; Austic 2000).
RESPIRASI
200
180
160
y = 2.2144x - 12.645
R² = 0.0829
140
FREKUENSI
120
RESPIRASI
Linear
(RESPIRASI)
100
80
60
40
20
0
20
30
40
SUHU
Gambar 3 Grafik linier pengaruh suhu kelompok 26°C, 29°C, 33°C dan
36°C terhadap frekuensi respirasi burung puyuh
11
Unggas akan memproduksi panas dan membuang kelebihan panas tubuh
secara terkendali pada zona nyaman (comfort zone) sehingga suhu tubuh konstan.
Panas tubuh unggas dikeluarkan oleh tubuh secara normal melalui 3 mekanisme
yaitu : konduksi, dengan cara menempelkan permukaan tubuh ke bagian kandang
yang lebih dingin, misalnya lantai kandang maupun bagian sisi dari tempat
minum, konveksi, yaitu aliran udara membawa panas tubuh ayam serta radiasi,
melalui proses elektromagnetik dimana panas bergerak dari permukaan yang
lebih panas (tubuh ayam) ke permukaan yang lebih dingin tanpa sebuah media
perantara, seperti aliran panas matahari ke bumi. Mekanisme pengeluaran panas
tubuh ini akan berfungsi secara normal (optimal), saat ayam dipelihara pada zona
nyaman (comfort zone). Frekuensi panting meningkat sesuai dengan peningkatan
temperatur lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan berpengaruh terhadap
kemampuan pelepasan panas tubuh dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh
(Dawson dan Whittow 2000 ; Lin et al. 2005). Unggas berupaya meningkatkan
pelepasan panas dan mengurangi pembentukan panas dari tubuh, baik dengan cara
mengubah tingkah laku maupun aktifitas fisiologis (Cooper dan Washburn 1998).
Unggas yang mengalami cekaman panas, jalur utama untuk menjaga
keseimbangan suhu tubuh adalah dengan pelepasan panas tubuh melalui saluran
pernapasan dengan cara panting melalui penguapan air di permukaan kulit
(Hoffman dan Walsberg 1999). Perubahan mikrovaskular pada jaringan paru dan
kulit adalah upaya tubuh melepaskan panas melalui evaporasi. Evaporasi terjadi
melalui pengaturan aliran darah dengan cara pelebaran pembuluh darah perifer
(vasodilatasi) sehingga darah banyak membawa panas dari dalam (core) ke
permukaan tubuh. Cekaman panas dapat meningkatkan evaporasi melalui
pernapasan dan permukaan kulit (evaporasi kutaneus) pada jenis unggas hingga
mencapai 40-75% dari total kehilangan air dari dalam tubuh (Ophir et al. 2002)
Produksi panas melebihi kemampuan pembuangan panas yang maksimum
(maximum heat loss) menyebabkan kematian setelah ayam menunjukkan cekaman
panas yang intens (akut) atau cekaman panas yang berlangsung dalam waktu lama
(kronis). Suhu tubuh ayam harus dijaga sekitar 39,9 – 41 oC, ayam akan mati
apabila suhu tubuh meningkat sebanyak 4oC atau lebih (DEFRA 2005). Frekuensi
respirasi puyuh yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan frekuensi respirasi pada ayam normal. Frekuensi respirasi
ayam normalnya sebanyak 20 – 30/ per menit, tetapi saat temperatur 30,2oC dan
kelembaban 89,0%, frekuensi respirasi meningkat menjadi 39 kali per menit
(Abioja et al. 2012). Selama cekaman panas pusat respirasi di otak bekerja lebih
giat. Kebutuhan oksigen meningkat dan frekuensi respirasi meningkat sehingga
terjadi hiperventilasi (panting). Panting menyebabkan hilangnya air dari tubuh
lewat respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah meningkat, konsentrasi
CO2 dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis. Namun, apabila
dilakukan perbandingan dari tiap kelompok perlakuan, maka tidak terdapat
perbedaan nyata yang signifikan antara tingkatan suhu kelompok yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini terjadi disebabkan oleh perlakuan suhu pada burung
puyuh telah diberikan sejak puyuh periode DOQ hingga periode layer. Pemberian
cekaman panas dalam waktu kronis (prolonged stress) akan menyebabkan unggas
tersebut ke tahap stage of resistence atau stage of exhaustion sehingga dapat diketahui
mekanisme respon fisiologis terhadap cekaman panas dalam waktu lama adalah
homeostasis, adaptasi atau akan gugur melalui seleksi alam. Penelitian ini
12
menghasilkan strain puyuh yang mampu mengalami perubahan dan proses
adaptasi terhadap cekaman panas yang bersifat kronis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer
pada burung puyuh cenderung mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi
apabila dibandingkan dengan suhu kontrol (26°C) dan suhu normal unggas,
namun perbedaan suhu tiap kandangnya tidak berbeda secara signifikan terhadap
respon fisiologis frekuensi respirasi burung puyuh periode layer.
Saran
Penelitian selanjutnya penting untuk mengetahui profil darah, seperti pH
darah burung puyuh akibat dari perlakuan cekaman panas sejak usia sehari (DOQ)
hingga periode layer (kronis). Perlu dilakukan perbandingan frekuensi respirasi
antara pengaruh cekaman panas kronis dengan cekaman panas akut.
DAFTAR PUSTAKA
Abioja MO, Ogundimu KB, Akibo TE, Odukoya KE, Ajiboya OO, Abiona JA,
Williams TJ, Oke EO, Osinowo OO. 2012 . Growth, mineral deposition,
responses of broiler chickens offered honey in drinking water during hotdry season. Poult Sci. 82(2): 2701-2861.
Aengwanich W, Chuachan U, Phasuk Y, Vongpralab T, Pakdee P, Katavetin S,
Simaraks S. 2003. Effect of ascorbic acid on respiratory rate, body
temperature, heterophil: lymphocyte ratio and microscopic lesion score in
lung, liver, kidney, cardiac muscle and spleen in broilers under chronic
heat stress. Thai J Agri Sci. 36:207-218.
Amstrong DV. 1994 . Heat stress interaction with shade and cooling. J of Dairy
Sci. 77:2044-2050.
Austic RE. 2000. Feeding poultry in hot and cold climates. In: Yousef MK, editor.
Stress phisiology Livest poultry Vol III. Florida (US): CRC Press Inc. p.
123-136.
Bahri S, Syafriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit hewan
menular strategis di Indonesia terkait dengan pemanasan global dan
perubahan iklim. Wartazoa. 21(1) : 25-39.
Cooper MA, Washburn KW. 1998. The relationships of body temperature to
weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat
stress. Poult Sci. 77:237-242.
13
Dawson WR, Whittow GC. 2000. Regulation of body temperature. In Sturkie’s
Avian Physiology, 5thed. Edited by Whittow GC. Sydney: Academic Press.
[DEFRA] Department for Environmental Food and Rural Affair. 2005. Heat
Stress in Poultry : Solving the Problem.
Delezie E, Swennen Q, Buyse J, Decuypere E. 2007. The effect of feed
withdrawal and crating density in transit on metabolism and meat quality
of broilers at slaughter weight. Poult Sci. 86:1414-1423.
[Ditjenakkeswan] Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
Esmay, Merle L. 1978. Principles of Animal Enviroment. Wesport: Avi
Publishing Company.
Etches RJ, John TM, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, physiological,
neuroendocrine and molecular responses to heat stress. In: Daghir NJ,
editor. Poult Prod hot Clim. p. 49-69.
Ewing SA, Donald C, Lay J, Von Borrel E. 1999. Farm animal well-being: stress
physiology, animal behaviour and environmental design. Upper Saddle
River (New Jersey): Prentice Hall.
Fedde MR. 1976. Respiration. In P.D. Sturkie, ed., Avian Physiology, 3rded. New
York: Springer-Verlag. Pp. 175-81.
Helinna, Mulyantono. 2002. Bisnis Puyuh juga Bertumpu pada DKI.Edisi Juli
Majalah Poultry Indonesia.
Hoffman TY CM, Walsberg GE.1999. Inhibiting ventilator. Frandson,R.D.1992.
Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Isnaeni, W.2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Lin H, H. F. Zhang, R. Du, X. H. Gu, Z. Y. Zhang, J. Buyse and E. Decuypere.
2005. Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at
different ambient temperatures. II. Four weeks of age. Poultry Science.
84:1173-1178.
Marsudi, Saparinto C. 2012. Puyuh. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Moberg GP. 2000. Biological response to stress: Implications for animal welfare.
In: Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress. Oxfordshire (UK):
CABI Publishing. p. 1-21.
Nugroho, Mayun IGT. 1986. Beternak Burung Burung Puyuh. Semarang. Eka
Offest.
Olubamiwa O, Haruna ES, Musa U, Akinwale TO, Lombin LH. and Longe
OG.1999. Effect of different energy levels of cocoa huskbased diets on
productive performance of Japanese quail. Nigerian Journal of Animal
Production 26: 88 – 92.
Ophir E, Y. Arieli, J.Mrder, and M. Horowitz.2002. Coetaneous blood flow in
pigeon Columba livia:its possible relevance to coetaneous water
evaporation. J Exp Biol 205:2627-2636.
Sari W, Kamal S, Umami S. 2013. Perbandingan tipe dan perkembangan bulu
pada tiga jenis unggas. Banda Aceh: Fakultas MIPA Departemen Biologi
Unsyiah.
Sloane E. 2003. Anatomy and Physiology: an Easy Learner. Philadelphia:
Mcdraw Hill.
14
Sohail MU, Ijaz A, Yousaf MS, Ashraf K, Zaneb H, Aleem M, Rehman H. 2010.
Alleviation of cyclic heat stress in broilers by dietary supplementation of
mannanoligosaccharide and Lactobacillus-based probiotic: Dynamics of
cortisol, thyroid hormones, cholesterol, C-reactive protein, and humoral
immunity. Poult Sci. 89:1934-1938.
Sunarno. 2004. Potensi Burung Puyuh.. Edisi Februari. Majalah Poultry
Indonesia. p.61.
Suprijatna E, Umiyati A, Ruhyat K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Syamsir E., Seowarno TS., Sri Supraptini M. 1994. Studi komparatif sifat mutu
dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Buletin Tek dan Industri
Pangan. 5(3): 33-38.
Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013.
Keragaman gen heat shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan
ayam Ras. J Vet. 14:317-326.
[UMM] Universitas Muhammadiyah Malang. 2008. Stres dan Mikotoksikosis.
Malang: UMM press.
Utina R. 2009. Pemanasan Global: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya.
Makalah. Universitas Negeri Gorontalo: Biologi FMIPA.
Virden WS, Kidd MT. 2009. Physiological stress in broilers: ramifications on
nutrient digestibility and responses. J Appl Poult Res. 18:338-347.
Yuwanta T. 2008. Dasar Ternak Unggas. Edisi 5. Yogyakarta: Kanisius.
Zurriyati Y, Dahono. 2013. Respon Fisiologis dan Evaluasi Karkas Ayam Broiler
terhadap Suhu Pemeliharaan Dingin. Kepulauan Riau: Badan Pengkajian
Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sidikalang tanggal 11 Maret 1995 sebagai anak ke dua
dari pasangan Wesli Anthoni Pandiangan dan Kesianna Sinaga. Penulis
menempuh pendidikan SMA Negeri 1 Sidikalang pada tahun 2012. Penulis masuk
IPB melalui jalur SNMPTN Tulis dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan
pada tahun 2012. Semasa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi
diantaranya sebagai anggota Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara (2013-2014),
Wakil Koordinator Bidang Pembinaan Komisi Pelayanan Anak PMK IPB 20132014), Wakil Koordinator Bidang Pembinaan Kelompok Pra Alumni PMK IPB
(2015-2016) dan aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan
dan Satwa Akuatik (HKSA) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(2014-2015)..
Download