THE HABIBIE CENTER & HANNS SEIDEL FOUNDATION KAJIAN KEBIJAKAN Kata Pengantar Pemerintah Indonesia telah mencanangkan sebuah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui pelayanan jaminan sosial kepada seluruh lapisan masyarakat bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang rencananya akan diluncurkan pada 1 Januari 2014. Berbagai persiapan telah dilakukan termasuk interkoneksi antara penyedia jasa asuransi sebelumnya, persyaratan hukum, anggaran dan pendidikan publik. Namun demikian, masih dijumpai berbagai kendala dan tantangan dalam upaya perwujudannya. The Habibie Center bekerjasama dengan Hanns Seidel Foundation memberikan sumbangsih melalui kajian kebijakan “Menggapai Kesejahteraan Bersama Melalui SJSN: Bisakah dengan Payung Robek?” yang disusun oleh para pakar di bidang ekonomi dan jaminan sosial di Indonesia. Policy Paper ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait seperti pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, praktisi di bidang jaminan sosial dan masyarakat pada umumnya sehingga SJSN bisa terlaksana sesuai jadwal dan kendala yang ada bisa diatasi. Rahimah Abdulrahim Direktur Eksekutif The Habibie Center TIM PENYUSUN : Zamroni Salim, PhD (Koord.) The Habibie Center and The Indonesian Institute of Sciences Drs. Odang Muchtar, MBA., AAAIJ., QIP. Institut Jaminan Sosial Indonesia (IJSI) Teguh Dartanto, PhD Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), FE Universitas Indonesia Ir. Heru Susmono, AAK, AAAIJ Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan & Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) MENGGAPAI KESEJAHTERAAN BERSAMA MELALUI SJSN: BISAKAH DENGAN PAYUNG ROBEK? 21 Oktober 2013 I. PENDAHULUAN Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ditetapkan berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sedangkan penyelenggaraannya diatur dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Program jaminan sosial yang diatur dalam SJSN berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Sesuai dengan rencana pemerintah, SJSN pada bidang kesehatan akan mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2014. Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan langkah yang baik dalam menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan UU SJSN Tahun 2004 Pasal 1, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dengan jaminan sosial tersebut masyarakat Indonesia diharapkan dapat memperoleh jaminan hidup yang lebih layak. Dalam hal ini, SJSN lebih diarahkan pada pemenuhan kesejahteraan dalam bentuk jaminan sosial, bukan subsidi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Masih ada sesuatu yang mengganjal, yang bisa dikatakan sebagai “Payung Robek” dalam pelaksanaan SJSN terutama menyangkut prinsip dasar UU SJSN. Prinsip dasar gotong royong lebih dikesampingkan dengan lebih menonjokan aspek subsidi kepada mereka yang tidak mampu. Sesuai dengan amanat UU SJSN, paper ini membahas berbagai permasalahan tidak hanya menyangkut masalah jaminan kesehatan tetapi juga jaminan sosial lainnya. II. PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN SJSN Permasalahan efisiensi dan biaya integrasi pelayanan dalam wadah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Permasalahan integrasi administrasi kepesertaan ini menjadi strategis dengan adanya Pasal 1 (8) dan 13 UU No. 40 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hak manfaat SJSN diperoleh setelah penduduk mendaftarkan kepesertaan dan membayar iuran. Terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan SJSN yang diupayakan untuk diatasi melalui berbagai alternatif solusi kebijakan. Permasalahan-permasalahan yang sedang dikaji, antara lain mengenai jumlah penerimaan iuran JKN yang ditahap awal justru sebagian besar bersumber dari APBN, koordinasi pelayanan, dan Dana Jaminan Sosial dari Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun. Selain itu, juga mengkaji peran SJSN yang berpotensi untuk berperan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional, perluasan kepesertaan pada sektor informal, serta moral hazard. Ambiguitas dalam definisi fakir miskin serta orang yang tidak mampu juga akan menimbulkan permasalahan tersendiri, begitu juga permasalahan teknis menyangkut ketersediaan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan Puskesmas, koordinasi penyediaan jasa layanan kesehatan oleh pihak pemerintah dan swasta, permasalahan pembiayaan universal coverage of health insurance (UCHI), dan peranan pemerintah daerah dalam merealisasikan program ini. Permasalahan lain yang juga akan muncul dalam pelaksanaan SJSN adalah proses pemutakhiran data penduduk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang terlalu rumit dan kurang efisien sehingga mengurangi keakuratan data yang digunakan sebagai basis penentuan PBI; serta kepedulian, kepatuhan dan penegakan hukum. Dalam kaitannya dengan APBN, pemerintah hendaknya tidak hanya melihat pelaksanaan SJSN dari sisi pengeluaran negara, namun juga harus melihat bahwa pelaksanaan SJSN merupakan sumber alternatif pemupukan dana jangka panjang (pembangunan). Sebagai asuransi sosial, maka kewajiban pembayaran iuran menjadi suatu kewajiban bagi pesertanya. Akumulasi iuran anggota dan hasil pengembangannya merupakan aset nasional yang harus dikelola dengan baik untuk turut serta menciptakan lapangan kerja. Jumlah potensi pembayaran iuran yang akan dikumpulkan relatif sangat besar, yaitu Rp. 11,4 ribu trilyun dalam kurun waktu 30 tahun. 2. Integrasi Pelayanan jaminan Sosial Semangat UU SJSN adalah menuju pelayanan jaminan asuransi sosial yang dilakukan oleh satu lembaga tunggal, namun tentu saja hal itu tidak bisa dilakukan sekaligus mengingat perbedaan cakupan pelayanan antara jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Namun demikian, keberadaan empat badan hukum yang dominan (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan ASABRI) masih menjadi kendala tersendiri bagi proses koordinasi dan integrasi. PT Askes (Persero) diamanatkan untuk menjadi BPJS Kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi PT Jamsostek (Persero). Berbeda dengan kasus BPJS Ketenagakerjaan yang akan diintegrasikan dengan PT Taspen dan ASABRI, penyelenggaraan BPJS Kesehatan relatif lebih sederhana karena hanya melibatkan satu perusahaan, yaitu PT Askes sendiri. Hal ini akan memudahkan BPJS Kesehatan dalam melakukan proses penyiapan operasional termasuk pengalihan aset, liabilitas hak dan kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengalihan tugas pelayanan kesehatan yang sebelumnya berada di bawah tanggung jawab PT Jamsostek, dan lembaga kementerian lainnya seperti Kementerian Kesehatan, POLRI dan TNI. III. ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN 1. Jaminan Sosial Beban yang ditanggung oleh APBN dalam rangka pelaksanaan SJSN adalah berupa pembayaran untuk iuran PBI yang diberikan kepada mereka yang “dinyatakan” miskin. Dalam UU SJSN, istilah “fakir miskin dan orang tidak mampu” pada Pasal 14 merujuk pada definisi fakir miskin pada UUD 1945 Pasal 34. Iuran JKN yang dikelola BPJS Kesehatan untuk orang miskin yang akan dibayarkan oleh Menteri Keuangan adalah sebesar Rp. 19.225 per orang per bulan (saat ini menunggu Perpres). Dalam nilai total/agregat total dana yang harus dialokasikan oleh APBN 2014 adalah sebesar Rp. 19,9 triliun1. Uang APBN tersebut merupakan iuran yang akan dibayarkan oleh negara untuk 86,4 juta jiwa2 yang ditetapkan ke dalam kategori miskin. Mereka yang menerima bantuan iuran tersebut adalah mereka yang tidak mampu dan terdaftar sebagai PBI. Angka ini lebih rendah dari besaran yang telah disetujui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) sebelumnya yakni sebesar Rp 22.200 per orang per bulan.3 Dalam pelaksanaan awal 2014 nanti, keberadaan BPJS secara rill belum ada, karena untuk BPJS Ketenagakerjaan hanyalah merupakan manifestasi lanjutan dari PT Jamsostek (Persero), dengan pengurangan pada layanan kesehatan yang harus dilimpahkan kepada BPJS Kesehatan (PT ASKES). BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan pelayanan kepada publik untuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mengamanatkan bahwa seluruh pekerja, baik yang dalam hubungan kerja. Namun, pelaksanaan pemberian jaminan sosial ini bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja belum dilakukan pemerintah sampai dikeluarkannya UU SJSN. Dari besarnya angka Rp. 19.9 triliun yang harus dibayar oleh pemerintah melalui APBN tahun 2014 tersebut, sebenarnya pengeluaran tersebut bukan pengeluaran baru secara total, tetapi sebagian merupakan pengalihan dana Jamkesmas yang untuk tahun 2013 bernilai Rp. 8.29 triliun.4 1 Anggaran Kesehatan Mendekati 3,7 Persen dari APBN, Antara News, Rabu, 10 Juli 2013, http://www.antaranews.com/berita/384663/ anggaran-kesehatan-mendekati-37-persen-dari-apbn 2 Berdasarkan Data PPLS 2011 yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 3 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), sebelumnya, mengusulkan jumlahiuran yang akan dibayarkan oleh pemerintah melalui dana APBN adalah sebesar Rp. 22.200 per orang per bulan (Heryanto Sijabat, 2013). Sementara itu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan bahwa besarnya iuran yang dibutuhkan untuk PBI adalah Rp 27.000,- per orang per bulan. 4 VHRMedia.com (2013). Dengan berjalannya BPJS seperti yang tertulis pada UU SJSN, pengalihan layanan kesehatan yang sebelumnya ditangani oleh PT Jamsostek harus diserahkan kepada PT ASKES sebagai BPJS Kesehatan. Pengalihan ini tentu saja tidak hanya dalam hal pelayanan saja, tetapi juga masalah hak dan kewajiban program jaminan kesehatan, serta pengalihan aset dan liabilitas usaha dari beberapa perusahaan sebelumnya. 2 Dari segi efisiensi pelayanan kepada masyarakat, keberadaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan secara terpisah juga dapat menimbulkan masalah terutama bagi peserta. Pemisahan ini akan mengurangi efisiensi dan efektifitas pelayanan karena peserta jaminan sosial harus berurusan dengan dua penyelenggara untuk mengurus kewajiban yang sama dalam hal pendaftaran, administrasi data individu, membayar iuran serta terkait kepesertaan lainnya. Jaminan sosial yang dikelola oleh negara cukup diselenggarakan oleh satu kesatuan kegiatan dengan adanya dukungan fiskal melalui dana dari APBN untuk persiapan SJSN sebesar Rp 3,8 trilyun (Suara Pembaruan, 6 Maret 2013). dengan sendirinya. Permasalahan akan timbul saat ratusan ribu perusahaan harus melakukan mekanisme kewajiban yang sama kepada dua BPJS. Kewajiban tersebut adalah pendaftaran yang terkait dengan mutasi dan kepesertaan yang terkait dengan pembayaran iuran. Untuk itu, integrasi data base kepesertaan antara kedua penyelenggara dengan menggunakan identitas tunggal e-KTP dapat menjadi suatu solusi. 3. Jalan Mendaki Kepesertaan UKM/UMKM Untuk melaksanakan SJSN, pemerintah memulai dengan kepesertaan 123 juta yang terdiri dari PBI yang sebelumnya merupakan peserta Jamkesmas sebanyak 86,4 juta orang, Askes Sosial sebanyak 16,4 juta orang, Jamsostek sebanyak 7 juta orang, peserta asuransi PNS Hankam, TNI dan POLRI sebanyak 2,3 juta orang. Sedangkan 11 juta peserta Jamkesda9 untuk sementara dilanjutkan di masing-masing daerah. Terkait dengan penyelenggaraan JKN dan program lainnya, perlu dikaji lebih lanjut mengenai UU SJSN Pasal 1 ayat 8 dan berikut penjelasannya yang mengamanatkan perihal perluasan cakupan kepesertaan. Selain itu, perlu juga diperhatikan dalam pelaksanaan UU SJSN dan UU Kesehatan mengamanatkan untuk menggerakkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Dengan demikian, perluasan kepesertaan harus difokuskan pada 120 juta angkatan kerja dengan pengelompokan berdasarkan sumber penghasilan dan hubungan kerja (lihat Gambar 1). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, jumlah orang yang masuk kategori miskin adalah 28,60 juta orang atau sekitar 11,66 persen (September 2012)5. Sementara itu, jumlah penduduk yang masuk kategori di bawah garis kemiskinan pada tahun 2011 adalah sebesar 30,02 juta orang atau sebesar 12,49 persen. Dengan demikian, terlihat bahwa ada penurunan jumlah penduduk yang masuk ke dalam kategori di bawah garis kemiskinan. Merujuk pada definisi dan cakupan jaminan sosial menurut UU-SJSN pembayar iuran (peserta) adalah penduduk yang memiliki pendapatan, sehingga anggota kelurganya merupakan “penerima manfaat“. Dalam pelaksanaannya PBI terdiri dari: pencari nafkah yang mungkin saja penganggur penuh, setengah menganggur, lansia, anak dan anggota keluarga lainnya. Dan bahkan patut diduga seseorang yang berupah 3 x Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat saja jatuh miskin saat divonis harus operasi jantung, akibat justru tidak patuh mendaftar dan membayar iuran saat sehat, atau bahkan pada kasus tertentu orang mampu usia kerja terdaftar di PBI. Box 1: Anggota Potensial Pada 1 Januari 2014 akan dimulai pelaksanaan 123 juta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan peserta yang terdiri: Pada tahun 2011, jumlah individu yang dianggap berhak menerima bantuan kesehatan miskin sebesar 86,4 juta jiwa6. Angka yang besar ini tentu saja akan menambah beban bagi keuangan negara yang tidak seharusnya. Walaupun pada tahun 2014 jumlah penduduk miskin diperkirakan akan menurun, jumlah penerima bantuan sosial berdasarkan jumlah individu yang miskin akan tetap membebani keuangan negara. Namun, penggunaan jumlah kepala keluarga sebagai penerima jaminan juga akan menimbulkan permasalahan sendiri. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 86,4 juta orang Penerima Bantuan Iuran (sebelumnya peserta Jamkesmas) 16,4 orang peserta Askes sosial 15,8 ribu anggota PNS Kementerian Pertahanan 1,1 juta anggota TNI-AD 220,9 ribu anggota TNI-AL 100,5 ribu anggota POLRI Dengan total penduduk Indonesia saat ini yang berkisar 251,9 juta jiwa, maka ada sekitar 128,9 juta penduduk dari berbagai sektor yang bekerja sebagai petani, nelayan, buruh pabrik, sektor informal yang belum tertanggung oleh jaminan. Sasaran manfaat SJSN (JKN) pada tahun 2019 adalah 260 juta7 penduduk Indonesia yang berkewajiban mendaftar, melakukan pembaharuan data kepesertaan dan membayar iuran. Pada tahap awal mekanisme ini mungkin relatif tidak sulit untuk dilaksanakan karena peserta Askes Sosial sebesar 16,4 juta jiwa8 akan terdaftar menjadi peserta JKN Sumber data: Presentasi Rakernas SJSN oleh Direktur Utama PT Askes dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012. 5 Menggunakan garis kemiskinan Rp. 259.520 per bulan. 6 Berdasarkan data PPLS yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2011. 7 Askes Targetkan Rangkul 121,4 Juta Peserta, Metro TV News, 11 April 2013, http://www.metrotvnews.com/metronews/read/ 2013/04/11/2/145752/Askes-Targetkan-Rangkul-121.4-Juta-Peserta 8 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Siap Diluncurkan 1 Januari 2014, Pikiran Rakyat, 6 September 2014, http://www.pikiran-rakyat.com/ node/249624 9 Data yang dipresentasikan oleh Direktur Utama PT ASKES pada Rakernas SJSN, 3 – 4 Juli 2013. 3 Gambar 1. Mapping Pembayaran Iuran Sumber: Odang Muchtar (2013). Disampaikan dalam Forum Perluasan Kepesertaan pada Sektor Informal, Yogyakarta, 1 Oktober 2013 Catatan: bukan angkatan kerja Keadaaan angkatan kerja di Indonesia10 : 1. Pekerja dalam hubungan kerja formal: Sekitar 42 - 46 juta orang bekerja di perusahaan berbadan hukum dan termasuk di dalamnya pekerja kontrak kerja waktu tertentu (KKWT) dan alih daya. 2. Pekerja di luar hubungan kerja atau informal: Sekitar 65- 75 juta orang. b. Untuk membangun kepedulian dan kepatuhan bagi 52 juta UKM dengan yang berpendapatan di atas Rp. 3 juta sebulan, diusulkan, perbaikan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan UKM. Dalam hubungan ini, pemerintah memberikan insentif kepada UKM yang patuh membayar pajak penghasilan dengan memberikan perlindungan JKN dan Jaminan Hari Tua. Sumber pembiayaanya adalah “konversi” dari biaya penyuluhan dan biaya pungut menjadi “kepesertaan JKN dan JHT” selama setahun. 3. Pengangguran penuh atau orang yang mencari pekerjaan: Sekitar 7 - 8 juta orang. UU SJSN menganut kepesertaan aktif yang artinya hak penduduk baru timbul setelah membayar iuran (Pasal 1 ayat 8, 9 dan penjelasan UU SJSN). Berdasarkan Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, JKN direncanakan untuk mencapai cakupan seluruh penduduk pada tahun 2019. Saat itu jumlah penduduk diperkirakan 257,5 juta orang.11 Catatan: Di kedua kelompok tersebut berbagai sumber menyebutkan sebagai “kelas menengah” dengan penghasilan ratarata Rp.1,5 juta sebulan dan diantaranya 42 juta dengan pendapatan diatas Rp. 3 juta sebulan (UMKM dan UKM). Mengingat kita belum berhasil membangun “kepedulian, kepatuhan dan penegakan hukum Jaminan Sosial”, maupun kepatuhan membayar pajak penghasilan (contoh; Peraturan pemerintah no. 46/2013) maka dibutuhkan suatu kebijakan yang strategis. Usulan yang dapat diajukan antara lain: Terdapat 2 (dua) permasalahan dengan rumusan kebijakan di atas, yaitu: a. Dalam revisi PP 12 tahun 2013 dicantumkan kewajiban perusahaan dan badan hukum yang melakukan sistem kerja alih daya (outsourcing) dan mempekerjakan tenaga kerja berdasarkan KKWT untuk melakukan pengecekan berkala atas kepesertaan SJSN di lingkungannya. Peraturan turunan SJSN demikian itu akan sangat membantu mengatasi kelemahan jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pertama, dengan asumsi jumlah iuran JKN ditahun 2014 sebesar 32 triliun rupiah, maka hampir 80 persen dari iuran JKN bersumber dari APBN (yaitu PBI dan sebagian iuran ex peserta ASKES).Sehingga dengan sumber iuran tersebut berarti pelaksanaan awal JKN belum memenuhi amanah UU SJSN yang dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa SJSN prinsip kegotong-royongan dan perluasan kepesertaan. Kedua 10 Berdasarkan data BPS 2012. 11 4 Peta Jalan Kesehatan Nasional 2012-2019, hal. 57. Gambar 2. PBI: Akurat? Sumber: Odang Muchtar (2013). Disampaikan dalam Forum Perluasan Kepesertaan pada Sektor Informal, Yogyakarta, 1 Oktober 2013 1. Membangun strategi social marketing mengenai reformasi jaminan sosial secara nasional. Peta Jalan SJSN yang telah dikeluarkan oleh pemerintah masih terbuka ruang inovasi agar menjadi bentuk social marketing yang lebih efektif, antara lain dikoordinasikan dengan kepedulian pajak UKM, dengan melibatkan seluas mungkin komponen masyarakat. amanah tersebut merupakan kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial dengan kewajiban setiap penduduk yang memiliki penghasilan mendaftar dan membayar iuran. Undang-Undang Kesehatan juga mengamanatkan mendorong peran serta masyarakat seluas mungkin. Kedua, sementara itu perluasan kepesertaan bagi 52,2 juta12 pekerja/buruh pada sektor informal dan UKM (baca: pekerja diluar hubungan kerja) akan sangat sulit untuk dicapai karena berbagai faktor seperti keengganan dan pemahaman untuk mengikuti program dan biasnya data dalam mendeteksi kelompok ini. Karakteristik usaha, pekerjaan dan sebaran kelompok ini akan menimbulkan biaya tinggi yang sulit dicapai dalam melaksanakan pendaftaran kepesertaan secara berkesinambungan. 2. Penguatan capacity building, khususnya dalam hal kepedulian, kepatuhan dan penegakan hukum terhadap pelaksana SJSN hingga tingkat terbawah di kabupaten/ kota, kecamatan, maupun kelurahan. Peran Pemerintah Daerah dari Gubernur sampai perangkat desa merupakan simpul strategis untuk pelaksanaan reformasi Jaminan Sosial. Oleh karena itu, perlu didorong kepedulian dan kepatuhan terhadap program serta penyederhanaan dari proses pendaftaran dan pemungutan iuran melalui koordinasi dan juga inovasi sistem. Misalnya, untuk pendaftaran dan kepesertaan bagi 52 juta pekerja informal dan UKM dapat melalui koordinasi terintegrasi dengan program pemungutan pajak UKM yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013. 4. Proyeksi Dana Jaminan Sosial serta Perannya dalam Mendukung Ekonomi secara Makro Untuk mengatasi penyimpangan dalam pelaksanaan UU SJSN, ada dua hal yang dapat dilakukan dan menjadi pertimbangan pemerintah, yaitu: 13 BPJS Ketenagakerjaan Jangan “Bunuh” Dana Pensiun; Senin, 22 April 2013, Berita Satu http://www.beritasatu.com/fokus/109366-bpjsketenagakerjaan-jangan-bunuh-dana-pensiun.html 14 Penarikan Dana Jamsostek Harus Melalui Mekanisme; Jumat, 4 Januari 2013, Suara Pembaruan http://www.suarapembaruan.com/ ekonomidanbisnis/penarikan-dana-dari-jamsostek-harus-melaluimekanisme/28724 12 Saat ini iuran program JHT Jamsostek berasal dari 5,7 persen13 upah pekerja dengan saldo dana hingga akhir Desember 2012 sebesar 131 trilyun rupiah14. Pada tahun 2015, besar iuran BPJS Ketenagakerjaan direncanakan sekitar 12 persen upah. Iuran tersebut terdiri dari 5.7% dana Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), 2012. 5 5. Moral Hazard Moral hazard yang dimaksudkan di sini adalah yang terkait tidak hanya dalam konteks perilaku yang cenderung tidak memperhatikan tingkat kesehatan (karena adanya asuransi), juga moral hazard yang timbul karena adanya perlakukan berbeda terhadap mereka yang masuk dalam dan tidak PBI. Dua jenis moral hazard ini turut membayangi pelaksanaan pemberian Jaminan Sosial Nasional di Indonesia. Box 2: Simulasi Solusi Sebagian nilai dari pajak yang dipungut kepada UKM akan dialokasikan sebagai iuran kepesertaan UKM tersebut pada program JKN sehingga individu dan keluarga pengusaha dan pekerja UKM dapat mendapatkan manfaat JKN. Berikut adalah simulasi solusi tersebut: 1. Pajak UKM 1 persen dari nilai penjualan. 2. Asumsikan tingkat keuntungan UKM 10 persen dari nilai penjualan. Dengan nilai 500 juta sampai dengan 4,8 milyar setahun, maka seorang pengusaha UKM memperoleh keuntungan sedikitnya 4 juta rupiah sebulan. 3. UKM yang sama membayar pajak penghasilan, antara 5 juta sampai dengan 48 juta rupiah setahun. 4. Dari nilai pajak tersebut, akan dikembalikan sebesar Rp.1.000.000,- sebagai iuran JKN pada tahun yang sama, sehingga pengusaha tersebut akan tercatat dan berhak memperoleh manfaat JKN. 5. Jumlah pengembalian untuk iuran kepesertaan JKN bagi UKM di tahap awal sama bagi setiap UKM yang patuh membayar pajak penghasilan walaupun dengan omzet yang berbeda. 6. Mekanisme sebagaimana digambarkan pada kasus di atas dapat sekaligus berperan sebagai alat kontrol penerimaan pajak dari UKM. Dengan demikian, sepanjang tahun pengusaha UKM akan mendapatkan manfaat dari JKN. 5.a Moral Hazard dan Jasa Layanan Kesehatan Sistem SJSN kesehatan yang bersifat full cover artinya peserta SJSN kesehatan dengan mendapatkan jasa layanan kesehatan gratis akan memiliki dua implikasi besar: moral hazard dan peningkatan permintaan jasa layanan. Sistem ini akan mendorong moral hazard dimana peserta SJSN kesehatan akan cendurung untuk tidak melakukan kegiatan preventif menjaga kesehatan karena ketika sakit maka semuanya akan ditanggung oleh BPJS kesehatan. Sistem SJSN kesehatan yang sangat kuratif tidak mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif. Selain itu, dengan sistem jaminan penuh pembayaran jasa layanan kesehatan, maka peserta SJSN kesehatan akan cenderung sering mengakses jasa layanan kesehatan karena tidak ada biaya yang akan timbul. Sehingga usaha-usaha self-healing untuk penyakitpenyakit ringan cenderung tidak dilakukan tetapi dibebankan ke fasilitas kesehatan. Sistem asuransi kesehatan di Jepang merupakan salah satu sistem UCHI yang mendorong usaha-usaha preventif dalam menjaga kesehatan karena semua peserta asuransi kesehatan akan tetap dikenakan 30% dari total jasa layanan kesehatan. Sistem Jepang akan mendorong orang untuk melakukan tindakan preventif dan juga self-healing (penyembuhan sendiri). JHT, dan 5% upah untuk program jaminan pensiun SJSN, disamping JKK dan Jaminan Kematian. Dengan dinaikkannya iuran menjadi 12 persen, maka akan menghasilkan deferred income yang besar dan akan mendukung penguatan fiskal15. Pada tahun 2035 akumulasi DJS berpotensi mencapai 11,6 ribu trilyun rupiah, di mana saat itu GDP Indonesia diperkirakan sebesar US$ 9.706 milyar dengan jumlah penduduk 319 juta jiwa. Sebagai pembanding, pada tahun 2010 dengan penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa, GDP yang dihasilkan adalah US$ 711 milyar16. Seperti halnya permasalahan dalam UU Jamsostek Tahun 1992, permasalahan yang akan muncul dalam realisasi Dana Jaminan Sosial adalah cakupan peserta dan kesinambungan dari pembayaran iuran. Selain itu, juga perlu diperhatikan mengenai strategi investasi yang diatur dalam turunan UU SJSN dan BPJS, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Investasi dimaksud pasal 47 - 51 UU SJSN. 5b. Moral Hazard dan PBI Sementara itu ada juga moral hazard yang terkait dengan adanya perlakuan pemerintah terhadap mereka yang masuk dalam daftar PBI dan orang miskin lain yang tidak masuk dalam PBI.17 Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan tidak jauh dari angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (2013 sebesar Rp.360.000,-). Kebanyakan dari mereka yang tidak masuk dalam PBI adalah petani dan pedagang kecil yang dalam asuransi sosial ini diharuskan untuk membayar iurannya sendiri. Dengan demikian, moral hazard yang terjadi adalah keinginan mereka yang non-PBI untuk menjadi PBI dengan berbagai cara, khususnya akan mendorong pemalsuan data PBI. 15 16 17 Moral Hazard yang lain adalah terkait dengan peningkatan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok (PTR), karena mereka berpandangan bahwa kesehatan mereka sudah ditanggung oleh negara. Sumber White Paper Kementrian Keuangan. Komite Ekonomi Nasional, 2011. 6 Gambar 3a. Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan: Rumah Sakit Sumber: Dartanto (2013) Lebih lanjut yang perlu diwaspadai dari moral hazard PBI ini, selain kemungkinan ketidakjujuran penyampaian data, juga efek samping yang diciptakannya yaitu ketidakpuasan masyarakat yang disebutnya sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang miskin, atau orang yang merasa miskin. Konflik sosial akan lebih sering terjadi bila tidak ditangani dengan penggunaan data PBI yang tepat dan terverifikasi dengan baik. Dua buah Gambar 3a dan 3b menunjukkan kondisi secara nasional akses rumah tangga terhadap jasa layanan rumah sakit dan Puskesmas selama kurun waktu 2005-2011. Secara rata-rata nasional, akses terhadap layanan rumah sakit milik pemerintah belum menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kondisi peningkatan akses rumah sakit di DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan akses terhadap Puskesmas mengalami kenaikan yang cukup besar secara rata-rata nasional. Implementasi SJSN kesehatan mulai 1 Januari 2014 dan secara gradual sampai dengan 2019 untuk mencapai UCHI, maka permasalahan utama yang akan timbul adalah ketersediaan fasilitas kesehatan untuk mendukung peningkatan permintaan terhadap jasa layanan kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus memberikan insentif bagi pemerintah daerah dalam bentuk tambahan alokasi DAK untuk pembangunan fasilitas kesehatan. 6. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan untuk Mendukung Universal Coverage of Health Insurance (UCHI) Implementasi UCHI akan mendorong kenaikan permintaan jasa layanan kesehatan bagi masyarakat karena mereka yang selama ini tidak memiliki akses jasa layanan kesehatan, akan memiliki akses terhadap jasa layanan kesehatan sehingga akan ada lonjakan permintaan fasilitas kesehatan. Sebagai salah satu contohnya adalah implementasi Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang meningkatkan permintaan masyarakat terhadap jasa layanan kesehatan melebihi dari ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada. 7. Penyediaan Jasa Layanan Kesehatan Bersinergi antara Swasta dan Pemerintah Penelitian yang dilakukan oleh LPEM FEUI bekerja sama dengan Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan dan JICA menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2005-2011, kepemilikan masyarakat terhadap kartu asuransi kesehatan dari pemerintah (Jamkesmas, Jamkesda, dll) di 3 provinsi (Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara) mengalami kenaikan yang sangat signifikan terutama kelompok 20% termiskin. Kepemilikan kartu jaminan kesehatan oleh 20% penduduk termiskin di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mengalami kenaikan dari sekitar 10% di tahun 2005 menjadi 40-60% di tahun 2011. Kenaikan kepemilikan kartu asuransi kesehatan ini mendorong kenaikan terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan baik rumah sakit maupun Puskesmas sekitar 20%. Yang Untuk mendukung UCHI juga dibutuhkan sinergi penyediaan jasa layanan kesehatan baik oleh Swasta maupun Pemerintah. Kondisi saat ini, tidak semua jasa layanan kesehatan oleh Swasta mau menerima asuransi kesehatan seperti Jamkesmas dan Jamkesda karena belum adanya kerjasama ataupun payung hukum yang bisa memaksa jasa layanan swasta untuk menerima asuransi kesehatan yang dikhususkan untuk kelompok miskin. Daerah seperti Yogyakarta dan Jakarta sudah memasukkan jasa layanan kesehatan swasta untuk menerima Jamkesda sedangkan daerah seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara belum melakukan sinergi dengan jasa layanan kesehatan swasta untuk mendukung Jamkesda. 7 Gambar 3b. Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan: Puskesmas Sumber: Dartanto (2013) Hasil estimasi ekonometrika penelitian oleh LPEM FEUI, BKF dan JICA tahun 2013 dengan menggunakan data SUSENAS 2011 menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan untuk kelompok miskin (Jamkesmas dan Jamkesda) mendorong peningkatan rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit pemerintah dan Puskesmas, sedangkan kepemilikan asuransi kesehatan swasta mendorong peningkatan akses rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa jasa layanan kesehatan swasta belum menerima /melayani pemilik asuransi kesehatan yang sediakan pemerintah (Jamkesmas, Jamkesda, dll). Oleh karena itu, untuk mendukung UCHI maka perlu adanya sinergi antara jasa layanan kesehatan milik pemerintah dan milik swasta. Perlu adanya payung hukum dan pemberian insentif yang bisa menarik bagi jasa layanan kesehatan milik swasta untuk berpartisipasi aktif mendukung SJSN kesehatan. Tanpa adanya sinergi antara Swasta dan Pemerintah, maka pelaksanaan SJSN kesehatan akan pincang karena akan membatasi peserta SJSN kesehatan untuk menikmati layanan kesehatan universal tidak terpaku hanya pada fasilitas kesehatan milik pemerintah. 8. Pembiayaan dan Cara Coverage of Health Insurance Mencapai khususnya subsidi bahan bakar minyak menjadi subsidi dalam bentuk pembayaran iuran asuransi kesehatan sehingga terjadi realokasi subsidi yang kurang produktif (subsidi BBM) menjadi subsidi premi asuransi kesehatan (subsidi kegiatan produktif). Berdasarkan pemetaan rumah tangga (RT) di Indonesia, maka rumah tangga dapat digolongkan menjadi 5 kelompok utama: rumah tangga bekerja di sektor publik, rumah tangga bekerja di sektor formal (Badan Hukum), rumah tangga bekerja di sektor informal (penerima upah di sektor informal), rumah tangga bekerja sendiri di luar hubungan kerja (pengusaha UMKM) dan rumah tangga yang tidak bekerja dan/atau bukan angkatan kerja. Kelompok rumah tangga yang bekerja di sektor publik dan swasta formal maka iuran kesehatan akan ditanggung oleh pekerja, perusahaan dan pemerintah. Untuk kelompok miskin berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 maka iuran akan ditanggung oleh pemerintah, sedangkan kelompok pekerja informal yang bukan miskin dan juga kelompok bekerja sendiri di luar hubungan kerja masih belum ada mekanisme yang jelas untuk mendorong kelompok ini berpartisipasi dalam SJSN kesehatan. Oleh karena itu, untuk mencapai UCHI maka perlu dipikirkan skema mendorong kedua kelompok di atas untuk bergabung dengan SJSN kesehatan. Pemerintah bisa memberikan insentif bagi kelompok di luar hubungan kerja (contoh pengusaha UMKM) yang menjadi peserta SJSN kesehatan maka iuran asuransi kesehatan bisa menjadi pengurang pembayaran PPH penghasilan sesuai dengan PP No. 46 tahun 2013. Universal Skema pembiayaan UCHI merupakan isu krusial bagi pemerintah karena hal ini menyangkut kemampuan keuangan pemerintah dan kesinambungan fiskal untuk mendukung UCHI. Alokasi APBN 2014 untuk membayar iuran yang akan dibayarkan untuk kelompok miskin sebesar 86.4 juta jiwa adalah sebesar Rp. 19,7 trilyun. Sebenarnya angka ini tidak besar dibandingkan dengan total APBN 2014, tetapi angka ini akan meningkat seiring dengan rencana UCHI di tahun 2019. Sumber pembiayaan yang paling potensial untuk mencapai UCHI melalui realokasi subsidi energi 9. Peranan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Universal Coverage of Health Insurance. Berdasarkan Undang-undang, penyelenggaraan jaminan sosial bersifat terpusat sehingga peranan pemerintah 8 daerah dalam mendukung UCHI sangat minim. Peranan pemerintah daerah dalam mendukung UCHI harus didorong dalam hal pembiayaan maupun coverage dari jasa layanan yang ditanggung oleh BPJS kesehatan sehingga bisa mengurangi beban pemerintah pusat. Banyak daerah-daerah di Indonesia memiliki program Jamkesda yang melengkapi program Jamkesmas sehingga kepesertaan masyarakat dalam program jaminan kesehatan meningkat secara signifikan. 11. Kepedulian (awareness), Kepatuhan (compliance) dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Jaminan Sosial Kepedulian masyarakat Indonesia terhadap asuransi (kesehatan) secara umum masih rendah, khususnya mereka yang berpendapatan rendah.18 Hal lain juga mempengaruhi seperti tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan dan asuransi (kesehatan) juga masih terbatas. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat ini diantaranya adalah melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Edukasi dan sosialisasi ini bisa dilakukan secara langsung lewat media masa, penyuluhan, pendampingan dan sarana lainnya. Perlu dipikirkan adalah bagaimana mengakomodasi daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal dan juga sudah menjalankan program Jamkesda untuk mencapai UCHI. Sehingga perlu payung hukum yang jelas untuk mendukung integrasi dan partisipasi pemerintah daerah dalam mendukung UCHI. Dengan adanya sharing beban pembiayaan pembayaran iuran asuransi kesehatan antara pemerintah daerah dan pusat maka beban pemerintah pusat akan berkurang dan juga ada awareness dari pemerintah daerah untuk ikut menyukseskan UCHI. Di sisi lain, bahwa besaran subsidi untuk PBI tidak bisa digeneralisasi sebesar Rp. 19.225 tetapi harus disesuaikan dengan kontek indeks kemahalan masing-masing daerah. Regionalisasi besaran subsidi PBI merupakan implikasi kondisi Indonesia yang heterogen. Angka besaran subsidi PBI untuk daerah seperti Jawa Timur mungkin bisa jadi lebih rendah dibandingkan dengan angka besaran subsidi PBI nasional. Implikasi regionalisasi subsidi PBI juga terkait dengan regionalisasi tarif jasa layanan kesehatan yang ada di Indonesia sehingga akan tercipta sistem yang lebih berkeadilan. 10. Selain itu peningkatan kepedulian ini bisa juga dilakukan secara tidak langsung. Upaya tidak langsung untuk meningkatkan awareness bisa dilakukan dengan peningkatan kepatuhan dan penegakan hukum. Kepatuhan bisa ditegakkan dengan memberikan sanksi. Pemberian sanksi terhadap pelanggar (dan tersebar melalui berbagai media) secara tidak langsung bisa mempengaruhi dan meningkatkan kepedulian (awareness) ini. Hal ini berarti kepatuhan akan tercipta bila ada penegakan hukum (law enforcement) yang kuat dalam pelaksanaan SJSN ini. Law enforcement bisa ditegakkan kepada semua stakeholders yang terlibat (masyarakat umum-baik yang masuk dalam daftar PBI dan masyarakat non-PBI, PNS, POLRI dan TNI, pekerja dan perusahaan serta pemerintah (Pusat dan Daerah). Dengan demikian, bila kepatuhan bisa dijalankan maka efek total ke masyarakat dalam bentuk kepedulian bersama yang terjadi secara tidak sengaja (dan gratis) tersebar lewat media masa. Demikian juga bila ada pelanggaran, penegakan hukum termasuk pemberian sanksi kepada pelaku juga menjadi bahan liputan media masa dan sosial dengan sendirinya. Sinkronisasi Database PBI Database penerima PBI sebesar 86.4 juta yang merupakan data peserta Jamkesmas diambil dari PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011. Melihat mobilitas penduduk miskin keluar dan masuk ke dalam kemiskinan yang sangat dinamis, maka dalam data PPLS kemungkinan besar akan terjadi inclusion error (orang yang seharusnya tidak berhak mendapatkan PBI tetapi menerima PBI) dan juga exclusion error (orang yang seharusnya berhak mendapatkan PBI tetapi tidak menerima PBI). Penggunaan data PPLS tahun 2011 untuk memetakan PBI tahun 2013 maka kemungkinan besar akan ada 20% kesalahan baik exclusion error dan inclusion error karena adanya mobilitas penduduk keluar masuk kondisi kemiskinan. Kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintahan desa/kelurahan dalam update data PPLS 2011 sangat terbatas, sehingga pemerintah daerah harus diberikan ruang lebih untuk membantu mengoreksi data PPLS 2011. Dalam kontek Indonesia yang sangat heterogen dan juga sistem otonomi daerah, maka peranan pemerintah daerah dalam melakukan updating database mutlak sangat diperlukan. Bagi mereka yang berada di sektor kerja formal, kepedulian dan kepatuhan diawasi oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan (dalam kaitannya dengan hubungan perusahaan). Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah masih lemahnya pengawasan tersebut diantaranya adalah tidak adanya hubungan langsung antara pusat dan daerah (antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan dinas ketenagakerjaan di daerah). Pengawasan yang seharusnya berada di tingkat pusat, tidak bisa terlaksana karena ketika berada di daerah menjadi kewenangan daerah untuk melaksanakannya. 18 Hal ini bisa dilihat dari besarnya biaya belanja rokok yang lebih besar tiga kali lipat dibanding biaya pendidikan, dan 4,3 kali dibanding biaya kesehatan seperti yang diungkapkan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI (Sindonews.com, 2013). 9 IV. REKOMENDASI KEBIJAKAN dilakukan secara langsung lewat media masa, penyuluhan, pendampingan dan sarana lainnya. Selain itu, secara tidak langsung, bisa dilakukan dengan peningkatan kepatuhan dan penegakan hukum dan pengawasan yang ketat. Masih lemahnya pengawasan ketenagakerjaan diantaranya karena tidak adanya hubungan langsung antara pusat dan daerah (antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan dinas ketenagakerjaan di daerah). Dengan demikian perlu peninjauan kembali pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan. Pemberian subsidi melalui PBI bagi mereka yang tidak mampu lebih dikedepankan oleh pemerintah dalam menjalankan SJSN di awal tahun 2014, yang sejatinya kurang sejalan dengan prinsip gotong royong (iuran). Status PBI akan cenderung mendorong orang untuk masuk di dalamnya dan yang pada akhirnya mengurangi minat untuk berpartisipasi dengan dana sendiri (khususnya mereka yang mendekati garis kemiskinan, non-PNS, TNI, POLRI dan tidak bekerja di perusahaan yang berbadan hukum). Ini merupakan payung robek yang harus ditangani. Memang, secara substansial, pemberian bantuan dalam PBI tidak merupakan beban baru bagi APBN karena hanya merupakan pengalihan alokasi dana seperti Jamkesmas yang selama ini sudah diberikan. Namun pelaksanaan SJSN khususnya JKN diawali dengan sumber iuran sebesar 80% berasal dari APBN. Dengan demikian konsep kepersertaan dan iuran bersama ini harus dikedepankan dalam menjalankan SJSN. Implementasi UCHI akan mendorong kenaikan permintaan jasa layanan kesehatan bagi masyarakat sementara ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada terbatas. Hal ini perlu tambahan fasilitas kesehatan, termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas dan utilisasi puskesmas dan rumah sakit, dan perbaikan sistem rujukan yang selama ini belum berjalan dengan baik. Pemerintah pusat harus memberikan insentif bagi pemerintah daerah seperti tambahan alokasi dana anggaran khusus untuk pembangunan fasilitas kesehatan. Dalam konteks reformasi pelayanan kesehatan (JKN) dibutuhkan pemikiran baru yang mendobrak kebijakan yang selama ini ada yang cenderung menjadikan rumah sakit sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di samping itu, perlu adanya sinergi antara jasa layanan kesehatan milik pemerintah dan milik swasta. Perlu adanya payung hukum dan pemberian insentif yang bisa menarik bagi jasa layanan kesehatan milik swasta untuk berpartisipasi aktif mendukung SJSN kesehatan. Berdasarkan amanat undang-undang BPJS, pemberian JSN dilaksanakan oleh lembaga yang berlandaskan pada prinsip gotong royong dan nirlaba. Dalam konteks pelaksanaan SJSN (dalam jangka panjang) menyimpang dari amanat undangundang yang berprinsip kegotongroyongan serta keadilan. Ini adalah payung robek lain yang akan membebani prinsip dasar SJSN. Upaya integrasi pelayanan yang lebih cepat dalam wadah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk lembaga yang menganut prinsip gotong royong dan nirlaba menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Perlu mengakomodasi daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal dan sudah menjalankan program Jamkesda melakukan sharing beban pembiayaan pembayaran iuran asuransi kesehatan antara pemerintah daerah dan pusat. Dalam kontek heterogenitas dan otonomi daerah, maka peranan pemerintah daerah dalam melakukan updating database mutlak sangat diperlukan, termasuk updating database untuk PBI dalam upaya untuk menangkal moral hazard terkait dengan manipulasi data PBI dan data orang miskin pada umumnya. Besaran subsidi untuk PBI tidak bisa digeneralisasi tetapi harus disesuaikan dengan kontek indeks kemahalan masing-masing daerah. Implikasi regionalisasi subsidi PBI juga terkait dengan regionalisasi tarif jasa layanan kesehatan yang ada di Indonesia sehingga akan tercipta sistem yang lebih berkeadilan. Pemerintah bisa memberikan insentif kepada UKM yang patuh membayar pajak penghasilan dengan memberikan perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan. Langkah ini merupakan langkah persuasive untuk mendorong mereka agar patuh pada PP No. 46 tahun 2013 dengan insentif memperoleh manfaat JKN dan JHT. Proses pendaftaran kepesertaan bisa dilakukan dengan koordinasi dan juga inovasi sistem yang terintegrasi dengan program pemungutan pajak UKM (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013). Adanya deferred income yang besar, yang muncul dari iuran kepesertaan, akan mendukung penguatan fiskal. Dalam kaitannya dengan sumber dana untuk investasi maka juga perlu diperhatikan mengenai strategi investasi yang diatur dalam turunan UU SJSN dan BPJS (seperti Peraturan Pemerintah tentang Investasi). Dalam upaya membangun “kepedulian, kepatuhan dan penegakan hukum Jaminan Sosial”, perlu dilakukan berbagai terobosan diantaranya adalah melalui: social marketing yang inovatif mengenai reformasi jaminan sosial secara nasional (seperti halnya penerapan “konversi” sebagian pajak sebagai manifestasi kepesertaan, khususnya bagi UMKM; capacity building, dari tingkat pusat sampai level terbawah (kelurahan). Lebih lanjut, upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat bias dilakukan melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Edukasi dan sosialisasi ini bisa -----------------000SJSN000-------------------- 10 Daftar Pustaka AntaraNews. (2013, 10 Juli). Anggaran Kesehatan Mendekati 3,7 Persen dari APBN. http://www. antaranews.com/berita/384663/anggarankesehatan-mendekati-37-persen-dari-apbn Pikiran Rakyat. (2013, 6 September). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Siap Diluncurkan 1 Januari 2014, Pikiran Rakyat, http://www.pikiranrakyat.com/node/249624 ASKES (PT). (2013). Presentasi Rakernas SJSN oleh Direktur Utama PT Askes dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012, Rakernas SJSN, 3 – 4 Juli 2013 Salim, Zamroni. (2011). BPJS: Beratnya Menggapai Kesejahteraan Masyarakat, iREVIEW, November 2011 Sijabat, Heryanto. (2013). Anggaran Kesehatan Masyarakat Miskin Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Balai Diklat Keuangan Denpasar. BeritaSatu. (2013, 22 April). BPJS Ketenagakerjaan Jangan “Bunuh” Dana Pensiun; Senin, 22 April 2013, http://www.beritasatu.com/fokus/109366-bpjsketenagakerjaan-jangan-bunuh-dana-pensiun.html Sindonews.com, (2013, 26 September). Biaya PTR jadi beban APBN. http://nasional.sindonews.com/ read/2013/09/26/15/787913/biaya-ptr-jadi-bebanapbn Dartanto, Teguh. (2013), Making Growth More Pro-Poor and Inclusive in Indonesia, Bahan Presentasi the Workshop of Emerging Policy Framework for Poverty Reduction and Inclusive Growth in Asia and the Pacific, ADB Bangkok, 11-12 July 2013. Suara Pembaruan. (2013, 6 Maret). IDI: SJSN Hanya Bisa Selesaikan Sebagian Masalah. Suara Pembaruan. (2013, 4 Januari). Penarikan Dana Jamsostek Harus Melalui Mekanisme. http://www. suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/penarikandana-dari-jamsostek-harus-melalui-mekanisme/28724 Departemen Keuangan Republik Indonesia, Asian Development Bank (ADB) and Mitchell Wiener, Spesialis Sektor Keuangan (Dana Pensiun). (2011). White Paper Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian Sistem Jaminan Sosial Nasional Tanjung, Chairul. (2011). Inovasi dan Kreativitas untuk mendukung Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Komite Ekonomi Nasional (KEN). ILO Jakarta. (2002). Social Security for All. Jakarta: ILO Jakarta Januar, Paulus. (2013, 13 Juli). SJSN Kesehatan Dan Subsidi BBM. http://www.pdgi.or.id/artikel/detail/ sjsn-kesehatan-dan-subsidi-bbm Tanner, Steven. (2013). Harmonisasi DPLK dan Jaminan Pensiun. RoundTable Discussion: “Harmoninasi RPP Program Penyelenggaraan Jaminan Dana Pensiun dengan UU Dana Pensiun”, 22 April 2013. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, et al. (2012) Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012 – 2019. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2012). Data PPLS 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial LPEM FEUI, BKF dan JICA (2013), Social Service Delivery and Social Security in the Decentralized Indonesian Context. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Meneg Pemberdayaan Perempuan. (2013). Didownload tanggal 10 Oktober 2013 dari http:// menegpp.go.id/V2/index.php/datadaninformasi/ kependudukan?download=9:penduduk-lanjut-usia VHRMedia. (2013, 8 Mei). Jamkesmas 2013 Lindungi 86,4 Juta Warga. http://www.vhrmedia.com/ new/berita_detail.php?id=3061 MetroTvNews. (2013, 11 April). Askes Targetkan Rangkul 121,4 Juta Peserta. http://www.metro tvnews.com/metronewsread/2013/04/11/2/145752/ Askes-Targetkan-Rangkul-121.4-Juta-Peserta Muchtar, Odang. (2013). Perluasan Kepesertaan pada Sektor Informal. Yogyakarta, Neraca. (2013, 1 April). Potensi Kelas Menengah. Didownload tanggal 6Oktober dari http://www. neraca.co.id/harian/article/26729/Potensi.Kelas. Menengah 11 The Habibie Center The Habibie Center Building Jl. Kemang Selatan no.98 Jakarta ( P ) +62 21 7817211 ( F ) +62 21 7817212 www.habibiecenter.or.id Hanns Seidel Foundation Indonesia Office Menara Cakrawala lt.9 Jl. M.H. Thamrin 9 Jakarta ( P ) +62 21 3902369 ( F ) +62 21 3902381 www.hss.de