TESIS PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR NI KADEK FEMY YULISTIAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR NI KADEK FEMY YULISTIAWATI NIM.1092461009 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana NI KADEK FEMY YULISTIAWATI NIM. 1092461009 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 07 Juli 2014. Pembimbing I Pembimbing II (Prof.Yohanes Usfunan,Drs.,SH.,MH.) NIP. 19551126 198511 1 001 (Ida Bagus Putra Atmadja,SH.,MH.) NIP. 19541231 198303 1 018 Mengetahui : Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, (Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH.) (Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001 iii Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal: 04 Juli 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana, Nomor : 1861 / UN14.4 / HK / 2014 Tanggal 20 Juni 2014 Ketua : Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,, SH., MH. Anggota : 1. Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH. 2. Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH. 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LLM. 4. Dr. I Made Udiana, SH., MH. iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa : Nama : NI KADEK FEMY YULISTIAWATI NIM : 1092461009 Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis : Penerapan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 10 Mei 2014 Yang membuat pernyataan (Ni Kadek Femy Yulistiawati) v UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Penerapan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH., selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis ucapkan kepada Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- vi besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis, Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Ayah tercinta I Nyoman Madra BA, dan Ibu Dra. Luh Sartini, serta kakak dan adik tersayang Luh Feby Purnamayanthi, SE dan I Komang Pramana Sanjaya, beserta seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya selama ini. Terimakasih kepada Made Bisama Widura, SH, yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada sahabat Putu Deviyanti Sugitha, SH, Made Irpiana Prahandari, SH, Desak Putu Thiarina Agastia Mahaswari, SH, I Putu Sugandika, SH., M.Kn, serta seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak I Wayan Sugitha, SH, yang selalu memberikan motivasi, dorongan, saran dan kritik selama proses penulisan tesis ini, serta terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerapkan ilmu prakteknya pada kantor beliau. vii Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 10 Mei 2014 Penulis viii ABSTRAK PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit. Seiring dengan perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul aneka jenis perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard contract). Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract antara bank dan debitur, apakah penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit mencerminkan asas kebebasan berkontrak. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang menjelaskan kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam perjanjian kredit oleh pihak bank. Sifat penelitian adalah deskriptif. Data dan sumber data primer, data sekunder dan bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif dan penyajiannya dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku cenderung berat sebelah. Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak menyatakan hak pihak bank. Sementara itu kewajiban pihak bank hanya memberikan kredit sejumlah telah yang dijanjikan. Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu perjanjian maka perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi adalah dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk perjanjian. Bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. Kata Kunci: Perjanjian Kredit Bank, Standard Contract. ix ABSTRACT ADOPTION OF STANDARD CONTRACTS IN BANK LOAN AGREEMENTS TOWARDS DEBTORS A loan agreement plays an important role in channeling loans because it functions as a principal agreement that determines the scopes of rights and obligations of creditors and debtors. In addition, a loan agreement also functions a monitoring tool in channeling loans. In line with the development of trade and finance sectors, there are various loan agreements, including standard contracts. The questions of this study are: how fairness principles are applied in standard contracts among banks and debtors and does the adoption of standard contracts by banks in channeling loans reflect freedom principles in concluding contracts. This study is categorized into empirical legal research that explains/describes the gap between theory (das solen), namely provision of article 1338 paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia that reflects freedom principle in concluding contracts and the existing facts or practices (das sein), namely the adoption of standard agreements in loan agreements by banks. The primary data, secondary data and secondary legal data resources of this descriptive study come from dictionaries and encyclopedias. The data were processed and analyzed by using the qualitative data processing technique and then presented systematically so that conclusions could be withdrawn. The conclusions show that loan agreements of Mayapada Bank and BPR Lestari Bank containing standard clauses that tend to be biased or one-sided. There are a number of clauses requiring customers to comply with the applicable rules and regulations of banks, including the existing ones and those that will be issued in the future. The clauses in the said loan agreements also contain/describe a lot of rights on the bank sides. Meanwhile, the bank obligations are only to provide the loans as per the agreement. Based on the scopes of freedom that have been applied in agreements, the loan agreements of Mayapada Bank and BPR Lestari Bank do not fully apply freedom principles in concluding contracts because they are restricted by the provisions of article 1320 and article 1338 paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia and article 18 paragraph (1) of Customers Protection Law. The freedom to conclude contracts is just within the scope of whether to conclude or not to conclude agreements, freedom to choose to whom to conclude contracts, freedom to choose agreement clauses that will be concluded and freedom to receive and deviate from provisions of law that are optional (aanvullen, optional). However, there are not any freedoms in concluding agreements, namely in determining the forms of agreements. The forms of loan agreements have been determined unilaterally by bank sides, namely standard written agreements. Keywords: Bank Loan Agreement, Standard Contract. x x RINGKASAN Tesis ini membahas mengenai penerapan standard contract dalam perjanjian kredit bank terhadap debitur, terkait dengan penerapan asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Bab I menguraikan mengenai ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan asas kebebasan berkontrak seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam sistem perbankan Indonesia yang menerapkan perjanjian standar dalam pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam perjanjian kredit oleh pihak bank. Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar (standard contract) sudah lama menjadi masalah yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak pada klausul-klausulnya ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan secara massal pada konsumen. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan standard contract dan perjanjian kredit. Konsep-konsep yang berkaitan dengan standard contract yaitu hakekat dan dasar hukum kontrak, keabsahan kontrak, bentuk-bentuk perjanjian, perjanjian baku atau kontrak standar, perjanjian standar dan asas kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan. Konsep-konsep yang berkaitan dengan perjanjian kredit yaitu hakekat perjanjian kredit, kriteria perjanjian kredit, asas-asas perjanjian kredit, bentuk-bentuk perjanjian kredit. Bab III merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan pertama yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang klausul-klausul dalam standard contract kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, keabsahan standard contract dalam perjanjian kredit bank, perwujudan asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku cenderung berat sebelah. Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian. Sedangkan dari pihak bank, terdapat banyak klausul dalam perjanjian kredit yang menyatakan hak bank, sementara itu hanya ada satu klausul yang menyebutkan kewajiban pihak bank yaitu memberikan kredit sejumlah telah yang diperjanjikan. Bab IV merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan kedua yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan standard contract perjanjian kredit antara bank dan debitur, akibat hukum dari klausul baku, pembatasan kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank dengan standard contract. Hasil dari penelitian ini adalah perjanjian xi kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan tentang simpulan dan saran. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah perjanjian kredit bank yang dalam hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari yang memuat klausul baku (standard contract) kurang mencerminkan asas keseimbangan. Klausul baku (standard contract) yang termuat dalam perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung berat sebelah, karena banyak terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tersebut. Kemudian Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, dan kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk dari perjanjian yang akan dibuat, karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. Bertitik tolak dari kesimpulan tersebut di atas maka saran yang dapat diberikan adalah bank diharapkan lebih memperhatikan kepentingan debitur tanpa mengesampingkan faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang dicantumkan dalam perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah dibaca sehingga debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari klausul baku tersebut. Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja perbankan dengan menerapkan good corporate governance, salah satunya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak (contract drafting) bagi karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga nantinya dapat membuat perjanjian kredit bank yang mencerminkan keseimbangan kedudukan antara bank dan debitur tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak. Nasabah debitur diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan mencermati perjanjian kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu dan akibat hukum yan ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi dengan pihak bank atau xii pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar dari akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri. xiii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL........................................................................................ i PERSYARATAN GELAR .............................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................... x RINGKASAN .................................................................................................. xi DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 11 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12 1.3.1.Tujuan Umum ........................................................................... 12 1.3.2.Tujuan Khusus .......................................................................... 12 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 13 1.4.1.Manfaat Teoritis ........................................................................ 13 1.4.2.Manfaat Praktis ......................................................................... 13 1.5. Landasan Teoritis ............................................................................... 14 1.5.1.Teori Keadilan ......................................................................... 14 1.5.2.Teori Perjanjian ....................................................................... 25 xiv 1.5.3.Asas Keseimbangan .................................................................. 29 1.5.4.Asas Kebebasan Berkontrak ..................................................... 31 1.6. Metode Penelitian .............................................................................. 33 1.6.1.Jenis Penelitian .......................................................................... 33 1.6.2.Sifat Penelitian .......................................................................... 34 1.6.3.Data Dan Sumber Data.............................................................. 35 1.6.4.Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 36 1.6.5.Teknik Penentuan Sampel Penelitian ........................................ 36 1.6.6.Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ..................................... 38 BAB II TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN STANDARD CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT ......... 39 2.1. Konsep-Konsep Standard Contract ................................................... 39 2.1.1.Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak ......................................... 39 2.1.2.Keabsahan Kontrak ................................................................... 42 2.1.3.Bentuk-Bentuk Perjanjian ......................................................... 44 2.1.4.Perjanjian Baku/Kontrak Standar ............................................. 45 2.1.5.Perjanjian Standar dan Asas Kebebasan Berkontrak ................ 52 2.1.6.Perjanjian Standar dan Asas Keseimbangan ............................. 55 2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit ....................................... 57 2.2.1.Hakekat Perjanjian Kredit ......................................................... 57 2.2.2.Kriteria Perjanjian Kredit .......................................................... 66 2.2.3.Asas-Asas Perjanjian Kredit ..................................................... 69 2.2.3.Bentuk Perjanjian Kredit........................................................... 71 xv BAB III PERWUJUDAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM STANDARD CONTRACT ANTARA BANK DAN DEBITUR .. 74 3.1. Klausul-klausul Dalam Standard Contract Kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari ............................................................................... 78 3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank ....... 84 3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank ... 95 BAB IV STANDARD CONTRACT DALAM MEMBERIKAN KREDIT MENCERMINKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK ............................................................................ 115 4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur .................................... 118 4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku .................................................. 124 4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Standard Contract .............................................................. 132 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 139 5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 139 5.2. Saran-saran ......................................................................................... 140 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 142 DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN-LAMPIRAN xvi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit. Pada awalnya istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 lalu pada Instruksi Presiden Kabinet No. 15/EK/10, tanggal 3 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/pemb, tanggal 8 Oktober 1996, yang menginstruksikan keadaan masyarakat perbankan bahwa bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun tanpa menjelaskan dan mengatur secara spesifik bentuk klausul yang perlu atau harus dicantumkan dan klausul yang tidak boleh dicantumkan, khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak. Sekalipun ada ahli yang menggunakan istilah persetujuan bukan perjanjian, seperti misalnya R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perikatan, namun dalam peraturan perundangan mengenai perbankan di Indonesia istilah yang digunakan adalah perjanjian. Apabila dikaitkan dengan kredit, maka 1 2 istilah yang umum digunakan dalam dunia perbankan di Indonesia adalah perjanjian kredit bukan persetujuan kredit. Apabila dilihat dari segi yuridis, persetujuan berbeda dengan perjanjian. Persetujuan adalah salah satu syarat dari suatu perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Seiring dengan perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul aneka jenis perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard contract). Menurut catatan sejarah, perjanjian standar sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM). Lalu Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 di Inggris menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan pada awalnya tidak menimbulkan perubahan apa-apa dalam kontrak bisnis. Tetapi kemudian standardisasi produksi membawa desakan yang kuat untuk pembakuan perjanjianperjanjian.1 Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar, begitu juga di Indonesia. Perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yuridis yang masih kontroversional, misalnya diperbolehkan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk perjanjian standar.2 Perjanjian standar (standard contract) adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya distandarisasi (distandarkan) oleh pembuatnya dan kemudian 1 Gemala Dewi, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta, hal.204. 2 Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal.146. 3 disodorkan ke pihak lain. Pihak yang disodori perjanjian standar tersebut pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan isinya.3 Dengan kata lain, perjanjian standar ditetapkan secara sepihak, kemudian dicetak dalam bentuk formulir, diperbanyak dan digunakan berulang-ulang untuk perjanjian sejenis. Perjanjian kredit bank adalah salah satu contoh kategori perjanjian standar (standard contract). Dalam menyalurkan kredit, pihak bank pada umumnya menyiapkan perjanjian dalam bentuk blanko atau formulir sebagai model perjanjian kredit. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh bank sebagai pihak yang kedudukannya lebih kuat dalam perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian sifat perjanjian standar lebih menguntungkan bank daripada nasabah debitur sebagai pihak yang kedudukannya lebih lemah. Perumusan syarat-syarat dalam perjanjian standar yang disiapkan pihak bank, secara rinci diuraikan dalam bentuk klausul-klausul tertentu yang mengandung arti tertentu yang hanya dipahami dan dimengerti oleh pihak bank, sedangkan pihak nasabah debitur sulit atau tidak dapat memahaminya dalam waktu yang singkat. Pihak bank dengan sengaja tidak menginformasikan hal tersebut kepada nasabah debitur. Dengan demikian, perjanjian standar bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. 3 Ibid, hal.119. 4 Asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa Belanda disebut contracts vrijheid, mengandung makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Kebebasan yang dimaksud meliputi : 1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian 2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian 3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian 4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian 5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara membuat perjanjian.4 Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III KUHPerdata merupakan sistem (materiil) terbuka dan bebas, sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku II KUHPerdata (Hukum Benda), sehingga setiap orang berhak dan bebas membuat dan mengadakan perjanjian dengan siapapun, dalam bentuk yang mereka kehendaki serta mengatur serta menentukan isi suatu perjanjian. Akan tetapi pelaksanaan asas ini hendaknya tidak dipahami dalam artian bebas sebebas-bebasnya, karena berlakunya dibatasi oleh beberapa hal, yaitu : 1. Pasal 1320 KUHPerdata, yang menguraikan tentang syarat sahnya suatu perjanjian (kontrak). 4 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal.47. 5 2. Pasal 1335 KUHPerdata, yang menyatakan larangan dibuatnya suatu kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan. 3. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, dan apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Asas ketertiban umum bukan merupakan suatu hal yang baru dan tidak popular.5 Tetapi asas ini dikenal dalam setiap sistem hukum, baik common law maupun civil law. Dalam sistem hukum common law asas ketertiban umum dikenal dengan istilah public policy, sedangkan dalam sistem hukum civil law dikenal dengan istilah ordre public, salah satunya di Perancis. Disamping itu masih banyak istilah lain tentang asas ketertiban umum seperti dalam bahasa Belanda openbare orde, vorbehaltklausel dalam bahasa Jerman, ordine public dalam bahasa Itali dan orden public dalam bahasa spanyol.6 4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dilaksanakan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, itikad baik, kepatutan serta keadilan. Asas itikad baik ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari 5 Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 1. 6 Sudargo Gautama, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung, hal.3. 6 para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Sedangkan Asas Kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. 5. Pasal 1339 KUHPerdata, yang menekankan pada terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal tersebut diatas bukanlah kebiasaan setempat, tetapi ketentuan-ketentuan yang diperhatikan oleh kalangan tertentu. 6. Pasal 1347 KUHPerdata yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui dan secara diam-diam dimasukkan dalam suatu kontrak. Dalam sistem terbuka Buku III KUHPerdata dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dapat dikatakan bahwa kata “semua” pada pasal tersebut merupakan cara untuk menyimpulkan asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut terkesan menyatakan bahwa siapa saja diperbolehkan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun dan mengikat para pihak yang 7 membuatnya sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya “ketertiban umum dan kesusilaan”. Kebebasan berkontrak memberi kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun, baik tertulis, lisan, non otentik, sepihak, standar dan lain-lain, serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.7 Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa kebebasan berkontrak dan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidaklah berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan terkait dengan ketentuan lainnya. Asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam sistem perbankan Indonesia yang menerapkan perjanjian standar dalam pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam perjanjian kredit oleh pihak bank. Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar (standard contract) sudah lama menjadi masalah yang menimbulkan pro dan kontra 7 hal.195. Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, 8 di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak pada klausul-klausulnya ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan secara massal pada konsumen. Dalam klausul-klausul tersebut nampak adanya ketidakseimbangan kedudukan antara bank dan nasabah debitur yang membutuhkan dana. Dalam kondisi yang demikian nasabah tidak dapat mengajukan revisi terhadap klausul perjanjian yang ditawarkan pihak bank. Debitur hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian yang ditetapkan oleh bank. Untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bank merancang perjanjian kredit yang mengandung klausul-klasul tidak wajar dan memberatkan pihak debitur. Di samping itu pula, perjanjian kredit yang disodorkan bank sering memuat klausul eksonerasi atau klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab sepihak bank terhadap gugatan debitur yang melaksanakan kewajibannya secara tidak semestinya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit tersebut. Padahal seharusnya klausul-klausul tersebut memberi perlindungan hukum bagi para pihak, terutama bagi nasabah debitur sebagai pihak yang kedudukannya lemah. Adapun contoh klausul yang secara tidak wajar dan memberatkan debitur adalah klausul penetapan besarnya suku bunga. Umumnya klausul tersebut berbunyi “Ketentuan suku bunga kredit dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak oleh bank terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut pihak bank cukup 9 memberitahukannya secara tertulis dan pemberitahuan dimaksud mengikat pengambil kredit/nasabah debitur”. Apabila dilihat dari bunyi klausul tersebut diatas jelas-jelas tidak seimbang dan merugikan nasabah debitur. Seharusnya perubahan atau penyesuaian tingkat suku bunga mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Sudah seharusnya dalam suatu perjanjian, pemberlakuan, perubahan dan pengakhirannya tetap harus dengan dasar persetujuan kedua belah pihak dan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Penggunaan perjanjian standar dalam dunia perbankan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemakaian tenaga, biaya dan waktu serta bertujuan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada nasabah debitur. Perjanjian standar pada umumnya dimaksudkan untuk lebih memberikan jaminan pelunasan utang debitur. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan tersebut diatas di dalam praktek perbankan dan dalam penelitian ini penulis merumuskan judul ”PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR”. Dari penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan memiliki objek penelitian serupa. Meskipun demikian penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan dengan penelitian penulis. Adapun penelitian yang dimaksud adalah : 10 a. Tesis dari Dwi Santi Wulandari, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk Mahasiswa B4B.004.112, alumni mahasiswi Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan judul “Prinsip Kehati-Hatian Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Pada Bank Central Asia Cabang Cilegon)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis tersebut adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian diaplikasikan dalam Perjanian Kredit pada Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi Banten? 2. Bagaimana tanggung jawab Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi Banten dengan pihak debitur dalam Perjanjian Kredit menyangkut hak dan kewajiban? b. Tesis dari Hamzah Fatoni, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk Mahasiswa B4B.0004.112, alumni mahasiswa Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2006, dengan judul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kredit Umum Di PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis tersebut adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit umum beserta syarat-syarat yang diajukan kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang? 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pemberian kredit kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang? 11 3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang jika terjadi wanprestasi? Dari hasil penelitian tersebut, tidak dijumpai penelitian yang sama dengan penelitian ini dan mengambil permasalahan berbeda sebagaimana tersebut di atas, yang artinya penelitian ini mengangkat sebuah topik permasalahan dengan mengupas sisi lain dari suatu objek penelitian yang memang belum tereksplorasi, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya atau keasliannya. Akan tetapi apabila dikemudian hari ternyata ditemukan hasil penelitian yang serupa, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai pelengkap atas penelitian terdahulu. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract antara bank dan debitur? 2. Apakah penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit mencerminkan asas kebebasan berkontrak? 12 1.3. Tujuan Penelitian Mengacu kepada judul yang dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.3.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dan debitur sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan kalangan perbankan agar tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit. 1.3.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas adalah : a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur. b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang asas kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract pada pemberian kredit. 13 1.4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik pengembangan ilmu pengetahuan maupun mempunyai kegunaan praktis. Begitu juga dengan penelitian ini mempunyai manfaat, yaitu : 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Perjanjian dan Hukum Perbankan yang berhubungan penerapan standard contract antara bank dengan debitur. 1.4.2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari hasil penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) manfaat, yaitu : a. Bagi masyarakat (calon debitur), hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang nantinya bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah perbankan yang ada di masyarakat khususnya mengenai persoalan tentang klausul dalam standard contract yang pada umumnya memberatkan debitur. b. Bagi peneliti, hasil penelitian tesis ini sebagai syarat untuk penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana serta dapat menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang perbankan dalam hal ini penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur dalam pemberian kredit. 14 1.5. Landasan Teoritis Dalam mengkaji permasalahan yang dibahas pada tesis ini, diperlukan adanya landasan teoritis yang merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapatpendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Oleh karena itu teori merupakan serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.8 Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan atau membuktikan fakta-fakta atau kejadian-kejadian.9 Teori, konsep atau asas tersebut mampu memberikan arah kepada penelitian yang dilakukan. Landasan teoritis dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa teori, dan asas-asas hukum yaitu sebagai berikut : 1.5.1. Teori Keadilan Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut John Rawl. Sesungguhnya ada beberapa sarjana lain yang membahas mengenai keadilan seperti John Locke, Rosseau, Immanuel Kant. Para pemikir itu mengajukan ide-ide tentang hakikat keadilan dalam kontrak. Mereka menyadari, tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan 8 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal.141. 9 Ibid. 15 memenuhi janjinya, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya transaksi diantara para pihak.10 Oleh karena itu karena itu tanpa adanya kontrak, para pihak tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. John Rawl mengkritik teori dari John Locke, Rosseau dan Immanuel Kant karena cenderung bersifat utilitarianisme dan intuisionisme. Teori Keadilan John Rawl bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang berkembang sebelumnya yang disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi baik utilitarianisme maupun intuisionisme.11 Dengan belajar dari kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls menawarkan suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak.12 Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu yang bebas rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam 10 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 11 Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik Jhon Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21. 12 Ibid. 16 konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.13 Oleh karena itu diperlukan prinsipprinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip keadilan distributif dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut :14 a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak). b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity. Dapat disimpulkan bahwa Teori Keadilan dari John Rawls memiliki inti sebagai berikut : 13 14 Ibid. hal. 71. Ibid. hal.129. 17 1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri. 2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar. 3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan kelahiran dan kekayaan. Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls memberikan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yaitu : 1. Prinsip kesetaraan yang sama (equal liberty of principle) 2. Prinsip perbedaan (differences principle) 3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) Tentu saja ketiga prinsip keadilan ini tidak dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat menimbulkan benturan antara prinsip yang satu dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas yaitu prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal belaku terlebih dahulu daripada prinsip yang kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan yang diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan uang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya prioritas kedua merupakan relasi 18 antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu prinsip perbedaan dan prinsip persamaan kesempatan). Menarik untuk digarisbawahi bahwa prinsip kesamaan menurut Rawls harus dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti “kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam kebebasan yang “tersituasi” sehingga disandarkan pada berbagai kondisi, keadaankeadaan dan kualitas masing-masing. Bagi Rawls kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga apabila setiap orang tidak mendapatkan hasil yang sama. Dengan demikian, prinsip keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima sebagai prinsip yang pantas berlaku untuk umum.15 Oleh karena itu, yang harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif ada pada setiap individu. Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam hubungan bisnis, khususnya terkait dengan aspek keadilan dalam kontrak komersial, maka berdasarkan 15 Ibid, hal.45. 19 pikiran-pikiran tersebut diatas, hendaknya kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak komersial harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi-kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual.16 Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit bank bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls dalam hal : 1. Memaksimalkan kemerdekaan. 2. Kesetaraan bagi semua orang. 3. Prinsip kesamaan kesempatan. Selain itu terdapat pula Teori Keradilan menurut Aristoteles. Keadilan menurut Aristoteles adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori keadilan Aristoteles, secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga yaitu : Keadilan Legal, Keadilan Komutatif, dan Keadilan Distributif. 1. Keadilan Legal Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang belaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara. 16 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.65. 20 Intinya smeua pihak dijamin mendapat perlakuan dan diperlakukan sama oleh Negara dan berdasarkan hukum yang berlaku. 2. Keadilan Komutatif Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dengan yang lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif ini menyangkut pertukaran yang adil antara para pihak yang terlibat. Prinsip dari keadilan ini adalah menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikan sebelumnya, mengembalikan pinjaman, member ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang. 3. Keadilan Distributif Prinsip dasar dari keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua orang. Keadilan distributif mempunya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa 21 ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Menurut Aristoteles negara yang berdasarkan atas hukum menjamin keadilan kepada warga negaranya. Negara hukum mengandung arti, penguasa dalam mengambil tindakannya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suatu Negara baru dapat digolongkan sebagai Negara hukum (rechstaat) apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dikatakan M.C.Burkens, antara lain : 1. Asas legalitas 2. Pembagian kekuasaan 3. HAM 4. Pengawasan Pengadilan (peradilan administrasi).17 Keadilan merupakan hakekat dari doktrin Hak Asasi Manusia (HAM). Secara etimologis, hak manusia terbentuk dari tiga suku kata yaitu hak, asasi dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia 17 Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004, hal.24. 22 adalah kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq yang artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Hak adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.18 HAM Ekonomi adalah Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan aktivitasaktivitas perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang meliputi hak untuk : a. Bekerja b. Usaha dalam bidang ekonomi c. Aktivitas perekonomian, perburuhan dan aktivitas perbankan dan asuransi.19 Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886, selanjutnya disebut Undang-Undang HAM) Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM dan kemartabatan manusia memiliki korelasi yang kuat. Perlindungan dan pemenuhan HAM sangat 18 Jack Donnelly, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca : Cornell University Press, hal.10. 19 Yohanes Usfunan, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya)”, Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal 10 Mei 2013, hal.3. 23 memungkinkan bagi terwujudnya kesempurnaan eksistensi manusia yang pada gilirannya menghasilkan interaksi sosial yang baik pula. Dalam tataran konseptual, HAM mengalami proses perkembangan yang sangat komplek. Dapat dikatakan HAM merupakan puncak konseptualisasi manusia tentang eksistensi dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, jika disebukan sebagai konsepsi, itu berarti pula sebuah upaya maksimal dalam melakukan formulasi pemikiran strategis tentang hak dan kewajiban dasar yang dimiliki manusia. Dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit dan implisit terdapat pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, disamping sebagai konstitusi politik (political constitution) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution). Negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun lebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Konstitusi ekonomi (economic constitution) tersebut di atas dari materinya dapat dilihat sebagai berikut : 1. Perekonomian disusun sebagai kekeluargaan. usaha bersama berdasar atas azas 24 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Perekomian Indonesia berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. Penjelasan mengenai Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perseorangan atau segelintir orang, karena ini berlawanan dengan logika kapitalisme : produksi untuk melayani kepentingan kapitalis (menggali keuntungan sebesar-besarnya). Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini dapat dikatakan bertentangan (penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi. Teori Keadilan berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari Aristoteles, serta HAM berupa persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi ini 25 kiranya relevan digunakan untuk mengkaji permasalahan pertama yaitu bagaimana perwujudan asas keseimbangan dalam penerapan standard contract antara bank dan debitur. Apabila perjanjian kredit bank dianalisis menggunakan Teori Keadilan berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari Aristoteles, serta HAM berupa persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi maka hubungan antara bank dengan debitur adalah hubungan kontraktual yang tidak mencerminkan keadilan sehingga terjadi ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian kredit. Keadilan hanya dapat dicapai apabila para pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian kredit tersebut berada dalam posisi yang seimbang, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dapat terlaksana secara adil. 1.5.2. Teori Perjanjian Teori Perjanjian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman. Menurut teori tersebut, perjanjian mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak, tidak semata-mata hanya terikat sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.20 Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa 20 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.8788. 26 selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu: a. Ajaran Kehendak (Wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontrakan; b. Pandangan Normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun tidak memainkan peranan; apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama; c. Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan. 21 Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Gr. Van der Burght bahwa dengan adanya kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, maka timbullah perjanjian utang piutang (perjanjian kredit). Kemudian, dengan adanya pemikiran bahwa apabila para pihak menyatakan sepakat dan berjanji mengikatkan diri yang dituangkan suatu perjanjian kredit tersebut akan memenuhi kebutuhan para pihak itu, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Selanjutnya bahwa adanya kesepakatan kedua belah pihak mengikat diri dalam suatu perjanjian kredit, disertai pemberian jaminan timbullah suatu kepercayaan kreditur, sehingga kredit dapat diberikan kepada debitur. Sementara itu menurut R. Setiawan, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan 21 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.40. 27 dirinya terhadap satu orang atau lebih.22 Inti dari suatu perjanjian adalah “saling mengikatkan diri.” Dalam kaitan hubungan antara pihak bank dan nasabah yang menjadi debiturnya, pemikiran Munir Fuady bisa dijadikan acuan. Munir Fuady mengidentifikasikan dua bentuk hubungan antara pihak bank dan nasabahnya, yaitu hubungan kontraktual dan non kontraktual.23 Hubungan non kontraktual menyangkut hubungan antara pihak bank dengan nasabah deposan sedangkan hubungan kontraktual berkaitan dengan hubungan antara pihak bank selaku pemberi kredit dan nasabah debitur. Adapun definisi perjanjian sesungguhnya terdapat juga dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas. Oleh karena itu sangat banyak yang tidak sependapat mengenai definisi perjanjian tersebut. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut mengandung konsekuensi hukum bahwa dalam perjanjian selalu ada dua pihak dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan 22 R.Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal.49. 23 Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bhakti, Cet.II, Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.100. 28 satu pihak lainnya berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata diatur bahwa ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. Sepakat mereka mengikatkan diri 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua pihak harus memiliki kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan yang mengakibatkan adanya cacat hukum bagi perwujudan kehendak tersebut. Sehubungan dengan syarat kesepakatan bahwa mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Teori Perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman di atas, kiranya relevan untuk mengkaji permasalahan kedua, yaitu apakah penerapan standard contract dalam pemberian kredit mencerminkan asas kebebasan berkontrak bagi debitur. Pembahasan kebebasan berkontrak dalam penelitian ini dilakukan tanpa mengabaikan fakta bahwa kebebasan berkontrak tidak dapat dilakukan secara tak terbatas. 29 Pembatasan tersebut diberikan oleh ketentuan-ketentuasn dalam KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya undang-undang mengenai perlindungan konsumen. Sekalipun terdapat pembatasan dalam kebebasan berkontrak namun dengan adanya jaminan keadilan dan kepastian hukum dalam perjanjian kredit bank maka klausul-klausul yang memberatkan debitur dihapuskan sehingga debitur tidak merasa dirugikan lagi. 1.5.3. Asas Keseimbangan Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak harus memiliki keseimbangan hak dan kewajiban dengan berdasar pada asas keseimbangan. Asas keseimbangan menurut Herlien Budiono adalah asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata dengan mendasarkan pada pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan di lain pihak pada cara pikir bangsa Indonesia. Keseimbangan dalam membuat perjanjian sangat penting agar terjadi keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian terjadi keselarasan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.24 Pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen. Hal ini didasari pemikiran bahwa dalam perspektif perlindungan konsumen, dalam hal ini debitur, terdapat ketidakseimbangan posisi 24 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.29. 30 tawar para pihak.25 Hubungan konsumen-produsen, dalam hal ini pihak debitur-bank, diasumsikan hubungan yang subordinat. Pihak debitur berada pada posisi lemah dalam proses pembentukan kehendak kontraktualnya. Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu diberdayakan dan diseimbangkan posisi tawar bagi pihak debitur. Dalam konteks ini, asas keseimbangan yang bermakna “equal-equilibrium” akan bekerja memberikan keseimbangan manakala posisi tawar para pihak menjadi tidak seimbang. Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibannya.26 Oleh karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para pihak, maka hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud dan tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut ialah : a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan. b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut. c. Ketiga, keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses. d. Keempat, intervensi Negara merupakan intrumen pemaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak. e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).27 25 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.79. Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.80. 27 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.84. 26 31 Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus memperhatikan kepentingan pihak debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur, dalam hal ini adalah bank, menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi pihak debitur mungkin bank dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan iktikad baik. Selanjutnya menurut R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya.28 Uraian mengenai asas keseimbangan dan bertitik tolak dari pemikiran Herlien Budiono tersebut dapat mengkaji permasalahan pertama mengenai perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur. Keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian, dalam hal ini bank dan pihak debitur, sangat penting agar tercipta keselarasan dalam pelaksanaan perjanjian. Keselarasan tersebut akan tercermin dalam pelaksanaan perjanjian oleh para pihak dan tidak berat sebelah dan mencerminkan keadilan. 1.5.4. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dalam bahasa asing disebut contracts vrijheid, contracteen vrijheid atau partij autonomie, atau dalam pustaka bahasa Inggris disebut dengan istilah freedom of contract. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau 28 Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Edisi Pertama, Cetakan ke 6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.4. 32 perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.29 Asas kebebasan bekontrak ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dari ketentuan diatas dapat disimak 3 (tiga) pokok atau asas yang terkandung di dalamnya, yaitu : a. Pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak; b. Pada kalimat ”berlaku sebagai Undang-Undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt servanda. c. Pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas.30 Dengan kata lain apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan, maka perjanjian yang dibuat tersebut telah melanggar syarat obyektif dari sahnya perjanjian dan perjanjian tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada sehingga tidak dapat mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. 29 Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.212. 30 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.78. 33 Syarat obyektif tersebut berkaitan dengan kausa yang halal dalam syarat sahnya suatu perjanjian. Dapat diartikan bahwa kausa tersebutlah yang menjadi dasar obyektif terjadinya suatu kontrak. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu kontrak adalah batal demi hukum (null and void) apabila didasari oleh kausa yang tidak halal. Penjabaran dari kausa yang tidak halal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menguraikan bahwa suatu kausa dari suatu perjanjian tersebut dinyatakan tidak halal apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.31 Berdasarkan uraian mengenai asas kebebasan berkontrak tersebut diatas, maka asas ini dapat mengkaji permasalahan kedua mengenai asas kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract. Karena kebebasan berkontrak sangat penting, baik bagi individu dalam konteks kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas kehidupan kemasyarakatan. Dari sudut kepentingan masyarakat, kebebasan berkontrak merupakan sebagai suatu totalitas. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau 31 Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Cetakan II : Edisi Revisi Juli 2011, Kontrak Publishing, hal.200. 34 implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).32 Morris L. Cohen and Kent C. Olson berpendapat dalam bukunya yang berjudul Legal Research bahwa penelitian hukum yaitu : “legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”33 yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek. Penelitian yuridis empiris dilakukan untuk memastikan apakah hasil dari penerapan pada peristiwa hukum in concreto tersebut telah sesuai atau tidak dengan ketentuan undang-undang atau perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak, sehingga para pihak yang berkepentingan mencapai tujuannnya. Penelitian yuridis empiris harus dilakukan di lapangan dengan metode dan teknik penelitian lapangan dengan cara melihat dan meneliti fakta-fakta yang terjadi di lapangan tentang penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dengan kreditur tidak sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. 1.6.2. Sifat penelitian Sifat penelitian di dalam penulisan tesis ini bersifat deskriptif yang bertujuan 32 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.134. 33 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, hal.1. 35 untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 1.6.3. Data dan sumber data Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Data Primer Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research) yang berlokasi di Kota Denpasar, yaitu dengan melakukan penelitian pada PT. Bank Mayapada Internasional Tbk (selanjutnya disebut Bank Mayapada) dan BPR Lestari selaku kreditur yang menerapkan standard contract dalam dalam pemberian kreditnya. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan informan dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut. 2. Data Sekunder Data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui 3 (tiga) bahan hukum yaitu sebagai berikut : a. Bahan hukum primer yang terdiri dari : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 36 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen yang relevan dengan masalah yang dibahas. c. Bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi.34 1.6.4. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara atau interview dan peneliti datang langsung bertemu dengan informan dan responden yang sebelumnya telah ditentukan oleh peneliti yaitu pihak-pihak yang terkait dengan pembuatan standard contract dalam memberikan kredit kepada debitur pada Bank Mayapada dan BPR Lestari yang berlokasi di Denpasar. Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini bahan-bahan bacaan digunakan teknik telah dokumen yaitu membaca serta mengkaji bahan-bahan bacaan yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan buku sekunder seperti buku-buku yang terkait dan relevan dengan pembahasan ini dan bahan hukum tertier yang berupa kamus dan ensiklopedi. 1.6.5. Teknik penentuan sampel penelitian Sebelum dilakukan penentuan sampel penelitian, terlebih dulu ditentukan lokasi penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas. Menurut Bahder 34 Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.120. 37 Johan Nasution, dengan teknik sampling non probabilitas tidak semua subyek atau individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.35 Dari beberapa teknik non probabilitas yang ada, yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian bahwa sampel memenuhi kriteria yang merupakan ciri utama populasinya. Sebagaimana diketahui, Kota Denpasar adalah pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan di Provinsi Bali sehingga tingkat aktivitas pengucuran kredit perbankan sangat tinggi. Setelah dilakukan penentuan lokasi penelitian, langkah selanjutnya adalah penentuan sampel penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas dalam bentuk purposive sampling. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut, dari beberapa bank yang beroperasi di Kota Denpasar, yang dipilih adalah Bank Mayapada dan BPR Lestari karena lebih terbuka memberikan informasi perjanjian kredit dengan standard contract dibandingkan bank lain. Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya semua bank, dalam menjalankan aktifitasnya tunduk pada ketentuan dari Bank Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan). Sehingga 35 Bahder Johan Nasution, op.cit, hal.156. 38 dengan adanya ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan inilah penulis hanya mengambil 2 (dua) kreditur sebagai responden dalam penelitian ini. 1.6.6. Teknik pengolahan dan analisis data Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu dengan memilih data yang kualitasnya dapat menjawab permasalahan yang diajukan dan untuk penyajiannya dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan. 39 BAB II TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN STANDARD CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT Pada Bab II ini akan dibahas mengenai hakekat dan dasar hukum kredit, keabsahan kontrak, perjanjian baku/kontrak standar, perjanjian standar dan asas kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan, pengertian kredit dan perjanjian kredit, jaminan kredit dan perjanjian kredit sebagai bentuk perjanjian standar. 2.1. Konsep -Konsep Standard Contract 2.1.1. Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak Kontrak memiliki hakekat pengertian yang lebih sempit daripada perjanjian. Kontrak mengacu pada perjanjian atau persetujuan tertulis. Subekti mendefinisikan kontrak atau perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.36 Hal ini berarti bahwa peristiwa dimana seseorang secara berjanji kepada orang lain secara lisan untuk melakukan sesuatu tidak dapat disebut kontrak. Janji tersebut memiliki hakekat kontrak apabila dituangkan dalam perjanjian secara tertulis. 36 R.Subekti, 1996, Hukum Perjanjian,St.XIV, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut R.Subekti I), hal. 1. 39 40 Pandangan senada diungkapkan oleh Abdul R. Saliman, dimana kontrak merupakan konsep yang memiliki pengertian yang lebih sempit dibandingkan perjanjian. Menurut Saliman kontrak dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak atau perjanjian didefinisikan sebagai peristiwa dimana dua orang atau lebih saling mengadakan berjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.37 Sekalipun menurut Saliman kontrak dan perjanjian memiliki kesamaan definisi tetapi konsep kontrak memiliki hakekat yang lebih sempit daripada perjanjian. Kontrak pada hakekatnya adalah perjanjian antara dua orang atau dua pihak secara tertulis. Macam-macam kontrak menurut Abdul R. Saliman adalah: a. Perjanjian Kredit b. Perjanjian Leasing (Kredit Barang) c. Perjanjian Keagenan dan Distributor d. Perjanjian Franchising dan Lisensi.38 Sementara itu menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian dan kontrak memiliki pengertian yang sama. Yudha Hernoko mengatakan ”Hal ini disebabkan fokus kajian saya berlandaskan pada Burgerlijk Wetboek (BW) dimana antara perjanjian dan persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan 37 Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada, Jakarta, hal.45. 38 Ibid, hal.53. 41 kontrak (contract).”39 Dengan demikian apabila dua orang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, berarti keduanya telah melakukan kontrak. Sekalipun secara umum disepakati bahwa dasar hukum kontrak nasional terdapat dalam KUHPerdata namun menurut Munir Fuady, sumber lain dari hukum kontrak adalah: 1. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak. 2. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan kontrak. 3. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur tentang aspek bisnis internasional. 4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari. 5. Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas. 6. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan kontrakkontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan.40 Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih.” Sumber hukum lain dari kontrak selain KUHPerdata adalah : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 39 Agus Yudha Ernoko, op.cit, hal.15. Munir Fuady, 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya, Buku I, Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal.10. 40 42 2.1.2. Keabsahan Kontrak Menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.41 Pasal 1320 KUHPerdata menentukan sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Syarat nomor 1 dan nomor 2 disebut sebagai syarat subyektif, yaitu syarat untuk subyek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat nomor 3 dan nomor 4 disebut syarat objektif yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya. Syarat nomor 1 dan 2 menyangkut kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat antara subjek hukum dapat terjadi dengan tegas, baik secara lisan maupun tertulis dan secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan syarat. Suatu perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan apabila menyangkut unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling) dan unsur penipuan (bedrog).42 Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat 41 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta hal.223. 42 Ibid, hal.224. 43 dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata. Seseorang dikatakan cakap hukum membuat perjanjian apabila telah berumur minimal 21 (duapuluh satu) tahun, atau apabila belum berumur 21 (duapuluh satu) tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Menurut Ligna Spagnola ”The law of contracts protects person who are under 18 (minors), those who are mentally infirm, and those under influence of drugs or alcohol.”43 (Hukum kontrak melindungi orang yang berumur di bawah 18 tahun, mereka yang lemah secara mental, mereka yang berada dalam pengaruh obat-obatan atau alkohol). Selain itu seseorang itu tidak boleh sedang berada dalam pengampuan (curatele), yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila, atau boros. Secara lebih jelas dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang tidak cakap membuat kesepakatan : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ada di bawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian. Sementara itu ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak 43 Linda A. Spagnola, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and Practival Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States, p. 97. 44 berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna barang, dan lain sebagainya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata, dalam perjanjian yang menyangkut tentang barang, paling sedikit ditentukan barang jenisnya, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian. Terkait dengan suatu sebab yang halal (causa yang halal) mengandung pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat. Pasal 1335 KUHPerdata merinci mengenai perjanjian yang dibuat tanpa sebab, perjanjian yang dibuat karena sebab palsu atau karena perjanjian karena sebab yang terlarang. Semua itu menggambarkan sebab yang tidak halal dalam perjanjian. Dengan demikian penulis berkesimpulan, bahwa perjanjian akan mendapatkan keabsahannya apabila memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subyektif menyangkut subyek hukum atau orangnya sedangkan syarat objektif merupakan syarat untuk objek hukum atau bendanya. 2.1.3. Bentuk-Bentuk Perjanjian Menurut ketentuan KUHPerdata, pokok yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian merupakan barang yang dapat diperjualbelikan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ”Pokok perjanjian adalah barang yang dapat diperdagangkan.” Dengan demikian maka penulis berpendapat bahwa 45 objek perjanjian tidak hanya merupakan barang-barang yang kasat mata melainkan juga barang-barang yang tidak kasat mata. Menurut Salim H.S, jenis-jenis kontrak atau perjanjian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban, misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.44 Dari sekian banyak pendapat mengenai jenis-jenis atau macam-macam kontrak penggolongan yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah menurut I Ketut Artadi dan Asmara Putra yang mengkategorikan bentuk-bentuk kontrak menjadi : 1. Perjanjian Biasa 2. Perjanjian Baku 3. Perjanjian Tersamar 4. Perjanjian Simulasi.45 2.1.4. Perjanjian Baku / Kontrak Standar Perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat disebut kontrak baku 44 Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.27. 45 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.36. 46 karena ditulis secara tertulis. Kontrak baku disiapkan secara seragam untuk banyak orang lazimnya satu objek perjanjian dan satu prestasi.46 Tujuan dari kontrak baku untuk memberi kemudahan dan kepraktisan bagi pihak yang bersangkutan. Untuk itu maka perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.47 Memang keuntungan dari perjanjian standar adalah praktis, banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi menurut Sriwati perjanjian standar secara langsung maupun tidak telah merugikan pihak-pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul dalam perjanjian. Di satu pihak pihak yang tidak membuat klausul adalah salah satu pihak dalam perjanjian memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut tapi di sisi lain dia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.48 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian baku dar hampir seluruh klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain hampir tidak mempunyai peluang merundingkan atau meminta perubahan. Mengenai hal yang belum dibakukan hanya menyangkut harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal spesifik 46 Ibid, hal.37. Mariam Darus Badrulzaman, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku, Binacipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badruzaman II), hal.58. 48 Sriwati, 2000, Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Majalah Yustika Volume III tanggal 2 Desember, hal.176. 47 47 dari objek yang diperjanjikan. Sedangkan yang dibakukan adalah klausul-klausulnya bukan formulirnya.49 Dari berbagai pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa perjanjian standar atau kontrak standar merupakan perjanjian yang klausul-klausulnya disiapkan oleh pihak yang kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut dan dituangkan dalam suatu dokumen yang mengikat para pihak. Pendapat penulis di atas sesuai dengan pengertian perjanjian baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UndangUndang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821, selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) ”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang diruangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.” Mariam Barus Badrulzaman kemudian mengemukakan ciri-ciri perjanjian standar, yaitu :50 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur dengan posisinya yang relatif kuat dari debitur b. Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian tersebut c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut d. Disiapkan terlebih dulu bsecara massal atau individual. 49 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal.66. Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Azas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya Dengan Perjanjian Standar (Standard) dalam Majalah Media Notariat No. 28-29 Tahun VII Juli-Oktober (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III), hal.45. 50 48 Dari beberapa pendapat mengenai perjanjian standar di atas maka dapat disimpulkan bahwa klausul dalam kontrak standar dibuat oleh salah satu pihak, yaitu pihak yang kuat dan pihak lain yang lebih lemah hanya menerima kontrak yang disodorkan. Dalam konteks inilah kemudian muncul adanya klausul eksonerasi dalam perjanjian standar, yaitu klausul yang menguntungkan baginya sebagai klausul tambahan. Klausul eksonerasi atau dalam sistem common law disebut exculpatory clause.51 Menurut penulis, klausul eksonerasi adalah klausul tambahan atas klausul essensalia, dimana pihak yang kuat untuk dapat menghindar untuk memenuhi kewajiban atau menghindar dari kemungkinan kerugian yang dipikulnya, menghindar membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melawan hukum. Secara lebih sederhana, Abdulkadir Muhammad menyebutkan klausul eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab dari akibat yang merugikan yang timbul dari pelakanaan perjanjian.52 Dengan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa klausul eksonerasi adalah klausul yang mengalihkan tanggung jawab dari suatu pihak ke pihak lainnya, yaitu dari pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian kepada pihak yang kedudukannya lemah. Tujuannya adalah agar pihak yang kuat terhindar dari 51 Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Cetakan III, Jakarta, hal.124-125. 52 Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan dan Perdagangan, Citra Aditya, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), hal.21 49 kemungkinan kerugian. Dalam pandangan Abdulkadir Muhammad klausul eksonerasi dapat ditambahkan dalam suatu perjanjian standar karena keadaan memaksa, karena perbuatan pihak-pihak tertentu dalam perjanjian. Perbuatan pihak-pihak ini dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga.53 Ada tiga kemungkinan klausul eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian : 1. Eksonerasi karena keadaan memaksa Kerugian yang ditimbulkan karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab pihak-pihak, tetapi syarat-syarat dalam perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen, pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. 2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua. Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini karena tidak baik atau lalai melaksanakan kewajiban terhadap pihak kedua. Tapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan pada pengusaha. 3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dibebabkan pada pihak kedua yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini 53 Ibid, hal.21. 50 pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.54 Relevansi antara klausul eksonerasi dengan perjanjian standar/baku adalah karena perjanjian baku pada umumnya pasti mengandung klausul eksonerasi. Bahkan dapat disebutkan bahwa jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan perjanjian standar/baku dalam perjanjian kredit bank adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak perbankan. Dengan demikian klausul eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara pihak bank selaku kreditur dengan nasabah debitur. Klausul eksonerasi tidak sepenuhnya dilarang karena juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dilarang adalah klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan penyalahgunaan keadaan (undue influence). Artinya, sepanjang kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu mempunyai kedudukan ekonomi dan psikologi yang seimbang, tidak terdapat indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang lain maka sejauh memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian tersebut tetap sah. 54 Munir Fuady II, op.cit, hal.86. 51 Menurut UU Perlindungan Konsumen, perjanjian baku/standar kontrak adalah sah, akan tetapi melarang pencatuman klausula baku yang bersifat berat sebelah. Jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausul baku tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa klausul baku yang dilarang untuk dicantumkan pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yaitu : a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya 52 g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausul seperti ini juga batal demi hukum sebagaimana yang ditetapkan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen. Apabila ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen dilanggar maka sanksi akan diberikan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (1), yaitu : Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruh a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.0000.000,00 (dua miliar rupiah). 2.1.5. Perjanjian Standar Dan Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun tidak dituangkan dalam aturan hukum tetapi mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.55 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjiaan standar bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian standar, kedudukan debitur dan kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. 55 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.108. 53 Pengusaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Perjanjian standar hanya membuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul debitur.56 Bahkan menurut Djumadi, proses pembuatan perjanjian standar belum seluruhnya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, terutama menyangkut unsur ”sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”, karena yang yang dimaksud dengan sepakat disini mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat ada persesuaian kemauan atas saling menyetujui kehendak masing-masing, yaitu yang dilahirkan oleh pihak dengan tiada paksaan tertentu dan penipuan.57 Perjanjian standar merupakan wujud pembatasan dari asas kebebasan berkontrak. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, setelah Perang Dunia II pembatasan kebebasan berkontrak semakin meningkat. Pengaruh paham individualisme mulai memudar pada akhir abad ke-19 seiring semakin meningkatnya paham etis dan sosialis. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, tetapi diberi arti relatif dikaitkan dengan kepentingan umum.58 Sementara itu Setiawan menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu: 56 Mariam Darus Baldrulzaman II, op.cit, hal.53. Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, hal.72. 58 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman IV), hal.43. 57 54 1. Perkembangan doktrin itikad baik 2. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan 3. Makin banyak kontrak standar 4. Berkembangnya hukum ekonomi59 Jika asas kebebasan berkontrak yang merupakan substansi dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ditempatkan dalam kerangka sistem Hukum Perdata Indonesia, maka kebebasan berkontrak bukanlah suatu yang absolut melainkan relatif. Ada beberapa ketentuan-ketentuan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu: 1. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai sah tidaknya suatu perjanjian. 2. Pasal 1335 KUHPerdata yang melarang kontrak tanpa causa atau dibuat berdasarkan causa yang palsu atau terlarang. 3. Pasal 1337 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum. 4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5. Pasal 1339 KUHPerdata menunjuk perjanjian pada sifat kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 6. Pasal 1347 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak. 59 Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Badung, hal.179. 55 2.1.6. Perjanjian Standar Dan Asas Keseimbangan Selain keempat asas dalam hukum perjanjian yang telah disebutkan di atas, ada pula asas lain yang perlu dibahas yang relevan dengan penelitian ini, yaitu asas keseimbangan. Selain itu, asas keseimbangan adalah pertanyaan mendasar yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian standar, yaitu terkait dengan asas keseimbangan kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Oleh karena itu asas keseimbangan dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. Ketidakseimbangan menimbulkan ketidakadilan sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.60 Perjanjian kredit bank dalam bentuk perjanjian standar menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang tidak memenuhi asas keseimbangan. Menurut Badrulzaman, dalam hubungan bank dengan nasabah, kedudukan nasabah adalah lemah sehingga perlu dilindungi dengan campur tangan pemerintah terhadap substansi perjanjian kredit bank.61 Tentu saja campur tangan pemerintah ini bertujuan agar perjanjian kredit bank memenuhi asas keseimbangan dalam berkontrak. Artadi dan Asmara Putra menyebut asas keseimbangan ini sebagai asas kedudukan yang seimbang. Perjanjian dapat dibatalkan karena menyalahgunakan keadaan (subdue influence), dimana salah satu pihak berada dalam posisi yang kuat, 60 Sri Gambir Melati Hatta, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni Bandung, hal.161. 61 Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, hal.42. 56 posisi mana disalahgunakan oleh pihak tersebut sehingga merugikan pihak lain.62 Dalam kaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen, asas keseimbangan ini dibahas dalam konteks kedudukan konsumen yang lebih rendah dari produsen. Salah satu cara utama dalam mencapai keseimbangan antara perlindungan produsen dan perlindungan konsumen adalah dengan menegakkan hak-hak konsumen. Hak-hak yang merupakan hak dasar konsumen untuk pertama kali di kemukakan oleh Presiden AS John F. Kennedy, yaitu : 1. Hak memperoleh keamanan 2. Hak memilih 3. Hak mendapat informasi 4. Hak untuk didengar.63 Dengan memahami berbagai pendapat mengenai asas keseimbangan yang telah disebutkan di atas maka asas keseimbangan menyangkut kedudukan yang seimbang antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi asas keseimbangan, dimana posisi atau kedudukan salah satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka diperlukan intervensi pemerintah untuk mengembalikan keseimbangan antara pihak tersebut. Ketidakseimbangan antara pihak yang terlibat dalam perjanjian terjadi dalam perjanjian kredit bank, yaitu antara bank dan nasabah. Adapun dalam perspektif hubungan antara produsen dan 62 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.69. Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru I), hal.102. 63 57 konsumen maka ketidakseimbangan terjadi karena konsumen berada pada pihak yang lemah sedangkan konsumen adalah pihak yang kuat. 2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit 2.2.1. Hakekat Perjanjian Kredit Teori perjanjian ini digunakan karena adanya hubungan antara debitur dan kreditur mengadakan suatu perjanjian kredit. Menurut Gr. Van der Burght bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu: a. Ajaran kehendak b. Pandangan normatif Van Dunne c. Ajaran kepercayaan.64 Pengertian perjanjian terdapat dalam buku III KUHPerdata pada Pasal 1313 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu sengketa.65 Dalam suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata 64 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, loc.cit. I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.28. 65 58 memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi (kreditur). Bentuk prestasi yang dilakukan dalam perjanjian berupa perjanjian untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum apabila perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum.66 Menurut Subekti, perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III itu diatur juga mengenai hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian. Perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming), tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan perjanjian.67 Perikatan yang dimaksud merupakan suatu perikatan yang lebih luas dibandingkan dengan perjanjian. Dimana dalam perikatan tidak saja dikenal mengenai perikatan yang lahir dari undang-undang akan tetapi juga perikatan yang 66 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal.1. 67 R. Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut R.Subekti II), hal.122. 59 lahir dari perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan perjanjian yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sedangkan, perikatan yang lahir dari undang-undang merupakan perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undangundang sebagai akibat perbuatan orang. Istilah perjanjian dapat disamakan dengan kontrak. Menurut Catherine Elliott dan Frances Quinn ialah: Normally a contract is formed when an effective acceptance has been communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it indicates the terms on which the offeror is prepared to make contract (such as the price of the goods for sale). And gives a clear indication that the offeror intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree. Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that offer.68 (Biasanya kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan menjadi offeree. Suatu komunikasi akan diperlakukan sebagai tawaran jika menunjukkan persyaratan yang offeror siap untuk membuat kontrak (misalnya harga barang untuk dijual). Dan memberikan indikasi yang jelas bahwa offeror bermaksud untuk terikat oleh syarat-syarat tersebut jika mereka diterima oleh offeree. Penerimaan tawaran berarti kesepakatan tanpa syarat untuk semua persyaratan penawaran) Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.69 Dapat dijelaskan bahwa di dalam melakukan 68 Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England, hal.10. 69 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III), hal.78. 60 perjanjian para pihak telah sepakat melaksanakan perjanjian tersebut tapi hanya terbatas dibidang harta kekayaan seperti perjanjian kredit, padahal perjanjian tidak hanya terbatas dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian apabila dikaitkan dengan hukum dagang yaitu di dalam membuat suatu perusahaan dimana para pihak yang ikut terlibat dalam perusahaan tersebut telah sepakat mengikatkan diri dan kesepakatan tersebut dituangkan dalam Akta Perusahaan tersebut. Apabila terkait dengan hukum administrasi dimana pemerintah melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak swasta terkait dengan pengelolaan tanah milik pemerintah yang akan dikembangkan untuk tempat-tempat umum. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut tidak hanya terkait dengan harta kekayaan akan tetapi lebih luas daripada itu. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan tersebut.70 Dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu perjanjian para pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri dan melaksanakan hal yang telah disepakati dalam perjanjian. Dalam perjanjian kredit ini, pihak debitur dan kreditur sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dan pihak kreditur berhak untuk menuntut pihak debitur melaksanakan prestasinya, sedangkan pihak debitur berkewajiban membayar hutangnya pada kreditur pada hari yang telah 70 hal.17. Wiryono Prodjodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 61 ditentukan. Jadi dapat dikatakan bahwa para pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing dalam pelaksanaan perjanjian. Istilah kontrak dan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia adalah sama. Menurut Roger Vickery dan Wayne Pendelton, kontrak ialah: A valid contract is an agreement made between two or more parties (including business organitation) that create right and obligations that are enforceable by law. People may make hundreds of thousands of agreement in their lifetime, but only some will be classified as contract and not all of these will be valid and legally enforceable.71 (Sebuah kontrak yang valid adalah perjanjian yang dibuat antara dua pihak atau lebih (termasuk organisasi bisnis) yang menciptakan hak dan kewajiban yang diberlakukan oleh hukum. Orang mungkin membuat ratusan ribu perjanjian dalam hidup mereka, tetapi hanya beberapa akan diklasifikasikan sebagai kontrak dan tidak semua ini akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum) Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu credere yang berarti kepercayaan atau credo atau creditum yang berarti percaya. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapat fasilitas kredit dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.72 Dapat dijelaskan bahwa pemberian kredit bank didasarkan atas dasar kepercayaan bahwa debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Untuk 71 Roger Vickery and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law Principle & Applications, Pearson Education Australia, New South Wales, hal.186. 72 Thomas Suyatno, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, hal.11. 62 menimbulkan suatu kepercayaan, pihak bank melaksanakan prinsip 5 C yaitu menilai seluruh aspek calon debitur apakah akan sanggup melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Hal ini dilakukan untuk menghidari terjadinya wanprestasi. Selain prinsip 5C pihak bank juga menerapkan prinsip 4P yaitu berupa para pihak, tujuan, pembayaran dan perolehan laba. Menurut Achmadi Anwari, kredit ialah suatu pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontrak prestasi (balas jasa yang berupa biaya).73 Menurut UU Perbankan Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 73 Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal.108. 63 Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:74 a. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang b. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain c. Adanya kewajiban melunasi utang d. Adanya jangka waktu tertentu e. Adanya pemberian bunga kredit Dalam Buku III KUHPerdata Bab XIII Pasal 1754 menjelaskan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstrusikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bankbank wajib mempergunakan perjanjian kredit. 74 M.Bahsan, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.76-78. 64 Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (principal) yang bersifat riel. Sebagai perjanjian principal, maka perjanjian jaminan adalah asesornya. Ada dan berakhrinya perjanjian jaminan bergantung perjanjian pokok. Arti riel ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. Perbankan haruslah jeli untuk meneliti momentum terjadinya perjanjian kredit dan terjadinya perjanjian jaminan. Idealnya ialah momentum itu jatuh bersamaan, akan tetapi pada kenyataannya terjadi pada momentum yang berbedabeda. Keadaan ini dapat menimbulkan kerugian bagi bank bagi penyedia kredit.75 Menurut Muhamad Djumhana, bahwa perjanjian kredit pada hakekatnya adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata Pasal 1754, yang menyebutkan bahwa : Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.76 Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan dengan mana para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit yang mana pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak kreditur akan menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama dengan bunga pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Pihak 75 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal.111. 76 Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 385. 65 debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar kepercayaan bahwa pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Jadi apabila debitur telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur juga berkewajiban menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan bagian umum KUHPerdata.77 Dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok yang dibuat oleh pihak bank secara baku. Maksudnya adalah isi yang ada dalam perjanjian kredit seluruhnya ditentukan oleh pihak bank dan perjanjian pokok ini akan diikuti dengan perjanjian tambahan yang berupa jaminan harta benda debitur seperti tanah yang dapat digunakan oleh kreditur apabila debitur wanprestasi. Jika wanprestasi tejadi, maka keuntungan menjadi kreditur yang diistimewakan ialah kreditur dapat menjual langsung objek yang dijadikan jaminan tanpa meminta penetapan pengadilan karena dalam hak tanggungan menganut parate eksekusi. Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada nasabahnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan 77 Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman VI), hal.28. 66 aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya.78 2.2.2. Kriteria Perjanjian Kredit Teori perjanjian dipergunakan karena adanya hubungan antara para pihak. Dalam doktrin teori lama, perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan pada doktrin teori baru oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi teori ini tidak hanya memandang perjanjian saja tetapi juga perbuatan sebelum atau yang mendahuluinya. Agar suatu perjanjian sah harus memenuhi beberapa syarat. Syarat sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kesepakatan dalam perjanjian ialah perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, 78 hal.24. Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 67 kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Kecakapan untuk membuat perikatan; seseorang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Untuk menentukan seseorang cakap yaitu yang tidak termasuk dalam bunyi Pasal 1330 KUHPerdata yaitu: 1) Anak yang belum dewasa 2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan 3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan Ad.1. Anak yang belum dewasa Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Ketentuan Pasal tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa seseorang baru dikatakan dewasa jika ia telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Kedua hal tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seseorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun tetap dianggap telah dewasa. Anak yang belum 68 dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 50 disebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ad.2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan Dalam Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 436 KUHPerdata menyatakan bahwa segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam. Jadi dengan diletakkannya orang-orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerdata di bawah pengampuan, maka segala tindakan orang-orang tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya. Ad.3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan Semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka seorang perempuan yang masih 69 bersuami berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya. Suatu hal tertentu; menurut ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok-pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Suatu sebab yang halal; Pada Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Ketentuan ini menjelaskan yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu dan bukan sebab yang terlarang. 2.2.3. Asas-Asas Perjanjian Kredit Berikut ini merupakan asas-asas yang pada umumnya terdapat dalam perjanjian kredit yaitu : a. Asas Kebebasan Berkontrak b. Asas Konsensualisme c. Asas Kepatutan d. Asas Pacta Sunt Servanda e. Asas Itikad Baik Asas Kebebasan Berkontrak, maksud dari asas ini ialah terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 70 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu: 1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak 2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian 3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian 4. Bebas menentukan bentuk perjanjian 5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 79 Asas Konsensualisme, maksud dari asas ini ialah lahirnya kontrak yaitu pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.80 Asas Kepatutan, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas tersebut menyatakan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 79 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru II), hal. 4. 80 Ibid, hal.3. 71 Asas Pacta Sunt Servanda, dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Asas ini pada mulanya dikenal di dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila adanya kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas ini diberi arti paktum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Asas itikad baik, dalam Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus itu akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.81 2.2.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini akan 81 Ibid, hal.5. 72 merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.82 Bentuk perjanjian kredit bank yang menunjuk pada perjanjian standar ini dibuat dengan 2 (dua) cara yaitu: a. Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka tanpa notaris. Bahkan, lazimnya dalam penandatanganan perjanjian tanpa adanya saksi yang turut serta dalam membubuhkan tanda tangannya. Padahal, saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata. b. Perjanjian kredit dengan akta otentik adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1886 KUHPerdata. Jadi, pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Perjanjian kredit berfungsi untuk memberikan panduan pada bank tentang perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan nasabah akan merasa aman bahwa dananya terjamin dengan baik. Oleh karena itu, sebelum bank memberikan kredit kepada calon 82 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.319-320. 73 debitur maka bank akan menilai seluruh aspek yuridis dari debitur tersebut agar bank merasa mendapat perlindungan apabila terjadi wanprestasi dikemudian hari. 74 BAB III PERWUJUDAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM STANDARD CONTRACT ANTARA BANK DAN DEBITUR Uraian Bab III ini pada hakekatnya untuk menjawab pokok permasalahan pertama yang merupakan hasil wawancara. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni Komang Purnama Dewi tanggal 17 Februari 2014 disebutkan : 1. Perjanjian kredit dengan klausul baku di Bank Mayapada tidak mencerminkan asas keseimbangan karena tidak terdapat klausul yang menyatakan secara tegas kewajiban bank sedangkan banyak klausul menyebutkan kewajiban yang harus dipatuhi debitur. Selain itu tidak terdapat klausul yang secara tegas menyebutkan hak debitur sedangkan banyak klausul menyebutkan hak bank. 2. Ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku mengakibatkan tidak terwujudnya asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian. 3. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dapat dikategorikan menjadi : a. Klausul jenis, jumlah pinjaman, fasilitas, tujuan penggunaan pinjaman, jangka waktu fasilitas kredit. b. Klausul cara penarikan pinjaman 74 75 c. Klausul bunga dan provisi d. Klausul cara pembayaran e. Klausul kelalaian f. Klausul jaminan berakhir dan diakhiri perjanjian. g. Klausul asuransi h. Klausul menjaminulangkan i. Klausul biaya lainnya j. Klausul perubahan k. Klausul lain-lain 4. Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada terdapat banyak terdapat klausul mengenai kewajiban debitur tanpa sekalipun menyebut adanya kewajiban pihak bank. Kewajiban bank untuk memberikan pinjaman kepada debitur sejumlah yang telah diperjanjikan terdapat dalam klausul jumlah pinjaman/hutang dan fasilitas pinjaman yang tidak secara tegas dinyatakan bahwa pihak bank wajib memberikan pinjaman melainkan dengan kata-kata “Bank Mayapada yang berkedudukan di Jakarta Selatan telah memberikan pinjaman sejumlah tertentu”. Sementara itu Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014 mengatakan bahwa : 76 1. Perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada tidak memenuhi asas keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. 2. Dalam perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. 3. Klausul perjanjian kredit BPR Lestari dapat dikelompokan menjadi: 1. Klausul jumlah kredit 2. Klausul bunga, provisi dan administrasi 3. Klausul jangka waktu kredit 4. Klausul cara pembayaran 5. Klausul jaminan kredit 6. Klausul asuransi 7. Klausul kelalaian 8. Klausul pemerikasaan oleh bank 9. Klausul perkembangan usaha 10. Klausul pembatasan tindakan debitur 11. Klausul kuasa 12. Klausul ketentuan bank 13. Klausul pembukuan utang 14. Klausul ahli waris/penanggung 77 15. Klausul biaya 16. Klausul lain-lain 17. Klausul tambahan Dengan demikan maka perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari yang menggunakan standard contract tidak memenuhi asas keseimbangan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman. Asas keseimbangan menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. Akibat atau konsekuensi dari tidak terpenuhinya asas keseimbangan adalah tidak adanya asas kebabasan berkontrak karena isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Sedangkan pihak yang kedudukannya lebih lemah hanya menerima kontrak yang disodorkan oleh pihak yang kuat tersebut. Pembenaran teoritik terhadap hal tersebut di atas dapat ditemukan dalam literatur Mariam Barus Badrulzaman, Djumadi, Agus Yudha Hernoko, C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Abdulkadir Muhhamad, Kartini Mauljadi dan Gunawan Widjaja, Salim H.S, J. Satrio, R. Setiawan, Sidharta, Sutan Remi Sjahdeini. 78 3.1. Klausul-Klausul Dalam Kontrak Standar Kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari Dalam penelitian ini ditemukan data yang mendukung dan melengkapi penelitian yang berkaitan dengan “Penerapan Standard Contract Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur”. Secara lebih lengkap klausul-klausul dalam perjanjian kredit BPR Lestari dan Bank Mayapada dapat dikelompokan menjadi klausul-klausul sebagai berikut : 1. Klausul Jenis, Jumlah Pinjaman, Fasilitas, Tujuan penggunaan pinjaman, jangka waktu fasilitas kredit. a. Kreditur dengan ini telah memberikan pinjaman uang kepada Debitur dengan jumlah setinggi-tingginya dalam bentuk fasilitas pinjaman berikut perpanjangan, perubahan, penambahan dan pembaharuannya. b. Debitur dengan ini mengaku berhutang pada Kreditur sampai jumlah setinggi-tingginya …..dalam bentuk fasilitas….. berikut perubahan, penambahan dan pembaharuannya. c. Kreditur memberi pinjaman uang dengan fasilitas tersebut untuk tujuan…… d. Kreditur memberikan pinjaman tersebut kepada Debitur unutk jangka waktu …..terhitung mulai tanggal…sampai dengan tanggal 2. Klausul Cara Penarikan Pinjaman a. Pengambilan uang atas fasilitas tersebut harus dilakukan Debitur dengan menandatangani dan menyerahkan cek, bilyet, giro, surat atau tanda penerimaan uang lainnya yang disetujui oleh Kreditur. b. Cek, giro, bilyet, surat atau tanda penerimaan uang lainnya yang diserahkan oleh Debitur akan dibayar Kreditur pada waktu Kreditur membuka kasnya untuk umum. 3. Bunga dan Provisi a. Debitur wajib membayar bunga sebesar… 79 Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh Kreditur secara sepihak, sesuai tingkat suku bunga yang berlaku pada Kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur. Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi kuasa pada Kreditur untuk mengubah besarnya suku bunga tersebut sampai semua hutang debitur kepada Kreditur lunas, bunga dithitung dari jumlah pinjaman Debitur kepada Kreditur. b. Debitur wajib membayar provisi sebesar… 4. Cara Pembayaran a. Setiap waktu, pada saat Kreditur membuka kasnya untuk umum, Debitur berhak mengangsur maupun membayar semua hutang pada Kreditur. b. Kreditur akan memasukan setiap pembayaran tersebut di atas dalam suatu rekening/ koran/pembukuan pinjaman Debitur dan Debitur akan menerima turunan atau salinan dari rekening koran/pembukuan tersebut. c. Bunga atas fasilitas tersebut dan semua biaya yang mungkin ada sehubungan dengan perjanjian ini akan diperhitungkan dan dibebankan pada rekening/Koran/pembukuan Debitur setiap awal bulan. d. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak Debitur menerima salinan rekening koran/pembukuan tersebut, Debitur tidak memahukan keberatannya, maka rekening koran/pembukuan tersebut dianggap telah disetujui oleh Debitur dan Debitur tidak berhak menyangkal dengan apapun juga mengenai rekening koran/pembukuan tersebut. 5. Klausul Kelalaian Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun suratsurat lain yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur tersebut, Debitur wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan oleh Kreditur yang dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh Debitur kepada Kreditur. 6. Klausul Jaminan Berakhir dan Diakhirinya Perjanjian a. Perjanjian ini berakhir sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 di atas b. Menyimpang dari ketentuan Pasal 4 di atas i. Debitur setiap waktu berhak mengakhiri perjanjian ini, apabila Debitur memberitahukan kehendaknya tersebut secara tertulis kepada Kreditur 80 ii. iii. iv. c. i. 7 (tujuh) hari sebelumnya dan surat tersebut telah diterima Kreditur. Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya memberikan persetujuan untuk hal tersebut di atas dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pinjaman dilunasi sebelum jangka waktu fasilitas kredit berakhir akan dikenakan denda/penalty sebesar 2 % (dua persen) dari plafon pinjaman. b. Kreditur berhak untuk sewaktu-waktu mengubah besar denda penalty sesuai dengan keadaan pasar tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa perlu mendapat persetujuan dari debitur. Kreditur secara sepihak membatalkan sewaktu-waktu, tanpa syarat perjanjian ini, apabila: a. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan meninggal dunia dan/atau dibubarkan/dinyatakan pailit, memohon penundaan pembayaran hutang, ditaruh di bawah pengampuan atau karena apapun juga tidak berhak mengurus atau menguasai harta kekayaannya. b. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan tidak mematuhi satu atau beberapa syarat dalam perjanjian ini. c. Sebagian atau semua kekayaan Debitur dan/atau Pemberi jaminan disita oleh pihak lain. d. Bonafiditas Debitur dan/atau Pemberi Jaminan diragukan oleh Kreditur. e. Kekayaan Debitur dan/atau Pemberi Jaminan berkurang sehingga tidak mencukupi sebagai jaminan utang Debitur kepada Kreditur. Kreditur membatalkan secara otomatis sisa fasilitas kredit yang belum dipergunakan oleh Debitur, apabila Debitur tidak dapat memenuhi satu atau beberapa kewajibannya kepada Kreditur atau menurut penilaian Kreditur kondisi keuangan dan prospek usaha Debitur menurun sehingga mengakibatkan kemampuan Debitur membayar menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet. Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk aewaktu-waktu menarik kembali sebagian/semua fasilitas tersebut jika Kreditur menilai bahwa Kreditur dalam keadaan kurang layak untuk meneruskan pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan kepada Debitur atau pihak lain. Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan diberitahukan secara tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus dibayar lunas paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan kemudian oleh Kreditur. Dalam hal berakhir atau diakhirinya perjanjian ini sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatas maka: Kreditur tidak wajib melakukan pembayaran kepada debitur. 81 ii. Kreditur secara sepihak berhak untuk tidak memberikan sisa fasilitas yang belum digunakan Debitur. iii. Debitur wajib membayar semua jumlah uang yang masih terhutang berikut bunga, provisi dan biaya lainnya kepada Kreditur dengan sekali dan sekektika lunas iv. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan dengan ini memberikan hak kepada Kreditur untuk menetapkan sendiri jumlah hutang Debitur yang masih harus dibayar, berdasarkan rekening dan/atau pembukuan Kreditur yang khusus dibuat untuk itu. Rekening dan/atau pembukuan mengenai jumlah hutang Debitur kepada Kreditur merupakan bukti yang cukup dan mengikat Debitur, Pemberi Jaminan, Kreditur sehingga tidak diperlukan lagi bukiti atau cara pembuktian tambahan apapun. Debitur dan/atau Pemberi jaminan melepaskan semua semua hak untuk menyangkal atau menyanggah jumlah hutang Debitur dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Kreditur sampai semua hutang Debitur yang ditetapkan oleh Kreditur melebihi jumlah yang terhutang oleh Debitur kepada Kreditur, maka Kreditur wajib mengembalikan kelebihannya, namun Kreditur tidak wajib membayar bunga dan/atau ganti rugi apapun kepada Debitur dan/atau Pemberi Jaminan. d. Semua pembayaran yang telah diperhitungkan oleh Kreditur dan didebet dalam rekening koran/pembukuan Debitur, yaitu biaya administrasi, provisi dan biaya lainnya, tidak dapat dituntut kembali oleh Debitur. e. Pada waktu Debitur melunasi semua hutangnya kepada Kreditur maka Kreditur harus mengembalikan Barang Jaminan kepada Debitur dan/atau Pemberi Jaminan atau yang berhak menerimanya. 7. Klausul Asuransi a. Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan Barang Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang dapat diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya, apabila Barang Jaminan telah memenuhi syarat sebagai obyek asuransi), memberi kuasa kepada Kreditur untuk mengasuransikan Barang Jaminan pada perusahaan asuransi yang ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah pertanggungan yang ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur sebagai yang berhak atas uang ganti kerugian/uang santunannya. b. Apabila Pemberi Jaminan telah mengasuransikan Barang Jaminan kepada perusahaan asuransi lain, maka Pemberi Jaminan dengan ini memberi Kuasa kepada Kreditur untuk mengubah polis yang bersangkutan dan mencantumkan Bunker’s Clause untuk kepentingan 82 Kreditur agar Kreditur menjadi pihak yang berhak sepenuhnya atas uang santunan, apabila terjadi sesuatu peristiwa yang menurut perjanjian asuransi mendapat uang ganti kerugian/uang santunan. c. Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) diberi hak dan kuasa oleh Pemberi Jaminan untuk mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi yang bersangkutan, mengadakan perundingan, mengajukan/menunut/menyetujui jumlah uang ganti kerugian/uang santunan, menerima semua pembayaran kerugian/santunan dan memberikannya serta menandatangani tanda terimanya (kuitansinya) yang sah. d. Kreditur akan memperhitungkan uang ganti kerugian/uang santunan tersebut dengan hutang Debitur kepada Kreditur tersebut dengan utang Debitur kepada Kreditur. Apabila terdapat kelebihan maka Kreditur akan mengembalikannya kepada Debitur dan/atau pemberi jaminan. Untuk kelebihan uang tersebut Pemberi Jaminan tidak berhak meminta bunga atau ganti rugi yang berupa apapun kepada Kreditur. Apabila terdapat kekurangan Debitur tertap wajib melunasi kekurangan tersebut pada waktunya. 8. Klausul Menjamin Ulangkan Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa kepada Kreditur untuk menjamin-ulangkan (dengan cara apapun) piutang Kreditur kepada Debitur berikut barang jaminan kepada Bank Indonesia, dengan syaratsyarat yang dianggap baik oleh Kreditur. 9. Klausul Biaya Lainnya Selain bunga dan provisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di atas, Debitur wajib membayar semua biaya yang mungkin ada sehubungan dengan perjanjian ini dan perjanjian lain yang berkaitan dengan akta notaris/akta di bawah tangan, termasuk a. Biaya pembuatan akta ini b. Biaya pengacara atau kuasa Kreditur untuk menagih kepada Debitur atas kelalaianya. Biaya-biaya tersebut adalah tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur dan Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi kuasa kepada Kreditur untuk memperhitungkannya pada saldo rekening/pembukuan Debitur. 83 10. Klausul Perubahan i. Ketentuan mengenai jangka waktu, jumlah hutang dan Barang Jaminan dari fasilitas tersebut dapat diperpenjang dan diubah dengan perjanjian lain yang ditetapkan/disetujui oleh para pihak, yang dapat dibuat dengan akta notaris/akta di bawah tangan. Perjanjian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian ini. ii. Untuk keperluan tersebut dalam ayat 1 di atas maka Pemberi Jaminan (sekarang untuk nanti pada waktunya) secara tegas menyatakan dan menyetujui bahwa barang jaminan ini, tetap berlaku untuk perjanjian lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas. iii. Apabila terdapat perubahan sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 di atas, maka Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa pada Kreditur untuk memperpanjang/memperbaharui/mengubah perjanjian asuransi atas Barang Jaminan dengan menggunakan syarat, jangka wakru, dan jumlah tanggungan yang dianggap baik oleh Kreditur dengan biaya dibayar oleh Debitur 11. Klausul lain-lain a. Debitur wajib menyerahkan laporan keuangan sebagai berikut: i. Memiliki kekayaan paling sedikit ……wajib menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit untuk setiap tahun fiskal yang berkala kepada Kreditur selambat-lambatnya sebelum berakhirnya tahun fiskal berikutnya. ii. Memiliki kekayaan di bawah…… (dua puluh lima miliar rupiah) wajib menyerahkan laporan keuangan internal akhir tahun kepada kreditur serta laporan keuangan internal akhir tahun kepada kreditur serta laporan keuangan internal posisi triwulan terakhir. b. Perjanjian ini dan perjanjian lain yang dibuat antara debitur dengan Kreditur yang berhubungan dengan perjanjian ini dan segala akibatnya tunduk pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pemberian peminjaman yang berlaku umum, baik yang timbul sekarang maupun di kemudian hari, sejauh ini tidak bertentangan atau menyimpang dari undang-undang dan peraturan yang berlaku. c. Apabila satu atau beberapa syarat, ketentuan kuasa atau janji yang tercantum dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak dapat dilaksanakan menurut hukum yang berlaku maka hal itu tidak mengakibatkan semua atau sebagian syarat, ketentuan, kuasa atau janji dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak dapat dilaksanakan. 84 3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam hukum kontrak di Indonesia, keabsahan perjanjian kredit yang berupa kontrak standar dapat dinilai berdasarkan dua peraturan perundangan yaitu, KUHPerdata dan UU Perlindungan Konsumen sebagai peraturan perundangan yang khusus mengatur perjanjian atau kontrak dengan klausul baku. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata terdapat dalam ketentuan Pasal 1320, yakni: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Syarat nomor 1, yaitu mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat nomor 2 yaitu mengenai kecakapan membuat perjanjian berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat nomor 3 mengenai suatu hal tertentu dan syarat nomor 4 mengenai suatu sebab yang halal, berkenaan dengan objek perjanjian. Perbedaan kedua bentuk persyaratan tersebut dikaitkan dengan ketentuan “perjanjian batal demi hukum” dan “dapat dibatalkannya suatu perjanjian”. Apabila syarat objektif suatu perjanjian tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian tersebut sudah batal. Hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah 85 gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Pasal 1337 KUHPerdata menentukan “Suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum”. Sedangkan apabila persyaratan subjektif tidak dipenuhi oleh suatu perjanjian maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan. Pembatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata yang menentukan : Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata tersebut di atas maka dapat disimpulkan adanya tiga syarat untuk pembatalan perjanjian, yaitu: 1. Harus terjadi dalam suatu persetujuan timbal balik dimana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban. 2. Harus ada ingkar janji dimana salah satu pihak, misalnya debitur, harus diberi penetapan lalai. Pengadilan memutuskan apakah ingkar janji yang dilakukan debitur cukup berat untuk membatalkan perjanjian. 3. Harus melalui putusan hakim. 86 Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan. Artinya perjanjian yang sudah dibatalkan pengadilan tidak perlu dibatalkan oleh para pihak. Apabila belum dibatalkan pengadilan maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku dan dalam perjalanannya dapat dimohonkan pembatalan oleh salah satu pihak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ada empat syarat mengenai sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Berikut ini akan diulas satu persatu dari keempat syarat mengenai sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas: 1. Kata Sepakat Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian dari kehendak para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Pengertian sepakat merupakan persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring). Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (accceptatie). 87 Tetapi kesesuaian kehendak antara dua pihak saja belum melahirkan perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan (bedrog).83 Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat kehendak yang lain, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Terkait dengan paksaan Pasal 1324 KUHPerdata menyebutkan : Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan. Dengan demikian menurut Pasal 1324 KUHPerdata yang disebut kondisi dimana telah terjadi paksaan adalah apabila perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Bahkan dalam Pasal 1325 KUHPerdata yang paksaan yang menyebabkan adanya cacat kehendak bukan hanya paksaan pada orang yang terlibat perjanjian, melainkan juga paksaan 83 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, loc.cit. 88 yang menimpa keluarganya. Pasal 1325 KUHPerdata pada hakikatnya menyatakan paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Hal ini juga dijumpai pada Pasal 290, Pasal 1323, Pasal 1449 KUHPerdata. Paksaan tentu saja dapat berupa kekerasan jasmani atau ancaman melalui atau dengan sesuatu yang menimbulkan ketakutan sehingga yang bersangkutan terpaksa membuat perjanjian. Sementara itu kekeliruan atau kesesatan terjadi apabila salah satu pihak keliru mengenai hal-hal yang pokok dari hal yang diperjanjikan. Keliru mengenai syarat-syarat yang penting dari barang atau jasa yang menjadi objek perjanjian atau keliru dalam memahami dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Namun agar dapat menimbulkan cacat kehendak maka kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga apabila tidak terjadi kekeliruan maka orang itu tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian terkait cacat kehendak akibat penipuan, hal itu terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk agar pihak lain yang akan diajak mengadakan kesepakatan memberikan persetujuannya. Dengan demikian maka penipuan merupakan tindakan yang sengaja dalam mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk sehingga pihak lain sepakat memasuki hubungan kontrak. 89 Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Hal ini berarti jika dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan. 2. Kecakapan Membuat Perjanjian Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk itu”. Terkait dengan tidak cakap membuat perjanjian, Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni orang yang belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Namun dalam perkembangannya kemudian, definisi dewasa berdasarkan Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU Perkawinan) kedewasaan seseorang ditentukan anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung 90 melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU Perkawinan, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Sekalipun seseorang telah dewasa tetapi dapat tergolong tidak cakap melakukan perjanjian jika yang bersangkutan diletakkan di bawah pengampuan (curatele). Seseorang dapat diletakkan di bawah pengampuan akibat kondisi tertentu, misalnya, yang bersangkutan gila, dungu, mata gelap, lemah akal atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. 3. Adanya suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan salah satu syarat objektif suatu perjanjian yang apabila tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa yang diperjanjikan, menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tetapi objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Menurut J. Satrio yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. 91 4. Kausa Hukum yang halal Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Sedangkan untuk menentukan suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan relatif sulit mengingat konsep kesusilaan sangat abstrak, berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah lain. Kausa hukum dalam perjanjian juga tergolong terlarang apabila bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum, dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat. KUHPerdata Indonesia sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai perjanjian dengan klausul baku. Namun KUHPerdata dapat diterapkan pada perjanjian dengan klausul baku apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Karenanya para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian, terutama perjanjian kredit yang ada di perbankan. Klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit tersebut harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya paksaan atau penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 92 Pengaturan secara khusus mengenai klausul baku terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tercantum larangan terhadap pencantuman berbagai klausul baku dalam suatu dokumen atau perjanjian. Bedasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa keabsahan perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku baku sangat ditentukan oleh pemenuhan persyaratan mengenai keabsahan perjanjian sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Jika dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut maka perjanjian kredit dengan menggunakan klausul baku tersebut adalah sah. Kontrak baku dapat dibatalkan jika tidak memenuhi syarat subjektif melalui gugatan pembatalan kontrak ke pengadilan. Perjanjian kredit dengan klausul baku akan batal demi hukum apabila tidak memenuhi persyaratan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu keabsahan perjanjian kredit bank yang menggunakan klausul baku juga ditentukan oleh UU Perlindungan Konsumen. Jika memuat klausul yang dilarang oleh Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka perjanjian tersebut batal demi hukum sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen. Terkait dengan beberapa klausul yang dilarang untuk dimuat dalam dokumen atau perjanjian antara produsen dan konsumen sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka penurut penulis ada beberapa klausul 93 baku dalam perjanjian kredit pada bank yang diteliti sangat rentan untuk dikategorikan sebagai melanggar larangan tersebut. Salah satu klausul yang dilarang tersebut adalah klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari, klausul yang dapat tergolong sebagai pengalihan tanggung jawab pelaku usaha adalah klausul dalam Pasal 16 yang berbunyi : Bank berhak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur memindahkan atau mengalihkan dengan cara apapun sebagian atau seluruh hak/dan atau kewajiban bank dalam memberikan fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit kepada lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya. Untuk keperluan tersebut debitur sekarang untuk nanti pada waktunya memberi kuasa kepada bank untuk memberikan data dan/atau keterangan yang diperlukan kepada lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya. Selain itu ada pula klausul lain dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang melarang mencantumkan pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari pada Pasal 11 tercantum : 1. DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK: a. Untuk mendebet dan mempergunakan dana tersimpan pada BANK, baik dari rekening/tabungan/deposito milik DEBITUR guna pembayaran pokok angsuran (pokok pinjaman dan bunga), provisi, denda, premi asuransi, biaya-biaya lain dan segala sesuatu yang terhutang berkenaan dengan pemberian kredit tersebut. b. Untuk dan atas nama DEBITUR membuat dan menandatangani Akta Pengakuan Hutang Murni untuk menegaskan jumlah yang terhutang secara nyata oleh DEBITUR jika diperlukan untuk memenuhi Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui atau Pasal 228 Reglemen untuk luar jawa dan Madura berdasarkan syarat-syarat lain dan ketentuan- 94 2. 3. 4. 5. ketentuan yang dianggap baik oleh BANK (selanjutnya disebut pengakuan hutang). Khusus untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaran Bermotor (KKB) DEBITUR dengan ini memberikan kuasa kepada BANK untuk mentransfer atau dengan cara apapun menyerahkan jumlah uang yang berasal dari perjanjian kredit ini kepada Developer/Dealer/Penjual. PENGAKUAN HUTANG meliputi jumlah hutang yang diterima DEBITUR dari BANK yang besarnya ditetapkan berdasarkan pembukuan BANK sehubungan dengan perjanjian ini berikut dengan perubahan dan/atau pembaharuannya dan merupakan bukti yang sempurna dan mengikat DEBITUR dihadapan semua badan peradilan dan mengikat DEBITUR dihadapan semua badan peradilan dimanapun juga. DEBITUR dengan ini menyetujui dan mensahkan semua tindakan BANK dan tidak akan menuntut atau menggugat BANK dan membebaskan BANK dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari pihak manapun sehubungan dengan pembuatan dan pelaksanaan PENGAKUAN HUTANG tersebut diatas. Kuasa-kuasa tersebut di atas merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari surat perjanjian ini, yang tidak dapat dibuat tanpa adanya kuasa tersebut dan oleh karena itu kuasa ini tidak akan dicabut dan tidak akan berakhir karena sebab apapun juga atau karena sebab-sebab lain yang diatur dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain itu pemberian kuasa kepada bank oleh debitur juga terdapat dalam klausul mengenai asuransi dimana disebutkan bank diberi kuasa oleh debitur untuk menutup dan memperpanjang asuransi atas biaya debitur dengan mendebetnya dalam rekening dan atau simpanan lain debitur pada bank. Klausul baku lainnya dalam perjanjian kredit di BPR Lestari juga dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan pelarangan terhadap klausul baku untuk menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Pasal 12 Perjanjian Kredit di BPR Lestari berbunyi ”DEBITUR dengan ini berjanji akan tunduk pada segala ketentuan dan kebiasaan- 95 kebiasaan yang berlaku pada BANK baik yang berlaku sekarang maupun di kemudian hari”. Klausul perjanjian kredit sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Perjanjian Kredit di BPR Lestari adalah hal yang sudah sejak lama diterapkan pihak perbankan dalam perjanjian kredit. Karena itu pelarangan terhadap klausula dimaksud tampaknya akan sulit dipenuhi oleh pihak bank kecuali terdapat pengecualaian terhadap penerapan klausul seperti itu. Hal itu karena adanya kaitan antara klausul tersebut dengan klausul lain yang menentukan bahwa bank berhak melakukan perubahan suku bunga sesuai dengan perkembangan moneter yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Klausul baku sebagaimana ketentuan Pasal 12 Perjanjian Kredit di BPR Lestari, di satu pihak menunjukan dominannya pihak bank dalam perjanjian dibandingkan dengan nasabah debitur. Tetapi di sisi lain menunjukan suatu mekanisme pertahanan dari bank terhadap berbagai gejolak yang dapat merugikan bank yang bersangkutan dalam jangka berlakunya kredit. Terkait hal ini akan diuraikan dalam bagian selanjutnya karena terkait dengan persoalan asas kebebasan dan asas keseimbangan dalam perjanjian standar. 3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank Perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku adalah perjanjian yang ditentukan secara sepihak oleh pihak Bank dan pihak nasabah debitur hanya dapat menerima atau menolak menandatangani perjanjian kredit tersebut. Tidak terbuka 96 ruang bagi debitur untuk melakukan perubahan klausul kredit baku yang disodorkan oleh pihak bank. Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank membatasi kebebasan nasbah debitur dalam tiga hal, yaitu : 1. Kebebasan dalan menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk tertulis. 2. Kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank. 3. Kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Sekalipun demikian perjanjian standar masih menyediakan ruang dalam hal kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Tidak terwujud sepenuhnya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti, penulis menemukan bahwa ketidakseimbangan tampak dari klausul-klausul standar di bawah ini yang dibuat secara sepihak oleh bank yang tidak mencerminkan asas keseimbangan karena memberatkan debitur, yaitu : 1. Klausul Perubahan Suku Bunga Kredit 2. Klausul Penarikan Fasilitas Kredit 97 3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit 4. Klausul Percepatan Pelunasan Utang Debitur 5. Klausul Eksekusi Barang Jaminan. Penjelasan mengenai klausul-klausul tersebut akan diuraikan dibawah ini sebagai berikut: 1. Klausul tentang perubahan suku bunga kredit Dalam kondisi perekonomian dan moneter yang rentan mengalami fluktuasi maka pihak bank menerapkan klausul yang memungkinkannya melakukan perubahan tingkat suku bunga secara sepihak untuk mencegah kerugian akibat gejolak moneter. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul tersebut terdapat pada Pasal 2 angka 3 yang menentukan ”Tanpa pemberitahuan kepada DEBITUR, BANK setiap saat berhak melakukan perubahan suku bunga kredit”. Pada Bank Mayapada klausul tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan : Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh Kreditur secara sepihak, sesuai tingkat suku bunga pada kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur. Debitur dengan ini memberi kuasa kepada kreditur untuk mengubah besarnya suku bunga tersebut sampai hutang debitur kepada kreditur lunas, bunga tersebut dihitung dari jumlah pinjaman debitur kepada Kreditur. Klausul penetapan suku bunga kredit ini adalah klausul eksonerasi yang merupakan satu sumber permasalahan dari suatu perjanjian baku yang bertujuan membebaskan bank dari akibat yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Adanya klausul semacam ini dapat memberatkan pihak debitur apabila suatu saat suku bunga kredit mengalami kenaikan. Bunga bank merupakan karakteristik dari produk bank. 98 Apabila pihak bank akan melakukan perubahan dari karakteristik produk bank, maka pihak bank diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada setiap nasabah yang sedang memanfaatkan produk bank (kredit) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum perubahan, penambahan dan/atau pengurangan pada karakteristik produk bank tersebut sebagai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk dan Penggunaan Data Nasabah. Bank Indonesia juga mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006 yaitu salah satunya berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi perkembangan perbankan nasional ke depan. Mengenai penetapan bunga juga diatur pula pada KUHPerdata yaitu sebagaimana pada ketentuan Pasal 1767 KUHPerdata yang menyatakan : Ada bunga menurut penetapan undang-undang, ada pula yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ialah bunga yang ditentukan oleh 99 undang-undang. Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang undangundang. Besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian harus dinyatakan secara tertulis. Dengan demikian penetapan bunga dalam perjanjian kredit harus dilakukan secara tertulis. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 sesungguhnya dapat digunakan untuk melakukan penetapan bunga secara tertulis dalam kredit perbankan karena memiliki waktu 7 (tujuh) kerja untuk melakukan perubahan tingkat suku bunga kredit. Hal ini tentu saja dengan catatan apabila debitur setuju terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut. Persetujuan debitur sangat penting bagi berlakunya perubahan suku bunga kredit oleh bank karena Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen melarang klausul baku yang menyatakan konsumen tunduk pada peraturan yang merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha. Klausul mengenai penentuan tingkat suku bunga secara sepihak menjadi persoalan karena dalam praktek perbankan tidak pernah menurunkan suku bunga. Dengan kata lain klausul perubahan tingkat suku bunga tersebut merupakan usaha pihak bank untuk memastikan bahwa nasabah setuju apabila bank menaikan suku bunga di tengah jalan akibat terjadinya suatu peritiwa yang dianggap dapat merugikan pihak bank apabila tingkat suku bunga tidak dinaikan. Disinilah titik soal tidak dipenuhinya asas keseimbangan dalam klausul bank mengenai perubahan trngkat suku bunga ini. Klausul ini semata-mata hanya untuk melindungi pihak bank sama sekali tidak memperhatikan kepentingan debitur. Tidak beralasan apabila beban 100 akibat kenaikan suku bunga yang dilakukan pemerintah dibebankan pada nasabah debitur. 2. Klausul Tentang Penarikan Fasilitas Kredit Dalam Perjanjian Kredit di BPR Lestari, klausul ini terdapat dalam Pasal 1 angka 2 yang menentukan “Bank berhak untuk mengurangi jumlah kredit tersebut setiap saat semata-mata menurut pertimbangan BANK, antara lain karena keadaan, karena perubahan nilai barang jaminan, atau karena keadaan likuiditas bank dan sebagainya”. Pada Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam Pasal 10 huruf d yang menentukan: Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh debitur untuk sewaktu-waktu menarik kembali sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur menilai bahwa Kreditur berada dalam keadaan yang tidak tepat atau kurang layak untuk meneruskan pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan kepada Debitur atau pihak lain. Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan diberitahukan secara tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus dibayar lunas oleh Debitur paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan Kreditur. Klausul tersebut di atas menunjukan ketidakseimbangan antara para pihak dalam perjanjian kredit, dimana pihak bank terlihat sangat dominan dalam perjanjian dengan melakuan tindakan pengurangan kredit tanpa harus memberi penjelasan apapun kepada debitur. Klausul ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan melarang pelaku usaha mencantumkan klausul baku yang menyatakan memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. 101 3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit Klausul ini selalu ada pada setiap perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit di BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal 6 angka 1, yaitu : Selama Perjanjian Kredit dimaksud di atas berlaku, maka barang jaminan harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, pencurian, atau bahaya lain yang dianggap perlu oleh BANK kepada Maskapai asuransi yang disetujui oleh BANK, dengan ketentuan premi asuransi dan biaya lain berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi tersebut (Bunker’s Clause). Untuk maksud tersebut BANK dengan ini diberi kuasa oleh DEBITUR untuk menutup dan memperpanjang asuransi tersebut, satu dan lain atas biaya DEBITUR dengan mendebetnya dalam rekening atau simpanan DEBITUR pada BANK. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul ini terletak pada Pasal 11 angka 1 yang menentukan: Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan Barang Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang dapat diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya, apabila Barang Jaminan telah memnuhi syarat sebagai objek asuransi) memberi kuasa kepada debitur untuk mengasuransikan Barang Jaminan pada perusahaan asuransi yang ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah tanggungan yang ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur sebagai yang berhak atas uang ganti rugi. Keberadaan klausul ini penting karena asuransi adalah bentuk pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Umumnya klausul ini digunakan oleh pihak bank sebagai pengalihan resiko kepada perusahaan asuransi apabila terjadi bencana. Tetapi pengalihan resiko tersebut dilakukan atas biaya yang dibebankan kepada debitur. Padahal yang mendapat 102 manfaat dari perlindungan asuransi tersebut bukan hanya nasabah, melainkan juga bank. 4. Klausul Tentang Percepatan Pelunasan Utang Debitur Klausul ini diadakan sebagai antisipasi kemungkinan debitur tidak memenuhi janji-janji yan telah disepakati dalam perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit di Bank Lestari klausul ini tercantum dalam Pasal 7 yang menentukan : Menyimpang dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 tersebut di atas, maka BANK berhak untuk sewaktu-waktu menghentikan atau memutuskan perjanjian kredit ini dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1268 KUHPerdata, BANK dan DEBITUR sepakat menyenyampingkan ketentuanketentuan tersebut di atas sehingga tidak memerlukan surat pemberitahuan (somasi) atau surat peringatan dari juru sita atau surat lain yang serupa itu. Dalam hal demikian seluruh hutang DEBITUR kepada BANK harus dibayar dengan seketika dan sekaligus, yaitu dalam hal terjadi salah satu dari kejadian di bawah ini : a. Bilamana DEBITUR menggunakan uang pinjaman tersebut menyimpang dari tujuan penggunaannya. b. Bilamana DEBITUR lalai atau tidak memenuhi syarat-syarat atau ketentuanketentuan yang dimaksud dalam Perjanjian Kredit ini dan/atau perubahan/perpanjangan dan/atau perjanjian-perjanjian pengikatan jaminan yang telah `ada maupun yang akan ditabuat di kemudian hari. c. Bilamana aktivitas rekening atau aktifitas usaha DEBITUR tidak menunjukan adanya kehiatan yang baik menurut pertimbangan BANK. d. Bilamana menurut pertimbangan BANK kedaan keuangan DEBITUR, bonafiditas, solvabilitasnya mundur sedemikian rupa sehingga DEBITUR tidak dapat membayar hutangnya lagi. e. Bilamana harta kekayaan DEBITUR atau penjamin baik seluruhnya atau sebagian disita. f. Bilamana harta kekayaan DEBITUR dan/atau pihak lain penanggung hutang DEBITUR (penjamin) dimintakan pernyataan pailit atau ia sendiri mengajukan permintaan itu dalam hal meminta atau mendapatkan penundaan pembayaran (sueseance van betaling) atau karena sebab apapun DEBITUR tidak berhak lagi mengurus dan menguasai kekayaannya atau dikenakan hukum penjara atau meninggal dunia. g. Bilamana debitur mengadakan penagihan atau pengoperan usaha atau mengadakan perubahan Anggaran Dasar, Perubahan Susunan Pemegang 103 h. i. j. k. Saham, Direksi dan Dewan Komisaris tanpa persetujuan tertulis terlebih dulu dari BANK Bilamana barang-barang jaminan untuk pemberian kredit inim usnah, berkurang nilainya baik sebagian atau seluruhnya atau karena sesuatu hal berakhir hak penguasaannya. Bilamana pernyataan-pernyataan, surat-surat, keterangan-keterangan yang diberikan DEBITUR kepada BANK ternyata tidak benar. Bilamana ijin-ijin usaha DEBITUR dicabut karena suatu sebab apapun juga dicabut, berakhir dan dinyatakan tidak berlaku lagi atau dibatalkan. Bilamana menurut pertimbangan BANK ada hal-hal lain yang meragukan pengembalian/pelunasan kredit tersebut. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tentang percepatan pelunasan utang debitur terdapat dalam Pasal 10 huruf d, yaitu sebagai berikut: Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk sewaktu-waktu menarik untuk sewaktu-waktu menarik sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur menilai bahwa Kreditur berada dalam keadaan tidak tepat atau kurang layak untuk meneruskan pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan kepada Debitur atau pihak lain. Penarikan semua/sebagian fasilitas tersebut akan diberitahukan secara tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus dibayar lunas oleh Debitur paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan oleh kemudian oleh Kreditur. Klausul diatas merupakan klausul yang mengatur mengenai bentuk-bentuk peristiwa yang secara sepihak dikategorikan oleh bank sebagai kelalaian. Kelalaian tersebut merupakan alasan bagi bank untuk membatalkan perjanjian kredit. Pembatalan yang dilakukan bank tersebut merupakan pembatalan sepihak. Pasal 1266 KUHPerdata menentukan 3 (tiga) syarat untuk memutuskan perjanjian, adanya persetujuan timbal balik, adanya kelalaian (wanprestasi dan putusan hakim). Tetapi keputusan bahwa debitur telah melakukan kelalaian tidak berada di tangan pihak bank. Hakimlah yang harus memutuskan apakah ingkar janji 104 daripada debitur cukup berat atau tidak untuk membatalkan perjanjian. Tetapi sebagaimana tercantum dalam klausul percepatan pembayaran utang debitur dalam Perjanjian Kredit BPR Lestari terdapat kata-kata ”...dengan mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata...” yang dimaksudkan oleh Kepala Bagian Legal BPR Lestari, Bapak I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka: a. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri. b. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Tetapi pengenyampingan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bukannya tanpa akibat hukum. Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPerdata). Yang dapat ditiadakan dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi dimasa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada 105 keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undangundang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Dengan demikian akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak mengembalikan keadaan seperti semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak. 5. Klausul Tentang Eksekusi Barang Jaminan Pada Perjanjian Kredit BPR Lestari klausul terdapat dalam Pasal 13, yang menetapkan: Bilamana BANK menjalankan hak-haknya dan hak-hak istimewanya baik berdasarkan ketentuan Undang-Undang maupun berdasarkan Perjanjian Kredit ini dan/atau perubahan/tambahan/perpanjangannya kemudian dan/atau berdasarkan salah satu Perjanjian Pengikatan/Pemberian Jaminan atau perjanjian-perjanjian lainnya yang dibuat berkenaan dengan Perjanjian Kredit ini, maka lewatnya tanggal waktu pembayaran akan cukup membuktikan KELALAIAN DEBITUR, sehingga tidak diperlukan pemberitahuan atau peringatan (somasi) terlebih dahulu dari BANK. BANK berhak untuk menetapkan berdasarkan catatan/pembukuannya jumlah hutang DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian Kredit dimaksud di atau karena sebab apapun baik karena pokok maupun bunga, provisi, aksep dan biaya-biaya lainnya. Dengan ketentuan itu setelah dilakukan penjualan atau pelelangan tersebut melebihi seluruh hutang DEBITUR maka kelebihan mana akan dikembalikan kepada DEBITUR tanpa hak bagi DEBITUR untuk menuntut bunga atau ganti rugi atau ganti rugi berupa apapun juga terhadap BANK. Sedangkan jika ternyata belum cukup untuk melunasi hutang DEBITUR kepada BANK maka kekurangannya ini tetap menjadi tanggung jawab DEBITUR untuk melunasinya. 106 Pada perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam Pasal 8 yang menentukan : Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun surat-surat lain yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur tersebut, Debitur wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan oleh Kreditur yang dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh Debitur kepada Kreditur. Barang-barang yang dapat dijadikan jaminan dapat berupa barang bergerak dan barang tak bergerak. Pembedaan antara kedua jenis barang jaminan tersebut akan menentukan jenis dan bentuk pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda tersebut dalam perjanjian kredit. Jamian berupa barang bergerak bentuk pengikatannya berupa fidusia yang diatur dalam Fidusia. Jaminan berupa benda tak bergerak (tanah dan bangunan) bentuk pengikatannya berupa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UUHT). Pembebanan Hak Tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang debitur kepada pihak bank sebagai pemegang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 20 UUHT ayat (1) yang mentukan agar penjualan melalui pelelangan umum. Pasal 20 ayat (1) UUHT menyatakan apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT. 107 b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya. Tetapi penjualan tidak harus melalui pelelangan. Apabila terjadi kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT yang menyatakan ”Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Dengan demikian penjualan di bawah tangan atas objek Hak Tanggungan harus berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun dapat terjadi kemungkinan dimana kespeakatan itu tidak tercapai karena berbagai alasan, misalnya, debitur tidak berniat baik, maka tidak mendapat kesulitan menjual sendiri agunan secara dibawah tangan maka didalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk menjual jaminan tersebut secara di bawah tangan. Jual-beli itu sah saja, namun apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan harga jauh di bawah harga wajar, maka pemberi Hak Tanggungan dan debitur (dalam hal ini debitur bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan 108 kepada Bank. Gugatan tersebut bukan ditujukan pada penjualan tetapi pada penjualan yang dinilai tidak wajar. Dalih yang dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas itikad baik. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah tangan atas objek Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitdikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Dalam hak benda yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit adalah benda bergerak maka yang berlaku adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889, selanjutnya disebut UU Fidusia) yang mengatur cara atau model eksekusi atas benda yang dujadikan jaminan fidusia. Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia menetapkan : Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada Kreditur baru. 1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) oleh penerima fidusia. 2. Penjualan yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. 109 3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga terttinggi yang menguntungkan para pihak. Dengan demikian undang-undang menuntut agar penjualan objek Hak Tanggungan dan penjualan objek fidusia secara di bawah tangan harus merupakan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia. Penjualan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan para pihak. Penjualan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat satu bulan setelah diberikan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya di dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UU Fidusia adalah batal demi hukum. Berdasarkan uraian mengenai klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian kredit dua bank yang telah diteliti oleh penulis maka tampak jelas bahwa perjanjian kredit pada kedua bank tersebut tidak memenuhi asas keseimbangan suatu perjanjian. Hal itu bertentangan dengan raison d’etre terjadinya suatu perjanjian, yaitu kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang berada pada posisi atau kedudukan seimbang. Apabila kedudukan para pihak dalam perjanjian tidak seimbang, maka pihak yang kuat dapat menekan pihak yang lemah dengan menentukan secara sepihak isi perjanjian, yang tentu saja menguntungkan pihak yang kuat tersebut. 110 Dalam menganalisis keseimbangan berkontrak dalam hubungan antara bank dengan debitur, dapat disimpulkan bahwa keseimbangan para pihak akan terwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat. Oleh karena itu, dengan membiarkan hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak seringkali akan menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada posisi yang lemah. Dengan demikian perlu adanya campur tangan dari Negara untuk melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu atau dilarang dalam suatu kontrak. Berdasarkan uraian di atas maka asas keseimbangan dalam perjanjian kredit antara bank dan debitur dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak. Apabila dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas keseimbangan merupakan asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia. Terkait dengan klausul dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari, ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang mengandung kewajiban bagi debitur dan hanya satu klausul yang menyangkut hak debitur yaitu hak untuk mendapat pinjaman sejumlah yang telah disepakati. Sedangkan dari sudut pandang bank, hanya satu klausul yang mengatur kewajiban 111 bank, yaitu wajib memberikan kredit sejumlah yang telah disepakati kepada debitur. Tetapi ada banyak klausul yang menentukan hak pihak bank. Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. Untuk itu pihak debitur perlu diberdayakan dan diseimbangkan posisi tawarnya sehingga asas keseimbangan yang bermakna ”equal equilibrium” akan berkerja dan memberi keseimbangan kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Tujuan asas keseimbangan adalah menempatkan posisi para pihak seimbang dengan menentukan hak dan kewajibannya. Apabila perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari dianalisis menggunakan Teori Keadilan menurut John Rawl maka hubungan antara Bank Mayapada dan BPR Lestari dengan masing-masing debitur adalah hubungan kontraktual yang kurang mencerminkan asas keadilan. Keadilan hanya dapat dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice as fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. 112 Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls seperti yang telah diuraikan pada Bab I sub bab Landasan Teoritis diatas. Ketidaksesuaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Memaksimalkan kemerdekaan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari kemerdekaan debitur tidak maksimal karena dibatasi dalam hal cara menentukan bentuk perjanjian, terbatas dalam hal cara, dan terbatas dalam menentukan isi perjanjian dan. 2. Kesetaraan bagi semua orang. Kedudukan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari sangat tidak setara karena debitur dibebani banyak tanggung jawab dan hanya sedikit hak, kebalikannya dari pihak bank, yang dibebani sedikit kewajiban tetapi diberi banyak hak. 3. Prinsip kesamaan kesempatan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari pihak bank maupun pihak debitur mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan. Namun perlu ditegaskan bahwa prinsip kesamaan menurut John Rawls tidak mengacu pada kesamaan dalam memperoleh hasil melainkan kesetaraan kedudukan dan hak dalam suatu hubungan kontraktual. Sekalipun terjadi kesamaan dalam mendapatkan hasil dari kredit yang disalurkan namun 113 perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak mencerminkan keseteraaan kedudukan dan hak antara debitur dan kreditur. Rangkuman dari pembahasan Bab III yang merupakan hasil penelitian dengan wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Ni Komang Purnama Dewi dan Kepala Bagian Kredit BPR Lestari I Nyoman Suardana ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. 2. Ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang mengandung kewajiban bari debitur dan tidak ada klausul yang secara tegas menyatakan hak debitur. Sedangkan dari sudut pandang bank, tidak ada klausul yang secara tegas menyatkan kewajiban bank. Tetapi ada banyak klausul yang menentukan hak pihak bank. 3. Asas keseimbangan dalam perjanjian kredit anatara bank dan debitur dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak. Apabila dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak 114 yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas keseimbangan merupakan asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia. Konsekuensi dari kedudukan para pihak tidak seimbang adalah pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausulklausul tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Penerapan klausul-klausul tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang lebih lemah dalam hal ini debitur, yang biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan. 115 BAB IV STANDARD CONTRACT DALAM MEMBERIKAN KREDIT MENCERMINKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK Isi bab ini mendeskripsikan hasil wawancara mengenai asas kebebasan berkontrak para pihak dalam perjanjian kredit perbankan yang menggunakan kontrak standar. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni Komang Purnama Dewi tanggal 17 Februari 2014 disebutkan : 1. Penandatangan perjanjian kredit yang dilakukan Bank Mayapada dan debitur menunjukkan bahwa perjanjian kredit tersebut mengandung kebebasan masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Selain itu pihak bank dan nasabah debitur juga memiliki kebebasan dengan siapa hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. 2. Hal ini karena sebelum terjadi kesepakatan kredit, pihak bank memberi kesempatan pada pihak debitur untuk membaca dan memahami klausulklausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014 dinyatakan: 1. Sekalipun para pihak memiliki kebebasan dalam mengadakan kontrak namun perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam 115 116 hal menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Kebebasan yang terjadi dalam perjanjian kredit untuk menentukan apakah akan mengadakan perjanjian atau tidak dan kebebasan dengan siapa akan mengadakan perjanjian sebagaimana diuraikan di atas merupakan kebebasan yang paling hakiki dalam suatu perjanjian. Selain itu pula kebebasan dalam perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian. Tetapi karena tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja harus ada pembatasan terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit karena : Pertama, pembatasan tersebut dilakukan agar perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. 117 Pasal 1338 KUHPerdata menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undangundang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila kebebasan dalam berkontrak dilakukan secara tanpa batas akan mengakibatkan kekacauan dalam hal ketertiban umum. Kedua, apabila kebebasan berkontrak tidak dibatasi maka semua orang akan membuat perjanjian dengan kausa yang tidak halal atau kausa yang melanggar undang-undang, mencapai kesepakatan dengan cara menipu sebagaimana dilarang Pasal 1320 KUPerdata atau melakukan perjanjian tanpa itikad baik yang dilarang oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Penerapan asas kebebasan berkontrak bagi debitur dalam perjanjian kredit dengan standard contract oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari tercermin dengan adanya kebebasan antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian. Selain itu masing-masing bank dan nasabah debitur memiliki kebebasan dengan siapa hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Sebelum terjadi kesepakatan kredit, pihak Bank memberi kesempatan kepada debitur untuk membaca dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak oleh pihak Bank. Apabila para pihak sepakat maka terjadilah perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian pihak debitur memiliki kebebasan untuk menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank Mayapada dalam suatu perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk mengikatkan diri dalam 118 perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya debitur menjalankan kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan mengadakan perjanjian. Tetapi perjanjian kredit bank membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam hal kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan dalam perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian. 4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract (Kontrak Baku) Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam membuat perjanjian sebagaimana yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun yang dimaksud dengan pasal tersebut adalah bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dimana perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak. Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu 119 akan mengikat orang yang membuat perjanjian, sebagaimana mengikatnya undangundang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan". Kata "semua" mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undangundang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Kemudian dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut itu ditarik kesimpulan bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian sepanjang tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuanketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. Bukan hanya leluasa untuk membuat perjanjian, subyek yang membuat perjanjian bahkan diperbolehkan mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam dalam KUHPerdata sebagaimana yang tercermin dalam Perjanjian Kredit di BPR Lestari yang menyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata terkait pemutusan perjanjian kredit secara sepihak. Pengecualian ketentuan-ketentuan 120 dalam KUHPerdata tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system). Dengan adanya asas kebebasan ini maka kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank menyediakan ruang dalam hal kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Ruang bagi dua jenis kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku tersebut terkait erat dengan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut Sutan Remy Sjahdeini, yaitu84 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian; Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya; Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian; Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun kebebasan berkontrak di atas tidak dapat berlaku tanpa batas. Terkait dengan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan akibat berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya menekan akibat buruk dari diberlakukannya klausul eksonerasi dalam perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest). Dalam hukum kontrak, 84 Sutan Remy Sjahdeini, loc.cit. 121 kedua pembatasan tersebut terwujud dalam UU Perlindungan Konsumen dan asas itikad baik yang terkandung dalam KUHPerdata. Terkait dengan pembatasan oleh UU Konsumen, maka sebelumnya telah diuraikan secara panjang lebar mengenai klausul baku yang dilarang dicantumkan dalam perjanjian baku sebagaimana ketentuan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Sementara itu pembatasan terhadap penggunaan klausul baku dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh KUHPerdata terkait dengan asas itikad baik dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya itikad baik maka perjanjian kredit dengan klausul baku tidak dapat berlaku. Ada dua pengertian itikad baik dalam KUHPerdata, yaitu: 1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. 2. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa 122 kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. Penandatangan perjanjian kredit oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari dengan masing-masing debitur yang bersangkutan menunjukkan adanya kebebasan antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian. Selain itu masingmasing bank dan debitur memiliki kebebasan dengan siapa hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Menurut Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Internasional Cabang Denpasar (selanjutnya disebut bank Mayapada) Ibu Ni Komang Purnama Dewi dalam wawancara tanggal 17 Feburari 2014, sebelum terjadi kesepakatan kredit, pihak Bank Mayapada memberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membaca dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak oleh pihak Bank Mayapada. Apabila para pihak sepakat maka terjadilah perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian debitur memiliki kebebasan untuk menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank Mayapada dalam suatu perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya debitur menjalankan kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan mengadakan perjanjian. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam perjanjian kredit dengan klausul baku para pihak memiliki kebebasan menyangkut keputusan apakah akan mengadakan perjanjian atau tidak dan dengan siapa akan mengadakan perjanjian, 123 tetapi perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam hal kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan dalam perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian. Akan tetapi sekalipun memiliki keterbatasan namun perjanjian kredit bank dengan klausul baku pada hakekatnya telah memenuhi asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana dikatakan Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, kebebasan dalam perjanjian kredit untuk menentukan apakah akan mengadakan perjanjian atau tidak, kebebasan dengan siapa akan mengadakan perjanjian merupakan kebebasan yang paling hakiki dalam suatu perjanjian. Tetapi karena tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja harus ada pembatasan terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan dalam perjanjian kredit dengan klausul baku diatasi oleh dua hal, yaitu: 1. Pembatasan filosofis sebagaimana yang ditentukan oleh asas itikad baik yang terkandung dalam ketentuan KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja 124 pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya. 2. Pembatasan praktis sebagaimana ditentukan UU Perlindungan konsumen. Tidak seperti ketentuan KUHPerdata yang merupakan batasan longgar bagi kebebasan membuat perjanjian dengan klausul baku maka Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen memberi batasan yang relatif lebih ketat dalam penggunaan klausul baku. 4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak ada larangan terhadap perjanjian dengan klausul baku. UU Perlindungan Konsumen hanya melarang penggunaan beberapa penggunaan klausul baku dalam hal tertentu sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Adapun klausul baku yang dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen adalah : 125 a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan ini berkaitan dengan Pasal 27 huruf e UU Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila lewat empat tahun sejak barang (atau jasa) dibeli atau lewat dari jangka waktu yang diperjanjikan. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. Pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang sudah diterimanya atas barang tersebut, asalkan pengembalian barang tersebut disertai alasan yang dibenarkan oleh hukum. c. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Ketentuan pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak adalah tidak adil selain dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen. d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. Pengaturan perihal pembuktian atas hilangnya barang yang dibeli konsumen cenderung merugikan 126 konsumen karena pengaturan seperti ini dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha. e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. Dalam perjanjian kredit bank ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan yang menyatakan pihak bank berhak mengurangi plafond kredit yang telah disetujui atas dasar penilaian bank bahwa kemampuan berkurang untuk membayar kredit sesuai yang diperjanjikan. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa. Larangan terhadap hal ini sudah tepat karena member keadilan pada konsumen. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Apabila dikaitkan dengan perjanjian kredit bank ketentuan ini menyangkut ketentuan yang memberi wewenang pada bank untuk melakukan perubahan suku bunga kredit apabila diharuskan oleh keadaan ekonomi tertentu. Dapat dipastikan pihak bank tidak akan mengikuti adanya larangan terhadap ketentuan ini karena apabila diikuti akan mengakibatkan bank mengalami 127 kerugian apabila terjadi keadaan yang mengharuskan bank menaikan suku bunga, seperti kondisi krisis moneter. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut diatas akan mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen. Batal demi hukum artinya adalah sejak semula perjanjian dengan klausul baku tersebut tidak pernah ada. Dengan kata lain suatu perikatan tidak pernah dilahirkan. Pengertian batal demi hukum berbeda dengan pengertian dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Perjanjian dengan klausul baku tidak hanya mendapat akibat hukum batal demi hukum apabila melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Batal demi hukum juga terjadi apabila perjanjian dengan klausul baku tidak dapat memenuhi syarat objektif suatu sesuai yang diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan apabila syarat subjektif terpenuhi, yaitu tidak cakap atau bebas dalam membuat perikatan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan. 128 Apabila dikaitkan dengan klausul perjanjian Bank Mayapada dan BPR Lestari yang telah diuraikan di atas maka ada beberapa klausul yang rentan mendapat akibat hukum batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yaitu: 1. Klausul yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada klausul ini terdapat dalam Pasal 10 huruf d. Ketentuan tersebut menetapkan bahwa Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh kreditur untuk sewaktu-waktu menarik kembali sebagian/semua fasilitas kredit tersebut jika kreditur menilai kreditur berada dalam keadaan yang tidak tepat atau kurang layak meneruskan pemberian kredit tersebut. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul pemberian kuasa tersebut terdapat dalam Pasal 11 huruf a, yaitu “Debitur memberi kuasa pada bank untuk mendebet dan mempergunakan dana yang tersimpan pada bank, baik rekening/tabungan/deposito milik debitur guna pembayaran angsuran dan bunga”. Klausul pemberian kuasa lainnya yang terdapat dalam perjanjian kredit BPR Lestari terdapat dalam Pasal 12 yaitu “Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa menjamin ulangkan (dengan cara apapun) piutang kreditur terhadap debitur berikut barang jaminan kepada Bank Indonesia dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh Kreditur”. 129 Pemberian kuasa untuk mengambil segala tindakan sepihak terkait kredit yang telah diberikan adalah tidak adil dan tergolong sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen. Pemberian kuasa dalam perjanjian kredit BPR Lestari tidak hanya terdapat dalam Pasal 11 huruf a, melainkan juga dalam Pasal 11 huruf b yang menyangkut pemberian kuasa dalam hal membuat dan menandatangani perjanjian utang murni. 2. Klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Klausul dalam Pasal 10 huruf d perjanjian kredit Bank Mayapada tersebut di atas juga dapat dikategorikan sebagai klausul pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul pengalihan tanggung jawab terdapat dalam Pasal 1 angka 3, yaitu “Bank berhak mengurangi jumlah kredit tersebut setiap saat semata-mata menurut pertimbangan bank, antara lain karena keadaan, karena perubahan nilai barang jaminan atau karena keadaan likuiditas bank dan sebagainya”. 3. Pengalihan tanggung jawab dalam klausul perjanjian kredit di bank Bank Mayapada dan BPR Lestari tersebut merupakan pengalihan tanggung jawab pihak bank terhadap suatu kejadian yang mengakibatkan munculnya potensi kerugian. Klausul yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal 130 12, yaitu “Debitur dengan ini berjanji akan tunduk kepada segala ketentuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada bank, baik yang berlaku sekarang maupun di kemudian hari”. Kebebasan untuk membuat perjanjian kredit dengan klausul baku tidak dapat dilakukan tanpa batas. Batas tersebut adalah ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Sekalipun beberapa klausul dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari dapat dikategorikan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) namun perjanjian kredit tersebut dapat dikategorikan telah memenuhi syarat objektif dan subjektif sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subjektif menyangkut subyek perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak dalam perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian telah dapat dipenuhi karena para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tersebut telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas karena tidak didasarkan atas paksaan, kekhilafan dan penipuan. Paksaan dalam kaitan ini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychics), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan 131 tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensinya, tak cukup kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat. Apabila perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari melanggar syarat subyekyif maka pembatalan atas perjanjian tersebut dapat dimintakan kepada hakim. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454 KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Cara untuk meminta pembatalan perjanjian dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut : 132 1. Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim upaya perjanjian itu dibatalkan. 2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut, kemudian mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, atau karena diancam, ditipu atau khilaf mengenai objek perjanjian. Didepan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya. Selain itu perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari telah memenuhi syarat objektif suatu perjanjian karena telah memenuhi adanya objek perjanjian atau suatu hal tertentu dan perjanjian tersebut disarkan atas kausa yang halal karena tidak dilarang oleh undang-undang. 4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Dengan Standard Contract Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak karena para pihak bebas menentukan apakah akan membuat perikatan atau tidak dan bebas untuk menentukan dengan siapa akan membuat perikatan. Akan tetapi terdapat pembatasan kebebasan terhadap debitur yaitu dalam hal pembuatan perjanjian dengan klausul baku atau standar, pembatasan dalam membuat isi perjanjian, bentuk perjanjian dan cara pembuatan perjanjian tersebut. Sedangkan pembatasan terhadap pihak bank 133 selaku kreditur tidak menyangkut kebebasan dalam hal-hal yang disebutkan di atas melainkan pembatasan terhadap penerapan klausul standar sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Selain itu adapula pembatasan secara filosofis yaitu perjanjian harus didasarkan atas itikad baik sebagaimana diharuskan oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik". Dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak didasarkan atas itikad buruk para pihak terhadap satu sama lainnya. Untuk dapat mengambil kesimpulan apakah perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak maka perjanjian kredit tersebut harus dianalisa menggunakan lingkup kebebasan berkontrak menurut Sutan Remi Sjahdeini, yaitu: 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, para pihak yang terikat dalam perjanjian kredit tersebut memiliki kebebasan apakah akan membuat atau tidak membuat perjanjian. Tidak ada pihak yang dipaksa untuk membuat perjanjian dan pihak yang mempunyai kedudukan lebih lemah (debitur) sepakat untuk membuat perjanjian dengan pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat (bank) sekalipun isi perjanjian telah ditentukan secara baku oleh pihak bank tersebut. Dengan demikian perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sepakat membuat perikatan. 134 2. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian Para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari bebas menentukan dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. Pada saat perjanjian kredit ditandatangani oleh para pihak maka masing-masing dari mereka telah memutuskan dengan siapa hendak membuat perjanjian. Nasabah (debitur) Bank Mayapada memilih bersepakat dengan Bank Mayapada selaku kreditur. Begitu pula sebaliknya pihak Bank Mayapada memilih membuat perjanjian dengan debitur tertentu. Hal yang sama berlaku pula untuk BPR Lestari dan debiturnya. 3. Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya Baik Bank Mayapada dan debiturnya serta BPR Lestari dan debiturnya bebas memilih kausa perjanjiannya, dalam hal ini kausa yang dipilih yaitu perjanjian kredit bank. 4. Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling tidak objek perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari. Dalam hal perjanjian kredit bank maka objek perjanjian adalah benda berwujud yaitu uang yang merupakan kredit bank yang diberikan pihak bank selaku debitur kepada debiturnya. Dalam hal ini para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kredit bank telah secara bebas menentukan 135 bahwa objek dari perjanjian dimana mereka mengikatkan diri adalah uang yang merupakan kredit. 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian Perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari adalah perjanjian yang berbentuk tertulis yang sudah dibakukan atau perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Dalam hal ini perjanjian kredit Bank Mayapada dan perjanjian kredit BPR Lestari tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak karena bentuk perjanjian kredit tersebut tidak ditentukan secara bebas oleh masing-masing, melainkan telah ditentukan oleh pihak bank sebagi pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih kuat. Pihak debitur yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah secara ekonomi hanya dapat menerima saja bentuk perjanjian yang telah ditentukan pihak bank tersebut. Dari segi kepastian hukum, perjanjian tertulis jauh lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan karena mengingat perjanjian tertulis dapat menjadi bukti otentik menurut hukum. 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Hal ini berarti asas kebebasan berkontrak memungkinkan orang menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh Undang-Undang, 136 yakni Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak bernama. Artinya bahwa undang-undang tidak memberi nama khusus terhadap perjanjian tersebut. Berbeda dengan perjanjian tak bernama, perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undangundang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dimasyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Adapun yang merupakan kontrak bernama menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut : a. Kontrak jual-beli terdapat dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. b. Kontrak tukar-menukar, mulai dari Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata. c. Kontrak sewa-menyewa, mulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. d. Kontrak persetujuan untuk melakukan pekerjaan, mulai dari Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata. 137 e. Kontrak perseroan, mulai dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata. f. Kontrak perkumpulan, mulai dari pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata. g. Kontrak hibah, mulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUHPerdata. h. Kontrak penitipan barang, mulai dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUHPerdata. i. Kontrak pinjam pakai, mulai dari Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1743 KUHPerdata. j. Kontrak pinjam mengganti, mulai dari Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata. k. Kontrak bunga tetap atau bunga abadi, mulai dari Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata. l. Kontrak untung-untungan, mulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUHPerdata. m. Kotrak pemberian kuasa, mulai dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. n. Kontrak penanggungan utang, mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. 138 o. Kontrak perdamaian, mulai dari Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Dengan demikian perjanjian kredit, termasuk perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, merupakan wujud dari kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional karena perjanjian kredit bank tergolong sebagai perjanjian tak bernama. KUHPerdata tidak memberi nama secara khusus terhadap perjanjian kredit bank. Berdasarkan uraian mengenai lingkup kebebasan berkontrak di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak. Ketidakbebasan itu terjadi dalam hal menentukan bentuk perjanjian karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pembatasan kebebasan berkontrak dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan perjanjian harus didasarkan atas itikad baik, serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen melarang penggunaaan klausul tertentu yang apabila dilanggar perjanjian kredit dengan klausul baku berakibat batal demi hukum. 139 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan analisis dalam bab-bab sebelumnya terhadap permasalahan yang dikaji dalam tesis ini, maka disimpulkan sebagai berikut: 1. Perjanjian kredit bank yang dalam hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari yang memuat klausul baku (standard contract) kurang mencerminkan asas keseimbangan. Klausul baku (standard contract) yang termuat dalam perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung berat sebelah, karena banyak terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tersebut. 2. Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan 139 140 berkontrak terjadi hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, dan kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk dari perjanjian yang akan dibuat, karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. 2. Saran-saran. Bertitik tolak dari kesimpulan tersebut di atas maka disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bank diharapkan lebih memperhatikan kepentingan debitur tanpa mengesampingkan faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang dicantumkan dalam perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah dibaca sehingga debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari klausul baku tersebut. Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja perbankan dengan menerapkan good corporate governance, salah satunya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak (contract drafting) bagi karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga nantinya dapat membuat perjanjian kredit bank yang mencerminkan 141 keseimbangan kedudukan antara bank dan debitur tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak. 2. Nasabah debitur diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan mencermati perjanjian kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu dan akibat hukum yan ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi dengan pihak bank atau pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar dari akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri. 142 DAFTAR PUSTAKA a. Buku-buku : Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Artadi, I Ketut, dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dan Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Badrulzaman, Mariam Darus, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. , 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku, Binacipta, Jakarta. _____ , 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung. ______, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. ______, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bahsan, M, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Cohen, Morris L and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America. Dewi, Gemala, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta. Donnelly, Jack, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca: Cornell University Press. Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara. 142 143 Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England. Fuady, Munir, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Cet.II, Jakarta. , 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya, Buku I, Jakarta. Gautama, Sudargo, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung. Gazali, Djoni.S, dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta. Hasan, Djuhaendah, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta. Hatta, Sri Gambir Melati, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni Bandung. Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ibrahim, Johanes dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung. Johan Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. Longdong, Tineke Louise Tuegeh, 1998, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika. Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 144 Miru Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press, Jakarta. _____ , 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi konsumen di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan dan Perdagangan, Citra Aditya, Bandung. ______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. Saliman, Abdul S, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada, Jakarta. Setiawan, R, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung. , 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung. Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Cetakan 2 : Edisi Revisi Juli 2011, Kontang Publishing. Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Spagnola, Linda A, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and Practival Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States. Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian, St. XIV, Intermasa, Jakarta. ______, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta. Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Cetakan III, Jakarta. 145 Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. Suyatno, Thomas, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta. Syahrani, Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. Ujan, Andre Ata, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik Jhon Rawls), Kanisius, Yogyakarta. Vickery, Roger, and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law Principle & Applications, Pearson Education Australia. b. Makalah Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004. , 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya),” Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal 10 Mei 2013. c. Majalah/Jurnal Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, “Azas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Perjanjian Standar (Standard)” dalam majalah Media Notariat No. 2829 Tahun VII Juli-Oktober. Sriwati, 2000, “Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku”, Majalah Yustika Voume III tanggal 2 Desember. d. Internet Dewa e. Wiguna, 2013, “Penyaluran Kredit di Bali www.bali.antaranews.com diunduh 3 Desember 2013. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Belum Merata”, 146 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW) Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3). DAFTAR RESPONDEN 1. Nama : Ni Komang Purnama Dewi, SH Umur : 46 tahun Jabatan: Kepala Legal PT. BANK MAYAPADA INTERNASIONAL, Tbk Cabang Denpasar. Alamat : Jalan Thamrin, Denpasar-Bali 2. Nama : I Komang Suardana Umur : 50 tahun Jabatan: Kepala Legal PT. BPR Sri Artha Lestari Alamat : Jalan Teuku Umar Denpasar Bali