II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fauna Tanah Organisme tanah atau disebut juga biota tanah merupakan semua makhluk hidup, baik hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam sistem tanah. Fauna tanah merupakan salah satu makhluk hidup heterotrof yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen utama di dalam tanah (Richards, 1974). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan fauna tanah. Fauna tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beraneka ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda hingga Vertebrata (Suin, 2006). 2.1.1. Klasifikasi Fauna Tanah Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuh, kehadiran dalam tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya (Suin, 2006). a) Ukuran Tubuh Sebuah klasifikasi umum mengkelaskan ukuran fauna tanah berdasarkan panjang tubuhnya: mikrofauna, mesofauna, makrofauna dan megafauna. Klasifikasi ini mencakup rentang ukuran dari yang terkecil sampai terbesar. Lebar tubuh fauna itu berhubungan dengan mikrohabitatnya (Coleman et al., 2004). Sistem klasifikasi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuhnya, menurut Van der Drift (1951) dalam Widyastuti (2002), dibedakan menjadi mikrofauna (ukuran tubuh <0,2 mm), mesofauna (ukuran tubuh 0,2 – 2 mm), makrofauna (ukuran tubuh 2 – 20 mm) dan megafauna (ukuran tubuh >20 mm). Menurut Wallwork (1970), kisaran ukuran tubuh fauna tanah cukup besar, membentang sekitar 20 μm sampai lebih dari 200 mm, dapat dikategorikan menjadi: 4 (1) Mikrofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 20 μm sampai 200 μm. Hanya ada satu kelompok pada kategori ini, yaitu Protozoa, meskipun ukuran terkecil dari Tungau, Nematoda, Rotifera, Tardigrada dan Crustacea dapat dimasukkan pada rentang ukuran tubuh ini. (2) Mesofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 200 μm sampai 1 cm. Kelompok Mikroarthropoda (Acari/tungau dan Collembola) adalah anggota penting dalam grup ini yang juga meliputi Nematoda, Rotifera, Tardigrada serta sebagian besar kelompok Araneida (laba-laba), Chelonethi (kalajengking), Opiliones, Enchytraeidae, larva serangga, ukuran terkecil dari kaki seribu dan Isopoda. (3) Makrofauna, memiliki ukuran tubuh lebih dari 1 cm. Kategori ini meliputi kelompok Lumbricidae, Mollusca, serangga, Arachnida yang berukuran besar dan vertebrata kecil penghuni tanah. b) Keberadaan dalam Tanah Pengelompokan fauna tanah berdasarkan keberadaannya di dalam tanah dibagi menjadi empat kategori, yaitu transient, temporary, periodic dan permanent. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengelompokkan Fauna Tanah Berdasarkan Keberadaan di dalam Tanah Kategori Transient Keterangan Contoh Fauna Fauna yang meletakkan telur dan Beberapa insekta kepompongnya di dalam tanah, tetapi ketika masuk tahap kehidupan yang aktif tidak lagi berada di dalam tubuh tanah Temporary Awal kehidupan aktifnya berada di dalam Larva dari insekta tanah, sedangkan kehidupan selanjutnya berada di luar tanah Periodic Fauna yang sering sekali keluar masuk Beberapa insekta tanah Permanent Seluruh siklus hidupnya berlangsung di Collembola, Acari dalam tanah Sumber: Hole (1981) dalam Ma'shum et al. (2003) 5 c) Habitat Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuhtumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006). d) Perilaku Makan Beberapa fauna tanah merupakan herbivora, karena mereka memakan langsung akar tanaman hidup, tetapi paling banyak yang memakan bahan tanaman mati, mikroba yang berasosiasi dengan akar tanaman mati, atau kombinasi dari keduanya. Fauna tanah lainnya adalah karnivora, parasit dan predator (Coleman et al., 2004). Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan perilaku makannya menjadi: (1) Carnivore, yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae, kumbang Staphylinidae, tungau Mesostigmata dan Prostigmata, laba-laba, kalajengking, lipan, Nematoda serta Mollusca) dan binatang parasit (Ichneumonidae, Diptera parasit dan Nematoda). (2) Phytophagous, yaitu fauna pemakan tumbuhan (Mollusca dan larva Lepidoptera), fauna pemakan akar tanaman (Nematoda parasit tanaman, Symphylidae, larva Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Mollusca dan Orthoptera pelubang) serta fauna pemakan kayu (rayap, larva kumbang dan tungau Pthiracaroidae). (3) Saprophagous, yaitu fauna pemakan tanaman mati dan bahan organik yang busuk (Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Milipedes, tungau, Collembola dan serangga). Beberapa dari mereka juga merupakan pemakan feses (coprophages), pemakan kayu (xylophages) dan pemakan bangkai (necrophages) yang seringkali disebut sebagai detritivor. (4) Microphytic-feeders, yaitu fauna pemakan jamur, alga, lichens dan bakteri, misalnya tungau Saprophagous, Collembola serta serangga pemakan fungi. (5) Miscellaneous-feeders, yaitu fauna pemakan tanaman atau hewan, misalnya Nematoda, tungau Cryptostigmata, Collembola, larva Diptera dan larva Coleoptera. 6 2.1.2. Contoh Fauna Tanah Penting a) Cacing Cacing tanah merupakan fauna tanah yang umum dijumpai, salah satu fauna tanah yang penting dan berpengaruh besar dalam sistem tanah. Fauna tanah ini memiliki tubuh yang lunak, terdiri dari beberapa segmen dan rentang ukuran tubuh yang luas, yaitu dari beberapa milimeter sampai 1 meter. Cacing tanah memproduksi kotoran (kasting) yang berpengaruh bagi struktur tanah (Coleman et al., 2004). Iswandi (1990) menyebutkan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap kemasaman tanah. Cacing tanah menyukai habitat yang lembab. Mereka memerlukan bahan organik dan akan hidup baik di daerah yang dapat menyediakan banyak bahan organik (Soepardi, 1983). Menurut Richards (1974), cacing-cacing Oligochaeta kecil (Enchytraeid) berwarna putih, sering hadir dalam tanah dengan jumlah yang sangat besar dan tidak terdistribusi secara merata, melainkan membentuk kelompok-kelompok. Enchytraeid sangat sensitif terhadap kekeringan dan paling banyak ditemukan pada tanah di daerah beriklim basah. Jumlah Enchytraeid maksimum ditemukan pada tanah masam dengan kandungan bahan organik yang tinggi, dimana populasinya kemungkinan mencapai 105/m2. b) Semut dan Rayap Semut terdapat hampir di semua habitat, dimulai dari tempat yang lembab sampai panas (Wallwork, 1970). Semut dan rayap merupakan serangga sosial yang hidup secara berkoloni dan membentuk sarang atau gundukan tanah sebagai tempat berlindung. Biasanya jumlah koloni dari serangga sosial ini terdiri dari ratusan, ribuan sampai jutaan individu (Wallwork, 1982). Menurut Richards (1974), rayap dapat dikelompokkan berdasarkan makanannya, yaitu rayap pemakan kayu, pemakan humus atau perombak organik dan pemakan fungi. Rayap dapat hidup pada habitat yang kering. c) Coleoptera (kumbang) Coleoptera merupakan salah satu dari insekta yang tinggal di dalam atau di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa. Kebanyakan merupakan hewan kecil predator, tetapi dapat juga memakan bahan-bahan tumbuhan, jamur, alga, kayu, 7 kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya bervariasi. Beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah, sedangkan yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa sentimenter serta membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut (Adianto, 1993). d) Collembola dan Acari Collembola hanya ada pada keadaan yang lembab, tetapi beberapa dari mereka dapat tahan terhadap kekeringan sampai batas tertentu. Makanan Collembola sangat bervariasi, yaitu bakteri, jamur, hifa dan spora, mendekomposisi bahan organik, kotoran, tanaman serta hewan. Collembola tidak berperan langsung dalam penyediaan nutrisi tanah, tetapi mereka aktif dalam fragmentasi serasah tanaman dan dalam hal ini dapat berperan langsung terhadap tanah (Richards, 1974). Collembola hidup pada habitat yang tersembunyi, seperti reruntuhan daun, di bawah kulit kayu, kulit kayu yang membusuk dan pada jamur. Collembola merupakan fauna tanah dengan persentase yang besar dan penting dalam menghancurkan zat-zat organik dan mendorong kesuburan tanah. Acari ditemukan di dalam tumpukan daun, di bawah kulit kayu, di bawah tanah serta batu-batu (Borror et al., 1992). Acari/tungau merupakan fauna tanah yang keberadaannya paling banyak diantara fauna tanah lainnya. Acari terdiri dari empat jenis, yaitu: Prostigmata, Mesostigmata, Astigmata dan Cryptostigmata. Anggota tungau Prostigmata dan Mesostigmata biasanya aktif berkembang di dalam tanah dan beberapa diantaranya bersifat predator. Beberapa tungau Cryptostigmata berukuran lebih kecil, pergerakannya lambat dan bersifat detritivor. Tungau Astigmata tidak selalu berada di dalam tanah (Richards, 1974). 2.2. Peranan Fauna Tanah Wardle (2002) dalam Coleman et al. (2004) mengemukakan tiga tingkat partisipasi fauna tanah terhadap proses terbentuknya tanah. Sebagai ˝perekayasa ekosistem˝, seperti cacing tanah, rayap dan semut dapat mengubah struktur fisik tanah serta mempengaruhi ketersediaan nutrisi dan aliran energi bagi organisme 8 lain. Sebagai ˝transformator serasah˝, seperti microarthropods, fragmen serasah yang membusuk dapat meningkatkan ketersediaan mikroba. Sebagai ˝mikrojejaring makanan˝, termasuk kelompok mikroba dan mikrofauna predator (Nematoda dan Protozoa). Ketiga tingkat partisipasi ini beroperasi pada ukuran, tata ruang dan skala waktu yang berbeda. Fauna tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah, penyebaran mikroba dan perbaikan struktur agregat tanah. Walaupun pengaruhnya terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan rasio C/N, mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk density serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan makanan. Tanah diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuhtubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1992). Biota tanah seperti Oligochaeta, Collembola dan Acari berperan dalam dekomposisi bahan organik, distribusi hara, pencampuran tanah dan pembentukan agregat tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, mempertebal tanah lapisan atas dan meningkatkan ketersediaan hara (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Masuknya cacing tanah ke dalam tanah mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah, yaitu meningkatkan kandungan bahan organik, kandungan unsur hara tersedia dan kapasitas tukar 9 kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur hara dan C-organik daripada tanah aslinya. Kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman populasi mikroorganisme (Ma’shum et al., 2003). Pengaruh fauna tanah terhadap sifat tanah dalam ekosistem dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah terhadap Sifat Tanah dalam Ekosistem Fauna Tanah Mikrofauna Mesofauna Makrofauna Aktivitas Mengatur populasi bakteri dan fungi Pengaruh terhadap Tanah Mempengaruhi struktur agregat tanah dan berinteraksi dengan mikroflora Perombakan unsur hara Mengatur populasi fungi dan Menghasilkan fecal pellets mikrofauna Perombakan unsur hara Menciptakan biopore Menghancurkan sisa Meningkatkan humifikasi tanaman Menghancurkan sisa tanaman Mencampurkan bahan organik dan bahan mineral Merangsang kegiatan mikroorganisme Penyebaran bahan organik dan mikroorganisme Menciptakan biopore Meningkatkan humifikasi Menghasilkan fecal pellets Sumber: Hendrix et al. (1990) dalam Coleman et al. (2004) 2.3. Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah Pengukuran aktivitas fauna tanah dapat dilakukan dengan menggunakan metode Litterbag dan Bait Lamina (feeding activity). Dalam mempelajari pengaruh penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah, kualitas tanah dan siklus hara serta peranan fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik di dalam tanah, dapat digunakan metode Litterbag. Pendekatan metode ini berdasarkan perbedaan ukuran tubuh fauna tanah dalam proses dekomposisi. Pendekatan ini menunjukkan pentingnya peranan fauna tanah dalam dekomposisi bahan organik antar lokasi. Litterbag memungkinkan untuk mengevaluasi peranan mikroflora (Bakteri, Fungi dan Actinomycetes), mikrofauna (Protozoa dan Nematoda), 10 mesofauna (Collembola dan tungau) dan makrofauna (Arthropoda dan cacing) dalam proses dekomposisi bahan organik (Killham, 1994). Laju dekomposisi dipelajari dengan menggunakan litterbag yang terbuat dari stainless-steel, berukuran 20 x 20 cm dengan ukuran mesh yang berbeda, yaitu 0.038 mm, 0.25 mm dan 10 mm. Litterbag yang berukuran mesh 10 mm melibatkan semua ukuran fauna tanah, mesh 0.25 mm tidak melibatkan makrofauna dan mesh 0.038 mm tidak melibatkan mesofauna maupun makrofauna (Widyastuti, 2002). Litterbag merupakan metode yang berharga dalam mempelajari perbandingan laju dekomposisi. Litterbag yang berisi serasah daun dan sejenisnya ditempatkan pada suatu lahan, kemudian litterbag tersebut dikumpulkan pada suatu waktu dan dihitung sisa serasah yang ada dalam litterbag (Coleman et al., 2004). Untuk mengetahui kelimpahan, biomassa dan keanekaragaman fauna tanah serta aktivitasnya di hutan, kebun dan sawah tadah hujan dapat juga dievaluasi dengan menggunakan metode Bait lamina (Torne, 1990a dalam Widyastuti, 2002). Bait lamina merupakan metode sederhana, tidak mahal dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam mengukur aktivitas fauna tanah. Bait lamina terbuat dari lempengan plastik berukuran 120 x 6 x 1 mm, dengan potongan runcing di ujungnya. Pada bagian bawah, terdapat 16 lubang berdiameter 5.5 mm yang diisi dengan bahan-bahan campuran antara selulosa, agar-agar, serbuk dedak dan sedikit karbon aktif. Bait lamina dimasukkan ke dalam tanah selama 2 hari. Metode ini didesain untuk mengukur tingkat dekomposisi bahan organik yang melibatkan fauna tanah. Aktivitas fauna tanah dihitung dari banyaknya lubang yang kosong (sebagai lubang yang isinya sudah dimakan) pada akhir waktu eksposisi (Widyastuti, 2006). 2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah Aktivitas fauna tanah pada umumnya dipengaruhi oleh pH, kelembaban dan suhu tanah, reproduksi dan metabolisme, kandungan bahan organik (Wallwork, 1970) serta kehadiran pesaing, pemangsa dan struktur tanah (Purwowidodo, 2005). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian 11 suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Keberadaan dan kepadatan fauna tanah juga sangat tergantung pada pH tanah. Fauna tanah ada yang dapat hidup pada tanah dengan pH masam dan ada pula yang senang pada tanah yang pH nya basa (Suin, 2006). Agroekosistem dengan pengolahan lahan yang secara fisik mempengaruhi agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisme tanah. Pengaruh penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan peningkatan laju dekomposisi bahan organik yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas organisme tanah adalah ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks tanah, kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah dan cahaya dalam tanah (Makalew, 2001). Tian et al. (1997) menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber energi bagi fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Fauna tanah berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah. Mikro flora dan fauna tanah saling berinteraksi karena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh. 2.3.2. Dekomposisi Bahan Organik Bahan organik adalah semua fraksi bukan mineral. Bahan organik merupakan sisa tanaman dan binatang sebagian atau seluruhnya yang telah mengalami dekomposisi oleh jasad mikro tanah (Soepardi, 1983). Kononova (1966) menyatakan bahwa bahan organik adalah bagian dari tanah merupakan sistem yang komplek dan dinamis, yang terus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor biologi, kimia dan fisika. Semakin banyak bahan organik, makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah. Dekomposisi bahan organik yang lebih cepat terjadi pada suhu tinggi menyebabkan penurunan ketersediaan serasah. 12 Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh organisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo et al., 1991). Ma’shum et al. (2003) menyatakan proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah memiliki beberapa tahapan proses. Tahapan pertama adalah tahap penghancuran bahan organik segar menjadi partikel yang berukuran kecil-kecil yang dilakukan oleh cacing tanah dan makrofauna yang lain. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan transformasi, dimana pada tahap ini, sebagian senyawa organik akan terurai dengan cepat, sebagian terurai dengan kecepatan sedang dan bagian yang lain terurai secara lambat. 2.4. System of Rice Intensification (S.R.I.) System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan suatu inovasi metode dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa, tetapi secara bersamaan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja, air dan investsi modal dalam produksi padi sawah (Uphoff, 2008). Metode S.R.I. pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, seorang Pastor asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Metode ini dalam bahasa Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive disingkat S.R.I. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification (Mutakin, 2009). Di Indonesia, teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Penelitian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha. Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Hasil penerapan budidaya padi S.R.I. di Kabupaten Garut dan Ciamis, menunjukkan bahwa: (1) budidaya padi S.R.I. mampu meningkatkan hasil produksi dibanding budidaya padi konvensional, (2) meningkatkan pendapatan, (3) terjadi efisiensi 13 produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial dan (4) pangsa harga pasar produk lebih tinggi (Anugrah et al., 2008). Berkelaar (2001) memaparkan penjelasan ilmiah secara singkat terkait penerapan S.R.I., antara lain sebagai berikut: (1) Adanya proses fiksasi biologis nitrogen. Bakteri-bakteri di dalam dan sekitar akar padi memiliki kemampuan menyediakan dan menguraikan nitrogen untuk tanaman, tetapi potensi ini tidak akan nyata bila penggunaan pupuk N kimia diteruskan atau kondisi tanah anaerob dan tergenang. (2) Mempertahankan tanah agar tetap teraerasi, lembab dan tidak tergenang, agar akar dapat bernafas. (3) Tranplantasi bibit muda untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal serta menanam pada jarak tanam yang cukup lebar serta satu bibit per titik tanam dapat mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar rumpun. (4) Tanaman dengan akar yang bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen. Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan keragaman organisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi. Pada saat bersamaan, perakaran memberikan stimulus pada sitokinin segera membuat formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman (Agustamar dan Syarif, 2007). Agar bekerja efektif, organisme tanah yang berkisar dari ukuran mikroskopis sampai makro, membutuhkan kondisi yang mendukung untuk meningkatkan kelimpahan, keragaman dan aktivitasnya. Aktivitas tersebut antara lain meliputi: memperbaiki struktur tanah, menjaga kelembaban tanah, menjaga tingkat kesuburan dan dinamika sistem tanah serta mempertahankan tingkat kondusif bahan organik, oksigen dan temperatur. Kondisi lingkungan S.R.I. sangat mendukung keberadaan organisme tanah tersebut (Uphoff, 2007).