PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

advertisement
1
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA
(SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)
SKRIPSI
Oleh :
DEWI NATALIA
E1A109053
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA
(SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)
SKRIPSI
Oleh :
DEWI NATALIA
E1A109053
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
Lembar Pengesahan Skripsi
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA
(SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)
Disusun Oleh:
Dewi Natalia
E1A109053
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal 20 Februari 2013
Pembimbing I
Tenang Haryanto S.H,M.H
NIP. 1196206221987021001
Pembimbing II
Penguji
Satrio Saptohadi S.H, M.H H.Komari S.H,M.Hum
NIP.195410181983031002
NIP.195406061980111001
Mengetahui,
DekanFakultasHukumUniversitasJenderalSoedirman
Dr.Angkasa,SH.,M.Hum
NIP.196409231989011001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: DEWI NATALIA
NIM
: E1A109053
Judul
: “PERLINDUNGAN HAK
ASASI MANUSIA BAGI TENAGA
KERJA DI INDONESIA (SUATU STUDY PERLINDUNGAN HAK
ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA OUTSOURCING)”
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan
tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka
saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 20 Februari 2013
DEWI NATALIA
NIM. E1A109053
iv
ABSTRAK
Hak-hak asasi bagi para tenaga kerja di Indonesia telah diatur dalam
konstitusi baik dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, maupun dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun telah ada peraturan yang mengatur tentang hak asasi bagi para
tenaga kerja, akan tetapi pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran. Terbukti
dengan adanya Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang
Outsourcing, dimana dalam perkembangannya dengan adanya sistem outsourcing
tersebut banyak terjadi pergeseran dalam penerapan sistem outsourcing.
Outsourcing yang pada awalnya hanya dikenakan terhadap jenis pekerjaan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi yaitu kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) pada suatu perusahaan, akan
tetapi pada kenyataannya hampir semua jenis pekerjaan dikenakan outsourcing
Penelitian ini akan menguraikan berkaitan dengan perlindungan hak asasi
manusia bagi para tenaga kerja khususnya bagi tenaga kerja outsoutcing di
Indonesia. Metyode penelitian yang digunakan adalah Yuridis normatif dengan
pendekatan yang digunakan yaitu Pendekatan Perundang-Undangan.
Hasil yang diperoleh bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-IX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pekerja outsourcing.
Karena dalam putusan tersebut menyatakan bahwa outsourcing hanya
diperbolehkan terhadap jenis pekerjaan yang tercantum dalam Pasal 59 UndangUndang Ketenagakerjaan. Untuk menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi juga mengeluarkan Surat
Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/ 2011.
Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Ketenagakerjaan, Outsourcing
v
ABSTRACT
Human rights for migrant workers in Indonesia have been set in both the
1945 Constitution, Law No. 39 Year 1999 on Human Rights, and the Law No. 13
of 2003 on Manpower.
Although there have been regulations governing human rights for migrant
workers, but in fact a lot of the offense. Evidenced by the Article 64 of the
Manpower Law governing Outsourcing, which in its development with the
outsourcing system is much the shift in application outsourcing system.
Outsourcing was originally only charged for the type of work that is not directly
related to the production process-related activities outside the core business in a
company, but in fact almost any kind of work be outsourced.
This study will outline relating to the protection of human rights for
migrant workers, especially for manpower outsoutcing in Indonesia. Metyode
study is normative juridical approach to the approach of Legislation.
That the results obtained by the Constitutional Court Decision on Petition
for Judicial 27/PUU-IX/2011 the Law No. 13 of 2003 on Manpower of the
Constitution of 1945, is a form of legal protection for outsourced workers. Since
the ruling states that outsourcing is only allowed to the type of work specified in
Article 59 of the Manpower Law. To follow up decision the Constitutional Court,
the Ministry of Manpower and Transmigration also issued Circular No.
B.31/PHIJSK/I/2012 on the Implementation of the Constitutional Court Decision
No. 27/PUU-IX / 2011.
Keywords: Human Rights, Manpower, Outsourcing
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :PERLINDUNGAN
HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA (SUATU
STUDY PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA
KERJA OUTSOURCING).
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai
kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsiini. Namun
berkat bimbingan, bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terima kasih yang tulus kepada:
1.
Bapak Dr. Angkasa,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2.
Bapak Tenang Haryanto,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing I skripsi, atas
segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah
diberikan selama penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Satrio Saptohadi,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing II skripsi, atas
segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan waktu
dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
vii
4.
Bapak H.A. Komari,SH,M.H selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan
masukan untuk skripsi ini.
5.
Ibu Eti Purwiyantiningsih, SH,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan selama Penulis menempuh kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6.
Segenap dosen, karyawan dan karyawati serta keluarga besar Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis
selama menempuh kuliah.
7.
Kedua orang tua saya Bapak Surono dan Ibu Suryati, yang telah
melimpahkan perhatian, kasih sayang, dan mendidik penulis serta selalu
berdoa untuk keberhasilan penulis.
8.
Adikku Aji Yunianto (Nyunyu), imamku Mas Sofyan Tri Wahyudin (Mas
Wahyu), dan saudaraku Puput Yuli Safitri (Citroep) yang selalu mendukung
dan memberi semangat.
9.
Kedua sahabat kecilku, Luthfia Kumara Gazania (Piao_Oo) dan Chiesa
Alifisto Deanugra (Cesa_Oces) yang selalu menghiburku.
10. Semua sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Hukum UNSOED Paralel 2009
dan teman-teman seperjuangan dalam penulisan skripsi.
11. Dan semua pihak yang selalu mendukung saya, yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangannya, sehingga masih memerlukam pembetulan, untuk
itu kritik dan saran akan diterima dengan lapang dada. Penulis mengharapkan
viii
skripsi ini akan dapat memberikan sumbangsih bagi para pembaca dan penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto,
Februari 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ...............................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
ABSRACT ......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .....................................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................
5
D. Kegunaan Penelitian ...........................................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum ............................................................
7
2. Unsur – unsur Negara Hukum ......................................................
11
B. Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia .....................................................
16
2. Perkembangan Hak Asasi Manusia ...............................................
19
C. Ketenagakerjaan
1. Pengertian Tenaga Kerja ...............................................................
29
x
2. Ketenagakerjaan di Indonesia .......................................................
35
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .............................................................................
43
B. Spesifikasi Penelitian ..........................................................................
43
C. Jenis Bahan Hukum ............................................................................
43
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .................................................
44
E. Metode Penyajian Bahan Hukum .......................................................
44
F. Metode Analisis Bahan Hukum ..........................................................
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................................
46
B. Pembahasan .........................................................................................
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................
84
B. Saran ....................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang berusaha untuk
meningkatkan pembangunan disegala bidang kehidupan termasuk salah
satunya adalah pembangunan dalam bidang ekonomi. Pembangunan dalam
bidang ekonomi ini dilakukan oleh pemerintah melalui program reformasi
dibidang ekonomi, akan tetapi cara ini dirasa belum memberikan hasil
yang memadai. Sedangkan pembangunan dalam bidang ekonomi sangat
penting karena merupakan salah satu faktor penunjang terwujudnya
pembangunan nasional. Dengan pembangunan dalam bidang ekonomi,
diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan
rakyatnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam lambatnya proses
pemulihan ekonomi, salah satunya disebabkan oleh faktor adanya campur
tangan oleh pemerintah yang terlalu besar dalam penyelenggaraan
pembangunan dibidang ekonomi. Hal ini mengakibatkan kedaulatan
ekonomi tidak berada ditangan rakyat.
Selain itu, lambatnya pembangunan dalam bidang ekonomi juga
dapat terjadi karena pengaruh adanya kesenjangan ekonomi, baik
kesenjangan antara pusat dan daerah, kesenjangan antar daerah,
kesenjangan antar pelaku, dan kesenjangan antar golongan pendapatan.
Namun kesenjangan ekonomi sekarang telah meluas keseluruh aspek
2
kehidupan, yang mengakibatkan berkembangnya sistem monopoli dalam
bidang ekonomi.
Lambatnya pemulihan ekonomi ini mengakibatkan dampak bagi
kehidupan masyarakat, karena pengangguran meningkat, penduduk miskin
bertambah, dan lapangan kerja menjadi hal yang susah untuk dicari. Hak
dan perlindungan terhadap tenaga kerja juga menjadi tidak terjamin serta
kesehatan masyarakat menjadi menurun.
Pada kenyataannya, pihak pencari kerja semakin lama jumlahnya
semakin banyak. Banyak faktor yang berpengaruh dalam hal ini, salah
satunya adalah faktor pemutusan hubungan kerja karena perusahaan yang
bangkrut / pailit, atau perusahaan yang pindah ke negara lain atau dapat
juga karena adanya akibat dari semakin banyak pencari kerja yang belum
tersalurkan. Dengan demikian sumber daya manusia di Indonesia hanya
unggul dalam segi kuantitas tanpa didukung keunggulan secara kualitas. 1
Pemulihan
dalam
bidang
ekonomi
ini
bertujuan
untuk
mengembalikan tingkat pertumbuhan dan pemerataan kehidupan ekonomi
yang memadai, selain itu juga tercapainya pembangunan
yang
berkelanjutan. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
tenaga kerja mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan dalam bidang ekonomi. Oleh
karena
itu,
diperlukan
adanya
pembangunan
dalam
bidang
ketenagakerjaan agar para tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan.
1
Djumadi. 2005. Sejarah keberadaan organisasi buruh di indonesia. RajaGrafindo
Persada. Jakarta. Hal: 9
3
Pembangunan
ketenagakerjaan
merupakan
bagian
dari
pembangunan nasional yang dilakukan berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan
masyarakat Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur bagi para tenaga
kerja. Selain itu, pembangunan terhadap ketenagakerjaan juga dilakukan
untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja serta peningkatan perlindungan
terhadap tenaga kerja dan keluarganya sesuai harkat dan martabat bagi
kemanusiaan.
Perlindunagn terhadap tenga kerja ini bertujuan untuk menjamin
hak-hak dasar yang dimiliki oleh para tenaga kerja dan menjamin
kesamaan kesempatan yang diperoleh para tenaga kerja serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun dalam mewujudkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha.
Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan umum dari bangsa
Indonesia yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan
Pancasila untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2
2
Tim Redaksi Pustaka Yustisia. 2012. Pedoman Terbaru Outsourcing & Kontrak Kerja :
Peraturan 2012 Tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pustaka
Yustisia: Yogyakarta. Hal. 8
4
Bangsa Indonesia telah membuat peraturan tersendiri untuk
mengatur tentang tenaga kerja, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan adanya undang-undang ini maka
diharapkan hak-hak para tenaga kerja serta hal lain mengenai tenaga kerja
dapat terjamin. Akan tetapi dalam undang-undang tersebut terdapat satu
pasal yang isinya dirasa cukup merugikan bagi para tenaga kerja. Yaitu
pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya (Outsourcing). Pasal tersebut menyatakan
bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis”.
Dari pasal ini mempunyai dampak baik secara langsung maupun
tidak langsung bagi semua tenaga kerja outsourcing di Indonesia yang
dirasakan sangat merugikan bagi hak-hak para tenaga kerja karena aturan
tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 27 ayat 2 yaitu bahwa “tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”, serta Pasal 28D ayat (2) yaitu “setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”.
Selain kedua pasal tersebut diatas, Pasal 64 Undang-Undang No 13
Tahun 2003 juga dirasakan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1)
5
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Peraturan dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tersebut juga
bertentangan denga ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada kenyataannya, masih terlihat banyaknya tenaga kerja
outsourcing di Indonsia yang tidak terpenuhi akan hak-hak asasinya
sedangkan kewajiban harus terus dijalankan. Dari apa yang telah diuraikan
dalam penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul
untuk skripsi ini yaitu “ PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
BAGI TENAGA
KERJA
DI INDONESIA
(SUATU
STUDY
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TENAGA KERJA
OUTSOURCING)”.
A. Perumusan Masalah
Dari latar belakang seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat
diambil suatu rumusan masalah yaitu :Bagaimanakah perlindungan hak
asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja
outsourcing?
B. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penulisan karya tulis
ini adalah untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia bagi para
tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing.
6
C. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya
tulisan ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan kesadaran
bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya Hukum Tata
Negara mengenai hak-hak asasi bagi para tenaga kerja yang sering
diabaikan khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum Tata Negara
terutama mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Secara praktis atau terapan penelitian ini diharapkan dapat berguna
untuk sedapat mungkin memberikan sebuah informasi kepada para
tenaga kerja khususnya bagi para tenaga kerja outsourcing yang
hak–hak asasinya dilanggar, dan bagi para pengusaha supaya dapat
bertindak sesuai dengan ketentuan atau peraturan hukum yang
berlaku dalam mempekerjakan para tenaga kerja.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. NEGARA HUKUM
1.
Pengertian Negara Hukum
Teori berdirinya negara berdasar atas hukum sudah dikenal sejak
abad V SM atau pada zaman Yunani Kuno. Adanya negara berdasarkan
hukum adalah bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Gagasan tentang negara berdasarkan hukum mengalami peningkatan
sejak abad XV sampai abad XVIII. Gagasan tentang negara hukum
dipelopori oleh Immanuel Kant yang dianggap sebagai pelopor yang
paling berjasa dalam meletakkan gagasan tentang negara hukum murni
atau negara hukum formal.3
Menurut Immanuel Kant, terdapat empat prinsip tentang ciri
negara hukum, yaitu:
1. Pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia
2. Pemisahan kekuasaan untukmenjamin hak-hak asasi manusia
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia.4
Teori Immanuel Kant tentang negara hukum formal menjadikan
negara bersifat pasif. Artinya tugas negara hanya mempertahankan
3
4
Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta. Erlangga. Hal 53
Loc.cit
8
keamanan dan ketertiban saja, atau dapat juga dikatakan bahwa negara
hanya sebagai penjaga malam. Akan tetapi dalam masalah ekonomi dan
sosial, negara tidak boleh ikut mecampurinya. Teori tersebut banyak
diterapkan di Eropa, Amerika, dan Australia yang pada prakteknya
banyak melahirkan eksploitasi terhadap manusia maupun alam,
monopoli, dan kesenjangan sosial yang melebar.
Pada akhir abad XIX munculah pelopor negara hukum modern,
yaitu Prof. Kranenburg yang terkenal dengan istilah “welfare state” atau
negara kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan negara hukum material,
karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa negara selain
bertugas membina ketertiban hukum juga ikut bertanggung jawab dalam
membina dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. 5
Berbicara mengenai negara hukum, belum terdapat kesamaan
mengenai pengertian negara hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa pendapat para ahali yang memberikan gambaran tentang negara
hukum.
Pendapat pertama datang dari Sudargo Gautama, yang memberikan
gambaran tentang negara huhum, yaitu bahwa dalam suatu negara hukum
terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara
tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan
warga negaranya dibatasi oleh hukum.6
Pendapat yang lain datang dari Prof. R. Djokosutono yang
menyatakan bahwa negara hukum menurut Undang-Undang Dasar
5
6
Loc.cit
Ibid. Hal. 52
9
1945adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah
yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subyek hukum
dalam arti Rechstaat.7
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil
Amandemen IV yang menentukan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Dari bunyi pasal 1 ayat (3) tersebut, adanya konsekuensi
yaitu bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan
penduduk harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh alat negara
maupun penduduk.
Apa yang disampaikan oleh Prof. R. Djokosutono senada dengan
apa yang terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas
hukum (Rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka ( machstaat ),
dan disebutkan pula bahwa Pemerintah Indonesia berdasarkan sistem
konstitusi ( hukum dasar ), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas).
Dari bunyi penjelasan undang-undang tersebut mengandung arti
bahwa negara dalam melaksanakan aktivitas penyelenggaraan negara
tidak boleh berdasarkan kekuasaan belaka akan tetapi harus berdasarkan
hukum yang berlaku.
Lain lagi gambaran pengertian tentang negara hukum yang
diberikan
oleh Prof. PadmoWahyono, beliau dalam memberikan
gambaran tentang negara hukum, yaitu suatu negara hukum yang ideal
7
Loc.cit
10
pada abad ke-20 ini adalah jika segala tindakan penguasa (negara) selalu
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.8
Dari beberapa gambaran mengenai negara hukum tersebut diatas,
maka dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian negara hukum, yaitu
bahwa negara hukum adalah negara yang melaksanakan kekuasaannya
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum adalah suatu negara
yang didalam wilayahnya adalah:
a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat
perlengkapan dan pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga
negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak
boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturanperaturan hukum yang berlaku;
b. Semua orang atau penduduk dalam hubungan kemasyarakatan harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.9
Arti dari negara hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari
konsep tentang kedaulatan hukum yang menyatakan bahwa kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Sehingga alat perlengkapan
negara dan juga warga negara harus dihukum tanpa kecuali jika memang
terbukti bersalah melanggar hukum, seperti apa yang diungkapkan oleh
Krabe:
8
Ibid. Hal 53
Wirjono Prodjodikoro, dalam Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta. RajaGrafindo Persada. Hal 75.
9
11
Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala
kegiatannya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku.
Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan
pengertian hukum itu bersumber dari kedasaran hukum
rakyat, maka hukum itu tidak mempunyai wibawa yang tidak
berkaitan dengan seseorang (Impersonal). 10
Dari semua uraian diatas, dapat diketahui bahwa di dalam negara
hukum,
hukumlah
yang
memegang
komando
tertinggi
dalam
penyelenggaraan negara sehingga yang menjadi pemimpin dalam
penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri.
2.
Unsur-Unsur Negara Hukum
Paul Sholten mengemukakan bahwa dalam negara hukum unsur
yang utama adalah adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan
hukum.11Sehingga asas legalitas terdapat di negara hukum. Segala
pelanggaran terhadap hak-hak individu dapat ditegakkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah harus dilakukan berdasarkan hukum.
Menurut M. Kusnardi dan H. Ibrahim menyebutkan bahwa unsurunsur negara hukum dapat dilihat pada negara hukum dalam arti formal
dan negara hukum dalam arti sempit. Dalam negara dalam arti sempit,
orang hanya mengenal 2 unsur penting yaitu:
a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
b. Adanya pemisahan kekuasaan. 12
10
Krabe, dalam Hestu Cipto Handoyo. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan &
Kah Asasi Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. Hal. 12
11
Budiyanto, op.cIt. hal. 54
12
Loc.cit
12
Sedangkan dalam negara dalam arti formal, unsur-unsurnya yaitu:
a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. Pemisahan kekuasaan
c. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan
d. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. 13
Pengertian tentang negara hukum berlawanan dengan pengertian
tentang negara kekuasaan. Dasar pemikiran tentang negara hukum
berdasarkan adanya kebebasan rakyat, bukan kebebasan negara dengan
dengan tujuan untuk memelihara ketertiban hukum dan mengabdi kepada
kepentingan umum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan.
Ada 2 (dua) tipe negara hukum yang terkenal yaitu Tipe Anglo
Saxon dan Tipe Eropa Kontinental.
1. Tipe Anglo Saxon
Tipe negara yang menganut Anglo Saxon bertumpu pada The Rule
of Law. Beberapa negara yang menganut tipe ini adalah Inggris dan
Amerika. Menurut A.V. Dicey, the rule of law terbagi dalam 3 unsur
pokok, yaitu:
1. Supremacy of The Law
Yaitu hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi
dan Pemerintah selaku penguasa tidak boleh bertindak sewenangwenang. Setiap individu baik sebagai rakyat maupun sebagai
13
Loc.cit
13
penguasa harus tunduk kepada hukum dan jika bersalah harus
dihukum tanpa kecuali.Supremasi ini untuk menentang pengaruh
dan meniadakan tindakan yang sewenang-wenang yang luas oleh
pemerintah. Adapun ciri dari supemacy of the law adalah:
a.
Hukum berkuasa penuh terhadap rakyat dan negara;
b.
Negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat
negara;
c.
Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh Supremacy
of Court atau Mahkamah Agung.14
2. Equality before The Law
Yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum. Rakyat maupun penguasa berhak mendapatkan
perlindungan hukum dan wajib untuk mematuhi hukum yang
berlaku.15 Hal ini berarti tidak ada orang yang berada diatas
hukum.
3. Constitution Based on Human Rights
Yaitu adanya jaminan hak-hak asasi dalam konstitusi.
Hukum
konstitusi
bukanlah
sumber,
tetapi
merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan
ditegaskan oleh peradilan. 16Hal ini merupakan penegasan bahwa
hak-hak asasi harus dilindungi.
14
Loc.cit
Loc.cit
16
Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
15
Hal 75.
14
Di indonesia, dalam menjelaskan tentang negara hukum
merupakan terjemahan dari Rechstaat, sebagaimana dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Akan tetapi antara the rule of law
dengan rechstaat terdapat perbedaan walaupun mempunyai tujuan yang
sama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Konsep Rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang
absolutisme yang berkembang secara revolusioner yang bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut Civil Law. Adapun ciri-ciri dari
Rechtsstaat yaitu:
a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
b. Adanya pembagian kekuasaan negara;
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.17
Sedangkan Konsep The Rule of Law berkembang secara
evolusioner yang bertumpu pada sistem hukum yang disebut Common
Law. Adapun syarat dasar agar pemerintahan demokratis di bawah the
rule of law dapat terselenggara, yaitu:
17
a.
Perlindungan konstitusional
b.
Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
c.
Pemilihan umum yang bebas
d.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat
e.
Kebebasan untuk berserikat / berorganisasi dan beroposisi
Ibid . 74
15
f.
Pendidikan kewarganegaraan. 18
2. Tipe Eropa Kontinental
Pada negara tipe ini, yang berdaulat adalah hukum sehingga
hukum memandang negara sebagi subyek hukum yang dapat dituntut
apabila melanggar hukum. Beberapa negara penganut tipe Eropa
Kontinental adalah Jerman, Perancis, Belgia, Belanda. Menurut Prof.
R. Djokosutono,
negara hukum berdasarkan kedaulatan hukum,
karena dalam prakteknya kekuasaan yang dijalankan berdasarkan
hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).19
Selain unsur-unsur, dalam negara hukum juga menganut prinsipprinsip antara lain:
a. Pengakuan
dan
perlindungan
hak-hak
asasi
manusia
yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan kebudayaan. Hal tersebut berdasarkan ketentuan hukum.
b. Peradilan yang bebas, tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuatan apapun juga. Artinya ada kekuasaan yang terlepas
dari kekuasaan pemerintah yang menjamin hak-hak asasi sehingga
hakim benar-benar memperoleh putusan yang objektif dalam
memutuskan perkara.
c. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Dengan ini
suatu tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan
hukum.20
18
Budiyanto. Op.cit Hal 55
Loc.cit
20
Loc.cit
19
16
Dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut
prinsip-prinsip dasar keadilan, sehingga terikat pada konstitusi. Hukum
menjadi batas, penentu dan dasar dalam cara bertindak oleh pemerintah
serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warga
negaranya.
Atas
dasar
hukum
pula,
suatu
negara
hukum
menyelenggarakan apa yang menjadi tujuan negara.
B. HAK ASASI MANUSIA
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari Droits de
L’homme (Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten
(Belanda). Di Indonesia, hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak
asasi atau juga dapat disebut sebagai hak fundamental.21
Istilah hak asasi lahir secara monumental sejak terjadinya revolusi
Perancis pada tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’hommeet
du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan
semboyan Liberte (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan) dan Fraternite
(Persaudaraan).22
Istilah hak mempunyai banyak arti. Hak dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau
dapat juga diartikan sebagai kekuasaan untuk tidak berbuat sesuatu dan
lain sebagainya. Sedangkan asasi berarti bersifat dasar atau pokok atau
21
22
Ibid . Hal 56
Loc.cit
17
dapat juga diartikan sebagai fundamental. Sehingga hak asasi manusia
adalah hak yang bersifat dasar atau hak pokok yang dimiliki oleh
manusia, seperti hak untuk berbicara, hak hidup, hak untuk mendapatkan
perlindungan dan lain sebagainya.
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia
secara kodrati. Pengakuan terhadap hak asasi manusia lahir dari adanya
keyakinan bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan
memiliki harkan dan martabat yang sama antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya. Selain itu, manusia diciptakan dengan
disertai akal dan hati nurani, sehingga manusia dalam memperlakukan
manusia yang lainnya harus secara baik dan beradab.
Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang
bersifat asasi, artinya hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrat dan
tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri sehingga sifatnya
suci.23Sehingga dapat juga dikatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang dimiliki oleh seseorang sebagai anugerah
Tuhan yang dibawa sejak lahir.
Bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi adalah hak yang
melekat pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai
anugerah Tuhan. Karena semua hak asasi manusia itu diberikan oleh
Tuhan, maka tidak ada yang boleh mencabut dan mengilangkan selain
23
Ibid hal 58
18
Tuhan. Sehingga hak asasi itu perlu mendapatkan perlindungan dan
jaminan oleh negara atau pemerintah, dan bagi siapa saja yang
melanggarnya maka harus mendapatkan sangsi yang tegas tanpa kecuali.
Ada beberapa hak yang tidak dapat dicabut seperti hak untuk
memiliki kebebasan dalam berbicara dan berpendapat, hak untuk
mendapatkan
kebebasan
dalam
memilih
agama
sesuai
dengan
keyakinanya, hak mendapatkan kebebasan untuk berserikat, hak untuk
mendapatkan perlindungan yang sama dihadapan hukum dan masih
banyak lagi.
Hak atas hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan
merupakan contoh dari beberapa hak yang diakui secara universal di
dunia. Tidak seorang pun boleh diperbudak, diperdagangkan, disiksa,
diperlakukan secara
tidak berperikemanusiaan atau
merendahkan
martabat manusia.
Hak tersebut merupakan contoh beberapa hak yang dimiliki oleh
setiap individu tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, bahasa, asal kebangsaan, status sosial, harta, atau latar
belakang lainnya. Sehinnga hak asasi manusia itu memerlukan adanya
perlindungan dari hukum.
Dalam Pasal 1 ayat (1)Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
disebutkan mengenai pengertian hak asasi manusia, bahwa :
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
padahakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
19
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dari bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya
kewajiban dari setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain.
Kewajiban tersebut dengan tegas dituangkan dalam undang-undang
sebagai seperangkat kewajiban sehingga apabila tidak dilaksanakan maka
tidak mungkin akan terlaksana dan tegaknya perlindungan terhadap hak
asasi manusia.
Undang-undang
ini
memandang
kewajiban
dasar
manusia
merupakan sisi lain dari hak asasi manusia. Tanpa menjalankan kewajiban
dasar manusia, adalah tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia, sehingga dalam pelaksanaannya, hak asasi seseorang harus
dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain.
2. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap
hak asasi manusia selalu mengalami pasang surut sejalan dengan
peradaban manusia dan mengalami perjuangan yang panjang. Sejak abad
ke-13 usaha perlindungan terhadap hak asasi manusia telah dimulai.
Usaha melindungi hak-hak asasi manusia telah ditempuh oleh bangsa
Inggris sejak tahun 1215 dengan ditandatanganinya Magna Charta oleh
Raja John Lackland.
Namun sebelum adanya Magna Charta, di dunia islam telah
terlebih dahulu ada suatu piagam tentang hak asasi manusia yang dikenal
20
dengan “Piagam Madinah”
di madinah pada tahun 622, yang
memberikan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia bagi
penduduk Madinah yang terdiri atas berbagai suku dan agama.
Noourouzzaman Shiddigi telah membuat ringkasan Piagam Madinah
yaitu:
1. Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat
majemuk, baik ditinjau dari segi asal keturunan, budaya
maupun agama yang dianut. Tali pengikat persatuan adalah
politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama (Pasal 17, 23,
dan 42).
2. Masyarakat pendukung semula terpecah belah dikelompokkan
dalam kategori Muslim dan non-Muslim. Tali pengikat sesama
Muslim adalah persaudaraan seagama (Pasal 15). Diantara
mereka harus tertanam rasa solidaritas yang tinggi (Pasal 14,
19, dan 21).
3. Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadat
bagi orang-orang non-Muslim, khususnya Yahudi (Pasal 2530).
4. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai
anggota masyarakat; wajib saling membantu dan tidak boleh
seorang pun diperlakukan secara buruk (Pasal 16). Bahwa
orang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11).
5. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama
(Pasal 24, 36, 37, 38 dan 44).
6. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama
dihadapan hukum (Pasal 34, 40 dan 46) .
7. Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada
keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan (Pasal 2 dan 10).
8. Hukum harus ditegakkan, siapa pun tidak boleh melindungi
kejahatan apalagi berpihak kepada orang yang melakukan
kejahatan demi tegaknya keadilan dan kebenaran, siapapun
pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (Pasal 13,
22 dan 43).
9. Perdamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan
perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran
(Pasal 45).
10. Setiap orang harus dihormati (Pasal 12).
11. Pengakuan terhadap hak milik individu (Pasal 47).24
24
Rozali Abdullah, Syamsir. 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan
HAM di Inonesia. Jakarta. Ghalian Indonesia. Hal : 10
21
Namun yang sering tuangkan dalam sejarah tentang permulaan
perjuangan hak asasi manusai adalah
Piagam Magna Chartayang
berisikan beberapa hak yang diberikan oleh raja John kepada beberapa
bangsawan bawahannya dan kaum gerejani atas sejumlah tuntutan yang
diajukan oleh mereka dengan konsekuensi adanya pembatasan terhadap
kekuasaan raja dan adanya penghormatan terhadap hak-hak rakyat.Hak
yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari
jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang
keuangan.25
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan penandatanganan
Petition of Rights pada tahun 1628 tang dilakukan oleh Raja Charles I.
Dibandingkan dengan Magna Charta,
Petition of Rights banyak
mengalami kemajuan. Bila penandatanganan Magna Charta dilatar
belakangi oleh sejumlah tuntutan yang diajukan oleh kaum bangsawan
dan gerejani, maka kelahiran Petition of Rights dilatar belakangi oleh
sejumlah tuntutan rakyat yang diwakili oleh parlemen. Disini raja
berhadapan dengan beberapa parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the
House of Commons).26
Perlawanan rakyat Inggris terhadap Raja James II pada Tahun
1688 atau yang dikenal dengan Revolusi tak berdarah (The Glorius
Revolution) telah mendorong penandatanganan Undang-Undang Hak (Bill
or Rights) oleh Raja Williem III pada tahun 1689 yang melembagagakn
25
Hestu Cipto Handoyo. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Kah Asasi
Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. hal 266
26
Ibid hal 226-227
22
adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan
dan pedagang diatas monarkhi.27 Penandatanganan undang-undang
tersebut bukan saja menandai kemenangan Parlemen Inggris atau Raja
akan tetapi juga merupakan bukti kesungguhan rakyat Inggris dalam
menegakkan hak-haknya dibawah kekuasaan Raja yang diperjuangkan
selama enam puluh tahun lamanya. Apa yang dilakukan oleh rakyat
inggris merupakan usaha untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak
sewenang-wenang.
Usaha membatasi kekuasaan raja untuk melindungi hak asasi
manusia dilakukan pula oleh bangsa Prancis. Seperti di Inggris, usaha
perlindungan hak asasi manusia di Prancis lahir dari revolusi yang
bertujuan menghancurkan sistem pemerintahan absolut dan menggantinya
dengan pemerintahan yang demokratis yang banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada saat itu.
Thomas Hobbes dan John Locke adalah peletak dasar teori
perjanjian masyarakat. Perbedaannya apabila teori perjanjian masyarakat
yang dikembangkan oleh Thomas hobbes melahirkan ajaran monarki
absolut, sedangkan teori perjanjian masyarakat yang dikembangkan oleh
John Locke melahirkan ajaran monarkhi konstitusional.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu dalam situasi “hommo
homini lupus bellum omnium comtra omnes”.28 Situasi ini mendorong
27
Scott Davidson dalam Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara,
Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. Hal. 267
28
Moh. Kusnadi, Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta.. Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti. Hal 308
23
dilakukannya perjanjian antara masyarakat dengan penguasa. Perjanjian
tersebut berisikan penyerahan hak rakyat kepada penguasa. Sehingga
ajaran yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes mengarah kepada
pembentukan monarkhi absolut.
Berbeda dengan Thomas Hobbes, John Locke memandang dalam
bermasyarakat dan bernegara merupakan kehendak manusia yang
diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu yang pertama adalah
pactum unionis yang merupakan perjanjian antaranggota masyarakat
untuk membentuk masyarakat politik dan negara.
Sedangkan yang kedua yaitu pactum subjectionis. John Locke
memandang bahwa pactum subjectionis sebagai perjanjian antara rakyat
dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat
ketika berhadapan dengan penguasa. Pada dasarnya perjanjian antara
individu tadi (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. 29
Sehingga menurut John Locke tugas negara adalah melindungi hak-hak
individu, yaitu hak untuk hidup (life), hak untuk mendapatkan kebebasan
(liberty), dan hak milik (estate). Jaminan perlindungan terhadap hak-hak
tersebut dituangkan dalam undang-undang sehingga ajaran John Locke
disebut monarkhi konstitusional.
Perkembangan sejarah perlindungan hak asasi manusia di Amerika
juga memiliki kaitan dengan pengalaman perjuangan bangsa Inggris dan
Prancis. Hal ini terlihat dari ajaran John Locke terhadap kandungan isi
Declaration of Independence Amerika yang disetujui oleh Congres yang
mewakili 13 negara baru pada tanggal 4 Juli 1776.
29
Ibid hal 309
24
Perkembangan usaha perlindungan terhadap hak asasi manusia di
Amerika memiliki kemiripan dengan perlindungan hak asasi manusia
yang dialami oleh bangsa Prancis. Konsep kedaulatan berada di tangan
rakyat yang dianut oleh Amerika juga dianut oleh Prancis. Kedua negara
tersebut juga memperjuangkan hak asasi melalui revolusi serta pada tahun
yang sama kedua negara tersebut menandatangani piagam tentang
perlindungan hak asasi manusia.
Di Prancis pada tahun 1789 dikeluarkan pernyataan tentang hakhak manusia dan warga negara (Declaration des droits de L’homme et du
citoyen). Deklarasi tersebut berupa naskah yang dicetuskan pada awal
Revolusi Prancis sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan lama
yang sewenang-wenang yang berkuasa secara absolut.
Declaration des droits de L’homme et du citoyen yaitu pernyataan
hak-hak asasi manusia dan warga negara sebagai hasil Revolusi Prancis di
bawah kepemimpinan Jenderal Lafayette yang terkenal dengan simbol
Liberte
(Kemerdekaan),
Egalite
(persamaan)
dan
Fraternite
(persaudaraan).30 Deklarasi tersebut untuk menjamin hak asasi manusia
yang tercantum dalam konstitusi.
Sedangkan pada tahun yang sama, di Amerika juga dikeluarkan
Undang-Undang Hak (Bill of Rights) yaitu suatu naskah yang disusun
oleh rakyat Amerika pada tahun 1789. Dan undang-undang ini sekarang
telah menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika pada tahun
1971.31
30
31
Budiyanto. Op.cit hal 57
Moh. Kusnadi, Harmaily Ibrahim. Op. Cit. Hal 267
25
Kejadian lain dalam perkembangan hak asasi manusia yaitu terjadi
pada abad ke XX yang ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang
memporak-porandakan kehidupan manusia. Perang Dunia ini disebabkan
oleh ulah para pemimpin yang tidak mengindahkan hak asasi manusia
bahkan dengan sengaja menginjak-nginjaknya seperti Jerman oleh Hilter,
Italia oleh Benito Musolini, dan Jepang oleh Hirohito.
Pada saat berkobarnya Perang Dunia II, muncullah Atlantic
Charter yang dipelopori oleh F.D. Roosevelt yang merumuskan tentang
The Four Freedoms ( 4 kebebasan ) dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara yaitu:
a. Kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat (freedom of
speech);
b. Kebebasan untuk beragama ( freedom of religion);
c. Kebebasan dari rasa takut (freedom of fear);
d. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).32
Pada tahun 1946 Commision on Human Rights of United
NationPerserikatan
Bangsa-Bangsa
menetapkan
secara
terperinci
beberapa hak ekonomi dan sosial serta hak politik. Kemudian penetapan
dilanjutkan dengan disusunya pernyataan sedunia tentang hak asasi
manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10
Desember 1948.33
Universal Declaration of Human Rights merupakan pernyataan
sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang terdiri dari 30 pasal. Piagam
32
33
Budiyanto. op.cit. hal 58
Ibid hal 268
26
tersebut menyerukan kepada semua anggota dan bangsa di dunia untuk
menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang dimuat di dalam
konstitusi negara masing-masing.
Keberhasilan diterimanyaUniversal Declaration of Human Rights
diikuti oleh keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convenant) yang
diakui oleh Hukum Internasional dan diratifikasi oleh negara-negara
anggota PBB seperti:
a. The International on Civil and Political Rights
Yaitu memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (persamaan
antara hak pria dan wanita).
b. Optional Protocol
Yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang mengadukan
pelanggaran hak asasi kepada The Human Rights Commitee PBB
setelah melalui upaya pengadilan di negaranya.
c. The Internaational Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights
Yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi,
ekonomi, sosial dan budaya. 34
Dengan adanya Universal Declaration of Human Rights maka
diharapkan agar para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut
mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasarnya atau peraturan yang
lainnya yang berlaku di negara tersebut.
Di Indonesia, semua peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengacu pada hukum dasar atau konstitusi baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis yang berlaku di Indonesia
saat ini adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Namun setelah adanya amandemen kedua Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 pada tahun 2000 dan dikeluarkannya ketetapan MPR No.
34
Budiyanto op.cit hal 58
27
XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia, maka perkembangan
mengenai hak asasi manusia mengalami peningkatan yang pesat. Terlebih
lagi setelah dikeluarkannya Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat penyataan
mengenai hak asasi manusia yaitu yang dinyatakan sebagai berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia
harus
dihapuskan
karena
tidak
sesuai
dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”
Bunyi paragraf pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
menunjukkan bahwa hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan bagi
semua bangsa mendapatkan jaminan dan di junjung tinggi oleh seluruh
bangsa di dunia. Setelah perubahan kedua Undang-Undang 1945, jaminan
tentang hak asasi manusia dinyatakan secara khusus pada bab tersendiri
yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang meliputi Pasal 28A
sampai 28 J.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
tahun 1945, sebenarnya telah ada pemikiran bahkan telah menuangkan
gagasan mengenai hak asasi manusia. Namun dalam pelaksanaannya
mengalami pasang surut. Banyak kritikan yang didapat oleh pemerintah
sehingga perlu mendorong pemerintah untuk segera membentuk suatu
Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM).
Tujuan pembentukan KOMNASHAM adalah sebagai berikut:
28
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia,
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.35
Karena pertimbangan pentingnya masalah hak asasi manusia di
Indonesia dan situasi yang tidak menentu serta banyaknya sorotan dari
dunia Internasional terhadap banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia sedangkan peraturan perundangan yang dapat didasarkan
(landasan) oleh pemerintah untuk menindak para pelanggar hak asasi
manusia belum memadai maka pada tahun 1998 dikeluarkan sejumlah
peraturan tentang hak asasi manusia seperti:
1. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan martabat Manusia).
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 Tahun 1998
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998
tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia.
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam
Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan
35
Rozali Abdullah op.cit hal. 33
29
Program,
ataupun
Pelaksanaan
Kegiatan
Penyelenggaraan
Pemerintah.
Untuk melengkapi peraturan perundang-undangan diatas maka
pada tanggal 23 September 1999 diundangkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UndangUndang tersebut mengatur secara lengkap dan terperinci mengenai hak
asasi manusia.
Sistematika Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia terdiri atas 11 bab dan 106 pasal, yaitu sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Ketentuan Umum
Asas-asas Dasar
Hak Asasi Manusiadan Kebebasan Dasar Manusia
Kewajiban Dasar Manusia
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintahan
Pembatasan dan Larangan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Partisipasi Masyarakat
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ketentuan Peralihan
Ketentuan Penutup
C. KETENAGAKERJAAN
1. Pengertian Tenaga Kerja
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan
Pokok Ketenagakerjaan memberikan pengertian tentang tenaga kerja,
bahwa tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan
baik
didalam
maupun
diluar
hubungan
kerja
guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.
Namun undang-undang ini sudah tidak digunakan lagi setelah adanya
undang-undang yang baru yang mengatur tentang ketenagakerjaan.
30
Dalam Undang-Undang yang baru tentang ketenagakerjaan yaitu
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja juga
memberikan pengertian tentang tenaga kerja yang terdapat dalam Pasal 1
angka 2 bahwa tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian tenaga kerja
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja tersebut
telah menyempurnakan pengertian tentang tenaga kerja dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. 36
Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang No.13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan juga sejalan dengan pengertian tenaga kerja
menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh
Dr. Payaman Simanjutak dalam bukunya “Pengantar Ekonomi Sumber
Daya Manusia” yaitu bahwa tenaga kerja atau manpower adalah
mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang
mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan
mengurus rumah tangga.37
Pengertian tentang tenaga kerja yang dikemukakan oleh Dr.
Payaman Simanjuntak ini memiliki pengertian yang lebih luas dari
pekerja / buruh. Pengertian tenaga kerja disini mencakup tenaga kerja /
buruh yang sedang terkait dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja
36
Sendjun H. Manulang. 2001. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia.
Jakarta. Rhineka Cipta. Hal 3
37
Loc.cit
31
yang belum bekerja. Sedangkan pengertian dari pekerja / buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Dengan kata lain, pekerja atau buruh adalah tenaga kerja
yang sedang dalam ikatan hubungan kerja.38
Istilah buruh sangat
populer
dalam
dunia
perburuhan /
ketenagakerjaan, karena istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan
sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam peraturan yang lama sebelum
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk
menyebutkan tenaga kerja menggunakan istilah buruh. Hal ini dipertegas
dengan pengertian mengenai buruh pada zaman Belanda yaitu:
Buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang
melakukan pekerjaan kasar. Orang-orang yang melakukan
pekerjaan ini disebut “Blue Collar”. Sedangkan yang
melakukan pekerjaan di kantor pemerintahan maupun swasta
disebut sebagai Karyawan / Pegawai “White Collar”.39
Namun setelah merdeka tidak ada lagi perbedaan antara buruh
halus dengan buruh kasar, semua orang yang bekerja di sektor swasta
adalah buruh seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 1975 Pasal 1 ayat 1a tentang Perselisihan Perburuhan yakni buruh
adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah.
Dalam perkembangannya di Indonesia, istilah buruh diganti
dengan istilah pekerja. Alasannya adalah karena istilah buruh kurang
sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada
golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yaitu
38
Hardijan Rusli. 2003. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta :Ghalia Indonesia. Hal 12-13
Lalu Husni. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta.
RajaGrafindo Persada. Hal. 43
39
32
majikan. Selain itu, istilah buruh juga sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman karena dirasakan terlalu merendahkan harkat dan
martabat manusia.
Dalam peraturan yang baru mengenai ketenagakerjaan, yaitu
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam pasal
1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja / buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
Pengertian ini lebih luas karena mencakup semua orang yang bekerja
pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum maupun
badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
Karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula
buruh / pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.
Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian tenaga
kerja diperluas. Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UndangUndang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 8
ayat (2), ditentukan bahwa termasuk tenaga kerja dalam jaminan
kecelakaan kerja ialah:
a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang
menerima upah maupun tidak;
b. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali yang memborong adalah
perusahaan;
c. Narapidana yang dipekerjakan diperusahaan.
Dapat juga dikatakan bahwa tenaga kerja merupakan penduduk
yang berada dalam usia kerja. Secara garis besar dalam suatu negara
33
penduduk dibedakan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja. Penduduk yang termasuk dalam kategori tenaga kerja
yaitu penduduk yang sudah memasuki usia kerja yang dalam hal ini di
Indonesia batas usia yang berlaku adalah usia 15 tahun sampai 64 tahun.
Ada beberapa klasifikasi tenaga kerja, antara lain:
a. Berdasarkan penduduknya
Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan penduduknya dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap
dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan
kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang
dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia
antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun.
2. Bukan Tenaga Kerja
Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu
dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja.
Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003,
mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia
di bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh
kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan
anak-anak.
b. Berdasarkan Kualitasnya
Berdasarkan Kualitasnya, tenaga kerja dapat dibedakan menjadi :
34
1. Tenaga Kerja Terdidik
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu
keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara
sekolah atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya:
pengacara, dokter, guru, dan lain-lain.
2. Tenaga Kerja Terampil
Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memiliki
keahlian dalam bidang tertentu dengan melalui pengalaman
kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara
berulang-ulang sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut.
Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain.
3. Tenaga Kerja Tidak terdidik
Tenaga kerja tidak terdidik adalah tenaga kerja kasar yang hanya
mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut,
pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
c. Berdasarkan batas kerja
Bersadarkan batas kerja maka dapat dibedakan menjadi:
1. Angkatan kerja
Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 1564 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara
tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.
2. Bukan angkatan kerja
35
Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke
atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga
dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah:
ï‚·
anak sekolah dan mahasiswa
ï‚·
para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan
ï‚·
para pengangguran sukarela
2. Ketenagakerjaan di Indonesia
Permasalahan mengenai pekerja / buruh selalu mengalami pasang
surut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada awal kemerdekaan,
perjuangan kemerdekaan masih banyak tertuju pada perang revolusi untuk
mempertahankan dari serangan penjajah yang ingin menjajah kembali
Bangsa Indonesia.
Pada saat itu, perlindungan hukum terhadap ketenagakerjaan hanya
diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang hak
warga negara untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Akan tetapi hal ini belum dapat terlaksana
seutuhnya.
Ketentuan mengenai perburuhan pada saat itu masih sepenuhnya
terpengaruh hukum kolonial yaitu Burgelijke Wetboek (BW) atau yang
lebih
dikenal
dengan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata). Pada saat itu masih berlaku ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan
36
yang ada masih langsung berlaku sepanjang belum diganti dengan
peraturan yang baru.
Peraturan mengenai perburuhan yang diatur dalam KUHPerdata
bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga
dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. 40
Sebagai contoh dalam KUHPerdata memandang pekerja sebagai barang
yang apabila tidak berproduksi maka tidak akan dibayar / diupah. Dalam
pasal 1602 KUHPerdata disebutkan bahwa “Tiada Upah yang harus
dibayar untuk jangka waktu selama si buruh tidak menlaksanakan
pekerjaan”. Sehingga pada saat itu hak-hak tenaga kerja diserahkan
kepada majikannya karena pada saat itu masalah perburuhan masuk
kedalam ranah hukum Perdata.
Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan para tenaga kerja di
Indonesia lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Undang-undang ini merupakan payung hukum bagi
para tenaga kerja di Indonesia sebagai peraturan yang menyeluruh dan
komperhensif antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja di Indonesia,
sebagai upaya perluasan dalam kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, dan pembinaan hubungan Industrial.
Kehadiran Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini telah
memberikan nuansa baru dalam hukum perburuhan / ketenagakerjaan,
yaitu:
40
Ibid Hal 21
37
a. Mensejajarkan istilah buruh / pekerja, istilah majikan diganti
dengan pengusaha dan pemberi kerja, istilah ini sudah lama
diupayakan untuk diubah agar sesuai dengan Hubungan
Industrial Pancasila.
b. Menggantikan istilah perjanjian perburuhan (labour
agrement)/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan
istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berupaya
diganti dengan alasan bahwa perjanjian perburuhan berasal
dari negara liberal yang seringkali dalam pembuatannya
menimbulkan benturan kepentingan antara pihak buruh
dengan pihak majikan.
c. Sesuai dengan perkembangan zaman memberikan kesetaraan
antara pekerjaan pria dan wanita, khususnya untuk bekerja
pada malam hari. Bagi buruh / pekerja wanita, berdasarkan
undang-undang ini tidak lagi dilarang untuk bekerja pada
malam hari. Pengusaha diberikan rambu-rambu yang harus
ditaati mengenai hal ini.
d. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batas
minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin
kepastian hukum dalam penegakkannya.
e. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran,
peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan
kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan
pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh
alat produksi, dan pencabutan izin. Pada undang-undang
yang sebelumnya yang mengatur tentang ketenagakerjaan,
sanksi ini tidak diatur.41
Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dapat dikatakan sebagai kompilasi dari ketentuan
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, sehingga memudahkan para pihak
yang berkepentingan (stakeholders) untuk mempelajarinya. 42
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pada
tanggal 25 Maret 2003, maka beberapa ketentuan perundang-undangan
peninggalan Belanda dan perundang-undangan nasional dinyatakan tidak
berlaku lagi, yakni:
41
42
Ibid hal 23-24
Ibid hal 24
38
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk
melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887
Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak
Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926
Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun
1936Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau
dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939
Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1951 Nomor 2) ;
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran
Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 598a;
9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan
tenaga Asing ( Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang
pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di
Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara
Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2912);
13. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
1997
tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
39
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).43
Walaupun telah ada undang-undang yang mengatur tentang tenaga
kerja, akan tetapi keberadaan tenaga kerja di Indonesia sekarang
mendapatkan banyak perhatian, baik dalam negeri sendiri maupun di luar
negeri, bahkan tidak jarang dihubungkan dengan kebijakan lain yang
secara langsung akan mengikutsertakan perhatian dari berbagai bidang
ekonomi di luar ketenagakerjaan misalnya dibidang perdagangan, politik,
dan ekonomi.
Dilihat secara internal dapat mempengaruhi hubungan suatu
negara, bahkan antar negara. Secara eksternal, hal itu merupakan hal
yang wajar sebab tenaga kerja sebagai sember daya manusia dalam alam
pembangunan di era reformasi merupakan komponen yang utama.
Jumlah penduduk yang melimpah, apabila dapat didayagunakan secara
optimal dan efisien maka akan menjadi aset yang sangat menguntungkan
dalam pelaksanaan pembangunan.44 Kondisi seperti ini sudah menjadi
fakta sejarah di negara-negara yang mulai dan menyelenggarakan
pembangunan nasionalnya.
Dengan terjadinya revolusi industri, banyak perusahaan yang
berusaha mencari cara dalam memenangkan persaingan di dunia usaha.
Disini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk
43
44
Ibid hal. 24-27
Djumadi. Op.cit Hal 4
40
menang secara kompetitif, melainkan harus disertai kesanggupan untuk
menciptakan produk paling bermutu dengan biaya yang ditekan
serendah-rendahnya.
Pada tahun 1970-1980 perusahaan mengalami persaingan global.
Banyak perusahaan yang mengalami kesulitan karena kurangnya
persiapan dalam menghadapi persaingan global tersebut, sehingga dalam
hal ini berakibat pada resiko tenaga kerja yang meningkat. Disinilah
merupakan tahap awal timbulnya pemikiran Outsourcing di dunia usaha.
Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi
resiko usaha dalam berbagi masalah, termasuk ketenagakerjaan.45 Sekitar
tahun 1990 outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa pendukung.
Tingginya persaingan telah menuntut managemen perusahan untuk
melakukan perhitungan biaya untuk sedapat mungkin ditekan pada posisi
serendah-rendahnya.
Outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk
memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan,
melalui perusahaan penyedia / pengerah tenaga kerja. 46 Hal ini berarti
adanya suatu perusahaan khusus yang melatih / mempersiapkan
menyediakan,
mempekerjakan
tenaga
kerja
untuk
kepentingan
perusahaan lain. Pada awalnya ini dirasakan sebagai solusi bagi para
pencari kerja, karena sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan
adanya outsourcingakan membantu bagi para tenaga kerja yang belum
45
46
Lalu Husni op.cit hal 188
Loc.cit
41
bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan yang membutuhkan tenaga
kerja dari perusahaan outsourcing tersebut.
Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh
perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan
outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving) serta perusahaan
dapat memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business).
Disinlah mulai terjadi adanya pergeseran mengenai fungsi
outsourcing, yang seharusnya hanya diberikan untuk pekerjaan-pekerjaan
bukan inti, seperti cleaning services atau satpam yangpada kenyataannya
outsourcing seringkali mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia
dapatkan bila menjadi karyawan permanen. Karena dengan adanya
outsourcing maka akan menutup kesempatan karyawan menjadi permanen.
Posisi outsourcing selain rawan secara sosial (kecemburuan antar rekan)
juga rawan secara pragmatis (kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan
pensiun).
Bahkan di beberapa perusahaan justru memberikan pekerjaan inti
kepada karyawan dari outsourcing seperti PT KAI, yang memperkerjakan
tenaga outsourcing untuk bagian penjualan tiket, porter, administrasi dan
penjaga pintu masuk. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut terkait
langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak perusahaan
lainnya yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga kerja di
outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan
tidak berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga outsource
42
juga tidak harus diangkat sebagai karyawan tetap sehingga beban
perusahaan berkurang.
Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana
outsourcing hanya dianggap sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk
melepaskan tanggungjawabnya kepada kayawan, dengan alasan efesiensi
dan efektifitas pekerjaan, outsourcing ini dilakukan.
Maka dalam outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan
tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan
antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang
perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang
disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing
perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan
outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu
perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu
perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama
outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan
pengguna outsourcing.
43
BAB III
Metode Penelitian
A. Metode Pendekatan
Tipe pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas. Adapun pendekatan yang
dilakukan yaitu dengan pendekatan Perundang-Undangan. 47
B.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan
spesifikasi penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Selain itu menetapkan standar,
prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan
aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa
yang seharusnya dan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan
tertentu.48
C. Jenis Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum utama yang mengikat
yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, putusan
47
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Surabaya, hal. 96.
48
Ibid . Hal.22-23.
44
pengadilan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yaitu: UndangUndang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUIX/2011 dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang NO. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar
1945
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.49
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini metode yang digunakan hanya digunakan
untuk proses pengumpulan data adalah dengan menginventarisir peraturan
Perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh
dan dengan studi kepustakaan, internet browsing, telah artikel ilmiah, studi
dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat
kabar.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, bahan sekunder diperoleh dengan melakukan
inventarisasi peraturan–peraturan dan ketentuan-ketentuan serta literature
49
Ibid hal 25
45
yang memberikan pengaturan mengenai perlindungan mengenai hak asasi
manusia bagi tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourcing. Selain itu
metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan juga berupa studi
kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah
sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah
maupun jurnal, surat kabar yang memberikan informasi bagi terbentuknya
karya tulis ini.
F. Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung
dari istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan
secara konsep dan tekhnis penerapannya. Analisis bahan hukum bertujuan
untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan arti atau
makna terhadap bahan hukum yang telah diolah sebelumnya.
Bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan
dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan
memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun
secara sistematis yang berasal dari norma-norma hukum, peraturan
pernundang-undangan dan teori hukum perdata khususnya dalam bidang
hukum perjanjian, yang akhirnya akan ditarik suatu kesimpulan.
46
BAB IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Hak Asasi Manusia di Indonesia
Di Indonesia, semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengacu pada hukum dasar atau konstitusi baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis yang berlaku di
Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Namun setelah adanya amandemen kedua Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pada tahun 2000 dan dikeluarkannya ketetapan
MPR No. XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia, maka
perkembangan mengenai hak asasi manusia mengalami peningkatan
yang pesat. Terlebih lagi setelah dikeluarkannya Undang–Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada
pembukaan
Undang-Undang
Dasar
1945
terdapat
penyataan mengenai hak asasi manusia yaitu yang dinyatakan sebagai
berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”
Bunyi paragraf pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menunjukkan bahwa hak asasi manusia terutama hak
kemerdekaan bagi semua bangsa mendapatkan jaminan dan di junjung
tinggi oleh seluruh bangsa di dunia.
47
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak asasi
manusia adalah hak yang secara kodrati diberikan Tuhan kepada
manusia. Namun hak bukan hanya terkait hubungan manusia dengan
Tuhan, melainkan hak adalah pengakuan terhadap masyarakat, negara,
dan bahkan negara lain atas hak yang kita miliki.
Telah disebutkan pula menganai pengertian hak asasi manusia
menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan
Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib untuk
dihormati, di junjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Secara terperinci, hak asasi manusia sudah tercantum dalam
pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia yang di
plokamirkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang antara
lain mencantumkan: “Bahwa tiap orang yang mempunyai hak untuk
hidup,
kemerdekaan
dan
keamanan
badan,
untuk
diakui
kepribadiannya, untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang
lain menurut hukum untukmendapat jaminan hukum dalam perkara
pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah
kecuali ada bukti yang sah, hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu
negara, hak untuk mendapatkan suatu kebangsaan, hak untuk
48
mendapatkan hak milik atas suatu benda, hak untuk bebas
mengutarakan suatu pikiran dan perasaan, hak untuk bebas memeluk
agama, hak untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat, hak untuk
mendapatkan jaminan sosial, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak
untuk berdagang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk turut
serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat, hak untuk menikmati
kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan”.50
Menurut Ramdlon Haning dalam bukunya yang berjudul Cita
dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia,secara garis besar hak
asasi manusia dapat dibedakan menjadi:
1.
Hak asasi pribadi (Personal Rights) seperti hak untuk memilih
dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaan, hak untuk
berkewarganegaraan, hak untuk berpergian atau berpindah
tempat, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan lain-lain.
2. Hak asasi ekonomi (Property Rights) seperti hak atas tanah, hak
atas kepemilikan barang dan benda, hak untuk mencari dan
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak
kebebasan untuk melakukan jual beli, hak kebebasan untuk
melakukan kontrak, dan lain-lain.
3. Hak asasi politik (Political Rights) seperti hak untuk memilih dan
dipilih dalam pemilu, hak untuk berserikat dan membuat
organisasi, hak untuk ikut dalam kegiatan pemerintahan, hak untuk
50
Ramdlon Naning. 1983. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesi. Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta . Hal :
16-17
49
mendirikan atau atau membuat partai politik atau organisasi
lainnya, hak untuk menyatakan pendapat atau juga hak untuk
melakukan atau mengikuti aksi demonstrasi.
4. Hak asasi sosial dan kebudayaan (Sosial and Culture Rights)
seperti hak untuk mengembangkan kebudayaan yang beraneka
ragam karena masyarakat Indonesia yang plural yang sesuai
dengan bakat dan minat, hak untuk menentukan, memilih dan
mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan pengajaran,
5. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan (Procedural Rights)
penahanan,
penangkapan,
seperti peraturan
penggeledahan,
peradilan
dalam
dan
sebagainya. 51
Selain macam-macam hak diatas, dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 hasil amandemen II juga mengatur mengenai hak asasi
manusia. Pengaturan secara khusus
mengenai hak asasi manusia
terdapat dalam Bab X, XA. XI, yaitu sebagai berikut:
Pasal 27 :
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecuali.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.
Pasal 28
Kemerdekaan berseikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
51
Loc.cit
50
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasar-Nya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
51
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
Pasal 28I
(1) Hak unuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebasdari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
52
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk mejamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokrati
Pasal 29
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu
Selain didalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga
mengatur beberapa hak asasi seperti:
1.
Hak untuk hidup
2.
Hak untuk berkeluarga
3.
Hak untuk mengembangkan diri
4.
Hak utnuk memperoleh keadilan
5.
Hak atas kebebasan pribadi
6.
Hak untuk mendapatkan rasa aman
7.
Hak atas kesejahteraan
8.
Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
9.
Hak wanita
10. Hak anak
Dalam
Undang-Undang
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan juga mengatur tentang hak-hak asasi bagi para tenaga
kerja antara lain:
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan
53
Pasal 6
Setiap pekerja / buruh berhak untuk mendapatkan perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi dari pengusaha
Hal lain mengenai hak bagi para tenaga kerja diatur dalam Bab
X Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Perlindungan,
Pengupahan, dan Kesejahteraan yang diatur dalam Pasal 67 sampai
dengan Pasal 101
2. Pengaturan sistem Outsourcing berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Gagasan mengenai outsourcing pertama kali timbul sekitar
tahun 1970-1980 ketika banyak perusahaan yang mengalami
persaingan global dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan yang tidak
siap dengan persaingan bisnis tersebut sehingga struktur managemen
perusahaan menjadi bengkak. Hal ini mengakibatkan risiko dalam
segala hal yang terus meningkat. Tak terlepas pula risiko terhadap para
tenaga kerja juga terus meningkat.Sehingga pada tahap inilah timbul
pemikiran mengenai outsourcing dalam dunia usaha.
Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk
membagi risiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk masalah
ketenagakerjaan. Pada tahap awal, outsourcing belum diidentifikasi
secara formal sebagai strategi bisnis. Hal ini terjadi karena banyak
perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian
tertentu yang bisa mereka kerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian
54
yang tidak bisa dikerjakan secara internal, dikerjakan melalui
outsource.52
Semakin lama outsourcing mulai berkembang dan berperan
sebagai jasa pendukung. Akibat persaingan global yang terus
meningkat mengakibatkan perusahaan untuk melakukan perhitungan
pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap
fungsi penting dalam perusahaan, akan tetapi tidak berhubungan
langsung dengan bisnis inti perusahaan.
Pemanfaatan terhadap outsourcing tidak dapat dihindari lagi
oleh banyak perusahaan di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa
outsourcing baru terjadi pada tahun 2003 yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dimana pengaturan mengenai outsourcing terdapat dalam pasal 64
yang menyatakan bahwa:
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh
yang dibuat secara tertulis”
Pada awalnya outsourcing dirasakan sebagai solusi bagi para
pencari kerja, karena bagi para tenaga kerja yang belum mendapatkan
pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing mereka dapat disalurkan
kepada perusahaan yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Bagi
perusahaan outsourcing dirasakan membawa banyak manfaat seperti
penghematan biaya (cost saving). Selain itu, perusahaan juga dapat
memfokuskan pada kegiatan utamanya (core business).
52
Lalu Husni. Op.Cit Hal 187
55
Dari hal tersebut mulai terjadi adanya pergeseran mengenai
fungsi outsourcing. Pada awalnya outsourcing diberikan kepada
pekerjaan bukan inti seperti cleaning services atau satpam. Akan tetapi
pada kenyataan yang terjadi sekarang, outsourcing dikenakan pada
hampir semua pekerjaan.
Dengan adanya outsourcing yang diterapkan dalam perusahaan
maka serigkali mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya
didapatkan apabila karyawan tersebut menjadi karyawan tetap
diperusahaan tersebut.Karena dengan adanya outsourcing maka akan
menutup kesempatan bagi karyawan tersebut untuk diangkat menjadi
karyawan tetap dalam perusahaan tersebut.
Karena banyaknya pelanggaran hak yang terjadi pada karyawan
outsourcing, sehingga pada tahun 2011 lalu ada salah seorang tenaga
kerja yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menguji kembali terhadap isi Undang-Undang Ketenagakerjaan
tersebut. Tenaga kerja tersebut bernama Didik Suprijadi yang bekerja
pada Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Dia
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai isi
Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 59
(1) Perjanjian untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat ataupun kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan dan paling lama 3 (tiga) tahun;
56
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
c. Pekerjaan yang sifatnya musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
dapat diperbaharui.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 Tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun.
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja / buruh yang
bersangkutan
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu yang ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang
dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan
kegiatan
penunjang
perusahaan
secara
keseluruhan;
57
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja / buruh
pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja / buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
pekerja / buruh dengan perusahaan penerima pemborongan
beralih menjadi hubungan kerja pekerja / buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja / buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
58
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselilsihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh.
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja / buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi,
maka demi status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Pemohon
juga
mengemukakan
beberapa
alasan
dalam
permohonan pengujian isi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
kemudian atas alasan tersebut pemerintah menanggapinya. Atas hal
tersebut pula, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan Nomor
27/PUU-IX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Terhadap UndangUndang Dasar 1945. Sebagai tindak lanjut dari keputusan yang telah
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Kementrian
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No
B.31/PHIJSK/I/2012
tentang
Pelaksanaan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
B. Pembahasan
Seperti yang diketahui, bahwa dalam negara hukum memuat
beberapa prinsip, yaitu antara lain:
59
1. Pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia
2. Pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia
Selain itu, dalam negara hukum juga terdapat unsur yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
2. Pemisahan kekuasaan
3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan
4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri
Dari beberapa prinsip dan unsur tentang negara hukum,
berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945 hasil
Amandemen IV menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara
Hukum. Dalam Penjelasannya dengan tegas dinyatakan bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machstaat), dan disebutkan pula bahwa Pemerintah Indonesia
Berdasarkan sistem Konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
Dari bunyi Penjelasan Undang-Undang tersebut mengandung arti
bahwa negara dalam melaksanakan aktivitas penyelenggaraan negara tidak
boleh berdasarkan kekuasaan belaka akan tetapi harus berdasarkan hukum
yang berlaku.
60
Sesuai dengan prinsip dan unsur negara hukum, maka di Indonesia
terdapat perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Pengaturan terhadap hak asasi manusia terdapat dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 ataupun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian hak
asasi manusia menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahNya
yang wajib dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dari pengertian tentang hak asasi manusia tersebut maka diketahui
bahwa setiap individu memiliki hak asasi manusia. Hak asasi yang
dimiliki oleh setiap individu tersebut wajib dihormati pula oleh negara,
hukum, pemerintah dan orang lain. Sehingga jika terjadi pelanggaran
terhadap bunyi pasal tersebut, maka harus di tindak secara tegas dan tanpa
pandang bulu. Hal ini dilakukan demi terwujudnya pengakuan dan
jaminan terhadap hak asasi manusia yang merupakan salah satu prinsip
dari negara hukum.
Di Indonesia yang merupakan negara hukum, masalah hak asasi
manusia mendapatkan masih banyak perhatian baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri. Sebagai negara hukum, upaya penegakkan
terhadap hak asasi manusia melalui peraturan dapat dilihat dengan
banyaknya konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia seperti:
61
a. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa.
b. Konvensi ILO No. 98 tentang Penerapan Prinsip mengenai Hak
(buruh) untuk melakukan tawar menawar.
c. Konvensi ILO No. 100 mengenai pemberian upah / gaji yang sama
bagi buruh laki-laki dan wanita dalam pekerjaan dengan nilai yang
sama.
d. Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Wanita.
e. Konvensi UNESCO yang menentang diskriminasi dalam pendidikan.
f. Konvensi Jenewa untuk perawatan anggota angkatan bersenjata yang
luka atau sakit.
g. Konvensi Jenewa untuk memperbaiki kondisi angkatan bersenjata di
laut yang luka, sakit atau mengalami kecelakaan kapal (shipwrecked).
h. Konvensi Jenewa yang berkenaan dengan perlakuan terhadap tawanan
perang.
i. Konvensi tentang Perlindungan terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya.
j. Konvensi tentang Perlindungan terhadap Hak-hak Sipil dan Politik.
k. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
l. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan.
m. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Hukum atau
Hukuman Lain yang Kejam, Tidak manusiawi dan Merendahkan
Martabat.
n. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 Mengenai Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan atas Hak untuk Berorganisasi.
o. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi
menyangkut Pekerjaan dan Profesi, dan lain-lain.
Seperti yang diketahui, berdasarkan macam mengenai hak
manusia terdapathak-hak Ecosoc (ekonomi, sosial, budaya).Hak ekonomi
sosial terdiri dari hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk tidak
dipaksa bekerja, hak untuk mendapatkan upah yang sama, hak untuk
mendapatkan cuti, hak atas makan, hak atas hidup, hak atas kesehatan,
pendidikan dan tempat tinggal dan masih banyak lagi.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, adalah hak setiap warga negara sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
62
yang layak bagi kemanusiaan”.Sejak awal berdirinya negara Indonesia, hal
tersebut sudah ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara. Ini
merupakan pencerminan terhadap penegakan hak Ecosoc bagi setiap
warga negara khususnya bagi para tenaga kerja.
Selain Pasal 27 ayat (2) hak asasi manusia dalam hak Ecosoc bagi
para tenaga kerja juga termuat dalam Pasal 28 yaitu “setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28D ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”. Pasal 28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”.
Selain itu, hak asasi bagi para tenaga kerja juga diatur dalam Pasal
28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagi pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pasal 28I ayat (2) “setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan yang bersifat diskriminatif itu”.
serta Pasal 28J ayat (1) “ Setiap orang berhak menghormati hak asasi
orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Dalam
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
perlindungan tentang hak bagi para tenaga kerja seperti:
1. Hak atas upah yang layak;
juga
memuat
63
2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak
istirahat dan cuti;
3. Hak atas PHK;
4. Hak untuk mogok kerja dan masih banyak lagi.
Perlindungan lain bagi tenaga kerja di Indonesia juga terdapat
dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi
manusia yang menyatakan bahwa :
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak,
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya
dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil,
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang
sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syaratsyarat perjanjian kerja yang sama,
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan
yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang
adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
Dari beberapa pasal yang telah diuraikan diatas jelas bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang memberikan pengakuan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia. Pasal tersebut merupakan pengaturan dan
perlindungan hak asasi manusia bagi para tenaga kerja.Dalam Undang-
64
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
batasan tentang pengertian ketenagakerjaan yaitu:
1.
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
2.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3.
Pekerja / buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Walaupun telah ada pengaturan mengenai hak asasi manusia bagi
para tenaga kerja, akan tetapi kekerasan dan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia masih saja terjadi. Apalagi pelanggaran hak asasi bagi para
tenaga kerja. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin luas,
perusahaan dituntut untuk meningkatkan kinerjanya melalui pengelolaan
perusahaan
yangefektif
dan
efisien.
Hal
ini
berdampak
dalam
mempekerjakan tenaga kerja yang seminimal mungin akan tetapi untuk
memberikan kontribusi bagi perusahaan secara maksimal.
Sehingga, dari hal tersebut maka munculah pemikiran tentang
adanya Outsourcing dalam dunia bisnis. Outsourcing merupakan salah
satu solusi bagi para pengusaha untuk menghadapi persaingan dalam dunia
65
bisnis. Pengaturan mengenai outsourcing terdapat dalam Pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyedia jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis”.
Dari adanya kebijakan outsourcing dalam dunia usaha tentunya
menimbulkan pro dan kontra. Banyak yang beranggapan bahwa dengan
adanya outsourcing menyebabkan karyawan :
1. Kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh / pekerja
2. kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para
pekerja tetap
3. kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pekerja sesuai
masa kerja pegawai karena adanya ketidak jelasan penghitungan
mengenai masa kerja, dan masih banyak lagi.
Walaupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan digunakan sebagai payung hukum bagi masalah
ketenagakerjaan, akan tetapi dengan adanya Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65,
dan Pasal 66 ternyata membawa masalah bagi para tenaga kerja. Karena
terbukti adanya tenaga kerja bernama Didik Suprijadi yang mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian
terhadap isi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan anggapan bahwa
pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat
(2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
66
Alasan yang digunakan dalam permohonan pengujian isi
Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu:
1. Penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata
meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi
melalui kebijakan upah kerja yang murah ini berakibat pada hilangnya
keamanan kerja (job security) bagi buruh / pekerja Indonesia, karena
sebagian besar buruh / pekerja tidak akan lagi menjadi buruh atau
pekerja tetap, akan tetapi menjadi buruh / pekerja kontrak yang akan
berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang oleh kalangan buruh
disebut sebagai perbudakan zaman modern.
2. Bahwa status sebagai buruh / pekerja kontrak ini pada kenyatannya
berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja jaminanjaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai butuh / pekerja tetap yang dengan demikian
amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh /
pekerja Indonesia dan karenanya buruh / pekerja merupakan bagian
terbesar dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan
kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.
3. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam pasal 59 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 dan penyerahan sebaian pekerjaan kepada perusahaan
lain (outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, buruh / pekerja semata-mata dilihat
67
sebagai komoditas atau barang dagangan, disebuah pasar tenaga kerja.
buruh atau tenaga kerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya
kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul
kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang
miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak cucu kita akan menjadi
budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini
jelas bertentangn dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, dan pasal 28D ayat (2).
4. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang outsourcing buruh / pekerja ditempatkan
sebagai faktor produksi semata. Dengan begitu mudah dipekerjakan
bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya bila sudah tidak
dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu
dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah
yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja “pemborongan
pekerjaan” (outsourcing), yang akan menjadi buruh / pekerja sematamata sebagai sapi perahan para pemilik modal dan ini adalah
bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Di dalam penjelasannya ditegaskan
lagi bahwa ini berarti perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi
68
ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dengan
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis
perbudakan modern dan degredasi nilai manusia, buruh atau pekerja
sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan
diresmikan melalui sebuah undang-undang. Kemakmuran masyarakat
yang diamanatkan konstitusipun akan menjadi kata-kata kosong
ataupun hiasan kata-kata mutiara saja.
5. Sistem outsourcing konstruksi hukumnya
yaitu adanya
suatu
perusahaan jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan
pada perusahaan pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum
atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan
perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedian jasa pekerja
mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. berdasarkan
perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang
misalnya Rp 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja
yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam
ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual
kepada pengguna dengan sejumlah uang. Hal ini merupakan
perbudakan modern.
6. Dilain pihak, outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Wktu
Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin
adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena
69
seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu
bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan
bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi.
Sehingga kontinuitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang
dioutsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Jika job
security tidak terjamin, maka jelas bertentangan dengan Oasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak.
7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam
outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan
oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan
oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai
pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang
mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor untuk
melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang
membutuhkan pekerja. Disitulah sub contractor merekrut pekerja
untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor.
Sehingga ada hubungan kerja antara subcontractornya dengan
pekerjanya.
8.
Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan
adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja
dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur
hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka
70
menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja
bukan sebagai subjek hukum.
9.
Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini
perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia
kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan
dengan menjual manusia.
10. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal
28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang
harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya
adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu
pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrakkontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari
produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta
alasan di atas, jelas bahwa
permohonan ini disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena
berangkat dari keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja
maupun, sehingga patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan
haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64
71
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945.53
Petitum yang diajukan dalam permohonan pengujian terhadap isi
Undang-Undang tersebut antara lain:
1. Menerima
dan
mengabulkan
permohonan
Pemohon
untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945.
3. Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menempatkan Putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik
Indonesia.
Atas alasan yang diampaikan oleh Didik Suprijadi dalam
mengajukan permohonan pengujian isi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tersebut maka pemerintah berpendapat bahwa adanya Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65, Pasal 66 tidaklah bertentangan dengan hak-hak warga negara
53
Tim Redaksi. Op.cit Hal :10
72
yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar. Karena pasal dalam undangUndang Ketenagakerjaan tersebut adalah untuk memberikan kesempatan
kepada semua warga negara untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan
penghasilan yang layak seperti apa yang tercantum dalam Undang-Undang
Dasar.Selain itu juga untuk memberikan perlakuan adil dan layak bagi
semua warga negara dalam hubungan kerja sehingga bisa mendapatkan
imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
Dengan ada outsourcing maka diharapkan para tenaga kerja dapat
menggunakan seluruh kemampuan dalam bekerja. Selain itu bagi para
tenaga kerja dengan adanya outsourcing maka akan menambah
keterampilan yang belum mereka miliki.Outsourcing juga akan membantu
tenaga kerja yang belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan
outsourcing. Dan mengenai sifat dan jenis outsourcing yang akan selesai
dalam
waktu
tertentu
Ketenagakerjaan.
juga
Sehingga
telah
diatur
anggapan
dalam
bahwa
undang-undang
Undang-Undang
Ketenagakerjaan terutama Pasal 59 dan Pasal 64 telah menimbulkan
kerugian hak bagi para tenaga kerja adalah tidak benar.
Atas hal alasan yang dikemukakan oleh Didik Suprijadi dan
tanggapan dari pemerintah tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan No.27/PUU-IX/2011 yang berisikan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Frasa “ ...Perjanjian Kerja Waktu Tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2)
huruf
b
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Nomor
bertentangan
13
dengan
Tahun
2003
Undang-Undang
tentang
Dasar
73
1945sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja / buruh yang
objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi penggantian perusahaan
yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain
atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh;
3. Frasa “...Perjanjian Kerja Waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan
frasa “...perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2)
huruf
b
Undang-Undang
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja / buruh yang objek kerjanya tetap
ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan
sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja atau buruh;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.54
Dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011,
menyatakan bahwa ada 2 (dua) model yang harus dipenuhi dalam
perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu
(“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(“PKWTT”). Kedua,
54
Ibid Hal. 66
menerapkan
prinsip
pengalihan
tindakan
74
perlindungan bagi pekerja
yang bekerja pada perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Sehingga dengan adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi
tersebut, maka bunyi Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) berubah. Pasal
65 ayat (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Sedangkan isi dari Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu:
(1) Perjanjian untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat ataupun kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang sifatnya musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau dapat
diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 Tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja / buruh yang bersangkutan
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu yang ini hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
75
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 66 ayat (2) menjadi Perjanjian kerja yang berlaku dalam
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua berlah pihak. Sehingga dari perubahan bunyi
terhadap Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2), mengakibatkan istilah
“perjanjian kerja waktu tertentu” tidak dapat digunakan lagi dalam pasal
tersebut. atau dapat juga dikatakan bahwa outsourcing tidak berlaku
kecuali terhadap pekerjaan yang memenuhi kriteria yang terdapat dalam
Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Inti dari putusan tersebut adalah tidak lagi memberi kesempatan
pada sebuah perusahaan untuk memberikan pekerjaan yang sifat objeknya
tetap untuk di outsourcing, meskipun itu bersifat penunjang, seperti
pengamanan, kurir, dan lainnya. Sehingga bank-bank yang saat ini banyak
mempekerjakan teller atau costumer service menggunakan sistem
outsourcing tidak dibenarkan lagi.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam penyerahan
pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja / buruh (pekerja outsourcing)
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
(perusahaan outsourcing) tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
76
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
2. Penyedia jasa pekerja / buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada angka 1 adalah perjanjian kerja untuk waktu
tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu
yang dibuat secara tidak tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh;
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja / buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja / buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasalpasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3. Penyedia jasa pekerja atau buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
77
4. Dalam Hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2
huruf a, huruf b dan huruf d serta angka 3 tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja / buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja / buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.55
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa “Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek
kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh".
Mahkamah
outsourcing
Konstitusi
dalam
menilai
hubungannya
posisi
dengan
pekerja
perusahaan
atau
buruh
outsourcing
menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara
pekerja atau buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.
Pertimbangan lain yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu
“Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi
kerja dengan perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan
jasa pekerja atau buruh outsourcing habis karena masa kontraknya selesai,
maka habis pula masa kerja pekerja/buruh outsourcing, akibatnya
55
ibid. hal. 58
78
pekerja/buruh menghadapi risiko tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya
karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa tidak lagi
mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain
adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja atau buruh
akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena
tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan
penyedia
jasa
outsourcing,
sehingga
berdampak pada
hilangnya
kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan
tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya”.
Mahkamah Konstitusi menilai ketidakpastian nasib pekerja atau
buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi
pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta
perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan
bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa aturan tersebut
tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja
outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek
kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja
outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut untuk
menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja
dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis
79
dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja. "Masa kerja yang telah
dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan
diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak
sebagai pekerja secara layak dan proporsional".
Dalam pertimbangan hakim pula disebutkan apabila karyawan
outsourcing tersebut diberhentikandengan alasan pergantian perusahaan
pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk
mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan
industrial sebagai sengketa hak. Dari putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas sekali terliha bahwa Mahkamah
Konstitusi
memberikan
perlindungan
hukum
kepada
karyawan
Outsourcing.
Selain itu, Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera
meindaklanjuti putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
dengan mengeluarkan Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
Berdasarkan Putusan Makhamah Konstitusi dan Surat Edaran Mentri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat diketahui bahwa outsourcing
memang diperbolehkan akan tetapi hanya terbatas pada jenis pekerjaan
yang tercantum dalm Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Lebih lanjut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan
bahwa apabila ada perusahaan yang melaksanakan praktek outsourcing
diluar aturan Undang-Udnang No. 13 Tahun 2003 maka harus ditindak
dengan tegas dengan cara dibatalkan atau dilarang.
80
Jika pemberlakuan sistem outsourcing sesuai dengan peraturan
yang ada maka tidak akan ada lagi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak
asasi yang dimiliki oleh tenaga kerja. Karena yang selama ini banyak
terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap sistem outsourcing seperti
demi mengurangi biaya produsi, perusahaan terkadang melanggar
ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bagi perusahaan outsourcing
memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga mereka menerima
gaji yang berkurang banyak.
Sesuai dengan tujuan diadakannya sistem outsourcing adalah untuk
menyalurkan tenaga kerja yang belum bekerja, maka harus ada
pembenahan dalam managemen perusahaan dalam mempekerjakan tenaga
kerja. Karena jika dilihat lagi, sistem outsourcing tidaklah salah karena
dengan adanya sistem outsourcing berusaha untuk menjalankan amanat
pasal 27 ayat (2) dan mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Yang
salah adalah managemen dalam memberlakukan sistem outsourcing
tersebut dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan peraturan.
Dalam rangka menuju negara sejahtera bukan outsourcing yang dihapus,
tetapi praktik pelaksanaan outsourcing yang salah dan melanggar hukum
yang harus dibenahi.
Dengan adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi serta Surat
Edaran dari Menteri Tenaga Kerja dan Transportasi, jika terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak asasi tenaga kerja dalam penerapan sistem
outsourcing, maka dapat diajukan kepada PengadilanHubungan Industrial
seperti yang telah disampaikan oleh Majelis hakim dalam pertimbangan
81
hukum putusan tersebut. Bagi para pekerja / buruh diberikan kesempatan
menuntut hak-hak bagi para tenaga kerja yang telah dilanggar karena
adanya Perselisihan Hubungan Industrial.
Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial dalam Pasal 1:
(1) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan
pertentangan
antara
pengusaha
atau
gabungan
pengusaha dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja / buruh karena
adanya
perselisihan
mengenai
hak,
perselisihan
kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.
(2) Perselisihan hak asalah perselisihan yang timbul karena tidak
terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran
terhadap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
(3) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(4) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul
karena
adanya
ketidak
sesuaian
pendapat
mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
82
Penyelesaian perselisihan di pengadilan ini melalui tata cara yang
telah ditentukan dalam undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Selain hal tersebut diatas juga dibutuhkan kerjasama dari pihak
pemerintah terutama kontrol dari Kementrian Ketenagakerjaan kepada
para tenaga kerja agar benar-benar tidak ada dalam prakteknya sistem
outsourcing yang melanggar aturan yang telah dibuat. Jangan sampai
kebijakan outsourcing yang telah dibuat justru merugikan banyak hak para
tenaga kerja. Karena terbukti banyaknya pelanggaran yang terjadi oleh
perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan para tenaga kerja
outsourcing. Sehingga Putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi bukan merupakan putusa hitam diatas putih saja, sehingga tidak
lagi adanya pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi di Indonesia
yang menamakan dirinya sebagai negara hukum.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan adanya kemajuan dan persaingan dalam dunia bisnis maka
menimbulkan gagasan mengenai outsourcing sebagai solusi dalam
menghadapai persaingan bisnis tersebut. Akan tetapi pada prakteknya
banyak
sekali
penyimpangan
terhadap
pemberlakuan
sistem
outsourcing. Banyak hak para tenaga kerja serta jaminan bagi para
tenaga kerja yang tidak diperoleh. Terlebih lagi sistem outsourcing
sekarang dikenakan terdahap semua jenis pekerjaan oleh Perusahaan
outsourcing.
2. Dengan dikeluarkannya
putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 oleh
Mahkamah Konstitusi tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar 1945 yang diajukan oleh Didik Suprijadiyang
merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia, maka merupakan salah
satu
bentuk
perlindungan
hukum
bagi
para
tenaga
kerja
outsourcing.Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Outsourcing
hanya diperbolehkan terhadap jenis pekerjaan yang tercantum dalam
Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga tidak semua
pekerjaan dikenakan Otsourcing seperti yang sekarang ini terjadi.
Mengenai hak bagi para tenaga kerja juga dengan tegas disampaikan
84
dalam Putusan Makhamah Konstitusi tersebut sebagai wujud
perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi para tenaga kerja
outsourcing.
3. Untuk
menindaklanjuti Putusan
Mahkamah
Konstitusi,
maka
yang
telah
Menteri
dikeluarkan
oleh
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012
tentang Pelaksanaan Putusan Makhamah Kontitusi Nomor27/PUUIX/2011 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
4. Dengan adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut dan Surat
Edaran dari Menteri Ketenagakerjaan sebagai tindak lanjut dari
Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan membantu para tenaga kerja
outsourcing karena telah diperjelas mengenai jenis pekerjaan yang
dapat dipekerjakan secara outsourcing. Selain itu, jika terdapat adanya
pelanggaran
dari
ketentuan
yang
telah
ditetapkan
mengenai
pemberlakuan sistem outsourcing dalam mempekerjakan tenaga kerja
outsourcing, maka para tenaga kerja dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial
atas pelanggaran yang telah
dilakukan melalui mekanisme yang telah ditentukan seperti yang telah
disampaikan dalam pertimbangan hukum dalam memutus perkara
tersebut.
85
B. Saran
1. Pemerintah diharapkan melakukan kontrol terhadap perusahaan
outsourcing agar apa yang telah menjadi keputusan mengenai
pelegalan outsourcing dapat dijalankan dan tidak ada lagi hak para
tenaga kerja khusunya tenaga kerja outsourcing yang dilanggar oleh
para pengusaha. Sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.
2. Seharusnya ada peraturan yang mengatur tentang besarnya potongan
yang diperoleh perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan pekerja
outsourcing.
86
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Budiyanto. 2000. Dasar-DasarIlmu Tata Negara. Jakarta: Erlangga.
Djumadi. 2005. Sejarah keberadaan organisasi buruh di indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Fikriyah, Siti. 2008. HAM, Kewarganegaraan dan Konstitusi. Jakarta: Nobel
Elmudia.
Handoyo, Hestu Cipto. 2002. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Hak
Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Huda, Ni’Matul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Husni, Lalu. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Kusnadi,Moh. Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV. Sinar Bakti.
Manulang, Sendjun H. 2001. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia. Jakarta:Rhineka Cipta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2009, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada
Media Group.
Naning, Ramdhon. 1983, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta
: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang
Bantuan Hukum Indonesia.
Rusli, Hardijan. 2003. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta :Ghalia Indonesia.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia. 2012. Pedoman Terbaru Outsourcing & Kontrak
Kerja : Peraturan 2012 Tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT). Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
87
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembara Negara Nomor
3886)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4279)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial ( Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun
2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4356)
Sumber Lain
www.detik.comdiakses tanggal 30 Desember 2012
www.hukumonline.com diakses tanggal 30 Desember 2012
www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6358,
diakses tanggal 30 Desember 2012
www.regional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.P
enghapusan.Outsourcing. diakses tanggal 30 Desember 2012
www.wikipedia.com diakses tanggal 30 Desember 2012
Download