PERFORMA RESPIRASI BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) PERIODE LAYER PADA PENGARUH CEKAMAN PANAS YANG BERBEDA AYU SUMARYETTY PANDIANGAN DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Ayu S Pandiangan B04120144 ABSTRAK AYU S PANDIANGAN. Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda. Dibimbing oleh ISDONI dan KOEKOEH SANTOSO. Burung puyuh merupakan jenis unggas yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) memiliki potensi untuk di kembangkan karena permintaan akan telur burung puyuh cukup tinggi dan harganya relatif dapat dijangkau oleh masyarakat. Tujuan umum beternak burung puyuh untuk menghasilkan telur konsumsi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh cekaman panas yang berbeda-beda terhadap frekuensi respirasi pada burung puyuh. Penelitian ini menggunakan 24 ekor burung puyuh yang dipelihara dari umur DOQ hingga periode layer yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok A diatur pada suhu 26°C, kelompok B diatur pada suhu 29°C, kelompok C diatur pada suhu 33°C dan kelompok D diatur pada suhu 36°C. Pengambilan data dilakukan pada periode layer untuk dihitung frekuensi respirasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi respirasi pada kelompok A sampai kelompok D mengalami peningkatan dari frekuensi respirasi normal namun tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kata Kunci: burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica), cekaman panas, DOQ, periode layer ABSTRACT AYU S PANDIANGAN. Respiration performance of Quail (Coturnix coturnix Japonica) Layer Periode on the Effects of Different Heat Stress. Supervised by ISDONI and KOEKOEH SANTOSO. Quail is a type of bird that can not fly, the body size is relatively small, short-legged and can be pitted. Quail (Coturnix coturnix Japonica) has the potential to be developed because high demands of quail eggs and the price is affordable. The general objective of raising quail is to produce eggs for consumption. This study was conducted to determine the effect of heat stress varying the frequency of respiration in quail. This study used 24 male quails that are raised from DOQ till layer periode and divided into 4 groups. Group A is set at 26 ° C, group B is set at 29 ° C, group C is 33 ° C and group D is set at 36 ° C. Data was collected in the layer periode to calculate the respiration frequency. The results showed that the frequency of respiration in the Group A until group D show an increase of the normal frequency but were not significantly different. Keywords: quail (Coturnix coturnix Japonica), heat stress, DOQ, period layer PERFORMA RESPIRASI BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) PERIODE LAYER PADA PENGARUH CEKAMAN PANAS YANG BERBEDA AYU SUMARYETTY PANDIANGAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 Judul Skripsi : Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda Nama : Ayu Sumaryetty Pandiangan NIM : B04120144 Disetujui oleh Drh Isdoni,M.Biomed Pembimbing I Dr Drh Koekoeh Santoso Pembimbing II Diketahui oleh Prof Drh Agus Setiyono , MS PhD, APVet Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmatnya-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Performa Respirasi Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Periode Layer pada Pengaruh Cekaman Panas yang Berbeda. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Isdoni,M.Biomed dan Dr Drh Koekoeh Santoso atas kesabaran dan bimbingan selama proses penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Koekoeh Santoso juga selaku pembimbing akademik yang telah membantu dan bertukar pikiran selama proses belajar mengajar di FKH IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, abang dan adik, nenek, tante dan keluarga, Ladies in waiting, KPAnis 49, Pengurus (Seven, Grace, Riska, Juni, Harjono, Erik, Arin) dan anggota Kopral 49, untuk Rinda, Tomi, Clara, Indira, Nia, Henny, Winu dan teman-teman satu penelitian, serta buat Risko atas dukungan, doa dan semangat yang diberikan. Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB, ASTROCYTE 49 dan pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesain tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Bogor, Agustus 2016 Ayu S Pandiangan DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Burung Puyuh 2 Sistem Respirasi 3 Cekaman Panas 5 Respon Fisiologis (Adaptasi) Puyuh 6 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 7 Waktu dan Tempat Penelitian 7 Alat dan Bahan 7 Metode Penelitian 7 Persiapan Penelitian 8 Persiapan Kandang 8 Persiapan Hewan 8 Pelaksanaan Penelitian 8 Pemeliharaan Burung Puyuh 8 Pengukuran Frekuensi Respirasi Burung Puyuh 8 Analisis Data Statistik 9 HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN 9 12 Simpulan 12 Saran 12 DAFTAR PUSTAKA 12 RIWAYAT HIDUP 15 DAFTAR TABEL 1 Frekuensi respirasi burung puyuh pada tiap kelompok perlakuan 9 DAFTAR GAMBAR 1 Sistem respirasi pada unggas 2 Bagan penelitian 3 Grafik linier pengaruh suhu kelompok 26°C, 29°C, 33°C dan 36°C terhadap frekuensi respirasi burung puyuh 4 9 10 PENDAHULUAN Latar Belakang Telur puyuh merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain memiliki nilai gizi, sifat mutu, dan sifat fungsional yang serupa dengan telur ayam ras, telur puyuh juga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara lebih luas dan bervariasi dalam pengolahan pangan (Syamsir et al. 1994). Permintaan konsumen akan telur puyuh meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Konsumsi protein per kapita sehari untuk daging pada tahun 2014 sebesar 2,68 gram, meningkat sebesar 8,50 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 2,47 gram. Konsumsi protein per kapita sehari untuk telur dan susu pada tahun 2014 sebesar 3,17 gram, atau meningkat sebesar 2,92 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 3,08 gram (Ditjennakkeswan 2015). Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu ratarata di permukaan bumi telah meningkat sebesar 0.74 ± 0.18 °C. (Utina 2009). Industri atau usaha peternakan unggas di hadapkan dengan tingginya suhu lingkungan yang berdampak pada peningkatan suhu tubuh unggas. Hal ini menyebabkan produksi daging maupun telur tidak sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki unggas (Bahri dan Syafriati 2011). Burung puyuh merupakan unggas yang bersifat homeothermik dimana suhu tubuh normal ungas pada umumnya berkisar antara 40,5-41,5oC (Etches et al. 2008). Untuk dapat berproduksi dan berkembang dengan baik dan optimal maka unggas harus dipelihara dalam kisaran suhu nyaman atau comfort zone dari lingkungannya. Comfort zone untuk unggas umumnya berkisar antara 25-28°C (Zurriyati dan Dahono 2013). Hiperthermia / kenaikan suhu pada burung puyuh harus segera diatasi melalui mekanisme thermoregulasi, agar suhu tubuh puyuh dapat kembali pada suhu tubuh normal. Proses thermoregulasi dalam rangka adaptasi terhadap cekaman panas mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi dengan cara panting/hiperventilasi (Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et al. 2002). Dasar pemikiran penelitian ini adalah perlakuan cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer menyebabkan gangguan pada sistem thermoregulasi pada puyuh, sehingga mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi yang berkaitan kepada penurunan performa burung puyuh. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi respirasi burung puyuh terhadap pemberian cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer. 2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai respon dari sistem respirasi burung puyuh terhadap pemberian cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer. TINJAUAN PUSTAKA Burung Puyuh Burung puyuh merupakan jenis unggas yang tidak dapat terbang, memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh disebut juga Gemak (bahasa Jawa-Indonesia). Burung puyuh dalam bahasa Inggris disebut “Quail”. Burung puyuh merupakan bangsa burung (liar) yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870, kemudian dikembangkan hingga ke penjuru dunia. Indonesia mulai mengenal dan menjadikan puyuh sebagai unggas ternak semenjak akhir tahun 1979. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), burung puyuh Coturnix coturnix Japonica memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Gallivormes Subordo : Phasianoidea Famili : Phasianidae Sub-famili : Phasianinae Genus : Coturnix Spesies : Coturnix coturnix Japonica Burung puyuh yang baru menetas sudah ditutupi dengan bulu, berbeda dengan tubuh burung merpati, dimana pada saat menetas belum memiliki bulu (telanjang pada saat menetas) atau jika tumbuh bulu jumlahnya sangat sedikit dan jarang. Bagian yang ditumbuhi bulu pada burung puyuh saat baru menetas terlihat pada dada, sayap, punggung, leher, bahu, paha dan ekor. Pertumbuhan bulu yang paling cepat terdapat pada bagian sayap (Sari et al. 2013). Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) termasuk salah satu ternak yang memiliki prospek usaha yang cukup baik karena memiliki beberapa keunggulan, seperti tidak membutuhkan lahan yang luas karena ukuran puyuh yang relatif kecil, tidak membutuhkan modal yang besar, mudah dalam pemeliharaannya, multiusaha sebagai penghasil daging dan telur, permintaan akan telur burung puyuh pun cukup tinggi dan harganya relatif dapat dijangkau oleh masyarakat. Tujuan umum beternak burung puyuh untuk menghasilkan telur konsumsi. Oleh karena itu, keberadaan burung puyuh jantan terkadang tidak diperlukan karena burung puyuh betina dapat bertelur tanpa burung puyuh jantan. Konsumsi pakan burung puyuh jantan pun lebih banyak dibandingkan burung puyuh betina. Burung puyuh jantan kurang efisien apabila dijadikan sebagai puyuh pedaging, hanya diperlukan untuk usaha pembibitan tetapi dengan jumlah yang sedikit (Marsudi dan Saparinto 2012). 3 Daging dan telur puyuh memiliki kandungan protein yang tinggi, dan merupakan pilihan yang tepat bagi pasien yang memiliki hipertensi (Olubamiwa et al.1999). Puyuh memiliki karakteristik yang unik dan kelebihan dari jenis ternak unggas lainnya dimana memiliki kematangan seksual yang cukup cepat, jarak generasi yang sangat singkat sehingga memungkinkan banyaknya produksi puyuh dalam setiap tahunnya. Burung puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang cukup produktif (Sunarno 2004), dapat bertelur sebanyak 300 butir/tahun (Helinna dan Mulyantono 2002). Sistem Respirasi Rangkaian saluran respirasi unggas pada umumnya dimulai dari lubang hidung luar dan dalam (external dan internal nares), glottis, larynx, trachea, syrinx (rongga suara), bronchi, paru-paru dan kantong udara. Paru-paru terletak di antara tulang rusuk dan vertebrae dorsalis yang berfusi dengan kantong udara. Sistem respirasi pada unggas berbeda dengan sistem repirasi pada mamalia. Perbedaan sistem respirasi pada unggas terletak pada fungsi paru-paru yang berhubungan langsung dengan kantong udara dan rongga tulang dimana hal tersebut tidak terdapat pada mamalia. Unggas tidak memiliki diafragma yang berfungsi mengontrol ekspansi dan kontraksi paru-paru. Hal ini menyebabkan paru-paru tidak mengembang dan kontraksi selama ekspirasi dan inspirasi. Paruparu hanya berperan sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas di dalam darah (Suprijatna et al. 2005). Sebagian besar unggas memiliki delapan kantong udara, kecuali pada ayam, bebek, burung dara, dan kalkun memiliki sembilan buah kantong udara. Kantong udara (air sac) pada unggas terdiri dari sepasang pada daerah abdomial, sepasang di daerah thorakalis anterior, sepasang di thorakalis posterior, sepasang di daerah servicalis, dan satu buah di klavicularis (Fedde 1976). Kantong udara berfungsi untuk membantu paru-paru dalam pernapasan, meringankan tubuh saat terbang, membantu mengapungkan tubuh saat unggas terbang (di udara) serta membantu difusi air dari darah untuk diekskresikan lewat paru-paru sebagai uap air. Respirasi pada unggas merupakan suatu usaha pengambilan oksigen (O2) dari udara dan pengeluaran karbondioksida (CO2) beserta dengan uap air melalui sistem pernapasan setelah diproses di dalam paru-paru, rongga tulang, rongga udara dan darah (Yuwanta 2008). Mekanisme pernapasan pada burung puyuh terdiri dari dua fase yaitu inspirasi dan ekspirasi. Proses pengambilan udara (inspirasi) berbeda pada saat burung terbang dan istirahat. Pernapasan pada burung saat istirahat terjadi ketika adanya pergerakan tulang rusuk ke depan sehingga rongga dada membesar dan paru-paru mengembang. Keadaan tersebut menyebabkan udara dapat masuk ke paru-paru. Sebagian udara yang kaya oksigen ini akan diambil paru-paru dan sebagian lagi akan masuk ke kantong udara belakang (posterior). Sedangkan udara yang miskin oksigen akan masuk ke kantong udara depan (anterior). Pernafasan pada burung saat terbang, mengakibatkan pergerakan aktif dari rongga dada tidak dapat dilakukan karena tulang dada dan tulang rusuk merupakan pangkal perlekatan otot yang berfungsi untuk terbang. Pada saat terbang, kantong udara berperan sangat penting. Inspirasi dan ekspirasi dilakukan bergantian oleh 4 kantong udara di antara tulang coracoid (interclavicular sac) dan kantong udara di bawah tulang axillaris (subscapular sac). Ketika sayap terangkat, kantong udara pada pangkal lengan mengembang, sehingga udara masuk ke kantung udara abdominal. Kemudian, udara dialirkan ke paru-paru dan sebagian masuk ke dalam kantung udara, sehingga darah dapat mengambil oksigen dari paru-paru. Sedangkan pada fase ekspirasi terjadi ketika sayap diturunkan, kantung udara pada pangkal lengan mengempis, sehingga kantong udara thorakalis mengembang dan mendorong udara keluar, sehingga terjadi pergantian gas oksigen dan karbondioksida di dalam paru-paru. Semakin tinggi burung terbang, maka semakin cepat kepakan sayapnya, karena kadar oksigen pada udara di lapisan atas semakin kecil atau menipis (Isnaeni 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi pada unggas yaitu: 1) Umur unggas, semakin tinggi umur unggas, semakin tinggi respirasinya, 2) Jenis unggas, unggas tipe ringan (contoh tipe SCWL) lebih tinggi respirasinya daripada tipe berat (contoh tipe RIR) dan respirasi unggas petelur lebih tinggi daripada unggas pedaging, 3) Aktivitas, semakin banyak aktivitas, semakin tinggi respirasinya, 4) Temperatur lingkungan, yang paling sesuai dengan unggas adalah Zone Neutral Thermic (ZNT), yakni antar 10°C-20°C, 5) Sirkulasi udara serta 6) Kepadatan kandang, semakin padat kandang dapat meningkatkan frekuensi respirasi (Yuwanta 2008). Gambar 1 Sistem respirasi pada unggas Faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen, yaitu spesies hewan, suhu lingkungan (terutama bagi hewan eksoterm) dan aktivitas tubuh. Hewan 5 endoterm, hewan yang berukuran tubuh kecil akan memiliki laju konsumsi oksigen per unit massa yang lebih besar dibanding hewan yang berukuran lebih besar. Suhu lingkungan tinggi berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai oksigen dan nutrien melalui aliran darah dengan jalan peningkatan denyut nadi, sehingga mempercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh (Isnaeni 2006). Esmay (1978) menambahkan bahwa peningkatan aktivitas frekuensi pernapasan sebagai akibat suhu lingkungan merupakan suatu upaya untuk memelihara suhu tubuh pada tingkatan yang normal. Cekaman Panas Cekaman panas atau heat stress merupakan kondisi saat ternak mengalami kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan pembuangan panas tubuh yang disebabkan suhu lingkungan yang melebihi zona nyaman. Hal ini menjadi salah satu permasalahan utama di dunia perunggasan Indonesia. Ternak unggas tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri spesifik yaitu tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang disebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing et al. 1999), sedangkan Moberg (2000) mendefinisikan stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan ternak dapat dikategorikan sebagai stres. Puyuh akan dapat bertahan hidup apabila mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah-ubah. Heat stress dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu akut dan kronis. Bentuk akut terjadi saat suhu dan kelembaban meningkat drastis, sedangkan bentuk kronis dipicu kondisi meningkatnya suhu dan kelembaban dalam waktu yang relatif lama. Cekaman panas akut biasanya terjadi saat bumi mengalami peristiwa equinox Cekaman panas kronis dapat terjadi akibat pemanasan global serta pada daerah yang mempunyai iklim tropis. Suhu lingkungan yang melebihi suhu nyaman, mengakibatkan produksi panas meningkat karena unggas tidak dapat mengeluarkan panas dari dalam tubuh. Unggas tidak memiliki kelenjar keringat untuk menguapkan air dari pori-pori keringat, sehingga cara yang dilakukan ialah melalui pernafasan yang cepat, dangkal dan suara terengah-engah (panting). Panting tidak dapat digunakan sebagai alat mengontrol hilangnya panas untuk waktu yang lama. Apabila suhu lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang berlebihan tidak dibuang, maka unggas akan mati karena mengalami hipertermia/ kelebihan suhu (Austic 2000). 6 Respon fisiologis (adaptasi) puyuh Suhu tubuh normal pada ternak ungas pada umumnya berkisar antara 40,541,5 C (Etches et al. 2008). Untuk dapat berproduksi dan berkembang dengan baik dan optimal maka unggas harus dipelihara dalam kisaran suhu nyaman atau comfort zone dari lingkungannya. Comfort zone untuk unggas umumnya berkisar antara 25-28°C (Zurriyati dan Dahono 2013). Suhu lingkungan dapat mempengaruhi fisiologis unggas secara langsung, yaitu dengan cara memberikan pengaruh terhadap fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan; serta dapat mempengaruhi secara tidak langsung dengan meningkatnya hormon kortikosteron dan kortisol, serta menurunnya hormon adrenalin dan tiroksin dalam darah (Sohail et al. 2010). Perubahan habitat yang terjadi akibat faktor-faktor suhu, kelembaban dan produktivitas primer (sumber nutrisi) menyebabkan sejumlah hewan akan melakukan adaptasi atau bahkan migrasi untuk menemukan habitat baru yang sesuai. Kemampuan adaptasi unggas dalam mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal memengaruhi reaksi biokimiawi dan respon fisiologis unggas seperti frekuensi pernapasan. Menurut Amstrong (1994), temperatur yang tinggi mengakibatkan cekaman panas pada ternak, sehingga terjadi perubahan fisiologis berupa peningkatan suhu tubuh, konsumsi air minum, frekuensi pernapasan, evaporasi air, denyut jantung, dan perubahan konsumsi ransum. Unggas sebagai hewan berdarah panas (homeoterm) ketika menghadapi cekaman panas, tubuhnya akan beradaptasi melalui proses thermoregulasi, agar panas yang dilepaskan sebanding dengan panas yang diterima dan yang dibentuk dalam tubuh (Lin et al. 2005). Proses thermoregulasi dalam rangka adaptasi terhadap cekaman panas ini mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi. Unggas petelur khususnya tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran pernafasan dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et al. 2002). Peningkatan pengeluaran panas melalui mulut (panting) merupakan mekanisme pengeluaran kelebihan panas yang utama pada unggas (Aengwanich et al. 2003). Pada saat suhu lingkungan tinggi, tubuh unggas akan mendeteksi perubahan melalui thermoreseptor perifer yang terletak di dalam kulit. Impuls akan dikirim ke pusat integrasi thermoregulasi tubuh di hipotalamus. Selanjutnya, hipotalamus akan mengirim respon kepada efektor yang berupa kelenjar keringat dan kapiler kulit agar dapat mengurangi peningkatan suhu tubuh melalui pelebaran pembuluh darah, berkeringat dan kontrol sistem metabolik tubuh (Sloane 2003). Selama stres panas pusat respirasi di otak bekerja lebih giat. Kebutuhan oksigen meningkat dan frekuensi respirasi meningkat sehingga terjadi hiperventilasi (panting). Panting menyebabkan hilangnya air dari tubuh lewat respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah meningkat, konsentrasi CO2 dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis (UMM 2008). o 7 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Desember 2015. Pemeliharaan dan pengambilan sampel dilakukan di Laboratorium Percobaan Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pembacaan sampel dengan Spirometer menggunakan komputer dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan 24 ekor burung puyuh dari periode starter satu hari/ day old quail (DOQ) yang dipelihara hingga periode layer berumur sekitar 15 minggu dengan diberi perlakuan. Bahan lain yang digunakan adalah air, pakan, vitamin dan vaksin Newcastle disease (ND). Kandang yang digunakan dengan sistem pemantauan suhu yaitu menggunakan termostat diberi lampu penerangan dan kipas kecil pada setiap kandang. Peralatan lain yang digunakan adalah alat respirometer „Spirometer AD Instrument 5‟, komputer/laptop yang telah memiliki software Chart 5 for Windows, kotak persegi dari plastik yang kedap udara, box plastik berukuran sedang sebagai tempat pengukuran respirasi, termostat, bola lampu, selang penghubung ukuran kecil dan sedang, masker, sarung tangan, tempat pakan, tempat minum, alat tulis serta tisu. Metode Penelitian Burung puyuh dipelihara dari masa starter di dalam kandang percobaan, dimana setiap kandang diberi perlakuan suhu yang berbeda-beda. Burung puyuh diberikan pakan,minum dan vitamin serta diperhatikan kebersihan kandang setiap harinya. Respirasi diukur pada puyuh setelah berumur sekitar 15 minggu yaitu pada masa layer. Burung puyuh dimasukkan ke dalam kotak plastik kedap udara, kotak plastik dihubungkan dengan alat respirometer yaitu „Spirometer AD Instrument 5‟ yang sebelumnya telah tersambung dengan komputer/laptop. Kemudian suhu di atur dengan menggunakan lampu dan termostat sesuai suhu puyuh dari kandang asal. Kotak plastik diusahakan agar benar-benar tidak masuk udara, karena dapat mempengaruhi hasil selama proses pengukuran. Burung puyuh di handle dengan kain atau kawat untuk menghindari terjadinya pergerakan yang berlebih dari puyuh. Apabila setiap prosedur peralatan respirometer sudah benar, maka hasil pengukuran respirasi akan diperoleh pada komputer/laptop yang telah memiliki software Chart 5 for Windows. 8 Persiapan Penelitiaan Persiapan Kandang Kandang adalah hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum penelitian dimulai. Kandang puyuh terdiri dari 4 buah yang berukuran tiap kandang 1m x 0,6m x 0,6m. Tiap kandang diatur suhu yang berbeda-beda dengan menggunakan lampu sebagai sumber panas dan kipas kecil untuk menjaga kelembaban. Kandang 1 diatur pada suhu 26°C, kandang 2 diatur pada suhu 29°C, kandang 3 diatur pada suhu 33°C dan kandang 4 diatur pada suhu 36°C. Untuk menjaga agar suhu dalam kisaran yang ditentukan digunakan suatu alat yang dipasang pada lampu kandang disebut dengan termostat. Alas kandang dipasang kawat yang dilapisi dengan kertas koran agar menghindari kaki burung puyuh terluka. Pada kandang juga diberi tempat pakan dan tempat minum. Persiapan Hewan Burung puyuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica) sebanyak 24 ekor. Burung puyuh dipelihara dari DOQ (Day old quail) hingga periode layer puyuh bertelur berumur sekitar 15 minggu. Burung puyuh dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan cekaman panas. Masing-masing kelompok perlakuan masing-masing terdiri dari 6 ekor burung puyuh. Pelaksanaan Penelitiaan Pemeliharaan Burung Puyuh Burung puyuh dari DOQ hingga periode layer dipelihara dan diberi perlakuan suhu yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Kelompok 1 diatur pada suhu 26°C, kelompok 2 diatur pada suhu 29°C, kelompok 3 diatur pada suhu 33°C dan kelompok 4 diatur pada suhu 36°C. Paparan suhu diberikan pada saat burung puyuh dalam periode starter hingga dilakukannya pengambilan data. Pada setiap kandang diberikan koran sebagai alas. Pegantian pakan dan pembersihan kandang dilakukan sebanyak dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Dalam masa adaptasi, burung puyuh diberikan pakan, minum, vitamin serta vaksin ND (Newcastle disease) untuk menjaga agar puyuh tetap hidup dan tidak stress. Puyuh diberi perlakuan suhu sejak puyuh masuk dalam kandang hingga proses pengambilan data. Pengukuran Frekuensi Respirasi Burung Puyuh Setelah periode layer, frekuensi respirasi puyuh dihitung dengan menggunakan respirometer “Spirometer AD Instrument 5” . Alat ini terhubung ke puyuh dan laptop sehingga ketika puyuh bernapas, frekuensi respirasi dapat secara otomatis terekam di layar komputer/laptop yang telah memiliki software Chart 5 for Windows. . 9 Analisis Data Statistik Data yang diperoleh dari hasil pengamatan, kemudian dianalisis mengunakan Micrososft Office Excel 2007 dan program SPSS 16.0 metode One Way Analysis of Variance (ANOVA) serta regresi linier. 24 ekor Burung Puyuh Kelompok A (26°C) 6 ekor puyuh Kelompok B (29°C) 6 ekor puyuh Kelompok C (33°C) 6 ekor puyuh Kelompok D (39°C) 6 ekor puyuh Gambar 2 Bagan penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu lingkungan tinggi akan mempengaruhi tingkah laku ternak serta fungsi beberapa organ tubuh, seperti jantung dan alat pernapasan, serta secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol, menurunnya hormon adrenalin dan tiroksin dalam darah (Sohail et al. 2010), serta meningkatkan suhu rektal (Delezie et al. 2007; Tamzil et al. 2013). Ternak yang mengalami stres, maka sistem neurogeniknya langsung diaktifkan (Virden dan Kidd 2009), yang pada fase alarm ditandai dengan peningkatan tekanan darah, peningkatan tosmus otot, sensitivitas saraf, peningkatan gula darah serta peningkatan respirasi. Hasil pengukuran frekuensi respirasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Frekuensi respirasi burung puyuh pada tiap kelompok perlakuan Kelompok ke- Frekuensi Respirasi (/menit) A(26˚C) B(29˚C) C(33˚C) D(36˚C) 49.13±15.72ᵃ 49.93±26.18ᵃ 50.23±14.44ᵃ 74.57±48.83ᵃ Keterangan: Data disajikan dalam rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript yang sama yang mengikuti angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P >0.05) 10 Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cekaman suhu tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap frekuensi respirasi burung puyuh. Tabel diatas diperoleh bahwa perlakuan pada kelompok A memiliki nilai terendah pada frekuensi respirasi yaitu 49.13±15.72/menit. Kelompok A merupakan kelompok dengan suhu terendah yaitu 26°C yang digunakan sebagai suhu kontrol. Suhu ini masih berada di sekitar batas normal suhu kandang pada ternak unggas sehingga puyuh tidak mengalami tekanan stres. Suhu tubuh normal pada ternak unggas berkisar antara 40,5-41,5oC (Etches et al. 2008). Untuk dapat berproduksi dan berkembang dengan baik dan optimal maka unggas harus dipelihara dalam kisaran suhu nyaman atau comfort zone dari lingkungannya. Comfort zone untuk unggas umumnya berkisar antara 25-28°C (Zurriyati dan Dahono 2013). Perlakuan pada kelompok B yaitu pada suhu 29°C memiliki frekuensi respirasi yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan perlakuan pada kelompok A (kontrol). Frekuensi respirasi yang diperoleh pada kelompok B yaitu 49.93±26.18/menit. Perlakuan pada kelompok C, pada suhu 33°C sedikit meningkat dibanding perlakuan kelompok A dan B yaitu 50.23±14.44/menit. Hal ini terjadi diakibatkan oleh suhu lingkungan yang semakin meningkat dan menyebabkan peningkatan frekuensi respirasi. Perlakuan pada kelompok D memiliki hasil frekuensi respirasi yang tertinggi yaitu 74.57±48.83. Suhu pada kelompok D yaitu sekitar 36°C. Suhu ini tentunya berada di atas kisaran suhu kandang unggas yang normal. Bila pemeliharaan dilakukan di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulitan membuang suhu tubuhnya ke lingkungan akibatnya frekuensi respirasi puyuh akan semakin meningkat (Cooper & Washburn 1998; Austic 2000). RESPIRASI 200 180 160 y = 2.2144x - 12.645 R² = 0.0829 140 FREKUENSI 120 RESPIRASI Linear (RESPIRASI) 100 80 60 40 20 0 20 30 40 SUHU Gambar 3 Grafik linier pengaruh suhu kelompok 26°C, 29°C, 33°C dan 36°C terhadap frekuensi respirasi burung puyuh 11 Unggas akan memproduksi panas dan membuang kelebihan panas tubuh secara terkendali pada zona nyaman (comfort zone) sehingga suhu tubuh konstan. Panas tubuh unggas dikeluarkan oleh tubuh secara normal melalui 3 mekanisme yaitu : konduksi, dengan cara menempelkan permukaan tubuh ke bagian kandang yang lebih dingin, misalnya lantai kandang maupun bagian sisi dari tempat minum, konveksi, yaitu aliran udara membawa panas tubuh ayam serta radiasi, melalui proses elektromagnetik dimana panas bergerak dari permukaan yang lebih panas (tubuh ayam) ke permukaan yang lebih dingin tanpa sebuah media perantara, seperti aliran panas matahari ke bumi. Mekanisme pengeluaran panas tubuh ini akan berfungsi secara normal (optimal), saat ayam dipelihara pada zona nyaman (comfort zone). Frekuensi panting meningkat sesuai dengan peningkatan temperatur lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan berpengaruh terhadap kemampuan pelepasan panas tubuh dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh (Dawson dan Whittow 2000 ; Lin et al. 2005). Unggas berupaya meningkatkan pelepasan panas dan mengurangi pembentukan panas dari tubuh, baik dengan cara mengubah tingkah laku maupun aktifitas fisiologis (Cooper dan Washburn 1998). Unggas yang mengalami cekaman panas, jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh adalah dengan pelepasan panas tubuh melalui saluran pernapasan dengan cara panting melalui penguapan air di permukaan kulit (Hoffman dan Walsberg 1999). Perubahan mikrovaskular pada jaringan paru dan kulit adalah upaya tubuh melepaskan panas melalui evaporasi. Evaporasi terjadi melalui pengaturan aliran darah dengan cara pelebaran pembuluh darah perifer (vasodilatasi) sehingga darah banyak membawa panas dari dalam (core) ke permukaan tubuh. Cekaman panas dapat meningkatkan evaporasi melalui pernapasan dan permukaan kulit (evaporasi kutaneus) pada jenis unggas hingga mencapai 40-75% dari total kehilangan air dari dalam tubuh (Ophir et al. 2002) Produksi panas melebihi kemampuan pembuangan panas yang maksimum (maximum heat loss) menyebabkan kematian setelah ayam menunjukkan cekaman panas yang intens (akut) atau cekaman panas yang berlangsung dalam waktu lama (kronis). Suhu tubuh ayam harus dijaga sekitar 39,9 – 41 oC, ayam akan mati apabila suhu tubuh meningkat sebanyak 4oC atau lebih (DEFRA 2005). Frekuensi respirasi puyuh yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan frekuensi respirasi pada ayam normal. Frekuensi respirasi ayam normalnya sebanyak 20 – 30/ per menit, tetapi saat temperatur 30,2oC dan kelembaban 89,0%, frekuensi respirasi meningkat menjadi 39 kali per menit (Abioja et al. 2012). Selama cekaman panas pusat respirasi di otak bekerja lebih giat. Kebutuhan oksigen meningkat dan frekuensi respirasi meningkat sehingga terjadi hiperventilasi (panting). Panting menyebabkan hilangnya air dari tubuh lewat respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah meningkat, konsentrasi CO2 dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis. Namun, apabila dilakukan perbandingan dari tiap kelompok perlakuan, maka tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara tingkatan suhu kelompok yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi disebabkan oleh perlakuan suhu pada burung puyuh telah diberikan sejak puyuh periode DOQ hingga periode layer. Pemberian cekaman panas dalam waktu kronis (prolonged stress) akan menyebabkan unggas tersebut ke tahap stage of resistence atau stage of exhaustion sehingga dapat diketahui mekanisme respon fisiologis terhadap cekaman panas dalam waktu lama adalah homeostasis, adaptasi atau akan gugur melalui seleksi alam. Penelitian ini 12 menghasilkan strain puyuh yang mampu mengalami perubahan dan proses adaptasi terhadap cekaman panas yang bersifat kronis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer pada burung puyuh cenderung mengakibatkan peningkatan frekuensi respirasi apabila dibandingkan dengan suhu kontrol (26°C) dan suhu normal unggas, namun perbedaan suhu tiap kandangnya tidak berbeda secara signifikan terhadap respon fisiologis frekuensi respirasi burung puyuh periode layer. Saran Penelitian selanjutnya penting untuk mengetahui profil darah, seperti pH darah burung puyuh akibat dari perlakuan cekaman panas sejak usia sehari (DOQ) hingga periode layer (kronis). Perlu dilakukan perbandingan frekuensi respirasi antara pengaruh cekaman panas kronis dengan cekaman panas akut. DAFTAR PUSTAKA Abioja MO, Ogundimu KB, Akibo TE, Odukoya KE, Ajiboya OO, Abiona JA, Williams TJ, Oke EO, Osinowo OO. 2012 . Growth, mineral deposition, responses of broiler chickens offered honey in drinking water during hotdry season. Poult Sci. 82(2): 2701-2861. Aengwanich W, Chuachan U, Phasuk Y, Vongpralab T, Pakdee P, Katavetin S, Simaraks S. 2003. Effect of ascorbic acid on respiratory rate, body temperature, heterophil: lymphocyte ratio and microscopic lesion score in lung, liver, kidney, cardiac muscle and spleen in broilers under chronic heat stress. Thai J Agri Sci. 36:207-218. Amstrong DV. 1994 . Heat stress interaction with shade and cooling. J of Dairy Sci. 77:2044-2050. Austic RE. 2000. Feeding poultry in hot and cold climates. In: Yousef MK, editor. Stress phisiology Livest poultry Vol III. Florida (US): CRC Press Inc. p. 123-136. Bahri S, Syafriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit hewan menular strategis di Indonesia terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Wartazoa. 21(1) : 25-39. Cooper MA, Washburn KW. 1998. The relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult Sci. 77:237-242. 13 Dawson WR, Whittow GC. 2000. Regulation of body temperature. In Sturkie’s Avian Physiology, 5thed. Edited by Whittow GC. Sydney: Academic Press. [DEFRA] Department for Environmental Food and Rural Affair. 2005. Heat Stress in Poultry : Solving the Problem. Delezie E, Swennen Q, Buyse J, Decuypere E. 2007. The effect of feed withdrawal and crating density in transit on metabolism and meat quality of broilers at slaughter weight. Poult Sci. 86:1414-1423. [Ditjenakkeswan] Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Esmay, Merle L. 1978. Principles of Animal Enviroment. Wesport: Avi Publishing Company. Etches RJ, John TM, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, physiological, neuroendocrine and molecular responses to heat stress. In: Daghir NJ, editor. Poult Prod hot Clim. p. 49-69. Ewing SA, Donald C, Lay J, Von Borrel E. 1999. Farm animal well-being: stress physiology, animal behaviour and environmental design. Upper Saddle River (New Jersey): Prentice Hall. Fedde MR. 1976. Respiration. In P.D. Sturkie, ed., Avian Physiology, 3rded. New York: Springer-Verlag. Pp. 175-81. Helinna, Mulyantono. 2002. Bisnis Puyuh juga Bertumpu pada DKI.Edisi Juli Majalah Poultry Indonesia. Hoffman TY CM, Walsberg GE.1999. Inhibiting ventilator. Frandson,R.D.1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Isnaeni, W.2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius. Lin H, H. F. Zhang, R. Du, X. H. Gu, Z. Y. Zhang, J. Buyse and E. Decuypere. 2005. Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different ambient temperatures. II. Four weeks of age. Poultry Science. 84:1173-1178. Marsudi, Saparinto C. 2012. Puyuh. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Moberg GP. 2000. Biological response to stress: Implications for animal welfare. In: Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress. Oxfordshire (UK): CABI Publishing. p. 1-21. Nugroho, Mayun IGT. 1986. Beternak Burung Burung Puyuh. Semarang. Eka Offest. Olubamiwa O, Haruna ES, Musa U, Akinwale TO, Lombin LH. and Longe OG.1999. Effect of different energy levels of cocoa huskbased diets on productive performance of Japanese quail. Nigerian Journal of Animal Production 26: 88 – 92. Ophir E, Y. Arieli, J.Mrder, and M. Horowitz.2002. Coetaneous blood flow in pigeon Columba livia:its possible relevance to coetaneous water evaporation. J Exp Biol 205:2627-2636. Sari W, Kamal S, Umami S. 2013. Perbandingan tipe dan perkembangan bulu pada tiga jenis unggas. Banda Aceh: Fakultas MIPA Departemen Biologi Unsyiah. Sloane E. 2003. Anatomy and Physiology: an Easy Learner. Philadelphia: Mcdraw Hill. 14 Sohail MU, Ijaz A, Yousaf MS, Ashraf K, Zaneb H, Aleem M, Rehman H. 2010. Alleviation of cyclic heat stress in broilers by dietary supplementation of mannanoligosaccharide and Lactobacillus-based probiotic: Dynamics of cortisol, thyroid hormones, cholesterol, C-reactive protein, and humoral immunity. Poult Sci. 89:1934-1938. Sunarno. 2004. Potensi Burung Puyuh.. Edisi Februari. Majalah Poultry Indonesia. p.61. Suprijatna E, Umiyati A, Ruhyat K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya. Syamsir E., Seowarno TS., Sri Supraptini M. 1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Buletin Tek dan Industri Pangan. 5(3): 33-38. Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013. Keragaman gen heat shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan ayam Ras. J Vet. 14:317-326. [UMM] Universitas Muhammadiyah Malang. 2008. Stres dan Mikotoksikosis. Malang: UMM press. Utina R. 2009. Pemanasan Global: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya. Makalah. Universitas Negeri Gorontalo: Biologi FMIPA. Virden WS, Kidd MT. 2009. Physiological stress in broilers: ramifications on nutrient digestibility and responses. J Appl Poult Res. 18:338-347. Yuwanta T. 2008. Dasar Ternak Unggas. Edisi 5. Yogyakarta: Kanisius. Zurriyati Y, Dahono. 2013. Respon Fisiologis dan Evaluasi Karkas Ayam Broiler terhadap Suhu Pemeliharaan Dingin. Kepulauan Riau: Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. 15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sidikalang tanggal 11 Maret 1995 sebagai anak ke dua dari pasangan Wesli Anthoni Pandiangan dan Kesianna Sinaga. Penulis menempuh pendidikan SMA Negeri 1 Sidikalang pada tahun 2012. Penulis masuk IPB melalui jalur SNMPTN Tulis dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2012. Semasa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya sebagai anggota Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara (2013-2014), Wakil Koordinator Bidang Pembinaan Komisi Pelayanan Anak PMK IPB 20132014), Wakil Koordinator Bidang Pembinaan Kelompok Pra Alumni PMK IPB (2015-2016) dan aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (2014-2015)..