Pengelolaan hayati tanah untuk meningkatkan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fauna Tanah
Organisme tanah atau disebut juga biota tanah merupakan semua makhluk
hidup, baik hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada dalam sistem tanah. Fauna tanah merupakan salah
satu makhluk hidup heterotrof yang hidupnya tergantung dari tersedianya
makhluk hidup produsen utama di dalam tanah (Richards, 1974). Fauna tanah
merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan
berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya interaksi tersebut
dapat mempengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan fauna tanah.
Fauna tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan
tanah maupun di dalam tanah. Kelompok hewan tanah sangat banyak dan
beraneka ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca,
Arthropoda hingga Vertebrata (Suin, 2006).
2.1.1. Klasifikasi Fauna Tanah
Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuh, kehadiran
dalam tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya (Suin, 2006).
a) Ukuran Tubuh
Sebuah klasifikasi umum mengkelaskan ukuran fauna tanah berdasarkan
panjang tubuhnya: mikrofauna, mesofauna, makrofauna dan megafauna.
Klasifikasi ini mencakup rentang ukuran dari yang terkecil sampai terbesar. Lebar
tubuh fauna itu berhubungan dengan mikrohabitatnya (Coleman et al., 2004).
Sistem klasifikasi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuhnya, menurut Van der
Drift (1951) dalam Widyastuti (2002), dibedakan menjadi mikrofauna (ukuran
tubuh <0,2 mm), mesofauna (ukuran tubuh 0,2 – 2 mm), makrofauna (ukuran
tubuh 2 – 20 mm) dan megafauna (ukuran tubuh >20 mm). Menurut Wallwork
(1970), kisaran ukuran tubuh fauna tanah cukup besar, membentang sekitar 20 μm
sampai lebih dari 200 mm, dapat dikategorikan menjadi:
4
(1) Mikrofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 20 μm sampai 200 μm. Hanya
ada satu kelompok pada kategori ini, yaitu Protozoa, meskipun ukuran terkecil
dari Tungau, Nematoda, Rotifera, Tardigrada dan Crustacea dapat
dimasukkan pada rentang ukuran tubuh ini.
(2) Mesofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 200 μm sampai 1 cm. Kelompok
Mikroarthropoda (Acari/tungau dan Collembola) adalah anggota penting
dalam grup ini yang juga meliputi Nematoda, Rotifera, Tardigrada serta
sebagian besar kelompok Araneida (laba-laba), Chelonethi (kalajengking),
Opiliones, Enchytraeidae, larva serangga, ukuran terkecil dari kaki seribu dan
Isopoda.
(3) Makrofauna, memiliki ukuran tubuh lebih dari 1 cm. Kategori ini meliputi
kelompok Lumbricidae, Mollusca, serangga, Arachnida yang berukuran besar
dan vertebrata kecil penghuni tanah.
b) Keberadaan dalam Tanah
Pengelompokan fauna tanah berdasarkan keberadaannya di dalam tanah
dibagi menjadi empat kategori, yaitu transient, temporary, periodic dan
permanent. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengelompokkan Fauna Tanah Berdasarkan Keberadaan di dalam Tanah
Kategori
Transient
Keterangan
Contoh Fauna
Fauna yang meletakkan telur dan Beberapa insekta
kepompongnya di dalam tanah, tetapi
ketika masuk tahap kehidupan yang aktif
tidak lagi berada di dalam tubuh tanah
Temporary
Awal kehidupan aktifnya berada di dalam Larva dari insekta
tanah, sedangkan kehidupan selanjutnya
berada di luar tanah
Periodic
Fauna yang sering sekali keluar masuk Beberapa insekta
tanah
Permanent
Seluruh siklus hidupnya berlangsung di Collembola, Acari
dalam tanah
Sumber: Hole (1981) dalam Ma'shum et al. (2003)
5
c) Habitat
Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai
epigeon, hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuhtumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan
euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).
d) Perilaku Makan
Beberapa fauna tanah merupakan herbivora, karena mereka memakan
langsung akar tanaman hidup, tetapi paling banyak yang memakan bahan tanaman
mati, mikroba yang berasosiasi dengan akar tanaman mati, atau kombinasi dari
keduanya. Fauna tanah lainnya adalah karnivora, parasit dan predator (Coleman et
al., 2004). Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan perilaku
makannya menjadi:
(1) Carnivore, yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae, kumbang
Staphylinidae, tungau Mesostigmata dan Prostigmata, laba-laba, kalajengking,
lipan, Nematoda serta Mollusca) dan binatang parasit (Ichneumonidae,
Diptera parasit dan Nematoda).
(2) Phytophagous, yaitu fauna pemakan tumbuhan (Mollusca dan larva
Lepidoptera), fauna pemakan akar tanaman (Nematoda parasit tanaman,
Symphylidae, larva Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Mollusca dan
Orthoptera pelubang) serta fauna pemakan kayu (rayap, larva kumbang dan
tungau Pthiracaroidae).
(3) Saprophagous, yaitu fauna pemakan tanaman mati dan bahan organik yang
busuk (Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Milipedes, tungau, Collembola
dan serangga). Beberapa dari mereka juga merupakan pemakan feses
(coprophages),
pemakan
kayu
(xylophages)
dan
pemakan
bangkai
(necrophages) yang seringkali disebut sebagai detritivor.
(4) Microphytic-feeders, yaitu fauna pemakan jamur, alga, lichens dan bakteri,
misalnya tungau Saprophagous, Collembola serta serangga pemakan fungi.
(5) Miscellaneous-feeders, yaitu fauna pemakan tanaman atau hewan, misalnya
Nematoda, tungau Cryptostigmata, Collembola, larva Diptera dan larva
Coleoptera.
6
2.1.2. Contoh Fauna Tanah Penting
a) Cacing
Cacing tanah merupakan fauna tanah yang umum dijumpai, salah satu
fauna tanah yang penting dan berpengaruh besar dalam sistem tanah. Fauna tanah
ini memiliki tubuh yang lunak, terdiri dari beberapa segmen dan rentang ukuran
tubuh yang luas, yaitu dari beberapa milimeter sampai 1 meter. Cacing tanah
memproduksi kotoran (kasting) yang berpengaruh bagi struktur tanah (Coleman et
al., 2004). Iswandi (1990) menyebutkan bahwa cacing tanah sangat sensitif
terhadap kemasaman tanah. Cacing tanah menyukai habitat yang lembab. Mereka
memerlukan bahan organik dan akan hidup baik di daerah yang dapat
menyediakan banyak bahan organik (Soepardi, 1983).
Menurut Richards (1974), cacing-cacing Oligochaeta kecil (Enchytraeid)
berwarna putih, sering hadir dalam tanah dengan jumlah yang sangat besar dan
tidak terdistribusi secara merata, melainkan membentuk kelompok-kelompok.
Enchytraeid sangat sensitif terhadap kekeringan dan paling banyak ditemukan
pada tanah di daerah beriklim basah. Jumlah Enchytraeid maksimum ditemukan
pada tanah masam dengan kandungan bahan organik yang tinggi, dimana
populasinya kemungkinan mencapai 105/m2.
b) Semut dan Rayap
Semut terdapat hampir di semua habitat, dimulai dari tempat yang lembab
sampai panas (Wallwork, 1970). Semut dan rayap merupakan serangga sosial
yang hidup secara berkoloni dan membentuk sarang atau gundukan tanah sebagai
tempat berlindung. Biasanya jumlah koloni dari serangga sosial ini terdiri dari
ratusan, ribuan sampai jutaan individu (Wallwork, 1982). Menurut Richards
(1974), rayap dapat dikelompokkan berdasarkan makanannya, yaitu rayap
pemakan kayu, pemakan humus atau perombak organik dan pemakan fungi.
Rayap dapat hidup pada habitat yang kering.
c) Coleoptera (kumbang)
Coleoptera merupakan salah satu dari insekta yang tinggal di dalam atau
di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa. Kebanyakan merupakan hewan kecil
predator, tetapi dapat juga memakan bahan-bahan tumbuhan, jamur, alga, kayu,
7
kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya
bervariasi. Beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah, sedangkan
yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa sentimenter serta
membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut
(Adianto, 1993).
d) Collembola dan Acari
Collembola hanya ada pada keadaan yang lembab, tetapi beberapa dari
mereka dapat tahan terhadap kekeringan sampai batas tertentu. Makanan
Collembola
sangat
bervariasi,
yaitu
bakteri,
jamur,
hifa
dan
spora,
mendekomposisi bahan organik, kotoran, tanaman serta hewan. Collembola tidak
berperan langsung dalam penyediaan nutrisi tanah, tetapi mereka aktif dalam
fragmentasi serasah tanaman dan dalam hal ini dapat berperan langsung terhadap
tanah (Richards, 1974). Collembola hidup pada habitat yang tersembunyi, seperti
reruntuhan daun, di bawah kulit kayu, kulit kayu yang membusuk dan pada jamur.
Collembola merupakan fauna tanah dengan persentase yang besar dan penting
dalam menghancurkan zat-zat organik dan mendorong kesuburan tanah. Acari
ditemukan di dalam tumpukan daun, di bawah kulit kayu, di bawah tanah serta
batu-batu (Borror et al., 1992).
Acari/tungau merupakan fauna tanah yang keberadaannya paling banyak
diantara fauna tanah lainnya. Acari terdiri dari empat jenis, yaitu: Prostigmata,
Mesostigmata, Astigmata dan Cryptostigmata. Anggota tungau Prostigmata dan
Mesostigmata biasanya aktif berkembang di dalam tanah dan beberapa
diantaranya bersifat predator. Beberapa tungau Cryptostigmata berukuran lebih
kecil, pergerakannya lambat dan bersifat detritivor. Tungau Astigmata tidak selalu
berada di dalam tanah (Richards, 1974).
2.2. Peranan Fauna Tanah
Wardle (2002) dalam Coleman et al. (2004) mengemukakan tiga tingkat
partisipasi fauna tanah terhadap proses terbentuknya tanah. Sebagai ˝perekayasa
ekosistem˝, seperti cacing tanah, rayap dan semut dapat mengubah struktur fisik
tanah serta mempengaruhi ketersediaan nutrisi dan aliran energi bagi organisme
8
lain. Sebagai ˝transformator serasah˝, seperti microarthropods, fragmen serasah
yang membusuk dapat meningkatkan ketersediaan mikroba. Sebagai ˝mikrojejaring makanan˝, termasuk kelompok mikroba dan mikrofauna predator
(Nematoda dan Protozoa). Ketiga tingkat partisipasi ini beroperasi pada ukuran,
tata ruang dan skala waktu yang berbeda.
Fauna tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui
penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas
penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah,
penyebaran mikroba dan perbaikan struktur agregat tanah. Walaupun pengaruhnya
terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak
langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya
proses dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat
meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan rasio C/N,
mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk
density serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah (Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008).
Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah
zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis
serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah.
Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan
dan makanan. Tanah diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih
mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuhtubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan
menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1992).
Biota tanah seperti Oligochaeta, Collembola dan Acari berperan dalam
dekomposisi bahan organik, distribusi hara, pencampuran tanah dan pembentukan
agregat tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang
dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, mempertebal tanah lapisan atas
dan meningkatkan ketersediaan hara (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Masuknya cacing tanah ke dalam tanah
mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah, yaitu meningkatkan
kandungan bahan organik, kandungan unsur hara tersedia dan kapasitas tukar
9
kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur
hara dan C-organik daripada tanah aslinya. Kotoran cacing berpengaruh terhadap
keragaman populasi mikroorganisme (Ma’shum et al., 2003). Pengaruh fauna
tanah terhadap sifat tanah dalam ekosistem dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah terhadap Sifat Tanah dalam Ekosistem
Fauna Tanah
Mikrofauna
Mesofauna
Makrofauna
Aktivitas
Mengatur populasi bakteri
dan fungi
Pengaruh terhadap Tanah
Mempengaruhi struktur agregat
tanah dan berinteraksi dengan
mikroflora
Perombakan unsur hara
Mengatur populasi fungi dan Menghasilkan fecal pellets
mikrofauna
Perombakan unsur hara
Menciptakan biopore
Menghancurkan sisa
Meningkatkan humifikasi
tanaman
Menghancurkan sisa
tanaman
Mencampurkan bahan organik
dan bahan mineral
Merangsang kegiatan
mikroorganisme
Penyebaran bahan organik dan
mikroorganisme
Menciptakan biopore
Meningkatkan humifikasi
Menghasilkan fecal pellets
Sumber: Hendrix et al. (1990) dalam Coleman et al. (2004)
2.3. Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah
Pengukuran aktivitas fauna tanah dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Litterbag dan Bait Lamina (feeding activity). Dalam mempelajari
pengaruh penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah, kualitas tanah dan siklus
hara serta peranan fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik di dalam
tanah, dapat digunakan metode Litterbag. Pendekatan metode ini berdasarkan
perbedaan ukuran tubuh fauna tanah dalam proses dekomposisi. Pendekatan ini
menunjukkan pentingnya peranan fauna tanah dalam dekomposisi bahan organik
antar lokasi. Litterbag memungkinkan untuk mengevaluasi peranan mikroflora
(Bakteri, Fungi dan Actinomycetes), mikrofauna (Protozoa dan Nematoda),
10
mesofauna (Collembola dan tungau) dan makrofauna (Arthropoda dan cacing)
dalam proses dekomposisi bahan organik (Killham, 1994).
Laju dekomposisi dipelajari dengan menggunakan litterbag yang terbuat
dari stainless-steel, berukuran 20 x 20 cm dengan ukuran mesh yang berbeda,
yaitu 0.038 mm, 0.25 mm dan 10 mm. Litterbag yang berukuran mesh 10 mm
melibatkan semua ukuran fauna tanah, mesh 0.25 mm tidak melibatkan
makrofauna dan mesh 0.038 mm tidak melibatkan mesofauna maupun
makrofauna (Widyastuti, 2002). Litterbag merupakan metode yang berharga
dalam mempelajari perbandingan laju dekomposisi. Litterbag yang berisi serasah
daun dan sejenisnya ditempatkan pada suatu lahan, kemudian litterbag tersebut
dikumpulkan pada suatu waktu dan dihitung sisa serasah yang ada dalam litterbag
(Coleman et al., 2004).
Untuk mengetahui kelimpahan, biomassa dan keanekaragaman fauna
tanah serta aktivitasnya di hutan, kebun dan sawah tadah hujan dapat juga
dievaluasi dengan menggunakan metode Bait lamina (Torne, 1990a dalam
Widyastuti, 2002). Bait lamina merupakan metode sederhana, tidak mahal dan
tidak memerlukan waktu yang lama dalam mengukur aktivitas fauna tanah. Bait
lamina terbuat dari lempengan plastik berukuran 120 x 6 x 1 mm, dengan
potongan runcing di ujungnya. Pada bagian bawah, terdapat 16 lubang
berdiameter 5.5 mm yang diisi dengan bahan-bahan campuran antara selulosa,
agar-agar, serbuk dedak dan sedikit karbon aktif. Bait lamina dimasukkan ke
dalam tanah selama 2 hari. Metode ini didesain untuk mengukur tingkat
dekomposisi bahan organik yang melibatkan fauna tanah. Aktivitas fauna tanah
dihitung dari banyaknya lubang yang kosong (sebagai lubang yang isinya sudah
dimakan) pada akhir waktu eksposisi (Widyastuti, 2006).
2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah
Aktivitas fauna tanah pada umumnya dipengaruhi oleh pH, kelembaban
dan suhu tanah, reproduksi dan metabolisme, kandungan bahan organik
(Wallwork, 1970) serta kehadiran pesaing, pemangsa dan struktur tanah
(Purwowidodo, 2005). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang
sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian
11
suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah.
Keberadaan dan kepadatan fauna tanah juga sangat tergantung pada pH tanah.
Fauna tanah ada yang dapat hidup pada tanah dengan pH masam dan ada pula
yang senang pada tanah yang pH nya basa (Suin, 2006).
Agroekosistem dengan pengolahan lahan yang secara fisik mempengaruhi
agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisme tanah. Pengaruh
penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan peningkatan
laju dekomposisi bahan organik yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota
tanah. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas organisme tanah
adalah ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks
tanah, kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah dan cahaya dalam tanah
(Makalew, 2001).
Tian et al. (1997) menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber
energi bagi fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan
menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat,
terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik. Fauna tanah berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau
pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur
tanah. Mikro flora dan fauna tanah saling berinteraksi karena bahan organik
menyediakan energi untuk tumbuh.
2.3.2. Dekomposisi Bahan Organik
Bahan organik adalah semua fraksi bukan mineral. Bahan organik
merupakan sisa tanaman dan binatang sebagian atau seluruhnya yang telah
mengalami dekomposisi oleh jasad mikro tanah (Soepardi, 1983). Kononova
(1966) menyatakan bahwa bahan organik adalah bagian dari tanah merupakan
sistem yang komplek dan dinamis, yang terus mengalami perubahan bentuk
karena dipengaruhi oleh faktor biologi, kimia dan fisika. Semakin banyak bahan
organik, makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah. Dekomposisi
bahan organik yang lebih cepat terjadi pada suhu tinggi menyebabkan penurunan
ketersediaan serasah.
12
Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang
sederhana oleh organisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah) atau sering
disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal
dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo
et al., 1991). Ma’shum et al. (2003) menyatakan proses dekomposisi bahan
organik di dalam tanah memiliki beberapa tahapan proses. Tahapan pertama
adalah tahap penghancuran bahan organik segar menjadi partikel yang berukuran
kecil-kecil yang dilakukan oleh cacing tanah dan makrofauna yang lain. Tahapan
selanjutnya yaitu tahapan transformasi, dimana pada tahap ini, sebagian senyawa
organik akan terurai dengan cepat, sebagian terurai dengan kecepatan sedang dan
bagian yang lain terurai secara lambat.
2.4. System of Rice Intensification (S.R.I.)
System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan suatu inovasi metode
dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa, tetapi secara bersamaan dapat
meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja, air dan investsi modal dalam
produksi padi sawah (Uphoff, 2008). Metode S.R.I. pertama kali ditemukan secara
tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie,
seorang Pastor asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani
di sana. Metode ini dalam bahasa Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture
Intensive disingkat S.R.I. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of
Rice Intensification (Mutakin, 2009).
Di Indonesia, teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian
dan Pengembangan Penelitian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau
tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan dengan hasil rata-rata
8,2 ton/ha. Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah
di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Hasil
penerapan budidaya padi S.R.I. di Kabupaten Garut dan Ciamis, menunjukkan
bahwa: (1) budidaya padi S.R.I. mampu meningkatkan hasil produksi dibanding
budidaya padi konvensional, (2) meningkatkan pendapatan, (3) terjadi efisiensi
13
produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial dan (4) pangsa harga pasar
produk lebih tinggi (Anugrah et al., 2008).
Berkelaar (2001) memaparkan penjelasan ilmiah secara singkat terkait
penerapan S.R.I., antara lain sebagai berikut: (1) Adanya proses fiksasi biologis
nitrogen. Bakteri-bakteri di dalam dan sekitar akar padi memiliki kemampuan
menyediakan dan menguraikan nitrogen untuk tanaman, tetapi potensi ini tidak
akan nyata bila penggunaan pupuk N kimia diteruskan atau kondisi tanah anaerob
dan tergenang. (2) Mempertahankan tanah agar tetap teraerasi, lembab dan tidak
tergenang, agar akar dapat bernafas. (3) Tranplantasi bibit muda untuk
mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal
serta menanam pada jarak tanam yang cukup lebar serta satu bibit per titik tanam
dapat mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar rumpun. (4)
Tanaman dengan akar yang bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di
dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit
muda yang punya banyak ruang dan oksigen.
Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan
keragaman organisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi. Pada
saat bersamaan, perakaran memberikan stimulus pada sitokinin segera membuat
formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman
(Agustamar dan Syarif, 2007). Agar bekerja efektif, organisme tanah yang
berkisar dari ukuran mikroskopis sampai makro, membutuhkan kondisi yang
mendukung untuk meningkatkan kelimpahan, keragaman dan aktivitasnya.
Aktivitas tersebut antara lain meliputi: memperbaiki struktur tanah, menjaga
kelembaban tanah, menjaga tingkat kesuburan dan dinamika sistem tanah serta
mempertahankan tingkat kondusif bahan organik, oksigen dan temperatur.
Kondisi lingkungan S.R.I. sangat mendukung keberadaan organisme tanah
tersebut (Uphoff, 2007).
Download