penerapan standard contract dalam perjanjian kredit

advertisement
TESIS
PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR
NI KADEK FEMY YULISTIAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR
NI KADEK FEMY YULISTIAWATI
NIM.1092461009
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister
Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KADEK FEMY YULISTIAWATI
NIM. 1092461009
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL : 07 Juli 2014.
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof.Yohanes Usfunan,Drs.,SH.,MH.)
NIP. 19551126 198511 1 001
(Ida Bagus Putra Atmadja,SH.,MH.)
NIP. 19541231 198303 1 018
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
(Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH.) (Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19650221 199003 1 005
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal: 04 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana,
Nomor : 1861 / UN14.4 / HK / 2014
Tanggal 20 Juni 2014
Ketua
: Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,, SH., MH.
Anggota
: 1. Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH.
2. Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.
3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LLM.
4. Dr. I Made Udiana, SH., MH.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :
Nama
: NI KADEK FEMY YULISTIAWATI
NIM
: 1092461009
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Penerapan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank
Terhadap Debitur
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Mei 2014
Yang membuat pernyataan
(Ni Kadek Femy Yulistiawati)
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Penerapan Standard Contract
Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur”. Dalam penulisan tesis ini,
penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis
semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar
Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes
Usfunan, Drs., SH., MH., selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis
ucapkan kepada Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH selaku Pembimbing Kedua
yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
vi
besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH selaku dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama,
SH.,MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu kepada penulis, Bapak dan Ibu seluruh staff dan
karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah
membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga penulis tujukan
kepada Ayah tercinta I Nyoman Madra BA, dan Ibu Dra. Luh Sartini, serta kakak
dan adik tersayang Luh Feby Purnamayanthi, SE dan I Komang Pramana Sanjaya,
beserta seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya selama ini.
Terimakasih kepada Made Bisama Widura, SH, yang selalu sabar dan
tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesis ini. Terimakasih
kepada sahabat Putu Deviyanti Sugitha, SH, Made Irpiana Prahandari, SH, Desak
Putu Thiarina Agastia Mahaswari, SH, I Putu Sugandika, SH., M.Kn, serta
seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana
yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis
ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak I Wayan Sugitha, SH,
yang selalu memberikan motivasi, dorongan, saran dan kritik selama proses
penulisan tesis ini, serta terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menerapkan ilmu prakteknya pada kantor beliau.
vii
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat.
Denpasar, 10 Mei 2014
Penulis
viii
ABSTRAK
PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT
BANK TERHADAP DEBITUR
Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena
berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan
kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku
sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit. Seiring dengan
perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul aneka jenis
perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard contract).
Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah perwujudan asas
keseimbangan dalam standard contract antara bank dan debitur, apakah
penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit mencerminkan
asas kebebasan berkontrak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang
menjelaskan kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan
yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam
perjanjian kredit oleh pihak bank. Sifat penelitian adalah deskriptif. Data dan
sumber data primer, data sekunder dan bahan hukum tersier yang terdiri dari
kamus dan ensiklopedi. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan teknik
pengolahan data secara kualitatif dan penyajiannya dilakukan dengan jalan
menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan.
Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada
dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku cenderung berat sebelah.
Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala
petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur
kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak
menyatakan hak pihak bank. Sementara itu kewajiban pihak bank hanya
memberikan kredit sejumlah telah yang dijanjikan. Berdasarkan lingkup
kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu perjanjian maka perjanjian kredit
Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan
berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.
Kebebasan berkontrak terjadi adalah dalam lingkup kebebasan untuk membuat
atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia
ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan
dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat
ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk
perjanjian. Bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh
pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku.
Kata Kunci: Perjanjian Kredit Bank, Standard Contract.
ix
ABSTRACT
ADOPTION OF STANDARD CONTRACTS IN BANK LOAN AGREEMENTS
TOWARDS DEBTORS
A loan agreement plays an important role in channeling loans because it
functions as a principal agreement that determines the scopes of rights and
obligations of creditors and debtors. In addition, a loan agreement also functions
a monitoring tool in channeling loans. In line with the development of trade and
finance sectors, there are various loan agreements, including standard contracts.
The questions of this study are: how fairness principles are applied in standard
contracts among banks and debtors and does the adoption of standard contracts
by banks in channeling loans reflect freedom principles in concluding contracts.
This study is categorized into empirical legal research that
explains/describes the gap between theory (das solen), namely provision of article
1338 paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia that reflects
freedom principle in concluding contracts and the existing facts or practices (das
sein), namely the adoption of standard agreements in loan agreements by banks.
The primary data, secondary data and secondary legal data resources of this
descriptive study come from dictionaries and encyclopedias. The data were
processed and analyzed by using the qualitative data processing technique and
then presented systematically so that conclusions could be withdrawn.
The conclusions show that loan agreements of Mayapada Bank and BPR
Lestari Bank containing standard clauses that tend to be biased or one-sided.
There are a number of clauses requiring customers to comply with the applicable
rules and regulations of banks, including the existing ones and those that will be
issued in the future. The clauses in the said loan agreements also contain/describe
a lot of rights on the bank sides. Meanwhile, the bank obligations are only to
provide the loans as per the agreement. Based on the scopes of freedom that have
been applied in agreements, the loan agreements of Mayapada Bank and BPR
Lestari Bank do not fully apply freedom principles in concluding contracts
because they are restricted by the provisions of article 1320 and article 1338
paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia and article 18
paragraph (1) of Customers Protection Law. The freedom to conclude contracts is
just within the scope of whether to conclude or not to conclude agreements,
freedom to choose to whom to conclude contracts, freedom to choose agreement
clauses that will be concluded and freedom to receive and deviate from provisions
of law that are optional (aanvullen, optional). However, there are not any
freedoms in concluding agreements, namely in determining the forms of
agreements. The forms of loan agreements have been determined unilaterally by
bank sides, namely standard written agreements.
Keywords: Bank Loan Agreement, Standard Contract.
x
x
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai penerapan standard contract dalam
perjanjian kredit bank terhadap debitur, terkait dengan penerapan asas kebebasan
berkontrak dan asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank tersebut.
Bab I menguraikan mengenai
ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang merupakan asas kebebasan berkontrak seringkali tidak sesuai
dengan kenyataan yang berlaku dalam sistem perbankan Indonesia yang
menerapkan perjanjian standar dalam pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi
kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan yang
berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam
perjanjian kredit oleh pihak bank. Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola
hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit
sebagai perjanjian standar (standard contract) sudah lama menjadi masalah yang
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak
pada klausul-klausulnya ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan
secara massal pada konsumen. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut
maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II menguraikan mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan
standard contract dan perjanjian kredit. Konsep-konsep yang berkaitan dengan
standard contract yaitu hakekat dan dasar hukum kontrak, keabsahan kontrak,
bentuk-bentuk perjanjian, perjanjian baku atau kontrak standar, perjanjian standar
dan asas kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan perjanjian kredit yaitu hakekat perjanjian
kredit, kriteria perjanjian kredit, asas-asas perjanjian kredit, bentuk-bentuk
perjanjian kredit.
Bab III merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan pertama
yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang klausul-klausul dalam
standard contract kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, keabsahan standard
contract dalam perjanjian kredit bank, perwujudan asas keseimbangan dalam
perjanjian kredit bank. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian
kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku
cenderung berat sebelah. Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk
tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau
yang akan diatur kemudian. Sedangkan dari pihak bank, terdapat banyak klausul
dalam perjanjian kredit yang menyatakan hak bank, sementara itu hanya ada satu
klausul yang menyebutkan kewajiban pihak bank yaitu memberikan kredit
sejumlah telah yang diperjanjikan.
Bab IV merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan kedua yang
diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang kebebasan berkontrak dalam
pelaksanaan standard contract perjanjian kredit antara bank dan debitur, akibat
hukum dari klausul baku, pembatasan kebebasan berkontrak dalam perjanjian
kredit bank dengan standard contract. Hasil dari penelitian ini adalah perjanjian
xi
kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas
kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi dalam lingkup kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak
siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian
yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan tentang simpulan dan
saran. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah perjanjian kredit bank yang dalam
hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari yang memuat klausul baku (standard
contract) kurang mencerminkan asas keseimbangan. Klausul baku (standard
contract) yang termuat dalam perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung
berat sebelah, karena banyak terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk
tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau
yang akan diatur kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga
banyak menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya
memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit
tersebut. Kemudian Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam
suatu perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR
Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi
oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta
Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi
hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, dan
kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan
untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat ketidakbebasan dalam
membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk dari perjanjian yang akan
dibuat, karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak
oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. Bertitik tolak dari
kesimpulan tersebut di atas maka saran yang dapat diberikan adalah bank
diharapkan lebih memperhatikan kepentingan debitur tanpa mengesampingkan
faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang dicantumkan dalam
perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah dibaca sehingga
debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari klausul baku tersebut.
Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja perbankan dengan
menerapkan good corporate governance, salah satunya dengan mengadakan
pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak (contract drafting) bagi
karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga nantinya dapat membuat
perjanjian kredit bank yang mencerminkan keseimbangan kedudukan antara bank
dan debitur tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak. Nasabah debitur
diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan mencermati perjanjian
kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu dan akibat hukum yan
ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi dengan pihak bank atau
xii
pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar dari akibat hukum yang
tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .......................................................................................................
x
RINGKASAN ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..............................................................................
11
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
12
1.3.1.Tujuan Umum ...........................................................................
12
1.3.2.Tujuan Khusus ..........................................................................
12
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
13
1.4.1.Manfaat Teoritis ........................................................................
13
1.4.2.Manfaat Praktis .........................................................................
13
1.5. Landasan Teoritis ...............................................................................
14
1.5.1.Teori Keadilan .........................................................................
14
1.5.2.Teori Perjanjian .......................................................................
25
xiv
1.5.3.Asas Keseimbangan ..................................................................
29
1.5.4.Asas Kebebasan Berkontrak .....................................................
31
1.6. Metode Penelitian ..............................................................................
33
1.6.1.Jenis Penelitian ..........................................................................
33
1.6.2.Sifat Penelitian ..........................................................................
34
1.6.3.Data Dan Sumber Data..............................................................
35
1.6.4.Teknik Pengumpulan Data ........................................................
36
1.6.5.Teknik Penentuan Sampel Penelitian ........................................
36
1.6.6.Teknik Pengolahan Dan Analisis Data .....................................
38
BAB II TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN
STANDARD CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT .........
39
2.1. Konsep-Konsep Standard Contract ...................................................
39
2.1.1.Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak .........................................
39
2.1.2.Keabsahan Kontrak ...................................................................
42
2.1.3.Bentuk-Bentuk Perjanjian .........................................................
44
2.1.4.Perjanjian Baku/Kontrak Standar .............................................
45
2.1.5.Perjanjian Standar dan Asas Kebebasan Berkontrak ................
52
2.1.6.Perjanjian Standar dan Asas Keseimbangan .............................
55
2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit .......................................
57
2.2.1.Hakekat Perjanjian Kredit .........................................................
57
2.2.2.Kriteria Perjanjian Kredit ..........................................................
66
2.2.3.Asas-Asas Perjanjian Kredit .....................................................
69
2.2.3.Bentuk Perjanjian Kredit...........................................................
71
xv
BAB III PERWUJUDAN
ASAS
KESEIMBANGAN
DALAM
STANDARD CONTRACT ANTARA BANK DAN DEBITUR ..
74
3.1. Klausul-klausul Dalam Standard Contract Kredit Bank Mayapada
dan BPR Lestari ...............................................................................
78
3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank .......
84
3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank ...
95
BAB IV STANDARD
CONTRACT
DALAM
MEMBERIKAN
KREDIT
MENCERMINKAN
ASAS
KEBEBASAN
BERKONTRAK ............................................................................ 115
4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract
Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur .................................... 118
4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku ..................................................
124
4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank
Dengan Standard Contract .............................................................. 132
BAB V PENUTUP .........................................................................................
139
5.1. Kesimpulan ........................................................................................
139
5.2. Saran-saran .........................................................................................
140
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
142
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena
berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan
kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku
sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit.
Pada awalnya istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium
Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 lalu pada Instruksi
Presiden Kabinet No. 15/EK/10, tanggal 3 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank
Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/pemb, tanggal 8 Oktober 1996, yang
menginstruksikan keadaan masyarakat perbankan bahwa bank wajib mempergunakan
akad perjanjian kredit dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun tanpa
menjelaskan dan mengatur secara spesifik bentuk klausul yang perlu atau harus
dicantumkan dan klausul yang tidak boleh dicantumkan, khususnya yang menyangkut
hak dan kewajiban para pihak.
Sekalipun ada ahli yang menggunakan istilah persetujuan bukan perjanjian,
seperti misalnya R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum
Perikatan, namun dalam peraturan perundangan mengenai perbankan di Indonesia
istilah yang digunakan adalah perjanjian. Apabila dikaitkan dengan kredit, maka
1
2
istilah yang umum digunakan dalam dunia perbankan di Indonesia adalah perjanjian
kredit bukan persetujuan kredit. Apabila dilihat dari segi yuridis, persetujuan berbeda
dengan perjanjian. Persetujuan adalah salah satu syarat dari suatu perjanjian sesuai
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Seiring dengan perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul
aneka jenis perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard
contract). Menurut catatan sejarah, perjanjian standar sudah dikenal sejak zaman
yunani kuno (423-347 SM). Lalu Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 di
Inggris menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Timbulnya produksi
massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan pada awalnya tidak
menimbulkan
perubahan
apa-apa
dalam
kontrak
bisnis.
Tetapi
kemudian
standardisasi produksi membawa desakan yang kuat untuk pembakuan perjanjianperjanjian.1 Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika Serikat berbentuk
perjanjian standar, begitu juga di Indonesia. Perjanjian standar bahkan merambah ke
sektor properti dengan cara-cara yuridis yang masih kontroversional, misalnya
diperbolehkan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk perjanjian
standar.2
Perjanjian standar (standard contract) adalah perjanjian yang hampir seluruh
klausul-klausulnya distandarisasi (distandarkan) oleh pembuatnya dan kemudian
1
Gemala Dewi, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta, hal.204.
2
Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, hal.146.
3
disodorkan ke pihak lain. Pihak yang disodori perjanjian standar tersebut pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan
isinya.3 Dengan kata lain, perjanjian standar ditetapkan secara sepihak, kemudian
dicetak dalam bentuk formulir, diperbanyak dan digunakan berulang-ulang untuk
perjanjian sejenis.
Perjanjian kredit bank adalah salah satu contoh kategori perjanjian standar
(standard contract). Dalam menyalurkan kredit, pihak bank pada umumnya
menyiapkan perjanjian dalam bentuk blanko atau formulir sebagai model perjanjian
kredit. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh bank sebagai pihak yang
kedudukannya lebih kuat dalam perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian sifat
perjanjian standar lebih menguntungkan bank daripada nasabah debitur sebagai pihak
yang kedudukannya lebih lemah.
Perumusan syarat-syarat dalam perjanjian standar yang disiapkan pihak bank,
secara rinci diuraikan dalam bentuk klausul-klausul tertentu yang mengandung arti
tertentu yang hanya dipahami dan dimengerti oleh pihak bank, sedangkan pihak
nasabah debitur sulit atau tidak dapat memahaminya dalam waktu yang singkat.
Pihak bank dengan sengaja tidak menginformasikan hal tersebut kepada nasabah
debitur. Dengan demikian, perjanjian standar bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak.
3
Ibid, hal.119.
4
Asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa Belanda disebut contracts
vrijheid, mengandung makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat
perjanjian sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Kebebasan yang
dimaksud meliputi :
1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian
atau tidak membuat perjanjian
2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu
perjanjian
3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian
4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian
5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara membuat perjanjian.4
Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III
KUHPerdata merupakan sistem (materiil) terbuka dan bebas, sebagai lawan sistem
(materiil) tertutup yang dianut Buku II KUHPerdata (Hukum Benda), sehingga setiap
orang berhak dan bebas membuat dan mengadakan perjanjian dengan siapapun,
dalam bentuk yang mereka kehendaki serta mengatur serta menentukan isi suatu
perjanjian. Akan tetapi pelaksanaan asas ini hendaknya tidak dipahami dalam artian
bebas sebebas-bebasnya, karena berlakunya dibatasi oleh beberapa hal, yaitu :
1. Pasal 1320 KUHPerdata, yang menguraikan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian (kontrak).
4
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut
Bankir Indonesia, Jakarta, hal.47.
5
2. Pasal 1335 KUHPerdata, yang menyatakan larangan dibuatnya suatu kontrak
tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang,
dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.
3. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
dan apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Asas ketertiban umum bukan merupakan
suatu hal yang baru dan tidak popular.5 Tetapi asas ini dikenal dalam setiap sistem
hukum, baik common law maupun civil law. Dalam sistem hukum common law
asas ketertiban umum dikenal dengan istilah public policy, sedangkan dalam
sistem hukum civil law dikenal dengan istilah ordre public, salah satunya di
Perancis. Disamping itu masih banyak istilah lain tentang asas ketertiban umum
seperti dalam bahasa Belanda openbare orde, vorbehaltklausel dalam bahasa
Jerman, ordine public dalam bahasa Itali dan orden public dalam bahasa spanyol.6
4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang
dilaksanakan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, itikad baik,
kepatutan serta keadilan. Asas itikad baik ini merupakan asas bahwa para pihak,
yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari
5
Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan
Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 1.
6
Sudargo Gautama, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni,
Bandung, hal.3.
6
para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap
dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk
menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Sedangkan Asas Kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian
yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
5. Pasal 1339 KUHPerdata, yang menekankan pada terikatnya perjanjian pada sifat,
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal
tersebut diatas bukanlah kebiasaan setempat, tetapi ketentuan-ketentuan yang
diperhatikan oleh kalangan tertentu.
6. Pasal 1347 KUHPerdata yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya disetujui dan secara diam-diam dimasukkan dalam suatu
kontrak.
Dalam sistem terbuka Buku III KUHPerdata dan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata dinyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dapat dikatakan bahwa
kata “semua” pada pasal tersebut merupakan cara untuk menyimpulkan asas
kebebasan berkontrak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata tersebut terkesan menyatakan bahwa siapa saja diperbolehkan untuk
membuat perjanjian dalam bentuk apapun dan mengikat para pihak yang
7
membuatnya sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap
kebebasan itu hanya “ketertiban umum dan kesusilaan”.
Kebebasan berkontrak memberi kebebasan kepada para pihak untuk membuat
perjanjian dengan bentuk atau format apapun, baik tertulis, lisan, non otentik,
sepihak, standar dan lain-lain, serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan
para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada
umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.7 Hal yang penting
untuk diperhatikan adalah bahwa kebebasan berkontrak dan ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata tidaklah berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem
yang utuh dan terkait dengan ketentuan lainnya.
Asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata tersebut seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku
dalam sistem perbankan Indonesia yang menerapkan perjanjian standar dalam
pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi kesenjangan antara teori (das solen), yaitu
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan
berkontrak dan kenyataan yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan
perjanjian standar dalam perjanjian kredit oleh pihak bank.
Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang
tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar
(standard contract) sudah lama menjadi masalah yang menimbulkan pro dan kontra
7
hal.195.
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika,
8
di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak pada klausul-klausulnya
ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan secara massal pada konsumen.
Dalam klausul-klausul tersebut nampak adanya ketidakseimbangan kedudukan antara
bank dan nasabah debitur yang membutuhkan dana. Dalam kondisi yang demikian
nasabah tidak dapat mengajukan revisi terhadap klausul perjanjian yang ditawarkan
pihak bank. Debitur hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian yang
ditetapkan oleh bank.
Untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bank merancang perjanjian kredit
yang mengandung klausul-klasul tidak wajar dan memberatkan pihak debitur. Di
samping itu pula, perjanjian kredit yang disodorkan bank sering memuat klausul
eksonerasi atau klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung
jawab sepihak bank terhadap gugatan debitur yang melaksanakan kewajibannya
secara tidak semestinya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit
tersebut. Padahal seharusnya klausul-klausul tersebut memberi perlindungan hukum
bagi para pihak, terutama bagi nasabah debitur sebagai pihak yang kedudukannya
lemah.
Adapun contoh klausul yang secara tidak wajar dan memberatkan debitur
adalah klausul penetapan besarnya suku bunga. Umumnya klausul tersebut berbunyi
“Ketentuan suku bunga kredit dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak
oleh bank terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut pihak bank cukup
9
memberitahukannya secara tertulis dan pemberitahuan dimaksud mengikat pengambil
kredit/nasabah debitur”.
Apabila dilihat dari bunyi klausul tersebut diatas jelas-jelas tidak seimbang
dan merugikan nasabah debitur. Seharusnya perubahan atau penyesuaian tingkat suku
bunga mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Sudah seharusnya dalam suatu
perjanjian, pemberlakuan, perubahan dan pengakhirannya tetap harus dengan dasar
persetujuan kedua belah pihak dan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Penggunaan
perjanjian standar dalam dunia perbankan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dalam pemakaian tenaga, biaya dan waktu serta bertujuan memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada nasabah debitur. Perjanjian standar pada umumnya
dimaksudkan untuk lebih memberikan jaminan pelunasan utang debitur.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai permasalahan tersebut diatas di dalam praktek
perbankan dan dalam penelitian ini penulis merumuskan judul ”PENERAPAN
STANDARD
CONTRACT
DALAM
PERJANJIAN
KREDIT
BANK
TERHADAP DEBITUR”.
Dari penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa hasil penelitian yang telah
dipublikasikan memiliki objek penelitian serupa. Meskipun demikian penelitian
tersebut tidak terdapat kesamaan dengan penelitian penulis. Adapun penelitian yang
dimaksud adalah :
10
a. Tesis dari Dwi Santi Wulandari, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk
Mahasiswa B4B.004.112, alumni mahasiswi Program Pascasarjana Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan judul
“Prinsip Kehati-Hatian Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Pada Bank Central
Asia Cabang Cilegon)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis
tersebut adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian diaplikasikan dalam Perjanian
Kredit pada Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi Banten?
2. Bagaimana tanggung jawab Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi
Banten dengan pihak debitur dalam Perjanjian Kredit menyangkut hak dan
kewajiban?
b. Tesis dari Hamzah Fatoni, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk Mahasiswa
B4B.0004.112, alumni mahasiswa Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2006, dengan judul “Tinjauan Yuridis
Perjanjian Kredit Umum Di PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang. Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis tersebut adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit umum beserta syarat-syarat yang
diajukan kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang?
2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pemberian kredit
kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang?
11
3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh PT.Bank Jawa Tengah Cabang
Rembang jika terjadi wanprestasi?
Dari hasil penelitian tersebut, tidak dijumpai penelitian yang sama dengan
penelitian ini dan mengambil permasalahan berbeda sebagaimana tersebut di atas,
yang artinya penelitian ini mengangkat sebuah topik permasalahan dengan
mengupas sisi lain dari suatu objek penelitian yang memang belum tereksplorasi,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya atau
keasliannya. Akan tetapi apabila dikemudian hari ternyata ditemukan hasil
penelitian yang serupa, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai pelengkap
atas penelitian terdahulu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract
antara bank dan debitur?
2. Apakah penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit
mencerminkan asas kebebasan berkontrak?
12
1.3. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada judul yang dan permasalahan dalam penelitian ini, maka
dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara
mendalam penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dan debitur
sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan kalangan
perbankan agar tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian
kredit.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang
dibahas adalah :
a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perwujudan asas keseimbangan
dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur.
b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang asas
kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract pada pemberian
kredit.
13
1.4. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik
pengembangan ilmu pengetahuan maupun mempunyai kegunaan praktis. Begitu juga
dengan penelitian ini mempunyai manfaat, yaitu :
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran teoritis bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Perjanjian dan Hukum Perbankan
yang berhubungan penerapan standard contract antara bank dengan debitur.
1.4.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari hasil penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua)
manfaat, yaitu :
a. Bagi masyarakat (calon debitur), hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang nantinya bermanfaat untuk
memecahkan masalah-masalah perbankan yang ada di masyarakat khususnya
mengenai persoalan tentang klausul dalam standard contract yang pada
umumnya memberatkan debitur.
b. Bagi peneliti, hasil penelitian tesis ini sebagai syarat untuk penyelesaian studi
pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana serta dapat
menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang
perbankan dalam hal ini penerapan standard contract yang dilakukan antara
bank dengan debitur dalam pemberian kredit.
14
1.5. Landasan Teoritis
Dalam mengkaji permasalahan yang dibahas pada tesis ini, diperlukan adanya
landasan teoritis yang merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapatpendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan
yang dianalisis. Oleh karena itu teori merupakan serangkaian konsep, definisi dan
proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis
tentang suatu gejala.8 Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk
menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan atau membuktikan fakta-fakta
atau kejadian-kejadian.9 Teori, konsep atau asas tersebut mampu memberikan arah
kepada penelitian yang dilakukan.
Landasan teoritis dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa teori, dan
asas-asas hukum yaitu sebagai berikut :
1.5.1. Teori Keadilan
Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut John
Rawl. Sesungguhnya ada beberapa sarjana lain yang membahas mengenai keadilan
seperti John Locke, Rosseau, Immanuel Kant. Para pemikir itu mengajukan ide-ide
tentang hakikat keadilan dalam kontrak. Mereka menyadari, tanpa kontrak serta hak
dan kewajiban yang ditimbulkannya masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Kontrak
memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan
8
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hal.141.
9
Ibid.
15
memenuhi janjinya, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya transaksi diantara
para pihak.10 Oleh karena itu karena itu tanpa adanya kontrak, para pihak tidak akan
bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain.
John Rawl mengkritik teori dari John Locke, Rosseau dan Immanuel Kant
karena cenderung bersifat utilitarianisme dan intuisionisme. Teori Keadilan John
Rawl bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang
berkembang sebelumnya yang disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi
baik utilitarianisme maupun intuisionisme.11
Dengan belajar dari kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls menawarkan
suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori
keadilan berbasis kontrak.12 Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus
dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih
merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu yang bebas rasional dan
sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin
pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua
orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang
baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap konsep keadilan yang tidak berbasis
kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam
10
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40.
11
Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik
Jhon Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21.
12
Ibid.
16
konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya
prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.13 Oleh karena itu diperlukan prinsipprinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip
keadilan distributif dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut :14
a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang
harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan
kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud
(prinsip kesamaan hak).
b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial
ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak
mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan
prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan
dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip
persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of
opportunity.
Dapat disimpulkan bahwa Teori Keadilan dari John Rawls memiliki inti
sebagai berikut :
13
14
Ibid. hal. 71.
Ibid. hal.129.
17
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya
untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial
maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social
goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada
kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls memberikan 3 (tiga)
prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yaitu :
1. Prinsip kesetaraan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Tentu saja ketiga prinsip keadilan ini tidak dapat diwujudkan bersama-sama
karena dapat menimbulkan benturan antara prinsip yang satu dengan prinsip yang
lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas yaitu prioritas pertama menetapkan
bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal belaku terlebih
dahulu daripada prinsip yang kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan yang
diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan
uang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya prioritas kedua merupakan relasi
18
antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu prinsip perbedaan dan prinsip
persamaan kesempatan).
Menarik untuk digarisbawahi bahwa prinsip kesamaan menurut Rawls harus
dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti “kesamaan
hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam
kebebasan yang “tersituasi” sehingga disandarkan pada berbagai kondisi, keadaankeadaan dan kualitas masing-masing. Bagi Rawls kesamaan hasil bukanlah alasan
untuk membenarkan sebuah prosedur.
Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut
setiap orang yang terlibat menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh
prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama. Sebaliknya, hasil
prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga apabila setiap orang tidak
mendapatkan hasil yang sama. Dengan demikian, prinsip keadilan yang lahir dari
suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima sebagai prinsip
yang pantas berlaku untuk umum.15 Oleh karena itu, yang harus dipahami bahwa
keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam
jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif
ada pada setiap individu.
Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam hubungan bisnis,
khususnya terkait dengan aspek keadilan dalam kontrak komersial, maka berdasarkan
15
Ibid, hal.45.
19
pikiran-pikiran tersebut diatas, hendaknya kita tidak boleh terpaku pada pembedaan
keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak komersial harus memadukan
konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi-kontra prestasi) sebagaimana
dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif
sebagai landasan hubungan kontraktual.16
Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit bank
bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls dalam hal :
1. Memaksimalkan kemerdekaan.
2. Kesetaraan bagi semua orang.
3. Prinsip kesamaan kesempatan.
Selain itu terdapat pula Teori Keradilan menurut Aristoteles. Keadilan
menurut Aristoteles adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya. Menurut teori keadilan Aristoteles, secara tradisional keadilan dibagi menjadi
tiga yaitu : Keadilan Legal, Keadilan Komutatif, dan Keadilan Distributif.
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai
dengan hukum yang belaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua orang harus
dilindungi dan tunduk pada hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Keadilan legal
menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara.
16
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.65.
20
Intinya smeua pihak dijamin mendapat perlakuan dan diperlakukan sama oleh
Negara dan berdasarkan hukum yang berlaku.
2. Keadilan Komutatif
Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang
satu dengan yang lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal
antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dalam bisnis, keadilan komutatif
juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan
komutatif ini menyangkut pertukaran yang adil antara para pihak yang terlibat.
Prinsip dari keadilan ini adalah menuntut agar semua orang menepati apa yang
telah dijanjikan sebelumnya, mengembalikan pinjaman, member ganti rugi yang
seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan menjual barang dengan
mutu dan harga yang seimbang.
3. Keadilan Distributif
Prinsip dasar dari keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan
ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi
semua orang. Keadilan distributif mempunya relevansi dalam dunia bisnis,
khususnya dalam perusahaan. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan
bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
21
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting dari
pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Distribusi yang adil
boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni
nilainya bagi masyarakat. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan
terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Menurut Aristoteles negara yang berdasarkan atas hukum menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Negara hukum mengandung arti, penguasa dalam
mengambil tindakannya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Suatu Negara baru dapat digolongkan sebagai Negara hukum (rechstaat)
apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dikatakan M.C.Burkens, antara lain :
1. Asas legalitas
2. Pembagian kekuasaan
3. HAM
4. Pengawasan Pengadilan (peradilan administrasi).17
Keadilan merupakan hakekat dari doktrin Hak Asasi Manusia (HAM). Secara
etimologis, hak manusia terbentuk dari tiga suku kata yaitu hak, asasi dan manusia.
Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia
17
Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004, hal.24.
22
adalah kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata
huquq yang artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Hak adalah kewenangan atau
kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.18
HAM Ekonomi adalah Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan aktivitasaktivitas perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang meliputi hak
untuk :
a. Bekerja
b. Usaha dalam bidang ekonomi
c. Aktivitas perekonomian, perburuhan dan aktivitas perbankan dan asuransi.19
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39
Tahun 1999 Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886, selanjutnya
disebut Undang-Undang HAM) Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM dan kemartabatan manusia
memiliki korelasi yang kuat. Perlindungan dan pemenuhan HAM sangat
18
Jack Donnelly, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice,
Ithaca : Cornell University Press, hal.10.
19
Yohanes Usfunan, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi,
sosial, budaya)”, Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua,
Tanggal 10 Mei 2013, hal.3.
23
memungkinkan bagi terwujudnya kesempurnaan eksistensi manusia yang pada
gilirannya menghasilkan interaksi sosial yang baik pula.
Dalam tataran konseptual, HAM mengalami proses perkembangan yang
sangat komplek. Dapat dikatakan HAM merupakan puncak konseptualisasi manusia
tentang eksistensi dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, jika disebukan sebagai
konsepsi, itu berarti pula sebuah upaya maksimal dalam melakukan formulasi
pemikiran strategis tentang hak dan kewajiban dasar yang dimiliki manusia.
Dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara eksplisit dan implisit terdapat pandangan-pandangan dan nilai-nilai
fundamental, disamping sebagai konstitusi politik (political constitution) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan konstitusi
ekonomi (economic constitution). Negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan
pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun
lebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan
kesejahteraan sosial yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila,
yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi.
Konstitusi ekonomi (economic constitution) tersebut di atas dari materinya
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai
kekeluargaan.
usaha bersama berdasar atas
azas
24
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekomian Indonesia berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
Penjelasan mengenai Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut, menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan
atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan bukan kemakmuran perseorangan atau segelintir orang, karena ini
berlawanan dengan logika kapitalisme : produksi untuk melayani kepentingan
kapitalis (menggali keuntungan sebesar-besarnya). Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini dapat dikatakan bertentangan
(penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi.
Teori Keadilan berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari
Aristoteles, serta HAM berupa persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi ini
25
kiranya relevan digunakan untuk mengkaji permasalahan pertama yaitu bagaimana
perwujudan asas keseimbangan dalam penerapan standard contract antara bank dan
debitur. Apabila perjanjian kredit bank dianalisis menggunakan Teori Keadilan
berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari Aristoteles, serta HAM berupa
persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi maka hubungan antara bank dengan
debitur adalah hubungan kontraktual yang tidak mencerminkan keadilan sehingga
terjadi ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak yang terlibat langsung dalam
perjanjian kredit. Keadilan hanya dapat dicapai apabila para pihak yang terlibat
langsung dalam perjanjian kredit tersebut berada dalam posisi yang seimbang,
sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dapat terlaksana secara adil.
1.5.2. Teori Perjanjian
Teori Perjanjian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perjanjian
menurut Mariam Darus Badrulzaman. Menurut teori tersebut, perjanjian mengandung
asas kekuatan mengikat. Para pihak, tidak semata-mata hanya terikat sebatas pada apa
yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.20
Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan
pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Salah satu teori dari hukum kontrak
klasik adalah teori kehendak. Menurut Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa
20
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.8788.
26
selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa
teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:
a. Ajaran Kehendak (Wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor
yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin
yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontrakan;
b. Pandangan Normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun tidak
memainkan peranan; apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada
hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada
persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama;
c. Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan
yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu
telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu
persetujuan. 21
Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Gr. Van der Burght bahwa
dengan adanya kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian,
maka timbullah perjanjian utang piutang (perjanjian kredit). Kemudian, dengan
adanya pemikiran bahwa apabila para pihak menyatakan sepakat dan berjanji
mengikatkan diri yang dituangkan suatu perjanjian kredit tersebut akan memenuhi
kebutuhan para pihak itu, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Selanjutnya bahwa adanya kesepakatan kedua belah pihak mengikat diri dalam suatu
perjanjian kredit, disertai pemberian jaminan timbullah suatu kepercayaan kreditur,
sehingga kredit dapat diberikan kepada debitur.
Sementara itu menurut R. Setiawan, perjanjian merupakan suatu perbuatan
hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
21
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi
Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.40.
27
dirinya terhadap satu orang atau lebih.22 Inti dari suatu perjanjian adalah “saling
mengikatkan diri.” Dalam kaitan hubungan antara pihak bank dan nasabah yang
menjadi debiturnya, pemikiran Munir Fuady bisa dijadikan acuan. Munir Fuady
mengidentifikasikan dua bentuk hubungan antara pihak bank dan nasabahnya, yaitu
hubungan kontraktual dan non kontraktual.23 Hubungan non kontraktual menyangkut
hubungan antara pihak bank dengan nasabah deposan sedangkan hubungan
kontraktual berkaitan dengan hubungan antara pihak bank selaku pemberi kredit dan
nasabah debitur.
Adapun definisi perjanjian sesungguhnya terdapat juga dalam Pasal 1313
KUHPerdata yang menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.” Definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang
lengkap karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas. Oleh karena
itu sangat banyak yang tidak sependapat mengenai definisi perjanjian tersebut.
Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari
suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut mengandung konsekuensi hukum bahwa dalam perjanjian selalu
ada dua pihak dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan
22
R.Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,
hal.49.
23
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bhakti, Cet.II,
Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.100.
28
satu pihak lainnya berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak dapat
terdiri dari satu atau lebih orang bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak
tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. Dalam Pasal 1320
KUHPerdata diatur bahwa ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka mengikatkan diri
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan
syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian. Dengan diberlakukannya kata
sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua pihak harus memiliki kebebasan
kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan yang mengakibatkan adanya cacat
hukum bagi perwujudan kehendak tersebut. Sehubungan dengan syarat kesepakatan
bahwa mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal
yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.
Teori Perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman di atas, kiranya relevan
untuk mengkaji permasalahan kedua, yaitu apakah penerapan standard contract
dalam pemberian kredit mencerminkan asas kebebasan berkontrak bagi debitur.
Pembahasan kebebasan berkontrak dalam penelitian ini dilakukan tanpa mengabaikan
fakta bahwa kebebasan berkontrak tidak dapat dilakukan secara tak terbatas.
29
Pembatasan tersebut diberikan oleh ketentuan-ketentuasn dalam KUHPerdata dan
peraturan
perundang-undangan
lainnya,
misalnya
undang-undang
mengenai
perlindungan konsumen. Sekalipun terdapat pembatasan dalam kebebasan berkontrak
namun dengan adanya jaminan keadilan dan kepastian hukum dalam perjanjian kredit
bank maka klausul-klausul yang memberatkan debitur dihapuskan sehingga debitur
tidak merasa dirugikan lagi.
1.5.3. Asas Keseimbangan
Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak harus memiliki keseimbangan hak
dan kewajiban dengan berdasar pada asas keseimbangan. Asas keseimbangan
menurut Herlien Budiono adalah asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan
pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam
KUHPerdata dengan mendasarkan pada pemikiran dan latar belakang individualisme
pada satu pihak dan di lain pihak pada cara pikir bangsa Indonesia. Keseimbangan
dalam membuat perjanjian sangat penting agar terjadi keseimbangan hak dan
kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian
terjadi keselarasan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.24
Pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan
keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya
dengan kontrak konsumen. Hal ini didasari pemikiran bahwa dalam perspektif
perlindungan konsumen, dalam hal ini debitur, terdapat ketidakseimbangan posisi
24
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya
Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.29.
30
tawar para pihak.25 Hubungan konsumen-produsen, dalam hal ini pihak debitur-bank,
diasumsikan hubungan yang subordinat. Pihak debitur berada pada posisi lemah
dalam proses pembentukan kehendak kontraktualnya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu diberdayakan dan diseimbangkan
posisi tawar bagi pihak debitur. Dalam konteks ini, asas keseimbangan yang
bermakna “equal-equilibrium” akan bekerja memberikan keseimbangan manakala
posisi tawar para pihak menjadi tidak seimbang. Tujuan dari asas keseimbangan
adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam
menentukan hak dan kewajibannya.26
Oleh karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para
pihak, maka hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi
maupun maksud dan tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan
istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut ialah :
a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam
hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan
keseimbangan.
b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan
kontraktual seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam
penentuan hasil akhir pembagian tersebut.
c. Ketiga, keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses.
d. Keempat, intervensi Negara merupakan intrumen pemaksa dan mengikat
agar terwujud keseimbangan posisi para pihak.
e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai
pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).27
25
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.79.
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.80.
27
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.84.
26
31
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus
memperhatikan kepentingan pihak debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur, dalam
hal ini adalah bank, menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi pihak debitur
mungkin bank dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan iktikad baik.
Selanjutnya menurut R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru
akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk
menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya.28
Uraian mengenai asas keseimbangan dan bertitik tolak dari pemikiran Herlien
Budiono tersebut dapat mengkaji permasalahan pertama mengenai perwujudan asas
keseimbangan dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian, dalam
hal ini bank dan pihak debitur, sangat penting agar tercipta keselarasan dalam
pelaksanaan perjanjian. Keselarasan tersebut akan tercermin dalam pelaksanaan
perjanjian oleh para pihak dan tidak berat sebelah dan mencerminkan keadilan.
1.5.4. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dalam bahasa asing disebut contracts vrijheid,
contracteen vrijheid atau partij autonomie, atau dalam pustaka bahasa Inggris disebut
dengan istilah freedom of contract. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau
28
Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Edisi
Pertama, Cetakan ke 6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.4.
32
perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.29
Asas kebebasan bekontrak ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa :
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan diatas dapat disimak 3 (tiga) pokok atau asas yang terkandung
di dalamnya, yaitu :
a. Pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas
kebebasan berkontrak;
b. Pada kalimat ”berlaku sebagai Undang-Undang” menunjukkan asas kekuatan
mengikat atau asas pacta sunt servanda.
c. Pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas.30
Dengan kata lain apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum,
maupun kesusilaan, maka perjanjian yang dibuat tersebut telah melanggar syarat
obyektif dari sahnya perjanjian dan perjanjian tersebut batal demi hukum dan
dianggap tidak pernah ada sehingga tidak dapat mengikat para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.
29
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Alumni, Bandung, hal.212.
30
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal
1233 sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.78.
33
Syarat obyektif tersebut berkaitan dengan kausa yang halal dalam syarat
sahnya suatu perjanjian. Dapat diartikan bahwa kausa tersebutlah yang menjadi dasar
obyektif terjadinya suatu kontrak. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1320 ayat (4)
KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu kontrak adalah batal demi hukum (null and
void) apabila didasari oleh kausa yang tidak halal.
Penjabaran dari kausa yang tidak halal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1337
KUHPerdata yang menguraikan bahwa suatu kausa dari suatu perjanjian tersebut
dinyatakan tidak halal apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.31 Berdasarkan uraian mengenai asas
kebebasan berkontrak tersebut diatas, maka asas ini dapat mengkaji permasalahan
kedua mengenai asas kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract.
Karena kebebasan berkontrak sangat penting, baik bagi individu dalam konteks
kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas
kehidupan kemasyarakatan. Dari sudut kepentingan masyarakat, kebebasan
berkontrak merupakan sebagai suatu totalitas.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris yaitu penelitian
hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau
31
Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak
Bisnis, Cetakan II : Edisi Revisi Juli 2011, Kontrak Publishing, hal.200.
34
implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak)
secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam
masyarakat (in concreto).32 Morris L. Cohen and Kent C. Olson berpendapat dalam
bukunya yang berjudul Legal Research bahwa penelitian hukum yaitu : “legal
research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the
law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”33 yang
artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan
sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek.
Penelitian yuridis empiris dilakukan untuk memastikan apakah hasil dari
penerapan pada peristiwa hukum in concreto tersebut telah sesuai atau tidak dengan
ketentuan undang-undang atau perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana mestinya
atau tidak, sehingga para pihak yang berkepentingan mencapai tujuannnya. Penelitian
yuridis empiris harus dilakukan di lapangan dengan metode dan teknik penelitian
lapangan dengan cara melihat dan meneliti fakta-fakta yang terjadi di lapangan
tentang penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dengan kreditur
tidak sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.
1.6.2. Sifat penelitian
Sifat penelitian di dalam penulisan tesis ini bersifat deskriptif yang bertujuan
32
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.134.
33
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,
ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, hal.1.
35
untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan
ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.6.3. Data dan sumber data
Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan (Field
Research) yang berlokasi di Kota Denpasar, yaitu dengan melakukan penelitian pada
PT. Bank Mayapada Internasional Tbk (selanjutnya disebut Bank Mayapada) dan
BPR Lestari selaku kreditur yang menerapkan standard contract dalam dalam
pemberian kreditnya. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara
dengan informan dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut.
2. Data Sekunder
Data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui 3 (tiga) bahan hukum yaitu
sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer yang terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
36
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah,
dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen yang relevan dengan
masalah yang dibahas.
c. Bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi.34
1.6.4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan teknik wawancara atau interview dan peneliti datang
langsung bertemu dengan informan dan responden yang sebelumnya telah ditentukan
oleh peneliti yaitu pihak-pihak yang terkait dengan pembuatan standard contract
dalam memberikan kredit kepada debitur pada Bank Mayapada dan BPR Lestari yang
berlokasi di Denpasar.
Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini bahan-bahan bacaan
digunakan teknik telah dokumen yaitu membaca serta mengkaji bahan-bahan bacaan
yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan buku sekunder seperti
buku-buku yang terkait dan relevan dengan pembahasan ini dan bahan hukum tertier
yang berupa kamus dan ensiklopedi.
1.6.5. Teknik penentuan sampel penelitian
Sebelum dilakukan penentuan sampel penelitian, terlebih dulu ditentukan
lokasi penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas. Menurut Bahder
34
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.120.
37
Johan Nasution, dengan teknik sampling non probabilitas tidak semua subyek atau
individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.35
Dari beberapa teknik non probabilitas yang ada, yang digunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan
tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian bahwa sampel memenuhi kriteria yang
merupakan ciri utama populasinya.
Sebagaimana diketahui, Kota Denpasar adalah pusat aktivitas ekonomi dan
perdagangan di Provinsi Bali sehingga tingkat aktivitas pengucuran kredit perbankan
sangat tinggi. Setelah dilakukan penentuan lokasi penelitian, langkah selanjutnya
adalah penentuan sampel penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas
dalam bentuk purposive sampling. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut, dari beberapa bank yang beroperasi di Kota
Denpasar, yang dipilih adalah Bank Mayapada dan BPR Lestari karena lebih terbuka
memberikan informasi perjanjian kredit dengan standard contract dibandingkan bank
lain. Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya semua bank, dalam menjalankan
aktifitasnya tunduk pada ketentuan dari Bank Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan). Sehingga
35
Bahder Johan Nasution, op.cit, hal.156.
38
dengan adanya ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan inilah penulis hanya
mengambil 2 (dua) kreditur sebagai responden dalam penelitian ini.
1.6.6. Teknik pengolahan dan analisis data
Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut diolah dan dianalisa
dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu dengan memilih
data yang kualitasnya dapat menjawab permasalahan yang diajukan dan untuk
penyajiannya dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh
suatu kesimpulan.
39
BAB II
TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN STANDARD
CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT
Pada Bab II ini akan dibahas mengenai hakekat dan dasar hukum kredit,
keabsahan kontrak, perjanjian baku/kontrak standar, perjanjian standar dan asas
kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan, pengertian kredit
dan perjanjian kredit, jaminan kredit dan perjanjian kredit sebagai bentuk perjanjian
standar.
2.1. Konsep -Konsep Standard Contract
2.1.1. Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak
Kontrak memiliki hakekat pengertian yang lebih sempit daripada perjanjian.
Kontrak mengacu pada perjanjian atau persetujuan tertulis. Subekti
mendefinisikan kontrak atau perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.36 Hal ini berarti bahwa peristiwa dimana
seseorang secara berjanji kepada orang lain secara lisan untuk melakukan
sesuatu tidak dapat disebut kontrak. Janji tersebut memiliki hakekat kontrak
apabila dituangkan dalam perjanjian secara tertulis.
36
R.Subekti, 1996, Hukum Perjanjian,St.XIV, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya
disebut R.Subekti I), hal. 1.
39
40
Pandangan senada diungkapkan oleh Abdul R. Saliman, dimana kontrak
merupakan konsep yang memiliki pengertian yang lebih sempit dibandingkan
perjanjian. Menurut Saliman kontrak dalam pengertian yang lebih luas sering
dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak atau perjanjian didefinisikan
sebagai peristiwa dimana dua orang atau lebih saling mengadakan berjanjian untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.37
Sekalipun menurut Saliman kontrak dan perjanjian memiliki kesamaan
definisi tetapi konsep kontrak memiliki hakekat yang lebih sempit daripada
perjanjian. Kontrak pada hakekatnya adalah perjanjian antara dua orang atau dua
pihak secara tertulis. Macam-macam kontrak menurut Abdul R. Saliman adalah:
a. Perjanjian Kredit
b. Perjanjian Leasing (Kredit Barang)
c. Perjanjian Keagenan dan Distributor
d. Perjanjian Franchising dan Lisensi.38
Sementara itu menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian dan kontrak
memiliki pengertian yang sama. Yudha Hernoko mengatakan ”Hal ini disebabkan
fokus kajian saya berlandaskan pada Burgerlijk Wetboek (BW) dimana antara
perjanjian dan persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan
37
Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan
Contoh Kasus, Kencana Prenada, Jakarta, hal.45.
38
Ibid, hal.53.
41
kontrak (contract).”39 Dengan demikian apabila dua orang berjanji untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, berarti keduanya
telah melakukan kontrak.
Sekalipun secara umum disepakati bahwa dasar hukum kontrak nasional
terdapat dalam KUHPerdata namun menurut Munir Fuady, sumber lain dari hukum
kontrak adalah:
1. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis
kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.
2. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara
berkenaan dengan kontrak.
3. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur
tentang aspek bisnis internasional.
4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.
5. Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.
6. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan kontrakkontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan.40
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata ”Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang
atau lebih.” Sumber hukum lain dari kontrak selain KUHPerdata adalah :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
39
Agus Yudha Ernoko, op.cit, hal.15.
Munir Fuady, 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,
Citra Aditya, Buku I, Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal.10.
40
42
2.1.2. Keabsahan Kontrak
Menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, perjanjian dinyatakan sah
apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.41 Pasal 1320 KUHPerdata
menentukan sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Syarat nomor 1 dan nomor 2 disebut sebagai syarat subyektif, yaitu syarat
untuk subyek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat nomor 3 dan nomor 4 disebut
syarat objektif yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya. Syarat nomor 1 dan 2
menyangkut kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau
dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat antara subjek hukum dapat terjadi
dengan tegas, baik secara lisan maupun tertulis dan secara diam, baik dengan suatu
sikap atau dengan syarat.
Suatu perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan apabila
menyangkut unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling) dan unsur penipuan
(bedrog).42 Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab
terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat
41
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata,
Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta hal.223.
42
Ibid, hal.224.
43
dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana ketentuan
Pasal 1454 KUHPerdata. Seseorang dikatakan cakap hukum membuat perjanjian
apabila telah berumur minimal 21 (duapuluh satu) tahun, atau apabila belum berumur
21 (duapuluh satu) tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Menurut Ligna
Spagnola ”The law of contracts protects person who are under 18 (minors), those
who are mentally infirm, and those under influence of drugs or alcohol.”43 (Hukum
kontrak melindungi orang yang berumur di bawah 18 tahun, mereka yang lemah
secara mental, mereka yang berada dalam pengaruh obat-obatan atau alkohol).
Selain itu seseorang itu tidak boleh sedang berada dalam pengampuan
(curatele), yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab
pemabuk, gila, atau boros. Secara lebih jelas dapat dilihat ketentuan Pasal 1330
KUHPerdata menyebutkan bahwa orang tidak cakap membuat kesepakatan :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ada di bawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian.
Sementara itu ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau
mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu
menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak
43
Linda A. Spagnola, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and
Practival Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States, p. 97.
44
berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek
benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang,
kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna
barang, dan lain sebagainya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata, dalam
perjanjian yang menyangkut tentang barang, paling sedikit ditentukan barang
jenisnya, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian.
Terkait dengan suatu sebab yang halal (causa yang halal) mengandung
pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus
melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu
kuat. Pasal 1335 KUHPerdata merinci mengenai perjanjian yang dibuat tanpa sebab,
perjanjian yang dibuat karena sebab palsu atau karena perjanjian karena sebab yang
terlarang. Semua itu menggambarkan sebab yang tidak halal dalam perjanjian.
Dengan demikian penulis berkesimpulan, bahwa perjanjian akan mendapatkan
keabsahannya apabila memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagaimana ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subyektif menyangkut subyek hukum atau orangnya
sedangkan syarat objektif merupakan syarat untuk objek hukum atau bendanya.
2.1.3. Bentuk-Bentuk Perjanjian
Menurut ketentuan KUHPerdata, pokok yang diperjanjikan dalam suatu
perjanjian merupakan barang yang dapat diperjualbelikan. Sebagaimana ketentuan
Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ”Pokok perjanjian adalah barang
yang dapat diperdagangkan.” Dengan demikian maka penulis berpendapat bahwa
45
objek perjanjian tidak hanya merupakan barang-barang yang kasat mata melainkan
juga barang-barang yang tidak kasat mata.
Menurut Salim H.S, jenis-jenis kontrak atau perjanjian yang paling asasi
adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat.
Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti
segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban, misalnya,
perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.44
Dari sekian banyak pendapat mengenai jenis-jenis atau macam-macam
kontrak penggolongan yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah menurut I
Ketut Artadi dan Asmara Putra yang mengkategorikan bentuk-bentuk kontrak
menjadi :
1. Perjanjian Biasa
2. Perjanjian Baku
3. Perjanjian Tersamar
4. Perjanjian Simulasi.45
2.1.4. Perjanjian Baku / Kontrak Standar
Perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan
atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat disebut kontrak baku
44
Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.27.
45
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana
University Press, Denpasar, hal.36.
46
karena ditulis secara tertulis. Kontrak baku disiapkan secara seragam untuk banyak
orang lazimnya satu objek perjanjian dan satu prestasi.46 Tujuan dari kontrak baku
untuk memberi kemudahan dan kepraktisan bagi pihak yang bersangkutan. Untuk itu
maka perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir.47 Memang keuntungan dari perjanjian standar adalah praktis,
banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat.
Akan tetapi menurut Sriwati perjanjian standar secara langsung maupun tidak
telah merugikan pihak-pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul dalam
perjanjian. Di satu pihak pihak yang tidak membuat klausul adalah salah satu pihak
dalam perjanjian memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam
menjalankan perjanjian tersebut tapi di sisi lain dia harus menurut terhadap isi
perjanjian yang disodorkan kepadanya.48
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian baku dar hampir seluruh
klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain hampir tidak mempunyai
peluang merundingkan atau meminta perubahan. Mengenai hal yang belum
dibakukan hanya menyangkut harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal spesifik
46
Ibid, hal.37.
Mariam Darus Badrulzaman, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen
Dilihat Dari Perjanjian Baku, Binacipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Mariam Darus
Badruzaman II), hal.58.
48
Sriwati, 2000, Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku,
Majalah Yustika Volume III tanggal 2 Desember, hal.176.
47
47
dari objek yang diperjanjikan. Sedangkan yang dibakukan adalah klausul-klausulnya
bukan formulirnya.49
Dari berbagai pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa perjanjian
standar atau kontrak standar merupakan perjanjian yang klausul-klausulnya disiapkan
oleh pihak yang kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut dan dituangkan
dalam suatu dokumen yang mengikat para pihak. Pendapat penulis di atas sesuai
dengan pengertian perjanjian baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UndangUndang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821, selanjutnya
disebut UU Perlindungan Konsumen) ”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang diruangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.”
Mariam Barus Badrulzaman kemudian mengemukakan ciri-ciri perjanjian
standar, yaitu :50
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur dengan posisinya yang relatif
kuat dari debitur
b. Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian tersebut
c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut
d. Disiapkan terlebih dulu bsecara massal atau individual.
49
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal.66.
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Azas Kebebasan Berkontrak Dan
Kaitannya Dengan Perjanjian Standar (Standard) dalam Majalah Media Notariat No.
28-29 Tahun VII Juli-Oktober (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III),
hal.45.
50
48
Dari beberapa pendapat mengenai perjanjian standar di atas maka dapat
disimpulkan bahwa klausul dalam kontrak standar dibuat oleh salah satu pihak, yaitu
pihak yang kuat dan pihak lain yang lebih lemah hanya menerima kontrak yang
disodorkan. Dalam konteks inilah kemudian muncul adanya klausul eksonerasi dalam
perjanjian standar, yaitu klausul yang menguntungkan baginya sebagai klausul
tambahan.
Klausul eksonerasi atau dalam sistem common law disebut exculpatory
clause.51 Menurut penulis, klausul eksonerasi adalah klausul tambahan atas klausul
essensalia, dimana pihak yang kuat untuk dapat menghindar untuk memenuhi
kewajiban atau menghindar dari kemungkinan kerugian yang dipikulnya, menghindar
membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melawan hukum.
Secara lebih sederhana, Abdulkadir Muhammad menyebutkan klausul eksonerasi
adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab dari
akibat yang merugikan yang timbul dari pelakanaan perjanjian.52
Dengan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa klausul eksonerasi adalah
klausul yang mengalihkan tanggung jawab dari suatu pihak ke pihak lainnya, yaitu
dari pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian kepada pihak yang
kedudukannya lemah. Tujuannya adalah agar pihak yang kuat terhindar dari
51
Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana,
Cetakan III, Jakarta, hal.124-125.
52
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan
dan Perdagangan, Citra Aditya, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir
Muhammad II), hal.21
49
kemungkinan kerugian. Dalam pandangan Abdulkadir Muhammad klausul eksonerasi
dapat ditambahkan dalam suatu perjanjian standar karena keadaan memaksa, karena
perbuatan pihak-pihak tertentu dalam perjanjian. Perbuatan pihak-pihak ini dapat
mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga.53
Ada tiga kemungkinan klausul eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam
syarat-syarat perjanjian :
1. Eksonerasi karena keadaan memaksa
Kerugian yang ditimbulkan karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab
pihak-pihak, tetapi syarat-syarat dalam perjanjian dapat dibebankan kepada
konsumen, pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab.
2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua.
Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi
tanggung jawab pengusaha. Hal ini karena tidak baik atau lalai melaksanakan
kewajiban terhadap pihak kedua. Tapi dalam syarat-syarat perjanjian,
kerugian dibebankan pada pengusaha.
3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga
Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi
tanggung jawab pengusaha. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dibebabkan
pada pihak kedua yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini
53
Ibid, hal.21.
50
pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan
pihak ketiga.54
Relevansi antara klausul eksonerasi dengan perjanjian standar/baku adalah
karena perjanjian baku pada umumnya pasti mengandung klausul eksonerasi. Bahkan
dapat disebutkan bahwa jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan perjanjian
standar/baku dalam perjanjian kredit bank adalah karena dicantumkannya klausul
eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah
klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali
tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak perbankan. Dengan
demikian klausul eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar
antara pihak bank selaku kreditur dengan nasabah debitur.
Klausul eksonerasi tidak sepenuhnya dilarang karena juga berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Yang dilarang adalah klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan
penyalahgunaan keadaan (undue influence). Artinya, sepanjang kedua belah pihak
yang membuat perjanjian itu mempunyai kedudukan ekonomi dan psikologi yang
seimbang, tidak terdapat indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang
lain maka sejauh memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian tersebut tetap
sah.
54
Munir Fuady II, op.cit, hal.86.
51
Menurut UU Perlindungan Konsumen, perjanjian baku/standar kontrak adalah
sah, akan tetapi melarang pencatuman klausula baku yang bersifat berat sebelah. Jika
dicantumkan dalam perjanjian, maka klausul baku tersebut adalah batal demi hukum.
Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa klausul baku yang
dilarang untuk dicantumkan pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yaitu :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, memberi hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa
f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
52
g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen disebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak dan bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Pencantuman klausul seperti ini juga batal demi hukum sebagaimana
yang ditetapkan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.
Apabila ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen dilanggar maka
sanksi akan diberikan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (1), yaitu :
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruh a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.0000.000,00 (dua miliar
rupiah).
2.1.5. Perjanjian Standar Dan Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
dalam hukum kontrak, meskipun tidak dituangkan dalam aturan hukum tetapi
mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.55 Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, perjanjiaan standar bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian standar, kedudukan debitur
dan kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya.
55
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.108.
53
Pengusaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Perjanjian standar
hanya membuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul debitur.56
Bahkan menurut Djumadi, proses pembuatan perjanjian standar belum
seluruhnya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320
ayat (1) KUHPerdata, terutama menyangkut unsur ”sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”, karena yang yang dimaksud dengan sepakat disini
mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat ada
persesuaian kemauan atas saling menyetujui kehendak masing-masing, yaitu yang
dilahirkan oleh pihak dengan tiada paksaan tertentu dan penipuan.57 Perjanjian
standar merupakan wujud pembatasan dari asas kebebasan berkontrak. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, setelah Perang Dunia II pembatasan kebebasan
berkontrak semakin meningkat. Pengaruh paham individualisme mulai memudar
pada akhir abad ke-19 seiring semakin meningkatnya paham etis dan sosialis. Oleh
karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, tetapi diberi arti relatif
dikaitkan dengan kepentingan umum.58
Sementara itu Setiawan menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu:
56
Mariam Darus Baldrulzaman II, op.cit, hal.53.
Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak Dalam
Perjanjian Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, hal.72.
58
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman IV), hal.43.
57
54
1. Perkembangan doktrin itikad baik
2. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan
3. Makin banyak kontrak standar
4. Berkembangnya hukum ekonomi59
Jika asas kebebasan berkontrak yang merupakan substansi dari Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata ditempatkan dalam kerangka sistem Hukum Perdata Indonesia,
maka kebebasan berkontrak bukanlah suatu yang absolut melainkan relatif. Ada
beberapa ketentuan-ketentuan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu:
1. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai sah tidaknya suatu perjanjian.
2. Pasal 1335 KUHPerdata yang melarang kontrak tanpa causa atau dibuat
berdasarkan causa yang palsu atau terlarang.
3. Pasal 1337 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu sebab adalah
terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum.
4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Pasal 1339 KUHPerdata menunjuk perjanjian pada sifat kepatutan, kebiasaan
dan undang-undang.
6. Pasal 1347 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.
59
Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata,
Alumni, Badung, hal.179.
55
2.1.6. Perjanjian Standar Dan Asas Keseimbangan
Selain keempat asas dalam hukum perjanjian yang telah disebutkan di atas,
ada pula asas lain yang perlu dibahas yang relevan dengan penelitian ini, yaitu asas
keseimbangan. Selain itu, asas keseimbangan adalah pertanyaan mendasar yang
timbul dalam pelaksanaan perjanjian standar, yaitu terkait dengan asas keseimbangan
kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Oleh karena itu asas
keseimbangan dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak
dalam menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. Ketidakseimbangan
menimbulkan ketidakadilan sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi
pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.60
Perjanjian kredit bank dalam bentuk perjanjian standar menurut Mariam
Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang tidak memenuhi asas keseimbangan.
Menurut Badrulzaman, dalam hubungan bank dengan nasabah, kedudukan nasabah
adalah lemah sehingga perlu dilindungi dengan campur tangan pemerintah terhadap
substansi perjanjian kredit bank.61 Tentu saja campur tangan pemerintah ini bertujuan
agar perjanjian kredit bank memenuhi asas keseimbangan dalam berkontrak.
Artadi dan Asmara Putra menyebut asas keseimbangan ini sebagai asas
kedudukan yang seimbang. Perjanjian dapat dibatalkan karena menyalahgunakan
keadaan (subdue influence), dimana salah satu pihak berada dalam posisi yang kuat,
60
Sri Gambir Melati Hatta, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni Bandung,
hal.161.
61
Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, hal.42.
56
posisi mana disalahgunakan oleh pihak tersebut sehingga merugikan pihak lain.62
Dalam kaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen, asas keseimbangan
ini dibahas dalam konteks kedudukan konsumen yang lebih rendah dari produsen.
Salah satu cara utama dalam mencapai keseimbangan antara perlindungan
produsen dan perlindungan konsumen adalah dengan menegakkan hak-hak
konsumen. Hak-hak yang merupakan hak dasar konsumen untuk pertama kali di
kemukakan oleh Presiden AS John F. Kennedy, yaitu :
1. Hak memperoleh keamanan
2. Hak memilih
3. Hak mendapat informasi
4. Hak untuk didengar.63
Dengan memahami berbagai pendapat mengenai asas keseimbangan yang
telah disebutkan di atas maka asas keseimbangan menyangkut
kedudukan yang
seimbang antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila suatu perjanjian
tidak memenuhi asas keseimbangan, dimana posisi atau kedudukan salah satu pihak
lebih kuat dari pihak lain, maka diperlukan intervensi pemerintah untuk
mengembalikan keseimbangan antara pihak tersebut. Ketidakseimbangan antara
pihak yang terlibat dalam perjanjian terjadi dalam perjanjian kredit bank, yaitu antara
bank dan nasabah. Adapun dalam perspektif hubungan antara produsen dan
62
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.69.
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru I),
hal.102.
63
57
konsumen maka ketidakseimbangan terjadi karena konsumen berada pada pihak yang
lemah sedangkan konsumen adalah pihak yang kuat.
2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit
2.2.1. Hakekat Perjanjian Kredit
Teori perjanjian ini digunakan karena adanya hubungan antara debitur dan
kreditur mengadakan suatu perjanjian kredit. Menurut Gr. Van der Burght bahwa
selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa
teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:
a. Ajaran kehendak
b. Pandangan normatif Van Dunne
c. Ajaran kepercayaan.64
Pengertian perjanjian terdapat dalam buku III KUHPerdata pada Pasal 1313
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat
melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan
hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu sengketa.65
Dalam suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau
lebih lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
64
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, loc.cit.
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.28.
65
58
memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua
pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak
lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi (kreditur). Bentuk prestasi yang
dilakukan dalam perjanjian berupa perjanjian untuk memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan
antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya
untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum apabila perbuatan itu
mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan
hukum.66
Menurut Subekti, perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang
lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III itu diatur juga mengenai
hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau
perjanjian. Perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang
tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming), tetapi sebagian besar dari Buku III
ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan perjanjian.67
Perikatan yang dimaksud merupakan suatu perikatan yang lebih luas
dibandingkan dengan perjanjian. Dimana dalam perikatan tidak saja dikenal
mengenai perikatan yang lahir dari undang-undang akan tetapi juga perikatan yang
66
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal.1.
67
R. Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,
(selanjutnya disebut R.Subekti II), hal.122.
59
lahir dari perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan perjanjian yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sedangkan, perikatan yang
lahir dari undang-undang merupakan perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perikatan-perikatan yang
dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undangundang sebagai akibat perbuatan orang.
Istilah perjanjian dapat disamakan dengan kontrak. Menurut Catherine Elliott
dan Frances Quinn ialah:
Normally a contract is formed when an effective acceptance has been
communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it
indicates the terms on which the offeror is prepared to make contract (such as
the price of the goods for sale). And gives a clear indication that the offeror
intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.
Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that
offer.68
(Biasanya kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan
menjadi offeree. Suatu komunikasi akan diperlakukan sebagai tawaran jika
menunjukkan persyaratan yang offeror siap untuk membuat kontrak (misalnya
harga barang untuk dijual). Dan memberikan indikasi yang jelas bahwa offeror
bermaksud untuk terikat oleh syarat-syarat tersebut jika mereka diterima oleh
offeree. Penerimaan tawaran berarti kesepakatan tanpa syarat untuk semua
persyaratan penawaran)
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.69 Dapat dijelaskan bahwa di dalam melakukan
68
Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason
Education Limited, England, hal.10.
69
Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III), hal.78.
60
perjanjian para pihak telah sepakat melaksanakan perjanjian tersebut tapi hanya
terbatas dibidang harta kekayaan seperti perjanjian kredit, padahal perjanjian tidak
hanya terbatas dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian apabila dikaitkan dengan
hukum dagang yaitu di dalam membuat suatu perusahaan dimana para pihak yang
ikut terlibat dalam perusahaan tersebut telah sepakat mengikatkan diri dan
kesepakatan tersebut dituangkan dalam Akta Perusahaan tersebut. Apabila terkait
dengan hukum administrasi dimana pemerintah melakukan perjanjian kerjasama
dengan pihak swasta terkait dengan pengelolaan tanah milik pemerintah yang akan
dikembangkan untuk tempat-tempat umum. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian
tersebut tidak hanya terkait dengan harta kekayaan akan tetapi lebih luas daripada itu.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu hubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji untuk melakukan
suatu hal atau untuk tidak melakukan hal, sedangkan pihak lain berhak untuk
menuntut pelaksanaan tersebut.70 Dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu
perjanjian para pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri dan melaksanakan hal
yang telah disepakati dalam perjanjian. Dalam perjanjian kredit ini, pihak debitur dan
kreditur sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dan pihak kreditur
berhak untuk menuntut pihak debitur melaksanakan prestasinya, sedangkan pihak
debitur berkewajiban membayar hutangnya pada kreditur pada hari yang telah
70
hal.17.
Wiryono Prodjodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung,
61
ditentukan. Jadi dapat dikatakan bahwa para pihak memiliki hak dan kewajiban
masing-masing dalam pelaksanaan perjanjian.
Istilah kontrak dan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia adalah sama.
Menurut Roger Vickery dan Wayne Pendelton, kontrak ialah:
A valid contract is an agreement made between two or more parties (including
business organitation) that create right and obligations that are enforceable by
law. People may make hundreds of thousands of agreement in their lifetime, but
only some will be classified as contract and not all of these will be valid and
legally enforceable.71
(Sebuah kontrak yang valid adalah perjanjian yang dibuat antara dua pihak atau
lebih (termasuk organisasi bisnis) yang menciptakan hak dan kewajiban yang
diberlakukan oleh hukum. Orang mungkin membuat ratusan ribu perjanjian
dalam hidup mereka, tetapi hanya beberapa akan diklasifikasikan sebagai
kontrak dan tidak semua ini akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum)
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu credere yang berarti
kepercayaan atau credo atau creditum yang berarti percaya. Oleh karena itu dasar dari
kredit adalah kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha
mendapat fasilitas kredit dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut
telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur)
pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah
dijanjikan.72
Dapat dijelaskan bahwa pemberian kredit bank didasarkan atas dasar
kepercayaan bahwa debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Untuk
71
Roger Vickery and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law
Principle & Applications, Pearson Education Australia, New South Wales, hal.186.
72
Thomas Suyatno, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta,
hal.11.
62
menimbulkan suatu kepercayaan, pihak bank melaksanakan prinsip 5 C yaitu menilai
seluruh aspek calon debitur apakah akan sanggup melunasi hutangnya tepat pada
waktunya. Hal ini dilakukan untuk menghidari terjadinya wanprestasi. Selain prinsip
5C pihak bank juga menerapkan prinsip 4P yaitu berupa para pihak, tujuan,
pembayaran dan perolehan laba. Menurut Achmadi Anwari, kredit ialah suatu
pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan
dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu
kontrak prestasi (balas jasa yang berupa biaya).73
Menurut UU Perbankan Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa kredit adalah
penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
73
Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan
Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal.108.
63
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai
kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:74
a. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang
b. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain
c. Adanya kewajiban melunasi utang
d. Adanya jangka waktu tertentu
e. Adanya pemberian bunga kredit
Dalam Buku III KUHPerdata Bab XIII Pasal 1754 menjelaskan bahwa pinjam
meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang
sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor
15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I
Nomor 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstrusikan kepada
masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bankbank wajib mempergunakan perjanjian kredit.
74
M.Bahsan, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.76-78.
64
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (principal) yang bersifat riel.
Sebagai perjanjian principal, maka perjanjian jaminan adalah asesornya. Ada dan
berakhrinya perjanjian jaminan bergantung perjanjian pokok. Arti riel ialah bahwa
terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada
nasabah. Perbankan haruslah jeli untuk meneliti momentum terjadinya perjanjian
kredit dan terjadinya perjanjian jaminan. Idealnya ialah momentum itu jatuh
bersamaan, akan tetapi pada kenyataannya terjadi pada momentum yang berbedabeda. Keadaan ini dapat menimbulkan kerugian bagi bank bagi penyedia kredit.75
Menurut Muhamad Djumhana, bahwa perjanjian kredit pada hakekatnya
adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata
Pasal 1754, yang menyebutkan bahwa :
Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula.76
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan dengan mana para
pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit
yang mana pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak
kreditur akan menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama
dengan bunga pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Pihak
75
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal.111.
76
Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 385.
65
debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar kepercayaan bahwa
pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Jadi apabila debitur
telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur juga berkewajiban
menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur. Mariam Darus
Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari
penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara
pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara
keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) obligatoir, yang
dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan bagian umum KUHPerdata.77
Dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok yang dibuat oleh
pihak bank secara baku. Maksudnya adalah isi yang ada dalam perjanjian kredit
seluruhnya ditentukan oleh pihak bank dan perjanjian pokok ini akan diikuti dengan
perjanjian tambahan yang berupa jaminan harta benda debitur seperti tanah yang
dapat digunakan oleh kreditur apabila debitur wanprestasi. Jika wanprestasi tejadi,
maka keuntungan menjadi kreditur yang diistimewakan ialah kreditur dapat menjual
langsung objek yang dijadikan jaminan tanpa meminta penetapan pengadilan karena
dalam hak tanggungan menganut parate eksekusi.
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan
oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada
nasabahnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan
77
Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman VI), hal.28.
66
aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan
tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit
wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya.78
2.2.2. Kriteria Perjanjian Kredit
Teori perjanjian dipergunakan karena adanya hubungan antara para pihak.
Dalam doktrin teori lama, perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan pada doktrin teori baru oleh
Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi teori ini
tidak hanya memandang perjanjian saja tetapi juga perbuatan sebelum atau yang
mendahuluinya.
Agar suatu perjanjian sah harus memenuhi beberapa syarat. Syarat sahnya
suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kesepakatan dalam perjanjian
ialah perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya,
78
hal.24.
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,
67
kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya
sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah
satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu
pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para
pihak.
Kecakapan untuk membuat perikatan; seseorang yang membuat suatu
perjanjian harus cakap menurut hukum. Untuk menentukan seseorang cakap yaitu
yang tidak termasuk dalam bunyi Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
1) Anak yang belum dewasa
2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
Ad.1. Anak yang belum dewasa
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Ketentuan Pasal tersebut memberikan
arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa seseorang
baru dikatakan dewasa jika ia telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah
menikah. Kedua hal tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seseorang anak
yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap
berusia 21 (dua puluh satu) tahun tetap dianggap telah dewasa. Anak yang belum
68
dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh orang tuanya atau
walinya. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal
50 disebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
Ad.2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
Dalam Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa, yang
selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di
bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 436
KUHPerdata menyatakan bahwa segala permintaan akan pengampuan, harus
dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang
yang dimintakan pengampuan berdiam. Jadi dengan diletakkannya orang-orang
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerdata di bawah pengampuan, maka
segala tindakan orang-orang tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya.
Ad.3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
Semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun
setelah dikeluarkannya
Surat
Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka seorang perempuan yang masih
69
bersuami berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di
depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya.
Suatu hal tertentu; menurut ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok-pokok perjanjian berupa
suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Suatu sebab yang halal; Pada Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa
suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Ketentuan ini menjelaskan yang
dimaksud dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu
dan bukan sebab yang terlarang.
2.2.3. Asas-Asas Perjanjian Kredit
Berikut ini merupakan asas-asas yang pada umumnya terdapat dalam
perjanjian kredit yaitu :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
b. Asas Konsensualisme
c. Asas Kepatutan
d. Asas Pacta Sunt Servanda
e. Asas Itikad Baik
Asas Kebebasan Berkontrak, maksud dari asas ini ialah terdapat dalam ketentuan
Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
70
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk
secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:
1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
4. Bebas menentukan bentuk perjanjian
5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. 79
Asas Konsensualisme, maksud dari asas ini ialah lahirnya kontrak yaitu pada
saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara
para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.
Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak
dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah
obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut.80
Asas Kepatutan, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas
tersebut menyatakan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
79
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali
Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru II), hal. 4.
80
Ibid, hal.3.
71
Asas Pacta Sunt Servanda, dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.
Asas ini pada mulanya dikenal di dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila adanya kesepakatan kedua belah
pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian
yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan
dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas ini diberi
arti paktum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya.
Asas itikad baik, dalam Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pentingnya itikad baik tersebut sehingga
dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu
hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus itu
akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak
dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.81
2.2.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian
kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk
tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini akan
81
Ibid, hal.5.
72
merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah
disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.82
Bentuk perjanjian kredit bank yang menunjuk pada perjanjian standar ini
dibuat dengan 2 (dua) cara yaitu:
a. Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan adalah perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka
tanpa notaris. Bahkan, lazimnya dalam penandatanganan perjanjian tanpa
adanya saksi yang turut serta dalam membubuhkan tanda tangannya.
Padahal, saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata.
b. Perjanjian kredit dengan akta otentik adalah perjanjian pemberian kredit oleh
bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.
Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1886
KUHPerdata.
Jadi, pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara
tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Perjanjian
kredit berfungsi untuk memberikan panduan pada bank tentang perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank,
sehingga bank tidak dirugikan dan nasabah akan merasa aman bahwa dananya
terjamin dengan baik. Oleh karena itu, sebelum bank memberikan kredit kepada calon
82
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.319-320.
73
debitur maka bank akan menilai seluruh aspek yuridis dari debitur tersebut agar bank
merasa mendapat perlindungan apabila terjadi wanprestasi dikemudian hari.
74
BAB III
PERWUJUDAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM STANDARD CONTRACT
ANTARA BANK DAN DEBITUR
Uraian Bab III ini pada hakekatnya untuk menjawab pokok permasalahan
pertama yang merupakan hasil wawancara. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian
Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni
Komang Purnama Dewi tanggal 17 Februari 2014 disebutkan :
1. Perjanjian kredit dengan klausul baku di
Bank Mayapada tidak
mencerminkan asas keseimbangan karena tidak terdapat klausul yang
menyatakan secara tegas kewajiban bank sedangkan banyak klausul
menyebutkan kewajiban yang harus dipatuhi debitur. Selain itu tidak terdapat
klausul yang secara tegas menyebutkan hak debitur sedangkan banyak
klausul menyebutkan hak bank.
2. Ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku
mengakibatkan tidak terwujudnya asas kebebasan berkontrak dalam suatu
perjanjian.
3. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dapat dikategorikan
menjadi :
a. Klausul jenis, jumlah pinjaman, fasilitas, tujuan penggunaan pinjaman,
jangka waktu fasilitas kredit.
b. Klausul cara penarikan pinjaman
74
75
c. Klausul bunga dan provisi
d. Klausul cara pembayaran
e. Klausul kelalaian
f. Klausul jaminan berakhir dan diakhiri perjanjian.
g. Klausul asuransi
h. Klausul menjaminulangkan
i. Klausul biaya lainnya
j. Klausul perubahan
k. Klausul lain-lain
4. Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada terdapat banyak terdapat klausul
mengenai kewajiban debitur tanpa sekalipun menyebut adanya kewajiban
pihak bank. Kewajiban bank untuk memberikan pinjaman kepada debitur
sejumlah
yang telah
diperjanjikan
terdapat
dalam klausul
jumlah
pinjaman/hutang dan fasilitas pinjaman yang tidak secara tegas dinyatakan
bahwa pihak bank wajib memberikan pinjaman melainkan dengan kata-kata
“Bank Mayapada yang berkedudukan di Jakarta Selatan telah memberikan
pinjaman sejumlah tertentu”.
Sementara itu Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam
wawancara tanggal 10 Februari 2014 mengatakan bahwa :
76
1. Perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada tidak memenuhi asas
keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
2. Dalam perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur
diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah
pihak yang lemah.
3. Klausul perjanjian kredit BPR Lestari dapat dikelompokan menjadi:
1. Klausul jumlah kredit
2. Klausul bunga, provisi dan administrasi
3. Klausul jangka waktu kredit
4. Klausul cara pembayaran
5. Klausul jaminan kredit
6. Klausul asuransi
7. Klausul kelalaian
8. Klausul pemerikasaan oleh bank
9. Klausul perkembangan usaha
10. Klausul pembatasan tindakan debitur
11. Klausul kuasa
12. Klausul ketentuan bank
13. Klausul pembukuan utang
14. Klausul ahli waris/penanggung
77
15. Klausul biaya
16. Klausul lain-lain
17. Klausul tambahan
Dengan demikan maka perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari
yang menggunakan standard contract tidak memenuhi asas keseimbangan
sebagaimana yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman. Asas keseimbangan
menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam
perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan
sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah.
Akibat atau konsekuensi dari tidak terpenuhinya asas keseimbangan adalah
tidak adanya asas kebabasan berkontrak karena isi perjanjian ditentukan secara
sepihak oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Sedangkan pihak yang
kedudukannya lebih lemah hanya menerima kontrak yang disodorkan oleh pihak
yang kuat tersebut. Pembenaran teoritik terhadap hal tersebut di atas dapat ditemukan
dalam literatur Mariam Barus Badrulzaman, Djumadi, Agus Yudha Hernoko, C.S.T
Kansil dan Christine Kansil, Abdulkadir Muhhamad, Kartini Mauljadi dan Gunawan
Widjaja, Salim H.S, J. Satrio, R. Setiawan, Sidharta, Sutan Remi Sjahdeini.
78
3.1. Klausul-Klausul Dalam Kontrak Standar Kredit Bank Mayapada dan
BPR Lestari
Dalam penelitian ini ditemukan data yang mendukung dan melengkapi
penelitian yang berkaitan dengan “Penerapan Standard Contract Perjanjian Kredit
Bank Terhadap Debitur”. Secara lebih lengkap klausul-klausul dalam perjanjian
kredit BPR Lestari dan Bank Mayapada dapat dikelompokan menjadi klausul-klausul
sebagai berikut :
1. Klausul Jenis, Jumlah Pinjaman, Fasilitas, Tujuan penggunaan pinjaman, jangka
waktu fasilitas kredit.
a. Kreditur dengan ini telah memberikan pinjaman uang kepada Debitur
dengan jumlah setinggi-tingginya dalam bentuk fasilitas pinjaman
berikut perpanjangan, perubahan, penambahan dan pembaharuannya.
b. Debitur dengan ini mengaku berhutang pada Kreditur sampai jumlah
setinggi-tingginya …..dalam bentuk fasilitas….. berikut perubahan,
penambahan dan pembaharuannya.
c. Kreditur memberi pinjaman uang dengan fasilitas tersebut untuk
tujuan……
d. Kreditur memberikan pinjaman tersebut kepada Debitur unutk jangka
waktu …..terhitung mulai tanggal…sampai dengan tanggal
2. Klausul Cara Penarikan Pinjaman
a. Pengambilan uang atas fasilitas tersebut harus dilakukan Debitur dengan
menandatangani dan menyerahkan cek, bilyet, giro, surat atau tanda
penerimaan uang lainnya yang disetujui oleh Kreditur.
b. Cek, giro, bilyet, surat atau tanda penerimaan uang lainnya yang
diserahkan oleh Debitur akan dibayar Kreditur pada waktu Kreditur
membuka kasnya untuk umum.
3. Bunga dan Provisi
a. Debitur wajib membayar bunga sebesar…
79
Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh
Kreditur secara sepihak, sesuai tingkat suku bunga yang berlaku pada
Kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur.
Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi
kuasa pada Kreditur untuk mengubah besarnya suku bunga tersebut
sampai semua hutang debitur kepada Kreditur lunas, bunga dithitung
dari jumlah pinjaman Debitur kepada Kreditur.
b. Debitur wajib membayar provisi sebesar…
4. Cara Pembayaran
a. Setiap waktu, pada saat Kreditur membuka kasnya untuk umum, Debitur
berhak mengangsur maupun membayar semua hutang pada Kreditur.
b. Kreditur akan memasukan setiap pembayaran tersebut di atas dalam
suatu rekening/ koran/pembukuan pinjaman Debitur dan Debitur akan
menerima turunan atau salinan dari rekening koran/pembukuan tersebut.
c. Bunga atas fasilitas tersebut dan semua biaya yang mungkin ada
sehubungan dengan perjanjian ini akan diperhitungkan dan dibebankan
pada rekening/Koran/pembukuan Debitur setiap awal bulan.
d. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak Debitur menerima
salinan rekening koran/pembukuan tersebut, Debitur tidak memahukan
keberatannya, maka rekening koran/pembukuan tersebut dianggap telah
disetujui oleh Debitur dan Debitur tidak berhak menyangkal dengan
apapun juga mengenai rekening koran/pembukuan tersebut.
5.
Klausul Kelalaian
Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap
lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang
telah ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun suratsurat lain yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur
tersebut, Debitur wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan
oleh Kreditur yang dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh
Debitur kepada Kreditur.
6. Klausul Jaminan Berakhir dan Diakhirinya Perjanjian
a. Perjanjian ini berakhir sesuai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 di atas
b. Menyimpang dari ketentuan Pasal 4 di atas
i. Debitur setiap waktu berhak mengakhiri perjanjian ini, apabila Debitur
memberitahukan kehendaknya tersebut secara tertulis kepada Kreditur
80
ii.
iii.
iv.
c.
i.
7 (tujuh) hari sebelumnya dan surat tersebut telah diterima Kreditur.
Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya memberikan
persetujuan untuk hal tersebut di atas dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pinjaman dilunasi sebelum jangka waktu fasilitas kredit berakhir
akan dikenakan denda/penalty sebesar 2 % (dua persen) dari plafon
pinjaman.
b. Kreditur berhak untuk sewaktu-waktu mengubah besar denda
penalty sesuai dengan keadaan pasar tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu dan tanpa perlu mendapat persetujuan dari debitur.
Kreditur secara sepihak membatalkan sewaktu-waktu, tanpa syarat
perjanjian ini, apabila:
a. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan meninggal dunia dan/atau
dibubarkan/dinyatakan pailit, memohon penundaan pembayaran
hutang, ditaruh di bawah pengampuan atau karena apapun juga tidak
berhak mengurus atau menguasai harta kekayaannya.
b. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan tidak mematuhi satu atau
beberapa syarat dalam perjanjian ini.
c. Sebagian atau semua kekayaan Debitur dan/atau Pemberi jaminan
disita oleh pihak lain.
d. Bonafiditas Debitur dan/atau Pemberi Jaminan diragukan oleh
Kreditur.
e. Kekayaan Debitur dan/atau Pemberi Jaminan berkurang sehingga
tidak mencukupi sebagai jaminan utang Debitur kepada Kreditur.
Kreditur membatalkan secara otomatis sisa fasilitas kredit yang belum
dipergunakan oleh Debitur, apabila Debitur tidak dapat memenuhi satu
atau beberapa kewajibannya kepada Kreditur atau menurut penilaian
Kreditur kondisi keuangan dan prospek usaha Debitur menurun
sehingga mengakibatkan kemampuan Debitur membayar menjadi
Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.
Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk aewaktu-waktu
menarik kembali sebagian/semua fasilitas tersebut jika Kreditur menilai
bahwa Kreditur dalam keadaan kurang layak untuk meneruskan
pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan
kepada Debitur atau pihak lain.
Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan diberitahukan secara
tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus
dibayar lunas paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan
kemudian oleh Kreditur.
Dalam hal berakhir atau diakhirinya perjanjian ini sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatas maka:
Kreditur tidak wajib melakukan pembayaran kepada debitur.
81
ii. Kreditur secara sepihak berhak untuk tidak memberikan sisa fasilitas
yang belum digunakan Debitur.
iii. Debitur wajib membayar semua jumlah uang yang masih terhutang
berikut bunga, provisi dan biaya lainnya kepada Kreditur dengan sekali
dan sekektika lunas
iv. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan dengan ini memberikan hak kepada
Kreditur untuk menetapkan sendiri jumlah hutang Debitur yang masih
harus dibayar, berdasarkan rekening dan/atau pembukuan Kreditur yang
khusus dibuat untuk itu. Rekening dan/atau pembukuan mengenai
jumlah hutang Debitur kepada Kreditur merupakan bukti yang cukup
dan mengikat Debitur, Pemberi Jaminan, Kreditur sehingga tidak
diperlukan lagi bukiti atau cara pembuktian tambahan apapun.
Debitur dan/atau Pemberi jaminan melepaskan semua semua hak untuk
menyangkal atau menyanggah jumlah hutang Debitur dan hal-hal lain
yang ditetapkan oleh Kreditur sampai semua hutang Debitur yang
ditetapkan oleh Kreditur melebihi jumlah yang terhutang oleh Debitur
kepada Kreditur, maka Kreditur wajib mengembalikan kelebihannya,
namun Kreditur tidak wajib membayar bunga dan/atau ganti rugi apapun
kepada Debitur dan/atau Pemberi Jaminan.
d. Semua pembayaran yang telah diperhitungkan oleh Kreditur dan didebet
dalam rekening koran/pembukuan Debitur, yaitu biaya administrasi,
provisi dan biaya lainnya, tidak dapat dituntut kembali oleh Debitur.
e. Pada waktu Debitur melunasi semua hutangnya kepada Kreditur maka
Kreditur harus mengembalikan Barang Jaminan kepada Debitur dan/atau
Pemberi Jaminan atau yang berhak menerimanya.
7. Klausul Asuransi
a. Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan
Barang Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang
dapat diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk
nanti pada waktunya, apabila Barang Jaminan telah memenuhi syarat
sebagai obyek asuransi), memberi kuasa kepada Kreditur untuk
mengasuransikan Barang Jaminan pada perusahaan asuransi yang
ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah pertanggungan yang
ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah tanggungan dan
wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur sebagai
yang berhak atas uang ganti kerugian/uang santunannya.
b. Apabila Pemberi Jaminan telah mengasuransikan Barang Jaminan
kepada perusahaan asuransi lain, maka Pemberi Jaminan dengan ini
memberi Kuasa kepada Kreditur untuk mengubah polis yang
bersangkutan dan mencantumkan Bunker’s Clause untuk kepentingan
82
Kreditur agar Kreditur menjadi pihak yang berhak sepenuhnya atas
uang santunan, apabila terjadi sesuatu peristiwa yang menurut perjanjian
asuransi mendapat uang ganti kerugian/uang santunan.
c. Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) diberi hak
dan kuasa oleh Pemberi Jaminan untuk mengajukan klaim kepada
perusahaan asuransi yang bersangkutan, mengadakan perundingan,
mengajukan/menunut/menyetujui jumlah uang ganti kerugian/uang
santunan, menerima semua pembayaran kerugian/santunan dan
memberikannya serta menandatangani tanda terimanya (kuitansinya)
yang sah.
d. Kreditur akan memperhitungkan uang ganti kerugian/uang santunan
tersebut dengan hutang Debitur kepada Kreditur tersebut dengan utang
Debitur kepada Kreditur.
Apabila terdapat kelebihan maka Kreditur akan mengembalikannya
kepada Debitur dan/atau pemberi jaminan. Untuk kelebihan uang
tersebut Pemberi Jaminan tidak berhak meminta bunga atau ganti rugi
yang berupa apapun kepada Kreditur.
Apabila terdapat kekurangan Debitur tertap wajib melunasi kekurangan
tersebut pada waktunya.
8. Klausul Menjamin Ulangkan
Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa kepada Kreditur
untuk menjamin-ulangkan (dengan cara apapun) piutang Kreditur kepada
Debitur berikut barang jaminan kepada Bank Indonesia, dengan syaratsyarat yang dianggap baik oleh Kreditur.
9. Klausul Biaya Lainnya
Selain bunga dan provisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di atas,
Debitur wajib membayar semua biaya yang mungkin ada sehubungan
dengan perjanjian ini dan perjanjian lain yang berkaitan dengan akta
notaris/akta di bawah tangan, termasuk
a. Biaya pembuatan akta ini
b. Biaya pengacara atau kuasa Kreditur untuk menagih kepada Debitur
atas kelalaianya.
Biaya-biaya tersebut adalah tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur
dan Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi
kuasa kepada Kreditur untuk memperhitungkannya pada saldo
rekening/pembukuan Debitur.
83
10. Klausul Perubahan
i. Ketentuan mengenai jangka waktu, jumlah hutang dan Barang Jaminan
dari fasilitas tersebut dapat diperpenjang dan diubah dengan perjanjian
lain yang ditetapkan/disetujui oleh para pihak, yang dapat dibuat dengan
akta notaris/akta di bawah tangan.
Perjanjian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan perjanjian ini.
ii. Untuk keperluan tersebut dalam ayat 1 di atas maka Pemberi Jaminan
(sekarang untuk nanti pada waktunya) secara tegas menyatakan dan
menyetujui bahwa barang jaminan ini, tetap berlaku untuk perjanjian lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas.
iii. Apabila terdapat perubahan sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 di atas,
maka Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa pada Kreditur untuk
memperpanjang/memperbaharui/mengubah perjanjian asuransi atas
Barang Jaminan dengan menggunakan syarat, jangka wakru, dan jumlah
tanggungan yang dianggap baik oleh Kreditur dengan biaya dibayar oleh
Debitur
11. Klausul lain-lain
a. Debitur wajib menyerahkan laporan keuangan sebagai berikut:
i. Memiliki kekayaan paling sedikit ……wajib menyerahkan laporan
keuangan yang telah diaudit untuk setiap tahun fiskal yang berkala
kepada Kreditur selambat-lambatnya sebelum berakhirnya tahun fiskal
berikutnya.
ii. Memiliki kekayaan di bawah…… (dua puluh lima miliar rupiah)
wajib menyerahkan laporan keuangan internal akhir tahun kepada
kreditur serta laporan keuangan internal akhir tahun kepada kreditur
serta laporan keuangan internal posisi triwulan terakhir.
b. Perjanjian ini dan perjanjian lain yang dibuat antara debitur dengan
Kreditur yang berhubungan dengan perjanjian ini dan segala akibatnya
tunduk pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pemberian
peminjaman yang berlaku umum, baik yang timbul sekarang maupun di
kemudian hari, sejauh ini tidak bertentangan atau menyimpang dari
undang-undang dan peraturan yang berlaku.
c. Apabila satu atau beberapa syarat, ketentuan kuasa atau janji yang
tercantum dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak
dapat dilaksanakan menurut hukum yang berlaku maka hal itu tidak
mengakibatkan semua atau sebagian syarat, ketentuan, kuasa atau janji
dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak dapat
dilaksanakan.
84
3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank
Dalam hukum kontrak di Indonesia, keabsahan perjanjian kredit yang berupa
kontrak standar dapat dinilai berdasarkan dua peraturan perundangan yaitu,
KUHPerdata dan UU Perlindungan Konsumen sebagai peraturan perundangan yang
khusus mengatur perjanjian atau kontrak dengan klausul baku. Sebagaimana telah
disebutkan dalam bab sebelumnya, keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata
terdapat dalam ketentuan Pasal 1320, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat nomor 1, yaitu mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
dan syarat nomor 2 yaitu
mengenai kecakapan membuat perjanjian berkenaan
dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat nomor 3 mengenai suatu hal tertentu dan
syarat nomor 4 mengenai suatu sebab yang halal, berkenaan dengan objek perjanjian.
Perbedaan kedua bentuk persyaratan tersebut dikaitkan dengan ketentuan “perjanjian
batal demi hukum” dan “dapat dibatalkannya suatu perjanjian”.
Apabila syarat objektif suatu perjanjian tidak dipenuhi maka perjanjian
tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian tersebut sudah batal.
Hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Tujuan para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah
85
gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Pasal 1337
KUHPerdata menentukan “Suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat
perjanjian itu batal demi hukum”.
Sedangkan apabila persyaratan subjektif tidak dipenuhi oleh suatu perjanjian
maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan. Pembatalan
suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata yang menentukan :
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik,
andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat
keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu
untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu
bulan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata tersebut di atas maka dapat
disimpulkan adanya tiga syarat untuk pembatalan perjanjian, yaitu:
1. Harus terjadi dalam suatu persetujuan timbal balik dimana salah satu pihak
tidak memenuhi kewajiban.
2. Harus ada ingkar janji dimana salah satu pihak, misalnya debitur, harus
diberi penetapan lalai. Pengadilan memutuskan apakah ingkar janji yang
dilakukan debitur cukup berat untuk membatalkan perjanjian.
3. Harus melalui putusan hakim.
86
Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum
atau tidak dibatalkan pengadilan. Artinya perjanjian yang sudah dibatalkan
pengadilan tidak perlu dibatalkan oleh para pihak. Apabila belum dibatalkan
pengadilan maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku dan dalam
perjalanannya dapat dimohonkan pembatalan oleh salah satu pihak.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ada empat syarat mengenai sahnya
suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Berikut ini akan diulas satu persatu dari keempat syarat mengenai sahnya
suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas:
1. Kata Sepakat
Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau
persesuaian dari kehendak para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Pengertian
sepakat
merupakan
persyaratan
kehendak
yang
disetujui
(overeenstemende wilsverklaring). Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(accceptatie).
87
Tetapi kesesuaian kehendak antara dua pihak saja belum melahirkan
perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan
harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah
menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat.
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat
dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu adanya
paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan
(bedrog).83 Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat
kehendak yang lain, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Terkait dengan paksaan Pasal 1324 KUHPerdata menyebutkan :
Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan
dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya,
orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat.
Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin
dan kedudukan orang yang bersangkutan.
Dengan demikian menurut Pasal 1324 KUHPerdata yang disebut kondisi
dimana telah terjadi paksaan adalah apabila perbuatan itu adalah sedemikian rupa
sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan
itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Bahkan dalam
Pasal 1325 KUHPerdata yang paksaan yang menyebabkan adanya cacat kehendak
bukan hanya paksaan pada orang yang terlibat perjanjian, melainkan juga paksaan
83
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, loc.cit.
88
yang menimpa keluarganya. Pasal 1325 KUHPerdata pada hakikatnya menyatakan
paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap
salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap
suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Hal ini juga
dijumpai pada Pasal 290, Pasal 1323, Pasal 1449 KUHPerdata.
Paksaan tentu saja dapat berupa kekerasan jasmani atau ancaman melalui atau
dengan sesuatu yang menimbulkan ketakutan sehingga yang bersangkutan terpaksa
membuat perjanjian. Sementara itu kekeliruan atau kesesatan terjadi apabila salah
satu pihak keliru mengenai hal-hal yang pokok dari hal yang diperjanjikan. Keliru
mengenai syarat-syarat yang penting dari barang atau jasa yang menjadi objek
perjanjian atau keliru dalam memahami dengan siapa perjanjian itu dilakukan.
Namun agar dapat menimbulkan cacat kehendak maka kekeliruan itu harus
sedemikian rupa sehingga apabila tidak terjadi kekeliruan maka orang itu tidak akan
memberikan persetujuan.
Kemudian terkait cacat kehendak akibat penipuan, hal itu terjadi apabila salah
satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak
benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk agar pihak lain yang akan diajak
mengadakan kesepakatan memberikan persetujuannya. Dengan demikian maka
penipuan merupakan tindakan yang sengaja dalam mengajukan gambaran atau fakta
yang salah untuk sehingga pihak lain sepakat memasuki hubungan kontrak.
89
Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “Tiada suatu persetujuan pun
mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan”. Hal ini berarti jika dalam suatu perjanjian terdapat
kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka dalam perjanjian itu terdapat cacat pada
kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.
2. Kecakapan Membuat Perjanjian
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan “Setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk itu”. Terkait dengan
tidak cakap membuat perjanjian, Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa ada
beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni orang yang belum
dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan orang-orang perempuan,
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Seseorang
dikatakan belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata jika belum mencapai umur
21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur
kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Namun dalam perkembangannya
kemudian, definisi dewasa berdasarkan Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya
disebut UU Perkawinan) kedewasaan seseorang ditentukan anak berada di bawah
kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung
90
melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU Perkawinan, maka batas seseorang berada di bawah
kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.
Sekalipun seseorang telah dewasa tetapi dapat tergolong tidak cakap
melakukan perjanjian jika yang bersangkutan diletakkan di bawah pengampuan
(curatele). Seseorang dapat diletakkan di bawah pengampuan akibat kondisi tertentu,
misalnya, yang bersangkutan gila, dungu, mata gelap, lemah akal atau juga pemboros.
Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya, dan oleh karenanya
dapat merugikan dirinya sendiri.
3. Adanya suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu merupakan salah satu syarat objektif suatu perjanjian yang
apabila tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 1333
KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki
objek tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa yang
diperjanjikan, menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tetapi objek
perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Menurut J. Satrio
yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi
perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.
91
4. Kausa Hukum yang halal
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata suatu kausa dinyatakan terlarang
jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu
kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila kausa di dalam
perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku. Sedangkan untuk menentukan suatu kausa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan relatif sulit mengingat konsep kesusilaan sangat abstrak, berbeda-beda
antara daerah yang satu dan daerah lain. Kausa hukum dalam perjanjian juga
tergolong terlarang apabila bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum,
dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum,
keamanan negara, keresahan dalam masyarakat.
KUHPerdata Indonesia sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai
perjanjian dengan klausul baku. Namun KUHPerdata dapat diterapkan pada
perjanjian dengan klausul baku apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik.
Karenanya para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul
yang terdapat dalam perjanjiian, terutama perjanjian kredit yang ada di perbankan.
Klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit tersebut harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk
misalnya paksaan atau penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
92
Pengaturan secara khusus mengenai klausul baku terdapat dalam UU
Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen
tercantum larangan terhadap pencantuman berbagai klausul baku dalam suatu
dokumen atau perjanjian.
Bedasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa keabsahan
perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku baku sangat ditentukan oleh
pemenuhan persyaratan mengenai keabsahan perjanjian sebagaimana ditentukan oleh
Pasal 1320 KUHPerdata. Jika dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut maka perjanjian kredit dengan
menggunakan klausul baku tersebut adalah sah. Kontrak baku dapat dibatalkan jika
tidak memenuhi syarat subjektif melalui gugatan pembatalan kontrak ke pengadilan.
Perjanjian kredit dengan klausul baku akan batal demi hukum apabila tidak
memenuhi persyaratan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Selain itu keabsahan perjanjian kredit bank yang menggunakan klausul baku juga
ditentukan oleh UU Perlindungan Konsumen. Jika memuat klausul yang dilarang
oleh Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka perjanjian tersebut batal
demi hukum sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen.
Terkait dengan beberapa klausul yang dilarang untuk dimuat dalam dokumen
atau perjanjian antara produsen dan konsumen sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka penurut penulis ada beberapa klausul
93
baku dalam perjanjian kredit pada bank yang diteliti sangat rentan untuk
dikategorikan sebagai melanggar larangan tersebut. Salah satu klausul yang dilarang
tersebut adalah klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari, klausul yang dapat tergolong sebagai
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha adalah klausul dalam Pasal 16 yang
berbunyi :
Bank berhak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur memindahkan atau
mengalihkan dengan cara apapun sebagian atau seluruh hak/dan atau kewajiban
bank dalam memberikan fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit kepada
lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya.
Untuk keperluan tersebut debitur sekarang untuk nanti pada waktunya memberi
kuasa kepada bank untuk memberikan data dan/atau keterangan yang diperlukan
kepada lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya.
Selain itu ada pula klausul lain dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti
dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f UU Perlindungan
Konsumen yang melarang mencantumkan pemberian hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari pada Pasal 11 tercantum :
1. DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK:
a. Untuk mendebet dan mempergunakan dana tersimpan pada BANK, baik
dari rekening/tabungan/deposito milik DEBITUR guna pembayaran
pokok angsuran (pokok pinjaman dan bunga), provisi, denda, premi
asuransi, biaya-biaya lain dan segala sesuatu yang terhutang berkenaan
dengan pemberian kredit tersebut.
b. Untuk dan atas nama DEBITUR membuat dan menandatangani Akta
Pengakuan Hutang Murni untuk menegaskan jumlah yang terhutang
secara nyata oleh DEBITUR jika diperlukan untuk memenuhi Pasal 224
Reglemen Indonesia yang diperbaharui atau Pasal 228 Reglemen untuk
luar jawa dan Madura berdasarkan syarat-syarat lain dan ketentuan-
94
2.
3.
4.
5.
ketentuan yang dianggap baik oleh BANK (selanjutnya disebut
pengakuan hutang).
Khusus untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaran Bermotor
(KKB) DEBITUR dengan ini memberikan kuasa kepada BANK untuk
mentransfer atau dengan cara apapun menyerahkan jumlah uang yang berasal
dari perjanjian kredit ini kepada Developer/Dealer/Penjual.
PENGAKUAN HUTANG meliputi jumlah hutang yang diterima DEBITUR
dari BANK yang besarnya ditetapkan berdasarkan pembukuan BANK
sehubungan dengan perjanjian ini berikut dengan perubahan dan/atau
pembaharuannya dan merupakan bukti yang sempurna dan mengikat
DEBITUR dihadapan semua badan peradilan dan mengikat DEBITUR
dihadapan semua badan peradilan dimanapun juga.
DEBITUR dengan ini menyetujui dan mensahkan semua tindakan BANK
dan tidak akan menuntut atau menggugat BANK dan membebaskan BANK
dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari pihak manapun sehubungan dengan
pembuatan dan pelaksanaan PENGAKUAN HUTANG tersebut diatas.
Kuasa-kuasa tersebut di atas merupakan bagian yang terpenting dan tidak
dapat dipisahkan dari surat perjanjian ini, yang tidak dapat dibuat tanpa
adanya kuasa tersebut dan oleh karena itu kuasa ini tidak akan dicabut dan
tidak akan berakhir karena sebab apapun juga atau karena sebab-sebab lain
yang diatur dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain itu pemberian kuasa kepada bank oleh debitur juga terdapat dalam
klausul mengenai asuransi dimana disebutkan bank diberi kuasa oleh debitur untuk
menutup dan memperpanjang asuransi atas biaya debitur dengan mendebetnya dalam
rekening dan atau simpanan lain debitur pada bank. Klausul baku lainnya dalam
perjanjian kredit di BPR Lestari juga dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal
18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan pelarangan
terhadap klausul baku untuk menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang
merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Pasal 12 Perjanjian Kredit di BPR Lestari berbunyi
”DEBITUR dengan ini berjanji akan tunduk pada segala ketentuan dan kebiasaan-
95
kebiasaan yang berlaku pada BANK baik yang berlaku sekarang maupun di
kemudian hari”.
Klausul perjanjian kredit sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Perjanjian
Kredit di BPR Lestari adalah hal yang sudah sejak lama diterapkan pihak perbankan
dalam perjanjian kredit. Karena itu pelarangan terhadap klausula dimaksud
tampaknya akan sulit dipenuhi oleh pihak bank kecuali terdapat pengecualaian
terhadap penerapan klausul seperti itu. Hal itu karena adanya kaitan antara klausul
tersebut dengan klausul lain yang menentukan bahwa bank berhak melakukan
perubahan suku bunga sesuai dengan perkembangan moneter yang akan diuraikan
pada bagian selanjutnya. Klausul baku sebagaimana ketentuan Pasal 12 Perjanjian
Kredit di BPR Lestari, di satu pihak menunjukan dominannya pihak bank dalam
perjanjian dibandingkan dengan nasabah debitur. Tetapi di sisi lain menunjukan suatu
mekanisme pertahanan dari bank terhadap berbagai gejolak yang dapat merugikan
bank yang bersangkutan dalam jangka berlakunya kredit. Terkait hal ini akan
diuraikan dalam bagian selanjutnya karena terkait dengan persoalan asas kebebasan
dan asas keseimbangan dalam perjanjian standar.
3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku adalah perjanjian yang
ditentukan secara sepihak oleh pihak Bank dan pihak nasabah debitur hanya dapat
menerima atau menolak menandatangani perjanjian kredit tersebut. Tidak terbuka
96
ruang bagi debitur untuk melakukan perubahan klausul kredit baku yang disodorkan
oleh pihak bank. Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank membatasi
kebebasan nasbah debitur dalam tiga hal, yaitu :
1. Kebebasan dalan menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar
berbentuk tertulis.
2. Kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara
pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank.
3. Kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh
pihak bank.
Sekalipun demikian perjanjian standar masih menyediakan ruang dalam hal
kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat
perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Tidak
terwujud sepenuhnya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank
menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara pihak dalam perjanjian
tersebut.
Dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti, penulis menemukan bahwa
ketidakseimbangan tampak dari klausul-klausul standar di bawah ini yang dibuat
secara sepihak oleh bank yang tidak mencerminkan asas keseimbangan karena
memberatkan debitur, yaitu :
1. Klausul Perubahan Suku Bunga Kredit
2. Klausul Penarikan Fasilitas Kredit
97
3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit
4. Klausul Percepatan Pelunasan Utang Debitur
5. Klausul Eksekusi Barang Jaminan.
Penjelasan mengenai klausul-klausul tersebut akan diuraikan dibawah ini
sebagai berikut:
1. Klausul tentang perubahan suku bunga kredit
Dalam kondisi perekonomian dan moneter yang rentan mengalami fluktuasi
maka pihak bank menerapkan klausul yang memungkinkannya melakukan perubahan
tingkat suku bunga secara sepihak untuk mencegah kerugian akibat gejolak moneter.
Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul tersebut terdapat pada Pasal 2 angka 3
yang menentukan ”Tanpa pemberitahuan kepada DEBITUR, BANK setiap saat
berhak melakukan perubahan suku bunga kredit”. Pada Bank Mayapada klausul
tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan :
Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh Kreditur secara
sepihak, sesuai tingkat suku bunga pada kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur.
Debitur dengan ini memberi kuasa kepada kreditur untuk mengubah besarnya
suku bunga tersebut sampai hutang debitur kepada kreditur lunas, bunga tersebut
dihitung dari jumlah pinjaman debitur kepada Kreditur.
Klausul penetapan suku bunga kredit ini adalah klausul eksonerasi yang
merupakan satu sumber permasalahan dari suatu perjanjian baku yang bertujuan
membebaskan bank dari akibat yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Adanya
klausul semacam ini dapat memberatkan pihak debitur apabila suatu saat suku bunga
kredit mengalami kenaikan. Bunga bank merupakan karakteristik dari produk bank.
98
Apabila pihak bank akan melakukan perubahan dari karakteristik produk bank, maka
pihak bank diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada setiap nasabah yang
sedang memanfaatkan produk bank (kredit) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sebelum perubahan, penambahan dan/atau pengurangan pada karakteristik produk
bank tersebut sebagai
ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk dan Penggunaan Data Nasabah.
Bank Indonesia juga mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006
yaitu salah satunya berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang merupakan realisasi dari upaya Bank
Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat UU
Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara
pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket
Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa
dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula
kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi
perkembangan perbankan nasional ke depan.
Mengenai penetapan bunga juga diatur pula pada KUHPerdata yaitu
sebagaimana pada ketentuan Pasal 1767 KUHPerdata yang menyatakan :
Ada bunga menurut penetapan undang-undang, ada pula yang ditetapkan dalam
perjanjian. Bunga menurut undang-undang ialah bunga yang ditentukan oleh
99
undang-undang. Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian boleh melampaui
bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang undangundang. Besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian harus dinyatakan
secara tertulis.
Dengan demikian penetapan bunga dalam perjanjian kredit harus dilakukan
secara tertulis. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/6/PBI/2005 sesungguhnya dapat digunakan untuk melakukan penetapan bunga
secara tertulis dalam kredit perbankan karena memiliki waktu 7 (tujuh) kerja untuk
melakukan perubahan tingkat suku bunga kredit. Hal ini tentu saja dengan catatan
apabila debitur setuju terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut. Persetujuan
debitur sangat penting bagi berlakunya perubahan suku bunga kredit oleh bank karena
Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen melarang klausul baku yang
menyatakan konsumen tunduk pada peraturan yang merupakan aturan baru,
tambahan, lanjutan atau pengubahan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
Klausul mengenai penentuan tingkat suku bunga secara sepihak menjadi
persoalan karena dalam praktek perbankan tidak pernah menurunkan suku bunga.
Dengan kata lain klausul perubahan tingkat suku bunga tersebut merupakan usaha
pihak bank untuk memastikan bahwa nasabah setuju apabila bank menaikan suku
bunga di tengah jalan akibat terjadinya suatu peritiwa yang dianggap dapat merugikan
pihak bank apabila tingkat suku bunga tidak dinaikan. Disinilah titik soal tidak
dipenuhinya asas keseimbangan dalam klausul bank mengenai perubahan trngkat
suku bunga ini. Klausul ini semata-mata hanya untuk melindungi pihak bank sama
sekali tidak memperhatikan kepentingan debitur. Tidak beralasan apabila beban
100
akibat kenaikan suku bunga yang dilakukan pemerintah dibebankan pada nasabah
debitur.
2. Klausul Tentang Penarikan Fasilitas Kredit
Dalam Perjanjian Kredit di BPR Lestari, klausul ini terdapat dalam Pasal 1
angka 2 yang menentukan “Bank berhak untuk mengurangi jumlah kredit tersebut
setiap saat semata-mata menurut pertimbangan BANK, antara lain karena keadaan,
karena perubahan nilai barang jaminan, atau karena keadaan likuiditas bank dan
sebagainya”. Pada Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam Pasal 10 huruf d
yang menentukan:
Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh debitur untuk sewaktu-waktu menarik
kembali sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur menilai bahwa Kreditur
berada dalam keadaan yang tidak tepat atau kurang layak untuk meneruskan
pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan kepada
Debitur atau pihak lain. Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan
diberitahukan secara tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut
harus dibayar lunas oleh Debitur paling lambat pada tanggal yang akan
ditetapkan Kreditur.
Klausul tersebut di atas menunjukan ketidakseimbangan antara para pihak
dalam perjanjian kredit, dimana pihak bank terlihat sangat dominan dalam perjanjian
dengan melakuan tindakan pengurangan kredit tanpa harus memberi penjelasan
apapun kepada debitur. Klausul ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat
(1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan melarang pelaku usaha
mencantumkan klausul baku yang menyatakan memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
101
3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit
Klausul ini selalu ada pada setiap perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit
di BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal 6 angka 1, yaitu :
Selama Perjanjian Kredit dimaksud di atas berlaku, maka barang jaminan harus
dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan,
pencurian, atau bahaya lain yang dianggap perlu oleh BANK kepada Maskapai
asuransi yang disetujui oleh BANK, dengan ketentuan premi asuransi dan biaya
lain berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan
dalam polis BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi tersebut (Bunker’s Clause). Untuk maksud
tersebut BANK dengan ini diberi kuasa oleh DEBITUR untuk menutup dan
memperpanjang asuransi tersebut, satu dan lain atas biaya DEBITUR dengan
mendebetnya dalam rekening atau simpanan DEBITUR pada BANK.
Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul ini terletak pada Pasal 11
angka 1 yang menentukan:
Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan Barang
Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang dapat
diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk nanti pada
waktunya, apabila Barang Jaminan telah memnuhi syarat sebagai objek asuransi)
memberi kuasa kepada debitur untuk mengasuransikan Barang Jaminan pada
perusahaan asuransi yang ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah
tanggungan yang ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah
tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur
sebagai yang berhak atas uang ganti rugi.
Keberadaan klausul ini penting karena asuransi adalah bentuk pertanggungan
atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.
Umumnya klausul ini digunakan oleh pihak bank sebagai pengalihan resiko kepada
perusahaan asuransi apabila terjadi bencana. Tetapi pengalihan resiko tersebut
dilakukan atas biaya yang dibebankan kepada debitur. Padahal yang mendapat
102
manfaat dari perlindungan asuransi tersebut bukan hanya nasabah, melainkan juga
bank.
4. Klausul Tentang Percepatan Pelunasan Utang Debitur
Klausul ini diadakan sebagai antisipasi kemungkinan debitur tidak memenuhi
janji-janji yan telah disepakati dalam perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit di
Bank Lestari klausul ini tercantum dalam Pasal 7 yang menentukan :
Menyimpang dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 tersebut di atas, maka BANK
berhak untuk sewaktu-waktu menghentikan atau memutuskan perjanjian kredit
ini dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1268
KUHPerdata, BANK dan DEBITUR sepakat menyenyampingkan ketentuanketentuan tersebut di atas sehingga tidak memerlukan surat pemberitahuan
(somasi) atau surat peringatan dari juru sita atau surat lain yang serupa itu.
Dalam hal demikian seluruh hutang DEBITUR kepada BANK harus dibayar
dengan seketika dan sekaligus, yaitu dalam hal terjadi salah satu dari kejadian di
bawah ini :
a. Bilamana DEBITUR menggunakan uang pinjaman tersebut menyimpang dari
tujuan penggunaannya.
b. Bilamana DEBITUR lalai atau tidak memenuhi syarat-syarat atau ketentuanketentuan yang dimaksud dalam Perjanjian Kredit ini dan/atau
perubahan/perpanjangan dan/atau perjanjian-perjanjian pengikatan jaminan
yang telah `ada maupun yang akan ditabuat di kemudian hari.
c. Bilamana aktivitas rekening atau aktifitas usaha DEBITUR tidak menunjukan
adanya kehiatan yang baik menurut pertimbangan BANK.
d. Bilamana menurut pertimbangan BANK kedaan keuangan DEBITUR,
bonafiditas, solvabilitasnya mundur sedemikian rupa sehingga DEBITUR
tidak dapat membayar hutangnya lagi.
e. Bilamana harta kekayaan DEBITUR atau penjamin baik seluruhnya atau
sebagian disita.
f. Bilamana harta kekayaan DEBITUR dan/atau pihak lain penanggung hutang
DEBITUR (penjamin) dimintakan pernyataan pailit atau ia sendiri
mengajukan permintaan itu dalam hal meminta atau mendapatkan penundaan
pembayaran (sueseance van betaling) atau karena sebab apapun DEBITUR
tidak berhak lagi mengurus dan menguasai kekayaannya atau dikenakan
hukum penjara atau meninggal dunia.
g. Bilamana debitur mengadakan penagihan atau pengoperan usaha atau
mengadakan perubahan Anggaran Dasar, Perubahan Susunan Pemegang
103
h.
i.
j.
k.
Saham, Direksi dan Dewan Komisaris tanpa persetujuan tertulis terlebih dulu
dari BANK
Bilamana barang-barang jaminan untuk pemberian kredit inim usnah,
berkurang nilainya baik sebagian atau seluruhnya atau karena sesuatu hal
berakhir hak penguasaannya.
Bilamana pernyataan-pernyataan, surat-surat, keterangan-keterangan yang
diberikan DEBITUR kepada BANK ternyata tidak benar.
Bilamana ijin-ijin usaha DEBITUR dicabut karena suatu sebab apapun juga
dicabut, berakhir dan dinyatakan tidak berlaku lagi atau dibatalkan.
Bilamana menurut pertimbangan BANK ada hal-hal lain yang meragukan
pengembalian/pelunasan kredit tersebut.
Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tentang percepatan
pelunasan utang debitur terdapat dalam Pasal 10 huruf d, yaitu sebagai berikut:
Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk sewaktu-waktu menarik
untuk sewaktu-waktu menarik sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur
menilai bahwa Kreditur berada dalam keadaan tidak tepat atau kurang layak
untuk meneruskan pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu
dibuktikan kepada Debitur atau pihak lain.
Penarikan semua/sebagian fasilitas tersebut akan diberitahukan secara tertulis
oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus dibayar lunas oleh
Debitur paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan oleh kemudian oleh
Kreditur.
Klausul diatas merupakan klausul yang mengatur mengenai bentuk-bentuk
peristiwa yang secara sepihak dikategorikan oleh bank sebagai kelalaian. Kelalaian
tersebut merupakan alasan bagi bank untuk membatalkan perjanjian kredit.
Pembatalan yang dilakukan bank tersebut merupakan pembatalan sepihak.
Pasal 1266 KUHPerdata menentukan 3 (tiga) syarat untuk memutuskan
perjanjian, adanya persetujuan timbal balik, adanya kelalaian (wanprestasi dan
putusan hakim). Tetapi keputusan bahwa debitur telah melakukan kelalaian tidak
berada di tangan pihak bank. Hakimlah yang harus memutuskan apakah ingkar janji
104
daripada debitur cukup berat atau tidak untuk membatalkan perjanjian. Tetapi
sebagaimana tercantum dalam klausul percepatan pembayaran utang debitur dalam
Perjanjian Kredit BPR Lestari terdapat kata-kata ”...dengan mengenyampingkan Pasal
1266 dan 1267 KUHPerdata...” yang dimaksudkan oleh Kepala Bagian Legal BPR
Lestari, Bapak I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, agar
dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu
pihak, maka:
a. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke
pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu
sendiri.
b. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain
untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut
ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Tetapi pengenyampingan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bukannya tanpa
akibat hukum. Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para
pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah
terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk
ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPerdata). Yang dapat ditiadakan
dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi dimasa yang
akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh
Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada
105
keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan
pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undangundang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Dengan demikian akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut,
pembatalan perjanjian tidak mengembalikan keadaan seperti semula, melainkan
hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri
dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari
perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak.
5. Klausul Tentang Eksekusi Barang Jaminan
Pada Perjanjian Kredit BPR Lestari klausul terdapat dalam Pasal 13, yang
menetapkan:
Bilamana BANK menjalankan hak-haknya dan hak-hak istimewanya baik
berdasarkan ketentuan Undang-Undang maupun berdasarkan Perjanjian Kredit
ini dan/atau perubahan/tambahan/perpanjangannya kemudian dan/atau
berdasarkan salah satu Perjanjian Pengikatan/Pemberian Jaminan atau
perjanjian-perjanjian lainnya yang dibuat berkenaan dengan Perjanjian Kredit
ini, maka lewatnya tanggal waktu pembayaran akan cukup membuktikan
KELALAIAN DEBITUR, sehingga tidak diperlukan pemberitahuan atau
peringatan (somasi) terlebih dahulu dari BANK. BANK berhak untuk
menetapkan berdasarkan catatan/pembukuannya jumlah hutang DEBITUR
kepada BANK berdasarkan Perjanjian Kredit dimaksud di atau karena sebab
apapun baik karena pokok maupun bunga, provisi, aksep dan biaya-biaya
lainnya.
Dengan ketentuan itu setelah dilakukan penjualan atau pelelangan tersebut
melebihi seluruh hutang DEBITUR maka kelebihan mana akan dikembalikan
kepada DEBITUR tanpa hak bagi DEBITUR untuk menuntut bunga atau ganti
rugi atau ganti rugi berupa apapun juga terhadap BANK. Sedangkan jika
ternyata belum cukup untuk melunasi hutang DEBITUR kepada BANK maka
kekurangannya ini tetap menjadi tanggung jawab DEBITUR untuk
melunasinya.
106
Pada perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam
Pasal 8 yang menentukan :
Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap
lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah
ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun surat-surat lain
yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur tersebut, Debitur
wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan oleh Kreditur yang
dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh Debitur kepada Kreditur.
Barang-barang yang dapat dijadikan jaminan dapat berupa barang bergerak
dan barang tak bergerak. Pembedaan antara kedua jenis barang jaminan tersebut akan
menentukan jenis dan bentuk pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda
tersebut dalam perjanjian kredit. Jamian berupa barang bergerak bentuk
pengikatannya berupa fidusia yang diatur dalam Fidusia. Jaminan berupa benda tak
bergerak (tanah dan bangunan) bentuk pengikatannya berupa Hak Tanggungan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UUHT).
Pembebanan Hak Tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang
debitur kepada pihak bank sebagai pemegang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 20
UUHT ayat (1) yang mentukan agar penjualan melalui pelelangan umum. Pasal 20
ayat (1) UUHT menyatakan apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
107
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.
Tetapi penjualan tidak harus melalui pelelangan. Apabila terjadi kesepakatan
antara
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak
Tanggungan dapat dilakukan dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal
20 ayat (2) UUHT yang menyatakan ”Atas kesepakatan pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat
dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”.
Dengan demikian penjualan di bawah tangan atas objek Hak Tanggungan
harus berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun dapat terjadi
kemungkinan dimana kespeakatan itu tidak tercapai karena berbagai alasan, misalnya,
debitur tidak berniat baik, maka tidak mendapat kesulitan menjual sendiri agunan
secara dibawah tangan maka didalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank
diberi kewenangan untuk menjual jaminan tersebut secara di bawah tangan.
Jual-beli itu sah saja, namun apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan
harga jauh di bawah harga wajar, maka pemberi Hak Tanggungan dan debitur (dalam
hal ini debitur bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan
108
kepada Bank. Gugatan tersebut bukan ditujukan pada penjualan tetapi pada penjualan
yang dinilai tidak wajar. Dalih yang dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa
bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan
atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas itikad baik.
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah
tangan atas objek Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitdikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan
dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Dalam hak benda yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit adalah benda
bergerak maka yang berlaku adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889,
selanjutnya disebut UU Fidusia) yang mengatur cara atau model eksekusi atas benda
yang dujadikan jaminan fidusia. Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia menetapkan :
Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan
beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada
Kreditur baru.
1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) oleh
penerima fidusia.
2. Penjualan yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima
fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan.
109
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga terttinggi
yang menguntungkan para pihak.
Dengan demikian undang-undang menuntut agar penjualan objek Hak
Tanggungan dan penjualan objek fidusia secara di bawah tangan harus merupakan
kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia. Penjualan tersebut tidak dapat
dilakukan tanpa persetujuan para pihak. Penjualan tersebut hanya dapat dilakukan
setelah lewat satu bulan setelah diberikan secara tertulis oleh pemberi dan/atau
penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya di dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Setiap janji
untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UU Fidusia adalah batal
demi hukum.
Berdasarkan uraian mengenai klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian
kredit dua bank yang telah diteliti oleh penulis maka tampak jelas bahwa perjanjian
kredit pada kedua bank tersebut tidak memenuhi asas keseimbangan suatu perjanjian.
Hal itu bertentangan dengan raison d’etre terjadinya suatu perjanjian, yaitu
kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang berada pada posisi atau kedudukan
seimbang. Apabila kedudukan para pihak dalam perjanjian tidak seimbang, maka
pihak yang kuat dapat menekan pihak yang lemah dengan menentukan secara sepihak
isi perjanjian, yang tentu saja menguntungkan pihak yang kuat tersebut.
110
Dalam menganalisis keseimbangan berkontrak dalam hubungan antara bank
dengan debitur, dapat disimpulkan bahwa keseimbangan para pihak akan terwujud
apabila berada pada posisi yang sama kuat. Oleh karena itu, dengan membiarkan
hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak
seringkali akan menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada posisi
yang lemah. Dengan demikian perlu adanya campur tangan dari Negara untuk
melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu atau dilarang
dalam suatu kontrak.
Berdasarkan uraian di atas maka asas keseimbangan dalam perjanjian kredit
antara bank dan debitur dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para
pihak. Apabila dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan
pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas keseimbangan merupakan
asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima sebagai landasan keterikatan
yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.
Terkait dengan klausul dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR
Lestari, ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan
debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang
mengandung kewajiban bagi debitur dan hanya satu klausul yang menyangkut hak
debitur yaitu hak untuk mendapat pinjaman sejumlah yang telah disepakati.
Sedangkan dari sudut pandang bank, hanya satu klausul yang mengatur kewajiban
111
bank, yaitu wajib memberikan kredit sejumlah yang telah disepakati kepada debitur.
Tetapi ada banyak klausul yang menentukan hak pihak bank.
Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas
keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada
hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang
subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. Untuk itu pihak debitur
perlu diberdayakan dan diseimbangkan posisi tawarnya sehingga asas keseimbangan
yang bermakna ”equal equilibrium” akan berkerja dan memberi keseimbangan
kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Tujuan asas keseimbangan
adalah menempatkan posisi para pihak seimbang dengan menentukan hak dan
kewajibannya.
Apabila perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari dianalisis
menggunakan Teori Keadilan menurut John Rawl maka hubungan antara Bank
Mayapada dan BPR Lestari dengan masing-masing debitur adalah hubungan
kontraktual yang kurang mencerminkan asas keadilan. Keadilan hanya dapat dicapai
apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas
dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan
antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice as
fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.
112
Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit di Bank
Mayapada dan BPR Lestari bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls
seperti yang telah diuraikan pada Bab I sub bab Landasan Teoritis diatas.
Ketidaksesuaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada
dan BPR Lestari kemerdekaan debitur tidak maksimal karena dibatasi dalam
hal cara menentukan bentuk perjanjian, terbatas dalam hal cara, dan terbatas
dalam menentukan isi perjanjian dan.
2. Kesetaraan bagi semua orang. Kedudukan antara pihak bank dan debitur
dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari sangat tidak
setara karena debitur dibebani banyak tanggung jawab dan hanya sedikit hak,
kebalikannya dari pihak bank, yang dibebani sedikit kewajiban tetapi diberi
banyak hak.
3. Prinsip kesamaan kesempatan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada
dan BPR Lestari pihak bank maupun pihak debitur mendapat kesempatan
yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan.
Namun perlu ditegaskan bahwa prinsip kesamaan menurut John Rawls tidak
mengacu pada kesamaan dalam memperoleh hasil melainkan kesetaraan
kedudukan dan hak dalam suatu hubungan kontraktual. Sekalipun terjadi
kesamaan dalam mendapatkan hasil dari kredit yang disalurkan namun
113
perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak mencerminkan
keseteraaan kedudukan dan hak antara debitur dan kreditur.
Rangkuman dari pembahasan Bab III yang merupakan hasil penelitian dengan
wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Ni Komang Purnama Dewi
dan Kepala Bagian Kredit BPR Lestari I Nyoman Suardana ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas
keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR
Lestari hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai
hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah.
2. Ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan
debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang
mengandung kewajiban bari debitur dan tidak ada klausul yang secara tegas
menyatakan hak debitur. Sedangkan dari sudut pandang bank, tidak ada
klausul yang secara tegas menyatkan kewajiban bank. Tetapi ada banyak
klausul yang menentukan hak pihak bank.
3. Asas keseimbangan dalam perjanjian kredit anatara bank dan debitur
dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak. Apabila
dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan
pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak
114
yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas
keseimbangan merupakan asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima
sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.
Konsekuensi dari kedudukan para pihak tidak seimbang adalah pihak lemah
biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa
yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi
lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausulklausul tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya
dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi
dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang
kedudukannya lebih kuat.
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang
memiliki kedudukan lebih kuat, maka dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat
klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan
beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung
jawabnya. Penerapan klausul-klausul tertentu yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang lebih
lemah dalam hal ini debitur, yang biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.
115
BAB IV
STANDARD CONTRACT DALAM MEMBERIKAN KREDIT
MENCERMINKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Isi bab ini mendeskripsikan hasil wawancara mengenai asas kebebasan
berkontrak para pihak dalam perjanjian kredit perbankan yang menggunakan kontrak
standar. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang
Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni Komang Purnama Dewi tanggal
17 Februari 2014 disebutkan :
1. Penandatangan perjanjian kredit yang dilakukan Bank Mayapada dan debitur
menunjukkan bahwa perjanjian kredit tersebut mengandung kebebasan
masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Selain itu
pihak bank dan nasabah debitur juga memiliki kebebasan dengan siapa
hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan.
2. Hal ini karena sebelum terjadi kesepakatan kredit, pihak bank memberi
kesempatan pada pihak debitur untuk membaca dan memahami klausulklausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak
oleh pihak bank.
Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I
Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014 dinyatakan:
1. Sekalipun para pihak memiliki kebebasan dalam mengadakan kontrak namun
perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam
115
116
hal menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk
tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara
pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam
menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank.
Kebebasan yang terjadi dalam perjanjian kredit untuk menentukan apakah
akan mengadakan perjanjian atau tidak dan kebebasan dengan siapa akan
mengadakan perjanjian sebagaimana diuraikan di atas merupakan kebebasan yang
paling hakiki dalam suatu perjanjian. Selain itu pula kebebasan dalam perjanjian
kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan
dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian. Tetapi karena
tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja harus ada pembatasan
terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit karena :
Pertama, pembatasan tersebut dilakukan agar perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. Sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang
dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur
dalam KUHPerdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang
membuatnya.
117
Pasal 1338 KUHPerdata menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal
ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undangundang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila kebebasan dalam
berkontrak dilakukan secara tanpa batas akan mengakibatkan kekacauan dalam hal
ketertiban umum. Kedua, apabila kebebasan berkontrak tidak dibatasi maka semua
orang akan membuat perjanjian dengan kausa yang tidak halal atau kausa yang
melanggar undang-undang, mencapai kesepakatan dengan cara menipu sebagaimana
dilarang Pasal 1320 KUPerdata atau melakukan perjanjian tanpa itikad baik yang
dilarang oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
Penerapan asas kebebasan berkontrak bagi debitur dalam perjanjian kredit
dengan standard contract oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari tercermin dengan
adanya kebebasan antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian.
Selain itu masing-masing bank dan nasabah debitur memiliki kebebasan dengan siapa
hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Sebelum terjadi
kesepakatan kredit, pihak Bank memberi kesempatan kepada debitur untuk membaca
dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat
secara sepihak oleh pihak Bank. Apabila para pihak sepakat maka terjadilah
perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian pihak debitur memiliki kebebasan untuk
menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank Mayapada dalam suatu
perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk mengikatkan diri dalam
118
perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya debitur menjalankan
kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan mengadakan perjanjian.
Tetapi perjanjian kredit bank membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam
hal kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar
berbentuk tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena
cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan
isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan
dalam perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa
perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu
perjanjian.
4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract (Kontrak
Baku) Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam membuat
perjanjian sebagaimana yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyatakan “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun yang dimaksud
dengan pasal tersebut adalah bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dimana
perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak.
Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu
pernyataan bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu
119
akan mengikat orang yang membuat perjanjian, sebagaimana mengikatnya undangundang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
"ketertiban umum dan kesusilaan". Kata "semua" mengandung arti meliputi seluruh
perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undangundang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu
kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang
diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
Kemudian dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut itu ditarik
kesimpulan bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian sepanjang tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Secara yuridis, perjanjian memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi
apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti
bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuanketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka
diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka
adakan.
Bukan hanya leluasa untuk membuat perjanjian, subyek yang membuat
perjanjian bahkan diperbolehkan mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam
dalam KUHPerdata sebagaimana yang tercermin dalam Perjanjian Kredit di BPR
Lestari yang menyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata
terkait pemutusan perjanjian kredit secara sepihak. Pengecualian ketentuan-ketentuan
120
dalam KUHPerdata tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).
Dengan adanya asas kebebasan ini maka kepada para pihak yang terlibat dalam
perjanjian tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank menyediakan ruang dalam
hal kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat
perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Ruang
bagi dua jenis kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku
tersebut terkait erat dengan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut Sutan
Remy Sjahdeini, yaitu84 :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
Namun kebebasan berkontrak di atas tidak dapat berlaku tanpa batas. Terkait
dengan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah
pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan akibat berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya menekan akibat buruk dari diberlakukannya klausul
eksonerasi dalam perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak
karena alasan demi kepentingan umum (public interest). Dalam hukum kontrak,
84
Sutan Remy Sjahdeini, loc.cit.
121
kedua pembatasan tersebut terwujud dalam UU Perlindungan Konsumen dan asas
itikad baik yang terkandung dalam KUHPerdata.
Terkait dengan pembatasan oleh UU Konsumen, maka sebelumnya telah
diuraikan secara panjang lebar mengenai klausul baku yang dilarang dicantumkan
dalam perjanjian baku sebagaimana ketentuan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen. Sementara itu pembatasan terhadap penggunaan klausul
baku dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh KUHPerdata terkait dengan asas
itikad baik dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya itikad baik maka perjanjian kredit
dengan klausul baku tidak dapat berlaku. Ada dua pengertian itikad baik dalam
KUHPerdata, yaitu:
1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan
suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini
diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
2. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah
satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa
122
kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Penandatangan perjanjian kredit oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari
dengan masing-masing debitur yang bersangkutan menunjukkan adanya kebebasan
antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian. Selain itu masingmasing bank dan debitur memiliki kebebasan dengan siapa hendak mengadakan
perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Menurut Kepala Bagian Legal Bank
Mayapada Internasional Cabang Denpasar (selanjutnya disebut bank Mayapada) Ibu
Ni Komang Purnama Dewi dalam wawancara tanggal 17 Feburari 2014, sebelum
terjadi kesepakatan kredit, pihak Bank Mayapada memberikan kesempatan terlebih
dahulu untuk membaca dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam
perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak oleh pihak Bank Mayapada. Apabila para
pihak sepakat maka terjadilah perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian debitur
memiliki kebebasan untuk menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank
Mayapada dalam suatu perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya
debitur menjalankan kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan
mengadakan perjanjian.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam perjanjian kredit dengan
klausul baku para pihak memiliki kebebasan menyangkut keputusan apakah akan
mengadakan perjanjian atau tidak dan dengan siapa akan mengadakan perjanjian,
123
tetapi perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam hal
kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk
tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara
pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan isi
perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan dalam
perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian
yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian.
Akan tetapi sekalipun memiliki keterbatasan namun perjanjian kredit bank
dengan klausul baku pada hakekatnya telah memenuhi asas kebebasan berkontrak.
Sebagaimana dikatakan Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam
wawancara tanggal 10 Februari 2014, kebebasan dalam perjanjian kredit untuk
menentukan apakah akan mengadakan perjanjian atau tidak, kebebasan dengan siapa
akan mengadakan perjanjian merupakan kebebasan yang paling hakiki dalam suatu
perjanjian. Tetapi karena tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja
harus ada pembatasan terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan dalam
perjanjian kredit dengan klausul baku diatasi oleh dua hal, yaitu:
1. Pembatasan filosofis sebagaimana yang ditentukan oleh asas itikad baik yang
terkandung dalam ketentuan KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan
kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja
124
pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada
waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan
berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu
tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan
sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.
2. Pembatasan praktis sebagaimana ditentukan UU Perlindungan konsumen.
Tidak seperti ketentuan KUHPerdata yang merupakan batasan longgar bagi
kebebasan membuat perjanjian dengan klausul baku maka Pasal 18 ayat (1)
UU Perlindungan Konsumen memberi batasan yang relatif lebih ketat dalam
penggunaan klausul baku.
4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku
Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak ada larangan terhadap perjanjian
dengan klausul baku. UU Perlindungan Konsumen hanya melarang penggunaan
beberapa penggunaan klausul baku dalam hal tertentu sebagaimana terdapat dalam
Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut akan mengakibatkan perjanjian
tersebut batal demi hukum.
Adapun klausul baku yang dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen adalah :
125
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan ini
berkaitan dengan Pasal 27 huruf e UU Perlindungan Konsumen yang
melarang pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa melepaskan diri
dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila lewat
empat tahun sejak barang (atau jasa) dibeli atau lewat dari jangka waktu yang
diperjanjikan.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen. Pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali
barang yang sudah dijualnya dan tidak menerima kembali barang yang sudah
dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang sudah diterimanya atas barang
tersebut, asalkan pengembalian barang tersebut disertai alasan yang
dibenarkan oleh hukum.
c. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran. Ketentuan pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan
segala tindakan sepihak adalah tidak adil selain dapat dikualifikasikan
sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen.
d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. Pengaturan perihal pembuktian
atas hilangnya barang yang dibeli konsumen cenderung merugikan
126
konsumen karena pengaturan seperti ini dilakukan secara sepihak oleh pelaku
usaha.
e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
Dalam perjanjian kredit bank ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan yang
menyatakan pihak bank berhak mengurangi plafond kredit yang telah
disetujui atas dasar penilaian bank bahwa kemampuan berkurang untuk
membayar kredit sesuai yang diperjanjikan.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa.
Larangan terhadap hal ini sudah tepat karena member keadilan pada
konsumen.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Apabila dikaitkan dengan perjanjian kredit bank ketentuan ini menyangkut
ketentuan yang memberi wewenang pada bank untuk melakukan perubahan
suku bunga kredit apabila diharuskan oleh keadaan ekonomi tertentu. Dapat
dipastikan pihak bank tidak akan mengikuti adanya larangan terhadap
ketentuan ini karena apabila diikuti akan mengakibatkan bank mengalami
127
kerugian apabila terjadi keadaan yang mengharuskan bank menaikan suku
bunga, seperti kondisi krisis moneter.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen tersebut diatas akan mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak
batal demi hukum sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen. Batal demi hukum artinya adalah sejak semula perjanjian dengan klausul
baku tersebut tidak pernah ada. Dengan kata lain suatu perikatan tidak pernah
dilahirkan. Pengertian batal demi hukum berbeda dengan pengertian dapat dibatalkan.
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.
Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh
hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
Perjanjian dengan klausul baku tidak hanya mendapat akibat hukum batal
demi hukum apabila melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen. Batal demi hukum juga terjadi apabila perjanjian dengan klausul baku
tidak dapat memenuhi syarat objektif suatu sesuai yang diatur oleh Pasal 1320
KUHPerdata. Sedangkan apabila syarat subjektif terpenuhi, yaitu tidak cakap atau
bebas dalam membuat perikatan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan.
128
Apabila dikaitkan dengan klausul perjanjian Bank Mayapada dan BPR Lestari
yang telah diuraikan di atas maka ada beberapa klausul yang rentan mendapat akibat
hukum batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Klausul yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada klausul ini terdapat dalam Pasal 10 huruf
d. Ketentuan tersebut menetapkan bahwa Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh
kreditur untuk sewaktu-waktu menarik kembali sebagian/semua fasilitas kredit
tersebut jika kreditur menilai kreditur berada dalam keadaan yang tidak tepat atau
kurang layak meneruskan pemberian kredit tersebut. Dalam perjanjian kredit BPR
Lestari klausul pemberian kuasa tersebut terdapat dalam Pasal 11 huruf a, yaitu
“Debitur memberi kuasa pada bank untuk mendebet dan mempergunakan dana
yang tersimpan pada bank, baik rekening/tabungan/deposito milik debitur guna
pembayaran angsuran dan bunga”. Klausul pemberian kuasa lainnya yang
terdapat dalam perjanjian kredit BPR Lestari terdapat dalam Pasal 12 yaitu
“Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa menjamin ulangkan
(dengan cara apapun) piutang kreditur terhadap debitur berikut barang jaminan
kepada Bank Indonesia dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh Kreditur”.
129
Pemberian kuasa untuk mengambil segala tindakan sepihak terkait kredit yang
telah diberikan adalah tidak adil dan tergolong sebagai penyalahgunaan keadaan
konsumen. Pemberian kuasa dalam perjanjian kredit BPR Lestari tidak hanya
terdapat dalam Pasal 11 huruf a, melainkan juga dalam Pasal 11 huruf b yang
menyangkut pemberian kuasa dalam hal membuat dan menandatangani perjanjian
utang murni.
2. Klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Klausul dalam Pasal 10 huruf d perjanjian kredit Bank Mayapada tersebut di atas
juga dapat dikategorikan sebagai klausul pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul pengalihan tanggung jawab
terdapat dalam Pasal 1 angka 3, yaitu “Bank berhak mengurangi jumlah kredit
tersebut setiap saat semata-mata menurut pertimbangan bank, antara lain karena
keadaan, karena perubahan nilai barang jaminan atau karena keadaan likuiditas
bank dan sebagainya”.
3. Pengalihan tanggung jawab dalam klausul perjanjian kredit di bank
Bank Mayapada dan BPR Lestari tersebut merupakan pengalihan tanggung jawab
pihak bank terhadap suatu kejadian yang mengakibatkan munculnya potensi
kerugian. Klausul yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal
130
12, yaitu “Debitur dengan ini berjanji akan tunduk kepada segala ketentuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada bank, baik yang berlaku sekarang maupun
di kemudian hari”.
Kebebasan untuk membuat perjanjian kredit dengan klausul baku tidak dapat
dilakukan tanpa batas. Batas tersebut adalah ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen. Sekalipun beberapa klausul dalam perjanjian kredit Bank
Mayapada dan BPR Lestari dapat dikategorikan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat
(1) namun perjanjian kredit tersebut dapat dikategorikan telah memenuhi syarat
objektif dan subjektif sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat
subjektif menyangkut subyek perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak dalam
perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian telah dapat dipenuhi karena
para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari
tersebut telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Persetujuan
kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas
karena tidak didasarkan atas paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Paksaan dalam kaitan ini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychics),
jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena diancam atau
ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan atau kekeliruan
terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan
131
tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai
hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu
bertindak
secara
aktif
untuk
menjerumuskan
pihak
lawannya.
Menurut
yurisprudensinya, tak cukup kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai
suatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu
perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Apabila perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari melanggar syarat
subyekyif maka pembatalan atas perjanjian tersebut dapat dimintakan kepada hakim.
Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh
undang-undang diberi perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak
bebas dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454
KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang mulai
berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap
menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal
kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.
Cara untuk meminta pembatalan perjanjian dapat dibagi menjadi dua yaitu
sebagai berikut :
132
1. Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada
hakim upaya perjanjian itu dibatalkan.
2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian
tersebut, kemudian mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah
disetujuinya ketika ia masih belum cakap, atau karena diancam, ditipu atau
khilaf mengenai objek perjanjian. Didepan sidang pengadilan itu ia
memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan
secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.
Selain itu perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari telah memenuhi syarat
objektif suatu perjanjian karena telah memenuhi adanya objek perjanjian atau suatu
hal tertentu dan perjanjian tersebut disarkan atas kausa yang halal karena tidak
dilarang oleh undang-undang.
4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Dengan
Standard Contract
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa perjanjian kredit Bank
Mayapada dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak karena para
pihak bebas menentukan apakah akan membuat perikatan atau tidak dan bebas untuk
menentukan dengan siapa akan membuat perikatan. Akan tetapi terdapat pembatasan
kebebasan terhadap debitur yaitu dalam hal pembuatan perjanjian dengan klausul
baku atau standar, pembatasan dalam membuat isi perjanjian, bentuk perjanjian dan
cara pembuatan perjanjian tersebut. Sedangkan pembatasan terhadap pihak bank
133
selaku kreditur tidak menyangkut kebebasan dalam hal-hal yang disebutkan di atas
melainkan pembatasan terhadap penerapan klausul standar sebagaimana ketentuan
Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Selain itu adapula pembatasan secara
filosofis yaitu perjanjian harus didasarkan atas itikad baik sebagaimana diharuskan
oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan tentang berlakunya "asas itikad
baik". Dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari
tidak didasarkan atas itikad buruk para pihak terhadap satu sama lainnya.
Untuk dapat mengambil kesimpulan apakah perjanjian kredit Bank Mayapada
dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak maka perjanjian kredit
tersebut harus dianalisa menggunakan lingkup kebebasan berkontrak menurut Sutan
Remi Sjahdeini, yaitu:
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, para pihak yang terikat
dalam perjanjian kredit tersebut memiliki kebebasan apakah akan membuat atau
tidak membuat perjanjian. Tidak ada pihak yang dipaksa untuk membuat
perjanjian dan pihak yang mempunyai kedudukan lebih lemah (debitur) sepakat
untuk membuat perjanjian dengan pihak yang memiliki kedudukan yang lebih
kuat (bank) sekalipun isi perjanjian telah ditentukan secara baku oleh pihak bank
tersebut. Dengan demikian perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari
telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sepakat membuat
perikatan.
134
2. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian
Para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari
bebas menentukan dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. Pada saat perjanjian
kredit ditandatangani oleh para pihak maka masing-masing dari mereka telah
memutuskan dengan siapa hendak membuat perjanjian. Nasabah (debitur) Bank
Mayapada memilih bersepakat dengan Bank Mayapada selaku kreditur. Begitu
pula sebaliknya pihak Bank Mayapada memilih membuat perjanjian dengan
debitur tertentu. Hal yang sama berlaku pula untuk BPR Lestari dan debiturnya.
3. Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya
Baik Bank Mayapada dan debiturnya serta BPR Lestari dan debiturnya bebas
memilih kausa perjanjiannya, dalam hal ini kausa yang dipilih yaitu perjanjian
kredit bank.
4. Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian
Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling tidak objek
perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud maupun
tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru akan ada
di kemudian hari. Dalam hal perjanjian kredit bank maka objek perjanjian adalah
benda berwujud yaitu uang yang merupakan kredit bank yang diberikan pihak
bank selaku debitur kepada debiturnya. Dalam hal ini para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit bank telah secara bebas menentukan
135
bahwa objek dari perjanjian dimana mereka mengikatkan diri adalah uang yang
merupakan kredit.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
Perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari adalah perjanjian yang
berbentuk tertulis yang sudah dibakukan atau perjanjian baku. Perjanjian baku
merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah
pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Dalam hal
ini perjanjian kredit Bank Mayapada dan perjanjian kredit BPR Lestari tidak
memenuhi asas kebebasan berkontrak karena bentuk perjanjian kredit tersebut
tidak ditentukan secara bebas oleh masing-masing, melainkan telah ditentukan
oleh pihak bank sebagi pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih
kuat. Pihak debitur yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah secara
ekonomi hanya dapat menerima saja bentuk perjanjian yang telah ditentukan
pihak bank tersebut. Dari segi kepastian hukum, perjanjian tertulis jauh lebih
meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan karena mengingat perjanjian
tertulis dapat menjadi bukti otentik menurut hukum.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang
bersifat opsional (aanvullen, optional).
Hal ini berarti asas kebebasan berkontrak memungkinkan orang menciptakan
jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama
dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh Undang-Undang,
136
yakni Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak
bernama. Artinya bahwa undang-undang tidak memberi nama khusus terhadap
perjanjian tersebut. Berbeda dengan perjanjian tak bernama, perjanjian bernama
(khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah
perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undangundang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari perjanjian
bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. Di luar
perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian
yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dimasyarakat. Jumlah
perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas
kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam
hukum perjanjian. Adapun yang merupakan kontrak bernama menurut
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
a. Kontrak jual-beli terdapat dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540
KUHPerdata.
b. Kontrak tukar-menukar, mulai dari Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546
KUHPerdata.
c. Kontrak sewa-menyewa, mulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600
KUHPerdata.
d. Kontrak persetujuan untuk melakukan pekerjaan, mulai dari Pasal 1601
sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata.
137
e. Kontrak perseroan, mulai dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652
KUHPerdata.
f. Kontrak perkumpulan, mulai dari pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665
KUHPerdata.
g. Kontrak hibah, mulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693
KUHPerdata.
h. Kontrak penitipan barang, mulai dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739
KUHPerdata.
i. Kontrak pinjam pakai, mulai dari Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1743
KUHPerdata.
j. Kontrak pinjam mengganti, mulai dari Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769
KUHPerdata.
k. Kontrak bunga tetap atau bunga abadi, mulai dari Pasal 1770 sampai dengan
Pasal 1773 KUHPerdata.
l. Kontrak untung-untungan, mulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791
KUHPerdata.
m. Kotrak pemberian kuasa, mulai dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819
KUHPerdata.
n. Kontrak penanggungan utang, mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal
1850 KUHPerdata.
138
o. Kontrak perdamaian, mulai dari Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864
KUHPerdata.
Dengan demikian perjanjian kredit, termasuk perjanjian kredit Bank
Mayapada dan BPR Lestari, merupakan wujud dari kebebasan untuk menerima atau
menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional karena perjanjian
kredit bank tergolong sebagai perjanjian tak bernama. KUHPerdata tidak memberi
nama secara khusus terhadap perjanjian kredit bank.
Berdasarkan uraian mengenai lingkup kebebasan berkontrak di atas maka
dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak
sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak. Ketidakbebasan itu terjadi dalam
hal menentukan bentuk perjanjian karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah
ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk
baku.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pembatasan kebebasan
berkontrak dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat
sahnya suatu perjanjian, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan
perjanjian harus didasarkan atas itikad baik, serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen melarang penggunaaan klausul tertentu yang apabila dilanggar perjanjian
kredit dengan klausul baku berakibat batal demi hukum.
139
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan dan analisis dalam bab-bab sebelumnya terhadap
permasalahan yang dikaji dalam tesis ini, maka disimpulkan sebagai berikut:
1.
Perjanjian kredit bank yang dalam hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari
yang memuat klausul baku (standard contract) kurang mencerminkan asas
keseimbangan. Klausul baku (standard contract) yang termuat dalam
perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung berat sebelah, karena banyak
terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala
petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur
kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak
menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya
memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit
tersebut.
2.
Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu
perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR
Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena
dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan
139
140
berkontrak terjadi hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin
membuat perjanjian, dan kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang
akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih
terdapat ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan
bentuk dari perjanjian yang akan dibuat, karena bentuk perjanjian kredit
tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian
tertulis dengan bentuk baku.
2. Saran-saran.
Bertitik tolak dari kesimpulan tersebut di atas
maka disarankan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Bank
diharapkan
lebih
memperhatikan
kepentingan
debitur
tanpa
mengesampingkan faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang
dicantumkan dalam perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah
dibaca sehingga debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari
klausul baku tersebut. Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja
perbankan dengan menerapkan good corporate governance, salah satunya
dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak
(contract drafting) bagi karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga
nantinya dapat membuat perjanjian kredit bank yang mencerminkan
141
keseimbangan kedudukan antara bank dan debitur tanpa merugikan
kepentingan salah satu pihak.
2.
Nasabah debitur diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan
mencermati perjanjian kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu
dan akibat hukum yan ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi
dengan pihak bank atau pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar
dari akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri.
142
DAFTAR PUSTAKA
a.
Buku-buku :
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Artadi, I Ketut, dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dan Perancangan Kontrak, Udayana
University Press, Denpasar.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.
, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku,
Binacipta, Jakarta.
_____ , 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.
______, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bahsan, M, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cohen, Morris L and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul
Minn, Printed in the United States of America.
Dewi, Gemala, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta.
Donnelly, Jack, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca:
Cornell University Press.
Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian
Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara.
142
143
Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education
Limited, England.
Fuady, Munir, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Cet.II, Jakarta.
, 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya,
Buku I, Jakarta.
Gautama, Sudargo, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung.
Gazali, Djoni.S, dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,
Jakarta.
Hasan, Djuhaendah, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta.
Hatta, Sri Gambir Melati, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama :
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni
Bandung.
Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ibrahim, Johanes dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi
Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung.
Johan Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Termasuk
Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Longdong, Tineke Louise Tuegeh, 1998, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New
York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal 1233
sampai 1456 BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
144
Miru Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press,
Jakarta.
_____ , 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi konsumen di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan dan
Perdagangan, Citra Aditya, Bandung.
______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam
Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta.
Saliman, Abdul S, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus,
Kencana Prenada, Jakarta.
Setiawan, R, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung.
, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.
Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,
Cetakan 2 : Edisi Revisi Juli 2011, Kontang Publishing.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Spagnola, Linda A, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and Practival
Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States.
Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian, St. XIV, Intermasa, Jakarta.
______, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Cetakan
III, Jakarta.
145
Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.
Suyatno, Thomas, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta.
Syahrani, Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung.
Ujan, Andre Ata, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik Jhon
Rawls), Kanisius, Yogyakarta.
Vickery, Roger, and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law Principle &
Applications, Pearson Education Australia.
b.
Makalah
Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004.
, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya),”
Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal
10 Mei 2013.
c.
Majalah/Jurnal
Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, “Azas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya
dengan Perjanjian Standar (Standard)” dalam majalah Media Notariat No. 2829 Tahun VII Juli-Oktober.
Sriwati, 2000, “Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku”,
Majalah Yustika Voume III tanggal 2 Desember.
d.
Internet
Dewa
e.
Wiguna, 2013, “Penyaluran Kredit di Bali
www.bali.antaranews.com diunduh 3 Desember 2013.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Belum
Merata”,
146
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW) Terjemahan R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, 2009, Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3632).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negera Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3833).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negera
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3821).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3889).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 3).
DAFTAR RESPONDEN
1. Nama : Ni Komang Purnama Dewi, SH
Umur : 46 tahun
Jabatan: Kepala Legal PT. BANK MAYAPADA INTERNASIONAL, Tbk
Cabang Denpasar.
Alamat : Jalan Thamrin, Denpasar-Bali
2. Nama : I Komang Suardana
Umur : 50 tahun
Jabatan: Kepala Legal PT. BPR Sri Artha Lestari
Alamat : Jalan Teuku Umar Denpasar Bali
Download