BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).1 Menurut Kamus Hukum, kata yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.2 Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum. 1.2 Pengertian Pidana dan Pemidanaan Membahas mengenai pidana tentunya tidak terlepas dari Hukum Pidana itu sendiri oleh karena tanpa hukum niscaya pidana akan diberlakukan secara sewenangwenang oleh penguasa pada saat memerintah, oleh karena antara hukum pidana maupun pidana berbeda artinya sehingga diperlukan penegasan dalam membedakannya. Adapun Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa 1 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1470. 2 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651. yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.3 Sedangkan Sudarsono mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.4 Hukum pidana menurut Moelyatno antara lain bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya; 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana; 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.5 Sedangkan Pompe memberikan definisi bahwa hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan yang bersifat umum yang isinya adalah larangan dan keharusan, terhadap pelanggarannya. Negara atau masyarakat hukum mengancam dengan penderitaan khusus berupa pemidanaan, penjatuhan pidana, peraturan itu juga mengatur ketentuan yang memberikan dasar penjatuhan dan penerapan pidana6 Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk 3 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 92. 4 Sudarsono, 1994, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, MA dan Peradilan Tata Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, h. 102. 5 Moelyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1. 6 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 22. menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut. norma lain itu misalnya norma agama, kesusilaan dan sebagainya.7 Pidana itu sendiri menurut van Hamel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat genhandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. Artinya: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Menurut Simons, pidana atau straaf itu adalah: Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij rechterlijk vonis wordt opgelegd. Artinya suatu penderitaan yang oleh undangundang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.8 7 8 Riduan Syahrani, Loc. Cit. PAF Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang I), h. 34. Dari rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka, ini berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Pidana dibedakan menjadi pidana formil dan pidana materiil. Demikian merupakan pengertian pidana formil dan pidana materiil menurut beberapa ahli / pakar hukum diantaranya: J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut „Hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu‟.9 Wirjono Prodjokoro menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai berikut: Isi hukum pidana adalah: 1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana, 2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana, 3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana, dan 4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan. Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian pengaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.10 9 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, h. 9. 10 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2. Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai berikut: „Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana untuk dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan kata lain, mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan hakim‟.11 Adapun pengertian pemidanaan itu sendiri mendapat penjelasan oleh Sudarto yakni: Perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atas memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman disini mempunyai makna sama dengan sentence atau vervoordeling.12 Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seseorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang menyebutkan bahwa: “Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten) 11 Ibid. 12 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 71. menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata. Kemudian istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.13 1.3 Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP Menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas: 1. Pidana Pokok: a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana tutupan. 2. Pidana Tambahan: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim. 1. Pidana Pokok Ad. 1 a. Pidana Mati Pidana mati adalah pidana yang terberat menurut perundang-undangan pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia. Dalam masalah pidana mati ini pada dasarnya dapat ditegaskan bahwa “KUHP yang berlaku di Indonesia seharusnya konkordan atau sesuai dengan wetboek van strafrecht yang berlaku di negara Belanda”. Dikatakan seharusnya karena pada kenyataannya di Belanda pada waktu wetboek van strafrecht itu sendiri terbentuk pada tahun 1881 orang di negeri Belanda sudah tidak mengenal lagi PIDANA MATI, karena lembaga pidana mati itu sendiri telah dihapuskan dengan Undang-undang tanggal 17 September 1870 (Stb. 1870 13 M. Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kreasi Wacana, Yogyakarta, h. 16 No. 182) dengan alasan yang terutama bahwa pelaksanaan atau eksekusi pidana mati itu di Negeri Belanda sudah jarang dilakukan karena para terpidana hukuman mati hampir selalu telah mendapatkan pengampunan atau grasi dari raja. Akan tetapi mereka tetap mempertahankan lembaga pidana mati itu di dalam: 1. KUHP Militer mereka, dengan diancamkan bagi kejahatan-kejahatan: a) Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang; b) Yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan musuh, dan 2. Bagi beberapa kejahatan yang telah disebutkan di dalam CRIMINEEL WETBOEK; 3. Dan apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal yang sedang berada di atas lautan bebas atau sedang berada di atas perairan dari negara-negara asing baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai. Utrecht menyatakan, hukuman mati di banyak negeri tidak lagi dikenal. Hakim di negeri Belanda tidak lagi menetapkan pidana mati. Sejak tahun 1870 hukum pidana mengenai hukum penjara seumur hidup sebagai hukuman terberat. Hal ini tidak diikuti di daerah koloni, artinya masih dipertahankan karena keadaan istimewa di daerah-daerah koloni.14 Oleh karenanya pidana mati ini masih kontroversial dikarenakan ada sebagian orang yang menginginkan pidana mati ini dihapuskan dan sebagian lagi menginginkan agar pidana mati dipertahankan. Ad. 1 b. Pidana Penjara Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Pidana penjara sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana 14 Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 79-80. penjara pada waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri, di benteng-benteng lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk sementara maupun yang untuk seumur hidup. Pidana penjara sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai berkembang sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di berbagai negara, tetapi perlakuan terhadap para terpidana di dalam rumahrumah penjara seringkali sifatnya adalah tidak manusiawi. Banyak usaha yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para terpidana segera dapat dihentikan dan diganti dengan tindakan-tindakan yang bersifat lebih lunak. Yang paling berjasa untuk mengubah pandangan orang terhadap orang-orang terpidana di dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan adalah seorang berkebangsaan Inggris bernama John Howard, yang mempunyai pengaruh bagi pembaharuan di seluruh dunia. Sejak abad ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang disebut wekplaatsen atau lembaga-lembaga penertiban dan apa yang disebut werkplaatsen atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di Amsterdam, kemudian di Hanzesteden, semuanya di negeri Belanda yang kemudian disusul dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir di seluruh Eropa, antar lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di Gent pada tahun 1775. Sejak saat itu orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai tujuannya yang tersebdiri, yaitu bukan saja dengan maksud untuk menutup dan membuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk menaati peraturan tata tertib dan mendidik mereka secara sistematis untuk melakukan macammacam pekerjaan. Dengan tujuan seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen, rasphuizen dan apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan remaja-remaja yang telah mendapat pengaruh dari penjahat dapat membiasakan diri dengan melakukan berbagai pekerjaan yang berguna bagi mereka, apabila mereka sewaktu-waktu dikembalikan ke tengahtengah kehidupan masyarakat normal. Tuchthuis secara harfiah artinya rumah penertiban. Yang dimaksud dengan tuchthuis di atas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat, sedangkan rasphuis adalah rumah penjara di mana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana cara melicinkan permukaan dari benda-benda dari kayu dengan menggunakan ampelas. Spinhuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya memintal benang.15 Ad. 1 c. Pidana Kurungan Niniek Suparni mengemukakan „Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang’.16 Sama halnya dengan pidana, pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. Lembaga pidana kurungan sebenarnya berasal dari lembaga emprisonnment pour contravention depolice yang terdapat di dalam Code Penal 15 PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 55-56. Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dalam Sistem Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 16 Perancis. Pidana kurungan mempunyai pengertian yang sama dengan Half di Jerman atau dengan arresto di Italia. Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah diatur di dalam Buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi pidana kurungan bukan merupakan pidana pokok, yang diancamkan semata-mata bagi pelanggaran-pelanggaran, karena di dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita juga dapat menjumpai sejumlah kejahatan yang oleh pembentuk undang-undang telah diancam dengan pidana kurungan, yakni yang telah diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak disengaja. Menurut penjelasan di dalam Memorie van Toelichting, dimasukkannya pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing, yaitu: a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu verijheidsstraf yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan, dan b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya, ataupun yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka. Custodia honesta seperti itu adalah misalnya apa yang dikenal orang sebagai detention di Prancis, sebagai Einschliessung di Prusia, sebagai Festungshalf di Jerman, sebagai overtrading di negeri Belanda, ataupun sebagai pelanggaran di Indonesia. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu dari dan selama-lamanya satu tahun. Akan tetapi, lamanya pidana kurungan tersebut dapat diperberat hingga satu tahun dan empat bulan, yaitu karena terjadinya samenloop, suatu recidive atau karena tindak pidana yang bersangkutan telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau karena pegawai negeri tersebut pada waktu melakukan tindak pidananya telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang ia peroleh karena jabatannya.17 Ad. 1 d. Pidana Denda Pidana denda adalah merupakan bentuk pidana denda tertua bahkan lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Adalah merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan 17 PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 70-71. keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran uang sejumlah tertentu.18 Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 (dua puluh lima sen) x 15. Maksimumnya tidak ditentukan secara umum melainkan ditentukan dalam pasal-pasal dari tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku-II dan buku-III KUHP. Di luar KUHP adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian terakhir dari perundang-undangan tersebut untuk norma-norma tindak pidana yang ditentukan dalam beberapa pasal yang mendahuluinya. Di dalam KUHP sebelum dirubah pasal 303 maksimum denda yang tertinggi diancamkan terdapat dalam Pasal 403 yaitu Rp. 10.000,00 x 15 = Rp. 150.000 yang nota bene merupakan ancaman pidana tunggal. Maksimum pidana denda untuk Pasal 303 KUHP setelah dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1974 jumlah dendanya sebesar Rp. 25.000.000 jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya maka dapat diganti dengan pidana kurungan dan pidana demikian kemudian disebut sebagai pidana kurungan pengganti.19 2. Pidana Tambahan Pada dasarnya pidana tambahan ini telah diatur secara rinci dalam ketentuan Pasal 10 b KUHP sebagai berikut: 18 19 Tolib Setiady, Op. Cit., h. 104. Ibid., h. 104 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu itu sifatnya adalah untuk sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara selama seumur hidup. Dapat dipahami bahwa ada kemungkinan untuk mencabut semua hakhak dari terpidana, karena hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK): a) Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu; b) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri; e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anaknya sendiri. Pasal 18 ayat (1) huruf d UU PTPK menyatakan: pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam hal dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan itu diatur dalam pasal 38 KUHP sebagai berikut: a) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup; b) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu dan atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya; c) Dalam hal pidana denda lama pencabutan paling lama lima tahun; Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dan dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu. Selanjutnya hak memegang jabatan pada umumnya atau jabtan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata dapat dicabut dalam hal pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.20 Pasal 36 menentukan bahwa diluar pasal-pasal dari Buku II KUHP pencabutan hak memegang jabatan dapat dilakukan dalam hal ada kejahatan jabatan atau dalam hal orang dalam melakukan tindak pidana melanggar kewajiban jabatan khusus atau mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya oleh jabatan. 20 Ibid. Ketentuan seperti ini termuat dalam pasal 37 mengenai pencabutan kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri atau orang lain, yaitu kemungkinan untuk ini diperluas di luar pasal-pasal yang bersangkutan dari buku II KUHP, yaitu apabila mereka melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang yang ada di bawah kekuasaannya, atau apabila mereka melakukan salah satu kejahatan kesusilaan. Lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebenarnya bukan merupakan lembaga yang baru di dalam hukum pidana, karena lembaga tersebut sudah dikenal orang sejak berlakunya hukum Romawi dengan nama infamia, yang kemudian oleh orang di Prancis telah dimasukkan ke dalam Code Penal mereka dengan nama peines infamantas21 dan yang pada akhirnya oleh para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita telah dicantumkan sebagai pidana tambahan yang pertama di dalam Pasal 10 KUHP. Infamia di dalam Hukum Romawi sebenarnya merupakan suatu lembaga hukum berupa usaha untuk mendegradasikan martabat seseorang sebagai seorang warga negara yang memang layak untuk dihormati, yakni dengan mengaitkan apa yang disebut deminutio existimationis atau pencabutan hak-hak tertentu dengan perilakunya yang tercela, misalnya karena orang tersebut telah melakukan suatu kejahatan.22 Menurut hukum Romawi, usaha untuk mendegradasikan martabat manusia seperti dimaksudkan di atas, tidak dilakukan melalui suatu putusan hakim 21 Ibid. 22 Ibid. melainkan dianggap sebagai telah terjadi dengan sendirinya. Pendegradasian martabat manusia seperti itu dapat berlaku untuk seumur hidup, kecuali apabila yang bersangkutan kemudian mampu untuk memulihkan martabatnya sendiri. Infamia itu tidak mempunyai tujuan-tujuan yang lain kecuali untuk menekan orang menjadi seorang warga negara yang tidak pantas untuk dihormati, yakni dengan meniadakan sebagian dari hak-hak perdatanya dan hakhaknya menurut hukum publik. Pendegradasian dari martabat seseorang sebagai warga negara yang pantas dihormati itu, juga merupakan suatu ciri dari apa yang disebut peines infamantes di dalam Code Penal Perancis, yakni yang dengan sendirinya dianggap sebagai berlaku bagi setiap orang yang telah melakukan sesuatu crime. Seperti yang telah diketahui, bahwa menurut hukum pidana yang berlaku di Prancis itu orang mengenal tiga jenis tindak pidana, masing-masing yaitu crime, delit dan contravention. Tindak pidana yang yang tergolong sebagai crime itu ipso jure atau menurut hukum dengan sendirinya dipandang sebagai infamantes atau sebagai perilaku-perilaku yang dengan sendirinya membuat martabat dari pelakunya menjadi di degradasikan sebagai seorang warga negara yang pantas dihormati. Ketentuan menurut Code Penal Perancis tersebut memang mengandung kelemahan-kelemahan. Sebagai contoh adalah ketentuan pidnaa di dalam Pasal 169 Code Penal yang mengatakan, bahwa penggelapan barang yang mempunyai nilai lebih dari tiga ribu franc itu merupakan crime, sedang penggelapan barang yang mempunyai nilai kurang dari tiga ribu franc merupakan delic. Mereka yang dipandang sebagai infamantes itu menjadi kehilangan hakhaknya, misalnya untuk bertindak sebagai hakim, sebagai seorang notaris, sebagai seorang pengajar, sebagai seorang anggota dari suatu dewan perwakilan dan lain-lainnya. Para penyusun KUHP kita ternyata telah berkeberatan terhadap gagasan untuk memasukkan lembaga infamantes ke dalam KUHP yang sedang mereka susun. Keberatan mereka bukan hanya ditujukan kepada lembaga itu sendiri, melainkan juga terhadap pemberlakuan dari lembaga tersebut yang mereka anggap sebagai bersifat sewenang-wenang. Seperti yang telah diketahui, bahwa lembaga infamantes itu juga berlaku bagi para warga negara Belanda, waktu Code Penal Perancis diberlakukan di negeri Belanda dan justru dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecth pada tahun 1886 itulah, untuk pertama kalinya orang disana tidak lagi mengenal lembaga pendegradasian selama seumur hidup yang dianggap sebagai telah terjadi dengan sendirinya, yaitu apabila mereka telah melakukan sesuatu tindak pidana dan kualifikasi sebagai suatu kejahatan. Alasan yang terutama adalah karena pendegradasian selama seumur hidup yang terjadi dengan sendirinya seperti itu, sering kali telah membuat para terpidana menjadi kehilangan mata pencaharian mereka, yang kemudian sering kali telah mendorong mereka melakukan kejahatan-kejahatan yang baru. Pada dasarnya para penyusun KUHP kita telah tidak menolak lembaga pencabutan hak-hak, melainkan mereka hanya menginginkan agar jenis-jenis hak yang dapat dicabut itu hanyalah hak-hak, yang menurut sifat dan tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang itu, ternyata telah disalahgunakan oleh orang tersebut. Menurut pendapat mereka, orang seperti itu tidak pantas untuk diberikan hak yang ternyata telah digunakannya secara salah. Sejak tahun 1886 apa yang disebut infamie legale secara resmi telah dicoret dari hukum pidana kita dan hanya tersisa pencabutan dari hak-hak tertentu, yang sebenarnya juga telah dimaksud untuk mendegradasikan martabat dari seseorang sebagai seorang warga negara. Akan tetapi, pencabutan hak-hak seperti itu, oleh undang-undang telah tidak dikaitkan secara imperatif dengan sesuatu kejahatan atau dengan sesuatu pidana pokok yang tertentu, melainkan ia hanya merupakan suatu pencabutan dari hak-hak tertentu yang hanya dapat dijatuhkan oleh, hakim, yakni apabila ia memang memandang perlu untuk berbuat demikian. Mengenai peristiwa yang bersejarah tersebut, berkatalah Smidt, antara lain: Er zullen geen onterende straffen meer zijn, clest le crime qui fait la honte et non pas l’echafaud; voorts geen straffen van rechtwege, noch straffen, die permanent verlies van rechten beteken. Artinya: Untuk selanjutnya tidak akan ada lagi pidana-pidana yang bersifat merendahkan atau c’est le crime qui fait la honte et non pas l’echafaud, dan selanjutnya juga tidak akan ada lagi penjatuhan pidana menurut undang-undang atau pemidanaan-pemidanaan yang membuat orang kehilangan hak-haknya secara tetap.23 Pembentuk KUHP kita tidak menentukan dalam hal mana, hakim itu diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah ia juga akan menjatuhkan suatu pidana tambahan, disamping pidana pokok yang telah ia jatuhkan bagi seorang terdakwa. Menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan, baik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan-peraturan umum lainnya adalah: 1. Hak untuk menduduki jabatan atau jabatan tertentu; 2. Hak untuk bekerja pada angkatan bersenjata; 3. Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih di dalam pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan menurut peraturan-peraturan umum; 4. Hak untuk menjadi seorang penasihat atau kuasa yang diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas dari orang lain, kecuali dari anak-anaknya sendiri; 5. Hak orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan atas diri dari anakanaknya sendiri; dan 6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. 23 PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 88. Kewenangan dari hakim untuk mencabut hak dari seorang pegawai negeri untuk menduduki sesuatu jabatan tertentu itu menjadi tidak ada, apabila dengan sesuatu peraturan umum telah ditunjuk suatu kekuasaan yang lain, yang dapat melakukan pencabutan hak seperti itu. Pembentukan undang-undang secara khusus telah menentukan di dalam pasal 36 KUHP, bahwa pencabutan-pencabutan hak-hak seperti yang dimaksud di dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yakni hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu dan hak untuk bekerja pada angkatan bersenjata, kecuali dapat dijatuhkan bagi kejahatan-kejahatan yang telah diatur di dalam Buku ke-II KUHP. Juga dapat dijatuhkan bagi kejahatan atau yang karena kejahatan itu, seorang pegawai negeri yang telah menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau yang untuk melakukan kejahatannya seorang pegawai negeri telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana-sarana yang telah ia peroleh karena jabatannya. Dengan disebutkannya macam-macam hak yang dapat dicabut oleh hakim di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) KUHP di atas dan UU PTPK penjatuhan dari pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dapat saja berupa pencabutan dari seluruh atau hanya beberapa hak secara bersama-sama sebagai satu pidana tambahan. Penjatuhan dari satu pidana tambahan berupa pencabutan dari beberapa hak secara bersama-sama itu dapat dijumpai misalnya di dalam ketentuan pidana menurut Pasal 350 KUHP, yang mengatakan bahwa: Bij veroordeling wegens doodslag, wegens moord of wegens een der in de artt. 344, 347, en 348 omschreven misdrijven, kan ontzetting van de in art. 35 no. 1-5 vermelde rechten worden uit gesproken. Artinya: Pada waktu menjatuhkan pidana karena pembunuhan, karena pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau karena salah satu dari kejahatankejahatan yang telah dirumuskan di dalam Pasal 344, 347, dan Pasal 348 dapat dilakukan pencabutan hak seperti dimaksud di dalam pasal 35 angka 1 sampai dengan angka 5.24 Mengenai jabatan dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, undangundang sendiri telah tidak memberikan penjelasan tentang apa sebenarnya dimaksud dengan jabatan di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, sedang dari arrest-arrest Hoge Raad atau dari putusan-putusan kasasi Mahkamah Agung tidak ada satupun arrest atau putusan kasasi yang telah menjelaskan tentang apa sebenarnya dimaksud dengan perkataan tersebut. Karena undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasannya, sedangkan yurisprudensi juga tidak dapat membantu kita untuk memperoleh penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan jabatan di dalam rumusan Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, kita terpaksa melihat ke dalam doktrin, yaitu untuk mengetahui tentang apa yang telah dikatakan oleh para sarjana hukum mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut. Van Hamel mengatakan antara lain: Intusschen geldt het woord hier allen van openbare ambten; bediening in andere maatschappelijke kringen, b.v. vereenigingen, kerkgenootschappen, 24 Ibid., h. 90. zijn beroepen. Aldus amvat het: elke, door het publiekrecht beheershcte betrekking welke een bepaalde taak oplegt, die ten behoeve van den Staat of van zijne deelen (provincia, gemeente, waterschap) verbuld behoort te worden … . Artinya: Dalam pada itu, yang dimaksud dengan perkataan ini hanyalah jabatanjabatan umum, pelayanan dalam lain-lain lembaga kemasyarakatan misalnya dalam perkumpulan-perkumpulan atau dalam lingkungan gereja itu merupakan pekerjaan-pekerjaan. Jadi, yang dimaksud di sini adalah setiap pekerjaan yang diatur di dalam hukum publik yang telah menetapkan suatu kewajiban tertentu, dan yang harus dilaksanakan untuk kepentingan negara atau kepentingan bagian-bagiannya (seperti daerah provinsi, daerah kabupaten atau pengairan) … .25 Pompe telah menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau jabatan itu dengan pengertian dari perkataan ambtenaar menurut Hoge Raad di dalam arrest-nya tanggal 25 Oktober 1915, NJ 1915, halaman 1205, W. 9861 dengan mengatakan bahwa: Ambt is de functie, uitgeoefend door een ambtenaar. Ambtenaar is volgens de Hoge Raad degene, die door het (daartoe bevoegde, volgens HR 16 November 1949 Nr. 138) openbaar gezag is aangesteld tote en openbare betrekking om een del van de taak van de Staat of zijn organen te verrichten. Artinya: Jabatan itu merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri. Menurut Hoge Raad, pegawai negeri itu adalah mereka yang oleh kekuasaan umum (yang berwenang untuk itu, demikian HR 16 November 1949 No. 138) telah diangkat dalam suatu jabatan umum untuk melaksanakan sebagian dari tugas negara atau sebagian dari tugas organorgannya.26 25 Ibid.,h. 91. 26 Ibid.,h. 91-92. Dengan menunjuk pada arrest dari Hoge Raad tanggal 25 Oktober 1915, NJ 1915 halaman 1205, W. 9861, yang oleh Pompe telah dihubungkan dengan usahanya untuk memberikan penjelasan mengenai perkataan ambt atau jabatan, seperti yang dimaksudkan di atas ternyata Hazewinkel-Suringa telah tidak sependapat untuk menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau jabatan dengan pengertian dari perkataan ambtenaar atau pegawai negeri menurut Hoge Raad tersebut. Mengenai hal tersebut berkatalah Hazewinkel-Suringa, antara lain behoorthet begrip ambt zich wel aan te sluiten bij de bovengenoemde definitie van de HR? Neen het is ruiner: men kan ook een staatstaak burgers rustende verplichting; men kan omgekeerd ook aangesteld zijn, maar toech geen ambtenaar zijn, omdat men geen del der staatstaak verricht, bijv. Notarissen. Artinya: Apakah pengertian dari perkataan jabatan itu dapat dihubungkan dengan rumusan dari HR di atas? Tidak, perkataan jabatan itu mempunyai pengertian yang lebih luas: orang dapat saja melakukan suatu tugas kenegaraan tanpa ia harus diangkat untuk maksud tersebut, misalnya berdasarkan kewajiban yang melekat pada beberapa warga negara tertentu; sebaliknya orang dapat juga diangkat tanpa ia harus menjadi seorang pegawai negeri, karena ia telah tidak melaksanakan sebagian dari tugas kenegaraan, misalnya para notaris.27 Sehingga dapat disimpulkan pendapat Pompe sepenuhnya telah menyamakan pengertian dari perkataan ambt dengan pengertian dari perkataan fungsi. Hingga batas tertentu pendapat dari Pompe tersebut adalah memang benar, karena baik apa yang disebut ambt maupun apa yang disebut functie 27 Ibid., h. 92. sebenarnya merupakan suatu omschreven werkkring atau suatu lingkungan pekerjaan yang tertentu, di mana lingkungan pekerjaan yang tertentu itu merupakan sebagian dari suatu keseluruhan lingkungan pekerjaan yang lebih besar. Perbedaan antara ambt dengan functie yakni apabila keseluruhan lingkungan pekerjaan yang lebih besar seperti yang dimaksudkan di atas merupakan suatu lingkungan pekerjaan untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertentu biasanya disebut ambt atau sebagai suatu jabatan. Adapun apabila keseluruhan lingkungan pekerjaan yang lebih besar bukan merupakan suatu lingkungan pekerjaan untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertertu biasanya disebut functie atau suatu fungsi, yang oleh van Hamel telah disebut sebagai suatu beroep atau pekerjaan. Orang yang melakukan sesuatu ambt biasanya disebut seorang amtenar, sedang orang yang melakukan sesuatu functie biasanya disebut sebagai functionaris. Oleh karena itu, pendapat dari Hazewinkel-Suringa yang mengatakan bahwa pengertian dari perkataan ambt tidak dapat dihubungkan dengan rumusan dari Hoge Raad mengenai ambtenaar, adalah tidak benar sama sekali walaupun contoh-contoh yang telah mereka berikan itu sebagian adalah memang benar. Misalnya seorang anggota hansip atau seorang anggota banpol dapat saja melakukan suatu ambt, tanpa mereka perlu diangkat sebagai seorang ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri. 1.4 Pengertian Hak Memilih Dan Hak Dipilih 1.4.1 Hak Memilih Hak memilih menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada pasal 19 dan pasal 20 menyebutkan: Pasal 19 (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Pasal 20 Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam UndangUndang ini. Selain dari hal tersebut, baik KUHP maupun perundang-undangan lain di luar dari KUHP tidak memberi penjelasan yang rinci mengenai hak memilih dan dipilih sehingga pengertian hak memilih dan dipilih diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hak memilih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak untuk memberi suara di pemilihan umum, hak untuk memberi suara dalam masalah politik, khususnya hak atau kekuasaan untuk berperan serta di memilih atau menolak rencana undang-undang;28 1.4.2 Hak Dipilih Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak dipilih adalah hak untuk dipilih dalam pemilihan umum untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR).29 1.5 Hak Memilih Dan Dipilih Dalam HAM Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok atau prinsipil.30 HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa diminta darinya suatu sikap yang sesuai dengan keistimewaan yang ada pada orang lain. 48. 28 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Op. Cit., h.474-475. 29 Ibid., h. 474. 30 Pius A Pratanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, h. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia jo., Undangundang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan pengertian HAM dalam definisi ahli dan dalam rumusan undangundang di atas, jelas bahwa HAM di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yaitu memiliki sisi teologis yang cukup kuat. Pernyataan bahwa HAM adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa menunjukkan bahwa HAM adalah suatu pemberian Tuhan yang kemudian melekat pada tiap diri manusia. Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat dalam diri manusia karena nilai humanitasnya. Hak asasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak klasik berupa hak sipil-politik, hak ekonomi, dan hak sosial-budaya. Satjipto Raharjo membagi generasi HAM menjadi tiga, yaitu generasi pertama yang meliputi hak sipil dan politik, generasi kedua yang meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya dan generasi ketiga yang memuat sejumlah hak-hak kolektif.31 31 Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama (cetakan pertama), Bandung (selanjutnya disebut Muladi II), h. 219-220. Hak memilih dan dipilih merupakan hak yang diatur dalam hak sipil-politik. Hak sipil politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan dengan entitas negara yang memiliki kedaulatan, hak-hak yang dimiliki warga negara sebagai warga sipil dalam sebuah negara dan juga hak politik warga yang memiliki kedudukan sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag mengkategorikan hak sipil dan politik ini sebagai hak negatif (negative right) karena untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan (pasif), sehingga perumusannya menggunakan freedom from (bebas dari).32 Pengaturan mengenai hak memilih dan dipilih dalam perspektif Hak Asasi Manusia Indonesia telah mendapat landasan hukum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: 1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkahlangkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung 32 Krisdyatmiko, “Konsep Dasar, Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Warga Negara”, makalah disampaikan dalam workshop 11, Penguatan Hukum Adat, HAM dan Pluralisme, Hotel Mahkota Plaza, SOE-NTT tanggal 27-28 Februari 2004. diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini. 3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada berakhirnya pengurangan tersebut. Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: 1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. 2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit. Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: Hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Hal ini juga dikuatkan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 73 dan 74 yang menegaskan: Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang. 1.6 Pengertian Pemberantasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberantasan berarti proses, cara, perbuatan memberantas, pencegahan, pengucilan perkembangan, atau pemusnahan penyakit.33 Oleh karena korupsi diibaratkan seperti penyakit ganas yang menular sehingga dibutuhkan langkah preemtif, preventif dan represif. Salah satu langkah represif sekaligus preventif agar para terpidana korupsi tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi adalah dengan pencabutan hak memilih dan dipilih sebagai alternatif 33 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 176. solusi agar penyakit tersebut tidak lebih menggerogoti seluruh aspek dari kehidupan bangsa ini. 1.7 Pengertian Tindak Pidana Korupsi 1.7.1 Pengertian Tindak Pidana Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda, straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.34 Simons dalam rumusannya mengungkapkan straafbaarfeit adalah „tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum‟35. 34 Evi Hartanti, Op.cit., h. 5. 35 Ibid. Alasan dari Simons mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena: a. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undangundang; c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling. Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya unsur lain.36 Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai „suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.37 1.7.2 Pengertian Korupsi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan 36 37 Ibid., h. 5-6. P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theo Junior Lamintang, 2014, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang II), h. 180. sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.38 Adapun menurut Kamus Hukum, korupsi adalah suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan perekonomian negara; perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau negara.39 Gejala dimana para pejabat, badanbadan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa: a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran; b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya; c. Korupsi (busuk; suka menerima uang suap (sogok); memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya; Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya); Koruptor (orang yang korupsi);40 Dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara 38 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 736. 39 M. Marwan dan Jimmy P., Op. Cit., h. 384. 40 Evi Hartanti, 2007, Op. Cit, h. 8. Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan41 Adapun arti harfiah dari korupsi berasal dari kata „tindak pidana‟ dan kata “korupsi”. Tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis dari bahasa Belanda yakni “stafbaar feit” atau “delict” dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak.42 Menurut Robert Klilgaard, mendefinisikan korupsi dari perspektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai „Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi‟.43 Dalam Black‟s Law Dictionary, Henry Campbell memposisikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihakpihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk 41 Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana (Cetakan Keempat), Alumni, Bandung, h. 115. 42 Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1991, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 15. 43 23. Wasingatu Zakiah, 2001, Penegakan Hukum Undang-undang Korupsi, Makalah, Jakarta, h. mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersama dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.44 World Bank mendefinisikan korupsi sebagai an abuse of public power for prívate gains (suatu penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi) dengan bentuk-bentuk dari korupsi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Political Corruption (Grand Corruption), yang terjadi di tingkat tinggi (penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mereka memiliki suatu kewenangan untuk memformulasikan, membentuk dan melaksanakan undang-undang atas nama rakyat, dengan memanipulasi institusi politik, aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kekayaan dan kekuasaan; b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi dalam administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum; c. Electoral Corruption (Vote Buying) dengan tujuan untuk memenangkan suatu persaingan seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan Pengadilan, jabatan pemerintahan dan sebagainya; d. Prívate or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi antara individu atau teman dekat; e. Collective or Aggregated Corruption dalam bentuk memberi dan menerima suap (bribery) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar tugas dan kewajibannya; f. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang dibentuk untuk menampung hasil korupsi ataupun corruption of corporation dimana seseorang atau beberapa orang memiliki kedudukan penting dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan bagi perusahaannya tersebut.45 Secara yuridis formal, pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab 44 Henry Campbell, 2004, Black’s Law Dictionary (Edition VI), West Publishing, St. Paul Minesota, USA, h. 371. 45 Marwan Effendy, 2013, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya, Referensi, Jakarta (selanjutnya disebut Marwan Effendy I), h. 18. II tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas maka rumusan tindak pidana korupsi adalah: 1. Setiap orang, hal tersebut menunjuk pada subjek hukum pidana. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. 2. Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah: - Secara melawan hukum; - Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; - Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dapat disimpulkan sebenarnya secara umum korupsi tidak lain adalah tindakan yang tidak sah atau gelap terkait dengan keuangan atau lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok secara melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau kelompok yang sekarang disebut dengan korporasi tidak saja merugikan negara tetapi juga mencakup sektor swasta, seseorang atau publik karena kekuasaan yang dimilikinya. 1.8 Korupsi sebagai White Collar Crime Tindak pidana korupsi dapat digolongkan sebagai the white collar crime dikarenakan terdapat beberapa kriteria dari kejahatan korupsi yang memenuhi unsur-unsur dalam tipologi white collar crime, adapun tipologi white collar crime antara lain: White-collar criminality flourishes at points where powerful businessmen and professional men come in contract with persons who are weak. In this respect, it is similar to stealing candy from a baby. Many of the crimes of the lower class, on the other hand, are committed, in the form of burglary and robbery, against persons of wealth and power. Because of this difference in the comparative power of the victim, the white collar criminals enjoy relative immunity.46 Terjemahan bebasnya: 46 Edwin Sutherland, 1973, On Analyzing Crime, University of Chicago Press, United States of America, h. 57. Kejahatan kerah putih berkembang pada titik dimana para pebisnis kuat dan para profesional berhubungan dengan orang-orang yang lemah. Pada posisi ini, sama dengan mencuri permen dari seorang bayi. Banyak tindak pidana dari kelas yang lebih rendah, di lain pihak, dilakukan, dalam bentuk pencurian dan perampokan, terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Karena perbedaan ini dalam perbandingan kekuatan dari korbannya, kejahatan kerah putih menikmati imunitas kekerabatan. Pada pendapat dari buku Sutherland tersebut dapat disimpulkan secara garis besar dan di konkretkan pada contoh nyata dari keadaan Indonesia sekarang ini adalah kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi kelas atas yang mana disertai dengan kekuasaannya kemudian seolah memiliki imunitas/kekebalan dari para kerabat-kerabatnya yang melakukan hal-hal yang sama, melakukan kegiatan pencurian ataupun perampokan terhadap orang-orang lemah seperti halnya kejahatan korupsi yang mengambil uang negara dari rakyat yang lemah. Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Korupsi transaktif (transactive corruption); Korupsi yang memeras (extortive corruption); Korupsi investif (investive corruption); Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption); Korupsi defensif (defensive corruption); Korupsi otogenik (autogenic corruption); Korupsi dukungan (supportive corruption);47 Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi dengan keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya. 47 Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, h. 9. Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, sebagai bentuk mempertahankan diri. Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang. Korupsi dukungan adalah korupsi yang tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakantindakan yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.48 Adapun tipologi white collar crime sebagaimana dikutip dari pendapat Edelhertz yang mengidentifikasikan antara lain: 1. Crimes by persons operating on an individual ad hoc basis (for example, income tax violations, credit card frauds, bankruptcy frauds, etc.); 2. Crimes committed in the course of their occupations by those operating inside business, government, or other establishments, in violation of their duty of loyalty and fidelity to employers or clients (for example, embezzlement, employee larceny, payroll padding, and the like); 3. Crimes incidental to, and in furtherance of, business operations but not central to the purpose of the business (for example, anti trust violations, cimmercial bribery, food and drug violations an do forth); 4. White-collar crime as a business, or as the central activity. (this will be covered in this text under the label “professional crime”; it refers to activities such as medical and health frauds, advance fee swindles, and phony contests).49 48 49 Ibid., h. 9-11. Frank E. Hagan, 1986, Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal Behavior, Nelson Hall, Chicago, h. 105. Terjemahan bebasnya adalah: 1. Kejahatan oleh orang yang beroperasi secara individu untuk suatu tujuan (misalnya, pelanggaran pajak penghasilan, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan, dan lainnya); 2. Kejahatan yang dilakukan dalam proses pekerjaan mereka melalui mereka yang beroperasi di dalam bisnis, pemerintah, atau instansi lain, dengan melanggar kesetiaan tugas mereka dan kesetiaan kepada majikan atau klien (misalnya, penggelapan, pencurian karyawan, gaji padding, dan sejenisnya); 3. Kejahatan terkait dengan, dan sebagai kelanjutan dari, operasi bisnis tetapi tidak sentral untuk tujuan bisnis (misalnya, pelanggaran monopoli, penyuapan komersial, pelanggaran obat dan makanan yang dilakukan sebagainya); 4. Kejahatan kerah putih sebagai sebuah bisnis, atau sebagai aktivitas pusat. (ini akan dibahas dalam teks di bawah label "kejahatan profesional", mengacu pada kegiatan seperti penipuan medis dan kesehatan, penipuan uang muka, dan kontes palsu) corruption might be defined as the misuse of entrusted authority for personal benefit. business corruption is defined by the involvement of private companies, and is usually motivated by corporate profits. Soreide (2006) suggest that in contrast to the term political corruption or the term petty corruption, where we focus on the interest of politicians or civil servant, we usually emphasize the perspective and the interest of the bribers when applying term business corruption.50 korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. korupsi bisnis didefinisikan dengan keterlibatan perusahaan swasta, dan biasanya dimotivasi oleh keuntungan perusahaan. Soreide (2006) menunjukkan bahwa berbeda dengan korupsi politik atau korupsi kecil, di mana kita fokus pada kepentingan politisi atau pegawai negeri, kita biasanya menekankan perspektif dan kepentingan penyuap ketika menerapkan korupsi bisnis. The problem of business corruption can be exemplified by a number of scandals. An example is Exxon Mobile in Kazakhstan, where payment were made to Kazakh officials to obtain share in the Karachaganak oil and gas field. Another example is the Lesotho Dam Project, in which eight 50 Peter Gottschalk, 2010, White-Collar Crime, Detection, Prevention and Strategy in Business Enterprises, Universal-Publisher, Florida-USA, h. 21. international construction companies were charged with bribery after they allegedly paid bribes to win contracts for a large dam project. Yet another examples is the Titan corporation’s unofficial payments to the president of Benin to get important business advantages (Soriede, 2006). Masalah korupsi bisnis dapat dicontohkan oleh sejumlah skandal. Contohnya adalah Exxon Mobile di Kazakhstan, di mana pembayaran dilakukan untuk pejabat Kazakhstan untuk memperoleh lembar saham di bidang minyak dan gas Karachaganak. Contoh lain adalah Proyek Bendungan di Lesotho, di mana delapan perusahaan konstruksi internasional didakwa dengan penyuapan setelah mereka diduga membayar suap untuk memenangkan kontrak untuk proyek bendungan besar. Namun contoh lain adalah pembayaran tidak resmi Perusahaan Titan untuk Presiden Benin untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang penting (Soriede, 2006).