deskripsi kawasan

advertisement
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
BAB
DESKRIPSI KAWASAN
A. Risalah Wilayah KPH
1. Letak dan Luas
Secara geografis wilayah KPHP Model Pogogul terletak pada 120° 13’
26,87” - 120° 47’ 05,17” BT dan 00° 33’ 29,48” - 01° 12’ 52,27” LU. Wilayah
KPHP Model Pogogul secara administrasi termasuk ke dalam Kabupaten
Buol yang tersebar di 11 (sebelas) Kecamatan yaitu Kecamatan Lakea,
Kecamatan Bokat, Kecamatan Bukal, Kecamatan Bunobogu, Kecamatan
Gadung, Kecamatan Karamat, Kecamatan Lipunoto, Kecamatan Momunu,
Kecamatan Paleleh, Kecamatan Paleleh Barat, dan Kecamatan Tiloan.
Luas wilayah KPHP Model Pogogul berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.756/Menhut-II/2012 tanggal 26
Desember 2012 seluas ± 199.534 Ha. Merujuk pada peta lampiran SK
tersebut, wilayah KPHP Model Pogogul berada pada wilayah Kabupaten
Buol. Kedua berkas landasan hukum KPHP Model Pogogul ini tidak selaras,
karena konsideran SK menyatakan sebagai KPH kabupaten, tetapi peta
lampirannya mengisyaratkan sebagai KPH lintas.
Berdasarkan Laporan Penyiapan Penetapan Kelembagaan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Unit I, Kabupaten Buol Provinsi
Sulawesi Tengah (Anonim, 2012), disarankan bahwa wilayah KPHP Model
Pogogul yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Tolitoli dikeluarkan
dan digabung ke wilayah KPHP Unit II. Hal ini berdasarkan hasil analisis
SWOT
dengan
pertimbangan
utama
pada
efisiensi
dan
efektifitas
II-1
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
kelembagaan KPH. Dengan mempertimbangkan batas administrasi tersebut,
luas wilayah KPHP Model Pogogul setelah dideliniasi ulang adalah 190.520
Ha. Luas inilah yang digunakan dalam penyusunan Tata Hutan dan Rencana
Pengelolaan KPHP Model Pogogul. Senada dengan hal tersebut, perubahan
luas wilayah ini telah diusulkan Pemerintah Kabupaten Buol ke Menteri
Kehutanan
untuk
ditetapkan
melalui
Surat
Bupati
Buol
Nomor:
522.13/16.51/Dishut tanggal 31 Agustus 2013 (Surat Terlampir).
Seiring dengan ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor
SK.635/Menhut-II/2013
tanggal
24
September
2013
tentang
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan,
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan , dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan
Menjadi Kawasan Hutan di Propinsi Sulawesi Tengah, luas KPHP Model
Pogogul
setelah
disesuaikan
dengan
SK
Menhut
tersebut
menjadi
± 187.544,27 Ha.
Adapun rincian masing-masing unit diuraikan sbb.:Hutan Lindung (HL)
seluas 42,310.38 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 49,789.32 ha,
dan Hutan Produksi (HP) seluas 95,444.57 ha.Lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 2.1 berikut.:
Tabel 2.1 Fungsi Kawasan Hutan di Wilayah KPHP Model Pogogul
No.
Fungsi Hutan
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
Hutan Lindung (HL)
42.310,38
22,56
2
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
49.789,32
26,55
3
Hutan Produksi (HP)
95.444,57
50,89
Jumlah
187,544.27
100
Sumber: BPKH WilayahX VI Palu, 2013
2. Aksesibilitas Kawasan
Lokasi PHP Model Pogogul
di Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi
Tengah pada sebelas wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan
Lakea,
II-2
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Kecamatan Biau, Kecamatan Karamat, Kecamatan Momunu, Kecamatan
Tiloan,
Kecamatan Bokat, Kecamatan Bukal,
Kecamatan Bunobogu,
Kecamatan Gadung, Kecamatan Paleleh, dan Kecamatan Paleleh Barat.
Aksesibilitas Kawasan Wilayah KPHP Model Pogogul belum cukup
memadai sehingga arus transportasi antar desa dalam wilayah kecamatan
maupun dari dan menuju desa di kecamatan yang lainnya masih sulit. Di
samping itu sarana penunjang berupa jembatan juga belum memadai untuk
melintasi wilayah ini. Dengan demikian keterjangkauan wilayah KPHP belum
cukup memadai dijangkau hingga pada batas-batas luar kawasan hutan.
3. Batas-batas KPH
KPHP Model Pogogul, memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
 Sebelah utara: berbatasan dengan kawasan APL di wilayah Kecamatan
Paleleh s.d. Kecamatan Biu Kabupaten Buol.
 Sebelah timur: berbatasan dengan kawasan APL Desa Umu Kecamatan
Paleleh Kabupaten Buol.
 Sebelah selatan: berbatasan dengan KPHL Unit III Kabupaten Parigi
Moutong dan Provinsi Gorontalo.
 Sebelah barat: berbatasan dengan KPHP Unit II Kabupaten Tolitoli.
4. Sejarah Wilayah KPH
KPHP Unit I yang terletak di wilayah Kabupaten Buol dan Kabupaten
Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah terbentuk sesuai Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. SK.79/MENHUT-II/2010 Tanggal 10 Februari
2010 Tentang Penetapan Wilayah Pengelolaan KPHL dan KPHP Provinsi
Sulawesi Tengah.
II-3
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Berdasarkan sejarah pengelolaan hutan, wilayah KPHP Unit I pernah
dikelola oleh HPH PT. PT. Regasia Jaya Nusantara hingga awal tahun
1990-an seluas 71.700 Ha. Selanjutnya mulai tahun 2000 PT. Inhutani I
diserahi tugas oleh Departemen Kehutanan untuk melakukan rehabilitasi
dan pengamanan Eks HPH tersebut. Pada tahun 2000, PT. Inhutani I
memperoleh surat rekomendasi dari Bupati Kepala Dati II Buol Tolitoli No.
522/1296/Tapem tgl 1 Maret 2000 untuk ditetapkan sebagai areal HPH
PT Inhutani I.
5. Pembagian Blok Wilayah KPH
Sesuai dengan Permenhut Nomor P.6/Menhut-II/2010 serta mengacu
pada Peraturan Dirjen Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-WP3H/2012 serta
kondisi wilayah KPHP Model Pogogul secara garis besar, blok-blok
pengelolaan dibagi menjadi empat blok yaitu blok inti, blok perlindungan, blok
pemanfaatan dan blok pemberdayaan masyarakat. Blok yang direncanakan
adalah bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pengelolaan.Selanjutnya berdasarkan blok-blok
tersebut, dibagi lagi menjadi petak-petak pengelolaan.
Petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit
usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan atau
silvikultur yang sama. Dengan demikian, pembagian petak diarahkan sesuai
dengan peruntukan berdasarkan identifikasi lokasi dan potensi wilayah
tertentu, antara lain: (a).wilayah yang akan diberikan izin, dan (b).wilayah
untuk pemberdayaan masyarakat.
Memperhatikan kondisi kawasan KPHP Model Pogogul yang terbagi
atas tiga fungsi kawasan yaitu hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas
II-4
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
(HPT) dan hutan produksi tetap (HP) maka dalam penyusunan rencana
pengelolaan jangka panjang diarahkan pada pemanfaatan kawasan hutan,
penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, pemungutan
hasil hutan bukan kayu serta pemberdayaan masyarakat.
Wilayah KPHP Model Pogogul yang sebahagian kawasan menjadi
daerah tangkapan air bagi wilayah bawahannya berupa daerah irigasi
pertanian serta memperhatikan kepentingan masyarakat dan pembangunan
wilayah maka kawasan hutan lindung dengan luas 42.310,37 Ha dibagi
kedalam dua blok yaitu blok inti, dan blok pemanfaatan. Selanjutnya pada
kawasan hutan produksi (HPT dan HP) seluas 145.233,89 Ha dibagi kedalam
lima blok yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan kawasan, blok
pemanfaatan HHK-HA, blok pemanfaatan HHK-HT dan blok pemberdayaan
masyarakat. Adapun pembagian blok dan petak pengelolaan kawasan hutan
wilayah KPHP Model Pogogul disajikan pada peta penataan hutan.
Adapun blok/petak pengelolaan hutan diuraikan sbb.;
1. Blok inti pada hutan lindung: Blok ini dapat difungsikan sebagai
perlindungan tata air dan perlindungan lainnya. Penetapan blok inti
didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi HL ini sulit untuk
dimanfaatkan dan apabila dimanfaatkan akan membahayakan daerah
bawahannya.
2. Blok Perlindungan pada hutan produksi: Blok ini direkomendasikan untuk
perlindungan tata air dan perlindungan lainnya. Blok ini direncanakan pula
untuk tidak dimanfaatkan, kecuali untuk pemanfaatan jasa lingkungan
berupa pengelolaan jasa aliran air. Disamping itu, pertimbangan lain
penetapan blok perlindungan pada hutan produksi adalah untuk
II-5
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
memberikan kesempatan pada hutan alam dalam meregenerasi dirinya
secara alami dalam jangka waktu 10 tahun kedepan.
3. Blok Pemanfaatan pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Blok pemanfaatan pada hutan produksi diarahkan pada pemanfaatan hasil
hutan kayu dalam hutan tanaman (HHK-HT), pemanfaatan hasil hutan
kayu dalam hutan alam dalam bentuk/sistem restorasi ekosistem (HHKRE), pemanfaatan jasa lingkungan seperti wisata alam/hutan, jasa aliran
air, dan jasa karbon. Pada hutan lindung, pemanfaatan hutan diarahkan
pada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam (HHBK-HA)
seperti pemungutan rotan, getah, lebah madu, buah/biji.
4. Blok Pemberdayaan Masyarakat
Blok pemberdayaan masyarakat ini diarahkan pada pembangunan/
pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan
bukan kayu.
6. Pembagian Blok Pada Wilayah Tertentu
1. Blok Pemanfaatan pada Hutan Produksi
Penerapan pendekatan pemanfatan hasil hutan alam (HHK-HA) pada
hutan produksi diarahkan pada tutupan vegetasi hutan primer dan hutan
sekunder rapat sedangkan pemanfaatan hasil hutan dengan restorasi
ekosistem dalam hutan alam (HHK-RE) diarahkan pada tutupan vegetasi
hutan kerapatan rendah dan sedang pada hutan produksi. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memprakondisikan situasi sosial ke arah yang lebih
kondusif di sekitar wilayah KPH guna mencegah terjadinya konflik baru
antara pengelola KPH dengan masyarakat sekitarnya. Izin Usaha
II-6
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam
yang selanjutnya disebut IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan
untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang
memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan
keterwakilannya
pemulihan
melaluikegiatan
ekosistem
hutan
pemeliharaan,
perlindungan
termasukpenanaman,
dan
pengayaan,
penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora danfauna untuk
mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non
hayati(tanah, iklim dan topografi). Sedangakan Izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu Hutan Tanaman/Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat
IUPHHK-HT/HTI adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil
hutanberupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan,penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
2. Blok Pemanfaatan pada Hutan Lindung
Blok Pemanfaatan pada hutan lindung dimaksudkan dalam rangka
Penyelenggaraan usaha pemanfaatan jasa lingkungan serta Pemanfaatan
atau pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada hutan lindung. di
wilayah
KPHP
Model
Pogogul
pemanfaatan
jasa
lingkungan
dikelompokkan kedalam empat jenis, yaitu kelompok jenis jasa wisata
alam
(WA),
jenis
jasa
penyerapan/penyimpanan
aliran
karbon
air
(RAP-
(JAL),
dan
KARBON
jenis
jasa
dan/atau
PAN-
KARBON) serta area riset/penelitian habitat alamnya.
II-7
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
B. Potensi Wilayah KPH
1. Iklim
Wilayah KPHP Unit I dipengaruhi oleh dua musim yang tetap yakni
musim Barat dan musim Timur dengan iklim tropis. Dari hasil analisis Peta
Curah Hujan RTkRHL BPDAS Palu Poso Tahun 2009, curah hujan rata-rata
tahunan di wilayah KPHP Unit XVI berkisar 1.800 – 2.800 mm/tahun. Curah
dominan berkisar 2.000 - 2.600 mm/tahun.
Gambar 2.1. Peta Zonasi Curah Hujan di Wilayah KPHP Unit I
Dari hasil analisis data curah hujan dan hari hujan Kabupaten Buol
periode tahun 2002-2007 diketahui bahwa curah hujan rata-rata tahunan
mencapai 1.920,43 mm/thn. Jumlah bulan basah sebanyak 11 bulan dan
bulan kering 0 bulan. Dengan demikian tipe iklim berdasarkan klasifikasi
II-8
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Smith dan Ferguson adalah termasuk dalam tipe iklim A. Selanjutnya
berdasarkan data curah hujan Tahun 2007 diketahui jumlah hari hujan
sebanyak 126 hh atau rata-rata 10 hh. Rata-rata curah hujan selama tahun
2007 adalah 187 mm/bulan, yang mana curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan April (430 mm) dan terendah terjadi pada bulan September (45 mm).
Suhu udara maksimum rata-rata tertinggi di wilayah Buol dan
sekitarnya adalah 32,45 0C pada bulan Mei dan suhu udara minimum ratarata terendah adalah 23,53 0C dibulan Februari.
Kelembaban udara rata-rata bulanan juga bervariasi, tertinggi adalah
88,00% yang terjadi pada bulan September dengan kelembaban udara ratarata terendah sebesar 82,00% yang terjadi pada bulan Oktober.
5. Geologi, Tanah dan Geomorfologi
Geologi:
Berdasarkan peta Geologi Bersistem Indonesia skala 1:250.000,
wilayah Kabupaten Buol termasuk dalam Mendala Geologi Sulawesi Barat.
Dari sisi kompleksitas struktur geologi, bagian timur wilayah ini relatif lebih
terpengaruhi secara tektonik dibanding bagian baratnya. Di bagian timur,
sesar-sesar vertikal dengan dua arah utama yaitu tenggara-barat laut dan
timur laut-barat daya. Disamping itu, terdapat sesar-sesar dekstral di
Pegunungan Paleleh dan G. Tentalomatinan. Adapun bagian timur Buol,
gejala struktur relatif tidak dominan, hanya terdapat dua struktur utama, yaitu
sesar sungkup di barat Momunu dan sesar vertikal di sebelah barat Leok.
Struktur geologi lainnya yang dijumpai adalah lipatan antiklin dan kekar-kekar
yang banyak terdapat pada seluruh formasi batuan yang ada di wilayah ini.
II-9
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Secara regional, berdasarkan Peta Geologi dan Potensi Bahan Galian
Provinsi Sulawesi Tengah, skala 1 : 750.000 (Tahun 1995) satuan batuan
yang menyusun geologi Kabupaten Buol terdiri atas:
Formasi Tinombo: Litologi penyusun formasi ini berupa lava basal,
basal spilitan, lava andesit, breksi gunung api, batupasir wake, batulanau,
patupasir hijau, batugamping merah, batugamping kelabu dan batuan
termetamorfosa lemah. Di Kabupaten Buol satuan ini terdapat di bagian
selatan dengan arah memanjang relatif timur-barat relatif pada wilayah batas
dengan kabupaten lain. Umur formasi ini diduga Eosen-Oligosen, dengan
tebal formasi lebih dari 500 m.
Batuan Vulkanik: Batuan gunung api umumnya bersifat andesitik,
tersebar di banyak tempat namun tidak meluas. Ukuran kristal batuannya
umumnya halus. Juga terdapat batuan lain berupa lava, breksi andesit dan
basal. Sebarannya antara lain Momunu bagian barat dan selatan, sebelah
barat Leok dan sebelah selatan Bokat yang merupakan batas dengan
kabupaten/propinsi lain. Sebaran batuan ini masih meluas ke arah barat
(Tolitoli) dan menyebar luas di selatan (Parigi Moutong). Satuan ini
diperkirakan menjemari dengan Formasi Tinombo. Berumur Eosen Oligosen.
Diorit Bone: Merupakan batuan beku menengah, terdiri dari diorit,
diorit kwarsa, granodiorit dan andesit. Penyebaran batuan ini relatif sempit
setempat-setempat. Penyebaran terluas di Kabupaten Buol kurang dari 600
ha. Umur batuan diperkirakan Miosen Awal sampai Miosen Tengah.
Diorit Boliohuto: Terdiri dari diorit dan granodiorit dan tergolong dalam
jenis batuan beku dalam yang bersifat menengah sampai asam. Di
II-10
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Kabupaten Buol batuan ini hanya terdapat di sekitar G. Tentolomatinan
sebelah selatan Lokodako. Umur batuan adalah Miosen Tengah sampai
Miosen Atas.
Formasi Dolokapa: Litologi terdiri dari batupasir wake, batulanau,
batulumpur, kongtomerat, tufa, tufa lapili, aglomerat, breksi vulkanik dan lava
yang bersifat andesit serta basal. Penyebaran formasi ini relatif luas, relatif
memanjang dari sebelah selatan Momunu dan Mopu ke arah ke arah timur
laut sampai mencapai daerah Paleleh. Umur formasi adalah Miosen TengahMiosen Atas.
Breksi Wobudu: Merupakan batuan vulkanik, terdirl dari breksi
vulkanik, aglomerat, tufa, tufa lapili dan lava yang bersifat andesit sampai
basal. Penyebarannya di bagian selatan Bunobogu dan wilayah yang luas
sepanjang pegunungan Peleleh ke arah timur laut, yaitu G. Tentolomatinan
dan G. Boondalo. Umur batuan diperkirakan Pliosen.
Molase Celebes Sarasin dan Sarasin (Formasi Lokodidi): Formasi ini
terdiri dari konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung, batugamping
koral, tufa, serpih hitam dan napal. Sebagian batuan ini mengeras lemah,
terutama batugamping dan batulempung gampingan. Secara regional,
formasi ini tersebar tuas di Provinsi Sulawesi Tengah dan di wilayah
Kabupaten Buol formasi ini merupakan penyusun utama wilayah Bakat,
Momunu dan Mopu. Penyebaran setempat-setempat di Bunobogu, Taang,
Tunggulo dan Bungalon di pesisir pantai utara. Umur formasi ini adalah
Pliosen - Pleistosen.
Batugamping Terumbu: Batugamping koral merupakan penyusun
utama satuan batuan ini. Penyebaran terluas terdapat di pesisir utara Buol,
II-11
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
yaitu Monolipo, Busak, Mokupo, Leok, Kasenangan, Lamolan sampai ke
bagian utara Momunu. Penyebaran setempat-setempat dijumpai sepanjang
pantai dari Tamit sampai Paleleh. Umur formasi Pleistosen-Holosen.
Aluvium: Terdiri dari material pasir, lempung, lanau, lumpur, kerikil dan
kerakal. Endapan terluas terdapat di dataran Kota Buol yang melebar ke arah
Leok, Lamolan, Bokat dan Momunu terutarna dataran banjir S. Momunu.
Tebal satuan beberapa meter sampai puluhan meter.
Tanah:
Tanah adalah hasil alih rupa (transformasi) bahan mineral dan bahan
organik yang terjadi pada muka dataran dibawah pengaruh faktor-faktor
lingkungan yang berlangsung selama jangka waktu yang sangat panjang, dan
hasilnya itu berbentuk suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi tertentu
yang berbeda jelas dengan organisasi dan morfologi tubuh alam yang lain.
Tanah dan landscape terus mengalami perubahan, baik secara fisik,
kimiawi maupun biologis.
Disamping itu tanah dapat berfungsi sebagai
penerima, pengubah dan pancaran energi. Dalam proses pembentukannya
tanah disuatu daerah dipengaruhi oleh (1) bahan induk, (2) topografi, (3) iklim,
(4) organisme, dan waktu.
Komposisi dari masing-masing faktor tersebut
dapat menghasilkan jenis dan tingkat kesuburan tanah yang beragam.
Disamping faktor tersebut di atas, sifat-sifat tanah disuatu daerah
dipengaruhi oleh cara pengolahan dan pemanfaatannya. Tanah yang selalu
dimanfaatkan untuk lahan sawah umumnya menunjukkan ciri-ciri khusus,
seperti berwarna kelabu (gley). Keadaan ini diakibatkan oleh tidak
sempurnanya proses oksidasi reduksi tanah.
II-12
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Tanah-tanah di wilayah Kabupaten Buol terbentuk dari bahan induk
yang bervariasi, antara lain batu gamping, estuarim marine, napal, batu
karang, andesit, endapan, kipas aluvial, tuft, batu pasir, batu kapur, aluvium
muda, endapan sungai, campuran endapan muara dan endapan laut. Dengan
demikian tingkat perkembangan tanah yang ada di lapangan juga agak
bervariasi.
Pada daerah yang dilalui oleh jalur aliran sungai, tanah yang terbentuk
mempunyai tingkat perkembangan sedang (muda).
Hal itu erat kaitannya
dengan proses pengendapan bahan tanah yang terus berlangsung secara
berkala. Sedangkan pada daerah yang jauh dari sungai, terutama
diperbukitan atau didataran berombak, tingkat perkembangan daerah itu agak
lanjut, hal itu disebabkan oleh proses erosi dan tingkat pengolahan tanah
terus berlangsung.
Berdasarkan data FAO/UNESCO/Soil Survey Staff (1968), penyebaran
jenis di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah jenis tanah yang
ada berdasarkan sistem soil taksonomi (Soil Survei Staff USDA, 1999),
ditemukan tiga order utama tanah diantaranya adalah Entisols, Inceptisols,
dan Mollisols. Entisols menempati wilayah pesisir dengan variasi sifat-sifat
kimia tanah yang cukup beragam, sedangkan Inceptisols dan Mollisols
penyebarannya sempit dengan variasi sifat-sifat tanah yang relatif kecil.
Selanjutnya berdasarkan klasifikasi tanah LPT Bogor, jenis tanah yang
terdapat di wilayah DAS Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah
didominasi jenis Podsolik Merah Kuning, Litosol, Rendzina, Mediteran Merah
Kuning, dan Aluvial. Jenis tanah lainnya adalah Latosol, Hidromorf, dan
II-13
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Organosol (Sumber: Peta Lahan Kritis Kabupaten Buol, BPDAS Palu Poso,
Tahun 2009).
Geomorfologi:
Secara fisiograti, wilayah Kabupaten Buol berada di antara jajaran
vulkanik lengan utara (northern volcanic ranges) dengan wilayah pegunungan
bagian tengah (central mountains) dari Pulau Sulawesi. Morfologi wilayah ini
sebagian merupakan perbukitan dengan relief sedang, sebagian besar yang
berelief tinggi terutama pada bagian selatan. Sebagian lagi berelief rendah
yang umumnya berupa dataran alluvial dan menempati wilayah-wilayah
pesisir pantai, atau bagian utara Kabupaten Buol.
Wilayah bertopografi tinggi terdiri dari deretan perbukitan dan
pegunungan dengan puncak tertinggi lebih dari 2.000 m di atas permukaan
laut (dpl). Selain itu terdapat pula perbukitan yang sebagian berupa karst, ada
yang menjorok hingga ke batas garis pantai dengan elevasi antara 100 - 300
m, yaitu Tanjung Dako di Kecamatan Biau.
Beberapa pulau yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Buol
berupa pulau kecil dengan morfologi yang tidak rumit, diantaranya Pulau
Busak, Pulau Raja, Pulau Boki, Pulau Panjang dan Pulau Lesman di perairan
Laut Sulawesi.
Berdasarkan pada proses geologi, pengelompokan umum morfologi
laut dan daratan wilayah Kabupaten Buol, dapat dlbagi dalam:
1) Lereng/tebing depresi, menghubungkan daerah depresi yang dalam
dengan daerah paparan yang relatif dangkal. Pada beberapa bagian laut,
II-14
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
lereng yang terbentuk berupa tebing curam Karena proses subduksi.
Lereng depresi kedalamannya berkisar antara 10 - 200 meter.
2) Daerah paparan; dengan kedalaman kurang dari 200 m dengan lebar dari
pantai yang relatif bervariasi ditemui pada sepanjang dasar laut kabupaten
ini.
3) Dataran; terdiri dari:

Dataran kipas alluvial yang melereng landai, umumnya merupakan
lahan datar pesisir yang tersebar pada sebagian besar wilayah
terutama di wilayah Kecamatan Tiloan yang berakhir di wilayah
Kecamatan Lipunoto.

Dataran Lumpur antara pasang surut, tersebar pada luasan yang
sempit pada semua kecamatan yang ada.
Secara umum, sebagian dari satuan morfologi ini merupakan
permukiman yang sudah lama dibuka.
4). Perbukitan, terdiri dari:

Punggung bukit sedimen asimetrik tak terorientasi. Bentukan seperti ini
dijumpai dalam luasan yang sempit pada daerah perbukitan pesisir
bagian selatan sepanjang wilayah Kabupaten Buol

Perbukitan karst (kapur) di atas batu gamping coral Bentukan bukit
karst seperti ini dapat ditemui di wilayah Kecamatan Biau.

Deretan bukit sangat curam di atas batuan beku, dijumpai di bagian
barat dan timur Kabupaten Buol seperti pada Kecamatan Biau,
Kecamatan Tiloan dan Kecamatan Paleleh.
5). Pegunungan, terdiri dari:
II-15
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul

Punggung bukit sedimen asimetrik tertoreh melebar, sebarannya
dijumpai di sebagian wilayah kecamatan yang ada.

Punggung gunung metamorfik terorientasi terjal, dijumpai pada hampir
semua wilayah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Buol.
Satuan ini merupakan bagian terbesar morfologi yang terdapat di
wilayah Kabupaten Buol. Ketinggiannya berkisar 800 - 2.500 m dpl (G.
Malino). Wilayah-wilayah pegunungan yang termasuk dalam satuan ini
meliputi deretan Pegunungan Malino, G. Bangkalang dan G. Tetembu serta
G. Tentolomatinan di Pegunungan Paleleh.
Penyebaran morfologi lahan sesuai peta RTk-RHL DAS wilayah kerja
Palu Poso Tahun 2009 sesuai LMU-terseleksi diketahui terdapat sebanyak
tiga kelas yaitu kelas hilir (Hi), Tengah (Tg) dan Hulu (Hu). Untuk wilayah
Kabupaten Buol khususnya pada LMU-terseleksi diketahui sbb.: Morfologi
hulu menempati areal seluas 22.011,20 Ha, morfologi tengah menempati
areal seluas 11.932,07 Ha, dan morfologi hilir menempati areal seluas
808,05 Ha.
6. Topografi dan Lereng
Topografi
Kabupaten
Buol
terdiri
atas topografi
pegunungan,
perbukitan dan dataran. Topografi dataran menyebar pada seluruh wilayah
kecamatan, demikian pula topografi perbukitan. Untuk topografi pegunungan
dominan dijumpai di wilayah Kecamatan Biau, Tiloan, Bukal, Bunobogu,
Gadung, Paleleh barat dan Paleleh.
Berdasarkan kondisi topografi wilayah, Kabupaten Buol terbagi
menjadi tinggi bagian yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi
memanjang dari Timur ke
Barat
disepanjang deretan
pegunungan
II-16
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
perbatasan Provinsi Gorontalo, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten
Tolitoli. Sedangkan dataran rendah dapat dijumpai diseluruh wilayah
kecamatan. Ketinggian tempat berkisar antara 0 m – 2.394 m di atas
permukaan laut dimana titik terendah berada di tepian laut dan titik tertinggi
adalah G. Malino 2.394 m.dpl. di Kecamatan Tiloan.
Topografi di wilayah KPHP Unit I didominasi pegunungan dan
perbukitan. Adapun topografi dataran, berombak dan bergelombang hanya
dijumpai pada wilayah-wilayah sempit diantara perbukitan dan pegunungan.
Namun demikian wilayah dataran terluas di jumpai di kawasan hutan produksi
(HP dan HPT) DAS Buol, DAS Yango dan DAS Mayangato.
Wilayah KPHP Unit I merupakan daerah berbukit dan bergunung
terutama pada bagian tengah yang memanjang dari timur ke barat.
Sedangkan daerah dataran rendah ditemukan pada bagian utara wilayah
KPHP yang berbatasan dengan kawasan permukiman dan pertanian di APL.
Ketinggian wilayah berkisar antara 80 m – 2.071 m di atas permukaan laut.
Karena sebagian besar wilayah ini merupakan pegunungan maka
kemiringan lahan di wilayah KPHP unit I sangat beragam, mulai kelas lereng
datar hingga sangat curam. Namun demikian yang mendominasi wilayah
KPHP ini adalah kelas sangat curam.
II-17
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Gambar 2.2. Peta Kelas Lereng di Wilayah KPHP Unit I
7. Hidrologi dan DAS
Di wilayah KPHP Unit I terdapat dua DAS prioritas I yaitu DAS Kuala
besar, Lintidu, Bodi, Lantikadigo-mulat, Lonu, Bunobogu, Buol, Lakea,
Lakuan, dan Maraja. Sedangkan DAS lainnya termasuk dalam prioritas II dan
III.
Umumnya sungai-sungai utama di wilayah KPHP Unit I memiliki pola
aliran dendritik dan paralel yang seluruh sungai utama dan anak sungainya
mengalirkan air ke arah utara (Laut Sulawesi).
II-18
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Gambar 2.3. Peta DAS Prioritas di Wilayah KPHP Unit I
Air sungai di wilayah KPHP ini hanya sebahagian besar
diimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian.
Hamparan lahan sawah cukup luas terdapat di wilayah Kecamatan Biau,
Kecamatan Tiloan, Kecamatan Momunu, dan Kecamatan Paleleh. Pada
desa-desa lainnya umumnya air sungai dimanfaatkan penduduk untuk air,
mandi, dan mencuci.
Sungai-sungai penyumbang banjir dan sedimentasi terbesar di
wilayah KPHP ini adalah Sungai Buol.
5. Penutupan Vegetasi/Lahan
II-19
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Kondisi penutupan lahan/vegetasi di wilayah KPHP Unit I terdiri atas:
123,79 ha hutan mangrove primer, 0,06 Ha hutan mangrove sekunder,
145,399,99 Ha hutan primer, 41.852,59 ha hutan sekunder, 248,18
perkebunan, 3.709,96 pertanian lahan kering, 3.999,94 pertanian lahan kering
campur, 75,41 sawah, 4.149, 40 ha semak belukar, dan 16,79 ha tambak.
(Dishut Sulteng, 2011).
Gambar 2.4. Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHP Unit I
6. Potensi Kayu/Non-Kayu
KPHP Unit I adalah salah satu wilayah KPH di wilayah Provinsi
Sulawesi Tengah yang memiliki keanekaragaman hayati (flora dan fauna)
yang cukup tinggi. Di wilayah ini terdapat hutan pegunungan/hutan dataran
tinggi, hutan dataran rendah, yang kaya jenis-jenis vegetasi berkayu dan
vegetasi tak berkayu baik komersial dan non-komersial.
II-20
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
II-21
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Jenis-jenis flora yang cukup dikenal masyarakat bernilai komersial
tinggi di pasar Internasional maupun domestik, khususnya dari jenis kayu
adalah Kayu Meranti (Shorea spp.), Palapi (Herriteria sp.), Nyatoh (Palaqium
spp.), Rau (Dracontamelon mangiferum), Bintangur (Calophyllum soulatri),
Maraula (Diospyros macrophylla), Agatis/Damar (Agathis spp.), Matoa
(Pometia pinnata), Dao (Dracontamelon dao), Mangga hutan (Mangifera
foetida), Binuang (Octomeles sumatrana), dll.
Selanjutnya dari jenis flora
berupa jenis non-kayu adalah Rotan (Calamus spp.), Bambu (Bambusa spp.),
Aren (Arenga pinnata) dan jenis palma lainnya. Dari jenis flora tersebut
beberapa jenis yang dikategorikan sebagai jenis tanaman multiguna seperti
Agatis (penghasil kayu dan getah damar), Durian (penghasil kayu dan buah),
Aren (penghasil nira, ijuk, pati, lidi, buah), dsb.
Dari uraian jenis vegetasi di atas, nampak bahwa potensi hasil hutan
berupa kayu dan bukan kayu yang cukup tersedia di kawasan hutan produksi
dan hutan lindung dalam wilayah KPHP Unit XVI sbb.:
(a) Hasil hutan kayu yang bernilai komersial di wilayah ini antara lain; Palapi
(Heritiera sp), Nyatoh (Palaqium sp), Cempaka (Elmerillia sp), Agatis
(Agathis sp), Meranti (Shorea sp), dan Jabon (Antocephalus macrophylla).
(b) Hasil hutan bukan kayu: Rotan (Calamus sp), Bambu (Bambusa sp), dll.
(c) Hasil hutan serbaguna (MPTS): Agatis (kayu, getah damar), Aren (nira,
gula aren, ijuk, tepung aren, sayur), Durian (kayu, buah), Pangi (kayu,
buah), dll.
7. Keberadaan Flora dan Fauna Langka
Di wilayah KPHP Unit I terdapat beberapa jenis flora dan fauna langka,
tergolong endemik dan dilindungi.
II-22
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Jenis-jenis flora/tumbuhan yang bersifat endemik (punya persebaran
terbatas di Sulawesi) dan flora yang bersifat dilindungi. Beberapa jenis
diantara merupakan jenis flora langka, endemik dan dilindungi seperti
Casuarina oligodon subspec celebica, Myristica ultrabasica, Beilschmidia
gigantocarpa, Agathis celebica, Macadamia hildebrandii, Polyathia celebica,
Dinochloa barbata, Calamus zollingerii, Korthalsia celebica, Calamus ornatus
var. celebicus, Dillenia celebica, Myristica ultrabasica, Gymnocranthera
maliliensis, Gronophyllum microspadix(A), Deplancea bancana, Knema
celebica,
Timonius
minahasae,
Horsfieldia
costulata,
Beilschimidia
gigantocarpa dan lain-lain. Untuk jenis-jenis yang dilindungi diantaranya
adalah Pterospermum celebicum, Arenga pinnata dan lain-lain. Selanjutnya
ditambahkan bahwa terdapat beberapa jenis flora yang bersifat endemik
(distribusinya terbatas di Sulawesi saja) seperti
Casuarina oligodon
sbsp.celebica dan Mangifera minor serta beberapa bersifat dilindungi seperti
Cordea
subcordata,
Durio
zibethinus
(Dilindungi,
SK
Mentan
No.54/Kpts/Um/2/1972, dilarang melakukan penebangan pohon berdiameter
di bawah 40 cm.).
Jenis fauna langka dan endemik (jenis burung) yang terdapat di
wilayah KPHP Unit I, yaitu: Elang bondol, Burung madu sriganti, Cekakak
sungai, Elang hitam, Raja udang meninting, Serindit paruh merah, Kuntul
kecil dan Walet. Ditambahkan bahwa terdapat jenis-jenis satwa liar (Mamalia,
Reptilia dan Amphibia) baik yang bersifat endemik (penyebaran terbatas)
ataupun yang dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia sbb.: Anoa
dataran rendah (Bubbalus depresicornis), Yakis (Macaca tonkeana), Rusa
II-23
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
(Cervus timorensis), Kuskus (Ailurops ursinus), Kobra hitam (Ophiophagus
Hannah), dan Katak hijau (Rana cancrivora).
8. Erosi dan Kekritisan Lahan
Wilayah KPHP Unit I memiliki kondisi erosi dan tingkat kekritisan lahan
di setiap wilayah DAS yang ada.
Dari hasil analisis peta RTkRHL BPDAS Palu Poso Tahun 2009,
diketahui bahwa kondisi erosi di wilayah DAS KPHP Unit I didominasi kelas
erosi ringan.
280000
300000
320000
340000
360000
380000
400000
10160000
10160000
PETA KELAS EROSI WILAYAH KPHP UNIT I
KABUPATEN
BUOL DAN
TOLITOLI
KABUPATEN
BUOL
PROVINSI
SULAWESI
TENGAH
PROVINSI
SULAESI TENGAH
KETERANGAN:
Sangat Berat (SB)
Berat (B)
10140000
10140000
LAU T S U LA W E SI
# R
Ka ra ma t
#
Biau
S
Sedang (S)
Ringan (R)
Lip un oto
#
KA B UP ATE N
TO LITO L I
R
S
#
B
S #
Lam ad ong
#
Tiloan
Pa le leh B arat
#
Bo ka t
Bu nob ogu
#
Bu ka l
#
#
Ga du ng
# Pa le leh
S
B
R
KABUPATE N B UOL
R
R
10100000
10100000
10120000
10120000
R
R
PRO V IN SI G O RO NTA LO
Sumber:
Peta RTkRHL DAS BPDAS Palu
Poso, 2009.
10060000
10060000
10080000
10080000
R
KA B UP ATE N P A RIG I MO U TO NG
N
W
E
S
280000
300000
320000
340000
360000
30
380000
400000
0
30
60 Kilometers
Gambar 2.5. Peta Erosi di Wilayah KPHP Unit I
Dari peta erosi diketahui penyebaran tingkat erosi sedang s.d. sangat
berat. Kelas-kelas erosi tersebut dominan dijumpai di wilayah DAS
Kecamatan Momunu, Bunobogu, Gadung dan Paleleh.
II-24
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Selanjutnya kondisi tingkat kekritisan lahan di wilayah KPHP Unit I
terdiri atas kelas sangat kritis, kritis, agak kritis dan tidak kritis.
Gambar 2.6. Peta Kekritisan Lahan di Wilayah KPHP Unit I
Dari peta tingkat kekritisan lahan diketahui bahwa penyebaran kelas
lahan sangat kritis hingga agak kritis dominan dijumpai di wilayah DAS Kuala
Besar, Yango, Mayangato, Bunobogu, Lantikadigo-Mulat, Buol dan Lakuan.
Dari data RTkRHL BPDAS Palu Poso tahun 2009 diketahui luas lahan kritis
yang terdapat di wilayah KPHP unit I mencapai jumlah 2.819,02 Ha dengan
rincian, seluas 357,57 Ha berupa kelas kritis dan seluas 2.461,45 Ha berupa
lahan agak kritis.
II-25
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
9. Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Di wilayah KPHP Unit l ini terdapat areal kawasan hutan yang dapat
menjadi potensi dalam pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam.
Jasa lingkungan yang dapat dibina di kawasan tersebut adalah Peluang
pengembangan wisata alam pada kawasan hutan produksi di wilayah
Kecamatan Lipunoto tepat di Desa Kumaligon yaitu berupa sumber-sumber
mata air dari celah bebatuan kapur.
Selain itu dapat pula dikembangan jasa wisata alam pegunungan
Tabong-Kokobuka. Di wilayah hulu sungai Tabong terdapat gua yang
ditempati bersarang burung Walet.
C. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
1. Kependudukan
Secara administratif KPHP Unit I berada dalam wilayah Kecamatan
Biau, Karamat, Lipunoto, Bukal, Bokat, Bunobogu, Gadung, Paleleh Barat
dan Paleleh di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Adapun gambaran
secara spasial administrasi kecamatan tersebut disajikan pada Gambar 2.7
berikut.
II-26
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
280000
300000
320000
340000
360000
380000
400000
10160000
10160000
PETA BATAS ADMINISTRASI KECAMATAN WILAYAH KPHP UNIT I
KABUPATEN
BUOL DAN
TOLITOLI
KABUPATEN
BUOL
PROVINSI
SULAWESI
TENGAH
PROVINSI
SULAESI TENGAH
KETERANGAN:
Lipunoto (1)
Momunu (2)
Biau (3)
# 4
Ka ra ma t
#
Karamat (4)
10140000
10140000
LAU T S U LA W E SI
Tiloan (5)
Bukal (6)
Biau
Mom un u
#
Tiloan
#
#
Bo ka t
Pa le leh B arat
Bu nob ogu
#
Bu ka l
Bunobogu (8)
# Pa le leh
Gadung (9)
Paleleh Barat (10)
10
9
KABUPATE N B UOL
6
Paleleh (11)
11
8
6
Baolan (12)
10100000
10100000
12
Ga du ng
#
#
5
Bokat (7)
#
2
2
KA B UP ATE N
TO LITO L I
#
Lip un oto
10120000
10120000
1
3
3
7
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Jalan Raya
PRO V IN SI G O RO NTA LO
Sumber:
Peta RTkRHL DAS BPDAS Palu
Poso, 2009.
KA B UP ATE N P A RIG I MO U TO NG
#
Kota Kabupaten
#
Kota Kecamatan
10060000
10060000
10080000
10080000
5
N
W
E
S
280000
300000
320000
340000
360000
30
380000
0
400000
30
60 Kilometers
Gambar 2.7. Peta Administrasi Kecamatan di Wilayah KPHP Unit I
Selanjutnya sebaran jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada
tiga belas wilayah kecamatan di Kabupaten Buol disajikan pada Tabel 2.2
berikut.
II-27
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Tabel 2.2. Keadaan Penduduk Wilayah Kecamatan di KPHP Unit I
No.
1
A.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kecamatan
2
Kabupaten Buol
Biau
Kramat*)
Lipunoto
Momunu
Tiloan
Bokat
Bukal
Bonubogu
Gadung
Peleleh
Paleleh Barat*)
Jumlah A
Luas
Wilayah
(Km²)
3
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
4
361,65
16.630
217,80
400,40
1.437,70
196,10
355,52
327,15
160,38
586,87
20.283
12.954
7.450
11.831
11.875
8.287
10.650
15.161
4.043,57
5
Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/Km²)
6
3.698
12
4.623
2.988
1.961
2.852
2.956
1.826
2.371
7
14
8
14
13
8
9
3.621
17
26.896
102
Jumlah
KK
115.121
Sumber: Dianalisis Tahun 2012 dari Data BPS Kabupaten Buol, Tahun 2008-2010. *) masih menyatu kecamatan
induk. **) Luas kawasan hutan (HL dan HPT) dalam wilayah KPH = 68,13 km 2 dan tidak ada penduduk,
lokasi berada di wilayah perbatasan kabupaten Buol-Tolitoli.
Data pada Tabel 2.2 di atas, Kabupaten Buol memiliki jumlah
penduduk sebanyak 115.121 jiwa dan sebanyak 26.896 KK. Penduduk lakilaki sebanyak 58.348 jiwa dan perempuan 56.773 jiwa, sex rasio 103, ratarata penduduk per RT sebanyak 4 jiwa.
Hasil sensus penduduk BPS Kabupaten Buol tahun 2010 menunjukkan
bahwa pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir rata-rata 3,42%
pertahun dengan total penduduk mencapai 98.005 jiwa. Salah satu
pendorong tingginya pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang
cukup signifikan yang sebagian besar diantara mereka adalah pendatang
yang bekerja dan mencari nafkah di daerah ini serta transmigrasi umum.
Persebaran penduduk terbesar jumlahnya berada di Kecamatan Lipunoto
sebesar 17,62%, diikuti Kecamatan Biau dan Peleleh.
a. Tekanan Penduduk
Tekanan
penduduk
adalah
indeks
yang
dimaksudkan
untuk
menghitung dampak penduduk di lahan pertanian terhadap lahan tersebut.
makin
besar
jumlah
penduduk
makin
besar
pula
kebutuhan
akan
II-28
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
sumberdaya, sehingga
tekanan terhadap sumberdaya juga meningkat.
Dengan kualitas penduduk yang rendah, kenaikan tekanan terhadap
sumberdaya akan meningkat sebanding dengan kenaikan jumlah penduduk.
Salah satu permasalahan kependudukan adalah ledakan penduduk yang
akan dapat berakibat timbulnya permasalahan pemukiman, lapangan kerja,
pendidikan, pangan dan gizi, kesehatan dan mutu lingkungan. Selanjutnya,
tekanan
penduduk
(TP)
dihitung
menggunakan
rumus
sbb.:
(Otto
Soemarwoto, 1984).
fPo (1 + r)^t
TP = Z x
L
Keterangan:
Luas lahan minimal per petani untuk hidup layak = Z
Proporsi petani dalam populasi
=f
Jumlah penduduk (KK) pada waktu t=0
= Po
Tingkat pertumbuhan penduduk rerata pertahun = r
Rentang waktu yang diperhitungkan (5 tahun)
=t
Total luas wilayah lahan pertanian
=L
Hasil perhitungan tersebut diinterpretasikan sbb.:
 TP<1, lahan masih dapat menampung lebih banyak penduduk petani.
 TP>1, tekanan penduduk melebihi kapasitas lahan.
Dari hasil perhitungan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian,
diketahui bahwa tingkat tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di
sekitar wilayah KPHP Unit I berada pada angka TP>1). Untuk jelasnya
disajikan pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian di KPHP Unit I
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kecamatan
Biau/Kramat
Lipunoto
Momonu
Tiloan
Bokat
Bukal
Bonubogu
Gadung
Paleleh/Paleleh
Barat
Kabupaten
F
0.82
0.60
0.84
0.82
0.85
0.86
0.86
0.86
Po*)
3,698
4,623
2,988
1,961
2,852
2,956
1,826
2,371
Z
2
2
2
2
2
2
2
2
r
0.03420
0.03420
0.03420
0.03420
0.03420
0.03420
0.03420
0.03420
t
5
5
5
5
5
5
5
5
L
5,872.83
1,524.13
8,035.69
7,666.46
5,277.04
8,842.56
2,928.92
3,662.22
fPo
3,032
2,774
2,523
1,608
2,424
2,542
1,570
2,039
(1+r)^t
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
TP
0.61
4.31
0.74
0.50
1.09
0.68
1.27
1.32
0.86
3,621
2
0.03420
5
3,971.29
3,114
1.18
1.86
0.82
26,896
2
0.03420
5
47,781.14
22,038
1.18
1.09
Keterangan:*) Berdasarkan Jumlah KK. Dianalisis Tahun 2012 dari data BPS Kab. Buol Tahun 2008.
II-29
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Dari Tabel 2.3 di atas, nampak bahwa terdapat sebanyak lima wilayah
kecamatan di Kabupaten Buol memiliki nilai TP = 1,09. Hal ini berarti
besarnya jumlah penduduk untuk 5 tahun mendatang di Kabupaten Buol akan
melebihi kapasitas lahan pertanian yang ada, sehingga masyarakat
khususnya petani dalam 5 tahun akan datang dalam mengelola lahan
pertanian akan sulit untuk hidup layak (paling tidak dapat mampu
menghasilkan sebesar 640 Kg ekivalen beras per tahunnya). Kecamatan
dengan nilai TP>1 adalah Lipunoto, Bokat, Bonubogu, Gadung dan
Paleleh/Paleleh Barat. Untuk wilayah Kecamatan Lipunoto sebagai ibu kota
Kabupaten
secara
berangsur-angsur
beralih
kepada
non-usahatani
(perdagangan, jasa, dsb.).
b. Kegiatan Dasar Wilayah
Indeks kegiatan dasar wilayah digunakan untuk menentukan sektor
ekonomi yang paling berpengaruh terhadap penduduk di wilayah tertentu.
Rumus yang digunakan adalah sbb.:
LQi = (Mi/M)/(Ri/R)
Keterangan:
LQi = Koefisien lokasi
Mi = Jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalam sektor I pada satu wilayah
Pengembangan
M = Jumlah tenaga kerja yang ada di satu wilayah pengamatan tersebut
Ri = Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor i pada seluruh wilayah pengamatan
R = Jumlah tenaga kerja yang ada di seluruh wilayah pengamatan
R
= R1 + R2 + R3 .................+ Rn
LQi dapat bernilai < 1 atau > 1, misalnya apabila LQ untuk sektor pertanian ternyata >1
berarti sektor pertanian sangat penting dan masyarakat sangat tergantung pada sektor
tersebut.
Selanjutnya disajikan data hasil analisis nilai LQ pada masing-masing
wilayah kecamatan di wilayah KPHP Unit I seperti pada Tabel 2.4 berikut.
II-30
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Tabel 2.4. Perhitungan Nilai LQ di Wilayah KPHP Unit I
No.
Pertanian
Perdagangan
Pemerintahan
Jasa dan
Industri
3,032
91
126
449
Mi/M
0.82
0.025
0.03
0.12
Ri/R
LQ
0.80
1.02
2,774
0.60
0.80
0.75
2,523
0.84
0.80
1.05
1,608
0.82
0.80
1.02
2,424
0.85
0.80
1.06
2,542
0.86
0.80
1.07
1,570
0.86
0.80
1.07
2,039
0.86
0.80
1.07
3,114
0.86
0.80
1.07
21,627
1.02
0.04
0.58
555
0.120
0.04
2.84
95
0.032
0.04
0.76
43
0.022
0.04
0.52
73
0.026
0.04
0.60
79
0.027
0.04
0.63
47
0.026
0.04
0.61
61
0.026
0.04
0.61
93
0.026
0.04
0.61
1,138
0.86
0.05
0.73
462
0.10
0.05
2.14
139
0.05
0.05
0.99
67
0.03
0.05
0.73
97
0.03
0.05
0.73
101
0.03
0.05
0.73
62
0.03
0.05
0.73
81
0.03
0.05
0.73
123
0.03
0.05
0.73
1,257
0.91
0.11
1.14
832
0.18
0.11
1.68
231
0.08
0.11
0.72
243
0.12
0.11
1.16
258
0.09
0.11
0.85
234
0.08
0.11
0.74
146
0.08
0.11
0.75
190
0.08
0.11
0.75
290
0.08
0.11
0.75
2,874
0.95
Parameter
Kecamatan
1
Biau/Kramat
2
Lipunoto
Mi/M
Ri/R
LQ
3
Momunu
Mi/M
Ri/R
LQ
4
Tiloan
Mi/M
Ri/R
LQ
5
Bokat
Mi/M
Ri/R
LQ
6
Bukal
Mi/M
Ri/R
LQ
7
Bonubogu
Mi/M
Ri/R
LQ
8
Gadung
Mi/M
Ri/R
LQ
9
Paleleh/Paleleh Barat
Mi/M
Ri/R
LQ
Kabupaten Buol
LQ
Dari Tabel 3.4 di atas, nampak bahwa koefisien lokasi (LQ) masingmasing wilayah Kecamatan dalam wilayah kabupaten Buol cukup
bervariasi. Sesuai dengan kriteria nilai LQ (<1 atau >1), diketahui bahwa
penyebaran normal ketergantungan penduduk terhadap sektor tertentu
sangat variatif.
Di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah ternyata
sektor pertanian untuk 10 kecamatan dalam lima tahun kedepan masih
merupakan sektor penting karena termasuk kategori LQ >1 (lihat Tabel
2.4). Sedangkan 1 kecamatan lainnya sektor pertanian akan mengalami
II-31
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
pergeseran ke sektor lainnya karena nilai LQ < 1. Kecamatan yang
diperkirakan akan mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor
perdagangan, Industri dan Jasa adalah Kecamatan Lipunoto.
c. Matapencaharian dan Pendapatan
Matapencaharian
penduduk
yang
dimaksud
adalah
mata
pencaharian utama (penduduk usia produktif) yang merupakan sumber
penghidupan pokok penduduk, dimana dalam hal ini merupakan sumber
penghasilan penduduk minimal 50% dari keseluruhan penghasilan
mereka. Jadi dengan mengetahui mata pencaharian penduduk yang
bermukim pada satu wilayah akan memudahkan kita dalam mengetahui
tingkat pendapatannya.
Berdasarkan hasil analisis data dan informasi mata-pencaharian
yang diperoleh dari data BPS Kecamatan di Kabupaten Buol (KPHP Unit
I), diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencaharian Penduduk di
Wilayah KPHP Unit I
1
Biau/Kramat
3,032
91
126
Jasa dan
Industri,
dll.
449
2
Lipunoto
2,774
555
462
832
4,623
3
Momunu
2,523
95
139
231
2,988
4
Tiloan
1,608
43
67
243
1,961
5
Bokat
2,424
73
97
258
2,852
6
Bukal
2,542
79
101
234
2,956
7
Bonubogu
1,570
47
62
146
1,826
No.
Kecamatan
Petani dan
Nelayan
Pedagang
PNS/
Karyawan
Jumlah
(Org)
3,698
8
Gadung
2,039
61
81
190
2,371
Paleleh/Paleleh
9
3,114
93
123
290
3,621
Barat
Jumlah
21,627
1,138
1,257
2,874
26,896
Sumber: Diolah dari data BPS Kecamatan Kabupaten Buol Tahun 2008, diolah kembali Tahun
2012.
Dari Tabel 2.5 di atas, nampak bahwa jenis matapencaharian
penduduk di wilayah DAS dalam wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi
II-32
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Tengah
masih
didominasi
petani
dan
nelayan,
disusul
pegawai/
pedagang/industri dan jasa layanan lainnya.
Salah satu indikator kemakmuran atau kesejahteraan adalah besarnya
pendapatan masyarakat. Tinggi rendahnya pendapatan seseorang umumnya
dapat dilihat melalui jenis matapencaharian atau pekerjaannya. Dengan
melihat tingkat pendapatan masyarakat dapat diukur tingkat kesejahteraan
masyarakat tersebut. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara ekonomi ini
akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan non-ekonomi, yang antara
lain dapat ditunjukkan melalui kondisi bangunan rumah, perabotan rumah
tangga, kondisi pendidikan anggota keluarga dan lain sebagainya.
Gambaran mengenai pendapatan rumah tangga setiap bulan dapat
dicirikan menjadi dua kelompok sumber penghasilan, yaitu kelompok formal
dan kelompok informal (petani dan lain sebagainya). Untuk menghitung
pendapatan per tahun kelompok formal sangatlah mudah karena pendapatan
diperoleh secara rutin/tetap setiap bulan. Tetapi pendekatan pendapatan
rumah tangga bagi kelompok informal seperti petani, nelayan, jasa, pedagang
dan lain-lain sangatlah sulit. Hal ini dikarenakan pendapatan setiap bulan
untuk kelompok informal tidak tetap dan bersifat musiman.
Hasil usaha
mereka sering mengalami pasang surut, kadang-kadang berhasil, kadangkadang mengalami kegagalan karena pengaruh berbagai faktor, seperti
adanya serangan hama penyakit, harga hasil panen jatuh, sepinya para
konsumen dan lain-lain. Bagi penduduk daerah penelitian pada umumnya
petani ataupun pengusaha
lainnya
enggan
memperhitungkan
antara
penghasilan yang diperoleh dengan biaya pengeluaran proses produksi
ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
II-33
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Berikut ini dijelaskan kondisi matapencaharian dan pendapatan
penduduk di beberapa lokasi dalam wilayah kecamatan di wilayah Kabupaten
Buol sbb.:

Secara umum Matapencaharian penduduk di wilayah Kabupaten Buol
berdasarkan jumlah penduduk yang bekerja, sekitar ± 82% penduduk
berkerja pada lapangan usaha pertanian termasuk usaha perikanan.
Dengan demikian hanya sekitar 18% penduduk yang bekerja pada
sektor non-pertanian (perdagangan, pemerintahan, jasa dan industri).
Pada sektor pertanian umumnya masyarakat berusahatani sawah,
kelapa, kakao, dan nelayan.

Berdasarkan hasil survei, pada umumnya pola nafkah yang terjadi di
wilayah perdesaan adalah pola nafkah ganda dalam artian masyarakat
selain memiliki pekerjaan utama (pada umumnya petani kebun), juga
melakoni pekerjaan lain dalam rangka menambah pendapatan dalam
memenuhi kebutuhan rumahtangganya, antara lain sebagai peramu
hutan (pencari rotan) pada waktu-waktu tertentu
(ketika musim
panas). Tingkat pendapatan penduduk pada umumnya berkisar antara
0,5 – 1,5 juta rupiah/bulan untuk kepala keluarga, dan lebih kecil 0,25
juta rupiah/bulan untuk anggota keluarga. Tingkat pendapatan
penduduk
masih
didominasi
tingkat
pendapatan
0,5-1,5
juta
rupiah/bulan, disusul tingkat pendapatan <0,5 juta rupiah/bulan, dan
penduduk yang berpendapatan >1,5 juta rupiah/bulan.
d. Pendidikan
Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, peranan pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari rangkain proses peningkatan kualitas sumberdaya
II-34
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
manusia. Karena itu setiap warga negara di Republik ini berhak mendapatkan
pendidikan yang layak sebagai bekal dalam mempertahankan hidupnya, serta
modal investasi manusia bagi kepentingan pembangunan Nasional. Namun
demikian tidak semua warga negara di Republik ini sempat memasuki bangku
sekolah dasar (sekolah formal) karena ketidakmampuan orang tua dalam
menyekolah-kan anak-anaknya. Banyak anak-anak di daerah pedesaan
bahkan di daerah perkotaan tidak dapat melanjutnya sekolahnya ke jenjang
yang lebih tinggi misalanya sekolah lanjutan pertama dan lanjutan atas, lebihlebih ke perguruan tinggi. Akibatnya banyak masyarakat terutama di daerah
pedesaan hanya sampai tingkat sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah
dasar. Kondisi seperti ini juga banyak dijumpai di wilayah Sulawesi Tengah.
Keadaan pendidikan masyarakat di wilayah Kabupaten Buol Provinsi
Sulawesi Tengah terutama di daerah pedesaan umumnya didominasi tingkat
sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah dasar. Umumnya desa-desa di
wilayah ini tingkat pendidikan masyarakat dengan prosentase tertinggi adalah
berpendidikan sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD yakni berkisar 61,09%,
diikuti berpendidikan SLTP dan SLTA berkisar 37,87%, dan Perguruan Tinggi
berkisar 1,04% dari jumlah kepala keluarga penduduk yang ada pada empat
kecamatan sampel (Momunu, Bokat, Bukal dan Tiloan). (Dokumen Rencana
KTM Air Terang Tahun 2006).
Kondisi pendidikan masyarakat seperti dijelaskan di atas tentunya
akan berpengaruh langsung dalam melakukan pembinaan masyarakat serta
input teknologi dan manajemen di daerah pedesaan. Daya serap ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan kepada masyarakat akan
terkendala oleh rendahnya tingkat pendidikan.
II-35
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Dari gambaran tingkat pendidikan penduduk seperti diuraikan di atas,
yang umumnya masih banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan tingkat
pendidikan dominan Sekolah Dasar (SD) bahkan tidak tamat SD akan sangat
berpengaruh dalam rangka input teknologi. Penduduk yang berpendidikan
tinggi relatif lebih mudah dalam mengadopsi teknologi baru dan lebih dinamis.
Tingginya tingkat pendidikan sangat terkait dengan daya nalar dalam
menerima penyuluhan, sebaliknya penduduk yang berpendidikan lebih
rendah relatif lambat dalam mengadopsi teknologi baru serta bersifat statis.
Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah banyak penduduk yang
berhasil, tetapi cukup banyak yang kurang berhasil bahkan mengalami
kerugian.
Pendidikan
formal
memegang
peranan
penting
dalam
usaha
menaikkan produktivitas, terutama pada saat penyuluh lapangan pertanian/
kehutanan memperkenalkan teknologi baru.
Sebuah sistem pertanian yang berada pada static technology,
mengakibatkan pendidikan yang berada di daerah perdesaan hanya
berdampak kecil terhadap upaya peningkatan produktivitas. Penduduk petani
beserta keluarganya yang selama beberapa keturunan hidup di lingkungan,
sumber daya, serta teknologi yang sama telah mempunyai pengalaman
banyak tentang segala sesuatu yang diperoleh dari lingkungannya. Anakanak memperoleh pengetahuan dari orang tua dan sekolah-sekolah formal
mempunyai nilai ekonomis rendah dalam kegiatan produksi pertanian. Begitu
teknologi baru tersedia, maka situasi akan berubah, karena teknologi baru
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru (input baru, alat baru,
pengetahuan tentang pasar, dan lain-lainnya). Untuk keperluan semua itu,
II-36
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
diperlukan institusi (kelembagaan) yang mampu mendukung transfer
teknologi baru. Dengan demikian, pendidikan formal diperlukan bagi pelaku
kegiatan kelola hutan dimasa mendatang untuk mengantisipasi teknologi baru
yang dapat meningkatkan produktivitas.
2. Luas Pemilikan Lahan
Dari data hasil analisis data spasial dan hasil pengumpulan data di
lapangan diketahui bahwa keluarga yang bermukim di wilayah kecamatan
Kabupaten Buol (KPHP Unit I) mempunyai lahan garapan rerata < 2 Ha per
KK (1,96 Ha/KK). Untuk jelasnya dilihat pada Tabel 2.6 berikut.
Tabel 2.6. Luas Ketersediaan Lahan Garapan Terhadap Jumlah Penduduk di
Wilayah KPHP Unit I Kabupaten Buol
No.
Kecamatan
Luas Lahan
Garapan (Ha)
5,872.83
Jumlah
KK
3,698
Luas Lahan Garapan
Ha/KK
1.59
1
Biau/Kramat
2
Lipunoto
1,524.13
4,623
0.33
3
Momonu
8,035.69
2,988
2.69
4
Tiloan
7,666.46
1,961
3.91
5
Bokat
5,277.04
2,852
1.85
6
Bukal
8,842.56
2,956
2.99
7
Bonubogu
2,928.92
1,826
1.60
8
Gadung
3,662.22
2,371
1.54
9
Paleleh/paleleh Barat
3,971.29
3,621
1.10
Kabupaten Buol
47,781.14
26,896
Sumber: Data BPS Kabupaten Buol Tahun 2008, diolah kembali Tahun 2012.
1.96
Berdasarkan data pada Tabel 2.6 dapat diketahui bahwa pemilikan
lahan di wilayah kecamatan dalam Kabupaten Buol (KPHP Unit I) bervariasi
dari 0,33 Ha/KK hingga 3,91 Ha/KK. Jika dilihat dari rerata keseluruhan
wilayah DAS dalam Kabupaten Buol, secara umum luas lahan garapan per
KK (1,96 Ha/KK). Wilayah Kecamatan dengan luas garapan sempit adalah
Kecamatan Lipunoto (0,33 Ha/KK) dan terluas adalah Kecamatan Tiloan
(3,91 Ha/KK).
II-37
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Memperhatikan kondisi lahan garapan seperti diuraikan di atas,
terhadap kepala keluarga (KK) yang lahan garapan yang masih relatif luas
(>2 Ha) perlu diupayakan adanya usaha intensifikasi dan diversifikasi lahan
usahatani, sedangkan penduduk yang lahan garapannya (<2 Ha) dapat
dilibatkan dalam kelola hutan di wilayah KPHP.
Namun demikian terdapat beberapa wilayah Kecamatan yang
diperkirakan tidak memungkinkan lagi untuk pengembangan lahan garapan
usaha tani yakni Kecamatan Lipunoto mengingat wilayah adalah Ibu Kota
Kabupaten Buol yang kecenderungan kegiatan usaha penduduk akan beralih
kepada usaha non-pertanian..
3. Keadaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja atau angkatan kerja yang dimaksud adalah setiap
penduduk yang berusia antara 15-64 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Klasifikasi umur tersebut dikategorikan sebagai angkatan kerja produktif.
Sedang yang berumur di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun dikategorikan
sebagai angkatan kerja tidak produktif. Karena keadaan tersebut berada
dalam satu wilayah, maka tenaga kerja tidak produktif secara konsumtif
menjadi beban tanggungan tenaga kerja produktif untuk menopang
kehidupannya.
Angka ketergantungan penduduk yang berusia non-produktif terhadap
penduduk usia produktif di sekitar wilayah KPHP Unit I yakni sebesar 79%,
yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun)
menanggung sebanyak 79 orang penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun
dan 65 tahun ke atas).
II-38
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
4. Tingkat Upah
Upah tenaga kerja terdiri atas upah harian dan atau bulanan. Informasi
tentang besarnya upah, harga barang dan bahan setempat sangat diperlukan
dalam
perhitungan
pembiayaan
kegiatan.
Besarnya
biaya
tersebut
menggunakan HSPK yang berlaku di masing-masing daerah atau yang telah
ditetapkan oleh Bupati.
Upah tenaga kerja/upah harian yang berlaku saat ini di wilayah
Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli secara umum berkisar antara Rp.
35.000.- s.d. Rp. 50.000.- per hari.
5. Sarana dan Prasarana Perekonomian
Keberadaan sarana dan prasarana perekonomian di wilayah KPHP
Unit I bertujuan untuk menunjang kelancaran kegiatan ekonomi.
Adapun
kondisi sarana dan prasarana perekonomian disajikan pada Tabel 2.7 berikut.
Tabel 2.7. Jenis dan Jumlah Sarana dan Prasarana Perekonomian di Wilayah
KPHP Unit I
No
Kecamtan
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
2
Biau
Kramat*)
Lipunoto
Momonu
Tiloan
Bokat
Bukal
Bonubogu
Gadung
Paleleh
Paleleh Barat*)
Jenis Sarana dan Prasarana Perekonomian (buah)
Koperasi
Bank Swasta
BPD
BPR
Bank Pemerintah
primer
3
4
5
6
7
1
5
1
2
61
12
9
9
11
6
12
1
14
-
Sumber: BPS Kabupaten Buol Tahun 2006-2009, diolah kembali tahun 2012. *) Data masih menyatu dengan
kecamatan induk.
Data pada Tabel 2.7 terlihat jenis sarana dan prasarana perekonomian
untuk menunjang kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari di wilayah kecamatan yang meliputi; jenis
II-39
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
dan jumlah perbankan, jenis dan jumlah koperasi. Selain itu terdapat pasar
tradisional, toko, warung dan kios.
6. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan di wilayah KPHP Unit I, di setiap
kecamatan telah tersedia, seperti pukesmas dan puskemas pembantu. Untuk
di Kecamatan Lipunoto sebagai ibu kota kabupaten disamping tersedia
puskemas juga tersedia rumah sakit.
7. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan di wilayah KPHP Unit I, di setiap
kecamatan telah tersedia sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Untuk
di ibu Kota Kabupaten terdapat Perguruan Tinggi Swasta.
8. Lembaga Formal dan Informal
Desa-desa dan kelurahan di dalam dan sekitar wilayah KPHP Unit I
semuanya telah mempunyai lembaga masyarakat, baik yang bersifat formal
maupun yang non-formal sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, antara lain Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
dan BPD. Selain itu, juga terdapat lembaga informal yang merupakan
Lembaga/Badan/Organisasi yang dibentuk berdasarkan inisiatif kelompok/
warga masyarakat tertentu dengan dana warga masyarakat bersangkutan,
seperti kelompok tani, lembaga adat dan lainnya.
Kelembagaan kelompok tani hutan yang berkaitan kegiatan RHL di
wilayah Kabupaten Buol meliputi; kelompok tani hutan untuk kegiatan
Reboisasi, Hutan Rakyat (HR), dan kegiatan RHL lainnya. Setiap kegiatan
II-40
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
RHL di wilayah Kabupaten Buol dibentuk kelompok tani hutan. Struktur
organisasi kelompok tani hutan terdiri atas; Ketua, Sekertaris dan Anggota.
Kapasitas organisasi/SDM kelompok tani hutan (KTH) cukup baik,
karena pada saat pelaksanaan kegiatan RHL dilakukan pelatihan dan
pendampingan (teknis dan kelembagaan). Pelatihan dilaksanakan oleh Dinas
terkait, sedangkan pendampingan teknis dilaksanakan oleh Penyuluh
Kehutanan, dan pendampingan kelembagaan dilaksanakan oleh LSM.
Kelembagaan kelompok tani hutan umumnya telah memperoleh legalitas dari
Kepala Desa setempat.
Dari data BPDAS Palu Poso Tahun 2009, di wilayah Kabupaten Buol
sampai dengan Tahun 2008 terdapat sebanyak 57 kelompok tani hutan
dengan jumlah peserta sebanyak 2.210 orang yang tersebar pada 45
desa/kelurahan dalam sebelas wilayah kecamatan. Kelompok tani hutan
dimaksud adalah kelompok tani pada kegiatan RHL (Gerhan, DAK dan MDM)
dengan luas areal sasaran 2.063 Ha. Untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2.8
berikut.
Tabel 2.8. Data Kelompok Tani RHL dalam Wilayah BPDAS Palu Poso di Kabupaten
Buol
No.
1.
2.
Kecamatan
Bunobogu
Desa/
Kelurahan
Jumlah
Kelompok
(Bh)
Jumlah
Anggota
(org)
Jumlah
Luas
(Ha)
Jenis Kegiatan
Domag
1
49
50
Gerhan
Nonu
2
124
124
Gerhan
Ponipingan
2
50
35
Gerhan
Labuton
1
123
100
DAK
Lokodoka
2
70
60
Gerhan
Taat
1
17
10
Gerhan
Rupu Bogu
1
25
25
Gerhan
Diapatih
1
25
25
Gerhan
Lokodidih
1
25
25
Gerhan
Gadung
II-41
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Lanjutan Tabel 2.8.
No.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kecamatan
Desa/
Kelurahan
Jumlah
Kelompok
(Bh)
Jumlah
Anggota
(org)
Jumlah
Luas
(Ha)
Jenis Kegiatan
Petangoan
1
65
50
DAK
Mooyong
2
78
78
Gerhan
Mopu
3
171
175
DAK, Gerhan
Bungkudu
1
25
25
Gerhan
Momunu
1
25
25
Gerhan
Lamadong
1
50
50
Gerhan
Puji Mulyo
1
52
50
Gerhan
Pinamula
2
50
50
MDM
Potugu
1
25
25
Gerhan
Busak II
1
45
50
DAK
Lakea I
3
74
60
DAK, Gerhan
Lamakan
1
58
50
Gerhan
Tualan
1
50
50
Gerhan
Mondaan
2
40
35
Gerhan
Lakuan Buol
1
25
25
Gerhan
Bodi
2
59
50
DAK, Gerhan
Harmoni
1
16
10
Gerhan
Tolau
1
50
50
Gerhan
Molangato
1
35
50
MDM
Pikopo
1
50
50
DAK
Kodolagon
1
50
50
Gerhan
Doulan
1
50
50
Gerhan
Negeri Lama
1
25
5
Gerhan
Kantanan
1
25
5
Gerhan
Bongo
1
50
50
Gerhan
Bukamog
1
53
50
Gerhan
Tang
1
50
50
Gerhan
Bokat IV
1
50
50
Gerhan
Air Terang
1
50
50
Gerhan
Maniala
1
50
50
Gerhan
Jatimulya
1
25
25
Gerhan
Boilan
1
50
50
Gerhan
Kel. Leok I
2
85
80
Gerhan
Kumaligen
1
15
10
Gerhan
Kampung Bugis
1
15
10
Gerhan
Kel. Kali
1
16
16
Gerhan
57
2,210
2,063
Bukal
Momunu
Biau/Kramat
Paleleh/Paleleh
Barat
Bokat
Tiloan
Lipunoto
Jumlah
Sumber: BPDAS Palu Poso Tahun 2009.
II-42
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
9. Perambahan Hutan
Informasi/data perambahan hutan suatu kawasan hutan sangat
diperlukan untuk menentukan perlakuan yang akan diterapkan pada kawasan
hutan yang memiliki potensi atau telah terjadi perambahan di dalamnya.
Informasi/data yang diperlukan antara lain meliputi; fungsi kawasan yang
dirambah, luas hutan yang dirambah, siapa yang merambah, sudah berapa
lama, penggunaan kawasan yang dirambah dan sebagainya.
Di wilayah KPHP Unit I diketahui kawasan hutan yang dirambah
berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, menyebar pada seluruh
kecamatan yang di Kabupaten Buol.
10. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
Di wilayah KPHP Unit I Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli
Provinsi Sulawesi Tengah, hingga saat ini belum diketahui keberadaan
masyarakat hukum adat yang bermukim dan mengelola hutan di dalam
kawasan hutan.
D. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan di wilayah
KPHP Unit I dalam bentuk ijin pemanfaatan/ijin pinjam pakai, dalam bentuk
HPH yang pernah ada antara lain : PT. Kalhold, dengan luas 15.583,11 Ha
pada fungsi HL seluas 1.021,32 Ha dan fungsi HPT seluas 14.561,79 Ha, PT.
Megah Jagad Khatulistiwa dengan Luas 34.448,94 Ha pada fungsi HP
seluas 16.098,67 Ha dan fungsi HPT seluas 18.350,26 Ha, PT.Sentral
Pitulempa dengan luas 1.862,58 Ha yang penyebarannya seluruhnya pada
fungsi HPT. Untuk kegiatan IUPHHK/HA tersebut diatas yang diketahui
hingga saat ini sudah Non- aktif . selain itu Salah satu lokasi di kawasan
II-43
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
hutan lindung yang telah lama digunakan masyarakat dalam bentuk
pertambangan emas rakyat (illegal) berada di wilayah Polonggo dan Timbulan
di kaki Bukit Dopalak daerah pegunungan Paleleh, tepatnya di hulu sungai
Bulagidun Kecamatan Gadung dan Kecamatan Paleleh Barat.
E. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Kegiatan RHL yang pernah dilaksanakan di wilayah Kabupaten Buol
sejak tahun 2004 mencakup sebelas wilayah kecamatan dengan jenis
kegiatan berupa; Reboisasi dan Pengkayaan Reboisasi, serta Hutan Rakyat
dan Pengkayaan Hutan Rakyat melalui program Gerhan dan program RHL
lainnya (DAK DR, dan MDM).
Kegiatan RHL di wilayah Kabupaten Buol berdasarkan laporan Dishut
Kabupaten Buol/BP DAS Palu Poso Tahun 2009, mencapai luas 2.063 Ha
dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 2.9 berikut.
Tabel 2.9. Kegiatan RHL di Kabupaten Buol
Luas (Ha)
No.
Gerhan
DAK
DAK/Gerhan
MDM
Jumlah
(Ha)
Desa Sasaran
(Bh)
Kecamatan
1
Biau/Karamat
160
50
60
-
270
6
2
Lipunoto
116
-
-
-
116
4
3
Momunu
150
-
-
50
200
5
4
Tiloan
175
-
-
-
175
4
5
Bokat
310
50
-
-
360
9
6
Bukal
103
50
175
-
328
4
7
Bonubogu
209
-
-
-
209
3
8
Gadung
145
100
-
245
6
9
Paleleh/Paleleh
Barat
60
-
50
50
160
4
Jumlah
1,428
250
285
100
2,063
45
Sumber: BPDAS Palu Poso, Tahun 2009.
Kegiatan RHL seperti pada Tabel 2.9 di atas, pelaksanaanya
menyebar pada seluruh wilayah kecamatan, dan sebanyak 45 desa sasaran.
Berbagai jenis tanaman kayu-kayuan dan serbaguna (MPTS) yang telah
II-44
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
ditanam/dibudidayakan pada areal reboisasi yakni: Jenis kayu-kayuan adalah
Nyatoh (Palaqium sp.), Palapi (Heritiera sp), Meranti (Shorea sp), Linggua
dan Cempaka (Elmerillia ovalis).
Memperhatikan
kondisi di atas, menunjukkan bahwa
kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Buol s.d. Tahun 2008 mengalami
peningkatan yang cukup berarti dalam mengatasi kerusakan hutan dan lahan.
Pengembangan
tanaman
reboisasi
di
Kabupaten
Buol
sudah
berlangsung lama yakni sejak digulirkannya program gerakan rehabilitasi
hutan dan lahan (Gerhan, DAK DR dan MDM) tahun 2004 s.d. tahun 2008.
Memperhatikan besarnya kemauan masyarakat untuk mengembangkan tanaman kayu-kayuan pada lahan-lahan usaha mereka, maka untuk
mendukung pengembangan hutan tanaman kedepan tetap direncanakan
pengembangannya sesuai kebutuhan masyarakat. Pada Tahun 2008,
Kabupaten Buol berhasil menyusun rancangan teknis reboisasi dan
penghijauan yang mencakup 11 (sebelas) kecamatan dan 25 (dua puluh lima)
desa/kelurahan dengan total luas 2.008 Ha (HR = 1.000 ha., dan RB = 1.008
Ha). Rincian lokasi/desa-desa sasaran kegiatan RH (reboisasi) yang telah
tersedia rancangan teknisnya sejak Tahun 2008 dalam kawasan hutan
produksi di Kabupaten Buol dan realisasinya tahun 2009 sbb.:
 Kecamatan Biau: Reboisasi di Desa Tuinan 208 Ha.
 Kecamatan Bukal: Reboisasi di Desa Rantemaranu 200 Ha.
 Kecamatan Bonubogu: Reboisasi di Desa Bonubogu 200 Ha.
 Kecamatan Gadung: Reboisasi di Desa Nandu 100 Ha dan Desa
Rlipubogu 100 Ha.
 Kecamatan Paleleh: Reboisasi di Desa Talaki 200 Ha.
II-45
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Selanjutnya kegiatan reboisasi di Kabupaten Buol lebih ditingkatkan
lagi melalui kegiatan RHL sejak tahun 2010 hingga sekarang.
F. Posisi KPH Dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan
Daerah
Dalam Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah
2000-2015, tujuan pengembangan tata ruang makro Provinsi Sulawesi
Tengah yaitu:
1. Membuka wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai antisipasi dari
kondisi
keterisolasian
antar
wilayah
guna
menciptakan
peluang
percepatan pembangunan dan pemanfaatan potensi wilayah dalam hal
investasi dan aktifitas perekonomian.
2. Menjaga keamanan daerah perbatasan, untuk mengantisipasi adanya
gangguan terhadap pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan potensi
wilayah.
3. Mengembangkan sistem interaksi ruang antar wilayah nasional, KTI dan
antar wilayah dalam lingkup Pulau Sulawesi sehingga tercipta pemerataan
pembangunan antar wilayah dan pemantapan wilayah Provinsi Sulawesi
Tengah dalam perannya sebagai pemasaran produk unggulan wilayah
(kehutanan, perkebunan, perikanan danpariwisata).
Selanjutnya tujuan pengembangan tata ruang mikro Provinsi Sulawesi
Tengah yaitu:
1. Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah
terutama sumberdaya alam.
2. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.
II-46
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
3. Memantapkan fungsi kawasan lindung untuk mendukung terhadap
pengembangan pemanfaatan kawasan budidaya.
4. Mengembangkan
kawasan-kawasan
yang
termasuk
strategis
dan
merupakan kawasan andalan baik lingkup nasional maupun provinsi.
5. Mengembangkan sistem transportasi wilayah yang dapat menciptakan
perkembangan perekonomian wilayah, kemudahan pergerakan barang
dan manusia dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
6. Mensinergikan fungsi dan peran sistem kota-kota, antar wilayah daratan
utama (main land) dengan wilayah kepulauan dan antar pusat-pusat
pertumbuhan.
Berdasarkan tujuan pengembangan tata ruang makro dan mikro
Provinsi Sulawesi Tengah, maka arahan pengelolaan kawasan sebagai
berikut:
Arahan pengelolaan kawasan lindung:
Arahan pengelolaan kawasan lindung Provinsi Sulawesi Tengah terdiri
atas: (a) arahan pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan
bawahannya; (b) arahan pengelolaan kawasan perlindungan
setempat; (c) arahan pengelolaan kawasan suaka alam; (d) arahan
pengelolaan kawasan pelestarian alam; (e) arahan pengelolaan kawasan
cagar budaya; (f) arahan pengelolaan kawasan rawan bencana alam; dan (g)
arahan pengelolaan kawasan lindung lainnya.
Arahan pengelolaan kawasan hutan produksi:
Arahan pengelolaan kawasan hutan produksi yang terdiri atas:
kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, dan
kawasan hutan yang dapat dikonversi, yaitu: (1) penetapan batas kawasan
II-47
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
hutan produksi terutama yang belum ditata batas dalam rencana yang lebih
rinci (RTRW kabupaten/kota); dan (2) pengendalian pemanfaatan ruang yang
dilakukan meliputi: (a) untuk pemanfaatan ruang yang dinilai tidak merusak
dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan intensitas (limitasi) kegiatan,
pelaporan, dan pengawasan/monitoring; dan (b) untuk pemanfaatan ruang
yang dinilai dapat merusak dilakukan penutupan kegiatan, penertiban,
penerapan sanksi, rehabilitasi apabila terjadi kerusakan. (3) peningkatan
koordinasi antar sektor dan instansi dalam pengelolaan kawasan; (4)
pemanfaatan potensi hasil hutan berprinsip konservasi sumberdaya alam
secara berkelanjutan; (5) perijinan pemungutan hasil hutan diperketat; (6)
penyelesaian masalah tumpang tindih (over lapping) pemanfaatan kawasan
terutama dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya; (7)
peningkatan Inventarisasi dan Pemantapan Tataguna (Intag) Kawasan; dan
(8) meningkatkan kesadaran dan keberdayaan masyarakat sekitar kawasan.
Dari
tujuan
pengembangan
tata
ruang
provinsi
dan
arahan
pengelolaan kawasan lindung dan hutan produksi seperti diuraikan di atas,
menggambarkan bahwa posisi KPH dalam perspektif tata ruang wilayah dan
pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah adalah tergolong penting.
Pentingnya KPH menjadi bagian dalam pengembangan tata ruang
serta wadah bagi pengelolaan kawasan lindung dan hutan produksi karena
KPH telah menjadi bagian dari pembangunan nasional dan secara hirarki
menjadi bagian dari pembangunan daerah. Selain itu, kehadiran KPH
merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan
dipertegas dalam RKTN Kementerian Kehutanan tahun 2011-2030.
II-48
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
G. Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan
1. Isu Strategis
Guna tetap menjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan
kehutanan, dalam 5 (lima) tahun kedepan sesuai Renstra Kementerian
Kehutanan menetapkan 6 (enam) program prioritas: (1) Pemantapan Kawasan
Hutan; (2) Rehabilitasi Hutan danPeningkatan Daya Dukung Daerah Aliran
Sungai (DAS); (3) Pengamanan Hutan dan Pengendalian kebakaran Hutan;
(4) Konservasi Keanekaragaman Hayati; (5) Revitalisasi Pemanfaatan Hutan
dan Industri Kehutanan; (6) Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.
Untuk
mengimplementasikan
program-program
prioritas
tersebut,
pengelolaan Hutan di Indonesia saat ini diarahkan kepada teknik/cara kelola
yang efisien dan lestari. Untuk mencapai efisiensi dan kelestarian pengelolaan
sumberdaya hutan diwujudkan ke dalam unit-unit pengelolaan hutan terkecil
sesuai fungsi dan peruntukannya yang lebih dikenal dengan nama Kesatuan
Pengelolaan Hutan yang disingkat KPH.
Pembentukan KPH Pogogul Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah
bertujuan agar pengelolaan hutan produksi dilakukan secara efisien dan
lestari. Disamping itu, pembentukan unit KPH merupakan strategi penataan
hutan untuk mencapai kemantapan kawasan. Dengan demikian, KPH dalam
jangka panjang diharapkan mampu memproduksi hasil hutan kayu dan hasil
hutan
lainnya
secara
lestari,
mampu
memberi
keuntungan
kepada
masyarakat, dan organisasi KPH dapat mandiri.
Pembentukan KPH sebagai strategi penataan hutan akan dapat
menimbulkan konflik dengan aktifitas masyarakat yang saat ini telah ada di
lapangan. Pembangunan KPH mengedepankan proses bottom up, sehingga
II-49
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
bentuk
pengelolaan
yang
akan
dilakukan
harus
mempertimbangkan
keberadaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Karena itu,
pembentukan KPH harus dapat ditempatkan sebagai strategi penyelesaian
konflik, termasuk penyelesaian masalah-masalah pemanfaatan secara illegal
yang ada di dalam kawasan hutan.
Kawasan hutan di wilayah KPHP Model Pogogul yang luasnya
mencapai ±187.544,27 Ha, barang dan jasa yang dihasilkannya berperan
dalam mendukung pembangunannasional dan daerah sebagai: (1) kontributor
terhadap pembangunan perekonomian; dan (2) penyangga keseimbangan
sistem tata air, tanah danudara.
Posisi kawasan hutan KPHP Model Pogogul menjadi lebih penting
karena penduduk dari tigabelas wilayah kecamatan yang ada, tinggal di dalam
dan sekitar kawasan hutan ini,dan secara struktural sebagian termasuk
kategori miskin/tertinggal.Penduduk di sekitar kawasan hutan wilayah KPHP
model, kurang lebih 82% penduduk merupakan petani lahan kering dan lahan
basah. Petani lahan basah yang mengelola dan memanfaatkan lahannya
berupa lahan sawah beririgasi, sumber air utamanya berasal dari kawasan
hutan di wilayah KPH. Selain itu, kebutuhan air dimanfaatkan pula untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari baik secara perpipaan maupun melalui
penggunaan sumur. Dengan demikian, tertanggunya ekosistem DAS akan
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di wilayah ini.
Selain kebutuhan air seperti dijelaskan, sebagian penduduk di sekitar
dan di dalam kawasan hutan di wilayah KPHP model menggantungkan
hidupnya dari hasil hutan seperti mengumpulkan getah damar, rotan, lebah
madu dan sebagainya.
II-50
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
Sesuai dengan tujuan pembentukan KPHP Model Pogogul yang berada
di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah yakni pengelolaan hutan
produksi dan hutan lindung
yang dilakukan secara efisien dan lestari.
Harapannya adalah mantapnya kawasan hutan dan dalam jangka panjang
mampu memproduksi hasil hutan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari,
mampu memberi keuntungan kepada masyarakat, dan organisasi KPH dapat
mandiri.
Memperhatikan kondisi kawasan hutan di wilayah KPHP saat ini yang
dinilai memiliki peran cukup penting dalam menyelamatkan aset negara
berupa hutan dan ekosistemnya, maka isu strategis adalah mengelola segala
potensi sumberdaya hutan secara efisien dan lestari yang dimiliki kawasan ini
tanpa harus mengorbankankepentingan masyarakat baik yang ada di dalam
maupun di sekitar wilayah KPH.
2.
Kendala dan Permasalahan
Berdasarkan gambaran kondisi KPHP Model Pogogul saat ini serta
kondisi yang diinginkan, diidentifikasi beberapa kendala permasalahan dalam
pengelolaan KPHP. Hasil identifikasi kendala dan permasalahan tersebut akan
digunakan untuk mendukung justifikasi penetapan tujuan, sasaran, kebijakan
dan program kegiatan sesuai tujuan pengelolaan hutan.
Sejak terbentuknya kelembagaan UPTD KPHP Model Pogogul tahun
2012 belum ada kegiatan atau aktifitas KPH. Hal ini dapat dipahami karena
KPH ini baru terbentuk.
Dalam proses perjalanan KPHP Model Pogogul sepuluh tahun
kedepan, terdapat beberapa kegiatan mendasar perlu segera dituntaskan
seperti kejelasan status tanah untuk pembangunan kantor KPH, pembangunan
II-51
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
kantor dan penyediaan fasilitas penunjangnya, serta sosialisasi dan rencanarencana aksi melalui penyuluhan dan diskusi-diskusi publik.
Selain itu, yang perlu menjadi prioritas adalah pembinaan dan
pengembangan SDM, serta pendataan potensi SDH pada tingkat tapak,
menunjukkan bahwa KPHP ini cukup mantap dalam menjalankan aktifitas
pengelolaan hutannya. Selanjutnya dalam menjalankan aktifitasnya, KPHP ini
diperkirakan akan menghadapi beberapa kendala dan permasalahan sbb.:
Kendala-kendala dalam pembangunan KPHP:
1. Adanya klaim lahan hak dalam kawasan hutan di wilayah KPH berupa
lahan pertanian (kebun dan sawah).
2. Adanya aktifitas illegal logging dan perambahan hutan yang telah
berlangsung cukup lama, sehingga dengan hadirnya KPH akan terhenti
segala aktifitasnya.
3. Adanya kasus-kasus dan dampak negatif berupa kerusakan hutan yang
ditimbulkan oleh pemanfaat hasil hutan kayu berskala usaha (HPH) di
masa lalu, dapat berkembang menjadi isu tidak perlunya pembangunan
KPH Pogogul.
4. Peluang terjadinya benturan kepentingan cukup besar; antara pengelola
KPH dengan masyarakat setempat, dan pelaku illegal dalam kawasan
KPH.
5. Terlalu kuatnya proses pendampingan oleh Pemerintah dapat mengurangi
‘ownership’ KPH oleh Pemda dan pihak lain.
Potensi Masalah Dalam Pembangunan KPHP:
1. Masih tingginya aktifitas pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan dalam bentuk pertanian lahan kering oleh sekelompok masyarakat di
II-52
Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul
dalam wilayah KPH yang dinilai illegal sesuai Undang-undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan.
2. Masih terbatasnya SDM baik dalam jumlah maupun kualifikasinya dalam
mengawal pelaksanaan pembangunan KPH Pogogul, khususnya di tingkat
tapak dalam mengelola areal seluas 187.544,27 Ha.
3. Masih lemahnya kapasitas kelembagaan akan menjadi sumber tidak
berjalannya kebijakan secara keseluruhan.
4. Masih lemahnya dukungan publik akibat belum dipahaminya tujuan dan
manfaat pembangunan KPH Pogogul.
5. Masih sulitnya mobilisasi sumberdaya sebagai akibat masih lemahnya
kapasitas kelembagaan pembangunan KPH bagi banyak pihak.
6. Pembangunan KPHP Model Pogogul akan melibatkan banyak pihak,
sehingga berpeluang terjadinya benturan kepentingan dalam pelaksanaan
fasilitasi.
7. Adanya hamparan lahan kritis yang cukup luas di wilayah KPHP akan
mengganggu berfugsinya ekosistem DAS sebagai pengatur tata air.
II-53
Download