Sekilas Isu Akses Informasi pada SJSN Kesehatan 1. Sekilas

advertisement
Sekilas Isu Akses Informasi pada SJSN Kesehatan
1. Sekilas tentang SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Program ini akan diselenggarakan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan penyatuan dari beberapa BUMN
yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri. Dalam
penyelenggaraannya, BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam APBN 2013, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN,
antara lain berupa penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas Puskemas dan rumah sakit
milik Pemerintah. Selain itu, Pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan kesadaran
masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi, edukasi dan advokasi
kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS.
Mulai 2014, Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang
disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan mereka dalam
program ini. Dengan berbagai kebijakan tersebut, alokasi belanja negara akan meningkat secara
signifikan.
Mulai 2014, BPJS Kesehatan akan mengelola jaminan kesehatan yang akan memberikan kepastian
jaminan kesehatan bagi setiap rakyat Indonesia. Jaminan ini diberikan dalam bentuk pelayanan
kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pengobatan dan pemulihan, termasuk obat dan bahan medis dengan teknik layanan
terkendali mutu dan biaya (managed care). Program jaminan kesehatan digelar berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
kebutuhan medis yang tak terkait dengan besaran iuran yang dibayarkan. Besar iuran ditetapkan
sebagai prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah akan
membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin).
Sementara, program jaminan ketenagakerjaan nasional digelar paling lambat mulai pertengahan
2015 oleh BPJS Ketenagakerjaan. Program ini meliputi empat jaminan, yaitu (a) kecelakaan kerja,
(b) hari tua, (c) pensiun, dan (d) kematian.
Program Akses Informasi Berbasis Komunitas (ASIK) MediaLink berupaya membidik isu
keterbukaan informasi yang berkaitan dengan SJSN Kesehatan.
2. Jaminan Akses Informasi
Secara normatif, jaminan akses informasi dicantumkan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan SJSN, yakni Undang Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN) dan Undang Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS).
UU SJSN menyebutkan pada Pasal 15 ayat 2 bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib
memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang
berlaku.” Ini artinya badan publik BPJS wajib secara proaktif memberikan informasi kepada peserta
segala hal terkait hak dan kewajiban. Klausul ini menegaskan bahwa tanpa diminta pun, badan
publik BPJS harus menyediakan informasi tersebut.
Di sisi lain, peserta memiliki jaminan hak memperoleh informasi. Pasal 16 UU SJSN menyebut
“Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan
sosial yang diikuti.” Ini artinya, selain badan publik harus secara proaktif menyediakan informasi,
peserta juga punya hak untuk meminta informasi kepada badan publik BPJS kapan saja, terkait
pelaksanaan program jaminan sosial tersebut.
Selain itu, Pasal 49 UU SJSN merinci jenis informasi yang wajib disediakan BPJS, khususnya BPJS
Ketenagakerjaan. Simak ayat 3, “Peserta berhak setiap saat memperoleh infromasi tentang
akumulasi iuran dan hasil pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian,” dan ayat 4, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib
memberikan informasi akumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta
jaminan hari tua sekurang-kurangnya sekali alam satu tahun.”
Senada dengan UU SJSN, UU BPJS kembali mempertegas kewajiban badan publik BPJS untuk secara
proaktif menyediakan informasi. Simak Pasal 10g: “BPJS memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat.” Lebih dari itu, dalam
menyediakan informasi, BPJS diwajibkan untuk mempublikasikannya melalui media massa. Ini
tampak jelas pada Pasal 13c: “BPJS wajib memberikan informasi melalui media massa cetak dan
elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya.”
Terkait peserta, UU BPJS mewajibkan badan publik memberikan informasi mengenai “hak dan
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku” (Pasal 13e), “prosedur untuk mendapatkan
hak dan memenuhi kewajibannya” (Pasal 13f), “saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun” (Pasal 13g) dan “besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun” (Pasal 13h). Secara normatif, jenis-jenis informasi ini harus disediakan BPJS tanpa diminta
peserta. Secara otomatis harus disediakan.
3. Badan-Badan Publik
Badan-badan publik yang terkait dengan SJSN ini meliputi:
• Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
• Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
• Badan-badan publik terkait pelayanan kesehatan, sosial dan ketenagakerjaan.
4. Selintas Isu Akses Informasi
Kepesertaan. SJSN menganut sistem asuransi sosial, yakni suatu mekanisme pengumpulan dana
yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial
ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Berdasarkan mekanisme tersebut,
peserta SJSN Kesehatan terbagi dalam kategori (1) penerima bantuan iuran (PBI) dan (2) non-PBI.
Yang dimaksud dengan PBI adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta non-PBI mencakup
pegawai negeri sipil, pekerja formal, pekerja informal dan nonpekerja (individual). Besaran iuran
PBI dibayarkan oleh pemerintah. Sementara, besaran iuran pekerja formal (PNS atau swasta)
didasarkan pada presentasi tertentu dari total gaji. Sedangkan iuran pekerja informal dan
nonpekerja didasarkan pada jumlah nominal per individu.
Apakah berarti pada 2014 seluruh penduduk Indonesia otomatis masuk sebagai peserta SJSN?
Menurut dokumen Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, situasi kepesertaan pada
2012-2013 memperlihatkan penduduk yang dijamin di berbagai skema 148,2 juta jiwa, yang
berarti terdapat sejumlah 90,4 juta belum jadi peserta. Berbagai skema itu adalah JPK Jamsostek,
Jamkesmas, Askes PNS, TNI/POLRI, dan PJKMU. Pada 2014, BPJS Kesehatan akan mengelola 121, 6
juta peserta yang didalamnya termasuk 96 juta Peserta Iuran (PBI). Sedangkan 50,07 juta peserta
dikelola oleh badan lain. Pada 2014 ini, masih ada 73,8 juta penduduk yang belum menjadi peserta.
Dari potret kepesertaan semacam itu, muncul sejumlah potensi masalah akses informasi:
• Bagaimana pendataan peserta PBI dilakukan? Atas dasar kriteria apa? Pendataan yang
dilakukan tidak secara terbuka, berpotensi menghilangkan hak kaum miskin untuk
mengakses jaminan kesehatan.
• Bagaimana dengan penduduk yang belum memiliki KTP? Banyak warga di kawasan lumpur
Lapindo tidak dapat memperoleh KTP baru lantaran masalah kemenetapan domisili dan
ketidakmenenentuan kebijakan mengenai status administratif desa-desa yang terendam
lumpur. Bagaimana kepesertaan mereka diakomodasi? Sejauhmana mekanisme
kepesertaan “kondisi khusus” ini dibuka kepada publik?
• Bagaimana pendanaan PBI dijalankan secara akuntabel? Pendanaan PBI melibatkan
APBN/APBD yang besar. Potensi negara menutupi informasi pengelolaan dana muncul
sebagai cara menghindari problem kepesertaan. Alasan kepesertaan terbatas karena
keterbatasan anggaran patut diperhatikan.
Pelayanan dan tarif. Akses peserta terhadap layanan kerap terbentur oleh kebuntuan informasi.
Ketika informasi mengenai pelayanan dan tarif (fasilitas kesehatan, jenis penanganan, jenis obat,
dll) tidak disampaikan secara lengkap dan disebarkan hingga ke level paling bawah, peserta tidak
dapat mengetahui jenis pelayanan semacam apa yang menjadi haknya. Di luar itu, ketika informasi
mengenai kapasitas pelayanan tidak disampaikan terbuka, peserta akan mudah dilempar ke sana
sini, hingg buntutnya kesulitan mengakses jaminan kesehatan seutuhnya. Potensi kekacauan
informasi itu penting diperhatikan.
Download