Risiko Terjadinya Penyakit Menular Seksual pada Anak Jalanan

advertisement
Risiko Terjadinya Penyakit Menular Seksual pada Anak Jalanan Remaja
Laki-Laki Kota Depok
Tika Widowati1, Henny Permatasari2
1.
2.
Kelompok Keilmuan Keperawatan Komunitas, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,
Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Kelompok Keilmuan Keperawatan Komunitas, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,
Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Anak jalanan menjadi salah satu masalah sosial di kawasan perkotaan, misalnya Kota Depok. Depok menjadi
kota dengan jumlah anak jalanan tertinggi ketiga di Provinsi Jawa Barat. Anak jalanan ini sangat rentan dengan
masalah kesehatan, salah satunya kesehatan reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan risiko terjadinya PMS (Penyakit Menular Seksual)
pada anak jalanan remaja laki-laki Kota Depok. Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional pada 78
anak usia 11-20 tahun yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Anak jalanan remaja laki-laki di Kota
Depok sebagian besar termasuk dalam tahap usia remaja pertengahan (44,9%), bersuku Jawa (34,6%),
berpendidikan SMP (60,3%), tinggal di rumah singgah/yayasan/wali (50%), dan setengahnya sudah menjadi
anak jalanan lebih dari 2,25 tahun. Hasil uji analisis menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara usia, suku, tempat tinggal, atau pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan risiko terjadinya
penyakit seksual menular pada anak jalanan laki-laki Kota Depok. Namun terdapat hubungan yang signifikan
antara pendidikan formal atau masa sebagai anak jalanan dengan risiko PMS. Strategi pendidikan kesehatan
harus disesuaikan dengan karakteristik anak jalanan untuk mengefektifkan intervensi keperawatan komunitas.
Kata kunci: Anak jalanan; laki-laki; pengetahuan; penyakit menular seksual; remaja.
Risk of STDs among Male Adolescent Street Children in Depok City
Abstract
Street children to be one of the social problems in urban areas, for example Depok City. Depok becomes the city
with the third highest number of street children in West Java. Street children are vulnerable to health problems
especially reproductive health. The aim of the study was to determine the correlation between reproductive
health knowledge and risk of STDs (sexually transmitted diseases) among male adolescent street children in
Depok City. Cross-sectional study was conducted among 78 children aged 11-20 years whom selected by
purposive sampling technique. Male adolescent street children in Depok mostly belong to the middle adolescent
(44.9%), Java ethnic group (34.6%), Junior High School (60.3%), living in shelter/ institute/foster parents (50%),
and half of them has become street children for more than 2.25 years. Bivariate analysis showed that there is no
significant relationship between age, ethnicity, residence, or knowledge about reproductive health with risk of
sexually transmitted diseases in male street children in Depok. But there is a significant relationship between
formal education or future as street children with the risk of sexually transmitted diseases. Health education
strategy must be adjusted to street children characteristics to streamline community nursing interventions.
Keyword: Adolescent; knowledge; male; sexually transmitted diseases; street children.
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Pendahuluan
Kota Depok merupakan kota yang strategis untuk menjadi daerah tujuan migrasi karena
berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta. Namun, dampak negatif migrasi di kawasan
tujuan antara lain tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang seimbang dengan pertambahan
jumlah penduduk di kawasan perkotaan tersebut. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya
anak jalanan yang muncul di sudut Kota Depok.
Depok menjadi kota tertinggi ketiga di Jawa Barat dengan jumlah 733 anak jalanan (Dinas
Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Masalah perilaku berisiko remaja, yaitu kebiasaan
merokok, menggunakan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif), seks bebas, dan
masalah kesehatan reproduksi (KESPRO) menjadi masalah terbesar dari kelompok anak
jalanan karena sebagian besar anak jalanan termasuk ke dalam tahap usia remaja (14–18
tahun) (Kemenkes RI, 2010). Hasil penelitian tentang anak jalanan di empat kota besar
Indonesia mendapatkan bahwa anak jalanan usia >14 tahun (16,6%) lebih banyak melakukan
perilaku seksual dibandingkan usia ≤14 tahun (1,8%) (Wirastuti, 2003). Prevalensi PMS pada
anak jalanan yang dibina lembaga swadaya masyarakat di Jakarta tahun 2000 menunjukkan
bahwa penderita gonore sebanyak 7,7%, klamidia 7,4%, sifilis 0%, dan HIV (Human
Immunodeficiency Virus Infection) 0% (Sedyaningsih, Firdous, Yatim, Marjorie, & Holly,
2005).
Pengetahuan anak jalanan tentang PMS di Jakarta termasuk ke dalam tingkat rendah
(Sedyaningsih, Firdous, Yatim, Marjorie, & Holly, 2005). Dari penelitian Wahyono dan
Oktarinda (2002) diketahui bahwa 79,54% anak jalanan Depok memiliki pengetahuan tentang
perilaku sehat tetapi pengetahuan tentang Narkotika dan Zat Adiktif masih minim. Peneliti
merumuskan pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi dan risiko terjadinya PMS pada anak jalanan laki-laki usia
remaja di Depok?
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan tingkat risiko terjadinya penyakit menular
seksual anak jalanan remaja laki-laki Kota Depok. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran karakteristik, tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan
gambaran tingkat risiko terjadinya penyakit menular seksual pada anak jalanan remaja laki-
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
laki Kota Depok. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
karakteristik dengan risiko terjadinya penyakit menular seksual pada anak jalanan remaja
laki-laki Kota Depok.
Tinjauan Teoritis
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa yang ditandai dengan
perubahan biologis, intelektual, psikososial, dan ekonomi (Hockenberry & Wilson, 2007).
Proses perkembangan remaja menjadi dewasa dapat dibagi menjadi dua atau tiga subfase
perkembangan. Perkembangan remaja dibagi oleh Hockenberry dan Wilson (2007) ke dalam
tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun), dan remaja
akhir (18-20 tahun). Remaja merespon perubahan-perubahan tersebut dengan melakukan
perilaku-perilaku yang berisiko tinggi (Lundy & Janes, 2009).
Perubahan biologis yang terjadi pada remaja umumnya disebut sebagai pubertas. Menurut
teori sementara, pubertas terjadi
setelah dipicu oleh produksi gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) dan dilanjutkan dengan diproduksinya follicle-stimulating hormone (FSH),
luteinizing hormone (LH), dan steroid sex seperti estrogen, progesteron, dan testosterone
(Hockenberry & Wilson, 2007). Sedangkan bentuk kognitif remaja berbeda dengan masa
kanak-kanak. Pieget (1975) dalam Hockenberry dan Wilson (2007) menyebut tahap
perkembangan kognitif remaja sebagai pemikiran operasional formal. Menurut Hockenberry
dan Wilson (2007), pemikiran operasional formal terdiri dari kemampuan berpikir dalam
bentuk abstrak, berpikir tentang kemungkinan, dan berpikir tentang hipotesis. Oleh karena itu,
remaja sudah dapat belajar dari pengalaman orang lain dan lingkungan sosial. Teori
psikososial Erikson (1968) dalam Hockenberry dan Wilson (2007) menyebutkan bahwa kunci
pencapaian identitas remaja berasal dari interaksi dengan orang lain. Remaja akan belajar dari
orang lain tentang hal yang harus dan tidak harus mereka lakukan selama masa pencapaian
identitas.
Pengaruh lingkungan sosial remaja menyebabkan hasil perubahan berbeda-beda pada setiap
remaja meskipun secara biologis, kognitif, dan psikososial remaja akan mendapat tugas
perkembangan yang sama. Lingkungan sosial remaja menurut Hockenberry dan Wilson
(2007) antara lain keluarga, teman, sekolah, tempat kerja, dan komunitas sosial. Bentuk
keluarga dan latar belakang orang tua sangat berpengaruh terhadap perilaku berisiko remaja.
Kemiskinan juga dapat menjadi salah satu penyebab remaja melakukan perilaku berisiko
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
tinggi yang membahayakan kesehatan mereka. Menurut Lundy dan Janes (2009), remaja
miskin memiliki kemungkinan enam kali lebih banyak untuk memiliki anak dibandingkan
anak seusia mereka yang tidak miskin. Remaja miskin dan dengan penghasilan keluarga
rendah cenderung lebih aktif secara seksual dan memulai aktivitas seksual sekitar empat
sampai enam bulan lebih awal dibandingkan dengan remaja dari keluarga berpenghasilan
lebih tinggi (Maurer & Smith, 2005). Kemiskinan ini yang menjadi salah satu alasan anak
bekerja di jalanan sehingga menjadi anak jalanan.
Kementerian Sosial RI mengelempokkan anak jalanan ke dalam penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS). Menurut Kementerian Sosial RI (2009), anak jalanan adalah
anak berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah
dan berkeliaran di jalan atau tempat-tempat umum. WHO (2000) menyebut anak jalanan
sebagai korban dari pertumbuhan ekonomi, perang, kemiskinan, hilangnya nilai-nilai
tradisional, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik dan mental. Anak jalanan
memiliki demografi, latar belakang, masalah, dan strategi anak jalanan bertahan di jalan yang
khusus. Proporsi anak jalanan perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki di negara maju
maupun negara berkembang (WHO, 2000). Anak jalanan Kota Depok terdiri dari 57% anak
laki-laki dan 43% perempuan (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Usia anak jalanan di
Indonesia umumnya termasuk ke dalam tahap usia sekolah hingga remaja. Jumlah anak
jalanan di Kota Depok misalnya 19,5% usia sekolah (6-11 tahun) dan sisanya 80,5% remaja
(12-19 tahun) (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Selain karakteristik demografi, anak
jalanan juga rentan terhadap masalah sosial, fisik, dan psikologis.
Masalah sosial yang umumnya dimiliki oleh anak jalanan antara lain kemiskinan, buta huruf,
diskriminasi dan kurang fasilitas yang diperoleh, lingkungan yang keras, dan stigmatisasi
(WHO, 2000). Anak jalanan sulit mendapatkan kebutuhan dan fasilitas dasar untuk
mempertahankan hidup sehat akibat tidak ada cukup uang. Anak jalanan yang termasuk ke
dalam kelompok suku minoritas juga menjadikan mereka rentan terhadap masalah kesehatan.
Menurut CDC (2011), kondisi sosial ekonomi (kemiskinan, pengangguran, tingkat
pendidikan) dan diskriminasi sosial suku minoritas di Amerika Serikat menjadi penyebab
lebih tingginya prevalensi penyakit menular seksual pada suku minoritas dibandingkan kulit
putih.
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Masalah fisik yang dimiliki oleh anak jalanan umumnya berupa kurang nutrisi, cedera,
masalah kesehatan seksual dan reproduksi, serta penyakit umum (WHO, 2000). Gaya hidup
anak jalanan yang sering berpindah-pindah untuk mencari perlindungan maupun harapan
hidup yang lebih baik menyebabkan masalah isolasi sosial, kesepian, dan kesulitan dalam
mengembangkan emosional (WHO, 2000). Stres yang berasal dari latar belakang dan gaya
hidup mereka yang tidak sehat menyebabkan anak jalanan rentan terhadap masalah
emosional, gangguan kejiwaan, dan kesulitan belajar. Pelarian anak jalanan ke dalam
penggunaan NAPZA meningkatkan risiko masalah kesehatan, kemungkinan kecelakaan, dan
juga kekerasan. Masalah kesehatan seksual dan reproduksi dapat dialami oleh anak
perempuan maupun laki-laki, misalnya PMS (Penyakit Menular Seksual).
PMS (Penyakit Menular Seksual) atau IMS (Infeksi Menular Seksual) digunakan untuk
menunjukkan bermacam-macam sindrom klinis yang disebabkan oleh patogen yang diperoleh
dan
ditularkan
melalui
aktivitas
seksual
(CDC,
2010).
Penyakit-penyakit
yang
diklasifikasikan ke dalam PMS yaitu urethritis (gonococcal and nongonococcal), luka genital
(infeksi herpes genital, sifilis primer, chancroid, granuloma inguinale, dan lymphogranuloma
venereum), tumor genital (human papillomavirus [HPV]), scabies, pediculosis pubis,
molluscum
contagiosum,
hepatitis
dan
infeksi
enteric,
proctitis,
dan
acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Faktor risiko
terbesar tertular PMS adalah jumlah pasangan seksual (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Peningkatan jumlah pasangan seksual akan disertai juga dengan peningkatan risiko
tertular PMS dari orang yang sudah menderita. Aktivitas seksual yang terjadi pada remaja
meningkatkan angka kejadian PMS pada tahap usia ini. Perilaku seksual yang tidak normal
seperti oral dan anal meningkatkan risiko penyebaran virus dan bakteri penyebab PMS.
Mikroorganisme PMS tidak hanya dapat menginfeksi organ seksual manusia tetapi juga
organ-organ dalam lainnya jika infeksi tidak terdeteksi dan ditangani secepatnya. Komplikasi
dapat terjadi pada organ paru-paru, jantung, hingga otak (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian descriptive correlation, yaitu penelitian yang
menggambarkan hubungan secara sederhana (Polit & Beck, 2008). Hubungan yang diteliti
antara lain hubungan karakteristik anak jalanan dan tingkat pengetahuan tentang kesehatan
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
reproduksi dengan risiko terjadinya PMS pada anak jalanan khususnya remaja laki-laki.
Rancangan waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah rancangan cross-section atau
penelitian yang menggunakan proses pengambilan data dalam satu periode (Polit & Beck,
2008).
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki usia 11-20 tahun di komunitas anak
jalanan Depok yang berjumlah 345 orang (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Usia
remaja dan laki-laki menjadi populasi tertinggi anak jalanan di Kota Depok. Usia remaja yang
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi menjadikan masalah kesehatan reproduksi seperti
penyakit menular seksual menjadi ancaman tertinggi di komunitas anak jalanan. Teknik
sampling yang digunakan penelitian ini adalah purposive sampling atau dilakukan
berdasarkan pada keyakinan bahwa pengetahuan peneliti tentang populasi dapat digunakan
untuk memilih sampel secara teliti (Polit & Beck, 2008). Teknik ini digunakan karena dapat
mewakili jumlah populasi dan karakteristik anak jalanan yang memiliki mobilitas tinggi
sehingga sulit untuk bertemu dengan responden. Jumlah sampel yang diteliti berdasarkan
perhitungan menggunakan rumus Isaac dan Michael sebanyak 75 sampel (Hidayat, 2011).
Sedangkan responden yang datanya berhasil dilakukan pengolahan berjumlah 78 responden
anak jalanan remaja laki-laki.
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang pertanyaannya dijawab oleh responden secara
tertulis. Kuesioner ini mengadaptasi dari beberapa sumber, yaitu Cleland, Ingham, dan Stone
(2001) dan Wirastuti (2003) yang melakukan penelitian tentang perilaku seksual pada anak
jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Kuesioner yang digunakan diuji validitas
dan reliabilitas dan diperbaiki pada pertanyaan yang tidak valid. Kuesioner tersebut berisi
tentang petunjuk pengisian, kode responden, data demografi (usia, agama, suku, masa sebagai
anak, jalanan, tempat tinggal) pada bagian A, pertanyaan tentang pengetahuan kesehatan
reproduksi pada bagian B, serta pertanyaan tentang perilaku anak jalanan yang berisiko
mengalami PMS pada bagian C.
Pengambilan data dilakukan di daerah Masjid Terminal (MASTER), Terminal Bus, dan
Pondok Cina Depok, Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih karena menjadi tempat yang sering
digunakan oleh anak jalanan untuk berkumpul atau bekerja serta lokasi tersebut mudah
dijangkau oleh peneliti. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 1-6 April 2013 sebelum
dilaksanakannya ujian nasional SMP dan SMA. Peneliti meminta bantuan kepada kepala
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
sekolah MASTER dan anak jalanan untuk mencari responden yang diambil datanya. Peneliti
mendampingi responden dalam pengisian kuesioner dan menjawab pertanyaan yang diajukan
responden mengenai penelitian.
Proses pengolahan dan analisa data penelitian ini menggunakan program komputer melalui
tahap-tahap fase preanalisi, yaitu coding, entering, verifying, dan cleaning data (Polit dan
Beck, 2008). Data yang sudah melalui tahap preanalisis, selanjutnya dilakukan analisis data
menggunakan software analisis data. Variabel yang berbentuk data numerik (masa sebagai
anak jalanan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, risiko PMS) dianalisis terlebih
dahulu untuk mengetahui mean, modus, median, standar deviasi, dan nilai skewness
(univariat) sehingga kenormalan dan cut off point data dapat ditentukan. Seluruh variabel
berbentuk data kategorik dianalisis menggunakan uji Chi Square. Arah atau bentuk uji
hipotesis penelitian ini menggunakan bentuk dua arah (two tail), yaitu hipotesis yang hanya
menyatakan perbedaan tanpa melihat lebih tinggi/rendah (Hastono & Sabri, 2010). Penelitian
ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat kemaknaan 5%. Hasil perhitungan
statistik akan bermakna apabila nilai p ≤0,05. Data yang menggunakan tabel silang lebih dari
2x2 dianalisis juga dengan menggunakan regresi logistik sederhana untuk memperoleh nilai
OR.
Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian sebelum meminta persetujuan
responden untuk menjadi subjek penelitian dengan mengisi inform consent. Informed consent
ini berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, prosedur penelitian, jenis data, prosedur,
setimasi waktu yang diperlukan, pihak pendukung penelitian, proses penetapan responden,
potensial risiko yang mungkin terjadi, potensial manfaat yang diperoleh, kompensasi yang
diberikan, prosedur alternatif, upaya menjaga kerahasiaan/confidentiality, persetujuan
kesukaleraan, hak untuk menolak tanpa dikenakan sanksi, dan info kontak peneliti sebagai
bentuk kesediaan untuk menjawab pertanyaan. Sebelum penelitian, dilakukan konsultasi
dengan ahli dan menguji alat pengumpul data terlebih dahulu untuk mengkaji dan
meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan saat penelitian dengan melakukan
penyesuaian alat pengumpul data dengan karakteristik anak jalanan. Selain itu, seluruh
informasi yang diberikan oleh responden juga dirahasiakan kecuali data tertentu yang
dilaporkan sebagai hasil penelitian (confidentiality). Semua responden memperoleh perlakuan
yang sama mulai dari saat pengambilan data hingga publikasi hasil. Identitas subjek
dirahasiakan dengan melakukan penggantian identitias menggunakan kode. Identitas
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
responden diganti dengan kode angka (anonymity) yang digunakan saat pengolahan data
hingga publikasi penelitian. Setelah seluruh proses selesai, lembar kuesioner yang berisi
informasi dari responden segera dibakar untuk menjaga privasi dan informasi yang telah
diberikan.
Hasil Penelitian
Penelitian ini mengambil responden anak jalanan laki-laki yang termasuk usia remaja yang
selanjutkan dikategorikan menjadi tiga tahap usia remaja. Responden terbanyak adalah usia
remaja pertengahan (15-17 tahun) (Tabel 1.). Responden terbanyak berasal dari suku Jawa.
Lebih dari setengah jumlah responden berpendidikan SMP. Proporsi anak jalanan yang sudah
lama menjadi anak jalanan (>2,250) sama dengan proporsi baru menjadi anak jalanan
(≤2,250). Hasil distribusi tempat tinggal responden menunjukkan bahwa setengah tinggal di
rumah singgah atau yayasan atau wali.
Tabel 1. Karakteristik responden
Karakteristik
Usia
Remaja Awal
Remaja Pertengahan
Remaja Akhir
Suku
Aceh
Ambon
Bali
Batak
Betawi
Bugis
Jawa
Minang
Sunda
Lain-lain
Pendidikan terakhir
SD
SMP
SMA
Masa sebagi anak jalanan
Baru
Lama
Tempat tinggal
Di rumah dengan orang tua/saudara
Di rumah singgah/yayasan/wali
Di jalan dengan teman
Jumlah (n)
Persentase (%)
30
35
13
38,5
44,9
16,7
2
2
1
8
17
2
27
1
16
2
2,6
2,6
1,3
10,3
21,8
2,6
34,6
1,3
20,5
2,6
14
47
17
17,9
60,3
21,8
39
39
50,0
50,0
33
39
6
42,3
50,0
7,7
Hasil analisis tingkat pengetahuan didapatkan bahwa rata-rata responden menjawab dengan
benar bernilai 25,54 (SD=4,377). Jumlah jawaban benar paling tinggi bernilai 35 dan paling
rendah 15. Tingkat pengetahuan tinggi diketahui dengan melihat nilai yang berada sama
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
dengan atau di atas mean dan tingkat pengetahuan rendah dilihat dari nilai yang berada di
bawah mean. Hasil distribusi data menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah responden
memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang kesehatan reproduksi (Tabel 2.). Sedangkan
Hasil analisis risiko terjadinya PMS didapatkan bahwa nilai tengah jawaban responden
tentang pengalamannya bernilai bernilai 82,00. Jumlah jawaban benar paling rendah bernilai
64 dan paling tinggi 124. Risiko tinggi terjadinya PMS diketahui dengan melihat nilai yang
berada di atas median dan risiko rendah diketahui dengan melihat nilai yang berada sama
dengan atau di bawah median. Hasil analisis distribusi responden menunjukkan sebagian
besar responden berisiko rendah mengalami PMS.
Tabel 2. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan risiko terjadinya PMS
Variabel
Pengetahuan
Tinggi (≥25,54)
Rendah (<25,54)
Risiko (PMS)
Tinggi (>82,00)
Rendah (≤82,00)
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
43
35
55,1
49,0
32
46
41,0
59,0
Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara suku
responden dengan risiko PMS. Namun, responden dari suku di luar Pulau Jawa akan berisiko
menderita PMS 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan responden dari suku Jawa. Ada hubungan
bermakna antara pendidikan terakhir responden dengan risiko PMS. Ada hubungan signifikan
antara masa sebagai anak jalanan dengan risiko PMS. Responden yang telah lama menjadi
anak jalanan mempunyai peluang 3,75 kali untuk berisiko tinggi PMS dibandingkan
responden yang baru menjadi anak jalanan. Responden yang tingal di rumah singgah atau di
jalanan berisiko PMS 2 kali dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan orang tua
atau saudara. Hasil uji statistik disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian PMS yang
signifikan antara anak jalanan berpengetahuan kesehatan reproduksi tinggi dengan anak
jalanan berpengetahuan kesehatan reproduksi rendah.
Tabel 3. Variabel yang dihubungkan dengan risiko terjadinya PMS
Variabel
Usia
Suku
Pendidikan terakhir*
Masa sebagai anak jalanan
Tempat tinggal
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
* variabel terakhir sebagai indikator
p value
0,082
0,177
0,018
0,011
0,107
0,948
OR; 95%CI
tidak signifikan
tidak signifikan
(1)=5,625; 0,915-34,572; (2)=7,826; 1,608-38,086
3,753; 1,440-9,779
tidak signifikan
tidak signifikan
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Pembahasan
Data pemetaan anak jalanan oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat (2011) menunjukkan
bahwa sebagian besar populasi anak jalanan laki-laki Depok berada pada tahap usia remaja
pertengahan. Remaja pertengahan lebih berorientasi dengan teman sebaya dibandingkan
dengan orang tua karena sering timbul konflik besar dengan orang tua yang berhubungan
dengan kemandirian dan kontrol orang tua (Hockenberry & Wilson, 2007). Sehingga,
masalah-masalah yang muncul di keluarga dapat memicu konflik remaja pertengahan dengan
keluarga dan membuat remaja pertengahan memutuskan untuk hidup mandiri atau mencari
uang sendiri.
Suku asal mayoritas anak jalanan berkaitan dengan daerah asal penduduk pendatang (migrasi
risen) Depok yang sebagian besar berasal dari daerah di Pulau Jawa. Urbanisasi yang terjadi
di Depok berdampak terhadap munculnya anak jalanan di Depok. Tidak ada hubungan
bermakna antara suku responden dengan risiko terjadinya penyakit menular seksual pada anak
jalanan remaja laki-laki Kota Depok. Namun, suku lain-lain yang terdiri dari suku minoritas
memiliki persentase risiko penyakit menular seksual paling tinggi dibandingkan suku
mayoritas (Jawa, Betawi, Sunda), yaitu 61,1%. Temuan ini didukung oleh penelitian Cheng
(2006) di utara Thailand tahun 2005 yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan perilaku seksual berisiko, prevalensi penggunaan obat-obatan, dan akses tes HIV di
antara kelompok suku tetapi suku Thai sebagai suku mayoritas memiliki kemungkinan 2 kali
menggunakan kondom dibandingkan orang-orang suku minoritas. Lebih tingginya presentase
risiko penyakit menular seksual pada anak jalanan suku minoritas terjadi akibat status
ekonomi yang lebih rendah dan adanya ketidakadilan dalam akses pelayanan kesehatan
dibandingkan suku mayoritas.
Sebagian besar anak jalanan remaja laki-laki Depok memiliki pendidikan formal SMP.
Temuan ini berbeda dengan hasil temuan penelitian Wahyono dan Oktarinda (2002) yang
mendapatkan hasil bahwa anak jalanan di Depok yang bersekolah umumnya duduk di bangku
SD. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan tingkat pendidikan formal pada anak jalanan
di Depok dalam rentang waktu sekitar 11 tahun meskipun belum sesuai dengan program
wajib belajar 9 tahun. Terdapat hubungan bermakna antara pendidikan terakhir responden
dengan risiko terjadinya PMS pada anak jalanan remaja laki-laki Depok. Terdapat hubungan
yang signifikan antara angka putus sekolah anak jalanan dengan riwayat PMS (Norris, 2000).
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Anak jalanan yang putus sekolah memiliki waktu yang lebih banyak untuk bekerja di jalanan
sehingga membuat mereka lebih berisiko terkena PMS.
Rentang masa responden bekerja menjadi anak jalanan cukup ekstrim. Menurut responden
yang paling lama menjadi anak jalanan, responden tersebut sejak kecil sudah ikut bekerja
dengan orang tuanya di jalanan. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama menjadi anak
jalanan dengan risiko terjadinya PMS. Responden yang lama menjadi anak jalanan
mempunyai peluang tiga kali untuk berisiko tinggi terkena PMS dibandingkan responden
yang baru menjadi anak jalanan. Anak yang menghabiskan waktu di jalan lebih lama
berhubungan secara signifikan dengan penggunaan perilaku zat psikoaktif dan perlakuan
salah seksual (memperlihatkan bagian tubuhnya secara seksual, menyentuh secara seksual,
percobaan hubungan seksual) yang meningkatkan risiko perilaku seksual (Handy 2006).
Jumlah anak jalanan yang tinggal di rumah singgah/yayasan/wali dan tinggal di rumah dengan
orang tua/saudara hampir sama. Temuan ini berbeda dengan temuan penelitian sebelas tahun
lalu yang menunjukkan bahwa hanya 23,5% anak jalanan di Depok yang pernah tinggal di
rumah singgah (Wahyono & Oktarinda, 2002). Pemanfaatan rumah singgah di Jakarta,
Bandung, Surabaya, dan Medan masih rendah dan lebih banyak yang menyebar di berbagai
tempat umum (Wirastuti, 2003). Pemanfaatan rumah singgah oleh anak jalanan Kota Depok
semakin baik dan sudah tinggi dibandingkan di kota lain yang ditandai oleh mayoritas anak
jalanan tinggal di rumah singgah/yayasan/wali. Namun, rumah singgah belum optimal
perannya dalam menurunkan frekuensi perilaku berisiko yang dilakukan anak jalanan karena
persentase risiko tinggi penyakit menular seksual pada anak jalanan yang tinggal di rumah
singgah/yayasan/wali sama dengan persentase anak jalanan yang tinggal di jalan.
Lebih dari setengah anak jalanan yang mengikuti penelitian ini memiliki pengetahuan yang
tinggi tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan tentang mencuci tangan dengan sabun,
pengetahuan tentang kegunaan memakai sandal di luar rumah, dan pengetahuan tentang
bahaya merokok sudah tinggi namun pengetahuan anak jalanan mengenai bahaya Narkoba
dan Zat Adiktif masih minim (Wahyono & Oktarinda, 2002). Hal ini juga ditunjukkan dengan
oleh lebih dari setengah anak jalanan kota Depok mempunyai akses yang mudah dalam
mendapatkan informasi (Fitriati, 2012). Namun, hampir setengah anak jalanan remaja lakilaki di Kota Depok memiliki risiko tinggi untuk menderita PMS. Hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
dengan risiko terjadinya PMS. Perilaku seksual anak jalanan mengesankan jika anak jalanan
tidak mewujudkan pengetahuan mereka ke dalam tindakan untuk mengurangi risiko infeksi
meskipun sebagian besar anak jalanan memiliki paling sedikit pengetahuan dasar HIV dan
merasa diri mereka berisiko terkena HIV (Wutoh, Kumoji, Xue, Campusano, Wutoh, &
Ofosu, 2006). Hasil tersebut ditemukan karena informasi yang beredar di antara anak jalanan
tidak jelas dan mereka melakukan perilaku berisiko tersebut untuk mengatasi kesulitan
mereka dalam memenuhi kebutuhan (Towe, Hasan, Zafar, & Sherman, 2009).
Upaya peningkatan pengetahuan anak jalanan perlu memperhatikan materi dan cara
penyampaian yang sesuai dengan karakteristik anak jalanan dengan melibatkan pendamping
anak jalanan dan anak jalanan sendiri dalam menyusun materi (Raksanagara, 2000). informasi
saja tidak cukup untuk mengubah perilaku atau menjamin munculnya keinginan dan
kemampuan untuk mengubah perilaku (Naidoo dan Wills, 2000). Intervensi yang
berhubungan dengan perilaku (behavioral interventions) telah meningkatkan penggunaan
kondom, menurunkan frekuensi perilaku seksual berisiko, dan menurunkan insiden PMS
(Tan, Medina, Warren, Carey, & Johnson, 2011).
Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Instrumen penelitian yang digunakan
masih memiliki beberapa kelemahan diantaranya komponen karakteristik yang masih belum
lengkap, seperti belum ada data penghasilan sebulan, jenis anak jalanan (child of the streets,
child ‘on the street’, a part of a street family), alasan menjadi anak jalanan, dan hubungan
dengan orang tua. Sebagian besar responden hanya berasal dari satu LKSA yang membina
anak jalanan di Kota Depok, yaitu Yayasan Bina Insan Mandiri (YBIM). Mobilisasi anak
jalanan yang tinggi membuat pengambilan sampel sulit untuk mendapatkan proporsi anak
jalanan yang rata. Pengisian kuesioner dilakukan dalam kelompok besar sehingga ada
beberapa anak yang tertangkap sedang meminta bantuan jawaban teman di dekatnya. Peneliti
tetap mengawasi kegiatan pengisian kuesioner dan menegur anak yang tertangkap sedang
mencontek jawaban temannya. Selain itu, terdapat risiko underreporting data perilaku seksual
anak jalanan karena permasalahan perilaku seksual merupakan hal yang sensitif. Seluruh hasil
penelitian ini diharapkan dapat berimplikasi bagi dunia keperawatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat khususnya perawat
komunitas dalam mengenal gambaran karakteristik anak jalanan, tingkat pengetahuan, dan
risiko penyakit menular seksual pada anak jalanan. Selain itu, perawat komunitas dapat
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
memberikan perhatian lebih pada anak jalanan yang memiliki risiko lebih tinggi seperti anak
yang berasal dari suku minoritas atau dari luar Pulau Jawa, memiliki tingkat pendidikan
formal rendah, dan anak yang lebih lama menjadi anak jalanan. Penelitian ini dapat menjadi
sumber informasi bagi perawat komunitas khususnya dalam menggunakan strategi intervensi
pendidikan kesehatan yang sesuai dengan karakteristik anak jalanan dan strategi lain yang
dapat digunakan seperti behavioral interventions (pelatihan ketrampilan, promosi kesehatan,
pengobatan, konseling, dan pengujian) untuk mengubah perilaku berisiko yang dilakukan oleh
anak jalanan. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran singkat kondisi anak jalanan
bagi mahasiswa keperawatan yang belum pernah berinteraksi secara langsung dengan anak
jalanan. Mahasiswa keperawatan membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang
efektif dengan anak jalanan dari hasil penelitian ini. Kemitraan lembaga pendidikan
keperawatan dan rumah singgah perlu ditingkatkan untuk melakukan program pemberdayaan
yang efektif dan meningkatkan penelitian terkait anak jalanan. Penelitian ini dapat
memberikan informasi baru mengenai berbagai variabel-variabel yang berhubungan dengan
risiko terjadinya penyakit menular seksual pada anak jalanan.
Kesimpulan
Anak jalanan remaja laki-laki di Kota Depok sebagian besar termasuk dalam tahap usia
remaja
pertengahan,
bersuku
Jawa,
berpendidikan
SMP,
tinggal
di
rumah
singgah/yayasan/wali, dan setengahnya sudah menjadi anak jalanan lebih dari 2,25 tahun.
Selain itu, sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tinggi
dan risiko menderita PMS rendah. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia, suku,
tempat tinggal, atau pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan risiko terjadinya
penyakit seksual menular pada anak jalanan laki-laki Kota Depok. Namun terdapat hubungan
yang signifikan antara pendidikan formal atau masa sebagai anak jalanan dengan risiko PMS.
Peningkatan pengetahuan pada anak jalanan tidak dapat menurunkan frekuensi perilaku
berisiko yang mereka lakukan secara signifikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh informasi
yang beredar di antara anak jalanan tidak jelas dan mereka melakukan perilaku berisiko
tersebut untuk mengatasi kesulitan mereka dalam memenuhi kebutuhan. Namun, informasi
saja tidak cukup untuk mengubah perilaku atau menjamin munculnya keinginan dan
kemampuan untuk mengubah perilaku.
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat khususnya perawat
komunitas, akademisi keperawatan, dan lembaga yang menangani anak jalanan dalam
mengenal gambaran karakteristik anak jalanan, tingkat pengetahuan, risiko PMS pada anak
jalanan, dan strategi intervensi untuk mengatasi masalah pada anak jalanan. Hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat menjadi motivasi anak jalanan untuk menurunkan risiko terinfeksi
PMS. Perawat komunitas dapat memberikan perhatian lebih pada anak jalanan yang memiliki
risiko lebih tinggi seperti anak yang berasal dari suku minoritas atau dari luar Pulau Jawa,
memiliki tingkat pendidikan formal rendah, dan anak yang lebih lama menjadi anak jalanan.
Kemitraan lembaga pendidikan keperawatan dan rumah singga juga perlu ditingkatkan untuk
melakukan program pemberdayaan yang efektif dan meningkatkan penelitian terkait anak
jalanan. Penelitian selanjutnya diharapka meneliti prevalensi PMS pada anak jalanan di Kota
Depok.
Kepustakaan
CDC. (2010). Sexually transmitted diseases (STDs). Diperoleh pada 8 Maret 2013 dari
http://www.cdc.gov/std/general/default.htm
CDC. (2011). STDs in racial and ethnic minorities. Diperoleh pada 1 Juni 2013 dari
http://www.cdc.gov/std/stats11/minorities.htm
Cheng, Y. (2007). Substance use, risky sexual behaviors, and HIV testing among young
people
in
northern
thailand. (Order
No.
3240684,
The
Johns
Hopkins
University). ProQuest Dissertations and Theses, , 160-160 p. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/304858478?accountid=25704.
(prod.academic_MSTAR_304858478).
Cleland, J., Ingham, R., dan Stone, N. (2001). Asking young people about sexual and
reproductive behaviours: Illustrative core instruments. Diperoleh pada 18 Oktober 2012
dari www.who.int/reproductivehealth/topics/.../sample_core_instruments.pdf
Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. (2011). Pemetaan sosial anak jalanan. Diperoleh pada 18
Oktober 2012 dari http://dissos.jabarprov.go.id/peta_anjal/
Fitrianti, H. N. (2012). Akses informasi anak jalanan di Depok. Skripsi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok
Handy, F. (2006). Profil perilaku seksual risiko tinggi pada anak jalanan usia 12-18 tahun di
lima rumah singgah di Jakarta dan faktor-faktor yang berhubungan. Tesis Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Hidayat, A. A. A. (2011). Metode penelitian kesehatan: Paradigma kuantitatif. Surabaya:
Health Books Publishing
Hockenberry, M. J. & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and children. St
Louis: Mosby Elsevier
Kemenkes RI. (2010). Pedoman umum perlindungan kesehatan anak berkebutuhan khusus.
Diperoleh
pada
18
Oktober
2012
dari
http://kesehatananak.depkes.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=catego
ry&download=2:pedoman-anak-khusus&id=1:pedoman&Itemid=44
Kementerian Sosial RI. (2009). Data penyandang masalah kesejahteraan sosial-PMKS tahun
2009.
Diperoleh
pada
28
Oktober
2012
dari
http://database.depsos.go.id/modules.php?name=Pmks2009&opsi=pmks2009-2
Li, A., et al. (2009). Sexual behavior and risk factors for HIV infection among homosexual
and bisexual men in Thailand. AIDS Behav, 13, 318–327. doi: 10.1007/s10461-008-94483
Lundy, K. S. & Janes, S. (2009). Community health nursing: Caring for the public’s health.
2nd ed. Sudbury: Jones and Barlett Publishers
Maurer, F. A. & Smith, C. M. (2005). Community/public health nursing practice: Helath for
families and populations. 3rd ed. St. Louis: Elsevier Saunders
Naidoo, J. & Wills, J. (2000). Health promotion: Foundation for practice. 2nd ed. London:
Harcourt Publishers Limited
Norris, G. A. (2000). The HIV/STD prevalence and risk behaviors of street children living in
the san Diego/Tijuana border region. University of California, Berkeley. ProQuest
Dissertations
and
Theses,
122-122
Diperoleh
pada
1
Mei
2013
dari
http://search.proquest.com/docview/304597805?accountid=17242. (304597805)
Polit, D. F. & Beck, C. T. (2008). Nursing research: Generating and assessing evidence for
nursing practice. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Raksanagara, A. (2000). Hubungan sumber informasi dengna tingkat pengetahuan anak
jalanan usia remaja mengenai penyakit aids di kota bandung tahun 1999. Tesis Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Sedyaningsih, E. R., Firdous, U., Yatim, F., Marjorie, D., & Holly, M. (2005). Prevelensi
infeksi menular seksual, faktor risiko dan perilaku di kalangan anak jalanan yang dibina
lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, tahun 2000. 33(3). 99-110. Diperoleh pada 18
Oktober 2012 dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/213
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. 12th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health |
Lippincott Williams & Wilkins.
Tan, J. Y., Medina, T. B. H., Warren, M. R., Carey, M. P., & Johnson, B. T. (2012). A metaanalysis of the efficacy of HIV/AIDS prevention interventions in Asia, 1995-2009. Social
Science & Medicine, 75, 676-687. doi: 10.1016/j.socscimed.2011.08.038
Towe, V. L., Hasan, S. U. Zafar, S. T., & Sherman, S. G. (2009). Street Life and Drug Risk
Behaviors Associated with Exchanging Sex Among Male Street Children in Lahore,
Pakistan.
Journal
of
Adolescent
Health,
44,
222–228.
doi:10.1016/j.jadohealth.2008.09.003
Wahyono, T. Y. M. & Oktarinda. (2002). Gambaran pengetahuan dan perilaku sehat anak
jalanan di Kotamadya Depok, 2002. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Keluarga
Sejahtera Universitas Indonesia, Depok.
WHO. (2000). Working with street children: Module 1 a profile of street children. Diperoleh
pada
28
Oktober
2012
dari
http://whqlibdoc.who.int/hq/2000/WHO_MSD_MDP_00.14_Module1.pdf
Wirastuti, R. (2003). Perilaku seksual pada anak jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan
Medan: Analisis survei untuk program dukungan dan pemberdayaan anak jalananan di
Perkotaan. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok
Wutoh, A. K., Kumoji, E. K., Xue, Z., Campusano, G., Wutoh, R. D., & Ofosu, J. R. (2006).
HIV knowledge and sexual risk behaviors of street children in Takordi, Ghana. AIDS and
Behavior, 10, 209-215. doi: 10.1007/s10461-005-9038-6
Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.
Download