(Piper crocatum) Sirih merah

advertisement
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah pustaka
2.1.1. Sirih merah (Piper crocatum)
Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat yang wajib
disediakan dalam setiap upacara adat karena diyakini memiliki nilai spiritual yang
tinggi di lingkungan kraton Yogyakarta. Untuk distribusi pertumbuhannya selain di
Yogyakarta, juga terdapat di Papua dan Jawa Barat. Banyaknya penggunaan daun
sirih merah dalam dunia penelitian membuat masyarakat tertarik untuk
membudidayakan tanaman ini apalagi air rebusan daun sirih merah dipercaya
mengandung antiseptik yang dapat membasmi berbagai penyakit infeksi. Saat ini
daun sirih merah mulai mudah didapat sehingga banyak para peracik obat herbal
berlomba-lomba melakukan penelitian dan memanfaatkan daun sirih merah sebagai
obat alternative (Sudewo, 2005). Selain itu sirih merah (Piper crocatum) adalah
salah satu tanaman obat yang diyakini oleh masyarakat berkhasiat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit, seperti diabetes mellitus, hepatitis, batu ginjal,
dan lain sebagainya (Amalia dan Fitriai, 2002).
Gambar 1. Sirih Merah (Rachmawaty et al., 2009)
6
7
Berikut adalah klasifikasi tanaman sirih merah menurut Backer (1963):
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum Ruiz & Pav
2.1.1.1. Ciri-ciri sirih merah
Sirih merah tumbuh menjalar dan merambat pada batang pokok, daunnya
berbentuk pipih seperti hati, pangkal daun berlekuk, tepi daunnya rata, ujung daun
meruncing, tulang daun menyirip, dan daging daunnya tipis. Warna permukaan
daunnya hijau licin berlendir (keabu-abuan) sedangkan bagian bawah berwarna
merah hati cerah keperakan, berasa pahit dan aromanya khas sirih. Untuk batang
pohonnya berwarna hijau agak kecoklatan dan permukaan kulit kasar berkerut
dengan tangkai yang lumayan panjang serta tidak berbunga (Hidayat, 2013).
Biasa tumbuh baik di tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak sinar
matahari karena apabila terus-menerus terkena sinar matahari warna merah hati
pada sirih merah akan mengalami pudar. Sirih merah tidak menyukai tempat yang
panas tetapi apabila disiram terlalu banyak dan sering justru akan membuat busuk
akarnya. Sirih merah akan tumbuh dengan baik bila mendapat pencahayaan
matahari 60-70% (Sudewo, 2005).
2.1.1.2. Manfaat dan kandungan sirih merah
Tanaman menjalar yang berbentuk hati ini dipercaya memiliki segudang
khasiat di bidang kesehatan meski penelitian bio-farmaka sirih merah masih
terbatas. Secara empiris selain sebagai antiseptik, sirih merah dapat menyembuhkan
berbagai penyakit seperti, diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kadar
kolsterol, mencegah stroke, asam urat hipertensi dan lain sebagainya. Hasil uji
klinik yang dilakukan pada seekor tikus dengan dosis 20g/Kg berat badan aman
dikonsumsi dan tidak bersifat toksik. Sirih merah banyak digunakan pada pusat
8
klinik herbal sebagai terapi apabila pasien tidak sembuh diberikan pengobatan
dengan bahan kimia. Dengan alasan fungsi sirih merah sangat besar dan multiple
dalam pengobatan maka penggunaannya perlu ditingkatkan (Sudewo, 2005).
Daun sirih memiliki aroma yang khas, yakni menyengat dan tajam. Hal itu
dikarenakan adanya kavikol dan bethelphenol yang terkandung dalam minyak
atsiri. Dari hasil kromatografi diketahui daun sirih merah mengandung flavonoid,
senyawa polifenol, tanin, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri. Minyak atsiri dalam
daun sirih sendiri mengandung fenol dan senyawa turunannya seperti kavikol,
cavibetol, eugenol dan carvarol (Sudewo, 2005). Adanya kavikol yakni turunan
fenol yang terkandung dalam minyak atsiri daun sirih merah, daun ini memiliki sifat
antibakterial dan antijamur, sehingga ekstraksi daun sirih merah ini banyak
digunakan sebagai antiseptik.
Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder fenol
alami yang dapat ditemukan pada hampir semua bagian tumbuhan dan tersebar luas
pada tumbuhan yang disintesis dalam jumlah yang cukup minimal yakni 0,5%1,5% (Sabir, 2005). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolic dengan
struktur kimia C6-C3-C6. Penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan
aktivitas farmakologik dan biologic dari flavonoid yang sangat beranekaragam.
Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan alami dengan cara mendonasikan atom
hidrogennya (Redha, 2010). Selain itu flavonoid juga memiliki peran sebagai
antibakteri dengan cara merusak permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat
fungsi membran sitoplasma, dan menghambat sintesis asam nukleat (Sabir, 2005).
Senyawa flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dan dalam
respon terhadap infeksi oleh mikroorganisme, maka tidak mengherankan apabila
senyawa ini efektif sebagai antimikroba. Pada uji penentuan kadar flavonoid yang
dilakukan pada penelitian sebelumnya, flavonoid memberikan angka sebanyak
0,368% yang menunjukkan potensinya sebagai senyawa antibiotik, antibakteri dan
anti kanker. Selain aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan, ternyata flavonoid juga
memiliki efek antitumor, antiradang dan antivirus (Parubak, 2013).
Minyak atsiri senyawa berwujud cairan jernih yang berbau seperti tanaman
asalnya yang dapat diperoleh dari bagian tanaman baik akar, batang, daun, buah,
9
biji maupun bunga dengan cara penyulingan (Sastrohamidjojo, 2004). Namun
sebenarnya akumulasi terbanyak minyak atsiri ialah pada daunnya. Meski metode
pengambilan minyak dalam daun sirih merah salah satunya dengan penyulingan,
namun yang saat ini banyak digunakan adalah ekstraksi menggunakan metode
Microwave Assisted Extraction (MAE) dan pelarut yang biasa digunakan adalah
kloroform, eter, aseton, heksana, alkohol, dan etanol (Nisa’, 2014). Minyak atsiri
daun sirih merah memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. aureus, Candida
albicans dan E. coli karena mengandung kavikol, eugenol, trans-karyopilen, betaselin dan eugenol asetat yang diketahui dengan identifikasi komponen
menggunakan GC-MS dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran
atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk namun tidak sempurna
(Sulistyani et al., 2007).
Saponin merupakan golongan glikosida triterpena dan sterol yang telah
terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Pada aktivitas antibakteri saponin
menghambat sintesis protein sehingga bakteri gagal untuk mengalami
pertumbuhan. Saponin dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis sel darah merah, hal ini dikarenakan saponin adalah senyawa yang
memiliki permukaan aktif yang bersifat seperti sabun (Hidayat, 2013). Sedangkan
tanin adalah senyawa metabolit sekunder golongan polifenol yang disintesis
langsung oleh tanaman dimana karakteristiknya adalah membentuk senyawa
kompleks dengan makromolekul lain. Tanin sendiri dapat dibagi menjadi dua,
yakni tanin yang mudah terhidrolisis sebagai polimer gallic yang dapat berikatan
dengan ester dengan sebuah molekul gula, kemudian yang kedua adalah tanin
terkondensasi adalah polimer senyawa flavonoid dengan ikatan karbon. Diduga
tannin dapat mengkerutkan dinding sel sehingga mengganggu permeabilitas sel
(Hidayat, 2013; Jayanegara dan Sofyan, 2008; Westendarp, 2006).
2.1.2. Penggunaan pelarut
Benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas sehingga
menghasilkan sebuah larutan dapat disebut dengan pelarut. Pelarut yang umum
10
digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Sedangkan pelarut lain yang
menggunakan bahan kimia organik mengandung karbon disebut dengan pelarut
organik. Pelarut organik dengan polaritas yang berbeda sering digunakan untuk
mengekstrak antioksidan alami (Irawan, 2009).
2.1.2.1. Tween 80
Tween 80 (polisorbat 80) adalah ester surfaktan nonionik hidrofilik yang
umum digunakan dan telah dibuktikkan untuk meningkatkan kelarutan senyawa
(Malingre et al., 2001). Senyawa ini memiliki berat molekul 1.310 dalton yang
terdiri dari 20 unit oksida etilen, 1 sorbitol dan 1 asam oleat sebagai asam lemak
utama. Tween 80 memiliki nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat
dengan rumus molekul C64H124O26 serta rumus bangun sebagai berikut:
Gambar 2. Rumus molekul Tween 80 (Rowe, 2009)
Tween 80 adalah senyawa yang tidak terionisasi di dalam larutan dan
tidak bereaksi secara kimia dengan bahan lain. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa Tween 80 mampu meningkatkan permeabilitas banyak obat secara in vitro
(Hugger et al., 2002). Tween 80 telah banyak digunakan dalam aplikasi bidang
biokimia, seperti:
a. Pelarut protein
b. Mengisolasi inti dari sel dalam kultur
c. Pengemulsi dan pendispersi zat dalam obat dan produk makanan
2.1.2.2. Aquades
Aquades (aquadestila) merupakan air hasil penyulingan yang mana
kandungan dalam aquades adalah murni hanya air tanpa ada mineral-mineral lain.
Aquades memiliki rumus kimia H2O. Aquades dapat digunakan sebagai pelarut
dalam penelitian yang menggunakan ekstrak apapun karena pelarut aquades
11
merupakan senyawa yang paling polar dibandingkan pelarut lainya (Umam et al.,
2014).
Hal ini didukung oleh pendapat Sukarsono et al. (2008), bahwa aquades
merupakan air murni yang hanya mengandung molekul-molekul H2O tanpa adanya
penambahan unsur lain seperti ion. Air ini merupakan hasil penyulingan (diuapkan
dan disejukkan kembali) yang memiliki kandungan murni H2O yang berarti dalam
1 molekul terdapat 2 atom hidrogen kovalen dan atom, oksigen tunggal.
2.1.3. Staphylococcus aureus
Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, tampak seperti
anggur dimana tersusun dalam rangkaian yang tidak beraturan. Beberapa golongan
Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia.
Selain sebagai flora normal bila Staphylococcus berada dalam lingkungan atau
kondisi yang bukan tempat aslinya maka kuman akan menjadi pathogen dan
menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis, misal nanah, abses, infeksi
piogen dan bakan bisa sampai septikemia (Brooks et al., 2007).
Genus Staphylococcus terdiri dari kurang lebih 30 spesies, namun terdapat
tiga spesies utama yang penting dalam dunia klinik kedokteran adalah
Staphylococcus
aureus,
Staphylococcus
epidermidis
dan
Staphylococcus
saprophyticus. Untuk membedakan Staphylococcus aureus dengan jenis
Staphylococcus lainnya adalah dengan test koagulase positif (Brooks et al., 2007).
Staphylococcus aureus berasal dari kata “staphyle” dalam bahasa Yunani yang
berarti anggur dan kata “aureus” dalam bahasa latin berarti emas. Penamaan
tersebut berdasarkan bentuk bakteri tersebut bila dilihat menggunakan mikroskop
dan jika bakteri tersebut ditumbuhkan dalam media pertumbuhan akan
menampakkan warna keemasan (Supardi & Sukamto, 1999).
12
Gambar 3. Staphylococcus aureus (Center for Disease Control, 2011)
2.1.3.1. Morfologi Staphylococcus aureus
Staphylococcus merupakan sel sferis gram positif berbentuk bulat dengan
diameter ± 1 μm, tersusun secara berkelompok seperti anggur yang tidak terarur.
Sedangkan Staphylococcus aureus sendiri memiliki diameter 0.5-1,5 μ. Berikut ini
adalah klasifikasi S. aureus menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Procaryota
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus aureus
2.1.3.2. Ciri-ciri mikroorganisme, pertumbuhan dan perbenihan
Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media
bakteriologi suasana aerob maupun mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada
temperature 37°C namun untuk pembentukan pigmen yang baik adalah pada
temperature kamar (20-35°C). Pada media padat akan memunculkan ciri berbentuk
bulat, lembut dan mengkilat. Biasanya koloni bakteri ini membentuk warna abuabu hingga emas (Brooks et al., 2007). Pada media agar, koloninya berbentuk bulat,
diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dan konsistensinya lunak, serta
13
umumnya lebih besar dibandingkan dengan varietas tertentu yang koloninya
dikelilingi oleh zona hemodialysis (Syahrurahman et al., 2010).
Staphylococcus menghasilkan katalase, sehingga dapat digunakan untuk
membedakan dengan Staphylococcus yang tidak menghasilkan katalase.
Staphylococcus dapat meragikan berbagai karbohidrat secara perlahan dan
menghasilkan asam laktat tanpa gas (Brooks et al., 2007).
2.1.3.3. Daya tahan kuman
Dari semua bakteri yang tidak membentuk spora, Staphylococcus aureus
dianggap sebagai kuman yang memiliki daya tahan tinggi, menbentuk strain yang
relatif stabil terhadap suhu tinggi sampai 60°C selama 30 menit. Selain itu bakteri
ini resisten terhadap garam dengan konsentrasi tinggi sekalipun misalnya suhu
7,5% - 9% (Brooks et al., 2007).
2.1.3.4. Struktur antigen
Staphylococcus aureus memiliki beberapa struktur antigen penting yang
dapat merugikan musuhnya, antara lain seperti peptidoglikan, asam teichoic,
protein A, substansi ekstraseluler sebagai enzim dan toksin. Peptidoglikan adalah
polimer polisakarida yang membuat kaku dinding sel yang dapat menstimulasi
produksi IL-1, stimulasi produksi antibodi opsonic dan memiliki aktivitas
endotoksin. Asam teichoic sendiri adalah polimer gliserol atau pospat ribitol yang
berhubungan dengan peptidoglikan dan memiliki sifat antigenik, hal ini dinyatakan
karena sebuah penemuan mengatakan ditemukan antibodi asam teichoic pada
penderita endokarditis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Foster, 2004).
Sedangkan protein A adalah komponen dinding sel strain Staphylococcus
aureus yang terikat pada bagian FC molekul IgG. Enzim dan toksin yang dimiliki
oleh Staphylococcus aureus yang termasuk dalam substansi ekstraseluler diketahui
merupakan struktur antigen yang dapat menstimulai produksi antibodi (Foster,
2004).
14
2.1.3.5. Toksin dan enzim
Terdapat beberapa toksin yang terkandung dalam bakteri ini, seperti
hemolisin, leukosidin, toksin eksfoliatif, enterotoksin, Toxic shock syndrome toxin
1 (TSST-1). Hemolisin adalah toksin yang beraksi pada sel darah merah, untuk
leukosidin akan menyebabkan degradasi sel darah putih sehingga dapat
menyebabkan kematian sel. Toksin eksfoliatif adalah toksin yang diproduksi oleh
strain Staphylococcus aureus dan mengandung 2 protein yang dapat menyebabkan
deskuamasi kulit sehingga menyebaban scaled skin syndrome yang biasanya
dialami anak kecil, beberapa penelitian menyebutkan ditemukan antibosi spesifik
terhadap toksin ini pada kulit manusia.
Enterotoksin adalah protein yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus
yang biasanya menyebabkan mual muntah dan diare. Selain itu protein ini stabil
terhadap panas, resisten terhadap enzim pencernaan dan keasaman serta berperan
penting dalam causa keracunan makanan. Toksin toxic shock syndrome diproduksi
oleh beberapa strain Staphylococcus aureus pada manusia yag dapat menyebabkan
kondisi infeksi sistemik dengan manifestasi demam tinggi, hipotensi dan syok
dengan keterlibatan multisistem (Dumont et al., 2010).
2.1.3.6. Patogenesis
Staphylococcus aureus merupakan patogen penting yang menjadi ancaman
keseatan global karena prevalensi Methicilin resistant S. aureus (MRSA).
Pathogenesis organisme ini memunculkan garis pertahanan pertama oleh sel imun
inang. Leukosidin A atau B yang terkandung dalam organisme MRSA ditemukan
dapat
membunuh
neutrophil,
makrofag
dan
sel
dendritik.
Sedangkan
Staphylococcus aureus kurang mengandung leukosidin ini sehingga rentan
terhadap pembunuhan neutrophil (Dumont et al., 2011).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi permukaan pada kulit
seperti melepuh dan furunkulosis. Patogenitas bakteri ini sering dihubungkan
dengan infeksi luka bernanah baik pada manusia maupun pada hewan (Subronto,
2003).
15
2.1.3.7. Penyakit yang disebabkan oleh staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri pathogen penting yang
dapat menyebabkan beragam infeksi mulai dari infeksi ringan sampai merusak
struktur kulit yang berpotensi menyebabkan timbulnya penyakit sistemik yang fatal
seperti endocarditis dan sepsis (Lu et al., 2005). S aureus merupakan patogen utama
bagi manusia, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa hampir setiap orang pernah
mengalami tipe infeksi karena S. aureus sepanjang siklus hidupnya, mulai dari
infeksi kulit ringan sampai keracunan makanan.
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi pada manusia dengan
kemampuan untuk menyerang dan menyebar ke jaringan dengan memproduksi
beberapa enzim dan toksin. Terdapat tingkatan spektrum penyakit yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, mulai dari tingkat ringan sampai tinggi (Gopal, 2015).
Untuk kategori infeksi ringan sampai sedang menyebabkan penyakit seperti
jerawat furunkel, abses local, impetigo. Sedangkan untuk infeksi berat dapat
menyebabkan osteomyelitis, pneumonia, arthritis, abses organ jauh. Toksin yang
diproduksi streptococcus dapat pula meyebabkan timbulnya penyakit yang perlu
penanganan
serius,
seperti
keracunan
makanan
karena
enterotoksin
Staphylococcus, Scin syndrome scaled (SSS), sindrom syok toksik (Gopal, 2015).
2.1.3.8. Tes diagnostik laboratorium
Untuk dapat mengidentifikasi dan menegakkan diagnosis penyakit yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus maka berikut ini terdapat beberapa tes
laboraturium yang perlu diketahui:
a. Uji katalase
Enzim katalase pada bakteri ini berfungsi untuk memecah H2O2 yang
merupakan racun baginya menjadi O2 dan H2O sehingga menjadi tidak toxic.
Pada tes ini dilakukan dengan meneteskan hydrogen peroksida (H2O2) 3% pada
gelas obyek yang telah diolesi dengan biakan Staphylococcus aureus, hasil akan
menunjukkan positif dengan terbentuknya gelembung-gelembung udara. Uji ini
digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus dengan Streptococcus
(Hadioetomo, 1990).
16
b. Uji koagulase
Koagulase merupakan enzim yang dihasilkan dari faktor serum yang bereaksi
dengan faktor pembekuan. Enzim ini mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Uji
koagulase digunakan untuk membedakan jenis Staphylococcus aureus dengan
Staphylococcus jenis lainnya. Uji ini dilakukan dengan menanam koloni bakteri
ini kedalam tabung yang telah diisi dengan plasma darah kelinci, campur hingga
rata dan diinkubasi selama 4 hingga 24 jam. Hasil koagulase positif S. aureus
bila terbentuk gumpalan dan Staphylococcus koagulase negatif bila dalam 24
jam tidak terbentuk gumpalan (Cappucino and Sherman, 2005).
c. Uji enzim lain
Uji proteinase, uji lipase, uji hyaluronidase adalah uji enzim lain yang dapat
digunakan sebagai identifikasi diagnosis Staphylococcus aureus.
2.1.3.9. Pengobatan
Staphylococcus aureus sensitif terhadap beberapa obat-obatan antimikroba
atau bahkan dapat resisten terhadap antimikroba tersebut karena faktor mutasi.
Pengobatan infeksi Staphylococcus aureus dapat menggunakan antibiotik spekrum
luas seperti eritomisin yang sering diberikan untuk luka pada kulit. Antibiotik ini
merupakan golongan makrolid yang dapat menghambat sintesis protein bakteri
gram positif seperti Staphylococcus aureus (Istiantoro & Gan, 2008).
Pengobatan terhadap infeksi ini dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik dan dapat pula disertai dengan tindakan bedah baik berupa pengeringan
abses maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk
menangani infeksi kulit seperti furunkulosis yang berulang. Pada infeksi yang berat
dapat diberikan antibiotik oral maupun intravena seperti penisilin, metisilin,
sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin dan rifampisin. Namun sebgaian
besar strain Staphylococcus sudah mengalami resistensi terhadap pemberian
antibiotik tersebut sehingga perlu diberikan antibiotik spektrum luas seperti
kloramfenikol, amoksilin dan tetrasiklin (Brooks et al., 2007).
Terapi untuk strain yang resisten terhadap penisilin seperti oksasilin atau
flukloksasilin adalah kombinasi aminoglikosida seperti gentamisin untuk infeksi
berat, sedangkan lamanya pengobatan bergantung dengan tempat infeksi, tingkat
17
keparahan dan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat yang telah diresepkan oleh
dokter (Mandal, 2014).
2.1.4. Uji kepekaan kuman
Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri yang terkandung dalam daun sirih
merah dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode dilusi dan difusi.
Metode dilusi terdapat dua macam, yaitu padat dan cair. Pada metode dilusi padat,
patokan pengamatan aktivitas antibakteri berdasarkan pada jumlah bakteri yang
tumbuh pada media sedangkan untuk dilusi cair pengamatan aktivitas antibakteri
didasarkan pada kekeruhan dengan cara mengukur menggunakan spektrofotometri.
Berikut adalah cara kerja melakukan metode dilusi:
1. Dilusi cair (broth dilution test)
a. Antibakteri disuspensikan pada media cair dengan tingkat Ph 7-7,4
kemudian dilakukan pengenceran dengan menggunakan beberapa tabung
reaksi.
b. Selanjutnya dilakukan inokulasi bakteri uji yang telah disuspensikan dengan
NaCl steril, yang tiap milimeternya mengandung kurang lebih 105-106
bakteri.
c. Suspensi zat antibakteri dimasukkan ke dalam suspensi bakteri uji. Setelah
itu, diinkubasikan pada suhu 37°C selama 18-24 jam dan diamati
pertumbuhan bakteri. Pengamatan pertumbuhan bakteri berdasarkan pada
kekeruhan suspensi, tabung yang lebih bening menunjukkan bahwa zat
antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang diuji sedangkan
tabung yang keruh menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri.
2. Dilusi padat (solid dilution test)
a. Zat antibakteri dicampur hingga homogen pada agar steril yang masih cair
dengan suhu serendah mungkin dengan menggunakan berbagai konsentrasi.
b. Kemudian larutan tersebut dituangkan ke dalam cawan petri steril kemudian
setelah memadat dioleskan bakteri uji pada permukaannya.
18
Untuk metode difusi, dasar pengamatannya adalah terbentuk atau tidaknya zona
hambatan di sekeliling cakram atau silinder yang berisi zat antibakteri. Metode ini
lebih mudah dan lebih efisien. Berikut klasifikasi dan cara melakukan metode
difusi:
1. Metode disc diffusion (tes Kirby & Bauer)
Piringan yang berisi sampel antibakteri diletakkan di atas permukaan agar yang
telah ditanami bakteri, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C kemudian
diamati pertumbuhan bakteri, area jernih di sekitar piringan mengindikasikan
adanya penghambatan pertumbuhan bakteri oleh sampel antibakteri.
2. Metode E-test Strip
Plastik yang mengandung sampel antibakteri dari kadar terendah sampai kadar
tertinggi diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami bakteri,
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Pengamatan dilakukan pada 28
area jernih di sekitar strip plastik yang mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan bakteri oleh sampel antibakteri.
3. Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa sampel antibakteri diletakkan pada parit yang
dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian
tengah secara membujur. Bakteri uji digoreskan ke arah parit yang berisi sampel
antibakteri, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antibakteri
ditunjukkan dengan daerah bening disekitar parit.
4. Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan disc diffusion, cara ini dilakukan dengan membuat
sumuran pada media agar yang telah ditanami bakteri uji. Sampel antibakteri
dimasukkan ke dalam sumuran tersebut dengan jumlah tertentu dan konsentrasi
tertentu pula. Plate diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C untuk
memungkinkan agar sampel antibakteri berdifusi pada permukaan media agar.
Aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan daerah bening disekitar sumuran
(Pratiwi, 2008).
19
2.2. Kerangka teori
Gambar 4. Kerangka Teori
2.3. Kerangka konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
20
2.4. Hipotesis
a. Ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan pelarut tween
memiliki aktivitas antibakteri lebih baik dibandingkan dengan pelarut
aquades terhadap Staphylococcus aureus pada kadar tertentu.
b. Ekstrak etanol sirih merah dengan pelarut tween memiliki konsentrasi
Kadar Hambat Minimal (KHM) lebih rendah dibandingkan dengan pelarut
aquades terhadap Staphylococcus aureus.
c. Ekstrak etanol sirih merah dengan pelarut tween memiliki konsentrasi
Kadar Bunuh Minimal (KBM) lebih rendah dibandingkan dengan pelarut
aquades terhadap Staphylococcus aureus.
Download