zonasi imbuhan air tanah pada daerah aliran sungai lahumbuti

advertisement
GEOSAINS
ZONASI IMBUHAN AIR TANAH PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI LAHUMBUTI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Teggu Murtono*, A.M. Imran*, M. Arsyad Thaha*
*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin
Abstrack: This research aimed to find out (1) to classify the hydrogeological parameters that affect to
the groundwater recharge and (2) to map the zone of potential unconfined groundwater recharge
zones at Lahumbuti watershed of Southeast Sulawesi Province.The method used was the field survey
by direct measuring and hidrogeological mapping, laboratory and statistical analysis using empirical
equation. Then, pairwise comparison data from expert judgement 11 respondent were analyzed using
analytical hierarcy procces to weighting parameters and spatial analysis by overlay parameter maps
to produced zonation map of the potential unconfined groundwater recharge. The result shows that
zonation of the unconfined groundwater recharge at Lahumbuti watershed were divided in to 4
zonation are less potential zone 272,67 km2 (28,65 %), potential zone has 334,75 km2 (35,17 %), more
potential 130,17 (3,68 %) dan most potential has 214,31 km2 (22,51 %).
Keywords: recharge, groundwater, watershed
1.
PENDAHULUAN
Resapan air atau infiltrasi air atau imbuhan
air ke dalam lapisan tanah atau batuan
merupakan bagian dari proses siklus air,
dimana air hujan yang turun ke permukaan
bumi, sebagian mengalir di permukaan
sebagai aliran permukaan (run off) dan
sebagian lagi masuk ke dalam tanah, mengisi
lapisan akuifer (lapisan pembawa air) untuk
kemudian disebut sebagai air tanah.
Resapan air merupakan faktor yang sangat
penting dalam proses terbentuknya air tanah
karena berfungsi sebagai penyeimbang atau
penentu terpeliharanya kelestarian air tanah
yang secara tidak langsung menjamin
terhadap kelangsungan hidup kita. Besarnya
volume air hujan yang meresap ke dalam
tanah akan menentukan tercapai atau
tidaknya keseimbangan kondisi air tanah.
Dalam
perencanaan
konseptual
sistem
manajemen air tanah bebas, agar tercapai
keseimbangan antara pengambilan dan
penyediaan air tanah, perlu diketahui potensi
imbuhan air tanah bebas di suatu daerah.
Berdasarkan
uraian
tersebut,
perlu
ditentukan zonasi imbuhan air tanah bebas
yang berdasarkan pada faktor curah hujan,
geologi, penutupan dan penggunaan lahan dan
kemiringan lereng.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengklasifikasikan parameter curah hujan,
geologi, topografi dan penutupan dan
penggunaan
lahan
untuk
kemudian
menentukan zonasi potensi imbuhan air tanah
bebas pada Daerah Aliran Sungai Lahumbuti
Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, Daerah aliran sungai DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut adalah
sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi,
DAS mempunyai karakteristik yang spesifik
serta berkaitan erat dengan unsur utamanya
seperti jaringan sungai, hidrologi, jenis tanah,
Vol. 09 No. 02 2013 - 89
GEOSAINS
penutupan dan tataguna lahan, topografi,
kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik
biofisik DAS tersebut dalam merespon curah
hujan yang jatuh di dalam wilayah DAS
tersebut
dapat
memberikan
pengaruh
terhadap besar kecilnya evapotranspirasi,
infiltrasi, perkolasi, air larian, air permukaan,
kandungan air tanah dan aliran sungai
(Asdak, 2004).
2.2. Air Tanah dan Imbuhan Air Tanah
Air tanah menurut Keputusan Menteri Energi
dan Sumberdaya Mineral Nomor 1451
K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di
Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah pasal 1
butir 12 adalah semua air yang terdapat
dalam lapisan pengandung air di bawah
permukaan tanah, termasuk mata air yang
muncul secara alamiah di atas permukaan
tanah.
Lubis (2006) menyatakan bahwa model aliran
air tanah itu sendiri akan dimulai pada
daerah resapan/imbuhan air tanah (recharge
zone). Daerah ini adalah wilayah dimana air
yang berada di permukaan tanah, baik air
hujan maupun air permukaan, mengalami
proses penyusupan (infiltrasi) secara gravitasi
melalui lubang atau ruang antar butiran
tanah/batuan (pori) atau celah/rekahan pada
tanah/batuan.
Dari proses ini diketahui bahwa keterdapatan
air tanah sangat berkaitan dengan komponen komponen lingkungan lainnya dalam siklus
tersebut
seperti
iklim
(curah
hujan,
temperatur), vegetasi serta jenis lapisan tanah
dan batuan. Oleh karena itu, keterdapatan
atau potensi air tanah dapat berbeda antara
satu
daerah
dengan
daerah
lainnya,
tergantung dari kondisi komponen-komponen
tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada komponen lingkungan tersebut akan
berpengaruh pada kuantitas atau kualitas
sumber daya air tanah.
Imbuhan air tanah adalah proses masuknya
air ke dalam zona jenuh air sehingga
membentuk suatu garis khayal yang disebut
sebagai garis muka air tanah (water table) dan
berasosiasi dengan mengalirnya air dalam
kondisi jenuh tersebut ke arah daerah luahan
(Freeze dan Cherry, 1979). Sedangkan daerah
tempat berlangsungnya proses pengimbuhan
air tanah disebut daerah resapan atau daerah
imbuhan air tanah (recharge zone).
90 - Vol. 09 No. 02 2013
Sumber utama pengimbuhan adalah air hujan,
tubuh air permukaan (sungai, danau, rawa)
dan irigasi. Pengimbuhan air tanah pada zona
tidak jenuh disebut juga sebagai infiltrasi.
Mekanisme infiltrasi dan pengangkutan
kelembaban dapat terjadi secara translatory
flow yaitu air hujan yang tersimpan di dalam
zona tidak jenuh, akan dipindahkan ke arah
bawah oleh proses infiltrasi selanjutnya tanpa
mengganggu distribusi kelembaban. Adapun
mekanisme infiltrasi yang terjadi secara
preferential flow, air mengalir melalui celah
atau pori-pori makro setempat (kanal-kanal
bekas
perakaran,
rongga-rongga
dan
celah)atau zona-zona (dasar sungai) pada zona
tidak jenuh dengan kapasitas infiltrasi dan
atau perkolasi relatif tinggi.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dan
pengolahan data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian Kepustakaan (Desk Study),yaitu
pengumpulan data melalui penelusuran
laporan-laporan, literatur dan makalah makalah
ilmiah
yang berhubungan dan
mendukung penelitian.
2. Observasi, yaitu pengumpulan data melalui
pengamatan dan pengukuran langsung
terhadap parameter pengimbuhan air tanah
antara lain : penentuan posisi stasiun
pengamatan dan pengukuran menggunakan
GPS Receiver merk GARMIN tipe GPSMap 76
Csx , pengambilan sampel tanah untuk uji
tekstur tanah, pengukuran laju infiltrasi
dengan menggunakan infiltrometer cincin
ganda (double ring infiltrometer), pengukuran
konduktifitas
hidrolika
dengan
metode
constant-head well permeameter test dengan
menggunakan
lubang
bor
auger
dan
pengecekan
lapangan
untuk
menguji
kebenaran interpretasi.
3. Pengolahan data sekunder antara lain :
interpretasi citra satelit SPOT-4 untuk
klasifikasi terbimbing parameter penutupan
dan penggunaan lahan, pengolahan data
curah hujan dengan menggunakan metode
poligon
thiessen/rata-rata
tertimbang,
klasifikasi kemiringan lereng dari peta rupa
bumi Indonesia skala 1 : 50.000 terbitan
Bakosurtanal.
GEOSAINS
4. Kuesioner, yaitu pengumpulan data
dengancara memberikan daftar pertanyaan
kepada responden yang ahli (expert) di bidang
hidrogeologi untuk memperoleh informasi
persepsi tentang tingkat kepentingan suatu
parameter dibandingkan dengan parameter
lainnya terhadap proses pengimbuhan air
tanah bebas.
3.2. Analisis Data
1. Analisis Dengan Rumus Empiris
Analisis dengan menggunakan rumus-rumus
empiris antara lain dilakukan untuk :
menentukan curah hujan bulanan, tahunan
dan curah hujan wilayah (metode poligon
thiessen) serta tipe iklim, kemiringan lereng
(rumus Horton), morfologi DAS (bentuk,
jaringan sungai, kerapatan aliran dan
koefisien aliran permukaan),
2. Interpretasi Citra Satelit
Citra satelit SPOT-4 yang direkam pada bulan
maret 2008 dianalisis dengan menggunakan
perangkat lunak pengolah citra (data raster)
untuk
mengklasifikasi
penutupan
dan
penggunaan lahan dengan metode klasifikasi
terbimbing.
Hasil
klasifikasi
kemudian
dikonversi menjadi data vektor untuk
kemudian dianalisis secara spasial.
3. Pembobotan dan Skoring Parameter
Pembobotan dan skoring parameter imbuhan
air
tanah
bebas
dilakukan
dengan
menggunakan metode Proses Hirarki Analitik.
Data
nilai
perbandingan
berpasangan
diperoleh melalui penyebaran kuesioner yang
disebarkan kepada responden yang ahli di
bidangnya. Data persepsi ahli ini kemudian
diolah dengan rumus empiris sehingga
diperoleh faktor bobot setiap parameter.
4. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan perangkat
lunak sistem informasi geografi pengolah data
vektor.
Meliputi
proses
digitasi
peta
kemiringan lereng, peta geologi dan jenis
tanah, pembuatan poligon thiessen dan
sebaran curah hujan, import data raster
penutupan dan penggunaan lahan.
Tahap analisis ini juga merupakan langkah
akhir penentuan zona potensi imbuhan air
tanah, yaitu dengan menumpangtindihkan
(overlay) peta parameter (curah hujan, geologi,
topografi dan penutupan dan penggunaan
lahan).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
DAS Lahumbuti merupakan bagian dari SWS
Sampara-Lasolo seluas 951,90 km2, berada
dalam wilayah kabupaten Konawe provinsi
Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak
pada 121o10’00” – 122o16’00” BT dan 3o26’00” –
4o08’00”
LS
dan
secara
administrasi
pemerintahan, wilayah DAS Lahumbuti
meliputi wilayah kecamatan Abuki, Tongauna,
Unaaha, Anggaberi, Wawotobi, Meluhu dan
Amonggedo.
DAS Lahumbuti terbagi menjadi 10 (sepuluh)
Sub DAS dengan luas masing-masing yaitu
Sub DAS Abuki (78,16 km2), Anggaberi (86,52
km2), Anggoro (106 km2), Anggotoa (27,38
km2), Benua (108,10 km2), Lahumbuti Hilir
(169,90 km2), Lahumbuti Hulu (148,60 km2),
Lalowatu (111,70 km2), Meluhu (85,45 km2)
dan Watawata (30,14 km2).
4.2. Morfologi DAS Lahumbuti
a. Bentuk DAS
Berdasarkan nisbah kebulatan (circularity
ratio, Rc) dan nisbah kelonjongan (elongated
ratio, Re), bentuk sub DAS di dalam DAS
Lahumbuti secara umum mendekati bentuk
lonjong (nilai Rc mendekati 0 dan nilai Re
mendekati 1). Hal inimenunjukkan bahwa
secara umum waktu konsentrasi, yaitu waktu
yang diperlukan untuk berkumpulnya air
hujan dari puncak-puncak bukit ke sungai
utama adalah relatif lama.
b.Ketinggian DAS
Pada wilayah DAS Lahumbuti, titik tertinggi
pada masing-masing Sub DAS bervariasi
antara 456 (mdpl) sampai dengan 1129 (mdpl),
sedangkan
titik
ketinggian
terendah
bervariasi antara 7 (mdpl) sampai dengan 75
(mdpl). Arah orientasi DAS atau arah aliran
sungai utama pada DAS Lahumbuti secara
umum menunjukkan arah selatan, barat daya
dan tenggara.
c. Jaringan Sungai
Jaringan
sungai
pada
wilayah
DAS
Lahumbuti
memiliki
pembagian
ordo
bervariasi mulai 3 ordo sampai dengan 7 ordo.
Vol. 09 No. 02 2013 - 91
GEOSAINS
Sub DAS yang memiliki ordo paling kecil
adalah Sub DAS Watawata dan Anggotoa
memiliki 3 ordo, sedangkan Sub DAS yang
memiliki pembagian ordo paling banyak
adalah Sub DAS Lahumbuti Hilir dengan 7
ordo yang merupakan sungai utama di dalam
wilayah DAS Lahumbuti.
d. Pola Aliran Sungai
Secara umum, pola aliran sungai (drainage
pattern) di DAS Lahumbuti adalah pola aliran
dendritik dengan beberapa kombinasi dan
tingkatan seperti dendritik halus – sedang
(pada daerah hulu sungai orde 1 – 4) serta
kombinasi antara pola aliran dendritik dengan
pola aliran paralel dan rektangular (pada
daerah hilir sungai orde > 4).
e. Kerapatan Aliran
Berdasarkan klasifikasi indeks kerapatan
aliran sungai (Anonim, 2004), maka kerapatan
aliran DAS Lahumbuti secara umum adalah
kelas kerapatan aliran sedang (antara 0,75
km/km2 – 2,19 km/km2).
f. Koefisien Aliran Permukaan
Kondisi kelas koefisien aliran permukaan
pada DAS Lahumbuti secara umum adalah
tinggi (50 – 75 %) dengan luas penyebaran 665
km2 (69,92 %), normal (25 – 50 %) seluas
273,53 km2 (28,74 %) dan ekstrim (> 75 %)
seluas 12,80 km2 (1,34 %).
4.3. Geologi DAS Lahumbuti
1. Stratigrafi
Berdasarkan satuan stratigrafi, formasi
geologi yang terdapat di wilayah DAS
Lahumbuti berdasarkan Peta Geologi Regional
Lembar Kendari – Lasusua (Rusmana dkk.,
1993) berturut-turut dari yang berumur paling
tua sampai paling muda meliputi kelompok
batuan metamorf seluas 216,25 km2 (27,72 %),
batuan sedimen Formasi Meluhu seluas
445,90 km2 (46,84 %), Formasi Tokala seluas
59,69 km2 (6,27 %), Formasi Alangga seluas
8,26 km2 (0,87 %) dan endapan aluvial seluas
221,80 km2 (23,30 %), secara rinci disebutkan
berikut ini :
Tabel 1. Formasi batuan yang terdapat dalam wilayah DAS Lahumbuti
Kode
Formasi
Umur
Keterangan
Qa
Endapan Aluvial
Aluvium
Kerikil, kerakal, pasir, lempung dan
lumpur
Qpa
Formasi Alangga
Plistose
Akhir
Batupasir dan Konglomerat
TRJt
Formasi Tokala
Trias - Jura
Batugamping kristal,
TRJm
Formasi Meluhu
Trias - Jura
Batupasir, Filit, Batusabak
Pzm
Kelompok Batuan
Malihan
(Metamorf)
Karbon
Sekis, Filit, Kuarsit
Sumber : Peta Geologi Regional Lembar Kendari – Lasusua, 1993
 Jenis Tanah
Wilayah DAS Lahumbuti terdapat 6 jenis
tanah jenis tanah Meditran merupakan jenis
tanah yang penyebarannya paling luas yaitu
294,50 km2 (30,94 %) tersebar di bagian timur
laut sampai timur daerah penelitian dengan
arah penyebaran barat laut - tenggara, jenis
tanah Podsolik dengan luas penyebaran
272,80 Ha (28,66 %) menempati daerah di
92 - Vol. 09 No. 02 2013
bagian utara dan barat laut DAS Lahumbuti,
jenis tanah aluvial dengan luas penyebaran
238,00 km2 (25 %) menempati daerah di
sekitar aliran sungai lahumbuti, memanjang
dengan arah barat laut – tenggara, tanah
Kambisol menempati wilayah pada bagian
tenggara daerah penelitian dengan luas
penyebaran 73,76 km2 (7,75 %), jenis tanah
Litosol tersebar di bagian utara daerah
penelitian dengan luas penyebaran 56,88 km 2
GEOSAINS
 Iklim dan Cuaca
(5,98 %) serta tanah Organosol tersebar
secara setempat-setempat di bagian tengah
wilayah DAS Lahumbuti dengan luas
penyebaran 15,96 km2 (1,68 %).
Berdasarkan
hasil
analisis
dengan
menggunakan poligon Thiessen dengan data
curah hujan yang berasal dari stasiun Abuki,
stasiun Lambuya, stasiun Asera dan stasiun
Tinobu selama kurun waktu tahun 1997 –
2006 maka curah hujan rata-rata bulanan di
setiap stasiun pengukuran curah hujan
tersebut secara grafis adalah sebagai berikut :
Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Tim
Fakultas Geografi UGM (1994) dalam Cahyo
(2007), keenam jenis tanah tersebut kemudian
diklasifikasi berdasarkan teksturnya menjadi
kelas halus (Kambisol), agak halus (Aluvial
dan Meditran), agak kasar (Podsolik) dan
kasar (Litosol dan Organosol).
Curah Hujan (mm)
SEBARAN HUJAN DI BEBERAPA STASIUN
CURAH HUJAN DAS LAHUMBUTI
300.0
250.0
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Abuki
Lambuya
Asera
Tinobu
Gambar 1. Grafik sebaran curah hujan bulanan DAS Lahumbuti
Wilayah yang memiliki curah hujan tertinggi
adalah daerah yang berada di dalam daerah
pengaruh stasiun Asera dengan jumlah curah
hujan 1.801,2 mm/tahun, sedangkan yang
terendah adalah di wilayah pengaruh stasiun
Abuki dengan curah hujan 955,5 mm/tahun.
Adapun stasiun Lambuya memiliki curah
hujan tahunan sebesar 1.480,7 mm/tahun dan
stasiun Tinobu sebesar 1.492,2 mm/tahun.
yang terjadi di indonesia, yaitu kurvanya
berbentuk “V”. Curah hujan maksimum
terjadi pada bulan Desember dan April yaitu
pada awal dan akhir musim penghujan
dengan curah hujan rata-rata bulanan
berkisar antara 103 – 143 mm, yang
selanjutnya perlahan berkurang sehingga
mencapai curah hujan minimum pada puncak
musim kemarau yaitu pada bulan september
(31,29 mm).
Pola curah hujan di wilayah DAS Lahumbuti
menunjukkan kesamaan pola curah hujan
Grafik Curah Hujan Rata-Rata Timbang Bulanan DAS
Lahumbuti Tahun 1997-2006
160
Curah Hujan (mm)
140
120
100
80
60
40
20
0
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 2. Grafik curah hujan rata-rata timbang bulanan di wilayah DAS
Lahumbuti periode tahun 1997 – 2006.
Vol. 09 No. 02 2013 - 93
GEOSAINS
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim SchmidtFergusson pada tabel (1), nilai Q untuk
stasiun Abuki (25) termasuk ke dalam tipe
iklim B atau iklim Basah (nilai Q yaitu 14,3 –
33,3) dengan vegetasi masih hutan hujan
tropis. Adapun stasiun Lambuya, Asera dan
Tinobu termasuk kedalam tipe iklim A yaitu
iklim sangat basah dengan vegetasi hutan
hujan tropis.
permukaan berupa tubuh sungai seluas 8,21
km2 (0,86 %).
4.5. Kemiringan Lereng
Secara keseluruhan tingkat kelerengan pada
DAS Lahumbuti dengan klasifikasi datarhampir datar adalah seluas 322,14 km2 (33,84
%), landai 48,64 km (5,11 %), miring 98,32 Ha
(10,38 %), agak curam 78,93 km2 (8,34 %) dan
curam sampai terjal seluas 399,20 km2 (41,94
%).
4.4. Penutupan dan Penggunaan Lahan
Kawasan hutan di wilayah DAS Lahumbuti
adalah penutupan dan penggunaan lahan
yang terluas dengan luas penyebaran 672,03
Ha (70,60 %), sawah (sawah irigasi atau non
irigasi) dengan tanaman berupa padi seluas
107,97 km2 (11,34 %), kawasan perkebunan
dan hortikultura dengan tanaman perkebunan
antara lain kopi, kelapa, duku, jambu mete,
kakao, jeruk, pisang, merica, nangka, mangga,
nenas dan sebagian kecil vanili serta tanaman
hortikultura seperti ubi kayu, tomat, cabai,
terung, jagung dan kacang panjang juga
beberapa jenis sayuran lainnya seluas 77,32
km2 (8,12 %), semak belukar didominasi oleh
alang-alang, anakan dan tegakan pohon
berukuran kecil dengan luas penyebaran
71,85 km2 (7,55 %), kawasan terbangun
berupa percampuran pemukiman, fasilitas
pelayanan publik (swasta atau pemerintah),
perdagangan, transportasi dan industri
dengan penyebaran seluas 12,77 km2 (1,34 %),
lahan basah berupa rawa air tawar dengan
penyebaran seluas 1,80 km2 (0,19 %) dan air
4.6. Pembobotan dan Skoring Parameter
1. Pembobotan
Secara umum, hasil pembobotan faktor
pengaruh berdasarkan persepsi 11 responden
menunjukkan
bahwa
faktor
geologi
merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap potensi terjadinya pengimbuhan air
tanah dengan bobot rata-rata 0,4541 (45,41 %)
serta standar deviasi 0,019 dan koefisien
variasi 4,12 %, disusul faktor faktor topografi
memilikii bobot rata-rata 0,3117 (31,17 %)
dengan standar deviasi 0,027 dan koefisien
variasi 8,54 %, penutupan dan penggunaan
lahan memiliki bobot rata-rata 0,1507 (15,07
%) dengan standar deviasi 0,020 dan koefisien
variasi 13,01 %, dan faktor yang paling kecil
pengaruhnya adalah faktor curah hujan,
memiliki bobot rata-rata 0,0806 (8,06 %)
dengan standar deviasi 0,009 dan koefisien
variasi 11,66 %.
Faktor Bobot Parameter
Parameter
TPG
0.3117
TGL
0.1507
Series1
GEO
CH
0.4541
0.0806
Bobot
Gambar 3. Grafik hasil pembobotan rata-rata parameter
2. Skoring
Pemberian skor terhadap setiap kelas dari
masing-masing parameter yang berpengaruh
terhadap
pengimbuhan
dilakukan
berdasarkan pengaruh masing-masing kelas
parameter terhadap pengimbuhan air tanah
94 - Vol. 09 No. 02 2013
yang diwakili oleh hasil pengukuran lapangan
dan klasifikasi ilmiah lainnya. Pemberian skor
dilakukan terhadap setiap kelas parameter
dengan asumsi bahwa kelas-kelas dalam
sebuah parameter yang memberikan korelasi
positif atau memperbesar kemungkinan
terjadinya pengimbuhan air tanah diberikan
GEOSAINS
skor tertinggi, dan sebaliknya bahwa kelaskelas
parameter
yang
memperkecil
kemungkinan terjadinya pengimbuhan air
tanah
diberikan
skor
terendah.
Tabel 2. Skala intensitas setiap kelas parameter pengaruh
Kriteria
Stasiun Abuki
Stasiun Lambuya
Curah Hujan
Stasiun Tinobu
Stasiun Asera
Btsabak, Filit, Btgpg
Geologi
Malih
Formasi
Lempung, Batulempung
Batuan
Batupasir Malih
Btpasir, Btgpg Terumbu
Pasir, kerikill, kerakal
Litosol, Organosol
Podsolik
Jenis Tanah
Mediteran, Aluvial
Coklat
Kambisol
Kawasan Terbangun
Penutupan dan Sawah, Rawa Air Tawar
Penggunaan
Kawasan Perkebunan
Lahan
Semak belukar
Hutan
> 30 %
15 – 30 %
Topografi
7 – 15 %
Kemiringan
2–7%
Lereng
0–2%
1
3
3
5
1
Skala Intensitas
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
R
S
S
T
SR
Sangat Rendah
2
3
4
5
5
3
3
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Kasar
Agak Kasar
1
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Halus
Sangat Buruk
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
Curam – Terjal
Agak Curam
Miring
Agak Miring
Datar – Hampir
Datar
R
S
T
ST
K
AK
AH
Agak Halus
Hls
SBu
Bu
S
Ba
Sba
CTJ
AC
M
AM
DHD
Sumber : Beberapa literatur serta hasil validasi dengan data primer dan sekunder
4.7. Analisis Spasial Peta Parameter
Dari proses tumpang tinding data spasial dan
atribut keempat parameter imbuhan air
tanah yaitu geologi (theme 1), topografi
(theme 2), penutupan dan penggunaan lahan
(theme 3) dan curah hujan (theme 4),
dihasilkan 795 unit lahan baru sebagai unit
analisis. Selanjutnya dilakukan editing dan
analisis data atribut yaitu menjumlahkan
seluruh hasil perkalian faktor bobot dengan
skor kriteria sehingga diperoleh skor total
minimum yaitu 130,55 dan skor total
maksimum yaitu 636,61.
4.8. Zonasi Imbuhan Air Tanah Bebas
Selanjutnya dari hasil penjumlahan tersebut
dianalisis untuk mengklasifikasi tingkat
potensi imbuhan air tanah bebas pada setiap
unit analisis (poligon hasil overlay beberapa
peta parameter pengaruh imbuhan air tanah
bebas) menjadi 4 (empat) kelas zona
pengimbuhan air tanah :
Tabel 3. Klasifikasi zona potensi imbuhan air tanah pada DAS Lahumbuti hasil analisis spasial
No.
Kisaran Skor Total
Zona Potensi Imbuhan Air Tanah
1
130,55 – 257,07
Kurang Berpotensi
2
257,07 – 383,58
Cukup Berpotensi
3
383,58 – 510,10
Berpotensi
4
510,10 – 636,61
Sangat Berpotensi
Sumber : Hasil pengolahan data primer, 2008
Vol. 09 No. 02 2013 - 95
GEOSAINS
Penyebaran zonasi pengimbuhan air tanah di
wilayah DAS Lahumbuti sebagian besar
merupakan zona cukup potensial yaitu seluas
334,75 km2 (35,17 %). Adapun penyebaran
zona kurang potensial adalah seluas 272,67
km2 (28,65 %), zona sangat potensial seluas
214,31 km2 (22,51 %) dan 211,75 km2 serta
zona potensial menyebar seluas 130,17 km 2
(3,68 %).
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengimbuhan air tanah, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
bebas di wilayah Daerah Aliran Sungai
berdasarkan bobot kepentingannya adalah
faktor geologi tanah dan batuan dengan
bobot 0,4541, kemudian faktor topografi
yang memiliki bobot 0,3117, faktor
penutupan dan pengunaan lahan dengan
bobot 0,1507 dan faktor curah hujan
dengan bobot 0,0806
2. Zona Potensi Imbuhan Air Tanah Bebas
pada DAS Lahumbuti dibagi menjadi 4
zona yaitu zona cukup berpotensi seluas
386,87 km2 (40,64 %), zona berpotensi
seluas 299,80 Ha (31,49 %), zona sangat
berpotensi seluas 120,31 Ha (12,64 %) dan
zona kurang berpotensi seluas 144,97 km2
(15,23 %).
1. Parameter hidrogeologi yang paling
berpengaruh terhadap imbuhan air tanah
6. DAFTAR PUSTAKA
Anderson, I. 1976. A Land Use and Land Cover Classification System for Use with Remote Sensor
Data. WashingtonDC. United State Geological Survey.
Anonim. 2006. Penyusunan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Kampar Provinsi Riau. Pekanbaru.
Badan Pengelolaan Daera Aliran Sungai Indragiri-Rokan Provinsi Riau. (Online).
(www.bpdas_inrok.net Diakses 15 Maret 2008).
Anonim. 1994. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai Sampara
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
University Press.
Yogyakarta. Gadjah Mada
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1992. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1 : 50.000
Lembar Asolu, Abuki, Andowia, Pohara dan Unaaha. Edisi I Tahun 1992. Cibinong. Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Cahyo, A. 2007. Penentuan Kemampuan Lahan Dengan Landsat 7 ETM. Prosiding Geo-Marine
Research Forum. (Online). (www.gmrf.or.id Diakses 15 Pebruari 2008).
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. 2000. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1451
K/10/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang
Pengelolaan Air Bawah Tanah. Jakarta. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.
Freeze, R. A & Cherry. J. A. Groundwater. New Jersey. Prentice Hall.
Lubis, R. F. 2006. Bagaimana Menentukan Daerah Resapan Air Tanah. Inovasi 6. (Online).
(http://www.ppi-jepang.org/ diakses 12 Desember 2007)
Pusat Pengembangan Sumberdaya Air. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum (Online). (http://www.pusairpu.go.id Diakses 23 Pebruari 2008).
96 - Vol. 09 No. 02 2013
GEOSAINS
Rusmana, E., dkk. 1993. Peta Geologi Regional Lembar Kendari – Lasusua, Sulawesi. Bandung.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk
Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. Jakarta. PT. Pustaka Binaman
Pressindo
Vol. 09 No. 02 2013 - 97
GEOSAINS
98 - Vol. 09 No. 02 2013
Download