THE DA VINCI CODE DAN TRADISI GEREJA Sebuah Kritik terhadap Tradisi Gereja dalam Novel Karya Dan Brown Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: Ifa Nur Rofiqoh NIM: 1111032100049 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2015 M. SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ifa Nur Rofiqoh NIM : 1111032100049 Fakultas : Ushuluddin Jurusan/Prodi : Perbandingan Agama Alamat Rumah : Seren, RT/RW 006/003, Kel. Jatipandak, Kec. Sambeng, Kab. Lamongan, Provinsi Jawa Timur, kode pos 62284. Telp./HP : 085711181134 Judul Skripsi : The Da Vinci Code Dan Tradisi Gereja: Sebuah Kritik terhadap Tradisi Gereja dalam Novel Karya Dan Brown Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa: 1. 2. 3. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah-satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 04 Agustus 2015 Ifa Nur Rofiqoh ii ABSTRAK Ifa Nur Rofiqoh The Da Vinci Code Dan Tradisi Gereja: Sebuah Kritikterhadap Tradisi Gereja dalam Novel Karya Dan Brown Karya sastra merupakan salah-satu produk budaya yang dapat menggambarkan fakta masyarakat, dan sekaligus sebagai media dalam menyebarkan pengaruh terhadap suatu pandangan dan sikap. Skripsi ini khusus mengangakat novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, seorang novelis asal Amerika Serikat. Karirnya mulai melonjak sejak dirilisnya novel keempat The Da Vinci Code, yang telah menjadi salah satu novel dengan penjualan terlaris setiap waktu, yang menjadi subyek diskusi diantara banyak kalangan baik pembaca maupun sarjana. Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupayamenelusuri bagaimana kritik para tokoh Kristen dan Katolik terkait tradisi gereja dalam novel The Da Vinci Code. The Da Vinci Code merupakan novel yang menimbulkan kontroversi karena dituduh telah menodai iman Kristiani. Suara pro-kontra tersulut dan merebak luas. Respon terhadap novel ini bukan hanya dari pembaca Kristen saja, tetapi juga non-Kristen.Para pemuka agama terutama pastornya dan juga para cendikiawan, menyampaikan kritik berupa artikel dan buku yang disampaikan melalui media masa cetak maupun elektronik. Dari beberapa pemikiran yang diungkapkan, dapat diketahui bahwa para pengkritik menolak pandangan Dan Brown menyangkut empat hal, yaitu Sejarah Gereja, Kanonisasi Alkitab, Polemik Keilahian Yesus dan Perjamuan Terakhir. Mereka menyajikan fakta sejarah, dan ayat-ayat pada Alkitab untuk memperkuat argumennya. v KATA PENGANTAR “Imagination is More Important Than Knowledge . Knowledge is Limited.Imagination Encircles The World.” ~ Albert Einstein ~ Alhamdulillah Rabb al-alamin, allama al-insana ma lam ya’lam. Segala puji, syukur dan kepasrahan bagi Allah, Rabb semesta alam, yang mengajarkan kepada manusia apa yang ia tidak tau, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul The Da Vinci Code dan Tradisi Gereja: Sebuah Kritik terhadap Tradisi Gereja dalam Novel Karya Dan Brown.Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., begitu juga kepada keluarga dan para sahabat. Bagi penulis, skripsi ini merupakan sebuah proses menuju kelulusan. Layaknya sebuah proses liku-liku perjalanan dalam menyelesaikan proses ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak dapat dipungkiri sebuah rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah penulis sendiri. Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih” dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah meringankan beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak semua pihak dapat disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu menyebutkan sejumlah nama yang membekas di hati penulis, yaitu: 1. Bapak Ismatu Ropi, Ph.D, selaku pembimbing Skripsi saya yang sejak semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan memberikan perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas akhir ini. vi 2. Ibu Dr. Sri Mulyati, MA, selaku penasihat akademik yang terus mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini, dan juga yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses penulisan. 3. Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, yang telah menjadi “Ibu” bagi penulis, yang selalu memberikan motivasi serta celotehan yang sangat bermanfaat, “Apa yang kita kerjakan hari ini, akan kita rasakan manfaatnya beberapa tahun ke depan, maka yakinlah tidak ada usaha yang sia-sia” begitulah penuturan beliau yang memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ahmad Ridho, DESA, dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua dan sekretaris jurusan Perbandingan Agama, yang telah memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna. 5. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Segenap jajaran dosen dan guru besar Perbandingan Agama, Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA, Ibu Dra. Hermawati, MA, Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Bapak Prof. Dr. Ridwan Lubis MA, Bapak Drs. M. Nuh Hasan, MA, Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, dan Bapak Dr. Hamid Nasuhi, M.Ag, yang senantiasa memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya. 7. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Depok, dan Perpustakaan Pusat UNIKA Atmajaya, yang banyak membantu dalam menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis. 8. Keluarga penulis, Bapak Sutono, Adekku Gian Febi Fuadi dan Lovita Bunga Aprilia, serta sepupuku Adinda Putri Mahesa dan Nizar Muhammad Hawari, yang senantiasa memberikan senyumnya dalam menyemangati penulis. Juga buat nenek penulis Sumi, yang senantiasa menyertakan nama penulis disetiap do’anya. 9. Temen-temen seperjuangan Lailatul Fawaidah, dan Indana Zulfa, yang selalu berbagi kegalauan dalam menyelesaikan skripsi. Hey, kalian, ayo kita jemput hari bahagia kita dengan memakai toga. vii 10. Sahabat penulis, Sundari Rahayu, Siti Amaniatus Sholehah dan Vivi Anggraini yang selalu memberikan celotehan yang manfaat sehingga penulis tergerak untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman CURIOUS (Community of Religious studies), yang memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba ilmu di jurusan Perbandingan Agama. Terkhusus buat sahabat-sahabatku Ika Wahyu Susanti, Nurjaman, Fahmi Dzilfikri, Fitri Astuti, Annisa Khalida, Diana Puspasari, Ida Zubaedah, Ahmad Sobianto, Rifky Miftahul Amili, M. Sandiawan, Rini Farida, Dede Ardi Hikmatullah dan semua teman-teman PA angkatan 2011. 12. Teman-teman dari WASIAT Jakarta (Wadah Silaturrahim Alumni Tarbiyatut Tholabah), dan Teman-teman KKN “KITA” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak memberikan pelajaran berharga tentang makna hidup. Utamanya salam ta’dzim dan terima kasih serta do’a penulis buat Ibunda tercinta Makhmudah, S. Pd. I., yang menjadi guru kehidupan bagi penulis, yang tiada henti-hentinya dalam sujud malamnya mendoakan putri kecilnya, yang senantiasa memberikan cinta, motivasi dan semangat tak terbatas. Terima kasih untuk semua hal yang Ibu beri meski tak mengharapkan apapun. Semoga Allah Swt. selalu melindungi Ibu. Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia sempurna. Namun begitu, semua tulisan yang ada di dalam skripsi ini adalah tanggung jawab penulis. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini penulis ucapkan terima kasih. Ciputat, 04 Agustus 2015 Ifa Nur Rofiqoh viii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL............................................................................................... i SURAT PERNYATAAN ................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iv ABSTRAK.......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah................................................................. 9 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 9 D. Manfaat Penelitian.................................................................................. 10 E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 10 F. Metodologi Penelitian ............................................................................ 12 G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14 BAB II STRUKTUR NOVEL THE DA VINCI CODE .............................................. 15 A. Riwayat Dan Brown ............................................................................... 15 B. Lingkungan Sosial The Da Vinci Code ................................................... 17 C. Latar Belakang Penulisan Novel ............................................................. 20 D. Unsur-Unsur Dalam Novel The Da Vinci Code ...................................... 23 ix D.1.Tokoh dan Penokohan ...................................................................... 23 D.2. Struktur Latar.................................................................................. 27 D.3. Struktur Plot/Alur .......................................................................... 28 D.4. Tema............................................................................................... 30 E. Nilai-Nilai yang Dipermasalahkan dalam Novel The Da Vinci Code ...... 30 BAB III AJARAN GEREJA DAN KRITIK DA VINCI CODE .................................. 33 A. Gereja .................................................................................................... 33 A.1. Sejarah Gereja dalam Tradisi Kristen .............................................. 33 A.1.a. Yesus Dalam Tradisi Gereja .................................................... 35 A.2. Sejarah Gereja dalam Novel The Da Vinci Code ............................. 37 B. Alkitab ................................................................................................... 40 B.1. Sejarah Alkitab dalam Pandangan Gereja Mainstream ..................... 40 B.1.a. Kanonisasi Perjanjian Lama ..................................................... 43 B.1.b. Kanonisasi Perjanjian Baru ...................................................... 44 B.2. Kanonisasi Alkitab dalam Novel The Da Vinci Code ...................... 48 C. Trinitas ................................................................................................... 49 C.1. Konsep Ketuhanan Kristen dalam Pandangan Gereja Mainstream ... 49 C.2.Konsep Ketuhanan Kristen dalam novel The Da Vinci Code ............ 55 D. Kontroversi Tokoh Pada Perjamuan Terakhir ......................................... 57 D.1. Perjamuan Terakhir dalam Pandangan Gereja Mainstream ............. 56 D.2. Perjamuan Terakhir dalam novel The Da Vinci Code ..................... 58 x BAB IV RESPON TOKOH KRISTEN DAN KATOLIK TERHADAPKRITIK DA VINCI CODE ............................................................................................ 61 A. Konspirasi Gereja terhadap Status dan Nilai Perempuan ......................... 61 B. Alkitab adalah Hasil dari Kepentingan Politis Kaisar Konstantin ............ 64 C. Keilahian Yesus dan Hasil Voting Para Uskup ....................................... 68 D. Misteri Cawan Suci pada Lukisan Perjamuan Terakhir .......................... 75 E. Tanggapan Dan Brown Seputar Kontroversi Novel The Da Vinci Code . 83 F. Citra Yesus dalam Tradisi Islam ............................................................. 84 BAB V KESIMPULAN ................................................................................................ 91 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 96 LAMPIRAN ..................................................................................................... 99 xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Maret 2003, novel The Da Vinci Code [selanjutnya ditulis The Da Vinci Code (tanpa ditulis miring)] karya Dan Brown, hadir di tengah-tengah masyarakat. The Da Vinci Code adalah sebuah novel fenomenal yang terbit pertama kali di New York. Dalam jangka waktu kurang dari satu tahun, novel ini sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia yang terbit pada Juli 2004, yang berasal dari edisi bahasa Inggris cetakan ke-45. “Semua penjelasan mengenai karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia di dalam novel ini adalah akurat”. Begitulah perkataan Dan Brown di bagian depan novelnya. Novel ini ditulis oleh Dan Brown sebagai bentuk ekspresi keberagamaannya. Pengekspresian Dan Brown melalui novelnya dilindungi oleh Konstitusi Amerika Serikat, yang mengatur kebebasan beragama, dan juga oleh freedom of speech yang diratifikasi pada tahun 1948. Peraturan ini membebaskan setiap warga negara Amerika untuk berpendapat dan mengekspresikan pendapatnya tersebut.1 The Da Vinci Code menjadi pembicaraan panas, karena berisi teori-teori yang bertetangan dengan ajaran Kristen, hal yang mengherankan adalah bahwa Dan Brown sendiri sebenarnya beragama Kristen. Publik pun bertanya-tanya 1 Miranti Andi Kasim “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code”, Artikel Universitas Indonesia. Diakses pada 17 November 2014 dari http://abbah.yolasite.com/resources/KAJIAN%20TERHADAP%20NOVEL%20DA%20VINCI%2 0CODE.pdf 1 2 mengapa penganut Kristen menulis novel yang bertentangan dengan keyakinannya. Suara pro-kontra tersulut dan merebak luas. Para pemuka agama Katolik terutama pastornya, tampak lebih banyak yang menanggapi The Da Vinci Code dibanding para pendeta Kristen, meskipun tanggapan dari pemuka Kristen terkesan bernada lebih keras.2 Terlebih lagi Respon para cendikiawan Katolik, mereka menyampaikan Komentar-komentar melalui media masa cetak maupun elektronik, bahkan mereka mengeluarkan sanggahan berupa artikel dan buku. Pada hakikatnya, apa yang dikemukakan oleh Dan Brown, Pada 1950 sudah didahului oleh Nikos Kazantzakis. Kazantzakis juga mengambil tema tentang pernikahan Yesus dan Maria Magdalena. Yang membedakan dengan narasi Dan Brown adalah bahwa Kazantzakis langsung mengambil setting asli, dengan tokoh utamanya adalah Yesus sendiri.3 Namun demikian, buku karangan Kazantzakis tidak mendapat respon/kritik seperti halnya novel Dan Brown. Pihak gereja pada awalnya menganggap novel The Da Vinci Code sebagai novel fiksi sesaat. Untuk itulah mereka cukup lama membisu tanpa berkomentar. Akan tetapi karena banyaknya umat yang bingung dan bertanya-tanya mengenai cerita misteri tersebut, akhirnya Gereja buka suara. Kardinal Tarcisio Bertone adalah orang yang pertama kali secara formal-institusional memecahkan kebisuan Gereja Katolik. Melalui koran setempat, II Giornale, Uskup Agung Genoa dari 2 3 Tim Penulis Obor, Opus Dei dan Da Vinci Code (Jakarta: Obor, 2006), h.159. Tim Penulis Obor, Opus Dei dan Da Vinci Code, h. 170 3 Italia ini bertutur bahwa novel kontroversial tersebut berisi kebohongan yang tak berdasar dan memalukan.4 Reaksi yang lebih lugas datang dari Opus Dei, yang mendapat citra buruk dalam novel Dan Brown. Organisasi militan yang mendukung konservatisme Gereja Katolik ini pernah melayangkan surat untuk mengubah bagian akhir cerita agar tidak menyerang Gereja Katolik. Uniknya meskipun tidak sepakat dengan karya literasi ini, kelompok konservatisme tersebut tidak langsung mengambil langkah untuk memboikot peluncuran novel The Da Vinci Code.5 Lain halnya dengan Opus Dei, kelompok gereja-gereja di Korea Selatan menempuh jalur hukum guna menghentikan langkah sebuah distributor film lokal untuk menayangkan film dari novel The Da Vinci Code di negeri Gingseng tersebut. Pendeta Hong Jae Chul dari Dewan Gereja Korea menuturkan bahwa The Da Vinci Code adalah sebuah sinema yang meremehkan dan berupaya merusak Kristenitas, hal ini sebagaimana dikutip oleh Associated Press.6 Reaksi Kritis bukan hanya datang dari kalangan agamawan maupun para teolog, tapi juga dari ahli sejarah. Profesor ilmu sejarah pada Divinity School Universitas Harvard di Amerika Serikat, Karen L. King menilai bahwa tidak ada bukti dari teks-teks sejarah maupun dari sejarah gereja perdana bahwa Yesus dan Maria Magdalena berada dalam relasi perkawinan. Yang ada adalah bahwa Maria Magdalena merupakan seorang rasul/murid tempat Yesus menyatakan pandangan mendalam tentang ketuhanan dan mungkin ia memainkan peran penting dalam 4 George M. S., “Kontroversi The Da Vinci Code,” Matabaca: Jendela Dunia Pustaka IV, no. 10 (Juni 2006): h. 22 5 George M. S., “Kontroversi The Da Vinci Code,” h. 23 6 George M. S., “Kontroversi The Da Vinci Code,” h. 23 4 perkembangan awal gereja. Terlebih ia mengatakan bahwa The Da Vinci Code adalah sebuah novel misteri yang menegangkan bukan pelajaran sejarah.7 Ada beberapa kepercayaan yang tersebar di dunia ini, seperti Hindu, Buddha, Sikh, Yahudi, Kristen, Islam, Konghucu, dan lain sebagainya. Di antara beberapa kepercayaan ini pasti ada prinsip-prinsip dasar ajaran agamanya. Tak jarang karena perbedaan ini timbul beberapa perdebatan yang masing-masing mengklaim bahwa ajarannya lah yang paling benar. Contoh yang bisa diambil adalah pandangan mengenai Yesus Kristus. Hal yang sudah berabad-abad diyakini oleh umat Kristiani bahwa Yesus Kristus adalah seorang manusia suci yang dilahirkan sekitar tahun 6/7 SM , disalibkan sekitar tahun 30 M, diimani sebagai satu pribadi Ilahi (Putra Allah) dalam dua kodrat (sungguh dan sepenuhnya ilahi dan manusiawi). Ia adalah seorang Yahudi dari Galelia, keturunan Daud dan anak seorang perempuan bernama Maria, istri Yoesoef, tukang kayu. Sesudah dibaptis oleh Yohanes, Yesus mewartakan kerajaan Allah, bergaul secara istimewa dengan para pendosa dan orang-orang yang tersisih, memanggil murid-murid untuk mengikutinya, memilih kelompok inti yang terdiri dari dua belas orang, mengerjakan mukjizat dan mengajar dengan berbagai perumpamaan. Di Yerussalem (di situ ia mengikat perjanjian baru dengan Allah dalam rangka perayaan Paska) ia dikhianati, ditangkap, diperiksa oleh para anggota Sanhedrin, dijatuhi hukuman mati oleh Pontius Pilatus, disalibkan dan selanjutnya dikuburkan. Di atas salib tertulis tuduhan bahwa ia mengaku diri sebagai Mesias. Sesudah itu ia menampakkan diri sebagai orang 7 George M. S.,“Kontroversi The Da Vinci Code,” h. 23 5 yang hidup mulia kepada sejumlah orang dan kelompok. Maria Magdalena (Yoh 20:1-2), mungkin ditemani oleh wanita-wanita lain (Mrk 16:1-8), menemukan makamnya terbuka dan kosong. Dengan kekuatan Roh Kudus, sekelompok murid berhimpun disekitar petrus dan rasul-rasul yang lain, lalu mengakui dan mewartakan bahwa Yesus yang bangkit dan mulia adalah Kristus (atau Mesias)8, Penyelamat, Tuhan, dan Anak Allah.9 Berbeda dengan tradisi Kristen, Yesus dalam tradisi Islam mempunyai posisi yang istimewa. Citra Yesus dalam al-Qur’an sama sekali berbeda dengan citra Yesus dalam Injil baik yang kanonik maupun apokrif. Dalam al-Qur’an gambaran Yesus disebutkan dalam surat al-Baqarah/2: 253 yang artinya sebagai berikut: “Rasul-Rasul itu kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Diantara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat. Dan kami beri Isa putra Maryam beberapa mukjizat dan Kami perkuat dia dengan ruhul kudus...” Yesus dalam tradisi Islam banyak diceritakan tentang kelahirannya yang penuh keajaiban. Itulah mengapa disebagian teks al-Qur’an Yesus selalu disebut sebagai anak Maryam („Isaa ibn Maryam). Selain berita tetang kelahiran yang penuh keajaiban peristiwa kematiannya pun penuh dengan keajaiban dia diangkat oleh Allah ke langit yang diyakini masih hidup dan akan turun ke bumi untuk 8 Yesus diakui oleh umat Kristiani sebagai Mesias Rohani, yang menyelamatkan manusia dengan mengorbankan pribadi kemanusiaannya di tiang salib. Hal ini berbeda dengan Mesias dalam pandangan orang Yahudi. Orang Yahudi berpandangan bahwa Mesias adalah seseorang yang datang untuk menyelamatkan kaumnya dari jajahan Romawi dan mendirikan Kerajaan Allah sebagaimana Raja David dan Raja Solomo. 9 Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kasinius, 1996), h. 356. 6 memerangi dajjal di hari akhir nanti.10 Hal ini difirmankan oleh Allah Swt. Dalam surat al-Zukhruf/43:61, yang artinya sebagai berikut: “Dan sungguh, dia (Isa) benar-benar menjadi pertanda akan datangnya hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang (kiamat) itu dan ikutilah aku. Inilah jalan yang lurus”. Citra Yesus baik dalam tradisi Kristen maupun Islam berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Dan Brown dalam tulisannya. Secara garis besar, tema The Da Vinci Code adalah membongkar kebohongan Gereja Katolik. Kontroversi The Da Vinci Code berakar dari hasil otak atik kode rahasia yang menyebutkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki keturunan dari hubungan tersebut. Sang pengarang menulis bahwa kebenaran ini telah ditutupi selama kurang lebih 2000 tahun melalui konspirasi para petinggi gereja dan sebuah kelompok militan konservatif.11 Lebih dari itu, hal yang terungkap dalam novel The Da Vinci Code adalah tentang penggambaran gereja. Dan Brown menggambarkan gereja sebagai lembaga yang merumuskan keilahian Yesus. Bahkan dinyatakan pula bahwa gereja merupakan lembaga yang turut campur dalam kanonisasi Alkitab. Sehingga Alkitab yang dijadikan pijakan bagi orang Kristen bukanlah wahyu suci dari Ilahi, merupakan sebuah karya lembaga gereja. Pada bagian inilah Brown menampilkan suatu pandangan yang bisa jadi bertentangan dengan iman Kristiani, yang pada gilirannya menimbulkan kontroversi sehingga sejumlah artikel maupun buku ditulis dalam rangka mengkritik apa yang diuraikan Brown dalam novelnya itu. Anjuran untuk tidak 10 Tarif Khalidi, The Muslim Jesus: Saying and Stories In Islamic Literature. Penerjemah Iyoh S. Muniroh dan Qomaruddin SF (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 21 11 George M. S., “Kontroversi The Da Vinci Code,” h. 22 7 membaca novel ini, juga untuk tidak menonton filmnya, sering terdengar dalam khotbah-khotbah misa maupun kebaktian. Ada beberapa buku yang ditulis oleh orang-orang Kristen dan Katolik guna untuk membantah pernyataan yang ada pada novel Dan Brown. diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Cracking Da Vinci‟s Code karya James L. Garlow dan Peter Jones. Penerjemah Lily Endang Joeliani diterbitkan di Jakarta oleh Bhuana Ilmu Populer pada tahun 2005 2. Fact and Fiction in the Da Vinci Code karya Steve Kellmeyer. Penerjemah Dewi Minangsari diterbitkan oleh Optima Pers pada tahun 2005. 3. Da Vinci Code Decoded karya Martin Lunn. Penerjemah Isma B. Koesalamawardi diterbitkan di Jakarta oleh Ufuk Press pada tahun 2005. 4. The Da Vinci Hoax karya Carl Olson dan Sandra Miesel. Penerjemah Endyahswarawati Y. diterbitkan di Malang oleh Dioma pada tahun 2005. 5. Breaking The Da Vinci Code karya Dr. Darrel L. Bock diterbitkan di Nashville oleh Nelson Book pada tahun 2004. 6. The Thurth Behind the Da Vinci Code karya Richard Abanes diterbitkan di Eugene oleh Harvest House Publisher pada tahun 2004. 7. Cracking the Da Vinci Code karya Simon Cox diterbitkan di New Delhi, oleh Sterling Publishing, pada tahun 2004. 8. Solving the Da Vinci Code Mystery karya Brandon Gilvin diterbitkan di St. Lois oleh Chalice Press pada tahun 2004. 8 9. The Da Vinci Code: Fact or Fiction? karya Hank Hanegraaff dan Paul Maier diterbitkan di Wheaton oleh Tyndale House Publishers pada tahun 2004. 10. The Da Vinci Deception karya Erwin W. Lutzer diterbitkan di Wheaton oleh Tyndale House Publishers pada tahun 2004. 11. Decoding the Da Vinci Code karya Amy Welborn diterbitkan di Huntington oleh Our Sunday Visitor Pub. pada tahun 2004. 12. The Gospel Code: Novel Claims About Jesus, Mary Magdalena, and Da Vinci karya Ben Witherington diterbitkan di Downers Grove oleh IVP Books tahun 2004.12 Beberapa buku tersebut secara garis besar berisi bantahan terhadap Novel The Da Vinci Code. Oleh karena itu penulis mengangkat judul THE DA VINCI CODE DAN TRADISI GEREJA: Sebuah Kritik terhadap Tradisi Gereja dalam Novel Karya Dan Brown. Untuk kebutuhan penelitian skripsi ini, penulis memfokuskan pada empat buku utama yakni: 1. Cracking Da Vinci‟s Code karya James L. Garlow dan Peter Jones 2. Fact and Fiction in the Da Vinci Code karya Steve Kellmeyer. 3. Da Vinci Code Decoded karya Martin Lunn. 4. The Da Vinci Hoax karya Carl Olson dan Sandra Miesel. 12 J.B. Hixson, The Da Vinci Code Phenomenon: A Brief Overview and Response (jurnal of the Grace Evangelical Society, 2004), h. 41 9 Ada empat point yang menjadi sorotan penulis dalam novel tersebut. Pertama tentang Sejarah Gereja, kedua tentang Kanonisasi Alkitab, ketiga tentang Polemik Ketuhanan Yesus dan keempat tentang Perjamuan Terakhir. B. Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana Kritik Dan Brown terhadap tradisi gereja dalam pandangan gereja Mainstream? 2. Bagaimana respon para tokoh Kristen dan Katolik berkenaan dengan tulisan Dan Brown menyangkut empat hal, yaitu Sejarah Gereja, Kanonisasi Alkitab, Polemik Ketuhanan Yesus dan Perjamuan Terakhir? C. Tujuan Penelitian Setelah ditentukan batasan dan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui kritik Dan Brown terhadap tradisi gereja dalam pandangan gereja Mainstream, serta untuk mengetahui respon tokoh Kristen dan Katolik berkenaan dengan tulisan Dan Brown. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10 D. Manfaat Penelitian 1. Menambah khazanah keilmuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, tentang sebuah karya sastra yang bernuansa agama. 2. Memberikan konstribusi terhadap Fakultas Ushuluddin terkhusus pada jurusan Perbandingan Agama. Diharapkan juga dalam penelitian ini memiliki signifikansi ilmiah dalam keilmuan Ushuluddin. 3. Menambah bahan perbendaharaan kepustakaan, dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang novel The Da Vinci Code sudah banyak ditulis baik dalam bentuk artikel, skripsi, tesis, maupun buku, namun ditulis dengan tema yang berbeda. Untuk itu penulis mengangkat tema The Da Vinci Code dan tradisi gereja. Akhirnya penulis mendapatkan beberapa pustaka yang memberikan inspirasi dan mendasari penelitian ini diantaranya sebagai berikut: 1. Dekonstruksi Dominasi Laki-Laki dalam Novel The Da Vinci Code Karya Dan Brown oleh Fariska Pujianti. Thesis tahun 2010, Program Pascasarjana Magister Ilmu Susastra, Universitas Diponegoro Semarang. Pada thesis ini fokus penulis dalam penelitiannya adalah megkaji sejauh mana dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam novel The Da Vinci Code. 11 2. Kontroversi Da Vinci Code tentang Pernikahan Yesus dan Respon TokohTokoh Kristen oleh Fuad Yustanto SY. Skripsi tahun 2008, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fokus penulis dalam penelitiannya adalah mejelaskan tentang kontroversi perkawinan Yesus yang dideskripsikan dalam novel The Da Vinci Code. 3. Kerinduan akan “Herstory” (Sebuah Kajian Semiotik dan Feminisme dalam novel the Da Vinci Code karya Dan Brown) oleh Ikhaputri W. Skripsi tahun 2006, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Fokus penulis dalam penelitiannya adalah kajian tentang semiotik terhadap novel The Da Vinci Code. 4. Perspektif Feminis Seorang Penulis Laki-Laki pada Novel The Da Vinci Code oleh Dian Fidhy Pramusinta. Skripsi tahun 2006, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Fokus penulis dalam penelitiannya adalah kajian gender yang terdapat dalam novel The Da Vinci Code. Dalam skripsi ini dijelaskan dengan gamblang bagaimana penggambaran Dan Brown seputar hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. 5. Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code oleh Miranti Andi Kasim, Universitas Indonesia. Fokus penulis dalam penelitiannya adalah mengungkap religiusitas Dan Brown sebagai seorang Katholik dan juga sebagai penulis novel The Da Vinci Code yang isinya bertentangan dengan akidahnya. Dalam tulisan ini ditemukan statement bahwa alasan Dan Brown menulis novel tersebut adalah sebagai bentuk pencarian spiritualnya. 12 F. Metodologi Penelitian Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode kepustakaan (library research), dalam riset pustaka ini penulis memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.13 Data-data kepustakaan yang penulis gunakan meliputi, dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, dan media cetak lain yang relevan dengan penelitian ini. Dengan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini akan diuraikan dengan metode deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan respon para tokoh baik Kristen maupun Katolik terkait Tradisi Gereja yang digambarkan oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code. Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah: 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan ini adalah studi dokumentasi yaitu dengan cara melihat atau menganalisis dokumen atau media tertulis untuk mendapatkan gambaran terkait tema yang diangkat secara jelas dan rinci.14 2. Sumber Data Sumber data dari penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber informasi yang secara langsung 13 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 2. 14 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 143. 13 berkaitan dengan tema dalam penelitian. Dalam hal ini yang menjadi data primer adalah novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, juga empat buku utama yang telah penulis sebut pada bagian latar belakang. Sementara itu, data sekunder adalah sumber informasi yang secara tidak langsung berkaitan dengan tema/pokok bahasan dalam penelitian, dengan kata lain data sekunder dapat disebut sebagai data penunjang/pendukung. Adapun yang termasuk dalam data sekunder dalam hal ini adalah buku, jurnal, skripsi, majalah koran dan sebagainya yang dipandang relevan dan dapat mendukung penelitian. 3. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan cara pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Jadi dari dari data yang didapatkan itu penulis mencoba mengambil kesimpulan dan berusaha memverifikasi data tersebut dengan cara mengumpulkan data baru.15 4. Metode penulisan Metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Developement and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. 15 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), h. 87. 14 G. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terbagi kedalam lima bab, dengan penjelasan sebagai berikut: BAB I berisi pendahuluan yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II berisi struktur novel The Da Vinci Code, yaitu penjelasan tentang pengarang novel, kondisi lingkungan sosial novel, serta unsur-unsur yang terdapat dalam novel. BAB III berisi ajaran gereja dan kritik Da Vinci Code, yaitu penjelasan tentang Tradisi gereja dalam pandangan gereja mainstream dan pandangan Dan Brown. adapun temanya meliputi Gereja, Alkitab, Trinitas, dan kontroversi tokoh pada Perjamuan Terakhir. BAB IV berisi respon para tokoh Kristen dan Katolik terhadap kritik Da Vinci Code, yaitu uraian argumen dan karya-karya para tokoh Kristen dan Katolik yang diterbitkan untuk merespon novel The Da Vinci Code berkenaan dengan empat hal, diantaranya tentang Sejarah Gereja, Kanonisasi Alkitab, Polemik Ketuhanan Yesus dan Perjamuan Terakhir. BAB V berisi kesimpulan yang menjawab perumusan masalah berdasarkan data dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. BAB II STRUKTUR NOVEL THE DA VINCI CODE A. Riwayat Dan Brown Dan Brown adalah seorang pengarang novel The Da Vinci Code. Novel ini telah menjadi salah satu novel dengan penjualan terlaris setiap waktu, yang menjadi subyek diskusi yang kontroversi diantara banyak kalangan baik pembaca maupun sarjana. Brown termasuk dalam daftar 100 Most Influential People (100 orang Paling Berpengaruh) versi majalah TIME.1 Ia dilahirkan pada 22 Juni 1964 di Exeter, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia adalah putra sulung dari tiga bersaudara ayahnya bernama Richard Brown, seorang guru Matematika, dan ibunya bernama Connie Brown, yang berprofesi sebagai pemusik pemain organ Gereja. Brown dibesarkan sebagai seorang Kristen. Yang tumbuh dilingkungan keluarga yang menyukai teka-teki dan kode-kode.2 Dari ayahnya lah ia belajar Deret Fibonacci.3 Namun karena perbedaan cara pandang kedua orang tuanya ia mengalami kebingungan sejak usia kanak-kanak. Sebagaimana terekam dari penuturannya: “Sementara sains memberikan bukti-bukti yang menggairahkan atas klaim-klaimnya, apakah berupa foto, persamaan, atau bukti-bukti 1 Miranti Andi Kasim. “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code,” Artikel Universitas Indonesia. Diakses pada 17 November 2014 dari http://abbah.yolasite.com/resources/KAJIAN%20TERHADAP%20NOVEL%20DA%20VI NCI%20CODE.pdf 2 Dan Brown, The Da Vinci Code, Penerjemah Ingrid Dwijani Nimpoeno (Yogyakarta: Bentang, 2014), h. 10 3 Deret Fibonacci adalah deretan yang terbentuk dengan masing-masing angka dalam deret tersebut merupakan hasil dari penjumlahan dari dua angka sebelumnya. Contoh dari deret fibonacci adalah 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, dst. Uniknya lagi hasil dari pembagiannya bernilai sama setelah angka ke-13, yaitu bernilai 1,618. Contoh 233/144 = 1,618; 377/233 = 1,618; dst. 15 16 yang dapat dilihat, agama lebih banyak menutut, terus menerus memintaku untuk menerima segala sesuatu secara yakin. Keyakinan membutuhkan upaya yang lumayan banyak, terutama untuk anak-anak belia dan khususnya dalam sebuah dunia yang tidak sempurna. Maka sebagai seorang anak, aku cenderug berlandaskan pada fondas-fondasi sains yang kokoh. Tetapi semakin jauh aku masuk ke dalam dunia sains yang kokoh ini, semakin rapuh landasan tempatku memulai.”4 Brown mempunyai banyak riwayat intelektual, di antaranya pernah belajar sejarah di Universitas Seville Spanyol. Di sanalah ia mulai menerima pelajaran mengenai kode-kode tersembunyi di balik karya-karya seni ternama seperti The Last Supper, Monalisa, Madonna of the Rocks, dan Adoration of Magi. Pada tahun 1991, ia pergi ke Los Angeles untuk meniti karirnya di dunia musik sambil bekerja sebagai guru bahasa Spanyol. Brown bergabung dengan National Academy of Songwriters, di sana ia berkenalan dengan Blythe Newlon, direktur pengembangan artistik organisasi yang akhirnya menjadi istrinya.5 Setelah meniti karir dibidang musik, Dan Brown kembali ke New Hampshire dan mulai memfokuskan waktunya untuk menulis.6 Sebagai seorang penulis, ia menghasilkan banyak karangan baik berupa cerita pendek maupun novel. Namun, dalam karirnya sebagai seorang penulis, ia tidak dikenal oleh publik sampai ia meluncurkan novel keempatnya yang berjudul The Da Vinci Code. Beberapa karyanya adalah seperti Digital Fortress, terbit pada tahun 1997. Angels and Demons, terbit pada tahun 2000. Deception Point, terbit pada tahun 4 Miranti Andi Kasim. “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 5 Miranti Andi Kasim. “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 6 Miranti Andi Kasim. “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 17 2001. The Da Vinci Code, terbit pada tahun 2003. The Lost Symbol, terbit pada tahun 2009. Dan Inferno, terbit pada tahun 2013. Saat ini Dan Brown tinggal di New England, dan masih menggeluti pekerjaannya sebagai novelis. B. Lingkungan Sosial The Da Vinci Code Lingkungan sosial The Da Vinci Code, meliputi unsur-unsur luar yang mempengaruhi penulisan novel The Da Vinci Code. Seperti agama dalam kebudayaan Amerika. Analisis ini dilakukan dengan meneliti Bagaimana masyarakat Amerika memisahkan peran sebagai umat beragama dan peran sebagai warga negara, dan juga dikaitkan dengan prinsip kebebasan berbicara (freedom of speech) yang terdapat dalam konstitusi Amerika. Dalam konstitusi ini, salah-satu ciri paling menakjubkan pada agama di Amerika adalah polipietes (keragaman agama dan keragaman bentuk).7 Beragama di Amerika bukan merupakan urusan negara dan pemerintahan. Di dalam Kartu Identitas Diri warga Amerika, kolom agama ditiadakan. Hal yang demikian merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah tidak turut campur dalam hal kerohanian warga negaranya. Betapapun begitu, masyarakat Amerika hampir selalu memiliki perasaan kedekatan dengan kelompok keagamaan tertentu, dan disamping itu, terlibat dalam praktik keagamaan dengan frekuensi yang tinggi. Mereka memiliki tingkat 7 Martin E. Marty, “Agama di Amerika,” dalam Luther S. Luedtke, ed., Making America: The Society and Culture of the United States (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 192 18 keterlibatan keagamaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan keterlibatan mereka dalam politik.8 Cara pandang keagamaan seperti ini tentu memiliki akar sejarah dari masa pencerahan. Masa pencerahan meninggalkan pengaruh yang kuat pada karakter dan kebudayaan Amerika. Sejak masa itu banyak orang Amerika mulai meyakini bahwa kekuatan Ilahi di balik karakter dan kebudayaan dapat muncul dalam berbagai macam ungkapan dan dapat dipahami oleh kaum beriman dengan berbagai macam cara: “Kita berada di kapal yang berbeda-beda yang menuju ke pantai yang sama, sebagaimana Jefferson merumuskan hal tersebut dengan baik.” Tidak ada bedanya apakah tetangga sebelah menghormati satu Allah, dua puluh Allah, atau bukan Allah sekalipun. Sepanjang mereka tidak mengganggu satu sama lain – dengan kata lain “yaitu tidak mencuri dompet saya”.9 Begitulah keragaman keberagamaan di Amerika. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup sebagai warga negara yang beragama namun tidak mengikat. Agama yang datang ke Amerika tidak membutuhkan legalitas dari negara. Semuanya mempunyai tempat yang sama. Dalam konteks budaya Amerika ini, Kebudayaan dalam masyarakat mempengaruhi cara pandang individu dalam memaknai sesuatu, termasuk dalam hal keagamaan. Apa yang dianggap benar oleh satu individu, belum tentu benar menurut individu yang lain. Hal ini yang menjadi simpul ungkapan Dan Brown dalam novelnya bahwa “kebenaran sejarah dalam agama itu bersifat relatif”. 8 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American Politics, Penerjemah Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 423 9 Marty, “Agama di Amerika,” h. 203-204 19 Negara Amerika dengan gaya liberalnya menjadikan Dan Brown yakin bahwa bentuk keberagamaan yang diekspresikan melalui tulisannya menjadi sebuah novel yang sangat fenomenal tidaklah menyimpang dari sejarah Kristen. Selain adanya kebebasan beragama, di Amerika juga menjunjung tinggi kebebasan berbicara (freedom of speech)10. United Nations Universal Declaration of Human Right, yang diadopsi tahun 1948, pada pasal 19 menyatakan: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and ideas throug any media and regardiess of frontiers.” (Setiap orang berhak untuk berpendapat dan memiliki kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa diinterferensi dan untuk mencari, menerima dan membagi informasi serta segala macam gagasan, melalui media apapun, tanpa batasan.)11 Secara teknis, deklarasi tersebut adalah resolusi dari PBB, bukan sebuah traktat, jadi tidak bersifat mengikat negara-negara anggota PBB. Freedom of Speech atau Kebebasan Berbicara mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional dari Internasional Covenant on Civil and Political Rights, yang diratifikasi oleh lebih dari 150 negara.12 Lantas bagaimana penerapan di Amerika Serikat?, Pada umumnya Amerika memiliki kebijakan liberal terhadap kebebasan berekspresi, tanpa sensor dari 10 yaitu kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan. Akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian, dapat diidentikkan dengan istilah kebebasan berekspresi yang kadangkadang digunakan bukan hanya untuk kebebasan dalam berbicara lisan saja, melainkan juga kebebasan dalam menuangkan ide apapun. Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah kebebasan ini tidak termasuk dalam konsep kebebasan berfikir atau kebebasan hati nurani. Selengkapnya lihat “Freedom of Speech” diakses pada 08 Juni 2015 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_berbicara 11 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 12 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 20 pemerintah terhadap media pemberitaan (dengan pengecualian aturan dasar bagi radio dan televisi) atau seni kreatif. Namun bukan berarti semua pendapat tanpa batas. Pemerintah Amerika juga menerapkan batasan dan hukum apabila kebebasan ekspresi tersebut mengandung unsur-unsur kebohongan.13 Oleh karena itu, betapapun masyarakat Amerika benar-benar menjunjung tinggi hak mereka untuk bebas bicara dan menggunakannya untuk kepentingan mereka, sebenarnya Pemerintah Amerika memiliki kendali langsung terhadap kebebasan berbicara pada sejumlah media. Salah satu contohnya adalah pengaturan siaran radio dan televisi dari Federal Communications Commision (FCC).14 C. Latar Belakang Penulisan Novel Dan Brown selain mengarang enam novel yang terkenal, juga menulis beberapa cerita pendek. Sebelum ia menerbitkan novel pertamanya Digital Fortress, ia menulis “187 Men to Avoid” yang terbit pada tahun 1995 dengan nama samaran Danielle Brown. Selain buku itu, ia juga menulis buku lainnya dengan judul “The Bald Book” yang ditulis di sela-sela penulisan novel keduanya. Novel kedua Dan Brown adalah Angels and Demons. Pada novel ini tokoh Robert Langdon untuk pertama kalinya dikenalkan. Alur cerita dalam novel ini membuat beberapa pembaca menuduhnya sebagai anti-Katolik dan seorang Atheis. Secara ringkas novel ini menceritakan tentang petualangan Langdon 13 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 14 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 21 dalam memecahkan petunjuk berupa simbol-simbol untuk mengetahui dalang di balik suatu pembunuhan dan kaitannya dengan organisasi rahasia Illuminati. Dalam novel ini seorang Paus Vatikan-lah yang diceritakan sebagai dalang pembunuhan. Brown juga menggambarkan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai latar cerita. Meskipun dirangkai sebegitu menariknya, angka penjualan novel Angels and Demons kurang memuaskan. Novel ini belum mampu membawa ketenaran nama Dan Brown secara maksimal. Tidak lama setelah itu, Brown mulai menggarap novel ketiganya, akhirnya pada tahun 2001 terbitlah sebuah novel dengan judul Deception Point, dengan tema yang masih sama dengan novel keduanya. Namun novel ini dalam penjualannya bernasib sama. Angka penjualannya rendah. Setelah menerbitkan tiga novel yang tidak membuahkan hasil, juga Brown sedang tidak memiliki agen dan penerbit. Ia mulai pesimis dengan karirnya sebagai seorang novelis. Pada akhirnya membuat ia berpikir lebih keras untuk menarik perhatian pembaca pada tulisan selanjutnya. Dari kerja keras dan ketekunan yang dilakukannya untuk menggarap karya berikutnya, akhirnya pada novel keempat dia sengaja memilih tema yang sensitif untuk diangkat. Strategi ini berhasil. Tema The Da Vinci Code yang memaparkan nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Kristen, akhirnya sukses besar dan menjadikan nama Dan Brown muncul ke permukaan, dan menjadi bahan pembicaraan. Dampak lain dari kesuksesan novel ini adalah dirilis-ulangnya novel-novel Dan Brown sebelumnya. 22 Pada novel keempat ini, Dan Brown benar-benar serius menggarapnya. Untuk mendapatkan data-data dalam penulisan ini, selama bertahun–tahun ia melakukan riset di Museum Louvre, Kementrian Kebudayaan Paris, Proyek Gutenberg, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Gnostic Society, Department of Paintings Study and Documentation Service di Museum Louvre, Catholic World News, Royal Observatory Greenwich, London Record Society, Monument Collection di Westminster Abbey, John Pike dan Federation of American Scientists. Dan juga mewancarai lima anggota Opus Dei (tiga anggota aktif dan dua mantan anggota) yang mengungkapkan kisah mereka, baik positif maupun negatif, mengenai pengalaman mereka di Opus Dei.15 Dalam novelnya kali ini, Brown kembali memilih tokoh Langdon yang dulu pernah berperan dalam novel yang berjudul Angels and Demons. Alasan Brown memilih Langdon sebagai tokoh utama pada novel The Da Vinci Code kali ini adalah karena karakter Robert Langdon sangat mirip dengan Dan Brown.16 Selama proses riset dalam penulisan novelnya, pandangan-pandangan Brown terhadap agama dan spiritualitasnya kelihatan mulai berubah. Seperti yang telah diungkapkannya sebagai berikut: “Anda tidak dapat melakukan penelitian tentang topik eksplosif ini dan terbenam dalam persoalan semacam ini tanpa mengubah falsafah fundamental anda.” Novel The Da Vinci Code, oleh Dan Brown dianggap sebagai cara memahami keruwetan sejarah, seperti sejarah tentang Priory of Sion dan 15 Dan Brown, The Da Vinci Code, h. 9-10 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 16 23 organisasi Katolik “Opus Dei”. Selain itu juga untuk memperkenalkan orangorang pada kode-kode tersembunyi dalam seni Leonardo da Vinci. Hanya saja ketika sampai pada teori tentang pernikahan Yesus dan Maria Magdalena, Brown ragu-ragu dengan teorinya tersebut. Namun ia harus berpaling, pada akhirnya ia mengatakan bahwa The Da Vinci Code menggambarkan sejarah sebagaimana yang akhirnya ia pahami setelah selama beberapa tahun melakukan perjalanan, riset, membaca, wawancara dan eksplorasi.17 Dalam keberhasilan penulisan novel ini Brown tidak lepas dari bantuan istri tercintanya Blythe – seorang peminat sejarah seni dan lukisan, yang memiliki pengetahuan dan minat besar terhadap karya seni Leonardo da Vinci. Yang akhirnya pada 18 Maret 2003, penerbit Doubleday menjadwalkan peluncuran 230.000 eksemplar The Da Vinci Code. Di hari pertama penjualannya, novel itu berhasil terjual sebanyak 6.000 eksemplar, melonjak sampai nyaris 24.000 diakhir minggu pertama. Minggu berikutnya, karya Brown itu masuk dalam daftar bestseller di media-media cetak Amerika.18 D. Unsur-Unsur Dalam Novel The Da Vinci Code D.1. Tokoh dan Penokohan D.1.a. Robert Langdon Tokoh ini diceritakan sebagai seorang profesor simbologi agama dari Harvard. Ia ahli dalam hal-hal yang berkaitan dengan ikonologi klasik, 17 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 18 Miranti Andi Kasim.“Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code.” 24 simbol-simbol jaman pre-Kristen, seni kedewian, dan penerjemahan tulisantulisan kuno. Karena keahliannya, ia dipercaya oleh Jacques Sauniere menemani cucunya Sophie Neveu dalam memecahkan kode/teka–teki dan simbol-simbol yang ditinggalkannya sebelum Sauniere meninggal. Tetapi tidak disangka, justru karena pesan yang ditinggalkan Jacques Sauniere lah yang membuat Langdon menjadi tersangka dalam kasus terbunuhnya Sauniere. Karakter Langdon dalam novel ini adalah sebagai tokoh utama yang sangat tertarik pada konsep perempuan suci. Ia percaya bahwa Holy Grail yang sebenarnya bukanlah sebuah artafek berbentuk cawan, melainkan metafora dari seorang perempuan. D.1.b. Sophie Neveu Sophie Neveu adalah cucu seorang kurator museum Louvre, Jacques Sauniere. Ia berprofesi sebagai kriptografer di kepolisian Perancis. Dalam novel ini, ia bersama-sama dengan Langdon akhirnya berhasil memecahkan pesan kematian yang ditinggalkan Sauniere. Sophie dibesarkan oleh kakeknya seorang diri, setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ia mahir dalam hal teka-teki yang rumit berkat didikan kakeknya, namun hubungan baik dengan kakeknya terputus karena Sophie melihat kakeknya melakukan ritual seks (hieros gamos). Pada akhir cerita, diketahui bahwa Sophie adalah keturunan dari Yesus Kristus dan Maria Magdalena. 25 D.1.c. Sir Leigh Teabing Sir Leigh Teabing adalah Sarjana seni lulusan Oxford yang mengkhususkan diri pada pencarian cawan suci (holy grail). Ia juga adalah seorang teman dari Langdon, mereka pertama kali bertemu melalui British Broadcasting Corporation. Demi untuk menemukan keberadaa Holy Grail, ia menempuh segala cara, termasuk memanfaatkan kecerdasan Langdon dan Sophie. Ia juga memanfaatkan kegigihan Aringarosa beserta Silas dalam pencarian Holy Grail. Diceritakan bahwa setelah ia menemukan Holy Grail, ia berambisi untuk mengumumkan pada dunia bahwa Holy Grail bukanlah cawan suci melainkan seorang perempuan yang melahirkan keturunan Yesus, perempuan itu adalah Maria Magdalena. D.1.d. Uskup Manual Aringarosa Uskup Manual Aringarosa adalah Kepala gereja Opus Dei, sekaligus pelindung dari biarawan albino bernama Silas. Aringarosa juga terlibat dalam pencarian petunjuk untuk menemukan keberadaan Holy Grail. Aringarosa adalah tokoh yang membantah anggapan bahwa Holy Grail adalah Maria Magdalena, untuk itu ia dengan segala kemampuannya ingin menghilangkan bukti bahwa cawan suci (Holy Grail) adalah Maria Magdalena. D.1.e. Silas Silas adalah seorang Anggota Opus Dei yang percaya bahwa tindakan penyiksaan diri secara fisik merupakan bentuk pengabdian diri kepada Yesus 26 Kristus. Dengan mencambuki diri sendiri dan mengikatkan tali yang berduri pada pahanya, ia akan merasakan penderitaan sebagaimana yang dirasakan oleh Yesus Kristus di tiang salib. Silas digambarkan sebagai pembunuh Jacques Sauniere beserta tiga pemimpin organisasi Biarawan Sion lainnya. Meskipun Silas tahu bahwa membunuh adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan dosa, namun ia tetap tidak mau menghentikannya. Ia beranggapan bahwa selama perbuatannya bertujuan untuk menyelamatkan keberlangsungan gereja Katolik, meskipun itu diyakini sebagai perbuatan dosa, ia tetap akan melakukannya. Karena ia percaya bahwa dosanya bisa dihapus apabila ia bertobat dengan cara penghukuman diri. D.1.f. Bezu Fache Bezu Fache adalah seorang Kapten dari DCPJ (Direction Centrale Police Judiciaire) atau kepolisian yudisial Perancis. Ia berkarakter tegas, penuh kewaspadaan dan keras kepala. Dia juga yang bertanggung jawab terhadap penyebab kematian Jacques Sauniere. Yang menjadi target Fache dalam kasus pembunuhan yang terjadi di Museum Louvre adalah Robert Langdon. D.1.g. Jacques Sauniere Jacques Sauniere adalah seorang kurator Museum Louvre yang dibunuh oleh Silas. Dia merupakan kakek dari Sophie Neveu. Selain itu ia juga 27 termasuk mahaguru atau pemimpin tertinggi dari organisasi Biarawan Sion, sebuah organisasi yang bertujuan menjaga rahasia Holy Grail dan keturunan Yesus Kristus. Ketujuh tokoh diatas merupakan tokoh sentral yang menjadi lakon dalam novel The Da Vinci Code. D.2. Struktur Latar Latar dalam novel The Da Vinci Code dapat dilihat dalam tabel berikut: No. 1. 2. 19 Bagian/ sub bab 2–4 42 – 45 Lokasi, Negara Museum Louvre, Paris Depository bank of zurich19 Periode waktu Status Sosial/Konteks cerita 10. 46 pm Terbunuhnya Jacques Sauniere, Tempat pertama kali Robert Langdon dan Sophie Neveu bertemu, dan mendapatkan pesan kematian dari Sauniere. Tengah malam Langdon dan Sophie menemukan Rosewood (kotak kayu yang berisi cryptex), yang menjadi petunjuk keberadaan Holy Grail. Terjadi perbincangan antara Robert Langdon, Sophie Neveu dan Sir Leigh Teabing mengenai cawan suci (Holy Grail). 3. 52 – 70 Versailles Tengah malam 4. 71 – 80 London, Inggris Dini hari Sophie Neveu, Robert Langdon dan Sir Leigh Teabing menghindari kejaran Depository Bank of Zurich adalah bank Geld-schrank yang mewarkan ruang penyimpanan anonim yang juga dikenal sebagai layanan penyimpanan tertutup. Bank ini menyediakan berbagai bentuk benda yang ingin disimpan, seperti sertifikat, saham, serta lukisan berharga, melalui serangkaian selubung privasi berteknologi tinggi, dan bisa menarik barangbarang itu kapan saja, juga dengan anonimitas total. Bank ini melayani klien selama 24 jam penuh, dengan tradisi rekening bernomor Swiss. Bank ini memiliki kantor di Zurich, Kuala Lumpur, New York, dan di Paris. Baca Brown, The Da Vinci Code, h. 269 28 5. 92 dan 95 Perpustakaan king‟s collage20 Pagi hari 6. 97 – 99, Westminster Abbey21 7. 8. 101 104–105 Kapel “Rosslyn”, Skotlandia22 Bezu Fache. Ditengah perjalanan ia berhasil menemukan kode untuk membuka Criptex pertama. Pencarian informasi tentang keberadaan makam kesatria (Issac Newton) di London. Pencarian “bola” yang seharusnya ada di makam Kesatria, yang menjadi kode untuk membuka Criptex kedua. Siang menjelang sore Sir Leigh Teabing ditangkap oleh kapten Bezu Fache Sore hari – malam hari Sophie Neveu bertemu nenek dan adiknya yang dikira sudah meninggal. Terungkap rahasia bahwa Sophie adalah keturunan Yesus Kristus dan Maria Magdalena. D.3. Struktur Plot/Alur The Da Vinci Code diawali dengan sebuah peristiwa pembunuhan yang mengerikan di Museum Louvre, Paris. Polisi memanggil Robert Langdon, 20 King‟s Collage didirikan oleh Raja George IV pada 1829, menempatkan Departemen Teologi dan Studi keagamaannya di sebelah gedung Parlemen, di tanah pemberian Raja. Departemen agama King‟s Collage tidak hanya membanggakan pengalaman 150 tahun dalam pengajaran dan riset, tetapi juga pendirian Institut Riset dalam Teologi Sistematik pada 1982, dengan salah satu perpustakaan riset keagamaan yang paling lengkap dan maju secara elektronik di dunia. Baca Brown. The Da Vinci Code, h. 559 21 Westminster dirancang dengan gaya katedral besar Amiens, Charters, dan Canterbury, tidak dianggap sebagai katedral ataupun gereja Paroki. Klasifikasinya adalah sebagai tempat pemujaan, dan hanya tunduk pada kerajaan. Sejak menjadi tempat penobatan William the Conqueror pada Hari Natal 1066, tempat suci menakjubkan ini telah menyaksikan prosesi upacara kerajaan dan urusan negara yang tak terhitung banyaknya – mulai dari kanonisasi Edward the Confessor, pernikahan Pangeran Andrew dan Sarah Ferguson, sampai pemakaman Henry V, Ratu Elizabeth I, dan Lady Diana. Baca Baca Brown. The Da Vinci Code, h. 586 22 Sering kali disebut Katedral Kode – berdiri sebelas kilometer di selatan Endiburg, Skotlandia, di lokasi sebuah kuil Mithra kuno. Didirikan oleh Kesatria Templar pada 1446, kapel itu diukiri rangkaian simbol membingungkan dari tradisi Yahudi, Kristen, Mesir, Mason dan Pagan. Koordinat-koordinat geografis kapel itu berada tepat pada garis bujur utara-selatan yang membelah Glaston-bury. Garis Mawar membujur ini adalah penanda tradisional Pulau Avalonnya Raja Arthur, dn dianggap sebagai pilar utama geometri-suci Inggris. Dari Rose Line (Garis Mawar) suci inilah, Rosslyn – yang asalnya dieja Roslin – memperoleh namanya. Baca Brown. The Da Vinci Code, h. 642 29 seorang dosen simbologi agama dari Universitas Harvard, untuk membantu memecahkan berbagai petunjuk misterius yang tertinggal didekat mayat, Jacques Sauniere. Diatas dan sekitar mayat itu terdapat teka-teki, yang jika dipecahkan oleh Langdon dan kriptografer polisi Sophie Neveu akan mengarah ke berbagai petunjuk tersembunyi dari pengamatan yang wajar atas karya seni Leonardo Da Vinci. Sophie dengan dibantu Langdon berusaha keras untuk memecahkan kode rahasia tersebut yang akhirnya mengantarkan mereka untuk bertemu dengan seorang ahli sejarah yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian Holy Grail. Langdon mendapati bahwa kurator Louvre yang terbunuh, bukan hanya merupakan kakek dari Neveu yang sudah lama tidak bersamanya, tetapi juga seorang Grandmaster di sebuah kelompok persaudaraan purba (Priory of Sion) yang dipercaya untuk menjaga sebuah rahasia, yang apabila diungkapkan akan mengancam eksistensi Gereja. Sauniere tewas karena melindungi lokasi yang merupakan bukti adanya Cawan Suci. Berlomba menyusuri jalan-jalan kota Paris, ke tempat tinggal Teabing yang eksotis, ke London dengan menumpang penerbangan gelap, Langdon dan Neveu terus mencoba untuk selangkah lebih maju dari polisi Perancis, seorang pembunuh albino, dan seorang misterius yang mengatur pencarian maut akan Cawan Suci. Berbagai simbol dan teka-teki yang sangat rumit membawa Langdon dan Neveu pada sebuah kesimpulan menarik, dimana lokasi Cawan Suci diungkapkan. 30 Robert Langdon dan Sophie Neveu pergi ke sebuah gereja Roslin. Ternyata di sana mereka bertemu dengan nenek Sophie yang dikira sudah meninggal, dan juga adik laki-laki Sophie. Setelah menggabungkan cerita, ternyata Sophie sendiri adalah keturunan langsung dari Yesus dan Maria Magdalena, sehingga ia dilindungi. Pada akhir cerita, Langdon kembali ke Paris karena tidak menemukan Cawan Suci di Roslin. Namun, ia tiba-tiba ingat kembali akan salah satu petunjuk Sauniere, dan akhirnya meyakini bahwa tulang-tulang Maria Magdalena disembunyikan di Paris, dekat museum Louvre itu sendiri.23 D.4. Tema Novel The Da Vinci Code karya Dan Brown ini ber-Genre thriller, dengan tema konspirasi, antara gereja Katolik Opus Dei dan Biarawan Sion (Priory of Sion). E. Nilai-Nilai yang Dipermasalahkan dalam Novel The Da Vinci Code Bila ditinjau lebih jauh, ada dua kelompok besar yang menjadi poros pertentangan novel The Da Vinci Code, yaitu kelompok Opus Dei dan Priory of Sion. Opus Dei merupakan sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1928 oleh Pendeta Spanyol Josemaria Escriva. Organisasi ini mengembangkan sebuah gerakan kembali ke nilai konservatif dan mendorong jemaatnya untuk memperbanyak berbagai pengorbanan dalam hidup mereka sebagai usahanya 23 Steven E. Liauw. “Rangkuman Buku Da Vinci‟s Code” diakses pada 10 Maret 2015 dari http://www.in-christ.net/artikel/literatur/rangkuman_buku_da_vinci_s_code 31 menjalankan karya Tuhan. Organisasi ini mendapat dukungan dari Vatikan. Sedangkan Priory of Sion adalah kelompok yang kagum pada ikonologi kedewian, paganisme, dan ketuhanan perempuan, tetapi kelompok ini menaruh kebencian pada gereja, salah satu anggotanya dulu adalah Leonardo da Vinci.24 Organisasi Opus Dei termasuk dalam kelompok mainstream yang selama ini mempercayai keilahian Yesus sebagaimana yang dipercayai oleh umat Kristiani pada umumnya. Sedangkan Priory of Sion adalah kelompok yang mempercayai bahwa Yesus sepenuhnya adalah manusia, pernah menikah dengan Maria Magdalena dan mempunyai keturunan yang selanjutnya disebut sebagai dinasti Merovongian, sebagaimana yang diungkap oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code. Berikut ini adalah tabel perbedaan nilai-nilai didalam novel tersebut dengan apa yang dipercaya oleh jemaat Kristiani, yang mengguncang inti keyakinan mereka. Tabel nilai-nilai yang menjadi pertentangan antara Opus Dei dan Priory of Sion Permasalahan Opus Dei Priory of Sion Alkitab Alkitab adalah sebuah kitab sejarah yang menggambarkan kehidupan Yesus yang ditulis oleh seorang yang dekat dan mengenal Yesus semasa hidupnya. Terdiri dari 27 kitab termasuk didalamnya adalah empat injil yang kanon, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. “Alkitab adalah produk manusia, sayangku. Bukan Tuhan. Alkitab tidak jatuh secara ajaib dari awan. Manusia menciptakannya sebagai catatan historis masa-masa pergolakan, dan buku itu berevolusi melalui penerjemahan, penambahan, dan perbaikan yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah tidak pernah memiliki versi bukunya yang pasti.” (bab 55: 351) 24 Fariska Pujianti, “Dekonstruksi Dominasi Laki-Laki dalam Novel The Da Vinci Code Karya Dan Brown.” Tesis S2, Program Pascasarjana Magister Ilmu Susastra, Universitas Diponegoro Semarang, 2010. h. 63 32 Kesalibatan Yesus Yesus mempunyai sisi Ketuhanan dan sisi Kemanusiaan. Namun lepas dari itu dia adalah manusia suci. Yang dilahirkan dari rahim Maria Tanpa bapak dan sampai mati pun tetap menjadi manusia suci. Yesus adalah “Divine being” Dalam lukisan perjamuan terakhir Yesus beserta kedua belas muridnya, yang duduk di kanan Yesus adalah salah seorang dari muridnya yang bernama Yohanes. The Last Supper Holy Grail Sebuah Cawan, yang dijadikan Yesus untuk minum Anggur pada Jamuan Terakhir bersama keduabelas muridnya. Alkitab menurut Priory of Sion adalah Hasil konspirasi Gereja “sampai saai itu dalam sejarah, Yesus dipandang oleh para pengikutnya sebagai nabi yang fana ... lelaki hebat dan berkuasa, tapi juga seorang manusia, makhluk yang fana.” “Bukan Putra Allah?” “Benar,” ujar Teabing. “Penetapan Yesus sebagai „Putra Allah‟ diajukan secara resmi dan dipilih berdasarkan pemungutan suara oleh Konsili Nicea.” (bab 55: 354) Pandangan Priory of Sion mengatakan bahwa Yesus sepenuhnya adalah “Human being” Shopie meneliti figur yang berada persis disebelah kanan Yesus, memusatkan perhatiannya ke sana. Ketika dia mengamati wajah dan tubuh orang itu, gelombang ketakjuban muncul di dalam dirinya. Individu itu mempunyai rambut merah tergerai, sepasang tangan lembut yang terlipat, dan dada menonjol. Tak diragukan lagi, dia ... perempuan. “Dia perempuan!” teriak Sophie. (bab 57: 367) Tentang lukisan perjamuan terakhir ini, Priory of Sion mengatakan bahwa yang duduk di kanan Yesus adalah seorang perempuan bernama Maria Magdalena. “bukan apa,” bisik Teabing. “Melainkan lebih tepat Siapa. Cawan suci bukanlah benda. Sebenarnya itu adalah ... Orang.” (bab 55: 359) Holy grail dalam pandangan Priory of Sion adalah Maria Magdalena. BAB III AJARAN GEREJA DAN KRITIK DA VINCI CODE A. Gereja A.1. Sejarah Gereja dalam Tradisi Kristen Pada hari Pentakosta, yaitu 50 hari setelah hari Paska, jema‟at-jema‟at (komunitas) pertama kali terbentuk. Dalam tradisi Kristen, komunitas-komunitas itu disebut ekklesia, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “gereja”. Dalam Perjanjian Lama kata ekklesia digunakan untuk menunjukkan suatu perkumpulan jemaat atau persidangan yang dipanggil bersama-sama guna tujuantujuan keagamaan.1 Dieter Becker, dalam bukunya Pedoman Dogmatika, menjelaskan bahwa apa yang disebut dengan gereja adalah sebagai tubuh Kristus, di mana orangorang dimasukkan ke dalamnya melalui baptisan dan Perjamuan Kudus. Di samping itu gereja atau orang-orang Kristen dapat juga disebut sebagai “orangorang kudus”, “rumah” Allah, “imamat yang rajani”, “umat Allah”, “kawasan domba” Allah dan Kristus. Dan menurut Perjanjian Baru, gereja terdapat dalam hubungan yang erat dengan Kristus dan tugasnya adalah mengabarkan kesaksian tentang Dia.2 Gereja pada abad pertama dikenal sebagai gereja pada zaman rasul-rasul (apostoloi age), hal ini sudah dimulai sejak hari Pentakosta sampai kematian rasul 1 Linwood Urban, A Short History of Christian Thought, Penerjemah Liem Sien Kie (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 411 2 Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 171 33 34 terakhir, Yohanes. Periode ini berlangsung kurang lebih selama 70 tahun (30-100 M), tempat berlangsungnya adalah di Palestina, dengan gereja pusat berada di Yerussalem, Antiokhia dan Roma. Pada periode ini, gereja menghadapi begitu bayak tantangan. Sekitar tahun 70 M sampai 140 M komuntias Kristen di Roma mengalami penindasan dan penganiayaan dari politik atau negara, di mana orangorang Kristen pada masa itu dipaksa untuk menyembah Kaisar. Pada masa itu pula kota Roma dihancurkan. Betapapun masa gereja mengalami ketertindasan, di sisi lain gereja mengalami perkembangan yang signifikan. Jemaat-jemaat gereja secara bertahap mulai tersebar ke wilayah Siria, Asia Kecil, Yunani, Mesir, Mesopotamia, dan di tempat-tempat yang lebih jauh lagi.3 Gereja yang pada awalnya mempercayai kedatangan Yesus untuk kedua kali ke dunia dengan segera, lama kelamaan mereka terpaksa menerima kenyataan bahwa dia harus lebih baik dalam menjalankan tugas sebagai penghuni dunia nyata ini, disamping pengharapan akan kedatangan sang messiah, Yesus. Oleh sebab itu gereja perlu diberi susunan yang lebih teratur dan kukuh. Akhirnya terbentuklah sebuah organisasi, yang mula-mula pimpinannya diamanatkan kepada rasul-rasul (yaitu bukan saja saksi-saksi kebangkitan Yesus, tetapi juga utusan-utusan Injil yang mengitari semua negeri), pengajar-pengajar (guru-guru agama yang menafsirkan Alkitab, seperti ahli-ahli Taurat dalam agama Yahudi) dan nabi-nabi (yang menerima karunia Roh yang istimewa). Mereka ini 3 H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 10 35 bukan dipilih melainkan dengan sendirinya dihormati dan diakui kuasanya dalam jemaat karena karunianya yang luar biasa itu.4 Lambat laun, penggembalaan jemaat beralih kepada uskup setelah pemimpin dari golongan rasul, pengajar dan nabi meninggal dunia. Disini tugas uskup bertambah penting selaku gembala jemaat dan pemimpin ibadah. Pada permulaan abad ke-2 jemaat di Asia Kecil dan Siria dikepalai oleh seorang uskup saja. Kemudian peraturan ini diikuti oleh negara manapun, sehingga susunan gereja menjadi episkopal. Penatua-penatua merupakan badan tetap yang memilih uskup serta membantunya dalam kebaktian dan pemerintahan jemaat.5 Pada abad pertengahan kepausan tiba pada puncak kekuasaannya. Menurut Bonifatius VIII, mengabdikan diri di bawah paus sangat penting untuk menerima keselamatan. Tuntutan akan supremasi paus dipersoalkan abad pertengahan purba, tatkala timbul usaha-usaha agar konsili lebih dipentingkan dari pada paus. Baru pada konsili Vatikan I kedudukan paus dikokohkan secara resmi dengan menetapkan bahwa paus mempunyai kekuasaan tertinggi dalam mengambil keputusan pengadilan diseluruh gereja. Dirumuskan juga bahwa paus tidak pernah salah (infalibilitas), kalau dia memberi pendapat mengenai hal-hal iman dan etika demi jabatannya (excathedra).6 A.1.a. Yesus dalam Ajaran Gereja Bagi umat Kristiani Yesus adalah Sang Mesias yang selama ini dinantikan kedatangannya untuk membebaskan penderitaannya pada dunia yang fana ini. 4 Berkhof, Sejarah Gereja, h. 11 Berkhof, Sejarah Gereja, h. 11 6 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 172 5 36 Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus mulai dari kelahirannya sampai kematiannya di tiang salib merupakan suatu keajaiban. Tidak banyak ahli sejarah yang mencatat mengenai peristiwa kelahiran Yesus, karena bagi mereka hal terpenting dari kehidupan Yesus bukanlah tentang kelahirannya, melainkan tentang kematian dan penderitaannya di tiang salib. Meskipun demikian, penulis secara ringkas akan menguraikan sedikit tentang peristiwa kelahiran Yesus. Dalam beberapa literatur yang penulis kutip, tidak ditemukan secara pasti kapan Yesus dilahirkan, namun beberapa literatur sepakat bahwa kelahiran Yesus diperkirakan terjadi antara tahun 1 SM dan tahun 1 M.7 Selanjutnya tentang peristiwa kematian dan penderitaan Yesus di tiang salib. Dalam hal ini, ayat-ayat Alkitab menghadirkan dua pernyataan tentang dijatuhkannya hukuman mati bagi Yesus di tiang salib. Pertama, Yesus dituduh melakukan pelanggaran agama (Yoh.18:12-14), dalam hal ini Yesus dihadapkan pada Rabi Yahudi untuk mendapat pengadilan. Kedua, Yesus dituduh melakukan pelanggaran politik, dalam hal ini ia dihadapkan pada Gubernur Roma, Pontius Pilatus.8 Dua tuduhan yang dijatuhkan kepada Yesus baik itu karena alasan pelanggaran agama maupun politik adalah karena pengakuan Yesus bahwa ia adalah Sang Messiah.9 Atas alasan inilah Yesus dihukum mati di tiang salib. 7 Perkiraan tahun kelairan Yesus tersebut menurut John Drane ternyata tidak benar, hal ini disebabkan karena kesalahan yang dibuat pada abad ke-6 M dalam menghitung permulaan tarikh masehi. Lebih lanjut Baca John Drane, Introducing the New Testament, penerjemah oleh P. G. Katoppo (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 54 8 Drane, Introducing the New Testament, h. 91 9 Baik para Rabi Yahudi maupun Gubernur Roma menyatakan Yesus Bersalah adalah karena Yesus mengaku sebagai Messiah. Para Rabi Yahudi tidak mempercayai Yesus sebagai Messiah karena Yesus tidak mampu membebaskan penderitaan orang-orang Yahudi dari ketertindasan bangsa Romawi, dimana Messiah yang dinanti-nantikan oleh kaum Yahudi ialah 37 A.2. Sejarah Gereja dalam Novel The Da Vinci Code Dan Brown dalam novelnya mengungkapkan sejarah Gereja menggunakan versi yang berbeda dengan apa yang ada dalam pandangan tradisi Kristen. Menurut Brown Gereja adalah lembaga yang telah mengubah sejarah Kristen, dan menutupi kebenaran sejarah selama 2000 tahun. Sejarah yang telah ditutupi oleh pihak Gereja dalam pandangan Brown diantaranya adalah tentang konsepsi pemujaan terhadap dewi (perempuan suci), kenyataan bahwa Yesus adalah seorang manusia fana yang menikah dengan perempuan keturunan Benjamin, Maria Magdalena, tentang misteri Holy grail, dan tentang kanonisasi Alkitab. Lebih lanjut Brown menuturkan bahwa Gereja dengan sengaja memilih injil-injil maupun surat-surat yang mengabarkan tentang keilahian Yesus, semua tulisan tentang kemanusiaan Yesus dimusnahkan demi menjaga kewibawaan gereja yang menganut sistem patriarkal. Berikut adalah kutipannya. “Sophie,” jelas Langdon, “tradisi Priory of Sion yang mengabadikan pemujaan dewi didasarkan pada kepercayaan bahwa kaum lelaki berkuasa dalam gereja Kristen awal „menipu‟ dunia dengan menyebarkan kebohongan-kebohongan yang merendahkan nilai kaum perempuan dan memiringkan timbangan untuk memihak kaum lelaki.” Sophie tetap diam, menatap kata-kata itu. “Priory percaya bahwa Konstantin dan para pewaris laki-lakinya berhasil mengubah dunia dari paganisme matriarkal menjadi Kristenitas patriarkal dengan melakukan kampanye propoganda yang menyetankan perempuan suci, menghapuskan dewi dari agama modern untuk selamanya.” seseorang seperti raja David dan raja Solomon, seorang raja duniawi yang akan membangun kembali bait suci mereka, Sinagoge “Haikal Sulaiman”. Sedangkan Gubernur Roma tidak mempercayai Yesus sebagai Messiah adalah karena seseorang yang menyatakan diri sebagai Messiah berarti dia menyatakan diri sebagai raja, sedangkan gelar raja hanya dianugerahkan oleh senat Roma saja. Jadi, menurut gubernur Romawi Yesus tidak mendapat anugrah itu. Drane, Introducing the New Testament, h. 91 38 ... Tak seorangpun bisa menyangkal banyaknya kebaikan yang dilakukan Gereja modern di dunia yang bermasalah saat ini, tetapi Gereja punya sejarah penipuan dan kekerasan. Perang salib brutal mereka untuk “mendidik ulang” agama pagan dan pemuja-perempuan berlangsung tiga abad, menggunakan metode-metode yang menginspirasi dan mengerikan. (Brown, 2014: 191-192) Citra buruk Gereja yang lain menurut Brown ialah keikutsertaan gereja dalam penyusunan injil kanonik, injil-injil yang menceritakan kisah Yesus dan Maria Magdalena dimusnahkan oleh gereja, karena dianggap sebagai kitab Apokrif. Lebih jelasnya, berikut pernyataan Dan Brown dalam novelnya: “Dalam pertemuan ini,” ujar Teabing, “Banyak aspek Kristenitas yang diperdebatkan dan di pilih berdasarkan pemungutan suara – tanggal Paskah, peranan uskup-uskup, penyelenggaraan sakramen-sakramen, dan tentu saja, ketuhanan Yesus.” “Saya tidak mengerti. Ketuhanan-Nya?” “Sayangku,” jelas Teabing. “Sampai saat itu dalam sejarah, Yesus dipandang oleh para pengikut-Nya sebagai nabi yang fana ... lelaki hebat dan berkuasa, tapi juga seorang manusia, makhluk yang fana.” “Bukan Putra Allah?” “Benar,” ujar Teabing. “Penetapan Yesus sebagai „Putra Allah‟ diajukan secara resmi dan dipilih berdasarkan pemungutan suara oleh Konsili Nicea.” “Tunggu. Anda mengatakan bahwa ketuhanan Yesus adalah hasil dari pemungutan suara?” “Kemenangannya juga relatif tipis,” imbuh Teabing. “Bagaimanapun, menetapkan ketuhanan Kristus itu penting bagi penyatuan selanjutnya kekaisaran Romawi dan bagi basis kekuasaan baru Vatikan. Dengan secara resmi mendukung Yesus sebagai Putra Allah, Konstantin mengubah Yesus menjadi dewa yang keberadaannya melampaui lingkup dunia manusia, entitas yang kekuasaannya tak terbantahkan. Ini tidak hanya mencegah tantangantantangan penganut pagan selanjutnya terhadap Kristenitas, tapi kini para pengikut Kristus hanya bisa menebus dosa mereka melalui saluran suci yang ditetapkan Gereja Katolik Roma.” Sophie melirik Langdon, dan lelaki itu mengangguk pelan menyetujui. “Itu semua masalah kekuasaan,” lanjut Teabing. “Kristus sebagai Mesias itu penting bagi berfungsinya Gereja dan negara. 39 Banyak ahli menyatakan bahwa pada masa awalnya, Gereja secara harfiah mencuri Yesus dari para pengikut asli-Nya, membajak pesan manusia-Nya, menyelubungi pesan itu dalam jubah ketuhanan yang tidak bisa ditembus, dan menggunakannya untuk mengembangkan kekuasaan mereka sendiri. Aku sudah menulis beberapa buku mengenai topik itu.” (Brown, 2014: 353 – 355). Kutipan di atas adalah pernyataan Brown yang menyangkal tentang keilahian Yesus. Bagi Brown Yesus selain sebagai seorang yang hebat dan berkuasa, dia hanyalah manusia biasa, yang jelas berbeda dengan Tuhan yang mempunyai sifat kekal. Untuk itu, sangat mungkin apabila ada peristiwa pernikahan dalam sejarah kehidupan Yesus. Brown menjelaskan bahwa Maria Magdalena hamil pada saat penyaliban Yesus, dan untuk keamanan anak Kristus yang belum lahir itu, Magdalena tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dari Tanah Suci. Dengan bantuan paman Yesus yang bernama Josef dari Arimethia, ia diam-diam pergi ke Perancis, yang kemudian dikenal sebagai Gaul. Disana ia mendapat tempat berlindung yang aman di komunitas Yahudi. Di Perancis inilah Maria Magdalena melahirkan seorang bayi perempuan, yang diberi nama Sarah. Kehidupan Magdalena dan Sarah dicatat dengan cermat oleh pelindung Yahudi Mereka. Anak Magdalena termasuk garis keturunan Raja Yahudi, yaitu David dan Solomon. Karena alasan ini orang Yahudi di Perancis menganggap Magdalena sebagai bangsawan suci dan memujanya sebagai nenek moyang dari garis keturunan raja-raja. Pada akhirnya keturunan Magdalena menikah dengan keturunan bangsawan Perancis dan menciptakan sebuah garis keturunan yang dikenal dengan Merovongian, yang mendirikan kota Paris. “Bahwa Yesus seorang ayah,” Sophie masih tidak yakin. “Ya,” kata Teabing. “Dan Maria Magdalena adalah rahim yang menampung garis keturunan bangsawan-Nya. Priory of Sion, sampai 40 saat ini masih memuja Maria Magdalena sebagai Dewi, Cawan Suci, Mawar dan Ibu Tuhan.” Sekali lagi Sophie teringat ritual di ruang bawah tanah itu. “Menurut Priory,” lanjut Teabing, “Maria Magdalena sedang hamil pada saat penyaliban. Demi keselamatan anak Kristus yang belum lahir itu, dia tidak punya pilihan, kecuali kabur dari Tanah Suci. Dengan bantuan paman Yesus yang terpercaya, Yosef dari Arimatea, Maria Magdalena diam-diam pergi ke Perancis, yang dulu dikenal sebagai Gaul. Di sana dia menemukan tempat berlindung yang aman di dalam komunitas Yahudi. Dan di Prancislah dia melahirkan seorang anak perempuan, namanya Sarah.” Sophie mendongak. “mereka benar-benar mengetahui nama anaknya?” “Jauh melebihi itu. Kehidupan Magdalena dan Sarah dikisahkan dengan cermat oleh para pelindung Yahudi mereka. Ingatlah bahwa anak Magdalena memiliki silsilah raja-raja Yahudi – Daud dan Solomo. Untuk alasan ini, orang-orang Yahudi di Perancis menganggap Magdalena bangsawan suci dan menghormatinya sebagai nenek moyang garis bangsawan raja-raja. Tak terhitung banyaknya ahli pada era itu yang mengisahkan hari-hari Magdalena di Perancis, termasuk kelahiran Sarah dan silsilah kelurga selanjutnya.” Sophie terkejut, “Ada silsilah keluarga Yesus Kristus?” “Benar. Dan konon itu menjadi salah satu dasar dari dokumendokumen Sangreal. Genealogi lengkap keturunan-keurunan awal Kristus.” (Dan Brown, 2014: 385 – 386). Jelaslah bahwa Brown mempunyai cerita yang berbeda mengenai sejarah Gereja dan Yesus Kristus. Brown menampilkan sesuatu yang benar-benar bertolak belakang dari apa yang diyakini oleh umat Kristiani. Cerita tentang kemanusiaan Yesus yang menikah dan bahkan mempunyai keturunan, oleh sejumlah tokohtokoh Kristen dan Katolik dibantah. B. Alkitab B.1. Sejarah Alkitab dalam Pandangan Gereja Mainstream Sebelum dibahas mengenai pandangan gereja terhadap sejarah Alkitab, terutama masalah kanonisasi Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), 41 pembahasan ini akan dimulai dengan mendefinisikan tentang Alkitab. Alkitab atau Bible berasal dari bentuk latin kata Yunani yang berarti dokumen-dokumen, dalam bahasa kita dimengerti sebagai kertas, meskipun Alkitab itu sendiri sudah ada terlebih dulu, sebelum dituliskan di atas kertas.10 Alkitab yang menjadi Kitab Suci orang Kristen terdiri dari dua bagian besar yaitu Perjanjian Lama11 dan Perjanjian Baru12. Untuk lebih jelasnya, Berikut adalah bagan dari Alkitab: Alkitab Perjanjian Lama Taurat 1. 2. 3. 4. 5. Nebiyim (kitab nabi-nabi) 1. 2. 3. 4. Kejadian Keluaran Imamat Bilangan Ulangan 5. 6. 7. 8. Yosua Hakim-hakim Samuel Raja-raja (nabinabi “terdahulu”) Yesaya Yeremia Yeheskiel 12 nabi (nabi-nabi “kemudian”) Perjanjian Baru Ketubim (surat-surat) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Mazmur Ayub Amsal Kidung Agung Ruth Ratapan Pengkhotbah Ester Daniel Ezra Nehemia Tawarikh Injil 1. 2. 3. 4. Kisah Para Rasul Epistula (surat2) Matius Markus Lukas Yohanes Sejarah mengenai Alkitab sangat panjang dan kompleks. Sepanjang sejarah Kristen, banyak metode dipakai untuk menafsirkan firman Allah tersebut. Sebab, penafsiran Alkitab merupakan ikatan pokok antara kehidupan dan pikiran gereja 10 Robert B. Coote dan Marry P. Coote, Power, Plitics, and the Making of the Bible, Penerjemah Minda Perangin-angin (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 1 11 Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani dan beberapa ada yang ditulis dalam bahasa Aram. Perjanjian Lama terdiri dari tiga kelompok kitab, yaitu kitab Taurat, Nebiyim dan Ketubim. Kelompok kitab Taurat terdiri dari lima kitab, yaitu kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kelompok kitab ini selain disebut Taurat (hukum) juga disebut kitab Musa. Kelompok kitab Nebiyim terdiri dari 19 kitab. Sedangkan kelompok kitab Ketubim ada 12 kitab. 12 Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. berisi tentang sejarah Yesus, mulai dari kelahiran, kehidupan serta kematiannya, namun yang paling banyak diceritakan di sini adalah tentang kematian dan penderitaannya. Wahyu 42 yang berlangsung dan dokumen-dokumen yang berisi tradisi-tradisi yang paling awal. Pada abad-abad terdahulu sering difikirkan perlunya untuk membenarkan setiap doktrin gereja dengan pernyataan-pernyataan Kitab Suci baik yang tersurat maupun tersirat. Namun demikian, Kitab Suci disampaikan pada kesempatan tertentu untuk memenuhi kebutuhan tertentu.13 Kadang kala, Alkitab disebut sebagai Firman Allah, hal itu memang benar, namun harus difahami bahwa Firman Allah mempunyai arti yang lebih luas dibanding dengan Alkitab. Firman Allah sering kali diidentikan dengan tiga bentuk: Yesus Kristus, Alkitab, dan Khotbah. Menurut Karl Barth, Alkitab dan Firman Allah dapat diidentikkan hanya dibawah kondisi tertentu. Bagi Barth, dalil “Alkitab adalah Firman Allah” tidak dapat diputar balikkan menjadi pernyataan: Firman Allah adalah Alkitab. Sesuai ketritunggalan Allah, Barth membedakan dengan “tiga bentuk” Firman Allah: Firman Allah yang dinyatakan, Firman Allah yang tertulis, dan Firman Allah yang disaksikan. Dalam hal kanon, gereja menghayati petunjuk Ireneus bahwa gereja harus berpihak pada tradisi yang asli dan mengesampingkan tradisi sekunder. Dalam masalah ini prinsip Reformasi, apa yang kemudian disebut Sola Scriptura, sudah mulai berkembang.14 Istilah kanon berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'tongkat pengukur, standar atau norma'. Secara historis, Alkitab telah menjadi norma yang berotoritas bagi iman dan kehidupan bergereja. Proses pengkanonan ini dilakukan oleh berpuluh-puluh ahli kitab suci dan bahasa yang dengan teliti dan serius memilah13 Robert M. Grant dan David Tracy, A short history of the interpretation of the Bible, terjemahan oleh Agustinus Maleakhi (Jakarta, Gunung Mulia, 2000), h. 3 14 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 44 43 milah banyak tulisan yang dianggap suci untuk menemukan kitab-kitab yang benar-benar suci dan diwahyukan Allah untuk kemudian dijadikan satu.15 B.1.a. Kanonisasi Perjanjian Lama Kitab-kitab yang tergabung dalam kitab Perjanjian Lama adalah kitab-kitab yang ditulis perkiraan tahun 1500 SM sampai tahun 400 SM. Dengan kata lain, kurang lebih 400 tahun sebelum kelahiran Yesus ke dalam dunia, kitab-kitab Perjanjian Lama telah tertulis dan sudah sering dibaca oleh masyarakat Yahudi.16 Kitab Suci Perjanjian Lama berisi 24 gulungan, namun yang paling penting adalah Taurat. Sampai abad pertama masehi, 24 gulungan ini masih terbentang terpisah, kemudian digabungkan bersama ke dalam gulungan-gulungan atau naskah-naskah kuno yang lebih panjang. Pengelompokan itu terdiri dari empat gulungan pertama merupakan satu kesatuan. Sembilan gulungan pertama, yaitu kelompok Taurat dan kelompok Para Nabi Terdahulu, mendeskripsikan cerita bersambung dari permulaan sejarah sampai ke pembuangan wangsa Daud. Pengelompokkan ini belum terselesaikan sebelum tahun 563 SM. Empat gulungan Para Nabi kemudian mempunyai kemiripan satu dengan lainnya, dan semuanya mencakup teks yang ditinggalkan ke periode tahun 550 – 450 SM. Tulisan terakhir kelompok ini adalah Daniel yang belum ditulis hingga tahun 165 M. Kedua gulungan terakhir – Ezra dan nehemia serta Tawarikh – saling 15 “Kanonisasi Perjanjian Baru”, diakses pada 17 Mei http://www.sarapanpagi.org/40-kanonisasi-perjanjian-baru-vt679.html 16 “Kanon Alkitab” diakses pada 08 September http://www.sarapanpagi.org/kanon-alkitab-vt142.html 2015 2015 dari dari 44 berhubungan satu sama lainnya. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa Kitab Suci Ibrani pada dasarnya telah selesai selama Periode Persia.17 Kitab yang paling terakhir dalam susunan mereka itu bukan kitab Maleakhi melainkan kitab Tawarikh. Susunan yang dimiliki sekarang kemungkinan adalah susunan yang disesuaikan dengan Septuaginta, yaitu kitab Perjanjian Lama terjemahan bahasa Yunani yang dikerjakan perkiraan tahun 200 SM. Tadinya jumlah kitab hanya 36 kitab, tetapi karena Samuel, Raja-raja dan Tawarikh dibagi dua, maka menghasilkan jumlah 39 kitab.18 Orang Kristen mengakui kitab Perjanjian Lama sebagai kanon kitab suci mereka bukan karena orang Yahudi telah menerima kitab Perjanjian Lama sebagai kitab yang diilhamkan Allah, melainkan karena semua rasul juga mengakui, bahkan Yesus sendiri juga mengakui bahwa kitab Perjanjian Lama adalah firman Allah. B.1.b. Kanonisasi Perjanjian Baru Proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru sedikit berbeda dari proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama, namun tetap memiliki prinsip dasarnya. Sebagaimana proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama tidak melalui sebuah konferensi, demikian juga dengan proses pengkanonan kitab Perjanjian Baru. Keduanya sama-sama melalui proses waktu yang panjang. Kitab-kitab yang terkandung di dalam kedua kelompok kitab itu diakui satu persatu. Misalnya kitab Musa yang terdiri dari kitab Kejadian sampai Ulangan itu adalah yang pertama 17 Coote, Power, Plitics, and the Making of the Bible, h. 7 “Kanon Alkitab” diakses pada 08 http://www.sarapanpagi.org/kanon-alkitab-vt142.html 18 September 2015 dari 45 diakui sebagai Taurat (hukum) yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Demikian juga kitab-kitab Perjanjian Baru diakui oleh jemaat Kristen satu persatu. Setelah Tuhan Yesus naik ke surga, belum ada sebuah kitab pun ditulis mengenai diri dan ajaran-Nya, karena belum dirasa perlu, para saksi utama masih hidup. Jadi Injil masih dalam bentuk verbal, lisan, dari mulut ke mulut, oleh para rasul. Namun seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para saksi mata dan para rasul berkurang, dan semakin banyak ancaman pemberitaan ajaran-ajaran sesat. Pada masa itu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang bercorak rohani, yang sebenarnya bukan Firman Allah. Oleh karena itu gereja merasakan pentingnya ditentukan kitab-kitab mana sajakah yang dapat diakui berotoritas sebagai Firman Allah. Kemudian para rasul mulai menuliskan surat-suratnya untuk para jemaat, lalu perlahan-lahan dibuat salinan surat-surat itu untuk berbagai gereja. Sebelum sampai pada proses pengkanonan, terlebih dahulu didahului proses penulisan (composing) yang berkisar dari sekitar tahun 50 sampai sekitar 100. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengumpulan (collecting) yang berkisar dari tahun 100 sampai 200. Proses pengumpulan ini adalah proses dimana orang-orang percaya mengumpulkan surat-surat atau tulisan rasul-rasul untuk kebutuhan jemaat maupun kebutuhan pribadi. Sesudah masa pengumpulan kemudian diikuti masa pembandingan (comparing), yang berkisar dari tahun 200 sampai 300. Proses pembandingan ini ialah proses dimana tiap-tiap jemaat lokal berusaha membanding-bandingkan hasil koleksi mereka. Sesudah itu kemudian diikuti 46 dengan masa pelengkapan (completing) , yang berkisar dari tahun 300 sampai 400. Masing-masing jemaat melengkapi hasil koleksi mereka. Surat yang kurang di satu jemaat, dilengkapi oleh jemaat yang lain. Ini adalah fenomena garis besar proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru.19 Seratus tahun pertama gereja Kristen kanonnya hanya terdiri dari Perjanjian Lama. Namun sebelum tahun 100 M, sebagian dari kitab-kitab Perjanjian Baru sudah ditulis. Hingga abad ke-2 M, barulah kitab-kitab Injil dan tulisan Paulus diangkat kedudukannya sebagai kanon. Kita tahu sebelumnya bahwa Perjanjian Lama pada mulanya adalah Kitab Suci yang hanya milik orang-orang Yahudi, ketika gereja awal Kristen mengakui Perjanjian Lama sebagai kanon maka mulailah gereja menghadapi tugas bagaimana menafsirkan Perjanjian Lama kalau dibandingkan dengan Yudaisme.20 Pada dasarnya dapat disebut tiga peristiwa yang mendorong gereja purba menggabungkan tulisan-tulisan tersebut menjadi satu kumpulan yang baku (kanon), yaitu: 1) timbulnya tradisi-tradisi rahasia aliran gnostik yang sesat dan tidak benar, 2) kumpulan tulisan yang dipersingkat oleh Marcion, dan 3) Montanisme dengan pewahyuan-pewahyuan yang baru.21 Pertengahan abad ke-2 adalak titik awal kanon Perjanjian Baru, yang awalnya terjadi secara lisan. Penulis surat II Petrus, yang mungkin berasal dari tahun 120 hingga 150 M sudah menyamakan surat-surat Paulus dengan “suratsurat lainnya” (3:15f). Orang pertama yang berbicara tentang Perjanjian Baru 19 “Kanon Alkitab” diakses pada 08 September 2015 dari http://www.sarapanpagi.org/kanon-alkitab-vt142.html 20 Bernhard Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai Masa Kini, Penerjemah A. A. Yewangoe (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), h. 31 - 32 21 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 44 47 adalah Irenaeus dari Lyon (meninggal sekitar 202 M) tetapi yang perlu diketahui bahwa dia dengan hati-hati tetap membedakan antara kewibawaan injil-injil dan surat Paulus. Tidak ada satupun dari 206 kutipan yang diambil Irenaeus dari Paulus yang diperkenalkan dengan formula “sudah tertulis”. Sekitar tahun 200 M kanon Perjanjian Baru dalam bentuk pendahuluan telah ditetapkan.22 Selanjutnya pada parohan abad ke-4, kanon secara utuh dari Perjanjian Baru ditetapkan. Buku-buku yang paling penting seperti empat Injil dan surat-surat Paulus sejak akhir abad ke-2 dan seterusnya telah dipandang sebagai kanon Perjanjian Baru, baik di Timur maupun di Barat.23 Dan sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab.24 Proses pengkanonan berkembang secara alamiah dari saling membandingkan hasil koleksi di kalangan jemaat-jemaat lokal sampai akhirnya secara universal mengakui dan menerima ke-27 kitab Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang diilhamkan Allah. 22 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 33 - 34 Kadang-kadang dikatakan (khususnya oleh Harnack), bahwa formasi atau pembentukan kanon Perjanjian baru secara menentukan dipengaruhi oleh Marcion. Marcion yang mempunyai ide-ide aliran gnostik tertentu, menciptakan kanonnya sendiri tidak lama sebelum pertengahan abad ke-2. Ia membuang Perjanjian lama, demikian pula banyak tulisan lainyang kemudia oleh gereja dimasukkan dalam kanon Perjanjian Baru. Kanonnya yang mencakup Injil Lukas dan sepuluh surat pertama Paulus, merupakan kanon Perjanjian Baru yang pertama. Baca Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 35 24 Richard W. Haskin. “Kanonisasi Perjanjian Baru” diakses pada 17 Mei 2015 dari http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131 23 48 B.2. Kanonisasi Alkitab dalam Novel The Da Vinci Code Dan Brown melalui tokoh Sir Leight Teabing mengungkapkan bahwa Alkitab yang adalah produk manusia yang isinya sedikit banyak sudah ditambah maupun dikurangi. Penyusunan Alkitab dilakukan oleh Konstantin Agung, seorang kaisar romawi yang beragama Pagan, yang baru dibaptis diujung kematiannya. Berikut adalah kutipannya. Sophie sedikit merinding. “Da Vinci bicara tentang Alkitab?” Teabing mengangguk. “Perasaan Leonardo mengenai Alkitab berhubugan langsung dengan cawan suci. Sesungguhnya, Da Vinci melukis cawan yang sebenarnya, yang akan kutunjukkan padamu sesaat lagi, tapi pertama-tama kita harus membicrakan Alkitab.” Teabing tersenyum. “Dan segala yang perlu kau ketahui tentang Alkitab bisa diringkas oleh doktor Alkitab hebat, Martyn Percy.” Teabing berdehem, lalu berkata, “Alkitab tidak datang melalui faks dari surga.” “Maaf?” Alkitab adalah produk manusia, Sayangku. Bukan Tuhan. Alkitab tidak jatuh secara ajaib dari awan. Manusia menciptakannya sebagai catatan historis masa-masa pergolakan , dan buku itu berevolusi melalui penerjemahan, penambahan, dan perbaikan yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah tidak pernah memiliki versi bukunya yang pasti.” “Oke.” “Yesus Kristus adalah tokoh bersejarah dengan pengaruh luar biasa, mungkin pemimpin paling misterius dan menginspirasi yang pernah disaksikan oleh dunia. Sebagai Mesias yang diramalkan, Yesus menggulingkan raja-raja, menginspirasi jutaan orang, dan menciptakan filosofi-filosofi baru. Sebagai keturunan Raja Solomo dan Raja Daud, Yesus berhak mewarisi tahta Raja Orang Yahudi. Bisa dimengerti jika kehidupan-Nya dicatat oleh ribuan pengikut di seluruh negeri.” Teabing berhenti untuk meneguk teh, lalu meletakkan kembali cangkirnya diatas rak perapian. “Lebih dari delapan puluh Injil dipertimbangkan sebagai Perjanjian Baru, tetapi hanya relatif sedikit yang dipilih untuk dimasukkan – antara lain Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.” “Siapa yang memilih injil-injil yang dimasukkan?” tanya Sophie. “Aha!” Teabing sangat bersemangat. “Ironi mendasar Kristenitas! Alkitab, seperti yang kita kenal saat ini, disusun oleh Kaisar Romawi Pagan, Konstantin Agung.” 49 “Kukira Konstantin penganut Kristen,” ujar Sophie. “Bukan,” ejek Teabing. “Dia penganut pagan seumur hidup yang dibaptis di ranjang kematiannya, terlalu lemah utuk memprotes. Pada masa Konstantin, agama resmi Roma adalah pemujaan matahari – aliran kepercayaan Sol Invictus, atau Matahari yang Tak Tertandingi – dan Konstantin adalah pendeta kepalanya. (Brown, 2014: 350-352). C. Trinitas C.1. Konsep Ketuhanan Kristen dalam Pandangan Gereja Mainstream Dalam kristologi, pada awal Gereja Purba yang menjadi persoalan utama adalah tentang pribadi Yesus, apakah ia Allah ataukah manusia biasa, atau justru Yesus adalah dua Pribadi Allah sekaligus manusia. Jika demikian adanya, hubungan antara ketuhanan-Nya dan kemanusiaan-Nya menjadi sebuah pertanyaan. Menjelang akhir abad ke-2 M. Penjelasan tentang Allah diperkenalkan oleh beberapa tokoh, diantaranya adalah Irenaeus. Dalam pembicaraannya mengenai Allah, menurutnya ada dua segi dasar menonjol. Pertama, tentang keberadaan Allah yang bathiniah, dan kedua tentang penyingkapan Allah yang bersifat progresif dalam sejarah keselamatan. Terkadang juga Irenaeus menekankan begitu kuat keesaan Allah sehingga kita mendapat kesan seakan-akan ia sudah jatuh kedalam modalistis, seolah-olah anak dan Roh itu hanyalah sekedar atribut-atribut dari satu Allah. Didalam bukunya Proof of the Apostolic Preachingnya, Irenaeus menjelaskan lebih lanjut bahwa Allah itu satu sesuai dengan hakikat keberadaan dan kekuasaan-Nya, meskipun Dia juga bertindak sebagai pengatur ekonomi penebusan kita, Dia sebagai Bapa sekaligus Anak. Dia mengajarkan bahwa Allah 50 sejak awalnya adalah kekal telah bersama-sama dengan Firman dan HikmatNya.25 Pendapat kedua dikemukakan oleh Tertullianius, Tertullianius mempunyai pandangan yang serupa dengan Irenaeus. Ia juga mulai dengan pribadi Allah Bapak, dan yang bersama-sama dengan dia, Firman dan Hikmat, yang melahirkan kedua-Nya dengan tujuan penciptaan dunia. Tertullianius sangat pandai dalam mendefinisikan Trinitas, bahwa Trinitas adalah satu substansi dalam tiga pribadi yang berhubungan satu sama lain. Jelasnya tiga pribadi ada dalam satu substansi namun tetaplah hanya ada satu Allah.26 Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Origenes (meninggal 254 M). Menurut Origines trinitas ditandai oleh dua segi dasar. Pertama, seperti halnya Irenaeus dan Tertullianius, ia memberi tekanan besar pada keesaan Allah. Namun ia tidak menjelaskan hal itu lebih jelas dan rinci. Origenes menjelaskan perbedaan ketiga pribadi bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, dan Roh Kudus lebih rendah dari pada anak. Namun demikian, pada saat yang sama Origenes juga berpendapat bahwa ketiga pribadi itu adalah satu, dalam pengertian bahwa ketiganya memiliki suatu kesatuan dan keserasian kehendak.27 Pertikaian mengenai hubungan Kristus dengan Allah Bapak semakin memuncak pada awal abad ke-4. Arius (meninggal 336 M) yang berasal dari Antiokhia, menjabat sebagai pemimpin di salah satu Gereja di kota Alexandria, 25 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 54-55 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 56 27 Untuk kesatuan seperti ini Origines sudah mempergunakan konsep homoousios (“kesatuan keberadaan”, atau dalam terjemahan liturgis yang umum, “dari satu substansi”), yang kemudian diberikan status dogmatis pada Konsili Nicea (352 M). Baca Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 57 26 51 berpendapat bahwa Kristus tidak sederajat dengan Allah, melainkan berada dibawahnya. Ia dipandang sebagai makhluk yang sempurna yang diciptakan dari ketidakadaan, oleh karena itu Kristus “bukan ilahi” dan “bukan dari kekekalan”.28 Perhatian utama Arius adalah menekankan keunikan dan transendensi Allah. Yang dimaksudkan Arius dengan kata “Allah” adalah hanya Allah Bapak. Oleh karena keberadaan Allah ini adalah muthlak transendental dan muthlak kekal, maka ia tidak dapat disandingkan dengan siapapun. Dengan demikian segala sesuatu yang berada di samping Allah yang transenden ini adalah sesuatu yang diciptakan dari yang tidak ada.29 Penjelasan Arius selanjutnya adalah tentang pribadi Yesus. Menurutnya Allah sejak semula kekal bersama-sama dengan Firman dan Hikmatnya. Tetapi bagi Arius kedua hal ini hanya mempunyai sangkut-paut dengan keberadaan Allah dan bukan dengan pribadi kedua atau ketiga dari Trinitas. Firman, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai Yesus Kristus, adalah ciptaan Allah, diciptakan Allah dari ketiadaan sebelum permulaan waktu. Hal itu tidak berarti bahwa Arius menempatkan Anak sederajat dengan ciptaan lainnya.30 Pendapat Arius yang demikian dibantah oleh Athanasius yang menjabat sebagai uskup Alexandria selama hampir setengah abad (328-373). Athanasius menekankan bahwa Kristus harus dipandang sebagai Allah sepenuhnya, oleh sebab itu dia tidak boleh dibedakan derajatnya dari Allah Bapak. Logos sehakikat dengan Allah Bapa dan sesungguhnya keduanya adalah satu.31 28 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 114 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 60 30 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 61 31 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 114 29 52 No 1 Pemikiran Arius Kristus lebih rendah dari Allah Bapak. Pemikiran Athanasius Kristus adalah Allah sepenuhnya. 2 Kristus adalah anak angkat Allah. Dia sehakikat dengan Allah Bapak (homoousious). 3 Kristus diciptakan sebagaimana makhluk yang lain (seorang malaikat yang tertinggi). Kristus adalah dari kekekalan. 4 Kristus adalah guru dan teladan bagi makhluk yang lain. Kristus disebut Juruselamat manusia dan dunia, yang menyelamatkan dari kefanaan. Barulah dalam waktu yang agak lama Athanasius berbicara mengenai kedudukan roh kudus. Athanasius menekankan, bahwa menurut kesaksian Alkitab, Roh Kudus bukanlah sesuatu yang merupakan hakikat makhlukiyah, tetapi termasuk pada Allah dan satu dengan keallahan, yaitu Trinitas. Roh Kudus berasal dari Allah. Ia melimpahkan pengudusan, dan bahkan kehidupan itu sendiri. Roh Kudus itu kekal, maha ada, dan satu, sedangkan ciptaan bersifat fana, tergantsung pada waktu dan tempat dan banyak.32 Oleh karena keragaman pandangan tentang ajaran Allah, kaisar Konstantinus Agung berusaha mendamaikan kedua belah pihak dengan mengadakan Konsili Nicea pada tahun 325 (Konsili Oikumenis I). Dalam konsili ini, pendapat Athanasius mendapat kemenangan dimana dirumuskan bahwa Yesus sederajat dengan Allah Bapa. Namun rumusan homoousious yang disepakati di sini belum diartikan maksud dan makna yang sebenarnya. Hasil Konfesi Nicea yang berasal dari tahun 325 M itu berbunyi sebagai berikut: Kami percaya dalam satu Allah, Bapa yang Maha Kuasa, pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan; 32 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 78 53 Dan didalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah dilahirkan dari Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dilahirkan bukan diciptakan, bersal dari satu substansi dengan Bapa, melalui Siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu baik yang di sorga maupun yang di bumi, Yang oleh sebab kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma, menjadi manusia, menderita, dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke sorga, dan akan datang untuk menghakimi yang hidup dan yang mati; Dan di dalam Roh Kudus.33 Setelah diadakan Konsili Nicea, yang mengakhiri konteroversi Arius dan Athanasius, justru timbul kontroversi lagi seputar pemahaman mengenai putusan dari hasil konsili tersebut. Untuk itu, pada tahun 381 diadakan Konsili Konstantinopel (Konsili Oikumenis II) menguatkan keputusan Nicea, bahwa anak itu homoousious dengan Bapak. Konsili ini mengaku pula, bahwa Roh Kudus juga sehakikat dengan Allah Bapak. Bapa-bapa Kappadokia merumuskan ajaran tentang mia ousia (satu-satunya hakikat) dan treis hupostaseis (tiga oknum). Artinya, Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus tidaklah bertindak secara terpisah, tetapi dalam satu gerakan yang serentak menyelamatkan manusia.34 Dari keputusan dalam Konsili Konstantinopel ini, menimbulkan pertikaian dari dua golongan yang berbeda pendapat. Golongan pertama dari madzhab Antiokhia diwakili oleh Nestorius selaku Patriarkh dari Konstantinopel, sedang golongan kedua dari madzab Alexandria yang diwakili oleh Cyrillus sebagai uskup kota itu. Yang menjadi bahan perdebatan adalah tentang apakah kemanusiaan dan keallahan Kristus erat hubungannya sehingga melebur dan tidak tampak lagi perbedaannya, atau apakah masing-masing mempertahankan sifatnya sehingga tetap terpisah. Pertikaian diantara kedua golongan ini juga disebut 33 Lohse, Pengantar sejarah dogma Kristen, h. 65-66 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 116 34 54 pertentangan antara “kaum monofisit” dan “kaum duofisit”. Berikut adalah perbedaan pendapat dari kedua golongan. No 1 2 Alexandria Menitikberatkan tabiat ilahi Kristus. Tabiat insani Kristus hilang melebur dalam samudra keilahiannya. Ditekankan keesaan tabiat ilahi Kristus saja. 3 Antiokhia Meitikberatkan kemanusiaan Kristus. Dalam diri Kristus diadakan pembagian: ada tabiat insani dan ilahi. Tidak ada keesaan antara kedua tabiat Kristus, kecuali keesaan kehendak. Selanjutnya pada tahun 431 diadakan Konsili Efesus (Konsili Oikumenis III) menyebut Maria sebagai yang melahirkan Allah (theotokos). Dengan demikian pandangan Cyrillus mengalahkan pandangan Nestorius. Meskipun demikian pertikaian kedua madzhab itu belum diselesaikan secara tuntas. 35 Akhirnya diadakanlah Konsili Chalcedon pada tahun 451 (Konsili Oikumenis IV). Hasil dari konsili ini adalah mengambil jalan tengah yaitu menyaring masing-masing pendapat dan meleburnya. Jadi dari konsili ini dirumuskan bahwa Kristus bertabiat ganda dalam satu oknum. Kedua tabiat ini tidak bercampur (asunkhutos) dan tidak berubah (atreptos) serta tidak terbagi-bagi (adikhairetos) dan tidak terpisah (akhoristos). Kedua rumusan pertama melawan kaum monofisit sedangkan dua rumusan yang lainnya melawan kaum duofisit. Keputusan konsili ini sebenarnya hanya memuaskan pihak menengah, sehingga berdasarkan itu Gereja koptis dan Gereja nestorian memisahkan diri dari arus pemikiran yang berpengaruh digereja purba.36 35 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 116 Becker, Pedoman Dogmatika, h. 117 36 55 C.2. Konsep Ketuhanan Kristen dalam novel The Da Vinci Code Dalam novelnya, Dan Brown menjelaskan bahwa konsep ketuhanan Kristen apabila dikembalikan pada nilai-nilai awal mula agama Kristen muncul sesungguhnya adalah agama yang memuja dan kagum pada ikonologi kedewian, paganisme, dan ketuhanan perempuan. Alasan Dan Brown banyak mengulas tentang keberadaan Holy Grail adalah bahwa grail merupakan simbol dari dewi yang hilang. Dewi yang dimaksudkan Dan Brown adalah Maria Magdalena, hilangnya perempuan suci ini selain dari pada munculnya doktrin baru dalam agama Kristen tentang Trinitas, disebabkan juga oleh gereja yang telah menaklukkan perempuan, menghilangkan dewi dan melarang penghormatan kaum pagan kepada perempuan suci. Inilah argumen Dan Brown yang ditulis dalam novelnya: “itu pentagram,” jelas Langdon, suaranya terdengar mengaung di dalam ruangan besar itu. “Salah satu simbol tertua di dunia. Digunaka lebih dari empat ribu tahun sebelum Masehi.” “Dan apa artinya?” ... “Simbol membawa arti yang berbeda di dalam latar belakang yang berbeda,” jelas Langdon. “Yang terutama, pentagaram adalah simbol keagamaan pagan.” Fache mengangguk, “Pemujaan setan.” “Bukan,” ujar Langdon membetulkan, dan langsung menyadari bahwa pemilihan kosakatanya seharusnya lebih jelas. Belakangan ini, istilah pagan hampir menjadi sinonim dengan pemujaan setan – kesalahpahaman besar. Akar kata itu sesungguhnya berasal dari kata latin paganus, yang berarti penduduk-desa. “Pagan” berarti penduduk desa yang secara harfiah tidak mendapat indoktrinasi, yang mempertahankan agama pedesaan kuno pemujaan alam. Sesungguhnya, ketakutan gereja terhadap mereka yang tinggal di villes (desa-desa) terpencil sangatlah besar, sehingga kata “villager (penduduk-desa)” – vilain – yang dulunya netral, berubah arti menjadi orang jahat. “Pentagram,” jelas Langdon, “adalah simbol pra-Kristen yang berhubungan dengan pemujaan alam. Orang kuno memandang dunia 56 mereka dalam dua belahan – maskulin dan feminin. Para dewa dan dewi mereka berupaya mempertahankan keseimbangan kekuatan. Yin dan yang. Ketika lelaki dan perempuan seimbang, muncul keselarasan di dalam dunia. Ketika mereka tidak seimbang, muncul kekacauan.” Langdon menunjuk perut Sauniere. “Pentagram ini menggambarkan belahan perempuan dari segala sesuatu – konsep yang disebut „perempuan suci‟ atau „dewi suci‟ oleh sejarahwan keagamaan. Dibandingkan dengan semua orang lainnya, Sauniere pasti mengetahui hal ini.” (Brown, 2014: 63-65). Simbol Pentagram bagi Dan Brown melambangkan pemujaan terhadap perempuan suci. Dalam novel the Da Vinci Code, Pentagram digambarkan sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sejak empat ribu tahun sebelum Masehi dan merupakan representasi “dewi” yang disembah oleh kaum pagan. Para nenek moyang terdahulu melihat dunia ini sebagai dua bagian – lelaki dan perempuan. Para dewa dan dewi mereka bekerja untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Ketika lelaki dan perempuan seimbang, muncul harmoni di dunia ini. Jika mereka tidak seimbang maka akan muncul kekacauan. Novel The Da Vinci Code menganggap bahwa adanya konsep perempuan suci membuat takut pihak gereja, sehingga mereka membasmi konsep pemujaan yang berpusat pada perempuan. Dan Brown dalam novelnya melalui kepercayaan dari kelompok Priory of Sion tetap melestarikan konsep perempuan suci ini. Untuk itulah Priory of Sion dengan segala upaya memyembuyikan keberadaan makam Maria Magdalena yang dianggap sebagai sosok perempuan suci yang sangat diagungkan itu, demi menjaga keberlangsungan kepercayaaan zaman praKristen, juga menjaga keberadaan keturunannya. 57 D. Kontroversi Tokoh Pada Perjamuan Terakhir D.1. Perjamuan Terakhir dalam Pandangan Gereja Mainstream Perjamuan terakhir adalah perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus beserta keduabelas muridnya (Simon Petrus, Andreas, Yokabus, Yohanes, Filipus, Bartolomeus, Tomas, Matius pemungut cukai, Yokabus anak Alfeus, Yudas Thadeus, Simon dari Zelot, dan yudas Iskariot), pada hari kamis malam jum‟at sebelum peristiwa tertangkapnya Yesus di taman Getsmani akibat penghianatan dari salah satu muridnya, Yudas Iskariot. Pada proses Perjamuan terakhir tersebut Yesus beserta keduabelas muridnya melakukan ritual makan roti tanpa ragi dan minum anggur, yang oleh gereja pada periode sekarang ini dijadikan sebagai dasar dilaksanakannya Sakramen Ekaristi. Dalam sakramen ini, roti dan anggur yang dikonsekrasikan oleh imam berubah menjadi Tubuh dan darah Yesus. Paham ini mempunyai dasar Alkitabiah seperti dalam Injil Matius bab 26:26-29, Injil Lukas 22:14:23, Injil Yohanes 6:25-59, dan surat Paulus I kepada jemaat Korintus 11:17-33. sakramen kudus ini bertujuan untuk mengingat penderitaan Yesus.37 Diceritakan pula bahwa Pada malam Perjamuan Terakhir, Yesus berada ditengah-tengah 12 muridnya, enam murid berada di sebelah kanan Yesus dan enam murid lainnya berada di sebelah kiri Yesus. Dan salah seorang murid yang mendapat tempat istimewa untuk berada di kanan Yesus adalah Yohanes, ia adalah salah seorang murid yang paling disayangi oleh Yesus. 37 “Sakramen Ekaristi” artikel dalam media Iman Katolik: Media Informasi dan Sarana Katekese, diakses pada 29 Mei 2015 dari http://www.imankatolik.or.id/sakramenekaristi.html. 58 Pada malam perjamuan itu Yesus sebenarnya sudah mengetahui bahwa dia akan segera ditangkap dan dihukum mati oleh kaisar Romawi, untuk itulah Yesus menunjuk salah satu muridnya, yaitu Santo Petrus38 (yang mempunyai nama asli Simon) untuk menjadi penerusnya. Selain itu ia juga berjanji bahwa tiga hari setelah hari kematiannya dia akan bangkit dan menjadi penyelamat untuk setiap manusia yang mempercayai peristiwa penyalibannya. D.2. Perjamuan Terakhir dalam novel The Da Vinci Code Penggambaran Dan Brown jelas berbeda dengan pandangan gereja Mainstream. Bagi Dan Brown, baik seseorang yang duduk di kanan Yesus maupun yang di tunjuk oleh Yesus sebagai penerusnya untuk mendirikan gereja adalah sosok perempuan suci keturunan bangsawan Benjamin bernama Maria Magdalena.39 Berikut adalah kutipan langsung dari novel The Da Vinci Code, yaitu percakapan Sir Leigh Teabing dan Sophie Neveu beserta Robert Langdon. “Di mana Yesus duduk?” tanya Teabing. “Di Tengah.” “Bagus. Apa makanan yang disantap Yesus dan muridnya?” “Roti.” Jelas. “Bagus sekali. Dan apa minumnya?” “Anggur. Mereka minum anggur.” 38 Nama Petrus sendiri diberikan oleh Yesus yang berarti batu karang. Dengan menamai Simon sebagai Petrus atau “batu karang” mengisyaratkan Yesus akan meletakkan landasan gerejanya diatas Petrus. 39 Maria Magdalena menurut pandangan gereja Mainstram dikenal sebagai seorang wanita yang mengasihi Yesus, dikisahkan bahwa Maria Magdalena adalah orang pertama yang dijumpai Yesus, pada waktu Yesus bangkit dari kematiannya. Dalam empat Injil nama Maria Magdalena ditemukan sebanyak 12 kali. Dialah yang menyaksikan kuburan Yesus kosong, Maria merupakan saksi pertama tentang kebangkitan Yesus. Jadi, dalam makna ganda, ia menjadi apostola apostolarum, rasul dari segala rasul. Mari Magdalena lah yang juga memberitakan kabar kepada murid-murid Yesus bahwa Yesus menepati janjinya „akan bangkit setelah tiga hari dari peristiwa kematiaannya di tiang salib‟, janji yang diucapkan Yesus sebelum dia dihukum mati. Baca Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab: Peran, Partisipasi, dan Perjuangannya (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 43 59 “Hebat. Dan satu pertanyaan final. Berapa banyak gelas anggur di atas meja?” Sophie berheni sejenak, menyadari bahwa ini pertanyaan menjebak. Dan setelah makan malam. Yesus mengambil secangkir anggur, berbagi dengan para muridnya. “Satu cangkir,” katanya. “Cawan suci.” Mangkuk Kristus. Holy Grail. “Yesus membagibagikan secawan anggur, sebagaimana yang dilakukan kaum Kristen modern pada komuni.” Teabing mendesa. “Buka matamu.” Sophie membuka matanya. Teabing menyeringai angkuh. Sophie memandang ke bawah, ke lukisan itu, melihat dengan takjub bahwa setiap orang dimeja itu memegang segelas Aggur, termasuk Kristus sendiri. Tiga belas cawan. Selain itu, cawan-cawan itu tampak kecil, tak bertangkai, dan terbuat dari kaca. Tak ada satu pun cawan sesungguhnya dalam lukisan itu. Tiada Holy Grail. Mata Teabing berkedip-kedip. “Tidakkah sedikit aneh menurutmu, mengingat bahwa baik Alkitab dan legenda kita yang lazim tentang Holy Grail merayakan momen ini sebagai kemunculan pasti dari Holy Grail. Anehnya, Da Vinci tampak lupa untuk melukis Cawan Kristus. “Tentu saja para sarjana seni telah lupa mencatat hal ini.” “Kau akan terkejut jika mengetahui berbagai anomali yang dicakupkan Da Vinci dalam lukisan ini, yang kebanyakan sarjana tak melihatnya atau sekedar memilih untuk mengabaikannya. Gambar ini, sesungguhnya kunci keseluruhan misteri Holy Grail. Da Vinci membentangkan semuanya secara terbuka dalam The Last Supper. Sophie memindai karya itu dengan semangat. “Apakah lukisan ini mengatakan kepada kita apa Holy Grail itu sesungguhnya?” “Bukan apa,” bisik Teabing, “Tapi siapa dia. Holy Gril bukanlah sebuah benda. Sesungguhnya Holy Grail adalah ... seseorang.” (Brown, 2014: 358-359) Kutipan selanjutnya dari pernyataan Dan Brown, adalah: “Tunggu dulu,” kata Sophie. “Kau bilang Holy Grail itu perempuan. The Last Supper adalah lukisan tigabelas laki-laki.” “Benarkah?” Teabing mengangkat alisnya. “Coba lihat dengan teliti.” Dengan tidak yakin, Sophie mendekati lukisan itu, mengamati tiga belas tokoh di dalamnya, Yesus Kristus ditengah, enam murid disebelah kiri-Nya, dan enam murid lain di sebelah kanan-Nya. “Mereka semua lelaki,” jelas Sophie. “Oh?” kata Teabing. “Bagaimana dengan yang duduk di tempat kehormatan, disebelah kanan the Lord?” Sophie memerika tokoh yang duduk tepat di sebelah kanan Yesus. Dia memusatkan perhatiannya pada tokoh tersebut. Ketika dia 60 mempelajari wajah dan tubuh tokoh itu, gelombang ketakjuban muncul di dalam dirinya. Individu itu mempunyai rambut merah tergerai, sepasang tangan lembut yang terlipat, dan dada menonjol. Tak diragukan lagi, dia ... perempuan. “Dia perempuan!” teriak Sophie ... “Siapa dia?” tanya Sophie. “Itu, Sayangku,” jawab Teabing, “adalah Maria Magdalena.” Sophie berbalik. “Pelacur itu?” Teabing terkesiap, seakan kata itu melukainya secara pribadi. “Magdalena bukan seperti itu. Kesalahan konsep yang merugikan itu adalah warisan kampanye pencemaran yang diluncurkan oleh Gereja awal. Gereja perlu memfitnah Maria Magdalena untuk menutupi rahasia berbahayanya – peranannya sebagai Cawan Suci.” “peranan-nya?” “Seperti yang kubilang,” jelas Teabing, “Gereja awal perlu meyakinkan dunia bahwa nabi Yesus yang fana itu adalah makhluk suci. Oleh karena itu, injil-injil yang menjelaskan aspek-aspek duniawi kehidupan Yesus harus harus dihapuskan dari Alkitab. Malang bagi para penyunting awal, ada satu tema duniawi tertentu yang selalu muncul kembali di dalam injil-injil itu, yaitu Maria Magdalena.” Dia terdiam. “Yang lebih spesifik lagi, pernikahannya dengan Yesus Kristus.” “Maaf?” Mata Sophie beralih pada Langdon, lalu kembali pada Teabing. “Itu masalah catatan sejarah,” ujar Teabing, “dan Da Vinci jelas menyadari fakta itu. Perjamuan Terakhir bisa dikatakan berteriak kepada mereka yang memandangnya, bahwa Yesus dan Maria Magdalena adalah pasangan suami istri.” (Brown, 2014: 367-369). Kutipan tersebut memberikan kita gambaran bahwa Brown menafikan keberadaan Yohanes pada saat Perjamuan Terakhir. Posisi Yohanes dalam lukisan the Last Supper oleh Dan Brown digantikan Maria Magdalena. Ialah murid kesayangan Yesus yang mendapat mandat untuk meneruskan kepemimpinan Gereja. Maria Magdalena begitu istimewa dimata Yesus. Selain kedudukannya sebagai murid terkasihnya, Magdalena adalah Holy Grail, seseorang yang melahirkan keturunan Yesus. BAB IV RESPON TOKOH KRISTEN DAN KATOLIK TERHADAP KRITIK DA VINCI CODE A. Konspirasi Gereja terhadap Status dan Nilai Perempuan Hal pertama yang di soroti oleh Dr. Jim Garlow dan Dr. Peter Jones1 adalah tentang konspirasi Gereja terhadap status dan nilai perempuan. Menurut Garlow dan Jones Pernyataan Brown bahwa Konstantin dan para pewaris laki-lakinya berhasil mengubah dunia dari paganisme matriarkal menjadi Kristenitas patriarkal adalah salah. Bukti sejarah mengatakan, baik sekuler maupun agama lebih banyak dipimpin oleh lelaki dari pada perempuan.2 Pendapat Dan Brown tentang gereja merendahkan nilai perempuan juga dianggap salah. Karena apabila kita melirik pada sejarah, justru gerejalah yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, karena sebelum kedatangan Kristus kebanyakan perempuan dipandang rendah.3 Baik dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dituliskan tentang 1 Dr. Jim Garlow adalah seorang penulis, pembicara, dan sejarawan, mengudara setiap hari di 300 stasiun radio seluruh negeri dalam tafsiran historis satu menit berjudul “The Garlow Perspective”. Perjalanan akademisnya mencakup Drew University (Ph.D. Dalam Teologi Sejarah), Princeton Theological Seminary (Master of Theology), Asbury Theological Seminary (Master of Divinity). Dia memebrikan pelayanan sebagai pendeta senior pada Skyline Wesleyan Church di San Dieogo, Clifornia. Informasi lebih lanjut kunjungi www. Jimgarlow.com. Peter Jones adalah direktur pada Christian Witness to a Pagan Planet, yaitu organisasi yang dibentuk untuk memperlengkapi Gereja dalam mewartakan Kabar Baik kepada dunia yang semakin menjauh dari Allah. Ia menjadi dosen tamu yang memberikan mata kuliah Perjanjian Baru di Westminster Seminary, California. Ia meraih gelar Master of Divinity dari Gordon-Conwell Theological Seminary, gelar Master of Theology dari Harvard Divinity School, dan gelar Ph. D. Dari Princeton Theological Seminary. Peter tumbuh dewasa di Liverpool, Inggris, dan merupakan teman dekat semasa kecil John Lennon, hobinya adalah bermain golf dan bermain piano jazz modern. Informasi lebih lanjut kunjungi www.cwipp.org. 2 James L. Garlow dan Peter Jones, Cracking Da Vinci’s Code, Penerjemah Lily Endang Joeliani (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), h. 51 3 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 54 61 62 betapa tingginya derajad perempuan.4 Dari sinilah kita tahu betapa Alkitab memberi penghargaan terhadap perempuan. Pandangan lain yang dikemukakan Dan Brown terkait tradisi gereja awal ialah tentang sejarah hidup Yesus. Yesus yang sekarang ini dipercaya oleh umat kristiani dianggap sebagai hasil dari konsolidasi gereja. Satu dari pertanyaanpertanyaan terbesar yang mencuat dalam novel The Da Vinci Code adalah apakah Yesus menikah atau tidak, pada kenyataannya masalah pernikahan Yesus inilah yang mejadi dasar dari teori merovongian. Pandangan tersebut akhirnya menui pro-kontra dari berbagai kalangan. Muncul beberapa tokoh yang mengkritik hal itu, satu diantaranya adalah Steven Kellemeier. Steven Kellemeier5 membantah pernyataan Dan Brown bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena, dan Mempunyai keturunan yang disebut dengan kaum Merovongian yang mendirikan kota Paris. “Hal ini jelas merupakan kebohongan besar dalam sejarah,” tutur Kellemeier. Kellemeier menjelaskan bahwa Paris berumur lebih dari 2000 tahun. Jika kaum Merovongian sungguh keturunan Yesus, sedangkan Yesus sendiri meninggal baru 2000 tahun lalu, bagaimana hal itu mungkin? Dalam kenyataannya, Paris ditemukan oleh Parisii, 4 Sebagai contoh di dalam Kitab Kejadian, kita belajar bahwa baik lelaki maupun perempuan menerima identitas mereka, pengertian mereka akan nilai diri, dari hubungan mereka dengan Sang Khalik, karena telah diciptakan menurut gambar Allah (kej. 1:27). Baca Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 59 5 Steven Kellemeier atau biasa juga disebut dengan Seteve Kellmeyer adalah seseorang yang dikenal secara internasional karena kepandaiannya dalam berceramah. Selain itu dia juga sering muncul di beberapa acara TV. Latar belakang pendidikannya yang beragam menjadikan dia sebagai seorang yang terkenal di dunia pembicara. Riwayat pendidikannya meliputi: M. A. di Fransiscan University Steubenville, OH. M. A. di Southern Illinois University, B. A. di Southern Illinois University, dan A. A. S. di Southwestern Illinois Collage. Kellemeier selain dikenal sebagai pembicara, dia juga dikenal sebagai penulis, terbitan dari tulisannya seperti For Over a Year. Beberapa karyanya dapat di temukan di situs online, yaitu: Catholic Citizens of Illinois, Intellectual Conservative, Catholic Exchange, dan lain sebagainya. Informasi lebih lengkap kunjungi http://stevekellmeyer.com/Biography.html. 63 sekelompok orang Calts yang mendiami pulau tersebut pada abad ke-3 SM. Nama Paris adalah berasal dari mereka.6 Sebagaimana Steven Kellemeier, Martin Lunn7 juga berpendapat bahwa di dalam Alkitab tidak pernah disebutkan bahwa Yesus menikah.8 Dalam bukunya Da Vinci Code Decoded Lunn menambahkan pejelasan tentang keturunan David dan Merovongian, sebagai berikut: “Beberapa dokumen Biarawan Sion menyatakan bahwa silsilah keturunan Merovongian dapat ditelusuri di Perjanjian Lama dan Troy Kuno. Mereka diduga berasal dari suku Israel khususnya – yang dikepalai oleh Benjamin. Daerah kekuasaan mereka mencakup yang sekarang merupakan daerah sekitar Yerussalem sebelum kota tersebut menjadi Ibukota kerajaan Raja Daud (David) dan Sulaiman (Solomon)”9 Senada dengan pernyataan beberapa tokoh di atas, Carl E. Olson10 juga membantah peristiwa pernikahan Yesus. Dalam bukunya The Da Vinci Hoax, Olson mengungkapkan dua point penting terkait masalah tersebut. Pertama, dia mengatakan bahwa peristiwa pernikahan Yesus adalah tanpa dasar historis. Kedua, andaikata semuanya memang benar, maka muncul begitu banyak 6 Steven Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, Penerjemah Dewi Minangsari (T. Tp.: Optima Pers, 2005), h. 88 7 Martin Lunn dikenal sebagai seorang peneliti ahli masalah keturunan Davidic dan isu-isu lain yang dikenalkan The Da Vinci Code. Lulusan dari program Master Sejarah dan Jurnalisme ini pernah hidup di sepanjang daerah Timur Tengah, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa, namun domisili yang sekarang adalah Barcelona. Dia juga seorang pimpinan besar (Grand Master) dari The Dragon Society yang didirikan oleh King Sigismund dari Hungaria, tahun 1408. Lebih lanjut baca Martin Lunn, Da Vinci Code Decoded, Penerjemah Isma B. Koesalamawardi (Jakarta: Ufuk Press, 2005), h. 282. 8 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 156. 9 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 72 10 Carl E. Olson adalah penulis buku laris Will Catholic Be “Left Behind”? Olson menjadi Konstributor tetap berbagai publikasi seperti Natioanal Catholic Register, First Things, dan Crisis. Olson sebagaimana tokoh yang lain seperti Martin Lunn juga Dr. Jim Garlow dan Dr. Peter Jones, dalam usahanya mengkritik novel The Da Vinci Code, dia mengarang buku dengan judul The Da Vinci Hoax bersama Sandra Miesel. Sandra Miesel adalah seorang yang bergelar Master sejarah abad pertengahan dari Universitas Illinois. Selama lebih dari dua puluh tahun karir jurnalistiknya, Miesel telah menulis ratusan esai dan artikel terutama di bidang sejarah, seni, dan hagiografi. 64 pertanyaan, misalnya apabila Yesus hanya dianggap sebagai “seorang nabi yang dapat mati”, mengapa seorang dewi yang juga merupakan keturunan bangsawan menaruh minat pada-Nya?. Berkaitan dengan hal ini, Olson menunjuk lepada pernyataan Kardinal Francis George, Uskup Agung Chicago, setelah membaca novel Dan Borwn dia berkata “Yesus bukan Allah tetapi Maria seorang dewi?, apa maksud pernyataan tersebut? Andaikata Yesus bukan Allah mengapa dia menikah denga seorang dewi?”. Disamping itu pada masa Yesus, mempunyai darah Daud itu sangat lazim, mengingat semua kerabat ayah tiri-Nya yakni Yusuf memiliki darah tersebut. Dan artinya novel tersebut menyiratkan, bahwa bersama duapuluh generasi raja-raja Yehuda, ditambah semua generasi yang ada selama enam abad antara masa pembuangan Babel hingga kelahiran Yesus, hanya tersisa beberapa orang saja dari mereka.11 Dari beberapa sanggahan para tokoh di atas, tampak dengan jelas bahwa mereka menolak apa yang ditulis Dan Brown bahwa Yesus pernah menikah, apalagi mempunyai keturunan. B. Alkitab adalah Hasil dari Kepentingan Politis Kaisar Konstantin Point kedua yang menjadi kontroversi adalah tentang Kanonisasi Alkitab, Brown menulis bahwa Alkitab yang sekarang dipegang teguh oleh umat Kristiani merupakan hasil bentukan dari pada bapak-bapak gereja, ada lebih dari delapan puluh Injil dibuang oleh gereja dan hanya empat Injil sajalah yang dimasukkan ke dalam kanon. 11 Carl E. Olson dan Sandra Miesel, The Da Vinci Hoax, Penerjemah Endyahswarawati Y. (Malang: Dioma, 2005), h. 92 65 Hal ini lah yang membuat Carl E. Olson dalam buku The Da Vinci Hoax mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua hanya ada lima atau enam injil yang dipertimbangkan. Pada akhir abad ke dua Gereja perdana mengakui empat injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes), karena keempatnya ditulis dengan wahyu Roh Kudus dan diperuntukkan bagi kanon Perjanjian Baru. Olson mengutip pendapat Jenkins bahwa sesungguhnya proses penentuan kanon itu melalui perjalanan yang sangat panjang, hal ini terjadi sebelum Konstantinus menjadi kaisar, dan sebelum gereja mempunyai prospek sedikitpun dalam kekuasaan politik. Fase terpenting dari perjalanan kanon Perjanjian Baru adalah terjadi pada pertengahan abad kedua.12 Pendapat senada dikemukakan oleh Dr. Jim Garlow dan Dr. Peter Jones, bahwa pada dasarnya kanon sudah dimulai sejak 150 tahun sebelum pemerintahan Konstantin, yakni pada masa Mercion13. Namun kebanyakan pakar sepakat kanon Perjanjian Baru mulai terbentuk pada akhir abad kedua. Pembentukan kanon pada akhir abad kedua ini merupakan respon terhadap kanon Mercion.14 Selanjutnya Dr. Jim Garlow dan Dr. Peter Jones menjelaskan bahwa meskipun semasa hidupnya Yesus tidak menulis apapun, ia memastikan akan ada orang yang dilatih olehnya, yang akan membawakan pesannya untuk setiap manusia di dunia. Untuk merampungkan Injilnya, Lukas mengindikasikan bahwa 12 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 59 Mercion adalah salah satu pemimpin gereja modern (gereja yang mengingkari doktrindokterin utama iman Kristen). Ia hidup antara tahun 90 – 160 M berasal dari Pontus (kini wilayah Turki). Mercion pada tahun 144 pergi ke Roma dan mendirikan komunitas alternatif. Di sana, ia dikeluarkan karena menyimpang dari doktrin iman Kristen, yaitu menciptakan Alkitab sendiri. Alkitab Mercion meliputi Injil Lukas dan 10 surat Rasul Paulus yang telah dibersihkan dari pengaruh Perjanjian Lama. Baca Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 142 14 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 142 13 66 para saksi mata telah menyerahkan kisah-kisah mereka kepadanya (Luk 1:2); Rasul Petrus menyatakan diri sebagai salah seorang “saksi mata” (2 Ptr 1:16); Rasul Yohanes menyatakan diri telah “mendengar, melihat, dan meraba” Yesus (1 Yoh 1:1); sdangkan paulus menyatakan diri sebagai orang terakhir yang melihat Tuhan yang bangkit (1 Kor 15:8).15 Garlow dan Jones dengan tegas menolak apa yang disampaikan Dan Brown dalam novelnya bahwa Alkitab disusun oleh Konstantin pada abad keempat. Brown jelas menulis pendapatnya tidak berdasarkan aspek sejarah. Menurut Garlow dan Jones, sejarah yang sesungguhnya terjadi ialah pada abad pertama, kanon berada dalam bentuk organik dan berfungsi tanpa deklarasi gereja formal. Akan tetapi, sejak awal ortodoksi ke 27 kitab ada di sana. Kekristenan dan Alkitab tidak dapat dipisahkan. Singkatnya dia mengatakan “Gereja tidak menciptakan kanon, kanon lah yang menciptakan gereja”, dengan kata lain, Firman Allah ini lah yang dari luar, diberikan pada saat-saat penting dalam sejarah melalui utusan yang dipilihnya, yang memanggil umat Allah ke dalam keberadaannya. Dan pada abad ke-4 Gereja hanya menerbitkan apa yang selalu dipercayainya sebagai kebenaran demi kejelasan.16 Tulisan Brown yang menyatakan Alkitab merupakan buah karya manusia, dibenarkan oleh Steven Kellemeier. Kellemeier berpendapat bahwa Alkitab tidak jatuh secara ajaib dari surga. Manusia menciptakannya sebagai catatan historis masa-masa pergolakan, dan buku itu berevolusi melalui penerjemahan, 15 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 145 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 145 16 67 penambahan, dan perbaikan yang tak terhitung jumlahnya.17 Dengan kata lain, Alkitab merupakan benda mati, apabila tidak ada peran manusia, maka Alkitab tersebut akan tetap menjadi benda mati yang tidak mempunyai nilai dan fungsi dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam point ini tidak hanya Kellemeier saja bahkan setiap orang Katolik menyetujui bahwa Alkitab ditulis, dikumpulkan, dan diresmikan oleh manusia. Lebih lanjut Kellemeier membuat suatu perumpamaan sebagaimana berikut ini: “Pernahkah anda mengenal seseorang begitu baiknya sehingga anda bisa menyelesaikan kalimat persis seperti yang dikatakannya (dan mungkin sering bisa) dan dia bisa melakukan hal yang sama pada anda? Meskipun anda mungkin dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali berbeda, pemahaman anda tentang dunia ini dan pemahamannya tentang hal-hal tertentu di dunia begitu mirip dengan anda, sehingga anda bisa secara virtual membaca fikiran satu sama lain. Begitulah kiranya para pengarang Kitab Suci dan Allah.18 Hal demikian, sebagaimana yang dapat kita fahami bahwa Alkitab ditulis oleh manusia. Namun bukan sembarang manusia yang bisa menuliskan Alkitab, kecuali orang-orang yang mendapat inspirasi dari Ilahi. Manusia yang mampu mengenal Allah dan mampu memandang dunia sebagaimana yang dikehendaki Allah adalah manusia yang dipilih untuk menuliskan Alkitab. Untuk itulah mereka mampu menuliskannya persis seperti yang ingin dikatakan oleh Allah. Mereka menyelesaikan kalimat sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Memang benar mereka hanyalah manusia tetapi mereka merupakan alat, yaitu yang dijadikan oleh Allah sebagai penulis sejati Kitab Suci, walaupun sesungguhnya 17 Dan Brown, The Da Vinci Code, Penerjemah Ingrid Dwijani Nimpoeno (Yogyakarta: Bentang, 2014). H. 351 18 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 57 68 Allah sendirilah penulis sejati dari Kitab Suci. Jadi Alkitab tidak dikirim melalui fax dari surga.19 Namun, disisi lain Steven Kellemeier menyanggah pendapat Dan Brown yang menyatakan bahwa Konstantin adalah dalang dibalik penyusunan Alkitab. Dalam bukunya Fact and Fiction in The Da Vinci Code, dia menulis bahwa jumlah injil yang dikanonkan sudah ditetapkan jauh sebelum abad pertama. Seluruh kitab Perjanjian Baru selain kitab wahyu sudah ditulis pada masa penghancuran Yerussalem pada tahun 70 M, dan tahun 100 M barulah seluruh kitab termasuk kitab Wahyu dituliskan.20 Lebih lanjut Kellemeier mengatakan bahwa Konstantin tidak ada kaitannya dengan pengumpulan Alkitab. Daftar pertama kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara resmi disetujui oleh Paus Damasus tahun 382, disahkan pada Konsili Hippo dan Kartago tahun 393 dan 397. “Konstantin sudah berada dalam makam selama sekitar setengah abad ketika daftar buku Alkitab secara resmi dikumpulkan” tulis Kellemeier.21 C. Keilahian Yesus dan Hasil Voting Para Uskup Point ketiga yang menjadi kontroversi bukan hanya seputar pribadi Yesus tapi juga tentang “Siapakah Yesus?”. Terhadap hal ini Martin Lunn mulai menjelaskan tentang fakta dan fiksi seputar Yesus Kristus dengan mengungkapkan bagaimana sejarah Kristen pada awalnya sehingga bisa berkembang seperti yang kita kenal saat ini. Lunn menulis dalam bukunya bahwa: 19 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 58 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 59 21 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 60 20 69 “kira-kira 25 tahun setelah Yesus di salib, sebuah skisma muncul dalam bentuk sebuah pergerakan yang sekarang kita kenal sebagai Kristen. Sebenarnya itu adalah hasil dari versi St. Paul tentang agama Kristen. Paul berusaha menjadikan Kristen sebagai agama yang lebih dapat diterima. Sekarang tidak ada lagi bentuk atau tulisan tentang Kristen yang lain – yang seharusnya adalah agama yang dianut oleh keluarga Yesus Kristus dan teman-temannya dulu.”22 Lunn, menjelaskan bahwa segala kesan kita terhadap Yesus berasal dari informasi yang sudah diwariskan kepada kita langsung dari satu orang saja, yaitu Paul; dan bahkan disaring olehnya juga. Dia mempengaruhi penulis empat buah Injil dengan sebuah tujuan politis yang jelas, yaitu memberikan kesan bahwa tidak ada patriotisme Yahudi.23 Menurut sejarah versi Pauline, Yesus adalah seorang revolusioner yang tujuannya adalah mengeluarkan orang Romawi dari tanah airnya. Dia mencampurkan konsep agama dan politik untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan Paul. Paul tidak mengakui bahwa Yesus adalah raja yang membebaskan bangsa Yahudi dari bangsa Romawi. Baginya kata “Messiah” berarti Yesus adalah Putra Allah yang turun ke bumi dan mati ditiang salib demi menebus dosa manusia. Hal ini jelas Yesus tidak mengisi peran messiah seperti yang diharapkan oleh orang Yahudi, karena dia tidak mengeluarkan umatnya dari tekanan bangsa Romawi. Namun pristiwa kebangkitan Yesus, telah mengubah arti messiah. Pengikutnya percaya bahwa hanya Tuhan yang mampu menciptakan keajaiban kebangkitan seorang yang telah 22 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 141 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 145 23 70 meninggal. Ini artinya istilah “Messiah”berarti seorang yang memiliki sifat seperti Tuhan.24 Secara lebih detail, Paul selanjutnya berkata bahwa Aspek terpenting dalam kehidupan Yesus adalah kisah tentang kematian dan kebangkitannya.25 Pengikut Yesus percaya bahwa Yesus memang bangkit dari kematiannya karena itu dia dianggap tidak benar-benar mati. Dalam pandangan mereka, Yesus akan melanjutkan pekejaannya yaitu membebaskan mereka dan mengembalikan bumi kepada kerajaan Tuhan.26 Berbeda dengan Martin Lunn, Garlow dan Jones memulai tanggapannya dengan membuka pernyataan tentang pribadi Yesus dimata para pengikutnya pada zamannya. Diceritakan bahwa pada waktu itu Yesus melontarkan pertanyaan kepada para pengikutnya, “Siapa aku ini?” kata Yesus. Jawaban pertama mengatakan bahwa Yesus adalah si Tua Yeremia yang hidup kembali, hal ini karena Yesus menitikkan air mata ketika berkhotbah. Jawaban kedua adalah bahwa Yesus adalah Elia yang datang kembali, hal ini karena Yesus telah melakukan begitu banyak mukjizat. Jawaban lain memberi pernyataan bahwa Yesus adalah salah satu nabi – pengkhotbah yang pernah hidup 700 tahun silam dan lahir kembali. Dari beberapa jawaban yang dilontarkan para pengikutnya Yesus tidak merasa puas. Yang ingin Yesus ketahui adalah siapakah Dia bagi para pengikutnya. Akhirnya Petrus menjawab bahwa Yesus adalah Mesias yang “berbeda” dari orang-oang yang megaku sebagai mesias pada masa penutupan 24 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 149 Pada sisi lain, bagi umat Yahudi, kematian Yesus merupakan suatu tanda kegagalan Yesus dalam memainkan peran sebagai Messiah yang dinanti-nantikan untuk membebaskan orang Yahudi dari jajahan romawi. 26 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 151 25 71 Perjanjian Lama dan dumulainya Perjanjian Baru.27 Pengertian “berbeda” dari istilah ini adalah sebagaimana yang digunakan oleh Gereja, bahwa Yesus merupakan mediator unik antara Allah Pencipta yang transenden dan kemanusiaan yang berdosa.28 Secara lebih rinci, Garlow dan Jones selanjutnya menulis beberapa catatan tentang keilahian Yesus dalam bukunya Cracking Da Vinci’s Code sebagai berikut: “Sejak semula Yesus adalah pribadi Ilahi. Paulus menggambarkan Yesus “dalam rupa Allah” (Fil 2:6). Ia menuliskan hal ini pada awal tahun 50-an. Terlebih, ia mengutip sejenis himne yang sangat bersifat Yahudi dan tidak diragukan lagi berasal dari para rasul di Palestina pada masa awal gereja (Fil 2:5-11). Tambahan kedua teks dari masa awal gereja ini kepada pernyataan matang Paulus tentang keilahian Yesus – seperti Roma 1:3 (“AnakNya [Allah]”). 1 Korintus 8:6 (“Satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan”), dan Kolose 1:15-16 (“Ia [Kristus] adalah gambar Allah yang tidak kelihatan ... di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu”), dan jelas abad ke-4 tidak menciptakan keilahian Kristus. Gereja perdana memegang teguh iman bahwa Yesus adalah sepenuhnya dan seutujnya Ilahi.29 Jelas penulis buku Cracking Da Vinci’s Code ini, dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya keilahian Yesus diakui lama sebelum Konsili Nicea. Sependapat dengan Garlow dan Jones, Steven Kellemeier pada bagian awal bukunya, Fact and Fiction in The Da Vinci Code mengugkapkan bahwa perdebatan tentang keilahian Yesus sebenarnya sudah dimulai sejak peristiwa penyaliban Yesus. Pada peristiwa penyaliban tersebut, kematian Yesus menjadi sebuah pertanyaan “apakah Yesus benar-benar meninggal ketika disalib atau tidak?”. Satu pihak berpendapat bahwa Yesus benar-benar meninggal. Dan 27 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 80 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 85 29 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 88 28 72 beberapa pihak lain mengklaim bahwa Yesus sebenarnya tidak meninggal. Ada dua pernyataan atas dua kemungkinan tersebut. Pertama adalah pernyataan tentang keberadaan jasad Yesus setelah disalib, karena ditemukan makamnya kosong setelah peristiwa penyaliban tersebut. Kedua merupakan sesuatu yang aneh apabila ketika disalib Yesus tidak meninggal dunia, karena hukuman salib pada masa itu adalah menyiksa orang sampai mati, jika tidak sampai mati namanya bukan penyaliban. Lebih lanjut Kellemeier mengatakan bahwa orang Romawi mungkin tidak pandai dalam memahami Taurat, tetapi mereka sangat hebat dalam hukuman mati. Dengan kata lain, sesuatu yang mustahil apabila Yesus masih hidup ketika disalib, kecuali ia memiliki suatu keistimewaan.30 Orang-orang mulai berkelompok sesuai dengan teori masing-masing. Orang-orang Korintus dan Abionit memastikan bahwa Yesus hanyalah manusia, bukan Allah, namun penjelasan mengenai hal tersebut tidak ada kata sepakat diantara mereka. Orang Nicolation berpandangan bahwa Yesus adalah Allah. Kaum Docetis31 berkata kalau Yesus adalah Allah yang tidak mempunyai badan yang sungguh-sungguh, peristiwa penyaliban, kehidupannya di bumi, semua itu merupakan ilusi Ilahi yang kompleks, itulah sebabnya jasadnya tidak di temukan. Kaum Gnostik mempunyai pandangan lain tentang hakikat Allah, menurutnya ada dua macam Allah. Pertama adalah Allah setan dari Perjanjian Lama yang disebut dengan Demiurge yang menciptakan dunia untuk menjebak jiwa manusia dalam 30 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 4 Kaum Docetis merupakan suatu kelompok/aliran yang meyakini bahwa Allah di dalam Yesus Kristus tidak menjelma sebagai manusia. Hanya kelihatannya saja dia menjelma menjadi manusia (diserupakan). Karena pada hakikatnyaYesus tidak pernah datang menjadi manusi, ia hanya berbentuk roh saja yang kelihatan seperti manusia untuk melayani manusia di dunia yang kotor ini. Semua peristiwa yang berkaitan dengan penderitaan dan penyalibannya hanya bersifat semu semata. Diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://sttinti.ac.id/renungan4/90-inkarnasi.html 31 73 penjara realitas material. Kedua Propater yang baik dan suci, dialah yang mengirim Kristus untuk menyampaikan bagaimana cara bisa lepas dari Demiurge. Kaum Kristiani memastikan kalau Dia adalah Allah, dan Allah telah mengambil bentuk manusia. Pendapat seperti ini juga diyakini oleh ke duabelas murid Yesus. Mereka rela disiksa dan dicemooh pada masa itu demi mempertahankan argumennya bahwa Yesus adalah Allah.32 Lebih lanjut Kellemeier menjelaskan bahwa setiap orang di Nicea setuju kalau Yesus Kristus adalah Allah. Disamping mereka juga mengetahui bahwa ia adalah manusia. Dalam pertemuan di Nicea tersebut mereka berkumpul untuk memutuskan bagaimana keseluruhan keilahian ini bekerja. Apakah Yesus Kristus dianggap seperti malaikat yang sangat berkuasa, bertindak sebagai Allah bagi semua manusia tercipta termasuk para malaikat sebagaimana dikatakan Uskup Arius atau apakah Dia sesungguhnya memiliki kodrat Ilahi sepenuhnya sebagaimana dikatakan secara virtual oleh setiap orang kecuali dari pihak Uskup Arius.33 Menurut Garlow dan Jones, salah satu ajaran palsu yang disebarkan oleh Arius pada tahun 318 M, adalah ia mengajarkan bahwa Yesus merupakan makhluk ciptaan, seperti halnya manusia lainnya, dan bukan “Anak Allah yang terkasih”. Pendapat Arius ini ditentang oleh Alexander, uskup Alexandria, atas penentangan ini Arius pindah ke Palestina dan meneruskan ajarannya di sana. Di sana, Arius mulai mengirimkan surat ke gereja-gereja daerah dengan mempromosikan gagasan bahwa Yesus adalah makhluk ciptaan. Perdebatan itu 32 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 5 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 64 33 74 berkembang selama beberapa tahun ke depan, dan akhirnya memperoleh perhatian kaisar, Konstantin.34 Tujuan dari diadakannya Konsili ini tidak lain adalah untuk mendamaikan perdebatan panjang antara Arius dan seluruh kekristenan. Yang hasilnya adalah pendapat Arius tidak diterima oleh kaum kristiani.Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa benar Konstantin lah yang mengusulkan dan mengadakan pertemuan ini, namun dia tidak terlibat atas keputusan yang diambil, hasil keputusannya merupakan hasil musyawarah para uskup. Konstantin menghadiri pertemuan tersebut hanya untuk penyambutan pada pembukaan dan perpisahan pada penutupan konsili.35 Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan Dr. Jim Dalam buku nya Cracking Da Vinci’s Code, bahwa: “Konstantin, yang telah mengkonsolidasi kekuasaannya atas Kekaisaran Romawi, menguyapakan penyatuan regional. Ia tahu perpecahan di dalam tubuh Gereja akan menjadi kekuatan yang membuat kekaisaran itu tidak stabil, jadi ia bergerak memulihkan kedamaian. Konstantin mengumpulkan lebih dari 300 uskup dari seluruh kekaisaran, terutama dari daerah timur. (Hal ini akan menguntunkan arius, karena di sana lah pengaruhnya paling besar.) Para uskup menempuh perjalanan ribuan mil untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan di Konstantinopel. Banyak yang datang dengan luka-luka siksaan karena mempertahankan iman. Pengikut Arius menyerahkan pernyataan doktrin mereka, yang jelasjelas mengingkari keilahian Kristus. Pernyataan ini ditolak mentahmentah. Para uskup, dipimpin oleh Athanasius, mempertimbangan apa yang diajarkan oleh Gereja perdana di dalam Perjanjian Baru. Mereka menuliskan pengakuan iman alternatif, yang menjadi cetak biru Syahadat Para Rasul (Pengakuan Iman Rasuli) di Nicea. Di dalamnya, Yesus diakui sebagai Ilahi, posisi historis yang telah diambil gereja sejak 300 tahun sebelumnya.”36 34 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 93 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 64 36 Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 93 35 75 Pada pertemuan dalam Konsili Nicea yang diadakan tahun 325, mereka semua sepakat bahwa Yesus memiliki kodrat Ilahi. Keputusan tersebut malahan belum final yaitu dengan perbandingan suara 313 banding 5, yang selanjutnya menjadi 316 banding 2 ketika tiga dari uskup merubah suara mereka. Pada konsili ini pula lah diputuskan tanggal paskah.37 Jumlah suara yang diperoleh adalah 316 melawan 2. Ini sulit disebut sebagai voting ketat. Selama tiga abad, gereja telah menderita dibawah tirani Kekaisaran Romawi. Konsili Nicea terjadi hanya 14 tahun setelah penganiayaan terakhir terhadap orang-orang Kristen di tangan Kaisar Galerius. Para uskup tidak akan pernah mau mengkompromikan apa yang telah dikorbankan oleh sesama orang Kristen. Mereka lebih suka menderita tiga abad lagi untuk menjalani penindasan dan penganiayaan alih-alih mengingkari Tuhan.38 Dari beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Kellemeier dan juga Garlow dan Jones tampak dengan jelas bahwa mereka menolak tulisan Dan Brown yang menyatakan kalau Penetapan Yesus sebagai „Putra Allah‟ diajukan secara resmi dan dipilih berdasarkan pemungutan suara oleh Konsili Nicea, yang katanya Kemenangannya relatif tipis. D. Misteri Cawan Suci pada Lukisan Perjamuan Terakhir Cawan Suci bukanlah objek yang ingin diungkapkan oleh Dan Brown. Dan juga bukan hanya lokasi rahasia dari ikon keagamaan ini yang telah membuat 37 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 64. Garlow, Cracking Da Vinci’s Code, h. 94. 38 76 banyak orang mati saat melindunginya. Tetapi, substansi dari cawan itu sendiri lah inti dari misteri ini. Martin Lunn dalam bukunya Da Vinci Code Decoded menjelaskan bahwa ada dua macam tafsiran Holy Grail, pertama Holy Grail ditafsirkan sebagai simbol bagi keturunan Kristus yang dilahirkan istrinya Maria Magdalena39. Kedua ada kepercayaan bahwa Holy Grail sebenarnya hanya semacam piala, piala yang digunakan untuk mewadahi darah Yesus ketika disalib.40 Menurut Lunn agama Kristen mempunyai banyak sekali ritual umum, salah satunya adalah Perjamuan Kudus yang menyajikan arak anggur yang dipercaya mengandung darah Kristus di dalamnya. Legenda versi zaman Arthurian bercerita kisah seorang kapten Romawi bernama Longinus, yang menusuk sisi tubuh Kristus untuk meyakinkan bahwa dia sudah tewas ketika disalib. Lalu Joseph dari Arimathea menadahi darah dalam piala yang sama dengan yang digunakan Kristus untuk minum arak anggur pada peristiwa Perjamuan Terakhir. Piala itu umumnya diduga sebagai Holy Grail.41 Joseph Arimathea adalah pengikut Yesus, yang dipenjarakan oleh orang Romawi setelah peristia penyaliban. Dia menyimpan piala itu dan membawanya ke Roma dan Perancis bagian selatan bersama Maria Magdalena serta beberapa orang murid Yesus lainnya. Dia (mungkin bersama Yesus juga) diduga kemudian pergi ke Inggris, yaitu tempat di mana ia tinggal selamanya di daerah yang sekarang adalah Inggris bagian selatan di kota Glastonbury. Di sanalah Gereja 39 Tafsiran sebagaimana tersebut adalah yang juga dipaparkan oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code. 40 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 130. 41 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 133 77 Kristen pertama di Britania didirikan, tepat di tempat yang sekarang sudah menjadi reruntuhan dari sebuah biara, dan mungkin juga di sanalah Holy Grail disimpan. Holy Grail kemudian hilang. Dari sanalah Pencarian Holy Grail yang dilakukan raja Arthur bersama para ksatrianya dimulai.42 Diceritakan pula bahwa Holy Grail diyakini disimpan di Italia selama 300 tahun, dan dijaga oleh seorang biara yang bernama St. Lawrence, seorang diakon Gereja Roma. Diduga dia mendapatkannya dari dua orang tentara Spanyol di rumahnya di Pirenia Spanyol pada akhir abad ke tiga. Hidup St. Lawrence berakhir dengan tidak menyenangkan, dia dipanggang di atas sebuah panggangan beberapa hari setelah temannya, Pus Sixtus II dihukum mati. Grail disimpan di sebuah gereja San Pedro el Vejo hingga tahun 711.43 Sejarah terus bercerita tentang perpindahan Holy Grail dari satu gereja ke gereja lainnya. Singkat cerita Holy Grail terakhir kali disimpan di tempat yang mungkin kita lihat kini adalah di dalam kapel Katedral Valencia di Spanyol. Setelah pembicaraan panjang seputar makna dari Holy Grail dan keberadaannya, maka kita akan kembali melihat kontroversi yang terdapat dalam lukisan The Last Supper. Satu dari lain hal yang menjadi permasalahan adalah tentang siapakah sebenarnya yang duduk di kanan Yesus. Mengingat yang dikatakan Brown dalam narasi novelnya bahwa yang duduk di kanan Yesus adalah seorang perempuan, menurut Brown hal tersebut terlihat jelas apabila kita mempelajari wajah dan tubuh tokoh itu, Individu yang ada dalam lukisan mempunyai rambut merah tergerai, sepasang tangan lembut yang terlipat, dan 42 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 134 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 136 43 78 dada menonjol. Brown dengan sangat yakin dengan pendapatnya bahwa dia adalah seorang perempuan. Steven Kellemeier membantah hal tersebut dengan menyajikan fakta seputar teknik dan tipe penggambaran Tokoh dalam sebuah lukisan. Dalam bukunya Fact and Fiction in the Da Vinci Code, Kellemeier dengan rinci menjelaskan bahwa dari sekian banyak „tipe‟ yang tersedia untuk menggambarkan sang murid, secara umum orang seperti itu (murid yang duduk dikanan Yesus) selalu ditampilkan dengan rambut panjang dan tanpa janggut, karena ia belum mencapai usia di mana seorang laki-laki sepantasnya membiarkan janggutnya tumbuh. St. Yohanes sebagai seorang termuda dan merupakan murid yang paling dicintai Yesus, selalu dilukiskan dengan gaya demikian. Coba dilihat dalam lukisan atau patung manapun, misalnya pada lukisan kaki salib di mana Maria Magdalena dan Maria (Ibu Yesus) juga ada pada lukisan tersebut, maka akan ditemukan kesamaan dengan lukisan Leonardo44. Dalam lukisan The Last Supper Leonardo jelas tidak menggambarkan Maria Magdalena melainkan St. Yohanes. Secara lebih detail Kellemeier selanjutnya menjelaskan bahwa: “Hal ini juga menjelas mengapa setiap orang masih mempunyai cawan mereka. Hidangan paskah mempunyai empat cangkir ritual berisi anggur. Cangkir ketiga disebut cangkir berkat, adalah yang diberkati Yesus. Segera sesudah konsekrasi, dia dan para murid tidak makan, karena Kristus bermaksud untuk meminum cangkir keempat, 44 Orang-orang dalam lukisan perjamuan tersebut disusun menjadi empat kelompok yang masing-masing terdiri dari tiga orang, dengan posisi Yesus berada ditengah-tengah. Karena pelukisnya menangkap peristiwa penghianatan, di mana semua murid menolak anggapan bahwa mereka akan menghianati Yesus. Yudas, Petrus dan Yohanes berada dalam satu kelompok, hal ini dikarenakan mereka memiliki respon yang berbeda terhadap Yesus. Yudas menghianati dan tidak kembali. Petrus meninggalkannya tetapi kembali, dan Yohanes tidak menghianati dan tidak pula meninggalkan Yesus. Lebih lanjut baca Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 69. 79 cangkir penyempurnaan, saat tergantung di kayu Salib. Tetapi pengumuman tentang penghianatan tidak terjadi saat konsekrasi cangkir berkat. Sesungguhnya Injil Yohanes yang menjadi acuan lukisan, tidak menggambarkan konsekrasi Perjamuan Malam terakhir sama sekali. Itulah sebabnya lukisan Leonardo disebut Perjamuan Malam terakhir. Bukan Ekaristi atau cangkir ketiga.”45 Deskripsi diatas memberikan kita gambaran bahwa menurut Kellemeier St. Yohanes lah yang mempunyai posisi istimewa dalam lukisan The Last Supper bukan Maria Magdalena. Dan juga Katolik Roma mengaku bahwa St. Peter adalah pendiri gereja Katolik. Peter bereputasi sebagai orang pembenci perempuan, atau seperti yang ditulis Dan Brown, “seorang yang membedabedakan jenis kelamin,”. Berbicara mengenai Maria Magdalena yang sering kali disebut-sebut oleh Dan Brown dalam novelnya, ada beberapa point yang juga menjadi kontroversi diantaranya mengenai jati dirinya, relasinya dengan Yesus, peranannya dalam gereja perdana, serta kaitannya dengan Holy Grail. Dalam novel The Da Vinci Code Dan Brown menyatakan: 1. Maria Magdalena adalah The Holy Grail. Penyelidikan seputar Holy Grail sebenarnya adalah pencarian tempat peristirahatan akhir Maria Magdalena, bukan pencarian piala/cawan suci yang dipakai pada Perjamuan Malam Terakhir. 2. Gereja Katolik kompromi terhadap penyembunyian fakta sejarah Maria Magdalena bahwa dia adalah perempuan suci keturunan dari suku Benjamin. 45 Kellemeier, Fact and Fiction in The Da Vinci Code, h. 69 80 3. Maria Magdalena menikah dengan Yesus dan mempunyai keturunan yang selanjutnya disebut sebagai dinasti Merovongian. Hal ini dipandang sebagai fakta sejarah dan dikenal melalui injil-injil gnostik yang dibuang oleh gereja. 4. Maria Magdalena merupakan rasul utama yang mendapat mandat dari Yesus untuk melanjutkan kepemimpinan gereja. Pandangan Dan Brown tentang citra Maria Magdalena tersebut oleh Olson disanggah dengan memberi keterangan sejarah dan legenda-legenda terkait hal tersebut yang diuraikan dengan jelas dalam satu bab penuh pada bukunya The Da Vinci Hoax. Untuk mendapatkan pandangan Olson, penulis mengutip penyataan dari buku The Da Vinci Hoax, berikut adalah kutipan dari buku Carl E. Olson yang dikarang bersama dengan Sandra Miesel. “... ia digambarkan sebagai perempuan yang menderita kerasukan roh jahat dan Yesus telah mengusir tujuh roh jahat darinya (Mrk. 16:9; Luk. 8:2). Ia disebut secara mencolok sebagai salah satu perempuan yang mendampingi Yesus dalam pelayanan-Nya (Luk. 8:2), sebagai salah satu saksi mata penyaliban-Nya (Mat. 27:56; Mrk. 15:40; Yoh. 19:25), pada pemakaman Yesus (Mat. 27:61; Mrk. 15:47), dan makam kosong (Mat. 28:1-10; Mrk. 16:1-8; Luk. 24:10). Sesudah kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepadanya saja di makam (Mrk. 16:9; Yoh. 20:1-18).”46 Citra Maria Magdalena selain digambarkan oleh Olson melalui kutipankutipan ayat Alkitab, dia juga menghadirkan beberapa cerita terkait Maria Magdalena. Misalnya dalam tradisi barat, dia digambarkan sebagai perempuan 46 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 74 81 pendosa, perempuan yang dibebaskan dari tujuh roh jahat, juga digambarkan sebagai Maria dari Betaia, saudara perempuan Marta dan Lazarus.47 Cerita yang lain bisa dilihat pada tradisi Timur, di sana diceritakan bahwa Maria Magdalena sebagai teman dari rasul Yohanes dan Maria, ibu Yesus, dan bahwa mereka semua menetap di Efesus, yang pada akhirnya Maria Magdalena bertunangan dengan Yohanes. Beberapa legenda lain bahkan menggambarkan Maria Magdalena melewatkan akhir hidupnya dalam sebuah gua di Perancis, sebagai pertapa perempuan.48 Dari beberapa cerita yang ditulis Carl E. Olson dalam bukunya ia mengatakan bahwa hampir semua cerita mengenai Maria Magdalena adalah bersifat khayal. Masih dalam tema Maria Magdalena, Olson menyangkal pendapat bahwa gereja awal menyembunyikan serta menghapus sejarah Maria Magdalena dari dunia, seperti yang dikatakan Langdon pada Sophie.49 Dalam hal ini Olson memberikan tanggapan bahwa apabila benar Konstantin memang menyunting Injil dmi ambisi politiknya, mengapa nama Maria Magdalena disebutkan beberapa kali dalam Injil yang empat. Bahkan ia menjadikan Maria sebagai saksi mata kebangkitan Yesus. Padahal dalam masyarakat Yahudi, kesaksian seorang perempuan dianggap tidak sah.50 Pandangan Olson mengenai Maria Magdalena diperkuat dengan mengutip beberapa buku, misalnya buku The Templar Revelation: Secret Guardians of the 47 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 74 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 80 49 Diceritakan dalam novel Dan Brown bahwa Gereja awal perlu meyakinkan dunia bahwa nabi Yesus yang fana itu adalah makhluk suci. Oleh karena itu, injil-injil yang menjelaskan aspekaspek duniawi kehidupan Yesus harus harus dihapuskan dari Alkitab. Baca Brown, The Da Vinci Code, h. 368. 50 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 75. 48 82 True Identity of Christ51 karya Lynn Picknett dan Clive Prince, dan buku The Making of the Magdalen: Preaching and PopularDevotion in the Later Middle Ages52 karya Katherine Jonsen. Kedua buku ini secara garis menggambarkan bahwa Maria Magdalena hanyalah sosok yang pantas dijadikan panutan karena ketaatannya terhadap Yesus. Satu hal yang juga harus diketahui dari pribadi Maria Magdalena adalah bahwa dia merupakan saksi mata atas peristiwa kebangkitan Yesus. Tentang deskripsi Maria Magdalena yang ditulis dalam banyak injil Gnostik53 Olson mengutip beberapa buku diantaranya The Woman Jesus Loved: Mary Magdalena in the Nag Hammadi Library and Related Documents, buku tersebut menyebutkan bahwa peran Maria Magdalena dalam tulisan-tulisan gnostik tidak serupa bahkan berbeda-beda dalam banyak teks.54 Dari beberapa pandangan yang dikemukakan Olson, tampak dengan jelas bahwa ada begitu banyak misteri dalam lukisan Perjamuan Terakhir yang menjadi kontroversi para tokoh, diantaranya misteri tentang Holy Grail. Yang harus kita 51 Dalam bukunya Picknett dan Prince berpendapat bahwa Maria Magdalena adalah “simbol yang kuat” bagi hak-hak para perempuan yang berhrap dapat ditahbis sebagai imam, dan mereka bersikeras bahwa “makna Magdalena yang abadi dan dalam” terletak posisinya sebagai saksi mata pertama dari kebangkitan. Namun para penulis yang baru menyangkal bahwa Yesus mati di Salib atau dibangkitkan, dengan mengatakan bahwa wafatnya Yesus dan kebangkitan itu bagian dari bualan rapi hasil karanan “Yesus dan lingkungan dalamnya”. Lebih lanjut baca Olson, The Da Vinci Hoax, h. 76. 52 Dalam buku ini disajikan beberapa penyebab lain mengapa Greogorius mengaitkan pendosa dalam Lukas 7 denga Maria dari Betania dengan Maria Magdalena. Sebab pertama adalah kedekatannya secara tekstual dalam Injil Lukas (bab 7 dan 8). Sebab kedua adalah menjelang abad ke-6 kota Magdala mengalami kemerosotan akhlak dan tidak bertuhan. Sebab ketiga yaitu tertulis dalam Yo. 11:1-2 bahwa perempuan yang pernah meminyaki kaki Tuhann dengan minyak mur, yang menyekanya dengan rambutnya adalah Maria dari Betania, saudara perempuan Martha dan Lazarus. Lebih lanjut baca Olson, The Da Vinci Hoax, h. 77. 53 Dalam injil-injil Gnostik Maria Magdalena diceritakan sebagai seseorang yang paling dikasihi Yesus, terlebih lagi diceritakan bahwa Yesus sering mengecup bibir Maria. Diantara injil gnostik yang membahas gagasan tentang perkawinan spiritual antara Maria Magdalena dan Yesus Kristus Gospel of Philip. Baca Olson, The Da Vinci Hoax, h. 84. 54 Olson, The Da Vinci Hoax, h. 84. 83 fahami adalah bahwa Holy Grail hanyalah sebuah simbol. Simbol yang bisa mengungkap ribuan makna tergantung persepsi setiap orang. Untuk itulah muncul beberapa interpretasi terhadap Holy Grail tersebut. Umat Kristiani secara umum memaknai Holy Grail sebagai sebuah cangkir berbentuk piala yang digunakan untuk mewadahi darah Yesus ketika disalib, selain digunakan untuk minum anggur pada Perjamuan Terakhir. Dan interpretasi lain mengatakan bahwa Holy Grai adalah Maria Magdalena. Penjelasan tentang misteri Holy Grail ditutup dengan pendapat Martin Lunn sebagai berikut: “Kita mungkin tidak akan pernah tau identitas yang sesungguhnya dari Holy Grail. Tetapi benda kecil yang indah itu – yang benar-benar dapat kita lihat kini, tampaknya memang benar-benar sebuah piala yang digunakan oleh Kristus 2000 tahun yang lalu, dan yang telah membentuk dasar begitu banyak mitologi dan romantisme Barat. Holy Grail terus mengusik fikiran kita, karena itu merupakan bagian dari susunan budaya kita. Sekarang kesan itu sendiri memliki logat tersendiri yang berarti sesuatu yang dikejar-kejar. Pencarian Holy Grail tidak selalu harus pada benda itu sendiri, tetapi mengetahui apa itu Grail dan apa artinya.”55 E. Tanggapan Dan Brown Seputar Kontroversi Novel The Da Vinci Code The Da Vinci Code yang terbit pada tahun 2003 ternyata menarik perhatian dari berbagai kalangan, baik yang datang dari Amerika Serikat, Vatikan, organisasi Opus Dei dan juga dari seorang Uskup Agung dari Genoa yang bernama Kardinal Tarcisio Bertone. Hal ini membuat Dan Brown merasa sangat terkejut. Brown menanggapi kritik terhadapnya dengan menegaskan bahwa mayoritas kritikus sama sekali tidak menangkap poin seutuhnya dari novel itu. 55 Lunn, Da Vinci Code Decoded, h. 140. 84 Respon terhadap novel The Da Vinci Code, tidak hanya berupa opini pembenaran terhadap isi yang diungkapkan seperti dalam buku karangan Martin Lunn yang berjudul Da Vinci Code Decoded, tetapi juga berupa kritik yang tajam yang mematahkan segala argumen yang tercantum dalam novel itu, seperti buku yang dikarang oleh Steve Kellmeyer dengan judul Fact and Fiction in The Da Vinci Code. Adanya tuduhan bahwa Dan Brown adalah seorang yang anti-Kristen, dia membantah dengan pernyataan sebagai berikut: “Buku ini sama sekali bukan anti-Kristen atau anti-Katolik. Aku seorang Nasrani, meskipun mungkin bukan dalam arti kata yang paling tradisional. Bukuku hanya memandang katekisme dan sejarah agama Kristen melalui lensa yang sedikit berbeda, yang merupakan eksplorasi atas kitab-kitab Bible yang tidak termasuk ke dalam versi Konstantin, versi yang kita baca sekarang ini.” Setelah selama berbulan-bulan mendapat cercaan serta krtikan dari berbagai kalangan, Brown mengatakan bahwa bukan saja keyakinannya tak goyang, tetapi dia juga mendapat pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak tentang pengalaman spiritualitasnya. Akhirnya dia menjawab seperti dibawah ini. “Aku sangat berharap merasakan keyakinan yang sama sekali tidak meragukan. Tapi aku benar-benar merasakan itu, dan aku masih terus mencari. Aku menulis The Da Vinci Code juga bagian dari pencarian spiritualku. Aku tak pernah membayangkan sebuah novel menjadi begitu kontroversial”. F. Citra Yesus Dalam Tradisi Islam Citra Yesus dalam tradisi Islam, dapat dirujuk pada al-Qur‟an sebagai sumber kebenaran orang Islam. Penggambaran Yesus dalam al-Qur‟an sama sekali berbeda dengan apa yang diceritakan dalam Injil. Yesus dalam al-Qur‟an 85 lebih banyak digambarkan tentang kelahirannya yang penuh keajaiban dari pada tentang penderitaan dan kematiaannya di tiang salib. Namun, tidak menutup kemungkinan al-Qur‟an juga menjelaskan peristiwa penyaliban Yesus. Yesus dalam al-Qur‟an lebih akrab disebut sebagai Isa Ibn Maryam. Ia termasuk salah satu Rasul Ulul Azmi, yang mempunyai keistimewaan lebih dibanding nabi-nabi yang lain. Namun begitu, al-Qur‟an mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan di antara para nabi, dan iman yang benar harus mempercayai semua nabi. Hal ini terurai dalam al-Qur‟an Q.S al-Nisa/4: 150. Prof. Dr. KH. Hasbullah Bakry, SH dalam bukunya Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, berbicara banyak tentang Isa, mulai dari silsilah keluarga Maryam sampai peristiwa penyaliban Yesus dan konsep Trinitas. Mengenai kelahiran Nabi Isa menurut Prof. Bakry adalah berdasarkan kalimat penciptaan Allah: kun faya kun yang ditanggungkan penghamilannya pada Maryam dengan daripada roh Allah. Hal ini dapat dilihat pada Q.S Ali Imran/3: 47, yang artinya sebagai berikut: “Maryam berkata, “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” Allah berfirman (dengan perantara Jibril), “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka hanya cukup Allah berkata kepadanya, „Jadilah‟, lalu jadilah dia.”56 Selain itu, menurut Ridha Shadr dalam bukunya al-Masih fi al-Qur’an, bahwa penciptaan Isa adalah seperti penciptaan Adam. Dalam hal ini Shadr menutip Q.S Ali Imran/3: 59, yang artinya sebagai berikut: 56 Hasbullah Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible (Jakarta: Firdaus, 1959), h. 3 86 “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.57 Disamping peristiwa kelahirannya yang penuh keajaiban, Allah menganugerahkan banyak mukjizat kepada Nabi Isa, untuk membuktikan kerasulannya. Misalnya menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit sopak, dll. Nabi Isa dengan membawa kitab Injil membenarkan semua isi Taurat dari Nabi Musa. Ajarannya mengajak Bani Israel kepada Tauhid, dan dalam ajarannya juga menerangkan bakal datangnya seorang penghibur Nabi Akhir Zaman untuk segala bangsa bernama Ahmad (Muhammad). Baik Al-Qur‟an maupun Alkitab sama-sama menceritakan tentang keajaiban kelahiran Isa. Namun dalam hal keilahiannya ada perbedaan pandangan antara alQur‟an dan Alkitab. Apabila injil-injil dalam Perjanjian baru banyak menceritakan tentang keilahian Yesus, dan menjadikan peristiwa penyaliban Yesus sebagai pondasi iman mereka. Maka tidak demikian dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an hanya mengakui Isa sebagai nabi, bukan sebagai Tuhan. Hal ini diungkapkan dalam Q.S Az-Zukhruf/43: 59, yang artinya sebagai berikut: “Isa itu lain tidak terkecuali seorang hamba yang kami beri kurnia (pangkat nabi) dan kami jadikan dia sebagai contoh yang ajaib bagi Bani Israel.” Ayat-ayat al-Qur‟an yang lain yang berhubungan dengan hal tersebut bisa dilihat dalam Q.S al-Maidah/5: 17, 72, dan 75. Pada ayat-ayat tersebut dengan 57 Ridha Shadr, al-Masih fi al-Qur’an, penerjemah Syekh al-Hamid (Jakarta: Citra, 2006), h. 55 87 jelas di ungkapkan bahwa Isa hanyalah seorang nabi bukan Tuhan sebagaimana diungkapkan dalam empat Injil dalam Perjanjian Baru.58 Dalam agama Kristen, salib merupakan bukti pengakuan iman Kristen, tanpa mengimani kematian Yesus ditiang salib guna menebus dosa manusia (menyelamatkan manusia), maka belum sempurna iman umat Kristiani. Seperti yang difahami, al-Qur‟an menyagkal pembunuhan Isa dengan penyaliban seperti yang dikisahkan oleh Perjanjian Baru. al-Qur‟an menjelaskan bahwa Nabi Isa wafat bukan karena disalib, sebab beberapa hari setelah peristiwa penyaliban itu tersiar berita bahwa orang melihat Nabi Isa hidup seperti biasa. Baru kemudian karena perintah Allah yakni mengabulkan do‟a beliau untuk menghabisi tugas di Palestina (lihat Matius 26: 39 dan 42, Yahya 18: 11), Nabi Isa meninggalkan kaumnya dan pindah ke daerah lain dan wafat disana sebagai Nabi atau guru agama biasa. Hal ini ditegaskan dalam Q.S an-Nisa/4: 157-158 yang berbunyi:59 “Dan lantaran perkataan mereka yang mengatakan: Sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-Masih anak Maryam dan Rasul Allah itu. Padahal sebenarnya mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibkannya (hingga mati), melainkan hanyalah diserupakan saja pada mereka seakan-akan Isa itu telah mati tersalib.” “Tetapi sebenarnya Allah telah mengangkat Isa itu kepada-Nya dan Allah itu Maha Besar dan Maha Bijaksana.” Dari cuplikan ayat diatas, timbul 3 tafsir dikalangan ulama‟ muslim: 1. Sebagian ulama‟ berpendapat bahwa Nabi Isa telah dilepaskan Tuhan ketika dia mau ditangkap oleh orang-orang Israel di taman Getsemani. Dia telah menyelinap tersembunyi dari penglihatan orang-orang yang hendak menangkapnya. Yudas (Yahuda) seorang murid yang menghianatinya 58 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 9 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 45 59 88 diserupakan oleh Tuhan sebagai Nabi Isa, oleh sebab itu yang disalibkan adalah Yudas bukan Nabi Isa. Nabi Isa yang telah lepas dari tangkapan itu diangkat oleh Tuhan ke langit, dan kemudian pada akhir zaman akan turun ke bumi untuk mengislamkan orang-orang Nasrani yang menyembahnya. 2. Segolongan ulama‟ lain berpendapat bahwa terlepasnya Nabi Isa dari peristiwa penyaliban adalah ketika dia dibawa dari istana Pilatus menuju Golgota. Ditengah jalan ketika Nabi Isa memikul salibnya dia ditukar dengan orang lain yang bernama Simon Kirene. Simon inilah yang kemudian mati disalib sedang Nabi Isa diangkat Tuhan ke langit. 3. Pendapat lain yang banyak sesuai dengan ulama-ulama tafsir modern, mereka berpendapat bahwa Nabi Isa memang benar telah ditangkap di taman Getsemani dan dibawa ke istana Pilatus dan juga langsung dibawa ke bukit Golgota dan disalibkan, disana penyaliban ini digagalkan oleh Tuhan, artinya disalib namun tidak sampai mati. Menurut pendapat golongan ini Nabi Isa diserupakan saja kepada mereka (orang-orang Yahudi) seakan-akan Isa sudah mati. Padahal hanya pingsan saja. Kemudian Isa dikuburkan di dalam pemakaman Yusuf Arimatea oleh Yusuf sendiri ditemani oleh Nikodemus.60 Sejarah juga mencatat bahwa setelah sadar dari pingsannya Isa keluar dari pekuburan dan setelah 40 hari diperintahkan Tuhan meninggalkan wilayah Palestina dan mengembara, seterusnya ke tempat lain (al-Masih artinya pengembara). Tugas kerasulannya kepada Israel telah dicabut Tuhan sesuai dengan do‟a permintaannya sendiri sewaktu hapir tertangkap di taman Getsemani. 60 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 46 89 Diduga Isa mengembara ke sebelah Timur. Menurut ulama‟-ulama‟ Ahmadiah, Isa berdiam di Kasymir hingga meninggal di sana pada umur yang tua sebagai seorang yang saleh.61 Demikianlah beberapa ayat al-Qur‟an yang bercerita tentang Isa. Hal lain yang juga dikomentari al-Qur‟an berkenaan dengan ajaran Kristen adalah tentang Trinitas. Bakry mengatakan bahwa terbentuknya konsep Trinitas merupakan hal yang tidak masuk akal, dan semata-mata berdasar perumusan diluar wahyu Ilahi dari manusia-manusia biasa, namun seorang ulama (patres) besar gereja bernama Agustinus (354-430) pernah berusaha menambah keyakinan umat Nasrani dengan sistim memberi makna pada ketiga oknum Trinitas itu. Tuhan Bapa dianggap bersifat “Ingatan”, Tuhan Anak bersifat “Kecerdasan (Intellegensi)” sedang Roh Suci bersifat “Keinginan”. Alasannya: Ingatan adalah sumber idea-idea (citacita) sedang intellegensia sumber pengetahuan dan keinginan sumber cinta.62 Hal ini terjadi pula pada ulama-ulama Nasrani di zaman sekarang yang menamsilkan Trinitas itu dengan matahari yang terbagi tiga sifat, yaitu matahari, terangnya dan panasnya. Padahal kalau mau menguraikan attribute matahari bukanlah dua itu saja tetapi ada banyak lagi seperti warnanya, bulatnya, besarnya, beratnya, dll. Ringkasnya sungguh nyata untuk membuktikan Trinitas ulama-ulama Nasrani hanya membikin tamsil yang dibuat-buat dengan penguraian atribut yang terbatas tiga. Padahal dalam ilmu bahasa atau klasifikasi-quantitatif, selain satu berarti jama‟ (plural). Jadi tiga berarti jama‟ tidak bisa disamakan dengan satu. 61 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 47 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 83 62 90 Dengan demikian Trinitas berarti polytheisme bukanlah monotheisme. Sifat enigheid (keseragaman) atau eenheid (kesatuan) dari Trinitas dalam tiga unsur tidak lain terkecuali harus diartikan sebagai keseragaman dan kesatuan yang monistis-pantheistis seperti yang diajarkan oleh madzhab Stoa, madzhab Neoplatonisme, filosof Spinoza, dan lain-lain seperti aliran Pantheisme, tak dapat diartikan sebagai monotheisme absolut seperti yang ada pada Taurat Musa dan pada agama Islam.63 63 Bakry, Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible, h. 84 BAB V KESIMPULAN Ada empat point yang menjadi perbedaan pandangan antara yang diyakini oleh gereja mainstream dan yang diungkapkan Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code. Pertama tentang Sejarah Gereja, kedua tentang Kanonisasi Alkitab, ketiga tentang Polemik Ketuhanan Yesus dan keempat tentang Perjamuan Terakhir. Dalam pandangan gereja Mainstream, sejarah gereja berawal pada hari pentakosta, dimana gereja dimaksudkan sebagai jemaat-jemaat yang berkumpul untuk tujuan pembelajaran hukum Taurat dan juga untuk tujuan keagamann lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, arti gereja berubah menjadi sebuah institusi yang dipimpin oleh para rasul dan diteruskan oleh para Uskup yang mempunyai wewenang sebagai pemegang hukum tertinggi. Tentang keilahian Yesus gereja mainstream meyakini bahwa Yesus adalah satu pribadi dalam dua kodrat, yaitu ilahi dan manusiawi. Hal ini sudah diimani sejak peristiwa penyaliban Yesus, namun karena perbedaan pandangan dari berbagai kalangan, diadakanlah empat kali konsili dari tahun 325 M sampai tahun 451 M untuk melerai polemik keilahian Yesus. Kemudian tentang kanonisasi Alkitab. Gereja mainstream menjelaskan bahwa Alkitab merupakan bagian dari firman Tuhan. Dalam penulisannya menjadi sebuah kanon Alkitab melalui proses yang rumit dan kompleks. Seperti contoh Perjanjian Lama yang baru berbentuk kanon sejak periode Persia, dan 91 92 Perjanjian Baru yang mulai ditulis pada periode ke-2 dari generasi Yesus, yang pada akhirnya diterima secara resmi sebagai kanon pada abad ke-4, yaitu 27 kitab dari Perjanjian Baru diakui sebagai kebenaran. Pembahasan selanjutnya adalah tentang perjamuan terakhir. Menurut gereja Mainstream Perjamuan Terakhir merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi umat Kristen, dimana peristiwa tersebut dijadikan dasar dari sakramen ekaristi. Perjamuan Terakhir adalah jamuan malam antara Yesus dan ke-12 muridnya, pada malam tersebut Yesus beserta murid-muridnya melakukan ritual minum anggur dan pengajaran Taurat. Di sana Yesus ditemani Yohanes, murid kesayangan yang duduk di kanannya. Pada peristiwa itulah Yesus menunjuk salah satu muridnya, yaitu Petrus, untuk melanjutkan kepemimpinan gereja. Hal terpenting dari perjamuan terakhir adalah mengenai cawan suci. Cawan suci bagi gereja Mainstream hanyalah sebuah cawan berbentuk piala yang dijadikan Yesus dan murid-muridnya untuk minum anggur, sekaligus yang digunakan oleh Yusuf untuk mewadahi darah Yesus ketika disalib. Dan Brown menampilkan wacana yang berbeda dengan pandangan gereja Mainstream. Hal pertama yang disoroti Dan Brown adalah tentang sejarah gereja, dimana gereja menurut Brown merupakan lembaga yang telah mengubah sejarah Kristen dan menutupi kebenaran sejarah selama lebih dari 2000 tahun, diantaranya adalah tentang pribadi Yesus. Ia menyangkal pandangan gereja mainstream yang mengungkapkan bahwa Yesus mempunyai pribadi keilahian. Menurutnya Yesus tidak lain hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai keturunan dari hasil pernikannya dengan Maria Magdalena. 93 Selanjutnya adalah tentang Alkitab, menurut Brown Alkitab bukan firman Tuhan melainkan hasil karya dari lembaga gereja yang disusun bersama dengan kaisar Konstantin. Kemudian tentang polemik keilahian Yesus, Brown berpendapat bahwa keilahian Yesus merupakan hasil voting para uskup pada Konsili Nicea tahun 325 M. Hal lain yang diungkapkan Brown adalah tentang Perjamuan Terakhir, ia menjelaskan bahwa peristiwa Perjamuan terakhir menyimpan begitu banyak misteri didalamnya, diantaranya adalah tentang cawan suci (holy grail), menurut Brown cawan suci adalah Maria Magdalena, seorang perempuan yang merupakan murid sekaligus istri Yesus. Magdalena adalah murid terkasih Yesus, yang duduk di kanannya ketika malam Perjamuan terakhir, bukan Yohanes. Magdalena juga lah yang ditunjuk Yesus untuk meneruskan kepemimpinan gereja, bukan Petrus. Akibat wacana yang dihadirkan Brown dalam novel tersebut, memunculkan respon dari beberapa tokoh Kristen dan Katolik. Pertama adalah tentang sejarah gereja, citra buruk gereja yang dilontarkan oleh Brown bahwa gereja adalah lembaga yang merumuskan keilahian Yesus dan juga dalang dibalik pengumpulan Alkitab adalah salah. Karena gereja sebagai lembaga didalamnya terkumpul jemaat-jemaat yang dipenuhi roh kudus. Jadi segala keputusan yang datang dari padanya adalah atas kehendak Tuhan. Kedua tentang Alkitab, Kanonisasi Alkitab terjadi 150 tahun sebelum pemerintahan Kostantin. Adalah salah apabila Brown meyebutkan bahwa Alkitab disusun demi kepentingan politik kaisar Konstantin pada abad ke 4. karena pada abad ke 4 gereja hanya menerbitkan Alkitab sebagai suatu kebenaran. Baik tokoh 94 Kristen maupun Katolik sepakat bahwa Alkitab tidak di fax dari surga, melainkan ditulis oleh manusia sebagai catatan historis. Ketiga tetang polemik ketuhanan Yesus, respon tokoh Kristen dan Katolik mengatakan bahwa memang benar rumusan Trinitas terbentuk pada Konsili Nicea, namun tentang keilahian Yesus berdasarkan voting para uskup adalah salah. Tujuan diadakannya Konsili Nicea tidak lain hanyalah untuk mendamaikan perdebatan panjang antara Arius dan seluruh kekristenan. Pada konsili ini semua pihak kecuali pihak Arius sepakat bahwa Yesus memiliki kodrat Ilahi. Jumlah suara yang diperoleh adalah 316:2, hal ini tidak dapat disebut sebagai hasil voting. Keempat tentang Perjamuan Terakhir, yang menjadi kontroversi salah satunya adalah Cawan Suci. Dalam hal ini, tokoh Kristen dan Katolik sependapat dengan pandangan gereja Mainstream, yang mengatakan cawan suci hanyalah sebuah cawan berbentuk piala yang digunakan Yesus untuk minum anggur pada malam perjamuan terakhir, dan juga digunakan untuk mewadahi darah Yesus ketika disalib. Cawan tersebut sekarang ini tersimpan di dalam kapel Katedral Valencia di Spanyol. Selanjutnya perdebatan tentang siapakah yang duduk di kanan Yesus, menurut para pengkritik adalah Yohanes, bukan Maria Magdalena. Karena Yohanes merupakan seorang murid termuda diantara murid-murid lainnya, maka dalam lukisan The Last Supper ia digambarkan dengan rambut panjang dan tanpa janggut. Berdasarkan analisa penulis, perbedaan pandangan terhadap Yesus adalah suatu hal yang wajar, karena paradigma yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Kita bisa menyebutnya Yesus atau Isa. Kita juga 95 bisa saja menggelarinya Messiah, Kristus atau al-Masih. Bahkan kita bebas untuk mempercayainya diangkat ke langit maupun disalib. Hal yang demikian adalah tergantung persepsi kita masing-masing. Yang menjadi point pentingnya adalah bahwa putra Maryam ini, seorang yang sangat luar biasa dan istimewa. Ia merupakan seorang yang diagungkan oleh dua agama besar, Kristen dan Islam. Yesus/Isa adalah muara cinta yang oleh agama Kristen maupun Islam dipandang berdasarkan arah yang berbeda. Sebagai al-Masih ia mampu menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta dan penyakit kusta. Dan sebagai Kristus ia diyakini sebagai roh Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Daftar Buku: Bakry, Hasbullah. Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible. Jakarta: Firdaus, 1959. Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta: Gunung Mulia, 2012. Brown, Dan. The Da Vinci Code. Penerjemah Ingrid Dwijani Nimpoeno. Yogyakarta: Bentang, 2014. Coote, Robert B. dan Marry P. Coote. Power, Politics, and the Making of the Bible. terjemahan oleh Minda Perangin-angin. Jakarta: Gunung Mulia, 2012. Drane, John. Introducing the New Testament, penerjemah oleh P. G. Katoppo. Jakarta: Gunung Mulia, 2012. Garlow, James L. dan Peter Jones, Cracking Da Vinci’s Code. Penerjemah Lily Endang Joeliani. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005. George M. S. “Kontroversi The Da Vinci Code,” Matabaca: Jendela Dunia Pustaka IV, no. 10. Juni 2006. Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kasinius, 1996. Herdiansyah, Haris. Metodologi Humanika, cet. 2012. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba H. Berkhof dan I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: Gunung Mulia, 2012. J.B. Hixson. The Da Vinci Code Phenomenon: A Brief Overview and Response. jurnal of the Grace Evangelical Society, 2004. Lohse, Bernhard. Pengantar sejarah dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai Masa Kini. PenerjemahA. A. Yewangoe. Jakarta: Gunung Mulia, 2011. Kellemeier, Steven. Fact and Fiction in The Da Vinci Code. Penerjemah Dewi Minangsari. T. Tp.: Optima Pers, 2005. Khalidi, Tarif. The Muslim Jesus: Saying and Stories In Islamic Literature. Penerjemah Iyoh S. Muniroh dan Qomaruddin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003. 96 Leege, David C. dan Lyman A. Kellstedt. Rediscovering the Religious Factor in American Politics, Penerjemah Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Lunn, Martin. Da Vinci Code Decoded. Penerjemah Isma B. Koesalamawardi. Jakarta: Ufuk Press, 2005. Marty, Martin E. “Agama di Amerika,” dalam Luther S. Luedtke, ed., Making America: The Society and Culture of the United States. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994: h. 189 - 212 Olson, Carl E. dan Sandra Miesel. The Da Vinci Hoax. Penerjemah Endyahswarawati Y. Malang: Dioma, 2005. Pujianti, Fariska. “Dekonstruksi Dominasi Laki-Laki dalam Novel The Da Vinci Code Karya Dan Brown.” Tesis S2, Program Pascasarjana Magister Ilmu Susastra, Universitas Diponegoro Semarang, 2010 Retnowati. Perempuan-perempuan dalam Alkitab: Peran, Partisipasi, dan Perjuangannya. Jakarta: Gunung Mulia, 2008. Robert M. Grant dan David Tracy. A short history of the interpretation of the Bible. terjemahan oleh Agustinus Maleakhi. Jakarta, Gunung Mulia, 2000. Shadr, Ridha. al-Masih fi al-Qur’an. Penerjemah Syekh al-Hamid. Jakarta: Citra, 2006. Tim Penulis Obor. Opus Dei dan Da Vinci Code. Jakarta: Obor, 2006. Urban, Linwood. A Short History of Christian thought. terjemahan oleh Liem Sien Kie. Jakarta: Gunung Mulia, 2009. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Referensi Internet: “Decotisme” Diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://sttinti.ac.id/renungan4/90inkarnasi.html “Freedom of Speech” diakses pada 08 http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_berbicara Juni 2015 dari Haskin, Richard W. “Kanonisasi Perjanjian Baru” diakses pada 17 Mei 2015 dari http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=14 9&Itemid=131 97 “Kanon Alkitab” diakses pada 08 September http://www.sarapanpagi.org/kanon-alkitab-vt142.html 2015 “Kanonisasi Perjanjian Baru”, diakses pada 17 Mei 2015 http://www.sarapanpagi.org/40-kanonisasi-perjanjian-baru-vt679.html dari dari Kasim, Miranti Andi “Mengkaji Representasi Nilai-Nilai Religius Pengarang dalam Novel The Da Vinci Code”, Artikel Universitas Indonesia. Diakses pada 17 November 2014 dari http://abbah.yolasite.com/resources/KAJIAN%20TERHADAP%20NOVEL %20DA%20VINCI%20CODE.pdf “Papirus” Diakses pada 08 https://id.m.wikipedia.org/wiki/papirus Agustus 2015 dari “Sakramen Ekaristi” artikel dalam media Iman Katolik: Media Informasi dan Sarana Katekese, diakses pada 29 Mei 2015 dari http://www.imankatolik.or.id/sakramenekaristi.html. Steven E. Liauw. “Rangkuman Buku Da Vinci’s Code” diakses pada 10 Maret 2015 dari http://www.in-christ.net/artikel/literatur/rangkuman_buku_da_vinci_s_code Steve Kellmeyer. “Catholic Author and Speaker” di akses pada 20 Juni 2015 dari http://stevekellmeyer.com/Biography.html 98