2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Soedjadi (1996) menyatakan bahwa, analisis adalah rangkaian kegiatan pemikiran yang logis, rasional, sistematis dan obyektif dengan menerapkan metodologi atau teknik ilmu pengetahuan, untuk melakukan pengkajian, penelaahan, penguraian, pemerincian dan pemecahan terhadap suatu obyek atau sasaran sebagai satu kebulatan komponen yang utuh ke dalam sub-sub komponen yang lebih kecil, sehingga dapat diperoleh kejelasan-kejelasan tentang fakta, data dari informasi tentang obyek tertentu. Berkaitan dengan penelitian ini, maka analisis yang dimaksud adalah serangkaian kegiatan menguraikan, menelaah dan mengkaji aspek-aspek yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengawasan kapal perikanan. Aspek-aspek tersebut adalah mekanisme kerja, dukungan sumberdaya, dukungan hukum dan kelembagaan serta dukungan peran serta stakeholder yang terkait. 2.2 Kinerja Kinerja berasal dari bahasa sansekerta kinarya yang berarti hasil karya atau hasil kerja. Hasibuan (1994) menyatakan bahwa prestasi kerja (kinerja) merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta ketepatan waktu. Prestasi kerja ini adalah gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi. Ukuran-ukuran kinerja yang digunakan sangat banyak jenisnya. Menurut Furtwengler (2002), kinerja dapat diukur dalam empat hal, yaitu sebagai berikut : 1) Kecepatan Dalam suatu kegiatan pengawasan diperlukan petugas pengawas yang kinerjanya harus cepat, dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai atau lebih awal dari deadline serta bebas dari kesalahan; 2) Kualitas Kecepatan dalam menghasilkan suatu output pengawasan sumberdaya tanpa disertai kualitas yang dihasilkan tersebut adalah sia-sia. Kualitas yang buruk memungkinkan peluang terjadinya pelanggaran perikanan atau illegal fishing; 3) Layanan Layanan yang buruk selama kegiatan pengawasan dilakukan, maka akan menghapus manfaat yang dicapai dari kecepatan dan kualitas; 4) Nilai Nilai adalah suatu kualitas yang dapat dirasakan yang lebih baik dari yang mereka bayarkan. Ukuran-ukuran kecepatan, kualitas, layanan, dan nilai akan memberikan gambaran mengenai tingkat kinerja dari sumberdaya pengawas pada suatu lembaga satuan pengawas. Tingkat kinerja merupakan prestasi kerja pengawas terkait dengan sikap kerja, pengetahuan dan ketrampilan, serta kesempatan atau peluang. Sikap kerja itu sendiri dipengaruhi oleh motivasi, yang dilandasi oleh sistem budaya atau tradisi, hubungan manajemen dan partisipasi. Pengetahuan dan ketrampilan dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan latihan serta pengalaman. Menurut Furtwengler (2002), ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja karyawannya, antara lain : membuat ukuran kinerja karyawan, mendorong pengembangan karyawan dan mengupayakan kepuasan karyawan. 2.3 Pengawas Perikanan Menurut DKP berdasarkan SK Nomor KEP/59/MEN/SJ/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Administrasi Kepegawaian Jabatan Fungsional Pengawas Perikanan, pengawas perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pengawasan perikanan. Pengawasan Perikanan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap kegiatan usaha perikanan dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan rangkaian usaha perikanan telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk didalamnya kegiatan pemantauan, pemeriksaan, bimbingan teknis, sosialisasi, inspeksi, penilikan, analisis, dan evaluasi. 11 Pengawas Perikanan Bidang penangkapan Ikan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pengawasan penangkapan ikan meliputi dokumen perizinan usaha penangkapan, operasi kapal perikanan, alat penangkapan dan alat bantu penangkapan, hasil tangkapan, anak buah kapal, log book perikana, daerah penangkapan, pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan serta yang berkaitan dengan penangkapan lainnya. Pengawas Perikanan terdiri dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Non PPNS. Pengawas diutamakan yang telah berstatus PPNS Perikanan, sehingga mempunyai kewenangan melakukan tindakan penyidikan secara langsung dalam hal ditemukan bukti awal telah terjadi pelanggaran perikanan. Syarat sebagai PPNS yang sah adalah : 1) Telah mengikuti pelatihan penyidikan di Mabes Polri dan dinyatakan lulus; 2) Mendapat sertifikat sebagai penyidik PNS melalui Menteri Kehakiman; 3) Telah melakukan sumpah jabatan sebagai PPNS didepan Pejabat yang berwenang. Pengawasan kapal ikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus didukung oleh sumber-sumber yang akan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika dan efektifitas keberhasilan suatu organisasi. Kondisi tersebut mengakibatkan kegiatan pengawasan kapal ikan tidak dapat dihitung dengan asas biaya dan manfaat, karena yang penting adalah pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam upaya menciptakan peluang kepada masyarakat saat ini secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Suatu organisasi atau lembaga tidak dapat efektif melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa didukung dengan sumberdaya yang memadai, sumberdaya tersebut adalah : 1) Tenaga pelaksana dalam hal ini adalah petugas pengawas perikanan yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang dan mempunyai kapasitas dan kemampuan yang cakap dan terampil; 2) Uang atau biaya dalam hal ini adalah tersediannya biaya atau anggaran yang jelas sumber atau mata anggarannya sehingga dapat direncanakan untuk membiayai pelaksanaan pengawasan secara berkesinambungan dalam kurun waktu tertentu. Tanpa tersedianya biaya, niscaya pengawasan tidak akan dapat terselenggaranya secara efektif, sistematis dan terukur untuk mencapai target dan tujuan pengawasan kapal ikan; 12 3) Bahan atau alat pengawasan dalam hal ini adalah LBP, alat-alat ukur, barcode, alat dokumentasi dan sebagainya. Tanpa adanya dukungan bahan dan alat bantu pengawasan niscaya pengawasan tidak akan menghasilkan output positif dan berguna, sehingga sulit untuk mendapat simpati dan peran serta masyarakat; 4) Sarana pengawasan dalam ha ini adalah berupa kantor dan perlengkapannya, sarana transportasi, sarana penyidikan termasuk gedung penyimpanan barang bukti dan ruang tahanan, dan kapal pengawas untuk patroli; 5) Metode atau tatacara dalam hal ini adalah pedoman yang tertuang dalam standar operasi dan prosedur pengawasan penangkapan ikan yang mengacu pada SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/02/MEN/2002 tentang Pedoman Pelaksana Pengawasan Penangkapan Ikan. 6) Waktu pengawasan kapal ikan dalam hal ini adalah waktu kerja pengawas perikanan, waktu kerja pengawasan harus diupayakan selama 24 jam dan dapat dilakukan dengan jadual piket antar satuan piket pengawas sekurangkurangnya harus ada satu orang yang berstatus PPNS. 2.4 Pengawasan Handoko (1993) menyatakan bahwa yang dimaksud pengawasan (controlling) adalah suatu proses yang dilakukan untuk menjamin bahwa tujuan suatu organisasi dan manajemen dapat dicapai. Pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelasanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan atau kebijaksanaan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelasnya pengawasan harus berpedoman terhadap rencana (planning) yang telah diputuskan, perintah (order) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance), tujuan dan atau kebijaksanaan yang telah ditentukan sebelumnya (Farlan, 1989 diacu dalam Handayaningrat, 1994). Handayaningrat (1994) menyatakan pengawasan dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidak-sesuaian, penyelewengan dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Jadi maksud pengawasan bukan mencari kesalahan tetapi mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan. Tujuan pengawasan adalah agar pelaksaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 13 Macam-macam Pengawasan (Handayaningrat, 1994) 1) Pengawasan dari dalam adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan yang dibentuk di dalam organisasi itu sendiri, aparat pengawas bertindak untuk dan atas nama pimpinan organisasi. Aparat pengawas ini bertugas mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk perbaikan atau kebijaksaan lebih lanjut; 2) Pengawasan dari luar adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit dari luar organisasi itu. Aparat atau unit pengawasan bertindak atas nama atasan dari pimpinan organisasi itu, atau atas nama pimpinan organisasi itu atas permintaannya; 3) Pengawasan preventif adalah pengawasan sebelum suatu rencana dilaksanakan, pengawasan untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan; 4) Pengawasan represif, pengawasan kapal ikan dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam pelaksanaan izin oleh kapal ikan tersebut, berupa surviellane dengan cara melakukan pemeriksaan secara langsung pelaksanaan kegiatan kapal ikan tersebut di laut. Pengawasan kapal ikan sebagai pengawasan represif dapat menggunakan beberapa sistem (Handayaningrat, 1994) yaitu : 1) Sistem komparatif yaitu mempelajari laporan penangkapan ikan (Fishing Log Book) dibandingkan dengan lamanya trip penangkapan dan jenis ikan yang tertangkap, mengadakan analisa dan memberikan penilaian serta penyempurnaan; 2) Sistem verifikatif yaitu pemeriksaan berdasarkan pedoman atau petunjuk teknis dan dibuat laporan periodik, melihat perkembangan dan penilaian hasil pelaksanaan serta memutuskan tindakan-tindakan lebih lanjut; 3) Sistem Inspekstif yaitu dengan cara mengecek kebenaran dari suautu laporan penangkapan ikan dengan pemeriksaan di tempat (on the spot inspection); 4) Sistem investigative yaitu pemeriksaan dengan titik berat pada penyelidikan atau penelitian yang lebih mendalam terhadap indikasi adanya pelanggaran perikanan, baik dari laporan masyarakat atau dari pengamatan langsung di lapangan, tujuannya untuk memberi keyakinan tentang kebenaran laporan atau dugaan pelanggaran yang telah diterima sebelumnya. Keempat sistem tersebut saat ini dipergunakan dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan kapal ikan di Indonesia dan di kenal dengan sebutan system MCSI singkatan dari Monitoring, Controlling, Surveilance dan Investigation. 14 Pengertian MCS, secara umum dipakai sebagaimana disepakati dalam konferensi FAO tahun 1981 di Roma dengan uraian sebagai berikut : 1) Monitoring – the continuous requirement for the measurement of fishing effort characteristics and resources yields; 2) Control – the regulatory conditions under which the exploitation of the resource may be conducted; 3) Surveillance – the degree and types of observation reguired to maintaian compliance with the regulatory control imposed on fishing activities. MCS bagi setiap negara berbeda tergantung dari pola dan strategi pembangunan Negara yang bersangkutan. Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, mendefinisikan MCS adalah sebagai berikut: 1) Monitoring (Pemantauan) adalah pencarian dan pengumpulan data, informasi, fakta yang dilakukan setiap saat secara berkelanjutan untuk memperoleh kejelasan serta akibat peristiwa yang terjadi; 2) Controlling (Pemeriksaan) adalah upaya menemukan terjadinya sebuah peristiwa yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 3) Surveillance (Pengamatan) adalah tindakan hukum yang dilakukan terhadap suatu peristiwa tindak pidana yang disengaja atau tidak disengaja oleh seseorang atau badan hukum. Metode Pengawasan terdiri dari enam jenis (Handayaningrat, 1994) : 1) Pengawasan langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan langsung pada tempat pelaksanaan pekerjaan, baik dengan sistem inspektif, verifikatif maupun investigatif. Metode ini dimaksudkan agar segera dapat dilakukan tindakan perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan pekerjaan; 2) Pengawasan tidak langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan hanya melalui laporan-laporan yang masuk padanya. Laporan dapat berupa deretan angkaangka statistik dan lain-lain tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan. Kelemahan laporan ini tidak segera mengetahui kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar; 15 3) Pengawasan formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit atau aparat pengawas yang bertindak atas nama pimpinan organisasi itu atau atasan dari pimpinan organisasi itu. Dalam pengawasan ini telah diatur prosedur, hubungan dan tata kerja, dan periode waktunya. Aparat pengawasan ini harus melakukan pengawasan dan pelaporan pengawasannya secara periodik, laporan harus disertai saran-saran perbaikan atau penyempurnaan; 4) Pengawasan informal adalah pengawasan yang tidak melalui saluran formal atau prosedur yang telah ditentukan. Pengawasan informal ini biasanya dilakukan oleh Pejabat Pimpinan dengan melalui kunjungan yang tidak resmi (pribadi), atau secara incginito. Hal ini berguna untuk menghindari kekakuan hubungan antara atasan dan bawahan, sehingga tercipta suasana keterbukaan dalam memperoleh informasi tentang pelaksanaan pekerjaan, usul dan saransaran dari bawahan; 5) Pengawasan adminstratif adalah pengawasan meliputi bidang keuangan, kepegawaian dan material; 6) Pengawasan teknis adalah pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat fisik, misalnya pemeriksaan terhadap pembangunan gedung, pembuatan kapal dan sebagainya; Prinsip-prinsip pengawasan (Handayaningrat,1994) adalah : 1) Pengawasan berorientasi pada tujuan organisasi; 2) Pengawasan harus obyektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi; 3) Pengawasan harus berorientasi pada kebenaran menurut peraturan perundangan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi pada kebenaran atas prosedur yang telah ditetapkan (rechtmatigheid), dan berorientasi terhadap tujuan atau manfaat dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatifheid); 4) Pengawasan harus menjamin daya guna dan hasil guna pekerjaan; 5) Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang obyektif,teliti dan tepat; 6) Pengawasan harus bersifat terus menerus; 7) Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik terhadap perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan dimasa depan. 16 Syarat-syarat pengawasan (Handayaningrat,1994) adalah : 1) Menentukan standar pengawasan yang baik dan dapat dilaksanakan; 2) Menghindari adanya tekanan, paksaan yang menyebabkan penyimpangan dari tujuan pengawasan itu sendiri; 3) Melaksanakan koreksi rencana yang dapat digunakan untuk mengadakan perbaikan serta penyempurnaan rencana yang akan datang. Prosedur pengawasan (Handayaningrat,1994) adalah : 1) Observasi pemeriksaan dan pemerikasaan kembali; 2) Pemberian contoh; 3) Catatan dan laboran; 4) Pembatasan wewenang; 5) Menentukan peraturan-peraturan, perintah-perintah dan prosedur; 6) Anggaran; 7) Sensor dan tindakan disiplin. 2.5 Pengawasan Kapal Perikanan Pengawasan kapal perikanan adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawas yang ditunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk dan Gubernur Propinsi atau Pejabat yang ditunjuk atas nama pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kapal perikanan yang masuk, membongkar ikan hasil tangkapan serta kapal perikanan yang keluar pelabuhan dengan tatacara dan prosedur sebagaimana ditetapkan. Pelaku utama pengawasan kapal perikanan adalah pemerintah atau petugas yang ditunjuk atas nama pemerintah. Pertimbangan pemerintah utamanya adalah efektifitas dan bukan efisiensi, karena sulit untuk mengukur efisiensi dalam pekerjaan pemerintah, (Handayaningrat,1994). Pengawasan kapal perikanan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus didukung oleh sumber-sumber yang akan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan serta memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika dan evektivitas keberhasilan suatu organisasi. Soedjadi (1995) menyatakan bahwa, organisasi tak mungkin dapat melaksanakan tugasnya tanpa didukung dengan sumber-sumber atau sarana-sarana yang akan didayagunakan untuk mencapai tujuan organisasi. Sumber-sumber tersebut adalah : 17 1) Manusia atau tenaga kerja; 2) Uang atau biaya; 3) Bahan-bahan atau meterial; 4) Mesin dan peralatan; 5) Metode; 6) Waktu. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengawasan adalah sebagai berikut : 1) Berkaitan dengan perizinan perikanan meliputi : (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia (ZEEI); (2) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; (3) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2002 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; (4) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2002 tentang usaha perikanan; (6) Peraturan pemerintah nomor 54 tahun 2002 tentang usaha perikanan; (7) Peraturan Pemerintah nomor 22 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; (8) Keputusan Menteri Kalautan Nomor KEP/10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan; 2) Berkaitan dengan fisik kapal (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran; (2) Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor KEP/60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI; (3) Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor KEP/28/MEN/2003 tentang Produktifitas Kapal Penangkap Ikan. 3) Berkaitan dengan alat penangkapan ikan (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup; (3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/28/MEN/2003 tentang Produktifitas Kapal Penangkap Ikan; (4) Keputusan Dirjen Perikanan Nomor 10/1982 tentang Pukat Udang; (5) Keputusan Dirjen Perikanan Nomor 340/1990K tentang Pukat Ikan; (6) Keputusan Dirjen Perikanan Nomor 340/1990 tentang Long Line. 18 4) Berkaitan dengan ABK (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP/781/MEN/1985 tentang Pembatasan penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP); (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER/03/MEN/1985 tentang pemberian Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; (3) Keputusan menteri Kehakiman Nomor M.02.IZ.01.10 tahun 1995 tentang Kemudahan Keimigrasian diganti dengan : Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M. 01.IZ.01.10 tahun 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Nomor M.02.IZ.01.10 tahun 1995 tentang Visa Singgah,Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian; (4) Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-658.IZ.01.10 tahun 2003 tentang Kemudahan Khusus Keimigrasian. 5) Berkaitan dengan Daerah Penangkapan dan jalur-jalaur penangkapan Ikan (1) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) Di Wilayah Perikanan Republik Indonesia; (2) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang JalurJalur Penangkapan Ikan. 6) Berkaitan dengan Penerapan LBP dan SLO (1) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/02/MEN/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan pengawasan penangkapan Ikan; (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/02/MEN/2002 tentang log book penangkapan dan Pengangkutan Ikan. 7) Berkaitan dengan VMS (1) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan; (2) Pelatihan teknis pemasangan VMS. 19 2.6 Obyek Pengawasan Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004, obyek pengawasan perikanan meliputi : 1) Penangkapan dan atau pengangkutan ikan ( pasal 7 ayat (2); pasal 8 ayat (1), (2), dan (3); pasal 9 ; pasal 27 ; pasal 28, pasal 31 ; pasal 38 ; pasal 43 ; pasal 44); 2) Pembudidayaan ikan ( pasal 7 ayat (2) ; pasal 8 ayat (4) dan (5) ; pasal 12 ayat (1), (2), (3), dan (4) ); 3) Pengangkutan ikan hidup antar pulau dalam wilayah Republik Indonesia atau antara wilayah Republik Indonesia dengan negara lain (pasal 7 ayat (2)); 4) Suaka perikanan (pasal 7 ayat (2)); 5) Jenis ikan yang dilindungi (pasal 7 ayat (2)); 6) Plasma nutfah ( pasal 7 ayat (2) ; pasal 14 ayat (4)); 7) Penggunaan bahan dan atau atau alat dan atau atau cara dan atau atau bangunan yang merugikan dan atau atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan da atau atau lingkungannya (pasal 7 ayat (2) dan pasal 8 ayat (5)); 8) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya (pasal 7 ayat (2)); 9) Penaatan persyaratan atau standard operasional prosedur penangkapan ikan (pasal 7 ayat (2)); 10) Wabah, hama dan penyakit ikan (pasal 7 ayat (2); pasal 21; pasal 23; pasal 26); 11) Distribusi dan pemasaran hasil perikanan ( pasal 16 ayat (1) ; pasal 26); 12) Penanganan dan pengolahan hasil perikanan ( pasal 20 ayat (3)); 13) Penelitian perikanan ( pasal 55); Hal ini sejalan dengan yang tertuang dalam pasal 66 ayat (1) bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. Didalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) dinyatakan bahwa pengawas perikanan antara lain pengawas penangkapan, pengawas perbenihan, pengawas budidaya, pengawas hama dan penyakit ikan, dan pengawas mutu. 20 Obyek pengawasan kapal perikanan meliputi : 1) Pemeriksaan dokumen perizinan kapal perikanan 2) Pemeriksaan fisik kapal perikanan 3) Pemeriksaan alat penangkapan ikan 4) Pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan 5) Pemeriksaan peralatan lainnya 6) Pemeriksaan jumlah dan komposisi Awak Buah kapal (ABK) Asing 7) Pemeriksaan kegiatan dan hasil penangkapan dan pengangkutan ikan 8) Ketaatan di pelabuhan pangkalan, bongkar muat dan atau atau pelabuhan lapor 9) Pengawasan jalur penangkapan ikan 10) Pemeriksaan daerah operasi penangkapan dan pengangkutan ikan 11) Pengawasan penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Surat Laik Operasi (SLO) kapal perikanan 12) Pengawasan penerapan Vessel Monitoring System (VMS) 2.7 Kapal Perikanan Menurut Nomura & Yamazaki (1997) bahwa kapal perikanan adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang mencakup penggunaan atau aktivitas penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya perairan, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas seperti riset, training dan inspeksi sumberdaya perairan. Lebih lanjut Fyson (1985) mengemukakan bahwa kapal perikanan adalah kapal yang dibangun untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha penangkapan ikan dengan ukuran, rancangan bentuk dek, kapasitas muat, akomodasi, mesin serta berbagai perlengkapan yang secara keseluruhan disesuaikan dengan fungsi dalam rencana operasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan bahwa kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan,pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. 21 Code of Conduct for Responsible Fisheries pada artikel 8.2.1 menerangkan bahwa negara pemegang bendera harus menjaga dokumen atau data kapal ikan yang diberi hak mengibarkan benderanya dan kewenangan melakukan penangkapan ikan serta harus menunjukkan beberapa rincian data kapal, kepemilikan dan kewenangan menangkap ikan. Artikel 8.2.3 disebutkan bahwa kapal-kapal ikan yang diberi wewenang melakukan penangkapann ikan pada perairan laut bebas atau di dalam perairan di bawah yuridiksi negara lain dari pada negara pemegang bendera, harus ditandai dengan keseragaman dan sistem penandaan kapal yang dikenal secara internasional seperti spesifikasi FAO dan petunjuk penandaan dan identifikasi kapal-kapal ikan. Kapal perikanan, harus menunjukkan informasi tentang : 1) Pihak yang memberi izin; 2) Ukuran (GT); 3) Daerah penangkapan; 4) Keterangan pemilik. Kapal perikanan dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan setiap kapal perikanan yang digunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI. Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagai persyaratan untuk mendapatkan surat izin berlayar dari syahbandar. Fungsinya kapal perikanan meliputi : 1) Kapal penangkap ikan; 2) Kapal pengangkut ikan; 3) Kapal pengolah ikan; 4) Kapal latih perikanan; 5) Kapal penelitian atau eksplorai perikanan; 6) Kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. 22 Fyson (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi desain suatu kapal ikan yaitu : 1) Tujuan penangkapan; 2) Alat dan metode penangkapan; 3) Kelaiklautan dari kapal dan keselamatan awak kapal; 4) Peraturan-peraturan yang berhubungan dengan desain kapal ikan; 5) Pemilihan material yang tepat untuk kontruksi; 6) Penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan; 7) Faktor-faktor ekonomi. Nomura dan Yamazaki (1977) menyatakan bahwa sifat operasi kapal ikan selalu berpindah-pindah dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lain, sehingga kapal ikan harus mempunyai kontruksi yang kuat. Disamping itu, kondisi laut dan getaran mesin kapal akan mempengaruhi kekuatan kontruksi kapal. Persyaratan minimal untuk kapal ikan ketika melakukan operasi penangkapan adalah sebagai berikut : 1) Memiliki kekuatan struktur badan kapal; 2) Memiliki stabilitas yang tinggi; 3) Memiliki fasilitas untuk penyimpanan. Karakteristik yang membedakan kapal ikan dengan jenis kapal lainnya (Nomura dan Yamazaki, 1977) adalah : 1) Kecepatan kapal Membutuhkan kecepatan yang tinggi untuk mengejar kelompok ikan serta membawa hasil tangkapan yang segar dalam waktu yang pendek atau kisaran kecepatan dalam operasi sangat bervariasi. 2) Kemampuan olah gerak kapal Membutuhkan olah gerak yang baik pada saat pengoperasian alat tangkap, seperti kemampuan steerability yang baik, radius putaran (turning circle) yang kecil dan daya dorong mesin (propulsion engine) yang dapat dengan mudah untuk bergerak maju dan mundur. 3) Kelaik lautan Laik (layak) digunakan untuk operasi penangkapan ikan dan cukup tahan untuk melawan kekuatan angin, gelombang, memiliki stabilitas yang baik dan gaya apung yang cukup diperlukan untuk menjamin keamanan dalam pelayaran. 23 4) Luas area pelayaran Area pelayaran kapal ikan luas karena pelayarannya ditentukan oleh pergerakan kelompok ikan, daerah musim, berpindahan daerah penangkapan ikan dan lain-lain. 5) Kontruksi badan kapal yang kuat Kontruksi harus kuat karena dalam operasi penangkapan ikan akan menghadapi kondisi alam yang berubah-ubah dan tahan terhadap getaran yang disebabkan oleh kerja mesin atau menahan faktor internal dan eksternal. 6) Daya dorong mesin Membutuhkan daya dorong mesin yang cukup besar, dengan volume mesin yang kecil dan getaran mesin yang kuat. 7) Fasilitas penyimpanan dan pengolahan ikan Penyimpanan hasil tangkapan dalam ruang tertentu dengan fasilitas ruang pendingin, ruang pembekuan atau dengan es untuk menghindari pengaruh luar yang akan menurunkan mutu ikan. Pengolahan ikan membutuhkan mesin-mesin untuk pengolahan (pengalengan dan pengolahan tepung ikan) pada ikan. 8) Mesin-mesin penangkapan Umumnya dilengkapi dengan alat bantu penangkapan untuk membentuk kelancaran operasi penangkapan ikan seperti winch, power block, line hauler dan sebagainya. 2.8 Dukungan Dalam Pengawasan Kapal Perikanan 2.8.1 Hukum dan kelembagaan Dukungan hukum yang dimaksud adalah berupa landasan hukum yang menjadi dasar hukum kebijakan pengawasan sampai dengan aturan-aturan pelaksanaan pengawasan kapal perikanan di lapangan, sehingga secara hukum dapat dibenarkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan Pengawasan kapal ikan adalah kegiatan yang bersifat mengikat dan wajib diindahkan terutama oleh pihak-pihak yang terkait oleh karena itu dasar hukum kebijakannya harus berupa undang-undang dan Peraturan Pemerintah untuk tingkat nasional dan peraturan daerah untuk tingkat propinsi, sedang peraturan pelaksanaannya harus oleh pejabat yang berwenang.Dukungan Kelembagaan yang dimaksud adalah lembaga atau organisasi pengawas perikanan dan kelembagaan atau proses memasyarakatkan kegiatan pengawasan kapal perikanan, artinya kelembagaan mempunyai dua makna yaitu sebagai wadah dan sebagai proses. 24 Dahuri, et. al (1996) menyatakan bahwa kelembagaan dapat diartikan dalam dua bagian, pertama kelembagaan sebagai institut yaitu lembaga atau organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kegitan. Kelembagaan sebagai institut dikembangkan dalam tiga aspek yaitu : 1) Peningkatan kemampuan aparatur yang bekerja pada lembaga tersebut dan memobilisasi tenaga untuk bekerja di lembaga tersebut; 2) Menyediakan fasilitas ruang kantor, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga tersebut; 3) Penyediaan dana operasional dan pemeliharaan serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Kedua, kelembagaan sebagai proses pelembagaan nilai-nilai yang dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat (target atau pengguna jasa lembaga tersebut). Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan perundangan, peraturan daerah, seperti tata ruang wilayah pesisir, petunjuk teknis operasional bagi pengawas perikanan, informasi potensi sumberdaya ikan dan bentuk-bentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Pengembangan dukungan sumberdaya dalam pengawasan kapal perikanan yang diperlukan antara lain, 1) Peningkatan kemampuan petugas pengawas perikanan, 2) Penyediaan sarana kantor dan perlengkapannya, 3) Penyediaan peralatan dan bahan pengawasan, 4) Penyediaan dana operasional dan pemeliharaan serta pengadaan fasilitas lain yang mendukung efektifitas pengawasan kapal perikanan. Disamping dukungan sumberdaya tersebut yang tak kalah penting harus diperhatikan adalah dalam proses rekruitmen petugas pengawas perikanan, seperti diketahui kegiatan pengawasan adalah kegiatan yang bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan memaksa, maka petugas pengawas perikanan yang ditunjuk harus memenuhi beberapa persyaratan dan kesiapan mental dan fisik yang memadai, sehingga mampu menjawab tantangan dalam pelaksanaan tugas di lapangan. 25 2.8.2 Dukungan sumberdaya Soedjadi (1995) menyatakan suatu organisasi atau lembaga tidak dapat efektif melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa didukung dengan sumberdaya yang memadai, sumberdaya tersebut adalah : 1) Tenaga pelaksana Tenaga pelaksana dalam hal ini adalah petugas pengawas perikanan yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang dan mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai pengawas perikanan yang cakap dan terampil. Pengawas perikanan diutamakan yang telah berstatus PPNS yang mempunyai kartu anggota dan telah disumpah oleh pejabat yang berwenang sehingga sah secara hukum dapat melakukan tindakan penyidikan lebih lanjut bila ditemukan adanya bukti awal telah terjadi pelanggaran perikanan. Tanpa kewenangan yang bersifat memaksa dan sah secara hukum, niscaya kegiatan pengawasan tidak akan berjalan efektif sebagaimana diharapkan. 2) Uang atau biaya Tersedianya biaya atau anggaran yang jelas sumber atau mata anggarannya sehingga dapat direncanakan untuk membiayai pelaksanaan pengawasan secara berkesinambungan dalam kurun waktu tertentu, termasuk untuk biaya operasional penyelidikan dan penyidikan. Tanpa tersedianya biaya, niscaya pengawasan tidak akan dapat terselenggara secara efektif, sistematis dan terukur untuk mencapai target dan tujuan pengawasan kapal perikanan. 3) Sarana dan prasarana pengawasan Sarana dan prasarana pengawasan yang ada berupa kantor dan perlengkapannya, sarana transportasi, sarana penyidikan termasuk gudang penyimpanan barang bukti dan ruang tahanan bila diperlukan, kapal pengawas, alat komunikasi (SSB), CDB, VMS dan lain sebagainya. Sarana prasarana tersebut mutlak diperlukan sebagai dukungan dalam proses kegiatan pengawasan kapal perikanan. 4) Bahan atau alat pengawasan Bahan atau alat pengawasan berupa alat pengawasan berupa Log Book perikanan dan surat laik operasi, alat-alat ukur, alat dokumentasi, barcode dan sebagainya. Tanpa adanya dukungan bahan dan alat bantu pengawasan, niscaya pengawasan tidak akan menghasilkan output positif dan berguna, sehingga sulit untuk mendapat simpati apalagi peran serta masyarakat. 26 5) Metode atau tata cara Pedoman yang tertuang dalam standar operasional pengawasan yang ada harus mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/02/MEN/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Sumberdaya Perikanan. 6) Waktu pengawasan kapal perikanan Waktu kerja para pengawas perikanan harus diupayakan selama 24 jam dan dapat dilakukan dengan jadual piket antar satuan pengawas. Setiap satuan piket pengawas sekurang-kurangnya harus ada satu orang yang berstatus PPNS. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya cacat hukum dalam pelaksanaan pengawasan, terutama dalam hal pemeriksaan fisik kapal, pemeriksaan alat tangkap serta dokumen perizinan. 2.8.3 Dukungan peran serta stakeholder Pengawasan kapal perikanan mutlak memerlukan dukungan masyarakat, oleh karena itu peran serta pihak-pihak terkait (stakeholder) sangat diperlukan. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan langsung yang berupa peran aktif atau informasi yang dibutuhkan dalam prses pengawasan, atau dukungan tak langsung berupa sikap positif dan tidak mempersulit atau menghalangi-halangi proses pengawasan kapal perikanan, mulai dari proses perencanaan sampai proses pelaksanaan. Terciptanya peran serta stakeholder sangat dipengaruhi oleh mekanisme pengawasan, yaitu bagaimana kinerjanya pengawas perikanan, bagaimana dukungan sumberdaya yang dimiliki, sehingga outputnya akan diperhatikan dan diterima masyarakat sebagai suatu hal yang posistif dan wajar untuk diapresiasi. Dalam hal pengawasan kapal perikanan bahwa kinerja pengawas harus dilakukan semata-mata demi kepentingan publik dengan menjunjung tinggi asas keadilan (Soedjadi, 1995) Indikator peran serta stakeholder dalam proses penelitian ini adalah : 1) Adanya dukungan Kepala Pelabuhan Perikanan dalam bentuk penyediaan: (1) Dukungan sumberdaya untuk melaksanakan pengawasan; (2) Kewenangan pengawas dalam menolak masuknya kapal perikanan yang illegal; (3) Kantor khusus pengawas perikanan beserta perlengkapannya; (4) Honor rutin setiap bulan atau insentif kepada pengawas perikanan. 27 2) Adanya dukungan dari syahbandar pelabuhan dalam bentuk menerima Surat Laik Operasi dari Pengawas sebagai dasar penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB). 3) Kesediaan bekerja sama dari nakhoda dalam memberikan data, fakta dan informasi yang diperlukan dalam pengawasan sehingga memudahkan dan memperlancar proses pengawasan diatas kapal serta kesediaan mengisi Log Book perikanan. 4) Adanya dukungan dari lembaga nelayan (HNSI dan POKMASWAS) dalam bentuk menerima dan membantu pengawasan dalam proses kegiatan pengawasan (Dahuri et. al (1996). 28