BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis Menurut

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah
mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat
(sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).1 Menurut Kamus Hukum, kata
yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.2
Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa
(untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.
1.2 Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Membahas mengenai pidana tentunya tidak terlepas dari Hukum Pidana itu
sendiri oleh karena tanpa hukum niscaya pidana akan diberlakukan secara sewenangwenang oleh penguasa pada saat memerintah, oleh karena antara hukum pidana
maupun
pidana
berbeda
artinya
sehingga
diperlukan
penegasan
dalam
membedakannya. Adapun Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan
yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa
1
Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi
Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1470.
2
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651.
yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.3 Sedangkan Sudarsono
mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan
tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.4
Hukum pidana menurut Moelyatno antara lain bahwa hukum pidana adalah
bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
dilarang, dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya;
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan dapat dikenakan pidana;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.5
Sedangkan Pompe memberikan definisi bahwa hukum pidana merupakan
keseluruhan peraturan yang bersifat umum yang isinya adalah larangan dan
keharusan, terhadap pelanggarannya. Negara atau masyarakat hukum
mengancam dengan penderitaan khusus berupa pemidanaan, penjatuhan pidana,
peraturan itu juga mengatur ketentuan yang memberikan dasar penjatuhan dan
penerapan pidana6
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,
melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk
3
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
92.
4
Sudarsono, 1994, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, MA dan Peradilan Tata Usaha
Negara, Rineka Cipta, Jakarta, h. 102.
5
Moelyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1.
6
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 22.
menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut. norma lain itu misalnya norma
agama, kesusilaan dan sebagainya.7
Pidana itu sendiri menurut van Hamel, arti dari pidana atau straf menurut
hukum positif dewasa ini adalah:
Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat genhandhaafd
rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat
als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste
gezag uit te spreken.
Artinya: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara.
Menurut Simons, pidana atau straaf itu adalah: Het leed, door de strafwet als
gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij
rechterlijk vonis wordt opgelegd. Artinya suatu penderitaan yang oleh undangundang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.8
7
8
Riduan Syahrani, Loc. Cit.
PAF Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang I), h. 34.
Dari rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana
sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka, ini berarti
pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Pidana dibedakan menjadi pidana formil dan pidana materiil. Demikian
merupakan pengertian pidana formil dan pidana materiil menurut beberapa ahli /
pakar hukum diantaranya:
J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut „Hukum
pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan
umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara
bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang
harus diperhatikan pada kesempatan itu‟.9
Wirjono Prodjokoro menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil sebagai berikut:
Isi hukum pidana adalah:
1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukum pidana,
2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu
merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana,
3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum
pidana, dan
4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh
karena itu, merupakan suatu rangkaian pengaturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana.10
9
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, h. 9.
10
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.
Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil
sebagai berikut:
„Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan
pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana untuk
dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan menetapkan
hukuman atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan
aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan
kata lain, mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga
diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan
hakim‟.11
Adapun pengertian pemidanaan itu sendiri mendapat penjelasan oleh Sudarto
yakni:
Perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.
Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: penghukuman itu
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum atas memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum
untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi
juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, istilah
tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana,
yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim. Penghukuman disini mempunyai makna sama dengan
sentence atau vervoordeling.12
Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana
seseorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang menyebutkan
bahwa:
“Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai
menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten)
11
Ibid.
12
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 71.
menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang
hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata. Kemudian istilah penghukuman
dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.13
1.3 Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP
Menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:
1. Pidana Pokok:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana tutupan.
2. Pidana Tambahan:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman putusan hakim.
1. Pidana Pokok
Ad. 1 a. Pidana Mati
Pidana mati adalah pidana yang terberat menurut perundang-undangan
pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas
kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia. Dalam masalah pidana
mati ini pada dasarnya dapat ditegaskan bahwa “KUHP yang berlaku di
Indonesia seharusnya konkordan atau sesuai dengan wetboek van strafrecht
yang berlaku di negara Belanda”. Dikatakan seharusnya karena pada
kenyataannya di Belanda pada waktu wetboek van strafrecht itu sendiri
terbentuk pada tahun 1881 orang di negeri Belanda sudah tidak mengenal
lagi PIDANA MATI, karena lembaga pidana mati itu sendiri telah
dihapuskan dengan Undang-undang tanggal 17 September 1870 (Stb. 1870
13
M. Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, h. 16
No. 182) dengan alasan yang terutama bahwa pelaksanaan atau eksekusi
pidana mati itu di Negeri Belanda sudah jarang dilakukan karena para
terpidana hukuman mati hampir selalu telah mendapatkan pengampunan
atau grasi dari raja. Akan tetapi mereka tetap mempertahankan lembaga
pidana mati itu di dalam:
1.
KUHP Militer mereka, dengan diancamkan bagi kejahatan-kejahatan:
a) Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang;
b) Yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan
musuh, dan
2. Bagi beberapa kejahatan yang telah disebutkan di dalam CRIMINEEL
WETBOEK;
3. Dan apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal
yang sedang berada di atas lautan bebas atau sedang berada di atas
perairan dari negara-negara asing baik dalam keadaan perang maupun
dalam keadaan damai.
Utrecht menyatakan, hukuman mati di banyak negeri tidak lagi dikenal.
Hakim di negeri Belanda tidak lagi menetapkan pidana mati. Sejak tahun
1870 hukum pidana mengenai hukum penjara seumur hidup sebagai
hukuman terberat. Hal ini tidak diikuti di daerah koloni, artinya masih
dipertahankan karena keadaan istimewa di daerah-daerah koloni.14
Oleh karenanya pidana mati ini masih kontroversial dikarenakan ada
sebagian orang yang menginginkan pidana mati ini dihapuskan dan sebagian
lagi menginginkan agar pidana mati dipertahankan.
Ad. 1 b. Pidana Penjara
Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan,
dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu
tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Pidana penjara sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad
ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana
14
Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 79-80.
penjara pada waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana di
menara-menara, di puri-puri, di benteng-benteng lain, khususnya mereka
yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah
dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk
sementara maupun yang untuk seumur hidup.
Pidana penjara sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai
berkembang sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di
berbagai negara, tetapi perlakuan terhadap para terpidana di dalam rumahrumah penjara seringkali sifatnya adalah tidak manusiawi.
Banyak usaha yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak
manusiawi terhadap para terpidana segera dapat dihentikan dan diganti
dengan tindakan-tindakan yang bersifat lebih lunak. Yang paling berjasa
untuk mengubah pandangan orang terhadap orang-orang terpidana di dalam
lembaga-lembaga pemasyarakatan adalah seorang berkebangsaan Inggris
bernama John Howard, yang mempunyai pengaruh bagi pembaharuan di
seluruh dunia.
Sejak abad ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang
disebut wekplaatsen atau lembaga-lembaga penertiban dan apa yang
disebut werkplaatsen atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di
Amsterdam, kemudian di Hanzesteden, semuanya di negeri Belanda yang
kemudian disusul dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir di seluruh
Eropa, antar lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk
memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang
disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di Gent pada tahun 1775.
Sejak saat itu orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai
tujuannya yang tersebdiri, yaitu bukan saja dengan maksud untuk menutup
dan membuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para
terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk menaati peraturan
tata tertib dan mendidik mereka secara sistematis untuk melakukan macammacam pekerjaan.
Dengan tujuan seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen, rasphuizen dan
apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni
dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan
remaja-remaja yang telah mendapat pengaruh dari penjahat dapat
membiasakan diri dengan melakukan berbagai pekerjaan yang berguna
bagi mereka, apabila mereka sewaktu-waktu dikembalikan ke tengahtengah kehidupan masyarakat normal.
Tuchthuis secara harfiah artinya rumah penertiban. Yang dimaksud dengan
tuchthuis di atas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang
sifatnya berat, sedangkan rasphuis adalah rumah penjara di mana kepada
para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana cara melicinkan
permukaan dari benda-benda dari kayu dengan menggunakan ampelas.
Spinhuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan
pelajaran tentang bagaimana caranya memintal benang.15
Ad. 1 c. Pidana Kurungan
Niniek Suparni mengemukakan „Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk
dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup
masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman
penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang’.16
Sama halnya dengan pidana, pidana kurungan juga merupakan suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan
dengan suatu tindakan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka
yang melanggar peraturan tersebut.
Lembaga
pidana
kurungan
sebenarnya
berasal
dari
lembaga
emprisonnment pour contravention depolice yang terdapat di dalam Code Penal
15
PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 55-56.
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dalam Sistem
Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
16
Perancis. Pidana kurungan mempunyai pengertian yang sama dengan Half di
Jerman atau dengan arresto di Italia.
Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang
dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan
kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah diatur di
dalam Buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi pidana
kurungan bukan merupakan pidana pokok, yang diancamkan semata-mata bagi
pelanggaran-pelanggaran, karena di dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang
Hukum Pidana kita juga dapat menjumpai sejumlah kejahatan yang oleh
pembentuk undang-undang telah diancam dengan pidana kurungan, yakni yang
telah diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah
melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak
disengaja.
Menurut penjelasan di dalam Memorie van Toelichting, dimasukkannya
pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah
terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing, yaitu:
a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana
berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu verijheidsstraf
yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan, dan
b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan
kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik
yang menurut sifatnya tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental
atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya, ataupun
yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka.
Custodia honesta seperti itu adalah misalnya apa yang dikenal orang sebagai
detention di Prancis, sebagai Einschliessung di Prusia, sebagai Festungshalf di
Jerman, sebagai overtrading di negeri Belanda, ataupun sebagai pelanggaran
di Indonesia.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu dari dan
selama-lamanya satu tahun.
Akan tetapi, lamanya pidana kurungan tersebut dapat diperberat hingga satu
tahun dan empat bulan, yaitu karena terjadinya samenloop, suatu recidive
atau karena tindak pidana yang bersangkutan telah dilakukan oleh seorang
pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus,
atau karena pegawai negeri tersebut pada waktu melakukan tindak
pidananya telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang ia
peroleh karena jabatannya.17
Ad. 1 d. Pidana Denda
Pidana denda adalah merupakan bentuk pidana denda tertua bahkan
lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Adalah
merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan
17
PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 70-71.
keseimbangan
hukum sebagai
penebus dosa dengan pembayaran uang
sejumlah tertentu.18
Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 (dua puluh lima sen) x 15.
Maksimumnya tidak ditentukan secara umum melainkan ditentukan dalam
pasal-pasal dari tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku-II dan buku-III
KUHP. Di luar KUHP adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian
terakhir dari perundang-undangan tersebut untuk norma-norma tindak pidana
yang ditentukan dalam beberapa pasal yang mendahuluinya. Di dalam KUHP
sebelum dirubah pasal 303 maksimum denda yang tertinggi diancamkan
terdapat dalam Pasal 403 yaitu Rp. 10.000,00 x 15 = Rp. 150.000 yang nota
bene merupakan ancaman pidana tunggal. Maksimum pidana denda untuk Pasal
303 KUHP setelah dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1974 jumlah
dendanya sebesar Rp. 25.000.000 jika terpidana tidak mampu membayar pidana
denda yang dijatuhkan kepadanya maka dapat diganti dengan pidana kurungan
dan pidana demikian kemudian disebut sebagai pidana kurungan pengganti.19
2. Pidana Tambahan
Pada dasarnya pidana tambahan ini telah diatur secara rinci dalam
ketentuan Pasal 10 b KUHP sebagai berikut:
18
19
Tolib Setiady, Op. Cit., h. 104.
Ibid., h. 104
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu itu sifatnya adalah
untuk sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara
selama seumur hidup.
Dapat dipahami bahwa ada kemungkinan untuk mencabut semua hakhak dari terpidana, karena hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan
hakim menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (1) huruf d
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(PTPK):
a) Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu;
b) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas
atas orang yang bukan anaknya sendiri;
e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anaknya sendiri.
Pasal 18 ayat (1) huruf d UU PTPK menyatakan: pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Dalam hal dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya
pencabutan itu diatur dalam pasal 38 KUHP sebagai berikut:
a) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
lamanya pencabutan adalah seumur hidup;
b) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu dan atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
c) Dalam hal pidana denda lama pencabutan paling lama lima tahun;
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat
dijalankan. Dan dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seseorang
pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa
lain untuk pemecatan itu. Selanjutnya hak memegang jabatan pada umumnya
atau jabtan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata dapat dicabut dalam
hal pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar
kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasaan, kesempatan
atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.20
Pasal 36 menentukan bahwa diluar pasal-pasal dari Buku II KUHP
pencabutan hak memegang jabatan dapat dilakukan dalam hal ada kejahatan
jabatan atau dalam hal orang dalam melakukan tindak pidana melanggar
kewajiban jabatan khusus atau mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau
sarana yang diberikan kepadanya oleh jabatan.
20
Ibid.
Ketentuan seperti ini termuat dalam pasal 37 mengenai pencabutan
kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri atau orang
lain, yaitu kemungkinan untuk ini diperluas di luar pasal-pasal yang
bersangkutan dari buku II KUHP, yaitu apabila mereka melakukan kejahatan
bersama-sama dengan orang yang ada di bawah kekuasaannya, atau apabila
mereka melakukan salah satu kejahatan kesusilaan.
Lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebenarnya bukan merupakan
lembaga yang baru di dalam hukum pidana, karena lembaga tersebut sudah
dikenal orang sejak berlakunya hukum Romawi dengan nama infamia, yang
kemudian oleh orang di Prancis telah dimasukkan ke dalam Code Penal mereka
dengan nama peines infamantas21 dan yang pada akhirnya oleh para pembentuk
Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita telah dicantumkan sebagai pidana
tambahan yang pertama di dalam Pasal 10 KUHP.
Infamia di dalam Hukum Romawi sebenarnya merupakan suatu lembaga
hukum berupa usaha untuk mendegradasikan martabat seseorang sebagai
seorang warga negara yang memang layak untuk dihormati, yakni dengan
mengaitkan apa yang disebut deminutio existimationis atau pencabutan
hak-hak tertentu dengan perilakunya yang tercela, misalnya karena orang
tersebut telah melakukan suatu kejahatan.22
Menurut hukum Romawi, usaha untuk mendegradasikan martabat
manusia seperti dimaksudkan di atas, tidak dilakukan melalui suatu putusan
hakim
21
Ibid.
22
Ibid.
melainkan
dianggap
sebagai
telah
terjadi
dengan
sendirinya.
Pendegradasian martabat manusia seperti itu dapat berlaku untuk seumur hidup,
kecuali apabila yang bersangkutan kemudian mampu untuk memulihkan
martabatnya sendiri.
Infamia itu tidak mempunyai tujuan-tujuan yang lain kecuali untuk
menekan orang menjadi seorang warga negara yang tidak pantas untuk
dihormati, yakni dengan meniadakan sebagian dari hak-hak perdatanya dan hakhaknya menurut hukum publik. Pendegradasian dari martabat seseorang sebagai
warga negara yang pantas dihormati itu, juga merupakan suatu ciri dari apa
yang disebut peines infamantes di dalam Code Penal Perancis, yakni yang
dengan sendirinya dianggap sebagai berlaku bagi setiap orang yang telah
melakukan sesuatu crime.
Seperti yang telah diketahui, bahwa menurut hukum pidana yang
berlaku di Prancis itu orang mengenal tiga jenis tindak pidana, masing-masing
yaitu crime, delit dan contravention. Tindak pidana yang yang tergolong
sebagai crime itu ipso jure atau menurut hukum dengan sendirinya dipandang
sebagai infamantes atau sebagai perilaku-perilaku yang dengan sendirinya
membuat martabat dari pelakunya menjadi di degradasikan sebagai seorang
warga negara yang pantas dihormati.
Ketentuan menurut Code Penal Perancis tersebut memang mengandung
kelemahan-kelemahan. Sebagai contoh adalah ketentuan pidnaa di dalam Pasal
169 Code Penal yang mengatakan, bahwa penggelapan barang yang mempunyai
nilai lebih dari tiga ribu franc itu merupakan crime, sedang penggelapan barang
yang mempunyai nilai kurang dari tiga ribu franc merupakan delic.
Mereka yang dipandang sebagai infamantes itu menjadi kehilangan hakhaknya, misalnya untuk bertindak sebagai hakim, sebagai seorang notaris,
sebagai seorang pengajar, sebagai seorang anggota dari suatu dewan perwakilan
dan lain-lainnya.
Para penyusun KUHP kita ternyata telah berkeberatan terhadap gagasan
untuk memasukkan lembaga infamantes ke dalam KUHP yang sedang mereka
susun. Keberatan mereka bukan hanya ditujukan kepada lembaga itu sendiri,
melainkan juga terhadap pemberlakuan dari lembaga tersebut yang mereka
anggap sebagai bersifat sewenang-wenang.
Seperti yang telah diketahui, bahwa lembaga infamantes itu juga berlaku
bagi para warga negara Belanda, waktu Code Penal Perancis diberlakukan di
negeri Belanda dan justru dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecth pada
tahun 1886 itulah, untuk pertama kalinya orang disana tidak lagi mengenal
lembaga pendegradasian selama seumur hidup yang dianggap sebagai telah
terjadi dengan sendirinya, yaitu apabila mereka telah melakukan sesuatu tindak
pidana dan kualifikasi sebagai suatu kejahatan. Alasan yang terutama adalah
karena pendegradasian selama seumur hidup yang terjadi dengan sendirinya
seperti itu, sering kali telah membuat para terpidana menjadi kehilangan mata
pencaharian mereka, yang kemudian sering kali telah mendorong mereka
melakukan kejahatan-kejahatan yang baru.
Pada dasarnya para penyusun KUHP kita telah tidak menolak lembaga
pencabutan hak-hak, melainkan mereka hanya menginginkan agar jenis-jenis
hak yang dapat dicabut itu hanyalah hak-hak, yang menurut sifat dan tindak
pidana yang telah dilakukan oleh seorang itu, ternyata telah disalahgunakan
oleh orang tersebut. Menurut pendapat mereka, orang seperti itu tidak pantas
untuk diberikan hak yang ternyata telah digunakannya secara salah.
Sejak tahun 1886 apa yang disebut infamie legale secara resmi telah
dicoret dari hukum pidana kita dan hanya tersisa pencabutan dari hak-hak
tertentu, yang sebenarnya juga telah dimaksud untuk mendegradasikan martabat
dari seseorang sebagai seorang warga negara. Akan tetapi, pencabutan hak-hak
seperti itu, oleh undang-undang telah tidak dikaitkan secara imperatif dengan
sesuatu kejahatan atau dengan sesuatu pidana pokok yang tertentu, melainkan ia
hanya merupakan suatu pencabutan dari hak-hak tertentu yang hanya dapat
dijatuhkan oleh, hakim, yakni apabila ia memang memandang perlu untuk
berbuat demikian.
Mengenai peristiwa yang bersejarah tersebut, berkatalah Smidt, antara
lain:
Er zullen geen onterende straffen meer zijn, clest le crime qui fait la honte
et non pas l’echafaud; voorts geen straffen van rechtwege, noch straffen,
die permanent verlies van rechten beteken.
Artinya:
Untuk selanjutnya tidak akan ada lagi pidana-pidana yang bersifat
merendahkan atau c’est le crime qui fait la honte et non pas l’echafaud,
dan selanjutnya juga tidak akan ada lagi penjatuhan pidana menurut
undang-undang atau pemidanaan-pemidanaan yang membuat orang
kehilangan hak-haknya secara tetap.23
Pembentuk KUHP kita tidak menentukan dalam hal mana, hakim itu
diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah ia juga akan menjatuhkan
suatu pidana tambahan, disamping pidana pokok yang telah ia jatuhkan bagi
seorang terdakwa.
Menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat
dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan, baik berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan-peraturan umum lainnya
adalah:
1. Hak untuk menduduki jabatan atau jabatan tertentu;
2. Hak untuk bekerja pada angkatan bersenjata;
3. Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih di dalam pemilihan-pemilihan
yang diselenggarakan menurut peraturan-peraturan umum;
4. Hak untuk menjadi seorang penasihat atau kuasa yang diangkat oleh
hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas dari orang lain, kecuali dari anak-anaknya sendiri;
5. Hak orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan atas diri dari anakanaknya sendiri; dan
6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
23
PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 88.
Kewenangan dari hakim untuk mencabut hak dari seorang pegawai
negeri untuk menduduki sesuatu jabatan tertentu itu menjadi tidak ada, apabila
dengan sesuatu peraturan umum telah ditunjuk suatu kekuasaan yang lain, yang
dapat melakukan pencabutan hak seperti itu.
Pembentukan undang-undang secara khusus telah menentukan di dalam
pasal 36 KUHP, bahwa pencabutan-pencabutan hak-hak seperti yang dimaksud
di dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yakni hak untuk menduduki
jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu dan hak untuk bekerja pada
angkatan bersenjata, kecuali dapat dijatuhkan bagi kejahatan-kejahatan yang
telah diatur di dalam Buku ke-II KUHP. Juga dapat dijatuhkan bagi kejahatan
atau yang karena kejahatan itu, seorang pegawai negeri yang telah menodai
kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau yang untuk melakukan
kejahatannya
seorang
pegawai
negeri
telah
menggunakan
kekuasaan,
kesempatan atau sarana-sarana yang telah ia peroleh karena jabatannya.
Dengan disebutkannya macam-macam hak yang dapat dicabut oleh
hakim di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) KUHP di atas dan UU PTPK
penjatuhan dari pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dapat saja
berupa pencabutan dari seluruh atau hanya beberapa hak secara bersama-sama
sebagai satu pidana tambahan. Penjatuhan dari satu pidana tambahan berupa
pencabutan dari beberapa hak secara bersama-sama itu dapat dijumpai misalnya
di dalam ketentuan pidana menurut Pasal 350 KUHP, yang mengatakan bahwa:
Bij veroordeling wegens doodslag, wegens moord of wegens een der in de
artt. 344, 347, en 348 omschreven misdrijven, kan ontzetting van de in art.
35 no. 1-5 vermelde rechten worden uit gesproken.
Artinya:
Pada waktu menjatuhkan pidana karena pembunuhan, karena pembunuhan
yang direncanakan terlebih dahulu atau karena salah satu dari kejahatankejahatan yang telah dirumuskan di dalam Pasal 344, 347, dan Pasal 348
dapat dilakukan pencabutan hak seperti dimaksud di dalam pasal 35 angka
1 sampai dengan angka 5.24
Mengenai jabatan dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, undangundang sendiri telah tidak memberikan penjelasan tentang apa sebenarnya
dimaksud dengan jabatan di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP,
sedang dari arrest-arrest Hoge Raad atau dari putusan-putusan kasasi
Mahkamah Agung tidak ada satupun arrest atau putusan kasasi yang telah
menjelaskan tentang apa sebenarnya dimaksud dengan perkataan tersebut.
Karena undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasannya,
sedangkan yurisprudensi juga tidak dapat membantu kita untuk memperoleh
penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan jabatan di
dalam rumusan Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, kita terpaksa melihat ke dalam
doktrin, yaitu untuk mengetahui tentang apa yang telah dikatakan oleh para
sarjana hukum mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut.
Van Hamel mengatakan antara lain:
Intusschen geldt het woord hier allen van openbare ambten; bediening in
andere maatschappelijke kringen, b.v. vereenigingen, kerkgenootschappen,
24
Ibid., h. 90.
zijn beroepen. Aldus amvat het: elke, door het publiekrecht beheershcte
betrekking welke een bepaalde taak oplegt, die ten behoeve van den Staat
of van zijne deelen (provincia, gemeente, waterschap) verbuld behoort te
worden … .
Artinya:
Dalam pada itu, yang dimaksud dengan perkataan ini hanyalah jabatanjabatan umum, pelayanan dalam lain-lain lembaga kemasyarakatan
misalnya dalam perkumpulan-perkumpulan atau dalam lingkungan gereja
itu merupakan pekerjaan-pekerjaan. Jadi, yang dimaksud di sini adalah
setiap pekerjaan yang diatur di dalam hukum publik yang telah menetapkan
suatu kewajiban tertentu, dan yang harus dilaksanakan untuk kepentingan
negara atau kepentingan bagian-bagiannya (seperti daerah provinsi, daerah
kabupaten atau pengairan) … .25
Pompe telah menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau
jabatan itu dengan pengertian dari perkataan ambtenaar menurut Hoge Raad di
dalam arrest-nya tanggal 25 Oktober 1915, NJ 1915, halaman 1205, W. 9861
dengan mengatakan bahwa:
Ambt is de functie, uitgeoefend door een ambtenaar. Ambtenaar is volgens
de Hoge Raad degene, die door het (daartoe bevoegde, volgens HR 16
November 1949 Nr. 138) openbaar gezag is aangesteld tote en openbare
betrekking om een del van de taak van de Staat of zijn organen te
verrichten.
Artinya:
Jabatan itu merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pegawai
negeri. Menurut Hoge Raad, pegawai negeri itu adalah mereka yang oleh
kekuasaan umum (yang berwenang untuk itu, demikian HR 16 November
1949 No. 138) telah diangkat dalam suatu jabatan umum untuk
melaksanakan sebagian dari tugas negara atau sebagian dari tugas organorgannya.26
25
Ibid.,h. 91.
26
Ibid.,h. 91-92.
Dengan menunjuk pada arrest dari Hoge Raad tanggal 25 Oktober 1915,
NJ 1915 halaman 1205, W. 9861, yang oleh Pompe telah dihubungkan dengan
usahanya untuk memberikan penjelasan mengenai perkataan ambt atau jabatan,
seperti yang dimaksudkan di atas ternyata Hazewinkel-Suringa telah tidak
sependapat untuk menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau jabatan
dengan pengertian dari perkataan ambtenaar atau pegawai negeri menurut Hoge
Raad tersebut.
Mengenai hal tersebut berkatalah Hazewinkel-Suringa, antara lain
behoorthet begrip ambt zich wel aan te sluiten bij de bovengenoemde
definitie van de HR? Neen het is ruiner: men kan ook een staatstaak
burgers rustende verplichting; men kan omgekeerd ook aangesteld zijn,
maar toech geen ambtenaar zijn, omdat men geen del der staatstaak
verricht, bijv. Notarissen.
Artinya:
Apakah pengertian dari perkataan jabatan itu dapat dihubungkan dengan
rumusan dari HR di atas? Tidak, perkataan jabatan itu mempunyai
pengertian yang lebih luas: orang dapat saja melakukan suatu tugas
kenegaraan tanpa ia harus diangkat untuk maksud tersebut, misalnya
berdasarkan kewajiban yang melekat pada beberapa warga negara tertentu;
sebaliknya orang dapat juga diangkat tanpa ia harus menjadi seorang
pegawai negeri, karena ia telah tidak melaksanakan sebagian dari tugas
kenegaraan, misalnya para notaris.27
Sehingga dapat disimpulkan pendapat Pompe sepenuhnya telah
menyamakan pengertian dari perkataan ambt dengan pengertian dari perkataan
fungsi. Hingga batas tertentu pendapat dari Pompe tersebut adalah memang
benar, karena baik apa yang disebut ambt maupun apa yang disebut functie
27
Ibid., h. 92.
sebenarnya merupakan suatu omschreven werkkring atau suatu lingkungan
pekerjaan yang tertentu, di mana lingkungan pekerjaan yang tertentu itu
merupakan sebagian dari suatu keseluruhan lingkungan pekerjaan yang lebih
besar.
Perbedaan antara ambt dengan functie yakni apabila keseluruhan
lingkungan pekerjaan yang lebih besar seperti yang dimaksudkan di atas
merupakan
suatu
lingkungan
pekerjaan
untuk
melakukan
tugas-tugas
kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertentu biasanya disebut ambt
atau sebagai suatu jabatan. Adapun apabila keseluruhan lingkungan pekerjaan
yang lebih besar bukan merupakan suatu lingkungan pekerjaan untuk
melakukan tugas-tugas kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertertu
biasanya disebut functie atau suatu fungsi, yang oleh van Hamel telah disebut
sebagai suatu beroep atau pekerjaan.
Orang yang melakukan sesuatu ambt biasanya disebut seorang amtenar,
sedang orang yang melakukan sesuatu functie biasanya disebut sebagai
functionaris.
Oleh karena itu, pendapat dari Hazewinkel-Suringa yang mengatakan
bahwa pengertian dari perkataan ambt tidak dapat dihubungkan dengan
rumusan dari Hoge Raad mengenai ambtenaar, adalah tidak benar sama sekali
walaupun contoh-contoh yang telah mereka berikan itu sebagian adalah
memang benar. Misalnya seorang anggota hansip atau seorang anggota banpol
dapat saja melakukan suatu ambt, tanpa mereka perlu diangkat sebagai seorang
ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri.
1.4 Pengertian Hak Memilih Dan Hak Dipilih
1.4.1 Hak Memilih
Hak memilih menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada pasal 19 dan pasal 20
menyebutkan:
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar
1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.
Pasal 20
Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus
terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam UndangUndang ini.
Selain dari hal tersebut, baik KUHP maupun perundang-undangan lain
di luar dari KUHP tidak memberi penjelasan yang rinci mengenai hak memilih
dan dipilih sehingga pengertian hak memilih dan dipilih diambil dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Hak memilih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak untuk
memberi suara di pemilihan umum, hak untuk memberi suara dalam masalah
politik, khususnya hak atau kekuasaan untuk berperan serta di memilih atau
menolak rencana undang-undang;28
1.4.2
Hak Dipilih
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak dipilih adalah hak untuk
dipilih dalam pemilihan umum untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR).29
1.5 Hak Memilih Dan Dipilih Dalam HAM
Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok
atau prinsipil.30 HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat
mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu
keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai
dengan keistimewaan yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu kewajiban
pada seseorang berarti bahwa diminta darinya suatu sikap yang sesuai dengan
keistimewaan yang ada pada orang lain.
48.
28
Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Op. Cit., h.474-475.
29
Ibid., h. 474.
30
Pius A Pratanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, h.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia jo., Undangundang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan pengertian HAM dalam definisi ahli dan dalam rumusan undangundang di atas, jelas bahwa HAM di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yaitu
memiliki sisi teologis yang cukup kuat. Pernyataan bahwa HAM adalah anugerah dari
Tuhan yang Maha Esa menunjukkan bahwa HAM adalah suatu pemberian Tuhan
yang kemudian melekat pada tiap diri manusia.
Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat dalam diri manusia
karena nilai humanitasnya. Hak asasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu hak klasik berupa hak sipil-politik, hak ekonomi, dan hak sosial-budaya.
Satjipto Raharjo membagi generasi HAM menjadi tiga, yaitu generasi pertama yang
meliputi hak sipil dan politik, generasi kedua yang meliputi hak sosial, ekonomi dan
budaya dan generasi ketiga yang memuat sejumlah hak-hak kolektif.31
31
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama (cetakan pertama), Bandung (selanjutnya disebut Muladi II),
h. 219-220.
Hak memilih dan dipilih merupakan hak yang diatur dalam hak sipil-politik.
Hak sipil politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan
dengan entitas negara yang memiliki kedaulatan, hak-hak yang dimiliki warga negara
sebagai warga sipil dalam sebuah negara dan juga hak politik warga yang memiliki
kedudukan sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya
dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag
mengkategorikan hak sipil dan politik ini sebagai hak negatif (negative right) karena
untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan (pasif),
sehingga perumusannya menggunakan freedom from (bebas dari).32
Pengaturan mengenai hak memilih dan dipilih dalam perspektif Hak Asasi
Manusia Indonesia telah mendapat landasan hukum dalam International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara
pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang
sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkahlangkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban
lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung
32
Krisdyatmiko, “Konsep Dasar, Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak
Warga Negara”, makalah disampaikan dalam workshop 11, Penguatan Hukum Adat, HAM dan
Pluralisme, Hotel Mahkota Plaza, SOE-NTT tanggal 27-28 Februari 2004.
diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15,
16, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.
3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk
melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya
kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan
yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya.
Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang
sama pada berakhirnya pengurangan tersebut.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau
seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini.
2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan
HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak
berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih
bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya
tetapi secara lebih sempit.
Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: Hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih
dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama
pada jabatan publik di negaranya.
Hal ini juga dikuatkan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 73 dan 74 yang
menegaskan:
Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa
diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan
bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan
mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan
dasar yang diatur dalam undang-undang.
1.6
Pengertian Pemberantasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberantasan berarti proses, cara,
perbuatan memberantas, pencegahan, pengucilan perkembangan, atau pemusnahan
penyakit.33 Oleh karena korupsi diibaratkan seperti penyakit ganas yang menular
sehingga dibutuhkan langkah preemtif, preventif dan represif. Salah satu langkah
represif sekaligus preventif agar para terpidana korupsi tidak dapat melakukan tindak
pidana korupsi adalah dengan pencabutan hak memilih dan dipilih sebagai alternatif
33
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 176.
solusi agar penyakit tersebut tidak lebih menggerogoti seluruh aspek dari kehidupan
bangsa ini.
1.7
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
1.7.1
Pengertian Tindak Pidana
Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan
diuraikan
pengertian
tindak
pidana.
Pembentuk
undang-undang
kita
menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana,
tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.
Dalam bahasa Belanda, straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian
dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah
perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.34
Simons dalam rumusannya mengungkapkan
straafbaarfeit adalah
„tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum‟35.
34
Evi Hartanti, Op.cit., h. 5.
35
Ibid.
Alasan dari Simons mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di
atas karena:
a. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang di
mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undangundang;
c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan
melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan
manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti
tersendiri seperti halnya unsur lain.36
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai „suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.37
1.7.2
Pengertian Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi berarti penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan
36
37
Ibid., h. 5-6.
P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theo Junior Lamintang, 2014, Dasar-dasar Hukum Pidana
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang II), h.
180.
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.38 Adapun menurut Kamus
Hukum, korupsi adalah suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri
sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan perekonomian negara; perbuatan melawan hukum dengan
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan orang lain atau negara.39 Gejala dimana para pejabat, badanbadan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat
berupa:
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran;
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya;
c. Korupsi (busuk; suka menerima uang suap (sogok); memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya);
Koruptor (orang yang korupsi);40
Dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam bahasa Inggris disebut
corruption, dan dalam sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara
38
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 736.
39
M. Marwan dan Jimmy P., Op. Cit., h. 384.
40
Evi Hartanti, 2007, Op. Cit, h. 8.
Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak,
busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan41
Adapun arti harfiah dari korupsi berasal dari kata „tindak pidana‟ dan kata
“korupsi”. Tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis dari bahasa Belanda
yakni “stafbaar feit” atau “delict” dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan
yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi
siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin: corruptio
= penyuapan; corruptore = merusak.42
Menurut Robert Klilgaard, mendefinisikan korupsi dari perspektif
administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai „Tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan
status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri); atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi‟.43
Dalam Black‟s Law Dictionary, Henry Campbell memposisikan korupsi
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihakpihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
41
Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana (Cetakan Keempat), Alumni, Bandung, h. 115.
42
Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,
Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1991, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, h. 15.
43
23.
Wasingatu Zakiah, 2001, Penegakan Hukum Undang-undang Korupsi, Makalah, Jakarta, h.
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bersama dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.44
World Bank mendefinisikan korupsi sebagai an abuse of public power for
prívate gains (suatu penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi)
dengan bentuk-bentuk dari korupsi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Political Corruption (Grand Corruption), yang terjadi di tingkat tinggi
(penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mereka memiliki suatu
kewenangan untuk memformulasikan, membentuk dan melaksanakan
undang-undang atas nama rakyat, dengan memanipulasi institusi politik,
aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintahan dengan tujuan
meningkatkan kekayaan dan kekuasaan;
b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi dalam
administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum;
c. Electoral Corruption (Vote Buying) dengan tujuan untuk memenangkan
suatu persaingan seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan Pengadilan,
jabatan pemerintahan dan sebagainya;
d. Prívate or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi
akibat adanya kolusi atau konspirasi antara individu atau teman dekat;
e. Collective or Aggregated Corruption dalam bentuk memberi dan
menerima suap (bribery) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
atas dasar tugas dan kewajibannya;
f. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang dibentuk
untuk menampung hasil korupsi ataupun corruption of corporation
dimana seseorang atau beberapa orang memiliki kedudukan penting
dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan
bagi perusahaannya tersebut.45
Secara yuridis formal, pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam
Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab
44
Henry Campbell, 2004, Black’s Law Dictionary (Edition VI), West Publishing, St. Paul
Minesota, USA, h. 371.
45
Marwan Effendy, 2013, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya,
Referensi, Jakarta (selanjutnya disebut Marwan Effendy I), h. 18.
II tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi dari
Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
menyatakan:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas maka rumusan tindak
pidana korupsi adalah:
1. Setiap orang, hal tersebut menunjuk pada subjek hukum pidana. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang
dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi.
2. Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:
-
Secara melawan hukum;
-
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;
-
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dapat disimpulkan sebenarnya secara umum korupsi tidak lain adalah
tindakan yang tidak sah atau gelap terkait dengan keuangan atau lainnya yang
dapat dinilai dengan uang yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok secara
melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau kelompok yang
sekarang disebut dengan korporasi tidak saja merugikan negara tetapi juga
mencakup sektor swasta, seseorang atau publik karena kekuasaan yang
dimilikinya.
1.8 Korupsi sebagai White Collar Crime
Tindak pidana korupsi dapat digolongkan sebagai the white collar crime
dikarenakan terdapat beberapa kriteria dari kejahatan korupsi yang memenuhi
unsur-unsur dalam tipologi white collar crime, adapun tipologi white collar crime
antara lain:
White-collar criminality flourishes at points where powerful businessmen
and professional men come in contract with persons who are weak. In this
respect, it is similar to stealing candy from a baby. Many of the crimes of the
lower class, on the other hand, are committed, in the form of burglary and
robbery, against persons of wealth and power. Because of this difference in
the comparative power of the victim, the white collar criminals enjoy relative
immunity.46
Terjemahan bebasnya:
46
Edwin Sutherland, 1973, On Analyzing Crime, University of Chicago Press, United States of
America, h. 57.
Kejahatan kerah putih berkembang pada titik dimana para pebisnis kuat dan
para profesional berhubungan dengan orang-orang yang lemah. Pada posisi
ini, sama dengan mencuri permen dari seorang bayi. Banyak tindak pidana
dari kelas yang lebih rendah, di lain pihak, dilakukan, dalam bentuk
pencurian dan perampokan, terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan
dan kekuasaan. Karena perbedaan ini dalam perbandingan kekuatan dari
korbannya, kejahatan kerah putih menikmati imunitas kekerabatan.
Pada pendapat dari buku Sutherland tersebut dapat disimpulkan secara
garis besar dan di konkretkan pada contoh nyata dari keadaan Indonesia sekarang
ini adalah kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi
kelas atas yang mana disertai dengan kekuasaannya kemudian seolah memiliki
imunitas/kekebalan dari para kerabat-kerabatnya yang melakukan hal-hal yang
sama, melakukan kegiatan pencurian ataupun perampokan terhadap orang-orang
lemah seperti halnya kejahatan korupsi yang mengambil uang negara dari rakyat
yang lemah.
Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi
dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Korupsi transaktif (transactive corruption);
Korupsi yang memeras (extortive corruption);
Korupsi investif (investive corruption);
Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption);
Korupsi defensif (defensive corruption);
Korupsi otogenik (autogenic corruption);
Korupsi dukungan (supportive corruption);47
Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi dengan keadaan pihak pemberi
dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam
dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.
47
Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, h. 9.
Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, sebagai
bentuk mempertahankan diri. Korupsi investif adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka,
secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. Korupsi
otogenik yaitu korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya
hanya seorang. Korupsi dukungan adalah korupsi yang tidak secara langsung
menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakantindakan yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang
sudah ada.48
Adapun tipologi white collar crime sebagaimana dikutip dari pendapat
Edelhertz yang mengidentifikasikan antara lain:
1. Crimes by persons operating on an individual ad hoc basis (for
example, income tax violations, credit card frauds, bankruptcy frauds,
etc.);
2. Crimes committed in the course of their occupations by those operating
inside business, government, or other establishments, in violation of
their duty of loyalty and fidelity to employers or clients (for example,
embezzlement, employee larceny, payroll padding, and the like);
3. Crimes incidental to, and in furtherance of, business operations but not
central to the purpose of the business (for example, anti trust violations,
cimmercial bribery, food and drug violations an do forth);
4. White-collar crime as a business, or as the central activity. (this will be
covered in this text under the label “professional crime”; it refers to
activities such as medical and health frauds, advance fee swindles, and
phony contests).49
48
49
Ibid., h. 9-11.
Frank E. Hagan, 1986, Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal
Behavior, Nelson Hall, Chicago, h. 105.
Terjemahan bebasnya adalah:
1. Kejahatan oleh orang yang beroperasi secara individu untuk suatu tujuan
(misalnya, pelanggaran pajak penghasilan, penipuan kartu kredit,
penipuan kebangkrutan, dan lainnya);
2. Kejahatan yang dilakukan dalam proses pekerjaan mereka melalui
mereka yang beroperasi di dalam bisnis, pemerintah, atau instansi lain,
dengan melanggar kesetiaan tugas mereka dan kesetiaan kepada
majikan atau klien (misalnya, penggelapan, pencurian karyawan, gaji
padding, dan sejenisnya);
3. Kejahatan terkait dengan, dan sebagai kelanjutan dari, operasi bisnis
tetapi tidak sentral untuk tujuan bisnis (misalnya, pelanggaran monopoli,
penyuapan komersial, pelanggaran obat dan makanan yang dilakukan
sebagainya);
4. Kejahatan kerah putih sebagai sebuah bisnis, atau sebagai aktivitas
pusat. (ini akan dibahas dalam teks di bawah label "kejahatan
profesional", mengacu pada kegiatan seperti penipuan medis dan
kesehatan, penipuan uang muka, dan kontes palsu)
corruption might be defined as the misuse of entrusted authority for
personal benefit. business corruption is defined by the involvement of
private companies, and is usually motivated by corporate profits. Soreide
(2006) suggest that in contrast to the term political corruption or the term
petty corruption, where we focus on the interest of politicians or civil
servant, we usually emphasize the perspective and the interest of the bribers
when applying term business corruption.50
korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang
dipercayakan untuk keuntungan pribadi. korupsi bisnis didefinisikan dengan
keterlibatan perusahaan swasta, dan biasanya dimotivasi oleh keuntungan
perusahaan. Soreide (2006) menunjukkan bahwa berbeda dengan korupsi
politik atau korupsi kecil, di mana kita fokus pada kepentingan politisi atau
pegawai negeri, kita biasanya menekankan perspektif dan kepentingan
penyuap ketika menerapkan korupsi bisnis.
The problem of business corruption can be exemplified by a number of
scandals. An example is Exxon Mobile in Kazakhstan, where payment were
made to Kazakh officials to obtain share in the Karachaganak oil and gas
field. Another example is the Lesotho Dam Project, in which eight
50
Peter Gottschalk, 2010, White-Collar Crime, Detection, Prevention and Strategy in Business
Enterprises, Universal-Publisher, Florida-USA, h. 21.
international construction companies were charged with bribery after they
allegedly paid bribes to win contracts for a large dam project. Yet another
examples is the Titan corporation’s unofficial payments to the president of
Benin to get important business advantages (Soriede, 2006).
Masalah korupsi bisnis dapat dicontohkan oleh sejumlah skandal.
Contohnya adalah Exxon Mobile di Kazakhstan, di mana pembayaran
dilakukan untuk pejabat Kazakhstan untuk memperoleh lembar saham di
bidang minyak dan gas Karachaganak. Contoh lain adalah Proyek
Bendungan di Lesotho, di mana delapan perusahaan konstruksi internasional
didakwa dengan penyuapan setelah mereka diduga membayar suap untuk
memenangkan kontrak untuk proyek bendungan besar. Namun contoh lain
adalah pembayaran tidak resmi Perusahaan Titan untuk Presiden Benin
untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang penting (Soriede, 2006).
Download