Ikhsan Darmawan Membongkar Problematika

advertisement
Ikhsan Darmawan
Membongkar
Problematika
dalam Pemilukada
Program Studi Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
i
Membongkar Problematika dalam Pemilukada
Ikhsan Darmawan
Desain Sampul dan Tata Letak:
Rudi Ardiansyah
Cetakan Pertama, 2012
Membongkar Problematika dalam Pemilukada
Cet.I: Januari, 2012;
viii + 104 hlm.; 140x210mm
ISBN: 978-602-19800-0-2
Diterbitkan oleh: Program Studi Ilmu Politik,
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Gedung B Lt.2, FISIP UI,
Depok 16424
ii
Kata Pengantar
Di hadapan pembaca telah tersaji buku “Membongkar
Problematika dalam Pemilukada,” yang merupakan
kumpulan tulisan dari Saudara Ikhsan Darmawan,
pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, Departemen
Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia.
Penulis memang menggeluti studi politik lokal dan
pemilu, serta Pemilukada dalam beberapa kajiannya.
Yang bersangkutan berusaha memotret fenomena sosial
yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Pemilukada,
untuk kemudian dituangkan dalam berbagai tulisan yang
kemudian terpublikasi dalam beberapa surat kabar
nasional dan lokal, khususnya kota Depok sebagai
laboratorium nyata bagi ilmuwan sosial di Universitas
Indonesia.
Saudara Ikhsan Darmawan berhasil menjelaskan
fenomena Pemilukada secara sederhana kepada
pembaca, dan kemudian membuat kategorisasi baru
terkait problematika dalam Pemilukada. Tercatat perihal
eksistensi dan penyelenggaraan, pencalonan, kampanye
dan pemilihan, serta konflik dalam penyelenggara
Pemilukada merupakan berbagai persoalan yang masih
muncul dari praktik Pemilukada di negeri ini.
Sejatinya,
Pemilukada
merupakan
buah
dari
perkembangan otonomi daerah pasca-Orde Baru di
Indonesia. Otonomi daerah merupakan jawaban atas
iii
tuntutan daerah untuk mengembangkan dirinya. Otonomi
daerah mempunyai niat baik untuk memfasilitasi
perkembangan daerah dalam berbagai bidang. Namun,
praktik otonomi daerah setelah lebih dari satu dekade
reformasi ternyata masih terkendala dengan berbagai
masalah dan kelemahan.
Tulisan karya saudara Ikhsan Darmawan ini merupakan
salah satu sumbangan penting bagi studi politik lokal,
otonomi daerah, dan khususnya Pemilukada. Buku yang
ada dihadapan sidang pembaca ini menunggu untuk
dikritisi sehingga akan muncul antitesis dan sintesis baru
setelah digauli oleh para akademisi, mahasiswa, dan
pemerhati masalah politik lokal di Indonesia.
Selamat membaca!
Program Studi Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Ketua,
Cecep Hidayat
iv
Pengantar Penulis
Ucapan syukur kepada Allah SWT kiranya
adalah kalimat yang paling tepat untuk penulis
sampaikan karena akhirnya buku pertama penulis bisa
terbit dan berada di hadapan sidang pembaca. Setelah
melalui proses yang cukup panjang, buku ini dapat
diterbitkan.
Hadirnya buku ini tak dapat dilepaskan dari
konteks perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari
tidak langsung menjadi langsung (yang sekarang disebut
dengan Pemilu Kepala Daerah atau Pemilukada).
Pemilukada dilaksanakan sejak tahun 2005-sampai
dengan buku ini diterbitkan-untuk tingkat Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Selama bergulirnya Pemilukada,
banyak hal yang terjadi dan perlu disoroti. Dan hal-hal
itu berwujud masalah-masalah dalam Pemilukada. Oleh
karena itulah, terbitnya buku ini tentu menemui
relevansinya bagi seluruh komponen masyarakat, baik
akademisi, politisi, civil society, dan sebagainya.
Keseluruhan isi buku ini adalah artikel-artikel
tentang Pemilukada yang ditulis dan pernah diterbitkan
di sejumlah media massa nasional maupun lokal. Buku
ini secara garis besar berisi beragam problematika yang
selama ini menghinggapi Pemilukada sekaligus di
sebagian besar artikel disertai solusi di bagian akhir
artikel. Adapun masalah-masalah yang penulis angkat
dalam buku ini dapat dikelompokkan menjadi empat
tema besar: (1) Eksistensi dan Penyelenggaraan
Pemilukada; (2) Pencalonan dalam Pemilukada; (3)
v
Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada; dan (4)
Konflik dan Penyelenggara Pemilukada.
Sebagai penutup, penulis berharap semoga buku
ini dapat memberikan sumbangsih seberapa besar pun
untuk kemajuan bangsa Indonesia, terutama dalam hal
pelaksanaan Pemilukada ke depannya.
Depok, Januari 2012
Ikhsan Darmawan
vi
Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................
Pengantar Penulis..................................................
Daftar Isi................................................................
iii
v
vii
I. Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada
1. Mempertahankan Hak Rakyat untuk
Memilih……………………………………..
2. Belajar dari Pilpres………………………….
3. Seputar Biaya Pemilukada………………….
4. Jabatan Kepala Daerah dan Pemilukada……
5. Sintesis Demokrasi dan Teknologi
dalam E-Voting……………………………..
6. Berduyun-duyun Melanggar Pemilukada.....
1
3
7
11
15
19
25
II. Pencalonan dalam Pemilukada……………..
7. Menjaring Kepala Daerah Lewat Survei..….
8. Kandidasi, Klaim, dan Keputusan Politik….
9. Episode Baru Pesta Demokrasi Depok…….
10. Satu Lawan Satu……………………………
11. Koalisi Besar Tidak Mudah………………...
29
31
35
39
43
47
III. Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada
12. Hura-Hura Politik…………………………...
13. Nir-netralitas Birokrasi dalam Pemilukada....
14. Memilih Dengan Cerdas………………….…
15. Pesan Menuju Bilik Suara…………………...
16. Survei dan Bandwagon Effect……………...
51
53
57
61
65
69
vii
IV. Konflik dan Penyelenggara Pemilukada…...
17. Titik Rawan Pilkada Depok…………………
18. Pembelot Politik……………………………..
19. Wacana Persiapan Pemilukada…………...…
20. Panwaslu Yang "Tak Bergigi'……………….
21. Bara Pasca 16 Oktober………………………
73
75
79
85
89
93
Sumber Tulisan………………………………….. 97
Daftar Referensi……………………………….… 99
Tentang Penulis……………………………….…. 103
viii
Bagian I
Eksistensi dan
Penyelenggaraan
Pemilukada
-1-
-2-
1
Mempertahankan Hak Rakyat
untuk Memilih
Belum lama ini, bergulir wacana pengembalian
sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari langsung
menjadi tidak langsung. Praktek penentuan Kepala
Daerah langsung oleh rakyat dinilai oleh beberapa
kalangan perlu ditinjau ulang karena ditengarai
menimbulkan konflik dan pemborosan uang rakyat.
Kedua alasan yang melengkapi usulan di atas
tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Pertama, meminjam
pendapat Austin Ranney (1987), bahwa konflik itu
sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari politik.
Artinya, keseluruhan aspek dalam politik memang
mengandung potensi konflik. Hal tersebut dapat terjadi
karena politik memiliki unsur-unsur yang dapat memicu
hadirnya konflik, seperti persaingan, kepentingan dan
keterbatasan sumber daya (baca: kekuasaan).
Bahwa
kontestasi
politik
harus
diimplementasikan secara damai sebagai prasyarat
penting bagi demokrasi, seperti disampaikan oleh Juan
Linz dan Alfred Stepan (1996), tentu kita akan sepakat.
Namun, bukan lantas mengesampingkan adagium
tentang konflik, yaitu konflik tidak dapat dimusnahkan,
tetapi dapat diminimalisir (atau dikelola).
Oleh sebab itu, perselisihan yang merupakan
dampak dari gesekan kepentingan dalam persaingan
-3-
politik bukan hal yang tabu. Yang terpenting, adalah
perselisihan itu harus dituntaskan tanpa kekerasan dan
melembaga.
Kedua, perlu dimengerti bahwa demokrasi
memang memerlukan ongkos. Kualitas demokrasi tidak
dapat dikorbankan hanya karena persoalan biaya yang
harus dikeluarkan. Agar
kualitas demokrasi tetap
dipertahankan, pemerintah mestinya tidak hanya
melakukan evaluasi terhadap total biaya Pilkada di setiap
daerah yang kelihatannya besar. Tetapi pemerintah harus
meneliti item atau unsur pengeluaran apa saja yang
banyak menghamburkan uang, sehingga perlu direvisi
bahkan, jika memungkinkan, dihapuskan. Sebagai
contoh, biaya besar yang harus dikeluarkan untuk
kampanye (misalnya, arak-arakan, mendatangkan artis,
pembagian kaos) dapat saja dikurangi dengan
mengeluarkan aturan pelarangan aktivitas-aktivitas itu
sehingga tidak banyak uang yang harus dikucurkan
dalam Pilkada.
Di samping itu, gagasan lain yang bisa menjadi
pertimbangan
yaitu
menyederhanakan
jadwal
pelaksanaan Pilkada atau menggabung proses Pilkada.
Artinya, setiap 5 (lima) tahun sekali rakyat Indonesia
hanya disibukkan dengan 3 (tiga) pemilu, yaitu Pemilu
Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Kepala Daerah.
Menghambat konsolidasi
Mengulang sejarah dengan mengaplikasikan
model pemilihan pemimpin daerah oleh lembaga
legislatif daerah akan menemui hambatan konstitusional
dan yuridis karena bertentangan dengan pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan
-4-
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.” Penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan dipilih secara demokratis dapat kita lihat kepada
aturan di bawah konstitusi, yaitu pasal 56 ayat (1) UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
berbunyi: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Selain persoalan hukum, menghapus keterlibatan
rakyat menentukan pemimpin daerahnya sama halnya
dengan membuat masa depan konsolidasi demokrasi
menjadi tidak jelas. Beberapa kelemahan Pilkada tidak
langsung oleh rakyat, yaitu, pertama, membuat
konstelasi kekuasaan di antara lembaga-lembaga politik
daerah menjadi kehilangan keseimbangan. Model
pemerintahan yang kemudian terbentuk adalah
legislative heavy karena kepala daerah bertanggung
jawab sekaligus subordinat lembaga perwakilan daerah.
Padahal, sistem demokrasi mensyaratkan adanya trias
politica yang sejajar dan didukung oleh check and
balances, bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga
lokal.
Kedua,
memperbesar
potensi instabilitas
pemerintahan lokal. Karena kepala daerah adalah
„bawahan‟ DPRD, maka kestabilan pemerintahan daerah
banyak ditentukan oleh pertarungan dan konstelasi
politik di DPRD. Juga, terbuka peluang kepala daerah
menjadi „bulan-bulanan‟ DPRD jika kepala daerah tidak
banyak mengakomodasi kepentingan politik dari anggota
dewan daerah.
-5-
Ketiga, mempersempit ruang bagi kepala daerah
berinovasi dalam membangun daerahnya. Karena gerak
langkah kepala daerah dibatasi oleh persetujuan DPRD,
maka dikhawatirkan program-program yang pro rakyat
yang seharusnya dapat diinisiasi oleh kepala daerah
menjadi relatif lebih sulit terwujud. Sebabnya adalah
yang menjadi prioritas utama kepala daerah agar tidak
dinilai buruk oleh DPRD adalah mengedepankan
program-program kerja yang diamini oleh DPRD.
Keempat, mengurangi legitimasi kepala daerah.
Kepala daerah hasil pemilihan DPRD cenderung kurang
mendapatkan kepercayaan penuh masyarakat karena
masyarakat tidak diberi hak pilih dan menganggap
bahwa kepala daerah terpilih bukan mewakili
kepentingan mereka, melainkan mewakili kepentingan
dan pilihan partai politik.
Kelima, menghilangkan prinsip akuntabilitas
pemerintahan. Model pemerintahan daerah yang
merupakan kombinasi antara DPRD pilihan rakyat dan
kepala daerah hasil pilihan DPRD sulit untuk dijamin
pertanggung
jawabannya,
terutama pada
saat
pemerintahan sedang berjalan.
Berkaca pada kelemahan-kelemahan Pilkada
tidak langsung di atas, memilih untuk tetap
mempertahankan hak rakyat untuk memilih adalah
pilihan yang bijak. Semua kekurangan yang terjadi
selama berjalannya Pilkada dari tahun 2005 sampai
dengan saat ini dapat ditindaklanjuti pemerintah dengan
mereformasi sistem, bukan merevolusinya.
-6-
2
Belajar dari Pilpres
KPUD Depok bisa sedikit bernafas lega setelah
berhasil menyelesaikan penghitungan hasil Pemilu
Presiden (Pilpres) di tingkat kota 14 Juli lalu.
Pascapilpres KPUD harus memulai aktivitasnya karena
agenda Pilkada langsung kedua sudah menanti. Masa
jabatan Walikota Depok akan berakhir pada bulan
Januari 2011. Berdasarkan Pasal 70 ayat (1) PP No.6
Tahun 2005, KPUD harus melaksanakan pemungutan
suara Pilkada paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
masa jabatan Walikota berakhir atau bulan Desember
2011. Penulis memperkirakan hari-H Pilkada Depok
berada pada rentang antara bulan Agustus-November
2010. Demi meningkatkan kualitas Pilkada, penting
kiranya mengevalusi implementasi Pilpres untuk diambil
pelajarannya oleh seluruh stakeholders di Kota Depok.
Prestasi Pilpres
Kita mengakui bahwa Pilpres menelurkan
beberapa prestasi. Pertama, diikuti oleh beberapa calon.
Sebuah pemilihan umum adalah kompetisi. Artinya,
wajib mengikutkan lebih dari satu peserta. Jauh hari
sebelum gegap gempita Pilpres, sempat beredar wacana
bahwa Pilpres hanya akan diikuti oleh incumbent.
Indikasinya karena parpol besar, seperti Golkar dan PDIP, setahun menjelang Pilpres belum memastikan calon
mereka.
-7-
Kedua, berjalan relatif aman. Menurut Henry
Mayo (1960), salah satu nilai yang dianut oleh
masyarakat
demokratis
adalah
menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan melembaga. Di dalam
pemilu wajar jika terdapat perselisihan pendapat dan
kepentingan. Tetapi, perselisihan itu harus dapat
diselesaikan melalui perundingan dan dialog terbuka
dalam usaha mencapai kompromi tanpa kekerasan.
Pelembagaan perselisihan pemilu di Indonesia saat ini
semakin baik karena UUD 1945 memberi kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadili masalahmasalah sengketa pemilu.
Ketiga, sportivitas peserta. Jika Pilpres
diibaratkan sebuah pertandingan dan menang-kalah
adalah keniscayaan dari sebuah pertandingan, maka
pihak yang bersaing dalam Pilpres sudah sepantasnya
legowo menerima apapun hasil akhirnya. Meski belum
resmi kalah, Jusuf Kalla mau memberi selamat kepada
SBY karena sebagian besar hasil quick count
memperkirakan kemenangan pesaingnya itu. Sikap
kenegarawanan Jusuf Kalla tersebut sangat baik untuk
mendukung iklim demokrasi di negara ini.
Keempat, tersedianya TPS di Rumah Sakit dan
Rumah Tahanan. Kelima, debat capres-cawapres.
Meskipun di satu sisi masih terdapat kekurangan
mengenai kedalaman isi debat dan kurang atraktifnya
perdebatan, di sisi lain debat mesti diapresiasi karena
sedikit banyak menjadi sarana untuk pemilih menilai
kemampuan dan program yang ditawarkan caprescawapres.
-8-
Kekurangan Pilpres
Selain prestasi, Pilpres 8 Juli 2009 juga disertai
oleh kekurangan. Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kesalahan terbesar KPU Pusat menyangkut DPT adalah
KPU baru mengumumkan DPT ketika didesak oleh tim
sukses Mega-Prabowo dan JK-Wiranto pada H-2 Pilpres.
Setelah ditelusuri hasilnya ternyata DPT versi KPU
memuat DPT ganda dan DPT fiktif. Jumlah data ganda
yang berhasil diidentifikasi sekitar 11,21 juta pemilih.
Kedua, logistik. Persoalan kekurangan logistik
dalam Pilpres kembali terulang. Menurut Ketua
Bawaslu, ada 7 (tujuh) kota dari 6 (enam) provinsi, yaitu
Lampung, Bengkulu, Kaltim, Jateng, Sulteng, dan Bali,
yang kekurangan surat suara antara 50-200 lembar.
Selain itu, di Bali juga terjadi kasus kekurangan tinta.
Ketiga, netralitas penyelenggara. Selama Pilpres
ada beberapa kasus yang membuat KPU Pusat terkesan
tidak netral. Dua di antaranya adalah kasus spanduk
sosialisasi Pilpres yang tercontreng di foto calon nomor
2 dan pelibatan lembaga asing (IFES) dalam hitung cepat
melalui pesan singkat.
Ketiga, pelanggaran oleh tim sukses. Hasil
rekapitulasi Bawaslu menyebutkan bahwa selama Pilpres
terdapat 539 laporan pelanggaran, di mana 401 kasus di
antaranya merupakan pelanggaran administrasi, 67 kasus
termasuk pelanggaran pidana, dan sisanya adalah
pelanggaran lain.
Keempat, politik uang. Salah satu temuannya
yakni Panwas Rembang melaporkan temuan di mana
seorang warga mencegat 10 orang yang akan berangkat
ke TPS sembari memengaruhi mereka agar memilih
pasangan tertentu.
-9-
Songsong Pilkada
Bagaimana mengartikan evaluasi di atas?
Torehan prestasi bisa dianggap sebagai best example
untuk kemudian KPUD menirunya. Begitu juga, segala
kekurangan dalam Pilpres harus diterjemahkan dengan
sikap mengantisipasi poin-poin kekurangan Pilpres agar
tidak terjadi pada Pilkada.
Titik awal Pilkada adalah masa persiapan yang
ditandai pemberitahuan tertulis DPRD tentang
berakhirnya masa jabatan Walikota kepada Walikota dan
KPUD. Pemberitahuan itu, baru akan dilakukan 5 (lima)
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Walikota atau
pada bulan Agustus 2010. Lantas, apakah artinya saat ini
KPUD tidak dapat melakukan apapun berkaitan dengan
Pilkada? Tentu tidak. Justru saat ini adalah waktu yang
harus dimanfaatkan oleh KPUD untuk memulai
sosialisasi Pilkada kepada masyarakat sembari
menyusun
rancangan
tahapan
Pilkada
secara
komprehensif. Harapannya dengan waktu sosialisasi
yang lebih panjang semakin terbuka kemungkinan makin
banyak rakyat Depok yang akan melek Pilkada.
- 10 -
3
Seputar Biaya Pemilukada
Dalam sebuah kegiatan Focus Group Discussion
(FGD) yang bertema “Menata Kembali Pengaturan
Pemilukada” yang mengundang sejumlah anggota DPRRI dari Komisi II dan perwakilan dari Kementerian
Dalam Negeri yang digagas oleh Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada akhir September
2010 lalu, terdapat sebuah perhatian khusus dari para
peserta diskusi, yakni perihal mahalnya biaya Pemilu
Kepala Daerah (Pemilukada). Beranjak dari mahalnya
biaya Pemilukada (langsung) itulah acapkali terdapat
usulan dari sejumlah kalangan, seperti anggota DPR dan
akademisi, agar tata cara pemilihan kepala daerah secara
langsung dikembalikan menjadi dipilih kembali oleh
anggota DPRD.
Rancu
Penulis menilai bahwa yang dimaksud dengan
biaya Pemilukada itu sendiri harus diklarifikasi terlebih
dahulu definisinya. Ada tiga kategori biaya yang sering
dianggap sebagai biaya Pemilukada. Pertama, biaya
penyelenggaraan Pemilukada. Kedua, biaya yang
dikeluarkan untuk partai politik (dalam praktiknya ialah
biaya yang dikeluarkan untuk dapat dicalonkan oleh
partai politik). Ketiga, biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan kampanye Pemilukada.
- 11 -
Amat disayangkan ketiga kategori di atas sering
menjadi rancu karena dianggap dan dihitung sebagai satu
kesatuan biaya Pemilukada sehingga kemudian
jumlahnya menjadi sangat besar. Padahal, ketiga
kategori biaya itu memiliki ranah yang berbeda,
sehingga solusi yang kemudian diberikan untuk
mengatasi masalah dari setiap biaya jelas berbeda.
Biaya penyelenggaraan Pemilukada adalah
seluruh biaya yang harus dikeluarkan oleh
penyelenggara
(KPUD
dan
Panwas)
untuk
menyelenggarakan
sebuah
Pemilukada.
Dana
penyelenggara Pemilukada berasal dari APBD. Artinya,
yang mengeluarkan uang tersebut adalah rakyat.
Kedua, biaya yang dikucurkan untuk partai
politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk dapat
dicalonkan oleh sebuah partai politik terdapat biaya
tersendiri. Meskipun UU No. 2 Tahun 2008 tentang
partai politik tidak mengatur tentang ongkos ini, dalam
praktiknya para calon tak dapat menghindar dari biaya
ini.
Ketiga, biaya yang digelontorkan untuk
keperluan kampanye. Biaya yang ketiga ini juga biaya
yang harus dikeluarkan oleh para pasangan calon.
Dikarenakan selama ini model kegiatan kampanye tidak
diatur secara tegas dan rinci, maka biasanya para calon
akan berlomba-lomba menggelar kampanye yang jorjoran. Misalnya saja, untuk keperluan membeli atribut
(kaos, baliho, spanduk, dsb) dan mendatangkan artis
untuk menghibur massa pendukung.
Setelah tipologi biaya Pemilukada menjadi lebih
jelas perbedaannya seperti di atas, maka tidak adil
kiranya jika biaya Pemilukada masih “dipukul rata” dan
- 12 -
semua uang yang keluar untuk sebuah event Pemilukada
dimasukkan dalam satu kelompok sebagai biaya
Pemilukada.
Jalan Keluar
Kemudian, bagaimana jalan keluar untuk
masalah dalam masing-masing tipe biaya Pemilukada?
Untuk menghemat biaya penyelenggaraan Pemilukada,
ada sejumlah solusi yang dapat ditawarkan. Pertama,
mengatur agar Pemilukada berjalan hanya satu putaran
saja. Selama ini, seperti diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika tak ada
pasangan calon yang memperoleh 30 persen, maka
diadakan Pemilukada putaran kedua yang diikuti oleh
pemenang pertama dan kedua di putaran pertama.
Alangkah baiknya jikalau Pemilukada diatur
supaya hanya berjalan satu putaran saja. Caranya adalah
dengan menaikkan ambang batas minimal persentase
kursi partai politik di DPRD untuk dapat mengajukan
pasangan calon. Cara kedua adalah dengan mengubah
sistem penetapan pasangan calon yang menang dalam
Pemilukada dari sistem bersyarat minimal menjadi
sistem simple majority. Simple majority itu sendiri
artinya berapapun perolehan suara dari pasangan calon
yang paling tinggi suaranya, pasangan calon itu langsung
dinyatakan sebagai pemenang.
Kedua, melakukan penggabungan Pemilukada
untuk daerah yang dimungkinkan untuk digabung.
Ketiga, melakukan efisiensi dalam pengadaan logistik
Pemilukada.
Berikutnya, karena problemnya berakar dari UU
tentang partai politik, agar biaya yang dikeluarkan untuk
- 13 -
bisa diusung parpol menjadi nihil, tak ada solusi lain
selain dilakukan revisi terhadap UU tentang partai
politik. Idealnya, pengaturan tentang rekrutmen untuk
jabatan publik (Presiden, menteri, dan kepala daerah)
harus diubah menjadi lebih spesifik dan berbasiskan
pada kemampuan bakal calon dan juga wajib bebas
biaya.
Terakhir, untuk meminimalisir biaya kampanye,
ke depannya ada dua langkah pembenahan yang dapat
ditempuh. Pertama, dengan semakin membatasi
pengeluaran pasangan calon untuk dana kampanye.
Kedua, merubah metode kampanye dari diadakan sendiri
oleh pasangan calon bersama tim sukses menjadi
diadakan oleh penyelenggara Pemilukada. Ketiga,
mengecilkan porsi cara kampanye yang berbiaya tinggi
(melakukan konvoi, mengundang artis, membagi-bagi
atribut kampanye) dan secara bersamaan memperbesar
persentase cara kampanye debat publik. Guna
mensukseskannya, bila pasangan calon masih melanggar
aturan pembatasan aktivitas kampanye yang hura-hura
itu, maka penyelenggara Pemilukada mengganjarnya
dengan sanksi.
- 14 -
4
Jabatan Kepala Daerah dan
Pemilukada
Beberapa waktu yang lalu, sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Depok mengajukan
laporan kepada Panwaslu Kota Depok terkait dengan
adanya seorang calon walikota yang juga masih
menjabat
sebagai
walikota
(incumbent)
yang
menggunakan mobil dinas untuk acara halal bi halal dan
Apel Siaga DPD PKS di Gedung Balai Rakyat. Sebagai
reaksi atas laporan itu, Panwaslu Kota Depok kemudian
memanggil tim sukses dan calon walikota yang
dimaksud untuk dimintai keterangan. Prihandoko, selaku
Ketua Tim Sukses dari kandidat itu, mengklarifikasi
bahwa calon walikota tersebut hadir dalam kapasitasnya
sebagai walikota.
Ilustrasi di atas hanya satu cerita kecil tentang
bagaimana seorang kepala daerah incumbent dapat
menggunakan fasilitas yang bertautan dengan
jabatannya. Karena posisinya itu pula, seorang calon
kepala daerah incumbent memiliki priviledge atau
keistimewaan bila dibandingkan dengan kandidat
lainnya dengan mengatasnamakan tugasnya sebagai
kepala daerah. Sebagai contohnya, memberikan bantuanbantuan
sosial
dan
melakukan pembangunan
infrastruktur (jalan, jembatan, rumah ibadah). Tindak
tanduk kepala daerah itu tentu saja bukan menggunakan
- 15 -
dana dari kantong pribadi, melainkan dana dari APBD.
Selain itu, yang tak kalah dikhawatirkan tentunya ialah
seorang kepala daerah bisa saja melakukan tindakantindakan yang sifatnya negatif, seperti penyalahgunaan
fasilitas negara dan politisasi birokrasi meskipun
peraturan perundangan-undangan telah mengatur hal-hal
itu beserta sanksinya.
Keistimewaan yang dipunya oleh kepala daerah
incumbent ini tentu saja tidak adil bagi kandidatkandidat lainnya. Pasalnya, di saat semua calon lainnya
menggunakan dana pribadi untuk keperluan Pemilukada,
kepala daerah incumbent bisa tidak perlu merogoh kocek
pribadinya dalam-dalam dengan berlindung di balik
pengatasnamaan jabatan.
Aturan Main
Awalnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak mengatur sama sekali
ketentuan mengenai kepala daerah incumbent yang
berniat maju kembali dalam Pemilukada berikutnya.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah menerbitkan UU
No.12 Tahun 2008 yang salah satu isinya yaitu
mempertegas pembatasan syarat pendaftaran untuk
kepala daerah incumbent. Pasal 58q undang-undang
tersebut menyebutkan bahwa seorang kepala daerah
incumbent yang berhasrat untuk maju kembali dalam
gelanggang pesta demokrasi lokal harus mengundurkan
diri sejak pendaftaran.
Hadirnya klausul tersebut lantas mendorong
Sjahroedin Zp, Gubernur Lampung kala itu yang juga
berkeinginan untuk bertarung kembali
dalam
Pemilukada, untuk melakukan judicial review ke
- 16 -
Mahkamah Konstitusi (MK). Sjahroedin beranggapan
bahwa pasal 58q telah menimbulkan kerugian hak
konstitusional bagi seorang calon kepala daerah. Hak
konstitusional yang dimaksudkan meliputi dua hal.
Pertama, perlakuan tidak sama yang dialami kepala
daerah selaku pejabat negara dengan pejabat negara
lainnya ketika mencalonkan diri pada jabatan yang sama
periode berikutnya. Kedua, pengurangan masa jabatan
kepala daerah.
Pada tanggal 4 Agustus 2008, akhirnya MK
mengeluarkan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008
yang membatalkan pasal 58q UU Nomor 12 Tahun
2008. Akibat keluarnya putusan MK itu, sekarang ini
kepala daerah incumbent tidak perlu lagi mengundurkan
diri melainkan hanya melakukan cuti pada saat hari
kampanye Pemilukada. Putusan MK itulah yang
digunakan sebagai landasan hukum sampai dengan saat
ini untuk mengatur mundur atau tidaknya seorang kepala
daerah incumbent.
Pilihan Kebijakan
Terlepas dari keberadaan aturan main yang
berlaku, tak dimungkiri bahwa pengaturan jabatan
kepala daerah incumbent merupakan salah satu hal yang
perlu diproritaskan. Pengaturan itu penting agar di masa
yang akan datang gerak langkah kepala daerah
incumbent yang bertindak atas nama jabatan untuk
kepentingan pribadinya dalam Pemilukada dapat
diminimalisir
kemungkinan terjadinya.
Apalagi,
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilukada
termasuk salah satu RUU yang masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.
- 17 -
Oleh karena itu, terdapat sejumlah alternatif
solusi yang tidak menutup kemungkinan dapat
digunakan oleh para pengambil kebijakan. Pertama,
mewajibkan kepala daerah untuk cuti selama waktu
tertentu. Misalnya saja, selama enam bulan. Selama
kepala daerah incumbent tidak menjabat, tugas kepala
daerah diemban oleh Pelaksana Tugas (Plt.). Di samping
itu, untuk mendukung kesuksesan aturan ini, perlu dibuat
aturan tambahan yang melarang kepala daerah untuk
memberikan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat
di tahun ke empat masa jabatannya.
Kedua, melarang kepala daerah ikut dalam
Pemilukada secara berturut-turut. Artinya, periode
jabatan kepala daerah diatur secara berselang selama satu
periode. Dalam bahasa lain, seorang kepala daerah
incumbent boleh kembali mencalonkan diri dalam
Pemilukada untuk kedua kalinya setelah berselang lima
tahun. Selain bertujuan untuk membatasi kemungkinan
penyalahgunaan kewenangan, usulan ini juga sekaligus
ditujukan agar proses regenerasi kepemimpinan daerah
dapat tetap berjalan.
- 18 -
5
Sintesis Demokrasi dan Teknologi
Dalam E-voting
Perkembangan teknologi boleh jadi berjalan
beriringan dengan bergulirnya proses demokrasi di
sebuah negara. Salah satu contoh nyatanya adalah
pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh Barack
Obama pada Pemilu Presiden di Amerika Serikat yang
memanfaatkan Facebook sebagai media untuk
menjangkau calon pemilih.
Dengan didukung kemajuan teknologi juga,
terdapat alternatif cara menggunakan hak pilih dalam
pemilihan umum, yakni electronic voting (e-voting).
Bertautan dengan contoh yang disebutkan
terakhir, di Kabupaten Jembrana pada tahun 2009 lalu,
perhelatan pemilihan kepala desa (Pilkades) di sejumlah
desa berjalan relatif sukses dengan menggunakan metode
e-voting tersebut. Fenomena Pilkades dengan e-voting di
Jembrana lantas menarik minat dan keingintahuan
banyak kalangan (anggota DPR, Mendagri, dan beberapa
kepala daerah).
Ketertarikan itu bahkan sampai mendorong
mereka untuk mengunjungi salah satu kabupaten di Bali
tersebut, dengan maksud untuk melihat langsung proses
dan mekanisme e-voting. Meskipun masih dalam ruang
lingkup yang kecil (tingkat desa), apa yang telah “diuji
- 19 -
coba” di Jembrana sangat layak diapreasiasi dan
diacungi jempol.
Keberhasilan di tingkat Pilkades kemudian
menginspirasi Pemerintah Daerah (Pemda) Jembrana
untuk menginisiasikan perubahan teknik memilih dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jembrana, yang
dari sebelumnya menggunakan teknik mencoblos
menjadi e-voting.
Keinginan kuat Pemda Jembrana terlihat dari
usaha mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke
Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir tahun 2009.
Permohonan Pemda Jembrana tersebut terdaftar di MK
dalam
permohonan
Nomor
147/PUU-VII/2009.
Kekurangan dan Kelebihan
E-voting secara umum dapat diartikan sebagai
menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilihan yang
didukung oleh alat elektronik. Ragam dari alat elektronik
mencakup pendaftaran suara secara elektronik, penghitungan suara secara elektronik, dan belakangan termasuk
channel untuk memilih dari jarak jauh, khususnya
internet voting (Kersting dan Baldersheim, 2004: 5).
Teknik e-voting yang telah dipraktikkan di Jembrana
belum sampai tahap menggunakan metode internet
voting, melainkan baru menggunakan teknik mesin
penghitung suara.
Digulirkannya ide untuk mewujudkan e-voting
tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki.
Secara garis besar, keunggulan e-voting berhubungan
erat dengan faktor efisiensi dan akurasi. Efisiensi yang
- 20 -
dimaksudkan dalam hal ini adalah penghematan biaya
dan waktu.
Secara filosofis, penyelenggaraan sebuah pemilu
semestinya mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall, et al,
2006: 24). Terkait hal itu, seperti diberitakan banyak
media massa, masalah tidak tersedianya (dan atau belum
cairnya) anggaran menjadi salah satu masalah yang
menghinggapi banyak daerah yang pada tahun 2010 ini
akan menggelar Pilkada. Menurut data yang pernah
dilansir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, dari
244 daerah (tujuh provinsi dan 237 kabupaten/kota), 122
di antaranya harus berhadapan dengan masalah anggaran
yang belum juga cair (Media Indonesia, 24/1/2010).
Padahal, tidak sedikit dari ratusan daerah itu yang di
awal tahun 2010 ini sudah harus masuk tahapan Pilkada
seperti pendaftaran pemilih, pembentukan pengawas,
dan sebagainya.
Berangkat dari konteks itu, apabila syarat
pendukungnya terpenuhi, e-voting dapat menjadi
alternatif solusi untuk masalah anggaran dalam Pilkada.
Teknik e-voting, menurut Kepala Dinas Perhubungan,
Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Jembrana,
Komang Wyasaeng, menghemat dana hingga 70 persen
dibandingkan biaya pemilihan umum dengan sistem
yang selama ini berlangsung, yaitu mencoblos atau
mencentang (www.tempointeraktif.com).
Selain efisien dalam aspek anggaran, nilai efisien
juga terdapat pada masalah waktu. Berdasarkan
pengalaman di sejumlah negara, voting lewat perangkat
elektronik akan mempercepat pemilih untuk mengetahui
hasil pemilu. Sebab, biasanya jika pagi hari diproses,
malam harinya sudah diketahui hasilnya. Jadi, pemilih
- 21 -
tidak usah menunggu selama 30 hari untuk mengetahui
hasil pemungutan suara (www.jembranakab.go.id).
Kedua, terkait akurasi, menyitir Willis, kecepatan dan
akurasi suatu pemilu adalah hal yang penting dalam
demokrasi modern (1966:26). Selama di-support oleh
Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berbasis Sistem
Administrasi Kependudukan (SIAK), e-voting jauh lebih
akurat dalam konteks hasil perhitungan dibandingkan
cara penghitungan manual.
Di samping sejumlah keunggulan di atas, evoting juga mengandung beberapa kelemahan. Pertama,
jika ternyata petugas pemilu tidak memiliki pengetahuan
yang memadai tentang e-voting. Moynihan (2004: 516),
misalnya, mengkhawatirkan apabila teknologi e-voting
gagal, akan mengurangi legitimasi terhadap pemilu.
Kedua, bagi sejumlah kelompok pemilih (seperti
kelompok pemilih usia lanjut), e-voting berpotensi tidak
disukai. Hasil riset Roseman, Jr dan Stephenson (2005:
39) dalam Pemilihan Gubernur di negara bagian
Georgia, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa ternyata
pemilihan dengan menggunakan teknologi tinggi (evoting) tidak cukup disukai oleh para calon pemilih
berusia tua (di atas 65 tahun).
Faktor Pendukung
Pertanyaannya kemudian: apakah mungkin
Pilkada menggunakan e-voting? Di masa yang akan
datang, bukan tidak mungkin Pilkada dengan e-voting
dapat diejawantahkan. Untuk memanifestasikannya,
terdapat beberapa faktor pendukung yang harus
dipenuhi. Pertama, asas legal formal. UU No. 32 Tahun
2004, mau tidak mau, harus direvisi. Usaha Pemda
- 22 -
Jembrana mengajukan judicial review merupakan salah
satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi terhadap
revisi Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004. Belum lagi, DPR
RI tahun ini juga mengagendakan penyusunan
Rancangan Undang-Undang Pilkada. Apabila MK
mengabulkan permohonan Bupati Jembrana, maka
kemungkinan dimasukkannya klausul tentang e-voting
akan semakin besar.
Kedua, masalah infrastruktur. Infrastruktur utama
adalah sistem pendataan penduduk dengan menggunakan
SIAK. Terakhir, faktor sosialisasi. Ketika nantinya
prasyarat pelembagaan formal dan infrastruktur telah
terpenuhi, sosialisasi yang gencar mengenai e-voting
mutlak harus dilakukan.
- 23 -
- 24 -
6
Berduyun-duyun Melanggar
Pemilukada
Tahun 2010 meninggalkan sejumlah catatan
dalam bidang politik lokal. Salah satu di antaranya yang
bertautan dengan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada)
adalah tingginya jumlah pelanggaran dalam Pemilukada
tahun lalu.
Catatan penulis menyitir laporan Badan
Pengawas
Pemilu
(Bawaslu),
untuk
tingkat
kabupaten/kota, terjadi pelanggaran di 154 dari 237
kabupaten/kota yang menggelar Pemilukada (64,9%).
Sedangkan, untuk tingkat provinsi, terjadi pelanggaran di
7 provinsi atau seluruh provinsi yang menghajat
Pemilukada.
Dari segi jumlah, total laporan pelanggaran yang
diterima Bawaslu adalah 1767 pelanggaran. Dari jumlah
tersebut, bila diklasifikasi, pelanggaran terbesar
menyangkut laporan pelanggaran administrasi dengan
jumlah total sebesar 1179 pelanggaran, diikuti laporan
pelanggaran pidana jumlah total sebesar 572
pelanggaran, dan kemudian laporan pelanggaran kode
etik oleh Penyelenggara Pemilu jumlah total sebesar 16
pelanggaran.
Eksistensi banyaknya pelanggaran penting
disoroti karena berpengaruh terhadap kualitas
Pemilukada itu sendiri. Menyitir Gamze Cavdar (dalam
- 25 -
M. Alvarez, et.al., 2008: 53), untuk menilai kualitas
sebuah pemilu, kita harus melihat proses pemilu atau apa
yang terjadi ketika pemilu dilaksanakan. Artinya,
semakin banyak pelanggaran yang terjadi, maka semakin
berkurang kualitas sebuah Pemilukada. Berangkat dari
tidak sedikitnya angka laporan pelanggaran di atas,
menarik untuk mempertanyakan apa yang menjadi
musabab terjadinya banyak pelanggaran pada
Pemilukada tahun 2010?
Pertama, kelemahan dalam prosedur Pemilukada.
Kelemahan yang dimaksud dapat mengambil tiga
bentuk, yaitu kekosongan hukum, regulasi yang belum
tegas, dan pengaturan yang tidak sinkron di antara
regulasi yang ada. Kekosongan hukum dapat dilihat,
sebagai contoh, pada ketiadaan aturan berikut sanksi
untuk tindakan penyalahgunaan jabatan serta
penggunaan fasilitas negara yang dilakukan di luar tahap
kampanye.
Bentuk kedua, regulasi yang belum tegas
menimbulkan penafsiran yang berbeda diantara para
pihak relevan dengan kasus dukungan ganda yang terjadi
di Pemilukada Depok. Dukungan Partai Hanura yang
diberikan kepada pasangan calon Yuyun-Pradi dan BKSupri yang akhirnya diputuskan oleh KPUD Depok jatuh
untuk pasangan Yuyun-Pradi menimbulkan penafsiran
yang beragam dari stakeholders Pemilukada Depok.
Bentuk ketiga, yakni adanya pengaturan yang
tidak sinkron di antara regulasi yang ada.
Ketidaksinkronan ini menyebabkan ketidakpastian
hukum, baik antara Undang-Undang dengan UndangUndang, Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah
atau Peraturan KPU, maupun antara Peraturan
- 26 -
Pemerintah dengan Peraturan KPU. Untuk menyebut
contohnya, yaitu pengaturan tentang Daftar Pemilih
Sementara (DPS) Pemilukada menurut UU No. 32
Tahun 2004 bersumber dari Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Pemilu yang terakhir (baca: dari DPT Pemilu Presiden).
Di sisi lain, Peraturan KPU menyebutkan bahwa DPS
Pemilukada diperoleh dari data pemerintah. Terhadap
DPT Pemilu Presiden, Peraturan KPU hanya
mengatakan kalau DPT Pemilu Presiden tersebut dapat
digunakan. Ketidakpaduan regulasi ini jelas mempersulit
pelaksana Pemilukada (terutama Panwaslu) dalam
mengidentifikasi pelanggaran dan bahkan bisa menjadi
salah satu sumber pemicu polemik dan konflik.
Musabab kedua adalah terbatasnya kewenangan
institusi pengawas Pemilukada. Merujuk UU No. 22
Tahun 2007, disebutkan bahwa kewenangan lembaga
Panwaslu hanya ”sekedar” menyampaikan temuan dan
laporan dugaan pelanggaran. Pelanggaran administrasi
Pemilu diserahkan kepada KPU, sedangkan temuan dan
laporan atas dugaan pelanggaran pidana dirujuk kepada
Kepolisian. Melihat hal itu, dapat dikatakan bahwa
Panwaslu tidak memiliki kewenangan yang relatif kuat
karena Panwaslu tidak boleh menjatuhkan sanksi atas
pelanggaran yang terjadi.
Sebab ketiga ialah penegakan terhadap
pelanggaran yang lemah. Kembali mengacu pada laporan
Bawaslu, selama tahun 2010, dari 1125 temuan
pelanggaran yang diteruskan ke KPUD, hanya 27
(2,29%) saja yang ditindaklanjuti oleh KPUD. Juga,
untuk pelanggaran pidana, dari total 532 laporan yang
diteruskan ke Kepolisian, hanya 168 laporan (29,37%)
yang ditindaklanjuti.
- 27 -
Langkah lanjutan
Langkah lanjutan untuk meminimalisir jumlah
pelanggaran tak lain bertaut dengan perubahan aturan
main. Perubahan aturan main paling tidak mencakup tiga
hal. Pertama, pengurangan ruang kosong dalam aturan
main Pemilukada. Kedua, perbaikan atas aturan
Pemilukada yang mengandung penafsiran ganda. Ketiga,
sinkronisasi aturan Pemilukada dengan aturan lain yang
berkaitan. Selain perubahan regulasi menyoal pengaturan
pelaksanaan Pemilukada, revisi aturan main juga harus
berlaku untuk penguatan wewenang Panwaslu. Langkah
berikutnya ialah penguatan penegakan hukum. KPU
Pusat harus bisa menekankan kepada seluruh KPUD
agar menindaklanjuti setiap temuan pelanggaran
administrasi yang diperoleh Panwaslu. Begitu juga
dengan pihak Kepolisian terhadap pelanggaran pidana.
Langkah lain yang penting untuk ditempuh yakni dengan
menggandeng institusi lain, seperti LSM, untuk
memperkuat fungsi pengawasan.
- 28 -
Bagian II
Pencalonan dalam
Pemilukada
- 29 -
- 30 -
7
Menjaring Kepala Daerah Lewat Survei
Setiap partai politik maupun bakal calon tentu
berkeinginan untuk menang dalam Pilkada. Kemenangan
dalam Pilkada harus dapat diraih dengan persiapan yang
matang, termasuk pemilihan strategi pemenangan. Untuk
menjadi pemenang dalam Pilkada sebuah tim sukses
pasangan calon harus memiliki 1000 alternatif strategi.
Pasalnya, tidak ada satu strategi khusus yang ampuh
dipakai untuk semua Pilkada.
Meskipun harus memiliki banyak pilihan strategi
dan juga adaptif dengan perkembangan waktu dan
kehidupan masyarakat, bukan berarti strategi itu tidak
dapat ditarik garis besar pola umumnya. Dalam buku
How to Win An Election: Lessons from The Experts,
(Chay Florentino Hofilena (Ed.), 2006), Miriam Grace
dan Booma Cruz menyebut dua langkah besar yang
berkaitan dengan cara memenangkan pemilihan. Salah
satu langkah yang penting adalah mempersiapkan untuk
menang.
Dalam kaitannya dengan langkah mempersiapkan
untuk menang, setiap partai politik semestinya
memberikan penilaian terhadap orang yang akan
didukung (baik diri sendiri maupun orang lain bagi
anggota tim sukses) sebagai kandidat. Menurut Grace
dan Cruz, sebelum memutuskan untuk naik ke dalam
arena Pilkada, 9 (sembilan) hal dari dalam diri yang
harus dipertimbangkan antara lain : (1) tujuan, (2)
- 31 -
kualifikasi, (3) nilai, (4) personality, (5) reputasi, (6)
mekanisme pendukung, (7) keuangan, (8) kesehatan, dan
(9) peluang untuk menang.
Yang menarik, belakangan ini partai politik
mulai menganggap survei sebagai sesuatu yang penting
untuk dipakai dalam penjaringan dan penentuan calon
dalam Pilkada. Sebagai contoh indikasinya, Ketua
Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, menyatakan
secara nasional Partai Golkar akan mengusung calon
melalui mekanisme survei. Jika berdasarkan hasil survei
calon kepala daerah tersebut layak dijagokan, maka DPP
Partai Golkar akan segera menetapkan.
Berdasarkan pengamatan penulis dan informasi
yang dapat dipercaya dari rekan-rekan penulis yang
bekerja pada beberapa lembaga survei, lembaga surveilembaga survei berskala nasional sudah mulai “turun
lapangan” dan melakukan survei dengan berdasarkan
basis permintaan oleh bakal calon atau partai politik
untuk Pilkada Depok.
Memosisikan survei sebagai salah satu tools
untuk menentukan calon yang akan diusung jelas
merupakan sinyalemen yang positif untuk kemajuan
pelembagaan partai politik. Hal itu dikarenakan dapat
diartikan bahwa partai politik mulai serius menggunakan
metode ilmiah untuk bertarung dalam Pilkada. Pasalnya,
selama ini, menurut Lili Romli, dkk dalam buku
Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia (2008:
24), partai politik memiliki kecenderungan bersifat
oligarkis dalam proses pencalonan dalam sebuah
pemilihan, di mana pengambilan keputusan partai politik
hanya didominasi oleh elit.
- 32 -
Dalam proses Pilkada, hasil seleksi bakal calon
yang berlangsung panjang dan demokratis di tingkat
bawah acapkali belum tentu menjadi pertimbangan
utama pengambilan keputusan. Artinya, terjadi
perbedaan antara aspirasi pengurus atau konstituen di
tingkat bawah dengan keputusan partai politik pada
tingkatan di atasnya dalam menentukan calon yang akan
diusung atau didukung. Ditambah lagi, seringkali juga
terjadi konstituen tidak mendapatkan penjelasan yang
memadai mengenai kelayakan calon yang diusung oleh
partai politiknya, baik dari segi kapabilitas, integritas
maupun elektabilitas (tingkat kemungkinan terpilih).
Akibatnya, tidak sedikit partai politik yang
mengalami kekisruhan yang disebabkan pengambilan
keputusan mengenai calon yang akan diusung atau
didukung. Kasus yang belum lama ini terjadi di
Kabupaten Tabanan di mana pendukung calon bupati
dari salah satu partai politik melakukan tindakan anarkis
dengan melakukan perusakan posko yang dimiliki oleh
partai politiknya merupakan salah satu contoh yang
relevan. Kasus itu diawali oleh keluarnya rekomendasi
susulan yang dikeluarkan oleh DPP partai politik
tersebut yang isinya berbeda dengan rekomendasi awal.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kiranya
survei sekarang ini dianggap sebagai salah satu jalan
keluar untuk masalah pencalonan oleh sebuah partai
politik. Salah satu alasannya yakni dalam Pilkada secara
langsung, pemilih menjadi fokus yang suaranya harus
direbut untuk dapat memenangkan Pilkada. Hasil survei
bisa menjadi sumber informasi untuk dapat
memenangkan Pilkada. Karena, sebagai salah satu
intrumen ilmiah, survei dapat memberikan informasi
- 33 -
kepada partai politik atau bakal calon mengenai seberapa
besar tingkat elektabilitas bakal calon yang mereka
usung, apa kelebihan dan kekurangan dari bakal calon,
masalah-masalah di daerah itu yang ingin dicarikan
solusinya dan program-program yang diinginkan oleh
para pemilih.
Di samping validitasnya dapat dipercaya, survei
juga dapat berfungsi sebagai pencegah kisruh yang dapat
terjadi akibat ketidakpuasan pendukung pasangan calon.
Caranya adalah dengan mengukuhkan survei dalam
ketentuan internal (AD/ART) partai politik sembari
memberi penegasan dalam aturan itu bahwa setiap
pendukung pasangan calon harus menerima apapun hasil
yang diperoleh dari survei.
- 34 -
8
Kandidasi, Klaim, dan
Keputusan Politik
Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Kota
Depok akan menggelar Pemilu Kepala Daerah
(Pemilukada) untuk memilih pemimpin kota ini untuk
periode 2011-2016. Jika tidak terjadi perubahan, maka
pada tanggal 16 Oktober 2010 akan menjadi hari-H
pemungutan suara.
Hal yang menjadi bahan pembicaraan sejumlah
pihak, seperti politisi dan akademisi, di Kota Depok
adalah menonjolnya persoalan kandidasi (pencalonan)
untuk posisi walikota dan atau wakil walikota yang
banyak berbuntut pada ketidakpuasan baik di kalangan
internal pengurus partai politik (parpol) maupun di
kalangan grassroot (akar rumput). Sekedar menunjukkan
contoh, di tubuh Partai Golkar timbul kekecewaan dari
Naming Bothin dan pendukungnya dikarenakan DPP
Partai Golkar memutuskan akan mendukung Badrul
Kamal sebagai calon walikota. Tidak terlampau jauh
berbeda, di Partai Demokrat juga terdapat perbedaan
pandangan dari bakal calon Agung Witjaksono mengenai
perbedaan antara rekomendasi dan keputusan. Dukungan
yang diberikan kepada pasangan Badrul KamalSupriyanto dalam kacamata Agung Witjaksono tidak
lebih hanyalah rekomendasi dan belum berwujud
keputusan (akhir) Partai Demokrat. Begitu juga, gejala
- 35 -
riak-riak politik tidak terkecuali juga menghinggapi PDIPerjuangan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa
hal ini bisa terjadi dan apa saja konsekuensinya?
Klaim dan Keputusan Politik
Klaim (pengakuan) politik adalah berbeda
dengan keputusan politik. Klaim politik adalah
pengakuan sepihak dari satu atau lebih bakal calon
bahwa dia atau mereka adalah bakal calon walikota atau
wakil walikota. Klaim politik dapat dicirikan: pertama,
tidak memerlukan legitimasi dari parpol dan dapat pula
dilakukan oleh calon independen. Kedua, klaim politik
bisa berjumlah lebih dari satu.
Di banyak jalan di Kota Depok belakangan ini
kita lumayan sering melihat banyak bakal calon
Walikota Depok maupun calon Wakil Walikota Depok
memasang baliho klaim politik sebagai bakal calon.
Klaim politik sebetulnya dapat dinilai sebagai salah satu
hal yang sah-sah saja apabila dilakukan oleh banyak
orang sepanjang klaim politik itu hanyalah untuk
meramaikan „pesta demokrasi lokal‟ Kota Depok.
Sedangkan, yang berikutnya, yakni keputusan
politik adalah dukungan resmi parpol terhadap salah satu
pasangan calon walikota dan wakil walikota. Bedanya
dengan klaim politik adalah pada sisi legitimasi dan
jumlah. Keputusan politik pada umumnya dan
seharusnya berjumlah satu. Jika terdapat keputusan
politik yang lebih dari satu, boleh jadi hal itu disebabkan
oleh adanya perpecahan di dalam parpol.
Yang terjadi di beberapa parpol Kota Depok
dalam kaitannya dengan kandidasi walikota dan wakil
walikota bermuara pada maraknya klaim politik di
- 36 -
parpol-parpol tersebut. Hal itu belum termasuk klaim
politik yang juga dilakukan oleh kandidat-kandidat yang
„berminat sendiri‟ dan bahkan tidak memiliki afiliasi
politik sama sekali dengan parpol manapun.
Ramainya klaim politik tadi disebabkan oleh
sejumlah hal. Pertama, masih relatif panjangnya waktu
untuk sampai ke tahap pendaftaran calon oleh parpol ke
KPUD untuk calon yang diusung oleh parpol.
Sedangkan, untuk calon independen, akhir Juni ini malah
telah masuk pada tahap verifikasi.
Kedua, masih cukup cairnya konstelasi politik
Kota Depok. Meskipun beberapa parpol telah
mengeluarkan keputusan dan atau rekomendasi politik
mendukung calon tertentu, parpol-parpol masih belum
selesai menghitung kemungkinan-kemungkinan siapa
bakal calon yang akan mereka usung dalam Pemilukada
nanti. Indikasinya adalah dalam beberapa minggu yang
lalu, pergantian wacana siapa bakal calon yang akan
didukung oleh salah satu parpol, misalnya, sangat sering
terjadi.
Ketiga, begitu kentalnya motif persaingan
kepentingan. Dapat dimafhumi bahwa baik bakal calon
maupun parpol memiliki kepentingan masing-masing
yang tidak menutup kemungkinan saling berbenturan.
Konsekuensi
Berbicara konsekuensi, dapat dibagi menjadi
konsekuensi untuk parpol dan untuk masyarakat Kota
Depok. Bagi parpol, jelas kandidasi ini merupakan hal
yang akan kontraproduktif apabila tidak ditangani
segera. Friksi yang terjadi jangan sampai menjalar
berubah menjadi salah satu potensi konflik internal
- 37 -
parpol itu sendiri. Di Partai Golkar, contohnya, pasca
keputusan Partai Golkar yang tidak memutuskan
mendukung dirinya, Naming Bothin mewacanakan akan
keluar dari Partai Golkar.
Konsekuensi kedua, untuk parpol adalah tidak
solidnya dukungan internal parpol terhadap pasangan
calon yang nantinya akan didukung oleh parpol tersebut
dalam Pemilukada. Hal yang jamak terjadi adalah
beralihnya dukungan di tingkat grassroot (akar rumput)
parpol. Siapa kandidat definitif yang di-endorse oleh
parpol „digembosi‟ oleh sebagian pendukungnya sendiri
karena dianggap calon itu tidak sesuai dengan pilihan
mereka.
Terakhir, bagi masyarakat Kota Depok, berubahubahnya isu mengenai siapa yang didukung oleh parpolparpol jelas membuat masyarakat Kota Depok bingung.
Pasalnya, kesan yang dapat diambil adalah bahwa
selama ini tidak terdapat perbedaan antara klaim politik
dan keputusan politik tentang calon walikota dan wakil
walikota.
- 38 -
9
Episode Baru Pesta Demokrasi Depok
Awal Juli 2010 lalu, seorang wartawan surat
kabar nasional berbahasa Inggris mewawancarai penulis
dan bertanya perihal perkiraan jumlah pasangan calon
yang akan maju pada Pemilu Kepala Daerah
(Pemilukada) tahun 2010. Penulis menjawab, “Minimal
tiga pasang, maksimal 4 pasang”.
Ternyata, dugaan penulis benar adanya.
Perkembangan sementara menunjukkan bahwa bakal
calon yang pada akhirnya mendaftar ke KPUD Kota
Depok adalah empat pasangan, yaitu Yuyun
Wirasaputra-Pradi Supriatna (memakai istilah Yudistira)
didukung oleh Partai Gerindra dan 14 parpol nonparlemen; Gagah Sunu Sumantri-Derry Drajat (bakal
calon independen); Badrul Kamal-Agus Supriyanto
(disingkat BK-Pri) didukung oleh Partai Demokrat,
Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai
Sejahtera, Partai Hanura, dan Partai Demokrasi
Pembaruan; serta Nur Mahmudi Isma‟il-Idris Abdul
Shomad (menggunakan singkatan Nur-Berkhidmat)
didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat
Nasional, Partai Patriot, PNBK, dan Partai RepubliKAN.
Pra-kondisi
Meskipun penulis mengakui bahwa sampai hariH batas akhir pendaftaran calon, semua klaim politik
- 39 -
dari individu-individu tidak dapat dipandang sebelah
mata
kemungkinan
kebenarannya,
fenomena
tereliminasinya banyak orang yang sebelumnya santer
diperbincangkan akan menjadi calon walikota atau wakil
walikota dan bertahannya empat pasang bakal kandidat
tersebut tidak terlalu mengagetkan. Terdapat sejumlah
prakondisi yang telah diperkirakan akan mendukung
termanifestasikannya keadaan yang penulis sebut
sebagai 3P Plus 1I (singkatan dari Tiga Pasang Calon
Parpol Plus 1 Pasang Calon Independen).
Pertama, kuatnya elit politik lama dan lemahnya
elit politik baru. Elit politik lama yang dimaksud penulis
dalam hal ini adalah elit politik yang pernah dan atau
sedang menjabat Walikota atau Wakil Walikota Depok,
sedangkan elit politik baru adalah yang bersifat
sebaliknya.
Disadari ataupun tidak, terdapat konsensus tidak
tertulis di benak pengurus-pengurus parpol-parpol
sekaligus warga Kota Depok mengenai kepercayaan
terhadap elit-elit politik yang pernah dan sedang
berkuasa. Hal itu tercermin dari kesimpulan singkat
penulis setelah membaca hasil survei yang jauh-jauh hari
pernah dirilis banyak lembaga survei. Kesimpulan yang
dimaksud adalah bahwa pada peringkat tiga besar,
masyarakat maupun parpol tetap meletakkan pilihannya
pada tiga nama: Nur Mahmudi Isma‟il, Yuyun
Wirasaputra, dan Badrul Kamal.
Sejumlah nama lain yang tidak jarang disinggung
oleh media massa dan dikabarkan berpotensi kuat untuk
menjadi bakal calon, seperti Agung Witjaksono, Babai
Suhaimi, Hasbullah Rahmat sampai Naming Bothin,
memang tetap mendapat tempat di sebagian warga Kota
- 40 -
Depok, akan tetapi mereka tidak sanggup menembus
kokohnya barikade tiga elit politik lama. Satu-satunya
yang benar-benar boleh disebut sebagai calon elit politik
baru adalah bakal calon independen, Gagah Sunu
Sumantri. Adapun keikutsertaan Gagah jauh didorong
oleh faktor latar belakang Gagah yang non-parpol.
Penulis menilai, boleh jadi Gagah juga telah
mempertimbangkan bahwa tidak mudah untuk meraih
restu dari parpol, sehingga Gagah lebih memilih jalur
independen.
Kedua, perkiraan hitung-hitungan politik.
Seoptimis apapun seorang atau sepasang bakal calon,
apabila ingin masuk ke panggung Pemilukada dengan dibackup oleh parpol, maka wajib menguasai hitunghitungan politik. Dasarnya adalah persyaratan untuk
dapat dicalonkan oleh parpol di UU No. 32 Tahun 20004
tentang Pemerintahan Daerah. Parpol yang secara
otomatis dapat memasang jago dalam Pemilukada Kota
Depok ada dua, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Parpolparpol sisanya, baik yang eksis di DPRD Kota Depok
maupun yang non-parlemen, suka tidak suka mesti
bergabung dengan barisan parpol lainnya.
Tidak Mudah
Bukan perkara mudah untuk memprediksi siapa
yang akan melenggang menduduki kursi pemimpin kota
yang dijuluki Kota Belimbing ini. Setiap pasangan calon
memiliki keunggulan, pendudukung, bahkan juga
strategi politik masing-masing. Cara paling sederhana
untuk mengukur siapa yang akan menang adalah dengan
melihat berapa suara yang diraih masing-masing parpol
pendukung (terutama bagi kandidat dari parpol) pada
- 41 -
Pemilu Legislatif tahun 2009 lalu. Metode ini memang
mudah sekali dimengerti namun tidak bisa dipegang
keabsahannya. Pasalnya, belum tentu semua pemilih
pada Pemilu legislatif tahun 2009 lalu berposisi memilih
sama persis dengan Pemilukada nanti. Belum lagi, faktor
ketidakpuasan elit politik dan massa pendukungnya di
parpol-parpol tertentu membuat metode yang berbasis
parpol ini semakin berkurang relevansinya.
Cara yang kedua adalah dengan melihat kepada
pemilih yang riil, yaitu dengan melalukan survei
elektabilitas (keterpilihan), bukan sekedar survei
popularitas. Cara ini memang lebih mendekati kondisi
nyata. Sebuah survei dapat meng-cover pemotretan
terhadap kondisi masyarakat Kota Depok yang plural
dan kecenderungan mood calon pemilih. Hanya saja,
dalam prakteknya, tantangan terbesarnya adalah
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
- 42 -
10
Satu Lawan Satu
Masih ingat dengan istilah “Change We Can
Believe In”? Ya. Bagi yang mengikuti proses pemilihan
umum (pemilu) Presiden Amerika Serikat (AS) tahun
2008 silam, kalimat itu tentu tak asing lagi.
Barack Obama, kandidat dari Partai Demokrat
yang menggunakan kalimat di atas kala itu, tidak
sembarangan memilih tagline untuk kepentingan
kampanyenya. Bersama tim suksesnya, Obama paham
betul bahwa rakyat AS sedang diterpa oleh krisis
ekonomi yang relatif pelik dan haus akan perubahan,
terutama di bidang ekonomi. Berkat pemilihan isu yang
cerdas itulah, salah satu faktor di antara banyak faktor
lain, lantas Obama memperoleh simpati sekaligus
dukungan dari rakyat AS, sehingga ia terpilih menjadi
Presiden. Sederhana namun seperti yang diinginkan
masyarakat. Itulah kata kunci pemilihan isu dalam
sebuah pemilu, di tingkatan manapun.
Pentingnya sebuah isu dalam sebuah pemilu tak
dapat dimungkiri lagi. Bone dan Ranney dalam Politics
and Voters (1981: 6-10) menyebutkan bahwa orientasi
terhadap isu adalah salah satu bahan pertimbangan
seseorang memilih calon tertentu dalam sebuah pemilu
selain dua faktor lain, yakni identifikasi terhadap partai
politik dan orientasi terhadap calon (baca: figur).
Berkaitan dengan hal itu, seminggu terakhir ini
Pemilukada Depok diwarnai oleh kencangnya
- 43 -
pemberitaan mengenai head to head atau satu lawan
satu. Yang dimaksud dengan satu lawan satu adalah
pertarungan politik antara dua seteru lama, Nur
Mahmudi Isma‟il dan Badrul Kamal.
Menggelindingnya isu tentang head to head
berawal dari adanya dukungan ganda yang diberikan
oleh Partai Hanura Kota Depok kepada dua bakal calon
walikota, yaitu Yuyun Wirasaputra dan Badrul Kamal.
Adanya dukungan ganda tak dapat dibenarkan secara
etika, meskipun landasan hukum Pemilukada tidak
mengatur hal tersebut secara tegas.
Akibatnya,
KPU Kota Depok sebagai
penyelenggara Pemilukada mesti menyelesaikan
sengketa tersebut. Selama berjalannya proses itu, salah
satu tim sukses dari bakal calon Badrul Kamal
melontarkan wacana mengenai akan terjadinya head to
head tadi. Padahal, bakal calon yang telah
meregistrasikan diri ke KPU Kota ada 4 (empat) pasang.
Polemik itu berkembang setelah beredar berita yang
mengatakan bahwa Partai Hanura Kota Depok akan
mencabut dukungan untuk pasangan Yuyun-Pradi
sehingga pasangan Yuyun-Pradi terancam gagal.
Sedangkan, bakal calon independen, Gagah-Derry,
sebelumnya juga terkendala dengan kurangnya syarat
minimal dukungan.
Hal pertama yang perlu digaris bawahi dalam
hubungannya dengan lanjut atau tidaknya satu atau lebih
bakal calon menjadi calon adalah kewenangan instansi
yang menjadi wasit Pemilukada. Pihak yang berhak
untuk memutuskan apakah sepasang bakal calon gagal
atau berhasil menjadi calon bukanlah pasangan calon
lain, melainkan KPU Kota Depok. Terlepas dari apapun
- 44 -
hasil verifikasi nanti, cukup untuk disebut aneh bagi
penulis ketika pihak tim sukses kontestan mendahului
keputusan KPU Kota Depok dengan menyatakan bahwa
akan terjadi head to head.
Kedua, bertautan dengan soal isu seperti
diungkapkan di atas, meskipun belum masuk dalam
masa kampanye, teramat disayangkan bahwa isu head to
head yang digembar-gemborkan adalah isu yang elitis,
alias milik elit-elit politik saja. Selain mempertontonkan
“gontok-gontokan” di depan khalayak, pertanyaan yang
patut diajukan adalah, kenapa di antara semua bakal
calon tidak saling berkompetisi dalam hal tawaran
program saja? Misalnya, apa gagasan untuk mengurangi
jumlah pengangguran di Kota Depok? Hal yang lain,
contohnya, apa solusi yang tokcer dan menarik minat
masyarakat Kota Depok untuk mengatasi kemacetan?
Dua hal yang penulis sebutkan, boleh jadi lebih menarik
bagi
masyarakat
Kota
Depok
ketimbang
memperbincangkan pergulatan tentang head to head
karena pengangguran dan kemacetan masih menjadi
problem yang bergelayut dalam kehidupan sehari-hari
warga Depok.
Selain menarik, isu-isu yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat memiliki korelasi dengan
apatisme calon pemilih. Bukan mustahil, apabila elit-elit
politik di Kota Depok lebih senang menggaungkan
masalah-masalah yang berhubungan dengan diri atau
kelompok mereka sendiri daripada problema-prolema
yang terjadi di masyarakat, masyarakat yang nantinya
akan memilih menjadi acuh dengan Pemilukada. Sebagai
akibatnya, tak menutup kemungkinan tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilukada nanti menjadi menurun.
- 45 -
Ketiga, yang tak luput untuk dikhawatirkan juga
adalah semakin meruncingnya singgungan antara tim
sukses bakal calon yang satu dengan bakal calon lain.
Seperti diberitakan oleh sebuah harian lokal Kota Depok,
setelah kubu Badrul Kamal mewacanakan akan
terwujudnya head to head, tim sukses dari tiga pasangan
bakal calon lainnya bersepakat mengecam isu head to
head. Tidak hanya itu, mereka juga mendesak Ketua
KPU Kota Depok untuk mundur. Potensi konflik seperti
ini akan lebih baik kalau dicarikan jalan keluarnya agar
tak merembet ke persoalan lain.
Akhirnya, alangkah baiknya jika polemik terkait
head to head ini dihentikan. Sebagai gantinya, akan
menjadi lebih menarik bila publik Kota Depok disuguhi
pentas kontestasi menyoal program untuk Kota Depok
ke depan.
- 46 -
11
Koalisi Besar Tidak Mudah
Koalisi besar (big coalition) untuk Pemilu
Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Depok menjadi bahan
perbincangan yang sering digelontorkan di sejumlah
media massa lokal Kota Depok. Pertanyaan
mendasarnya, apakah koalisi yang terdiri dari banyak
partai politik dan mendukung satu paket pasangan calon
itu mungkin diwujudkan?
Pra-kondisi
Ada beberapa pra-kondisi yang sebelumnya
mesti terpenuhi untuk dapat membentuk sebuah koalisi
besar. Pertama, semua partai politik yang masuk dalam
gerbong koalisi tambun itu sudah memiliki kesadaran
dan keyakinan bahwa pasangan calon yang diusung
memiliki potensi kemenangan yang tinggi dan tidak ada
pasangan kandidat lain yang dapat menyaingi pasangan
yang mereka jagokan.
Berdasarkan hasil riset penulis, di Kabupaten
Jepara pada Pemilukada tahun 2007, terdapat
kecenderungan bahwa partai politik-partai politik di
kabupaten yang terkenal dengan meubeul-nya itu
bermufakat mendukung Hendro Martojo (Bupati
incumbent pada saat itu) karena partai politik di sana
meyakini elektabilitas dan potensi kemenangan Hendro
Martojo, serta di masa itu belum ada kandidat yang
dinilai sanggup menjadi pesaing berat Hendro. Oleh
- 47 -
karenanya, kemudian partai politik-partai politik di sana
dengan relatif mudah memutuskan merapat dalam
sebuah koalisi besar.
Kedua, mengutip Andrinof Chaniago, untuk
dapat menyusun bangunan koalisi yang tidak kecil,
kondisi yang umumnya terjadi adalah partai politik
bersepakat
dahulu
berkoalisi,
baru
kemudian
menetapkan pasangan calon bersama (Monitor Depok,
30/1/2010). Pengalaman Pemilukada Provinsi DKI
Jakarta tahun 2007 merupakan contoh yang relevan
dengan argumen tersebut.
Di kala itu, jauh hari sebelum memasuki tahapan
Pemilukada, partai politik-partai politik di Provinsi DKI
Jakarta gencar melakukan pembicaraan di antara sesama
mereka guna termanifestasikannya kemenangan mereka.
Pilihan akan calon Gubernur yang diusung, seperti kita
ketahui, lantas jatuh kepada Fauzi Bowo.
Kota Depok
Bagaimana dengan Kota Depok? Merujuk pada
perkembangan yang dinamis di Kota Depok, penulis
meragukan pencapaian koalisi besar seperti yang
diinginkan sejumlah elit partai politik. Pertama, animo
masyarakat Kota Depok yang begitu membuncah untuk
bersaing menjadi Walikota atau Wakil Walikota tidak
paralel dengan pra-kondisi yang penulis jabarkan
sebelumnya. Logikanya adalah ketika banyak kalangan
dari partai politik mencoba-coba mengajukan diri untuk
maju, itu artinya di antara partai politik belum terdapat
keyakinan tentang pasangan calon yang akan didukung
yang memenuhi kriteria memiliki potensi kemenangan
- 48 -
yang tinggi serta sulit tersaingi oleh pasangan calon
manapun.
Malahan, penulis menilai bahwa sampai tulisan
ini selesai dibuat, hampir semua partai politik di Kota
Depok masih belum pada tahap selesai melakukan
perhitungan mengenai apa yang disebut oleh Grace dan
Cruz (dalam Hofilena (Ed.), 2006) sebagai peluang
untuk menang. Indikatornya, misalnya, masih terdapat
tindakan elit politik yang berusaha mendaftarkan diri ke
partai politik lain, padahal sudah dideklarasikan menjadi
calon oleh sebuah koalisi.
Kedua, sejalan dengan gagasan Andrinof
Chaniago, partai politik dalam jumlah yang relatif
banyak, belum bersepakat untuk bersama-sama
berkoalisi dan selanjutnya menetapkan pasangan calon
pilihan bersama. Kondisi yang terlanjur sudah terjadi
justru sangat banyak kandidat yang berniat maju
sehingga akhirnya cenderung mau bertarung sendirisendiri. Koalisi 3 (tiga) partai politik, Partai Golkar,
PAN, dan PPP yang dideklarasikan bulan Desember
2009 dan diproyeksikan akan menjadi koalisi besar juga
sekarang ini sedang menghadapi masalah internal
mereka sendiri.
Ketiga, masih berkaitan dengan alasan kedua di
atas, koalisi besar memerlukan pengorbanan dan
pemahaman bersama yang kuat. Pengorbanan yang
dimaksudkan adalah pengorbanan atas kepentingan
masing-masing. Sedangkan, pemahaman identik dengan
sikap mau menerima kesepakatan yang sudah dimufakati
bersama.
Yang menjadi pertanyaan dan sangat menarik
untuk kita tunggu perkembangannya adalah apakah
- 49 -
calon-calon yang sudah berniat maju sekarang ini mau
mengalah demi sebuah koalisi besar? Meski bukan tidak
mungkin, jalan menuju hal itu kelihatannya berat.
Pertama, tarik menarik kepentingan di setiap partai
politik cenderung akan kuat ketika membicarakan
pasangan calon dalam sebuah pemilihan. Pasalnya,
mengambil keputusan mau mendukung pasangan calon
dari partai politik lain, apalagi jika dianggap peluang
menangnya belum jelas betul, bukanlah perkara mudah.
Kedua, yang tidak kalah penting diperhitungkan
adalah jargon “harga diri” partai. Berkaca pada
pengalaman Pemilukada tahun 2005, jumlah pasangan
calon yang sampai 5 (lima) pasang calon banyak
dilatarbelakangi oleh keinginan partai politik
menunjukkan eksistensinya dengan ikut bertarung.
Kesimpulannya, koalisi partai politik-partai
politik dalam jumlah yang besar bukan hal yang
mustahil, namun relatif tidak mudah diwujudkan. Untuk
bisa terlaksana, baik pasangan calon maupun partai
politik-partai politik harus siap melewati banyak
prasyarat yang harus dipenuhi.
- 50 -
Bagian III
Kampanye dan
Pemilihan dalam
Pemilukada
- 51 -
- 52 -
12
Hura-hura Politik
“Buat saya, semua calon walikota dan wakil walikota
sama saja”
(komentar salah seorang kawan di sebuah situs jejaring
sosial)
Isi kalimat yang bernada agak sinis itu dengan
berbagai macam variasi penyampaiannya menjadi
semakin didengar akhir-akhir ini. Intinya, masyarakat
sebagai calon pemilih tidak melihat adanya perbedaan
sekaligus kekhususan dari pasangan-pasangan calon
yang akan bergelut dalam Pemilu Kepala Daerah
(Pemilukada) Depok tahun 2010 ini. Padahal,
keberadaan ciri khas dan daya tarik pasangan calon
adalah penting karena dapat membuat seseorang tergerak
untuk memilih pasangan calon itu.
Bertautan dengan hal tersebut, sejak 29
September 2010 sampai dengan dua minggu setelahnya
adalah masa yang ditetapkan sebagai masa untuk
tahapan kampanye Pemilukada Depok. Momen itu ialah
kesempatan untuk dua belah pihak, yaitu calon-calon
pemilih maupun pasangan-pasangan kandidat. Bagi
calon pemilih, kampanye adalah saat yang ideal untuk
mencari tahu sekaligus mendalami program-program
yang “dijual” pasangan-pasangan calon. Untuk para
- 53 -
pasangan calon, seluruh kegiatan kampanye adalah ajang
untuk merebut hati calon pemilih.
Makna Kampanye
Secara teoretis, menurut Firman Noor (dalam Lili
Romli, et.al, 2009: 57), sebagai bagian dalam proses
pemilu (termasuk Pemilukada), kampanye merupakan
sebuah ritual yang tidak terpisahkan di dalamnya. Hal ini
terutama terkait dengan makna Pemilukada itu sendiri
sebagai media penciptaan “pemerintahan dari rakyat”,
yang secara fundamental mensyaratkan keterlibatan
rakyat secara luas. Dalam pemahaman sedemikian,
kebutuhan akan informasi yang menyeluruh, jujur, dan
transparan mengenai mereka yang akan memerintah atas
nama rakyat dibutuhkan, agar pertimbangan rasional
dalam memilih yang didasari oleh evaluasi atas kandidat
yang tengah memperebutkan jabatan publik itu dapat
terlaksana. Di samping berfungsi menjembatani
kebutuhan informasi calon pemilih, kampanye juga
diyakini dapat membuat situasi dan dukungan politik
berubah dari pemetaan politik sebelum kampanye
digelar.
Sayangnya, substansi dari kampanye seperti
dijabarkan di atas tak jarang bertolak belakang dengan
ranah praktiknya. Kampanye sering dimaknai sebagai
kegiatan hura-hura politik belaka. Artinya, yang
dikedepankan adalah terwujudnya suasana riuh rendah
karena kampanye berisikan aktivitas-aktivitas yang
sifatnya hiburan atau senang-senang saja. Menyitir Leo
Agustino dalam buku “Pilkada dan Dinamika Politik
Lokal” (2009: 202), sebagus apa pun program yang telah
dibuat dan dicanangkan, bagi warga masyarakat tempat
- 54 -
diselenggarakannya Pemilukada yang terpenting adalah
konvoi-konvoi di jalan, memperoleh atribut kampanye
(kaus, topi, syal, bendera, stiker, dan lain-lain), atau
bahkan melihat artis-artis idola dalam acara kesenian
yang diselenggarakan oleh para kandidat. Padahal
sebetulnya ada hal yang jauh lebih urgent dari itu, yakni
mendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan
program kerja-program kerja yang telah disusun oleh
pasangan calon beserta tim sukses mereka.
Pertanyaan selanjutnya yang barangkali timbul
adalah bagaimana langkah menentukan pasangan
kandidat yang terbaik saat kampanye berlangsung? Salah
satunya adalah dengan memperhatikan seberapa terukur
program-program yang ditawarkan oleh setiap pasangan
kandidat. Indikator dari program yang terukur ialah
terdiri dari jabaran target yang jelas yang harus dicapai
beserta berapa lama waktu yang disanggupi untuk
mewujudkan program itu. Jauh lebih baik lagi, bila
pasangan calon itu menyanggupi untuk mengenakan
sanksi
untuk
diri
mereka
sendiri
(berupa
mempertaruhkan jabatannya, misalnya), jika lontaran
janji mereka dalam kampanye gagal dipenuhi.
Sekedar mencontohkan, dalam mengelola
masalah pengangguran, misalnya, taruhlah kita
berangkat dari angka bahwa di tahun 2010 jumlah
pengangguran di Kota Depok adalah 300 ribu jiwa. Jika
berdasarkan prinsip yang penulis deskripsikan di atas,
maka pasangan calon yang terbaik adalah pasangan yang
berani secara lugas menyampaikan dalam kampanyenya
bahwa jika mereka nanti terpilih menjadi walikota maka
mereka sanggup mengurangi angka pengganguran
- 55 -
menjadi 150 ribu jiwa dalam tempo 3 tahun umur
pemerintahan mereka kelak.
Peran Bersama
Penulis
menyadari
bahwa
untuk
bisa
mewujudkan mayoritas warga Depok yang akan
menggunakan hak pilihnya pada tanggal 16 Oktober
nanti
memaknai
kampanye
sebagai
ajang
pengeksplorasian informasi mengenai program-program
yang “dijual” oleh para pasangan kandidat bukanlah
perkara sepele. Sebaliknya, ini adalah pekerjaan rumah
yang relatif berat dan oleh karenanya diperlukan peran
serta bersama banyak pihak agar tujuan ini dapat
direngkuh.
Pertama, tim sukses bisa berkontribusi dengan
cara memilih untuk mewarnai isi kampanye Pemilukada
dengan aktivitas-aktivitas yang tujuannya memanjakan
calon pemilih dengan untaian program-program yang
dapat diukur. Kedua, penyelenggara Pemiluka (KPUD)
juga bisa mensukseskan model kampanye yang bersifat
rasional ini dengan cara membatasi ruang lingkup
kegiatan-kegiatan kampanye yang bersifat aktivitas
bersenang-senang dalam Peraturan KPUD.
- 56 -
13
Nir-Netralitas Birokrasi
dalam Pemilukada
Sebuah ajang pemilihan yang demokratis, baik
Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilu Kepala
Daerah (Pemilukada). umumnya ditandai oleh terjaganya
kriteria-kriteria demokrasi dalam 3 (tiga) aspek, yakni
aturan (electoral laws), proses (electoral processes), dan
hasil (electoral results). Satu dari deretan aspek di atas
yang penting untuk disoroti adalah proses.
Dalam proses penyelenggara Pemilukada, baik
dari sudut pandang pemilu yang ideal maupun dari sudut
pandang birokrasi yang ideal, kita tentu bersepakat
kepada satu kesimpulan, yakni bahwa birokrasi harus
netral dalam politik (termasuk dalam Pemilukada)
Kesimpulan itu dapat diterjemahkan ke dalam 2
(dua) penjelasan. Pertama, tindakan memberi arahan
politik kepada birokrasi tidak boleh dilakukan karena
bisa
dikategorikan
berpotensi
menggugurkan
terpenuhinya salah satu kriteria pemilu yang demokratis,
yakni jaminan akan kebebasan menentukan pilihan
(Ranney, 1987). Kedua, birokrasi tidak boleh sampai
mengalami kondisi yang disebut sebagai nir-netralitas
(atau tidak netral) dalam Pemilukada karena nirnetralitas birokrasi akan membuat birokrasi melanggar
prinsip birokrasi ideal lainnya, yaitu profesional.
- 57 -
Untuk mensukseskan tercapainya Pemilukada
yang bersih dari politisasi birokrasi, dalam rangka
menyambut Pemilukada tahun 2010. Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) telah mengeluarkan Surat Edaran
(SE) bernomor 270/4627/SJ pada tanggal 21 Desember
2009. Pada intinya. SE itu mengingatkan gubernur dan
bupati/wali kota agar menata semua jajaran Pegawai
Negeri Sipil (PNS) untuk menjaga sikap netralnya dalam
Pemilukada.
Tidak Mudah
Sayangnya, mewujudkan birokrasi yang apolitis
dalam Pemilukada bukanlah perkara mudah. Baru-baru
ini. Di suatu kota di Jawa Tengah, misalnya, kepala
daerah incumbent melakukan manuver dalam bentuk
mengarahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk
mendukung pasangan kandidat tertentu yang merupakan
kandidat yang diusung oleh partai politik tempat dia
menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang.
Pimpinan daerah tersebut mengumpulkan
pimpinan SKPD dan camat di rumah pribadinya dan
mengarahkan camat dan para pimpinan instansi yang
hadir kepada salah satu pasangan calon. Undangan
serupa juga ditujukan kepada Forum RT/RW dengan
maksud yang sama.
Masih tersimpannya potensi birokrasi yang tidak
netral dalam Pemilukada didorong oleh beberapa sebab.
Pertama, besarnya aksesibilitas politik, terutama bagi
kandidat incumbent Penjelasannya adalah incumbent
memiliki kekuatan politik alamiah yaitu hak prerogatif
untuk memutasi jabatan PNS yang dibawahinya. Tidak
terhindarkannya perasaan khawatir akan mutasi yang
- 58 -
dilakukan oleh incumbent, jika tidak mendukung
incumbent dalam perhelatan Pemilukada (khususnya
ketika incumbent mencalonkan diri sendiri dan akhirnya
meraup kemenangan), membuat birokrasi secara
psikologis relatif kurang berani untuk memilih lawan
politik incumbent.
Kedua, pembuktian yang sulit. Tidak jarang,
pemanfaatan birokrasi dalam politik bersifat tertutup.
Akibatnya, mengungkap indikasi tidak netralnya
birokrasi dalam Pemilukada menjadi tidak mudah.
Ketiga, masih longgarnya aturan hukum. Pasal 79
ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 memang menyebutkan
bahwa pasangan calon dilarang melibatkan pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Namun, pasal ini dalam prakteknya masih
mengandung kelemahan. Kasus pemanfaatan birokrasi
yang dilakukan oleh kepala daerah untuk pasangan calon
lain (bukan dirinya sendiri) seperti dipaparkan di atas
tidak dapal dijerat karena UU tidak mengatur hal itu.
Pengaturan
Apa yang sebaiknya dilakukan agar kondisi ideal
(birokrasi apolitis) dalam kerangka Pemilukada dapat
diejawantahkan? Pertama, perangkat hukum yang
mengatur mengenai netralitas birokrasi wajib dibenahi
agar lebih komprehensif.
Pembetulan aturan main mengenal birokrasi agar
tidak memihak dalam politik menemukan momentumnya
- 59 -
karena salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas
(Program Legislasi Nasional) tahun 2010 ini adalah
RUU tentang Pemilukada. Alangkah eloknya jika
nantinya DPR mau mengakomodir hal ini.
Kedua, penyelenggara Pemilukada. KPUD dan
Panwas, patut memprioritaskan pengawasan yang ketat
terhadap pelanggaran yang mengambil bentuk
pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan politik salah
satu atau beberapa partai politik ini. Pemberian sanksi
tegas kepada pasangan calon yang melanggar bukanlah
hal yang tabu.
Terakhir, media massa dan akademisi, juga dapat
mengambil andil dalam konteks memberi pemahaman
kepada masyarakat mengenai sisi negatif dari birokrasi
yang tidak netral.
Asumsinya, jika masyarakat luas telah memiliki
pengetahuan yang cukup berkait hal itu, maka ketika
dalam Pemilukada elit politik tetap nekat memanfaatkan
birokrasi untuk kepentingan politik kelompoknya,
diharapkan masyarakat dengan sendirinya akan
menghukum pasangan calon yang diuntungkan oleh elit
politik itu dengan tidak dipilih pada hari-H Pemilukada.
- 60 -
14
Memilih dengan Cerdas
“Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah
terwujud..Ya sudahlah…Saat kau berlari mengejar
anganmu dan tak pernah sampai, Ya sudahlah…”
Kalimat di atas adalah penggalan lirik dari lagu
yang dinyanyikan oleh Bondan Prakoso feat. Fade to
Black yang berjudul “Ya Sudahlah…” yang sedang naik
daun belakangan ini. Frasa “Ya Sudahlah” yang identik
dengan jiwa nrimo barangkali bagi sebagian orang
adalah falsafah sekaligus pandangan hidup yang telah
lama melekat dan dijalankan sehari-hari karena segala
sesuatu yang terjadi dipandang sebagai “cukup”.
Permasalahan-permasalahan yang terus menerus
membuntuti, seperti misalnya kenaikan harga barang,
kemacetan di sana-sini, boleh jadi diterima sebagai
sesuatu yang given.
Padahal, jika dipikirkan secara serius, pada
hakikatnya, kekuasaan itu terletak pada masyarakat itu
sendiri. Legitimasi untuk memerintah yang dipegang
oleh pemimpin di suatu daerah hanyalah pemberian
kepercayaan oleh mayoritas masyarakat di daerah
tersebut, bukan penyerahan kekuasaan sepenuhnya tanpa
boleh diganggu gugat oleh masyarakat itu sendiri.
Artinya, menyitir Fiorina (1978), masyarakat bisa
menggunakan kekuasaannya untuk: mengapresiasi
pemerintahan
yang
sukses
memerintah
atau
- 61 -
“menghukum” pemerintahan yang gagal memerintah
untuk satu tujuan, yaitu mewujudkan kondisi masyarakat
yang lebih baik. Salah satu dari sekian banyak cara untuk
mewujudkannya adalah dengan menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Umum(termasuk Pemilu
Kepala Daerah (Pemilukada)).
Catatan
Erat bertautan dengan hal itu, hasil Pemilukada
tahun 2010 di beberapa daerah menunjukkan beberapa
poin penting yang perlu menjadi catatan. Pertama,
Pemilukada di sejumlah daerah ternyata dimenangkan
oleh calon yang memiliki kaitan dengan korupsi. Lebih
parahnya lagi, calon-calon kepala daerah tersebut tetap
dilantik sebagai kepala daerah. Daerah-daerah yang
dimaksud adalah Kabupaten Rembang, Kabupaten
Kepulauan Aru, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi
Bengkulu. Eksistensi dari fenomena kemenangan
kandidat kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi
jelas merupakan hal yang mengkhawatirkan. Alasannya
adalah karena bisa dibilang masih terdapat masyarakat
yang “gelap mata” dengan background calon yang
berkompetisi dalam Pemilukada.
Catatan kedua yakni di beberapa daerah juga
ditemukan peningkatan tingkat partisipasi politik
masyarakat. Salah satu contohnya adalah di Kota Solo,
Joko Widodo, kandidat walikota incumbent, meraih
kemenangan sampai sekitar 93 persen. Yang perlu
dikritisi kemudian dari seluruh daerah-daerah yang
tingkat partisipasi politiknya tinggi tersebut adalah
apakah tingkat partisipasi politik yang tinggi itu didasari
pada partisipasi masyarakat yang berbasiskan pada
- 62 -
kualitas program dan figur atau mungkin sebaliknya
dilandasi oleh dasar memilih yang tidak rasional, seperti
melihat figur tanpa mempertimbangkan latar belakang
sang calon atau bahkan politik uang? Penelitian secara
khusus mengenai ini perlu dilakukan agar pertanyaan
yang penulis ajukan itu dapat menemukan jawaban yang
valid.
Namun, walau bagaimanapun, yang wajib
ditelaah adalah bahwa kuantitas pemilih dalam sebuah
Pemilukada akan menjadi tidak begitu besar artinya
apabila pemilih yang menggunakan hak pilihnya tersebut
mayoritas adalah pemilih yang menggunakan hak
pilihnya karena didasarkan oleh pertimbangan yang tidak
rasional, seperti an sich melihat figur tanpa melihat latar
belakang dan kapasitas calon tersebut.
Dalam bahasa lain, Pemilukada hendaknya
jangan hanya menjadi pesta pora politik yang tak
memiliki makna. Lebih dari itu, Pemilukada haruslah
menjadi ruang bagi partisipasi politik masyarakat.
Pemilukada haruslah paralel dengan apa yang disebut
oleh Bingham Powell Jr. (2000: 3) dengan istilah
“elections as instrument of democracy”. Artinya, Pemilu
(termasuk Pemilukada) berperan dalam memberikan
warga negara pengaruh terhadap pengambil kebijakan.
Cerdas
Benang merah dari kedua poin di atas dan apabila
ditautkan dengan pergelaran politik 2010 (Pemilukada)
Kota Depok adalah bahwa masyarakat Kota Depok
selayaknya dan sepatutnya menggunakan hak pilih
dengan cerdas. Artinya, sebelum mencoblos pasangan
calon pilihan, minimal program-program kerja dan latar
- 63 -
belakang dari para kandidat diperiksa dan dipelajari
terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain adalah agar: (1)
Pemilukada Kota Depok benar-benar merupakan
perwujudan dari partisipasi politik masyarakat Kota
Depok dan bukan sekedar euforia politik; (2) Masyarakat
Kota Depok memperoleh pemimpin Kota Depok yang
dapat
menangkap,
menterjemahkan
sekaligus
mengimplementasikan aspirasi masyarakat Kota Depok.
Oleh sebab itu, berperannya seluruh stakeholders
(pemangku kepentingan) di Kota Depok secara
maksimal menemukan relevansinya untuk mewujudkan
hal ini.
Pada akhirnya, seluruh warga Kota Depok sudah
selayaknya memilih calon Walikota yang menjiwai
refrain dari lagu Bondan Prakoso feat Fade to Black
yang berbunyi “Apapun yang terjadi, ku kan selalu ada
untukmu”. Tujuannya tidak lain adalah agar Walikota
yang nantinya terpilih adalah Walikota yang “selalu ada
untuk warga Kota Depok”.
- 64 -
15
Pesan Menuju Bilik Suara
Akhirnya pentas Pemilu Kepala Daerah
(Pemilukada) menemui klimaksnya. Hari ini, 16 Oktober
2010, akan menjadi salah satu momen penting tidak
hanya bagi para kandidat yang telah memamerkan jati
diri dan program-program pada masa kampanye, tetapi
juga bagi seluruh rakyat Kota Depok. Penulis menduga
akan ada rakyat Depok yang antusias dan berbondong
menuju bilik suara tetapi juga tidak sedikit yang
mungkin akan acuh tak acuh dan tak peduli dengan riuh
rendah proses pencoblosan dan penghitungan suara
untuk menentukan siapa yang berhak duduk di kursi
Depok-1 lima tahu ke depan.
Pentingnya Memilih
Apakah pentingnya menggunakan hak pilih atau
memilih? Pertama, memilih adalah salah satu bentuk
partisipasi politik. Samuel Huntington dan Joan Nelson
(1976) mendefinisikan partisipasi politik sebagai
kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi dengan maksud mempengaruhi pembuatan
keputusan oleh pemerintah. Berangkat dari definisi
tersebut, dengan memilih maka setiap suara yang
digunakan oleh pemilih ditujukan untuk menentukan
siapa yang menjadi pemimpin untuk periode
pemerintahan berikutnya sekaligus keputusan-keputusan
- 65 -
(baca: kebijakan) dari pemerintah yang dipimpin oleh
kandidat yang berhasil menjadi jawara dalam
Pemilukada Depok. Dalam bahasa lain, tidak
menggunakan hak pilih dapat disebut sebagai
membiarkan apapun yang terjadi, termasuk secara tidak
langsung menambah peluang bagi pemimpin yang paling
buruk kualitasnya untuk meraih tampuk kepemimpinan
kota belimbing.
Kedua, menggunakan lima menit di Tempat
Pemungutan Suara (TPS), sama dengan menentukan
arah masa depan Kota Depok. Baik buruknya Kota
Depok tergantung salah satunya oleh pemerintahnya.
Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan pemerintah-lah
yang diberi amanat dan legitimasi oleh rakyat untuk
melaksanakan policy Kota Depok pasca-berakhirnya
Pemilukada. Berapa jumlah retribusi yang nantinya
ditarik dari hotel, kos-kosan, dan tempat-tempat usaha di
Depok, berawal dari siapa yang terpilih dalam
Pemilukada kali ini. Tak ketinggalan, berapa banyak
mall dan apartemen yang kemungkinan akan dibangun di
Depok bermula dari figur walikota Depok terpilih. Juga,
jawaban apakah angka kemiskinan, pengangguran, dan
kemacetan Kota Depok akan berkurang, tetap, atau
justru bertambah dapat diperkirakan dari siapa yang
menjadi nomor satu dalam pesta demokrasi lokal saat
ini.
Rasional
Lantas, bagaimana cara menentukan pilihan
pasangan calon walikota dan wakil walikota Depok yang
terbaik? Penulis menilai bahwa cara memilih yang
terbaik adalah dengan memilih secara rasional. Bertautan
- 66 -
dengan hal itu, terdapat dua teori dalam ilmu politik
tentang perilaku memilih yang relevan, yakni
retrospecting voting dan prospective voting. Mengutip
Morris Fiorina (1978), retrospective voting adalah
seorang warga negara memilih seorang kontestan dalam
pemilu karena penilaiannya terhadap pemerintahan
sebelum berlangsungnya pemilu. Konteks pemilu yang
dimaksud oleh Fiorina juga termasuk dalam ajang
Pemilukada. Dalam bahasa sederhana, yang menjadi
sorotan adalah bagaimana kinerja pemerintahan Kota
Depok lima tahun terakhir ini, apakah baik atau buruk.
Apabila linear dengan teori ini, kalau performance
pemerintah Kota Depok selama ini dianggap baik, maka
pemilih akan „menghadiahi‟ calon incumbent dengan
memilihnya kembali di Pemilukada. Sebaliknya, bila
pemerintah Kota Depok dianggap buruk, maka pemilih
akan „menghukum‟ calon incumbent dengan tidak
memilihnya kembali dan memilih kandidat lainnya.
Sedangkan prospective voting, menurut Robert
Reed dan Joonmo Choo (1998), yaitu pemilih
mempertimbangkan pilihannya dengan memprediksi
kinerja yang akan datang para kandidat yang bertarung
dan memilih kandidat tersebut dengan harapan tertentu
yang menguntungkan. Dengan kata lain, pemilih yang
rasional akan memilih calon tertentu dalam sebuah
pemilu karena calon tersebut memiliki tawaran program
kerja yang memberi keuntungan bagi pemilih.
Keuntungan yang dimaksud bukan dalam arti sempit dan
bersifat jangka pendek, melainkan keuntungan yang
kontinu dan bersifat jangka panjang seperti misalnya
kesejahteraan dan keamanan.
- 67 -
Benang merah dari kedua teori itu yaitu bahwa
dasar untuk memutuskan siapa calon yang akan dicoblos
adalah kinerja incumbent dan tawaran program dari
setiap pasang calon. Menggunakan prinsip rasional ini
jauh lebih adil serta terukur daripada memakai
pertimbangan lain yang tidak rasional, seperti, misalnya,
melandaskan putusan akhir pilihan kandidat pada siapa
kandidat yang memberi uang dan dengan uangnya itu
mempengaruhi untuk memilih kandidat pemberi uang itu
atau dikenal dengan money politics.
Bukan Akhir
Sebagai penutup. yang perlu menjadi catatan
kemudian adalah bahwa Pemilukada bukanlah akhir.
Partisipasi politik jangan berhenti beriringan dengan
berakhirnya tahapan Pemilukada. Sebab, pada dasarnya,
hakikat dari berpartisipasi politik adalah mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah. Oleh karenanya,
penulis berharap waktu untuk berpartisipasi politik
jangan sekedar kala Pemilukada saja, namun sepanjang
tahun pemerintahan yang legitimate berjalan.
- 68 -
16
Survei dan Bandwagon Effect
Ada hal yang tidak biasa terjadi pada 15 Oktober
2010 atau h-1 Pemilukada Depok lalu. Pada hari itu,
hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dimuat di
sebuah harian lokal di Depok. Dengan margin of error ±
4,8%, lembaga itu menyebutkan bahwa pasangan NMIIdris meraih 37,3 persen, disusul oleh pasangan BadrulAgus dengan 29,1 persen, Yuyun-Pradi 8,9 persen, dan
Gagah-Dery 4,8 persen. Relatif masuk akal bila
kemudian muncul pertanyaan apakah wajar dan
dibolehkan memuat hasil survei pada h-1 Pemilukada?
Efek Bandwagon
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, berkaitan
dengan efek terpaan survei, terdapat satu teori klasik
yang dikenal dengan bandwagon effect. Apakah yang
dimaksud dengan bandwagon effect? Traugott dan
Lavrakas (1996: 172) mendefinisikan bandwagon effect
sebagai efek yang menyebabkan sejumlah pemilih, yang
diharapkan memilih satu kandidat, untuk mendukung
kandidat lain yang diprediksikan oleh lembaga survei
akan memenangkan pemilu. Kata kuncinya adalah
perubahan pilihan kandidat mengacu pada terpaan
terhadap hasil survei pra-pemilu.
Cara bekerjanya efek bandwagon menurut
Ansolabehere and Iyengar (1994: 145) dapat dijelaskan
dalam dua hal. Pertama, seorang calon pemilih
- 69 -
terpengaruh karena secara alami manusia lebih memilih
pemenang daripada pihak yang kemungkinan kalah.
Kedua, bahwa calon pemilih menganggap hasil survei
sebagai sebuah indikator pembenaran yang dibuat oleh
orang-orang yang ingin mendapatkan informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan kandidat.
Lantas, faktor-faktor apa saja yang mendukung
berjalannya efek bandwagon? Menurut Hickman (1991),
ada enam faktor. Pertama, orientasi warga negara
terhadap hasil pemilu. Pemilih yang mendasarkan
pilihannya pada faktor kemungkinan memang akan lebih
mudah dipengaruhi oleh hasil survei. Kedua, seberapa
besar ketersediaan informasi di luar hasil survei prapemilu.
Ketiga, urgensi dari menentukan pada siapa
untuk memilih. Karena hasil survei disebut menyediakan
info mengenai siapa yang kemungkinan akan menang,
kandidat yang dianggap menang itu diinterpretasikan
memiliki kelebihan dibanding kandidat lainnya.
Keempat, kekuatan komitmen dari seorang individu
terhadap kandidat tertentu. Hasil survei memiliki
pengaruh yang relatif besar terhadap individu yang
memiliki komitmen yang rendah pada kandidat tertentu.
Kelima, predisposisi awal yang dimiliki seorang individu
terhadap kandidat yang ada. Keenam, adalah
kepercayaan terhadap hasil survei itu sendiri.
Tidak Etis
Jika kita mengacu pada rumusan bandwagon
effect seperti dijabarkan di atas, ada beberapa hal yang
bisa digarisbawahi. Pertama, sangat disayangkan
beberapa waktu lalu LSI Denny JA tetap mengumumkan
- 70 -
hasil surveinya karena dampaknya yang dikhawatirkan
menguntungkan salah satu kandidat (baca: kandidat yang
diprediksi akan menjadi pemenang). Penelitian secara
khusus mengenai hal ini agar diperoleh hasil yang valid
bahwa banyak calon pemilih yang terpengaruh oleh hasil
survei yang dipampang oleh LSI di media massa
memang harus dilakukan. Tetapi, berdasarkan
pengamatan penulis, paling tidak di situs jejaring sosial,
selepas hasil survei diumumkan, banyak warga Depok
yang percaya dan ikut menegaskan bahwa kandidat yang
disinggung akan menang adalah kandidat yang terbaik.
Kedua, The World Association for Public
Opinion Research (WAPOR) memiliki kode etik yang
berjudul “Code of Professional Ethics and Practices”.
Kode etik ini antara lain mengatur bahwa laporan hasil
akhir survei harus mencantumkan siapa yang
membiayai, lembaga yang melaksanakan, tujuan survei,
metode, termasuk teknik menentukan sampel, jumlah
sampel dan populasinya.
Menyebutkan siapa yang membiayai survei
sangat menentukan apakah sebuah survei pemilih
bersifat independen atau tidak, sehingga publik bisa
menilai apakah hasilnya juga independen. LSI Denny JA
tak sedikit pun menyebut siapa yang mendanai aktivitas
survei yang mereka helat. Di luar keterangan mengenai
jati diri sponsor dan tujuan survei mereka, LSI masih
berani menyampaikan info-info lain, seperti metode,
teknik menentukan responden (sampel), jumlah sampel
dan populasinya.
Ketiga, mengumumkan hasil survei di hari
tenang adalah tidak etis karena alasan fairness (bisa
menguntungkan salah satu kandidat). Karena
- 71 -
pertimbangan fairness itulah, maka negara-negara di
Eropa Barat dan Eropa Tengah melarang pengumuman
jajak pendapat beberapa hari terakhir menjelang hari
pemilihan, misalnya Bulgaria pada Pemilu 1990
melarang pengumuman pada H – 8, Ceko H – 7, Prancis
H – 7, dan Spanyol H -5.
Selama ini, aturan paling jelas tentang boleh
tidaknya mengumumkan hasil survei adalah untuk
Pemilu Legislatif yang termaktub pasal 245 ayat (2) UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang
menyatakan bahwa “Pengumuman hasil survei atau jajak
pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”. Oleh
karena belum cukup gamblangnya aturan tentang survei
untuk ajang Pemilukada, ke depannya, para penyusun
UU Pemilukada harus mempertimbangkan untuk juga
memasukkan ketentuan itu dalam RUU Pemilukada yang
disebut-sebut termasuk dalam salah satu RUU yang
masuk Prolegnas tahun ini.
- 72 -
Bagian IV
Perihal Konflik dan
Penyelenggara
Pemilukada
- 73 -
- 74 -
17
Titik Rawan Pilkada Depok
Pemilu lokal adalah elemen utama dari sebuah
pemerintah demokratis yang paling dekat dengan rakyat.
Pada pemilu lokal, warga masyarakat dapat secara
pribadi mengenal para kandidat, mendapatkan informasi
dan pengetahuan yang berkaitan dengan proses pemilu
serta berpeluang lebih besar untuk dapat sesering
mungkin berkomunikasi dengan para pejabat terpilih.
Berkaitan dengan hal itu, tidak lama lagi
masyarakat Kota Depok akan mendapatkan giliran
menggelar perhelatan pemilu lokal, atau biasa disebut
dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung.
Diperkirakan pada bulan November 2010, rakyat kota
Depok diberi kesempatan untuk menentukan Walikota
Depok untuk periode masa jabatan 2011-2016.
Titik Rawan
Demokrasi
dan
sistem-sistem
yang
mendukungnya sayangnya tidak sepenuhnya sempurna.
Bahkan S.N. Eisenstadt dalam Paradoxes of Democracy
(1999: 8) mensinyalir bahwa demokrasi mengandung ciri
khas-ciri khas yang melekat pada dirinya yang saling
bertentangan karena harus diimplementasikan pada saat
yang bersamaan atau biasa disebut dengan paradoks.
Salah satu di antaranya adalah antara
mengedepankan dinamika dan pentingnya stabilitas.
- 75 -
Dalam
tataran
praktis,
usaha
untuk
mengimplementasikan
dinamika
dalam
politik
bersamaan dengan berjalannya stabilitas politik adalah
tidak mudah. Sebaliknya, ketika dinamika dalam politik
berjalan, yang cenderung terjadi adalah bertambahnya
konflik. Hal itu disebabkan tidak lain karena kata politik
itu sendiri adalah konflik (Ranney, 1987: 5).
Oleh karenanya, pemilu tidak terbebas dari
kerawanan (untuk menyebut istilah yang lebih luas dari
konflik), termasuk juga Pilkada. Berkaca pada
pengalaman Pilkada Depok tahun 2005 dan pelaksanaan
Pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia, maka penulis
bermaksud mengidentifikasi titik-titik rawan dalam
Pilkada yang tidak menutup kemungkin dapat terjadi
pula di Kota Depok.
Pertama, kepastian hukum. Masalah mengenai
kepastian hukum yang pernah menjadi persoalan pada
Pilkada Depok tahun 2005 adalah mengenai lembaga
yang berwenang menerima dan memutuskan sengketa
hasil Pilkada. Beruntungnya, persoalan tersebut hampir
dipastikan tidak akan terulang karena saat ini satusatunya lembaga yang memiliki wewenang tersebut
sudah jelas, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedua, keakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Hampir seluruh Pilkada yang telah dilaksanakan tidak
ada yang terbebas dari problem ini. Bahkan isu ini sering
digunakan untuk senjata politik, terutama oleh kandidat
yang kalah.
Kekisruhan DPT sering disebabkan oleh
lemahnya koordinasi antara Dinas Kependudukan dan
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), terlambatnya
- 76 -
dana, serta kurang melibatkan RT/RW, Lurah dan tokoh
masyarakat.
Ketiga, persyaratan calon yang tidak lengkap.
Persoalan yang sering mencuat berkisar masalah ini
adalah ijazah, seperti ijazah palsu atau tidak punya
ijazah.
Keempat, pengusulan calon di internal partai
politik. Masalah-masalah dalam pengusulan calon
biasanya
mengenai
kepengurusan
kembar,
ketidaktransparanan proses seleksi calon, intervensi
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) terhadap pengurus partai
tingkat kota, atau mandegnya Pilkada karena hanya satu
pasangan calon yang mendaftar.
Kelima, keterlambatan pembentukan Panitia
Pengawas (Panwas). Penyebabnya seringkali Panwas
baru dibentuk menjelang masa kampanye.
Keenam, pelanggaran kampanye. Pelanggaran
kampanye yang banyak terjadi yaitu pelanggaran lalu
lintas dan black campaign (kampanye hitam).
Ketujuh, intervensi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Pola-pola yang pernah terjadi di
antaranya: DPRD tidak menyetujui pasangan calon
dengan berbagai alasan sehingga berkas putusan KPUD
tidak sampai ke Gubernur atau Mendagri dan DPRD
tidak melakukan upacara pelantikan.
Kedelapan, tidak netralnya KPUD. Kesembilan,
protes pada tahap penghitungan dan penetapan hasil
akhir Pilkada.
Antisipasi
Uraian di atas dapat difungsikan sebagai
pemetaan titik rawan Pilkada. Peta tersebut berguna
- 77 -
untuk stakeholder dalam mempersiapkan beragam
bentuk antisipasi. Pertama, soal DPT, KPUD dapat
memperpanjang masa sosialisasi pendaftaran serta
perubahan dari sistem menunggu rakyat mendaftar ke
sistem “jemput bola”.
Kedua, perihal tidak lengkapnya persyaratan
calon, KPUD harus meningkatkan ketelitian dan
menyiapkan tenaga khusus untuk proses verifikasi.
Ketiga, mengenai pengusulan calon di internal partai
politik,
KPUD
bisa
memastikan
keabsahan
kepengurusan ke DPP.
Keempat, agar Panwas tidak terlambat direkrut,
maka KPUD harus sejak jauh hari berkoordinasi dengan
DPRD agar segera membentuk Panwas. Kelima, KPUD
mesti selalu selalu siap menampung temuan laporan
pelanggaran kampanye yang disampaikan oleh Panwas.
Keenam, jika DPRD mengintervensi hasil Pilkada, maka
KPUD harus segera melapor ke Departemen Dalam
Negeri supaya Depdagri dapat dengan cepat
mengeluarkan keputusan.
Terakhir, mengenai kemungkinan tidak netralnya
KPUD dan adanya protes pada tahap penghitungan dan
penetapan hasil akhir, menjadi bagian Panwas dan
masyarakat dengan aktif mengawasi tidak hanya KPUD,
tetapi juga keseluruhan proses Pilkada yang berjalan.
- 78 -
18
Pembelot Politik
Pemberitaan di media massa lokal Depok akhirakhir ini dihiasi oleh sejumlah isu yang bermuara pada
isu utama, yaitu Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada).
Salah satu wacana yang menarik diperhatikan adalah
terjadinya pembelotan politik yang dilakukan oleh
sejumlah pengurus partai politik (parpol) terhadap
kebijakan pimpinan parpol dalam menghadapi
Pemilukada.
Di Harian Radar Depok, misalnya, diberitakan
bahwa tiga Pengurus Kecamatan (PK) Partai Golkar
Kota Depok mengarahkan dukungannya kepada
pasangan calon Nur Mahmudi Isma‟il dan Idris Abdul
Somad (Nur Berkhidmat). Padahal, Partai Golkar telah
memutuskan akan mendukung pasangan calon Badrul
Kamal-Agus Supriyanto (BK-Pri).
Selain itu, masih cukup segar dalam ingatan,
Agung Witjaksono selaku Ketua DPD Partai Demokrat
Depok harus merelakan dirinya tidak jadi mencalonkan
diri sebagai calon walikota atau calon wakil walikota
karena akhirnya Partai Demokrat memutuskan
mendukung BK-Pri. Akibatnya, banyak tersiar kabar
bahwa pendukung Agung Witjaksono mengalihkan
dukungannya kepada pasangan calon lain. Selain contohcontoh spesifik yang penulis paparkan itu, masih banyak
contoh-contoh kecil di mana suara dukungan kalangan
grass root (akar rumput) parpol-parpol lain berbeda
- 79 -
dengan keputusan dan arahan para elit-elit parpol
tersebut yang berpangkal pada perbedaan antara aspirasi
pengurus atau konstituen di tingkat bawah dengan
keputusan parpol pada tingkatan di atasnya.
Bagaimana kita membaca fenomena ini? Apa
sebetulnya penyebab terjadinya pembelotan politik?
Bagaimana semestinya tindak lanjut para elit parpol?
Musabab
Penyebab umum dari pembelotan politik yang
terjadi dalam proses rekrutmen dan kemudian
dilanjutkan menjadi pencalonan oleh sebuah parpol
adalah kecenderungan oligarkis dalam proses
pencalonan (Lili Romli, et.al, 2008: 24). Artinya,
pengambilan keputusan siapa calon yang didaulat parpol
hanya didominasi oleh elit.
Berangkat dari konteks itu, tidak jarang terjadi
hasil seleksi bakal calon yang berlangsung panjang dan
demokratis di tingkat bawah belum tentu menjadi
pertimbangan utama pengambilan keputusan. Tidak
jarang terdapat perbedaan antara aspirasi pengurus atau
konstituen di tingkat bawah dengan keputusan partai
politik pada tingkatan di atasnya dalam menentukan
calon yang akan diusung atau didukung. Ditambah lagi,
seringkali juga terjadi konstituen tidak mendapatkan
penjelasan yang memadai mengenai kelayakan calon
yang diusung oleh partai politiknya, baik dari segi
kapabilitas, integritas maupun elektabilitas.
Salah satu contoh kasus yang bertautan dengan
hal itu adalah yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Di
daerah itu, pendukung calon bupati dari salah satu partai
politik melakukan tindakan anarkis dengan melakukan
- 80 -
perusakan posko yang dimiliki oleh partai politiknya.
Kasus itu diawali oleh keluarnya rekomendasi susulan
yang dikeluarkan oleh DPP partai politik tersebut yang
isinya berbeda dengan rekomendasi awal.
Untuk kasus Pemilukada Depok tahun 2010,
khususnya kasus di Partai Golkar dan di Partai
Demokrat, nampaknya yang menjadi musabab adanya
pembelotan politik relatif berbeda. Merujuk pada
pendapat Babai Suhaimi (Ketua DPD Partai Golkar
Depok) dalam Radar Depok (20/9/2010), setelah
Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar tahun 2010
merekomendasikan Naming Bothin sebagai bakal calon
walikota yang akan diusung Partai Golkar ke DPD Partai
Golkar Jawa Barat dan DPP Partai Golkar, DPD Partai
Golkar Jawa Barat dan DPP Partai Golkar mengeluarkan
aturan lain yang meminta adanya mekanisme survei
terlebih dahulu terhadap bakal-bakal calon yang akan
diusung dalam Pemilukada. Hasil akhir survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) atas
permintaan DPP Partai Golkar, yaitu Badrul Kamal
menduduki posisi pertama dengan tingkat keterpilihan
17 persen, kemudian Babai Suhaimi dengan 7 persen,
Naming Bothin 6 dengan persen, Yuyun Wirasaputra
dengan 4,7 persen, dan Pradi Supriatna dengan 1,3
persen.
Jika argumentasi Babai benar adanya, artinya
dalam hal ini pembelotan politik di tubuh Partai Golkar
Depok awalnya lebih diwarnai oleh adanya
ketidakpuasan sejumlah pengurus terhadap putusan akhir
parpol. Problemnya terus melebar dikarenakan Babai
Suhaimi tidak berhasil menjalankan komunikasi yang
- 81 -
baik dengan Naming Bothin terkait putusan parpol
tersebut.
Kasus yang kedua, yakni di Partai Demokrat,
diawali oleh keinginan Agung Witjaksono selaku Ketua
DPD Partai Demokrat Depok untuk menjadi calon
walikota dengan diusung oleh parpolnya sendiri. Seiring
waktu berjalan, Partai Demokrat lantas membentuk tim
yang bertugas melakukan seleksi terhadap bakal calon
walikota dan wakil walikota dari Partai Demokrat. Sama
halnya dengan Partai Golkar, Partai Demokrat juga
menggunakan mekanisme survei untuk membantu tim
mengambil putusan akhir pencalonan.
Setelah melalui proses yang panjang, keputusan
akhir Partai Demokrat menyebutkan bahwa Partai
Demokrat menyebutkan bahwa akan mendukung BK-Pri
sebagai calon walikota dan wakil walikota. Sejumlah
kelompok yang sebelumnya mendukung pencalonan
Agung Witjaksono ini yang kemudian disebut-sebut di
sejumlah pemberitaan media massa lokal mengalihkan
dukungannya kepada pasangan calon dari parpol lainnya.
Tindak Lanjut
Menindaklanjuti pembelotan yang ada, parpolparpol bisa mengambil sejumlah langkah. Pertama,
untuk mengelola pembelotan politik (yang kemudian
dalam konteks parpol dapat juga dilihat sebagai
fenomena konflik), secara teoretis pimpinan parpol harus
mengetahui akar atau sumber konflik tersebut (Lili
Romli, 2008: 70).
Setelah itu, parpol harus memiliki komitmen
untuk mengelola sendiri konflik internalnya, sehingga
penyelesaiannya pun dilakukan melalui mekanisme
- 82 -
rumah tangga internal. Agar penyelesaian konflik
tersebut dihormati dan ditaati oleh pengurus dan kader
parpol di semua tingkatan kepengurusan, maka
keberadaan mekanisme internal untuk menyelesaikan
konflik adalah hal yang penting.
Di samping itu, proses penyusunan mekanisme
internal itu juga haruslah demokratis dan melibatkan
semua pihak yang ada di tubuh parpol. Untuk menjamin
keberadaan
mekanisme
internal
serta
proses
penyusunannya yang demokratis, maka kedua hal itu
wajib untuk ditegaskan eksistensinya di dalam Anggaran
Dasar (AD) parpol. Pada akhirnya, apapun kebijakan
yang diputuskan oleh parpol-parpol apabila melalui
langkah-langkah di atas akan relatif dapat diterima
semua kalangan di internal parpol.
- 83 -
- 84 -
19
Wacana Persiapan Pemilukada
Tanggal 16 Oktober 2010 tinggal hitungan hari.
Semua mata sedang tertuju kepada tahapan yang sedang
berjalan, yakni tahapan kampanye. Lantas bagaimana
dengan tahapan berikutnya, yaitu hari-H pencoblosan,
yang justru paling penting di antara keseluruhan tahapan
Pemilukada? Bagaimana persiapan KPUD Kota Depok?
Tiga Persoalan
Pada dasarnya, cukup disayangkan bila kita
membuka lembaran-lembaran berita dalam harian lokal
Kota Depok bahwa KPUD Kota Depok seperti keteteran
memanfaatkan waktu persiapan yang tersedia. Hal
pertama yang sebelumnya menjadi sorotan media,
akademisi, dan anggota DPRD Kota Depok adalah
sempat terbuka kemungkinan tidak diakomodirnya
sejumlah narapidana asal Depok yang mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pondok Rajeg,
Cibinong, Kabupaten Bogor. Data yang disampaikan
oleh pihak Lapas adalah terdapat 215 tahanan dan
narapidana yang berasal dari Depok.
Jika saja KPUD Kota Depok tidak segera
menindaklanjuti masalah tersebut, maka KPUD Kota
Depok amat rawan digugat dengan menggunakan pasal
115 ayat (2) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Di dalam pasal itu disebutkan
bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan
- 85 -
orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang
kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)”.
Secara subtansial, menurut International IDEA
(2002: 37-38), hak pilih tidak membedakan status. Setiap
warga negara di atas usia tertentu berhak memberikan
suara. Setiap orang yang memiliki hak memberikan
suara diperbolehkan untuk menjalankan hak itu tanpa
diskriminasi, berdasarkan perlakukan yang sama di
depan hukum. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau
pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya tidak
diperkenankan mencabut hak warga negara yang
memenuhi syarat untuk memberikan suara atau bersaing
dalam pemilu.
Di samping itu, akses pada pemberian suara
mungkin sama pentingnya dengan hak-hak substantif.
Misalnya, apabila para pemilih tidak diberi sarana
pemberian suara yang dapat diakses atau apabila
pengidentifikasian seorang pemilih di tempat
pemungutan suara sangat rumit, maka hal ini secara
efektif akan mencabut hak pemilih untuk memberikan
suara. Kasus sempat belum terakomodasinya calon
pemilih di Lapas Pondok Rajeg termasuk ke dalam
kategori ini. Artinya, KPU Kota Depok tidak dapat
keluar dari kerangka bahwa sebagai penyelenggara
Pemilukada mereka juga wajib menyediakan akses pada
- 86 -
pemberian suara seluas-luasnya untuk warga Depok
yang masuk ke dalam DPT.
Kedua, persoalan rusaknya sejumlah surat suara.
Seperti diberitakan oleh Radar Depok (8/10/2010),
terdapat puluhan surat suara yang belum digunakan
tetapi sudah rusak. Kerusakan berkisar pada masalah
teknis seperti adanya surat suara yang berbeda warna,
berlubang, berbayang dan yang paling parah adalah
adanya surat suara yang terpotong.
Ketiga, masih adanya KPPS yang belum dilantik.
Dari total 21.600 personel Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) sebagai penyelenggara
pemilu di tingkat RW di 11 kecamatan, yang dilantik
oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) sampai dengan
minggu pertama bulan Oktober adalah 70 persen, yaitu
di PPK Beji, PPK Cipayung, PPK Sukmajaya, PPK
Limo, PPK Cimanggis, PPK Bojongsari, PPK Cilodong,
dan PPK Cinere. Sedangkan, PPK Tapos, PPK
Sawangan, dan PPK Pancoran Mas belum dilantik
sampai dengan tulisan ini selesai dibuat. Penulis
khawatir jika sisa PPK yang belum dilantik tidak segera
dilantik, maka akan dapat mengganggu kinerja KPU
secara keseluruhan.
Tiga persoalan di atas bukanlah perkara yang
sepele. Sebaliknya, kredibilitas KPUD Kota Depok
sebagai penyelenggara Pemilukada dipertaruhkan lewat
kinerja mereka selama Pemilukada ini, termasuk
mengatasi tiga problem penting seperti penulis jabarkan
di atas. Sungguh disayangkan jikalau dana 33,3 milyar
rupiah yang berasal dari APBD harus dibayar dengan
kekurangprofesionalan event organizer Pemilukada.
- 87 -
- 88 -
20
Panwaslu Yang ‘Tak Bergigi’
Rasanya tidak terlampau berlebihan jika
Indonesia disebut sebagai negeri tanpa kemustahilan.
Dalam bahasa lain, tak ada yang tak mungkin untuk
Indonesia. Salah satu di antaranya, dalam konteks
Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada), misalnya, caloncalon kepala daerah yang berstatus tersangka dapat
menang dalam sejumlah Pemilukada.
Untuk kasus Depok, sama halnya. Hal ini diawali
dari keadaan di mana sampai dengan awal-awal masa
kampanye, sekitar akhir September 2010, secara umum,
terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim
sukses-tim sukses pasangan calon. Jenis pelanggaran
yang dimaksud di antaranya adalah penggunaan fasilitas
pejabat publik untuk kegiatan pertemuan dengan massa
pendukung dan pemasangan alat peraga seperti spanduk
dan baliho yang tidak sesuai dengan tempatnya dan
mendahului jadwal kampanye yang telah ditetapkan.
Yang menarik adalah diberitakan oleh sejumlah
media massa lokal Depok bahwa tim sukses-tim sukses
pasangan calon menolak rencana Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) Kota Depok untuk mengumumkan
pelanggaran yang dilakukan oleh para tim sukses. Tak
hanya itu, tim sukses-tim sukses tersebut malahan
menuding Panwaslu seperti tidak ada kerjaan. Tak ayal,
ketika pertama kali membaca berita tersebut, yang
terlintas di benak penulis hanya satu kesan, “Kok mirip
- 89 -
dengan pertandingan sepakbola di Indonesia yang
pemain-pemainnya mengeroyok wasit atau pengawas
pertandingan ya?”
Penyebab
Ketidakberdayaan Panwaslu pada ajang
Pemilukada memang bukanlah sesuatu yang baru dan
bukan pula khas Kota Depok semata. Dalam kasus
Pemilukada di daerah lain, juga tak jarang ditemukan
kondisi bahwa Panwaslu “tak bergigi” terhadap
pelanggaran. Salah satu contohnya, dalam Pemilukada
Kabupaten Indramayu. Panwaslu di daerah tersebut
dinilai “mandul” karena laporan mengenai tindakan
penyimpangan pencurian dokumen pribadi berupa foto
kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pemalsuan tanda
tangan yang juga sudah didukung saksi dan persyaratan
lain tidak ditindaklanjuti (Harian Pelita, 26/6/2010).
Kemudian, apabila ada analisis yang menyatakan
bahwa yang bisa dipersalahkan terhadap “kemandulan”
Panwaslu adalah aturan perundang-undangan sekaligus
isinya yang belum memberi wewenang yang besar,
analisis itu tak dapat dibenarkan. Sebaliknya, sistem
yang dibangun oleh UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu memberi wewenang yang lebih
besar kepada Panwaslu untuk menindaklanjuti
pelanggaran yang terjadi. Dalam pasal 78 ayat (1a) UU
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
disebutkan bahwa tugas dan wewenang Panwaslu
kabupaten/kota
adalah
mengawasi
tahapan
penyelenggaraan Pemilu (termasuk Pemilukada) di
wilayah kabupaten/kota. Tahapan yang dimaksud adalah
sejak tahap pemutakhiran data pemilih sampai dengan
- 90 -
proses penetapan hasil Pemilukada.
Yang tak kalah pentingnya dari tugas dan
wewenang adalah kewajiban Panwaslu. Pasal 79 ayat c
UU No. 22 Tahun 2007 menyatakan bahwa Panwaslu
kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk menerima dan
menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan
adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu.
Lantas, jika tugas, wewenang, dan kewajiban
Panwaslu telah diatur sedemikian rupa, pertanyaannya
kemudian adalah mengapa pada prakteknya Panwaslu
masih juga “tidak bergigi”? Menurut penulis, paling
tidak ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama,
masalah psikologis. Masalah psikologis yang dimaksud
yakni bahwa Panwaslu merasa sungkan untuk menindak
pelanggaran yang terjadi. Kasus ketidaktegasan
Panwaslu Kota Depok untuk menurunkan sejumlah
baliho besar milik para calon walikota dan wakil
walikota yang bertebaran di Jalan Margonda seperti
diberitakan Harian Monitor Depok (30/9/2010) adalah
contoh yang relevan. Malahan, yang cukup menggelitik
setelah itu adalah sikap tidak tegas Panwaslu Kota
Depok membuat gregetan anggota KPUD Kota Depok.
Akibatnya, bekerja sama dengan pihak Satpol PP Kota
Depok, anggota KPU Kota Depok-lah yang akhirnya
menurunkan sejumlah baliho milik para kandidat yang
masih membandel.
Kedua, terbatasnya Sumber Daya Manusia
(SDM). Seperti diketahui bersama, jumlah personil
anggota Panwaslu kabupaten/kota untuk Pemilukada
adalah 3 (tiga) orang (Pasal 94 ayat 2 UU No. 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilu). Jumlah ini boleh
- 91 -
dikatakan relatif tidak berimbang jika dibandingkan
dengan jumlah kecamatan di Kota Depok yang mencapai
11 kecamatan.
Efek Jera
Oleh karena problemnya ada di masalah
psikologis, ke depannya Panwaslu Kota Depok harus
membuang jauh masalah psikologis itu. Seluruh
pelanggaran yang terjadi wajib untuk mendapat
perhatian dan ditindaklanjuti. Untuk mengatasi masalah
kekurangan personil, Panwaslu dapat bekerja sama
dengan media massa yang ada di Depok dalam hal
penyampaian informasi pelanggaran.
Selain itu, terkait dengan fungsinya, Panwaslu
tidak boleh berhenti pada titik di mana yang
diimplementasikan hanya fungsi menerima laporan
pelanggaran saja. Lebih dari itu, Panwas harus bisa
memberikan efek jera dengan secara tegas menjatuhkan
sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
- 92 -
21
Bara Pasca 16 Oktober
Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Depok
baru saja usai. Beberapa hari lalu, 16 Oktober 2010,
merupakan hari yang diliburkan demi terwujudnya
pelaksanaan pemilihan pemimpin Kota Depok untuk
periode lima tahun ke depan yang dapat diikuti oleh
semua masyarakat yang berhak memilih tanpa kecuali.
Tidak lama setelah proses pencoblosan berakhir,
terdapat lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung
cepat (quick count). Dua di antaranya adalah Puskaptis
dan Indopolling. Hasil quick count versi Puskaptis
menyebutkan bahwa pasangan Nur Mahmudi-Idris
meraih suara 38,38 persen, kemudian disusul Badrul
Kamal-Supriyanto dengan 27 persen, Yuyun-Pradi
dengan 22 persen dan Gagah-Derry dengan 10,91
persen. Sementara, sedikit berbeda, versi Indopolling
memprediksi pasangan Nur Mahmudi-Idris akan meraih
38,8 persen suara, dibayangi oleh pasangan Badrul
Kamal-Agus Supriyanto 25,9 persen, pasangan YuyunPradi 24.5 persen dan pasangan Gagah-Derry dengan
10.8 persen. Sedangkan, sampai tulisan ini selesai
dibuat, KPUD Kota Depok sedang melakukan
perhitungan manual di 11 kecamatan.
Anarkis
Bahwasanya ada pihak yang puas dan tidak puas
dengan proses dan hasil Pemilukada, adalah hal yang
- 93 -
jamak. Namun, sayangnya, ternyata ada pihak yang
mengekspresikan ketidakpuasannya itu dengan cara-cara
kekerasan. Sehari setelah Pemilukada, belasan massa
yang mengatasnamakan Barisan Penyelamat Rakyat
Depok (Bentrok) menggelar aksi unjuk rasa ke dua
tempat, yakni kantor KPUD Kota Depok dan kantor
harian Radar Depok.
Demonstrasi ke kantor KPUD diisi dengan aksi
mengencingi kantor penyelenggara Pemilukada.
Sedangkan, demonstrasi ke Radar Depok diwarnai
dengan adu mulut, aksi saling dorong, dan bahkan nyaris
melayangkan bogem mentah antara pendemo dengan
sejumlah wartawan koran tersebut.
Penulis menilai bahwa meluapkan ketidakpuasan
adalah hal yang sangat biasa. Hanya saja, seyogyanya
cara yang digunakan untuk mengekspresikannya tidak
perlu dengan cara anarkis.
Pertama, perselisihan hasil pemilu dapat
disengketakan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bertautan
dengan hal itu, UUD 1945 dalam pasal 24C
menyebutkan bahwa MK memiliki wewenang untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Karena Pemilukada
termasuk ke dalam rezim pemilu, maka MK juga bisa
menjadi penengah persengketaan hasil Pemilukada.
Pemberian wewenang kepada MK dalam UUD
1945 seperti disebutkan di atas sejalan dengan tujuan
akhir menuju masyarakat Indonesia yang demokratis.
Menurut Henry Mayo (1960), salah satu nilai yang
dianut
oleh
masyarakat
demokratis
adalah
menyelesaikan perselisihan dengan damai dan
- 94 -
melembaga. Artinya, dalam proses Pemilukada, wajar
jika terdapat perselisihan pendapat dan kepentingan.
Tetapi, perselisihan itu harus dapat diselesaikan melalui
perundingan dan dialog terbuka dalam usaha mencapai
kompromi tanpa kekerasan. Oleh karena itu, maka
seluruh pihak yang bersangkut paut dengan sengketa
Pemilukada di mana pun akan jauh lebih baik
mempercayakan MK untuk menjadi pemutus akhir
gugatan Pemilukada.
Berbeda dengan Pemilukada 2005, apabila nanti
dilanjutkan dengan sengketa, Pemilukada Depok 2010
boleh jadi akan lebih pendek dari segi panjangnya proses
pengajuan sengketa dikarenakan pihak-pihak yang
bersengketa langsung mengajukan gugatan ke MK.
Kedua, menggunakan cara kekerasan tidak
pernah menyelesaikan masalah. Sebaliknya, cenderung
menambah persoalan. Niatan akhir Pemilukada untuk
menentukan Walikota dan Wakil Walikota Depok jangan
sampai justru merugikan masyarakat karna diwarnai oleh
tindakan-tindakan
yang
bersinggungan
dengan
kekerasan.
Ketiga, sikap-sikap yang bersentuhan dengan
anarkisme tidak baik untuk menjadi contoh bagi
masyarakat Kota Depok. Semakin berjalannya proses
politik berujung pada kekerasan, semakin membuat
masyarakat menjadi acuh terhadap kegiatan-kegiatan
politik.
Oleh karenanya, pendidikan politik untuk
masyarakat yang menjadi salah satu domain fungsi dari
partai politik (parpol) menjadi begitu relevan dalam hal
ini. Pendidikan politik sebaiknya tidak diinterpretasikan
hanya sebatas pada mengadakan workshop yang sifatnya
- 95 -
sesekali waktu, tapi juga termasuk dengan mendukung
kesuksesan memberi pemahaman dan meredam emosi
pihak yang tidak terima dengan hasil Pemilukada 2010
ini.
Tahan Diri
Berpijak pada keburukan-keburukan dari perilaku
anarkisme menanggapi Pemilukada, sudah sepantasnya
semua pihak agar menahan diri. Setiap pasangan calon
dan tim sukses harus bisa menjadi pihak yang
menenangkan pendukung-pendukung mereka. Begitu
pula dengan parpol dan seluruh penyelenggara
Pemilukada (KPUD dan Panwaslu). Bagi penguruspengurus parpol, memberikan pengertian kepada
anggota-anggotanya dan juga masyarakat tentang
langkah yang tepat menyikapi hasil Pemilukada sama
halnya dengan menunjukkan sikap dewasa parpol dalam
berpolitik. Terakhir, KPUD dan Panwaslu alangkah
baiknya menjembatani tuntutan-tuntutan dari pihak yang
merasa dirugikan (karena indikasi kecurangan), apabila
kecurangan itu memang terjadi.
- 96 -
SUMBER TULISAN
I. Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada
 Mempertahankan Hak Rakyat untuk
Memilih, Suara Pembaruan, 8 September 2009.
 Belajar dari Pilpres, Monitor Depok, 31 Juli 2009.
 Seputar Biaya Pemilukada, Monitor Depok, 7
Oktober 2010.
 Jabatan Kepala Daerah dan Pemilukada, Monitor
Depok, 11 Oktober 2010.
 Sintesis Demokrasi dan Teknologi
dalam E-Voting, Sinar Harapan, 27 Maret 2010.
 Berduyun-duyun Melanggar Pemilukada, Monitor
Depok, 17 Januari 2011.
II. Pencalonan dalam Pemilukada
 Menjaring Calon Kepala Daerah Lewat Survei,
Suara Karya, 2 Februari 2010.
 Kandidasi, Klaim, dan Keputusan Politik, Monitor
Depok, 6 Juli 2010.
 Episode Baru Pesta Demokrasi Depok, Monitor
Depok, 2 Agustus 2010.
 Satu Lawan Satu, Monitor Depok, 18 Agustus
2010.
 Koalisi Besar Tidak Mudah, Monitor Depok, 3
Februari 2010.
III. Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada
 Hura-Hura Politik, Monitor Depok, 1 Oktober
2010.
 Nir-netralitas Birokrasi dalam Pemilukada, Pelita,
- 97 -
6 Mei 2010.
 Memilih Dengan Cerdas, Monitor Depok, 28 Juli
2010.
 Pesan Menuju Bilik Suara, Monitor Depok, 16
Oktober 2010.
 Survei dan Bandwagon Effect, Monitor Depok, 1
November 2010.
IV. Perihal Konflik dan Penyelenggara Pemilukada
 Titik Rawan Pilkada Depok, Monitor Depok, 11
September 2009.
 Pembelot Politik, Radar Depok, 2 Oktober 2010.
 Wacana Persiapan Pemilukada, Radar Depok, 13
Oktober 2010.
 Panwaslu Yang "Tak Bergigi”, Monitor Depok, 5
Oktober 2010.
 Bara Pasca 16 Oktober, Monitor Depok, 21
Oktober 2010.
- 98 -
Daftar Referensi
Buku
Agustino, Leo, 2009, Pilkada dan Dinamika Politik
Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bonne, Hughe A. dan Austin Ranney, 1981, Politics and
Voters, New York: McCraw-Hill.
Cavdar, Gamze “Beyond Election Fraud: Manipulation,
Violence, and Foreign Power Intervention,”
dalam Michael Alvarez, Thad Hall, dan Susan
Hyde, Election Fraud: Detecting and Preventing
Electoral Manipulation, 2008, Washington, D.C.:
Brookings Institution Press.
Eisenstadt, S.N., 1999, Paradoxes of Democracy,
Maryland: The John Hopkins University Press.
Hickman, H., 1991, “Public Polls and Election
Participants”, dalam P.J. Lavrakas & J.K. Holley
(Eds.), Polling and Presidential Election
Coverage, Newbury Park, CA: Sage.
Hofilena (Ed.), Chay Florentino, 2006, How to Win An
Election: Lessons from The Experts, Manila:
ASG Ateneo University dan KAS.
Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson, 1976, No
Easy Choice: Political Participation in
- 99 -
Developing Countries. Cambridge: Harvard
University Press.
International
IDEA,
2002,
Standar-standar
Internasional untuk Pemilihan Umum: Pedoman
Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu,
Stockholm: International IDEA.
Kersting, Norbert dan Harald Baldersheim (Ed.), 2004,
Electronic
Voting
and
Democracy:
A
Comparative Analysis, New York: Palgrave
Macmillan.
Linz, Juan dan Alfred Stepan, 1996, Problems of
Democratic Transition and Consolidation.
Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Mayo, Henry B., 1960, An Introduction to Democratic
Theory, New York: Oxford University Press.
Powell Jr., G. Bingham, 2000, Elections as Instruments
of Democracy: Majoritarian and Proportional
Visions, New Haven: Yale University Press.
Ranney, Austin, 1987, Governing: An Introduction to
Political Political Science, New Jersey: PrenticeHall. Inc.
Romli, Lili, et.al., 2008, Kerangka Penguatan Partai
Politik di Indonesia, Depok: Puskapol FISIP UI.
Romli, Lili (Ed.), 2010, Evaluasi Pemilu Legislatif 2009:
Tinjauan atas Proses Pemilu, Strategi
- 100 -
Kampanye, Perilaku Memilih, dan Konstelasi
Politik Hasil Pemilu, Jakarta: LIPI Press.
Traugott, M.W. & Lavrakas, P.J., 1996, The voter’s
guide to election polls, Chatham, NJ: Chatham
House Publishers.
Wall, Allan, et.al., 2006, Electoral Management Design:
The International IDEA Handbook, Stockholm:
International IDEA.
Jurnal
Ansolabehere, S. & Iyengar S., 1994, Of Horseshoes and
Horseraces: Experimental Studies of the Impact
of Poll Results on Electoral Behavior. Political
Communication, 11, 413-430.
Fiorina, Morris, Economic Retrospective Voting in
American National Elections: A Micro-Analysis,
dalam American Journal of Political Science,
Volume 22 No.2 , Midwest Political Science
Association,
1978,
di-download
dari
www.jstor.org.
Moynihan, Donald P., “Building Secure Elections: EVoting, Security, and Systems Theory”, Source:
Public Administration Review, Vol. 64, No. 5
(Sep. - Oct., 2004), pp. 515-528, Blackwell
Publishing on behalf of the American Society for
Public Administration.
- 101 -
Reed, Robert dan Joonmo Choo, “A Comparison of
Prospective and Retrospective Voting with
Heterogeneous Politicians”, Source: Public
Choice, Vol.96, Issue 1-2 (1998), pp. 93-116.
Roseman Jr., Gary H. dan E. Frank Stephenson Willis,
“The Effect of Voting Technology on Voter
Turnout: Do Computers Scare the Elderly?”
Source: Public Choice, Vol. 123, No. 1/2 (Apr.,
2005), pp. 39-47, Springer.
Willis, George L., “Electronic Vote Counting in a
Metropolitan
Area”,
Source:
Public
Administration Review, Vol. 26, No. 1 (Mar.,
1966), pp. 25-30, Blackwell Publishing on behalf
of the American Society for Public
Administration.
Koran
Media Indonesia, 24 Januari 2010.
Radar Depok, 8 Oktober 2010.
Harian Pelita, 26 Juni 2010.
Monitor Depok, 30 September 2010.
- 102 -
Tentang Penulis
Ikhsan Darmawan dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Mei
1984. Sehari-hari mengajar di Program Studi Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia sejak
tahun 2005 pada matakuliah “Pengantar Ilmu Politik”,
“Sistem Politik Indonesia”, dan “Pemerintahan dan Politik
Desa”, di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama
sejak tahun 2008 sampai tahun 2009 pada matakuliah
“Pengantar Ilmu Politik” dan “Statistik Sosial I”, dan di
Jurusan Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(IISIP) sejak tahun 2009 pada matakuliah “Kekuatankekuatan Politik di Indonesia”, “Teori Politik”, “Sistem
Perwakilan Politik”, dan “Pemikiran Politik Indonesia”.
Minat besarnya pada persoalan pemilu dan
Pemilukada dimulai sejak mengikuti penelitian-penelitian
tentang Pemilu, antara lain: “Pemantauan Pilkada Depok
tahun 2005”, “Survey Nasional Perilaku Pemilih Menjelang
Pemilu Legislatif 2009 (untuk Pusat Kajian Politik UI dan
menjadi koordinator pada wilayah Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat pada bulan Maret 2009)”, “Survey Nasional
Perilaku Pemilih Menjelang Pemilu Presiden 2009 (untuk
Pusat Kajian Politik UI dan menjadi koordinator pada wilayah
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Tengah pada bulan Juni 2009)”.
- 103 -
Pernah menjadi peneliti bidang politik domestik di
Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia
(Lesperssi) dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2006. Aktif
menulis untuk beberapa surat kabar lokal, seperti Monitor
Depok dan Radar Depok, dan surat kabar nasional, seperti
Suara Pembaruan, Suara Karya, Sinar Harapan, dan Pelita.
- 104 -
Download