1 PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING) SKRIPSI Oleh : DEWI NATALIA E1A109053 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING) SKRIPSI Oleh : DEWI NATALIA E1A109053 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 ii Lembar Pengesahan Skripsi PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING) Disusun Oleh: Dewi Natalia E1A109053 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal 20 Februari 2013 Pembimbing I Tenang Haryanto S.H,M.H NIP. 1196206221987021001 Pembimbing II Penguji Satrio Saptohadi S.H, M.H H.Komari S.H,M.Hum NIP.195410181983031002 NIP.195406061980111001 Mengetahui, DekanFakultasHukumUniversitasJenderalSoedirman Dr.Angkasa,SH.,M.Hum NIP.196409231989011001 iii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : DEWI NATALIA NIM : E1A109053 Judul : “PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)” Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 20 Februari 2013 DEWI NATALIA NIM. E1A109053 iv ABSTRAK Hak-hak asasi bagi para tenaga kerja di Indonesia telah diatur dalam konstitusi baik dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Walaupun telah ada peraturan yang mengatur tentang hak asasi bagi para tenaga kerja, akan tetapi pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran. Terbukti dengan adanya Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang Outsourcing, dimana dalam perkembangannya dengan adanya sistem outsourcing tersebut banyak terjadi pergeseran dalam penerapan sistem outsourcing. Outsourcing yang pada awalnya hanya dikenakan terhadap jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi yaitu kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) pada suatu perusahaan, akan tetapi pada kenyataannya hampir semua jenis pekerjaan dikenakan outsourcing Penelitian ini akan menguraikan berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya bagi tenaga kerja outsoutcing di Indonesia. Metyode penelitian yang digunakan adalah Yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan yaitu Pendekatan Perundang-Undangan. Hasil yang diperoleh bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pekerja outsourcing. Karena dalam putusan tersebut menyatakan bahwa outsourcing hanya diperbolehkan terhadap jenis pekerjaan yang tercantum dalam Pasal 59 UndangUndang Ketenagakerjaan. Untuk menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/ 2011. Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Ketenagakerjaan, Outsourcing v ABSTRACT Human rights for migrant workers in Indonesia have been set in both the 1945 Constitution, Law No. 39 Year 1999 on Human Rights, and the Law No. 13 of 2003 on Manpower. Although there have been regulations governing human rights for migrant workers, but in fact a lot of the offense. Evidenced by the Article 64 of the Manpower Law governing Outsourcing, which in its development with the outsourcing system is much the shift in application outsourcing system. Outsourcing was originally only charged for the type of work that is not directly related to the production process-related activities outside the core business in a company, but in fact almost any kind of work be outsourced. This study will outline relating to the protection of human rights for migrant workers, especially for manpower outsoutcing in Indonesia. Metyode study is normative juridical approach to the approach of Legislation. That the results obtained by the Constitutional Court Decision on Petition for Judicial 27/PUU-IX/2011 the Law No. 13 of 2003 on Manpower of the Constitution of 1945, is a form of legal protection for outsourced workers. Since the ruling states that outsourcing is only allowed to the type of work specified in Article 59 of the Manpower Law. To follow up decision the Constitutional Court, the Ministry of Manpower and Transmigration also issued Circular No. B.31/PHIJSK/I/2012 on the Implementation of the Constitutional Court Decision No. 27/PUU-IX / 2011. Keywords: Human Rights, Manpower, Outsourcing vi KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsiini. Namun berkat bimbingan, bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Tenang Haryanto,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing I skripsi, atas segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 3. Bapak Satrio Saptohadi,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing II skripsi, atas segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. vii 4. Bapak H.A. Komari,SH,M.H selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 5. Ibu Eti Purwiyantiningsih, SH,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama Penulis menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Segenap dosen, karyawan dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama menempuh kuliah. 7. Kedua orang tua saya Bapak Surono dan Ibu Suryati, yang telah melimpahkan perhatian, kasih sayang, dan mendidik penulis serta selalu berdoa untuk keberhasilan penulis. 8. Adikku Aji Yunianto (Nyunyu), imamku Mas Sofyan Tri Wahyudin (Mas Wahyu), dan saudaraku Puput Yuli Safitri (Citroep) yang selalu mendukung dan memberi semangat. 9. Kedua sahabat kecilku, Luthfia Kumara Gazania (Piao_Oo) dan Chiesa Alifisto Deanugra (Cesa_Oces) yang selalu menghiburku. 10. Semua sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Hukum UNSOED Paralel 2009 dan teman-teman seperjuangan dalam penulisan skripsi. 11. Dan semua pihak yang selalu mendukung saya, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, sehingga masih memerlukam pembetulan, untuk itu kritik dan saran akan diterima dengan lapang dada. Penulis mengharapkan viii skripsi ini akan dapat memberikan sumbangsih bagi para pembaca dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Purwokerto, Februari 2013 Penulis ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv ABSRACT ...................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Negara Hukum 1. Pengertian Negara Hukum ............................................................ 7 2. Unsur – unsur Negara Hukum ...................................................... 11 B. Hak Asasi Manusia 1. Pengertian Hak Asasi Manusia ..................................................... 16 2. Perkembangan Hak Asasi Manusia ............................................... 19 C. Ketenagakerjaan 1. Pengertian Tenaga Kerja ............................................................... 29 x 2. Ketenagakerjaan di Indonesia ....................................................... 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ............................................................................. 43 B. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 43 C. Jenis Bahan Hukum ............................................................................ 43 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 44 E. Metode Penyajian Bahan Hukum ....................................................... 44 F. Metode Analisis Bahan Hukum .......................................................... 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ................................................................................... 46 B. Pembahasan ......................................................................................... 58 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 84 B. Saran .................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang berusaha untuk meningkatkan pembangunan disegala bidang kehidupan termasuk salah satunya adalah pembangunan dalam bidang ekonomi. Pembangunan dalam bidang ekonomi ini dilakukan oleh pemerintah melalui program reformasi dibidang ekonomi, akan tetapi cara ini dirasa belum memberikan hasil yang memadai. Sedangkan pembangunan dalam bidang ekonomi sangat penting karena merupakan salah satu faktor penunjang terwujudnya pembangunan nasional. Dengan pembangunan dalam bidang ekonomi, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam lambatnya proses pemulihan ekonomi, salah satunya disebabkan oleh faktor adanya campur tangan oleh pemerintah yang terlalu besar dalam penyelenggaraan pembangunan dibidang ekonomi. Hal ini mengakibatkan kedaulatan ekonomi tidak berada ditangan rakyat. Selain itu, lambatnya pembangunan dalam bidang ekonomi juga dapat terjadi karena pengaruh adanya kesenjangan ekonomi, baik kesenjangan antara pusat dan daerah, kesenjangan antar daerah, kesenjangan antar pelaku, dan kesenjangan antar golongan pendapatan. Namun kesenjangan ekonomi sekarang telah meluas keseluruh aspek 2 kehidupan, yang mengakibatkan berkembangnya sistem monopoli dalam bidang ekonomi. Lambatnya pemulihan ekonomi ini mengakibatkan dampak bagi kehidupan masyarakat, karena pengangguran meningkat, penduduk miskin bertambah, dan lapangan kerja menjadi hal yang susah untuk dicari. Hak dan perlindungan terhadap tenaga kerja juga menjadi tidak terjamin serta kesehatan masyarakat menjadi menurun. Pada kenyataannya, pihak pencari kerja semakin lama jumlahnya semakin banyak. Banyak faktor yang berpengaruh dalam hal ini, salah satunya adalah faktor pemutusan hubungan kerja karena perusahaan yang bangkrut / pailit, atau perusahaan yang pindah ke negara lain atau dapat juga karena adanya akibat dari semakin banyak pencari kerja yang belum tersalurkan. Dengan demikian sumber daya manusia di Indonesia hanya unggul dalam segi kuantitas tanpa didukung keunggulan secara kualitas. 1 Pemulihan dalam bidang ekonomi ini bertujuan untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan dan pemerataan kehidupan ekonomi yang memadai, selain itu juga tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan agar para tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan. 1 Djumadi. 2005. Sejarah keberadaan organisasi buruh di indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal: 9 3 Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilakukan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur bagi para tenaga kerja. Selain itu, pembangunan terhadap ketenagakerjaan juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja serta peningkatan perlindungan terhadap tenaga kerja dan keluarganya sesuai harkat dan martabat bagi kemanusiaan. Perlindunagn terhadap tenga kerja ini bertujuan untuk menjamin hak-hak dasar yang dimiliki oleh para tenaga kerja dan menjamin kesamaan kesempatan yang diperoleh para tenaga kerja serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan umum dari bangsa Indonesia yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2 2 Tim Redaksi Pustaka Yustisia. 2012. Pedoman Terbaru Outsourcing & Kontrak Kerja : Peraturan 2012 Tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pustaka Yustisia: Yogyakarta. Hal. 8 4 Bangsa Indonesia telah membuat peraturan tersendiri untuk mengatur tentang tenaga kerja, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan adanya undang-undang ini maka diharapkan hak-hak para tenaga kerja serta hal lain mengenai tenaga kerja dapat terjamin. Akan tetapi dalam undang-undang tersebut terdapat satu pasal yang isinya dirasa cukup merugikan bagi para tenaga kerja. Yaitu pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (Outsourcing). Pasal tersebut menyatakan bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis”. Dari pasal ini mempunyai dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi semua tenaga kerja outsourcing di Indonesia yang dirasakan sangat merugikan bagi hak-hak para tenaga kerja karena aturan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang termuat dalam Pasal 27 ayat 2 yaitu bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, serta Pasal 28D ayat (2) yaitu “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Selain kedua pasal tersebut diatas, Pasal 64 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 juga dirasakan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) 5 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Peraturan dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tersebut juga bertentangan denga ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada kenyataannya, masih terlihat banyaknya tenaga kerja outsourcing di Indonsia yang tidak terpenuhi akan hak-hak asasinya sedangkan kewajiban harus terus dijalankan. Dari apa yang telah diuraikan dalam penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul untuk skripsi ini yaitu “ PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)”. A. Perumusan Masalah Dari latar belakang seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu :Bagaimanakah perlindungan hak asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing? B. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia bagi para tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing. 6 C. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulisan ini adalah : 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan kesadaran bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya Hukum Tata Negara mengenai hak-hak asasi bagi para tenaga kerja yang sering diabaikan khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing. 2. Kegunaan Praktis a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum Tata Negara terutama mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. b. Secara praktis atau terapan penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sedapat mungkin memberikan sebuah informasi kepada para tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing yang hak–hak asasinya dilanggar, dan bagi para pengusaha supaya dapat bertindak sesuai dengan ketentuan atau peraturan hukum yang berlaku dalam mempekerjakan para tenaga kerja. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. NEGARA HUKUM 1. Pengertian Negara Hukum Teori berdirinya negara berdasar atas hukum sudah dikenal sejak abad V SM atau pada zaman Yunani Kuno. Adanya negara berdasarkan hukum adalah bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Gagasan tentang negara berdasarkan hukum mengalami peningkatan sejak abad XV sampai abad XVIII. Gagasan tentang negara hukum dipelopori oleh Immanuel Kant yang dianggap sebagai pelopor yang paling berjasa dalam meletakkan gagasan tentang negara hukum murni atau negara hukum formal.3 Menurut Immanuel Kant, terdapat empat prinsip tentang ciri negara hukum, yaitu: 1. Pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia 2. Pemisahan kekuasaan untukmenjamin hak-hak asasi manusia 3. Pemerintahan berdasarkan hukum 4. Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia.4 Teori Immanuel Kant tentang negara hukum formal menjadikan negara bersifat pasif. Artinya tugas negara hanya mempertahankan 3 4 Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta. Erlangga. Hal 53 Loc.cit 8 keamanan dan ketertiban saja, atau dapat juga dikatakan bahwa negara hanya sebagai penjaga malam. Akan tetapi dalam masalah ekonomi dan sosial, negara tidak boleh ikut mecampurinya. Teori tersebut banyak diterapkan di Eropa, Amerika, dan Australia yang pada prakteknya banyak melahirkan eksploitasi terhadap manusia maupun alam, monopoli, dan kesenjangan sosial yang melebar. Pada akhir abad XIX munculah pelopor negara hukum modern, yaitu Prof. Kranenburg yang terkenal dengan istilah “welfare state” atau negara kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan negara hukum material, karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa negara selain bertugas membina ketertiban hukum juga ikut bertanggung jawab dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. 5 Berbicara mengenai negara hukum, belum terdapat kesamaan mengenai pengertian negara hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahali yang memberikan gambaran tentang negara hukum. Pendapat pertama datang dari Sudargo Gautama, yang memberikan gambaran tentang negara huhum, yaitu bahwa dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan warga negaranya dibatasi oleh hukum.6 Pendapat yang lain datang dari Prof. R. Djokosutono yang menyatakan bahwa negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 5 6 Loc.cit Ibid. Hal. 52 9 1945adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subyek hukum dalam arti Rechstaat.7 Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil Amandemen IV yang menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dari bunyi pasal 1 ayat (3) tersebut, adanya konsekuensi yaitu bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Apa yang disampaikan oleh Prof. R. Djokosutono senada dengan apa yang terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka ( machstaat ), dan disebutkan pula bahwa Pemerintah Indonesia berdasarkan sistem konstitusi ( hukum dasar ), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dari bunyi penjelasan undang-undang tersebut mengandung arti bahwa negara dalam melaksanakan aktivitas penyelenggaraan negara tidak boleh berdasarkan kekuasaan belaka akan tetapi harus berdasarkan hukum yang berlaku. Lain lagi gambaran pengertian tentang negara hukum yang diberikan oleh Prof. PadmoWahyono, beliau dalam memberikan gambaran tentang negara hukum, yaitu suatu negara hukum yang ideal 7 Loc.cit 10 pada abad ke-20 ini adalah jika segala tindakan penguasa (negara) selalu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.8 Dari beberapa gambaran mengenai negara hukum tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian negara hukum, yaitu bahwa negara hukum adalah negara yang melaksanakan kekuasaannya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum adalah suatu negara yang didalam wilayahnya adalah: a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dan pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturanperaturan hukum yang berlaku; b. Semua orang atau penduduk dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.9 Arti dari negara hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari konsep tentang kedaulatan hukum yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Sehingga alat perlengkapan negara dan juga warga negara harus dihukum tanpa kecuali jika memang terbukti bersalah melanggar hukum, seperti apa yang diungkapkan oleh Krabe: 8 Ibid. Hal 53 Wirjono Prodjodikoro, dalam Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada. Hal 75. 9 11 Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kedasaran hukum rakyat, maka hukum itu tidak mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (Impersonal). 10 Dari semua uraian diatas, dapat diketahui bahwa di dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara sehingga yang menjadi pemimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri. 2. Unsur-Unsur Negara Hukum Paul Sholten mengemukakan bahwa dalam negara hukum unsur yang utama adalah adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum.11Sehingga asas legalitas terdapat di negara hukum. Segala pelanggaran terhadap hak-hak individu dapat ditegakkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus dilakukan berdasarkan hukum. Menurut M. Kusnardi dan H. Ibrahim menyebutkan bahwa unsurunsur negara hukum dapat dilihat pada negara hukum dalam arti formal dan negara hukum dalam arti sempit. Dalam negara dalam arti sempit, orang hanya mengenal 2 unsur penting yaitu: a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia b. Adanya pemisahan kekuasaan. 12 10 Krabe, dalam Hestu Cipto Handoyo. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Kah Asasi Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. Hal. 12 11 Budiyanto, op.cIt. hal. 54 12 Loc.cit 12 Sedangkan dalam negara dalam arti formal, unsur-unsurnya yaitu: a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia b. Pemisahan kekuasaan c. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan d. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. 13 Pengertian tentang negara hukum berlawanan dengan pengertian tentang negara kekuasaan. Dasar pemikiran tentang negara hukum berdasarkan adanya kebebasan rakyat, bukan kebebasan negara dengan dengan tujuan untuk memelihara ketertiban hukum dan mengabdi kepada kepentingan umum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan. Ada 2 (dua) tipe negara hukum yang terkenal yaitu Tipe Anglo Saxon dan Tipe Eropa Kontinental. 1. Tipe Anglo Saxon Tipe negara yang menganut Anglo Saxon bertumpu pada The Rule of Law. Beberapa negara yang menganut tipe ini adalah Inggris dan Amerika. Menurut A.V. Dicey, the rule of law terbagi dalam 3 unsur pokok, yaitu: 1. Supremacy of The Law Yaitu hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi dan Pemerintah selaku penguasa tidak boleh bertindak sewenangwenang. Setiap individu baik sebagai rakyat maupun sebagai 13 Loc.cit 13 penguasa harus tunduk kepada hukum dan jika bersalah harus dihukum tanpa kecuali.Supremasi ini untuk menentang pengaruh dan meniadakan tindakan yang sewenang-wenang yang luas oleh pemerintah. Adapun ciri dari supemacy of the law adalah: a. Hukum berkuasa penuh terhadap rakyat dan negara; b. Negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara; c. Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh Supremacy of Court atau Mahkamah Agung.14 2. Equality before The Law Yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Rakyat maupun penguasa berhak mendapatkan perlindungan hukum dan wajib untuk mematuhi hukum yang berlaku.15 Hal ini berarti tidak ada orang yang berada diatas hukum. 3. Constitution Based on Human Rights Yaitu adanya jaminan hak-hak asasi dalam konstitusi. Hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. 16Hal ini merupakan penegasan bahwa hak-hak asasi harus dilindungi. 14 Loc.cit Loc.cit 16 Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada. 15 Hal 75. 14 Di indonesia, dalam menjelaskan tentang negara hukum merupakan terjemahan dari Rechstaat, sebagaimana dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Akan tetapi antara the rule of law dengan rechstaat terdapat perbedaan walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme yang berkembang secara revolusioner yang bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut Civil Law. Adapun ciri-ciri dari Rechtsstaat yaitu: a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; b. Adanya pembagian kekuasaan negara; c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.17 Sedangkan Konsep The Rule of Law berkembang secara evolusioner yang bertumpu pada sistem hukum yang disebut Common Law. Adapun syarat dasar agar pemerintahan demokratis di bawah the rule of law dapat terselenggara, yaitu: 17 a. Perlindungan konstitusional b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak c. Pemilihan umum yang bebas d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat e. Kebebasan untuk berserikat / berorganisasi dan beroposisi Ibid . 74 15 f. Pendidikan kewarganegaraan. 18 2. Tipe Eropa Kontinental Pada negara tipe ini, yang berdaulat adalah hukum sehingga hukum memandang negara sebagi subyek hukum yang dapat dituntut apabila melanggar hukum. Beberapa negara penganut tipe Eropa Kontinental adalah Jerman, Perancis, Belgia, Belanda. Menurut Prof. R. Djokosutono, negara hukum berdasarkan kedaulatan hukum, karena dalam prakteknya kekuasaan yang dijalankan berdasarkan hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).19 Selain unsur-unsur, dalam negara hukum juga menganut prinsipprinsip antara lain: a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kebudayaan. Hal tersebut berdasarkan ketentuan hukum. b. Peradilan yang bebas, tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan apapun juga. Artinya ada kekuasaan yang terlepas dari kekuasaan pemerintah yang menjamin hak-hak asasi sehingga hakim benar-benar memperoleh putusan yang objektif dalam memutuskan perkara. c. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Dengan ini suatu tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum.20 18 Budiyanto. Op.cit Hal 55 Loc.cit 20 Loc.cit 19 16 Dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip-prinsip dasar keadilan, sehingga terikat pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu dan dasar dalam cara bertindak oleh pemerintah serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warga negaranya. Atas dasar hukum pula, suatu negara hukum menyelenggarakan apa yang menjadi tujuan negara. B. HAK ASASI MANUSIA 1. Pengertian Hak Asasi Manusia Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari Droits de L’homme (Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di Indonesia, hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat disebut sebagai hak fundamental.21 Istilah hak asasi lahir secara monumental sejak terjadinya revolusi Perancis pada tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’hommeet du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan) dan Fraternite (Persaudaraan).22 Istilah hak mempunyai banyak arti. Hak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau dapat juga diartikan sebagai kekuasaan untuk tidak berbuat sesuatu dan lain sebagainya. Sedangkan asasi berarti bersifat dasar atau pokok atau 21 22 Ibid . Hal 56 Loc.cit 17 dapat juga diartikan sebagai fundamental. Sehingga hak asasi manusia adalah hak yang bersifat dasar atau hak pokok yang dimiliki oleh manusia, seperti hak untuk berbicara, hak hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan dan lain sebagainya. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara kodrati. Pengakuan terhadap hak asasi manusia lahir dari adanya keyakinan bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan memiliki harkan dan martabat yang sama antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Selain itu, manusia diciptakan dengan disertai akal dan hati nurani, sehingga manusia dalam memperlakukan manusia yang lainnya harus secara baik dan beradab. Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri sehingga sifatnya suci.23Sehingga dapat juga dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh seseorang sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi adalah hak yang melekat pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai anugerah Tuhan. Karena semua hak asasi manusia itu diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada yang boleh mencabut dan mengilangkan selain 23 Ibid hal 58 18 Tuhan. Sehingga hak asasi itu perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan oleh negara atau pemerintah, dan bagi siapa saja yang melanggarnya maka harus mendapatkan sangsi yang tegas tanpa kecuali. Ada beberapa hak yang tidak dapat dicabut seperti hak untuk memiliki kebebasan dalam berbicara dan berpendapat, hak untuk mendapatkan kebebasan dalam memilih agama sesuai dengan keyakinanya, hak mendapatkan kebebasan untuk berserikat, hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama dihadapan hukum dan masih banyak lagi. Hak atas hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan merupakan contoh dari beberapa hak yang diakui secara universal di dunia. Tidak seorang pun boleh diperbudak, diperdagangkan, disiksa, diperlakukan secara tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia. Hak tersebut merupakan contoh beberapa hak yang dimiliki oleh setiap individu tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, asal kebangsaan, status sosial, harta, atau latar belakang lainnya. Sehinnga hak asasi manusia itu memerlukan adanya perlindungan dari hukum. Dalam Pasal 1 ayat (1)Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan mengenai pengertian hak asasi manusia, bahwa : “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat padahakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, 19 hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dari bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban dari setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut dengan tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan tegaknya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Undang-undang ini memandang kewajiban dasar manusia merupakan sisi lain dari hak asasi manusia. Tanpa menjalankan kewajiban dasar manusia, adalah tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia, sehingga dalam pelaksanaannya, hak asasi seseorang harus dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. 2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia selalu mengalami pasang surut sejalan dengan peradaban manusia dan mengalami perjuangan yang panjang. Sejak abad ke-13 usaha perlindungan terhadap hak asasi manusia telah dimulai. Usaha melindungi hak-hak asasi manusia telah ditempuh oleh bangsa Inggris sejak tahun 1215 dengan ditandatanganinya Magna Charta oleh Raja John Lackland. Namun sebelum adanya Magna Charta, di dunia islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam tentang hak asasi manusia yang dikenal 20 dengan “Piagam Madinah” di madinah pada tahun 622, yang memberikan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia bagi penduduk Madinah yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Noourouzzaman Shiddigi telah membuat ringkasan Piagam Madinah yaitu: 1. Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi asal keturunan, budaya maupun agama yang dianut. Tali pengikat persatuan adalah politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama (Pasal 17, 23, dan 42). 2. Masyarakat pendukung semula terpecah belah dikelompokkan dalam kategori Muslim dan non-Muslim. Tali pengikat sesama Muslim adalah persaudaraan seagama (Pasal 15). Diantara mereka harus tertanam rasa solidaritas yang tinggi (Pasal 14, 19, dan 21). 3. Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadat bagi orang-orang non-Muslim, khususnya Yahudi (Pasal 2530). 4. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk (Pasal 16). Bahwa orang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11). 5. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (Pasal 24, 36, 37, 38 dan 44). 6. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (Pasal 34, 40 dan 46) . 7. Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan (Pasal 2 dan 10). 8. Hukum harus ditegakkan, siapa pun tidak boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak kepada orang yang melakukan kejahatan demi tegaknya keadilan dan kebenaran, siapapun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (Pasal 13, 22 dan 43). 9. Perdamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran (Pasal 45). 10. Setiap orang harus dihormati (Pasal 12). 11. Pengakuan terhadap hak milik individu (Pasal 47).24 24 Rozali Abdullah, Syamsir. 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Inonesia. Jakarta. Ghalian Indonesia. Hal : 10 21 Namun yang sering tuangkan dalam sejarah tentang permulaan perjuangan hak asasi manusai adalah Piagam Magna Chartayang berisikan beberapa hak yang diberikan oleh raja John kepada beberapa bangsawan bawahannya dan kaum gerejani atas sejumlah tuntutan yang diajukan oleh mereka dengan konsekuensi adanya pembatasan terhadap kekuasaan raja dan adanya penghormatan terhadap hak-hak rakyat.Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang keuangan.25 Perkembangan selanjutnya ditandai dengan penandatanganan Petition of Rights pada tahun 1628 tang dilakukan oleh Raja Charles I. Dibandingkan dengan Magna Charta, Petition of Rights banyak mengalami kemajuan. Bila penandatanganan Magna Charta dilatar belakangi oleh sejumlah tuntutan yang diajukan oleh kaum bangsawan dan gerejani, maka kelahiran Petition of Rights dilatar belakangi oleh sejumlah tuntutan rakyat yang diwakili oleh parlemen. Disini raja berhadapan dengan beberapa parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the House of Commons).26 Perlawanan rakyat Inggris terhadap Raja James II pada Tahun 1688 atau yang dikenal dengan Revolusi tak berdarah (The Glorius Revolution) telah mendorong penandatanganan Undang-Undang Hak (Bill or Rights) oleh Raja Williem III pada tahun 1689 yang melembagagakn 25 Hestu Cipto Handoyo. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Kah Asasi Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. hal 266 26 Ibid hal 226-227 22 adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas monarkhi.27 Penandatanganan undang-undang tersebut bukan saja menandai kemenangan Parlemen Inggris atau Raja akan tetapi juga merupakan bukti kesungguhan rakyat Inggris dalam menegakkan hak-haknya dibawah kekuasaan Raja yang diperjuangkan selama enam puluh tahun lamanya. Apa yang dilakukan oleh rakyat inggris merupakan usaha untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Usaha membatasi kekuasaan raja untuk melindungi hak asasi manusia dilakukan pula oleh bangsa Prancis. Seperti di Inggris, usaha perlindungan hak asasi manusia di Prancis lahir dari revolusi yang bertujuan menghancurkan sistem pemerintahan absolut dan menggantinya dengan pemerintahan yang demokratis yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada saat itu. Thomas Hobbes dan John Locke adalah peletak dasar teori perjanjian masyarakat. Perbedaannya apabila teori perjanjian masyarakat yang dikembangkan oleh Thomas hobbes melahirkan ajaran monarki absolut, sedangkan teori perjanjian masyarakat yang dikembangkan oleh John Locke melahirkan ajaran monarkhi konstitusional. Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu dalam situasi “hommo homini lupus bellum omnium comtra omnes”.28 Situasi ini mendorong 27 Scott Davidson dalam Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. Hal. 267 28 Moh. Kusnadi, Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta.. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti. Hal 308 23 dilakukannya perjanjian antara masyarakat dengan penguasa. Perjanjian tersebut berisikan penyerahan hak rakyat kepada penguasa. Sehingga ajaran yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes mengarah kepada pembentukan monarkhi absolut. Berbeda dengan Thomas Hobbes, John Locke memandang dalam bermasyarakat dan bernegara merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu yang pertama adalah pactum unionis yang merupakan perjanjian antaranggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara. Sedangkan yang kedua yaitu pactum subjectionis. John Locke memandang bahwa pactum subjectionis sebagai perjanjian antara rakyat dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika berhadapan dengan penguasa. Pada dasarnya perjanjian antara individu tadi (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. 29 Sehingga menurut John Locke tugas negara adalah melindungi hak-hak individu, yaitu hak untuk hidup (life), hak untuk mendapatkan kebebasan (liberty), dan hak milik (estate). Jaminan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dituangkan dalam undang-undang sehingga ajaran John Locke disebut monarkhi konstitusional. Perkembangan sejarah perlindungan hak asasi manusia di Amerika juga memiliki kaitan dengan pengalaman perjuangan bangsa Inggris dan Prancis. Hal ini terlihat dari ajaran John Locke terhadap kandungan isi Declaration of Independence Amerika yang disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru pada tanggal 4 Juli 1776. 29 Ibid hal 309 24 Perkembangan usaha perlindungan terhadap hak asasi manusia di Amerika memiliki kemiripan dengan perlindungan hak asasi manusia yang dialami oleh bangsa Prancis. Konsep kedaulatan berada di tangan rakyat yang dianut oleh Amerika juga dianut oleh Prancis. Kedua negara tersebut juga memperjuangkan hak asasi melalui revolusi serta pada tahun yang sama kedua negara tersebut menandatangani piagam tentang perlindungan hak asasi manusia. Di Prancis pada tahun 1789 dikeluarkan pernyataan tentang hakhak manusia dan warga negara (Declaration des droits de L’homme et du citoyen). Deklarasi tersebut berupa naskah yang dicetuskan pada awal Revolusi Prancis sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan lama yang sewenang-wenang yang berkuasa secara absolut. Declaration des droits de L’homme et du citoyen yaitu pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara sebagai hasil Revolusi Prancis di bawah kepemimpinan Jenderal Lafayette yang terkenal dengan simbol Liberte (Kemerdekaan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan).30 Deklarasi tersebut untuk menjamin hak asasi manusia yang tercantum dalam konstitusi. Sedangkan pada tahun yang sama, di Amerika juga dikeluarkan Undang-Undang Hak (Bill of Rights) yaitu suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789. Dan undang-undang ini sekarang telah menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika pada tahun 1971.31 30 31 Budiyanto. Op.cit hal 57 Moh. Kusnadi, Harmaily Ibrahim. Op. Cit. Hal 267 25 Kejadian lain dalam perkembangan hak asasi manusia yaitu terjadi pada abad ke XX yang ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak-porandakan kehidupan manusia. Perang Dunia ini disebabkan oleh ulah para pemimpin yang tidak mengindahkan hak asasi manusia bahkan dengan sengaja menginjak-nginjaknya seperti Jerman oleh Hilter, Italia oleh Benito Musolini, dan Jepang oleh Hirohito. Pada saat berkobarnya Perang Dunia II, muncullah Atlantic Charter yang dipelopori oleh F.D. Roosevelt yang merumuskan tentang The Four Freedoms ( 4 kebebasan ) dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yaitu: a. Kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat (freedom of speech); b. Kebebasan untuk beragama ( freedom of religion); c. Kebebasan dari rasa takut (freedom of fear); d. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).32 Pada tahun 1946 Commision on Human Rights of United NationPerserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial serta hak politik. Kemudian penetapan dilanjutkan dengan disusunya pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948.33 Universal Declaration of Human Rights merupakan pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang terdiri dari 30 pasal. Piagam 32 33 Budiyanto. op.cit. hal 58 Ibid hal 268 26 tersebut menyerukan kepada semua anggota dan bangsa di dunia untuk menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang dimuat di dalam konstitusi negara masing-masing. Keberhasilan diterimanyaUniversal Declaration of Human Rights diikuti oleh keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convenant) yang diakui oleh Hukum Internasional dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB seperti: a. The International on Civil and Political Rights Yaitu memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (persamaan antara hak pria dan wanita). b. Optional Protocol Yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang mengadukan pelanggaran hak asasi kepada The Human Rights Commitee PBB setelah melalui upaya pengadilan di negaranya. c. The Internaational Convenant on Economic, Social and Cultural Rights Yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi, ekonomi, sosial dan budaya. 34 Dengan adanya Universal Declaration of Human Rights maka diharapkan agar para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasarnya atau peraturan yang lainnya yang berlaku di negara tersebut. Di Indonesia, semua peraturan perundang-undangan yang berlaku mengacu pada hukum dasar atau konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun setelah adanya amandemen kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada tahun 2000 dan dikeluarkannya ketetapan MPR No. 34 Budiyanto op.cit hal 58 27 XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia, maka perkembangan mengenai hak asasi manusia mengalami peningkatan yang pesat. Terlebih lagi setelah dikeluarkannya Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat penyataan mengenai hak asasi manusia yaitu yang dinyatakan sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” Bunyi paragraf pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan bahwa hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan bagi semua bangsa mendapatkan jaminan dan di junjung tinggi oleh seluruh bangsa di dunia. Setelah perubahan kedua Undang-Undang 1945, jaminan tentang hak asasi manusia dinyatakan secara khusus pada bab tersendiri yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang meliputi Pasal 28A sampai 28 J. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, sebenarnya telah ada pemikiran bahkan telah menuangkan gagasan mengenai hak asasi manusia. Namun dalam pelaksanaannya mengalami pasang surut. Banyak kritikan yang didapat oleh pemerintah sehingga perlu mendorong pemerintah untuk segera membentuk suatu Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM). Tujuan pembentukan KOMNASHAM adalah sebagai berikut: 28 a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, b. Meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.35 Karena pertimbangan pentingnya masalah hak asasi manusia di Indonesia dan situasi yang tidak menentu serta banyaknya sorotan dari dunia Internasional terhadap banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia sedangkan peraturan perundangan yang dapat didasarkan (landasan) oleh pemerintah untuk menindak para pelanggar hak asasi manusia belum memadai maka pada tahun 1998 dikeluarkan sejumlah peraturan tentang hak asasi manusia seperti: 1. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan martabat Manusia). 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia. 4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan 35 Rozali Abdullah op.cit hal. 33 29 Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah. Untuk melengkapi peraturan perundang-undangan diatas maka pada tanggal 23 September 1999 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UndangUndang tersebut mengatur secara lengkap dan terperinci mengenai hak asasi manusia. Sistematika Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri atas 11 bab dan 106 pasal, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Bab VIII Bab IX Bab X Bab XI Ketentuan Umum Asas-asas Dasar Hak Asasi Manusiadan Kebebasan Dasar Manusia Kewajiban Dasar Manusia Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintahan Pembatasan dan Larangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Partisipasi Masyarakat Pengadilan Hak Asasi Manusia Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup C. KETENAGAKERJAAN 1. Pengertian Tenaga Kerja Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan memberikan pengertian tentang tenaga kerja, bahwa tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Namun undang-undang ini sudah tidak digunakan lagi setelah adanya undang-undang yang baru yang mengatur tentang ketenagakerjaan. 30 Dalam Undang-Undang yang baru tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja juga memberikan pengertian tentang tenaga kerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 bahwa tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja tersebut telah menyempurnakan pengertian tentang tenaga kerja dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. 36 Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan juga sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh Dr. Payaman Simanjutak dalam bukunya “Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia” yaitu bahwa tenaga kerja atau manpower adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga.37 Pengertian tentang tenaga kerja yang dikemukakan oleh Dr. Payaman Simanjuntak ini memiliki pengertian yang lebih luas dari pekerja / buruh. Pengertian tenaga kerja disini mencakup tenaga kerja / buruh yang sedang terkait dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja 36 Sendjun H. Manulang. 2001. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia. Jakarta. Rhineka Cipta. Hal 3 37 Loc.cit 31 yang belum bekerja. Sedangkan pengertian dari pekerja / buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain, pekerja atau buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja.38 Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan / ketenagakerjaan, karena istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam peraturan yang lama sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk menyebutkan tenaga kerja menggunakan istilah buruh. Hal ini dipertegas dengan pengertian mengenai buruh pada zaman Belanda yaitu: Buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar. Orang-orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintahan maupun swasta disebut sebagai Karyawan / Pegawai “White Collar”.39 Namun setelah merdeka tidak ada lagi perbedaan antara buruh halus dengan buruh kasar, semua orang yang bekerja di sektor swasta adalah buruh seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1975 Pasal 1 ayat 1a tentang Perselisihan Perburuhan yakni buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Dalam perkembangannya di Indonesia, istilah buruh diganti dengan istilah pekerja. Alasannya adalah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yaitu 38 Hardijan Rusli. 2003. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta :Ghalia Indonesia. Hal 12-13 Lalu Husni. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta. RajaGrafindo Persada. Hal. 43 39 32 majikan. Selain itu, istilah buruh juga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman karena dirasakan terlalu merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam peraturan yang baru mengenai ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam pasal 1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja / buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini lebih luas karena mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum maupun badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh / pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian tenaga kerja diperluas. Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UndangUndang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah: a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak; b. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali yang memborong adalah perusahaan; c. Narapidana yang dipekerjakan diperusahaan. Dapat juga dikatakan bahwa tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Secara garis besar dalam suatu negara 33 penduduk dibedakan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk yang termasuk dalam kategori tenaga kerja yaitu penduduk yang sudah memasuki usia kerja yang dalam hal ini di Indonesia batas usia yang berlaku adalah usia 15 tahun sampai 64 tahun. Ada beberapa klasifikasi tenaga kerja, antara lain: a. Berdasarkan penduduknya Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan penduduknya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun. 2. Bukan Tenaga Kerja Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak. b. Berdasarkan Kualitasnya Berdasarkan Kualitasnya, tenaga kerja dapat dibedakan menjadi : 34 1. Tenaga Kerja Terdidik Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya: pengacara, dokter, guru, dan lain-lain. 2. Tenaga Kerja Terampil Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain. 3. Tenaga Kerja Tidak terdidik Tenaga kerja tidak terdidik adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. c. Berdasarkan batas kerja Bersadarkan batas kerja maka dapat dibedakan menjadi: 1. Angkatan kerja Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 1564 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan. 2. Bukan angkatan kerja 35 Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah: ï‚· anak sekolah dan mahasiswa ï‚· para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan ï‚· para pengangguran sukarela 2. Ketenagakerjaan di Indonesia Permasalahan mengenai pekerja / buruh selalu mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada awal kemerdekaan, perjuangan kemerdekaan masih banyak tertuju pada perang revolusi untuk mempertahankan dari serangan penjajah yang ingin menjajah kembali Bangsa Indonesia. Pada saat itu, perlindungan hukum terhadap ketenagakerjaan hanya diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang hak warga negara untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Akan tetapi hal ini belum dapat terlaksana seutuhnya. Ketentuan mengenai perburuhan pada saat itu masih sepenuhnya terpengaruh hukum kolonial yaitu Burgelijke Wetboek (BW) atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada saat itu masih berlaku ketentuan Pasal II Aturan Peralihan yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan 36 yang ada masih langsung berlaku sepanjang belum diganti dengan peraturan yang baru. Peraturan mengenai perburuhan yang diatur dalam KUHPerdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. 40 Sebagai contoh dalam KUHPerdata memandang pekerja sebagai barang yang apabila tidak berproduksi maka tidak akan dibayar / diupah. Dalam pasal 1602 KUHPerdata disebutkan bahwa “Tiada Upah yang harus dibayar untuk jangka waktu selama si buruh tidak menlaksanakan pekerjaan”. Sehingga pada saat itu hak-hak tenaga kerja diserahkan kepada majikannya karena pada saat itu masalah perburuhan masuk kedalam ranah hukum Perdata. Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan para tenaga kerja di Indonesia lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini merupakan payung hukum bagi para tenaga kerja di Indonesia sebagai peraturan yang menyeluruh dan komperhensif antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja di Indonesia, sebagai upaya perluasan dalam kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan Industrial. Kehadiran Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini telah memberikan nuansa baru dalam hukum perburuhan / ketenagakerjaan, yaitu: 40 Ibid Hal 21 37 a. Mensejajarkan istilah buruh / pekerja, istilah majikan diganti dengan pengusaha dan pemberi kerja, istilah ini sudah lama diupayakan untuk diubah agar sesuai dengan Hubungan Industrial Pancasila. b. Menggantikan istilah perjanjian perburuhan (labour agrement)/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berupaya diganti dengan alasan bahwa perjanjian perburuhan berasal dari negara liberal yang seringkali dalam pembuatannya menimbulkan benturan kepentingan antara pihak buruh dengan pihak majikan. c. Sesuai dengan perkembangan zaman memberikan kesetaraan antara pekerjaan pria dan wanita, khususnya untuk bekerja pada malam hari. Bagi buruh / pekerja wanita, berdasarkan undang-undang ini tidak lagi dilarang untuk bekerja pada malam hari. Pengusaha diberikan rambu-rambu yang harus ditaati mengenai hal ini. d. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batas minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakkannya. e. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pencabutan izin. Pada undang-undang yang sebelumnya yang mengatur tentang ketenagakerjaan, sanksi ini tidak diatur.41 Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dikatakan sebagai kompilasi dari ketentuan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, sehingga memudahkan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk mempelajarinya. 42 Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada tanggal 25 Maret 2003, maka beberapa ketentuan perundang-undangan peninggalan Belanda dan perundang-undangan nasional dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni: 41 42 Ibid hal 23-24 Ibid hal 24 38 1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3. Ordonansi tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936Nomor 208); 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); 7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2) ; 8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a; 9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan tenaga Asing ( Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); 10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); 15. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 39 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).43 Walaupun telah ada undang-undang yang mengatur tentang tenaga kerja, akan tetapi keberadaan tenaga kerja di Indonesia sekarang mendapatkan banyak perhatian, baik dalam negeri sendiri maupun di luar negeri, bahkan tidak jarang dihubungkan dengan kebijakan lain yang secara langsung akan mengikutsertakan perhatian dari berbagai bidang ekonomi di luar ketenagakerjaan misalnya dibidang perdagangan, politik, dan ekonomi. Dilihat secara internal dapat mempengaruhi hubungan suatu negara, bahkan antar negara. Secara eksternal, hal itu merupakan hal yang wajar sebab tenaga kerja sebagai sember daya manusia dalam alam pembangunan di era reformasi merupakan komponen yang utama. Jumlah penduduk yang melimpah, apabila dapat didayagunakan secara optimal dan efisien maka akan menjadi aset yang sangat menguntungkan dalam pelaksanaan pembangunan.44 Kondisi seperti ini sudah menjadi fakta sejarah di negara-negara yang mulai dan menyelenggarakan pembangunan nasionalnya. Dengan terjadinya revolusi industri, banyak perusahaan yang berusaha mencari cara dalam memenangkan persaingan di dunia usaha. Disini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk 43 44 Ibid hal. 24-27 Djumadi. Op.cit Hal 4 40 menang secara kompetitif, melainkan harus disertai kesanggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya yang ditekan serendah-rendahnya. Pada tahun 1970-1980 perusahaan mengalami persaingan global. Banyak perusahaan yang mengalami kesulitan karena kurangnya persiapan dalam menghadapi persaingan global tersebut, sehingga dalam hal ini berakibat pada resiko tenaga kerja yang meningkat. Disinilah merupakan tahap awal timbulnya pemikiran Outsourcing di dunia usaha. Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi resiko usaha dalam berbagi masalah, termasuk ketenagakerjaan.45 Sekitar tahun 1990 outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut managemen perusahan untuk melakukan perhitungan biaya untuk sedapat mungkin ditekan pada posisi serendah-rendahnya. Outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia / pengerah tenaga kerja. 46 Hal ini berarti adanya suatu perusahaan khusus yang melatih / mempersiapkan menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Pada awalnya ini dirasakan sebagai solusi bagi para pencari kerja, karena sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcingakan membantu bagi para tenaga kerja yang belum 45 46 Lalu Husni op.cit hal 188 Loc.cit 41 bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving) serta perusahaan dapat memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business). Disinlah mulai terjadi adanya pergeseran mengenai fungsi outsourcing, yang seharusnya hanya diberikan untuk pekerjaan-pekerjaan bukan inti, seperti cleaning services atau satpam yangpada kenyataannya outsourcing seringkali mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen. Karena dengan adanya outsourcing maka akan menutup kesempatan karyawan menjadi permanen. Posisi outsourcing selain rawan secara sosial (kecemburuan antar rekan) juga rawan secara pragmatis (kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun). Bahkan di beberapa perusahaan justru memberikan pekerjaan inti kepada karyawan dari outsourcing seperti PT KAI, yang memperkerjakan tenaga outsourcing untuk bagian penjualan tiket, porter, administrasi dan penjaga pintu masuk. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut terkait langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak perusahaan lainnya yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga kerja di outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga outsource 42 juga tidak harus diangkat sebagai karyawan tetap sehingga beban perusahaan berkurang. Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana outsourcing hanya dianggap sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk melepaskan tanggungjawabnya kepada kayawan, dengan alasan efesiensi dan efektifitas pekerjaan, outsourcing ini dilakukan. Maka dalam outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing. 43 BAB III Metode Penelitian A. Metode Pendekatan Tipe pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Adapun pendekatan yang dilakukan yaitu dengan pendekatan Perundang-Undangan. 47 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan spesifikasi penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Selain itu menetapkan standar, prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya dan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu.48 C. Jenis Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum utama yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, putusan 47 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya, hal. 96. 48 Ibid . Hal.22-23. 44 pengadilan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yaitu: UndangUndang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUIX/2011 dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang NO. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.49 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini metode yang digunakan hanya digunakan untuk proses pengumpulan data adalah dengan menginventarisir peraturan Perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan dengan studi kepustakaan, internet browsing, telah artikel ilmiah, studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar. E. Metode Penyajian Bahan Hukum Dalam penelitian ini, bahan sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan–peraturan dan ketentuan-ketentuan serta literature 49 Ibid hal 25 45 yang memberikan pengaturan mengenai perlindungan mengenai hak asasi manusia bagi tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourcing. Selain itu metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan juga berupa studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal, surat kabar yang memberikan informasi bagi terbentuknya karya tulis ini. F. Metode Analisis Bahan Hukum Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung dari istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsep dan tekhnis penerapannya. Analisis bahan hukum bertujuan untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan arti atau makna terhadap bahan hukum yang telah diolah sebelumnya. Bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang berasal dari norma-norma hukum, peraturan pernundang-undangan dan teori hukum perdata khususnya dalam bidang hukum perjanjian, yang akhirnya akan ditarik suatu kesimpulan. 46 BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Hak Asasi Manusia di Indonesia Di Indonesia, semua peraturan perundang-undangan yang berlaku mengacu pada hukum dasar atau konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun setelah adanya amandemen kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada tahun 2000 dan dikeluarkannya ketetapan MPR No. XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia, maka perkembangan mengenai hak asasi manusia mengalami peningkatan yang pesat. Terlebih lagi setelah dikeluarkannya Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat penyataan mengenai hak asasi manusia yaitu yang dinyatakan sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” Bunyi paragraf pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan bahwa hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan bagi semua bangsa mendapatkan jaminan dan di junjung tinggi oleh seluruh bangsa di dunia. 47 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak asasi manusia adalah hak yang secara kodrati diberikan Tuhan kepada manusia. Namun hak bukan hanya terkait hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hak adalah pengakuan terhadap masyarakat, negara, dan bahkan negara lain atas hak yang kita miliki. Telah disebutkan pula menganai pengertian hak asasi manusia menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, di junjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Secara terperinci, hak asasi manusia sudah tercantum dalam pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia yang di plokamirkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang antara lain mencantumkan: “Bahwa tiap orang yang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, untuk diakui kepribadiannya, untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untukmendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah, hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak untuk mendapatkan suatu kebangsaan, hak untuk 48 mendapatkan hak milik atas suatu benda, hak untuk bebas mengutarakan suatu pikiran dan perasaan, hak untuk bebas memeluk agama, hak untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat, hak untuk mendapatkan jaminan sosial, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk berdagang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat, hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan”.50 Menurut Ramdlon Haning dalam bukunya yang berjudul Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia,secara garis besar hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi: 1. Hak asasi pribadi (Personal Rights) seperti hak untuk memilih dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaan, hak untuk berkewarganegaraan, hak untuk berpergian atau berpindah tempat, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. 2. Hak asasi ekonomi (Property Rights) seperti hak atas tanah, hak atas kepemilikan barang dan benda, hak untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak kebebasan untuk melakukan jual beli, hak kebebasan untuk melakukan kontrak, dan lain-lain. 3. Hak asasi politik (Political Rights) seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, hak untuk berserikat dan membuat organisasi, hak untuk ikut dalam kegiatan pemerintahan, hak untuk 50 Ramdlon Naning. 1983. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesi. Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta . Hal : 16-17 49 mendirikan atau atau membuat partai politik atau organisasi lainnya, hak untuk menyatakan pendapat atau juga hak untuk melakukan atau mengikuti aksi demonstrasi. 4. Hak asasi sosial dan kebudayaan (Sosial and Culture Rights) seperti hak untuk mengembangkan kebudayaan yang beraneka ragam karena masyarakat Indonesia yang plural yang sesuai dengan bakat dan minat, hak untuk menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan pengajaran, 5. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural Rights) penahanan, penangkapan, seperti peraturan penggeledahan, peradilan dalam dan sebagainya. 51 Selain macam-macam hak diatas, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen II juga mengatur mengenai hak asasi manusia. Pengaturan secara khusus mengenai hak asasi manusia terdapat dalam Bab X, XA. XI, yaitu sebagai berikut: Pasal 27 : (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 Kemerdekaan berseikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. 51 Loc.cit 50 Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar-Nya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan 51 menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. (2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal 28I (1) Hak unuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebasdari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 52 Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk mejamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrati Pasal 29 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu Selain didalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur beberapa hak asasi seperti: 1. Hak untuk hidup 2. Hak untuk berkeluarga 3. Hak untuk mengembangkan diri 4. Hak utnuk memperoleh keadilan 5. Hak atas kebebasan pribadi 6. Hak untuk mendapatkan rasa aman 7. Hak atas kesejahteraan 8. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan 9. Hak wanita 10. Hak anak Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur tentang hak-hak asasi bagi para tenaga kerja antara lain: Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan 53 Pasal 6 Setiap pekerja / buruh berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha Hal lain mengenai hak bagi para tenaga kerja diatur dalam Bab X Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan yang diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 101 2. Pengaturan sistem Outsourcing berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Gagasan mengenai outsourcing pertama kali timbul sekitar tahun 1970-1980 ketika banyak perusahaan yang mengalami persaingan global dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan yang tidak siap dengan persaingan bisnis tersebut sehingga struktur managemen perusahaan menjadi bengkak. Hal ini mengakibatkan risiko dalam segala hal yang terus meningkat. Tak terlepas pula risiko terhadap para tenaga kerja juga terus meningkat.Sehingga pada tahap inilah timbul pemikiran mengenai outsourcing dalam dunia usaha. Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi risiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk masalah ketenagakerjaan. Pada tahap awal, outsourcing belum diidentifikasi secara formal sebagai strategi bisnis. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian tertentu yang bisa mereka kerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian 54 yang tidak bisa dikerjakan secara internal, dikerjakan melalui outsource.52 Semakin lama outsourcing mulai berkembang dan berperan sebagai jasa pendukung. Akibat persaingan global yang terus meningkat mengakibatkan perusahaan untuk melakukan perhitungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi penting dalam perusahaan, akan tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan. Pemanfaatan terhadap outsourcing tidak dapat dihindari lagi oleh banyak perusahaan di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pengaturan mengenai outsourcing terdapat dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis” Pada awalnya outsourcing dirasakan sebagai solusi bagi para pencari kerja, karena bagi para tenaga kerja yang belum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing mereka dapat disalurkan kepada perusahaan yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Bagi perusahaan outsourcing dirasakan membawa banyak manfaat seperti penghematan biaya (cost saving). Selain itu, perusahaan juga dapat memfokuskan pada kegiatan utamanya (core business). 52 Lalu Husni. Op.Cit Hal 187 55 Dari hal tersebut mulai terjadi adanya pergeseran mengenai fungsi outsourcing. Pada awalnya outsourcing diberikan kepada pekerjaan bukan inti seperti cleaning services atau satpam. Akan tetapi pada kenyataan yang terjadi sekarang, outsourcing dikenakan pada hampir semua pekerjaan. Dengan adanya outsourcing yang diterapkan dalam perusahaan maka serigkali mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya didapatkan apabila karyawan tersebut menjadi karyawan tetap diperusahaan tersebut.Karena dengan adanya outsourcing maka akan menutup kesempatan bagi karyawan tersebut untuk diangkat menjadi karyawan tetap dalam perusahaan tersebut. Karena banyaknya pelanggaran hak yang terjadi pada karyawan outsourcing, sehingga pada tahun 2011 lalu ada salah seorang tenaga kerja yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali terhadap isi Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut. Tenaga kerja tersebut bernama Didik Suprijadi yang bekerja pada Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Dia mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai isi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 (1) Perjanjian untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat ataupun kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan dan paling lama 3 (tiga) tahun; 56 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) c. Pekerjaan yang sifatnya musiman; d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 Tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja / buruh yang bersangkutan Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu yang ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; 57 d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja / buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja / buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan pekerja / buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja / buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja / buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 (1) Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak 58 tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselilsihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja / buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pemohon juga mengemukakan beberapa alasan dalam permohonan pengujian isi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang kemudian atas alasan tersebut pemerintah menanggapinya. Atas hal tersebut pula, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan Nomor 27/PUU-IX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Terhadap UndangUndang Dasar 1945. Sebagai tindak lanjut dari keputusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. B. Pembahasan Seperti yang diketahui, bahwa dalam negara hukum memuat beberapa prinsip, yaitu antara lain: 59 1. Pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia 2. Pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia 3. Pemerintahan berdasarkan hukum 4. Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia Selain itu, dalam negara hukum juga terdapat unsur yaitu: 1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia 2. Pemisahan kekuasaan 3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan 4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri Dari beberapa prinsip dan unsur tentang negara hukum, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945 hasil Amandemen IV menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara Hukum. Dalam Penjelasannya dengan tegas dinyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat), dan disebutkan pula bahwa Pemerintah Indonesia Berdasarkan sistem Konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dari bunyi Penjelasan Undang-Undang tersebut mengandung arti bahwa negara dalam melaksanakan aktivitas penyelenggaraan negara tidak boleh berdasarkan kekuasaan belaka akan tetapi harus berdasarkan hukum yang berlaku. 60 Sesuai dengan prinsip dan unsur negara hukum, maka di Indonesia terdapat perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Pengaturan terhadap hak asasi manusia terdapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ataupun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian hak asasi manusia menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahNya yang wajib dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dari pengertian tentang hak asasi manusia tersebut maka diketahui bahwa setiap individu memiliki hak asasi manusia. Hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu tersebut wajib dihormati pula oleh negara, hukum, pemerintah dan orang lain. Sehingga jika terjadi pelanggaran terhadap bunyi pasal tersebut, maka harus di tindak secara tegas dan tanpa pandang bulu. Hal ini dilakukan demi terwujudnya pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia yang merupakan salah satu prinsip dari negara hukum. Di Indonesia yang merupakan negara hukum, masalah hak asasi manusia mendapatkan masih banyak perhatian baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebagai negara hukum, upaya penegakkan terhadap hak asasi manusia melalui peraturan dapat dilihat dengan banyaknya konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia seperti: 61 a. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa. b. Konvensi ILO No. 98 tentang Penerapan Prinsip mengenai Hak (buruh) untuk melakukan tawar menawar. c. Konvensi ILO No. 100 mengenai pemberian upah / gaji yang sama bagi buruh laki-laki dan wanita dalam pekerjaan dengan nilai yang sama. d. Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Wanita. e. Konvensi UNESCO yang menentang diskriminasi dalam pendidikan. f. Konvensi Jenewa untuk perawatan anggota angkatan bersenjata yang luka atau sakit. g. Konvensi Jenewa untuk memperbaiki kondisi angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit atau mengalami kecelakaan kapal (shipwrecked). h. Konvensi Jenewa yang berkenaan dengan perlakuan terhadap tawanan perang. i. Konvensi tentang Perlindungan terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. j. Konvensi tentang Perlindungan terhadap Hak-hak Sipil dan Politik. k. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. l. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. m. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Hukum atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak manusiawi dan Merendahkan Martabat. n. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 Mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak untuk Berorganisasi. o. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi menyangkut Pekerjaan dan Profesi, dan lain-lain. Seperti yang diketahui, berdasarkan macam mengenai hak manusia terdapathak-hak Ecosoc (ekonomi, sosial, budaya).Hak ekonomi sosial terdiri dari hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk tidak dipaksa bekerja, hak untuk mendapatkan upah yang sama, hak untuk mendapatkan cuti, hak atas makan, hak atas hidup, hak atas kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal dan masih banyak lagi. Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, adalah hak setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan 62 yang layak bagi kemanusiaan”.Sejak awal berdirinya negara Indonesia, hal tersebut sudah ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara. Ini merupakan pencerminan terhadap penegakan hak Ecosoc bagi setiap warga negara khususnya bagi para tenaga kerja. Selain Pasal 27 ayat (2) hak asasi manusia dalam hak Ecosoc bagi para tenaga kerja juga termuat dalam Pasal 28 yaitu “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28D ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Selain itu, hak asasi bagi para tenaga kerja juga diatur dalam Pasal 28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagi pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pasal 28I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan yang bersifat diskriminatif itu”. serta Pasal 28J ayat (1) “ Setiap orang berhak menghormati hak asasi orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perlindungan tentang hak bagi para tenaga kerja seperti: 1. Hak atas upah yang layak; juga memuat 63 2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti; 3. Hak atas PHK; 4. Hak untuk mogok kerja dan masih banyak lagi. Perlindungan lain bagi tenaga kerja di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia yang menyatakan bahwa : (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak, (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil, (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syaratsyarat perjanjian kerja yang sama, (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Dari beberapa pasal yang telah diuraikan diatas jelas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang memberikan pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia. Pasal tersebut merupakan pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia bagi para tenaga kerja.Dalam Undang- 64 Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan batasan tentang pengertian ketenagakerjaan yaitu: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. 2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 3. Pekerja / buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Walaupun telah ada pengaturan mengenai hak asasi manusia bagi para tenaga kerja, akan tetapi kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih saja terjadi. Apalagi pelanggaran hak asasi bagi para tenaga kerja. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin luas, perusahaan dituntut untuk meningkatkan kinerjanya melalui pengelolaan perusahaan yangefektif dan efisien. Hal ini berdampak dalam mempekerjakan tenaga kerja yang seminimal mungin akan tetapi untuk memberikan kontribusi bagi perusahaan secara maksimal. Sehingga, dari hal tersebut maka munculah pemikiran tentang adanya Outsourcing dalam dunia bisnis. Outsourcing merupakan salah satu solusi bagi para pengusaha untuk menghadapi persaingan dalam dunia 65 bisnis. Pengaturan mengenai outsourcing terdapat dalam Pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis”. Dari adanya kebijakan outsourcing dalam dunia usaha tentunya menimbulkan pro dan kontra. Banyak yang beranggapan bahwa dengan adanya outsourcing menyebabkan karyawan : 1. Kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh / pekerja 2. kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap 3. kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pekerja sesuai masa kerja pegawai karena adanya ketidak jelasan penghitungan mengenai masa kerja, dan masih banyak lagi. Walaupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digunakan sebagai payung hukum bagi masalah ketenagakerjaan, akan tetapi dengan adanya Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 ternyata membawa masalah bagi para tenaga kerja. Karena terbukti adanya tenaga kerja bernama Didik Suprijadi yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap isi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan anggapan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 66 Alasan yang digunakan dalam permohonan pengujian isi Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu: 1. Penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah kerja yang murah ini berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh / pekerja Indonesia, karena sebagian besar buruh / pekerja tidak akan lagi menjadi buruh atau pekerja tetap, akan tetapi menjadi buruh / pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang oleh kalangan buruh disebut sebagai perbudakan zaman modern. 2. Bahwa status sebagai buruh / pekerja kontrak ini pada kenyatannya berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja jaminanjaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai butuh / pekerja tetap yang dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh / pekerja Indonesia dan karenanya buruh / pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya. 3. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebaian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, buruh / pekerja semata-mata dilihat 67 sebagai komoditas atau barang dagangan, disebuah pasar tenaga kerja. buruh atau tenaga kerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangn dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dan pasal 28D ayat (2). 4. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang outsourcing buruh / pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata. Dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya bila sudah tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja “pemborongan pekerjaan” (outsourcing), yang akan menjadi buruh / pekerja sematamata sebagai sapi perahan para pemilik modal dan ini adalah bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini berarti perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi 68 ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan degredasi nilai manusia, buruh atau pekerja sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah undang-undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusipun akan menjadi kata-kata kosong ataupun hiasan kata-kata mutiara saja. 5. Sistem outsourcing konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan pada perusahaan pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedian jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. berdasarkan perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang misalnya Rp 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan sejumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern. 6. Dilain pihak, outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Wktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena 69 seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinuitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang dioutsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Jika job security tidak terjamin, maka jelas bertentangan dengan Oasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara subcontractornya dengan pekerjanya. 8. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka 70 menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum. 9. Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia. 10. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrakkontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah. 11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa permohonan ini disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena berangkat dari keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun, sehingga patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. 12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64 71 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.53 Petitum yang diajukan dalam permohonan pengujian terhadap isi Undang-Undang tersebut antara lain: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Menempatkan Putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia. Atas alasan yang diampaikan oleh Didik Suprijadi dalam mengajukan permohonan pengujian isi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut maka pemerintah berpendapat bahwa adanya Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 tidaklah bertentangan dengan hak-hak warga negara 53 Tim Redaksi. Op.cit Hal :10 72 yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar. Karena pasal dalam undangUndang Ketenagakerjaan tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak seperti apa yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar.Selain itu juga untuk memberikan perlakuan adil dan layak bagi semua warga negara dalam hubungan kerja sehingga bisa mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang telah dilakukan. Dengan ada outsourcing maka diharapkan para tenaga kerja dapat menggunakan seluruh kemampuan dalam bekerja. Selain itu bagi para tenaga kerja dengan adanya outsourcing maka akan menambah keterampilan yang belum mereka miliki.Outsourcing juga akan membantu tenaga kerja yang belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan outsourcing. Dan mengenai sifat dan jenis outsourcing yang akan selesai dalam waktu tertentu Ketenagakerjaan. juga Sehingga telah diatur anggapan dalam bahwa undang-undang Undang-Undang Ketenagakerjaan terutama Pasal 59 dan Pasal 64 telah menimbulkan kerugian hak bagi para tenaga kerja adalah tidak benar. Atas hal alasan yang dikemukakan oleh Didik Suprijadi dan tanggapan dari pemerintah tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No.27/PUU-IX/2011 yang berisikan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Frasa “ ...Perjanjian Kerja Waktu Tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor bertentangan 13 dengan Tahun 2003 Undang-Undang tentang Dasar 73 1945sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja / buruh yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi penggantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh; 3. Frasa “...Perjanjian Kerja Waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “...perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja / buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh; 4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.54 Dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa ada 2 (dua) model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Kedua, 54 Ibid Hal. 66 menerapkan prinsip pengalihan tindakan 74 perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Sehingga dengan adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut, maka bunyi Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) berubah. Pasal 65 ayat (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Sedangkan isi dari Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: (1) Perjanjian untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat ataupun kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang sifatnya musiman; d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 Tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja / buruh yang bersangkutan (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu yang ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan 75 ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 66 ayat (2) menjadi Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua berlah pihak. Sehingga dari perubahan bunyi terhadap Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2), mengakibatkan istilah “perjanjian kerja waktu tertentu” tidak dapat digunakan lagi dalam pasal tersebut. atau dapat juga dikatakan bahwa outsourcing tidak berlaku kecuali terhadap pekerjaan yang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Inti dari putusan tersebut adalah tidak lagi memberi kesempatan pada sebuah perusahaan untuk memberikan pekerjaan yang sifat objeknya tetap untuk di outsourcing, meskipun itu bersifat penunjang, seperti pengamanan, kurir, dan lainnya. Sehingga bank-bank yang saat ini banyak mempekerjakan teller atau costumer service menggunakan sistem outsourcing tidak dibenarkan lagi. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam penyerahan pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja / buruh (pekerja outsourcing) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh (perusahaan outsourcing) tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan 76 langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 2. Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh; b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tidak tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh; d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja / buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasalpasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 3. Penyedia jasa pekerja atau buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 77 4. Dalam Hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2 huruf a, huruf b dan huruf d serta angka 3 tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.55 Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh". Mahkamah outsourcing Konstitusi dalam menilai hubungannya posisi dengan pekerja perusahaan atau buruh outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pertimbangan lain yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu “Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja atau buruh outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/buruh outsourcing, akibatnya 55 ibid. hal. 58 78 pekerja/buruh menghadapi risiko tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa tidak lagi mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja atau buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya”. Mahkamah Konstitusi menilai ketidakpastian nasib pekerja atau buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis 79 dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja. "Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional". Dalam pertimbangan hakim pula disebutkan apabila karyawan outsourcing tersebut diberhentikandengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak. Dari putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas sekali terliha bahwa Mahkamah Konstitusi memberikan perlindungan hukum kepada karyawan Outsourcing. Selain itu, Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera meindaklanjuti putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Berdasarkan Putusan Makhamah Konstitusi dan Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat diketahui bahwa outsourcing memang diperbolehkan akan tetapi hanya terbatas pada jenis pekerjaan yang tercantum dalm Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Lebih lanjut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa apabila ada perusahaan yang melaksanakan praktek outsourcing diluar aturan Undang-Udnang No. 13 Tahun 2003 maka harus ditindak dengan tegas dengan cara dibatalkan atau dilarang. 80 Jika pemberlakuan sistem outsourcing sesuai dengan peraturan yang ada maka tidak akan ada lagi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi yang dimiliki oleh tenaga kerja. Karena yang selama ini banyak terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap sistem outsourcing seperti demi mengurangi biaya produsi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bagi perusahaan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga mereka menerima gaji yang berkurang banyak. Sesuai dengan tujuan diadakannya sistem outsourcing adalah untuk menyalurkan tenaga kerja yang belum bekerja, maka harus ada pembenahan dalam managemen perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja. Karena jika dilihat lagi, sistem outsourcing tidaklah salah karena dengan adanya sistem outsourcing berusaha untuk menjalankan amanat pasal 27 ayat (2) dan mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Yang salah adalah managemen dalam memberlakukan sistem outsourcing tersebut dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan peraturan. Dalam rangka menuju negara sejahtera bukan outsourcing yang dihapus, tetapi praktik pelaksanaan outsourcing yang salah dan melanggar hukum yang harus dibenahi. Dengan adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi serta Surat Edaran dari Menteri Tenaga Kerja dan Transportasi, jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi tenaga kerja dalam penerapan sistem outsourcing, maka dapat diajukan kepada PengadilanHubungan Industrial seperti yang telah disampaikan oleh Majelis hakim dalam pertimbangan 81 hukum putusan tersebut. Bagi para pekerja / buruh diberikan kesempatan menuntut hak-hak bagi para tenaga kerja yang telah dilanggar karena adanya Perselisihan Hubungan Industrial. Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial dalam Pasal 1: (1) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja / buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan. (2) Perselisihan hak asalah perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (3) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (4) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena adanya ketidak sesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 82 Penyelesaian perselisihan di pengadilan ini melalui tata cara yang telah ditentukan dalam undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selain hal tersebut diatas juga dibutuhkan kerjasama dari pihak pemerintah terutama kontrol dari Kementrian Ketenagakerjaan kepada para tenaga kerja agar benar-benar tidak ada dalam prakteknya sistem outsourcing yang melanggar aturan yang telah dibuat. Jangan sampai kebijakan outsourcing yang telah dibuat justru merugikan banyak hak para tenaga kerja. Karena terbukti banyaknya pelanggaran yang terjadi oleh perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan para tenaga kerja outsourcing. Sehingga Putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi bukan merupakan putusa hitam diatas putih saja, sehingga tidak lagi adanya pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi di Indonesia yang menamakan dirinya sebagai negara hukum. 83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dengan adanya kemajuan dan persaingan dalam dunia bisnis maka menimbulkan gagasan mengenai outsourcing sebagai solusi dalam menghadapai persaingan bisnis tersebut. Akan tetapi pada prakteknya banyak sekali penyimpangan terhadap pemberlakuan sistem outsourcing. Banyak hak para tenaga kerja serta jaminan bagi para tenaga kerja yang tidak diperoleh. Terlebih lagi sistem outsourcing sekarang dikenakan terdahap semua jenis pekerjaan oleh Perusahaan outsourcing. 2. Dengan dikeluarkannya putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 oleh Mahkamah Konstitusi tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar 1945 yang diajukan oleh Didik Suprijadiyang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia, maka merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para tenaga kerja outsourcing.Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Outsourcing hanya diperbolehkan terhadap jenis pekerjaan yang tercantum dalam Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga tidak semua pekerjaan dikenakan Otsourcing seperti yang sekarang ini terjadi. Mengenai hak bagi para tenaga kerja juga dengan tegas disampaikan 84 dalam Putusan Makhamah Konstitusi tersebut sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing. 3. Untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi, maka yang telah Menteri dikeluarkan oleh Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Makhamah Kontitusi Nomor27/PUUIX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 4. Dengan adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut dan Surat Edaran dari Menteri Ketenagakerjaan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan membantu para tenaga kerja outsourcing karena telah diperjelas mengenai jenis pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara outsourcing. Selain itu, jika terdapat adanya pelanggaran dari ketentuan yang telah ditetapkan mengenai pemberlakuan sistem outsourcing dalam mempekerjakan tenaga kerja outsourcing, maka para tenaga kerja dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial atas pelanggaran yang telah dilakukan melalui mekanisme yang telah ditentukan seperti yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum dalam memutus perkara tersebut. 85 B. Saran 1. Pemerintah diharapkan melakukan kontrol terhadap perusahaan outsourcing agar apa yang telah menjadi keputusan mengenai pelegalan outsourcing dapat dijalankan dan tidak ada lagi hak para tenaga kerja khusunya tenaga kerja outsourcing yang dilanggar oleh para pengusaha. Sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai. 2. Seharusnya ada peraturan yang mengatur tentang besarnya potongan yang diperoleh perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan pekerja outsourcing. 86 DAFTAR PUSTAKA Literatur Budiyanto. 2000. Dasar-DasarIlmu Tata Negara. Jakarta: Erlangga. Djumadi. 2005. Sejarah keberadaan organisasi buruh di indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Fikriyah, Siti. 2008. HAM, Kewarganegaraan dan Konstitusi. Jakarta: Nobel Elmudia. Handoyo, Hestu Cipto. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Huda, Ni’Matul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Husni, Lalu. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Kusnadi,Moh. Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti. Manulang, Sendjun H. 2001. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia. Jakarta:Rhineka Cipta. Marzuki, Peter Mahmud. 2009, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group. Naning, Ramdhon. 1983, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia. Rusli, Hardijan. 2003. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta :Ghalia Indonesia. Tim Redaksi Pustaka Yustisia. 2012. Pedoman Terbaru Outsourcing & Kontrak Kerja : Peraturan 2012 Tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 87 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembara Negara Nomor 3886) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) Sumber Lain www.detik.comdiakses tanggal 30 Desember 2012 www.hukumonline.com diakses tanggal 30 Desember 2012 www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6358, diakses tanggal 30 Desember 2012 www.regional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.P enghapusan.Outsourcing. diakses tanggal 30 Desember 2012 www.wikipedia.com diakses tanggal 30 Desember 2012