7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Tidur a. Definisi Hampir sepertiga umur kita dihabiskan untuk tidur. Tidur yang lelap dan nyenyak tanpa gangguan menjadi kebutuhan manusia yang penting, sama pentingnya dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain (Joni et al., 2011). Guyton et al. (2008) mendefinisikan tidur sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan. Sedangkan Chopra D. (2003), tidur adalah keadaan pikiran dan tubuh yang berbeda dimana tubuh beristirahat secara tenang, aktivitas metabolisme tubuh menurun, dan pikiran menjadi tidak sadar terhadap dunia luar, dan tidur yang baik akan memberikan perasaan vitalitas yang dirasakan sepanjang hari. b. Fisiologi Guyton et al. (2008) menyatakan terdapat beberapa teori mengenai terjadinya tidur. Teori lama menyatakan bahwa area eksitatori pada batang otak bagian atas, yang disebut sistem aktivasi retikuler, mengalami kelelahan setelah seharian terjaga sehingga menjadi inaktif. Keadaan ini disebut sebagai teori pasif dari tidur. Lalu percobaan penting telah mengubah pandangan ini ke teori yang lebih baru bahwa tidur disebabkan oleh proses penghambatan aktif diotak. Hal ini terbukti bahwa pemotongan batang otak setinggi regio midpontil menghasilkan otak dengan korteks yang tidak pernah tertidur. Dengan kata lain, ada beberapa pusat yang terletak dibawah ketinggian midpontil pada batang otak, yang diperlukan untuk menyebabkan tidur dengan cara menghambat bagian-bagian otak lainnya. 8 Menurut Guyton et al. (2008) perangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur dengan sifat-sifat yang mendekati keadaan tidur alami. Beberapa cara perangsangan ini adalah sebagai berikut: 1. Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di separuh bagian bawah pons dan di medula. Nuklei ini merupakan suatu lembaran tipis neuron khusus yang terletak pada garis tengah. Serabut saraf dari nuklei ini menyebar setempat di formatio retikularis batang otak dan ke atas menuju talamus, hipotalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan neokorteks serebri. Selain itu serabut-serabut ini juga menyebar ke bawah menuju medula spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat serabut ini dapat menghambat sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri. 2. Perangsangan beberapa area di nukleus traktus solitarius juga menimbulkan tidur. Nukleus ini merupakan daerah terminal di medula dan pons yang dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang masuk melalui nervus vagus dan nervus glosofaringeus. 3. Perangsangan beberapa regio pada diensefalon juga dapat membantu menimbulkan keadaan tidur, daerah itu meliputi: bagian rostral hipotalamus, terutama area suprakiasma, dan suatu area yang terkadang dijumpai di nukleus difus talamus. Mardjono et al. (2008) menjelaskan bahwa perubahan-perubahan aktivitas otak selama tidur sesuai dengan tahap-tahap tidur, yaitu: 1. Tahap pertama Keadaan dimana seseorang baru saja terlena. Seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata dan kedua bola mata bergerak bolak-balik kesamping. Gambaran EEG dari tahap ini memperlihatkan penurunan voltasi dengan gelombang-gelombang alfa yang makin menurun frekuensinya. 2. Tahap kedua Apabila timbul sekelompok gelombang yang berfrekuensi 3-6 siklus per detik, gelombang-gelombang tersebut dikenal sebagai gelombang tidur (sleep 9 spindle). Dalam tahap ini bola mata berhenti bergerak tetapi tonus otot masih terpelihara. 3. Tahap ketiga Gambaran EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar yang berfrekuensi 3-6 siklus per detik, yang sesekali diselingi oleh timbulnya ‘sleep spindels’. 4. Tahap keempat Terlihat hanya irama gelombang lambat yang berfrekuensi 1-2 siklus per detik tanpa munculnya ‘sleep spindles’. Keadaan fisik pada tahap tidur kedua dan keempat lemah lunglai, karena tonus otot lemas secara menyeluruh. 5. Tahap kelima Tonus otot meninggi kembali terutama otot-otot rahang bawah, bahkan otototot anggota gerak dan badan berkejang. Bola mata bergerak-gerak kembali dengan kecepatan yang lebih tinggi karena itu dinamakan juga ‘rapid eye movement sleep’ (REMS) atau ‘paradoxical sleep’. c. Efek fisiologis tidur Keadaan tidur menyebabkan timbulnya dua macam efek fisiologis utama. Pertama, efek pada sistem sarafnya sendiri, dan kedua, efek pada sistem fungsional tubuh lainnya. Fungsi tidur telah diteliti dalam berbagai cara, dan sebagian peneliti menyimpulkan bahwa tidur memiliki fungsi restoratif dan homeostatik dan tampaknya penting untuk termoregulasi dan cadangan energi normal. Keadaan siaga yang berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat menyebabkan aktivitas perilaku yang abnormal. Periode kekurangan tidur yang panjang kadang-kadang menyebabkan disorganisasi ego, halusinasi, dan waham. Kita telah mengetahui bahwa kelambanan pikiran semakin bertambah menjelang akhir periode siaga yang berkepanjangan, namun selain itu, seseorang dapat menjadi mudah tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik sesudah keadaan siaga yang dipaksakan (Guyton et al., 2008; Kaplan et al., 2010). 10 d. Perubahan pada lanjut usia Tidur yaitu suatu ketidaksadaran dimana orang dapat dibangunkan dengan rangsang lainnya yang tepat, berbeda dengan ketidaksadaran dengan anestesi yang dalam, ketidakaktifan total dari sistem aktivasi retikularis dalam keadaan sakit (koma), dan kegiatan aktivasi retikularis yang berlebihan pada epilepsi umum. Pada lanjut usia terjadi perubahan neurobiomolekuler otak yang berdampak pada fisiologi dan patologi otak dengan semakin bertambahnya usia. Perubahan neurobiomolekler tersebut adalah terjadi perubahan struktur sel neuron dan sel glia yaitu kematian sel neuron, retraksi dendrit yang berlanjut, hilangnya sinaps atau hubungan informasi antar sel saraf, reaktivitas sel glia yang didasari adanya perubahan protein-protein sitoskeletal dan penumpukan protein seperti amyloid di ekstraseluler, juga perubahan pada sistem vaskuler yang mengalirkan darah ke otak yang rentan dengan proses aterosklerosis dan arterisklerosis di lanjut usia. Perubahan pada sel otak dan jaras-jaras sinyal seluler memberikan dampak perubahan adaptasi dan patologi dari struktur otak yang menua. Sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi peranan interaksi dari biokimia neuron-neuron di batang otak yaitu serotonin dan norepinefrin (Joni et al., 2011) 2.1.2 Sulit Tidur (Insomnia) a. Definisi Insomnia adalah istilah untuk gangguan tidur pada umumnya, baik berkurangnya kuantitas maupun kualitas tidur. Diantaranya adalah sulit memulai tidur, terbangun-bangun terus, terbangun dini hari, tidur tak nyenyak, tidur terganggu (henti nafas, mimpi buruk, gelisah), tidur berjalan dan kebanyakan tidur di siang hari sementara malam terjaga (Joni et al., 2011). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) dan The International Clasification of Sleep Disorders (ICSD) (dalam Zammit, 2007), insomnia adalah gangguan tidur dengan karakteristik berupa kesulitan memulai tidur, atau kualitas tidur yang buruk atau tidur yang tidak menyegarkan. 11 V. Mark Durant and David H. Barlow (2007) menyatakan insomnia adalah masalah untuk tidur di malam hari (kesulitan untuk masuk tidur), sering terbangun atau terbangun terlalu awal dan tidak dapat tidur lagi (kesulitan untuk mempertahankan tidur), atau bila tidur dengan jumlah jam yang cukup tetapi tetap merasa belum cukup beristirahat ketika bangun di keesokan harinya (tidur yang restrotatif). Guze et al. (2008) menyatakan insomnia adalah gangguan untuk memulai/mengawali atau mempertahankan tidur (DIMS), atau tidak merasa tertirah setelah tidur. Keadaan ini sedikitnya harus terjadi tiga kali per minggu selama paling tidak satu bulan dan menyebabkan kelelahan siang hari yang bermakna. b. Patofisiologi Patofisiologi dari insomnia dapat dijelaskan melalui dua perspektif, yaitu perspektif kognitif dan tingkah laku, dan perspektif fisiologis. 1. Perspektif kognitif dan tingkah laku Semua model mempertimbangkan bahwa insomnia berhubungan dengan tingkah laku dan keadaan kognitif yang maladaptif. Spielman et al menetapkan apa yang dikenal sebagai “3-P Model” insomnia, yang meliputi predisposing factor (faktor predisposisi, faktor kecenderungan), precipiting factor (faktor presipitasi, faktor pencetus) dan pretuating factor (faktor pelestari). Tidur dan terjaga merupakan suatu proses yang aktif dan diatur secara ketat, yang mungkin berbeda antar individu berdasarkan kerentanannya terhadap pengaruh dan gangguan lingkungan luar. Faktor predisposisi insomnia merupakan faktor yang menentukan kerentanan individu terhadap resiko mengalami insomnia. Faktor tersebut meliputi genetik dan neurobiologik. Studi terbaru menunjukkan adanya perbedaan kerentanan genetik terhadap pengaruh eksogen seperti kafein, cahaya dan stres. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan bahwa adanya perbedaan dalam gen reseptor Adenosin 2A (ADORA2) menentukan perbedaan sensitifitas pengaruh kafein terhadap tidur. Selain itu, gen jam sirkadian telah teridentifikasi merupakan gen yang mengatur irama sirkadian. Mutasi atau 12 polimorfisme fungsional pada gen ini, dapat menyebabkan gangguan irama sirkadian seperti sindrom advance sleep phase (tidur dan bangun pagi lebih awal) dan sindrom delayed sleep phase (tidur dan bangun pagi yang tertunda atau terlambat dari biasanya). Penelitian klinis juga menunjukkan bahwa pasien dengan insomnia kronis memperlihatkan meningkatnya keterjagaan otak yang ditandai dengan peningkatan aktivitas gelombang frekuensi cepat selama tidur NREM dan EEG yang menunjukkan keterjagaan yang berlebihan bila dibandingkan dengan kontrol. Lebih lanjut, pasien dengan insomnia memiliki suhu tubuh siang dan malam hari, kortisol urin, sekresi adrenalin dan ACTH yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol (Passaro, 2010). Faktor presipitasi insomnia merupakan faktor yang memicu terjadinya insomnia pada individu. Orang dengan insomnia menunjukkan peningkatan respon terhadap stres bila dibandingkan dengan kontrol (Passaro, 2010). Yang merupakan faktor-faktor presipitasi antara lain kejadian stres dalam hidup, menderita penyakit, memulai suatu periode kehidupan (Pigeon, 2010), depresi, kecemasan, perubahan jadwal tidur-bangun, pengobatan dan gangguan tidur lainnya (Passaro, 2010). Terlepasnya dari bagaimana insomnia dipicu oleh faktor presipitasi, secara umum kondisi insomnia juga dapat dilestarikan/dipertahankan oleh mekanisme kognitif dan tingkah laku. Mekanisme kognitif ini mencakup kesalahpahaman tentang kebutuhan normal tidur dan kecemasan yang berlebihan tentang efek dari tidur yang tidak adekuat. Akibatnya, individu menjadi terganggu dengan kondisi tidurnya atau berusaha terlalu keras untuk dapat tidur. Kepercayaan disfungsional ini sering menghasilkan perilaku tidur yang mengganggu seperti berusaha mengejar kehilangan tidur yang terjadi dengan tidur siang atau diakhiri malam/terlambat, yang pada akhirnya akan mengurangi dorongan homeostatik alaminya untuk tidur pada waktu tidurnya yang biasa. Akibatnya, pada orang tersebut berkembang keadaan arousal yang menimbulkan kecemasan yang tinggi dan perenungan tentang tidur. Siklus ini kemudian berkembang, dimana semakin besar individu berusaha 13 untuk tidur, semakin besar pula kegelisahan yang dialami, dan semakin berkurang pula kemampuannya untuk bisa tidur (Passaro, 2010). 2. Perspektif fisiologi Hyperarousal, disritmia sirkadian dan disregulasi homeostatik tidur diduga berkontribusi terhadap terjadinya insomnia. Hyperarousal dikonsepkan sebagai peningkatan level basal atau kegagalan penurunan regulasi pada malam hari. Keadaan ini meliputi dimensi fisiologik/somatik, kognitif, dan kortikal/neurofisiologis. Dalam dimensi arousal fisiologis, orang dengan insomnia menunjukkan peningkatan denyut jantung, respon kulit galvanic, araousal sistem saraf simpatis (diukur melalui variabilitas denyut jantung), dan peningkatan aktivitas aksis hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA). Sementara dalam dimensi arousal kognitif, orang dengan insomnia lebih rentan mengalami kecemasan secara umum dan kecemasan terkait tidur. Sedangkan dalam dimensi arousal kortikal/neurofisiologis, orang dengan insomnia menunjukkan peningkatan aktivitas EEG berfrekuensi tinggi selama onset tidur dan tidur REM, tingginya metabolisme otak ketika bangun dan tidur NREM, dan penurunan metabolisme yang lebih kecil dibandingkan normal pada ascending reticular activating system (ARAS), hipokampus, amigdala, dan korteks cingulat anterior selama masa transisi antara bangun dan tidur (Pigeon, 2010). Sehubungan dengan disregulasi sirkadian, penelitian menunjukkan bahwa abnormalitas kronobiologik dalam bentuk pergeseran fase dari irama suhu inti tubuh berhubungan dengan gangguan memulai tidur atau mempertahankan tidur. Pergeseran ini serupa tapi sedikit lebih kecil dibandingkan dengan yang terlihat pada gangguan irama sirkadian tidur. Abnormalitas ini mungkin sebagian didorong atau diperburuk oleh perilaku individu. Beberapa individu yang mengubah jadwal tidur dan waktu bangunnya yang dapat secara dramatis mengubah waktu terpajannya mereka terhadap cahaya terang. Perilaku tersebut, pada akhirnya dapat menyebabkan pengaturan kembali “jam biologis” dan mengakibatkan pergeseran fase pada suhu inti tubuh (Pigeon, 2010). 14 Tinjauan tempat lain menunjukkan adanya keterbatasan bukti bahwa perubahan homeostasis tidur dapat menjadi faktor predisposisi, presipatasi dan pretuate insomnia. Namun, khususnya pada orang dengan insomnia primer, dibandingkan dengan orang yang kualitas tidurnya baik, cenderung menunjukkan apa yang disebut sebagai abnormalitas homeostatik (Pigeon, 2010). c. Klasifikasi insomnia World Heatlh Organization (WHO) tahun 1999 (dalam Aditya, 2013) mengklasifikasikan diagnostik dari insomnia menjadi 2 kelompok yaitu insomnia primer dan insomnia sekunder. 1. Insomnia primer Insomnia primer merupakan gangguan sulit tidur yang menyebabkan belum diketahui secara pasti, sehingga dengan demikian pengobatannya masih belum bisa dipastikan (long term insomnia). Insomnia primer ini sering menyebabkan semakin parahnya gangguan sulit tidur tersebut. Sebagian penderita golongan ini mempunyai dasar gangguan psikiatris khususnya depresi ringan sampai menengah dan berat. 2. Insomnia sekunder Insomnia sekunder merupakan gangguan sulit tidur yang menyebabkan dapat diketahui secara pasti, gangguan tersebut dapat berupa gangguan sakit fisik maupun gangguan kejiwaan (psikis). Pengobatan insomnia sekunder relatif lebih mudah dilakukan terutama dengan menghilangkan penyebab utamanya terlebih dahulu, insomnia sekunder dapat dibedakan sebagai berikut: a. Insomnia sementara (trasier insomnia) Insomnia sementara terjadi pada seseorang yang termasuk dalam gangguan dapat tidur normal, namun karena adanya stres atau ketegangan sementara (misalnya karena adanya kebisingan atau pindah tempat tidur) menjadi sulit tidur. 15 b. Insomnia jangka Pendek (short term insomnia) Insomnia jangka pendek merupakan gangguan sulit tidur yang terjadi pada para penderita fisik (misalnya batuk reumatik) atau terdapat stres situasional, misalnya kehilangan/kematian orang terdekat, pindah rumah dan lain sebagainya. d. Sebab-sebab insomnia Umumnya, orang tua cenderung mengalami kesulitan tidur yang akan memicu gangguan tidur. Beberapa penyebab tersebut meliputi (Kaplan et al., 2010): 1. Psikiatri Lansia yang mengalami depresi dan cemas, pola tidurnya berbeda dengan pola tidur lansia yang tidak mengalami depresi. Depresi terjadi akibat gangguan pada setiap stadium siklus tidur. Efisiensi tidurnya buruk, tidur gelombang pendek menurun, latensi REM juga turun, serta peningkatan aktivitas REM. Lansia dengan keluhan insomnia harus dipikirkan kemungkinan adanya depresi atau ansietas. Insomnia dan mengantuk di siang hari merupakan faktor risiko depresi. Sebaliknya, penderita depresi dapat pula mengalami gangguan kontinuitas tidur, episode tidur REM-nya lebih awal dari pada orang normal. Akibatnya, akan terbangun lebih awal, tidak merasa segar di pagi hari, dan mengantuk di siang hari. Sekitar 40% penderita lansia depresi mengalami gangguan tidur. Keluhan tidur dapat pula memprediksi akan terjadinya depresi pada lansia. 2. Lingkungan Suara gaduh, cahaya, dan temperatur dapat mengganggu tidur. Lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungannya. Penggunaan tutup telinga dan tutup mata dapat mengurangi pengaruh buruk lingkungan. Temperatur dan alas tidur yang tidak nyaman juga dapat mengganggu tidur. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik di tempat tidur juga harus dihindari misalnya makan, menonton TV, dan memecahkan masalah-masalah serius. Faktor-faktor ini 16 harus dievaluasi ketika berhadapan dengan lansia yang mengalami gangguan tidur. Lansia selalu dianjurkan untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur. Tabel 2. Penyebab insomnia (Kaplan et al., 2010): Gejala Insomnia Sekunder karena Kondisi Medis Sulit jatuh tidur -Tiap kondisi yang menyakitkan atau tidak meyenangkan -Lesi SSP -Sindroma apnea tidur -Miklonus nokturnal dan sindroma tungkai gelisah (restless legs syndrome) -Faktor diet (kemugkinan) -Kejadian episodik (parasomnia) -Efek zat langsung (alkohol) -Interaksi zat -Penyakit infeksi, neoplastik -Kondisi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan -Lesi atau penyakit baang otak atau hipotalamus -Ketuaan Sulit tetap tidur 3. Insomnia Sekunder karena Kondisi Psikiatrik atau Lingkungan -Kecemasan -Kecemasan, ketegangan otot-otot -Perubahan lingkungan -Gangguan tidur irama sirkadian -Depresi,terutama depresi primer -Perubahan lingkungan -Gangguan tidur irama sirkadian -Gangguan stress pasca traumatik -Skizofrenia Gaya hidup Minum kopi, teh, dan soda, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu tidur. Alkohol dapat mempercepat proses tidur tetapi beberapa jam kemudian pasien kembali tidak bisa tidur. 4. Kondisi medis Peningkatan kondisi medis tertentu pada lansia dapat mempengaruhi kualitas tidur yang meliputi penyakit akut dan kronik seperti Alzheimer, hipotiroidisme, demensia dan delirium, penyakit muskuloskeletal, kanker, penyakit paru, penyakit kardiovaskuler, dan lain-lain. 17 e. Dampak insomnia Dampak dari insomnia cukup besar, yaitu rasa lelah, berkurangnya energi, kesulitan berkonsentrasi dan iritabel. Selain itu, insomnia juga menyebabkan keterbatasan penampilan akademis, penampilan kerja, gangguan mood dan penyesuaian sosial serta kelelahan berat sehingga mengakibatkan kecelakaan pada waktu kerja. Orang mengalami insomnia dilaporkan mengalami penurunan yang bermakna pada fungsi emosi, sosial, dan fisik serta mengganggu kualitas kerja (Zammit et al., 2007). Kekurangan tidur memiliki beberapa konsentrasi meliputi timbulnya rasa kantuk dan gangguan pada kualitas neurokognitif dan psikomotor (Piloher et al., Harrison et al., dalam Nojomi et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Puvanendran et al. (dalam Sahraian et al., 2010) menunjukkan bahwa kekurangan tidur mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap suasana hati dan kesehatan. f. Tanda dan gejala insomnia Pedoman diagnostik untuk insomnia adalah (Maslim, 2001): a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk. b. Gangguan terjadi minimal tiga kali dalam seminggu selama minimal satu bulan. c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari. d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan. e. Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, ansietas, atau obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi sendiri. f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas (seperti pada “transient insomnia”) tidak 18 di diagnosis disini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut atau gangguan penyesuaian. Berapa banyak tidur yang dibutuhkan tubuh bervariasi dari satu orang ke orang lain. Kebanyakan orang dewasa membutuhkan antara tujuh dan delapan jam setiap malam. Gejala insomnia biasanya berlangsung satu minggu dianggap insomnia sementara. Gejala berlangsung antara satu dan tiga minggu dianggap insomnia jangka pendek dan gejala penguat lebih dari tiga minggu diklasifikasikan sebagai insomnia kronis. Orang yang menderita insomnia biasanya terus berpikir tentang bagaimana untuk mendapatkan lebih banyak tidur, semakin mereka mencoba, semakin besar penderitaan mereka dan menjadi frustrasi yang akhirnya mengarah pada kesulitan yang lebih besar (Maramis et al., 2009). 2.1.3 Stres a. Definisi Stres adalah tekanan internal dan eksternal, atau konflik antara tuntutan hidup dan kemampuan untuk mengatasinya yang dianggap membebani serta melebihi kemampuan dan mengancam individu sehingga menyebabkan timbulnya reaksi yang tidak menyenangkan, seperti perasaan yang menganggu atau ketidaknyamanan fisik (Kaplan et al., 2010). Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan. Agar sesuatu dianggap dapat menimbulkan stres maka perlu ada hal yang menghalangi aksi yang akan dilakukan atau sedang dilakukan, yaitu adanya frustasi, ancaman (threat), dan konflik. Situasi yang juga dapat menimbulkan stres adalah tekanan (pressure). Ada dua jenis tekanan, yaitu tekanan untuk melakukan sesuatu dan tekanan untuk menyesuaikan diri. Jadi, stres merupakan usaha penyesuaian diri. Bila kita tidak dapat mengatasinya dengan baik, maka akan muncul gangguan badani, perilaku tidak sehat ataupun gangguan jiwa (Maramis et al., 2009). 19 b. Proses terjadinya stres Epinefrin (adrenalin), suatu hormon stres yang dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan pernafasan, dan mengubah proses tubuh lainnya. Hasil respon stres adalah kewaspadaan, kesadaran, keadaan tegang yang mempersiapkan seseorang untuk menghadapi bahaya. Setelah kondisi stres terlewati, tubuh berelaksasi dan kembali normal (Swarth, 2002). Stres adalah reaksi dari tubuh (respons) terhadap lingkungan yang dapat memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang membuat kita tetap hidup. Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau di luar batasan kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stres merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang bisa di sebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan (challenge) yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman (threat), atau ketika harus berusaha mengatasi harapan-harapan yang tidak realistis dari lingkungan, dengan demikian bisa diartikan bahwa stres merupakan suatu sistem pertahanan tubuh di mana ada sesuatu yang mengusik integritas diri, sehingga menganggu ketentraman yang dimaknai sebagai tuntutan yang harus disesuaikan. Di samping itu, keadaan stres akan muncul apabila ada tuntutan yang luar biasa sehingga mengancam keselamatan atau integritas seseorang (Nasir, 2011). c. Macam-macam stres Kondisi stres seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua macam (Hawari, 2011): 1. Kondisi eustres (tidak stres): seseorang yang dapat mengatasi stres dan tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh. 20 2. Kondisi distress (stres): pada saat seseorang menghadapi stres terjadi gangguan pada 1 atau lebih organ tubuh sehingga orang tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. d. Sumber stres Stresor dapat menimbulkan beberapa keadaan yang dapat menjadi sumber stres, yaitu frustasi, konflik, tekanan dan krisis (Maramis et al., 2009): 1. Frustasi: individu sedang berusaha mencapai kebutuhan atau tujuannya, tetapi mendadak timbul halangan (stresor), yang menimbulkan keadaan frustasi baginya dan yang menimbulkan stres padanya. 2. Konflik: terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti tidak tercapainya yang lain. Terdapat 2 macam konflik, yaitu: a. Konflik pendekatan-penolakan: inidividu dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskan ia mengambil keputusan, tetapi ia tidak dapat, maju terus tidak berani, mundur juga tidak menyenangkan. Bila keadaan ini terus berlangsung lama atau bila masalahnya itu mempunyai arti penting baginya, maka stres yang timbul akan mengakibatkan dekompensasi mental. b. Konflik pendekatan ganda: individu berusaha mencapai dua-duanya tetapi sukar baginya karena ia harus melepaskan salah satu atau harus mengubah sikapnya terhadap salah satu. c. Konflik penolakan ganda: individu tidak menghendaki kedua-duanya karena keduanya tidak menyenangkan baginya, tetapi ia harus memilih salah satu. 3. Tekanan: dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi apabila bertumpuk-tumpuk dan berlangsung lama (stresor jangka panjang) dapat menimbulkan stres yang hebat. 4. Krisis: gangguan keseimbangan yang hebat secara tiba-tiba sehingga 21 menimbulkan stres yang berat dan merupakan keadaan dimana stresor mendadak dan besar yang menimbulkan stres pada seorang individu atau pun suatu kelompok. e. Faktor-faktor penyebab stres Sunaryo (2004) menyatakan terdapat dua faktor penyebab stres yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. 1. Faktor internal yaitu stresor yang berasal dari dalam diri individu sendiri. Ada beberapa hal yang merupakan stresor internal antara lain: a. Kepribadian Seseorang dengan Tipe A memiliki ciri-ciri sebagai berikut: agresif, ambisius, senang bersaing, senang menyelesaikan pekerjaan dan kebiasaan berlomba dengan waktu. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mampu menunjukkan kemampuan dan keefisienan mereka. Namun, bila dihadapkan dalam kondisi stres, mereka tidak mampu lagi untuk mengendalikan diri dan kebingungan. Sedangkan seseorang dengan Tipe B memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan Tipe A, yaitu easy going, tidak suka berkompetisi dan tenang. Hal ini bisa menyebabkan Tipe B lebih bisa tahan terhadap kondisi stres. b. Kognitif Kognitif juga dapat menjelaskan bagaimana jalannya seseorang dapat mengalami stres. Stres secara khusus dapat mempengaruhi individu secara pribadi dalam menerima dan menginterpretasikan suatu masalah. 2. Faktor eksternal yaitu stresor yang berasal dari luar diri individu. Beberapa stresor eksternal misalnya: a. Faktor rumah tangga (stress in the family) Stres dalam keluarga didefinisikan sebagai tekanan yang ddapat merusak atau 22 mengubah sistem dalam keluarga. Pengaruh stres ini terhadap keluarga yaitu mengurangi keharmonisan dan merupakan sumber dari berbagai masalah. b. Faktor lingkungan (environmental stress) Lingkungan adalah tempat yang mengarah pada hal di sekeliling kita, ruang fisik yang dapat dirasakan dan tempat kita berperilaku. stres lingkungan sebagai suatu kondisi sikap seseorang terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungan. c. Faktor sosial (social source of stress) Perubahan sosial dapat dilihat dari perubahan gaya hidup (life-style changes), nilai-nilai dan tradisi-tradisi lama yang telah bergeser. Perubahan-perubahan yang terjadi misalnya meliputi aborsi, kebebasan homoseksual, pernikahan yang kemudian membuat keluarga, masyarakat dan pemerintahan terpengaruh untuk mengikuti perubahan-perubahan tersebut. f. Tanda-tanda stres Maramis et al., (2009) menyebutkan tanda-tanda stres yang perlu diperhatikan adalah: 1. Merasa gelisah dan tidak dapat bersantai. 2. Menjadi lekas marah dan seperti akan meledak bila ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan kemauan. 3. Ada waktu-waktu dengan perasaan sangat lelah atau lelah yang berkepanjangan. 4. Sukar berkonsentrasi. 5. Kehilangan minat terhadap rekreasi yang sebelumnya dapat dinikmati dab sudah biasa dilakukan. 6. Menjadi khawatir mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak dapat diselesaikan dengan perasaan khawatir saja. 7. Bekerja berlebihan, biarpun tidak seluruhnya efektif. 8. Makin lama makin banyak pekerjaan yang dibawa pulang ke rumah. 23 9. Makin banyak merokok atau makin banyak memakai minuman keras dibandingkan dengan sebelumnya. 10. Berulangkali merasa kehilangan perspektif atau merasa masa depan suram mengenai apa yang sebenarnya penting dalam pekerjaan dan keluarga atau mungkin juga dalam hidup. Untuk mencegah stres langkah pertama yang harus diakui bahwa sedang mengalami stres dan yang paling baik adalah mengubah sikap terhadap stresor. Makin penting stresor itu dianggap, makin besar stres yang timbul sebagai akibatnya. Makin santai dan relax stresor itu dihadapi, makin banyak alternatif penyelesaian yang dilihat, makin ringan stres itu (Maramis et al., 2009). g. Tahapan stres Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan menganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun di pergaulan lingkungan sosialnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Robert J. Van Amberg (1979) (dalam Hawari, 2011) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut: 1. Stres tahap 1 Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan sebagai berikut: a. semangat bekerja besar, berlebihan (over acting) b. penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan, disertai rasa gugup yang berlebihan pula d. Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis. 24 2. Stres tahap II Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dkemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut: a. Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang c. Lekas merasa capai menjelang sore hari d. Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort) e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar) f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang g. Tidak bisa santai. 3. Stres tahap III Bila seseorang tersebut tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada tahap II tersebut diatas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhankeluhan yang semakin nyata dan menganggu yaitu: a. Gangguan usus dan lambung semakin nyata; misalnya keluhan gastritis, buang air besar tidak teratur (diare) b. Ketegangan otot-otot semakin terasa c. Perasaan ketidak-tenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat d. Gangguan pola tidur (insomnia) e. Koordinasi tubuh terganggu. Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit. 25 4. Stres tahap IV Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stress tahap III di atas, oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala tahap IV akan muncul: a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan f. Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan g. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun h. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya. 5. Stres tahap V Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut: a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and psychological ex-haustion) b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder) d. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik. 26 6. Stres tahap VI Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang kali sering dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut: a. Debaran jantung teramat keras b. Susah bernafas c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan e. Pingsan atau kolaps. Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya. 2.1.4 Lanjut Usia a. Definisi Lanjut usia merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan manusia. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Sebab lanjut usia bukan suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup manusia yang dimulai dari bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia. Menua bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar (Nugroho, 2008). 27 b. Batasan lanjut usia Beberapa ahli menyimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang berumur 60 tahun keatas. Undang-Undang No. 13 tahun (1998), lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Batasan umur lansia dari waktu ke waktu berbeda. World Heatlh Organization (WHO) (1999) membagi umur lanjut usia yaitu umur lanjut (elderly) : 60-74 tahun, umur tua (old) : 75-90 tahun, umur sangat tua (very old) : > 90 tahun. 2.1.5 Hubungan Sulit Tidur (Insomnia) dengan Stres Insomnia akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup. Seseorang dapat mengalami insomnia akibat stres situasional seperti masalah keluarga, kerja atau sekolah, jet lag, penyakit, atau kehilangan orang yang di cintai (Potter et al., 2005). Semakin tinggi tingkat stres pada lansia maka kebutuhan waktu tidur akan berkurang. Guyton et al. (2008) menyatakan keadaan insomnia timbul bila pikiran seseorang dipenuhi suatu pikiran atau tekanan yang disebut dengan stres. Sehingga stres merupakan salah satu penyebab terjadinya insomnia dan sebagian besar lansia yang menderita stres mengalami gangguan tidur (Noviati et al., 2011). 28 2.2 Kerangka Teori Perspektif kognifif dan perilaku Perspektif fisiologi Sulit tidur (insomnia) Stres Gangguan pola tidur (insomnia) Gambar 1. Kerangka teori penelitian 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Variabel bebas Insomnia Variabel terikat Stres Faktor resiko lain/variabel pengganggu: - faktor-faktor internal - faktor-faktor eksternal Keterangan: : tidak diteliti Gambar 2. Kerangka konsep penelitian 29 2.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang bermakna antara sulit tidur (insomnia) dengan tingkat stres pada lanjut usia di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman Yogyakarta.