penyakit menular pada intensifikasi unggas lokal dan cara

advertisement
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
PENYAKIT MENULAR PADA INTENSIFIKASI UNGGAS
LOKAL DAN CARA PENANGGULANGANNYA
L. PAREDE1, D. ZAINUDDIN2, dan H. HUMINTO3
1
Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
2
Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002
3
Bagian Patologi – Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
ABSTRAK
Penyakit menular pada unggas lokal (ayam kampung, ayam bangkok, ayam arab, ayam hutan, burung
puyuh, burung dara, burung unta, itik, angsa) dalam pola pemeliharaan yang intensif perlu lebih diwaspadai.
Faktor yang mempermudah penularan penyakit adalah kontak diantara unggas dalam kandang terjadi lebih
erat, kontak dalam tempo yang lama, stress, dan kurangnya udara segar. Pemeliharan unggas lokal bila tanpa
disertai tindakan biosekuriti dan pengamanan melalui vaksinasi akan berisiko tertular penyakit. Diantara
penyakit menular yang telah ditemukan pada unggas lokal di laboratorium diagnostik adalah Newcastle
Disease (Tetelo), Flu Burung, Marek, Gumboro, Pox, Infectious Coryza (Snot), Pullorum, Colibacillosis,
Cholera unggas, Anthrax, Aspergillosis, Candidiosis, Coccidiosis, Histomoniasis, Cryptosporidiosis,
Trichomoniasis, infestasi ektoparasit dan cacing.
Kata kunci: Unggas lokal, penyakit menular, pemeliharaan intensif
PENDAHULUAN
Intensifikasi dalam pemeliharaan ayam
indigenous/lokal/bukan ras/kampung selain
memerlukan perubahan dalam penyediaan
pakan, juga mengandalkan pada sistem
pemeliharaan yang lebih terkurung: kandang
ditambah halaman berpagar atau dipelihara
dalam
kandang
selamanya.
Dengan
intensifikasi ini diharapkan tujuan petani dalam
beternak unggas lokal dapat lebih cepat
mendekati sukses, baik sebagai pembibit,
petelur konsumsi, pedaging, atau gabungan
diantara ke-tiganya. Pola menejemen harus ikut
diubah dalam intensifikasi pemeliharaan agar
tidak mendapatkan dampak negatif oleh
memburuknya kesehatan unggas.
Naskah ini menjelaskan penyakit menular
yang pernah terdiagnosa pada unggas lokal di
Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan –
IPB serta tindakan pencegahan dan biosekuriti.
MATERI METODA
Data penyakit menular pada unggas lokal
diambil dari protokol nekropsi dan biopsi di
314
Bagian Patologi, Departemen Klinik Veteriner,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan – IPB. Dari data tersebut dipilah dan
dibahas
10
penyakit
menular
yang
menggunakan vaksinasi sebagai upaya
pencegahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diantara unggas lokal yang sudah dicoba
diternakan di Indonesia adalah ayam buras
(bukan ayam ras, seperti kampung, bangkok,
arab), ayam hutan, kalkun, burung puyuh, itik,
burung unta dan burung dara. Data penyakit
menular yang pernah terdiagnosa pada unggas
lokal dapat dilihat pada Tabel 1.
Upaya pencegahan penyakit menggunakan
vaksinasi disertai biosekuriti dapat digunakan
pada 10 dari 18 penyakit menular yang ada:
Newcastle Disease, Flu Burung, Marek,
Gumboro, Pox, Infectious Coryza (Snot),
Colibacillosis, Cholera unggas, Anthrax dan
Coccidiosis.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 1: Penyakit unggas lokal hasil diagnosa bagian patologi FKH-IPB
1
Penyakit
ND/Tetelo
A.Buras*
+
2
Flu burung
+
3
Gumboro
+
4
Pox
+
A.Hutan
+
Kalkun
Puyuh
+
Itik
5
Marek
+
6
Infectious coryza
+
7
Pullorum
+
8
Colibacillosis
+
+
9
Fowl cholerae
+
+
10
Anthrax
11
Aspergillosis**
+
+
12
Candidiosis
+
+
13
Coccidiosis
+
14
Cryptosporidiosis
+
15
Histomoniasis
+
16
Trichomoniasis
17
Kecacingan
+
+
+
18
Ectoparasit
+
+
+
B. Unta
+
B. Dara
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan: *) Ayam buras disini: ayam kampung, ayam Bangkok, ayam Arab
**) Aspergillosis juga terdiagnosa pada angsa, kasuari, elang dan burung piaraan
ND (Newcastle Disease)/Tetelo
Penyakit tetelo unggas disebabkan oleh
infeksi virus ND/PMV-1 (Paramyxovirus-1)
yang memiliki sifat keganasan berbeda-beda
dalam menimbulkan kerusakan organ: amat
ganas (velogenik), ganas (mesogenik), dan
kurang/tidak ganas (lentogenik). PMV-1
lentogenik strain B1 dan La Sota sering
digunakan sebagai biang vaksin guna
mencegah timbulnya penyakit ND oleh infeksi
virus velogenic dan mesogenik. Cara penularan
lewat kontak dan benda-benda yang
terkontaminasi berak dan cairan radang
penderita. Rute infeksi utama masuk melalui
saluran nafas. Apabila terserang ND ganas/
amat ganas, gejala yang timbul adalah
gangguan pernafasan, bengkak muka sekitar
mata, diarrhea, gejala syaraf: kepala diputarputar, geleng-geleng atau kelumpuhan,
kematian tinggi pada kelompok yang tidak/
kurang memiliki kekebalan. Unggas lokal yang
dapat terserang selain ayam juga burung unta,
burung puyuh dan kalkun. Unggas air dan
burung liar dapat terinfeksi tetapi tidak sakit
dan menjadi sumber penularan bagi ayam.
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi ND
berkala sejak umur muda baik dengan vaksin
hidup maupun vaksin mati (ALEXANDER,
1997).
Flu burung (HPAI, Highly Pathogenic
Avian Influenza)
Kasus flu burung didapatkan pada ayam ras
dan ayam lokal dengan pemeliharaan intensif
maupun di-umbar. Penyakit flu burung
disebabkan oleh infeksi virus HPAI (AI amat
pathogen) H5N1. Unggas peka selain ayam
juga burung puyuh, burung unta dan kalkun.
Unggas air dan burung liar menjadi sumber
penularan bagi unggas yang peka. Keluhan dari
peternak dan petugas dinas peternakan berupa
banyaknya kematian yang terjadi, baik tiba-tiba
atau setelah terlihat sakit hanya 1-2 hari.
Banyak dari kasus flu burung yang terdiagnosa
pada tahun 2003 dan permulaan 2004 berasal
dari ayam-ayam yang belum mengalami
315
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
vaksinasi AI. Tanda-tanda penyakit yang
muncul saat nekropsi (bedah bangkai):
perdarahan bawah kulit kaki, jengger, pial,
lemak abdomen dan jantung, trachea, hidung,
pancreas, proventrikulus. Pada ayam yang
telah bertelur perdarahan sering pada folikel
telur yang sudah besar. Histopatologi
menemukan adanya: encephalitis (radang otak)
disertai multifokus nekrosa (kematian jaringan)
otak dan pancreas. Kejadian wabah penyakit
unggas flu burung, baru mulai di Indonesia
pertengahan 2003, sebagai bagian dari wabah
AI yang terjadi di dunia khususnya Asia.
Diperkirakan flu burung bergerak dari
sumbernya di Asia daratan terutama Cina, di
bawa oleh burung liar migrasi sebagai karrier
virus HPAI. Virus ganas H5N1 tergolong
kontagius dengan rute infeksi utama melalui
pernafasan. Spesies burung yang peka
terinfeksi dan menimbulkan penyakit selain
berbagai jenis ayam peliharaan, juga ayam
hutan, puyuh, kalkun, pheasant, patridge, dan
guinea fowl. Unggas air seperti geese dan duck
juga burung liar terutama burung air peka
terinfeksi virus H5N1 tetapi kurang peka untuk
sakit dan mati. Unggas air dan burung liar
dapat menjadi karrier virus AI, demikian pula
ayam yang telah mendapat vaksinasi AI.
Sumber infeksi virus tersebut terdapat dalam
beraknya dan mudah menyebar karena mengkontaminasi bulu dan badan hewan karrier,
hewan lain yang hidup dalam kandang, sumber
air, pakan, peralatan serta manusia.
Penanggulangan meliputi vaksinasi pada ayam
yang belum terinfeksi, dengan vaksin AI
inaktif H5N1 disertai penggunaan biosekuriti
yang ketat (YUEN, 2003). Pada ayam local
yang baru terinfeksi (kesayangan/ bernilai
tinggi) dapat mencoba pengobatan dengan
antivirus seperti amantadine, rimantadine,
oseltamivir, zanamivir. Berhati-hati karena
virus H5N1 di berbagai negara termasuk
Indonesia ada yang bersifat zoonotik,
meskipun masih lebih banyak yang tidak
menular ke manusia.
Gumboro
Penyebab virus Gumboro atau IBDV
(infectious bursal disease virus) serotipe 1 yang
hanya menyerang ayam. Virus banyak terdapat
dalam berak dan muntahan penderita. Sumber
316
virus lainnya adalah benda yang telah
terkontaminasi penderita, termasuk kandang
dan lingkungan sekitar karena virus Gumboro
tahan hidup diluar ayam dalam jangka waktu
lama. Benda hidup yang menjadi pembawa
virus selain ayam, juga kumbang kotoran ayam
Alphitobius diaperinus, manusia dan tikus
kandang. Virus Gumboro yang ganas merusak
organ pertahanan bukan hanya bursa Fabricius,
tetapi juga thymus, limpa, limphoid folikel
usus dan sumsum tulang serta menimbulkan
kematian tinggi; virus yang kurang ganas
hanya merusak bursa. Kerusakan bursa terlihat:
bengkak dan oedem saat masih akut, berwarna
kuning atau merah berdarah; saat kronis bursa
mengecil (atrofi). Otot paha dan dada
mengalami
perdarahan
sewaktu
akut.
Pencegahan meliputi vaksinasi di umur muda;
pada induk pembibit vaksinasi diulang saat
menjelang bertelur agar DOC memiliki
kekebalan dari induk cukup selama 2 minggu
pertama (LUCIO and HITCHNER, 1979; LUKERT
and MEZARIEGOS, 1985). Pembersihan
kandang bekas penderita menggunakan
desinfektan khusus yang mengandung komplex
iodine atau formaldehyde.
Fowlpox/cacar ayam
Virus pox ayam penyebab penyakit cacar
pada ayam berbeda strain dari virus pox
burung puyuh maupun kalkun; mereka dalam
genus Avipoxvirus yang sama. Ada 2 bentuk
penyakit cacar pada ayam. Bentuk cacar ayam
kulit: virus menyerang kulit daerah kepala dan
membuat keropeng warna coklat hitam pada
jengger, pial, kelopak mata, sekitar lubang
hidung dan mulut. Bentuk cacar ayam mukosa
atau bentuk diphtheritik yang menyerang
lapisan dalam rongga mulut dan saluran nafas
atas dengan membentuk gumpalan-gumpalan
mirip kiju. Bentuk diphtheritik dapat
membunuh ayam karena menyumbat saluran
nafas. Penularan dapat lewat luka kontak
dengan penderita atau virus. Penularan tanpa
luka terjadi melalui mata, saluran nafas atas
dan mulut terinfeksi aerosol atau vaksin
terkontaminasi virus pox. Virus pox juga
menular lewat gigitan vektor nyamuk dan
ektoparasit penggigit lain. Pencegahan dengan
vaksinasi menggunakan metoda tusuk sayap
dengan biang vaksin pox ayam yang telah
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
dilemahkan/attenuated
(MOCKETT, 1990).
fowlpox
vaccine
Penyakit Marek
Kasus penyakit Marek didapati pada ayam
baik lokal dengan pemeliharaan intensif
maupun ayam ras. Keluhan sewaktu masih
dara adalah adanya kelumpuhan dan
kekurusan, di saat dewasa tidak bertelur. Virus
Marek menyerang syaraf ayam sehingga dapat
menimbulkan kelumpuhan atau kejang-kejang,
menyerang mata menimbulkan kebutaan,
menyerang kulit mengakibatkan koreng pada
folikel (pangkal) bulu, atau menyerang organ
interna dengan menimbulkan tumor. Tumor
Marek melakukan invasi kedalam ovari ayam
muda menimbulkan atrofi ovary (ovari kecil)
sehingga tidak memproduksikan telur.
Penyebab Marek adalah virus Marek dari
famili herpes yang didapatkan oleh ayam
melalui pintu masuk saluran pernafasan. Virus
Marek di kandang beterbangan sebagai partikel
debu bulu/dan druff berasal dari ayam yang
pernah tertular. Virus Marek dalam debu bulu
ini mampu hidup beberapa bulan sampai
tahunan, menjadikan bahaya tersendiri bagi
pemakaian kandang bekas. Usaha pencegahan
yang dapat dilakukan dengan vaksinasi Marek
saat DOC (umur 1-2 hari) dengan vaksin live
secara
intramuscular/IM
(LEESON
and
SUMMERS, 2000), desinfeksi total kandang
indukan/pemanas dan peralatan bekas pakai,
jangan kontak dengan ayam yang umurnya
lebih tua karena mereka karrier (sumber,
pembawa) virus Marek. Virus Marek tidak
ditularkan vertikal (dari induk maupun telur)
sehingga sumber telur bibit dapat diperoleh
dari berbagai sumber/induk tanpa resiko
tertular.
Infectious Coryza
Bakteri penyebab penyakit coryza adalah
Haemophilus paragallinarum, menyerang
ayam pada daerah saluran nafas atas dan sinus,
terutama sinus infra orbital. Ayam di saat masa
indukan memiliki resistensi umur terhadap
penyakit ini, sehingga jarang terserang coryza.
Penyakit ini lebih mengganggu ayam dara dan
petelur; meskipun jarang membunuh tetapi
menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
produksi telur. Sumber penularan lewat kontak
langsung dan melalui aerosol mengandung
bakteri dari penderita coryza masa akut
maupun setelah terlihat sembuh sebagai karier
(pembawa). Sumber lain air minum dan pakan
yang terkontaminasi. Pencegahan dengan
segregasi (pemisahan) umur. Intensifikasi
pemeliharaan dengan melakukan prinsip: satu
kandang satu umur, menjaga jarak kandang
agar tidak terjangkau oleh aerosol yang
beterbangan,
meniadakan
kemungkinan
pertukaran ayam, peralatan dan manusia.
Usaha yang lain adalah melakukan sanitasi air
minum dan wadahnya secara rutin. Vaksin
Coryza dapat mengurangi kerugian bila
sewaktu-waktu ayam terinfeksi bakteri ini.
Vaksinasi dapat dilakukan 2x berjarak 5-6
minggu dimasa dara/setelah lepas dari kandang
indukan. Vaksin yang baik mengandung isolat
H. paragallinarum strain A, B, dan C
(BLACKALL, 1995). Pengobatan dengan
antibiotika.
Colibacillosis
Penyakit unggas oleh infeksi bakteri
Escherichia coli strain ganas dapat terjadi pada
semua umur ayam mulai dari DOC sampai
petelur. E. coli ganas berasal dari berak ayam
dengan jalan infeksi horizontal lewat
kontaminasi udara, air, pakan, peralatan,
lingkungan kandang dan infeksi vertikal
melalui kerabang telur tetas. Bakteri ini
mampu menyerang organ pernafasan sampai
ke kantung udara, serta selaput serosa organ
dalam rongga perut. Infeksi dari telur tetas
menimbulkan radang pusar (omphalitis) anak
ayam dan infeksi yolk sac. Kondisi septisemia
dapat timbul dari infeksi pernafasan, usus,
maupun omphalitis. Infeksi E. coli sering
didahului oleh kondisi stress, infeksi virus atau
bakteri lain. Pencegahan dengan meningkatkan
biosekuriti dan menghindarkan stress (kurang
ventilasi, berdebu, akumulasi gas ammonia,
kehujanan). Vaksin inaktif (bacterin) dapat
digunakan pada breeder agar DOC mendapat
kekebalan pasif sekitar 2 minggu (HELLER et
al, 1990).
317
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Cholera ayam
Penyakit kolera pada unggas disebabkan
oleh bakteri Pasteurella multocida dari strain
unggas; strain isolat non-avian tidak
menimbulkan penyakit pada unggas. Unggas
peka adalah kalkun, ayam, unggas air, dan
burung pemangsa; umumnya unggas yang
telah dewasa (dara, petelur) lebih peka
dibanding saat masa indukan. Penularan lewat
kontak langsung dengan penderita semasa akut
dan kronis. Cairan yang keluar dari hidung,
mulut dan mata penderita dapat pula
menularkan bakteri secara tidak langsung
melalui kontaminasi pakan, air, dan peralatan.
Bangkai unggas mati terserang kolera dapat
merupakan sumber penularan. Burung gereja,
merpati dan tikus kandang merupakan karier;
begitu pula unggas yang telah sembuh. Gejala
penyakit pada peternakan adalah adanya
kematian dan sakit dalam jumlah besar secara
akut. Kematian disertai tanda-tanda septisemia:
kebiruan (cyanosis) pada kulit kepala, jengger
dan pial, lendir keluar dari mulut, kemerahan
(hiperemia) di organ dalam terutama usus
duodenum, perdarahan lemak jantung, perut
dan paru. Tanda penyakit setelah akut adalah
kebengkakan oleh radang di pial, conjuctiva
(kelopak mata dalam), sendi dan meningen
(gejala syaraf). Pencegahan dengan vaksinasi
menggunakan polyvalent bacterin yang
mengandung adjuvant atau menggunakan
autogenous (biang bakteri isolat lokal) bacterin
(GOODERHAM, 1990).
Anthrax
Burung unta unique diantara unggas lokal
karena dapat terserang penyakit anthrax yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis.
Pada kasus anthrax burung unta yang
terdiagnosa di Laboratorium Patologi-IPB,
disimpulkan bakteri dalam bentuk spora
berasal dari tanah daerah endemic Purwakarta
dan ditularkan melalui kontaminasi hijauan
sebagai pakan burung yang bersangkutan.
Burung unta penderita anthrax mengalami
kematian dengan tanda-tanda septicemia.
Penyakit ini termasuk penyakit zoonotik yang
menimbulkan kematian pada manusia dengan
318
pola penularan bakteri lewat konsumsi daging
terkontaminasi,
kontaminasi
luka
dan
kontaminasi udara pernafasan (aerosol).
Hewan terjangkit anthrax harus dimusnahkan.
Pencegahan didaerah endemik burung di
vaksinasi anthrax (KAUFMANN, 1998).
Coccidiosis
Pada unggas yang pernah ditemukan
mengakibatkan timbulnya penyakit coccidiosis
umumnya adalah parasit protozoa genus
Eimeria. Pada ayam yang sering menimbulkan
korban adalah Eimeria necatrix, E. tenella;
pada merpati E. labbeana; pada itik belum
diketahui genus-nya (Eimeria, Tyzzeria atau
Wenyonella). Infeksi didapatkan secara oral
karena menelan sejumlah ookista coccidia
infektif yang khas untuk spesies inang (species
spesifik). Ookista yang terakumulasi bersama
berak penderita coccidiosis sering menjadi
sumber penularan bagi unggas yang
sekandang, hidup dalam satu sangkar (ayam
hias, pelung, hutan, burung) atau dalam satu
halaman berpagar. Coccidiosis jarang terjadi
pada unggas dipelihara extensive atau diumbar
tanpa pagar. Agar unggas sakit coccidiosis,
dibutuhkan adanya infeksi ulangan sampai
ookista yang tertelan dosisnya cukup. Pada
merpati infeksi dapat dari induk ke anaknya
yang disusui dengan susu tembolok
mengandung ookista coccidia merpati. Gejala
sakit dapat timbul akut dengan tanda adanya
diarrhea dengan kotoran berlendir yang
mengandung darah: bila parah berwarna
merah, ringan berwarna jingga. Unggas akan
menderita anemia atau mati kehabisan darah.
Coccidiosis kronis dengan gejala kekurusan
timbul apabila unggas terinfeksi oleh spesies
yang kurang ganas. Pencegahan menggunakan
coccidiostat
(monensin,
maduramicin,
amprolium) dalam pakan umur periode starter
dan dara disertai menjauhkan berak atau
sekam/serutan kayu bekas alas kandang dari
peternakan. Pencegahan menggunakan vaksin
coccidia per oral (tetes mulut, air minum,
spray, dicampur pakan/sekam). Biang vaksin
terdiri atas beberapa spesies eimeria hidup
yang telah di atenuasi (LEESON and SUMMERS,
2000). Pengobatan dengan preparat sulfa
seperti sulfaquinoxaline (SQ).
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
KESIMPULAN
Dengan intensifikasi unggas lokal, pola
biosekuriti dan pencegahan menggunakan
vaksinasi serupa dengan pemeliharaan ayam
ras perlu diterapkan agar unggas terhindar dari
penyakit menular.
DAFTAR PUSTAKA
ALEXANDER, D.J. 1997. Newcastle disease and other
Avian Paramyxoviridae Infections. In B.W.
CALNEK (ed.). Diseases of Poultry. 10th ed.
Iowa State University Press, pp 559-562.
BLACKALL, P.J. 1995. Vaccine against infectious
coryza. World’s Poult Sci J 51:17-26.
GOODERHAM, K.R. 1990. Pasteurella like organisms.
In JORDAN, F.T.W. (ed), 3rd ed. Bailliere
Tindall London. pp 42-48.
HELLER, E.D., LEINER, G., DRABKIN, M., and
MELAMED, D. 1990. Passive immunisation of
chicks against Escherichia coli. Avian Pathol
19: 345-354.
KAUFMANN, A.F. 1998. Anthrax. In AIELLO, S.E.
(ed). The Merck Veterinary Manual. 8th ed.
MERCK & CO., INC. pp 432-435.
LEESON, S. and SUMMERS, J.D. 2000. Broiler breeder
production. University Books, Canada, pp 7883.
LUCIO, B., and HITCHNER, S.B. 1979. Infectious
bursal disease emulsified vaccine: Effect upon
neutralizing-antibody levels in the dam and
subsequent protection of the progeny. Avian
Dis 23:466-478.
LUKERT, P.D., and MEZARIEGOS, L.A. 1985.
Virulence and immunosuppressive potensial
of intermediate vaccine strains of infectious
bursal disease virus. J Am Vet Med Assoc
187:306.
MOCKETT, A.P.A. 1990. Fowl pox and other Avian
poxes. In JORDAN, F.T.W. (ed), 3rd ed.
Bailliere Tindall London. pp 147-153.
YUEN, C. 2003. Hongkong market development
reports. Evaluation of H5 Avian Influenza
Vaccination. Foreign Agricultural Service/
USDA. GAIN Report # HK3032, 7/14/2003.
319
Download