Hubungan antara Self-Regulation dan Self

advertisement
Hubungan antara Self-Regulation dan Self-Esteem pada
Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana
Sasrya Ratri Harumi dan Julia Suleeman
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa
psikologi jenjang sarjana. Topik ini penting diteliti karena self-regulation dan self-esteem merupakan aspek
penting dalam kehidupan, karena berhubungan dengan fungsi adaptif seseorang (Baumeister, dalam Ridder &
Wit, 2006; Guindon, 2010). Self-regulation merupakan kemampuan seseorang dalam mengarahkan tingkah
lakunya untuk mencapai hasil yang diinginkan di masa mendatang (Carey, Neal, dan Collins, 2004). Sementara
itu, self-esteem adalah sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif, secara keseluruhan
(Rosenberg, dalam Mruk, 2006). Pengukuran self-regulation menggunakan alat ukur Short Self-Regulation
Questionnaire (SSRQ) dan pengukuran self-esteem menggunakan alat ukur Rosenberg Self-Esteem Scale
(RSES). Penelitian ini melibatkan 179 responden yang merupakan mahasiswa jenjang sarjana kelas reguler dan
paralel Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dengan self-esteem pada
mahasiswa (r = 0,519; p = 0.001). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para
pembuat kebijakan untuk lebih peka terhadap keadaan psikologis mahasiswa. Untuk penelitian lanjutan,
perolehan data dapat dilengkapi dengan metode wawancara atau focus group discussion (FGD) untuk
mengetahui gambaran yang lebih spesifik terkait self-regulation dan self-esteem mahasiswa.
The Relationship between Self-Regulation and Self-Esteem among Undergraduate
Psychology Students
Abstract
This research is carried out to identify the relationship between self-regulation and self-esteem among
undergraduate psychology students. This topic is an important study because self-regulation and self-esteem are
important aspects of human life as they relate to a person's adaptive functioning (Baumeister, in Ridder & Wit,
2006; Guindon, 2010). Self-regulation is a person’s ability to direct behavior in order to achieve desired
outcomes in the future (Carey, Neal, & Collins, 2004). Meanwhile, self-esteem is a positive or negative attitude
toward the self of a person as a whole (Rosenberg, in Mruk, 2006). Self-regulation was measured by the
adaptation version of Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) and self-esteem was measured by Rosenberg
Self-Esteem Scale (RSES). Research participants were 179 undergraduate psychology students at Universitas
Indonesia from years of 2009, 2010, 2011, and 2012. The results indicate a significant positive correlation
between self-regulation and self-esteem among psychology undergraduate students (r = 0,519; p = 0.001).
Results of this study might be taken as a consideration for the policymakers of the faculty to be more sensitive to
the psychological state of the students. For further study, the data acquisition could be equipped with interviews
or focus group discussion (FGD) to explore more specific overview about self-regulation and self-esteem of
students.
Keywords: Self-regulation; self-esteem; undergraduate psychology students
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
1
Pendahuluan
Psikologi merupakan salah satu jurusan perkuliahan yang dianggap populer di
kalangan mahasiswa (Corbalis, dalam Goedeke, 2007). Namun alasan yang melandasi
kebanyakan mahasiswa psikologi dalam memilih jurusan perkuliahan ini bukan untuk
mempelajari ilmu tentang mind seseorang, melainkan ingin lebih mendalami bidang psikologi
klinis, seperti memahami masalah yang dialami oleh dirinya, teman-temannya, atau
keluarganya (Goedeke, 2007). Pendapat lain dari Tillet (2003) menyatakan bahwa alasan dari
kebanyakan orang yang berkecimpung dalam bidang helping profession, seperti psikologi,
adalah karena mereka memiliki masalah pribadi yang terkait dengan psikopatologis, seperti
rentan terhadap stres. Stres adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat mentolerir tuntutan
yang terjadi akibat interaksi antara dirinya dengan lingkungannya (Guthrie & Black, 1997).
Stres ini bisa disebabkan oleh tekanan dalam perkuliahan atau pekerjaan yang ditambah
dengan menumpuknya masalah pribadi mereka (Guthrie & Black, 1997; Tillett, 2003). Secara
umum, orang-orang seperti ini cenderung lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, atau
bahkan penyalahgunaan alkohol dan narkoba (Tillett, 2003). Selain itu, mereka juga
cenderung tidak menyadari dan kesulitan untuk mengakui jika mereka sedang memiliki
masalah psikologis dan sering mereka juga menunjukkan gejala gangguan somatisasi (Tillett,
2003).
Berdasarkan hasil percakapan terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012, diketahui bahwa alasan mereka
untuk berkuliah di Fakultas Psikologi adalah karena mereka senang mendengarkan orang lain,
sering dijadikan tempat berbagi dan bercerita, ingin menolong orang lain, serta ingin lebih
memahami diri sendiri untuk bisa mengatasi berbagai masalah yang sedang dialami.
Sayangnya pada tahun pertama, mata kuliah yang diperoleh mahasiswa dianggap masih
bersifat abstrak, seperti Psikologi Umum I dan Filsafat Manusia, sehingga mahasiswa baru
masih kesulitan dalam mengaitkan ilmu yang didapat dalam kehidupan sehari-hari. Namun
seiring berjalannya waktu, mata kuliah yang didapat semakin memberikan wawasan
psikologis dan semakin aplikatif. Pada masa-masa inilah biasanya para mahasiswa mulai
memahami dirinya. Setelah berhasil memahami dirinya, para mahasiswa kemudian mencoba
untuk memahami orang-orang di sekitarnya. Kecenderungan mahasiswa untuk memahami
dan menolong orang-orang di sekitarnya ini mengakibatkan beberapa di antara mereka
menjadi kurang peduli terhadap masalah-masalah yang sedang dialaminya sendiri. Hal inilah
yang mungkin menyebabkan beberapa mahasiswa merasa dirinya belum memerlukan
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
2
konseling dengan tenaga ahli. Mungkin saja mereka merasa masih mampu mengatasi
masalahnya sendiri dan cukup berbagi dengan sesama teman. Selain orientasi kepada orang
lain yang lebih besar dibandingkan dengan orientasi kepada diri sendiri, beberapa mahasiswa
bahkan tidak tahu bahwa ada fasilitas konseling di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Beberapa mahasiswa juga menyatakan bahwa pelayanan di Klinik
Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tidak mempunyai prosedur yang cukup
jelas, karena ada mahasiswa yang cepat mendapatkan jadwal untuk konseling, namun ada
juga mahasiswa yang harus menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan jadwal atau
malah akhirnya diabaikan oleh pihak klinik. Menurut beberapa mahasiswa, dampak yang
terjadi akibat permasalahan ini adalah berkurangnya motivasi mahasiswa untuk berkuliah dan
turunnya IPK mahasiswa.
Kondisi dimana beberapa mahasiswa mengalami penurunan motivasi berkuliah
dan/atau penurunan IPK dapat disebabkan karena para mahasiswa tersebut kurang memiliki
kemampuan
self-regulation.
Self-regulation
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mengarahkan pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu
(Zimmerman, 2000; Carey, Neal, & Collins, 2004; Carver & Scheier, 2008; Hoyle, 2010;
Bauer & Baumeister, 2011). Self-regulation yang efektif menurut Hoyle (2010) merupakan
dasar dari fungsi psikologis yang sehat. Orang yang mampu melakukan self-regulation
dengan baik memiliki kondisi psikologis yang stabil dan kontrol diri yang memungkinkan
mereka untuk mengelola persepsi tentang diri mereka dan bagaimana mereka diterima oleh
orang lain (Hoyle, 2010). Hoyle (2010) menambahkan juga bahwa orang yang dapat
melakukan self-regulation dengan baik biasanya menunjukkan tingkah laku yang
mencerminkan tujuan dan standar tertentu. Baumeister (dalam Ridder & Wit, 2006)
menyebutkan bahwa self-regulation yang efektif merupakan aspek penting dalam kehidupan
seseorang untuk beradaptasi. Jika para mahasiswa tersebut dapat melakukan self-regulation
dengan baik, maka mereka akan dapat mengarahkan dirinya untuk tetap fokus pada tujuan
utama mereka yang seharusnya di bidang akademis, yakni tetap termotivasi untuk berkuliah
dan berusaha untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan IPK-nya.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi self-regulation seseorang, antara lain working
self-concept, self-efficacy, personal control, fokus diri, dan motivasi (Fiske & Taylor, 2008).
Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi self-regulation, motivasi menurut Santrock
(2009) adalah suatu proses yang dapat mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan
perilaku tertentu. Dalam melakukan self-regulation, seseorang termotivasi oleh beberapa
kebutuhan, seperti need of accuracy, need for consistency, need for improvement, dan need
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
3
for enhancement (Fiske & Taylor, 2008). Beberapa ahli, seperti Rhodewalt dan Tragakis
(2003) serta Crocker et al. (2006) mengaitkan self-regulation dengan komponen yang terdapat
dalam need for enhancement, yakni self-esteem. Need for enhancement merupakan kebutuhan
seseorang untuk dapat merasakan kualitas dirinya (Fiske & Taylor, 2008). Sementara itu, selfesteem merupakan sikap seseorang tentang seberapa berharga dirinya secara keseluruhan
(Coopersmith dalam Heatherton & Wyland, 2003; Rosenberg dalam Mruk, 2006; Baumeister,
Campbell, Krueger, & Vohs, 2003; Guindon, dalam Guindon, 2010). Untuk dapat memenuhi
need for enhancement, seseorang harus memiliki self-esteem yang baik (Fiske & Taylor,
2008). Sama halnya dengan self-regulation, self-esteem juga merupakan aspek penting dalam
kehidupan seseorang, karena self-esteem dapat dikatakan sebagai akar dari permasalahan yang
dihadapi seseorang (Guindon, 2010). Guindon (2010) juga menyatakan bahwa self-esteem
dapat mempengaruhi motivasi, functional behavior, dan kepuasan hidup seseorang. Selain itu,
self-esteem juga secara signifikan berhubungan dengan well-being seseorang (Guindon,
2010). Apa yang hendak dilakukan seseorang dan bagaimana cara orang tersebut
melakukannya dipengaruhi oleh kondisi self-esteem orang tersebut (Guindon, 2010). Kondisi
self-esteem yang rendah cenderung berhubungan dengan situasi-situasi yang tidak
menyenangkan, seperti mengalami kekerasan, depresi, atau prestasi yang menurun (Guindon,
2010). Sebaliknya, kondisi self-esteem yang tinggi cenderung berhubungan dengan situasisituasi yang menyenangkan (Guindon, 2010). Hal ini dikarenakan seseorang dengan selfesteem tinggi dapat merasakan kualitas dirinya dan selalu berpikiran positif tentang dirinya
(Fiske & Taylor, 2008). Fiske dan Taylor (2008) kemudian menyatakan bahwa seseorang
memiliki kebutuhan untuk menciptakan atau mempertahankan perasaan postif dalam diri.
Kebutuhan ini kemudian menjadi motivasi seseorang dalam melakukan self-regulation (Fiske
& Taylor, 2008).
Berdasarkan hasil studi mengenai self-esteem pada mahasiswa yang dilakukan oleh
Guindon (2010), diketahui bahwa lemahnya performa akademik dapat menurunkan selfesteem pada mahasiswa. Studi yang dilakukan oleh Rosli et al. (2012) terhadap mahasiswa di
Malaysia menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-esteem
dengan IPK mahasiwa. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dapat mempengaruhi selfesteem seseorang. Donnelan et al. (dalam Guindon, 2010) menyatakan bahwa rata-rata skor
self-esteem seseorang secara global meningkat dari masa remaja menuju dewasa muda,
kemudian meningkat lagi secara bertahap selama masa dewasa muda hingga dewasa madya
dan cenderung lebih stabil (Donnelan et al., dalam Guindon, 2010). Orang yang pada masa
kanak-kanak dan remajanya sudah memiliki self-esteem yang tinggi cenderung akan terus
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
4
memiliki self-esteem yang tinggi di masa dewasa muda (Donnelan et al., dalam Guindon,
2010).
Sayangnya, peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai self-regulation
yang dikaitkan dengan self-esteem pada mahasiswa, khususnya mahasiswa psikologi jenjang
sarjana. Pemilihan subyek mahasiswa psikologi jenjang sarjana didasarkan pada fenomena
mengenai tujuan mempelajari ilmu psikologi, yakni untuk mengenali diri sendiri serta
memahami dan menolong orang lain (Goedeke, 2007). Berdasarkan gejala yang dipaparkan
sebelumnya, kecenderungan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang lebih
memperhatikan orang lain dibandingkan dirinya sendiri menyebabkan beberapa mahasiswa
kesulitan dalam melakukan self-regulation atau mengatur dirinya untuk tetap memperhatikan
tugas dan kewajiban yang harus mereka kerjakan, disamping membantu orang lain. Kesulitan
ini kemudian menyebabkan terbengkalainya tugas dan kewajiban tersebut yang pada akhirnya
berdampak pada penurunan self-esteem. Fakultas Psikologi seharusnya menjadi salah satu
lembaga untuk meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat, terutama bagi para
mahasiswanya, karena mahasiswa psikologi merupakan orang-orang yang dipersiapkan untuk
dapat terjun langsung dalam menangani masalah kesehatan mental masyarakat. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak fakultas untuk lebih
peka terhadap kondisi psikologis mahasiswa. Selain itu, diharapkan juga mahasiswa lebih
memiliki kesadaran untuk memanfaatkan fasilitas konseling dari fakultas.
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, terdapat tiga masalah penelitian yang
akan dijawab dalam penelitian ini, antara lain yang pertama, bagaimana gambaran selfregulation pada mahasiswa psikologi program studi sarjana? Kedua, bagaimana gambaran
self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana? Ketiga, apakah terdapat
hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa
psikologi program studi sarjana?
Tinjauan Pustaka
Self-Regulation
Self-regulation adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan tingkah lakunya
untuk mencapai tujuan dan memungkinkan orang tersebut untuk menunda kepuasan jangka
pendek guna mencapai hasil yang diinginkan di masa mendatang (Carey, Neal, & Collins,
2004). Definisi ini dipilih karena biasa digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan
konteks mahasiswa (Carey, Neal, & Collins, 2004). Ketika melakukan self-regulation,
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
5
seseorang akan menerima informasi terkait tujuan yang dimiliki, mengevaluasi diri, memiliki
keinginan untuk berubah, mencari alternatif perubahan tingkah laku, serta menilai efektivitas
perubahan tingkah laku tersebut (Miller & Brown, dalam Neal & Carey, 2005). Menurut
Fiske dan Taylor (2008), terdapat empat faktor yang mempengaruhi self-regulation, yakni
working self-concept (konsep diri yang sifatnya situasional), self-efficacy beliefs (harapan
tentang kemampuan diri untuk menyelesaikan tugas tertentu), personal control (pengendalian
diri untuk merencanakan, mengatasi rintangan, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
menunjang pencapaian tujuan), fokus diri (atensi diri dalam mengevaluasi tingkah laku untuk
disesuaikan dengan standar tingkah laku yang dimiliki), serta motivasi. Faktor motivasi (Fiske
& Taylor, 2008) kemudian terbagi lagi menjadi beberapa kebutuhan, antara lain need of
accuracy (kebutuhan untuk memiliki penilaian diri yang cukup akurat mengenai kemampuan,
opini, keyakinan, dan emosi yang dimiliki), need for consistency (kebutuhan untuk memiliki
keyakinan bahwa diri memiliki kualitas intrinsik dan tujuan yang akan relatif stabil sepanjang
waktu), need for improvement (kebutuhan untuk memperbaiki tingkah laku), dan need for
enhancement (kebutuhan untuk menciptakan atau mempertahankan perasaan positif dalam
diri).
Self-Esteem
Self-esteem adalah sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif,
secara keseluruhan (Rosenberg, dalam Mruk, 2006). Definisi ini dipilih karena
menggambarkan self-esteem secara global (Emler, 2001; Baumeister et al., 2003). Baumeister
et al. (2003) dan Guindon (2010) menyatakan bahwa self-esteem terdiri dari dua jenis, yakni
global self-esteem dan specific self-esteem. Global self-esteem menekankan pada sikap
seseorang terhadap dirinya secara keseluruhan yang realif stabil. Sedangkan specific selfesteem menekankan pada sikap seseorang terhadap dirinya yang ditinjau dari aspek-aspek
tententu dan bersifat situasional. Baumeister et al. (2003) juga menyatakan bahwa intervensi
pada global self-esteem lebih baik daripada specific self-esteem. Hal ini dikarenakan
intervensi pada global self-esteem secara afektif lebih berpengaruh terhadap keberhargaan diri
seseorang secara keseluruhan, sedangkan intervensi pada specific self-esteem hanya pada
aspek-aspek tertentu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-esteem menurut Mruk
(2006) antara lain perasaan diterima oleh orang lain, kemampuan seseorang dalam
berinteraksi di lingkungannya, dan keberhasilan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi selfesteem juga dikemukakan oleh Emler (2001), antara lain ras/etnis, status sosial, gender,
penampilan fisik, dan orangtua.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
6
Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana
Berdasarkan pembagian usia yang dikemukakan oleh Levinson (dalam Berk, 2011),
mahasiswa berada pada tahap perkembangan early adult transition (17-22 tahun). Pada tahap
ini, seseorang akan membangun sebuah image tentang tujuan yang hendak dicapai di masa
mendatang. Image ini kemudian menjadi bahan pertimbangan orang tersebut untuk membuat
keputusan. Ilmu psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
aplikasinya pada masalah-masalah yang dihadapinya (Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, 2012). Tujuan mempelajari psikologi adalah agar dapat memberikan penjelasan
dan gambaran tentang tingkah manusia, sekaligus membuat prediksi tentang kemungkinan
terjadinya suatu tingkah laku, serta melakukan modifikasi tingkah laku (Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, 2012).
Dari penjelasan mengenai tujuan pendidikan psikologi jenjang sarjana di atas, dapat
disimpulkan bahwa mahasiswa psikologi jenjang sarjana merupakan mahasiswa yang
dipersiapkan untuk dapat memahami dirinya sendiri dan mengatasi masalahnya sendiri. Selain
itu, mahasiswa psikologi jenjang sarjana juga dipersiapkan untuk memahami orang lain dan
membantu mengatasi masalah orang lain.
Metode Penelitian
Berdasarkan desain penelitian yang dijelaskan oleh Gravetter dan Forzano (2009),
penelitian ini tergolong deskriptif dan korelasional yang bertujuan untuk melihat gambaran
umum dan hubungan dari variabel self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi
program studi sarjana.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa jenjang sarjana reguler
dan paralel Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dari tingkat pertama hingga tingkat
akhir, yakni yang pada tahun ajaran 2012/2013 terdiri dari angkatan 2009, 2010, 2011, dan
2012, serta berusia 17 sampai dengan 22 tahun. Berdasarkan Gravetter dan Forzano (2009),
prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience
sampling, dimana peneliti memilih mahasiswa jenjang sarjana reguler dan paralel Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia yang telah menyatakan kesediaannya untuk menjadi
responden. Untuk mencapai distribusi data yang mendekati kurva normal, diperlukan jumlah
sampel minimal sebanyak 30 responden (Gravetter & Forzano, 2009). Berdasarkan
pertimbangan ini, peneliti berencana untuk mengambil sampel minimal sebanyak 120
responden yang terbagi dalam angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012, sehingga di tiap
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
7
angkatan akan diperoleh sampel minimal sebanyak 30 responden.
Terdapat dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni self-regulation dan
self-esteem. Self-regulation diukur menggunakan Short Self-Regulation Questionnaire
(SSRQ) yang dikembangkan oleh Carey, Neal, dan Collins (2004). Alat ukur ini merupakan
bentuk sederhana dari Self-Regulation Questionnaire (SRQ) yang dikembangkan oleh Brown,
Miller, dan Lawendowski pada tahun 1999 (Carey, Neal, & Collins, 2004). Sama halnya
dengan SRQ, item-item pada SSRQ merupakan single factor dan bertujuan untuk mengukur
kapsitas regulasi tingkah laku individu. Sementara itu, self-esteem diukur menggunakan
Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) yang dirancang oleh Morris Rosenberg pada tahun 1965
(Heatherton & Wyland, 2003). Item-item pada RSES merupakan single factor dan bertujuan
untuk mengukur self-esteem individu secara umum (Byrne, dalam Schmitt & Allik, 2005).
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran data
demografis responden dan hasil data kuesioner. Teknik-teknik statistik yang digunakan antara
lain statistik deskriptif, One-Way Analysis of Variance (ANOVA), dan Pearson Correlation.
Hasil Penelitian
Data yang diperoleh sebanyak 173 kuesioner dan rincian data demografis berupa
angkatan, usia, dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Gambaran Demografis Responden berdasarkan Agkatan, Usia, dan Jenis
Kelamin
Aspek Demografis
Angkatan
2009
2010
2011
2012
Total
Usia
17
18
19
20
21
22
Total
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Total
Frekuensi
51
36
37
49
173
3
31
42
30
47
20
173
146
27
173
%
29,5
20,8
21,4
28,3
100
1,7
17,9
24,3
17,3
27,2
11,6
100
84,4
15,6
100
Berdasarkan uji reliabilitas alat ukur SSRQ, diperoleh koefisien alpha sebesar 0,851
yang berarti item-item pada alat ukur ini memiliki konsistensi internal yang baik (Anastasi &
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
8
Urbina, 1997), dimana 85,1% dari hasil alat ukur ini berhasil mengukur self-regulation pada
mahasiswa psikologi program studi sarjana dan 14,9% sisanya tidak mengukur selfregulation. Sementara itu, berdasarkan uji reliabilitas alat ukur RSES, diperoleh koefisien
alpha sebesar 0,839 yang berarti item-item pada alat ukur ini memiliki konsistensi internal
yang baik (Anastasi & Urbina, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa 83,9% dari hasil alat ukur
ini berhasil mengukur self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana dan 16,1%
sisanya tidak mengukur self-esteem.
Selain uji reliabilitas, dilakukan pula uji validitas terhadap item-item pada SSRQ dan
RSES. Uji validitas item dilakukan dengan menggunakan construct-identification procedures
yang secara khusus menggunakan teknik internal consistency, dimana skor pada setiap item
dikorelasikan dengan skor total dari alat ukur. Dari hasil uji validitas item yang dilakukan
pada SSRQ, diketahui bahwa 29 dari 31 item pada alat ukur ini memiliki skor lebih dari 0,2,
dimana menurut Aiken dan Groth-Marnat (2006), batas minimal indeks validitas item yang
baik adalah 0,2. Dua item yang memiliki indeks validitas di bawah 0,2 adalah item nomor 8
dan 17, dimana indeks validitas item nomor 8 sebesar 0,191 dan item nomor 17 sebesar 0,201. Peneliti kemudian melakukan eliminasi terhadap item nomor 17, karena item tersebut
memiliki indeks validitas item yang kurang baik, sedangkan item nomor 8 tetap
dipertahankan karena indeks tersebut mendekati 0,2. Setelah melakukan eliminasi terhadap
item nomor 17, koefisien reliabilitas alat ukur ini meningkat menjadi 0,864. Kemudian dari
hasil uji validitas item yang dilakukan terhadap RSES, diketahui pula bahwa alat ukur ini
memiliki item-item yang baik karena indeks validitas keseluruhan item memiliki skor lebih
dari 0,2.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap 30 item dari alat ukur SSRQ,
diketahui bahwa mean skor total self-regulation adalah 84,98 (SD = 8,189). Sedangkan nilai
minimum yang diperoleh dari skor total self-regulation adalah 64 dan nilai maksimum dari
skor total self-regulation adalah 110. Setelah itu peneliti melakukan perhitungan statistik
dengan teknik One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui gambaran selfregulation berdasarkan angkatan mahasiswa atau lamanya pengalaman berkuliah pada
mahasiswa. Gambaran ini diketahui dengan cara membandingkan mean skor self-regulation
responden di tiap angkatan (angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012). Dari hasil perhitungan
yang dilakukan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mean skor
self-regulation dengan angkatan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan mean
skor self-regulation bukan disebabkan oleh lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa.
Rincian skor self-regulation di tiap angkatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
9
Tabel 2. Gambaran Self-Regulation berdasarkan Angkatan Mahasiswa
Karakteristik
Angkatan Mahasiswa
2009
2010
2011
2012
N
51
36
37
49
M
84,35
87,47
83,68
84,80
SD
7,456
8,389
9,612
7,441
F
1,547
p
0,204
Gambaran total skor self-regulation kemudian dibuat norma dan dibagi berdasarkan
kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi ini dilakukan berdasarkan mean
skor total dan standar deviasi (z-score). Rincian tingkat self-regulation pada responden dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Tingkat Self-Regulation Responden
Tingkat
Range
Rendah
Sedang
Tinggi
< 76,79
76,79 – 93,71
> 93,71
Skor SelfRegulation
64-76
77-93
94-110
Total
2009
15,7
78,4
5,9
100
Responden (%)
2010
2011
5,6
27,0
66,7
59,5
27,8
13,5
100
100
2012
10,2
79,6
10,2
100
M = 84,98 (SD = 8,189)
Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa range skor self-regulation responden adalah
76,79 sampai dengan 93,17. Berdasarkan range skor tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tingkat self-regulation sebagian besar responden tergolong sedang. Dari Tabel 3, dapat
diketahui pula bahwa mahasiswa dengan tingkat self-regulation tinggi didominasi oleh
angkatan 2010, tingkat self-regulation sedang didominasi oleh angkatan 2012, dan tingkat
self-regulation rendah didominasi oleh angkatan 2011.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap kesepuluh item RSES, diketahui
bahwa mean skor total self-esteem adalah 29,21 (SD = 3,968). Sedangkan nilai minimum
yang diperoleh dari skor total self-esteem adalah 15 dan nilai maksimum dari skor total selfesteem adalah 40. Setelah itu peneliti juga melakukan perhitungan statistik dengan teknik
One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui gambaran self-esteem
berdasarkan angkatan mahasiswa atau lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa.
Gambaran ini diketahui dengan cara membandingkan mean skor self-esteem responden di tiap
angkatan (2009, 2010, 2011, dan 2012). Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mean skor self-esteem dengan
angkatan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan mean skor self-esteem bukan
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
10
disebabkan oleh lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa. Rincian skor self-esteem di
tiap angkatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Gambaran Self-Esteem berdasarkan Angkatan Mahasiswa
Karakteristik
Angkatan Mahasiswa
2009
2010
2011
2012
N
51
36
37
49
M
28.71
29.94
28.95
29.39
SD
3.196
4.256
3.873
4.536
F
0,770
P
0,512
Gambaran total skor self-esteem ini kemudian juga dibuat norma dan dibagi
berdasarkan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi ini dilakukan
berdasarkan rata-rata total skor dan standar deviasi (z-score). Ringkasan tingkat self-esteem
pada responden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Self-Esteem Responden
Tingkat
Range
Rendah
Sedang
Tinggi
< 25,24
25,24 – 33,19
> 33,19
Skor SelfRegulation
15-25
26-33
34-40
Total
2009
9,8
86,3
3,9
100
Responden (%)
2010
2011
13,9
16,2
66,7
70,3
19,4
13,5
100
100
2012
12,2
73,5
14,3
100
M = 29,21 (SD = 3,968)
Dari Tabel 5, dapat diketahui bahwa range skor self-regulation responden adalah
25,24 sampai dengan 33,19. Berdasarkan range skor tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tingkat self-esteem sebagian besar responden tergolong sedang. Dari Tabel 5, dapat diketahui
pula bahwa mahasiswa dengan tingkat self-esteem tinggi didominasi oleh angkatan 2010,
tingkat self-esteem sedang didominasi oleh angkatan 2009, dan tingkat self-esteem rendah
didominasi oleh angkatan 2011.
Untuk korelasi antara self-regulation dengan self-esteem, diperoleh hasil koefisien
korelasi (r) sebesar 0,519 dan signifikan pada LOS 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dengan self-esteem. Teknik Pearson
Correlation ini kemudian juga digunakan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara
self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan. Rincian mengenai perhitungan
korelasi self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan ini dapat dilihat pada
Tabel 6.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
11
Tabel 6. Hubungan antara Self-Regulation dan Self-Esteem Mahasiswa di tiap
Angkatan
Angkatan Mahasiswa
2009
2010
2011
2012
r
0,501
0,656
0,310
0,602
p
0,001
0,001
0,031
0,001
Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara self-regulation dengan self-esteem pada mahasiswa baik di angkatan 2009, 2010, 2011,
maupun 2012. Dari Tabel 6 juga diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki hubungan selfregulation dan self-esteem terkuat ada pada angkatan 2010, sedangkan yang terlemah ada
pada angkatan 2011.
Diskusi
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa self-regulation memiliki hubungan positif yang
signifikan dengan self-esteem. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Carey, Neal, dan
Collins, serta Neal dan Carey, terkait self-regulation, dan juga pernyataan dari Kalaian (dalam
Allen), serta Rhodewalt dan Tragakis terkait self-esteem. Carey, Neal, dan Collins (2004),
serta Neal dan Carey (2005) menyatakan bahwa self-regulation memiliki fokus pada tingkah
laku yang mengarah pada tujuan yang diinginkan. Mengenai self-esteem, Kalaian (dalam
Allen, 1993) juga menyatakan bahwa ketika seseorang memiliki self-esteem yang baik, ia
akan memiliki harapan yang tinggi dan akan berusaha untuk mencapai harapan tersebut.
Rhodewalt dan Tragakis (2003) juga menyebutkan bahwa self-esteem merupakan sumber dan
hasil dari tingkah laku yang mengarah pada tujuan. Dari pernyataan Carey, Neal, dan Collins,
Neal dan Carey, Kalaian (dalam Allen), serta Rhodewalt dan Tragakis ini dapat disimpulkan
bahwa baik self-regulation maupun self-esteem memiliki fokus yang sama, yakni berkaitan
dengan tingkah laku yang mengarah pada tujuan atau goal-directed behavior.
Hasil penelitian ini juga mendukung pernyataan Fiske dan Taylor (2008) mengenai
salah satu faktor yang mempengaruhi self-regulation, yakni need for enhancement. Untuk
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang perlu merasa dirinya memiliki kualitas yang
baik dan perasaan tersebut baru akan muncul ketika orang tersebut memiliki self-esteem yang
baik pula. Crocker et al. (2006) juga menyatakan bahwa self-esteem dianggap penting dalam
menunjang self-regulation karena pada dasarnya seseorang memiliki motivasi untuk sukses
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
12
dan cenderung menghindari kegagalan. Orang yang memiliki self-esteem tinggi cenderung
lebih mampu bertahan ketika sedang menghadapi situasi sulit, dibandingkan dengan orang
yang memiliki self-esteem rendah (Baumeister et al., 2003). Kemampuan dalam bertahan ini
adalah bagian dari kemampuan self-regulation seseorang untuk tetap fokus pada tujuan yang
telah ditetapkan (Crocker et al., 2006). Crocker et al. (2006) kemudian juga menambahkan
bahwa kesuksesan seseorang dalam melakukan self-regulation bukan dilihat dari tinggi atau
rendahnya self-esteem yang dimiliki orang tersebut, melainkan dilihat dari keinginan orang
tersebut untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan self-esteem yang dimilikinya.
Peneliti juga melakukan analisis mengenai gambaran self-regulation dan self-esteem
yang ditinjau dari angkatan mahasiswa. Peneliti melakukan analisis ini karena peneliti
menduga bahwa variasi skor self-regulation dan self-esteem dapat dijelaskan oleh lamanya
pengalaman belajar mahasiswa selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Namun dari hasil analisis yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa perbedaan mean
skor self-regulation dan self-esteem bukan disebabkan oleh angkatan mahasiswa atau lamanya
pengalaman berkuliah mahasiswa. Hal ini bisa disebabkan karena usia mahasiswa angkatan
2009 hingga 2012 berada pada kisaran antara 17 hingga 22 tahun, dimana menurut Levinson
(dalam Berk, 2011), kisaran usia tersebut masih berada pada kategori yang sama, yakni
kategori early adulthood transition. Self-regulation dan self-esteem seseorang pada tahap
early adulthood transition ini sudah mulai stabil, karena pembentukkan self-regulation dan
self-esteem seseorang berada pada masa anak-anak hingga dewasa muda dan cenderung stabil
hingga tahap dewasa madya (Berk, 2011; Guindon, 2010). Hal inilah yang kemudian dapat
menjadi penyebab dari mengapa lamanya pengalaman belajar tidak berpengaruh terhadap
tingkat self-regulation dan self-esteem mahasiswa.
Keterbatasan penelitian ini dapat dilihat dari teknik perolehan data, dimana dalam
penelitian ini, perolehan data dilakukan dengan teknik kuesioner. Jika dibandingkan dengan
teknik wawancara, Kumar (2005) menyatakan bahwa metode perolehan data dengan teknik
kuesioner memang lebih mudah dilakukan karena lebih menghemat waktu dan tenaga, serta
lebih menjamin kerahasiaan identitas responden karena tidak ada interaksi tatap muka antara
peneliti dengan responden. Namun, Kumar (2005) juga menambahkan kekurangan dari teknik
kuesioner, dimana kekurangan yang paling dirasakan oleh peneliti adalah item-item pada alat
ukur SSRQ dan RSES kurang dapat menggali lebih jauh mengenai gambaran self-regulation
dan self-esteem dari responden. Untuk itu diperlukan teknik wawancara untuk dapat
mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran self-regulation dan self-esteem dari masingmasing responden secara lebih detail dan spesifik.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
13
Keterbatasan penelitian berikutnya juga dapat dilihat dari jumlah pengambilan data,
dimana dalam penelitian ini, pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Teknik ini hanya
menggambarkan keadaan self-regulation dan self-esteem responden pada saat itu, sehingga
belum diketahui bagaimana perkembangan self-regulation dan self-esteem responden dari
waktu ke waktu, padahal keberhasilan akademis erat kaitannya dengan self-esteem seseorang
(Guindon, 2010) dan kondisi self-esteem ini dapat menunjang kemampuan self-regulation
seseorang (Crocker et al., 2006). Kemudian, selain mengajarkan mahasiswa mengenai dasar
teoritis ilmu psikologi, pendidikan ilmu psikologi program studi sarjana juga mengajarkan
mahasiswa dalam hal pengembangan kemampuan dan peningkatan kesadaran diri setiap
mahasiswa terhadap diri mereka masing-masing (Goedeke, 2007). Untuk itu, diperlukan
penelitian longitudinal untuk dapat mengetahui perkembangan self-regulation dan self-esteem
responden di tiap periode tertentu, seperti di tiap semester, sebagai bahan perbandingan dan
pertimbangan mahasiswa dan fakultas untuk melakukan asesmen dan intervensi terkait
perkembangan kualitas diri mahasiswa yang seharusnya meningkat seiring makin banyaknya
pengalaman belajar yang didapat, khususnya dengan berkuliah di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan penelitian yang diangkat, dapat diketahui bahwa selfregulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana tergolong sedang.
Kemudian, dapat diketahui pula bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara selfregulation dengan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik self-regulation mahasiswa, maka semakin baik pula selfesteem mahasiswa tersebut. Sebaliknya, semakin buruk self-regulation mahasiswa, maka
semakin buruk pula self-esteem mahasiswa tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal
untuk penelitian selanjutnya, yakni yang pertama, selain menggunakan kuesioner, metode
pengambilan data sebaiknya dilengkapi dengan metode wawancara untuk mendapatkan
gambaran yang lebih detail dan spesifik mengenai self-regulation dan self-esteem dari
responden penelitian. Dengan metode wawancara, diharapkan dapat digali lebih dalam
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
14
mengenai permasalahan yang dirasa paling mengganggu dari masing-masing responden yang
mungkin paling berpengaruh terhadap self-regulation dan self-esteem. Selain itu, dapat digali
juga mengenai bagaimana strategi yang dilakukan oleh masing-masing responden dalam
menunjang self-regulation dan self-esteem.
Kemudian,
sebaiknya
dilakukan
penelitian
longitudinal
untuk
mengetahui
perkembangan self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan, dari tingkat
pertama hingga tingkat terakhir. Hasil penelitian longitudinal ini dapat menjadi asesmen dan
menjadi acuan untuk mengadakan intervensi pada saat orientasi mahasiswa, seperti pada saat
Kegiatan Awal Mahasiswa Baru (KAMABA), supaya para dosen mendapat catatan penting
mengenai tingkat self-regulation dan self-esteem mahasiswa pada saat masuk tingkat pertama
dan juga memperoleh data mengenai mahasiswa mana saja yang perlu mendapat perhatian
khusus terkait kualitas diri mereka, terutama pada self-regulation dan self-esteem. Selain itu,
intervensi awal juga dilakukan agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri sebelum memasuki
dunia perkuliahan dengan memahami pentingnya self-regulation dan self-esteem, serta
diharapkan juga mahasiswa dapat menerapkan segala aspek yang terdapat dalam dua hal
tersebut. Asesmen dan intervensi ini dapat dilakukan secara berkala, seperti di tiap semester
untuk dapat mengetahui perkembangan kualitas diri mahasiswa.
Terakir, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat
kebijakan di fakultas, terutama para dosen dan pembimbing akademik, untuk lebih peduli
terhadap kondisi psikologis mahasiswa, terutama yang terkait dengan self-regulation dan selfesteem. Selain bagi pihak fakultas, hasil penelitian ini diharapkan juga bisa meningkatkan
kesadaran mahasiswa untuk memanfaatkan fasilitas konseling di fakultas guna meningkatkan
kualitas diri.
Daftar Referensi
Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment (12th ed.).
Boston: Pearson.
Allen, D. J. Y. (1993). The Effects of a Self-Esteem Training Program on Self- Esteem and
College Persistence. Arkansas: University of Arkansas (Disertasi).
Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing: Seventh edition. New Jersey:
Prentice-Hall.
Baumeister, R. F., Campbell, J. D., Krueger, J. I., & Vohs, K. D. (2003). Does high selfesteem cause better performance, interpersonal success, happiness, or healthier
lifestyles? Psychological science in the public interest, 4(1), 1-44.
http://www.csom.umn.edu/assets/71496.pdf
Berk, L. E. (2011). Exploring lifespan development: Second edition. Boston: Pearson.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
15
Carey, K. B., Neal, D. J., & Collins, S. E. (2004). A psychometric analysis of the selfregulation
questionnaire.
Addictive
Behaviors,
29,
253–260.
DOI:
10.1016/j.addbeh.2003.08.001
Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2008). Perspective on personality (6th ed.). Boston: Pearson.
Crocker, J., Brook, A. T., Niiya, Y., & Villacorta, M. (2006). The pursuit of self esteem:
Contingencies of self-worth and self-regulation. Journal of personality, 74(6), 1749 –
1771. DOI: 10.1111/j.1467-6494.2006.00427.x
Emler, N. (2001). Self-esteem: The costs and causes of low self-worth. York: Joseph
Rowntree Foundation.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (8 Februari 2012). Program studi S1 sarjana
reguler.
Diunduh
pada
14
Juni
2013
dari
http://www.psikologi.ui.ac.id/pages/program-studi-s1-reguler
Fieske, S. T., & Taylor, S. E. (2008). Social cognition: From brains to culture. New Jersey:
McGraw-Hills.
Goedeke, S. (2007). Teaching psychology at undergraduate level: Rethinking what we teach
and how we teach it. New Zealand journal of teacher’s work, 4(1), 48-63.
http://www.teacherswork.ac.nz/journal/volume4_issue1/goedeke.pdf
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd
ed.). Belmont: Wadsworth.
Guindon, M. H. (2010). What is self-esteem? Dalam M. H. Guindon (Eds). Self-esteem across
the lifespan: Issues and interventions (hal. 3-24). New York: Taylor and Francis
Group.
Guthrie, E., & Black, D. (1997). Psychiatric disorder, stress, and burn-out. Advances in
psychiatric treatment, 3, 275-281. http://apt.rcpsych.org/content/3/5/275.full.pdf
Heatherton, T. F., & Wyland, C. L. (2003). Assessing self-esteem. Dalam S. J. Lopez & C. R.
Snyder (Eds.). Positive psychological assessment: A handbook of models and
measures (hal. 219-233). Washington DC: APA.
Hoyle, R. H. (2010). Personality and Self regulation. Dalam R. H. Hoyle, Handbook of
personality and self-regulation (hal. 1-18). West Sussex: Wiley-Blackwell.
Kumar, R. (2005). Research methodology: a step-by-step guide for beginners (2nd edition).
Thousand Oaks: SAGE Publications.
Mruk, C. J. (2006). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology
of self-esteem (3rd ed.). New York: Springer.
Neal, D. J. & Carey, K. B. (2005). A follow-up psychometric analysis of the self-regulation
questionnaire. Psychology of addictive behaviors, 19(4), 414-422. DOI: 10.1037/0893164X.19.4.414
Rhodewalt, F., & Tragakis, M. W. (2003). Self-esteem and self-regulation: Toward optimal
studies
of
self-esteem.
Psychological
inquiry,
14(1),
66-70.
http://www.jstor.org/discover/10.2307/1449045?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21
102525824007
Ridder, D. T. D. de., & Wit, B. F. de. (2006). Self-regulation in health behavior: Concept,
theories, and central issues. Dalam D. T. D. de Ridder & B. F. de Wit (Eds). Selfregulation in health behavior (hal. 1-24). Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.
Rosli, Y., Othman, H., Ishak, I., Lubis, S. H., Saat, N. Z. M., & Omar, B. (2012). Self-esteem
and academic performance relationship amongst the second year undergraduate
students of Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur Campus. Social and
Behavioral Sciences, 60, 582-589. DOI: 10.1016/j.sbspro.2012.09.426
Schmitt, D. P., & Allik, J. (2005). Simultaneous administration of the Rosenberg self-esteem
scale in 53 nations: Exploring the universal and culture-specific features
of global
self-esteem. Journal of personality and social psychology, 89(4), 623-642. DOI:
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
16
10.1037/0022-3514.89.4.623
Tillet, R. (2003). The patient within – psychopathology in the helping professions. Journal of
continuing professional development, 9, 272-279. DOI: 10.1192/apt.9.4.272
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
17
Download