(Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di

advertisement
i STUDI TENTANG KEKERASAN DAN FUNGSI KONFLIK
(Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan)
Oleh:
FAIRUZA
I34054251
SKRIPSI
Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA YANG
BERJUDUL “STUDI TENTANG KEKERASAN DAN FUNGSI KONFLIK
(KASUS
KONFLIK
ANTAR
KELOMPOK
MASYARAKAT
DI
KABUPATEN PEKALONGAN)” ADALAH BENAR HASIL KARYA
SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH
PADA
PERGURUAN
TINGGI
MANAPUN.
SEMUA
DATA
DAN
INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN
JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, September 2009
Fairuza
I34054251
ABSTRAK
FAIRUZA. Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar
Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan). Di bawah bimbingan
NURAINI W. PRASODJO.
Penelitian ini mengangkat masalah konflik sosial yang terjadi diantara dua
kelompok sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji aspek kekerasan dan
fungsi konflik berdasarkan teori Lewis Coser. Penelitian ini dilakukan di tiga
kecamatan di Kabupaten Pekalongan yang merupakan lokasi konflik. Tiga
kecamatan tersebut adalah Kecamatan Siwalan, Kecamatan Tirto, dan Kecamatan
Doro, Kabupaten Pekalongan. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Kasus konflik
yang diangkat adalah dua konflik non-realistik yang mencapai
kekerasan/kebrutalan dan satu konflik realistik yang tidak mencapai
kekerasan/kebrutalan. Pada dasarnya, tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan kebenaran teori fungsi konflik sosial yang dianggap “bekerja” pada
kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik eksternal. Melalui hasil
penelitian, ditemukan fakta bahwa kekerasan konflik dapat mempengaruhi
kohesivitas internal kelompok. Pada konflik realistik, kohesivitas kelompok
terbentuk bukan karena kerasnya konflik, melainkan lebih dibentuk oleh nilainilai yang telah ada sebelumnya di dalam kelompok.
RINGKASAN
FAIRUZA. Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar
Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan). Di bawah bimbingan
NURAINI W. PRASODJO.
Penelitian ini mengangkat masalah konflik sosial yang terjadi antar
kelompok masyarakat dengan meninjau pada aspek kekerasan dan fungsi konflik.
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi konflik di Kabupaten Pekalongan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengungkap isu-isu yang melatarbelakangi
konflik antar kelompok masyarakat dan kekerasan konflik. Selain itu, penelitian
ini juga bertujuan untuk memahami fungsi konflik terhadap kohesivitas internal
kelompok.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan studi kasus.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan dari hasil wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder
diperoleh dari berbagai dokumen mengenai kasus konflik yang terdapat di Polres
Kabupaten Pekalongan dan Pengadilan Negeri Pekalongan. Hasil penelitian
mengungkapkan tiga kasus konflik yang terjadi di Kabupaten Pekalongan. Tiga
kasus tersebut terdiri dari satu kasus konflik yang masih berjalan, bersifat
manifest, dan keras/brutal, satu kasus konflik yang saat ini berwujud laten, dan
satu kasus konflik yang tidak brutal.
Hasil penelitian mengungkapkan fakta bahwa ternyata kekerasan konflik
berfungsi pada hubungan internal kelompok yang ditunjukkan oleh
keeratan/kohesivitas hubungan anggota-anggota di dalam kelompok. Namun
demikian, terdapat satu kasus konflik dimana konflik tidak mencapai
kebrutalan/kekerasan tetapi kelompok yang berkonflik secara internal
menunjukkan kohesivitas. Hasil penelitian yang lain adalah terdapat fakta bahwa
ternyata isu yang melatarbelakangi konflik mendorong terjadinya kekerasan
konflik. Isu-isu yang terungkap dari tiga kasus konflik yang diteliti
menggambarkan bahwa isu realistik mendorong terjadinya kekerasan konflik
karena sulitnya mencapai konsensus/kesepakatan dalam meraih sasaran yang
“abstrak”. Sedangkan konflik yang berangkat dari isu realistik kurang berpotensi
dalam menciptakan kekerasan konflik. Isu-isu yang diungkapkan aktor-aktor
konflik selalu berbeda. Pandangan yang berbeda mengenai isu-isu konflik pada
umumnya disebabkan oleh perbedaan posisi dan peran dalam hubungan-hubungan
sosial di dalam masyarakat.
Kasus pertama, konflik yang diteliti adalah konflik yang berangkat dari
isu prinsip agama dan perebutan “klaim bisnis”. Dua isu ini dikemukakan oleh
dua aktor utama konflik. Isu yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya
“kesalahpahaman” mengenai penyebab konflik yang kemudian mengakibatkan
terjadinya kekerasan konflik. Dua aktor utama yang terlibat dalam konflik adalah
kelompok Pemuda Islam dan kelompok pengelola Cafe X. Kedua kelompok ini
jelas berbeda dalam cara pandang, pergaulan, serta sasaran. Akibat sasaran yang
tidak dapat dicapai, akhirnya salah satu pihak yaitu kelompok Pemuda Islam
melakukan aksi kekerasan/kebrutalan terhadap pihak pengelola Cafe X yang
mengakibatkan kerusakan secara fisik dan mental.
Konflik yang berujung pada kekerasan konflik ini mengakibatkan “efek” positif
bagi kedua kelompok, yaitu semakin eratnya hubungan antara anggota-anggota
kelompok (kohesiv) yang ditunjukkan oleh sentralisasi struktur pengambilan
keputusan,
solidaritas/kekompakan
anggota-anggota
kelompok
serta
meningkatnya kontrol sosial di dalam masing-masing kelompok.
Kasus yang kedua adalah kasus konflik yang juga berangkat dari isu non
realistik, yaitu isu “harga diri”. Aktor-aktor utama yang terlibat adalah kelompok
pemuda dari Desa Blacanan dan Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten
Pekalongan. Meskipun dua kelompok pemuda tersebut adalah aktor utama dalam
konflik manifest yang keras/brutal, namun ketegangan hubungan antar desa ini
juga diwarnai oleh konflik laten yang terjadi diantara generasi-generasi tua yang
ada di dua desa tersebut. Konflik laten yang terakumulasi dalam waktu yang lama
di dalam hubungan antar kedua desa ini kemudian mendorong “pecahnya”
kekerasan/kebrutalan konflik yang mengakibatkan korban jiwa. Akibat konflik
yang berujung pada aksi brutal tersebut, hubungan antar kedua desa semakin
renggang. Melalui proses inilah kemudian terbentuk kohesivitas internal
kelompok-kelompok yang berkonflik. Indikator kohesivitas internal yang paling
terlihat salah satunya adalah jelasnya batas kelompok diantara kedua kelompok
yang berkonflik.
Kasus ketiga yang terdapat dalam tulisan ini adalah kasus konflik tanah
yang terjadi antara kelompok petani penggarap dengan kelompok pemilik
sertifikat tanah di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan.
Berbeda dengan kedua kasus sebelumnya, konflik ini berangkat dari isu realistik.
Sasaran yang diperebutkan kedua aktor konflik dapat diungkapkan secara jelas,
yaitu kepemilikan hak atas tanah. Hasil penelitian terhadap kasus ini adalah fakta
yang jelas bahwa konflik tidak menciptakan kekerasan konflik. Upaya-upaya
dalam meraih sasaran ditempuh dengan jalan musyawarah untuk mencapai
konsensus. Namun demikian, terbentuk kohesivitas di dalam kelompok petani
penggarap.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah fakta mengenai “bekerjanya” teori
fungsi konflik dalam meningkatkan kohesivitas kelompok serta kaitan antara isuisu konflik terhadap kekerasan konflik. Namun ternyata, ditemukan pula fakta
bahwa kohesivitas internal kelompok dapat pula terbentuk walaupun konflik tidak
mencapai kekerasan. Hal ini dikarenakan adanya nilai-nilai kebersamaan yang
telah mengakar pada kelompok, sehingga kohesivitas semakin erat walaupun
konflik terjadi dalam intensitas yang “kecil”.
ii FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh :
Nama
:
Fairuza
NRP
:
I34054251
Departemen
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
:
Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus
Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten
Pekalongan)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS
NIP. 19630531 199103 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus Ujian : ___________________
iii RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1987 dari ayah
bernama Akhmad Zahid, SH dan ibu bernama Lies Andriani, SH, Sp.N. Penulis
adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis melalui pendidikan SMU di
SMU Negeri 1 Pekalongan, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun
yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mengambil mayor Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif di beberapa
kelembagaan, diantaranya sebagai staf Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), staf
divisi broadcast Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) serta Forum Rohis Fema (FORSIA).
Penulis juga pernah menjadi penyiar di Radio Komunitas IPB (Agri FM).
iv KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat-Nya yang berlimpah dalam proses penyelesaian skripsi ini,
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi berjudul “Studi
Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar Kelompok
Masyarakat di Kabupaten Pekalongan)” ini merupakan syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor. Ucapan
terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada :
1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan Studi
Pustaka yang selama ini telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis.
2. Dr.Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama pada ujian
skripsi.
3. Ir. Anna Fatchiya, Msi selaku dosen penguji wakil departemen pada ujian
skripsi.
4. Mama, papa dan adik-adik tercinta yang selalu mendukung dan
mendoakan agar penulis selalu bersemangat dalam berbagai kondisi.
5. Kapolresta Pekalongan, Bapak Aris Budiman, SH yang telah memberi
kemudahan kepada penulis dalam proses penelitian.
6. Sahabat-sahabat di Departemen KPM (Alwin, Indah, Ian, Lusi, Nunik,
Janu, Sihol dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu).
7. Sahabat-sahabat di Pekalongan (Asri, Izud, Dewi, Listi) yang telah banyak
memberikan dukungan, nasehat, dan bantuan kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat di Diastin tercinta (fani, nisa, nopi, novi, echi, tanjung,
popi, puput, chizt, nila, tata) yang selalu mewarnai hari-hari penulis
dengan canda dan tawanya.
9. Egi Massardy, S.KPm yang selalu memberikan dorongan dan semangat,
serta menjadikan penulis sebagai orang yang lebih baik.
v 10. Semua pihak yang telah memberi bantuan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
Semoga apa yang penulis kemukakan pada skripsi ini bermanfaat,
khususnya bagi upaya pengembangan masyarakat dalam rangka menciptakan
kondisi yang harmonis dalam masyarakat.
Bogor, September 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul…………………………………………………………………...i
Lembar Pengesahan……………………………………………………………..ii
Riwayat Hidup………………………………………………………………….iii
Kata Pengantar………………………………………………………………….iv
Daftar Isi………………………………………………………………………..vi
Daftar Tabel ……………………………………………………………………ix
Daftar Gambar…………………………………………………………………. x
Daftar Lampiran…………………………………………………………..……xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2
1.3 Kegunaan Penelitian ................................................................................... 3
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 4
2.1.1. Pengertian Konflik.. ......................................................................... 4
2.1.2. Teori Konflik.................................................................................... 4
2.1.3 Alat Bantu dalam Analisis Konflik ................................................ 17
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 19
2.3 Hipotesis Pengarah .................................................................................. 21
2.4 Definisi Operasional Konsep ................................................................... 22
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1. Metode Penelitian .................................................................................... 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 24
3.3. Penentuan Objek Kajian,Informan dan Responden ................................. 25
3.4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 25
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 25
BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM
DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO,
KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 1)
4.1. Gambaran Umum Konflik ...................................................................... 27
4.2 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ............................................................... 27
4.2.1 Aktor Utama yang Berkonflik........................................................ 30
4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa .................................. 31
4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X.............................................. 32
4.2.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua
Aktor Konflik ................................................................................. 33
vii
Halaman
4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda
Islam At-Taqwa .................................................................. 33
4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X ............... 39
4.2.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik ....................... 43
4.3 Kaitan antara Isu Prinsip Agama dan Persaingan “Klaim Bisnis”
dengan Kebrutalan Konflik ...................................................................... 46
4.4 Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok .......... 48
4.5 Ikhtisar ..................................................................................................... 53
BAB V KASUS KONFLIK ANTARA DESA DEPOK
DAN DESA BLACANAN, KECAMATAN SIWALAN,
KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 2)
5.1. Gambaran Umum Konflik ....................................................................... 54
5.2 Gambaran Lokasi Konflik ........................................................................ 54
5.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ................................................................ 56
5.3.1 Aktor Utama yang Berkonflik......................................................... 58
5.3.1.1 Kelompok Pemuda Desa Depok ......................................... 58
5.3.1.2 Kelompok Pemuda Desa Blacanan..................................... 59
5.3.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara
Aktor-Aktor Konflik ...................................................................... 60
5.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok
Pemuda Desa Depok ......................................................... 60
5.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok
Pemuda Desa Blacanan ...................................................... 65
5.3.2.3 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat
Desa Depok ........................................................................ 67
5.3.2.4 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat
Desa Blacanan .................................................................... 72
5.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik....................... 76
5.4 Kaitan antara Isu “Harga Diri”dengan Kebrutalan Konflik ..................... 78
5.5 Kaitan Antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok ......... 79
5.6 Ikhtisar ..................................................................................................... 83
BAB VI KASUS KONFLIK TANAH DI DESA LEMAH ABANG,
KECAMATAN DORO, KABUPATEN PEKALONGAN
6.1 Gambaran Umum Konflik ....................................................................... 84
6.2 Gambaran Umum Desa Lemah Abang .................................................... 85
6.2.1 Kondisi Fisik Desa Lemah Abang .................................................. 85
6.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .............................................. 86
6.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ................................................................ 89
6.3.1 Aktor yang Terlibat dalam Konflik ................................................ 90
6.3.1.1 Pemilik Sertifikat Tanah Sengketa .................................... 91
6.3.1.2 Kelompok Petani Penggarap Baru .................................... 91
viii
Halaman
6.3.1.3 Kelompok Petani Penggarap Lama ................................... 92
6.3.1.4 Aparat Desa Lemah Abang ............................................... 92
6.3.1.5 Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten Pekalongan ..................................................... 92
6.3.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik
diantara Aktor-Aktor konflik ......................................................... 93
6.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Petani Penggarap
Di Desa Lemah Abang ...................................................... 93
6.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan ........................... 98
6.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik..................... 104
6.4 Kaitan antara Isu Perebutan Tanah dengan Kebrutalan Konflik ............ 106
6.5 Kaitan antara Konflik dengan Kohesivitas Kelompok........................... 107
6.6 Ikhtisar ................................................................................................... 108
BAB VII KAITAN ANTARA ISU KONFLIK DENGAN
KEBRUTALAN KONFLIK........................................................ 110
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan ............................................................................................. 112
8.2 Saran........................................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 115
LAMPIRAN ................................................................................................... 117
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sebaran Insiden Menurut Tingkat Kerusakan dan Kematian serta
Jumlah Kematian dan Persentase Kematian Berdasarkan
Kategori Kekerasan Tahun 1999-2001........................................................... 1
2. Sebaran Potensi Tanah di Desa Lemah Abang ............................................ 85
3. Jumlah Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Tanah Pertanian
yang Dimiliki .............................................................................................. .86
4. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok ............... 87
5. Aktivitas Masyarakat Desa Lemah Abang Berdasarkan Keanggotaan
dalam Lembaga Sosial ................................................................................. 88
6. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan ................... 88
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Bagan Kerangka Pemikiran .................................................................. 21
2.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1) ............................................ 28
3.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan
Pandangan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa .................................. 36
4.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ..................................................... 39
5.
Skema Kronologi Konflik Berdsarkan Pandangan
Pihak Pengelola Cafe X ........................................................................ 41
6.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Pengelola Cafe X ................................................................................... 43
7
Denah Lokasi Kecamatan Siwalan ........................................................ 55
8.
Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan ........... 56
9.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik di Desa Depok
Dan Desa Blacanan (Kasus 2) ............................................................... 57
10.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Kelompok
Pemuda Desa Depok ............................................................................. 63
11.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Pemuda Desa Depok ............................................................................. 64
12.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan
Pandangan Pemuda Desa Blacanan....................................................... 66
13.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Pemuda Desa Blacanan ......................................................................... 67
14.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan
Tokoh Masyarakat Desa Depok ............................................................ 69
xi
Halaman
15.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Tokoh Masyarakat Desa Depok ............................................................ 72
16.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan
Pandangan Tokoh Masyarakat Desa Blacanan ..................................... 74
17.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
Tokoh Masyarakat Desa Blacanan ........................................................ 76
18.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Tanah
di Desa Lemah Abang (Kasus 3)........................................................... 90
19.
Skema Kronologi konflik Berdasarkan Pandangan
Tokoh Masyarakat dan Petani Penggarap di
Desa Lemah Abang ............................................................................... 96
20.
Pohon Konflik (Isu Konflik)Berdasarkan Pemahaman
Masyarakat Desa Lemah Abang ........................................................... 98
21.
Skema Kronologis Konflik Berdasarkan Pandangan
Pihak BPN Kabupaten Pekalongan ..................................................... 101
22.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman
BPN Kabupaten Pekalongan ............................................................... 103
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Denah Lokasi Penelitian ........................................................................ 117
2.
Tabel Kebutuhan Data ........................................................................... 118
3.
Panduan Pertanyaan Penelitian .............................................................. 119
4.
Perda Minuman Keras Kabupaten Pekalongan ..................................... 122
5.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten Pekalongan .......................................................................... 128
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah konflik di Indonesia merupakan fenomena yang tidak asing lagi
dan menyita perhatian publik karena wujudnya yang sebagian besar telah
mengarah pada suatu kekerasan sosial dan telah meluas pada berbagai lapisan
masyarakat. Hasil penelitian Tadjoeddin (2002), dengan kajian analisis liputan
media “Antara” dan “Kompas” mengenai kekerasan sosial di Indonesia
menunjukkan gambaran yang sangat memprihatinkan (Tabel 1).
Tabel 1.
Sebaran Insiden Menurut Tingkat Kerusakan dan Kematian serta
Jumlah Kematian dan Persentase Kematian Berdasarkan Kategori
Kekerasan Tahun 1999-2001
Kategori
Jumlah insiden
dengan jumlah
minimum satu
kerusakan
Jumlah Insiden
dengan jumlah
minimum satu
kematian
Jumlah
kematian
Kekerasan
komunal
Kekerasan
separatis
Kekerasan negaramasyarakat
Kekerasan
hubungan
industrial
Total
465
262
4771
%
kematian
terhadap
total
kematian
76,9
502
369
1370
22,1
88
19
59
1,0
38
4
8
0,1
1093
654
6208
100
Sumber : Tadjoeddin, 2002
Tabel 1 tersebut memperlihatkan bahwa semua insiden kekerasan yang
terjadi menyebabkan kerusakan dan kematian. Jumlah kematian tertinggi
disebabkan oleh kekerasan komunal. Sedangkan jumlah kerusakan tertinggi
disebabkan oleh kekerasan separatis.
Masalah yang terkait dengan identitas (suku bangsa, nasionalitas, ras,
agama) sering tampil sebagai penyebab dari banyak bentrokan. Kepentingan
strategis dan faktor ekonomi juga kerap memilliki andil yang besar, dan
beberapa diantaranya telah terjadi dalam kurun waktu yang lama namun belum
2 terselesaikan, atau masih terdapat konflik dalam wujud konflik laten. Konflik
agama dan etnik merupakan konflik yang paling cepat berkembang, karena
menyangkut isu nonrealistik yang sangat mudah
“dibumbui” oleh aksi-aksi
provokasi, sehingga aksi- aksi kekerasan, kerusuhan dan amukan massa dengan
mudah merambat ke tempat-tempat lain, sedangkan konflik sumberdaya pada
umumnya disebabkan oleh masalah-masalah pada hubungan sosio-agraria.
Konflik ini seringkali terjadi akibat adanya aktivitas salah satu pihak/ aktor yang
menyebabkan akses pihak lain terbatas dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Konflik sumberdaya merupakan konflik real, sehingga lebih memungkinkan
berhasilnya upaya resolusi konflik sebelum mencapai tahap kekerasan, namun
tidak jarang konflik sumberdaya juga berujung pada kekerasan dan kebrutalan
yang sulit diredam.
Berdasarkan fenomena konflik yang marak terjadi, dapat disimpulkan
bahwa selama ini konflik diposisikan sebagai suatu proses sosial yang
disfungsional (negatif). Namun, berdasarkan kajian terhadap fungsi konflik oleh
Coser (1957) yang melandasi berbagai aspek konflik, dikemukakan bahwa pada
dasarnya konflik juga bersifat fungsional (positif), diantaranya meningkatkan
kohesivitas kelompok.
Hingga saat ini, belum banyak dikaji secara dalam
mengenai seberapa besar konflik atau kekerasan konflik berfungsi positif
terhadap kohesivitas internal kelompok- kelompok yang berkonflik. Oleh karena
itu, penelitian ini bermaksud untuk membuktikan ada atau tidaknya sisi
fungsional dari konflik yang selama ini marak terjadi.
Secara lebih spesifik, penelitian ini hendak menjawab beberapa
pertanyaan penelitian mengenai; (1) isu-isu apa yang melatarbelakangi kekerasan
konflik antar kelompok masyarakat, (2) dengan cara bagaimana konflik
berpengaruh positif terhadap kohesivitas internal kelompok-kelompok yang
berkonflik.
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menggambarkan
fungsi konflik di dalam kelompok masyarakat yang berkonflik. Penelitian
mengenai fungsi konflik ini akan dibatasi pada fungsi positif konflik terhadap
3 kohesivitas internal kelompok. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap
isu-isu yang melatarbelakangi konflik antar kelompok masyarakat dan kekerasan
konflik.
1.3
Kegunaan Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan kerangka konseptual bagi
akademisi dan masyarakat dalam memahami konflik, sehingga dalam proses
selanjutnya, konflik dapat dimaknai secara lebih luas dan ditangani dengan
tindakan sebagaimana mestinya.
4 BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Konflik
Menurut Fisher, et.al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Pruit dan Rubin dalam Susan
(2009), konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak
tertentu tidak dicapai secara simultan. Menurut Widjarjo, et.al. (2002), konflik
merupakan situasi yang apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih)
menunjukkan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau
kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. Maka
secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai
oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.
Dari pengertian-pengertian konflik yang begitu panjang, ada beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan jika akan melakukan kajian mengenai konflik.
Pertama, adanya keterlibatan dua pihak atau lebih atas suatu hal, baik bersifat
abstrak atau konkrit. Berangkat dari suatu hal yang menjadi sumber konflik ini,
terjadilah perbedaan antar pihak-pihak yang terlibat.
Perbedaaan yang ada
merupakan potensi untuk terjadinya konflik. Kedua, secara general dapat
dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses yang eksis dan innate atau
melekat dalam kehidupan manusia. Ketiga, konflik mengacu pada suatu proses
sosial yang disosiatif (saling menjauhkan). Namun demikian, konflik juga
merupakan unsur terpenting daam kehidupan manusia karena konflik memiliki
fungsi positif (Coser, 1957). Konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga
berfungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan- perubahan sosial yang
diakibatkannya.
2.1.2 Teori Konflik
Teori konflik pada dasarnya berusaha menjelaskan dan menganalisis
secara komprehensif konflik dalam kehidupan sosial yang meliputi ; 1) sebab/
5 isu konflik, 2) fungsi konflik, 3) bentuk/ ekspresi (intensitas) konflik, dan 4)
aktor/ pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang
menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat
individual, antarpribadi, atau antarbudaya. Berdasarkan titik berat teori konflik,
yaitu pada sebab, fungsi, ekspresi dan pelaku konflik, maka secara berurutan
teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Konflik Berdasarkan Sebab/ isu konflik
Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik
yang disebabkan isu-isu realistik, yang selanjutnya disebut konflik realistik
dengan konflik yang disebabkan isu-isu non realistik yang selanjutnya disebut
konflik non realistik.
Konflik realistik
memiliki sumber yang konkret atau
bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi
atau wilayah. Konflik
realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu yang jika tujuan itu
tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya,
jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa
materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Bila sumber itu dapat
diperoleh tanpa perkelahian, maka sangat memungkinkan konflik dapat diatasi
dengan mudah. Secara sederhana, konflik yang realistik diarahkan ke
objek/sumber dari konflik itu. Konflik ini merupakan rangsangan utama untuk
perubahan sosial. Hal ini dikemukakan Coser (1957) dalam The Function of
Social Conflict sebagai berikut :
“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the
means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing
desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)
Berbeda dengan konflik realistik, konflik non realistik didorong oleh
keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik
antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non
realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu
cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas
identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekerasan yang
6 sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. Statement Coser mengenai konflik
non-realistik dalam The function of Social Conflict adalah sebagai berikut :
“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the
means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing
desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)
Selain konflik realistik dan non realistik menurut Coser, konflik
berdasarkan sebab/ isu yang melatarbelakanginya juga dijelaskan oleh Fisher, et.al
(2000). Sebab/ isu yang melatarbelakangi konflik dapat dijelaskan menurut teori
sumber konflik diantaranya adalah : (1) Teori Hubungan Masyarakat. Konflik ini
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan
diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. (2) Teori Negosiasi
Prinsip. Konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. (3) Teori
Kebutuhan Manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak
dipenuhi atau dihalangi.
Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi sering merupakan inti pembicaraan. (4) Teori Identitas. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering
berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak
diselesaikan. Identitas sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain dan
oleh budaya yang dominan. (5) Teori Kesalahpahaman antar Budaya. Konflik
disebabkan oleh ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi di antara
berbagai budaya yang berbeda. (6) Transformasi Konflik. Konflik dianggap
disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul
sebagai masalah- masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Teori-teori mengenai penyebab konflik menurut Fisher, et.al. (2000)
sangat membantu dalam mengelola konflik. Sebagai contoh, dalam menganalisis
konflik non realistik yang terjadi dalam masyarakat, teori negosiasi prinsip sangat
berperan dalam memahami fenomena konflik yang terjadi. Teori negosiasi prinsip
berupaya
untuk
memahami
dan
menganalisis
konflik
dari
perbedaan
sudut pandang/penafsiran kedua aktor yang berkonflik. Perbedaan sudut
7 pandang/penafsiran tersebut biasanya menyangkut isu penyebab konflik.
Seringkali kedua aktor konflik mengungkapkan isu yang berbeda mengenai
penyebab konflik. Perbedaan sudut pandang ini dikarenakan posisi kedua aktor
yang berbeda sehingga menyebabkan kepentingan yang berbeda.
Teori identitas juga dapat digunakan dalam menganalisis konflik non
realistik dan realistik yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Dalam
teori ini, dapat dilihat bagaimana kedua aktor konflik memandang diri mereka
sendiri, sedangkan cara pandang pihak lain terhadap mereka berbeda. Salah satu
aktor beranggapan bahwa dirinya yang paling kuat dan paling berkuasa, namun
aktor lain menganggap sebaliknya dan menilai kekuatan dan kekuasaan tersebut
untuk dirinya sendiri. Selain itu, teori identitas berusaha “menguak” akar
permasalahan yang terpendam di masa lalu yang mengakibatkan konflik
“diperpanjang” bahkan isu konflik berubah menjadi isu lain. Sebagai contoh
adalah konflik tanah di suatu daerah yang terjadi selama puluhan tahun dapat
berubah menjadi konflik yang tidak jelas lagi isunya atau menjadi non realistik
pada generasi aktor konflik berikutnya.
2) Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik
Fungsi konflik merupakan salah satu bagian dalam teori konflik. Teori
fungsi konflik menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik.
Acuan teori ini adalah pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai
suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan,
serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial.
Pada dimensi ini, Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi
terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerjasama yang
memiliki fungsi terhadap integrasi sosial.
Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki
fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang
diakibatkannya. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem
sosial,
khususnya
dalam
hubungannya
pada
kelembagaan
yang
kaku,
perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan
antara konflik dan perubahan sosial. Konflik sebagai mekanisme perubahan sosial
dan penyesuaian, dapat memberi fungsi positif dalam masyarakat.
8 Dalam bukunya The Function of Social Conflict, Coser memberi perhatian
pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok (group cohesion). Dalam hal ini
Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok terhadap
keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok
sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau
dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok.
Secara rinci, Coser menjelaskan dua jenis konflik yang dapat mempengaruhi
sistem dalam kelompok sebagai berikut :
1)
Konflik Eksternal.
Konflik eksternal (external conflict) dianggap dapat mampu menciptakan
dan memperkuat identitas kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik dapat
memperjelas batasan di antara kedua kelompok dalam sistem sosial dengan
memperkuat kesadaran anggota-anggota dalam suatu kelompok bahwa mereka
merupakan bagian dari kelompoknya sehingga tercipta kesadaran identitas
kelompok dalam sistem. Konflik eksternal dengan kelompok lain dapat
mengalihkan “ketegangan” dan permusuhan dalam kelompok kepada musuh di
luar kelompok (common enemies), sehingga masing-masing anggota kelompok
berusaha untuk mempererat kembali hubungannya dengan anggota kelompok
yang lain. Penjelasan ini secara rinci dikemukakan oleh pernyataan Coser sebagai
berikut:
"… conflict sets boundaries between groups by strengthening group
consciousness and awareness of separateness from other groups” ( Coser,
1957:37).
“… external conflict will be change to be a process of referancy identity
groups identity referancy about outgroup so that it improves participation of
each members to group organization. Identity group out of them is a negative
reference group” ( Coser, 1957: 90).
2)
Konflik Internal
Selain konflik eksternal, konflik internal (internal conflict) memberi fungsi
positif terhadap kelompok identitas mengenai kesalahan perilaku. Ada perilaku
anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu
dikoreksi oleh kelompok tersebut. Konflik yang terjadi dalam kelompok dapat
menjadi faktor yang dapat “mencairkan” ketegangan-ketegangan dalam hubungan
di antara anggota kelompok, sehingga tidak ada efek dipendamnya suatu
9 kebencian dalam kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik di dalam kelompok
berfungsi sebagai penyeimbangan (balancing system).
Dengan demikian, konflik internal dan eksternal dinilai dapat berfungsi
positif terhadap sistem dalam kelompok, namun fungsi konflik lebih tampak pada
konflik eksternal karena lebih memperkuat keeratan dalam kelompok akibat
ancaman-ancaman dari pihak luar. Kekuatan solidaritas internal dapat meningkat
ketika terjadi konflik dengan out group. Namun demikian, konflik yang terjadi
dengan kelompok luar (out group) dapat berfungsi maksimal jika telah sampai
pada tahap manifest (terbuka) yang keras.
Berkaitan dengan kekerasan konflik, yang disebut Coser sebagai kebrutalan
konflik, fungsi konflik terhadap kohesi kelompok dalam akan menguat jika
kekerasan konflik juga semakin kuat. Kekerasan pada dasarnya berbeda dengan
konflik. Menurut Fisher, et. al. (2000),
kekerasan adalah bentuk tindakan,
perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan
secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus
pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu
kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau
kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan.
Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma
psikis juga merupakan bentuk kekerasan. Tidak semua konflik berujung pada
kekerasan. Beberapa konflik dapat mencapai konsensus dan perdamaian sebelum
mencapai tahap kekerasan. Namun, dalam kaitannya dengan fungsi konflik,
konflik yang telah mencapai tahap kekerasan yang melibatkan dua kelompok
lebih berfungsi secara nyata terhadap kohesivitas kelompok dalam (in group
cohesion).
Secara rinci, Coser membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan
dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik,
semakin
menyebabkan
jelasnya
batasan
kelompok,
sentralisasi
struktur
pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang
dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2)
semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam
10 kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan
konflik internal muncul dalam jangka panjang.
Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi
kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin
keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai
kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik
menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari
jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik
menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan
dan emosi dalam konflik, sehingga semakin
brutal konflik yang terjadi,
khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut.
Dari preposisi Coser mengenai kebrutalan konflik, dapat disimpulkan
bahwa terdapat alur untuk mencapai fungsi konflik bagi kohesi kelompok yang
titik awalnya adalah isu konflik. Isu non realistik lebih berpotensi untuk
mewujudkan konflik yang keras atau brutal. Maka pada saat aktor-aktor konflik
menghadapi situasi konflik yang berakar pada isu realistik, potensi terjadi
kekerasan/ kebrutalan di antara keduanya sangat besar. Jika telah mencapai tahap
ini, fungsi konflik pada kohesi kelompok dalam akan semakin terlihat.
3) Konflik Berdasarkan Sasaran dan Perilaku
Konflik dibedakan di antara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku. Hal ini
sesuai dengan definisi konflik menurut Fisher, et.al. (2000) bahwa konflik adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih (individu dan kelompok) yang memiliki,
atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sasaran adalah objek/
apa yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Sedangkan perilaku yang
dimaksud adalah bagaimana cara mereka bertindak untuk memperoleh sasaransasaran tersebut. Perilaku dapat selaras satu sama lain dan bertentangan satu sama
lain. Jika perilaku selaras, potensi terjadinya konflik kecil dan memungkinkan
kondisi tanpa konflik. Sedangkan perilaku bertentangan satu sama lain akan
menimbulkan konflik. Bentuk konflik tergantung dari bentuk perilaku masingmasing pihak yang berkonflik.
Berdasarkan sasaran dan perilaku, konflik dapat diklasifikasikan dalam 4
(empat) tipe, yaitu ; (1) tanpa konflik. Setiap kelompok atau masyarakat ingin
11 hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus
hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta
mengelola konflik secara kreatif. (2) konflik laten. Konflik laten adalah konflik
yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat
ditangani secara efektif. (3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar “dalam”
dan “sangat nyata”, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi
akar penyebab dan berbagai efeknya. (4) konflik di permukaan, yaitu konflik
yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena
kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan
komunikasi.
4) Konflik Berdasarkan Tahapan/Intensitas
Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktifitas, intensitas,
ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap- tahap ini penting sekali
diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik.
Konflik dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis,
akibat dan pascakonflik (Fisher, et.al., 2000). Tahapan-tahapan tersebut dapat
dideskripsikan sebagai yaitu: (1) Prakonflik. Tahapan Ini merupakan periode
dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih,
sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun
satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.
(2) Konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu
pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan
aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau
kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua belah pihak.
Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi
di antara para pendukung di masing-masing pihak.
(3) Krisis.
Tahap ini
merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ atau kekerasan terjadi paling
hebat. Dalam konflik skala besar ini ini merupakan periode perang, ketika orangorang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua belah pihak
kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan
menentang pihak lain.
(4)
Akibat.
Pada tahapan ini, tingkat ketegangan,
12 konfrontasi, dan kekerasan agak menurun dengan memungkinkan adanya
penyelesaian. Sebagai contoh adalah perubahan pola hubungan masyarakat,
kerekatan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, munculnya tata aturan
baru dan lain-lain.
(5)
Pascakonflik.
Situasi diselesaikan dengan cara
mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan
mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan
masalah- masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan
tidak dapat disesesaikan dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi
pra konflik.
Menurut Nader dan Todd dalam Lintong (2005), berdasarkan tahapan
evolusi atau prosesnya, konflik mengalami suatu siklus sebagai berikut :
1) Grievance (keluhan) atau tahap pra-konflik.
Tahapan ini disebut sebagai tahapan yang bersifat monadic karena hanya
melibatkan satu pihak saja. Pada tahapan ini, seseorang atau satu kelompok
orang melihat suatu kondisi dimana mereka merasa tidak mendapatkan
keadilan atau apa yang seharusnya didapatkan. Keadaan ini merupakan suatu
kebenaran subjektif yang mungkin secara objektif benar tapi mungkin saja
tidak benar. Namun, dari sinilah kemarahan dan keluha muncul. Situasi ini
merupakan kondisi potensial untuk terjadinya eskalasi konflik. Pada saat satu
pihak merasa dirugikan, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang
pengaruhnya besar pada kondisi selanjutnya.
2) Conflict
Tahapan kedua adalah tahapan yang disebut sebagai tahapan conflict, dimana
pihak
yang
merasa
dirugikan
tadi
memilih
untuk
menyampaikan
ketidakadilan yang dialami atau dirasakannya pada pihak lain yang
memberikan ketidakadilan itu dengan berbagai macam cara, baik verbal
maupun non verbal. Dengan diungkapkannya rasa ketidakadilan ini, maka ada
dua pihak yang kini memiliki dan mengetahui kebenaran subjektif masingmasing yang saling berlawanan. Karena ada dua pihak yang menyadari dan
terlibat dalam tahapan ini, maka tahapan ini disebut sebagai tahapan dyadic.
Apa yang terjadi kemudian, kini bergantung pula pada kedua pihak ini,
13 apakah mereka akan menyelesaikan sendiri atau menaikkan suhu konflik
memasuki tahapan lebih lanjut.
3) Dispute (sengketa)
Jika tahapan conflict tidak juga mereda, dan bahkan persoalan mereka ini
diketahui oleh khalayak ramai baik atas inisiatif salah satu pihak, kedua belah
pihak ataupun pihak ketiga , maka masuklah tahapan berikutnya, yaitu tahap
dispute atau sengketa. Tingkatan ini secara berurutan menunjukkan semakin
parahnya keadaan. Tingkatan yang pertama adalah ketegangan (hardening),
dimana masing-masing pihak menunjukkan sikap keras dan muncul suatu
ketegangan karena masing-masing bertahan pada kebenaran subjektifnya.
Tingkatan yang kedua yaitu perdebatan atau polemik mungkin dilakukan.
Tahap ini ditandai dengan ketidakmauan masing-masing pihak untuk
mendengarkan pihak lain.
Kedua teori tersebut, baik yang dikemukakan oleh Fisher, maupun Nader
dan Todd sama-sama menunjukkan tingkat “keparahan” dari suatu konflik,
dimana konflik dimulai dari suatu fenomena yang biasa menjadi tidak bisa dengan
“dibumbui” ketegangan-ketegangan yang semakin meningkat. Namun, jika
diperhatikan, terdapat
perbedaan point of view dalam memetakan tahapan-
tahapan konflik tersebut. Fisher memetakan tahapan konflik berdasarkan urutanurutan kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian
merupakan daftar waktu yang menggambarkan kejadian-kejadian secara
kronologis.
Sedangkan menurut Nader dan Todd, penahapan konflik lebih berdasarkan
pada keterlibatan aktor-aktor konflik, dimana pada tahap grievance, hanya satu
pihak yang terlibat, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Kemudian pada tahap
conflict, ada dua pihak yang terlibat, karena pihak pertama, atau pihak yang
merasa dirugikan telah menyampaikan keluhannya kepada pihak kedua. Tahap ini
menentukan apakah akan ada pihak lain yang terlibat dalam konflik. Jika konflik
semakin memanas dan mendorong pihak ketiga untuk resolusi konflik, maka
tahap konflik telas sampai pada tahap dispute.
Kriesberg (1998), berpendapat bahwa tahapan- tahapan yang luas melalui
perjuangan cenderung bergerak, dan bervariasi dalam hal berapa lama suatu tahap
14 berakhir, transisi dari satu tahap ke tahap berikutnya secara berurutan. Pada
tahapan awal konflik, upaya perjuangan menjadi nyata dan manifest. Empat hal
yang terjadi pada tahapan ini adalah: (1) paling tidak satu pihak memiliki
identitas diri, uang membedakan dari pihak lainnya, (2) salah satu pihak memiliki
kondisi- kondisi yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan, (3) salah satu
anggota meyakini bahwa kondisi yangtidak memuaskan tersebut dapat diatasi
melalui perubahan pada pihak lainnya, (4) memiliki keyakinan bahwa mereka
dapat bertindak untuk mencapai tujuan tersebut.
Konflik menjadi manifest apabila salah satu pihak mengekspresikan
keyakinannya tersebut dengan memobilisasi pendukung-pendukung atau dengan
mencoba secara tidak langsung mempengaruhi pihak lawannya untuk mencapai
tujuan mereka. Kriesberg (1998) membuat penahapan mengenai konflik yang
disebut sebagai siklus konflik. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1)
Eskalasi Konflik
Tahap eskalasi merupakan tahapan yang relatif lama. Pada tahapan ini,
perlawanan menjadi nyata dan masing-masing berusaha untuk mencapai
tujuannya, meningkatkan usaha-usaha mereka dengan memperkuat sarana- sarana
yang mereka gunakan dan megumpulkan dukungan-dukungan. Pada awalnya,
cara-cara yang digunakan bersifat persuasif dan bisa jadi menjanjikan hasil yang
menguntungkan, namun demikian dapat saja terjadi bentuk kekerasan atau
paksaan yang digunakan.
Ada banyak faktor, proses, kondisi-kondisi, dan kebijakan yang berperan
dalam peningkatan perlawanan dan lama perlawanan tersebut, seringkali ada
kecenderungan konflik menjadi destruktif karea interaksi masing- masing pihak
semakin kuat dan mereka cenderung melihat dalam posisi “zero- sum conflict”.
Banyak proses dikombinasikan untuk menghitung keparahan (deterioration)
perang digambarkan oleh pertikaian yang mengerikan di Yugoslavia. Beberapa
proses internal pada masing- masing pihak yang bertikai mendorong terjadinya
eskalasi konflik yang berkepanjangan yang
seringkali berbentuk destruktif
(merusak). Proses internal tersebut termasuk proses sosial psikologi berhubungan
perselisihan kognitif, penjebakan (entrapment), dan reaksi emosional dari tekanan
konflik. Satu implikasi dari perselisihan kognitif adalah bahwa jika orang dapat
15 dibujuk untuk beraksi pada cara yang brutal, mereka kemudian menyalahkan
orang lain atas kebrutalan mereka, dan hal itu adalah sesuatu yang benar bagi
mereka.
Akhirnya, perlawanan ditingkatkan menuju kekerasan ekstrem yang
mengakibatkan banyaknya orang yang melarikan diri. Interaksi diantara
komunitas diperburuk oleh aksi pembalasan, sebagai kebijakan di dalam masingmasing aturan internal oleh komunitas dominan yang hanya menyisakan sedikit
jaminan keamanan pada komunitas minoritas. Selain itu, yang memperburuk
keadaan adalah tidak ada pengakuan hak- hak manusia, pengakuan sosial, kondisi
hidup, penolakan salah satu pihak terhadap legitimasi pihak lainnya termasuk di
dalamnya dalam wujud penolakan untuk berkomunikasi.
Unsur-unsur yang dapat menunjukkan sejauh mana konflik telah menjadi
destruktif adalah perilaku-perilaku yang tidak manusiawi, dan keinginan untuk
melanjutkan perjuangan, membalas dendam, intimidasi, dan penekananpenekanan terhadap musuh/ lawan.
2)
De-eskalasi Konflik
De-eskalasi konflik terjadi setelah jangka waktu yang bervariasi dari
tahap eskalasi dan biasanya terjadi pada setiap pertikaian. Faktor yang
mempengaruhinya beragam, baik internal pada pihak- pihak yang berkonflik
ataupun kondisi eksternal. Kondisi-kondisi yang mengarah pada de-eskalasi
konflik adalah : (1) melemahnya upaya meneruskan perlawanan, (2) cara-cara
yang tidak memaksa : berubah
pengertian,
timbulnya
saling
cara pandang mengenai hubungan, saling
ketergantungan,
membangun
kepercayaan,
perubahan salah satu pihak yang berkonflik (perubahan kepemimpinan, peraturan
dan lain- lain) juga peran perantara. (3) kerangka waktu dalam menyelesaikan
konflik (jangka pendek atau jangka panjang). (4) kondisi sosial, ekonomi,
ideologi, dan demografi.
Perantara atau pihak ketiga (dari luar) dapat memberikan sumbangan
berarti dalam mencapai tahap de- eskalasi konflik, yakni dalam (1) mengatur halhal yang berkenaan untuk mengakhiri konflik, (2) membagi sumberdaya yang ada,
(3)
memberikan
legitimasi
pada
opsi-opsi
baru,
(4)
membantu
mengimplementasikan dan menjaga kesepakatan yang telah dicapai.
16 3)
Terminasi
Peralihan dari tahap de-eskalasi menuju terminasi jarang terjadi secara
mulus. Adakalanya terdapat pihak-pihak yang mensabotase, yakni orang yang
tidak terlibat penuh dalam proses pengelolaan konflik atau orang-orang yang tidak
mendukung. Namun, dalam model siklus konflik, cepat atau lambat, konflik akan
sampai pada tahap terminasi. Terminasi konflik terjadi karena pihak yang
menantang merubah bentuk hubungannya dengan pihak lawan. Adakalanya salah
satu pihak menekan pihak lainnya atau di antara mereka terjadi bentuk hubungan
kompromi sehingga mencapai hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Namun demikian, jarang hasilnya benar-benar seimbang dan tetap ada
ketidaksepakatan dalam menilai hasilnya. Proses terminasi bisa terjadi melalui
proses negosiasi atau mediasi.
4)
Hasil dan Spiral
Tahap terminasi memberikan hasil dalam berbagai bentuk seperti
perubahan-perubahan internal pihak-pihak yang berkonflik. Perubahan hubungan
yang lebih memuaskan, rekonsiliasi dan restrukturasi konteks sosial. Perubahan
internal yang terjadi bisa dalam bentuk penghancuran atau kematian dari salah
satu pihak yang berkonflik, misalnya kematian anggota, bubarnya kelompok atau
organisasi. Apabila pihak yang berkonflik dalam kelompok, bisa terjadi perubahan
kepemimoinan atau perubahan ideologi kelompok, perubahan aliansi, dan lainlain. Selain itu, dari pihak partisan menjadi yakin bahwa pandangan dari pihak
lawan bisa jadi benar. Hasil konflik bisa jadi juga mengakibatkan perubahan
dalam hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik, sehingga jauh lebih
memuaskan karena bisa jadi akibat dari kesetaraan. Perubahan hubungan tersebut
bisa dalam bentuk rekonsilisasi, yakni mengacu pada proses pengembangan
akomodasi antara kelompok- kelompok atau pihak- pihak yang bertetangan.
5) Konflik Berdasarkan Aras Pihak yang Berkonflik
Menurut Suadi, et.al., dalam Susan (2009), konflik dapat ditipologikan
berdasarkan level permasalahannya, yaitu ; (1) konflik vertikal. Konflik vertikal
atau “konflik atas” terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya pada
pada level yang berbeda, misalnya antara elite dengan massa (masyarakat). Elite
17 dalam hal ini bisa merupakan para pengambil kebijakan di tingkat pusat,
kelompok bisnis, atau aparat militer. Hal yang ditonjolkan dalam konflik ini
adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga menimbulkan korban
di kalangan massa (masyarakat). Dalam konflik vertikal, kaitan makro- mikronya
lebih cepat diketahui. (2) konflik horizontal. Konflik horizontal merupakan
konflik yang terjadi di kalangan massa (masyarakat) sendiri. Sejak pertengahan
90- an, dirasakan setidaknya ada dua jenis konflik horizontal yang tergolong besar
pengaruhnya, yaitu konflik agama dan konflik antar suku. Konflik agama terjadi
khususnya antar kelompok agama Islam dan kelompok agama Nasrani. Konflik
jenis ini mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, Jakarta, dan beberapa
daerah lainnya. Sedangkan konflik antar suku terjadi khususnya antara suku Jawa
dan suku- suku lain di luar pulau Jawa. Selain itu, muncul pula kasus seperti
konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat.
2.1.3 Alat Bantu dalam Analisis Konflik
Analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji dan
memahami konflik dari berbagai sudut pandang. Pemahaman ini kemudian akan
membentuk dasar-dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan
tindakan (Fisher, et.al., 2000). Dalam menganalisis konflik, terdapat banyak
permasalahan yang perlu dikaji, diantaranya adalah latar belakang dan sejarah
munculnya suatu konflik, pandangan semua aktor dan hubungannya satu sama
lain, serta kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik. Untuk itu,
diperlukan alat bantu dalam menganalisis konflik. Beberapa alat bantu yang dapat
dugunakan untuk menganalisis konflik diantaranya adalah :
1)
Penahapan Konflik
Pada dasarnya, konflik memiliki kedinamisan yang tinggi, terutama
konflik manifest (terbuka). Meskipun pada saat-saat tertentu kondisi dalam
keadaan kondusif, namun jika ditelusuri secara mendalam terdapat keteganganketegangan yang tersembunyi serta kewaspadaan yang tinggi antara satu pihak
dengan pihak lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap saat konflik dapat
berubah melalui berbagai tahapan aktivitas, ketegangan, serta kekerasan yang
berbeda. Menyikapi hal ini, Fisher, et.al (2000) menguraikan pentingnya membuat
18 penahapan konflik untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pada
masing-masing tahapan konflik.
Analisis tersebut meliputi lima tahap. Pertama, adalah tahap prakonflik.
Tahapan ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak
yang berkonflik. Kondisi ini diawali oleh adanya ketegangan hubungan sehingga
masing-masing pihak berusaha menghindari menghindari kontak antara satu
dengan yang lain. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka.
Masing-masing pihak menyusun kekuatan, melakukan perilaku konfrontatif dan
kekerasan pada tingkat yang rendah. Ketiga, yaitu tahap krisis. Ini merupakan
puncak konflik, yaitu ketegangan atau kekerasan yang terjadi paling hebat.
Keempat, tahap akibat. Pada tahap ini, terdapat salah satu pihak yang menyerah
karena keinginannya sendiri atau karena desakan pihak lain, atau kedua pihak
setuju untuk bernegosiasi. Tingkat ketegangan dan kekerasan mulai menurun.
Kelima, tahap pascakonflik. Situasi konflik diselesaikan dengan mengakhiri
berbagai ketegangan dan kekerasan sehingga kembali ke kondisi normal. Namun,
jika penyebab konflik tidak diatasi dengan baik, tahap ini akan kembali lagi
menjadi situasi prakonflik.
2)
Urutan Kejadian/Kronologi Konflik
Urutan kejadian adalah suatu alat bantu yang menunjukkan kejadian-
kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu terjadinya peristiwa sesuai urutan
urutan kronologis dalam bentuk grafik sederhana. Dalam menganalisis konflik,
cenderung terdapat perbedaan “versi” mengenai terjadinya konflik berdasarkan
pemahaman aktor-aktor konflik. Oleh karena itu, dalam menggambarkan urutan
kejadian/kronologi konflik, perlu dipaparkan secara jelas berbagai versi yang
berbeda mengenai peristiwa konflik yang terjadi. Urutan kejadian juga merupakan
suatu cara bagi masyarakat untuk saling mempelajari sejarah dan pandangan pihak
lain mengenai suatu situasi. Dalam konflik pasti akan terjadi ketidaksepakatan
mengenai kejadian-kejadian mana yang paling penting dan bagaimana
menjelaskannya. Secara rinci, tujuan utama kronologi konflik adalah untuk
menunjukkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah suatu konflik,
menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-
19 kejadian, serta untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling
penting bagi masing-masing pihak.
3)
Pemetaan Konflik
Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis
yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubunganhubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar, aktor yang terlibat jika
dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing memiliki peran terhadap
konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang layar. Namun, dalam suatu
konflik yang menjadi “sorotan utama” adalah dua pihak yang bertindak sebagai
aktor utama yang saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok
melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik,
untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan
di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah
dilakukan masing-masing aktor konflik.
4)
Pohon Konflik
Pohon konflik merupakan suatu alat bantu untuk mengungkap isu-isu
pokok konflik. Alat bantu ini pada umumnya digunakan dalam diskusi kelompok
mengenai konflik. Tujuan menggambarkan pohon konflik adalah untuk
menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain. Jika digunakan dalam
diskusi kelompok, alat ini bertujuan untuk merangsang diskusi tentang berbagai
sebab dan efek dalam situasi konflik, membantu kelompok menyepakati masalah
inti, serta membantu suatu kelompok dalam mengambil keputusan tentang
prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik.
2.2
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan isu yang melatarbelakanginya, konflik dibedakan berdasarkan
dua tipe konflik menurut Coser (1957), yaitu konflik realistik dan konflik nonrealistik. Konflik realistik adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh isu- isu yang
konkret, atau bersifat material, seperti perebutan sumber-sumber ekonomi atau
wilayah. Konflik non realistik adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh sumbersumber yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis seperti masalah
prinsip, aqidah, dan harga diri, dan identitas. Konflik yang realistik cenderung
20 lebih mudah diatasi karena menyangkut sasaran/objek yang jelas yang menjadi
tujuan pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan konflik yang non-realistik lebih
sulit untuk diatasi dan mencapai penyelesaian karena konflik non-realistik
merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa isu konflik (realistik dan non realistik) mempengaruhi tingkat kekerasan
yang diakibatkannya (level of violence). Kekerasan konflik dicirikan oleh adanya
tindakan, sikap, perkataan,serta berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan
kerusakan secara
mental, sosial, atau lingkungan, dan/atau menghalangi
seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher, et.al., 2000).
Merujuk pada teori Coser (1957), tentang fungsi konflik sosial, pada
dasarnya konflik antar kelompok sosial mampu menciptakan dan memperkuat
identitas kelompok. Konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok dengan
menciptakan batasan-batasan di antara dua kelompok dalam sistem sosial. Batasan
diantara kedua kelompok tercipta dengan memperkuat kesadaran identitas
kelompok. Semakin keras konflik yang terjadi diantara dua aktor konflik, maka
kedua pihak akan semakin menghindari komunikasi terjadi antara mereka, dan
masing-masing anggota dari kedua kelompok tersebut cenderung semakin
merapat pada kelompok masing-masing untuk mendapatkan kondisi yang aman.
Dalam proses ini, batasan dua kelompok akan semakin jelas. Solidaritas di dalam
masing-masing kelompok akan muncul jika sudah terjadi kekerasan fisik pada
salah satu atau lebih anggota kelompok yang dilakukan oleh musuh bersama
(common enemies). Semakin memanas/keras suatu konflik, orang yang
mendominasi
dalam
memperlihatkan
kelompok/pemimpin
kekuasaannya
dengan
kelompok
cenderung
mensentralisasikan
semakin
pengambilan
keputusan, karena dalam situasi konflik yang keras, dibutuhkan keputusan yang
cepat untuk menghindari serangan musuh.
Kondisi sebaliknya, jika konflik tidak keras, maka konflik tidak terlalu
berpengaruh terhadap kondisi dalam kelompok. Selama konflik tidak sampai
tahap membahayakan bagi kedua kelompok, maka kelompok-kelompok tersebut
masih dapat menunjukkan gejala “ketidakeratan” karena belum merasa terancam
oleh kelompok lain, sehingga tanpa disadari, mereka merasa tidak perlu “merapat”
21 pada kelompoknya. Secara rinci, kerangka pemikiran dapat dituangkan dalam
Gambar 1.
Isu Konflik
• Isu- Isu Realistik
- Sumberdaya
- Ekonomi
• Isu-Isu non Realistik
‐ Nilai-nilai
‐ Identitas
‐ Prinsip
Kekerasan Konflik
‐ Tindakan
‐ Perkataan
‐ Sikap
Kohesivitas internal kelompok
‐ Jelasnya batas kelompok
‐ Sentralisasi struktur pengambilan
keputusan
‐
Solidaritas
AnggotaPengaruh
Hubungan
‐ Penekanan terhadap pembangkang
dan yang menyimpang, serta
menguatkan konformitas terhadap
nilai dan norma
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran.
2.3
Hipotesis Pengarah
Berdasarkan perumusan masalah penelitian, maka hipotesis pengarah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Kekerasan konflik mempengaruhi kohesivitas internal kelompok.
• Semakin keras atau intens suatu konflik, diduga kohesivitas internal
kelompok semakin kuat.
• Semakin tidak intens/keras suatu konflik, diduga kohesivitas internal
kelompok semakin renggang/tidak erat.
22 2) Isu konflik mempengaruhi kekerasan konflik
• Jika konflik semakin mengarah pada isu yang tidak realistik, diduga
tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik semakin besar, sehingga
konflik semakin mencapai kekerasan.
• Jika konflik semakin mengarah pada isu yang realistik, diduga tingkat
keterlibatan dan emosi dalam konflik semakin kecil, sehingga konflik
semakin menjauhi kekerasan.
2.4
Definisi Operasional Konsep
1) Konflik adalah benturan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang
menyebabkan terjadinya proses saling menjauhkan diantara kedua belah
pihak.
2) Isu realistik adalah isu-isu yang melatarbelakangi terjadinya konflik yang
berupa materi seperti tanah dan sumberdaya alam.
3) Isu non-realistik adalah isu-isu
yang melatarbelakangi terjadinya konflik
yang berupa non materi seperti ideologi, nilai- nilai, identitas, dan prinsipprinsip.
4) Kekerasan konflik adalah proses dimana konflik telah menyebabkan
kerusakan, baik secara mental, sosial dan fisik, baik itu melalui tindakan,
perkataan, dan sikap.
• Kerusakan secara mental adalah munculnya rasa takut dan tertekan akibat
konflik.
• Kerusakan secara sosial adalah buruknya hubungan sosial antar kelompok
masyarakat yang ditandai dengan saling menjauh dan saling menyakiti.
• Kerusakan fisik adalah keadaan lingkungan yang kacau yang ditandai
dengan hancurnya fasilitas umum dan sumberdaya.
• Tindakan kekerasan adalah perilaku dan perbuatan yang mengarah pada
aksi- aksi yang melukai ataupun menyakiti pihak lain.
• Perkataan kekerasan adalah ucapan-ucapan yang kasar yang dapat
memancing emosi pihak lain.
5) Kohesivitas internal kelompok adalah eratnya hubungan antar anggota dalam
kelompok.
23 • Kohesivitas tinggi ditandai dengan :
a)
Jelasnya batas kelompok, yaitu tidak adanya komunikasi dan
interaksi di antara kedua belah pihak, karena anggota setiap
kelompok semakin merapat pada kelompoknya masing-masing.
b)
Sentralisasi struktur pengambilan keputusan, keputusan dalam
kelompok ditentukan oleh orang yang berpengaruh dalam kelompok
karena kelompok membutuhkan keputusan yang cepat dalam kondisi
konflik yang keras.
c)
Solidaritas anggota, yaitu kekompakan angota kelompok dalam
menyelesaikan masalah, interaksi yang intens, dan kesamaan
pendapat dalam menghadapi konflik.
d)
Penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, yaitu
adanya penguatan aturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai dalam
kelompok yang harus dipatuhi anggota kelompok dan adanya
penguatan sanksi bagi anggota kelompok yang menyimpang dari
aturan,norma dan nilai-nilai yang telah disepakati.
e)
Menguatkan
konformitas
terhadap
nilai
dan
norma,
yaitu
meningkatnya kepatuhan anggota kelompok terhadap nilai dan
norma di dalam kelompoknya.
• Kohesivitas rendah ditandai dengan kurangnya solidaritas, interaksi yang
tidak atau kurang intens, perbedaan pendapat dalam menghadapi konflik,
kurang jelasnya batas antar dua kelompok/masih adanya komunikasi dan
interaksi di antara kedua kelompok.
24 BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana penelitian ini
mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian (verstehen),
mengetengahkan hasil pengamatan dengan rinci, serta peneliti berusaha untuk
membangun teori konsep, hipotesis, serta sintesis tentang masyarakat yang diteliti
(Creswel,
1994).
Melalui
pendekatan
ini,
peneliti
berusaha
untuk:
(1) menggambarkan konflik yang terjadi di antara aktor-aktor konflik,
(2) menggambarkan
ekspresi-ekspresi dan kekerasan kekerasan konflik, (3)
menganalisis pengaruh kekerasan konflik terhadap kohesivitas kelompok yang
terlibat konflik. Ketiga hal tersebut dijelaskan dalam kajian ini dengan strategi
studi kasus.
Melalui strategi ini, peneliti berusaha menemukan fakta sosial
berdasarkan masalah yang dikaji mengenai konflik antar kelompok masyarakat.
Penelitian ini menuntut adanya interaksi langsung antara peneliti dan subjek
penelitian dalam suatu komunitas. Strategi ini diharapkan dapat menggali
informasi mendalam mengenai fakta- fakta tentang konflik yang terjadi.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Lokasi
ini dipilih secara purposive (sengaja) karena di daerah ini banyak terjadi
kekerasan konflik yang dilatarbelakangi oleh isu realistik, dalam penelitian ini
adalah konflik tanah dan non realistik, dalam penelitian ini adalah isu agama dan
identitas kelompok. Selain itu, secara geografis daerah ini mudah dijangkau oleh
peneliti sehingga peneliti memiliki peluang yang besar untuk menemukan
permasalahan yangdikaji. Penelitian (dari proses penjajagan lapangan, penentuan
informan, pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan laporan penelitian) akan
dilaksanakan mulai bulan Juni-Agustus 2009.
25 3.3
Penentuan Objek Kajian, Informan, dan Responden
Unit analisis yang dipilih sebagai objek kajian adalah kelompok
masyarakat yang terlibat dalam konflik yang bersifat manifest (terbuka) dan brutal
(keras) yang berakar dari isu realistik dan isu non realistik. Informan (meliputi
tokoh masyarakat, aparat desa, dan aparat keamanan terkait) merupakan pihak
yang
memberikan
lingkungannya.
keterangan
Informan
tentang
diharapkan
diri,
keluarga,
dapat
membantu
pihak
lain,
peneliti
dan
dalam
mendapatkan informasi yang sahih atau memberikan keterangan tambahan
tentang topik kajian. Informan dipilih dengan teknik snowball secara purposive
(bertujuan) sampai data yang dikumpulkan bersifat jenuh.
Responden merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (aktor
konflik). Responden dipilih dengan menggunakan teknik snowball hingga
informasi dan data yang dibutuhkan dianggap jenuh.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi
kelompok dengan warga yang terlibat konflik (warga tersebut tergabung dalam
suatu kelompok). Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga
melakukan pengamatan (observasi). Data sekunder yang dikumpulkan dalam
penelitian ini diantaranya berupa data dan dokumen yang menggambarkan
konflik- konflik yang telah terjadi di wilayah penelitian. serta literatur-literatur
terkait. Sumber dokumen ini diantaranya adalah data internal Polres Pekalongan,
data internal Pengadilan Negeri Pekalongan, data monografi wilayah terkait,
laporan penelitian, makalah, buku, dan internet.
3.5
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan semenjak pengumpulan data sekunder sampai data
primer di lapangan. Kemudian data-data yang diperoleh dari hasil wawancara,
analisis dokumen/ literatur direduksi melalui proses pemilihan, pengkategorian
data- data berdasarkan kepentingan sub-sub bab yang dibahas, disesuaikan dan
dijabarkan secara subjektif dengan sudut pandang informan dan responden.
26 Data yang akan dianalisis meliputi: (1) Arti kekerasan menurut subjek
penelitian, (2) arti solidaritas menurut subjek penelitian, (3) kaitan antara
kekerasan konflik dengan isu konflik yang melatarbelakanginya (isu realistik dan
non realistik), dan (4) kaitan tingkat kekerasan konflik terhadap kohesivitas
kelompok, kemudian data disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan (langsung
maupun tidak langsung) dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan. Selain
itu, data yang ada disajikan dalam bentuk teks naratif-deskriptif maupun tabel. Hal
ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat memudahkan melihat konflik
yang terjadi serta upaya penyelesaian yang pernah dilakukan, serta memudahkan
untuk melakukan proses penarikan kesimpulan melalui verifikasi setelah
penyajian data tersebut dilakukan.
27 BAB IV
KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN
PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN
PEKALONGAN (KASUS 1)
4.1
Gambaran Umum Konflik
Kasus konflik ini merupakan konflik yang terjadi di antara dua kelompok
masyarakat yang “berbeda”, yaitu antara kelompok identitas dengan kelompok
non identitas (kelompok pekerja). Kelompok identitas yang menjadi aktor utama
konflik adalah kelompok pemuda Islam, sedangkan kelompok non identitas yang
menjadi “lawan” kelompok identitas adalah kelompok pekerja yang tergabung
dalam pengelolaan Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Isu utama
yang menjadi “sorotan” dalam konflik ini adalah masalah penjualan minuman
keras dan keberadaan tempat hiburan malam yang sangat ditentang oleh kelompok
identitas.
Kebrutalan/kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam
terhadap kelompok pengelola Cafe X merupakan “puncak” dari kemarahan
kelompok pemuda Islam terhadap ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan
kadar alkohol tertentu dengan kondisi masyarakat Pekalongan serta tindakan
aparat keamanan yang dinilai kurang tegas terhadap pihak-pihak yang
mengkonsumsi/mengedarkan minuman keras di wilayah Pekalongan. Sebelum
mencapai kekerasan, konflik antara kelompok identitas dan kelompok non
identitas ini diawali oleh konflik laten antara kelompok identitas dan aparat
keamanan. Tahap krisis dalam konflik terjadi pada saat kelompok identitas
melakukan tindakan kekerasan berupa penyerangan, pemukulan, dan perusakan
terhadap kelompok non identitas dan fasilitasnya.
4.2
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik
Kasus konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola
Cafe X melibatkan aktor-aktor lain yang berperan dan terlibat dalam konflik.
kasus konflik yang terjadi tampak dalam Gambar 2.
28 Masyarakat
yang pro
terhadap
keberadaan
Cafe X (MP)
Aparat
kepolisian
Masyarakat
yang kontra
terhadap
Gambar
2. Pemetaan Konflik
keberadaan
Cafe X (MK)
Pihak
pengelola
Cafe X
Pemuda Islam
At-Taqwa
Keterangan:
konflik atau perselisihan
hubungan yang dekat
tidak ada hubungan
konflik laten
mempengaruhi
Gambar 2. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1).
Selain dua aktor utama, ada tiga aktor lain yang berhubungan dengan aktor
utama konflik atau menjadi penyebab konflik. Dalam kasus konflik ini, pihak
aparat kepolisian dengan Pemuda Islam At-Taqwa memperlihatkan hubungan
yang kurang baik atau konflik dalam wujud laten. Hubungan tersebut dianalisis
dalam urutan kejadian/kronologi konflik, dimana sebelum terjadi konflik dengan
Cafe X, Kelompok Pemuda At-Taqwa berkonflik laten dengan aparat kepolisian
karena perbedaan cara dan sasaran dalam bertindak. Aparat kepolisian selaku
penegak hukum beranggapan bahwa mereka bertindak sesuai tugas dan
kewenangan yang mereka miliki.
Acuan dalam bertindak adalah Undang-
Undang, sedangkan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa beranggapan bahwa
aparat kepolisian bersikap tidak netral karena cenderung melindungi Cafe X yang
mereka anggap dapat merusak masyarakat. Akibat perbedaan cara pandang ini,
terjadi konflik laten yang terlihat dari sikap masing-masing pihak yang
29 menunjukkan “ketidaksukaan”. Hal ini dikemukakan oleh salah satu orang yang
berperan penting dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa:
“Polisi itu tidak netral, mereka tidak tahu keadaan sebenarnya di masyarakat,
sedangkan kami yang sehari-hari hidup di sekitar masyarakat lebih tahu, tapi
namanya juga aparat, benar atau salahnya tindakan mereka ya selalu
dianggap benar, masalah kalau mereka ikut-ikutan berlaku salah seperti ikut
masuk di klab-klab malam dianggap wajar-wajar saja” (TOK, 37 tahun).
Meskipun kelompok pemuda Islam At-Taqwa memiliki pandangan yang
kurang baik terhadap aparat kepolisian, namun aparat kepolisian tetap sebagai
pihak yang berpengaruh terhadap pengendalian kegiatan di masyarakat, termasuk
menindak aksi kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menghentikan
kekerasan.
Hubungan antara masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X
(MK) dengan Kelompok pemuda At-Taqwa ditandai dengan hubungan yang dekat
serta hubungan pengaruh. Secara langsung, keputusan Kelompok Pemuda AtTaqwa dipengaruhi oleh pengaduan dan laporan MK mengenai keberadaan Cafe
X. Hal ini menguatkan analisis bahwa terdapat hubungan yang dekat diantara
mereka karena kepercayaan MK kepada kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk
menangani Cafe X.
Menurut masyarakat sekitar, pada awal berdirinya Cafe X di Kecamatan
Tirto, Kabupaten Pekalongan, sebagian masyarakat mengaku terganggu dengan
keberadaan
Cafe
X
tersebut
karena
keadaannya
yang
tertutup
dan
“mencurigakan”, karena seluruh karyawannya adalah wanita muda, dan sebagian
besar pengunjungnya adalah pria yang berusia setengah baya. Menurut mereka,
jarang sekali ada remaja-remaja yang berkunjung ke Cafe X tersebut. Oleh karena
itu, Cafe X tersebut dianggap tidak baik berada di lingkungan mereka, terlebih
lagi masyarakat sering melihat pengunjung-pengunjung yang mabuk setelah
keluar dari Cafe X tersebut.
Maka, masyarakat mensinyalir bahwa Cafe X
tersebut menjual minuman keras. Karena keberadaan Cafe X tersebut dianggap
meresahkan, maka masyarakat yang cukup mengenal kelompok pemuda Islam
At-Taqwa melakukan pengaduan mengenai keberadaan Cafe X tersebut.
30 Masyarakat menganggap bahwa kelompok pemuda Islam tersebut dapat
mengatasi masalah Cafe X dan mengambil tindakan yang semestinya.
Namun ternyata, keberadaan Cafe X ini tidak sepenuhnya ditanggapi
buruk oleh masyarakat. Masyarakat yang cukup beranggapan positif (bersikap
pro) terhadap Cafe tersebut menilai bahwa Cafe X cukup “sopan” dalam
menjalankan bisnisnya dibandingkan dengan cafe-cafe lain di Pekalongan.
Mereka juga cukup mengenal pemilik cafe dan sejumlah karyawan cafe yang
mereka nilai cukup ramah. Beberapa warga yang bersikap pro terhadap
keberadaan Cafe X mengaku bahwa mereka justru merasa “diuntungkan” dengan
keberadaan Cafe
X tersebut.
Salah satu responden yang pro terhadap
dikemukakan dalam kutipan pernyataannya; “…yo saya sih ngerasa diuntungkan,
PL-PL di cafe itu kan jadi langganan warung saya, jadi warung saya laris” (UMI,
48 tahun).
Masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan pihak cafe cenderung
beranggapan positif terhadap bisnis Cafe X dan orang-orang yang mengelolanya
karena secara langsung mereka merasakan “manfaat” keberadaan Cafe X tersebut
di sekitar lingkungan mereka. Tanggapan responden yang lain terhadap Cafe X
dapat dilihat dalam kutipan pernyataan SHR sebagai berikut :
“…ndak merugikan masyarakat kok, malahan saya sering dapat
penghasilan tambahan dengan iseng-iseng “markiri” mobil-mobil
pengunjung, anak-anak muda di sini juga seneng kok duduk-duduk di
depan cafe” (SHR, 50 tahun, buruh).
4.2.1
Aktor Utama yang Berkonflik
Gambar 2 menggambarkan secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik serta hubungan-hubungannya. Dalam pemetaan konflik, aktor-aktor yang
terlibat telah terlebih dulu diidentifikasi dan dari hasil identifikasi para aktor,
terdapat dua aktor utama yang berkonflik yaitu Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa dan pihak pengelola Cafe X. Garis bergelombang yang menghubungkan
kedua aktor utama tersebut menandakan bahwa terjadi konflik atau perselisian
yang nyata/terbuka di antara keduanya. Secara umum, gambaran dua aktor utama
konflik adalah sebagai berikut:
31 4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merupakan kelompok pemuda masjid
dari Kramatsari, yang dinamakan remaja At Taqwa yang bermisi memberantas
kejahatan dan kemaksiatan yang ada di wilayah Pekalongan. Kelompok pemuda
Islam ini awalnya hanya beranggotakan para pemuda Desa Kramatsari yang
tergabung dalam remaja Masjid At-Taqwa, namun akhirnya keanggotaan
kelompok ini meluas dan bersifat fleksibel, sehingga memberi ruang kepada siapa
pun yang ingin bergabung dalam memberantas kemunkaran. Dalam melakukan
aksi-aksinya, baik dalam wujud halus ataupun keras, mereka sering beraksi
bersama FPI dan terkadang orang-orang di luar keanggotaan mereka juga sering
ikut dalam aksi- aksi mereka. Kelompok pemuda ini sangat berpengaruh di
lingkungan mereka, termasuk dalam membentuk karakter masyarakat. Bahkan
kelompok pemuda Islam ini lebih berpengaruh daripada aparat desa yang sering
mendapat perlawanan dari masyarakat.
Karena keanggotaan yang bersifat fleksibel dan tidak terorganisir, maka
anggota sulit dikenali dan dikoordinasi.
Akibatnya dalam aksi-aksi mereka
cenderung ada pihak luar yang “membonceng” dengan motif hanya untuk
kesenangan sehingga aksi-aksi mereka cenderung menyimpang dari yang telah
dimusyawarahkan kelompok. Hal ini sering menjadi pemicu buruknya citra
mereka di kalangan masyarakat dan aparat kepolisian.
Para anggota kelompok sering bertemu dalam Majelis Ta’lim yang
diadakan paling tidak setiap minggu. Majelis Ta’lim membahas tajwid (kaidah AlQur’an), aqidah (keyakinan), dan tauhid (meng”esa”kan Tuhan). Dalam Majelis
Ta’lim ini juga sering dibahas masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat
dan upaya untuk memberantas kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai agama.
Dalam melakukan aksi-aksinya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa terlebih
dahulu mengadakan musyawarah anggota untuk menyusun strategi. Sebelum aksi
mereka mencapai kekerasan, biasanya didahului oleh proses somasi yang
“damai”.
Dalam keseharian kelompok pemuda Islam At-Taqwa, nilai-nilai
kebersamaan dan musyawarah merupakan dasar hubungan sosial antar anggotaanggotanya. Salah satunya tampak pada kebiasaan berkumpul dalam suatu majelis
32 ta’lim yang diadakan setiap minggu, yang bertujuan untuk membahas masalahmasalah umat Islam, serta menambah pengetahuan mengenai Islam yang
mencakup tajwid, aqidah, dan tauhid.
Selain itu, kepekaan sosial kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap
lingkungan sekitar juga sangat tinggi, tidak jarang mereka “turun tangan”dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan kenakalan remaja, perjudian, dan
tindakan penyimpangan sosial lainnya. Tidak jarang masyarakat yang
“menyimpang” pada akhirnya bergabung dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa untuk mendalami agama Islam.
Tindakan kolektif tampak pula ketika kelompok mereka harus berhadapan
dengan sekelompok orang yang secara terang-terangan menentang keberadaan
mereka dalam menegakkan aturan-aturan Islam di masyarakat. Ekspresi-ekspresi
kolektif akan muncul secara spontan untuk tetap menjaga nilai-nilai agama Islam
di Pekalongan, terutama di sekitar desa mereka. Ekspresi-ekspresi kolektif
tersebut meliputi pemberian somasi kepada pihak terkait, protes secara lisan, dan
permohonan dukungan kepada pihak kepolisian untuk menangani masalahmasalah tersebut. Tidak jarang upaya-upaya tersebut mendapat dukungan dari FPI
di wilayah Pekalongan.
4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X
Cafe X berlokasi di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Cafe ini
didirikan pada awal tahun 2008 dengan jumlah karyawan kurang lebih 20 orang.
Karyawan-karyawan tersebut bertempat tinggal menyebar di wilayah Kabupaten
Pekalongan dan Kota Pekalongan. Seperti cafe pada umumnya, Cafe X memiliki
fasilitas hiburan dan restoran yang cukup banyak dikunjungi tamu dari berbagai
usia. Cafe ini dimiliki oleh seorang pengusaha bernama DSR. Sebagian besar
karyawan cafe ini adalah wanita. Dalam mempertahankan eksistensi cafenya,
pemilik cafe juga mempekerjakan pemuda-pemuda yang bertempat tinggal di
sekitar cafe sebagai petugas keamanan. Menurut hasil penelitian dan keterangan
informan, cafe ini juga menjual beberapa jenis minuman beralkohol, namun
penjualannya tersembunyi. Menurut keterangan masyarakat sekitar, cafe ini cukup
meresahkan
karena
keberadaannya
sangat
tertutup.
Namun
sebenarnya,
33 keberadaan Cafe X ini legal dan telah sesuai dengan Perda Kabupaten
Pekalongan.
4.2.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua Aktor
Utama Konflik
Dalam analisis konflik, ingin dipahami apakah ada perbedaan “versi”
mengenai berbagai unsur dalam konflik yang meliputi isu dan kronologi konflik
diantara dua pihak yang berkonflik. Perbedaan pemahaman mengenai konflik
dapat dianalisis dari tanggapan-tanggapan dan penjabaran kedua aktor utama
mengenai konflik.
4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
Konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe
X sudah terjadi sejak awal pendirian Cafe X tersebut di wilayah Kecamatan Tirto,
Kabupaten Pekalongan, namun diawali dalam wujud konflik laten. Pada dasarnya,
aksi brutal yang terjadi pada tanggal 25 April 2009 yang dilakukan oleh kelompok
pemuda Islam At-Taqwa terhadap pengelola Cafe X merupakan akumulasi dari
konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan Pemerintah
Daerah serta aparat kepolisian yang dianggap membiarkan masuknya minuman
keras dan tempat-tempat hiburan malam ke wilayah Pekalongan. Keinginan
kelompok ini adalah membebaskan seluruh wilayah Pekalongan termasuk wilayah
Kabupaten Pekalongan dari minuman keras. Namun, Perda Kabupaten
Pekalongan mengesahkan penjualan minuman dengan kadar alkohol tertentu
untuk diperjual belikan di wilayah Kabupaten Pekalongan (Lampiran 4). Perda
ini ternyata tidak sejalan dengan visi dan misi kelompok ini untuk memberantas
“kemunkaran” dan “kemaksiatan” dalam tujuannya mewujudkan Pekalongan
sebagai kota santri termasuk dalam hal ini mencegah peredaran minuman keras
dan keberadaan tempat-tempat hiburan malam.
Sebelum terjadi konflik dengan pengelola Cafe X, kelompok Pemuda
Islam ini sudah memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dengan aparat
kepolisian. Mereka menilai bahwa gerak aparat kepolisian cenderung tidak tegas
dan kurang netral dalam menyikapi masalah minuman keras dan “tempat-tempat
asusila” di wilayah Pekalongan.
34 Sebelum konflik berujung pada tindakan penyerangan dan kekerasan yang
ditujukan pada Cafe X, konflik telah ada dalam wujud konflik laten yang dimulai
sejak masyarakat di sekitar Cafe X ini merasa resah dengan keberadaan Cafe X
dan melaporkannya pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena mereka
adalah kelompok Islam yang cukup dikenal masyarakat di Kecamatan Tirto.
Akhirnya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa berusaha memberikan somasi dan
peneguran-peneguran secara “halus” serta permohonan untuk bertemu dengan
pemilik Cafe X untuk mendiskusikan perihal keberadaan Cafe X di tengah-tengah
masyarakat Kecamatan Tirto. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil karena
mereka mendapat perlawanan/intimidasi dari pihak-pihak yang melindungi Cafe
X, yang diduga adalah sekelompok preman yang berasal dari Kota Pekalongan,
dan menurut keterangan salah satu informan, cafe ini juga mendapat perlindungan
dari aparat kepolisian di tingkat Polwil. Hal ini diungkapkan Bapak TOK
(37,wiraswasta) sebagai berikut :
“Kami tidak “ujuk-ujuk” (tiba-tiba) menyerang, sebelumnya sudah berupaya
menegur dan mengajukan permohonan untuk bertemu pemilik dan
berdiskusi, tetapi kelompok kami malah diintimidasi oleh preman-preman
landungsari yang membacking Cafe X tersebut dan menurut isu yang luas,
Cafe X itu juga dilindungi aparat kepolisian dari tingkat Polwil”(TOK, 37
tahun).
Akhirnya, sebagai bentuk “hilang kesabaran” karena merasa ditantang dan
diremehkan, mereka melakukan peyerangan secara keras terhadap Cafe X pada
malam hari dengan melibatkan 20 orang. Mereka memakai pakaian serba hitam
dan cadar. Aksi penyerangan yang mereka sebut “sweeping” ini disertai aksi
pemukulan terhadap sejumlah pengelola cafe dan pengunjung karena merasa
geram. Mereka juga merusak properti milik cafe, sehingga pada saat itu keadaan
cafe benar-benar hancur.
Beberapa menit setelah aksi penyerangan, aparat kepolisian langsung
datang ke TKP dan meringkus pelaku penyerangan. Dari 20 orang pelaku, hanya 3
orang yang berhasil diringkus dan sisanya masih dalam Daftar Pencarian Orang
(DPO) dan mereka dijerat pasal 170 KUHP. Pelaku juga mendapat tuduhan
pencurian karena dari pihak pengelola cafe melaporkan bahwa setelah
penyerangan banyak barang milik karyawan dan pengunjung yang hilang. Namun,
35 menurut informan dari pihak kelompok ini, keterangan tersebut hanya bentuk
“akal-akalan” dari pihak Cafe agar pelaku dikenai sangsi yang lebih berat. Hal ini
dikemukakan oleh Bapak TOK sebagai berikut :
“Mereka mengaku banyak barang yang hilang, tapi kami tahu itu hanya akalakalan saja, sudah biasa setelah aksi sweeping pasti dari pihak yang
bersangkutan membuat laporan palsu ada barang yang hilang, dan sebagainya.
Mereka juga bilangnya dipukuli pakai kayu, tapi padahal kayu-kayu itu sudah
ada di cafenya, tinggal ambil saja”. (TOK,37)
Menurut informan dari pihak kepolisian, aksi mereka tidak perlu dilakukan
karena Perda miras di Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan miras
dengan kadar alkohol tertentu. Di sisi lain, kelompok pemuda Islam At-Taqwa
menganggap bahwa minuman keras dengan kadar berapapun tetap tidak
diperbolehkan beredar di Kabupaten Pekalongan. Kasus ini hanya salah satu
gambaran konflik kepentingan antara sekelompok orang yang bermisi
mewujudkan masyarakat yang taat pada agama Islam dengan aparat kepolisian
yang bermisi melindungi kebebasan dan ketenangan di masyarakat. Namun, cara
mereka tidak sejalan sehingga seringkali terjadi perbedaan pandangan yang
akhirnya mengakibatkan rasa saling tidak percaya. Hal ini merupakan salah satu
wujud konflik laten antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat
kepolisian. Hal ini diungkapkan salah seorang informan dalam Kelompok Pemuda
Islam At-Taqwa sebagai berikut :
“saya sudah pernah beberapa kali masuk penjara karena aksi-aksi semacam
ini, pada waktu di penjara,polisi itu bertindak berlebihan terhadap
saya,karena saya dianggap berbahaya, ketakutan mereka itu terlalu berlebihan
terhadap orang-orang seperti kami. Masa saya mau solat aja harus dikawal 4
orang polisi, itu juga katanya masih terlalu longgar pengamanannya,
sepertinya saya ini penjahat saja” (DW,30 tahun).
Kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa aparat
kepolisian hanya sebatas menegakkan hukum dengan “buta”, yang artinya mereka
tidak mengetahui secara persis keadaan yang sebenarnya di masyarakat.
Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merasa lebih berhak dan tepat melakukan
aksi mereka daripada upaya penegakkan aparat kepolisian yang tidak netral.
Kasus penyerangan yang dilakukan pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X
36 yang terjadi pada 25 April 2009 sampai saat ini masih diperkarakan di Pengadilan
Negeri Pekalongan, sedangkan Cafe X yang diduga menjual minuman keras,
hingga kini masih dibebaskan melanjutkan usahanya.
Tuntutan untuk segera
menutup Cafe X tersebut tetap diajukan oleh anggota kelompok pemuda AtTaqwa yang lain. Dari hasil wawancara mendalam peneliti dengan beberapa
informan dan responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa, maka
secara analitis, pemahaman konflik berdasarkan urutan kejadiannya menurut
Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam kronologi konflik
pada Gambar 3.
Januari 2008
Pertengahan
2008
September
2008
OktoberNovember
2008
Awal berdirinya Cafe X yang belum cukup
mendapat perhatian masyarakat.
Cafe X mulai memancing perhatian masyarakat
sekitar karena kondisinya yang cukup
“tertutup”. Masyarakat sekitar mulai meminta
tolong pada para remaja untuk melakukan
penggeledahan terhadap Cafe X.
Informasi mengenai keberadaan Cafe X mulai
sampai ke telinga Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa, dan kelompok ini mulai berupaya untuk
melayangkan somasi dan permohonan untuk
bertemu dengan pemilik Cafe X
Kelompok Pemuda At-Taqwa mendapat
intimidasi dari sekelompok preman yang
membacking Cafe X.
37 Januari 2009
April 2009
Perwakilan kelompok Pemuda At-Taqwa
mengajukan permohonan pada aparat kepolisian
setempat untuk mendampingi penggeledahan
Cafe X tetapi tidak mendapat respon
Kelompok Pemuda At-Taqwa melakukan
penyerangan secara keras terhadap Cafe X
dengan membawa anggota sebanyak 20 orang.
Gambar 3. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda
Islam At-Taqwa.
Menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa, sejak awal dibukanya
Cafe X, yaitu pada Januari 2008,
telah muncul berbagai polemik dalam
masyarakat. Sebagian masyarakat menaruh curiga terhadap Cafe X.
Pada
pertengahan 2008, beberapa pemuda di sekitar Cafe X melaporkan perihal
keberadaan Cafe X tersebut kepada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang
berlokasi di Desa Kramatsari, kecamatan Tirto. Pada bulan September 2008, pihak
Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mulai berupaya untuk mengatasi kecurigaan
masyarakat dengan cara mengajukan permohonan untuk bertemu dengan pihak
pengelola dan pemilik Cafe X untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam Cafe
X tersebut, namun somasi mereka tidak ditanggapi oleh pihak yang bersangkutan.
Pada sekitar bulan Oktober dan November, pihak pemuda Islam At-Taqwa
mengaku mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang melindungi Cafe X.
namun bentuk intimidasi yang telah dilakukan tidak diungkapkan oleh informan.
Pada Januari 2009, Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa telah mengajukan
permohonan kepada aparat kepolisian untuk mendampingi mereka dlam
melakukan penggeledahan terhadap Cafe X untuk membuktikan kecurigaan
masyarakat, namun permohonan mereka tidak dihiraukan. Akhirnya, sebagai
bentuk “kegeraman” mereka karena terus-menerus tidak ditanggapi oleh pihak
Cafe X dan aparat kepolisian, pada bulan April 2009 lalu mereka melakukan aksi
“sweeping” terhadap Cafe X.
Sejak terjadinya “aksi brutal” yang dilakukan oleh pemuda Islam AtTaqwa terhadap Cafe X, masalah miras dan tempat-tempat hiburan di Pekalongan
38 masih sering dipermasalahkan karena dianggap merusak umat. Hal ini berarti
harus ada peninjauan ulang terhadap Perda Kabupaten Pekalongan yang dianggap
tidak wajar dan tidak berusaha membentuk masyarakat yang baik. Namun,
kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak dapat dengan mudah merealisasikan visi
dan misi mereka.
Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok dengan kedua belah
pihak yang berkonflik, yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan Pengelola
Cafe X, mengungkapkan bahwa terdapat masalah inti yang berbeda yang
menimbulkan konflik diantara keduanya yang berujung pada tindak kekerasan.
Masalah inti dari konflik yang terjadi menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa
adalah penyimpangan nilai-nilai agama Islam yang diperlihatkan oleh aktivitas
Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Akar dari masalah tersebut
adalah Peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan
masyarakat di Kabupaten Pekalongan yang dikenal sebagai masyarakat Kota
Santri. Akar masalah yang lain adalah tindakan aparat keamanan yang dinilai
tidak amanat, yaitu cenderung mendukung keberadaan tempat-tempat hiburan
yang menyalahi aturan-aturan Islam, bahkan cenderung melindunginya. Hal ini
menunjukkan indikasi adanya konflik laten antara kelompok pemuda Islam AtTaqwa dengan aparat keamanan. Dari konflik yang terjadi, muncul efek positif
dan negatif yang dirasakan oleh pihak Kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Efek
positif yang muncul diantaranya adalah keeratan kelompok dan kewaspadaan
kelompok. Efek negatif yang dirasakan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa
adalah kebencian terhadap aparat keamanan, dendam dan kecurigaan, serta
ketidakadilan hukum yang diperoleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa akibat
konflik.
Berbagai aspek yang berhubungan dengan terjadinya konflik yang
meliputi masalah inti, sebab-sebab awal, dan efek-efek yang muncul akibat
konflik menurut pandangan kelompok pemuda Islam At-Taqwa dapat
digambarkan dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 4).
39 Kewaspadaan kelompok (+)
Dendam dan kecurigaan (-)
EFEK
Kebencian (-)
MASALAH INTI
AKAR
Ketidakadilan hukum (-)
Keeratan
kelompok
(+)
Penyimpangan
nilai-nilai
agama Islam
Peraturan Daerah
yang tidak sesuai
Aparat keamanan
yang tidak amanat
Gambar 4. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok
Pemuda Islam At-Taqwa.
4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X
Menurut pihak pengelola Cafe X, pada Sabtu malam, tepatnya tanggal 25
April 2009 pukul 21.30 malam, terjadi aksi penyerangan brutal terhadap Cafe X
yang dilakukan oleh puluhan orang dengan pakaian “ninja”. Aksi mereka
dikatakan brutal karena mereka tidak hanya melukai beberapa pengelola cafe dan
pengunjung, tetapi juga merusak properti cafe. Sekelompok penyerang tersebut
datang secara bergerombol dengan mobil dan beberapa diantaranya menggunakan
motor. Setelah tiba di pintu gerbang Cafe X, sebagian dari mereka menjaga di
luar dan sebagian yang lain masuk ke dalam cafe. Setelah menemukan salah
seorang karyawan di pintu masuk, satu orang dari gerombolan penyerang tersebut
langsung memukul karyawan itu tepat di bagian kepala, kemudian disusul oleh
aksi pemukulan yang dilakukan anggota gerombolan yang lain terhadap
pengunjung dan karyawan lain. Sejumlah pengunjung dan karyawan tidak luput
dari amukan, dan sebagian besar korban mengalami luka memar di bagian tubuh.
40 Gerombolan penyerang tersebut memukul korban-korbannya dengan kayu yang
mereka bawa, dan merusak properti cafe dengan alat yang sama.
Beberapa menit setelah aksi brutal tersebut, seluruh karyawan dan
pengunjung cafe digiring ke halaman parkir dan dipaksa untuk berjongkok.
Beberapa orang dari gerombolan tersebut masih ada yang memukul karyawan dan
pengunjung. Gerombolan penyerang tersebut menyerukan kalimat “apakah kalian
mengerti tentang Islam?” dengan lantang. Para karyawan dan pengunjung yang
tidak mengetahui akar masalah yang menyebabkan cafe itu diserang hanya
terdiam. Beberapa menit setelah itu, aparat keamanan yang meliputi Polwil
Pekalongan dan Polresta Pekalongan tiba di Cafe X yang menjadi TKP kasus
penyerangan tersebut. Pasca kejadian malam itu, suasana tampak mencekam,
mobil patroli dan sejumlah polisi tampak melakukan penyelidikan karena
gerombolan orang bertopeng ala ninja tersebut setelah melakukan aksinya,
berhasil kabur dengan kendaraan mereka masing-masing.
Aksi brutal ini sangat mendadak dan tidak diduga karena sebelumnya
pihak pengelola cafe tidak mendapat teguran/kecaman/ancaman apapun dari pihak
luar. Namun, pihak pengelola Cafe X menduga bahwa aksi ini adalah “aksi
politik bisnis” dari pihak-pihak yang merasa tersaing karena keberadaan Cafe X.
Menurut mereka, aksi segerombolan penyerang tersebut sudah terorganisir karena
terlihat pembagian tugas pada aksi penyerangan tersebut. Pada saat memasuki
cafe, ada yang berjaga di pintu gerbang dan ada yang menyerang ke dalam room
cafe, sehingga para pengunjung dan karyawan cafe terjebak dalam kepungan
mereka. Kecurigaan pihak pengelola cafe mengenai motif penyerangan ini
diungkapkan oleh salah seorang pengelola cafe berinisial DSR (55) :
“janggal saja kelihatannya kan, masak kebetulan sekali diserang pas
penjaga cafe ini sedang tidak ada, mereka bisa tahu dari mana coba,
pasti sudah dimata-matai. Pasti orang-orang itu suruhan dari orang yang
ngerasa tersaingi sama bisnis cafe ini. Namanya politik kan bisa
macem-macem triknya”(DSR,55 tahun).
Pihak pengelola cafe mengaku bahwa Cafe X menjual beberapa jenis
minuman beralkohol dengan kadar di bawah 10 persen, dan kadar tersebut telah
sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan tentang minuman keras sehingga
41 penjualan minuman tersebut telah memperoleh perijinan yang lengkap dan bisnis
Cafe X tersebut telah legal. Oleh karena itu, aksi brutal sekelompok orang yang
tidak mereka kenal diduga sangat tidak wajar dan merupakan bentuk tindakan
kriminal dari pihak-pihak yang merasa “tersaing”.
Secara analitis, pemahaman konflik dalam hal kronologi konflik dari
sudut pandang pengelola Cafe X digambarkan pada Gambar 5 dalam bentuk
skema kronologi konflik sebagai berikut:
Cafe
X
didatangi
oleh
segerombolan orang berpakaian
“ala ninja” berjumlah sekitar 20
orang. mereka mengendarai mobil
dan motor.
Sabtu, 25 April 2009
pukul 21.30 – 10.15
(Periode Kekerasan
Konflik)
Setibanya di Cafe X, gerombolan
orang tersebut menyerbu ke dalam
Cafe X
sekitar 10 orang
sedangkan 10 orang lainnya
berjaga di luar.
Pemukulan terhadap pengunjung
dan karyawan cafe dan perusakan
sejumlah properti cafe
Semua karyawan dan pengunjung
digiring ke halaman parkir
Polisi datang ke Cafe X, dan pada
saat itu juga gerombolan penyerang
melarikan diri
April 2009- Juli 2009
Perasaan curiga mengenai motif
kekerasan
bahwa
kekerasan
dilakukan
atas
dasar
motif
persaingan bisnis
Konflik laten antara pengelola cafe
dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa,ditunjukkan pada setiap
pertemuan di persidangan kasus.
Gambar 5. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak Cafe X.
42 Berdasarkan pandangan pengelola Cafe X, tahap kekerasan terjadi tanpa
diawali dengan konflik laten yang mereka rasakan. Namun setelah terjadi
kekerasan, konflik laten muncul sebagai akibat dari kecurigaan terhadap isu/motif
kekerasan. Menurut pengelola Cafe X, masalah inti dari konflik yang berujung
pada tindak kekerasan adalah persaingan “klaim bisnis”. Menurut mereka, pihakpihak yang menekan, merusak dan melukai kelompok mereka adalah pihak-pihak
yang merasa tidak suka dengan bisnis Cafe X karena merasa tersaing, sehingga
mereka berupaya merusak dan menghancurkan Cafe X. Bisnis Cafe X yang
cukup maju dan banyaknya pesaing bisnis diduga sebagai akar permasalahan yang
mendorong terjadinya konflik antara kedua aktor. Menurut pengelola Cafe X,
efek positif yang muncul akibat adanya konflik adalah kewaspadaan di dalam
kelompok pengelola Cafe X serta keeratan dalam hubungan antar anggota. Efek
negatif yang dirasakan mereka diantaranya adalah ketakutan, kekerasan, serta
dendam dan kecurigaan. Penggambaran mengenai isu konflik menurut pihak
pengelola Cafe X dapat dilihat dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut
(Gambar 6).
43 Keeratan kelompok (+)
EFEK
Kekerasan (-)
Ketakutan (-)
MASALAH INTI
Kewaspadaan (+)
Persaingan
Bisnis
AKAR
Dendam dan kecurigaan
(-)
Banyaknya pesaing bisnis
Berdirinya Cafe X
Bisnis Cafe X yang maju
Gambar 6. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pengelola
Cafe X.
4.2.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik
Sejak awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan,
kontroversi keberadaan Cafe X tersebut sudah menunjukkan gejala polemik
kepentingan antar berbagai pihak. Gejala yang terjadi cukup kompleks dan
melibatkan beberapa aktor, diantaranya masyarakat yang mendukung keberadaan
Cafe X karena mendapat penghasilan atau dipekerjakan oleh pengelola Cafe X
dan masyarakat yang tidak menghendaki keberadaan Cafe X dan berupaya untuk
menutup Cafe X. Namun, polemik antar masyarakat ini tidak memicu konflik
antar keduanya. Yang menjadi aktor utama yang menentang keberadaan Cafe X
ini adalah Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang akhirnya mengetahui isu
yang terjadi mengenai keberadaan Cafe X dari kelompok masyarakat yang
menentang keberadaan Cafe X. Kondisi ini menggambarkan tahap prakonflik
yakni tahap awal terjadinya konflik yang ditandai oleh ketidaksesuaian sasaran di
44 antara dua pihak atau lebih. Gejala ketegangan mampu diendapkan sehingga
masing-masing pihak berusaha untuk menghindari kontak antara satu sama lain.
Namun, kondisi ini tidak bertahan lama karena beberapa bulan kemudian mulai
ada upaya-upaya pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menguak
prakonflik ini menjadi konfrontasi dengan aksi-aksi yang lebih “tegas”.
Pada tahap konfrontasi, konflik semakin terbuka dengan munculnya
ketegangan-ketegangan yang menyebabkan terjadinya upaya-upaya salah satu
pihak untuk menekan pihak lainnya. Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
memberikan somasi kepada pengelola dan pemilik Cafe X dan memanggil
pemilik Cafe X dengan maksud melakukan negosiasi secara damai. Upaya ini
dilakukan dengan damai tetapi menekan dengan tegas. Namun, upaya somasi
dengan jalan damai ini dianggap tidak direspon dengan baik oleh pihak pengelola
dan pemilik cafe. Upaya ini justru mendapat perlawanan berupa intimidasi dan
penghalangan oleh sejumlah orang yang diduga sebagai preman yang bertugas
melindungi Cafe X. Selain upaya tersebut, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
juga berusaha mengajukan permohonan kepada aparat keamanan untuk bersamasama melakukan penggeledahan terhadap Cafe X, namun menurut pihak
Kelompok At-Taqwa, upaya ini tidak mendapat tanggapan dari aparat kepolisian.
Akhirnya, kondisi ini memicu emosi salah satu pihak untuk bertindak lebih dari
upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk dapat
melanjutkan aksinya menuju tahap yang lebih keras.
Tahap konfrontasi kemudian meninggikan ketegangan dan emosi salah
satu pihak yang akhirnya mendorong terjadinya tahap krisis yang merupakan
puncak konflik, yaitu pada saat kekerasan dari salah satu pihak kepada pihak
lawan terjadi paling hebat. Pada tahap ini, pihak yang lebih kuat, dalam kasus ini
adalah kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan kekerasan terhadap pihak
lawan, yaitu pihak pengelola Cafe X yang berada di lokasi sasaran, yaitu Cafe X.
Dalam kasus penyerangan ini, beberapa pihak pengelola Cafe X dan pengunjung
terluka parah dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Hal ini dikemukakan oleh
SNT (25), salah satu pengelola Cafe X yang ikut menjadi korban penyerangan.
“Mereka tidak lihat-lihat itu laki-laki atau perempuan,main pukulin saja.
Padahal waktu itu saya sempat berhadap-hadapan sama salah satu pelaku,
dia tahu kan saya perempuan, tapi tidak peduli, main pukul aja, sampai
45 kepala saya berdarah,dan setelah polisi datang saya langsung masuk rumah
sakit” (SNT,25 tahun).
Pada periode krisis ini, pihak yang “menang” adalah Kelompok Pemuda
Islam At-Taqwa, karena dari pihak Cafe X tidak ada perlawanan. Pihak pengelola
Cafe X mengaku pada saat itu sedang dalam keadaan tidak siaga, dan pihak-pihak
yang melindungi cafe sedang dalam keadaan lengah. Kasus penyerangan ini
menimbulkan ketakutan terhadap pihak Cafe X dan memancing aparat keamanan
untuk turun tangan.
Tahap krisis dalam suatu konflik selalu menimbulkan akibat-akibat
tertentu. Dalam kasus ini, salah satu pihak telah menaklukan pihak lain. Namun,
tidak semua pihak yang berhasil menaklukkan lawannya benar-benar “menang”.
Pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang merupakan pihak yang menang
dan berhasil menaklukan pihak lawannya, yaitu pihak pengelola Cafe X, justru
dianggap sebagai pihak yang bersalah karena tindakannya yang melanggar
ketertiban umum dan telah melakukan perusakan. Akibatnya, meskipun tingkat
ketegangan menurun atau bahkan hilang, namun Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa harus menanggung sanksi moral dan hukum. Kedua pihak yang berkonflik
tidak melakukan negosiasi atau mediasi karena salah satu pihak telah ditangani
dengan jalur hukum, sehingga berhentinya konflik bukan karena kesepakatan
kedua belah pihak, melainkan karena campur tangan aparat kepolisian secara
hukum untuk menangani pihak yang dianggap bersalah.
Akhirnya, situasi konflik diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi
dan kekerasan, namun cara ini bukan keinginan kedua belah pihak, melainkan
upaya aparat kepolisian untuk meredam emosi yang lebih tinggi dari kedua belah
pihak dengan tindakan hukum. Meskipun ketegangan dan kekerasan tidak terjadi
lagi, namun bukan tidak mungkin bahwa situasi prakonflik hingga krisis dapat
terulang lagi karena penyelesaian kasus ini belum sampai pada penanganan akar
konflik, yaitu masalah perbedaan pandangan mengenai aturan-aturan dalam
masyarakat, khususnya masalah aturan dan nilai-nilai agama. Kondisi ini
merupakan situasi pascakonflik yang dapat menjadi potensi konflik berikutnya.
Hasil penggambaran mengenai perbedaan pemahaman terhadap konflik
dari kedua aktor yang berkonflik menunujukkan perbedaan mengenai isu dan
46 kronologis konflik menurut sudut pandang kedua pihak. Pihak pengelola Cafe X
beranggapan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan segerombolan penyerang yang
tidak dikenal adalah bermotif persaingan bisnis. Pihak pengelola Cafe X mengaku
bahwa bisnis cafe tersebut cukup maju dan diduga akan memancing sejumlah aksi
tekanan-tekanan dari pihak-pihak yang merasa tersaing. Kronologi konflik yang
berhasil diungkap dari sudut pandang pengelola Cafe X menggambarkan
kekerasan konflik, tanpa terlebih dahulu teridentifikasi proses yang mengawali
aksi
kekerasan
tersebut.
Dengan
demikian,
pihak
pengelola
Cafe
X
menggambarkan skala kronologi yang sempit.
Penggambaran kronologi konflik dalam skala yang lebih luas diungkapkan
oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, dimana tahap kekerasan konflik dicapai
setelah melalui tahap konflik laten. Tahap aksi kekerasan dilakukan sebagai wujud
semakin meningkatnya ketegangan dan emosi akibat konflik laten yang
terakumulasi. Berbeda dengan sudut pandang pengelola Cafe X, kelompok
Pemuda Islam At-Taqwa mengungkapkan isu agama sebagai faktor pendorong
terjadinya konflik terbuka antara mereka dan pihak pengelola Cafe X serta konflik
laten antara mereka dengan aparat kepolisian.
4.3
Kaitan antara Isu Prinsip Agama dan Persaingan “Klaim
Bisnis”dengan Kebrutalan Konflik
Dari hasil analisis isu-isu konflik dengan menggunakan pohon konflik,
terdapat “perbedaan versi” mengenai isu konflik menurut dua aktor utama konflik.
Isu konflik menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah prinsip agama.
Isu ini adalah isu non realistik, karena tujuan yang ingin dicapai tidak berbentuk
secara fisik/materi. Sedangkan berdasarkan sudut pandang pihak pengelola Cafe
X, konflik yang kemudian berujung pada kekerasan yang mereka rasakan
memiliki isu persaingan “klaim bisnis”, yang
merupakan isu realistik. Jika
dianalisis dengan menggunakan teori penyebab konflik menurut Fisher, et.al.
(2000), teori negosiasi prinsip sangat berperan dalam menggambarkan isu-isu
yang melatarbelakangi terjadinya konflik berdasarkan sudut pandang kedua belah
pihak. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak 47 pihak yang mengalami konflik. Perbedaan sudut pandang mengenai isu konflik
dikarenakan posisi dan peran mereka yang berbeda dalam masyarakat. Kedua
aktor konflik merasa memiliki hak untuk melaksanakan aktivitas yang berkaitan
dengan tujuan mereka. Hal ini kemudian menjadi pendorong terjadinya
kesalahpahaman tentang konflik di antara mereka. Pihak pengelola Cafe X yang
merupakan kelompok “pekerja”, berupaya untuk meningkatkan eksistensinya
dalam bisnis cafe yang mereka miliki sehingga menimbulkan anggapan-anggapan
bahwa ada potensi ancaman dari pesaing-pesaing bisnis yang berusaha
menurunkan eksistensi mereka. Di sisi lain, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
yang merupakan kelompok identitas memiliki tujuan, visi dan misi yang berbeda
dari pihak pengelola Cafe X berupaya mewujudkan tujuan mereka untuk
menegakkan aturan-aturan Islam dalam masyarakat, salah satunya adalah dengan
menutup Cafe X yang dianggap menyalahi aturan-aturan Islam.
Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan aturan-aturan Islam. Untuk
mewujudkan sasaran tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan aksi kekerasan agar nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan
aturan Islam dapat terwujud di dalam masyarakat. Kelompok pemuda Islam Attaqwa beranggapan bahwa kekerasan adalah bentuk ketegasan yang wajib
dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang patuh terhadap agama Islam.
Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ditanggapi
berbeda oleh pihak pengelola Cafe X yang beranggapan bahwa aksi kekerasan
tersebut adalah upaya menurunkan eksistensi bisnis mereka karena merasa
tersaingi.
Secara rinci, dapat disimpulkan bahwa isu yang melatarbelakangi konflik
yang terjadi antara pihak pengelola Cafe X dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa lebih dominan mengarah konflik non realisik yang memiliki sasaran
bersifat non materi berupa nilai-nilai pokok, karena perilaku konflik lebih
ditunjukkan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Oleh karena itu, sifat
konflik ini tidak mudah mencapai kompromi untuk meraih sasaran-sasaran yang
diinginkan sehingga konflik berujung pada kekerasan. Kekerasan menurut pihak
pengelola Cafe X adalah tindakan yang telah menyebabkan kerusakan dan “luka
48 fisik” pada diri seseorang sebagaimana tindakan sekelompok orang (kelompok
pemuda Islam At-taqwa) yang ditujukan terhadap mereka, sedangkan kekerasan
menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah tindakan yang dapat
menyebabkan kerusakan dan ketakutan sehingga objek yang dituju merasa jera.
4.4
Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok
Dalam kasus ini, teori dan preposisi Coser mengenai konflik dapat dilihat
secara jelas. Coser berpendapat bahwa konflik eksternal berfungsi untuk
memperkuat kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok meliputi : (1) jelasnya
batas kelompok, (2) sentralisasi struktur pengambilan keputusan, (3) solidaritas
anggota, (4) penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta
menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma.
Kohesivitas kelompok
semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar
semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi dalam
kasus konflik antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe
X dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok :
1.
Jelasnya Batas Kelompok
Dalam hal batas kelompok, kekerasan konflik tidak banyak memberi
pengaruh dalam membentuk batasan-batasan kelompok, karena sejak semula
pihak yang berkonflik adalah kelompok identitas dengan non identitas, sehingga
sebelum terjadi konflik sudah terlihat batasan yang jelas antara kedua kelompok.
Kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas, karena
menonjolkan ciri khas serta visi dan misi tertentu. Sebelum terjadinya konflik,
batasan yang jelas telah terlihat dari perbedaan cara, gaya hidup, lingkungan, dan
pergaulan dari masing-masing kelompok.
2.
Sentralisasi Stuktur Pengambilan Keputusan
Ancaman dari luar kelompok dapat merangsang sentralisasi kekuasaan
dalam suatu kelompok, namun hal ini juga tergantung pada sifat dari ancaman
tersebut dan struktur di dalam kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini, konflik
telah mencapai tahap serangan/ ancaman, sehingga masing-masing kelompok
memerlukan tindakan yang benar-benar terkoordinasi dan menentukan dalam
kelompok. Pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, konflik telah menaikkan
49 tingkat emosi dan ketegangan dalam kelompok mereka pada saat mereka merasa
diacuhkan dan diremehkan. Pada tahap ini, konflik semakin berpotensi mendekati
kekerasan, karena dianggap telah ada upaya-upaya untuk menentang kelompok
mereka. Pada saat ketegangan semakin tinggi, upaya untuk menekan secara keras
pihak kedua yang dianggap sebagai pihak yang menentang mereka juga semakin
tinggi. Pada tahap ini, mereka semakin memerlukan tindakan dan keputusan yang
cepat serta terkoordinasi. Akibatnya, keputusan dalam kelompok semakin
ditentukan oleh pihak yang dominan dalam kelompok mereka, yaitu pimpinan
kelompok atau orang lain yang dianggap mampu mengendalikan kelompok.
Proses menuju tindakan penyerangan terhadap pihak Cafe X dikendalikan oleh
satu orang yang berpengaruh dalam kelompok, yaitu pimpinan kelompok.
Akhirnya, pengambilan keputusan oleh orang berpengaruh dalam kelompok
menghasilkan aksi yang terkoordinasi. Sistem pengambilan keputusan kelompok
pada saat konflik menuju kekerasan dikemukakan oleh salah satu informan dari
Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, yaitu bapak DNW (30) sebagai berikut:
“kami melakukan tindakan semacam ini hanya manut saja, sesuai kata teman
yang memang sudah biasa bicara di dalam kelompok dan sering memimpin
Majelis Ta’lim. Jadi saya tinggal membonceng saja, karena semuanya sudah
siap”. (DNW,30 tahun).
Pada saat kondisi stabil atau belum mendekati kekerasan, musyawarah
kelompok lebih diutamakan sehingga keputusan anggota-anggota kelompok lebih
dipentingkan daripada sentralisasi pengambilan keputusan oleh salah satu orang.
Sedangkan pada kondisi yang tidak stabil atau mencapai ketegangan, keputusan
dari pimpinan kelompok atau orang yang berpengaruh dalam kelompok lebih
diutamakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Dalam kasus ini, tindakan
untuk memerangi kemunkaran (penyimpangan) di dalam masyarakat harus
dilakukan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, maka keputusan dari
pimpinan kelompok/ orang yang berpengaruh dalam kelompok tidak dapat ditolak
oleh para anggotanya. Sanksi bagi anggota kelompok yang bersikap netral atau
menolak keputusan kelompok adalah sanksi moral. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Bapak TOK (37) :
50 “Siapa yang menentang atau menolak untuk memerangi kemaksiatan, maka
mereka adalah orang yang bermaksiyat juga, jadi tidak ada yang berani
menolak untuk memerangi kemunkaran, mereka wajib taat sama keputusan
yang tujuannya untuk mewujudkan kebaikan umat.” (TOK,37 tahun).
Pada pihak pengelola Cafe X, kekerasan konfllik tidak berkaitan terhadap
struktur pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan mereka adalah kelompok
kerja yang didalamnya telah terdapat susunan kerja secara hierarki, sehingga
dalam kondisi apapun, pimpinan/pemilik cafe selalu menjadi orang yang
bertindak untuk mengandalikan anggota dan menegakkan aturan-aturan dalam
hierarki kerjanya. Sebelum dan setelah terjadi kekerasan konflik, struktur
pengambilan keputusan kelompok menunjukkan kondisi yang sama, yaitu
pemegang keputusan dan kekuasaan tertinggi adalah pimpinan/pemilik.
3.
Solidaritas Anggota Kelompok
Berdasarkan preposisi Coser tentang fungsi konflik bagi kohesivitas
kelompok, ancaman dari luar dapat merangsang kekompakan dan solidaritas
dalam kelompok. Artinya, kekuatan solidaritas dan integrasi di dalam suatu
kelompok
semakin tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan
kelompok luar semakin besar.
Dalam kasus konflik antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan
pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik menunjukkan fungsi yang sama
terhadap solidaritas anggota masing-masing kelompok. Efek kekerasan konflik
sama-sama dirasakan oleh kedua pihak. Setelah terjadi kekerasan yang dilakukan
kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, tindakan hukum segera
berlaku bagi kelompok yang melakukan kekerasan. Tindakan hukum ini
mengarah pada ancaman hukuman pidana bagi anggota-anggota kelompok yang
terlibat dalam tindak kekerasan tersebut. Akibat aksi brutal yang mereka lakukan
pada 25 April 2009
lalu, tiga anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
ditangkap aparat kepolisian dan terancam dijatuhi hukuman penjara karena
pelanggaran pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan terhadap barang/orang
secara bersama-sama dan terang-terangan. Sedangkan anggota kelompok lain
yang terlibat masih dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) di kepolisian. Hal ini
mendorong solidaritas anggota-anggota kelompok. Upaya pembelaan dan
pembebasan tiga anggota kelompok yang telah menjadi “tersangka” tindak
51 kriminal terus dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Kepedulian anggota
kelompok sangat diperlihatkan, salah satunya dari upaya untuk membebaskan
“rekan” mereka dari hukuman. Selama dalam masa tahanan, intensitas kunjungan
anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap tiga anggota kelompok
mereka yang “ditahan” cukup sering dan intens. Selain itu, perlindungan terhadap
anggota-anggota kelompok lain yang masih dalam DPO kepolisian juga
ditunjukkan oleh kelompok. Dalam hal ini, solidaritas diartikan oleh kelompok
pemuda Islam At-Taqwa sebagai kesetiakawanan kelompok. Salah satu responden
dari kelompok pemuda Islam At-Taqwa menyatakan arti solidaritas sebagai
berikut :
“kalo anggota-anggota kelompok saling membantu, melindungi, pokoknya
setia kawan satu sama lain ya berarti kelompok itu sudah punya solidaritas
yang tinggi” ( DNW, 30 tahun).
Bagi pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik yang terjadi juga
menunjukkan dampak yang positif bagi kelompok. Upaya-upaya untuk
melindungi karyawan-karyawan wanita lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum
terjadinya kekerasan konflik. Apapun persepsi mereka terhadap ancaman dan
tekanan dari “kelompok penyerang”, ancaman dan tekanan dari luar itu
meningkatkan dan mempertahankan solidaritas internal mereka. Hal ini juga
ditunjukkan oleh “perlakuan” pimpinan/pemilik Cafe X terhadap karyawankaryawannya. Pimpinan/pemilik Cafe X dinilai lebih meningkatkan kontrol dan
perlindungannya terhadap para karyawan. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25)
sebagai berikut:
“ Mami jadi lebih sering datang ke cafe, padahal tadinya jarang karena beliau
sibuk sekali, sejak kejadian itu jadi sering datang. Keamanan juga ditambah
buat ngelindungi cafe dan karyawannya juga, terutama yang
perempuan”(SNT, 25 tahun).
Masyarakat sekitar, terutama yang bertempat tinggal berdekatan dengan
Cafe X juga melihat peningkatan solidaritas dan kewaspadaan di dalam kelompok
pengelola Cafe X. Solidaritas diartikan oleh kelompok pengelola Cafe X sebagai
tindakan yang saling melindungi di dalam kelompok, serta kepatuhan bersama
52 terhadap peraturan kelompok. Hal ini dikemukakan oleh Ibu UMI, (48) sebagai
berikut:
“ gara-gara cafenya diserang mungkin Ibu DS jadi lebih hati-hati betul,
sekarang kayawan-karyawan perempuannya ndak boleh keluar selama masih
dalam jam kerja, mereka harus di dalam cafe saja, kalau mau makan biasanya
dipesanin, lalu makanannya diantar ke dalem,pokoknya dijaga sekali” (UMI,48
tahun).
4.
Penekanan Terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta
Menguatkan Konformitas Terhadap Nilai dan Norma
Kohesivitas
kelompok
diantaranya
adalah
penekanan
terhadap
pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap
nilai dan norma kelompok. Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas
yang memiliki tujuan serta visi dan misi khusus yang selalu berusaha mereka
wujudkan di dalam kelompoknya serta di dalam masyarakat, sebagai contoh
adalah visi mereka dalam memberantas kemunkaran dan kemaksiatan di dalam
masyarakat. Pada saat konflik menuju ketegangan yang tinggi bagi kelompok,
yaitu pada saat mereka merasa diremehkan atau ditentang, keputusan untuk
melakukan tindakan yang lebih “anarkis” sebagai wujud peringatan keras datang
dari seseorang yang berpengaruh di dalam kelompok atau pimpinan kelompok.
Pada tahap itu, para anggota kelompok semakin “menurut” atau patuh pada
perintah pimpinannya dan untuk melakukan tindakan yang diperintahkan. Sebagai
wujud kepatuhan terhadap aturan, norma dan nilai-nilai kelompok, tidak ada
anggota yang bersikap netral terhadap pihak lawan, atau tidak berpartisipasi dalam
“memerangi” pihak lawan. Hukuman terhadap penyimpangan nilai-nilai
kelompok tidak diberikan secara keras, melainkan dengan ucapan-ucapan lisan
dan hukuman moral yang akan menyadarkan mereka pada kewajiban mereka
sebagai anggota kelompok. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden dari
pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut :
“pokoknya kalau kita sudah menghadapi masalah-masalah pelanggaran nilai-nilai
Islam,kita langsung bertindak,kalo perlu aksi kekerasan ya kita lakukan, ndak ada yang
menolak atau cuek-cuek saja, soalnya masalah nilai moral itu bukan main-main, kalau
ada yang ndak mau bertindak ya berarti ndak merasa bagian dari kelompok ini, berarti
ndak mau membela Islam” (DNW,30 tahun).
53 4.5
Ikhtisar
Konflik yang terjadi antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan
pengelola Cafe X merupakan konflik non realistik yang dilatarbelakangi oleh isu
yang berbeda menurut pandangan kedua belah pihak yang berkonflik. Dua aktor
utama yang berkonflik adalah dua kelompok yang berbeda “tipe”. Kelompok
Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki visi dan misi
serta tujuan tertentu yang pada intinya untuk mewujudkan masyarakat yang
“agamis”, sedangkan kelompok pengelola Cafe X adalah kelompok yang
merupakan “bagian” dari masyarakat.
Karena perbedaan latar belakang
kelompok, maka di antara keduanya terdapat perbedaan penafsiran mengenai
konflik yang terjadi. Isu mengenai penyebab konflik yang dikemukakan oleh
kelompok Pemuda Islam At-Taqwa adalah pelanggaran nilai-nilai agama Islam,
sedangkan isu penyebab konflik yang dikemukakan kelompok pengelola Cafe X
adalah isu persaingan “klaim bisnis”. Konflik mencapai tahap kekerasan pada
waktu salah satu pihak, yaitu kelompok Pemuda Islam At-Taqwa merasa bahwa
kelompoknya diacuhkan. Maka sebagai wujud “protes” terhadap ketidakpedulian
tersebut, kelompok ini kemudian menunjukkan “identitas”nya dengan melakukan
aksi kekerasan.
Pada dasarnya, konflik antar dua kelompok yang berbeda ini juga diwarnai
oleh konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak
kepolisian yang menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak berusaha
menertibkan masyarakat secara benar, bahkan diduga mereka cenderung memihak
pada pengelola Cafe X.
Pada kasus ini, terbukti bahwa kekerasan konflik
berfungsi positif pada keeratan hubungan (kohesivitas kelompok) pada masingmasing kelompok. Kohesivitas kelompok ditunjukkan dengan kepatuhankepatuhan para anggota kelompok terhadap aturan-aturan/ nilai-nilai pada
kelompoknya masing-masing, kekompakan dalam berperilaku yang merupakan
bentuk kewaspadaan kelompok, serta adanya dominasi/sentralisasi struktur
pengambilan keputusan pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa. Sentralisasi
struktur pengambilan keputusan ini memperlihatkan kepatuhan anggota kelompok
pada keputusan pimpinan/orang yang berpengaruh di dalam kelompok.
54 BAB V
KASUS KONFLIK ANTARA DESA DEPOK DAN DESA BLACANAN,
KECAMATAN SIWALAN, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 2)
5.1
Gambaran Umum Konflik
Konflik yang melibatkan dua kelompok pemuda dari dua desa ini pecah
menjadi aksi kekerasan/kebrutalan konflik pada bulan Oktober 2007. Sebelum
mencapai kekerasan, konflik ini terlebih dahulu “mengendap” dalam bentuk
konflik laten dalam jangka waktu yang tidak dapat diperkirakan. Konflik ini
mengarah pada isu non realistik berupa “harga diri”, meskipun semua aktor
konflik memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai isu konflik. Konflik yang
telah mencapai aksi kekerasan/kebrutalan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa
dari salah satu pihak serta kerusakan fasilitas. Kekerasan yang terjadi juga
menyebabkan semakin renggangnya hubungan sosial antar masyarakat kedua
desa.
Dua aktor utama konflik, yaitu kelompok pemuda Desa Blacanan dan
kelompok pemuda Desa Depok memiliki karakteristik yang “mirip” satu sama
lain. Kemiripan karakteristik tersebut dapat dilihat pada mata pencaharian mereka
yang sebagian besar adalah perantau di kota besar. Konflik berupa pertikaianpertikaian kecil antar individu sering terjadi diantara mereka pada saat mereka
kembali dari kota. Konflik ini akhirnya pecah menjadi konflik antar kelompok
yang melibatkan puluhan pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok.
Dalam peristiwa ini, pemuda Desa Blacanan berstatus sebagai pelaku kekerasan
(tersangka), sedangkan warga Desa Depok berstatus sebagai korban.
5.2
Gambaran Lokasi Konflik
Konflik yang terjadi di antara kelompok pemuda Desa Depok dengan
kelompok pemuda Desa Blacanan mencuat pada tahun 2007, kemudian terjadi
tahap kekerasan konflik pada tanggal 20 Oktober 2007 di Desa Depok,
Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Secara Geografis, Desa Blacanan
dan Desa Depok berbatasan satu sama lain. Untuk menuju ke arah Kota
55 Pekalongan, kedua desa melewati rute yang sama, oleh karena itu interaksi sangat
sering terjadi di antara kedua desa.
Desa Depok merupakan desa bertipe desa pesisir yang memiliki wisata
laut bahari bernama Pantai Wisata Depok. Objek wisata ini banyak dikunjungi
oleh warga di Kecamatan Siwalan, termasuk warga Desa Blacanan. Pantai Wisata
Depok sering menjadi tempat berkumpul pemuda-pemuda di Kecamatan siwalan
untuk mengadakan pesta dan pentas seni yang sering dilakukan setiap tahun
menjelang perayaan hari kemerdekaan dan menjelang bulan Ramadhan. Setiap
tahun, tercatat peristiwa pertikaian antar pemuda di Pantai Wisata Depok akibat
ketidaktertiban dari perayaan-perayaan yang sering mereka adakan.
Secara geografis, posisi Desa Blacanan dan Desa Depok di Kecamatan
Siwalan, Kabupaten Pekalongan dapat dilihat denah lokasi Kecamatan Siwalan
sebagai berikut (Gambar 7).
Gambar 7. Denah Lokasi Kecamatan Siwalan.
Dalam denah di atas, dapat dilihat bahwa posisi Desa Depok dan Desa
Blacanan yang ditandai dengan anak panah yang berwarna merah berdekatan dan
56 berbatasan langsung. Lokasi aksi kekerasan konflik yang terjadi pada tanggal 20
Oktober di Desa Depok dapat dilihat pada Gambar 8.
Pantai Wisata Depok
R
R
A
Desa Depok
R
Desa Blacanan
A
R
B
Y
C
X
W
Pantura
W
Sumber : Data Internal Pengadilan Negeri Pekalongan No.19/Pen.Pid/2008/PN PKL
Keterangan :
A : Musholla
B : Tempat Billyard
C : Rumah warga saksi
R : Rumah-rumah warga Desa Depok
W: Deretan warung
X : Rumah korban
Y : Kelompok pemuda Desa Blacanan
: Lokasi terjadinya bentrokan
Gambar 8. Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan.
5.3
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik
Dalam kasus konflik antar Desa Depok dan Desa Blacanan, yang menjadi
“aktor utama” konflik adalah kelompok pemuda dari kedua desa. Namun aktoraktor lain juga berperan dalam proses terjadinya konflik serta proses meredam
57 konflik. Secara umum, aktor-aktor konflik di Desa Blacanan dan Desa Depok
dapat dipetakan dalam peta konflik berikut ini (Gambar 9).
Pemuda
Desa
Depok
Pemuda
Desa
Blacanan
Aparat
Desa
Depok
Aparat
Desa
Blacanan
Tokoh
masyarakat
Desa
Blacanan
Aparat
Keamanan
Tokoh
masyarakat
Desa
Depok
Keterangan :
Mempengaruhi
Konflik laten
Konflik terbuka
Gambar 9. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik di Desa Depok-Blacanan
(Kasus 2).
Konflik terbuka yang menyebabkan korban jiwa ini melibatkan dua aktor
utama konflik yang karakteristik sosial yang homogen dalam hal usia, pendidikan
dan mata pencaharian. Mereka adalah kelompok pemuda dari Desa Blacanan dan
Desa Depok. Dalam kasus ini, pihak Desa Depok dianggap sebagai “korban”,
sedangkan pihak Desa Blacanan dianggap sebagai “tersangka”. Tokoh-tokoh dan
aparat desa dari kedua belah pihak sangat berperan dalam upaya perdamaian
kedua desa. Namun demikian, terkuak adanya konflik laten antara aparat Desa
Depok dan aparat Desa Blacanan serta konflik laten antara generasi-generasi tua
58 di kedua desa. Meskipun diidentifikasi terdapat konflik laten antara generasi tua di
kedua desa, namun tokoh masyarakat dan aparat-aparat desa dari kedua pihak
tetap menunjukkan perannya sebagai “mediator” dalam penyelesaian konflik antar
kelompok pemuda dari kedua desa yang bersangkutan.
Dalam peta konflik, terlihat garis bergelombang yang menghubungkan
kelompok pemuda dari Desa Depok dengan kelompok pemuda dari Desa
Blacanan yang menunjukkan konflik terbuka. Konflik terbuka ini telah
teridentifikasi karena telah sampai pada tahap aksi kekerasan yang melibatkan
kedua kelompok pemuda tersebut.
Tanda panah dalam peta konflik yang menghubungkan beberapa pihak
menunjukkan hubungan pengaruh. Aktor yang memiliki pengaruh ke berbagai
pihak adalah aparat keamanan/aparat kepolisian yang berkuasa dalam segala
upaya menangani konflik dan menunjukkan pengaruhnya pada setiap aktor-aktor
konflik. Hubungan antara tokoh-tokoh masyarakat dengan aparat desa adalah
hubungan saling mempengaruhi dalam upaya penanganan konflik. Keduanya
merupakan pengambil keputusan/kebijakan di tingkat desa dalam upaya
peredaman konflik.
Garis putus-putus yang menghubungkan aparat Desa Depok dan aparat
Desa Blacanan menunjukkan konflik laten di antara keduanya. Konflik laten ini
berlangsung sejak lama, dan semakin terlihat sejak terjadinya aksi brutal yang
dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok.
Penyebab konflik laten ini diindikasi adalah rasa saling tidak percaya bahwa
masing-masing dari mereka dapat mengendalikan warganya.
5.3.1
Aktor Utama yang Berkonflik
Dari berbagai aktor konflik yang terdapat dalam peta konflik,
diidentifikasi aktor-aktor utama konflik yang telah menunjukkan aksi-aksi konflik
yang nyata dalam wujud kekerasan konflik.
5.3.1.1 Kelompok Pemuda Desa Depok
Gambaran kehidupan pemuda Desa Depok menunjukkan nilai-nilai sosial
yang lekat sudah mulai meluntur karena perubahan gaya hidup pemuda yang
sudah cenderung menerupai masyarakat kota. Hal ini dikarenakan sebagian besar
59 pemuda desa adalah perantau di kota-kota besar sehingga pada saat mereka
kembali ke desa, budaya mereka berubah, bahkan cenderung menyimpang seperti
minum-minum,
ucapan
yang
kasar,
penampilan
yang
menunjukkan
“premanisme”, suka membuat keributan, serta kasar dan agresif. Hal ini dinilai
oleh generasi tua Desa Depok sebagai dampak negatif perkotaan yang
mempengaruhi pemuda desa dengan pendidikan rendah.
Setiap tahun menjelang lebaran, para pemuda desa kembali ke Desa
Depok. Setiap momen kepulangan ini mereka pergunakan untuk berkumpul
bersama teman-teman mereka yang juga perantau dengan cara mengadakan acaraacara hiburan seperti pentas musik, wayang dan sebagainya. Sedangkan para
tokoh masyarakat dan generasi tua sering melarang mereka mengadakan acaraacara tersebut karena akan cenderung menimbulkan konflik dan pemicu mereka
untuk berjudi dan mabuk-mabukan.
Pada dasarnya, kehidupan masyarakat di Kecamatan Siwalan, termasuk
Desa Depok sangat kental dengan nuansa religius, terbukti dengan partisipasi aktif
mereka yang selalu menghadiri pengajian “Jumat Kliwon” di Kota Pekalongan
secara bersama-sama. Namun sayangnya hal-hal ini tidak berlaku bagi para
pemuda. Mereka lebih suka berkumpul untuk bersenang-senang, minum-minum
dan berkelahi dengan desa lain. Hal ini diungkapkan oleh DDK (45) berikut ini :
“Pemuda-pemuda di sini mana mau ikut kegiatan-kegiatan yang positif,
apalagi pengajian, mereka itu kalau pulang sukanya kumpul-kumpul saja, dan
kalau nggak berantem mungkin mereka merasa tidak enak. Kita yang tua-tua
sudah sering memperingatkan,tapi tidak pernah didengarkan”(DDK,45
tahun).
5.3.1.2 Kelompok Pemuda Desa Blacanan
Masyarakat di Desa Blacanan memiliki karakteristik yang sama dengan
masyarakat Desa Depok. Hal ini karena Desa Depok dan Desa Blacanan
berdekatan dan dalam kesehariannya masyarakatnya sering bergaul dan bertemu.
Dalam hal kekerabatan, generasi tua Desa Depok banyak yang memliliki
hubungan keluarga dengan generasi tua di Desa Blacanan.
Seperti di Desa
Depok, mayoritas pemuda di Desa Blacanan adalah perantau di kota besar.
Mereka hanya kembali ke Desa setiap hari raya lebaran. Karakteristik pemuda
60 Desa Blacanan juga hampir sama dengan pemuda Desa Depok, yaitu “potret”
anak-anak muda yang agresif, kasar, dan suka berkelahi. Hal yang membedakan
di Desa Depok dan Desa Blacanan adalah sudah tidak berfungsinya lembaga
Karang Taruna dan organisasi pemuda lainnya di Desa Blacanan.
Tindakan kolektif yang khas ditunjukkan oleh pemuda-pemuda desa
yang memiliki solidaritas yang tinggi satu sama lainnya. Jika bertemu pada
momen-momen tertentu mereka cenderung “bersatu” untuk melakukan apapun,
termasuk aktivitas-aktivitas yang dinilai negatif oleh masyarakat. Jika salah satu
dari mereka berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan “harga diri”,
pemuda yang lain secara serentak akan membela anggotanya. Secara umum,
hubungan mereka diwarnai dengan nilai-nilai solidaritas yang tinggi, meskipun
dinilai banyak penyimpangan dan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai kesopanan
dalam gaya hidup mereka. Setiap kepulangan mereka dari merantau, mereka
mengadakan perkumpulan dengan pemuda-pemuda lainnya untuk mengakrabkan
diri satu sama lain.
5.3.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor
Konflik
Berkaitan dengan isu dan kronologi konflik, pemahaman mengenai konflik
dari aktor-aktor yang terlibat menunjukkan suatu perbedaan, meskipun jika dilihat
secara keseluruhan, aktor-aktor konflik menggambarkan konflik yang sama.
Perbedaan mengenai isu-isu konflik secara jelas dapat ditelaah dari gambaran
konflik menurut masing-masing aktor konflik.
5.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Depok
Konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa
Blacanan pada tahun 2007 awalnya disebabkan oleh pemukulan yang dilakukan
salah satu pemuda Desa Depok terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan yang
sedang melewati Desa Depok pada saat itu. Alasannya adalah pemuda Blacanan
tersebut dianggap sombong.
Karena merasa terhina, pemuda Desa Blacanan
tersebut melapor pada pemuda-pemuda lain di desanya. Satu hari setelah kejadian
pemukulan itu, kemudian terjadi aksi balas dendam yang sangat brutal. Aksi ini
dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan yang tidak diketahui pasti
61 jumlahnya karena sangat banyak yang mencari pelaku pemukulan.
Namun,
karena yang bersangkutan tidak ditemukan, maka pemuda yang kebetulan sedang
lewat di salah satu jalan di Desa Depok langsung dianiaya hingga tewas, padahal
dia tidak mengetahui masalah sebelumnya. Selain itu, beberapa rumah warga juga
menjadi sasaran amukan mereka. Masalah pemukulan tersebut adalah akumulasi
dari konflik laten yang telah terjadi dalam waktu lama antara Desa Depok dan
Desa Blacanan. Konflik laten tersebut memiliki akar permasalahan yang non
realistik, sehingga sulit untuk dipecahkan. Hal ini dikemukakan oleh salah satu
pemuda Desa Depok sebagai berikut :
“dek mbiyen emang cah Blacanan ki senenge nggolek masalah karo cah Depok,
mereka iri ngerti cah Depok akeh sing wis sukses ning kota,nek bali neng desa
mesti penampilane nguto, tapi cah Depok rak pernah ngolek masalah moso
dione’ke sombong” (SGD,26 tahun).
(Sejak dulu anak Blacanan suka mencari masalah dengan anak Depok, mereka iri
melihat anak Depok banyak yang sudah sukses di kota, jika pulang ke desa
penampilannya seperti orang kota, tetapi anak Depok tidak pernah mencari
masalah, tetapi diejek sombong).
Konflik yang terjadi berakar dari isu non realistik mengenai identitas dan
harga diri yang sangat dipentingkan oleh kedua aktor konflik. Akibat konflik laten
yang telah terjadi dalam waktu yang tidak teridentifikasi, konflik manifest yang
brutal muncul sebagai suatu akumulasi dari kebencian di antara kedua belah
pihak. Aksi brutal yang dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan terhadap
warga Desa Depok terjadi pada tanggal 20 Oktober 2007 sekitar pukul 23.30 di
Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Pada saat itu, terjadi
penyerangan yang brutal yang dilakukan oleh sekitar 30 orang dari Desa
Blacanan. Kekerasan konflik berwujud pada aksi perusakan rumah warga Desa
Depok secara bersama-sama oleh sekelompok pemuda Desa Blacanan tersebut
dan penganiayaan salah satu warga Desa Depok hingga korban meninggal dunia.
Aksi penganiayaan dan perusakan rumah tersebut diduga karena kemarahan
pemuda Desa Blacanan karena tidak dapat menemukan “musuhnya” pada saat
melakukan aksi penyerbuan, akibatnya kemarahan dan dendam mereka tujukan
pada warga Desa Depok yang tidak mereka kenal.
62 Menurut informasi dari responden di Desa Depok, aksi balasan sudah
mereka persiapkan untuk membalas perlakuan pemuda Desa Blacanan, tetapi
sebelum aksi balas dendam tersebut terlaksana, aparat kepolisian telah bertindak
dan berupaya mencagah terjadinya serangan balasan. Hal ini diungkapkan
responden dari Desa Depok sebagai berikut:
“nek misale polisi rung teko, mesti wis babak belur cah Blacanan, wong pas
kuwi cah Depok wis nyiapke pentungan nggo tawuran karo cah Blacanan,
bejone ora kelakon, lha nek kelakon opo rak tambah rusuh” (SGD,26 tahun).
(Seandainya saja polisi belum datang, pasti anak Blacanan sudak terluka parah
karena pada waktu itu anak Depok sudah menyiapkan pemukul untuk tawuran
dengan anak Blacanan, untung saja tidak terjadi, kalau saja sampai terjadi pasti
lah akan bertambah kacau).
Konflik antara pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok
menyebabkan retaknya hubungan antar kedua desa karena perasaan takut dan
enggan untuk berkomunikasi. Konflik yang terjadi pada bulan Oktober 2007 ini
merupakan konflik terparah dalam konflik Depok-Blacanan. Konflik yang sering
terjadi sebelumnya tidak sampai melibatkan puluhan orang dan tidak
menyebabkan korban tewas. “Keparahan” konflik yang terjadi antara pemuda
Desa Depok dan pemuda Desa Blacanan diungkapkan oleh responden sebagai
berikut :
“…. pas kuwi polisine sing teko yo akeh, dek polwil mbarang teko sa’ kompi,
sampe nggawe tendo-tendo neng perbatasan Depok-Blacanan, sa’minggunan
polisi jogo neng kono” (SGD,26 tahun).
(Pada saat itu polisi yang datang banyak, dari Polwil juga datang satu kompi,
sampai membuat tenda-tenda di perbatasan Depok-Blacanan, selama satu
minggu polisi berjaga di sana).
Ungkapan SGD tersebut menandakan bahwa konflik yang terjadi sangat
keras hingga melibatkan banyak aparat kepolisian turun tangan karena konflik ini
tidak dapat diselesaikan secara “damai” melalui mediasi dengan tokoh masyarakat
dan aparat desa terkait. Secara analitis, pemahaman mengenai kronologis konflik
menurut pemuda Desa Depok dapat digambarkan dalam bentuk skema kronologis
konflik (Gambar 10).
63 Sabtu, 20 Oktober
2007
Siang Hari
Pemukulan yang dilakukan
salah seorang pemuda Depok
terhadap Pemuda Blacanan
Sabtu, 20 Oktober
2007
pukul 23.30
Segerombolan pemuda Desa
Blacanan menyerang Desa
Depok, melakukan perusakan
rumah, dan menganiaya salah
satu warga Desa Depok hingga
tewas.
Minggu, 21 Oktober
2007
Pemuda
Desa
Depok
mempersiapkan aksi balasan
kepada pemuda Desa Blacanan
Minggu, 20 oktober
2007- 28 Oktober
2007
Masih terdapat upaya-upaya
untuk aksi pembalasan ke Desa
Blacanan namun telah ada
penjagaan ketat oleh aparat
kepolisian terhadap kedua desa
Gambar 10. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok
Pemuda Desa Depok.
Kronologi konflik di atas menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi
berdasarkan urutan waktu yang diungkapkan oleh responden dari Desa Depok.
Konflik terbuka masih dapat dilihat dalam kurun waktu satu minggu setelah
terjadi kekerasan konflik karena masih terdapat upaya-upaya untuk melakukan
aksi pembalasan. Konflik yang terjadi hingga memicu aksi kekerasan bermula
pada isu-isu pokok yang tidak dapat mencapai kompromi.
Menurut pemuda Desa Depok, masalah inti yang mendorong terjadinya
konflik adalah pelecehan dan kekerasan yang “diterima” oleh pemuda Desa
Blacanan yang selanjutnya mendorong terjadinya aksi pembalasan yang brutal.
Akar dari konflik adalah isu non realistik yang diduga berupa kecemburuan sosial,
perubahan gaya hidup, dan kesalahpahaman. Perubahan gaya hidup dan
kecemburuan sosial yang diperlihatkan oleh pemuda-pemuda dari kedua desa
memunculkan sikap yang “menantang” dari kedua belah pihak, sehingga
keterlibatan emosi dan ketegangan antar kedua pihak semakin meningkat dengan
64 menunjukkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan yang berujung pada aksi
kekerasan. Efek konflik yang telah mencapai tahap kekerasan hingga menelan
korban diidentifikasi bersifat positif dan negatif. Kekerasan/kebrutalan diartikan
oleh kelompok pemuda Desa Depok sebagai tindakan yang menghancurkan,
merusak, menghilangkan nyawa seseorang dan menyebabkan ketakutan. Salah
seorang responden mengungkapkan sebagai berikut :
“sing jenenge kekerasan yo mesti wis ono ngerusak, ngancuri,
menganiaya sampai meninggal, yo semuane yang bikin takut orang”
(MHA, 28 tahun).
Efek negatif yang dirasakan kelompok pemuda Desa Depok diantaranya
adalah dendam, ketakutan, dan kebencian yang berwujud laten. Sedangkan efek
konflik yang bersifat positif diperlihatkan pada keeratan kelompok pemuda Desa
Depok.
Isu-isu konflik menurut pemahaman pemuda Desa Depok dapat
digambarkan secara grafis dalam bentuk pohon konflik (Gambar 11).
Ketakutan (-)
Dendam (-)
Kebencian(-)
Keeratan kelompok (+)
EFEK
MASALAH INTI
Pelecehan dan
kekerasan
kecemburuan sosial
AKAR
perubahan gaya hidup
kesalahpahaman
Gambar 11. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pemuda
Desa Depok.
65 5.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Blacanan
Berdasarkan sudut pandang pemuda dari Desa Blacanan, konflik awalnya
dipicu oleh perusakan rumah dan pemukulan salah satu warga Desa Blacanan
yang dilakukan oleh warga Desa Depok. Hal ini menyebabkan rasa benci dan
dendam warga Desa Blacanan, terutama kelompok pemuda. Penyebab dari
perusakan rumah dan pemukulan yang dilakukan salah satu warga Desa Depok
tidak diketahui secara pasti, namun telah dinilai oleh pemuda Desa Blacanan
sebagai aksi “cari perkara”.
Konflik berawal dari perusakan rumah yang dilakukan warga Desa Depok
(tidak diketahui jumlahnya) terhadap rumah salah satu warga desa Blacanan pada
hari Sabtu, tanggal 20 Oktober 2007 pukul 04.00 pagi. Perlakuan yang tidak
menyenangkan ini mendorong pemuda Desa Blacanan untuk melakukan
pembalasan. Aksi pembalasan yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan
direncanakan oleh satu orang yang kemudian mempengaruhi pemuda-pemuda
lainnya untuk menyerang pemuda Desa Depok. Salah satu pemuda Desa Blacanan
yang terlibat dalam aksi penyerangan mengungkapkan sebagai berikut:
“…. dong kae sing ngajak ke ANT, aku karo sing liyane sek ngumpul
ning
pinggir ndalan, lha terus dijak karo ANT, nyerang ning
Depok, aku karo sing liyane yo manut bae, wong kuwi ke kan pak
mbeloni koncone dhewe” (SRT,29 tahun).
(pada waktu itu yang mengajak adalah ANT, saya dan yang lainnya
sedang berkumpul di jalan, kemudian diajak ANT menyerang ke
Depok, aku dan yang lainnya menurut saja, karena itu untuk membela
kawan sendiri).
Aksi pembalasan pada saat itu sebenarnya ditujukan kepada warga Desa
Depok yang telah terlebih dahulu melakukan pemukulan terhadap warga Desa
Blacanan, namun pada saat kelompok pemuda Desa Blacanan menyerbu Desa
Depok, orang yang bersangkutan tidak dapat ditemukan,sehingga kemarahan
mereka kemudian teralih pada siapa saja yang ada di Desa Depok. Akhirnya, para
pemuda Desa Blacanan secara tidak sengaja bertemu dengan TRD yang sedang
melewati jembatan dengan mengendarai motor. Pada saat ketegangan dan emosi
yang tinggi, para pemuda Desa Blacanan kemudian menghentikan TRD dan
memukulinya hingga tidak sadarkan diri, kemudian motor yang dikendarai TRD
66 dirusak. Beberapa jam kemudian TRD dinyatakan tewas, sedangkan pemudapemuda lainnya menuju beberapa rumah warga Desa Depok dan melakukan
pelemparan dengan batu hingga menyebabkan kerusakan pada beberapa rumah
warga tersebut. Beberapa jam kemudian polisi tiba di lokasi kejadian dan
meringkus sekitar enam orang yang diduga sebagai tersangka penganiayaan dan
perusakan rumah, sedangkan puluhan pemuda lainnya yang terlibat dalam aksi
penyerbuan berhasil melarikan diri. Kronologi konflik berdasarkan pandangan
kelompok pemuda Desa Blacanan dapat digambarkan dalam skema kronologi
konflik (Gambar 12).
Sabtu, 20
Oktober 2007
siang hari
Warga Desa Depok datang ke Desa Blacanan
untuk merusak salah satu rumah warga Desa
Blacanan
Sabtu, 20
Oktober 2007
malam hari
Warga Desa Blacanan melakukan aksi
pembalasaan dengan menyerbu Desa
Depok. Bentuk aksi pembalasan ini adalah
penganiayaan terhadap warga Desa Depok
hingga korban tewas dan perusakan rumah.
Oktober 20072009
Konflik laten warga Desa Depok-Blacanan
Gambar 12. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pemuda
Desa Blacanan.
Pengungkapan
Kronologi
konflik
oleh
warga
Desa
Blacanan
menggambarkan skala konflik yang sempit. Pemaparan konflik hanya terfokus
pada saat konflik mencapai kekerasan yang terjadi dalam satu konteks waktu.
Namun kronologi tersebut mengungkap dampak yang terjadi hingga saat ini
(tahun 2009) akibat kerasnya konflik, yaitu konflik laten yang berlanjut.
Berdasarkan sudut pandang pemuda Desa Blacanan, masalah inti konflik
sama dengan yang diungkapkan pemuda Desa Depok, yaitu masalah pelecehan
67 dan kekerasan yang kemudian berdampak negatif dan positif. Dampak positif
yang dapat diidentifikasi adalah solidaritas kelompok yang ditunjukkan dari aksi
“balas dendam” pemuda Desa Blacanan terhadap Desa Depok sebagai upaya
pembelaan bagi salah satu anggotanya yang telah “dilecehkan”. Dampak negatif
yang dirasakan oleh pemuda Desa Blacanan, diidentifikasi sama dengan dampak
negatif yang dirasakan oleh pemuda Desa Depok, yaitu berupa ketakutan, dendam
dan kebencian. Namun jika ditelaah dengan pohon konflik, konflik yang
digambarkan oleh pemuda Desa Blacanan adalah konflik di permukaan yang tidak
memiliki akar permasalahan. Konflik yang terjadi hanya dikarenakan tindakan
yang meremehkan dan menyakiti salah satu anggota kelompok pemuda Desa
Blacanan (Gambar 13).
Ketakutan (-)
Dendam (-)
Kebencian(-)
Solidaritas kelompok (+)
EFEK
MASALAH INTI
Pelecehan dan
kekerasan
Gambar 13. Pohon Konflik (Isu Konflik) Isu Konflik Berdasarkan Pemaparan
Pemuda Desa Blacanan.
5.3.2.3 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Depok
Konflik yang terjadi disebabkan oleh cekcok/adu mulut yang sepele antara
pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan yang terjadi pada hari Sabtu,
20 Oktober 2007. Karena emosi yang tidak terkendali akhirnya terjadi pemukulan
yang dilakukan pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan.
Cekcok/adu mulut ini tidak diketahui penyebabnya. Akibat pemukulan yang
dilakukan oleh pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan, maka
pemuda Desa Blacanan yang menjadi korban pemukulan merasa “terhina” dan
68 diremehkan, sehingga pemuda tersebut menceritakan perkara pemukulan tersebut
kepada pemuda-pemuda lain di Desa Blacanan. Pemuda-pemuda Desa Blacanan
yang lain merasa bahwa mereka perlu membalas perlakuan pemuda Desa Depok
tersebut kepada temannya. Maka pada malam harinya terjadi aksi penyerbuan
yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan ke Desa Depok. Kelompok
pemuda tersebut yang berjumlah puluhan orang kemudian merusak beberapa
rumah warga Desa Depok dan menganiaya salah satu warga Desa Depok yang
secara tidak sengaja melewati jembatan tempat mereka berkumpul. Kemudian
karena merasa geram, warga yang tidak tahu mengenai apa yang sedang terjadi
dianiaya secara beramai-ramai hingga tewas.
Pada dasarnya, konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dengan
pemuda Desa Blacanan yang berujung pada tindakan perusakan dan pembunuhan
berakar dari rasa tidak suka yang terpendam di antara warga Desa Depok dengan
warga Desa Blacanan. Ketidaksukaan ini lebih ditonjolkan oleh pemuda Desa
Depok yang memiliki agresivitas yang tinggi, diduga karena perubahan perilaku
dan gaya hidup mereka yang telah mengarah pada gaya hidup masyarakat
perkotaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan salah satu informan dari Desa
Depok sebagai berikut :
“ Pemuda Desa Depok itu memang agresif-agresif, suka bikin jengkel,
jangankan pemuda Desa Blacanan, orang-orang tua di Depok juga dibikin
jengkel sama sikap mereka. Mungkin kehidupan di kota bikin mereka jadi
seperti itu” ( HDS, 35 tahun, tokoh masyarakat).
Konflik antara Desa Depok dengan Desa Blacanan mungkin tidak akan
terjadi
jika
pemuda-pemuda
masing-masing
desa
tidak
menonjolkan
“identitasnya” masing-masing. Pembinaan terhadap pemuda-pemuda hampir tidak
pernah dilakukan karena pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat desa serta generasi
tua tidak memiliki hubungan yang kuat. Akibat konflik yang terjadi, hubungan
antar kedua desa masih renggang, bentuk-bentuk kewaspadaan, kecurigaan dan
ketakutan antar kedua desa masih terlihat sampai saat ini. Terlebih lagi pada saat
pemuda-pemuda desa pulang dari perantauan. Ketidakharmonisan semakin
terlihat mewarnai kedua desa tersebut. Menurut informan dari Desa Depok,
sebelum memulai konflik dengan Desa Blacanan, pemuda dari Desa Depok
69 sebelumnya telah bermusuhan dengan Desa Yosorejo,tetapi diduga pemuda dari
Desa Yosorejo “kalah kuat” dengan pemuda Desa Depok, sehingga konflik
berhenti. Namun dalam kasus konflik dengan pemuda Desa Blacanan, sangat sulit
untuk mencapai perdamaian karena hubungan kedua desa pada dasarnya telah
renggang dan menunjukkan gejala-gejala konflik laten, bahkan melibatkan
generasi-generasi tua dari kedua desa yang hubungannya kurang baik. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Depok sebagai
berikut :
“Depok- Blacanan memang sejak dulu hubungannya kurang baik, generasigenerasi tuanya juga saling menunjukkan gengsi dan ego yang
berlebihan”(HDS, 35 tahun, tokoh masyarakat).
Setelah aksi brutal yang dilakukan pemuda Desa Blacanan terhadap warga
Desa Depok, masih terjadi aksi balas dendam secara individu oleh remaja Desa
Depok terhadap remaja Desa Blacanan. Hal ini dikarenakan dendam yang masih
dirasakan warga Desa Depok karena salah satu warganya tewas. Bahkan aksi
balas dendam ini dilakukan oleh remaja SLTP Desa Depok terhadap remaja SLTP
Desa Blacanan. Secara analitis, pemahaman konflik menurut tokoh masyarakat
Desa Depok dapat digambarkan dalam kronologi konflik (Gambar 14).
Tahun 90-an
Desa Depok dan Desa Blacanan telah memiliki
hubungan yang kurang baik, termasuk hubungan antar
generasi tua di kedua Desa
Tahun 2002
Pemuda Desa Depok berkonflik dengan Desa
Yosorejo. Konflik sampai dalam tahap tawuran antar
pemuda dengan jumlah yang sedikit.
70 Tahun 2001
Tahun 20002004
Oktober 2007
November 2007
Awal 2008
2007-2009
Pemuda Desa Blacanan berkonflik dengan pemuda
Desa dari salah satu Kecamatan di Ulujami, namun
tidak berlangsung lama karena pemuda Desa
Blacanan dianggap lebih kuat.
Konflik antar pemuda Depok-Blacanan dalam tahap
tawuran kecil hampir terjadi setiap tahun, terakhir
adalah tawuran yang terjadi sekitar tahun 2004.
Dalam hubungan yang sedang renggang, pemuda
Desa Depok melakukan penghinan/pelecehan
terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan. Tindakan
ini memicu aksi balas dendam dan aksi penyerangan
besar-besaran ke Desa Depok
Upaya pendamaian yang dilakukan Aparat keamanan
di tingkat Polwil, Polres, dan Polsek serta tokoh
masyarakat terkemuka di Pekalongan untuk
mendamaikan kedua Desa. Pada saat ini terjadi upaya
penyerangan pemuda Desa Yosorejo terhadap Desa
Depok, namun berhasil dicegah.
Beberapa bulan setelah konflik meledak, terjadi
pemukulan kembali yang dilakukan Siswa SLTP dari
Desa Depok kepada Siswa SLTP dari Desa Blacanan.
Hubungan antara Desa Depok dan Blacanan
merenggang dan situasi selalu dalam siaga satu.
Gambar 14. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh
Masyarakat Desa Depok.
71 Berdasarkan pemahaman konflik yang dianalisis menurut pemahaman
tokoh masyarakat Desa Depok, konflik manifest yang brutal yang terjadi pada
Oktober 2007 merupakan akumulasi dari konflik laten yang terjadi dalam jangka
waktu lama antara masyarakat Desa Depok dengan masyarakat Desa Blacanan.
Kronologi konflik menghasilkan gambaran konflik berakar dalam dan terjadi
dalam bentang waktu yang cukup luas. Isu-isu yang dikemukakan tokoh
masyarakat Desa Depok lebih mengarah pada satu isu pokok yang menjadi akar
permasalahan konflik antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan.
Masalah inti yang menjadi pendorong terjadinya konflik terbuka antara
warga Desa Depok dengan Desa Blacanan adalah tingginya agresivitas pemuda
desa. Akar/isu yang menyebabkan masalah ini adalah gaya hidup perkotaan yang
sebagian besar dijalani pemuda dari kedua desa. Tingginya agresivitas pemuda
desa manimbulkan bentuk-bentuk penyimpangan di masyarakat, diantaranya
adalah kekerasan yang cenderung dilakukan pemuda salah satu desa terhadap
pemuda desa lain. Egoisme sebagai efek dari tingginya agresivitas pemuda desa
mengacu pada ketidaktoleransian terhadap orang-orang di luar kelompok mereka.
Salah satu efek yang dapat bersifat positif sekaligus bersifat negatif adalah
terjadinya batasan kelompok antar kedua desa berupa berkurangnya komunikasi
dengan orang-orang di luar kelompok mereka. Hal ini merupakan indikator dari
kohesi kelompok, namun dapat bersifat negatif dalam suatu sistem masyarakat
yang utuh (Gambar 15).
72 Kerenggangan hubungan antar masyarakat dua desa (-)
Batasan Kelompok (-)
Kekerasan (-)
MASALAH INTI
Keegoisan (-)
Tingginya
agresivitas
pemuda desa
AKAR MASALAH
Gaya hidup perkotaan
Gambar 15. Pohon Konflik (Isu Konflik) Konflik Berdasarkan Pemaparan
Tokoh Masyarakat Desa Depok.
5.3.2.4 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Blacanan
Menurut tokoh masyarakat Desa Blacanan, masalah yang selama ini
menjadi persoalan terutama bagi aparat desa dan tokoh masyarakat adalah konflik
antar aparat desa dengan beberapa warga Desa Blacanan yang merupakan
pecandu dan pengedar minuman keras. Masalah minuman keras menyebabkan
kenakalan pemuda dan remaja yang tidak terkendali. Pemuda dari kedua desa
memiliki karakteristik yang homogen, yaitu sebagai perantau di kota besar yang
hanya kembali ke desa setiap hari raya Lebaran. Hal ini diduga menyebabkan
perilaku mereka menjadi lebih liar dan agresif, serta mengabaikan nilai-nilai
kesopanan. Perilaku premanisme kini menjadi ciri khas mereka, terlebih lagi jika
mereka sudah bertemu dengan pemuda yang lain dan berkumpul. Konflik karena
masalah-masalah kecil yang berbuntut panjang seringkali tidak dapat dihindari.
Sebelum berkonflik dengan pemuda Desa Depok, pemuda Desa Blacanan sering
berkonflik dengan pemuda dari salah satu desa di Kecamatan Ulujami, Kabupaten
Pekalongan tetapi konflik berakhir karena tidak ada lagi upaya perlawanan
terhadap pemuda Desa Depok. Akar yang memicu konflik-konflik pemuda yang
73 sering terjadi di Desa Blacanan diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat
Desa Blacanan sebagai berikut :
“ …saya yakin, jika masalah minuman keras di Blacanan dituntaskan, tidak
aka nada lagi konflik di Blacanan dan desa-desa lain di kecamatan Siwalan,
karena di Blacanan ini adalah sumber utamanya, semuanya berakar dari sini,
tapi masalah ini sangat sulit, aparat desa dan tokoh masyarakat sudah tidak
berdaya” (TKT, 45 tahun).
…”walaupun desa Blacanan jadi tersangka dalam kasus itu, tapi kami juga
merasa kalau pemuda-pemuda kami adalah korban, korban dari minuman
keras.”
Konflik Desa Depok dan Desa Blacanan hampir terjadi setiap tahun,
namun yang konflik yang terjadi pada Oktober 2007 merupakan konflik paling
keras yang menyebabkan retaknya hubungan kedua desa. Konflik didahului oleh
perusakan rumah yang terlebih dahulu dilakukan oleh warga Desa Depok terhadap
salah satu rumah warga Desa Blacanan. Akibat perusakan rumah tersebut, terjadi
aksi balas dendam warga Desa Blacanan terhadap Desa Depok. Namun aksi balas
dendam yang dilakukan skalanya besar hingga menyebabkan korban tewas. Aksi
balas dendam pemuda Desa Blacanan terhadap didahului oleh pencarian salah
satu warga Desa Depok yang melakukan perusakan rumah di Desa Blacanan oleh
sekawanan pemuda Desa Blacanan. Namun, warga yang dicari tidak ditemukan,
sehingga kemarahan sekawanan pemuda tersebut teralih pada salah satu warga
Desa Depok yang secara tidak sengaja melawati jembatan di mana sekawanan
pemuda Desa Blacanan tersebut berkumpul. Karena emosi yang tidak terkendali,
maka salah satu warga Desa Depok yang tidak mereka kenal tersebut dianiaya
hingga tewas. Setelah itu mereka beralih pada rumah warga Desa Depok.
Beberapa rumah di Desa Depok menjadi sasaran amukan mereka. Dengan
menggunakan alat berupa batu, mereka melakukan pelemparan terhadap rumah
warga Desa Depok hingga menyebabkan kerusakan pada beberapa rumah.
Beberapa saat setelah aksi penyerangan tersebut, aparat keamanan yang meliputi
aparat Polwil dan Polres kabupaten Pekalongan datang ke lokasi konflik untuk
melakukan pengamanan dan penangkapan terhadap tersangka penyerangan.
Bahkan hingga satu minggu setelah kejadian tersebut, aparat keamanan masih
74 berjaga-jaga dengan mendirikan tenda penjagaan di perbatasan Desa BlacananDepok untuk menghindari terjadinya bentrokan susulan.
Gambaran mengenai konflik yang terjadi dikemukakan oleh salah satu
informan yang merupakan tokoh masyarakat Desa Blacanan sebagai berikut :
“Konflik tersebut adalah yang terparah yang pernah terjadi di Kecamatan
Siwalan, yang sebelumnya disebabkan oleh persaingan-persaingan antar
pemuda dua desa. Sampai sekarang, hubungan Depok-Blacanan masih agak
renggang, bahkan aparat desa dan kepolisian masih siaga satu, karena masih
khawatir bentrokan itu akan meledak lagi, apalagi menjelang lebaran karena
semua pemuda desa akan pulang”(SDM,25 tahun).
Gambaran mengenai “keparahan” konflik yang meledak pada bulan
Oktober tahun 2007 diungkapkan oleh salah satu informan yang pada saat
kejadian ikut menjadi korban berinisial DD (48) sebagai berikut :
“Untuk mendamaikan kedua desa, Bupati sampai mengadakan acara
perdamaian dengan mengumpulkan seluruh tokoh masyarakat,pemuda dari
Desa Depok- Blacanan, serta menghadirkan Habib Lutfi dan pengikraran
perdamaian, eh, ndilalah kok para pemudanya malahan ndak ada, padahal
mereka sumber masalahnya kok”(DD, 48 tahun).
Salah satu akibat yang lebih dirasakan Desa Blacanan adalah kerugian
ekonomi karena Desa Blacanan harus membayar ganti rugi sebesar 25 juta rupiah
kepada keluarga korban, dan sebagian tanah desa harus disewakan selama 5 tahun
untuk mendapatkan biaya ganti rugi tersebut.
Pemahaman mengenai konflik
berdasarkan sudut pandang tokoh masyarakat Desa Blacanan dapat digambarkan
dalam bentuk kronologi konflik (Gambar 16).
Periode
sebelum tahun
2000
Membudayanya konsumsi minuman keras di kalangan
pemuda-pemuda desa
Hubungan aparat desa dan tokoh masyarakat dengan
warga yang mengedarkan dan mengkonsumsi
minuman keras memburuk
75 Tahun 2001
Pemuda Desa Blacanan berkonflik dengan pemuda
Desa dari salah satu Kecamatan di Ulujami, namun
tidak berlangsung lama karena pemuda Desa
Blacanan dianggap lebih kuat.
Tahun 20002004
Konflik antar pemuda Depok-Blacanan dalam tahap
tawuran kecil hampir terjadi setiap tahun, terakhir
adalah tawuran yang terjadi sekitar tahun 2004.
Oktober 2007
Dalam hubungan yang sedang renggang, pemuda
Desa Depok melakukan penghinan/pelecehan
terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan. Tindakan
ini memicu aksi balas dendam dan aksi penyerangan
besar-besaran ke Desa Depok.
November
2007
Upaya pendamaian yang dilakukan Aparat
keamanan di tingkat Polwil, Polres, dan Polsek serta
tokoh masyarakat terkemuka di Pekalongan untuk
mendamaikan kedua Desa.
Oktober 20072009
Konflik laten antara warga Desa Blacanan dengan
warga Desa Depok dan situasi keamanan masih
dalam siaga satu.
Gambar 16. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh
Masyarakat Desa Blacanan.
Kronologi konflik di atas menggambarkan urutan kejadian konflik yang
pernah melibatkan Desa Blacanan, termasuk konflik selain dengan pemuda Desa
Depok. Dalam kronologi konflik yang diidentifikasi berdasarkan sudut pandang
tokoh masyarakat Desa Blacanan, diungkapkan awal konflik laten yang terjadi di
dalam hubungan internal masyarakat Desa Blacanan yang disebabkan oleh akar
yang telah lama “mengendap” yang tidak dapat diprediksi lagi waktu
peristiwanya. Akar konflik yang menyebabkan konflik laten di dalam masyarakat
76 Desa Blacanan juga menyebabkan konflik manifest antar pemuda Desa Blacanan
dengan Desa Depok yang kemudian “pecah” menjadi kekerasan konflik.
Isu yang menjadi akar permasalahan konflik menurut tokoh masyarakat
Desa Blacanan adalah peredaran minuman keras di lingkungan Desa Blacanan
yang memancing para pemuda untuk menjadi “pecandu minuman”. Hal ini
memunculkan perubahan perilaku pemuda, baik pemuda Desa Blacanan maupun
pemuda Desa Depok. Bentuk-bentuk premanisme kemudian “memancing”
timbulnya konflik yang pada akhirnya mencapai kekerasan. Efek konflik yang
dikemukakan tokoh masyarakat Desa Blacanan lebih beragam, namun pada
intinya tetap mengarah pada “efek negatif” (Gambar 17).
Ketakutan
kekerasan
Kerugian ekonomi
Persaingan (-)
Kecurigaan (-)
Batasan kelompok
MASALAH INTI
Perubahan
perilaku dan
premanisme
pemuda
EFEK
AKAR
Peredaran minuman keras di lingkungan Desa Blacanan
Gambar 17. Pohon Konflik Berdasarkan Pemaparan Isu Menurut Tokoh
Masyarakat Desa Blacanan.
5.3.3
Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik
Menurut informasi dari informan dan responden pada empat aktor, yaitu
dari pemuda Desa Blacanan, pemuda Desa Depok, Tokoh masyarakat Desa
Depok, dan tokoh masyarakat Desa Blacanan, konflik yang terjadi adalah konflik
musiman, yang potensinya selalu tinggi pada waktu menjelang Hari Raya
77 Lebaran. Pada saat itu, pemuda dari kedua desa akan kembali ke desanya masingmasing. Kondisi ini dapat diidentifikasi sebagai tahap prakonflik, terutama ketika
kedua kelompok pemuda dari kedua desa mulai berinteraksi satu sama lain. Jika
interaksi yang terjadi tidak harmonis, dapat menimbulkan aktivitas-aktivitas yang
mengarah pada konfrontasi. Tahap konfrontasi yang dicapai dalam kasus ini
adalah tindakan-tindakan yang mulai”mengganggu” aktivitas pihak lain yang
ditunjukkan dengan “serangan-serangan” kecil yang terlebih dahulu dilakukan
oleh pemuda Desa Depok kepada pemuda Desa Blacanan, baik dalam bentuk
ucapan atau kontak fisik dalam skala kecil, yaitu perusakan rumah yang dilakukan
oleh satu orang ataupunn pelecehan/penghinaan terhadap pihak lain. Hal tersebut
ternyata tidak dapat diterima oleh pemuda Desa Blacanan,maka tahap konfrontasi
berubah menjadi tahap krisis, dimana terjadi aksi pembalasan secara besarbesaran yang melibatkan puluhan orang dan mengakibatkan tewasnya salah
seorang dari pihak lain, yaitu dari pihak Desa Depok. Pada tahap ini tingkat
ketegangan konflik pada kondisi yang paling tinggi sehingga memungkinkan aksiaksi yang terus berlanjut jika tidak ada upaya-upaya meredam konflik, baik dari
kedua belah pihak ataupun dari pihak ketiga.
Upaya meredam konflik dilakukan dengan proses kendali hukum bagi
kedua belah pihak sehingga tingkat ketegangan konflik menurun. Meskipun tahap
krisis telah diredam, namun tetap menciptakan tahap selanjutnya yang tidak dapat
dicegah dari suatu konflik terbuka, yaitu tahap akibat. Pasca krisis, akibat yang
dirasakan kedua belah pihak adalah “krisis” kepercayaan satu sama lain yang
terwujud pada kerenggangan hubungan antara kedua belah pihak yang berkonflik.
“Krisis” kepercayaan yang terjadi sebagai akibat konflik merupakan wujud dari
konflik laten yang berpotensi kembali menjadi konflik terbuka yang dapat
mencapai krisis selama konflik tidak diatasi dengan tepat. Salah satu akibat yang
lebih dirasakan Desa Blacanan adalah kerugian ekonomi karena Desa Blacanan
harus membayar ganti rugi sebesar dua puluh lima juta rupiah kepada keluarga
korban, dan sebagian tanah desa harus disewakan selama lima tahun untuk
membayar ganti rugi.
Dari keempat aktor yang terlibat dalam konflik, isu-isu konflik serta
kronologi konflik yang dikemukakan berbeda-beda. Namun, isu-isu konflik yang
78 diungkapkan aktor-aktor tersebut dapat disimpulkan sebagai isu non realistik. Dari
keempat pohon konflik yang telah digambarkan, dapat dilihat bahwa “benang
merah” dari konflik yang terjadi adalah gambaran bahwa konflik telah mencapai
kekerasan/ kebrutalan karena konflik menyangkut isu yang non realistik. Sasaran
yang ingin dicapai bukanlah materi, melainkan harga diri, pengakuan identitas,
dan “kemenangan”. “Benang merah” lain yang dapat dilihat dari perbedaan
pemahaman mengenai konflik, pada dasarnya konflik telah membuat suatu
batasan kelompok pada aktor-aktor yang berkonflik dan sampai saat ini konflik
laten antara kedua desa yang berkonflik masih menjadi potensi konflik terbuka.
Hal ini dikemukakan oleh Bapak DD sebagai berikut:
“Kalo hari-hari gini orang-orang desa Depok sama Blacanan yo keliatannya
baik-baik saja, orang-orang Blacanan ngelewati Depok yo biasa-biasa saja,
sebaliknya juga, tapi coba liat nanti menjelang lebaran, pas pemuda-pemuda
desa lagi pada pulang dan ngumpul-ngumpul, mana berani orang Depok
ngelewati Blacanan, orang Blacanan juga mana berani ngelewati Depok, cari
mati wae jarene” (DD,48 tahun).
5.4
Kaitan antara Isu “Harga Diri” dengan Kebrutalan Konflik
Isu yang melatarbelakangi konflik antar pemuda Desa Depok dengan
pemuda Desa Blacanan adalah isu non realistik, dimana konsep-konsep dan nilainilai mengenai harga diri menjadi sesuatu yang penting di antara kedua aktor
utama konflik. Dalam kasus konflik ini, teori identitas yang dikemukakan oleh
Fisher, et.al. (2000) sangat berperan penting dalam menganalisis konflik yang
terjadi. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak terselesaikan.
Kedua aktor konflik yang memiliki kemiripan
karakteristik telah menunjukkan identitasnya sebagai “pemuda Desa Depok dari
kota” dan “pemuda Desa Blacanan dari kota”, sehingga tindakan-tindakan yang
tidak menyenangkan sekecil apapun yang dirasakan oleh salah satu aktor
memunculkan rasa bahwa harga dirinya terancam, sehingga mengakibatkan
upaya-upaya untuk meraih kembali “harga diri” tersebut dengan melakukan
pembalasan atas tindakan-tindakan yang dilakukan aktor lawan. Sasaran yang
ingin dicapai oleh kedua aktor konflik pada dasarnya bukanlah sesuatu yang riil,
melainkan sesuatu yang bersifat non riil, yaitu “kemenangan”, penghargaan, serta
79 rasa diakui dan dihormati. Untuk mencapainya, kedua aktor yang bersangkutan
berupaya untuk menunjukkan “kehebatannya” masing-masing dengan cara-cara
yang keras, yang dapat mengalahkan aktor lawan.
Dengan demikian, pada kasus ini dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu isu
konflik yang non realistik yang berupa “harga diri” mendorong terjadinya
kekerasan/kebrutalan.
5.5
Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok
Sebagaimana kasus dalam BAB IV, dalam kasus ini, teori dan preposisi
Coser mengenai konflik terlihat dengan jelas. Coser berpendapat bahwa konflik
eksternal berfungsi untuk memperkuat kohesivitas kelompok Kohesivitas
kelompok semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok
luar semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi
dalam kasus konflik antara kelompok pemuda Desa Blacanan dengan kelompok
pemuda Desa Depok dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas
kelompok :
1.
Jelasnya Batas kelompok
Konflik yang melibatkan dua kelompok pemuda desa merupakan konflik
terbuka yang telah mencapai aksi kebrutalan. Pada tahap ini, sangat jelas terlihat
bagaimana kebrutalan konflik berpengaruh terhadap batasan kelompok-kelompok
yang berkonflik. Kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok kelompok
pemuda Desa Blacanan merupakan dua kelompok yang memiliki kemiripan
karakteristik, yaitu dari segi latar belakang pendidikan dan mata pencaharian.
Telah dikemukakan bahwa konflik yang terjadi adalah konflik musiman yang
memiliki kedinamisan yang tinggi. Pada keadaan stabil atau konflik dalam skala
kecil, intensitas pergaulan dan komunikasi cukup baik di antara kedua kelompok
tersebut. Namun pada saat terjadi konflik yang telah mencapai kekerasan, kedua
kelompok semakin memeprlihatkan sikap “anti” satu sama lain.
Kelompok pemuda Desa Depok secara spontan mengindari interaksi
dengan pemuda Desa Blacanan, demikian juga sebaliknya. Mereka kemudian
hanya bergaul di dalam kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukkan
batasan kelompok yang jeas di antara dua aktor konflik. Batasan kelompok yang
80 terjadi di antara dua kelompok pemuda tersebut diungkapkan oleh Bapak HS (55)
sebagai berikut :
“…. Wong sebenernya pemuda-pemuda Depok sama Blacanan itu saling kenal,
wong sering dolan bareng juga, generasi-generasi tua Depok-Blacanan juga
banyak yang masih kerabatan kok, tapi gara-gara kejadian itu yo hubunganne
jadi renggang, dadine anak Depok yo ngumpul sama anak Depok tok, sing
anak Blacanan juga ngumpule sama anak Blacanan tok, podho sungkan dolan
bareng maneh” (HS, 55 tahun, warga Desa Depok).
Batasan yang terjadi bukan hanya terlihat dalam hubungan antar kelompok
pemuda Desa Depok dengan kelompok pemuda Desa Blacanan. Batasan-batasan
hubungan sosial juga terlihat secara nyata pada hubungan masyarakat Desa
Blacanan dengan masyarakat Desa Depok. Konflik yang pernah pecah yang
melibatkan pemuda-pemuda dari kedua desa masih “menghadirkan” keengganan
untuk berinteraksi dan bersosialisasi di antara masyarakat kedua desa tersebut.
Salah satu tokoh masyarakat Desa Blacanan mengungkapkan :
“….. hingga sekarang hubungan desa Depok dengan desa Blacanan masih renggang,
mungkin karena masih merasa kesal karena dua-duanya jadi mengalami kerugian,
akhirnya lebih baik menghindari berhubungan daripada terjadi masalah lagi”(SDM,
25 tahun, aparat desa).
2.
Sentralisasi Struktur Pengambilan Keputusan
Sentralisasi struktur pengambilan keputusan merupakan suatu bentuk
pengambilan keputusan secara “non musyawarah”, dimana pihak yang
berpengaruh dalam kelompok secara spontan menentukan tindakan-tindakan yang
harus dilakukan oleh kelompok. Hal ini dilakukan karena pada saat konflik
memanas/ mencapai kekerasan, kelompok membutuhkan keputusan yang cepat
yang memungkinkan mereka untuk langsung “bergerak” menghadapi situasi
konflik.
Pada kelompok pemuda Desa Depok, sentralisasi struktur pengambilan
keputusan
terjadi
pada
saat
kelompok
pemuda
Desa
Blacanan
telah
“melayangkan” aksi penyerangan ke Desa Depok. Pada saat aksi penyerangan
yang dilakukan oleh kelompok pemuda Desa Blacanan telah diatasi, segera
setelah itu kelompok pemuda Desa Depok telah bersiap-siap untuk membalas
81 kembali tindakan pemuda Desa Blacanan.
Upaya penyerangan kembali ini
“diprakarsai” oleh salah satu pemuda yang disegani di Desa Depok. Hal ini
diungkapkan oleh SGD (26) sebagai berikut:
“…nek ora dialangi kalo mbea’ yo mesti cah Blacanan wis ono sing mati juga,
lha wong sakbare cah Blacanan do ditangkepi mbea’ cah Depok langsung pak
nyerbu maneh nganggo pentungan karo golok, mbuh kae sopo sing ngangkon,
mesti kan ono sing ngatur, moso persiapane cepet men” (SGD, 26 tahun).
(…jika tidak dihalangi oleh polisi pasti anak Blacanan sudah ada yang
meninggal juga, karena setelah anak Blacanan ditangkap polisi, anak Depok
langsung ingin menyerbu dengan pemukul dan golok, tidak tahu siapa yang
menyuruh, pasti sudah ada yang mengatur, karena persiapannya cepat sekali).
Pada kelompok pemuda Desa Blacanan, sentralisasi struktur pengambilan
keputusan diperlihatkan pada saat adanya laporan mengenai salah satu anggotanya
yang mendapat pukulan dari pemuda Desa Depok. Aksi penyerangan secara
besar-besaran ke Desa Depok yang mengakibatkan tewasnya salah satu warga
Desa Depok sesungguhnya dipengaruhi oleh keputusan satu orang dalam
kelompok pemuda Desa Blacanan. Secara cepat dan tegas, orang tersebut
meyakinkan kelompoknya untuk melakukan penyerangan ke Desa Depok.
Perintah untuk melakukan penyerangan ke Desa Depok hanya berupa seruan
kepada kelompoknya untuk menyerang Desa Depok. Dalam waktu yang singkat,
keputusan satu orang telah menjadi keputusan kelompok. Salah satu responden
dari kelompok Pemuda Desa Blacanan mengemukakan sebagai berikut :
“ANT ngajak saya sama anak-anak lainnya buat nyerang Desa Depok.
Deknene cuma ngomong “yuk serang desa Depok”, saya sama anak-anak yang
lagi nongkrong di jalan yo nganut wae (SRT,29).
3.
Solidaritas Anggota
Solidaritas anggota ditunjukkan dari kekompakan dan toleransi antar
anggota kelompok dalam. Pemuda Desa Depok mengartikan bahwa solidaritas
adalah tindakan yang saling melindungi diantara anggota kelompok dan tindakan
yang menunjukkan kekompakkan. Pemuda Desa Blacanan mengartikan bahwa
solidaritas adalah sikap yang peduli satu sama lain di dalam kelompok. Pada
situasi konflik yang keras/brutal, kekompakan dan toleransi anggota dinilai lebih
kuat daripada dalam konflik laten/kondisi stabil. Kekerasan konflik yang terjadi
82 antar kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok pemuda Desa Blacanan
mendorong terbentuknya solidaritas anggota dari masing-masing kelompok.
Aksi kekerasan berupa penyerangan secara massal dan brutal yang
dilakukan oleh kelompok pemuda Deca Blacanan ke Desa Depok sesungguhnya
merupakan suatu bentuk kesetiakawanan dan solidaritas terhadap anggota
kelompoknya yang telah disakiti oleh kelompok pemuda Desa Depok. Pada saat
konflik mencapai tahap konfrontasi yang ditandai oleh tindakan pemukulan yang
dilakukan pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan, maka kelompok
pemuda Desa Blacanan segera berupaya “menyatukan kekuatan” untuk
melakukan aksi pembalasan. Solidaritas dan kekompakan ini ditunjukkan dari
tidak adanya anggota kelompok yang menolak untuk melakukan aksi balas
dendam. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh kelompok pemuda Desa Depok
yang berupaya menyerang kembali pemuda Desa Blacanan sebagai wujud
pembalasan dendam atas anggota kelompok yang tersakiti.
4.
Penekanan terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta
Menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma
Secara tersirat, dapat diidentifikasi pada masing-masing kelompok bahwa
terdapat penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang dalam
kelompok pada saat konflik memanas dan telah mencapai kekerasan. Penekanan
terhadap orang-orang yang netral dalam kelompok terwujud dari tindakan yang
menekan berupa hukuman-hukuman fisik yang berlaku bagi anggota kelompok
yang netral dan tidak mau bertindak sesuai dengan yang diinstruksikan oleh
pimpinan kelompok. Hal ini sebagaimana informasi dari salah satu tokoh
masyarakat Desa Blacanan sebagai berikut :
“pemuda-pemuda di sini ndak main geng-gengan kok, tapi kalau ada
konflik sama pemuda desa lain seperti yang terjadi dengan Depok itu
mereka langsung bersatu, kalo ada yang ndak mau malah dimusuhi,
ndak jarang dipukuli teman-temannya, jadi ya mau ndak mau mereka
ikut berantem” (MSH, 49 tahun, tokoh masyarakat).
Seperti yang ditunjukkan kelompok pemuda Desa Blacanan, kelompok
Desa Depok juga “memberlakukan” sanksi pada anggota kelompoknya yang tidak
83 patuh pada aturan kelompok, seperti larangan bergaul dengan pihak musuh.
Namun sanksi ini tidak sampai melukai secara fisik, hanya berupa sanksi moral.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang remaja di Desa Depok sebagai berikut:
“…. aku yo maine sama cah depok tok, ora wani juga aku nek
ngumpul karo cah blacanan, wedi rak dikancani, wong jare kan
blacanan musuhe depok”(PR, 17 tahun).
(saya bergaulnya dengan anak depok, saya tidak mau bergaul dengan
anak blacanan, takut tidak ditemani, katanya blacanan musuhnya
depok).
Konflik yang pernah meledak di Desa Depok menyebabkan orang-orang
yang berpengaruh dalam kelompok cenderung meningkatkan kewaspadaan dalam
kelompok, sehingga keberaadaan orang-orang yang netral yang memungkinkan
menjadi “penghianat” kelompok sangat diwaspadai karena dianggap mengganggu
stabilitas di dalam kelompok.
5.5
Ikhtisar
Konflik yang terjadi di Desa Depok Kecamatan Siwalan, Kabupaten
Pekalongan memiliki aktor utama yaitu kelompok pemuda dari Desa Depok dan
kelompok pemuda dari Desa Blacanan. Konflik ini dilatarbelakangi oleh isu non
realistik yang memiliki sasaran pada pengakuan akan “harga diri” pada kedua
kelompok yang berkonflik. Konflik ini mencapai tahap kekerasan konflik yang
mengakibatkan kematian dan kerusakan. Pengungkapan sudut pandang konflik
dari berbagai pihak yang terlibat menggambarkan isu-isu yang beragam serta
kronologi konflik dalam rentang waktu yang berbeda. Tokoh-tokoh masyarakat
mengungkapkan isu konflik secara lebih dalam dan kompleks, sedangkan dua
kelompok pemuda yang menjadi aktor utama konflik hanya tertuju pada
peristiwa-peristiwa dimana konflik mulai mencapai kekerasan. Kohesivitas
kelompok tergambar secara nyata pada saat konflik mencapai kekerasan.
Kohesivitas dua kelompok yang berkonflik menunjukkan efek positif kekerasan
konflik pada hubungan internal masing-masing kelompok yang berkonflik.
84 BAB VI
KASUS KONFLIK TANAH DI DESA LEMAH ABANG, KECAMATAN
DORO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 3)
6.1
Gambaran Umum Konflik
Konflik yang terjadi di Desa lemah Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten
Pekalongan adalah konflik tanah/lahan antar petani penggarap di Desa Lemah
Abang dengan kelompok pemilik tanah GG (tanah desa) di Desa Lemah Abang.
Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai status tanah seluas
5 Ha di Desa Lemah Abang yang sebelumnya telah digarap/dimanfaatkan oleh
para petani penggarap di Desa Lemah Abang untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Para petani penggarap dan masyarakat Desa Lemah Abang menganggap
bahwa tanah itu milik Desa Lemah Abang yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, sedangkan secara yuridis kepemilikan tanah tersebut telah jatuh pada
sekelompok orang (H.SHJ,Cs) yang merupakan “orang luar”. Para petani
penggarap beranggapan bahwa bukti-bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh
H.SHJ, Cs adalah palsu dan mereka harus mengambalikan tanah tersebut kepada
masyarakat Desa Lemah Abang.
Konflik juga terjadi antara para petani
penggarap dengan aparat Desa Lemah Abang pada saat itu ( tahun 2006). Aparat
desa, terutama kepala desa dianggap sebagai pihak yang menjual tanah GG
tersebut kepada pihak luar secara sepihak, sehingga merugikan masyarakat Desa
Lemah Abang. Kepala desa juga dianggap memanfaatkan uang hasil penjualan
tanah GG tersebut untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan kemarahan
petani penggarap kepada kepala desa dan “kaki tangannya”.
Konflik ini tidak berujung pada kekerasan/kebrutalan, namun keteganganketegangan dan kecurigaan tetap mewarnai kehidupan sosial di Desa Lemah
Abang sejak “terkuaknya” kasus perebutan tanah tersebut. Hingga periode 2009,
kasus ini masih belum tuntas. Masyarakat Desa Lemah Abang masih menuntut
hak atas tanah tersebut, namun di sisi lain pihak BPN telah membuat pernyataan
bahwa tanah tersebut telah resmi dimiliki oleh H.SHJ, Cs.
85 6.2
Gambaran Umum Desa Lemah Abang
6.2.1
Kondisi Fisik Desa Lemah Abang
Desa Lemah Abang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Doro, Kabupaten Pekalongan. Jumlah total penduduk di Desa Lemah Abang
adalah
3.389 jiwa dengan luas wilayah 1.150,50 Ha. Desa Lemah Abang
merupakan desa yang bertipologi desa sekitar hutan/ pegunungan. Sebaran potensi
tanah yang ada di Desa Lemah Abang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Potensi Tanah di Desa Lemah Abang
Jenis Tanah
Tanah Sawah
Sawah Irigasi Teknis
Sawah Irigasi ½ Teknis
Sawah Tadah Hujan
Tanah Kering
Tegal Ladang
Pemukiman
Tanah Perkebunan
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
Tanah Fasum
Kas Desa
Lapangan
Sarana Pemerintahan
Lain-lain
Tanah Hutan
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Konversi
Luas (Ha)
340
12,50
120,25
207,25
395,75
200,25
195,50
42,25
42,25
14,05
9,5
1,0
0,05
3,5
358,25
255,75
77,25
25,25
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Tabel 2 memperlihatkan sebaran potensi tanah yang terdapat di Desa
Lemah Abang, dimana luas tanah terbesar berupa tanah kering (tanah ladang dan
pemukiman). Seluruh tanah perkebunan di Desa Lemah Abang (seluas 42,25 Ha)
dimiliki oleh negara. Kepemilikan tanah hutan terbagi menjadi hutan milik negara
dan hutan milik PT Perhutani. Luas tanah hutan milik negara adalah 102,5 Ha,
sedangkan luas tanah hutan milik PT Perhutani adalah 255,75 Ha (seluruh bagian
hutan lindung). Dengan demikian, pemanfaatan potensi tanah oleh masyarakat
86 hanya terkonsentrasi pada pertanian karena masyarakat tidak dapat memanfaatkan
hutan dan perkebunan yang bukan milik desa. Tanah kas desa seluas 9,5 Ha
merupakan fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan bersama oleh masyarakat
Desa Lemah Abang.
6.2.2
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Sebagian besar masyarakat di Desa Lemah Abang adalah masyarakat
petani, sehingga kehidupan mereka sangat tergantung pada sektor pertanian dan
potensi tanah lain yang berada di Desa Lemah Abang. Secara rinci, kepemilikan
tanah pertanian di Desa lemah Abang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Tanah Pertanian
yang Dimiliki
Luas tanah Pertanian Jumlah Rumah Tangga
yang Dimiliki
Petani (RTP)
Tidak memiliki tanah
50
pertanian
Memiliki tanah pertanian
267
kurang dari 0,5 Ha
Memiliki tanah pertanian
340
lebih dari 0,5 ha-1,0 ha
Total Rumah Tangga
607
Petani (RTP)
Persentase (%)
8.24
43,98
56.01
100
Sumber: Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Sebagian besar petani di Desa Lemah Abang memiliki tanah pertanian
lebih dari 0,5 Ha. Menurut Sajogjo (1985), petani yang memiliki tanah pertanian
di atas 0,5 Ha adalah petani atas. Sedangkan petani menengah (gurem) memiliki
tanah pertanian kurang dari 0,5 Ha. Petani lapisan bawah/ buruh adalah petani
yang tidak memiliki tanah pertanian pribadi. Dengan demikian, Rumah Tangga
Petani (RTP) di Desa lemah Abang sebagian besar adalah petani atas. Rumah
tangga petani yang tidak memiliki tanah pertanian, biasanya kepala rumah tangga
bekerja sebagai penggarap tanah milik tetangga atau tanah kosong milik bersama
dan bekerja sampingan sebagai buruh bangunan. Secara umum, karakteristik
87 masyarakat Desa Lemah Abang berdasarkan mata pencaharian pokok dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok
Mata Pencaharian
Petani
Buruh tani
Wiraswasta
Pegawai Negeri
Pedagang
Peternak
Montir
Tukang kayu
Tukang batu
Penjahit
Jumlah (orang)
526
340
67
25
67
1
2
35
46
134
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Sebagian besar masyarakat Desa Lemah Abang memiliki mata
pencaharian sebagai petani. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan
pribadi. Mereka bekerja sebagai penggarap lahan milik orang lain. “Profesi”
petani yang menjadi mata pencaharian dominan di Desa Lemah Abang
menunjukkan bahwa kehidupan sebagian besar masyarakat terkonsentrasi pada
lahan/tanah. Oleh karena itu, tanah/lahan di Desa lemah Abang sangat penting
untuk masyarakat, terutama para petani.
Dalam kehidupan bermasyarakat, beberapa warga Desa Lemah Abang
tergabung dalam lembaga-lembaga sosial seperti Organisasi perempuan,
Organisasi Pemuda, Organisasi Profesi, Organisasi Bapak, dan Kelompok Gotong
Royong. Secara umum, aktivitas masyarakat Desa Lemah Abang berdasarkan
keanggotaannya dalam lembaga sosial ditunjukkan oleh Tabel 5.
88 Tabel 5. Aktivitas Masyarakat Desa Lemah Abang Berdasarkan Keanggotaan
dalam Lembaga Sosial
Lembaga Sosial
Organisasi Perempuan (Muslimat)
Organisasi Pemuda (Karang Taruna)
Organisasi Profesi (Gapoktan)
Organisasi Bapak (Reongan)
Kelompok Gotong Royong
(Sambatan)
Jumlah Anggota (orang)
588
87
277
330
293
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Kehidupan sosial masyarakat Desa lemah Abang masih diwarnai nilainilai solidaritas dan gotong royong yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
lembaga gotong-royong yang masih aktif. Nilai-nilai kebersamaan juga
ditunjukkan oleh adanya kegiatan “rewang” yaitu peran aktif warga (biasanya
kaum wanita) untuk membantu secara suka rela jika ada salah satu keluarga yang
mengadakan hajatan. Nilai-nilai kebersamaan ini juga ditunjukkan oleh aktivitas
petani penggarap yang selalu bersama-sama memanen dan membawa hasil
garapannya untuk dijual ke pasar. Selain kelembagaan sosial, Desa Lemah Abang
memiliki beberapa kelembagaan ekonomi, diantaranya adalah koperasi, industri
pakaian, industri makanan, dan kelompok simpan pinjam.
Berdasarkan tingkat ksejahteraan, keluarga di Desa Lemah abang
diklasifikasikan menjadi keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera 1, keluarga
sejahtera 2, keluarga sejahtera 3, dan keluarga sejahtera 3 plus. Karakteristik
masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan
Karakteristik
Keluagra prasejahtera
Keluarga sejahtera 1
Keluarga sejahtera 2
Keluarga sejahtera 3
Keluarga sejahtera 3 plus
Jumlah Kepala Keluarga
Jumlah Keluarga
283
214
187
165
44
893
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
89 Tabel 6 menunjukkan gambaran masyarakat di Desa Lemah Abang yang
sebagian besar adalah keluarga prasejahtera (keluarga miskin). Terkait dengan
mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar adalah petani, termasuk di
dalamnya buruh tani (petani bawah), maka kondisi kesejahteraan masyarakat
menunjukkan kecenderungan kemiskinan karena sebagian besar mata pencaharian
masyarakat terkonsentrasi pada pertanian, sedangkan tidak semua petani memiliki
lahan/tanah pertanian pribadi. Petani atas (petani yang memiliki lahan pertanian di
atas 0,5 Ha) juga tidak selalu dalam kondisi sejahtera, karena pendapatan dalam
sektor pertanian sangat tergantung pada hasil panen dan musim.
6.3
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik
Kasus konflik yang terjadi di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro
merupakan konflik realistik dengan isu perebutan tanah. Pada dasarnya, konflik
yang terjadi secara langsung adalah konflik antara kelompok petani penggarap
dengan kelompok pemilik sertifikat tanah sengketa. Namun, konflik ini juga
melibatkan aktor lain, yaitu aparat Desa Lemah Abang yang akhirnya juga
berkonflik terbuka dengan kelompok petani penggarap. Hubungan-hubungan
diantara aktor-aktor konflik dapat digambarkan dalam peta konflik (Gambar 18).
90 Pemilik
sertifikat
tanah
Kelompok
Petani
Penggarap
baru
Aparat
Desa
LKMD
Forum
Pejuang
Petani
Pekalongan
Kelompok
Petani
Penggarap
Lama
BPD
Keterangan :
Konflik terbuka
Konflik laten
BPN
kabupaten
pekalongan
Hubungan kerja sama
Gambar 18. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Tanah di Desa Lemah Abang
(Kasus 3).
6.3.1
Aktor yang Terlibat dalam Konflik
Dari identifikasi aktor-aktor konflik dengan melihat pada peta konflik,
terdapat tiga aktor utama yang terlibat dalam konflik. Aktor-aktor tersebut adalah
pemilik sertifikat tanah sengketa, kelompok petani penggarap, dan aparat Desa
Lemah Abang. Garis melengkung yang mengubungkan kelompok petani
penggarap dengan pemilik sertifikat tanah dan aparat desa menunjukkan konflik
yang nyata/terbuka. Garis lurus yang menghubungkan kelompok petani penggarap
baru dengan Forum Pejuang Petani Pekalongan (FPPP) dan BPD serta yang
menghubungkan BPD dengan FPPP menunjukkan hubungan kerja sama. Dalam
kasus ini, FPPP bertindak sebagai mediator yang berupaya menengahi konflik
tanah yang terjadi di antara kelompok petani penggarap baru, aparat desa, dan
pemilik sertifikat tanah. Dalam konflik yang terjadi di Desa lemah Abang, aktor
yang bertindak sebagai aktor utama adalah petani penggarap baru dengan pemilik
91 sertitfikat tanah. Namun keberadaan petani penggarap lama ini tidak diketahui
oleh petani penggarap yang baru, dan hubungan kerja sama yang pernah
dilakukan oleh petani penggarap lama dengan pemilik sertifikat tanah tidak
pernah diketahui oleh petani penggarap baru. Kerancuan ini kemudian akan
dijelaskan pada penggambaran konflik. Konflik laten terjadi antara kelompok
petani penggarap dengan BPN Kabupaten Pekalongan dan LKMD serta antara
Forum Pejuang Petani Peklaongan dengan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Pekalongan.
Dari sejumlah aktor yang terlihat dalam peta konflik, dapat digambarkan
secara rinci empat profil aktor yang berperan terlibat langsung dalam konflik.
6.3.1.1 Pemilik Sertifikat Tanah Sengketa
Pemilik tanah sengketa adalah H.SHJ dengan 9 orang temannya yang
merupakan tuan tanah di Kabupaten Pekalongan. Pada tahun 2005, beliau
menunjukkan bukti kepemilikan tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang yang
sebelumnya tidak jelas statusnya. Beliau mengaku telah memiliki tanah tersebut
secara resmi dengan memperlihatkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN
pada tahun 2005. Beliau adalah warga luar Desa Lemah Abang yang telah banyak
memiliki tanah pertanian dengan di wilayah Kabupaten Pekalongan. Kemunculan
beliau dan teman-temannya yang tiba-tiba mengklaim tanah pertanian di Desa
Lemah Abang sangat mengejutkan bagi para petani penggarap yang sebelumnya
menganggap tanah tersebut adalah tanah adat.
6.3.1.2 Kelompok Petani Penggarap Baru
Kelompok petani penggarap yang tengah berkonflik dengan H.SHJ, Cs
pada awalnya sejumlah 64 orang, namun saat ini jumlah mereka bertambah karena
tanah itu biasanya diwariskan secara turun-temurun dari petani yang telah
menggarap tanah tersebut sebelumnya. Ke-64 orang petani penggarap tersebut
mengaku bahwa mereka telah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1960- an dan
mereka mendapat penghasilan dari garapan tersebut. Di tanah seluas 5 Ha
tersebut, mereka dapat menanam apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka, seperti kangkung, pisang dan sebagainya yang hasilnya memungkinkan
92 untuk dijual sehingga menambah penghasilan mereka. Selain bekerja sebagai
petani penggarap, pada umumnya mereka juga bekerja sebagai buruh lepas.
6.3.1.3 Kelompok Petani Penggarap Lama
Petani penggarap lama adalah petani penggarap yang telah terlebih dahulu
menggarap tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang. Petani penggarap lama ini
sesungguhnya adalah pihak yang bekerja sama dengan H.SHJ, Cs dalam
pengalihan kepemilikan tanah yang tengah dipermasalahkan. Namun hal ini tidak
pernah diketahui oleh petani penggarap yang baru. Petani penggarap lama telah
menggarap tanah seluas 5 Ha yang terdapat di Desa lemah Abang dalam kurun
waktu 20 tahun. Berdasarkan PP.24/1997 pasal 32 ayat 2 tentang kepemilikan
tanah, tanah yang “menganggur” yang terdapat dalam suatu wilayah kemudian
tanah tersebut telah dimanfaatkan oleh satu atau beberapa orang dalam jangka
waktu minimal 20 tahun, maka tanah itu telah menjadi hak orang-orang tersebut
dengan mengajukan permohonan hak kepemilikan tanah kepada negara. Petani
penggarap lama yang telah menggarap tanahnya selama 20 tahun hingga tahun
1996 telah menjadi pemilik tanah pada saat itu.
6.3.1.4 Aparat Desa Lemah Abang
Aparat Desa Lemah Abang yang pada saat itu tengah berkonflik dengan
para petani penggarap diantaranya adalah Lurah Desa Lemah Abang yang masih
menjabat pada tahun 2005, yaitu Bapak KNT, Sekertaris Desa, wakil lurah, serta
beberapa ketua RT dan ketua RW. Namun pada saat ini Lurah Desa Lemah Abang
telah digantikan oleh dua orang lurah yang baru. Awalnya, aparat Desa Lemah
Abang tidak berkonflik dengan masyarakat petani penggarap, namun karena
muncul dugaan adanya kerjasama pemalsuan sertifikat jual beli tanah dengan
H.SHJ, maka kemarahan petani penggarap juga terjadi pada aparat desa pada saat
itu.
6.3.1.5 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan
Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu
pihak yang berperan dalam penanganan perkara sengketa tanah di Desa Lemah
93 Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. BPN Kabupaten Pekalongan
juga bertindak sebagai peneliti terhadap data-data yang ada di kantor BPN
berkaitan dengan status tanah yang tengah menjadi sengketa di Desa lemah
Abang. Hasil penelitian dan penyelidikan perkara yang telah dikaji oleh BPN
berkaitan dengan data-data mengenai status tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah
abang mengungkapkan fakta yang berlawanan dengan argumen para petani
penggarap yang menuntut pengembalian hak atas tanah tersebut. Selain itu, BPN
telah mengeluarkan sertifikat tanah atas nama H.SHJ,Cs sebagai pemilik tanah
yang sah. Maka dalam proses terjadinya konflik, pihak BPN merupakan salah
satu aktor yang terlibat dalam konflik laten dengan para petani penggarap di Desa
Lemah Abang.
6.3.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor
Konflik
6.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Petani Penggarap di Desa Lemah
Abang
Pada kasus di Desa Lemah Abang, sejumlah masyarakat petani penggarap
“berstatus” sebagai pemilik tanah desa seluas 5 Ha yang mereka sebut sebagai
tanah GG. Yang dimaksud dengan tanah desa/tanah GG adalah tanah dimana
masyarakat desa berhak memanfaatkan hasil yang mereka tanam/garap di atas
tanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.
Berdasarkan informasi yang didapatkan di lapang, tanah GG/tanah desa
yang konon tengah menjadi sengketa telah menghasilkan pendapatan yang cukup
menguntungkan bagi masyarakat petani. Di atas tanah seluas 5 hektar tersebut
masing-masing petani penggarap berhak menanam apapun yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka/ dapat menghasilkan uang, misalnya tanaman pisang,
kangkung, dan sebagainya, yang hasilnya dapat mereka manfaatkan untuk
dimakan ataupun dijual. Jika mereka sudah berhenti menjadi petani penggarap,
mereka kemudian mewariskan petak-petak tanah yang tadinya mereka garap
kepada anak-cucu mereka. Tanah tersebut telah menjadi asset yang cukup
berharga bagi masyarakat petani di Desa lemah Abang sejak tahun 1960 an.
94 Konflik kepemilikan tanah seluas 5 ha yang terjadi sejak tahun 2005 di
desa lemah abang ini meresahkan warga serta aparat Desa Lemah Abang. Konflik
ini muncul karena adanya indikasi pemalsuan sertifikat tanah yang dilakukan oleh
H.SNJ yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemilik tanah tersebut. Konflik ini
kemudian melebar menjadi konflik antar petani penggarap dengan aparat desa,
karena aparat desa, terutama kepala desa (lurah) pada saat itu dinilai bertindak
semena-mena menjual tanah desa yang sejak tahun 60 telah digarap oleh
masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kepala desa pada saat itu adalah Bapak KNT, beliau pada saat itu dinilai
melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadi karena secara sepihak menjual
tanah milik desa. Hal yang lebih membuat warga kesal, H.SNJ adalah warga luar
desa lemah abang sehingga tanah tersebut jatuh ke tangan orang luar, padahal
banyak warga yang membutuhkan tanah tersebut. Yang lebih mengecewakan,
uang hasil penjualan tanah tersebut sedikitpun tidak dinikmati masyarakat,
khususnya para petani penggarap. Uang hasil penjualan ini diduga untuk
kepentingan pribadi. Kasus ini kemudian semakin mencuat ke permukaan pada
tahun 2006 dengan diwarnai berbagai aksi protes dan demonstrasi ke berbagai
pihak, diantaranya ke kantor Kecamatan Doro, Pemda Kabupaten Pekalongan,
dan secara terus menerus ke Kantor Desa Lemah Abang.
Berbagai pihak telah berupaya melakukan mediasi untuk mencari jalan
keluar yang terbaik bagi pihak-pihak yang berkonflik diantaranya adalah proses
konsultasi hukum dan hearing yang dilakukan oleh Forum Pejuang Petani
Pekalongan (FPPP) dengan Setda Kabupaten Pekalongan , namun proses mediasi
menghasilkan jalan buntu. Warga desa Lemah Abang tetap tidak bisa me-reklaim
tanah itu kembali. Warga Desa Lemah Abang mengaku sudah tidak berdaya untuk
“merebut” tanah/ tanah GG itu. Karena tidak juga ada jalan penyelesaian, isu
konflik menjadi semakin berkembang hingga ada pihak luar yang dianggap
sebagai “oknum-oknum” yang terlibat dalam proses penjualan tanah/tanah GG
yang dianggap tidak sah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak WRS (45)
sebagai berikut :
“waktu itu orang tua saya diampiri sama orang dari LKMD, disuruh
menandatangani surat, orang tua saya yang merupakan tokoh masyarakat di
95 desa ini jelas curiga, mesti ada kaitannya dengan tanah GG, ya orang tua saya
ndak mau, karena curiga sama orang-orang itu, siapa tau kaki tangannya
H.SHJ” (WRS,45 tahun).
Sejak kepengurusan Lurah KNT berakhir pada akhir tahun 2006, hingga
saat ini, beliau tidak pernah lagi datang ke Lemah Abang untuk menyelesaikan
kasus ini. Saat ini tanah tersebut telah benar-benar “terbebas” dari sentuhan
masyarakat petani penggarap di Desa Lemah Abang dan telah digarap oleh kaki
tangan H.SHJ, Cs. Kesedihan dan kekecewaan masyarakat masih nampak pada
saat peneliti mendatangi informan-informan terkait untuk melakukan wawancara
mendalam. Salah satu informan yang merupakan tokoh masyarakat di Desa
Lemah Abang mengemukakan kekecewaannya sebagai berikut:
“ Sekarang H.SHJ nanam sengon di tanah itu, satu periode panen sengon hasilnya
itu bisa ratusan juta rupiah, coba kalo tanah itu bisa diambil kembali, pasti
masyarakat desa lemah abang sudah lebih sejahtera. (WRS,45 tahun).”
Sejak kepemilikan tanah GG itu jatuh ke tangan H.SHJ, masyarakat masih
sering memantau kondisi tanah yang sebelumya pernah mereka garap. Kasus
konflik tanah di Desa Lemah Abang hingga saat ini belum terselesaikan karena
masih belum ada pembuktian mengenai kesahihan sertifikat tanah yang dimiliki
oleh H.SHJ. Masyarakat Desa dan aparat desa Lemah Abang yang menjabat saat
ini sedang berupaya menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kepastian hak
atas tanah sengketa tersebut. Salah satu petani penggarap mengungkapkan
keinginan untuk menempuh jalur hukum sebagai berikut:
“secepatnya masyarakat ingin menempuh jalur hukum dengan ngajukan
gugatan perdata dan pidana karena H.SHJ itu telah malsukan sertifikat, data
sama identitasnya, yo nek nanti keputusannya di pengadilan toh dia menang,
yo wis ben, warga ndak akan ribut lagi, lha nek pihak petani yang menang yo
berarti tanah itu kudune balik ke desa, sing penting yo biar jelas” (RKB,50
tahun).
Secara kronologis, konflik yang terjadi menurut pandangan masyarakat Desa
Lemah Abang khususnya para petani penggarap dan tokoh masyarakat diawali
dengan kedatangan “orang-orang” asing ke Desa lemah Abang yang tiba-tiba
mengklaim kepemilikan tanah desa/tanah GG. Pada tahap ini, ketegangan
96 langsung muncul di antara kedua belah pihak karena sama-sama berupaya
mempertahankan haknya. Namun pada tahun 2005 konflik belum muncul ke
permukaan meskipun sudah terlihat. Konflik baru muncul ke permukaan pada
tahun 2006. Dalam prosesnya, kronologi konflik menurut masyarakat Desa Lemah
Abang menunjukkan “aktivitas konflik” yang dinamis, dimana konflik kembali
tenggelam dan naik yang dipengaruhi oleh adanya pihak lain yang ingin berperan
dalam upaya penyelesaian konflik (Gambar 19).
Tahun 2005
Tahun 2006
Kedatangan H.SHJ yang mengklaim
tanah desa/tanah GG.
Kasus mencuat ke permukaan dengan
diwarnai demo/protes-protes yang
ditujukan
pada
lurah,
kantor
kecamatan, dan Pemkab Pekalongan.
Akhir tahun
2006
Lurah KNT pensiun dan digantikan
oleh lurah baru, semenjak saat ini
konflik kembali tenggelam
Tahun 2007
Keterlibatan FPPP dalam upaya
penyelesaian konflik, pada saat ini isu
kembali hangat dan masyarakat
kembali bersemangat untuk menuntut
hak atas tanah, akhirnya pada bulan
Desember 2007 dilakukan upaya
konsultasi hukum.
Tahun 2007- 2009
Upaya penyelesaian kasus kembali
“mandeg” dan hingga kini hanya
diwarnai tuntutan-tuntutan terhadap
aparat desa yang baru untuk
menyelesaikan kasus ini.
Gambar 19. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat
dan Petani Penggarap di Desa Lemah Abang.
97 Menurut masyarakat Desa Lemah Abang, yang menjadi inti permasalahan
yang mendorong konflik antara para petani penggarap dengan H.SHJ, Cs dan
aparat desa adalah perebutan hak atas tanah. Masalah ini terjadi karena
ketidakjelasan status tanah di desa. Masyarakat tidak memiliki bukti-bukti otentik
bahwa mereka memiliki hak atas sebidang tanah tersebut. Pada dasarnya, kepala
desa (lurah) merupakan pihak yang paling berkuasa mengenai segala perlakuan
terhadap tanah di desa yang tidak jelas kememilikannya. Namun, isu yang
berkembang, kepala desa /lurah Desa Lemah abang telah melakukann tindakan
semena-mena karena mengalihkan hak masyarakat atas tanah desa/tanah GG
kepada pihak luar yang diduga memiliki setifikat tanah yang tidak sah.
Konflik ini kemudian berdampak pada hubungan yang diwarnai kebencian
dan kecurigaan antara masyarakat Desa lemah Abang dengan “aktor” yang saat ini
berstatus sebagai pemilik tanah GG. Dampak lain berupa tuntutan-tuntutan yang
tidak pernah berhenti dirasakan oleh aparat desa yang menjabat saat ini. Dampak
berupa kerugian ekonomi dirasakan oleh petani penggarap yang kini telah
kehilangan sebagian pendapatannya karena tanah yang dulu mereka garap telah
berpindah tangan ke pihak lain. Konflik ini kemudian menjadi pendorong bagi
kekompakan di dalam komunitas yang memiliki kepentingan yang sama, yaitu
kelompok petani penggarap. Segala upaya untuk mereklaim tanah GG yang telah
“terampas” dilakukan seluruh anggota kelompok petani penggarap karena
kesadaran akan kebutuhan bersama (Gambar 20).
98 Kerugian ekonomi (-)
EFEK
Tuntutan-tuntutan
yang selalu muncul (-)
Kebencian dan kecurigaan (-)
MASALAH INTI
Kekompakan
dalam komunitas (+)
Perebutan
hak atas
tanah
AKAR
Aparat desa yang tidak adil
Gambar 20. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemaparan Masyarakat
Desa Lemah Abang.
6.3.2.2 Pemahaman Konflik
Kabupaten Pekalongan
Menurut
Badan
Pertanahan
Nasional
Pihak BPN Kabupaten Pekalongan bertindak sebagai badan hukum yang
menangani masalah konflik tanah yang terjadi antara sejumlah petani penggarap
di Desa Lemah Abang dengan H. SHJ, Cs yang berbuntut panjang. Pihak BPN
mengemukakan bahwa yang bersalah dalam konflik ini adalah para petani
penggarap di Desa Lemah Abang. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap
berkas-berkas terkait, sertifikat tanah yang dimiliki oleh H. SHJ cs adalah legal.
H.SHJ cs berhak menggunakan secara penuh tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah
Abang karena beliau merupakan pemilik tanah yang sah.
Pihak BPN mengungkapkan bahwa para petani penggarap sebenarnya tahu
bahwa tanah itu adalah tanah negara, namun mereka mengklaim bahwa tanah itu
adalah milik Desa lemah Abang agar mereka tetap mendapat penghasilan dari
tanah tersebut. Awal terjadinya konflik tanah ini adalah pada waktu H.SHJ cs
menunjukkan sertifikat tanah atas nama dirinya dan 9 orang temannya pada tahun
2005. Hal ini memancing emosi masyarakat karena mereka telah menganggap
tanah tersebut adalah milik desa yang diwariskan secara turun-temurun. Namun
faktanya, proses yang telah dilakukan H.SHJ, Cs telah sah menurut UndangUndang pertanahan untuk menjadikannya sebagai pemilik tanah.
99 Pada tahun 1977, H SHJ, Cs (10 orang) mengajukan pengukuran terhadap
tanah GG (tanah negara) yang kini menjadi sengketa dan disebut masyarakat Desa
lemah Abang sebagai tanah desa. Proses ini dibuktikan dengan adanya data resmi
pada DI.302 (permohonan ukur) data BPN tanggal 10 Desember tahun 1997. Pada
tanggal 3 Januari 1998 dilakukan pengukuran oleh petugas dari Kantor Pertanahan
Kabupaten Pekalongan, selanjutnya diterbitkan GS (Gambar situasi) pada tanggal
8 Mei 1998, No. 00001 s/d 0010/1998. Pada tanggal 13 Januari 1998 datang pihak
dari LMD dan LKMD yang mengirim surat kepada Bupati Pekalongan yang berisi
pernyataan keberatan apabila tanah GG tersebut dimohon oleh H.SHJ, Cs. Namun
alasan keberatan ini tidak dikemukakan oleh pihak BPN kepada peneliti.
Perkembangan lebih lanjut, dengan suratnya pada tanggal 10 April 1999, pihak
LKMD dan LMD yang mengajukan keberatan terhadap permohonan kepemilikan
tanah oleh H.SHJ, Cs mencabut suratnya pada tanggal 13 Januari 1998.
Akhirnya,setelah melalui proses yang sesuai dengan prosedur, pada
tanggal 22 Juni 1999 berdasarkan surat keputusan Kantor Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Pekalongan, H.SHJ, Cs telah resmi menjadi pemilik sah
dari tanah GG di Desa lemah Abang dengan Hak Milik No. 159 s/d 168. Setelah
terbit sertifikat tanah atas nama H. SHJ, Cs, pada tahun 2006, ketua BPD Lemah
Abang pada saat itu membuat surat pengaduan yang ditujukan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan yang isinya berupa permintaan
penjelasan mengenai alasan mengapa tanah GG Desa Lemah Abang tersebut telah
dimiliki oleh H. SHJ, Cs dan tuntutan agar tanah GG tersebut dikembalikan
kepada penggarap. Pengaduan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memberi
penjelasan mengena proses pemberian hak atas tanah di Kantor Pertanahan
Kabupaten Pekalongan. Namun, upaya menuntut kembali tanah GG yang telah
dimiliki secara sah oleh H.SHj, Cs tetap berlanjut, bahkan sampai pada tingkat
komisi A. DPRD Kabupaten Pekalongan yang juga telah meminta keterangan
kepada BPN yang selanjutnya dilakukan pertemuan pertemuan dengan
masyarakat penggarap, pemegang hak, Kepala Desa, Kepala pemerintahan,
kecamatan dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan konflik melalui
musyawarah. Keputusan akhir dari musyawarah tersebut adalah “bekas” petani
penggarap tetap menuntut agar tanah GG tersebut dikembalikan.
100 Pihak BPN menyatakan bahwa upaya hukum melalui jalur pengadilan
sebaiknya ditempuh oleh kedua belah pihak untuk menuntaskan masalah dan tidak
memungkinkan konflik kembali terangkat. Sesungguhnya masalah konflik tanah
ini tidak perlu diperpanjang lagi karena sudah ada kejelasan bahwa H.SHJ, Cs,
telah melalui proses hukum yang legal untuk mendapatkan kepemilikan tanah GG
tersebut. Pada dasarnya, hal yang tidak diketahui oleh masyarakat petani
penggarap adalah sejarah lahan tersebut yang sebelumnya telah dikelola oleh
petani-petani penggarap sebelum mereka selama 20 tahun.
Menurut hukum land reform, petani-petani penggarap yang lama tersebut
telah dapat memiliki tanah GG secara hukum dengan mengajukan permohonan
pengalihan hak atas tanah negara kepada pemerintah dan membayar “uang ganti”
kepada negara yang selanjutnya uang itu akan menjadi pemasukan negara.
Namun, petani-petani penggarap lama tersebut memilih untuk mengalihkan tanah
GG kepada H. SHJ, Cs yang berniat untuk membeli tanah tersebut agar mereka
mendapat uang ganti atas semua yang telah mereka tanam di tanah tersebut.
Kemudian H.SHJ, Cs secara prosedural telah mengajukan permohonan hak milik
atas tanah dan telah membayar uang ganti kepada negara dan petani-petani
penggarap lama. Hal ini ternyata tidak diketahui oleh petani penggarap baru yang
baru menggarap tanah GG tersebut selama beberapa tahun karena petani
penggarap yang lama telah meninggal dunia. Kemudian tanpa dasar yang jelas,
petani penggarap baru mengaku bahwa tanah tersebut telah menjadi hak mereka
untuk digarap. Konflik yang terjadi didasari ketidaktahuan masyarakat mengenai
status tanah GG di desanya. Selain itu, diduga adanya provokasi dari FPPP untuk
mempermasalahkan tanah GG karena sebelum FPPP hadir, masyarakat dan BPD
Lemah Abang tidak mempermasalahkan tanah tersebut. Perwakilan bagian
sengketa tanah BPN Pekalongan mengungkapkan pandangannya faktor konflik di
di Desa Lemah Abang sebagai berikut :
“Justru petani itu mulai ribut pada waktu FPPP datang, namanya juga LSM,
mereka itu cenderung memanas-manasi masyarakat untuk mengangkat kasus
yang sudah jelas tidak harus dipermasalahkan”(JKM, 48 tahun, staf BPN)
Jika
konflik
ini
memang
dipicu
oleh
provokasi,
bukan
suatu
ketidakmungkinan bahwa pada suatu saat akan ada pihak lain yang melakukan
101 provokasi serupa untuk mengangkat kasus ini ke permukaan untuk kepentingankepentingan pribadi. Pihak-pihak yang di luar badan hukum yang “berminat”
untuk memfasilitasi masyarakat desa dalam menyelesaikan konflik lahan diduga
memiliki kepentingan pribadi yang dapat diperoleh dari proses resolusi konflik.
Hal ini diungkapkan oleh informan sebagai berikut:
“…namanya aja LSM toh, mereka motifnya apa kalau bukan mencari uang,
waktu itu kan gencar sekali LSM mau memfasilitasi petani ke jalur hukum, tapi
buktinya apa, sekarang malah mandeg, pasti karena petani ndak bisa mbayar, ya
otomatis LSM ninggalin begitu saja” (JKM, 48 tahun, staf BPN).
Tanah di suatu wilayah yang tidak dimiliki secara sah oleh seseorang/
pihak tertentu adalah tanah negara. Namun tanah ini bisa menjadi hak milik orang
yang menghendakinya dengan mengajukan permohonan hak milik kepada negara
dan membayar uang ganti kepada negara seperti yang telah dilakukan oleh H.SHJ,
Cs. Pihak BPN menyatakan bahwa konflik tanah yang terjadi di Desa Lemah
Abang dikarenakan oleh ketidakpahaman masyarakat desa mengenai status tanah
yang ada di desanya. Secara runtut, kronologi konflik tanah di Desa Lemah
Abang menurut pandangan Badan Pertanahan Nasional dapat dipaparkan dalam
skema kronologi (Gambar 21).
Sebelum tahun
1998
3 Januari 1998
13 Januari 1998
H.SHJ, Cs telah membeli
tahan GG dari petani
penggarap lama.
Pengukuran Tanah GG oleh
Petugas Kantor Pertanahan
Kabupaten Pekalongan. Pengajuan surat keberatan
dari pihak LKMD dan LMD
mengenai permohonan atas
tanah GG oleh H. SHJ, Cs.
102 18 Mei 1998
H.SHJ,Cs mengajukan
permohonan atas tanah GG.
1 April 1999
Pihak LKMD dan LMD
mencabut surat keberatan ats
permohonan tanah GG oleh
H.SHJ, Cs.
22 Juni 1999
Pemberian Hak milik kepada
H.SHJ, Cs atas tanah GG
berdasarkan keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
Pekalongan.
7 Februari 2006
Sertifikat tanah atas nama
H.SHJ, Cs terbit dan diketahui
oleh Ketua BPD. Ketua BPD
kemudian melayangkan surat
pengaduan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
pekalongan. 2006
2006- 2009
Musyawarah yang melibatkan
petani penggarap,
Konflik belum selesai, namun
upaya
menuju
proses
pengadilan masih tersendat.
Gambar 21. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak BPN
Kabupaten Pekalongan
Kronologi konflik yang diungkapkan oleh BPN Kabupaten pekalongan
menggambarkan bahwa proses terjadi dalam skala waktu yang cukup lama,
dimana awal konflik didahului oleh proses yang melibatkan “aktor fiktif” yang
saat ini sudah tidak ada. Proses ini mengawali “kebingungan” dan kecurigaan
masyarakat Desa lemah Abang yang akhirnya melahirkan konflik kepentingan
yang belum belum tuntas hingga saat ini. Isu konflik yang dikemukakan pihak
103 BPN memperlihatkan kecenderungan yang berbeda dengan penafsiran isu oleh
petani penggarap baru.
Menurut pandangan pihak BPN, konflik tanah yang terjadi di Desa Lemah
Abang memiliki akar masalah ketidaktahuan masyarakat mengenai status lahan.
Masyarakat desa cenderung merasa memiliki lahan tersebut karena kebutuhan
mereka atas tanah tersebut. Pihak BPN beranggapan bahwa konflik kepentingan
tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada pihak luar yang mengangkat isu ke
permukaan. Konflik yang melibatkan cukup banyak pihak ini menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Pihak BPN telah
memberi penjelasan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) Lemah Abang bahwa
status tanah GG di Desa Lemah abang tersebut sebelumnya adalah tanah negara,
bukan tanah desa atau tanah adat. Tanah negara dapat dijadikan hak milik jika
pihak yang telah memanfaatkan tanah tersebut selama 20 tahun mengajukan
permohonan hak milik atas tanah. Namun, masyarakat tidak dengan mudah
percaya mengenai status tanah yang ada di Desa Lemah Abang. Masyarakat
selalu menganggap bahwa lembaga hukum berlaku tidak adil. Akibat konflik yang
muncul ke permukaan yang diduga dipengaruhi oleh aksi provokasi pihak-pihak
yang berkepentingan, bukan tidak mungkin pada waktu-waktu tertentu isu
kembali diangkat untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak “asing” (Gambar 22).
Ketidakpercayaan masyarakat
terhadap lembaga hukum
Kecurigaan yang berlanjut
Pemanfaatan isu oleh pihak
lain
EFEK
MASALAH INTI
Perebutan
hak atas
lahan
AKAR
Ketidaktahuan masyarakat mengenai status lahan
Provokasi
Gambar 22. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemaparan Pihak BPN
Kabupaten Pekalongan.
104 6.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik
Dari pemaparan konflik berdasarkan sudut pandang BPN dan masyarakat
Desa lemah abang, terdapat perbedaan yang mendasar terhadap pemahaman
mengenai konflik yang terjadi.
Hal yang paling mendasar yang menjadi
perbedaan sudut pandang keduanya adalah mengenai isu konflik.
Dapat disimpulkan bahwa para petani penggarap yang berkonflik dengan
pemilik sah tanah GG (H.SHJ,Cs) memiliki kepentingan yang mendasar bagi
kehidupan mereka, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok. Tanah yang telah
mereka garap selama beberapa tahun mengandung nilai-nilai pokok bagi
masyarakat desa dan keberadaannya sangat bermanfaat jika dikelola sepenuhnya
oleh masyarakat Desa Lemah Abang. Masyarakat Desa Lemah Abang
beranggapan bahwa konflik terjadi akibat kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh aparat desa pada saat itu dan pihak “asing” untuk menguasai tanah GG di
Desa Lemah Abang. Sedangkan BPN yang merupakan lembaga hukum yang
berwenang untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa tanah memiliki argumen
yang kuat bahwa dalam kasus ini yang bersalah adalah para petani penggarap
yang telah “dibujuk” oleh pihak FPPP untuk mempermasalahkan peralihan hak
tanah tersebut. Perbedaan sudut pandang ini dikarenakan posisi dan kepentingan
yang berbeda di antara kedua belah pihak. Di satu sisi, petani penggarap tidak
ingin kehilangan “properti” yang berharga bagi mereka dan seluruh masyarakat
Desa Lemah Abang. Pada sisi lain, BPN sebagai lembaga yang bertanggung
jawab dalam menangani “ketidakseimbangan” dalam masyarakat akibat masalah
agraria telah melakukan “kajian” yang dianggap sahih bahwa tidak ada
kecurangan dan keilegalan dalam pemberian hak atas tanah GG terhadap H.SHJ,
Cs yang dianggap masyarakat abang sebagai “pemicu konflik”. Masyarakat
dianggap tidak mengerti mengenai status hukum tanah yang tengah menjadi
sengketa.
Perbedaan pemahaman mengenai konflik juga terlihat pada penilaian dan
tanggapan kedua pihak (dalam hal ini BPN dan petani penggarap) terhadap
“aktor-aktor” lain yang terlibat dalam konflik. Masyarakat desa dengan mudah
menaruh curiga kepada pihak-pihak yang ingin “campur tangan” pada masalah
konflik tanah GG. Hal ini dikarenakan ketakutan dan kekhawatiran mereka bahwa
105 pihak-pihak yang “campur tangan” tersebut adalah oknum-oknum dari pihak
H.SHJ, Cs yang berupaya untuk mempermudah perkara dengan cara melakukan
pendekatan kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh salah satu informan
sebagai berikut :
“waktu itu orang tua saya diampiri sama orang dari LKMD, disuruh
menandatangani surat, orang tua saya yang merupakan tokoh masyarakat di
desa ini jelas curiga, mesti ada kaitannya dengan tanah GG, ya orang tua saya
ndak mau, karena curiga sama orang-orang itu, siapa tau kaki tangannya
H.SHJ” (WRS,45 tahun, aparat desa).
Masyarakat beranggapan bahwa LKMD berada di pihak H.SHJ karena
berupaya melakukan pendekatan ke masyarakat, dan pada suatu kesempatan
mereka meminta tanda-tangan dari beberapa tokoh masyarakat di atas selembar
surat yang tidak diketahui isinya. Namun ternyata, jika ditinjau dari kronologi
konflik menurut pemahaman BPN, pada tanggal 13 Januari 1998 LKMD
menyatakan keberatan kepada Bupati Pekalongan atas permohonan yang hak
tanah GG yang diajukan oleh H.SHJ, Cs. Perbedaan penilaian dari kedua belah
pihak ini dikarenakan perbedaan situasi yang dirasakan antara pihak BPN dengan
masyarakat desa. Masyarakat desa dalam kasus ini berada pada situasi yang
dirugikan, sehingga kecurigaan selalu ada dalam menilai keterlibatan pihak lain.
Pengungkapan kronologi konflik yang berbeda juga diperlihatkan dengan
jelas dari sudut pandang kedua belah pihak. BPN telah mengidentifikasi konflik
laten yang terjadi sejak tahun 1998, yaitu sejak H.SHJ, Cs mengajukan
permohonan kepemilikan tanah GG di Desa Lemah Abang. Sedangkan
masyarakat hanya “mengakui” bahwa konflik berawal dari klaim yang dilakukan
H.SHJ terhadap tanah GG pada tahun 2005. Pemaparan kronologi konflik yang
diungkapkan kedua belah pihak ini menggambarkan rentang waktu konflik yang
berbeda serta gambaran aksi yang berbeda pula.
Konflik tanah yang terjadi antara sejumlah petani penggarap di Desa
Lemah Abang dengan H.SHJ, Cs dapat dianalisis dengan “teori kebutuhan
manusia” menurut Fisher, et.al., (2000) yang menilai bahwa konflik disebabkan
oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Kebutuhan
yang terhalangi adalah tanah.
Para petani penggarap di Desa Lemah Abang
merasa terhalangi dalam melakukan akses dan kontrol terhadap kebutuhannya,
106 yaitu tanah yang telah diklaim oleh pihak lain secara tidak sah. Di satu sisi, pihak
H.SHJ, Cs telah membayar ganti rugi kepada petani penggarap lama dan
melakukan proses yang sah. Kebutuhan akan sasaran yang sama menjadi
“tumbukan” kepentingan di antara dua aktor yang berkonflik.
6.4
Kaitan antara Isu Perebutan Tanah dengan Kebrutalan Konflik
Konflik yang
terjadi di Desa Lemah Abang berakar pada isu yang
realistik, yaitu mengenai sumber ekonomi berupa tanah. Konflik tidak sampai
pada kebrutalan konflik. Hal ini sejalan dengan teori Coser (1957) bahwa konflik
yang disebabkan oleh isu realistik cenderung tidak brutal.
Aktor-aktor yang
berkonflik hanya berupaya mencapai konsensus dengan konsultasi hukum dan
upaya untuk beranjak pada meja hijau untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Sasaran yang ingin dicapai oleh petani penggarap adalah kembalinya “aset”
mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan sasaran yang ingin
dicapai oleh H.SHJ, Cs adalah pengakuan
masyarakat Desa Lemah Abang
mengenai status tanah yang telah dimilikinya. Dalam kasus konflik perebutan
tanah ini, kekerasan/kebrutalan tidak terjadi dikarenakan tanah yang menjadi
sumber konflik bukan menyangkut “hidup mati” para petani penggarap dan
masyarakat setempat karena mereka memiliki mata pencaharian lain sebagai
sumber pendapatan. Pada kasus lain di Indonesia, konflik realistik yang berupa
perebutan tanah semacam ini tidak jarang yang mencapai kekerasan dan
kebrutalan yang menyebabkan kematian dan kerusakan fisik serta sosial. Hal ini
dikarenakan tanah yang menjadi sumber konflik adalah satu-satunya pemenuh
kebutuhan hidup masyarakat yang sangat krusial yang tidak boleh dikuasai oleh
pihak lain.
Meskipun tidak mencapai tahap kekerasan konflik, namun konflik tanah
ini sudah sampai tahap manifest (terbuka) yang berdampak terhadap sistem sosial
yang ada di Desa Lemah Abang. Bukan tidak memungkinkan jika suatu saat
konflik dapat mencapai kebrutalan/kekerasan, namun hal ini tergantung pada
kondisi kelompok dan “musuh” yang dihadapinya pada saat kebutuhan akan tanah
tersebut semakin mendesak.
107 6.5
Kaitan antara Konflik dengan Kohesivitas Kelompok
Teori Coser (1957) mengenai kebrutalan konflik dan kohesi kelompok
menyatakan bahwa kebrutalan atau kekerasan konflik secara nyata berfungsi
positif terhadap keeratan/kohesi kelompok. Namun, pada kasus ini tidak terjadi
kekerasan konflik. Meskipun tidak terjadi kekerasan/kebrutalan, kohesi/keeratan
kelompok ditunjukkan oleh aktor konflik, yaitu kelompok petani penggarap.
Aspek dari kohesi/keeratan kelompok paling ditunjukkan oleh kekompakan di
antara para petani penggarap. Pada saat konflik naik ke permukaan, kelompok
petani penggarap cenderung lebih menunjukkan “kebersamaan” dalam melakukan
upaya-upaya untuk mencapai sasaran yang sejalan. Pada saat kebutuhan mereka
atas tanah terancam, mereka secara bersama-sama melakukan aksi-aksi tuntutan
baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap
bertanggung jawab terhadap “pengambilan” hak mereka. Hal ini dikemukakan
oleh salah satu responden “bekas” petani penggarap sebagai berikut :
“waktu demo ya saya yang ngatur, habisnya kalo ndak gitu ya ndak ada
yang berani maju, sampe kapan mau terkatung-katung terus, pas saya maju
yo pada manut” (SYT,45 tahun).
Kepentingan kelompok menjadi sesuatu yang lebih diperhatikan pada saat
terjadi konflik dengan pihak luar, sehingga keputusan satu orang yang dianggap
dapat menguntungkan kelompok dengan mudah menjadi keputusan bersama,
karena pada saat kebutuhan tengah “dikendalikan” oleh pihak lain, dibutuhkan
tindakan yang cepat untuk merebut kebutuhan itu kembali. Interaksi antar angota
kelompok semakin intens ketika ketegangan yang dirasakan kepada pihak lain
yang merampas hak-hak mereka semakin “dibangkitkan” oleh sikap-sikap yang
tidak mengacuhkan kebutuhan mereka. Pada saat seperti ini, komunikasi di antara
para anggota kelompok semakin intens untuk menemukan solusi bagaimana cara
mereka untuk mendapatkan kembali “hak yang hilang”. Para petani penggarap
lebih sering mengadakan rapat dan musyawarah
untuk membahas masalah
konflik tanah yang ada di Desa Lemah Abang. Terkait dengan kekompakan dan
solidaritas yang merupakan ciri dari kohesi kelompok, responden mengakui
bahwa selama terjadi konflik dengan H.SHJ, Cs, tidak ada petani penggarap yang
menolak untuk “beraksi” bersama karena sasaran yang diperjuangkan adalah
108 kebutuhan bersama yang sedang terancam. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut :
“yo mana ada yang ndak mau ikut demo, lha semua berkepentingan kok,
kan petani yang pingin tanah itu kembali bukan Cuma saya, jadi yo yang
bertindak semuanya, biar semua bisa dapat haknya lagi” (RKB, 50 tahun,
petani penggarap).
Kesadaran bersama atas kebutuhan bersama ditunjukkan para anggota
kelompok dalam meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi untuk
mewujudkan keputusan-keputusan dalam mencapai sasaran bersama. Solidaritas
yang diartikan petani penggarap sebagai kekompakan bertindak dalam upaya
mencapai tujuan bersama terbukti semakin meningkat karena terjadi konflik
dengan pihak luar.
Preposisi Coser mengemukakan bahwa semakin keras/ brutal konflik yang
terjadi dengan kelompok/pihak luar, maka kohesivitas kelompok semakin erat.
Namun dalam kasus ini, kohesivitas kelompok bukan dibentuk oleh kerasnya
konflik. Hal ini dapat dijelaskan oleh kondisi kelompok sebelum terjadi konflik.
Sebelum terjadi konflik dengan H.SHJ,Cs, para petani penggarap di Desa Lemah
Abang selalu berinteraksi dan beraktivitas bersama karena mereka memiliki
“lahan bersama”. Oleh karena itu, ada nilai-nilai lokal yang tumbuh pada
keseharian mereka yang “mengikat” mereka menjadi suatu “bagian” dari
masyarakat yang memiliki “aset” yang sama. Kelompok petani penggarap
memiliki homogenitas yang cukup tinggi, dan di dalamnya tidak terdapat konflik
internal, sehingga walaupun sifat konflik belum mengarah pada kekerasan, namun
keeratan/kohesivitas kelompok tetap terbentuk.
6.6
Ikhtisar
Konflik tanah
yang terjadi di Desa lemah Abang, Kecamatan Doro,
Kabupaten Pekalongan merupakan konflik realistik dengan isu utama perebutan
hak atas tanah. Konflik ini melibatkan banyak aktor konflik yang terdiri dari
masyarakat, lembaga hukum, dan lembaga pemerintahan. Aktor utama dalam
konflik ini adalah kelompok petani penggarap di Desa Lemah Abang dengan
pihak pemilik tanah yang sah, yang terdiri dari sepuluh orang yang merupakan
109 warga luar Desa Lemah Abang. Konflik ini berawal ketika tanah GG, yaitu tanah
bebas negara yang diartikan sebagai tanah milik Desa Lemah Abang oleh
masyarakat sekitar berpindah tangan kepada H.SHJ, Cs yang merupakan pihak
yang telah memiliki hak atas tanah tersebut secara sah. Perbedaan persepsi antara
masyarakat dengan lembaga hukum menyebabkan konflik ini belum berakhir
hingga saat ini meskipun dalam bentuk laten. Petani penggarap dari Desa Lemah
Abang masih bersikeras bahwa tanah GG tersebut adalah milik desa yang telah
mereka garap secara turun-temurun. Konflik ini tidak sampai pada tahap
kekerasan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang diinginkan
adalah melalui mediasi untuk mencapai konsensus.
110 BAB VII
KAITAN ANTARA ISU KONFLIK DENGAN KEBRUTALAN KONFLIK
Kasus-kasus yang dipaparkan dan dianalisis dalam tulisan ini pada
dasarnya menggambarkan isu-isu konflik, kekerasan konflik dan fungsi konflik.
Kasus yang “diangkat” adalah dua kasus non realistik (kasus 1 dan kasus 2) dan
satu kasus realistik (kasus 3). Kasus non realistik yang telah dibahas memiliki
isu-isu yang bersifat “non material” yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana
untuk mengungkapnya. Kasus konflik non realistik yang telah ditelaah
membuktikan bahwa konflik mencapai tahap kebrutalan/kekerasan. Sedangkan
kasus realistik yang memiliki isu realistik berupa “perebutan hak atas tanah” tidak
mencapai kekerasan. Berdasarkan teori Coser mengenai keterkaitan antara isu
konflik dengan kekerasan konflik, dua kasus non realistik yang telah dikaji
menggambarkan kesesuaian dengan teori Coser bahwa konflik non realistik
cenderung lebih keras/brutal.
Kasus non realistik yang berakar pada isu agama (kasus 1) dan “harga
diri” (kasus 2) yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat berujung pada
perilaku/aksi kekerasan yang menyebabkan kerusakan secara fisik dan mental.
Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok-kelompok yang berkonflik tidak dapat
digambarkan secara “material” sehingga penafsiran terhadap sasaran-sasaran
pokok yang ingin dicapai oleh aktor-aktor konflik seringkali menjadi rancu.
Konflik non realistik cenderung membelok dari tujuan konflik yang sebenarnya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa “konflik” merupakan tujuan dari konflik
non realistik. Konflik non realistik cenderung tidak memungkinkan tercapainya
konsensus karena sasaran yang ingin dicapai oleh aktor-aktor konflik sangat
“abstrak”. Semakin konflik membelok dari tujuan yang sebenarnya, maka
kecenderungan konflik untuk mencapai kekerasan/kebrutalan semakin tinggi. Isuisu non realistik yang cenderung berupa “nilai-nilai” dan kesalahpahaman yang
sepele dapat membawa konflik pada tingkat “kerumitan” yang tinggi untuk
dipecahkan. Konflik non realistik berfungsi untuk mempertegas identitas
kelompok melalui proses-proses yang mengungkapkan “permusuhan” yang
111 ditunjukkan pihak tertentu kepada pihak lain yang menjadi saingan atau
musuhnya.
Berbeda dengan konflik non realistik, konflik realistik memiliki sumber
yang jelas yang “wujud”nya dapat dilihat dan dapat dipahami bahwa sumber
konflik merupakan sasaran/objek yang mengarah pada kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia. Konflik realistik diduga lebih mudah mengarah pada perdamaian
daripada konflik non realistik karena dapat dianalisis dengan jelas permasalahan
mendasar yang menjadi tujuan yang ingin dicapai/dimiliki oleh aktor-aktor
konflik. Namun demikian, kasus-kasus konflik realistik juga banyak yang
mencapai kekerasan/kebrutalan bahkan menyebabkan korban jiwa, terutama jika
isu konflik adalah kebutuhan manusia yang sangat krusial. Hal ini dapat
digambarkan oleh sebagian kasus konflik tanah di beberapa daerah di Indonesia,
dimana konflik telah menyebabkan banyak kerusakan fisik dan sosial serta korban
jiwa. Konflik realistik yang terdapat di dalam analisis kasus 3 (tiga)
menggambarkan bahwa konflik tanah tidak berujung pada kekerasan. Jika konflik
dapat mencapai konsensus, maka dimungkinkan sumber konflik yang berupa
tanah dimanfaatkan secara bersama oleh kedua aktor konflik sehingga konflik
dapat diredam dan efeknya adalah hubungan sosial yang baru. Oleh sebab itu,
Pada kasus 3 (tiga) tersebut, konflik realistik memiliki sumber konflik yang bukan
menyangkut
kebutuhan
yang
sangat
mendasar
dan
krusial,
sehingga
kekerasan/kebrutalan dapat dihindari, karena masyarakat yang bersangkutan
masih memiliki “sumber penghidupan” lain.
112 BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
1.
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa semakin keras suatu konflik
maka kohesivitas kelompok semakin erat, terlihat jelas dalam kasus 1(satu)
dan 2 (dua), dimana ditemukan fakta bahwa semakin konflik menuju
kekerasan, hubungan di antara anggota kelompok semakin dekat, batasan
kelompok semakin tegas dan penekanan terhadap pembangkang serta yang
menyimpang semakin tampak. Namun pada kasus 3 (tiga), ditemukan fakta
bahwa
kohesivitas kelompok ternyata lebih dibentuk oleh nilai-nilai
kelompok berupa nilai “kepemilikan tanah bersama”.
2.
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa kekerasan konflik dipengaruhi
oleh isu konflik terbukti oleh fakta-fakta yang ditemukan berdasarkan hasil
analisis terhadap tiga kasus konflik. Dua kasus konfik non realistik yang
berangkat dari isu agama (kasus 1) dan “harga diri” (kasus 2) mendorong
kekerasan konflik yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental dan
sosial. Sedangkan konflik realistik yang berangkat dari isu perebutan hak
atas tanah (kasus 3) tidak mendorong terjadinya kekerasan konflik karena
tanah yang menjadi sumber konflik bukan merupakan satu-satunya sumber
penghasilan masyarakat, atau bukan merupakan kebutuhan yang krusial
sehingga masyarakat masih memiliki cara lain untuk mendapat penghasilan.
3.
Pada konflik non realistik, konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok
dengan cara menciptakan batasan di antara dua kelompok, mendorong
sentralisasi struktur pengambilan keputusan di dalam masing-masing
kelompok yang berkonflik, menciptakan solidaritas/kekompakan kelompok
dalam hal melawan musuh bersama (common enemies), menguatkan
konformitas terhadap nilai dan norma serta mendorong kelompok untuk
memberikan sanksi terhadap “penghianat” kelompok.
4.
Pada isu realistik, konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok dengan cara
mendorong peningkatan interaksi dan komunikasi diantara anggota
113 kelompok serta solidaritas/kekompakan kelompok dalam aksi-aksi untuk
mendapatkan sasaran bersama untuk kebutuhan bersama.
8.2
Saran
Saran yang diberikan oleh peneliti terkait dengan penelitian mengenai
studi terhadap kekerasan dan fungsi konflik adalah :
1. Dalam melakukan suatu kajian mengenai konflik, perlu dikaji sudut
pandang mengenai konflik dari berbagai aktor (bukan hanya aktor utama)
yang terlibat sehingga isu-isu mengenai konflik dapat “diangkat” secara
jelas.
2. Untuk kasus konflik berupa isu prinsip agama yang melibatkan kelompok
identitas dan non identitas seperti pada kasus 1, upaya resolusi konflik
yang dapat ditempuh diantaranya dengan pendekatan-pendekatan yang
tidak
eksklusif
oleh
kelompok
agama
tertentu
untuk
memberi
pengertian/penjelasan mengenai konsep-konsep tertentu kepada pihak lain
sesuai dengan visi dan misi mereka agar dapat dicapai kesepakatan dan
hubungan yang tidak “kaku” diantara kedua belah pihak/kelompok yang
berbeda.
Sebagai
contoh
dengan
dialog-dialog
keagamaan
yang
melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan
perspektif-perspektif yang beragam, sehingga visi dan misi yang berkaitan
dengan prinsip agama tidak diartikan secara negatif oleh pihak/kelompok
lain. Selain itu, aparat kepolisian sebagai pihak yang berwenang dalam
menciptakan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat juga perlu
memahami secara mendalam tentang manajemen konflik, sehingga perlu
ada suatu pelatihan mediasi konflik untuk aparat kepolisian.
3. Untuk kasus konflik berupa isu non realistik yang melibatkan dua
kelompok pemuda seperti kasus 2, resolusi konflik dapat dibangun melalui
pembentukan komunitas tertentu sebagai wadah untuk saling berinteraksi
dengan menerapkan pembinaan-pembinaan kepada pemuda. Hal ini dapat
menjadi “pengalihan energi” bagi para pemuda agar tingkat “agresivitas”
mereka teralih kepada aktivitas-aktivitas yang bersifat positif.
114 4. Untuk kasus konflik berupa isu realistik yang bersumber pada kebutuhan
hidup seperti pada kasus 3 (konflik tanah), resolusi konflik dapat dibangun
oleh pihak-pihak tertentu seperti LSM dan Pemerintah Daerah setempat
dengan menciptakan peluang kerja lain bagi masyarakat agar hidup
mereka tidak terkonsentrasi pada tanah.
5. Bagi kelompok, dalam kondisi stabil, kohesivitas kelompok dapat
dibangun secara internal dengan memperkuat nilai-nilai kelompok.
115 DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, Miftahul. 2009. Konflik Sosial Antara Pribumi dengan Non Pribumi di
Pekalongan,JawaTengah.http://digilib.uinsuka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=re
ad&id=digilib-uinsuka--miftahulal-1299&q=Sosial ( 26 April 2009)
Pemerintah Kabupaten Pekalongan Sekretariat Daerah Bagian Hukum. 2007.
Berita Acara Nomor 050/11/Tim/BA/XI/2007
Coser, Lewis. 1957. The Function Of Social Conflicts. New York : The Free
Press
Creswel. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches.
California: SAGE Publication
Data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pekalongan Nomor 570/166/I/2006
Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan. 2008. Data Potensi Desa
Lemah Abang.
Fisher,et.al.2000. Mengelola Konflik. Keterampilan dan Strategi Untuk
Bertindak. Jakarta : The British Council
Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta :
Quills
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT
Gramedia
Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution.
Lanham, MD : Rowman and Little
Lintong, Eister Eirene. 2005. Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Disertasi Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan. 1953. Data Pemerintahan Kabupaten
Pekalongan Sekretariat Daerah.
Surat Kejaksaan Negeri Pekalongan no. B-552/0.3.12/E11.2/06/09 tanggal 5 Juni
2009.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.
Jakarta: Kencana
116 Tadjoeddin, Zulfan Mohammad. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks
Transisi : Kasus Indonesia, 1990-2001. Jakarta: UNSFIR Policy Support
for Sustainable Social Economic Recovery
Usman dan Husaini Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi
Aksara
Wijardjo, Boedhi, et.al. 2001. Konflik, Bahaya atau Peluang? : Panduan Latihan
Menghadapi dan Menangani Konflik Sumber Daya Alam. Bandung : KPA
117 Lampiran 1. Denah Lokasi Penelitian
118 Tabel 2. Tabel Kebutuhan Data
No
Kebutuhan Data/ Informasi
Sumber Data/Informasi
1.
Profil dan Sejarah lokasi
a) Administrasi Geografis
dan Topografi
b) Karakteristik Masyarakat
• Kondisi
sosial
masyarakat
• Kondisi
ekonomi
masyarakat
Data sekunder:
Daftar isian potensi
desa
atau
data
monografi desa
Data primer:
Aparat desa, tokoh, dan
anggota masyarakat
o Studi literatur
o Wawancara
mendalam
o Observasi
2.
Gambaran Konflik
a) Akar konflik
b) Pihak pihak yang terlibat
konflik
c) Bentuk Konflik
d) Tahapan Konflik
e) Kekerasan Konflik
f) Dampak konflik
Data primer :
Informan
(Tokoh
masyarakat,
Kades,
aparat
keamanan),
responden
(aktor
konflik).
Data sekunder:
Data Pengadilan Negeri
dan Polres setempat
o Studi literatur
o Wawancara
mendalam
o Diskusi kelompok
o Observasi
3.
Fungsi Konflik
a) Struktur kelompok
b) Solidaritas kelompok
c) Interaksi kelompok
Data pimer:
Informan
(tokoh
masyarakat,
Kades,
aparat
keamanan),
responden
(aktor
konflik)
Data sekunder :
Data Pengadilan Pegeri
dan Polres setempat
o Studi literatur
o Wawancara
mendalam
o Diskusi kelompok
o Observasi
Teknik Pengumpulan Data
119 Lampiran 3. Panduan Pertanyaan Penelitian
A. Petunjuk
Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara
langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek- aspek kajian. Catatan
singkat ditulis dalam ruangan yang kosong di bawah kotak aspek- aspek yang ditanyakan
dalam wawancara mencalam untuk dikembangkan menjadi laporan.
B. Wawancara Mendalam
Hari, tanggal
:
Lokasi wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
B.1 Profil dan Sejarah lokasi
a) Administrasi geografis dan topografi
b) Karakteristik masyarakat
1. Bagaimana kondisi masyarakat berdasarkan agama, suku,pendidikan, kekayaan,
dan sosia kemasyarakatan.
2. Apakah pekerjaan utama masyarakat?
3. Apakah masyarakat masih memegang teguh tradisi atau aturan- aturan informal?
B.2 Isu- Isu penyebab konflik dan kronologis konflik
a) Pertanyaan Umum Mengenai Konflik
1. Apakah Anda tahu mengenai konflik yang terjadi di Desa Anda?
2. Siapakah pihak- pihak yang berkonflik tersebut?
3. Sejak kapan konflik tersebut mulai terjadi?
4. Kapan konflik tersebut memanas?
5. Dapatkan anda ceritakan secara keseluruhan mengenai kronologis terjadinya
konflik?
6. Bagaimana dampak konflik tersebut menurut Anda? Adakah dampak positifnya?
b) Isu- Isu (penyebab konflik)
1. Apa yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik tersebut menurut Anda?
120 2. Selain isu tersebut, isu- isu apalagi yang merupakan akar penyebab terjadinya
konflik?
3. Seberapa jauh pengaruh isu- isu tersebut terhadap konflik yang terjadi?
B.3 Kekerasan konflik dan hubungan internal kelompok
a) Kekerasan Konflik
1. Menurut Anda, bagaimanakah konflik yang dikatakan keras/ brutal?
2. Apakah menurut anda konflik yang terjadi disertai kekerasan fisik?
3. Apakah menurut Anda konflik diwarnai dengan penyerangan- penyerangan?
4. Apakah Anda mengetahui pihak- pihak/kelompok/organisasi yang melakukan
penyerangan? siapa saja?
5. Seberapa sering pihak yang berkonflik berhadap- hadapan secara fisik?
6. Apakah sering jatuh korban setelah pihak- pihak yang berkonflik saling
melakukan penyerangan? siapa saja yang terluka/ tewas?
b) Kondisi Kelompok (ditujukan Untuk responden)
1. Apakah ketika dan setelah terjadinya konflik, bagaimana intensitas komunikasi
mengenai konflik tersebut dengan pihak- pihak internal?
2. Menurut Anda, bagaimanakah kelompok yang solid/ apakah arti dari solidaritas
kelompok?
3. Apakah selama terjadinya penyerangan, orang- orang dalam komunitas lebih
sering bertemu dalam pertemuan formal?
4. Berapa kali dalam 1 minggu selama dan setelah penyerangan, aparat desa
mengadakan pertemuan formal (Rapat) berkaitan dengan konflik yang terjadi
dengan pihak/kelompok/komunitas luar?
5. Secara keseluruhan, bagaimana suasana beraktifitas
(seperti kepercayaan,
pengambilan keputusan, kejujuran, keterbukaan dalam berkomunikasi) di dalam
komunitas/kelompok/organisasi
penyerangan?
a. Menurun
b. Meningkat
seiring
dengan
adanya
konflik
berupa
121 6. Selama konflik dengan pihak luar memanas, bagaimana cara pengambilan
keputusan dalam kelompok? Mengapa pengambilan keputusan kelompok
dengan cara demikian?
7. Apakah selama terjadi konflik ada orang yang netral dalam kelompok? Siapa
saja orang- orang tersebut? Mengapa mereka bersikap netral? Bagaimana
perlakuan anggota kelompok terhadap orang yang netral tersebut?
B.4 Pertanyaan Tambahan
1. Adakah upaya- upaya dalam menangani konflik- konflik tersebut?
2. Seperti apa bentuk upaya penanganan konflik tersebut?
3. Siapa yang ikut terlibat dalam penanganan konflik tersebut?
4. Mengapa pihak tersebut mau berupaya menangani konflik?
5. Apakah ada kepentingan dari berbagai pihak yang berupaya menangani konflik?
6. Apakah upaya- upaya tersebut sudah cukup memuaskan berbagai pihak?
7. Upaya apalagi yang menurut anda dapat meminimalisir terjadinya konflik yang
berkepanjangan?
8. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengelolaan konflik?
9. Kesepakatan- kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya
penyelesaian /meredam konflik?
10. Apakah konflik masih sering terjadi setelah dilakukan upaya- upaya penanganan
konflik tersebut?
11. Apakah kedua pihak yang berkonflik masih bersitegang?
12. Seberapa sering penyerangan terjadi setelah dilakukan upaya meredam konflik
tersebut?
Download