GEOSAINS ZONASI IMBUHAN AIR TANAH PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI LAHUMBUTI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Teggu Murtono*, A.M. Imran*, M. Arsyad Thaha* *) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Abstrack: This research aimed to find out (1) to classify the hydrogeological parameters that affect to the groundwater recharge and (2) to map the zone of potential unconfined groundwater recharge zones at Lahumbuti watershed of Southeast Sulawesi Province.The method used was the field survey by direct measuring and hidrogeological mapping, laboratory and statistical analysis using empirical equation. Then, pairwise comparison data from expert judgement 11 respondent were analyzed using analytical hierarcy procces to weighting parameters and spatial analysis by overlay parameter maps to produced zonation map of the potential unconfined groundwater recharge. The result shows that zonation of the unconfined groundwater recharge at Lahumbuti watershed were divided in to 4 zonation are less potential zone 272,67 km2 (28,65 %), potential zone has 334,75 km2 (35,17 %), more potential 130,17 (3,68 %) dan most potential has 214,31 km2 (22,51 %). Keywords: recharge, groundwater, watershed 1. PENDAHULUAN Resapan air atau infiltrasi air atau imbuhan air ke dalam lapisan tanah atau batuan merupakan bagian dari proses siklus air, dimana air hujan yang turun ke permukaan bumi, sebagian mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan (run off) dan sebagian lagi masuk ke dalam tanah, mengisi lapisan akuifer (lapisan pembawa air) untuk kemudian disebut sebagai air tanah. Resapan air merupakan faktor yang sangat penting dalam proses terbentuknya air tanah karena berfungsi sebagai penyeimbang atau penentu terpeliharanya kelestarian air tanah yang secara tidak langsung menjamin terhadap kelangsungan hidup kita. Besarnya volume air hujan yang meresap ke dalam tanah akan menentukan tercapai atau tidaknya keseimbangan kondisi air tanah. Dalam perencanaan konseptual sistem manajemen air tanah bebas, agar tercapai keseimbangan antara pengambilan dan penyediaan air tanah, perlu diketahui potensi imbuhan air tanah bebas di suatu daerah. Berdasarkan uraian tersebut, perlu ditentukan zonasi imbuhan air tanah bebas yang berdasarkan pada faktor curah hujan, geologi, penutupan dan penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan parameter curah hujan, geologi, topografi dan penutupan dan penggunaan lahan untuk kemudian menentukan zonasi potensi imbuhan air tanah bebas pada Daerah Aliran Sungai Lahumbuti Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Daerah aliran sungai DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut adalah sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jaringan sungai, hidrologi, jenis tanah, Vol. 09 No. 02 2013 - 89 GEOSAINS penutupan dan tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik biofisik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di dalam wilayah DAS tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, air permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai (Asdak, 2004). 2.2. Air Tanah dan Imbuhan Air Tanah Air tanah menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah pasal 1 butir 12 adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Lubis (2006) menyatakan bahwa model aliran air tanah itu sendiri akan dimulai pada daerah resapan/imbuhan air tanah (recharge zone). Daerah ini adalah wilayah dimana air yang berada di permukaan tanah, baik air hujan maupun air permukaan, mengalami proses penyusupan (infiltrasi) secara gravitasi melalui lubang atau ruang antar butiran tanah/batuan (pori) atau celah/rekahan pada tanah/batuan. Dari proses ini diketahui bahwa keterdapatan air tanah sangat berkaitan dengan komponen komponen lingkungan lainnya dalam siklus tersebut seperti iklim (curah hujan, temperatur), vegetasi serta jenis lapisan tanah dan batuan. Oleh karena itu, keterdapatan atau potensi air tanah dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung dari kondisi komponen-komponen tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi pada komponen lingkungan tersebut akan berpengaruh pada kuantitas atau kualitas sumber daya air tanah. Imbuhan air tanah adalah proses masuknya air ke dalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu garis khayal yang disebut sebagai garis muka air tanah (water table) dan berasosiasi dengan mengalirnya air dalam kondisi jenuh tersebut ke arah daerah luahan (Freeze dan Cherry, 1979). Sedangkan daerah tempat berlangsungnya proses pengimbuhan air tanah disebut daerah resapan atau daerah imbuhan air tanah (recharge zone). 90 - Vol. 09 No. 02 2013 Sumber utama pengimbuhan adalah air hujan, tubuh air permukaan (sungai, danau, rawa) dan irigasi. Pengimbuhan air tanah pada zona tidak jenuh disebut juga sebagai infiltrasi. Mekanisme infiltrasi dan pengangkutan kelembaban dapat terjadi secara translatory flow yaitu air hujan yang tersimpan di dalam zona tidak jenuh, akan dipindahkan ke arah bawah oleh proses infiltrasi selanjutnya tanpa mengganggu distribusi kelembaban. Adapun mekanisme infiltrasi yang terjadi secara preferential flow, air mengalir melalui celah atau pori-pori makro setempat (kanal-kanal bekas perakaran, rongga-rongga dan celah)atau zona-zona (dasar sungai) pada zona tidak jenuh dengan kapasitas infiltrasi dan atau perkolasi relatif tinggi. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer dan pengolahan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Desk Study),yaitu pengumpulan data melalui penelusuran laporan-laporan, literatur dan makalah makalah ilmiah yang berhubungan dan mendukung penelitian. 2. Observasi, yaitu pengumpulan data melalui pengamatan dan pengukuran langsung terhadap parameter pengimbuhan air tanah antara lain : penentuan posisi stasiun pengamatan dan pengukuran menggunakan GPS Receiver merk GARMIN tipe GPSMap 76 Csx , pengambilan sampel tanah untuk uji tekstur tanah, pengukuran laju infiltrasi dengan menggunakan infiltrometer cincin ganda (double ring infiltrometer), pengukuran konduktifitas hidrolika dengan metode constant-head well permeameter test dengan menggunakan lubang bor auger dan pengecekan lapangan untuk menguji kebenaran interpretasi. 3. Pengolahan data sekunder antara lain : interpretasi citra satelit SPOT-4 untuk klasifikasi terbimbing parameter penutupan dan penggunaan lahan, pengolahan data curah hujan dengan menggunakan metode poligon thiessen/rata-rata tertimbang, klasifikasi kemiringan lereng dari peta rupa bumi Indonesia skala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal. GEOSAINS 4. Kuesioner, yaitu pengumpulan data dengancara memberikan daftar pertanyaan kepada responden yang ahli (expert) di bidang hidrogeologi untuk memperoleh informasi persepsi tentang tingkat kepentingan suatu parameter dibandingkan dengan parameter lainnya terhadap proses pengimbuhan air tanah bebas. 3.2. Analisis Data 1. Analisis Dengan Rumus Empiris Analisis dengan menggunakan rumus-rumus empiris antara lain dilakukan untuk : menentukan curah hujan bulanan, tahunan dan curah hujan wilayah (metode poligon thiessen) serta tipe iklim, kemiringan lereng (rumus Horton), morfologi DAS (bentuk, jaringan sungai, kerapatan aliran dan koefisien aliran permukaan), 2. Interpretasi Citra Satelit Citra satelit SPOT-4 yang direkam pada bulan maret 2008 dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra (data raster) untuk mengklasifikasi penutupan dan penggunaan lahan dengan metode klasifikasi terbimbing. Hasil klasifikasi kemudian dikonversi menjadi data vektor untuk kemudian dianalisis secara spasial. 3. Pembobotan dan Skoring Parameter Pembobotan dan skoring parameter imbuhan air tanah bebas dilakukan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik. Data nilai perbandingan berpasangan diperoleh melalui penyebaran kuesioner yang disebarkan kepada responden yang ahli di bidangnya. Data persepsi ahli ini kemudian diolah dengan rumus empiris sehingga diperoleh faktor bobot setiap parameter. 4. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan dengan perangkat lunak sistem informasi geografi pengolah data vektor. Meliputi proses digitasi peta kemiringan lereng, peta geologi dan jenis tanah, pembuatan poligon thiessen dan sebaran curah hujan, import data raster penutupan dan penggunaan lahan. Tahap analisis ini juga merupakan langkah akhir penentuan zona potensi imbuhan air tanah, yaitu dengan menumpangtindihkan (overlay) peta parameter (curah hujan, geologi, topografi dan penutupan dan penggunaan lahan). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian DAS Lahumbuti merupakan bagian dari SWS Sampara-Lasolo seluas 951,90 km2, berada dalam wilayah kabupaten Konawe provinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak pada 121o10’00” – 122o16’00” BT dan 3o26’00” – 4o08’00” LS dan secara administrasi pemerintahan, wilayah DAS Lahumbuti meliputi wilayah kecamatan Abuki, Tongauna, Unaaha, Anggaberi, Wawotobi, Meluhu dan Amonggedo. DAS Lahumbuti terbagi menjadi 10 (sepuluh) Sub DAS dengan luas masing-masing yaitu Sub DAS Abuki (78,16 km2), Anggaberi (86,52 km2), Anggoro (106 km2), Anggotoa (27,38 km2), Benua (108,10 km2), Lahumbuti Hilir (169,90 km2), Lahumbuti Hulu (148,60 km2), Lalowatu (111,70 km2), Meluhu (85,45 km2) dan Watawata (30,14 km2). 4.2. Morfologi DAS Lahumbuti a. Bentuk DAS Berdasarkan nisbah kebulatan (circularity ratio, Rc) dan nisbah kelonjongan (elongated ratio, Re), bentuk sub DAS di dalam DAS Lahumbuti secara umum mendekati bentuk lonjong (nilai Rc mendekati 0 dan nilai Re mendekati 1). Hal inimenunjukkan bahwa secara umum waktu konsentrasi, yaitu waktu yang diperlukan untuk berkumpulnya air hujan dari puncak-puncak bukit ke sungai utama adalah relatif lama. b.Ketinggian DAS Pada wilayah DAS Lahumbuti, titik tertinggi pada masing-masing Sub DAS bervariasi antara 456 (mdpl) sampai dengan 1129 (mdpl), sedangkan titik ketinggian terendah bervariasi antara 7 (mdpl) sampai dengan 75 (mdpl). Arah orientasi DAS atau arah aliran sungai utama pada DAS Lahumbuti secara umum menunjukkan arah selatan, barat daya dan tenggara. c. Jaringan Sungai Jaringan sungai pada wilayah DAS Lahumbuti memiliki pembagian ordo bervariasi mulai 3 ordo sampai dengan 7 ordo. Vol. 09 No. 02 2013 - 91 GEOSAINS Sub DAS yang memiliki ordo paling kecil adalah Sub DAS Watawata dan Anggotoa memiliki 3 ordo, sedangkan Sub DAS yang memiliki pembagian ordo paling banyak adalah Sub DAS Lahumbuti Hilir dengan 7 ordo yang merupakan sungai utama di dalam wilayah DAS Lahumbuti. d. Pola Aliran Sungai Secara umum, pola aliran sungai (drainage pattern) di DAS Lahumbuti adalah pola aliran dendritik dengan beberapa kombinasi dan tingkatan seperti dendritik halus – sedang (pada daerah hulu sungai orde 1 – 4) serta kombinasi antara pola aliran dendritik dengan pola aliran paralel dan rektangular (pada daerah hilir sungai orde > 4). e. Kerapatan Aliran Berdasarkan klasifikasi indeks kerapatan aliran sungai (Anonim, 2004), maka kerapatan aliran DAS Lahumbuti secara umum adalah kelas kerapatan aliran sedang (antara 0,75 km/km2 – 2,19 km/km2). f. Koefisien Aliran Permukaan Kondisi kelas koefisien aliran permukaan pada DAS Lahumbuti secara umum adalah tinggi (50 – 75 %) dengan luas penyebaran 665 km2 (69,92 %), normal (25 – 50 %) seluas 273,53 km2 (28,74 %) dan ekstrim (> 75 %) seluas 12,80 km2 (1,34 %). 4.3. Geologi DAS Lahumbuti 1. Stratigrafi Berdasarkan satuan stratigrafi, formasi geologi yang terdapat di wilayah DAS Lahumbuti berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Kendari – Lasusua (Rusmana dkk., 1993) berturut-turut dari yang berumur paling tua sampai paling muda meliputi kelompok batuan metamorf seluas 216,25 km2 (27,72 %), batuan sedimen Formasi Meluhu seluas 445,90 km2 (46,84 %), Formasi Tokala seluas 59,69 km2 (6,27 %), Formasi Alangga seluas 8,26 km2 (0,87 %) dan endapan aluvial seluas 221,80 km2 (23,30 %), secara rinci disebutkan berikut ini : Tabel 1. Formasi batuan yang terdapat dalam wilayah DAS Lahumbuti Kode Formasi Umur Keterangan Qa Endapan Aluvial Aluvium Kerikil, kerakal, pasir, lempung dan lumpur Qpa Formasi Alangga Plistose Akhir Batupasir dan Konglomerat TRJt Formasi Tokala Trias - Jura Batugamping kristal, TRJm Formasi Meluhu Trias - Jura Batupasir, Filit, Batusabak Pzm Kelompok Batuan Malihan (Metamorf) Karbon Sekis, Filit, Kuarsit Sumber : Peta Geologi Regional Lembar Kendari – Lasusua, 1993 Jenis Tanah Wilayah DAS Lahumbuti terdapat 6 jenis tanah jenis tanah Meditran merupakan jenis tanah yang penyebarannya paling luas yaitu 294,50 km2 (30,94 %) tersebar di bagian timur laut sampai timur daerah penelitian dengan arah penyebaran barat laut - tenggara, jenis tanah Podsolik dengan luas penyebaran 272,80 Ha (28,66 %) menempati daerah di 92 - Vol. 09 No. 02 2013 bagian utara dan barat laut DAS Lahumbuti, jenis tanah aluvial dengan luas penyebaran 238,00 km2 (25 %) menempati daerah di sekitar aliran sungai lahumbuti, memanjang dengan arah barat laut – tenggara, tanah Kambisol menempati wilayah pada bagian tenggara daerah penelitian dengan luas penyebaran 73,76 km2 (7,75 %), jenis tanah Litosol tersebar di bagian utara daerah penelitian dengan luas penyebaran 56,88 km 2 GEOSAINS Iklim dan Cuaca (5,98 %) serta tanah Organosol tersebar secara setempat-setempat di bagian tengah wilayah DAS Lahumbuti dengan luas penyebaran 15,96 km2 (1,68 %). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan poligon Thiessen dengan data curah hujan yang berasal dari stasiun Abuki, stasiun Lambuya, stasiun Asera dan stasiun Tinobu selama kurun waktu tahun 1997 – 2006 maka curah hujan rata-rata bulanan di setiap stasiun pengukuran curah hujan tersebut secara grafis adalah sebagai berikut : Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Tim Fakultas Geografi UGM (1994) dalam Cahyo (2007), keenam jenis tanah tersebut kemudian diklasifikasi berdasarkan teksturnya menjadi kelas halus (Kambisol), agak halus (Aluvial dan Meditran), agak kasar (Podsolik) dan kasar (Litosol dan Organosol). Curah Hujan (mm) SEBARAN HUJAN DI BEBERAPA STASIUN CURAH HUJAN DAS LAHUMBUTI 300.0 250.0 200.0 150.0 100.0 50.0 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Abuki Lambuya Asera Tinobu Gambar 1. Grafik sebaran curah hujan bulanan DAS Lahumbuti Wilayah yang memiliki curah hujan tertinggi adalah daerah yang berada di dalam daerah pengaruh stasiun Asera dengan jumlah curah hujan 1.801,2 mm/tahun, sedangkan yang terendah adalah di wilayah pengaruh stasiun Abuki dengan curah hujan 955,5 mm/tahun. Adapun stasiun Lambuya memiliki curah hujan tahunan sebesar 1.480,7 mm/tahun dan stasiun Tinobu sebesar 1.492,2 mm/tahun. yang terjadi di indonesia, yaitu kurvanya berbentuk “V”. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember dan April yaitu pada awal dan akhir musim penghujan dengan curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 103 – 143 mm, yang selanjutnya perlahan berkurang sehingga mencapai curah hujan minimum pada puncak musim kemarau yaitu pada bulan september (31,29 mm). Pola curah hujan di wilayah DAS Lahumbuti menunjukkan kesamaan pola curah hujan Grafik Curah Hujan Rata-Rata Timbang Bulanan DAS Lahumbuti Tahun 1997-2006 160 Curah Hujan (mm) 140 120 100 80 60 40 20 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 2. Grafik curah hujan rata-rata timbang bulanan di wilayah DAS Lahumbuti periode tahun 1997 – 2006. Vol. 09 No. 02 2013 - 93 GEOSAINS Berdasarkan klasifikasi tipe iklim SchmidtFergusson pada tabel (1), nilai Q untuk stasiun Abuki (25) termasuk ke dalam tipe iklim B atau iklim Basah (nilai Q yaitu 14,3 – 33,3) dengan vegetasi masih hutan hujan tropis. Adapun stasiun Lambuya, Asera dan Tinobu termasuk kedalam tipe iklim A yaitu iklim sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. permukaan berupa tubuh sungai seluas 8,21 km2 (0,86 %). 4.5. Kemiringan Lereng Secara keseluruhan tingkat kelerengan pada DAS Lahumbuti dengan klasifikasi datarhampir datar adalah seluas 322,14 km2 (33,84 %), landai 48,64 km (5,11 %), miring 98,32 Ha (10,38 %), agak curam 78,93 km2 (8,34 %) dan curam sampai terjal seluas 399,20 km2 (41,94 %). 4.4. Penutupan dan Penggunaan Lahan Kawasan hutan di wilayah DAS Lahumbuti adalah penutupan dan penggunaan lahan yang terluas dengan luas penyebaran 672,03 Ha (70,60 %), sawah (sawah irigasi atau non irigasi) dengan tanaman berupa padi seluas 107,97 km2 (11,34 %), kawasan perkebunan dan hortikultura dengan tanaman perkebunan antara lain kopi, kelapa, duku, jambu mete, kakao, jeruk, pisang, merica, nangka, mangga, nenas dan sebagian kecil vanili serta tanaman hortikultura seperti ubi kayu, tomat, cabai, terung, jagung dan kacang panjang juga beberapa jenis sayuran lainnya seluas 77,32 km2 (8,12 %), semak belukar didominasi oleh alang-alang, anakan dan tegakan pohon berukuran kecil dengan luas penyebaran 71,85 km2 (7,55 %), kawasan terbangun berupa percampuran pemukiman, fasilitas pelayanan publik (swasta atau pemerintah), perdagangan, transportasi dan industri dengan penyebaran seluas 12,77 km2 (1,34 %), lahan basah berupa rawa air tawar dengan penyebaran seluas 1,80 km2 (0,19 %) dan air 4.6. Pembobotan dan Skoring Parameter 1. Pembobotan Secara umum, hasil pembobotan faktor pengaruh berdasarkan persepsi 11 responden menunjukkan bahwa faktor geologi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap potensi terjadinya pengimbuhan air tanah dengan bobot rata-rata 0,4541 (45,41 %) serta standar deviasi 0,019 dan koefisien variasi 4,12 %, disusul faktor faktor topografi memilikii bobot rata-rata 0,3117 (31,17 %) dengan standar deviasi 0,027 dan koefisien variasi 8,54 %, penutupan dan penggunaan lahan memiliki bobot rata-rata 0,1507 (15,07 %) dengan standar deviasi 0,020 dan koefisien variasi 13,01 %, dan faktor yang paling kecil pengaruhnya adalah faktor curah hujan, memiliki bobot rata-rata 0,0806 (8,06 %) dengan standar deviasi 0,009 dan koefisien variasi 11,66 %. Faktor Bobot Parameter Parameter TPG 0.3117 TGL 0.1507 Series1 GEO CH 0.4541 0.0806 Bobot Gambar 3. Grafik hasil pembobotan rata-rata parameter 2. Skoring Pemberian skor terhadap setiap kelas dari masing-masing parameter yang berpengaruh terhadap pengimbuhan dilakukan berdasarkan pengaruh masing-masing kelas parameter terhadap pengimbuhan air tanah 94 - Vol. 09 No. 02 2013 yang diwakili oleh hasil pengukuran lapangan dan klasifikasi ilmiah lainnya. Pemberian skor dilakukan terhadap setiap kelas parameter dengan asumsi bahwa kelas-kelas dalam sebuah parameter yang memberikan korelasi positif atau memperbesar kemungkinan terjadinya pengimbuhan air tanah diberikan GEOSAINS skor tertinggi, dan sebaliknya bahwa kelaskelas parameter yang memperkecil kemungkinan terjadinya pengimbuhan air tanah diberikan skor terendah. Tabel 2. Skala intensitas setiap kelas parameter pengaruh Kriteria Stasiun Abuki Stasiun Lambuya Curah Hujan Stasiun Tinobu Stasiun Asera Btsabak, Filit, Btgpg Geologi Malih Formasi Lempung, Batulempung Batuan Batupasir Malih Btpasir, Btgpg Terumbu Pasir, kerikill, kerakal Litosol, Organosol Podsolik Jenis Tanah Mediteran, Aluvial Coklat Kambisol Kawasan Terbangun Penutupan dan Sawah, Rawa Air Tawar Penggunaan Kawasan Perkebunan Lahan Semak belukar Hutan > 30 % 15 – 30 % Topografi 7 – 15 % Kemiringan 2–7% Lereng 0–2% 1 3 3 5 1 Skala Intensitas Rendah Sedang Sedang Tinggi R S S T SR Sangat Rendah 2 3 4 5 5 3 3 Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Kasar Agak Kasar 1 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Halus Sangat Buruk Buruk Sedang Baik Sangat Baik Curam – Terjal Agak Curam Miring Agak Miring Datar – Hampir Datar R S T ST K AK AH Agak Halus Hls SBu Bu S Ba Sba CTJ AC M AM DHD Sumber : Beberapa literatur serta hasil validasi dengan data primer dan sekunder 4.7. Analisis Spasial Peta Parameter Dari proses tumpang tinding data spasial dan atribut keempat parameter imbuhan air tanah yaitu geologi (theme 1), topografi (theme 2), penutupan dan penggunaan lahan (theme 3) dan curah hujan (theme 4), dihasilkan 795 unit lahan baru sebagai unit analisis. Selanjutnya dilakukan editing dan analisis data atribut yaitu menjumlahkan seluruh hasil perkalian faktor bobot dengan skor kriteria sehingga diperoleh skor total minimum yaitu 130,55 dan skor total maksimum yaitu 636,61. 4.8. Zonasi Imbuhan Air Tanah Bebas Selanjutnya dari hasil penjumlahan tersebut dianalisis untuk mengklasifikasi tingkat potensi imbuhan air tanah bebas pada setiap unit analisis (poligon hasil overlay beberapa peta parameter pengaruh imbuhan air tanah bebas) menjadi 4 (empat) kelas zona pengimbuhan air tanah : Tabel 3. Klasifikasi zona potensi imbuhan air tanah pada DAS Lahumbuti hasil analisis spasial No. Kisaran Skor Total Zona Potensi Imbuhan Air Tanah 1 130,55 – 257,07 Kurang Berpotensi 2 257,07 – 383,58 Cukup Berpotensi 3 383,58 – 510,10 Berpotensi 4 510,10 – 636,61 Sangat Berpotensi Sumber : Hasil pengolahan data primer, 2008 Vol. 09 No. 02 2013 - 95 GEOSAINS Penyebaran zonasi pengimbuhan air tanah di wilayah DAS Lahumbuti sebagian besar merupakan zona cukup potensial yaitu seluas 334,75 km2 (35,17 %). Adapun penyebaran zona kurang potensial adalah seluas 272,67 km2 (28,65 %), zona sangat potensial seluas 214,31 km2 (22,51 %) dan 211,75 km2 serta zona potensial menyebar seluas 130,17 km 2 (3,68 %). 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengimbuhan air tanah, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : bebas di wilayah Daerah Aliran Sungai berdasarkan bobot kepentingannya adalah faktor geologi tanah dan batuan dengan bobot 0,4541, kemudian faktor topografi yang memiliki bobot 0,3117, faktor penutupan dan pengunaan lahan dengan bobot 0,1507 dan faktor curah hujan dengan bobot 0,0806 2. Zona Potensi Imbuhan Air Tanah Bebas pada DAS Lahumbuti dibagi menjadi 4 zona yaitu zona cukup berpotensi seluas 386,87 km2 (40,64 %), zona berpotensi seluas 299,80 Ha (31,49 %), zona sangat berpotensi seluas 120,31 Ha (12,64 %) dan zona kurang berpotensi seluas 144,97 km2 (15,23 %). 1. Parameter hidrogeologi yang paling berpengaruh terhadap imbuhan air tanah 6. DAFTAR PUSTAKA Anderson, I. 1976. A Land Use and Land Cover Classification System for Use with Remote Sensor Data. WashingtonDC. United State Geological Survey. Anonim. 2006. Penyusunan Karakteristik Daerah Aliran Sungai Kampar Provinsi Riau. Pekanbaru. Badan Pengelolaan Daera Aliran Sungai Indragiri-Rokan Provinsi Riau. (Online). (www.bpdas_inrok.net Diakses 15 Maret 2008). Anonim. 1994. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara. Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. University Press. Yogyakarta. Gadjah Mada Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1992. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1 : 50.000 Lembar Asolu, Abuki, Andowia, Pohara dan Unaaha. Edisi I Tahun 1992. Cibinong. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Cahyo, A. 2007. Penentuan Kemampuan Lahan Dengan Landsat 7 ETM. Prosiding Geo-Marine Research Forum. (Online). (www.gmrf.or.id Diakses 15 Pebruari 2008). Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. 2000. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1451 K/10/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Jakarta. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Freeze, R. A & Cherry. J. A. Groundwater. New Jersey. Prentice Hall. Lubis, R. F. 2006. Bagaimana Menentukan Daerah Resapan Air Tanah. Inovasi 6. (Online). (http://www.ppi-jepang.org/ diakses 12 Desember 2007) Pusat Pengembangan Sumberdaya Air. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum (Online). (http://www.pusairpu.go.id Diakses 23 Pebruari 2008). 96 - Vol. 09 No. 02 2013 GEOSAINS Rusmana, E., dkk. 1993. Peta Geologi Regional Lembar Kendari – Lasusua, Sulawesi. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. Jakarta. PT. Pustaka Binaman Pressindo Vol. 09 No. 02 2013 - 97 GEOSAINS 98 - Vol. 09 No. 02 2013