TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota BAB II KAJIAN TEORI 2. 1. Perkembangan Kota Kota dalam perkembangannya mendapat banyak pengaruh. Konsentrasi penduduk yang tinggal dalam suatu area perkotaan, yang ditunjang oleh berbagai kegiatan dan menawarkan berbagai kesempatan memicu urbanisasi. Kota memiliki berbagai arti dan klasifikasi yang mempengaruhi perkembangan kota itu sendiri. Bukan hanya peningkatan kualitas kehidupan yang ditimbulkan oleh adanya proses perkembangan kota, tetapi seringkali dampak negatif juga muncul akibat peningkatan kegiatan dan pertumbuhan kota. 2. 1. 1. Definisi Kota Menurut Plato seperti dikutip London, kota merupakan sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasarkan pada hubungan manusia dengan sesamanya (London, 2000). Lebih jauh lagi, ia juga mendefinisikan kota sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran (London, 2000). Bentukan kota berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Kota adalah sebuah tempat dimana orang-orang didalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan lokasi tersebut. Sedangkan Arthur B. Gallion dalam Urban Pattern melihat kota dalam unit yang lebih detil. “The confideration or union of neighbourhood, clans resorting to a center used as a common meeting place for workshop, protection, and the like; hence, the political or sovereign body formed by such a community” (Gallion, 1992). Terlihat bahwa kota memiliki keragaman aktifitas dan sarana kegiatan yang ditentukan oleh komunitasnya. Beberapa ahli mengatakan bahwa kota tidak akan terlepas dari manusia yang berdiam dan melakukan kegiatan di wilayah itu. Melihat beberapa pemahaman diatas, saya menyimpulkan bahwa kota merupakan suatu wadah yang memiliki keragaman guna lahan dengan keragaman kegiatan, gaya hidup dan interaksi. Kota diharapkan mampu 2-1 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota memberikan tempat terbaik bagi warganya, untuk melaksanakan fungsi-fungsi dasar hidupnya, serta dapat menampung kebutuhan perkembangan masyarakat di masa depan. 2. 1. 2. Keragaman kegiatan dalam kota Seiring munculnya modernisasi, kebanyakan kota di dunia menggunakan penzoningan sebagai metode merancang untuk menciptakan keterpisahan ruangruang kota berdasarkan fungsi. Kota dibagi menjadi daerah pemukiman, komersial dan perkantoran. Akibatnya, terjadi pemusatan aktifitas di waktu tertentu. Sebagai contoh pada siang hari aktifitas masyarakat kota terpusat pada daerah perkantoran, sehingga daerah pemukiman menjadi sepi. Hal ini berdampak negatif terhadap kehidupan kota. Terdapat homogenitas fungsi atau kegiatan yang berlangsung pada sebuah daerah dalam suatu kota. Setelah mengungkap fakta yang terjadi ada era modernisasi, Jane Jacobs membuka pemikirannya dan mengibaratkan kota seperti titik-titik api yang tersebar pada sebuah lahan yang terbakar. Ada bagian yang terang dan bagian gelap yang terletak diantaranya. Ia menyarankan agar dalam suatu daerah tertentu dalam suatu kota terdapat penggabungan fungsi dan kegiatan yang berbeda sehingga keduanya dapat saling mendukung. This ubiquitous principle is the need of cities for most intricate and close grained diversity of uses thet give each other constant mutual support, both economically and socially. The component of this diversity can differ enormously, but they must supplement each other in certain concrete way (Jacobs, 1961). Dari tulisan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya penggabungan kegiatan yang berbeda dalam suatu daerah akan menciptakan suatu keberagaman. Hal ini sangat diperlukan karena unsur yang berbeda akan saling mendukung dan kota akan selalu hidup, karena antara kegiatan satu dan lainnya akan saling melengkapi. Dalam kegiatan berkota terdapat struktur sosial yang mengidentifikasi tingkat interaksi dari kawasan urban dan sub-urban. Struktur sosial suatu kawasan umumnya terbentuk dari kelas-kelas sosial yang mendiami kawasan tersebut dan dapat dilihat melalui berbagai interaksi yang terjadi didalamnya. 2-2 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Penelitian yang dilakukan William Whyte menunjukkan bahwa dilihat dari frekuensi, interaksi antar manusia yang terjadi di kawasan urban akan lebih tinggi dibandingkan kawasan sub-urban (Whyte, 1988). Berdasarkan identifikasi ragam kelas sosial yang terlibat dalam interaksi sosial, kawasan urban juga memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi. Interaksi sosial yang terjadi di kawasan urban tergolong heterogen. Banyaknya ragam kelas sosial yang terlibat dalam interaksi sosial masyarakat kota membuat struktur sosial kawasan urban menjadi lebih kompleks, walau interaksi tersebut hanya bersifat sementara atau tidak berlanjut di kemudian hari. Heterogenitas kelas sosial dan tingginya interaksi sosial merupakan ciri utama struktur sosial kawasan urban (Whyte, 1988). Dari ungkapan dan penjabaran Whyte mengenai struktur sosial kawasan urban, saya menyimpulkan bahwa heterogenitas kelas sosial pada kawasan urban akan mempengaruhi keragaman „place‟ yang dibentuk oleh masyarakat urban dan pengaruh dari berbagai aspek lingkungan kota. Pada perkembangannya, pertumbuhan kota semakin memicu keragaman kegiatan yang berlangsung. Salah satu kecenderungan kegiatan masyarakat kota adalah adanya kebutuhan untuk bertukar pengalaman dan memperoleh tempat yang nyaman untuk saling bersosialisasi. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan lagi dilakukan di rumah ataupun di kantor; melainkan pada suatu tempat yang disebut ruang ketiga atau Third Place (Oldenburg, 1999). Tempat ketiga adalah istilah yang digunakan dalam konsep community building untuk merujuk sebuah lingkungan sosial yang memiliki karakter fisik yang cukup berbeda dengan lingkungan sosial biasa di rumah dan tempat kerja. Ray Oldenburg memberikan sedikit gambaran mengenai fungsi third place dengan frase, How they get you through the day (Oldenburg,1999). Third place akan muncul, ketika first place dan second place dirasakan tidak cukup lagi. Setelah berakhirnya perang dunia, beberapa kota di dunia melakukan perencanaan dengan sistem zoning. Akibatnya, jarak antara daerah pemukiman dengan daerah publik menjadi jauh, sehingga harus ditempuh dengan menggunakan kendaraan. Keadaan ini menimbulkan kejenuhan dan berkurangnya aktifitas sosial yang dilakukan di luar rumah. Ditambah dengan kondisi lingkungan perumahan dimana tetangga tidak saling kenal, maka 2-3 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota kebutuhan untuk menjalin interaksi sosial juga semakin tidak terpenuhi. Hal ini mengakibatkan tingginya tingkat stress pada masyarakat setempat akibat kejenuhan pada masyarakat. Dari sini dapat terlihat bagaimana pentingnya keberadaan tempat-tempat dimana sesama manusia dapat menjalin informal social interactionst dan melepaskan diri sejenak dari rutinitas kantor maupun rumah (Oldenburg, 1999). Dalam bukunya, The Great Good Place, Ray Oldenburg (1999) menggambarkan A generic designation for a great variety of public places that host the regular, voluntary, informal and happily anticipated gatherings of individuals beyond the realms of home and work. Menurut Oldenburg ada tiga setting kehidupan yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan manusia akan place, yaitu home sebagai first place, tempat bekerja sebagai second place dan tempat dimana orang dapat rutin berkunjung untuk berkumpul dengan teman, tetangga, sebagai third place. Gambar 2.1. Third Place (http://www.cooltownstudios.com/images/pps/) Terdapat beberapa karakter yang menjadikan Third Place berbeda dengan ruang publik. Third place digunakan sebagai ruang netral yang menyetarakan semua pengguna ruang tersebut, biasanya digunakan sebagai ruang informal dengan beberapa komunitas yang saling mengenal, melepas kepenatan, mencari kesenangan, berada di tempat yang mudah dicapai dan memberikan kenyamanan bagi setiap orang yang datang (Oldenburg, 1999). Saya 2-4 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota menyimpulkan bahwa perkembangan kegiatan berkota telah memunculkan ruang ketiga (third place) yang akan mempengaruhi keragaman kegiatan di kota dan secara tidak langsung memunculkan ruang kota yang mewadahi fungsifungsi “leisure” seperti café dan tempat makan. 2. 1. 3. Tata Guna Lahan dalam Kota dan Perkembangannya Perkembangan fisik kota, pada dasarnya memperoleh pengaruh dari kegiatan yang berlangsung. Perkembangan kegiatan berkota akan berpengaruh pada perkembangan sarana kota. Dilihat dari bentuknya, kota terdiri atas bentuk geometri dan organik. Bentuk geometri pada perkotaan terbagi atas dua jenis, yaitu Planned dan Unplanned (Gallion, 1992). Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota di Eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik. Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara spontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organic pattern. Lorenz dalam pembahasan Spatial Pattern menegaskan mengenai guna lahan dan keterkaitannya dengan jaringan-jaringan kota. …Represents the spatial patterns of the physical elements that cities consist of. These elements belong to the following three categories: 'networks' - e.g. transportation networks for people, goods, water, energy and information -, 'buildings' - including residential, commercial and industrial buildings -, and 'open space' - such as parks, gardens, places and courtyards…” (Lorenz, 2003). Lorenz (2003) menyatakan bahwa pola tata ruang seringkali mewakili elemen-elemen fisik kota. Elemen-elemen fisik kota mendukung terbentuknya struktur visual kota. Elemen fisik kota juga menyangkut kualitas spasial figural dan wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki dan hubungan ruang kota satu dengan yang lainnya. Guna lahan merupakan salah 2-5 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota satu elemen fisik dua dimensi yang mempengaruhi pembentukan ruang tiga dimensi. Menurut Gallion (1992) guna lahan memiliki peran yang penting karena perencanaan guna lahan merupakan langkah untuk mewujudkan komunitas fisik, sosial dan ekonomi yang baik. Pada awalnya, terdapat lima klasifikasi peruntukkan lahan perkotaan, antara lain ruang terbuka, pertanian, perumahan, perdagangan dan industri. Tetapi Stuart Chapin (1985) mempelajari kembali klasifikasi tersebut dan melihat keterbatasan perluasan batas kawasan kota yang akan terjadi, kemudian ia mengungkapkan bahwa klasifikasi peruntukan guna lahan perkotaan hanya berupa perumahan, perdagangan dan industri. Tiga klasifikasi tersebut harus memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana, termasuk jalan, ruang terbuka dan fasilitas penunjang. Di Indonesia telah disusun rencana peruntukan terkait dengan kegiatan fungsional, dengan kebijakan dan pola pengembangan yang berbeda antara satu kawasan peruntukan tertentu dengan kawasan peruntukan lainnya. Klasifikasi peruntukan disusun sebagai berikut: (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan Gedung, 2006), Wisma, penggunaan utama dipergunakan sebagai bangunan perumahan atau tempat hunian, termasuk ruang terbuka dan fasilitas penunjangnya. Karya, penggunaan utama dipergunakan sebagai tempat bekerja atau berusaha, baik yang bersifat pelayanan, perdagangan, jasa, industri atau pergudangan. Marga, penggunaan utama dipergunakan sebagai jaringan prasarana kota, baik yang berada diatas atau dibawah tanah maupun di udara, perairan atau sungai termasuk bangunan pelengkap. Suka, dipergunakan sebagai sarana utama kota termasuk bangunan pelengkap, yang dirinci menjadi fasilitas parkir, terminal, pendidikan, sosial ibadah, sosial kesehatan, pelayanan umum, rekreasi olah raga. Penyempurna, dipergunakan sebagai ruang terbuka, lapangan dan penyempurnaan fungsi kota termasuk yang menampung segala kegiatan yang tidak termasuk pada tempat lingkungan pokok lainnya yang dirinci menjadi penyempurna fasilitas umum, 2-6 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Kawasan campuran yang berupa campuran dari beberapa kegiatan fungsional yang terwujud dalam kombinasi dari keempat unsur lingkungan utama kota Wisma, Karya, Suka, dan Penyempurna (RBWK, 2000). Terdapat perbedaan klasifikasi di Indonesia dan negara-negara barat. Stuart Chapin melihat klasifikasi guna lahan hanya menjadi tiga dan ia menganggap masing-masing fungsi tersebut akan mengalami keragaman fungsi lagi didalamnya. Negara-negara barat telah mengantisipasi perkembangan kota melalui sebuah rencana umum yang diatur melalui persyaratan-persyaratan sehingga pertumbuhan kota yang kurang baik dapat teratasi (Chapin dan Edward, 1985; Kostof, 1991; Gallion, 1992). Sedangkan di Indonesia walaupun sudah terdapat klasifikasi yang lebih rinci, namun klasifikasi ini masih belum dapat mengantisipasi pertumbuhan kota yang terjadi. Akibatnya sering terjadi kasus-kasus perubahan guna lahan, terutama di kota-kota besar. Di Jakarta, kebanyakan kasus perubahan guna lahan bermula dari adanya perkembangan infrastruktur kota dan pergerakan kawasan. Sebagian besar kawasan yang berubah merupakan kawasan hunian yang memiliki lokasi strategis, antara lain: Tebet, Kebayoran Baru dan Kemang. Di Kemang perubahan fungsi bangunan hunian diawali dengan digunakannya lingkungan Kemang sebagai akses alternatif dari kawasan Mampang, Kebayoran Baru ke kawasan Warung Buncit. Dengan dibukanya akses tersebut, nilai lahan di sepanjang akses menjadi semakin tinggi, sehingga banyak tumbuh bangunan komersial (Kompas, 2009). Di kawasan Kemang, perubahan bangunan hunian menjadi bangunan komersial mendapat tanggapan baik dari pemerintah kota dan sebagian warga setempat. Pemerintah kota menilai bahwa perubahan fungsi hunian menjadi fungsi komersial dapat menghidupkan dan memperkuat karakter kawasan (Kompas, 2009). Tetapi permasalahan terjadi pada ketidaksiapan daya dukung lahan terhadap peningkatan keragaman kegiatan yang terjadi, termasuk semakin tingginya intensitas kendaraan, kemacetan, parkir, dan tumbuhnya sektor informal yang ilegal. Sama halnya dengan Kemang, kawasan hunian Pondok Indah juga mengalami perubahan fungsi lahan. Pemicunya adalah jalur Simatupang, jalan tol lingkar luar dan meningkatnya kelas jalan Pondok Indah menjadi jalan arteri, 2-7 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota sehingga lingkungan hunian Pondok Indah berubah menjadi kawasan dengan aksesibilitas tinggi. Tetapi pemerintah Kota masih belum memberikan tanggapan serius mengenai perubahan fungsi lahan yang terjadi di Pondok Indah (Kompas, 2009). 2. 2. Kawasan Hunian Sebelum manusia memiliki tempat tinggal yang tetap, kehidupan manusia selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan mendiami gua-gua sebagai tempat perlindungan dari gangguan cuaca maupun binatang buas. Setelah kehidupan mereka semakin berkembang dan maju, maka mereka mulai membuat suatu tempat tinggal yang lebih baik dan permanen. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, maka manusia mulai memecahkan masalah perumahan akibat laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terbatasnya lahan untuk permukiman, terutama di kota-kota besar (Chiara, 1984). Kawasan hunian atau perumahan merupakan sekelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (SNI-Menpera, 2004). Pada pembahasan sebelumnya telah diungkapkan bahwa hunian merupakan salah satu peruntukan lahan perkotaan selain perdagangan dan industri. Perumahan merupakan sekelompok rumah. Pengertian rumah berdasarkan UU No. 4 tahun 1992 merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga di lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur (UU-Ciptakarya, 1992). Jika dikaitkan dengan kegiatan yang berlangsung didalamnya, rumah dapat disetarakan dengan istilah-istilah dwelling, residential, dan neighborhood. Telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa di Indonesia telah terdapat aturan mengenai klasifikasi peruntukan. Klasifikasi yang ada pada lingkungan hunian (wisma) yaitu : Wisma Kecil (Wkc), Wisma Sedang (Wsd), Wisma Besar (Wbs), Wisma Susun (Wss), Wisma Kantor (Wkt), Wisma Perdagangan (Wdg), Wisma Industri Kecil (Wik), dan Wisma Taman (Wtn) Masing-masing klasifikasi memiliki batasan kegiatan tambahan dan persyaratan ruang, antara lain (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan, 2006) : 2-8 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Pada dasarnya peruntukan wisma diperbolehkan mengadakan kegiatan tambahan didalamnya. Untuk klasifikasi wisma besar, wisma kantor, wisma perdagangan dan wisma industri, diperbolehkan melakukan kegiatan tambahan di luar bangunan rumahnya atau memperluas bangunan rumahnya sebagai wadah kegiatan tambahan dengan syarat-syarat tertentu. Untuk klasifikasi wisma sedang, dan wisma taman, diperbolehkan melakukan kegiatan tambahan hanya dalam bangunan rumahnya. Untuk klasifikasi wisma kecil tidak diperbolehkan melakukan kegiatan tambahan di dalam bangunan rumahnya ataupun di sekitar bangunan rumahnya, kecuali pada lingkungan fasilitas umum dan sosial. Dari pembahasan di atas, saya melihat bahwa di Indonesia klasifikasi hunian (wisma) sudah dibuat secara rinci sampai pada aturan fasilitas dan kegiatan apa yang dapat berlangsung didalamnya. Tetapi belum terdapat aturan-aturan mengenai batasan kegiatan dan persyaratan ruang sehingga masih banyak ditemukan bangunan-bangunan rumah yang digunakan untuk kegiatan bukan hunian. 2. 2. 1 Neighborhood dan Komunitas Menurut kamus Oxford (2007), neighborhood berasal dari kata neighbour yang mendapat penambahan sufiks ”hood”. Neighbour diartikan sebagai kelompok orang yang tinggal di rumah-rumah, jalan, dan area yang berdekatan satu sama lain. Kata ini juga digunakan untuk mendefinisikan sekelompok manusia yang tinggal di sebuah kawasan dan berada dalam sebuah kondisi berdekatan. Penggunaan bentuk unit neighborhood dibuat dengan tujuan agar masyarakat tidak dapat terpisahkan secara paksa oleh ras, agama, atau pendapatan. Unit neighborhood adalah tempat dimana seseorang tinggal, dan penghuninya satu sama lain dapat bekerja sama dengan baik dalam segala hal (Gallion, 1992). Gallion (1992) menggambarkan sebuah neighborhood dengan cerita singkatnya, dimana seorang ibu merasa nyaman untuk melepas anaknya ke sekolah dengan jarak yang cukup dekat dengan sekolah dan merasa anaknya tidak akan kesulitan menyeberang 2-9 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 jalan menuju sekolah. Penduduk Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota neighborhood mudah untuk mendapatkan sarana berbelanja kebutuhan seharihari dan para pekerja bisa menemukan sarana transportasi menuju dan dari tempat kerja mereka. Begitu juga dengan adanya kantong-kantong interaksi antar komunitas, dengan adanya taman bermain memungkinkan anak-anak bisa bermain dengan aman. Terlihat bahwa neighborhood merupakan area hunian dengan berbagai kelengkapan sarana penunjangnya yang ditujukan untuk pembentukan komunitas dengan interaksi dan tingkat sosial yang baik. Neighborhood are not created by planners and builders, not by network or people who know each other, share some of their social life, help each other out in emergencies and get together to manage community projects (Barnett, 2003). Jarak merupakan salah satu kondisi fisik yang mempengaruhi sebuah neighborhood tapi bukan hal yang utama. Tentunya untuk dapat saling mengenal, harus ada pertemuan, perkenalan, dan sebagainya. Pertemuan yang berulang-ulang akan membentuk sense of community. Neighborhood terbentuk bukan hanya dari interaksi yang diciptakan, tetapi kondisi tempat, rancangan dan faktor fisik dalam sebuah komunitas sangat berpengaruh dalam terbentuk atau tidaknya sebuah neighborhood (Barnett, 2003). Gambar 2.2. Interaksi dalam lingkungan hunian - Sacramento (http://www.communicationsmgr.com/projects/Houstonpedwalking/) Ali Madanipour (2003) melihat neighborhood sebagai sebuah komunitas ideal yang memiliki sense of community. Dalam sebuah neighborhood, 2 - 10 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota komunitas menjadi faktor pembentuk utama, dimana manusia dilahirkan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, dan cenderung membentuk kelompokkelompok sosial dengan tujuan yang relatif sama. Komunitas (Community) dalam bahasa Jerman disebut Gemeinschaft, yaitu suatu bentuk kehidupan bersama yang antara anggotanya terdapat ikatan batin dan ikatan emosional. Pada masyarakat modern, Gemeinschaft ini terlihat dalam ikatan keluarga, tetangga dan kerabat (Soekanto, 2004). Dari kondisi tersebut, terlihat bahwa neighborhood tidak hanya menggambarkan kedekatan fisik hunian dalam sebuah lokasi dalam sebuah kawasan. Neighboorhood juga menunjukkan sebuah kedekatan secara emosional antar penghuninya. Setiap orang yang tinggal dalam sebuah area tertentu akan mempunyai kedekatan secara fisik. Tetapi kedekatan tersebut belum tentu dapat disebut neighbour. Sebab antar individu yang tinggal sebagai tetangga yang saling bersebelahan pun bisa saja tidak saling kenal. Berdasarkan beberapa penjabaran definisi diatas, terlihat bahwa suatu Neighborhood akan terbentuk, jika terjadi interaksi. Jarak dan pola penempatan elemen pembentuk neighborhood akan menentukan, apakah dalam neighborhood tersebut akan terjadi interaksi antar penghuninya, yang secara tidak langsung akan menghidupkan lingkungannya. 2. 2. 2 Elemen Pembentuk Ruang dalam Neighborhood Tujuan utama pembentukan sebuah kawasan neighborhoods adalah untuk memudahkan sosialisasi antar individu melalui pengelompokkan, sehingga akan lebih mudah bagi individu untuk saling mengenal satu sama lain. Frederick Gibberd (1970) menyatakan bahwa elemen yang paling dasar dalam sebuah neighborhood adalah dwelling. Perumahan ataupun area hunian, bukan hanya merupakan sekumpulan rumah tetapi juga keberadaan sarana dan prasarananya. Sarana yang harus ada sebagai penunjang, antara lain adalah keberadaan open space dan social services sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Social service yang paling umum adalah tersedianya sarana pendidikan (sampai dengan rentang usia 12 tahun) dan tempat belanja kebutuhan sehari-hari. Selain itu juga disediakan fasilitas berkumpul untuk individu yang tinggal berdekatan (lihat gambar 2.3). 2 - 11 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Gambar. 2.3. Neighborhood Context (Frederick Gibberd – New Urbanism) Di Indonesia, berdasarkan SNI 03-1733-2007 yang dikeluarkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat disebutkan bahwa dalam suatu perencanaan dan pengawasan perumahan, kelengkapan sarana dan prasarana perumahan menjadi faktor yang sangat penting. Sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya (SNI Menpera, 2004). Di negara-negara barat, pemerintah umumnya memberikan berbagai standar dalam menentukan area hunian (Gibberd, 1970; Chiara, 1984, Barnett, 2003). Bukan hanya kenyamanan bagi fungsi huniannya saja, tetapi juga pada sarana penunjang (commercial area), ruang terbuka, elemen pergerakan (jalan, jalur pedestrian, dan parkir), elemen lansekap, elemen utilitas dan elemen streetscapes (Residential Handbook, 2004). Perkembangan elemen-elemen tersebut dalam area hunian akan sangat berpengaruh terhadap daya dukung lahan. Menurut Keputusan Kementerian Perumahan Rakyat tahun 2004, perencanaan lingkungan perumahan kota harus memperhatikan prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis dan aman. Lingkungan hunian harus memenuhi beberapa fasilitas dan kriteria antara lain (SNI Menpera, 2004) : 2 - 12 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Kriteria lokasi, Kriteria pencapaian dan kemudahan transportasi, Kriteria kenyamanan dan kesehatan, Kelengkapan fasilitas, antara lain rekreasi, pertokoan atau komersial, sekolah, perpustakaan dan fasilitas publik lainnya. Sedangkan Standar Nasional Indonesia yang disusun oleh Kementerian Perumahan Rakyat mensyaratkan, antara lain: Kriteria keamanan, kesehatan, kenyamanan, keserasian, fleksibilitas dan terjangkau dari sarana umum (keterangan rinci, lihat lampiran). 2. 2. 3 Sarana Penunjang pada Kawasan Hunian Selain klasifikasi bentuk bangunan hunian, terdapat pula klasifikasi ruang hunian berdasarkan pola pembentukan lingkungan hunian. Dari klasifikasi pola pembentukan lingkungan hunian, dapat dilihat juga bagaimana penempatan sarana penunjang pada lingkungan hunian (Gibberd, 1970) yaitu : Pola Cluster (berkelompok) Bangunan hunian dikelompokkan sedemikian rupa hingga membentuk satu kesatuan wilayah yang terpisah dengan lingkungan sekitar dan tidak terjangkau oleh sirkulasi umum. Umumnya, sarana penunjang diletakkan pada pusat kawasan. Pola Linier Bangunan hunian diletakkan berderet tanpa ada upaya pengelompokkan dengan sirkulasi berupa jalan lokal atau jalan kolektor yang sifatnya publik. Sarana penunjang diletakkan pada jalan yang hirarkinya tertinggi dan biasanya cenderung diletakkan pada titik-titik persimpangan. Menurut Rob Krier (1979) ruang publik yang berada di pusat hunian umumnya tidak akan berkembang, baik dalam hal penggunaan, pemeliharaan, maupun maknanya. Hal ini berbeda dengan ruang publik yang ditempatkan pada jalan-jalan utama (arterial roads) yang biasanya menghubungkan satu lingkungan hunian dengan lingkungan hunian lainnya. Dapat disimpulkan bahwa penempatan sarana penunjang di jalan utama lingkungan hunian, cenderung lebih mudah untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan 2 - 13 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota perkembangan kota ketimbang hunian dengan pola cluster yang menempatkan sarana penunjangnya di pusat. 2. 2. 4 Elemen Pembentuk Ruang Kota di Kawasan Hunian Pada kawasan hunian, melalui kajian terhadap beberapa sumber terungkap bahwa elemen pembentuk ruang kota memiliki ketentuan sebagai berikut : 1) Jalan. Dalam Residential Handbook (2004) jalan pada lingkungan hunian harus memenuhi keamanan dan kenyamanan. Jalan pada lingkungan hunian harus memperhatikan volume dan kepadatan lalu lintas. Terdapat dua bentuk jalan dalam lingkungan hunian, yaitu jalan kolektor dan jalan lokal. Jalan kolektor merupakan penghubung antara jalan arteri dan jalan lokal. Sedangkan jalan lokal merupakan jalan yang menghubungkan jalan kolektor dengan unit-unit hunian atau area off-street parking. Pada lingkungan hunian, biasanya jalan kolektor hanya digunakan sebagai jalur pencapaian ke tempat-tempat area publik dalam lingkungan hunian. Untuk memenuhi kenyamanan pada jalan lingkungan hunian, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu lebar jalan, pola dan rambu-rambu pada persimpangan. Lebar jalan pada lingkungan hunian dibuat tidak terlalu lebar, sehingga kendaraan hanya dapat melintas dengan kecepatan rendah hingga sedang. Lebar jalan untuk jalur kendaraan pada jalan kolektor 6 meter atau 2 lajur kendaraan dan untuk jalan lokal hanya 3 meter atau 1 lajur kendaraan. Pada kedua jalan ini diperbolehkan merencanakan on-street parking dengan lebar maksimal 2,5 meter. 2) Jalur Pedestrian (Walkways). Menurut Cliff Moughtin (1992) jalur pejalan kaki merupakan elemen penting dalam kenyamanan lingkungan hunian, yang terdiri atas beberapa faktor pembentuk yaitu adanya pembatas (barrier) pada jalur pedestrian yang berhubungan dengan lahan unit hunian, unsur vegetasi di sepanjang jalur pedestrian dan elemen keamanan di titik persimpangan dalam bentuk penanda pada jalur pedestrian. 2 - 14 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota 3) Parkir. Dalam Land Development (2007) parkir yang ada di lingkungan hunian hanya diperuntukkan bagi penghuni dan tamu. Biasanya parkir pada lingkungan hunian sudah terdapat pada masing-masing unit hunian, tetapi berdasarkan Residential Parking Requirement pada Land Development Handbook, di kawasan hunian masih diperkenankan adanya on street parking pada salah satu sisi jalannya. 4) Streetscape. Streetscape pada lingkungan hunian terkait erat dengan skala ruang lingkungan hunian dan kegiatan yang berlangsung. Skala dari jalan pada lingkungan hunian haruslah konsisten dengan kepadatan dan tipe dari perumahan. Andrés Duany dan Elizabeth Plater-Zyberk (2006) dalam New Urbanism menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen streetscape pada lingkungan hunian yang dapat menjadi pembentuk ruang kota, yaitu unsur vegetasi di sepanjang sidewalks, frontage atau penggunaan tampak depan bangunan yang baik, penggunaan teras dan kanopi pada entrance, penggunaan curbs sebagai elemen penutup utilitas dan untuk mendukung estetika streetscape kawasan hunian dan elemen penerangan dan informasi untuk mendukung keamanan lingkungan hunian. Gambar. 2.4. Streetscape pada townhouse (http://farm4.static.flickr.com/3313/3415932715_50b397a30a) 2 - 15 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota 2. 3. Kawasan Komersial Salah satu bentuk kegiatan di kota adalah kegiatan komersial. Kata komersial berasal dari kata sifat, commercial yang artinya : …Of Pertaining to, or engaged in commerce, Having profit as a major aim. Sedangkan kata benda commerce artinya, The buying and selling of goods;trade dan Social intercourse (Oxford Dictionary, 2006). Dari pernyataan diatas, fungsi komersial dapat dilihat sebagai kegiatan atau pertemuan sosial yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau disebut juga perdagangan dengan tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Awal munculnya sebuah kompleks perbelanjaan umumnya berasal dari satu pola yang sama yaitu saat suatu daerah permukiman tumbuh, lalu timbul kegiatan usaha eceran, toko dan kemudian berkembang. Menurut International Council of Shopping Centre (2004) pusat perbelanjaan merupakan kompleks pertokoan yang dikunjungi untuk membeli atau melihat dan membandingkan barang-barang dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sosial masyarakat serta memberikan kenyamanan dan keamanan berbelanja bagi pengunjung. Sedangkan Nadine Beddington (1982) menyatakan suatu tempat perbelanjaan merupakan kelompok pertokoan terencana yang dikelola oleh suatu manajemen pusat, yang menyewakan unitunit kepada pedagang. Pengawasannya dilakukan oleh manajer yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap kegiatan ekonomi yang berlangsung di pusat perbelanjaan. Dilihat dari luas areal pelayanan berdasarkan U.L.I. standar (Shopping Centers, Planning, Development & Administration), terdapat beberapa jenis tempat perbelanjaan yaitu : Regional Shopping Centers, dengan luas areal antara 27.870 – 92.900 m2, terdiri dari 2 atau lebih yang seukuran dengan department store. Skala pelayanan antara 150.000 – 400.000 penduduk, terletak pada lokasi yang strategis, tergabung dengan lokasi perkantoran, rekreasi dan seni. Community Shopping Centre, dengan luas areal antara 9.290 – 23.225 m2, terdiri atas junior department store, supermarket dengan jangkauan pelayanan antara 40.000150.000 penduduk. Letaknya mendekati pusat-pusat kota (wilayah). Neigbourhood Shopping Centre, dengan luas areal antara 2.720 – 9.290 m2. Jangkauan pelayanan antara 5.000-40.000 penduduk. Unit terbesar berbentuk supermarket, berada pada suatu lingkungan tertentu. 2 - 16 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Gambar. 2.5. Neighborhood Commercial Centre di London (http://www.streetsblog.org/wp- London_parking/) Sedangkan menurut standar perencanaan DKI Jakarta, Pusat Perbelanjaan di Jakarta dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Pusat Perbelanjaan Lingkungan, dengan jangkauan pelayanan meliputi 3000-30.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang-barang primer (dipakai sehari-hari). Radius pelayanan 15 menit berjalan kaki, lokasinya berada di lingkungan pemukiman. Pusat Perbelanjaan Wilayah, dengan jangkauan pelayanan meliputi 30.000-200.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang sekunder (kebutuhan berkala). Radius pelayanan wilayah/ tingkat kecamatan. Pencapaian 2500 m dengan kendaraan cepat, 1500 m dengan kendaraan lambat, 500 m dengan berjalan kaki. Lokasinya berada di pusat wilayah. Pusat Perbelanjaan Kota, dengan jangkauan pelayanan meliputi 200.000-1.000.000 penduduk. Jenis barang yang diperdagangkan lengkap dan tersedia fasilitas toko, bioskop, rekreasi, bank, dan lain-lain. Pencapaian maksimal 25 menit dengan kendaraan. Lokasinya strategis dan dapat digabungkan dengan lokasi perkantoran. Terdapat perbedaan dalam jangkauan pelayanan, standarisasi pencapaian dan lokasi antara pusat perbelanjaan di negara barat dengan kota Jakarta. Selain dari area pelayanan, pencapaian dan lokasi, terdapat beberapa jenis klasifikasi tempat perbelanjaan berdasarkan sistem sirkulasinya, yaitu: Sirkulasi pada suatu koridor, plaza, dan mall. 2 - 17 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Dalam penelitian ini saya membatasi pembahasan mengenai Shopping street. Pengertian shopping adalah pusat/daerah pertokoan atau pusat berbelanja. Sedangkan street atau jalan merupakan jalur yag mempunyai hirarki sebagai tempat lintasan serta pergerakan manusia dan kendaraan (Rubberstein, 1992). Pada dasarnya shopping strip sama dengan shopping street, tetapi pada shopping strip orientasi kendaraan dan penyediaan parkir lebih diperhatikan. Sedangkan shopping street dapat diartikan sebagai pusat pertokoan atau perbelanjaan yang terletak disepanjang jalur perlintasan serta pergerakan manusia dan kendaraan. Pada shopping street terdapat pola penyusunan atau pengaturan layout toko-toko (Rubberstein, 1992). Kedua tipe pengembangan tersebut adalah : Pola row atau strip development. Pada pola ini layout toko-toko yang disewakan berada di sepanjang trotoar atau sidewalk baik yang terlindung (arcade) maupun terbuka, dengan parkir mobil di depan toko dan menghadap ke jalan (off-street parking). Biasanya tipe semacam ini terdapat di pusat kota (downtown). Pola cluster development. Pada pola ini, layout toko-toko yang disewakan disusun mengelilingi area pedestrian yang posisinya di tengah, dengan parkir ditempatkan di luar daerah pertokoan. Pengembangan tipe cluster development inilah yang nantinya disebut Shopping Mall. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan shopping street antara lain (Rubberstein, 1992) : 1. Tampilan bangunan Tampilan bangunan sebuah shopping street merupakan salah satu penentu utama untuk mendukung visual image sebuah shopping street . Kriteria tampilan tersebut antara lain : a. Sesuai dengan karakter lingkungan. b. Memiliki material dengan perawatan yang mudah. c. Mempunyai penampilan yang baik. 2. Kanopi Pada shopping street dengan pola perimeter wall, biasanya selalu ada arcade yang berfungsi melindungi fasade toko dari cuaca, serta memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki yang sedang berbelanja. Bagi tipe neighborhood ataupun community center, lebar pedestrian yang baik adalah 3,6-4,5 m. Kanopi yang melindungi 2 - 18 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota pedestrian, dapat berupa kantilever dari dinding bangunan atau bertumpu pada kolom. Jika tinggi kanopi lebih dari 3,6 m, maka dinding di bawahnya biasanya digunakan untuk penempatan label toko-toko. 3. Landscaping Landscaping merupakan bagian dari desain sebuah shopping street. Manfaat landscaping antara lain : a. Sebagai buffer, b. Sebagai pembatas antara pedestrian dengan jalan kendaraan ataupun area parkir 4. Signage Pengaturan signage sebagai penanda shopping center secara tipikal dipengaruhi oleh peraturan pemerintah setempat dalam rangka mengatur bisnis komersial di daerah tersebut. Semua elemen signage (logo, bentuk huruf khusus) harus dikoordinasikan dengan desain eksterior. Umumnya signage yang singkat dan jelas akan dengan segera diterima oleh publik daripada sebuah tulisan yang panjang lebar. 5. Penerangan ( untuk malam hari ) Penerangan eksterior terutama pada malam hari penting untuk keselamatan pengguna dan kepentingan fasilitas parkir. 6. Fasilitas Servis Area servis harus tertutup, atau dijauhkan dari pandangan pengunjung. Pada shopping center tipe neighborhood center, jalur-jalur kendaraan barang dapat dibuat bersilang (crossing) dengan jalur pejalan kaki, asalkan pengiriman dilakukan pada jam-jam tertentu (waktu-waktu sepi pengunjung ). 7. Koridor Jalan Ruang jalan pada fungsi komersial dinilai memiliki keterkaitan dengan ruang kota, antara lain, jalan, jalur pedestrian, area setback, ruang bangunan (Rubberstein, 1992). Jalan, dipahami sebagai jalur pergerakan yang menghubungkan berbagai simpul kegiatan. Jalur pergerakan ini digunakan oleh kendaraan dan orang. Sedangkan jalur pedestrian merupakan fasilitas utama pejalan kaki, dengan bentuk tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan kendaraan, Jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga zona yaitu (Craig and Walter, 2000) : 2 - 19 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Zona perlengkapan jalan, mempunyai fungsi utama sebagai tempat meletakan perlengkapan jalan atau utilitas, juga difungsikan sebagai tempat duduk-duduk, halte dan tempat pepohonan. Zona pedestrian dengan fungsi utama sebagai tempat pergerakan pejalan. Zona untuk utilitas biasanya dimana untuk jaringan utilitas di bawah tanah diletakkan di bawah zona pejalan, sedangkan jaringan utilitas di atas tanah umumnya ditempatkan pada zona perlengkapan jalan atau zona plasa. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kemiripan antara persyaratan shopping street dengan hunian, khususnya pada sarana penunjangnya. Ketika akses ruang hunian terbuka dan dilalui oleh berbagai transportasi umum, sifat jalan akses akan menjadi lebih publik sehingga ruang hunian dengan mudah akan berubah menjadi ruang komersial. 2. 4. Ruang Kota Perkembangan dan pertumbuhan kota telah mendorong munculnya pemahaman tentang ruang kota. Beberapa pakar urban design memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain mengenai definisi ruang kota. Paul D. Spreiregen (1965) melihat ruang kota sebagai formal space, yaitu ruang yang dibatasi oleh elemen buatan. Ruang kota yang didominasi oleh unsur-unsur alam seperti air dan pepohonan didefinisikan sebagai informal space, ruang alami atau ruang terbuka. Sedangkan Rob Krier (1979) mengklasifikasikan ruang kota berdasarkan bentuk dasar yang mempresentasikan sebuah ruang kota, dengan berbagai kemungkinan variasi dan kombinasi. Kualitas estetik dari setiap elemen ruang kota dapat dilihat dari detail strukturalnya. Kualitas ini juga digunakan ketika membahas hal-hal fisik mengenai keruangan. Menurutnya dua elemen dasar yang membentuk sebuah ruang kota yaitu street dan square. Dari dua pemahaman urban space diatas, terlihat bahwa ruang kota tersusun atas elemen yang membatasi atau membentuknya. Hal tersebut diperkuat kembali dengan pandangan Spiro Kostof (1991) yaitu ruang kota terjadi melalui pembentukan elemen fisik dalam prosesnya ketika berkembang menjadi kota. Elemen yang dimaksud adalah jalan, ruang public dan urban divisions. Carmona (2003) melihat pentingnya aktifitas, bentuk (wujud fisik) dan citra untuk membuat suatu ruang kota menjadi sebuah tempat atau place. Tempat tersebut dapat meningkat menjadi tempat dengan sense of place bila wujud fisiknya mampu berperan sebagai setting fisik kegiatan dan citra tempatnya mampu memberi makna yang kuat (lihat gambar 2.6). 2 - 20 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Gambar 2.6. Perubahan place menjadi sense of place (Carmona, 2003). Dalam ruang kota, jalan sering kali digunakan sebagai elemen pembentuk kualitas ruang kota. Jalan bukan hanya berperan secara fisik, tetapi juga sebagai pembentuk ruang interaksi sosial masyarakat urban. Allan Jacobs (1993) menyatakan bahwa jalan yang masuk dalam klasifikasi “great streets”, biasanya selalu memiliki kualitas ruang yang baik dan dapat mengundang pengguna untuk beraktifitas dan berinteraksi. Dalam merencanakan perancangan jalan yang berkualitas, harus diperhatikan kriteria sosial ekonomi yang ada serta mempertimbangkan aksesibilitas, kebersamaan, publicness, livability, keamanan, kenyamanan, partisipasi dan tanggung jawab. Hal itu diimplementasikan dalam bentuk-bentuk antara lain: Tempat yang nyaman untuk pejalan kaki. Jalan harus memberikan kesempatan para pejalan kaki untuk bersosialisasi. Jalan kaki adalah bentuk interaksi dan keterlibatan pengguna secara langsung dengan lingkungan. 2 - 21 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota Kenyamanan. Urban street yang baik memberikan perlindungan terhadap cuaca. Iklim yang berkaitan dengan karakteristik kenyamanan khas suatu kawasan dapat memberikan nilai positif dan menjadi aspek penting untuk membuat perencanaan yang baik. Kejelasan (Definition). Pada dasarnya jalan dibagi dalam dua bagian: yaitu bagian vertikal, yang berhubungan dengan ketinggian bangunan, dinding/tembok, dan pohon serta bagian horizontal, yang berkaitan dengan panjang jalan dan ruang antara sepanjang jalan tersebut. Kualitas dari pandangan mata. Jalan yang baik membutuhkan karakteristik fisik yang membantu mengarahkan pandangan mata untuk melakukan pengamatan terhadap sesuatu. Transparansi. Jalan yang baik mempunyai kualitas transparansi untuk menjangkau hubungan positif antara jalan dan bangunan. Komplimentari. Bangunan yang berada disepanjang jalan dan jalan memiliki hubungan yang saling melengkapi dan saling memberi pengaruh. Pemeliharaan. Pemeliharaan fisik dilakukan dengan menjaga kebersihan dan mengadakan perawatan berkala. Mutu dari konstruksi dan perancangan Kecermatan pelaksanaan dan pemilihan material jalan menentukan mutu konstruksi dan perancangan jalan. 2. 5. Perubahan Fungsi Akibat Perkembangan di Lingkungan Hunian (Kesimpulan Teori) Kota dalam proses perkembangannya mendapat banyak pengaruh, dengan pertumbuhan penduduk sebagai salah satu pemicunya. Selain itu, adanya gaya hidup masyarakat kota yang mengikuti tren ekonomi juga mempengaruhi laju perkembangan kota. Perkembangan kota mencakup perkembangan fisik kota dan kegiatan berkota. Semakin berkembang suatu kota, semakin banyak keragaman kegiatan yang terjadi. Gaya 2 - 22 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia TESIS – 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota hidup masyarakat yang meningkat akan memicu tumbuhnya kegiatan baru. Dengan meningkatnya keragaman kegiatan, maka terjadi pula peningkatan ruang kegiatan kota. Dampak peningkatan ruang/wadah dari kegiatan tersebut, antara lain meluasnya batas dan wilayah kota, serta meningkatnya intensitas lahan dan perubahan guna lahan. Di antara ketiganya, perubahan guna lahan merupakan fenomena yang paling sering terjadi. Di Indonesia, khususnya Jakarta banyak sekali kasus penyalahgunaan dan perubahan tata guna lahan yang dipicu oleh adanya tren ekonomi. Terdapat perbedaan dalam pengelompokan guna lahan perkotaan. Negara-negara barat umumnya menetapkan tiga jenis guna lahan secara makro, yang masing-masing memiliki batasan dan persyaratan ruang. Indonesia memiliki klasifikasi guna lahan yang lebih rinci, tetapi tidak terdapat batasan dan persyaratan ruang di dalamnya; sehingga pada saat terjadi perkembangan kota yang tidak sesuai dengan perencanaan awal, timbul permasalahan di berbagai aspek termasuk perubahan tata guna lahan. Di beberapa kota besar di Indonesia, perubahan tata guna lahan sering kali terjadi di lingkungan hunian. Pada lingkungan hunian, terdapat aturan rinci dan syarat, antara lain kelengkapan kenyamanan dan keamanan di dalamnya, lokasi, aksesibilitas, dan sebagainya. Tetapi lokasi dan aksesibilitas yang baik seringkali memicu lingkungan hunian untuk cepat berubah menjadi non-hunian. Akses yang baik di hunian tersebut umumnya berkembang menjadi jalur alternatif yang dilalui oleh berbagai sarana transportasi. Hal itu dapat merubah skala pelayanan dan kelas jalan. Gejala ini sering terjadi di sepanjang koridor utama perumahan yang memiliki karakteristik menyerupai koridor komersial; sehingga dengan semakin berkembangnya bentuk ruang; fungsi hunian akan beralih ke fungsi komersial dan merubah kualitas ruang kota. Di sisi lain, karena tidak direncanakan sebagai area komersial; lingkungan ini sejak awal tidak didukung oleh berbagai kelengkapan seperti daya dukung lahan, parkir dan sebagainya. Persoalan inilah yang akan saya bahas dan teliti dalam tesis ini. 2 - 23 Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009 Universitas Indonesia