FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN GURU SEKOLAH DASAR TERHADAP SISWA DENGAN KESULITAN BELAJAR Nandita Adelia Putri1, Zarfiel Tafal2 1 Mahasiswa Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2 Staff Pengajar Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian Pujaningsih dkk., pada tahun 2002 di kecamatan Berbah ditemukan anak berkesulitan belajar sebesar 36% dengan rincian 12% diantaranya slow learner, 16% berkesulitan belajar spesifik (learning disability) dan 17% tunagrahita (mentally retarded). Secara khusus, kesulitan membaca ditemukan sekitar 10%-20% dialami oleh anak usia sekolah dasar (Gorman C, Majalah Time, 31 Agustus 2003). Berdasarkan penelitian Daulay (2010) terhadap lima Sekolah Dasar Negeri di Depok, Indonesia, terdapat 5-11 anak (12,5% 27,5%) dalam satu kelas yang mengalami kesulitan belajar. Jika kesulitan belajar tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosi, perilaku, dan sosial yang akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidup anak. Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Penelitian ini bersifat kuantitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran angket pada 121 guru yang dipilih secara acak dari beberapa sekolah dalam satu kelurahan. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa keberadaan kebijakan sekolah adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap tindakan guru sekolah dasar (OR = 2,866). Faktor lain yang berhubungan yaitu jenis kelamin, sikap, jabatan guru, keaktifan program UKS, dan keberadaan program pemerintah. Kata Kunci: tindakan, kesulitan belajar, guru ABSTRACT Pujaningsih et al (2002) in Berbah District, found that 36% children with learning disability, consisted of 12% slow learner, 16% specific learning disability, and 17% mentally retarded. Specifically, reading disability were found in 10%-20% elementary school children (Gorman C, Time Magazine, 31st of August 2003). Daulay’s study (2010) in five public elementary school in Depok, Indonesia, found that there were 5-11 children (12,5%-27,5%) in one class with learning disability. If learning disability were poorly handled, it will cause emotional, behavior, and social disorders which will give bad impact to the development of the child’s life quality. This study focused on factors related to elementary teacher’s practice toward students with learning difficulty. This study use quantitative methods and data are collected through questionnaire distribution to 121 teachers randomly selected from some schools in a regency of Depok District, Indonesia. Multivariate analysis found that existence of school policy is the most dominant factor associated with elementary teachers’ practice (OR = 2,866). Other related factors are teacher’s gender, attitude, organizational position, school health’s program activeness, and government’s program existence. Key words: practice, behavior, learning disorder, learning disability, learning difficulty teacher Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “…a state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity.” Berdasarkan pengertian tersebut, kesehatan mental merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari kesehatan. Pendidikan dan kesehatan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Secara hukum, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan adalah hak anak dan wajib dipenuhi oleh masyarakat dan negara. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, bagian kedelapan, pasal 79 dijelaskan bahwa kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu masalah kesehatan mental dan psikososial yang penting adalah masalah kesehatan mental pada usia sekolah. Berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder edisi keempat yang telah direvisi (DSM-IV-TR) yang dipublikasikan oleh American Psychiatric Association, kesulitan belajar merupakan salah satu dari berbagai jenis gangguan mental yang biasanya pertama kali terdiagnosis pada masa bayi, kanak-kanak, atau remaja. Special Education Needs (SEN) pada bulan Januari tahun 2006 mengungkapkan bahwa dari 8,2 juta siswa, sebanyak 210.510 (2,6%) siswa telah teridentifikasi mengalami kesulitan belajar (Emerson, Eric, Hatton, 2008). Pada tahun 2007, data NHS Primary Care menunjukkan bahwa prevalens untuk setiap 1000 orang di Inggris terdapat empat orang dengan kesulitan belajar berat dan sekitar 20 orang dengan kesulitan belajar ringan sampai sedang. Berdasarkan sumber lain, di Inggris telah terjadi peningkatan yang stabil pada prevalensi kasus kesulitan belajar berat selama 20 tahun terakhir. Hal ini diperkirakan akan berlanjut ke dekade berikutnya (Rees et al, 2004). Sebuah studi tentang kesulitan belajar oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) berkolaborasi dengan peneliti dari Health Resources and Services Administration (HRSA) tentang “Trends in the Prevalence of Developmental Disabilities in U.S. Children, 1997-2008”, menunjukkan prevalens dari developmental disabilities pada anak-anak Amerika di populasi terpilih untuk periode 12 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa prevalens kesulitan belajar sebesar 7,6% dan merupakan prevalens yang tertinggi dibandingkan kasus yang lain. Di British Columbia, Kanada, prevalens kesulitan belajar pada tahun 2011 mencapai 3%. Sedangkan pada tahun 2012, prevalens kesulitan belajar di India Selatan sebesar 15,17% dengan rincian 12,5% untuk kesulitan menulis, 11,2% untuk kesulitan membaca, and 10,5% untuk kesulitan berhitung. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Prevalens kesulitan belajar yang telah dipaparkan sebelumnya diperkirakan lebih rendah dari pada prevalens yang sebenarnya. Seperti halnya di Inggris, diperkirakan banyak kasus yang tidak dilaporkan. Hal serupa juga terjadi di Columbia. Prevalens kesulitan belajar di Columbia didapat hanya dari kasus yang dilaporkan saja. Siswa dengan kesulitan belajar yang tidak mendapatkan pelayanan khusus, kasusnya tidak dilaporkan kepada Kementrian Pendidikan setempat. Kasus kesulitan belajar di Indonesia lebih tinggi dari pada kasus di negara lain. Penelitian Pujaningsih dkk., pada tahun 2002 di kecamatan Berbah menemukan anak berkesulitan belajar sebesar 36% dengan rincian 12% diantaranya slow learner, 16% berkesulitan belajar spesifik (learning disability) dan 17% tunagrahita (mentally retarded). Marlina (2006), menemukan 55 anak berkesulitan belajar spesifik (LD) di 8 SD di Padang. Gorman (2003), menyatakan bahwa kesulitan membaca ditemukan sekitar 10%-20% dialami oleh anak usia sekolah dasar (dalam Pujaningsih, 2011). Berdasarkan studi oleh Daulay (2010) terhadap lima Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Pondok Cina, Depok, terdapat 5-11 anak (12,5% - 27,5%) dalam satu kelas yang mengalami kesulitan belajar. Syabirin (2011), mengungkapkan penelitian lain di Jakarta 16,52% dari 3.215 murid sekolah dasar dinyatakan mengalami kesulitan belajar. Di Semarang menunjukkan 11,4% anak usia sekolah mengalami kesulitan belajar. Jika kesulitan belajar tidak ditangani dengan baik dan benar, akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosi dan perilaku yang akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidup anak di kemudian hari. Sedangkan untuk kehidupan sosial anak yang mengalami kesulitan belajar, sebuah studi menyatakan bahwa anak dengan kesulitan belajar sering dikucilkan oleh orang di sekitarnya, dan 8 dari 10 anak dengan kesulitan belajar juga mengalami kekerasan. Delapan puluh persen dari murid dengan kesulitan belajar tidak hanya mengalami penolakan dari teman sebayanya, mereka juga dilaporkan memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah (Kavale dan Forness, 1996). Anak dengan kesulitan belajar juga dilaporkan memiliki penerimaan sosial yang rendah (Al-Yagon & Mikulincer, 2004) dan secara signifikan memiliki social self efficacy yang lebih rendah dari yang dicapai oleh anak seusianya (Gresham, Evans, & Elliot, 1988). Solusi untuk memperkecil dampak gangguan mental emosional pada anak adalah diagnosis atau deteksi dini, sehingga anak mendapatkan penanganan yang tepat dan sukses di sekolah. Namun, hal ini masih sulit dilakukan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit. Program kesehatan sekolah merupakan suatu komponen penting kesehatan masyarakat. Walau tanggung jawab utama untuk kesehatan anak Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. usia sekolah berada di tangan orang tua atau wali, sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk memengaruhi kesehatan anak, keluarga mereka, dan kesehatan masyarakat. Guru juga berada dalam posisi yang tepat untuk melakukan pengamatan perilaku dan kondisi yang “normal dan abnormal” dari anak karena mereka dapat membandingkan siswa di kelas mereka setiap hari. Untuk membekali guru dengan pengetahuan dan keterampilan mengenai deteksi dini dan upaya pencegahan, perlu dilakukan penelitian tentang sejauh mana pengetahuan, sikap, dan tindakan yang dilakukan guru. Berdasarkan keterangan yang telah dijabarkan di atas, maka penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dari setiap variabel yang diteliti, diketahuinya hubungan antara variabel dependen dan independen yang diteliti, dan diketahuinya faktor yang paling berpengaruh terhadap tindakan guru sekolah dasar pada siswa dengan kesulitan belajar. TINJAUAN TEORITIS Kesulitan belajar adalah hambatan/gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Hal ini disebabkan oleh gangguan di dalam sistem saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan berhitung. Faktor-faktor penyebab dari kesulitan belajar itu sendiri disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor penyebab internal kesulitan belajar antara lain karena terjadi minimal brain dysfunction, rendahnya kapasitas intelektual, labilnya emosi dan sikap, dan terganggunya alat-alat indera. Sedangkan faktor penyebab eksternal kesulitan belajar antara lain karena penempatan siswa yang tidak sesuai dengan taraf kemampuannya, belum tercapainya kesiapan belajar, pembiasaan yang kurang menyenangkan yang berhubungan dengan proses belajar, gangguan dalam hubungan anak dengan orang yang bermakna seperti orang tua dan guru, cara-cara mendidik anak yang terlalu keras atau terlalu memanjakan, serta gangguan emosi dan perilaku yang disebabkan oleh ketergantungan obat. Bila kesulitan belajar tidak ditangani dengan baik dan benar akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional (psikiatrik) yang akan berdampak buruk bagi Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. perkembangan kualitas hidupnya di kemudian hari. Kepekaan orangtua, guru di sekolah serta orang-orang di sekitarnya sangat membantu dalam mendeteksinya, sehingga anak dapat memperoleh penanganan dari tenaga profesional sedini dan seoptimal mungkin, sebelum menjadi terlambat. Kesulitan belajar kadang-kadang tidak terdeteksi dan tidak dapat terlihat secara langsung. Setiap individu yang memiliki kesulitan belajar sangatlah unik. Seperti misalnya, seorang anak dyslexia, yang sulit membaca, menulis dan mengeja, tetapi sangat pandai dalam matematika. Pada umumnya, individu dengan kesulitan belajar memiliki intelegensi rata-rata bahkan diatas rata-rata. Seseorang terlihat “normal” dan tampak sangat cerdas tetapi sebaliknya ia mengalami hambatan dan menunjukkan tingkat kemampuan yang tidak semestinya dicapai dibandingkan dengan yang seusia dengannya. Walau demikian, individu dengan kesulitan belajar bisa sukses di sekolah, di dunia kerja, dalam hubungan antar-individu, dan di dalam masyarakat bila disertai dengan dukungan dan perhatian yang tepat (Untario, 2010). Guru adalah penanggung jawab tunggal terhadap suasana belajar bagi kelas sebagai kelompok dan bagi masing-masing murid dalam kelompok. Suasana belajar yang baik memungkinkan terjadinya proses belajar dan proses perkembangan diri. Pengaruh guru jauh meluas, tidak hanya dalam bidang akademik, tetapi juga dalam hal-hal yang tidak diukur dengan tes prestasi. Jadi guru berpengaruh juga terhadap kehidupan dan kepribadian muridmurid. Bila seorang guru dapat menerima setiap murid apa adanya, dengan segala kelemahan dan keunggulannya, dan membantu memperbaiki berbagai hal yang dapat diperbaiki, maka guru mendapatkan banyak kesempatan membantu siswa memahami dan menerima diri sendiri, dan membantu menemukan tujuan hidup. Dua hal ini adalah sasaran utama bimbingan. Guru juga dapat mempengaruhi sikap dan perasaan yang merupakan andil mempermudah atau mempersulit anak untuk mandiri dalam menentukan pilihan. Begitu juga dengan kesehatan. Walau tanggung jawab utama untuk kesehatan anak usia sekolah berada di tangan orang tua atau wali, sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi kesehatan anak, keluarga mereka, dan kesehatan masyarakat. Pada hari sekolah biasa, guru menghabiskan waktu sadarnya dengan anak-anak, bukan dengan orang tua anak tersebut. Guru menghabiskan kurang lebih enam sampai delapan jam setiap hari dengan siswa manapun, sementara orang tua menghabiskan waktu satu jam sebelum sekolah dan kurang lebih empat atau lima jam dengan anak setelah sekolah dan sebelum tidur. Guru berada dalam posisi yang tepat untuk melakukan pengamatan perilaku dan kondisi yang “normal dan abnormal” dari anak karena mereka dapat membandingkan siswa di kelas mereka setiap hari. Guru dapat menjadi pengamat yang jeli, karena dapat Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. menggunakan metode formal maupun informal. Ia dapat menggunakan tes dan kumpulan catatan berdasarkan pengamatan murid-murid dalam kelas dan di tempat-tempat lain. Guru juga dapat memperoleh keterangan mengenai murid dengan mempelajari hasil kerja murid, tertulis maupun lisan, dan catatan-catatan mengenai bacaan, hobi, minat yang tampak, dan motivasi murid. Jadi jelas, guru sekolah dasar ada dalam posisi strategis untuk mengenali murid-muridnya. Ia mengenal murid dalam situasi-situasi tersebut. Ditambah, guru mempunyai kesempatan bertemu dengan orang tua murid. Untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan guru terhadap siswa dengan kesulitan belajar, model PRECEDE-PROCEED yang dikembangkan Green dan Kreuter (1991), merupakan model yang paling cocok digunakan. Model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing, and Enabling Cause in Educational Diagnosis and Evaluation) merupakan kerangka untuk membantu perencana mengenal masalah, mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program. Promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2012). Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah berdasarkan model PRECEDE yang menjabarkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, dan persepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. Faktor pemungkin mencakup berbagai keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan perilaku kesehatan. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan perilaku orang tua, teman sebaya, guru, pejabat sekolah, tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap, dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di 9 sekolah dasar dan setingkatnya yang terdapat di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Depok pada bulan Mei-Juni 2013 dengan menggunakan metode survei dan pendekatan cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah 121 orang guru yang aktif mengajar yang pengambilan sampelnya menggunakan rumus simple random sampling. Alat yang digunakan untuk pengambilan data adalah angket yang telah diuji coba terlebih dahulu. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari 18 variabel yang terbagi dalam tiga faktor. Faktor predisposisi terdiri dari variabel umur, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anak, keberadaan anggota keluarga dengan masalah kesulitan belajar, lama mengajar, mata pelajaran yang diajarkan, pengalaman menghadapi siswa dengan masalah kesulitan belajar, pengetahuan, dan sikap. Untuk faktor pemungkin terdiri dari variabel jabatan guru, pengalaman mengikuti pelatihan, dan program UKS. Sedangkan faktor penguat terdiri dari variabel kebijakan sekolah, program pemerintah, dan keterpajanan informasi. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Data yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari responden. Pengumpulan data primer disesuaikan dengan waktu luang para guru dari masing-masing sekolah. Dari 9 sekolah, hanya SDN Rangkapan Jaya Baru saja yang pengisian angketnya diobservasi langsung oleh peneliti. Sedangkan 8 sekolah sisanya meminta kepada peneliti untuk meninggalkan angket dan diambil kembali di hari yang telah disepakati. Hal ini disebabkan karena sebagian guru mengajar di pagi hari dan sebagian lainnya mengajar di siang hari, sehingga pihak sekolah menyarankan kepada peneliti untuk meninggalkan angket penelitian kepada satu orang guru atau karyawan yang sudah ditunjuk oleh kepala sekolah sebagai penanggung jawab angket penelitian. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan oleh peneliti adalah daftar sekolah yang didapatkan dari Puskesmas Rangkapan Jaya Baru dan kemudian disesuaikan kembali dengan data dari Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 76 orang responden (62,8%) berjenis kelamin perempuan, sebanyak 63 orang responden (52,1%) berumur lebih dari sama dengan 40 tahun, sebanyak 108 orang responden (89,3%) telah menikah, sebanyak 80 orang responden (66,1%) memiliki anak lebih dari sama dengan dua orang, sebanyak 106 orang responden (87,6%) tidak memiliki anggota keluarga dengan masalah kesulitan belajar, sebanyak 62 orang responden (51,2%) mengajar lebih dari sama dengan 12 tahun, sebanyak 93 orang responden (76,9%) mengajar mata pelajaran yang berhubungan dengan kesehatan, sebanyak 110 orang responden (90,9%) mengaku pernah menghadapi siswa dengan kesulitan belajar, sebanyak 77 orang responden (63,6%) memiliki tingkat pengetahuan yang rendah terkait kesulitan belajar, dan sebanyak 63 orang responden (52,1%) sudah memiliki sikap yang positif. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Sedangkan sebanyak 74 orang responden (61,2%) mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling, sebanyak 99 orang responden (81,8%) responden mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan tentang kesulitan belajar, sebanyak 110 orang responden (90,9%) mengajar di sekolah yang memiliki unit UKS, dan sebanyak 71 orang responden (58,7%) mengajar di sekolah yang program UKSnya aktif berjalan. Kemudian, sebanyak 90 orang responden (74,4%) tidak memiliki jabatan lain selain guru, sebanyak 68 orang responden (56,2%) mengajar di sekolah yang tidak memiliki kebijakan khusus dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar, sebanyak 90 orang responden (74,4%) menjawab bahwa pemerintah tidak memiliki program khusus dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar, dan sebanyak 110 orang responden (90,9%) pernah terpajan dengan informasi mengenai kesulitan belajar. Sebanyak 80 orang responden (66,1%) tindakannya masih kurang baik ketika menangani siswa dengan kesulitan belajar. Dari 9 tindakan yang seharusnya dilakukan, tindakan yang paling banyak dilakukan oleh guru sekolah dasar di 9 SD Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Depok antara lain guru melakukan pengamatan kelas untuk melihat adanya gejala kesulitan belajar pada siswa yang dilakukan oleh seluruh responden (100%) dan guru juga menyusun program perbaikan seperti program remedial teaching (pengajaran perbaikan) yang dilakukan oleh seluruh responden (100%). Kemudian, mayoritas guru (94,2%) mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan. Sedangkan untuk tindakan terkait siswa dengan kesulitan belajar yang paling jarang dilakukan oleh guru adalah menganalisis hasil diagnosis terhadap siswa yang sudah dikumpulkannya. Tindakan ini hanya dilakukan oleh 21 orang guru (17,4%). Kemudian, sebanyak 26 orang guru (21,5%) mengaku memeriksa penglihatan dan pendengaran pada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar dan menyarankan kepada orang tua anak untuk mengirimkan anaknya ke lembaga pendidikan khusus jika IQnya jauh di bawah normal. Berdasarkan hasil analisis bivariat, ditemukan bahwa terdapat tiga variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan tersebut antara lain keaktifan program UKS (p = 0,034; OR = 2,594), keberadaan kebijakan sekolah (p = 0,004; OR = 3,402), dan keberadaan program pemerintah (p = 0,002; OR = 4,033). Berdasarkan hasil analisis multivariat, diketahui bahwa faktor yang paling berpengaruh dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar adalah keberadaan kebijakan sekolah (p = 0,015; OR = 2,866). Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. PEMBAHASAN Keaktifan Program UKS Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keaktifan program UKS dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar di 9 SD Kelurahan Rangkapan Jaya Baru (p = 0, 034). Hasil statistik juga menunjukkan guru yang mengajar di sekolah dengan program UKS yang tidak aktif memiliki risiko 2,594 lebih besar untuk bertindak kurang baik dibandingkan guru yang mengajar di sekolah dengan program UKS yang aktif (OR = 2,594). Menurut WHO (dalam Notoatmodjo, 2012) salah satu perubahan perilaku adalah dengan cara pemberian informasi. Pemberian informasi tersebut akan meningkatkan pengetahuan tentang masalah kesehatan tertentu. Kemudian dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya akan menyebabkan seseorang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sejalan dengan hal tersebut, keaktifan program UKS ini memiliki pengaruh terhadap tindakan guru, karena UKS yang aktif memiliki peluang besar untuk memberikan informasi-informasi terkait kesehatan melalui program pendidikan kesehatan (salah satu TRIAS UKS). Keberadaan Kebijakan Sekolah Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberadaan kebijakan sekolah dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar dan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar di 9 SD Kelurahan Rangkapan Jaya Baru (p = 0,004). Hasil statistik juga menunjukkan guru yang mengajar di sekolah yang tidak memiliki kebijakan khusus dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar memiliki risiko 3,402 lebih besar untuk bertindak kurang baik dibandingkan guru yang mengajar di sekolah yang memiliki kebijakan khusus dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar (OR = 3,402). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dipaparkan oleh Green (dalam Notoatmodjo, 2012) bahwa peraturan, undang-undang, surat keputusan dari pejabat pemerintahan pusat atau daerah merupakan faktor penguat terjadinya perubahan perilaku. Hal ini diperjelas oleh Maulana (2009) dalam bukunya yang berjudul Promosi Kesehatan, promosi kesehatan memerlukan adanya advokasi kebijakan untuk menciptakan dukungan bagi pengembangan perilaku dan lingkungan sehat. Kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas-sektor sehingga masalah kesehatan seringkali kalah prioritas dibandingkan masalah ekonomi dan kebutuhan fisik lainnya. Upaya mengenalkan kesehatan Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. kepada berbagai pihak perlu dipacu agar memperoleh dukungan dan kepedulian semua pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan advokasi kesehatan kepada berbagai pihak agar kesehatan dianggap sebagai sesuatu yang penting oleh pihak lain, terutama para penentu kebijakan dan berbagai sektor. Selain itu, WHO (dalam Maulana, 2009) memaparkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah melalui upaya enforcement yang dapat berbentuk undang-undang atau peraturan (law enforcement), instruksi, tekanan-tekanan (fisik atau nonfisik), dan sanksi. Keberadaan Program Pemerintah Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberadaan program pemerintah dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar dan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar di 9 SD Kelurahan Rangkapan Jaya Baru (p = 0,002). Hasil statistik juga menunjukkan guru yang menjawab bahwa tidak terdapat program pemerintah dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar memiliki risiko 3,402 lebih besar untuk bertindak kurang baik dibandingkan guru yang menjawab bahwa terdapat program pemerintah dalam penanganan siswa dengan kesulitan belajar (OR = 4,033). Sama halnya dengan variabel keberadaan kebijakan sekolah, keberadaan program pemerintah juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap tindakan guru. Hasil penelitian ini sejalan dengan Green (dalam Notoatmodjo, 2012) yang memaparkan bahwa peraturan, undang-undang, surat keputusan dari pejabat pemerintahan pusat atau daerah merupakan faktor penguat terjadinya perubahan perilaku. Hanya saja variabel ini berfokus kepada penentu kebijakan tingkat pusat. Variabel-Variabel yang Tidak Berhubungan Variabel keberadaan anggota keluarga dengan masalah kesulitan belajar (p = 1,000; OR = 0,972) dan pengalaman guru menghadapi siswa dengan masalah gangguan belajar (p = 1,000; OR = 0,887) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tindakan guru sekolah dasar. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi perbedaan pengertian kesulitan belajar yang dimaksud oleh peneliti dan kesulitan belajar yang telah dipahami oleh responden. Untuk variabel pelatihan BK (p = 0,535; OR = 1,376), pelatihan kesulitan belajar (p = 0,603; OR = 1,450), dan keterpajanan informasi (p = 0,885; OR = 0,887) juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tindakan guru sekolah dasar. Hal ini dapat disebabkan terjadinya bias informasi karena beberapa responden ada yang mengisi kuesioner bersamasama, sehingga tidak dapat diketahui kejujurannya. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Selain itu untuk variabel lainnya, seperti jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, lama mengajar, mata pelajaran yang diajarkan, pengetahuan, sikap, dan jabatan juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tindakan guru sekolah dasar. Seperti yang dipaparkan oleh Green (1980) bahwa faktor-faktor tersebut bukanlah faktor yang berpengaruh langsung terhadap suatu perilaku kesehatan. Sulit jika harus dilihat satu persatu. Faktor-faktor tersebut harus bersinergi untuk dapat menghasilkan suatu perilaku kesehatan. Faktor Dominan Berdasarkan hasil analisis mulitvariat, variabel keberadaan kebijakan sekolah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Dari hasil analisis diketahui bahwa guru yang mengajar di sekolah yang tidak mempunyai kebijakan khusus dalam menangani siswa dengan kesulitan belajar mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk bertindak kurang baik dibandingkan guru yang mengajar di sekolah yang mempunyai kebijakan khusus dalam menangani siswa dengan kesulitan belajar. Hal ini menunjukkan bahwa guru cenderung akan melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan pada siswa dengan kesulitan belajar, jika ada kebijakan yang mengikat. Peneliti menduga bahwa selama ini guru sudah mengetahui adanya masalah kesulitan belajar pada siswa, namun mereka merasa tindakan mengidentifikasi masalah gangguan mental emosional pada anak, khususnya kesulitan belajar, bukanlah menjadi tanggung jawab mereka. Selain itu pengetahuan dan pengalaman yang minim juga menjadi faktor penyebab. Oleh karena itu, kebijakan di sekolah sangat berpengaruh untuk mendorong para guru agar bisa melakukan tindakan yang baik ketika menangani siswa dengan kesulitan belajar. Sejalan dengan yang dipaparkan oleh Green (1980) dalam model PRECEDE, faktor penguat (reinforcing factors) merupakan salah satu faktor utama dalam mempengaruhi perilaku. Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku orang tua, teman sebaya, guru, pejabat sekolah, tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap, dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya memerlukan pengetahuan, sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, terutama petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Perilaku kesehatan yang diharapkan perlu ditingkatkan sejak dini melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan pendidikan kesehatan agar menjadi bagian dari norma hidup dan budaya Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Kebijakan dan program kesehatan sekolah merupakan suatu komponen penting kesehatan masyarakat. Walau tanggung jawab utama untuk kesehatan anak usia sekolah berada di tangan orang tua/wali, sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk memengaruhi kesehatan anak, keluarga, dan kesehatan masyarakat. McGinnis dan DeGraw (dalam McKenzie, Pinger, dan Kotecki; 2006) mengungkapkan bahwa pengetahuan, sikap, perilaku, dan keahlian yang terbentuk sebagai hasil dari program kesehatan sekolah yang efektif memungkinkan individu untuk menetapkan pilihan yang tepat akan perilakunya yang akan memengaruhi kesehatan mereka sendiri selama kehidupannya, sekaligus kesehatan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, dan kesehatan komunitas tempat mereka tinggal. WHO (dalam Notoatmodjo, 2012), merumuskan beberapa komponen dalam mengembangkan promosi kesehatan sekolah. Salah satu dari komponen tersebut adalah penerapan kebijakan kesehatan di sekolah. Pimpinan sekolah, bersama-sama dengan guru dapat membuat kebijakan-kebijakan sekolah yang terkait dengan kesehatan. Kebijakan kesehatan di sekolah ini kemudian dituangkan dalam peraturan sekolah dan disosialisasikan kepada semua warga komunitas sekolah. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut, baik murid maupun guru harus mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan yang ada. Peraturan-peraturan tersebut merupakan cara untuk menanamkan kebiasaan atau perilaku kesehatan yang sesuai. Oleh karena itu, perlu kerjasama lintas sektor untuk menangani masalah kesulitan belajar pada siswa ini, yaitu kerjasama antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan sebagian responden masih berada dalam kategori “kurang” (66,1%). Dari 9 tindakan, seluruh responden (100%) melakukan pengamatan kelas untuk melihat adanya gejala kesulitan belajar pada siswa dan menyusun program perbaikan seperti program remedial teaching (pengajaran perbaikan). Selain itu, sebanyak 114 orang guru (94,2%) mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan. Tiga tindakan tersebut adalah tindakan yang paling sering dilakukan oleh guru untuk mengidentifikasi siswa dengan kesulitan belajar. Berdasarkan hasil penelitian, 3 variabel memiliki hubungan yang signifikan dengan tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar. Variabel tersebut adalah keaktifan program UKS, keberadaan kebijakan sekolah, dan keberadaan program pemerintah. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Berdasarkan hasil analisis mulitvariat, didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan guru sekolah dasar terhadap siswa dengan kesulitan belajar adalah jenis kelamin, sikap, jabatan, keberadaan unit UKS, keberadaan kebijakan sekolah, dan keberadaan program pemerintah. Dari 6 faktor tersebut, faktor yang paling berpengaruh terhadap tindakan guru sekolah dasar adalah keberadaan kebijakan sekolah. Hasil analisis menunjukkan bahwa guru yang mengajar di sekolah yang tidak mempunyai kebijakan khusus dalam menangani siswa dengan kesulitan belajar mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk bertindak kurang baik dibandingkan guru yang mengajar di sekolah yang mempunyai kebijakan khusus dalam menangani siswa dengan kesulitan belajar. Guru diduga sudah mengetahui adanya masalah kesulitan belajar pada siswa, namun mereka merasa tindakan mengidentifikasi masalah gangguan mental emosional pada anak, khususnya kesulitan belajar, bukanlah menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, kebijakan di sekolah sangat berpengaruh untuk mendorong para guru agar bisa melakukan tindakan yang baik ketika menangani siswa dengan kesulitan belajar. SARAN Berdasarkan temuan dan kesimpulan penelitian, penulis menyarankan kepada berbagai pihak, antara lain: 1. Agar sektor kesehatan: a. Mengadakan pelatihan guru tentang gangguan mental emosional pada anak, khususnya tentang kesulitan belajar. Pelatihan ini dilakukan untuk membekali guru dengan pengetahuan dan keterampilan mengenai deteksi dini dan upaya pencegahan terkait masalah kesulitan belajar. b. Mengkaji ulang, mendiseminasi, dan mengimplementasikan kebijakan yang sudah ada. 2. Sektor Pendidikan a. Memasukkan materi mengenai gangguan mental emosional pada kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan, agar para calon guru mendapatkan pengetahuan dasar mengenai gangguan mental emosional pada anak. b. Bersama Kementerian Kesehatan bersinergi untuk mengadakan pelatihan guru tentang gangguan mental emosional pada anak, khususnya tentang kesulitan belajar. Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. c. Memasukkan tes IQ sebagai salah satu syarat penerimaan murid baru pada sekolah dasar dan setingkatnya guna membantu memaksimalkan usaha deteksi dini kesulitan belajar. d. Mengikutsertakan guru secara aktif dalam usaha mengawasi kesehatan murid serta mendeteksi sedini mungkin kelainan kesehatan yang mungkin terdapat pada siswa, baik fisik maupun non-fisik. KEPUSTAKAAN Daulay, Wardiah. (2010). Pengaruh Penerapan Terapi Kognitif Perilaku Terhadap Perubahan Pikiran dan Perilaku Anak Usia Sekolah yang Mengalami Kesulitan Belajar di SDN Kelurahan Pondok Cina Tahun 2010. Tesis. Depok: UI Emerson, Eric and Chris Hatton. (2008). People With Learning Disabilities in England. United Kingdom: Centre for Disability Research Estell, David B et al. (2008). Peer Groups, Popularity, and Social Preference: Trajectories of Social Functioning Among Students With and Without Learning Disabilities. Journal of Learning Disablities. Jan/Feb 2008, Volume 41, Number 1, Page 5-14 Green, Lawrence W., Marshall W. Kreuter, Sigrid G. Deeds, & Kay B. Partridge. (1980). Health Education Planning: A Diagnostic Approach. California: Mayfield Idris, Ridwan. Mengatasi Kesulitan Belajar dengan Pendekatan Psikologi Kognitif. Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 Desember 2009: 152-172 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Panduan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Jakarta: Penulis Maulana, Heri D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC Mc.Kenzie, James F, Robert R. Pinger, & Jerome E. Kotecki. (2002). Kesehatan Masyarakat: Suatu Pengantar Edisi 4. Alih bahasa: Atik Utami, Nova S, Indah Hippy, Iin Nurlinawati. Jakarta: EGC Ministry of Education Province of British Columbia. (2011). Supporting Children with Learning Disabilities: A Guide For Teacher. British of Columbia: Ministry of Education Notoatmodjo, Seokidjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta Prasetya, Didik Dwi. (2012). Pembelajaran Berbantuan Komputer Untuk Anak Berkesulitan Belajar (Learning Disability). Bytes: Jurnal Teknik Informatika. Volume 1. Nomor 1. Hlm 14 Pujaningsih. (2011). Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Spesifik. Materi Diklat Pengembangan Kompetensi Guru SLB non PLB Dinas Dikpora. Rachmat, Hapsara Habib. (2004). Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 4 Pendidikan Lintas Bidang. Jakarta: PT. IMTIMA Trayhorn, Liz. (2010). Join Strategic Needs Assessment for Kingston 2010-11: People With Learning Disability. Kingston: NHS. Developmental Disabilities Increasing in http://www.cdc.gov/features/dsdev_disabilities/index.html diakses 26 Maret 2013 diterjemahkan oleh : Sylvia Untario. Kesulitan http://www.kesulitanbelajar.org/?p=56 diakses pada 14 Februari 2013 Faktor-faktor..., Nandita Adelia Putri, FKM UI, 2013. US Belajar.