KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 230/Kpts-II/2003 Tentang PEMBENTUKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan; b. bahwa hutan produksi perlu dikelola secara lestari untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat; c. bahwa dalam rangka optimalisasi manfaat ekologi, sosial dan ekonomi diperlukan pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi; d. bahwa pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi merupakan dasar dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang optimal dan lestari; e. bahwa dalam rangka membentuk kesatuan pengelolaan hutan produksi diperlukan kriteria dan standar; f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu menetapkan Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dengan Keputusan Menteri Kehutanan. Mengingat : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 288/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan. MEMUTUSKAN Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBENTUKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 4. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 5. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daratan yang merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak sungai yang melalui daerah tersebut yang fungsinya untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainnya, penyimpanan serta pengalirannya bermuara ke laut. 6. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. 7. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat di dalam suatu kawasan geografis tertentu, mencakup kelompok asli dan kelompok tradisional, dan juga kelompok pendatang yang melakukan pemukiman swakarsa. 8. Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar suatu pertimbangan atau tindakan. 9. Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. 10. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. 11. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Maksud Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi adalah untuk memberikan pedoman dan arahan dalam pelaksanaan Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang optimal dan lestari. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 4 Ruang lingkup Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi meliputi pembentukan kesatuan pengelolaan hutan, kriteria kesatuan pengelolaan hutan produksi, standar pengelolaan hutan produksi dan prosedur pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi. BAB IV PEMBENTUKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN Bagian Pertama Umum Pasal 5 (1) Unit pengelolaan hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam merumuskan kriteria dan standar pembentukan unit pengelolaan hutan mempertimbangkan : karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat, batas administrasi pemerintahan, dan hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan. Pasal 6 Unit pengelolaan hutan terdiri dari : a. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi pada Hutan Konservasi; b. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada Hutan Lindung; c. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada Hutan Produksi. Bagian Kedua Kriteria Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Pasal 7 Prinsip pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi terdiri dari : a. b. c. d. Prinsip Prinsip Prinsip Prinsip Kebijakan; Ekologi; Sosial Budaya dan Ekonomi. Paragraf 1 Prinsip Kebijakan Pasal 8 (1) Prinsip kebijakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (a) dirinci menurut kriteria : a. Kepastian kawasan hutan, b. Batas administrasi pemerintahan, c. Daerah Aliran Sungai (DAS), d. Kelembagaan, e. Tujuan Pengelolaan Hutan. (2) Kriteria kepastian kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi letak, luas dan batas, status dan peruntukan kawasan hutan serta kondisi penutupan lahan. (3) Kriteria batas administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan Kabupaten/Kota dengan batas dan letak yang jelas tergambar dalam Peta. (4) Kriteria Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c adalah bahwa pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi DAS. (5) Kriteria kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d meliputi pemantapan, penataan atau peningkatan kelembagaan pada kawasan hutan produksi yang : a. Telah dibebani hak di atasnya; b. Tidak dibebani hak; dan atau c. Ada konflik di dalam kawasan hutan produksi, baik telah dibebani hak maupun tidak dibebani hak. (6) Kriteria tujuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e adalah kemampuan memproduksi sumber daya hutan berupa hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang dapat dikelola secara lestari. Paragraf 2 Prinsip Ekologi Pasal 9 (1) Prinsip ekologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf b meliputi kriteria : a. b. Fungsi Hutan, Bio-geofisik. (2) Kriteria fungsi hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah kawasan yang mempunyai fungsi memproduksi hasil hutan dan terdiri dari : a. Kawasan Hutan Produksi (HP), b. Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). (3) Kriteria bio-geofisik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dirinci menurut geomorfologi, jenis tanah, topografi, tipe hutan, dan penutupan lahan sebagai berikut : a. Geomorfologi kawasan hutan adalah merupakan bentuk, batuan penyusun, struktur dan proses terbentuknya permukaan lawasan hutan; b. Jenis tanah kawasan hutan adalah tempat tumbuh hutan yang mempunyai kerakteristik fisik, kimia dan biologi tertentu yang dapat dikelompokkan sebagai kawasan hutan. c. Topografi kawasan hutan adalah kemiringan, arah dan ketinggian permukaan kawasan hutan; d. Tipe hutan adalah kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya; e. Penutupan lahan adalah vegetasi dan obyek lain yang menutup kawasan hutan. Paragraf 3 Prinsip Sosial Budaya Pasal 10 (1) Prinsip sosial budaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf c meliputi kriteria : a. b. c. d. Hak masyarakat lokal, Ketergantungan masyarakat lokal, Kelembagaan masyarakat lokal, dan Distribusi manfaat sumber daya hutan. (2) Kriteria hak masyarakat lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah hak adat dan hak tradisional termasuk praktek dan metodanya yang telah diterapkan dalam jangka panjang, masih terus berlangsung dan diakui keberadaannya. (3) Kriteria ketergantungan masyarakat lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang kebutuhan hidupnya tergantung dari hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lainnya. (4) Kriteria kelembagaan masyarakat lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c adalah suatu wadah masyarakat lokal yang di dalamnya terdapat aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi. (5) Kriteria distribusi manfaat sumber daya hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d adalah penyebaran dan pemerataan manfaat sumber daya hutan secara adil yang menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Paragraf 4 Prinsip Ekonomi Pasal 11 (1) Prinsip ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf d meliputi kriteria : a. Potensi sumber daya hutan, b. Sarana dan prasarana, dan c. Potensi peningkatan pembangunan serta kegiatan ekonomi Daerah dan Nasional. (2) Kriteria potensi sumber daya hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a adalah produktivitas kawasan hutan yang dapat memproduksi hasil hutan kayu, hail hutan bukankayu dan jasa lingkungan. (3) Kriteria sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b terdiri dari sarana jalan, sungai, jembatan dan prasarana lain seperti camp dan peralatan yang dapat menunjang kegiatan pengelolaan hutan. (4) Kriteria potensi peningkatan pembangunan serta kegiatan ekonomi Daerah dan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c ditunjukkan dengan adanya peningkatan pertumbuhan pembangunan dan perekonomian Daerah dan Nasional. Bagian Ketiga Standar Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Paragraf 1 Standar Kebijakan Pasal 12 (1) Standar kepastian kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) meliputi : a. Letak dan batas kawasan hutan yang secara geografis kompak dan tidak terpencarpencar serta dibatasi oleh batas alam/ buatan yang telah/ akan dilakukan. b. Memiliki luas yang rasional berdasarkan pertimbangan teknologi, kemampuan pengawasan, sistem silvikultur, bio-fisik, kondisi sosial budaya, ekonomi dan tujuan pengelolaan. c. Keberadaannya bersifat permanen. d. Kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai hutan produksi atau hutan produksi terbatas. e. Kawasan budidaya kehutanan dalam RTRWP/ RTRWK yang telah ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota bersama-sama dengan DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota. f. Kawasan hutan produksi yang belum ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dengan Keputusan Menteri Kehutanan. g. Peruntukan kawasan hutan yang belum atau sudah dibebani hak/izin pemanfaatan hutan produksi, dan/atau h. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan berupa hutan alam, hutan tanaman, areal bekas tebangan, semak belukar dan tanah kosong. (2) Standar batas administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) adalah bahwa kawasan hutan yang ditetapkan sebagai KPHP dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan Kabupaten/ Kota dengan batas dan letak yang jelas tergambar dalam: a. Peta Rupa Bumi Indonesia/ Peta Topografi/ Peta Joint Operation Graphic, b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/ Kabupaten/ Kota (RTRWP/ RTRWK) yang telah ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota bersama DPRD Provinsi/ DPRD Kabupaten/ Kota dan/atau c. Peta yang merupakan lampiran undang-undang yang mengatur tentang pembentukan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. (3) Standar Daerah Aliran Sungai sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) adalah bahwa pembentukan KPHP dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi DAS. (4) Daerah Aliran Sungai (DAS) wajib digunakan sebagai unit analisis perencanaan dan pengelolaan bagi KPHP yang berada di dalam DAS tersebut. (5) Unit analisis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) meliputi aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. (6) Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berfungsi untuk : a. Menyatukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi-Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang berada didalamnya menjadi satu kesatuan perencanaan makro kehutanan, dan b. Mengendalikan kegiatan pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (7) Standar kelembagaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (5) diatur melalui pemantapan kelembagaan, penataan kelembagaan, peningkatan kelembagaan atau pembentukan kelembagaan sebagai berikut: a. Bagi kawasan hutan produksi yang telah dibebani hak/izin diatasnya, ditempuh dengan menetapkan pemegang hak/izin sebagai inti Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dan melakukan pemantapan kelembagaan dengan kelembagaan pemegang hak/izin yang sudah ada. b. Bagi kawasan hutan produksi yang tidak ada hak/izin diatasnya, ditempuh dengan melakukan penataan atau pembentukan kelembagaan baru sesuai dengan ketentuan yangberlaku. c. Bagi kawasan hutan produksi yang ada konflik diatasnya dilakukan dengan peningkatan kelembagaan pada hutan produksi yang ada hak/izin diatasnya atau pembentukan/ penataan kelembagaan baru pada hutan produksi yang tidak dibebani hak untuk mencari solusi konflik dalam kerangka pengelolaan hutan produksi lestari. (8) Pengaturan lebih lanjut tentang pemantapan, penataan, peningkatan dan pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) akan ditentukan oleh Menteri. (9) Standar tujuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf e meliputi : a. Pemanfaatan kawasan; b. Pemanfaatan jasa lingkungan; c. Pemanfaatan hasil hutan kayu; d. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; e. Pemungutan hasil hutan kayu; f. Pemungutan hasil hutan bukan kayu. Paragraf 2 Standar Ekologi Pasal 13 (1) Standar fungsi hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) adalah : a. Fungsi hutan yang akan ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi mempunyai fungsi utama sebagai produksi hasil hutan kayu, bukan-kayu dan jasa lingkungan. b. Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan intensitas hutan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997. c. Kawasan hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 125-174 di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997. (2) Standar bio-geofisik sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (3) meliputi geomorfologi, jenis tanah, topografi, tipe hutan dan penutupan lahan. (3) Standar bi-geofisik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. Geomorfologi antara lain dataran rendah, rawa, perbukitan dan dataran tinggi. b. KPHP dapat dibentuk pada semua jenis tanah berdasarkan kelas kepekaannya terhadap erosi. c. Topografi yang terdiri dari topografi datar (0-8%), landai (di atas 8% - 15%), agak curam (di atas 15% - 25%) dan curam (di atas 25% - 40%). d. Tipe hutan yang akan dibentuk KPHP antara lain adalah tipe hutan rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan hutan pegunungan. e. Semua kelas penutupan lahan dalam kawasan hutan seperti hutan alam, hutan tanaman, semak belukar, tanah kosong dan penutupan lahan lainnya dapat dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (4) Untuk memudahkan perencanaan dan pengelolaan, maka dalam membentuk satu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, aspek-aspek bi-geofisik sedapat mungkin berada dalam satu kesatuan yang homogen. (5) Dalam hal seluruh aspek bio-geofisik tidak bisa homogen, maka homogenitas gemorfologi, topografi dan tipe hutan dijadikan pertimbangan utama dalam membentuk satu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (6) dalam hal berdasarkan delineasi hutan produksi terdapat areal yang memiliki fungsi lindung berdasarkan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah, maka areal tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung di dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Paragraf 3 Standar Sosial Budaya Pasal 14 (1) Standar Sosial Budaya meliputi kesatuan wilayah masyarakat hukum desa tetap yang merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan memiliki homogenitas dalam karakteristik sosial budaya terutama yang memiliki hubungan dan ketergantungan dengan hutan dan pengelolaan hutan. (2) Karakteristik sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain meliputi mata pencaharian pokok, tata nilai dan adat istiadat. (3) Standar sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. Hak masyarakat lokal meliputi hak adat dan hak tradisional yang diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Daerah. b. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibentuk untuk mendukung kelangsungan kehidupan masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan yang mata pencaharian utamanya tergantung dari hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan-kayu. c. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibentuk dengan memperhatikan kelembagaan masyarakat lokal berupa perangkat hukum masyarakat lokal yang masih berlaku dan dipatuhi. d. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang akan dibentuk harus memberikan distribusi manfaat yang adil dan merata dari sumber daya hutan kepada masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan produksi. Paragraf 4 Standar Ekonomi Pasal 15 (1) Standar ekonomi meliputi kesatuan wilayah yang kompak yang memiliki kesamaan fungsi ditinjau dari aktivitas ekonomi utama masyarakat dan berperan penting dalam menunjang perekonomian dalam wilayahnya. (2) Standar ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibentuk dengan memperhitungkan potensi sumber daya hutan agar tercapai kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat. b. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibentuk dengan memperhatikan sarana dan prasarana yang ada disertai perencanaan sarana prasarana baru yang dapat menunjang kegiatan pengelolaan hutan. c. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dibentuk agar dapat meningkatkan pembangunan serta kegiatan ekonomi Daerah dan Nasional, yang ditunjukkan dengan adanya: c.1. Peningkatan pendapatan asli daerah, c.2. Peningkatan ekspor, c.3. Peningkatan kegiatan ekonomi di sekitar hutan, c.4. Peningkatan pendapatan masyarakat terutama di daerah setempat, c.5. Peningkatan perkembangan pembangunan di daerah, dan/atau c.6. Peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Bagian Keempat Prosedur Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Pasal 16 (1) Berdasarkan kriteria dan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 15, Gubernur dengan pertimbangan Bupati/ Walikota menyusun Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (2) Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan kepada Menteri. (3) Berasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menetapkan arahan pencadangan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (4) Berdasarkan arahan pencadangan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Daerah membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. (5) Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri untuk ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Bagian Kelima Kriteria Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Pasal 17 Kriteria dan standar pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung diatur dengan Keputusan Menteri tersendiri. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Pelaksanaan lebih lanjut Keputusan ini diatur oleh Badan Planologi Kehutanan. Pasal 19 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 308/KptsII/1999 tentang Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 20 Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 14 Juli 2003 MENTERI KEHUTANAN, ttd. MUHAMMAD PRAKOSA Salinan sesuai dengan aslinya Plt. Kepala Biro Hukum dan Organisasi, ttd. Ir. DARORI, MM NIP. 080049355 Salinan keputusan ini disampaikan kepada Yth. : 1. Sdr. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Sdr. Menteri Dalam Negeri; 3. Sdr. Menteri Negara Pemukiman dan Prasarana Wilayah; 4. Sdr. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 5. Sdr. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan; 6. Sdr. Gubernur di Seluruh Indonesia; 7. Sdr. Bupati/ Walikota di Seluruh Indonesia; 8. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi di Seluruh Indonesia; 9. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/ Kota di Seluruh Indonesia.