Ikhsan Darmawan Membongkar Problematika dalam Pemilukada Program Studi Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI i Membongkar Problematika dalam Pemilukada Ikhsan Darmawan Desain Sampul dan Tata Letak: Rudi Ardiansyah Cetakan Pertama, 2012 Membongkar Problematika dalam Pemilukada Cet.I: Januari, 2012; viii + 104 hlm.; 140x210mm ISBN: 978-602-19800-0-2 Diterbitkan oleh: Program Studi Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP UI Gedung B Lt.2, FISIP UI, Depok 16424 ii Kata Pengantar Di hadapan pembaca telah tersaji buku “Membongkar Problematika dalam Pemilukada,” yang merupakan kumpulan tulisan dari Saudara Ikhsan Darmawan, pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia. Penulis memang menggeluti studi politik lokal dan pemilu, serta Pemilukada dalam beberapa kajiannya. Yang bersangkutan berusaha memotret fenomena sosial yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Pemilukada, untuk kemudian dituangkan dalam berbagai tulisan yang kemudian terpublikasi dalam beberapa surat kabar nasional dan lokal, khususnya kota Depok sebagai laboratorium nyata bagi ilmuwan sosial di Universitas Indonesia. Saudara Ikhsan Darmawan berhasil menjelaskan fenomena Pemilukada secara sederhana kepada pembaca, dan kemudian membuat kategorisasi baru terkait problematika dalam Pemilukada. Tercatat perihal eksistensi dan penyelenggaraan, pencalonan, kampanye dan pemilihan, serta konflik dalam penyelenggara Pemilukada merupakan berbagai persoalan yang masih muncul dari praktik Pemilukada di negeri ini. Sejatinya, Pemilukada merupakan buah dari perkembangan otonomi daerah pasca-Orde Baru di Indonesia. Otonomi daerah merupakan jawaban atas iii tuntutan daerah untuk mengembangkan dirinya. Otonomi daerah mempunyai niat baik untuk memfasilitasi perkembangan daerah dalam berbagai bidang. Namun, praktik otonomi daerah setelah lebih dari satu dekade reformasi ternyata masih terkendala dengan berbagai masalah dan kelemahan. Tulisan karya saudara Ikhsan Darmawan ini merupakan salah satu sumbangan penting bagi studi politik lokal, otonomi daerah, dan khususnya Pemilukada. Buku yang ada dihadapan sidang pembaca ini menunggu untuk dikritisi sehingga akan muncul antitesis dan sintesis baru setelah digauli oleh para akademisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah politik lokal di Indonesia. Selamat membaca! Program Studi Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI Ketua, Cecep Hidayat iv Pengantar Penulis Ucapan syukur kepada Allah SWT kiranya adalah kalimat yang paling tepat untuk penulis sampaikan karena akhirnya buku pertama penulis bisa terbit dan berada di hadapan sidang pembaca. Setelah melalui proses yang cukup panjang, buku ini dapat diterbitkan. Hadirnya buku ini tak dapat dilepaskan dari konteks perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari tidak langsung menjadi langsung (yang sekarang disebut dengan Pemilu Kepala Daerah atau Pemilukada). Pemilukada dilaksanakan sejak tahun 2005-sampai dengan buku ini diterbitkan-untuk tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Selama bergulirnya Pemilukada, banyak hal yang terjadi dan perlu disoroti. Dan hal-hal itu berwujud masalah-masalah dalam Pemilukada. Oleh karena itulah, terbitnya buku ini tentu menemui relevansinya bagi seluruh komponen masyarakat, baik akademisi, politisi, civil society, dan sebagainya. Keseluruhan isi buku ini adalah artikel-artikel tentang Pemilukada yang ditulis dan pernah diterbitkan di sejumlah media massa nasional maupun lokal. Buku ini secara garis besar berisi beragam problematika yang selama ini menghinggapi Pemilukada sekaligus di sebagian besar artikel disertai solusi di bagian akhir artikel. Adapun masalah-masalah yang penulis angkat dalam buku ini dapat dikelompokkan menjadi empat tema besar: (1) Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada; (2) Pencalonan dalam Pemilukada; (3) v Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada; dan (4) Konflik dan Penyelenggara Pemilukada. Sebagai penutup, penulis berharap semoga buku ini dapat memberikan sumbangsih seberapa besar pun untuk kemajuan bangsa Indonesia, terutama dalam hal pelaksanaan Pemilukada ke depannya. Depok, Januari 2012 Ikhsan Darmawan vi Daftar Isi Kata Pengantar...................................................... Pengantar Penulis.................................................. Daftar Isi................................................................ iii v vii I. Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada 1. Mempertahankan Hak Rakyat untuk Memilih…………………………………….. 2. Belajar dari Pilpres…………………………. 3. Seputar Biaya Pemilukada…………………. 4. Jabatan Kepala Daerah dan Pemilukada…… 5. Sintesis Demokrasi dan Teknologi dalam E-Voting…………………………….. 6. Berduyun-duyun Melanggar Pemilukada..... 1 3 7 11 15 19 25 II. Pencalonan dalam Pemilukada…………….. 7. Menjaring Kepala Daerah Lewat Survei..…. 8. Kandidasi, Klaim, dan Keputusan Politik…. 9. Episode Baru Pesta Demokrasi Depok……. 10. Satu Lawan Satu…………………………… 11. Koalisi Besar Tidak Mudah………………... 29 31 35 39 43 47 III. Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada 12. Hura-Hura Politik…………………………... 13. Nir-netralitas Birokrasi dalam Pemilukada.... 14. Memilih Dengan Cerdas………………….… 15. Pesan Menuju Bilik Suara…………………... 16. Survei dan Bandwagon Effect……………... 51 53 57 61 65 69 vii IV. Konflik dan Penyelenggara Pemilukada…... 17. Titik Rawan Pilkada Depok………………… 18. Pembelot Politik…………………………….. 19. Wacana Persiapan Pemilukada…………...… 20. Panwaslu Yang "Tak Bergigi'………………. 21. Bara Pasca 16 Oktober……………………… 73 75 79 85 89 93 Sumber Tulisan………………………………….. 97 Daftar Referensi……………………………….… 99 Tentang Penulis……………………………….…. 103 viii Bagian I Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada -1- -2- 1 Mempertahankan Hak Rakyat untuk Memilih Belum lama ini, bergulir wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari langsung menjadi tidak langsung. Praktek penentuan Kepala Daerah langsung oleh rakyat dinilai oleh beberapa kalangan perlu ditinjau ulang karena ditengarai menimbulkan konflik dan pemborosan uang rakyat. Kedua alasan yang melengkapi usulan di atas tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Pertama, meminjam pendapat Austin Ranney (1987), bahwa konflik itu sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari politik. Artinya, keseluruhan aspek dalam politik memang mengandung potensi konflik. Hal tersebut dapat terjadi karena politik memiliki unsur-unsur yang dapat memicu hadirnya konflik, seperti persaingan, kepentingan dan keterbatasan sumber daya (baca: kekuasaan). Bahwa kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai prasyarat penting bagi demokrasi, seperti disampaikan oleh Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), tentu kita akan sepakat. Namun, bukan lantas mengesampingkan adagium tentang konflik, yaitu konflik tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat diminimalisir (atau dikelola). Oleh sebab itu, perselisihan yang merupakan dampak dari gesekan kepentingan dalam persaingan -3- politik bukan hal yang tabu. Yang terpenting, adalah perselisihan itu harus dituntaskan tanpa kekerasan dan melembaga. Kedua, perlu dimengerti bahwa demokrasi memang memerlukan ongkos. Kualitas demokrasi tidak dapat dikorbankan hanya karena persoalan biaya yang harus dikeluarkan. Agar kualitas demokrasi tetap dipertahankan, pemerintah mestinya tidak hanya melakukan evaluasi terhadap total biaya Pilkada di setiap daerah yang kelihatannya besar. Tetapi pemerintah harus meneliti item atau unsur pengeluaran apa saja yang banyak menghamburkan uang, sehingga perlu direvisi bahkan, jika memungkinkan, dihapuskan. Sebagai contoh, biaya besar yang harus dikeluarkan untuk kampanye (misalnya, arak-arakan, mendatangkan artis, pembagian kaos) dapat saja dikurangi dengan mengeluarkan aturan pelarangan aktivitas-aktivitas itu sehingga tidak banyak uang yang harus dikucurkan dalam Pilkada. Di samping itu, gagasan lain yang bisa menjadi pertimbangan yaitu menyederhanakan jadwal pelaksanaan Pilkada atau menggabung proses Pilkada. Artinya, setiap 5 (lima) tahun sekali rakyat Indonesia hanya disibukkan dengan 3 (tiga) pemilu, yaitu Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Kepala Daerah. Menghambat konsolidasi Mengulang sejarah dengan mengaplikasikan model pemilihan pemimpin daerah oleh lembaga legislatif daerah akan menemui hambatan konstitusional dan yuridis karena bertentangan dengan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan -4- Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis dapat kita lihat kepada aturan di bawah konstitusi, yaitu pasal 56 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Selain persoalan hukum, menghapus keterlibatan rakyat menentukan pemimpin daerahnya sama halnya dengan membuat masa depan konsolidasi demokrasi menjadi tidak jelas. Beberapa kelemahan Pilkada tidak langsung oleh rakyat, yaitu, pertama, membuat konstelasi kekuasaan di antara lembaga-lembaga politik daerah menjadi kehilangan keseimbangan. Model pemerintahan yang kemudian terbentuk adalah legislative heavy karena kepala daerah bertanggung jawab sekaligus subordinat lembaga perwakilan daerah. Padahal, sistem demokrasi mensyaratkan adanya trias politica yang sejajar dan didukung oleh check and balances, bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga lokal. Kedua, memperbesar potensi instabilitas pemerintahan lokal. Karena kepala daerah adalah „bawahan‟ DPRD, maka kestabilan pemerintahan daerah banyak ditentukan oleh pertarungan dan konstelasi politik di DPRD. Juga, terbuka peluang kepala daerah menjadi „bulan-bulanan‟ DPRD jika kepala daerah tidak banyak mengakomodasi kepentingan politik dari anggota dewan daerah. -5- Ketiga, mempersempit ruang bagi kepala daerah berinovasi dalam membangun daerahnya. Karena gerak langkah kepala daerah dibatasi oleh persetujuan DPRD, maka dikhawatirkan program-program yang pro rakyat yang seharusnya dapat diinisiasi oleh kepala daerah menjadi relatif lebih sulit terwujud. Sebabnya adalah yang menjadi prioritas utama kepala daerah agar tidak dinilai buruk oleh DPRD adalah mengedepankan program-program kerja yang diamini oleh DPRD. Keempat, mengurangi legitimasi kepala daerah. Kepala daerah hasil pemilihan DPRD cenderung kurang mendapatkan kepercayaan penuh masyarakat karena masyarakat tidak diberi hak pilih dan menganggap bahwa kepala daerah terpilih bukan mewakili kepentingan mereka, melainkan mewakili kepentingan dan pilihan partai politik. Kelima, menghilangkan prinsip akuntabilitas pemerintahan. Model pemerintahan daerah yang merupakan kombinasi antara DPRD pilihan rakyat dan kepala daerah hasil pilihan DPRD sulit untuk dijamin pertanggung jawabannya, terutama pada saat pemerintahan sedang berjalan. Berkaca pada kelemahan-kelemahan Pilkada tidak langsung di atas, memilih untuk tetap mempertahankan hak rakyat untuk memilih adalah pilihan yang bijak. Semua kekurangan yang terjadi selama berjalannya Pilkada dari tahun 2005 sampai dengan saat ini dapat ditindaklanjuti pemerintah dengan mereformasi sistem, bukan merevolusinya. -6- 2 Belajar dari Pilpres KPUD Depok bisa sedikit bernafas lega setelah berhasil menyelesaikan penghitungan hasil Pemilu Presiden (Pilpres) di tingkat kota 14 Juli lalu. Pascapilpres KPUD harus memulai aktivitasnya karena agenda Pilkada langsung kedua sudah menanti. Masa jabatan Walikota Depok akan berakhir pada bulan Januari 2011. Berdasarkan Pasal 70 ayat (1) PP No.6 Tahun 2005, KPUD harus melaksanakan pemungutan suara Pilkada paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan Walikota berakhir atau bulan Desember 2011. Penulis memperkirakan hari-H Pilkada Depok berada pada rentang antara bulan Agustus-November 2010. Demi meningkatkan kualitas Pilkada, penting kiranya mengevalusi implementasi Pilpres untuk diambil pelajarannya oleh seluruh stakeholders di Kota Depok. Prestasi Pilpres Kita mengakui bahwa Pilpres menelurkan beberapa prestasi. Pertama, diikuti oleh beberapa calon. Sebuah pemilihan umum adalah kompetisi. Artinya, wajib mengikutkan lebih dari satu peserta. Jauh hari sebelum gegap gempita Pilpres, sempat beredar wacana bahwa Pilpres hanya akan diikuti oleh incumbent. Indikasinya karena parpol besar, seperti Golkar dan PDIP, setahun menjelang Pilpres belum memastikan calon mereka. -7- Kedua, berjalan relatif aman. Menurut Henry Mayo (1960), salah satu nilai yang dianut oleh masyarakat demokratis adalah menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga. Di dalam pemilu wajar jika terdapat perselisihan pendapat dan kepentingan. Tetapi, perselisihan itu harus dapat diselesaikan melalui perundingan dan dialog terbuka dalam usaha mencapai kompromi tanpa kekerasan. Pelembagaan perselisihan pemilu di Indonesia saat ini semakin baik karena UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadili masalahmasalah sengketa pemilu. Ketiga, sportivitas peserta. Jika Pilpres diibaratkan sebuah pertandingan dan menang-kalah adalah keniscayaan dari sebuah pertandingan, maka pihak yang bersaing dalam Pilpres sudah sepantasnya legowo menerima apapun hasil akhirnya. Meski belum resmi kalah, Jusuf Kalla mau memberi selamat kepada SBY karena sebagian besar hasil quick count memperkirakan kemenangan pesaingnya itu. Sikap kenegarawanan Jusuf Kalla tersebut sangat baik untuk mendukung iklim demokrasi di negara ini. Keempat, tersedianya TPS di Rumah Sakit dan Rumah Tahanan. Kelima, debat capres-cawapres. Meskipun di satu sisi masih terdapat kekurangan mengenai kedalaman isi debat dan kurang atraktifnya perdebatan, di sisi lain debat mesti diapresiasi karena sedikit banyak menjadi sarana untuk pemilih menilai kemampuan dan program yang ditawarkan caprescawapres. -8- Kekurangan Pilpres Selain prestasi, Pilpres 8 Juli 2009 juga disertai oleh kekurangan. Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kesalahan terbesar KPU Pusat menyangkut DPT adalah KPU baru mengumumkan DPT ketika didesak oleh tim sukses Mega-Prabowo dan JK-Wiranto pada H-2 Pilpres. Setelah ditelusuri hasilnya ternyata DPT versi KPU memuat DPT ganda dan DPT fiktif. Jumlah data ganda yang berhasil diidentifikasi sekitar 11,21 juta pemilih. Kedua, logistik. Persoalan kekurangan logistik dalam Pilpres kembali terulang. Menurut Ketua Bawaslu, ada 7 (tujuh) kota dari 6 (enam) provinsi, yaitu Lampung, Bengkulu, Kaltim, Jateng, Sulteng, dan Bali, yang kekurangan surat suara antara 50-200 lembar. Selain itu, di Bali juga terjadi kasus kekurangan tinta. Ketiga, netralitas penyelenggara. Selama Pilpres ada beberapa kasus yang membuat KPU Pusat terkesan tidak netral. Dua di antaranya adalah kasus spanduk sosialisasi Pilpres yang tercontreng di foto calon nomor 2 dan pelibatan lembaga asing (IFES) dalam hitung cepat melalui pesan singkat. Ketiga, pelanggaran oleh tim sukses. Hasil rekapitulasi Bawaslu menyebutkan bahwa selama Pilpres terdapat 539 laporan pelanggaran, di mana 401 kasus di antaranya merupakan pelanggaran administrasi, 67 kasus termasuk pelanggaran pidana, dan sisanya adalah pelanggaran lain. Keempat, politik uang. Salah satu temuannya yakni Panwas Rembang melaporkan temuan di mana seorang warga mencegat 10 orang yang akan berangkat ke TPS sembari memengaruhi mereka agar memilih pasangan tertentu. -9- Songsong Pilkada Bagaimana mengartikan evaluasi di atas? Torehan prestasi bisa dianggap sebagai best example untuk kemudian KPUD menirunya. Begitu juga, segala kekurangan dalam Pilpres harus diterjemahkan dengan sikap mengantisipasi poin-poin kekurangan Pilpres agar tidak terjadi pada Pilkada. Titik awal Pilkada adalah masa persiapan yang ditandai pemberitahuan tertulis DPRD tentang berakhirnya masa jabatan Walikota kepada Walikota dan KPUD. Pemberitahuan itu, baru akan dilakukan 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Walikota atau pada bulan Agustus 2010. Lantas, apakah artinya saat ini KPUD tidak dapat melakukan apapun berkaitan dengan Pilkada? Tentu tidak. Justru saat ini adalah waktu yang harus dimanfaatkan oleh KPUD untuk memulai sosialisasi Pilkada kepada masyarakat sembari menyusun rancangan tahapan Pilkada secara komprehensif. Harapannya dengan waktu sosialisasi yang lebih panjang semakin terbuka kemungkinan makin banyak rakyat Depok yang akan melek Pilkada. - 10 - 3 Seputar Biaya Pemilukada Dalam sebuah kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang bertema “Menata Kembali Pengaturan Pemilukada” yang mengundang sejumlah anggota DPRRI dari Komisi II dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri yang digagas oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada akhir September 2010 lalu, terdapat sebuah perhatian khusus dari para peserta diskusi, yakni perihal mahalnya biaya Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada). Beranjak dari mahalnya biaya Pemilukada (langsung) itulah acapkali terdapat usulan dari sejumlah kalangan, seperti anggota DPR dan akademisi, agar tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung dikembalikan menjadi dipilih kembali oleh anggota DPRD. Rancu Penulis menilai bahwa yang dimaksud dengan biaya Pemilukada itu sendiri harus diklarifikasi terlebih dahulu definisinya. Ada tiga kategori biaya yang sering dianggap sebagai biaya Pemilukada. Pertama, biaya penyelenggaraan Pemilukada. Kedua, biaya yang dikeluarkan untuk partai politik (dalam praktiknya ialah biaya yang dikeluarkan untuk dapat dicalonkan oleh partai politik). Ketiga, biaya yang dikeluarkan untuk keperluan kampanye Pemilukada. - 11 - Amat disayangkan ketiga kategori di atas sering menjadi rancu karena dianggap dan dihitung sebagai satu kesatuan biaya Pemilukada sehingga kemudian jumlahnya menjadi sangat besar. Padahal, ketiga kategori biaya itu memiliki ranah yang berbeda, sehingga solusi yang kemudian diberikan untuk mengatasi masalah dari setiap biaya jelas berbeda. Biaya penyelenggaraan Pemilukada adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan oleh penyelenggara (KPUD dan Panwas) untuk menyelenggarakan sebuah Pemilukada. Dana penyelenggara Pemilukada berasal dari APBD. Artinya, yang mengeluarkan uang tersebut adalah rakyat. Kedua, biaya yang dikucurkan untuk partai politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk dapat dicalonkan oleh sebuah partai politik terdapat biaya tersendiri. Meskipun UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik tidak mengatur tentang ongkos ini, dalam praktiknya para calon tak dapat menghindar dari biaya ini. Ketiga, biaya yang digelontorkan untuk keperluan kampanye. Biaya yang ketiga ini juga biaya yang harus dikeluarkan oleh para pasangan calon. Dikarenakan selama ini model kegiatan kampanye tidak diatur secara tegas dan rinci, maka biasanya para calon akan berlomba-lomba menggelar kampanye yang jorjoran. Misalnya saja, untuk keperluan membeli atribut (kaos, baliho, spanduk, dsb) dan mendatangkan artis untuk menghibur massa pendukung. Setelah tipologi biaya Pemilukada menjadi lebih jelas perbedaannya seperti di atas, maka tidak adil kiranya jika biaya Pemilukada masih “dipukul rata” dan - 12 - semua uang yang keluar untuk sebuah event Pemilukada dimasukkan dalam satu kelompok sebagai biaya Pemilukada. Jalan Keluar Kemudian, bagaimana jalan keluar untuk masalah dalam masing-masing tipe biaya Pemilukada? Untuk menghemat biaya penyelenggaraan Pemilukada, ada sejumlah solusi yang dapat ditawarkan. Pertama, mengatur agar Pemilukada berjalan hanya satu putaran saja. Selama ini, seperti diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika tak ada pasangan calon yang memperoleh 30 persen, maka diadakan Pemilukada putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua di putaran pertama. Alangkah baiknya jikalau Pemilukada diatur supaya hanya berjalan satu putaran saja. Caranya adalah dengan menaikkan ambang batas minimal persentase kursi partai politik di DPRD untuk dapat mengajukan pasangan calon. Cara kedua adalah dengan mengubah sistem penetapan pasangan calon yang menang dalam Pemilukada dari sistem bersyarat minimal menjadi sistem simple majority. Simple majority itu sendiri artinya berapapun perolehan suara dari pasangan calon yang paling tinggi suaranya, pasangan calon itu langsung dinyatakan sebagai pemenang. Kedua, melakukan penggabungan Pemilukada untuk daerah yang dimungkinkan untuk digabung. Ketiga, melakukan efisiensi dalam pengadaan logistik Pemilukada. Berikutnya, karena problemnya berakar dari UU tentang partai politik, agar biaya yang dikeluarkan untuk - 13 - bisa diusung parpol menjadi nihil, tak ada solusi lain selain dilakukan revisi terhadap UU tentang partai politik. Idealnya, pengaturan tentang rekrutmen untuk jabatan publik (Presiden, menteri, dan kepala daerah) harus diubah menjadi lebih spesifik dan berbasiskan pada kemampuan bakal calon dan juga wajib bebas biaya. Terakhir, untuk meminimalisir biaya kampanye, ke depannya ada dua langkah pembenahan yang dapat ditempuh. Pertama, dengan semakin membatasi pengeluaran pasangan calon untuk dana kampanye. Kedua, merubah metode kampanye dari diadakan sendiri oleh pasangan calon bersama tim sukses menjadi diadakan oleh penyelenggara Pemilukada. Ketiga, mengecilkan porsi cara kampanye yang berbiaya tinggi (melakukan konvoi, mengundang artis, membagi-bagi atribut kampanye) dan secara bersamaan memperbesar persentase cara kampanye debat publik. Guna mensukseskannya, bila pasangan calon masih melanggar aturan pembatasan aktivitas kampanye yang hura-hura itu, maka penyelenggara Pemilukada mengganjarnya dengan sanksi. - 14 - 4 Jabatan Kepala Daerah dan Pemilukada Beberapa waktu yang lalu, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Depok mengajukan laporan kepada Panwaslu Kota Depok terkait dengan adanya seorang calon walikota yang juga masih menjabat sebagai walikota (incumbent) yang menggunakan mobil dinas untuk acara halal bi halal dan Apel Siaga DPD PKS di Gedung Balai Rakyat. Sebagai reaksi atas laporan itu, Panwaslu Kota Depok kemudian memanggil tim sukses dan calon walikota yang dimaksud untuk dimintai keterangan. Prihandoko, selaku Ketua Tim Sukses dari kandidat itu, mengklarifikasi bahwa calon walikota tersebut hadir dalam kapasitasnya sebagai walikota. Ilustrasi di atas hanya satu cerita kecil tentang bagaimana seorang kepala daerah incumbent dapat menggunakan fasilitas yang bertautan dengan jabatannya. Karena posisinya itu pula, seorang calon kepala daerah incumbent memiliki priviledge atau keistimewaan bila dibandingkan dengan kandidat lainnya dengan mengatasnamakan tugasnya sebagai kepala daerah. Sebagai contohnya, memberikan bantuanbantuan sosial dan melakukan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, rumah ibadah). Tindak tanduk kepala daerah itu tentu saja bukan menggunakan - 15 - dana dari kantong pribadi, melainkan dana dari APBD. Selain itu, yang tak kalah dikhawatirkan tentunya ialah seorang kepala daerah bisa saja melakukan tindakantindakan yang sifatnya negatif, seperti penyalahgunaan fasilitas negara dan politisasi birokrasi meskipun peraturan perundangan-undangan telah mengatur hal-hal itu beserta sanksinya. Keistimewaan yang dipunya oleh kepala daerah incumbent ini tentu saja tidak adil bagi kandidatkandidat lainnya. Pasalnya, di saat semua calon lainnya menggunakan dana pribadi untuk keperluan Pemilukada, kepala daerah incumbent bisa tidak perlu merogoh kocek pribadinya dalam-dalam dengan berlindung di balik pengatasnamaan jabatan. Aturan Main Awalnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur sama sekali ketentuan mengenai kepala daerah incumbent yang berniat maju kembali dalam Pemilukada berikutnya. Beberapa tahun kemudian, pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2008 yang salah satu isinya yaitu mempertegas pembatasan syarat pendaftaran untuk kepala daerah incumbent. Pasal 58q undang-undang tersebut menyebutkan bahwa seorang kepala daerah incumbent yang berhasrat untuk maju kembali dalam gelanggang pesta demokrasi lokal harus mengundurkan diri sejak pendaftaran. Hadirnya klausul tersebut lantas mendorong Sjahroedin Zp, Gubernur Lampung kala itu yang juga berkeinginan untuk bertarung kembali dalam Pemilukada, untuk melakukan judicial review ke - 16 - Mahkamah Konstitusi (MK). Sjahroedin beranggapan bahwa pasal 58q telah menimbulkan kerugian hak konstitusional bagi seorang calon kepala daerah. Hak konstitusional yang dimaksudkan meliputi dua hal. Pertama, perlakuan tidak sama yang dialami kepala daerah selaku pejabat negara dengan pejabat negara lainnya ketika mencalonkan diri pada jabatan yang sama periode berikutnya. Kedua, pengurangan masa jabatan kepala daerah. Pada tanggal 4 Agustus 2008, akhirnya MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 58q UU Nomor 12 Tahun 2008. Akibat keluarnya putusan MK itu, sekarang ini kepala daerah incumbent tidak perlu lagi mengundurkan diri melainkan hanya melakukan cuti pada saat hari kampanye Pemilukada. Putusan MK itulah yang digunakan sebagai landasan hukum sampai dengan saat ini untuk mengatur mundur atau tidaknya seorang kepala daerah incumbent. Pilihan Kebijakan Terlepas dari keberadaan aturan main yang berlaku, tak dimungkiri bahwa pengaturan jabatan kepala daerah incumbent merupakan salah satu hal yang perlu diproritaskan. Pengaturan itu penting agar di masa yang akan datang gerak langkah kepala daerah incumbent yang bertindak atas nama jabatan untuk kepentingan pribadinya dalam Pemilukada dapat diminimalisir kemungkinan terjadinya. Apalagi, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilukada termasuk salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. - 17 - Oleh karena itu, terdapat sejumlah alternatif solusi yang tidak menutup kemungkinan dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan. Pertama, mewajibkan kepala daerah untuk cuti selama waktu tertentu. Misalnya saja, selama enam bulan. Selama kepala daerah incumbent tidak menjabat, tugas kepala daerah diemban oleh Pelaksana Tugas (Plt.). Di samping itu, untuk mendukung kesuksesan aturan ini, perlu dibuat aturan tambahan yang melarang kepala daerah untuk memberikan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat di tahun ke empat masa jabatannya. Kedua, melarang kepala daerah ikut dalam Pemilukada secara berturut-turut. Artinya, periode jabatan kepala daerah diatur secara berselang selama satu periode. Dalam bahasa lain, seorang kepala daerah incumbent boleh kembali mencalonkan diri dalam Pemilukada untuk kedua kalinya setelah berselang lima tahun. Selain bertujuan untuk membatasi kemungkinan penyalahgunaan kewenangan, usulan ini juga sekaligus ditujukan agar proses regenerasi kepemimpinan daerah dapat tetap berjalan. - 18 - 5 Sintesis Demokrasi dan Teknologi Dalam E-voting Perkembangan teknologi boleh jadi berjalan beriringan dengan bergulirnya proses demokrasi di sebuah negara. Salah satu contoh nyatanya adalah pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh Barack Obama pada Pemilu Presiden di Amerika Serikat yang memanfaatkan Facebook sebagai media untuk menjangkau calon pemilih. Dengan didukung kemajuan teknologi juga, terdapat alternatif cara menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, yakni electronic voting (e-voting). Bertautan dengan contoh yang disebutkan terakhir, di Kabupaten Jembrana pada tahun 2009 lalu, perhelatan pemilihan kepala desa (Pilkades) di sejumlah desa berjalan relatif sukses dengan menggunakan metode e-voting tersebut. Fenomena Pilkades dengan e-voting di Jembrana lantas menarik minat dan keingintahuan banyak kalangan (anggota DPR, Mendagri, dan beberapa kepala daerah). Ketertarikan itu bahkan sampai mendorong mereka untuk mengunjungi salah satu kabupaten di Bali tersebut, dengan maksud untuk melihat langsung proses dan mekanisme e-voting. Meskipun masih dalam ruang lingkup yang kecil (tingkat desa), apa yang telah “diuji - 19 - coba” di Jembrana sangat layak diapreasiasi dan diacungi jempol. Keberhasilan di tingkat Pilkades kemudian menginspirasi Pemerintah Daerah (Pemda) Jembrana untuk menginisiasikan perubahan teknik memilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jembrana, yang dari sebelumnya menggunakan teknik mencoblos menjadi e-voting. Keinginan kuat Pemda Jembrana terlihat dari usaha mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir tahun 2009. Permohonan Pemda Jembrana tersebut terdaftar di MK dalam permohonan Nomor 147/PUU-VII/2009. Kekurangan dan Kelebihan E-voting secara umum dapat diartikan sebagai menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilihan yang didukung oleh alat elektronik. Ragam dari alat elektronik mencakup pendaftaran suara secara elektronik, penghitungan suara secara elektronik, dan belakangan termasuk channel untuk memilih dari jarak jauh, khususnya internet voting (Kersting dan Baldersheim, 2004: 5). Teknik e-voting yang telah dipraktikkan di Jembrana belum sampai tahap menggunakan metode internet voting, melainkan baru menggunakan teknik mesin penghitung suara. Digulirkannya ide untuk mewujudkan e-voting tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Secara garis besar, keunggulan e-voting berhubungan erat dengan faktor efisiensi dan akurasi. Efisiensi yang - 20 - dimaksudkan dalam hal ini adalah penghematan biaya dan waktu. Secara filosofis, penyelenggaraan sebuah pemilu semestinya mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall, et al, 2006: 24). Terkait hal itu, seperti diberitakan banyak media massa, masalah tidak tersedianya (dan atau belum cairnya) anggaran menjadi salah satu masalah yang menghinggapi banyak daerah yang pada tahun 2010 ini akan menggelar Pilkada. Menurut data yang pernah dilansir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, dari 244 daerah (tujuh provinsi dan 237 kabupaten/kota), 122 di antaranya harus berhadapan dengan masalah anggaran yang belum juga cair (Media Indonesia, 24/1/2010). Padahal, tidak sedikit dari ratusan daerah itu yang di awal tahun 2010 ini sudah harus masuk tahapan Pilkada seperti pendaftaran pemilih, pembentukan pengawas, dan sebagainya. Berangkat dari konteks itu, apabila syarat pendukungnya terpenuhi, e-voting dapat menjadi alternatif solusi untuk masalah anggaran dalam Pilkada. Teknik e-voting, menurut Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Jembrana, Komang Wyasaeng, menghemat dana hingga 70 persen dibandingkan biaya pemilihan umum dengan sistem yang selama ini berlangsung, yaitu mencoblos atau mencentang (www.tempointeraktif.com). Selain efisien dalam aspek anggaran, nilai efisien juga terdapat pada masalah waktu. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, voting lewat perangkat elektronik akan mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, biasanya jika pagi hari diproses, malam harinya sudah diketahui hasilnya. Jadi, pemilih - 21 - tidak usah menunggu selama 30 hari untuk mengetahui hasil pemungutan suara (www.jembranakab.go.id). Kedua, terkait akurasi, menyitir Willis, kecepatan dan akurasi suatu pemilu adalah hal yang penting dalam demokrasi modern (1966:26). Selama di-support oleh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berbasis Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK), e-voting jauh lebih akurat dalam konteks hasil perhitungan dibandingkan cara penghitungan manual. Di samping sejumlah keunggulan di atas, evoting juga mengandung beberapa kelemahan. Pertama, jika ternyata petugas pemilu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang e-voting. Moynihan (2004: 516), misalnya, mengkhawatirkan apabila teknologi e-voting gagal, akan mengurangi legitimasi terhadap pemilu. Kedua, bagi sejumlah kelompok pemilih (seperti kelompok pemilih usia lanjut), e-voting berpotensi tidak disukai. Hasil riset Roseman, Jr dan Stephenson (2005: 39) dalam Pemilihan Gubernur di negara bagian Georgia, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa ternyata pemilihan dengan menggunakan teknologi tinggi (evoting) tidak cukup disukai oleh para calon pemilih berusia tua (di atas 65 tahun). Faktor Pendukung Pertanyaannya kemudian: apakah mungkin Pilkada menggunakan e-voting? Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin Pilkada dengan e-voting dapat diejawantahkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung yang harus dipenuhi. Pertama, asas legal formal. UU No. 32 Tahun 2004, mau tidak mau, harus direvisi. Usaha Pemda - 22 - Jembrana mengajukan judicial review merupakan salah satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi terhadap revisi Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004. Belum lagi, DPR RI tahun ini juga mengagendakan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Apabila MK mengabulkan permohonan Bupati Jembrana, maka kemungkinan dimasukkannya klausul tentang e-voting akan semakin besar. Kedua, masalah infrastruktur. Infrastruktur utama adalah sistem pendataan penduduk dengan menggunakan SIAK. Terakhir, faktor sosialisasi. Ketika nantinya prasyarat pelembagaan formal dan infrastruktur telah terpenuhi, sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak harus dilakukan. - 23 - - 24 - 6 Berduyun-duyun Melanggar Pemilukada Tahun 2010 meninggalkan sejumlah catatan dalam bidang politik lokal. Salah satu di antaranya yang bertautan dengan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) adalah tingginya jumlah pelanggaran dalam Pemilukada tahun lalu. Catatan penulis menyitir laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk tingkat kabupaten/kota, terjadi pelanggaran di 154 dari 237 kabupaten/kota yang menggelar Pemilukada (64,9%). Sedangkan, untuk tingkat provinsi, terjadi pelanggaran di 7 provinsi atau seluruh provinsi yang menghajat Pemilukada. Dari segi jumlah, total laporan pelanggaran yang diterima Bawaslu adalah 1767 pelanggaran. Dari jumlah tersebut, bila diklasifikasi, pelanggaran terbesar menyangkut laporan pelanggaran administrasi dengan jumlah total sebesar 1179 pelanggaran, diikuti laporan pelanggaran pidana jumlah total sebesar 572 pelanggaran, dan kemudian laporan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu jumlah total sebesar 16 pelanggaran. Eksistensi banyaknya pelanggaran penting disoroti karena berpengaruh terhadap kualitas Pemilukada itu sendiri. Menyitir Gamze Cavdar (dalam - 25 - M. Alvarez, et.al., 2008: 53), untuk menilai kualitas sebuah pemilu, kita harus melihat proses pemilu atau apa yang terjadi ketika pemilu dilaksanakan. Artinya, semakin banyak pelanggaran yang terjadi, maka semakin berkurang kualitas sebuah Pemilukada. Berangkat dari tidak sedikitnya angka laporan pelanggaran di atas, menarik untuk mempertanyakan apa yang menjadi musabab terjadinya banyak pelanggaran pada Pemilukada tahun 2010? Pertama, kelemahan dalam prosedur Pemilukada. Kelemahan yang dimaksud dapat mengambil tiga bentuk, yaitu kekosongan hukum, regulasi yang belum tegas, dan pengaturan yang tidak sinkron di antara regulasi yang ada. Kekosongan hukum dapat dilihat, sebagai contoh, pada ketiadaan aturan berikut sanksi untuk tindakan penyalahgunaan jabatan serta penggunaan fasilitas negara yang dilakukan di luar tahap kampanye. Bentuk kedua, regulasi yang belum tegas menimbulkan penafsiran yang berbeda diantara para pihak relevan dengan kasus dukungan ganda yang terjadi di Pemilukada Depok. Dukungan Partai Hanura yang diberikan kepada pasangan calon Yuyun-Pradi dan BKSupri yang akhirnya diputuskan oleh KPUD Depok jatuh untuk pasangan Yuyun-Pradi menimbulkan penafsiran yang beragam dari stakeholders Pemilukada Depok. Bentuk ketiga, yakni adanya pengaturan yang tidak sinkron di antara regulasi yang ada. Ketidaksinkronan ini menyebabkan ketidakpastian hukum, baik antara Undang-Undang dengan UndangUndang, Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan KPU, maupun antara Peraturan - 26 - Pemerintah dengan Peraturan KPU. Untuk menyebut contohnya, yaitu pengaturan tentang Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilukada menurut UU No. 32 Tahun 2004 bersumber dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu yang terakhir (baca: dari DPT Pemilu Presiden). Di sisi lain, Peraturan KPU menyebutkan bahwa DPS Pemilukada diperoleh dari data pemerintah. Terhadap DPT Pemilu Presiden, Peraturan KPU hanya mengatakan kalau DPT Pemilu Presiden tersebut dapat digunakan. Ketidakpaduan regulasi ini jelas mempersulit pelaksana Pemilukada (terutama Panwaslu) dalam mengidentifikasi pelanggaran dan bahkan bisa menjadi salah satu sumber pemicu polemik dan konflik. Musabab kedua adalah terbatasnya kewenangan institusi pengawas Pemilukada. Merujuk UU No. 22 Tahun 2007, disebutkan bahwa kewenangan lembaga Panwaslu hanya ”sekedar” menyampaikan temuan dan laporan dugaan pelanggaran. Pelanggaran administrasi Pemilu diserahkan kepada KPU, sedangkan temuan dan laporan atas dugaan pelanggaran pidana dirujuk kepada Kepolisian. Melihat hal itu, dapat dikatakan bahwa Panwaslu tidak memiliki kewenangan yang relatif kuat karena Panwaslu tidak boleh menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Sebab ketiga ialah penegakan terhadap pelanggaran yang lemah. Kembali mengacu pada laporan Bawaslu, selama tahun 2010, dari 1125 temuan pelanggaran yang diteruskan ke KPUD, hanya 27 (2,29%) saja yang ditindaklanjuti oleh KPUD. Juga, untuk pelanggaran pidana, dari total 532 laporan yang diteruskan ke Kepolisian, hanya 168 laporan (29,37%) yang ditindaklanjuti. - 27 - Langkah lanjutan Langkah lanjutan untuk meminimalisir jumlah pelanggaran tak lain bertaut dengan perubahan aturan main. Perubahan aturan main paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, pengurangan ruang kosong dalam aturan main Pemilukada. Kedua, perbaikan atas aturan Pemilukada yang mengandung penafsiran ganda. Ketiga, sinkronisasi aturan Pemilukada dengan aturan lain yang berkaitan. Selain perubahan regulasi menyoal pengaturan pelaksanaan Pemilukada, revisi aturan main juga harus berlaku untuk penguatan wewenang Panwaslu. Langkah berikutnya ialah penguatan penegakan hukum. KPU Pusat harus bisa menekankan kepada seluruh KPUD agar menindaklanjuti setiap temuan pelanggaran administrasi yang diperoleh Panwaslu. Begitu juga dengan pihak Kepolisian terhadap pelanggaran pidana. Langkah lain yang penting untuk ditempuh yakni dengan menggandeng institusi lain, seperti LSM, untuk memperkuat fungsi pengawasan. - 28 - Bagian II Pencalonan dalam Pemilukada - 29 - - 30 - 7 Menjaring Kepala Daerah Lewat Survei Setiap partai politik maupun bakal calon tentu berkeinginan untuk menang dalam Pilkada. Kemenangan dalam Pilkada harus dapat diraih dengan persiapan yang matang, termasuk pemilihan strategi pemenangan. Untuk menjadi pemenang dalam Pilkada sebuah tim sukses pasangan calon harus memiliki 1000 alternatif strategi. Pasalnya, tidak ada satu strategi khusus yang ampuh dipakai untuk semua Pilkada. Meskipun harus memiliki banyak pilihan strategi dan juga adaptif dengan perkembangan waktu dan kehidupan masyarakat, bukan berarti strategi itu tidak dapat ditarik garis besar pola umumnya. Dalam buku How to Win An Election: Lessons from The Experts, (Chay Florentino Hofilena (Ed.), 2006), Miriam Grace dan Booma Cruz menyebut dua langkah besar yang berkaitan dengan cara memenangkan pemilihan. Salah satu langkah yang penting adalah mempersiapkan untuk menang. Dalam kaitannya dengan langkah mempersiapkan untuk menang, setiap partai politik semestinya memberikan penilaian terhadap orang yang akan didukung (baik diri sendiri maupun orang lain bagi anggota tim sukses) sebagai kandidat. Menurut Grace dan Cruz, sebelum memutuskan untuk naik ke dalam arena Pilkada, 9 (sembilan) hal dari dalam diri yang harus dipertimbangkan antara lain : (1) tujuan, (2) - 31 - kualifikasi, (3) nilai, (4) personality, (5) reputasi, (6) mekanisme pendukung, (7) keuangan, (8) kesehatan, dan (9) peluang untuk menang. Yang menarik, belakangan ini partai politik mulai menganggap survei sebagai sesuatu yang penting untuk dipakai dalam penjaringan dan penentuan calon dalam Pilkada. Sebagai contoh indikasinya, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, menyatakan secara nasional Partai Golkar akan mengusung calon melalui mekanisme survei. Jika berdasarkan hasil survei calon kepala daerah tersebut layak dijagokan, maka DPP Partai Golkar akan segera menetapkan. Berdasarkan pengamatan penulis dan informasi yang dapat dipercaya dari rekan-rekan penulis yang bekerja pada beberapa lembaga survei, lembaga surveilembaga survei berskala nasional sudah mulai “turun lapangan” dan melakukan survei dengan berdasarkan basis permintaan oleh bakal calon atau partai politik untuk Pilkada Depok. Memosisikan survei sebagai salah satu tools untuk menentukan calon yang akan diusung jelas merupakan sinyalemen yang positif untuk kemajuan pelembagaan partai politik. Hal itu dikarenakan dapat diartikan bahwa partai politik mulai serius menggunakan metode ilmiah untuk bertarung dalam Pilkada. Pasalnya, selama ini, menurut Lili Romli, dkk dalam buku Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia (2008: 24), partai politik memiliki kecenderungan bersifat oligarkis dalam proses pencalonan dalam sebuah pemilihan, di mana pengambilan keputusan partai politik hanya didominasi oleh elit. - 32 - Dalam proses Pilkada, hasil seleksi bakal calon yang berlangsung panjang dan demokratis di tingkat bawah acapkali belum tentu menjadi pertimbangan utama pengambilan keputusan. Artinya, terjadi perbedaan antara aspirasi pengurus atau konstituen di tingkat bawah dengan keputusan partai politik pada tingkatan di atasnya dalam menentukan calon yang akan diusung atau didukung. Ditambah lagi, seringkali juga terjadi konstituen tidak mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai kelayakan calon yang diusung oleh partai politiknya, baik dari segi kapabilitas, integritas maupun elektabilitas (tingkat kemungkinan terpilih). Akibatnya, tidak sedikit partai politik yang mengalami kekisruhan yang disebabkan pengambilan keputusan mengenai calon yang akan diusung atau didukung. Kasus yang belum lama ini terjadi di Kabupaten Tabanan di mana pendukung calon bupati dari salah satu partai politik melakukan tindakan anarkis dengan melakukan perusakan posko yang dimiliki oleh partai politiknya merupakan salah satu contoh yang relevan. Kasus itu diawali oleh keluarnya rekomendasi susulan yang dikeluarkan oleh DPP partai politik tersebut yang isinya berbeda dengan rekomendasi awal. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kiranya survei sekarang ini dianggap sebagai salah satu jalan keluar untuk masalah pencalonan oleh sebuah partai politik. Salah satu alasannya yakni dalam Pilkada secara langsung, pemilih menjadi fokus yang suaranya harus direbut untuk dapat memenangkan Pilkada. Hasil survei bisa menjadi sumber informasi untuk dapat memenangkan Pilkada. Karena, sebagai salah satu intrumen ilmiah, survei dapat memberikan informasi - 33 - kepada partai politik atau bakal calon mengenai seberapa besar tingkat elektabilitas bakal calon yang mereka usung, apa kelebihan dan kekurangan dari bakal calon, masalah-masalah di daerah itu yang ingin dicarikan solusinya dan program-program yang diinginkan oleh para pemilih. Di samping validitasnya dapat dipercaya, survei juga dapat berfungsi sebagai pencegah kisruh yang dapat terjadi akibat ketidakpuasan pendukung pasangan calon. Caranya adalah dengan mengukuhkan survei dalam ketentuan internal (AD/ART) partai politik sembari memberi penegasan dalam aturan itu bahwa setiap pendukung pasangan calon harus menerima apapun hasil yang diperoleh dari survei. - 34 - 8 Kandidasi, Klaim, dan Keputusan Politik Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Kota Depok akan menggelar Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) untuk memilih pemimpin kota ini untuk periode 2011-2016. Jika tidak terjadi perubahan, maka pada tanggal 16 Oktober 2010 akan menjadi hari-H pemungutan suara. Hal yang menjadi bahan pembicaraan sejumlah pihak, seperti politisi dan akademisi, di Kota Depok adalah menonjolnya persoalan kandidasi (pencalonan) untuk posisi walikota dan atau wakil walikota yang banyak berbuntut pada ketidakpuasan baik di kalangan internal pengurus partai politik (parpol) maupun di kalangan grassroot (akar rumput). Sekedar menunjukkan contoh, di tubuh Partai Golkar timbul kekecewaan dari Naming Bothin dan pendukungnya dikarenakan DPP Partai Golkar memutuskan akan mendukung Badrul Kamal sebagai calon walikota. Tidak terlampau jauh berbeda, di Partai Demokrat juga terdapat perbedaan pandangan dari bakal calon Agung Witjaksono mengenai perbedaan antara rekomendasi dan keputusan. Dukungan yang diberikan kepada pasangan Badrul KamalSupriyanto dalam kacamata Agung Witjaksono tidak lebih hanyalah rekomendasi dan belum berwujud keputusan (akhir) Partai Demokrat. Begitu juga, gejala - 35 - riak-riak politik tidak terkecuali juga menghinggapi PDIPerjuangan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa hal ini bisa terjadi dan apa saja konsekuensinya? Klaim dan Keputusan Politik Klaim (pengakuan) politik adalah berbeda dengan keputusan politik. Klaim politik adalah pengakuan sepihak dari satu atau lebih bakal calon bahwa dia atau mereka adalah bakal calon walikota atau wakil walikota. Klaim politik dapat dicirikan: pertama, tidak memerlukan legitimasi dari parpol dan dapat pula dilakukan oleh calon independen. Kedua, klaim politik bisa berjumlah lebih dari satu. Di banyak jalan di Kota Depok belakangan ini kita lumayan sering melihat banyak bakal calon Walikota Depok maupun calon Wakil Walikota Depok memasang baliho klaim politik sebagai bakal calon. Klaim politik sebetulnya dapat dinilai sebagai salah satu hal yang sah-sah saja apabila dilakukan oleh banyak orang sepanjang klaim politik itu hanyalah untuk meramaikan „pesta demokrasi lokal‟ Kota Depok. Sedangkan, yang berikutnya, yakni keputusan politik adalah dukungan resmi parpol terhadap salah satu pasangan calon walikota dan wakil walikota. Bedanya dengan klaim politik adalah pada sisi legitimasi dan jumlah. Keputusan politik pada umumnya dan seharusnya berjumlah satu. Jika terdapat keputusan politik yang lebih dari satu, boleh jadi hal itu disebabkan oleh adanya perpecahan di dalam parpol. Yang terjadi di beberapa parpol Kota Depok dalam kaitannya dengan kandidasi walikota dan wakil walikota bermuara pada maraknya klaim politik di - 36 - parpol-parpol tersebut. Hal itu belum termasuk klaim politik yang juga dilakukan oleh kandidat-kandidat yang „berminat sendiri‟ dan bahkan tidak memiliki afiliasi politik sama sekali dengan parpol manapun. Ramainya klaim politik tadi disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, masih relatif panjangnya waktu untuk sampai ke tahap pendaftaran calon oleh parpol ke KPUD untuk calon yang diusung oleh parpol. Sedangkan, untuk calon independen, akhir Juni ini malah telah masuk pada tahap verifikasi. Kedua, masih cukup cairnya konstelasi politik Kota Depok. Meskipun beberapa parpol telah mengeluarkan keputusan dan atau rekomendasi politik mendukung calon tertentu, parpol-parpol masih belum selesai menghitung kemungkinan-kemungkinan siapa bakal calon yang akan mereka usung dalam Pemilukada nanti. Indikasinya adalah dalam beberapa minggu yang lalu, pergantian wacana siapa bakal calon yang akan didukung oleh salah satu parpol, misalnya, sangat sering terjadi. Ketiga, begitu kentalnya motif persaingan kepentingan. Dapat dimafhumi bahwa baik bakal calon maupun parpol memiliki kepentingan masing-masing yang tidak menutup kemungkinan saling berbenturan. Konsekuensi Berbicara konsekuensi, dapat dibagi menjadi konsekuensi untuk parpol dan untuk masyarakat Kota Depok. Bagi parpol, jelas kandidasi ini merupakan hal yang akan kontraproduktif apabila tidak ditangani segera. Friksi yang terjadi jangan sampai menjalar berubah menjadi salah satu potensi konflik internal - 37 - parpol itu sendiri. Di Partai Golkar, contohnya, pasca keputusan Partai Golkar yang tidak memutuskan mendukung dirinya, Naming Bothin mewacanakan akan keluar dari Partai Golkar. Konsekuensi kedua, untuk parpol adalah tidak solidnya dukungan internal parpol terhadap pasangan calon yang nantinya akan didukung oleh parpol tersebut dalam Pemilukada. Hal yang jamak terjadi adalah beralihnya dukungan di tingkat grassroot (akar rumput) parpol. Siapa kandidat definitif yang di-endorse oleh parpol „digembosi‟ oleh sebagian pendukungnya sendiri karena dianggap calon itu tidak sesuai dengan pilihan mereka. Terakhir, bagi masyarakat Kota Depok, berubahubahnya isu mengenai siapa yang didukung oleh parpolparpol jelas membuat masyarakat Kota Depok bingung. Pasalnya, kesan yang dapat diambil adalah bahwa selama ini tidak terdapat perbedaan antara klaim politik dan keputusan politik tentang calon walikota dan wakil walikota. - 38 - 9 Episode Baru Pesta Demokrasi Depok Awal Juli 2010 lalu, seorang wartawan surat kabar nasional berbahasa Inggris mewawancarai penulis dan bertanya perihal perkiraan jumlah pasangan calon yang akan maju pada Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) tahun 2010. Penulis menjawab, “Minimal tiga pasang, maksimal 4 pasang”. Ternyata, dugaan penulis benar adanya. Perkembangan sementara menunjukkan bahwa bakal calon yang pada akhirnya mendaftar ke KPUD Kota Depok adalah empat pasangan, yaitu Yuyun Wirasaputra-Pradi Supriatna (memakai istilah Yudistira) didukung oleh Partai Gerindra dan 14 parpol nonparlemen; Gagah Sunu Sumantri-Derry Drajat (bakal calon independen); Badrul Kamal-Agus Supriyanto (disingkat BK-Pri) didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Hanura, dan Partai Demokrasi Pembaruan; serta Nur Mahmudi Isma‟il-Idris Abdul Shomad (menggunakan singkatan Nur-Berkhidmat) didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Patriot, PNBK, dan Partai RepubliKAN. Pra-kondisi Meskipun penulis mengakui bahwa sampai hariH batas akhir pendaftaran calon, semua klaim politik - 39 - dari individu-individu tidak dapat dipandang sebelah mata kemungkinan kebenarannya, fenomena tereliminasinya banyak orang yang sebelumnya santer diperbincangkan akan menjadi calon walikota atau wakil walikota dan bertahannya empat pasang bakal kandidat tersebut tidak terlalu mengagetkan. Terdapat sejumlah prakondisi yang telah diperkirakan akan mendukung termanifestasikannya keadaan yang penulis sebut sebagai 3P Plus 1I (singkatan dari Tiga Pasang Calon Parpol Plus 1 Pasang Calon Independen). Pertama, kuatnya elit politik lama dan lemahnya elit politik baru. Elit politik lama yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah elit politik yang pernah dan atau sedang menjabat Walikota atau Wakil Walikota Depok, sedangkan elit politik baru adalah yang bersifat sebaliknya. Disadari ataupun tidak, terdapat konsensus tidak tertulis di benak pengurus-pengurus parpol-parpol sekaligus warga Kota Depok mengenai kepercayaan terhadap elit-elit politik yang pernah dan sedang berkuasa. Hal itu tercermin dari kesimpulan singkat penulis setelah membaca hasil survei yang jauh-jauh hari pernah dirilis banyak lembaga survei. Kesimpulan yang dimaksud adalah bahwa pada peringkat tiga besar, masyarakat maupun parpol tetap meletakkan pilihannya pada tiga nama: Nur Mahmudi Isma‟il, Yuyun Wirasaputra, dan Badrul Kamal. Sejumlah nama lain yang tidak jarang disinggung oleh media massa dan dikabarkan berpotensi kuat untuk menjadi bakal calon, seperti Agung Witjaksono, Babai Suhaimi, Hasbullah Rahmat sampai Naming Bothin, memang tetap mendapat tempat di sebagian warga Kota - 40 - Depok, akan tetapi mereka tidak sanggup menembus kokohnya barikade tiga elit politik lama. Satu-satunya yang benar-benar boleh disebut sebagai calon elit politik baru adalah bakal calon independen, Gagah Sunu Sumantri. Adapun keikutsertaan Gagah jauh didorong oleh faktor latar belakang Gagah yang non-parpol. Penulis menilai, boleh jadi Gagah juga telah mempertimbangkan bahwa tidak mudah untuk meraih restu dari parpol, sehingga Gagah lebih memilih jalur independen. Kedua, perkiraan hitung-hitungan politik. Seoptimis apapun seorang atau sepasang bakal calon, apabila ingin masuk ke panggung Pemilukada dengan dibackup oleh parpol, maka wajib menguasai hitunghitungan politik. Dasarnya adalah persyaratan untuk dapat dicalonkan oleh parpol di UU No. 32 Tahun 20004 tentang Pemerintahan Daerah. Parpol yang secara otomatis dapat memasang jago dalam Pemilukada Kota Depok ada dua, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Parpolparpol sisanya, baik yang eksis di DPRD Kota Depok maupun yang non-parlemen, suka tidak suka mesti bergabung dengan barisan parpol lainnya. Tidak Mudah Bukan perkara mudah untuk memprediksi siapa yang akan melenggang menduduki kursi pemimpin kota yang dijuluki Kota Belimbing ini. Setiap pasangan calon memiliki keunggulan, pendudukung, bahkan juga strategi politik masing-masing. Cara paling sederhana untuk mengukur siapa yang akan menang adalah dengan melihat berapa suara yang diraih masing-masing parpol pendukung (terutama bagi kandidat dari parpol) pada - 41 - Pemilu Legislatif tahun 2009 lalu. Metode ini memang mudah sekali dimengerti namun tidak bisa dipegang keabsahannya. Pasalnya, belum tentu semua pemilih pada Pemilu legislatif tahun 2009 lalu berposisi memilih sama persis dengan Pemilukada nanti. Belum lagi, faktor ketidakpuasan elit politik dan massa pendukungnya di parpol-parpol tertentu membuat metode yang berbasis parpol ini semakin berkurang relevansinya. Cara yang kedua adalah dengan melihat kepada pemilih yang riil, yaitu dengan melalukan survei elektabilitas (keterpilihan), bukan sekedar survei popularitas. Cara ini memang lebih mendekati kondisi nyata. Sebuah survei dapat meng-cover pemotretan terhadap kondisi masyarakat Kota Depok yang plural dan kecenderungan mood calon pemilih. Hanya saja, dalam prakteknya, tantangan terbesarnya adalah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. - 42 - 10 Satu Lawan Satu Masih ingat dengan istilah “Change We Can Believe In”? Ya. Bagi yang mengikuti proses pemilihan umum (pemilu) Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2008 silam, kalimat itu tentu tak asing lagi. Barack Obama, kandidat dari Partai Demokrat yang menggunakan kalimat di atas kala itu, tidak sembarangan memilih tagline untuk kepentingan kampanyenya. Bersama tim suksesnya, Obama paham betul bahwa rakyat AS sedang diterpa oleh krisis ekonomi yang relatif pelik dan haus akan perubahan, terutama di bidang ekonomi. Berkat pemilihan isu yang cerdas itulah, salah satu faktor di antara banyak faktor lain, lantas Obama memperoleh simpati sekaligus dukungan dari rakyat AS, sehingga ia terpilih menjadi Presiden. Sederhana namun seperti yang diinginkan masyarakat. Itulah kata kunci pemilihan isu dalam sebuah pemilu, di tingkatan manapun. Pentingnya sebuah isu dalam sebuah pemilu tak dapat dimungkiri lagi. Bone dan Ranney dalam Politics and Voters (1981: 6-10) menyebutkan bahwa orientasi terhadap isu adalah salah satu bahan pertimbangan seseorang memilih calon tertentu dalam sebuah pemilu selain dua faktor lain, yakni identifikasi terhadap partai politik dan orientasi terhadap calon (baca: figur). Berkaitan dengan hal itu, seminggu terakhir ini Pemilukada Depok diwarnai oleh kencangnya - 43 - pemberitaan mengenai head to head atau satu lawan satu. Yang dimaksud dengan satu lawan satu adalah pertarungan politik antara dua seteru lama, Nur Mahmudi Isma‟il dan Badrul Kamal. Menggelindingnya isu tentang head to head berawal dari adanya dukungan ganda yang diberikan oleh Partai Hanura Kota Depok kepada dua bakal calon walikota, yaitu Yuyun Wirasaputra dan Badrul Kamal. Adanya dukungan ganda tak dapat dibenarkan secara etika, meskipun landasan hukum Pemilukada tidak mengatur hal tersebut secara tegas. Akibatnya, KPU Kota Depok sebagai penyelenggara Pemilukada mesti menyelesaikan sengketa tersebut. Selama berjalannya proses itu, salah satu tim sukses dari bakal calon Badrul Kamal melontarkan wacana mengenai akan terjadinya head to head tadi. Padahal, bakal calon yang telah meregistrasikan diri ke KPU Kota ada 4 (empat) pasang. Polemik itu berkembang setelah beredar berita yang mengatakan bahwa Partai Hanura Kota Depok akan mencabut dukungan untuk pasangan Yuyun-Pradi sehingga pasangan Yuyun-Pradi terancam gagal. Sedangkan, bakal calon independen, Gagah-Derry, sebelumnya juga terkendala dengan kurangnya syarat minimal dukungan. Hal pertama yang perlu digaris bawahi dalam hubungannya dengan lanjut atau tidaknya satu atau lebih bakal calon menjadi calon adalah kewenangan instansi yang menjadi wasit Pemilukada. Pihak yang berhak untuk memutuskan apakah sepasang bakal calon gagal atau berhasil menjadi calon bukanlah pasangan calon lain, melainkan KPU Kota Depok. Terlepas dari apapun - 44 - hasil verifikasi nanti, cukup untuk disebut aneh bagi penulis ketika pihak tim sukses kontestan mendahului keputusan KPU Kota Depok dengan menyatakan bahwa akan terjadi head to head. Kedua, bertautan dengan soal isu seperti diungkapkan di atas, meskipun belum masuk dalam masa kampanye, teramat disayangkan bahwa isu head to head yang digembar-gemborkan adalah isu yang elitis, alias milik elit-elit politik saja. Selain mempertontonkan “gontok-gontokan” di depan khalayak, pertanyaan yang patut diajukan adalah, kenapa di antara semua bakal calon tidak saling berkompetisi dalam hal tawaran program saja? Misalnya, apa gagasan untuk mengurangi jumlah pengangguran di Kota Depok? Hal yang lain, contohnya, apa solusi yang tokcer dan menarik minat masyarakat Kota Depok untuk mengatasi kemacetan? Dua hal yang penulis sebutkan, boleh jadi lebih menarik bagi masyarakat Kota Depok ketimbang memperbincangkan pergulatan tentang head to head karena pengangguran dan kemacetan masih menjadi problem yang bergelayut dalam kehidupan sehari-hari warga Depok. Selain menarik, isu-isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat memiliki korelasi dengan apatisme calon pemilih. Bukan mustahil, apabila elit-elit politik di Kota Depok lebih senang menggaungkan masalah-masalah yang berhubungan dengan diri atau kelompok mereka sendiri daripada problema-prolema yang terjadi di masyarakat, masyarakat yang nantinya akan memilih menjadi acuh dengan Pemilukada. Sebagai akibatnya, tak menutup kemungkinan tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilukada nanti menjadi menurun. - 45 - Ketiga, yang tak luput untuk dikhawatirkan juga adalah semakin meruncingnya singgungan antara tim sukses bakal calon yang satu dengan bakal calon lain. Seperti diberitakan oleh sebuah harian lokal Kota Depok, setelah kubu Badrul Kamal mewacanakan akan terwujudnya head to head, tim sukses dari tiga pasangan bakal calon lainnya bersepakat mengecam isu head to head. Tidak hanya itu, mereka juga mendesak Ketua KPU Kota Depok untuk mundur. Potensi konflik seperti ini akan lebih baik kalau dicarikan jalan keluarnya agar tak merembet ke persoalan lain. Akhirnya, alangkah baiknya jika polemik terkait head to head ini dihentikan. Sebagai gantinya, akan menjadi lebih menarik bila publik Kota Depok disuguhi pentas kontestasi menyoal program untuk Kota Depok ke depan. - 46 - 11 Koalisi Besar Tidak Mudah Koalisi besar (big coalition) untuk Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Depok menjadi bahan perbincangan yang sering digelontorkan di sejumlah media massa lokal Kota Depok. Pertanyaan mendasarnya, apakah koalisi yang terdiri dari banyak partai politik dan mendukung satu paket pasangan calon itu mungkin diwujudkan? Pra-kondisi Ada beberapa pra-kondisi yang sebelumnya mesti terpenuhi untuk dapat membentuk sebuah koalisi besar. Pertama, semua partai politik yang masuk dalam gerbong koalisi tambun itu sudah memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa pasangan calon yang diusung memiliki potensi kemenangan yang tinggi dan tidak ada pasangan kandidat lain yang dapat menyaingi pasangan yang mereka jagokan. Berdasarkan hasil riset penulis, di Kabupaten Jepara pada Pemilukada tahun 2007, terdapat kecenderungan bahwa partai politik-partai politik di kabupaten yang terkenal dengan meubeul-nya itu bermufakat mendukung Hendro Martojo (Bupati incumbent pada saat itu) karena partai politik di sana meyakini elektabilitas dan potensi kemenangan Hendro Martojo, serta di masa itu belum ada kandidat yang dinilai sanggup menjadi pesaing berat Hendro. Oleh - 47 - karenanya, kemudian partai politik-partai politik di sana dengan relatif mudah memutuskan merapat dalam sebuah koalisi besar. Kedua, mengutip Andrinof Chaniago, untuk dapat menyusun bangunan koalisi yang tidak kecil, kondisi yang umumnya terjadi adalah partai politik bersepakat dahulu berkoalisi, baru kemudian menetapkan pasangan calon bersama (Monitor Depok, 30/1/2010). Pengalaman Pemilukada Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 merupakan contoh yang relevan dengan argumen tersebut. Di kala itu, jauh hari sebelum memasuki tahapan Pemilukada, partai politik-partai politik di Provinsi DKI Jakarta gencar melakukan pembicaraan di antara sesama mereka guna termanifestasikannya kemenangan mereka. Pilihan akan calon Gubernur yang diusung, seperti kita ketahui, lantas jatuh kepada Fauzi Bowo. Kota Depok Bagaimana dengan Kota Depok? Merujuk pada perkembangan yang dinamis di Kota Depok, penulis meragukan pencapaian koalisi besar seperti yang diinginkan sejumlah elit partai politik. Pertama, animo masyarakat Kota Depok yang begitu membuncah untuk bersaing menjadi Walikota atau Wakil Walikota tidak paralel dengan pra-kondisi yang penulis jabarkan sebelumnya. Logikanya adalah ketika banyak kalangan dari partai politik mencoba-coba mengajukan diri untuk maju, itu artinya di antara partai politik belum terdapat keyakinan tentang pasangan calon yang akan didukung yang memenuhi kriteria memiliki potensi kemenangan - 48 - yang tinggi serta sulit tersaingi oleh pasangan calon manapun. Malahan, penulis menilai bahwa sampai tulisan ini selesai dibuat, hampir semua partai politik di Kota Depok masih belum pada tahap selesai melakukan perhitungan mengenai apa yang disebut oleh Grace dan Cruz (dalam Hofilena (Ed.), 2006) sebagai peluang untuk menang. Indikatornya, misalnya, masih terdapat tindakan elit politik yang berusaha mendaftarkan diri ke partai politik lain, padahal sudah dideklarasikan menjadi calon oleh sebuah koalisi. Kedua, sejalan dengan gagasan Andrinof Chaniago, partai politik dalam jumlah yang relatif banyak, belum bersepakat untuk bersama-sama berkoalisi dan selanjutnya menetapkan pasangan calon pilihan bersama. Kondisi yang terlanjur sudah terjadi justru sangat banyak kandidat yang berniat maju sehingga akhirnya cenderung mau bertarung sendirisendiri. Koalisi 3 (tiga) partai politik, Partai Golkar, PAN, dan PPP yang dideklarasikan bulan Desember 2009 dan diproyeksikan akan menjadi koalisi besar juga sekarang ini sedang menghadapi masalah internal mereka sendiri. Ketiga, masih berkaitan dengan alasan kedua di atas, koalisi besar memerlukan pengorbanan dan pemahaman bersama yang kuat. Pengorbanan yang dimaksudkan adalah pengorbanan atas kepentingan masing-masing. Sedangkan, pemahaman identik dengan sikap mau menerima kesepakatan yang sudah dimufakati bersama. Yang menjadi pertanyaan dan sangat menarik untuk kita tunggu perkembangannya adalah apakah - 49 - calon-calon yang sudah berniat maju sekarang ini mau mengalah demi sebuah koalisi besar? Meski bukan tidak mungkin, jalan menuju hal itu kelihatannya berat. Pertama, tarik menarik kepentingan di setiap partai politik cenderung akan kuat ketika membicarakan pasangan calon dalam sebuah pemilihan. Pasalnya, mengambil keputusan mau mendukung pasangan calon dari partai politik lain, apalagi jika dianggap peluang menangnya belum jelas betul, bukanlah perkara mudah. Kedua, yang tidak kalah penting diperhitungkan adalah jargon “harga diri” partai. Berkaca pada pengalaman Pemilukada tahun 2005, jumlah pasangan calon yang sampai 5 (lima) pasang calon banyak dilatarbelakangi oleh keinginan partai politik menunjukkan eksistensinya dengan ikut bertarung. Kesimpulannya, koalisi partai politik-partai politik dalam jumlah yang besar bukan hal yang mustahil, namun relatif tidak mudah diwujudkan. Untuk bisa terlaksana, baik pasangan calon maupun partai politik-partai politik harus siap melewati banyak prasyarat yang harus dipenuhi. - 50 - Bagian III Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada - 51 - - 52 - 12 Hura-hura Politik “Buat saya, semua calon walikota dan wakil walikota sama saja” (komentar salah seorang kawan di sebuah situs jejaring sosial) Isi kalimat yang bernada agak sinis itu dengan berbagai macam variasi penyampaiannya menjadi semakin didengar akhir-akhir ini. Intinya, masyarakat sebagai calon pemilih tidak melihat adanya perbedaan sekaligus kekhususan dari pasangan-pasangan calon yang akan bergelut dalam Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Depok tahun 2010 ini. Padahal, keberadaan ciri khas dan daya tarik pasangan calon adalah penting karena dapat membuat seseorang tergerak untuk memilih pasangan calon itu. Bertautan dengan hal tersebut, sejak 29 September 2010 sampai dengan dua minggu setelahnya adalah masa yang ditetapkan sebagai masa untuk tahapan kampanye Pemilukada Depok. Momen itu ialah kesempatan untuk dua belah pihak, yaitu calon-calon pemilih maupun pasangan-pasangan kandidat. Bagi calon pemilih, kampanye adalah saat yang ideal untuk mencari tahu sekaligus mendalami program-program yang “dijual” pasangan-pasangan calon. Untuk para - 53 - pasangan calon, seluruh kegiatan kampanye adalah ajang untuk merebut hati calon pemilih. Makna Kampanye Secara teoretis, menurut Firman Noor (dalam Lili Romli, et.al, 2009: 57), sebagai bagian dalam proses pemilu (termasuk Pemilukada), kampanye merupakan sebuah ritual yang tidak terpisahkan di dalamnya. Hal ini terutama terkait dengan makna Pemilukada itu sendiri sebagai media penciptaan “pemerintahan dari rakyat”, yang secara fundamental mensyaratkan keterlibatan rakyat secara luas. Dalam pemahaman sedemikian, kebutuhan akan informasi yang menyeluruh, jujur, dan transparan mengenai mereka yang akan memerintah atas nama rakyat dibutuhkan, agar pertimbangan rasional dalam memilih yang didasari oleh evaluasi atas kandidat yang tengah memperebutkan jabatan publik itu dapat terlaksana. Di samping berfungsi menjembatani kebutuhan informasi calon pemilih, kampanye juga diyakini dapat membuat situasi dan dukungan politik berubah dari pemetaan politik sebelum kampanye digelar. Sayangnya, substansi dari kampanye seperti dijabarkan di atas tak jarang bertolak belakang dengan ranah praktiknya. Kampanye sering dimaknai sebagai kegiatan hura-hura politik belaka. Artinya, yang dikedepankan adalah terwujudnya suasana riuh rendah karena kampanye berisikan aktivitas-aktivitas yang sifatnya hiburan atau senang-senang saja. Menyitir Leo Agustino dalam buku “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal” (2009: 202), sebagus apa pun program yang telah dibuat dan dicanangkan, bagi warga masyarakat tempat - 54 - diselenggarakannya Pemilukada yang terpenting adalah konvoi-konvoi di jalan, memperoleh atribut kampanye (kaus, topi, syal, bendera, stiker, dan lain-lain), atau bahkan melihat artis-artis idola dalam acara kesenian yang diselenggarakan oleh para kandidat. Padahal sebetulnya ada hal yang jauh lebih urgent dari itu, yakni mendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan program kerja-program kerja yang telah disusun oleh pasangan calon beserta tim sukses mereka. Pertanyaan selanjutnya yang barangkali timbul adalah bagaimana langkah menentukan pasangan kandidat yang terbaik saat kampanye berlangsung? Salah satunya adalah dengan memperhatikan seberapa terukur program-program yang ditawarkan oleh setiap pasangan kandidat. Indikator dari program yang terukur ialah terdiri dari jabaran target yang jelas yang harus dicapai beserta berapa lama waktu yang disanggupi untuk mewujudkan program itu. Jauh lebih baik lagi, bila pasangan calon itu menyanggupi untuk mengenakan sanksi untuk diri mereka sendiri (berupa mempertaruhkan jabatannya, misalnya), jika lontaran janji mereka dalam kampanye gagal dipenuhi. Sekedar mencontohkan, dalam mengelola masalah pengangguran, misalnya, taruhlah kita berangkat dari angka bahwa di tahun 2010 jumlah pengangguran di Kota Depok adalah 300 ribu jiwa. Jika berdasarkan prinsip yang penulis deskripsikan di atas, maka pasangan calon yang terbaik adalah pasangan yang berani secara lugas menyampaikan dalam kampanyenya bahwa jika mereka nanti terpilih menjadi walikota maka mereka sanggup mengurangi angka pengganguran - 55 - menjadi 150 ribu jiwa dalam tempo 3 tahun umur pemerintahan mereka kelak. Peran Bersama Penulis menyadari bahwa untuk bisa mewujudkan mayoritas warga Depok yang akan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 16 Oktober nanti memaknai kampanye sebagai ajang pengeksplorasian informasi mengenai program-program yang “dijual” oleh para pasangan kandidat bukanlah perkara sepele. Sebaliknya, ini adalah pekerjaan rumah yang relatif berat dan oleh karenanya diperlukan peran serta bersama banyak pihak agar tujuan ini dapat direngkuh. Pertama, tim sukses bisa berkontribusi dengan cara memilih untuk mewarnai isi kampanye Pemilukada dengan aktivitas-aktivitas yang tujuannya memanjakan calon pemilih dengan untaian program-program yang dapat diukur. Kedua, penyelenggara Pemiluka (KPUD) juga bisa mensukseskan model kampanye yang bersifat rasional ini dengan cara membatasi ruang lingkup kegiatan-kegiatan kampanye yang bersifat aktivitas bersenang-senang dalam Peraturan KPUD. - 56 - 13 Nir-Netralitas Birokrasi dalam Pemilukada Sebuah ajang pemilihan yang demokratis, baik Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada). umumnya ditandai oleh terjaganya kriteria-kriteria demokrasi dalam 3 (tiga) aspek, yakni aturan (electoral laws), proses (electoral processes), dan hasil (electoral results). Satu dari deretan aspek di atas yang penting untuk disoroti adalah proses. Dalam proses penyelenggara Pemilukada, baik dari sudut pandang pemilu yang ideal maupun dari sudut pandang birokrasi yang ideal, kita tentu bersepakat kepada satu kesimpulan, yakni bahwa birokrasi harus netral dalam politik (termasuk dalam Pemilukada) Kesimpulan itu dapat diterjemahkan ke dalam 2 (dua) penjelasan. Pertama, tindakan memberi arahan politik kepada birokrasi tidak boleh dilakukan karena bisa dikategorikan berpotensi menggugurkan terpenuhinya salah satu kriteria pemilu yang demokratis, yakni jaminan akan kebebasan menentukan pilihan (Ranney, 1987). Kedua, birokrasi tidak boleh sampai mengalami kondisi yang disebut sebagai nir-netralitas (atau tidak netral) dalam Pemilukada karena nirnetralitas birokrasi akan membuat birokrasi melanggar prinsip birokrasi ideal lainnya, yaitu profesional. - 57 - Untuk mensukseskan tercapainya Pemilukada yang bersih dari politisasi birokrasi, dalam rangka menyambut Pemilukada tahun 2010. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor 270/4627/SJ pada tanggal 21 Desember 2009. Pada intinya. SE itu mengingatkan gubernur dan bupati/wali kota agar menata semua jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjaga sikap netralnya dalam Pemilukada. Tidak Mudah Sayangnya, mewujudkan birokrasi yang apolitis dalam Pemilukada bukanlah perkara mudah. Baru-baru ini. Di suatu kota di Jawa Tengah, misalnya, kepala daerah incumbent melakukan manuver dalam bentuk mengarahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mendukung pasangan kandidat tertentu yang merupakan kandidat yang diusung oleh partai politik tempat dia menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang. Pimpinan daerah tersebut mengumpulkan pimpinan SKPD dan camat di rumah pribadinya dan mengarahkan camat dan para pimpinan instansi yang hadir kepada salah satu pasangan calon. Undangan serupa juga ditujukan kepada Forum RT/RW dengan maksud yang sama. Masih tersimpannya potensi birokrasi yang tidak netral dalam Pemilukada didorong oleh beberapa sebab. Pertama, besarnya aksesibilitas politik, terutama bagi kandidat incumbent Penjelasannya adalah incumbent memiliki kekuatan politik alamiah yaitu hak prerogatif untuk memutasi jabatan PNS yang dibawahinya. Tidak terhindarkannya perasaan khawatir akan mutasi yang - 58 - dilakukan oleh incumbent, jika tidak mendukung incumbent dalam perhelatan Pemilukada (khususnya ketika incumbent mencalonkan diri sendiri dan akhirnya meraup kemenangan), membuat birokrasi secara psikologis relatif kurang berani untuk memilih lawan politik incumbent. Kedua, pembuktian yang sulit. Tidak jarang, pemanfaatan birokrasi dalam politik bersifat tertutup. Akibatnya, mengungkap indikasi tidak netralnya birokrasi dalam Pemilukada menjadi tidak mudah. Ketiga, masih longgarnya aturan hukum. Pasal 79 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 memang menyebutkan bahwa pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, pasal ini dalam prakteknya masih mengandung kelemahan. Kasus pemanfaatan birokrasi yang dilakukan oleh kepala daerah untuk pasangan calon lain (bukan dirinya sendiri) seperti dipaparkan di atas tidak dapal dijerat karena UU tidak mengatur hal itu. Pengaturan Apa yang sebaiknya dilakukan agar kondisi ideal (birokrasi apolitis) dalam kerangka Pemilukada dapat diejawantahkan? Pertama, perangkat hukum yang mengatur mengenai netralitas birokrasi wajib dibenahi agar lebih komprehensif. Pembetulan aturan main mengenal birokrasi agar tidak memihak dalam politik menemukan momentumnya - 59 - karena salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2010 ini adalah RUU tentang Pemilukada. Alangkah eloknya jika nantinya DPR mau mengakomodir hal ini. Kedua, penyelenggara Pemilukada. KPUD dan Panwas, patut memprioritaskan pengawasan yang ketat terhadap pelanggaran yang mengambil bentuk pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan politik salah satu atau beberapa partai politik ini. Pemberian sanksi tegas kepada pasangan calon yang melanggar bukanlah hal yang tabu. Terakhir, media massa dan akademisi, juga dapat mengambil andil dalam konteks memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai sisi negatif dari birokrasi yang tidak netral. Asumsinya, jika masyarakat luas telah memiliki pengetahuan yang cukup berkait hal itu, maka ketika dalam Pemilukada elit politik tetap nekat memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan politik kelompoknya, diharapkan masyarakat dengan sendirinya akan menghukum pasangan calon yang diuntungkan oleh elit politik itu dengan tidak dipilih pada hari-H Pemilukada. - 60 - 14 Memilih dengan Cerdas “Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud..Ya sudahlah…Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, Ya sudahlah…” Kalimat di atas adalah penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan oleh Bondan Prakoso feat. Fade to Black yang berjudul “Ya Sudahlah…” yang sedang naik daun belakangan ini. Frasa “Ya Sudahlah” yang identik dengan jiwa nrimo barangkali bagi sebagian orang adalah falsafah sekaligus pandangan hidup yang telah lama melekat dan dijalankan sehari-hari karena segala sesuatu yang terjadi dipandang sebagai “cukup”. Permasalahan-permasalahan yang terus menerus membuntuti, seperti misalnya kenaikan harga barang, kemacetan di sana-sini, boleh jadi diterima sebagai sesuatu yang given. Padahal, jika dipikirkan secara serius, pada hakikatnya, kekuasaan itu terletak pada masyarakat itu sendiri. Legitimasi untuk memerintah yang dipegang oleh pemimpin di suatu daerah hanyalah pemberian kepercayaan oleh mayoritas masyarakat di daerah tersebut, bukan penyerahan kekuasaan sepenuhnya tanpa boleh diganggu gugat oleh masyarakat itu sendiri. Artinya, menyitir Fiorina (1978), masyarakat bisa menggunakan kekuasaannya untuk: mengapresiasi pemerintahan yang sukses memerintah atau - 61 - “menghukum” pemerintahan yang gagal memerintah untuk satu tujuan, yaitu mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih baik. Salah satu dari sekian banyak cara untuk mewujudkannya adalah dengan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum(termasuk Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada)). Catatan Erat bertautan dengan hal itu, hasil Pemilukada tahun 2010 di beberapa daerah menunjukkan beberapa poin penting yang perlu menjadi catatan. Pertama, Pemilukada di sejumlah daerah ternyata dimenangkan oleh calon yang memiliki kaitan dengan korupsi. Lebih parahnya lagi, calon-calon kepala daerah tersebut tetap dilantik sebagai kepala daerah. Daerah-daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Rembang, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bengkulu. Eksistensi dari fenomena kemenangan kandidat kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi jelas merupakan hal yang mengkhawatirkan. Alasannya adalah karena bisa dibilang masih terdapat masyarakat yang “gelap mata” dengan background calon yang berkompetisi dalam Pemilukada. Catatan kedua yakni di beberapa daerah juga ditemukan peningkatan tingkat partisipasi politik masyarakat. Salah satu contohnya adalah di Kota Solo, Joko Widodo, kandidat walikota incumbent, meraih kemenangan sampai sekitar 93 persen. Yang perlu dikritisi kemudian dari seluruh daerah-daerah yang tingkat partisipasi politiknya tinggi tersebut adalah apakah tingkat partisipasi politik yang tinggi itu didasari pada partisipasi masyarakat yang berbasiskan pada - 62 - kualitas program dan figur atau mungkin sebaliknya dilandasi oleh dasar memilih yang tidak rasional, seperti melihat figur tanpa mempertimbangkan latar belakang sang calon atau bahkan politik uang? Penelitian secara khusus mengenai ini perlu dilakukan agar pertanyaan yang penulis ajukan itu dapat menemukan jawaban yang valid. Namun, walau bagaimanapun, yang wajib ditelaah adalah bahwa kuantitas pemilih dalam sebuah Pemilukada akan menjadi tidak begitu besar artinya apabila pemilih yang menggunakan hak pilihnya tersebut mayoritas adalah pemilih yang menggunakan hak pilihnya karena didasarkan oleh pertimbangan yang tidak rasional, seperti an sich melihat figur tanpa melihat latar belakang dan kapasitas calon tersebut. Dalam bahasa lain, Pemilukada hendaknya jangan hanya menjadi pesta pora politik yang tak memiliki makna. Lebih dari itu, Pemilukada haruslah menjadi ruang bagi partisipasi politik masyarakat. Pemilukada haruslah paralel dengan apa yang disebut oleh Bingham Powell Jr. (2000: 3) dengan istilah “elections as instrument of democracy”. Artinya, Pemilu (termasuk Pemilukada) berperan dalam memberikan warga negara pengaruh terhadap pengambil kebijakan. Cerdas Benang merah dari kedua poin di atas dan apabila ditautkan dengan pergelaran politik 2010 (Pemilukada) Kota Depok adalah bahwa masyarakat Kota Depok selayaknya dan sepatutnya menggunakan hak pilih dengan cerdas. Artinya, sebelum mencoblos pasangan calon pilihan, minimal program-program kerja dan latar - 63 - belakang dari para kandidat diperiksa dan dipelajari terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain adalah agar: (1) Pemilukada Kota Depok benar-benar merupakan perwujudan dari partisipasi politik masyarakat Kota Depok dan bukan sekedar euforia politik; (2) Masyarakat Kota Depok memperoleh pemimpin Kota Depok yang dapat menangkap, menterjemahkan sekaligus mengimplementasikan aspirasi masyarakat Kota Depok. Oleh sebab itu, berperannya seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) di Kota Depok secara maksimal menemukan relevansinya untuk mewujudkan hal ini. Pada akhirnya, seluruh warga Kota Depok sudah selayaknya memilih calon Walikota yang menjiwai refrain dari lagu Bondan Prakoso feat Fade to Black yang berbunyi “Apapun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu”. Tujuannya tidak lain adalah agar Walikota yang nantinya terpilih adalah Walikota yang “selalu ada untuk warga Kota Depok”. - 64 - 15 Pesan Menuju Bilik Suara Akhirnya pentas Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) menemui klimaksnya. Hari ini, 16 Oktober 2010, akan menjadi salah satu momen penting tidak hanya bagi para kandidat yang telah memamerkan jati diri dan program-program pada masa kampanye, tetapi juga bagi seluruh rakyat Kota Depok. Penulis menduga akan ada rakyat Depok yang antusias dan berbondong menuju bilik suara tetapi juga tidak sedikit yang mungkin akan acuh tak acuh dan tak peduli dengan riuh rendah proses pencoblosan dan penghitungan suara untuk menentukan siapa yang berhak duduk di kursi Depok-1 lima tahu ke depan. Pentingnya Memilih Apakah pentingnya menggunakan hak pilih atau memilih? Pertama, memilih adalah salah satu bentuk partisipasi politik. Samuel Huntington dan Joan Nelson (1976) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi dengan maksud mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Berangkat dari definisi tersebut, dengan memilih maka setiap suara yang digunakan oleh pemilih ditujukan untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin untuk periode pemerintahan berikutnya sekaligus keputusan-keputusan - 65 - (baca: kebijakan) dari pemerintah yang dipimpin oleh kandidat yang berhasil menjadi jawara dalam Pemilukada Depok. Dalam bahasa lain, tidak menggunakan hak pilih dapat disebut sebagai membiarkan apapun yang terjadi, termasuk secara tidak langsung menambah peluang bagi pemimpin yang paling buruk kualitasnya untuk meraih tampuk kepemimpinan kota belimbing. Kedua, menggunakan lima menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sama dengan menentukan arah masa depan Kota Depok. Baik buruknya Kota Depok tergantung salah satunya oleh pemerintahnya. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan pemerintah-lah yang diberi amanat dan legitimasi oleh rakyat untuk melaksanakan policy Kota Depok pasca-berakhirnya Pemilukada. Berapa jumlah retribusi yang nantinya ditarik dari hotel, kos-kosan, dan tempat-tempat usaha di Depok, berawal dari siapa yang terpilih dalam Pemilukada kali ini. Tak ketinggalan, berapa banyak mall dan apartemen yang kemungkinan akan dibangun di Depok bermula dari figur walikota Depok terpilih. Juga, jawaban apakah angka kemiskinan, pengangguran, dan kemacetan Kota Depok akan berkurang, tetap, atau justru bertambah dapat diperkirakan dari siapa yang menjadi nomor satu dalam pesta demokrasi lokal saat ini. Rasional Lantas, bagaimana cara menentukan pilihan pasangan calon walikota dan wakil walikota Depok yang terbaik? Penulis menilai bahwa cara memilih yang terbaik adalah dengan memilih secara rasional. Bertautan - 66 - dengan hal itu, terdapat dua teori dalam ilmu politik tentang perilaku memilih yang relevan, yakni retrospecting voting dan prospective voting. Mengutip Morris Fiorina (1978), retrospective voting adalah seorang warga negara memilih seorang kontestan dalam pemilu karena penilaiannya terhadap pemerintahan sebelum berlangsungnya pemilu. Konteks pemilu yang dimaksud oleh Fiorina juga termasuk dalam ajang Pemilukada. Dalam bahasa sederhana, yang menjadi sorotan adalah bagaimana kinerja pemerintahan Kota Depok lima tahun terakhir ini, apakah baik atau buruk. Apabila linear dengan teori ini, kalau performance pemerintah Kota Depok selama ini dianggap baik, maka pemilih akan „menghadiahi‟ calon incumbent dengan memilihnya kembali di Pemilukada. Sebaliknya, bila pemerintah Kota Depok dianggap buruk, maka pemilih akan „menghukum‟ calon incumbent dengan tidak memilihnya kembali dan memilih kandidat lainnya. Sedangkan prospective voting, menurut Robert Reed dan Joonmo Choo (1998), yaitu pemilih mempertimbangkan pilihannya dengan memprediksi kinerja yang akan datang para kandidat yang bertarung dan memilih kandidat tersebut dengan harapan tertentu yang menguntungkan. Dengan kata lain, pemilih yang rasional akan memilih calon tertentu dalam sebuah pemilu karena calon tersebut memiliki tawaran program kerja yang memberi keuntungan bagi pemilih. Keuntungan yang dimaksud bukan dalam arti sempit dan bersifat jangka pendek, melainkan keuntungan yang kontinu dan bersifat jangka panjang seperti misalnya kesejahteraan dan keamanan. - 67 - Benang merah dari kedua teori itu yaitu bahwa dasar untuk memutuskan siapa calon yang akan dicoblos adalah kinerja incumbent dan tawaran program dari setiap pasang calon. Menggunakan prinsip rasional ini jauh lebih adil serta terukur daripada memakai pertimbangan lain yang tidak rasional, seperti, misalnya, melandaskan putusan akhir pilihan kandidat pada siapa kandidat yang memberi uang dan dengan uangnya itu mempengaruhi untuk memilih kandidat pemberi uang itu atau dikenal dengan money politics. Bukan Akhir Sebagai penutup. yang perlu menjadi catatan kemudian adalah bahwa Pemilukada bukanlah akhir. Partisipasi politik jangan berhenti beriringan dengan berakhirnya tahapan Pemilukada. Sebab, pada dasarnya, hakikat dari berpartisipasi politik adalah mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Oleh karenanya, penulis berharap waktu untuk berpartisipasi politik jangan sekedar kala Pemilukada saja, namun sepanjang tahun pemerintahan yang legitimate berjalan. - 68 - 16 Survei dan Bandwagon Effect Ada hal yang tidak biasa terjadi pada 15 Oktober 2010 atau h-1 Pemilukada Depok lalu. Pada hari itu, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dimuat di sebuah harian lokal di Depok. Dengan margin of error ± 4,8%, lembaga itu menyebutkan bahwa pasangan NMIIdris meraih 37,3 persen, disusul oleh pasangan BadrulAgus dengan 29,1 persen, Yuyun-Pradi 8,9 persen, dan Gagah-Dery 4,8 persen. Relatif masuk akal bila kemudian muncul pertanyaan apakah wajar dan dibolehkan memuat hasil survei pada h-1 Pemilukada? Efek Bandwagon Sebelum menjawab pertanyaan di atas, berkaitan dengan efek terpaan survei, terdapat satu teori klasik yang dikenal dengan bandwagon effect. Apakah yang dimaksud dengan bandwagon effect? Traugott dan Lavrakas (1996: 172) mendefinisikan bandwagon effect sebagai efek yang menyebabkan sejumlah pemilih, yang diharapkan memilih satu kandidat, untuk mendukung kandidat lain yang diprediksikan oleh lembaga survei akan memenangkan pemilu. Kata kuncinya adalah perubahan pilihan kandidat mengacu pada terpaan terhadap hasil survei pra-pemilu. Cara bekerjanya efek bandwagon menurut Ansolabehere and Iyengar (1994: 145) dapat dijelaskan dalam dua hal. Pertama, seorang calon pemilih - 69 - terpengaruh karena secara alami manusia lebih memilih pemenang daripada pihak yang kemungkinan kalah. Kedua, bahwa calon pemilih menganggap hasil survei sebagai sebuah indikator pembenaran yang dibuat oleh orang-orang yang ingin mendapatkan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan kandidat. Lantas, faktor-faktor apa saja yang mendukung berjalannya efek bandwagon? Menurut Hickman (1991), ada enam faktor. Pertama, orientasi warga negara terhadap hasil pemilu. Pemilih yang mendasarkan pilihannya pada faktor kemungkinan memang akan lebih mudah dipengaruhi oleh hasil survei. Kedua, seberapa besar ketersediaan informasi di luar hasil survei prapemilu. Ketiga, urgensi dari menentukan pada siapa untuk memilih. Karena hasil survei disebut menyediakan info mengenai siapa yang kemungkinan akan menang, kandidat yang dianggap menang itu diinterpretasikan memiliki kelebihan dibanding kandidat lainnya. Keempat, kekuatan komitmen dari seorang individu terhadap kandidat tertentu. Hasil survei memiliki pengaruh yang relatif besar terhadap individu yang memiliki komitmen yang rendah pada kandidat tertentu. Kelima, predisposisi awal yang dimiliki seorang individu terhadap kandidat yang ada. Keenam, adalah kepercayaan terhadap hasil survei itu sendiri. Tidak Etis Jika kita mengacu pada rumusan bandwagon effect seperti dijabarkan di atas, ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, sangat disayangkan beberapa waktu lalu LSI Denny JA tetap mengumumkan - 70 - hasil surveinya karena dampaknya yang dikhawatirkan menguntungkan salah satu kandidat (baca: kandidat yang diprediksi akan menjadi pemenang). Penelitian secara khusus mengenai hal ini agar diperoleh hasil yang valid bahwa banyak calon pemilih yang terpengaruh oleh hasil survei yang dipampang oleh LSI di media massa memang harus dilakukan. Tetapi, berdasarkan pengamatan penulis, paling tidak di situs jejaring sosial, selepas hasil survei diumumkan, banyak warga Depok yang percaya dan ikut menegaskan bahwa kandidat yang disinggung akan menang adalah kandidat yang terbaik. Kedua, The World Association for Public Opinion Research (WAPOR) memiliki kode etik yang berjudul “Code of Professional Ethics and Practices”. Kode etik ini antara lain mengatur bahwa laporan hasil akhir survei harus mencantumkan siapa yang membiayai, lembaga yang melaksanakan, tujuan survei, metode, termasuk teknik menentukan sampel, jumlah sampel dan populasinya. Menyebutkan siapa yang membiayai survei sangat menentukan apakah sebuah survei pemilih bersifat independen atau tidak, sehingga publik bisa menilai apakah hasilnya juga independen. LSI Denny JA tak sedikit pun menyebut siapa yang mendanai aktivitas survei yang mereka helat. Di luar keterangan mengenai jati diri sponsor dan tujuan survei mereka, LSI masih berani menyampaikan info-info lain, seperti metode, teknik menentukan responden (sampel), jumlah sampel dan populasinya. Ketiga, mengumumkan hasil survei di hari tenang adalah tidak etis karena alasan fairness (bisa menguntungkan salah satu kandidat). Karena - 71 - pertimbangan fairness itulah, maka negara-negara di Eropa Barat dan Eropa Tengah melarang pengumuman jajak pendapat beberapa hari terakhir menjelang hari pemilihan, misalnya Bulgaria pada Pemilu 1990 melarang pengumuman pada H – 8, Ceko H – 7, Prancis H – 7, dan Spanyol H -5. Selama ini, aturan paling jelas tentang boleh tidaknya mengumumkan hasil survei adalah untuk Pemilu Legislatif yang termaktub pasal 245 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang menyatakan bahwa “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”. Oleh karena belum cukup gamblangnya aturan tentang survei untuk ajang Pemilukada, ke depannya, para penyusun UU Pemilukada harus mempertimbangkan untuk juga memasukkan ketentuan itu dalam RUU Pemilukada yang disebut-sebut termasuk dalam salah satu RUU yang masuk Prolegnas tahun ini. - 72 - Bagian IV Perihal Konflik dan Penyelenggara Pemilukada - 73 - - 74 - 17 Titik Rawan Pilkada Depok Pemilu lokal adalah elemen utama dari sebuah pemerintah demokratis yang paling dekat dengan rakyat. Pada pemilu lokal, warga masyarakat dapat secara pribadi mengenal para kandidat, mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan proses pemilu serta berpeluang lebih besar untuk dapat sesering mungkin berkomunikasi dengan para pejabat terpilih. Berkaitan dengan hal itu, tidak lama lagi masyarakat Kota Depok akan mendapatkan giliran menggelar perhelatan pemilu lokal, atau biasa disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung. Diperkirakan pada bulan November 2010, rakyat kota Depok diberi kesempatan untuk menentukan Walikota Depok untuk periode masa jabatan 2011-2016. Titik Rawan Demokrasi dan sistem-sistem yang mendukungnya sayangnya tidak sepenuhnya sempurna. Bahkan S.N. Eisenstadt dalam Paradoxes of Democracy (1999: 8) mensinyalir bahwa demokrasi mengandung ciri khas-ciri khas yang melekat pada dirinya yang saling bertentangan karena harus diimplementasikan pada saat yang bersamaan atau biasa disebut dengan paradoks. Salah satu di antaranya adalah antara mengedepankan dinamika dan pentingnya stabilitas. - 75 - Dalam tataran praktis, usaha untuk mengimplementasikan dinamika dalam politik bersamaan dengan berjalannya stabilitas politik adalah tidak mudah. Sebaliknya, ketika dinamika dalam politik berjalan, yang cenderung terjadi adalah bertambahnya konflik. Hal itu disebabkan tidak lain karena kata politik itu sendiri adalah konflik (Ranney, 1987: 5). Oleh karenanya, pemilu tidak terbebas dari kerawanan (untuk menyebut istilah yang lebih luas dari konflik), termasuk juga Pilkada. Berkaca pada pengalaman Pilkada Depok tahun 2005 dan pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia, maka penulis bermaksud mengidentifikasi titik-titik rawan dalam Pilkada yang tidak menutup kemungkin dapat terjadi pula di Kota Depok. Pertama, kepastian hukum. Masalah mengenai kepastian hukum yang pernah menjadi persoalan pada Pilkada Depok tahun 2005 adalah mengenai lembaga yang berwenang menerima dan memutuskan sengketa hasil Pilkada. Beruntungnya, persoalan tersebut hampir dipastikan tidak akan terulang karena saat ini satusatunya lembaga yang memiliki wewenang tersebut sudah jelas, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, keakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hampir seluruh Pilkada yang telah dilaksanakan tidak ada yang terbebas dari problem ini. Bahkan isu ini sering digunakan untuk senjata politik, terutama oleh kandidat yang kalah. Kekisruhan DPT sering disebabkan oleh lemahnya koordinasi antara Dinas Kependudukan dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), terlambatnya - 76 - dana, serta kurang melibatkan RT/RW, Lurah dan tokoh masyarakat. Ketiga, persyaratan calon yang tidak lengkap. Persoalan yang sering mencuat berkisar masalah ini adalah ijazah, seperti ijazah palsu atau tidak punya ijazah. Keempat, pengusulan calon di internal partai politik. Masalah-masalah dalam pengusulan calon biasanya mengenai kepengurusan kembar, ketidaktransparanan proses seleksi calon, intervensi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) terhadap pengurus partai tingkat kota, atau mandegnya Pilkada karena hanya satu pasangan calon yang mendaftar. Kelima, keterlambatan pembentukan Panitia Pengawas (Panwas). Penyebabnya seringkali Panwas baru dibentuk menjelang masa kampanye. Keenam, pelanggaran kampanye. Pelanggaran kampanye yang banyak terjadi yaitu pelanggaran lalu lintas dan black campaign (kampanye hitam). Ketujuh, intervensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pola-pola yang pernah terjadi di antaranya: DPRD tidak menyetujui pasangan calon dengan berbagai alasan sehingga berkas putusan KPUD tidak sampai ke Gubernur atau Mendagri dan DPRD tidak melakukan upacara pelantikan. Kedelapan, tidak netralnya KPUD. Kesembilan, protes pada tahap penghitungan dan penetapan hasil akhir Pilkada. Antisipasi Uraian di atas dapat difungsikan sebagai pemetaan titik rawan Pilkada. Peta tersebut berguna - 77 - untuk stakeholder dalam mempersiapkan beragam bentuk antisipasi. Pertama, soal DPT, KPUD dapat memperpanjang masa sosialisasi pendaftaran serta perubahan dari sistem menunggu rakyat mendaftar ke sistem “jemput bola”. Kedua, perihal tidak lengkapnya persyaratan calon, KPUD harus meningkatkan ketelitian dan menyiapkan tenaga khusus untuk proses verifikasi. Ketiga, mengenai pengusulan calon di internal partai politik, KPUD bisa memastikan keabsahan kepengurusan ke DPP. Keempat, agar Panwas tidak terlambat direkrut, maka KPUD harus sejak jauh hari berkoordinasi dengan DPRD agar segera membentuk Panwas. Kelima, KPUD mesti selalu selalu siap menampung temuan laporan pelanggaran kampanye yang disampaikan oleh Panwas. Keenam, jika DPRD mengintervensi hasil Pilkada, maka KPUD harus segera melapor ke Departemen Dalam Negeri supaya Depdagri dapat dengan cepat mengeluarkan keputusan. Terakhir, mengenai kemungkinan tidak netralnya KPUD dan adanya protes pada tahap penghitungan dan penetapan hasil akhir, menjadi bagian Panwas dan masyarakat dengan aktif mengawasi tidak hanya KPUD, tetapi juga keseluruhan proses Pilkada yang berjalan. - 78 - 18 Pembelot Politik Pemberitaan di media massa lokal Depok akhirakhir ini dihiasi oleh sejumlah isu yang bermuara pada isu utama, yaitu Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada). Salah satu wacana yang menarik diperhatikan adalah terjadinya pembelotan politik yang dilakukan oleh sejumlah pengurus partai politik (parpol) terhadap kebijakan pimpinan parpol dalam menghadapi Pemilukada. Di Harian Radar Depok, misalnya, diberitakan bahwa tiga Pengurus Kecamatan (PK) Partai Golkar Kota Depok mengarahkan dukungannya kepada pasangan calon Nur Mahmudi Isma‟il dan Idris Abdul Somad (Nur Berkhidmat). Padahal, Partai Golkar telah memutuskan akan mendukung pasangan calon Badrul Kamal-Agus Supriyanto (BK-Pri). Selain itu, masih cukup segar dalam ingatan, Agung Witjaksono selaku Ketua DPD Partai Demokrat Depok harus merelakan dirinya tidak jadi mencalonkan diri sebagai calon walikota atau calon wakil walikota karena akhirnya Partai Demokrat memutuskan mendukung BK-Pri. Akibatnya, banyak tersiar kabar bahwa pendukung Agung Witjaksono mengalihkan dukungannya kepada pasangan calon lain. Selain contohcontoh spesifik yang penulis paparkan itu, masih banyak contoh-contoh kecil di mana suara dukungan kalangan grass root (akar rumput) parpol-parpol lain berbeda - 79 - dengan keputusan dan arahan para elit-elit parpol tersebut yang berpangkal pada perbedaan antara aspirasi pengurus atau konstituen di tingkat bawah dengan keputusan parpol pada tingkatan di atasnya. Bagaimana kita membaca fenomena ini? Apa sebetulnya penyebab terjadinya pembelotan politik? Bagaimana semestinya tindak lanjut para elit parpol? Musabab Penyebab umum dari pembelotan politik yang terjadi dalam proses rekrutmen dan kemudian dilanjutkan menjadi pencalonan oleh sebuah parpol adalah kecenderungan oligarkis dalam proses pencalonan (Lili Romli, et.al, 2008: 24). Artinya, pengambilan keputusan siapa calon yang didaulat parpol hanya didominasi oleh elit. Berangkat dari konteks itu, tidak jarang terjadi hasil seleksi bakal calon yang berlangsung panjang dan demokratis di tingkat bawah belum tentu menjadi pertimbangan utama pengambilan keputusan. Tidak jarang terdapat perbedaan antara aspirasi pengurus atau konstituen di tingkat bawah dengan keputusan partai politik pada tingkatan di atasnya dalam menentukan calon yang akan diusung atau didukung. Ditambah lagi, seringkali juga terjadi konstituen tidak mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai kelayakan calon yang diusung oleh partai politiknya, baik dari segi kapabilitas, integritas maupun elektabilitas. Salah satu contoh kasus yang bertautan dengan hal itu adalah yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Di daerah itu, pendukung calon bupati dari salah satu partai politik melakukan tindakan anarkis dengan melakukan - 80 - perusakan posko yang dimiliki oleh partai politiknya. Kasus itu diawali oleh keluarnya rekomendasi susulan yang dikeluarkan oleh DPP partai politik tersebut yang isinya berbeda dengan rekomendasi awal. Untuk kasus Pemilukada Depok tahun 2010, khususnya kasus di Partai Golkar dan di Partai Demokrat, nampaknya yang menjadi musabab adanya pembelotan politik relatif berbeda. Merujuk pada pendapat Babai Suhaimi (Ketua DPD Partai Golkar Depok) dalam Radar Depok (20/9/2010), setelah Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar tahun 2010 merekomendasikan Naming Bothin sebagai bakal calon walikota yang akan diusung Partai Golkar ke DPD Partai Golkar Jawa Barat dan DPP Partai Golkar, DPD Partai Golkar Jawa Barat dan DPP Partai Golkar mengeluarkan aturan lain yang meminta adanya mekanisme survei terlebih dahulu terhadap bakal-bakal calon yang akan diusung dalam Pemilukada. Hasil akhir survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) atas permintaan DPP Partai Golkar, yaitu Badrul Kamal menduduki posisi pertama dengan tingkat keterpilihan 17 persen, kemudian Babai Suhaimi dengan 7 persen, Naming Bothin 6 dengan persen, Yuyun Wirasaputra dengan 4,7 persen, dan Pradi Supriatna dengan 1,3 persen. Jika argumentasi Babai benar adanya, artinya dalam hal ini pembelotan politik di tubuh Partai Golkar Depok awalnya lebih diwarnai oleh adanya ketidakpuasan sejumlah pengurus terhadap putusan akhir parpol. Problemnya terus melebar dikarenakan Babai Suhaimi tidak berhasil menjalankan komunikasi yang - 81 - baik dengan Naming Bothin terkait putusan parpol tersebut. Kasus yang kedua, yakni di Partai Demokrat, diawali oleh keinginan Agung Witjaksono selaku Ketua DPD Partai Demokrat Depok untuk menjadi calon walikota dengan diusung oleh parpolnya sendiri. Seiring waktu berjalan, Partai Demokrat lantas membentuk tim yang bertugas melakukan seleksi terhadap bakal calon walikota dan wakil walikota dari Partai Demokrat. Sama halnya dengan Partai Golkar, Partai Demokrat juga menggunakan mekanisme survei untuk membantu tim mengambil putusan akhir pencalonan. Setelah melalui proses yang panjang, keputusan akhir Partai Demokrat menyebutkan bahwa Partai Demokrat menyebutkan bahwa akan mendukung BK-Pri sebagai calon walikota dan wakil walikota. Sejumlah kelompok yang sebelumnya mendukung pencalonan Agung Witjaksono ini yang kemudian disebut-sebut di sejumlah pemberitaan media massa lokal mengalihkan dukungannya kepada pasangan calon dari parpol lainnya. Tindak Lanjut Menindaklanjuti pembelotan yang ada, parpolparpol bisa mengambil sejumlah langkah. Pertama, untuk mengelola pembelotan politik (yang kemudian dalam konteks parpol dapat juga dilihat sebagai fenomena konflik), secara teoretis pimpinan parpol harus mengetahui akar atau sumber konflik tersebut (Lili Romli, 2008: 70). Setelah itu, parpol harus memiliki komitmen untuk mengelola sendiri konflik internalnya, sehingga penyelesaiannya pun dilakukan melalui mekanisme - 82 - rumah tangga internal. Agar penyelesaian konflik tersebut dihormati dan ditaati oleh pengurus dan kader parpol di semua tingkatan kepengurusan, maka keberadaan mekanisme internal untuk menyelesaikan konflik adalah hal yang penting. Di samping itu, proses penyusunan mekanisme internal itu juga haruslah demokratis dan melibatkan semua pihak yang ada di tubuh parpol. Untuk menjamin keberadaan mekanisme internal serta proses penyusunannya yang demokratis, maka kedua hal itu wajib untuk ditegaskan eksistensinya di dalam Anggaran Dasar (AD) parpol. Pada akhirnya, apapun kebijakan yang diputuskan oleh parpol-parpol apabila melalui langkah-langkah di atas akan relatif dapat diterima semua kalangan di internal parpol. - 83 - - 84 - 19 Wacana Persiapan Pemilukada Tanggal 16 Oktober 2010 tinggal hitungan hari. Semua mata sedang tertuju kepada tahapan yang sedang berjalan, yakni tahapan kampanye. Lantas bagaimana dengan tahapan berikutnya, yaitu hari-H pencoblosan, yang justru paling penting di antara keseluruhan tahapan Pemilukada? Bagaimana persiapan KPUD Kota Depok? Tiga Persoalan Pada dasarnya, cukup disayangkan bila kita membuka lembaran-lembaran berita dalam harian lokal Kota Depok bahwa KPUD Kota Depok seperti keteteran memanfaatkan waktu persiapan yang tersedia. Hal pertama yang sebelumnya menjadi sorotan media, akademisi, dan anggota DPRD Kota Depok adalah sempat terbuka kemungkinan tidak diakomodirnya sejumlah narapidana asal Depok yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor. Data yang disampaikan oleh pihak Lapas adalah terdapat 215 tahanan dan narapidana yang berasal dari Depok. Jika saja KPUD Kota Depok tidak segera menindaklanjuti masalah tersebut, maka KPUD Kota Depok amat rawan digugat dengan menggunakan pasal 115 ayat (2) dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan - 85 - orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)”. Secara subtansial, menurut International IDEA (2002: 37-38), hak pilih tidak membedakan status. Setiap warga negara di atas usia tertentu berhak memberikan suara. Setiap orang yang memiliki hak memberikan suara diperbolehkan untuk menjalankan hak itu tanpa diskriminasi, berdasarkan perlakukan yang sama di depan hukum. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional, kekayaan, kelahiran atau status lainnya tidak diperkenankan mencabut hak warga negara yang memenuhi syarat untuk memberikan suara atau bersaing dalam pemilu. Di samping itu, akses pada pemberian suara mungkin sama pentingnya dengan hak-hak substantif. Misalnya, apabila para pemilih tidak diberi sarana pemberian suara yang dapat diakses atau apabila pengidentifikasian seorang pemilih di tempat pemungutan suara sangat rumit, maka hal ini secara efektif akan mencabut hak pemilih untuk memberikan suara. Kasus sempat belum terakomodasinya calon pemilih di Lapas Pondok Rajeg termasuk ke dalam kategori ini. Artinya, KPU Kota Depok tidak dapat keluar dari kerangka bahwa sebagai penyelenggara Pemilukada mereka juga wajib menyediakan akses pada - 86 - pemberian suara seluas-luasnya untuk warga Depok yang masuk ke dalam DPT. Kedua, persoalan rusaknya sejumlah surat suara. Seperti diberitakan oleh Radar Depok (8/10/2010), terdapat puluhan surat suara yang belum digunakan tetapi sudah rusak. Kerusakan berkisar pada masalah teknis seperti adanya surat suara yang berbeda warna, berlubang, berbayang dan yang paling parah adalah adanya surat suara yang terpotong. Ketiga, masih adanya KPPS yang belum dilantik. Dari total 21.600 personel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai penyelenggara pemilu di tingkat RW di 11 kecamatan, yang dilantik oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) sampai dengan minggu pertama bulan Oktober adalah 70 persen, yaitu di PPK Beji, PPK Cipayung, PPK Sukmajaya, PPK Limo, PPK Cimanggis, PPK Bojongsari, PPK Cilodong, dan PPK Cinere. Sedangkan, PPK Tapos, PPK Sawangan, dan PPK Pancoran Mas belum dilantik sampai dengan tulisan ini selesai dibuat. Penulis khawatir jika sisa PPK yang belum dilantik tidak segera dilantik, maka akan dapat mengganggu kinerja KPU secara keseluruhan. Tiga persoalan di atas bukanlah perkara yang sepele. Sebaliknya, kredibilitas KPUD Kota Depok sebagai penyelenggara Pemilukada dipertaruhkan lewat kinerja mereka selama Pemilukada ini, termasuk mengatasi tiga problem penting seperti penulis jabarkan di atas. Sungguh disayangkan jikalau dana 33,3 milyar rupiah yang berasal dari APBD harus dibayar dengan kekurangprofesionalan event organizer Pemilukada. - 87 - - 88 - 20 Panwaslu Yang ‘Tak Bergigi’ Rasanya tidak terlampau berlebihan jika Indonesia disebut sebagai negeri tanpa kemustahilan. Dalam bahasa lain, tak ada yang tak mungkin untuk Indonesia. Salah satu di antaranya, dalam konteks Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada), misalnya, caloncalon kepala daerah yang berstatus tersangka dapat menang dalam sejumlah Pemilukada. Untuk kasus Depok, sama halnya. Hal ini diawali dari keadaan di mana sampai dengan awal-awal masa kampanye, sekitar akhir September 2010, secara umum, terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim sukses-tim sukses pasangan calon. Jenis pelanggaran yang dimaksud di antaranya adalah penggunaan fasilitas pejabat publik untuk kegiatan pertemuan dengan massa pendukung dan pemasangan alat peraga seperti spanduk dan baliho yang tidak sesuai dengan tempatnya dan mendahului jadwal kampanye yang telah ditetapkan. Yang menarik adalah diberitakan oleh sejumlah media massa lokal Depok bahwa tim sukses-tim sukses pasangan calon menolak rencana Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Depok untuk mengumumkan pelanggaran yang dilakukan oleh para tim sukses. Tak hanya itu, tim sukses-tim sukses tersebut malahan menuding Panwaslu seperti tidak ada kerjaan. Tak ayal, ketika pertama kali membaca berita tersebut, yang terlintas di benak penulis hanya satu kesan, “Kok mirip - 89 - dengan pertandingan sepakbola di Indonesia yang pemain-pemainnya mengeroyok wasit atau pengawas pertandingan ya?” Penyebab Ketidakberdayaan Panwaslu pada ajang Pemilukada memang bukanlah sesuatu yang baru dan bukan pula khas Kota Depok semata. Dalam kasus Pemilukada di daerah lain, juga tak jarang ditemukan kondisi bahwa Panwaslu “tak bergigi” terhadap pelanggaran. Salah satu contohnya, dalam Pemilukada Kabupaten Indramayu. Panwaslu di daerah tersebut dinilai “mandul” karena laporan mengenai tindakan penyimpangan pencurian dokumen pribadi berupa foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pemalsuan tanda tangan yang juga sudah didukung saksi dan persyaratan lain tidak ditindaklanjuti (Harian Pelita, 26/6/2010). Kemudian, apabila ada analisis yang menyatakan bahwa yang bisa dipersalahkan terhadap “kemandulan” Panwaslu adalah aturan perundang-undangan sekaligus isinya yang belum memberi wewenang yang besar, analisis itu tak dapat dibenarkan. Sebaliknya, sistem yang dibangun oleh UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu memberi wewenang yang lebih besar kepada Panwaslu untuk menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi. Dalam pasal 78 ayat (1a) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu disebutkan bahwa tugas dan wewenang Panwaslu kabupaten/kota adalah mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu (termasuk Pemilukada) di wilayah kabupaten/kota. Tahapan yang dimaksud adalah sejak tahap pemutakhiran data pemilih sampai dengan - 90 - proses penetapan hasil Pemilukada. Yang tak kalah pentingnya dari tugas dan wewenang adalah kewajiban Panwaslu. Pasal 79 ayat c UU No. 22 Tahun 2007 menyatakan bahwa Panwaslu kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu. Lantas, jika tugas, wewenang, dan kewajiban Panwaslu telah diatur sedemikian rupa, pertanyaannya kemudian adalah mengapa pada prakteknya Panwaslu masih juga “tidak bergigi”? Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, masalah psikologis. Masalah psikologis yang dimaksud yakni bahwa Panwaslu merasa sungkan untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Kasus ketidaktegasan Panwaslu Kota Depok untuk menurunkan sejumlah baliho besar milik para calon walikota dan wakil walikota yang bertebaran di Jalan Margonda seperti diberitakan Harian Monitor Depok (30/9/2010) adalah contoh yang relevan. Malahan, yang cukup menggelitik setelah itu adalah sikap tidak tegas Panwaslu Kota Depok membuat gregetan anggota KPUD Kota Depok. Akibatnya, bekerja sama dengan pihak Satpol PP Kota Depok, anggota KPU Kota Depok-lah yang akhirnya menurunkan sejumlah baliho milik para kandidat yang masih membandel. Kedua, terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM). Seperti diketahui bersama, jumlah personil anggota Panwaslu kabupaten/kota untuk Pemilukada adalah 3 (tiga) orang (Pasal 94 ayat 2 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu). Jumlah ini boleh - 91 - dikatakan relatif tidak berimbang jika dibandingkan dengan jumlah kecamatan di Kota Depok yang mencapai 11 kecamatan. Efek Jera Oleh karena problemnya ada di masalah psikologis, ke depannya Panwaslu Kota Depok harus membuang jauh masalah psikologis itu. Seluruh pelanggaran yang terjadi wajib untuk mendapat perhatian dan ditindaklanjuti. Untuk mengatasi masalah kekurangan personil, Panwaslu dapat bekerja sama dengan media massa yang ada di Depok dalam hal penyampaian informasi pelanggaran. Selain itu, terkait dengan fungsinya, Panwaslu tidak boleh berhenti pada titik di mana yang diimplementasikan hanya fungsi menerima laporan pelanggaran saja. Lebih dari itu, Panwas harus bisa memberikan efek jera dengan secara tegas menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. - 92 - 21 Bara Pasca 16 Oktober Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Depok baru saja usai. Beberapa hari lalu, 16 Oktober 2010, merupakan hari yang diliburkan demi terwujudnya pelaksanaan pemilihan pemimpin Kota Depok untuk periode lima tahun ke depan yang dapat diikuti oleh semua masyarakat yang berhak memilih tanpa kecuali. Tidak lama setelah proses pencoblosan berakhir, terdapat lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung cepat (quick count). Dua di antaranya adalah Puskaptis dan Indopolling. Hasil quick count versi Puskaptis menyebutkan bahwa pasangan Nur Mahmudi-Idris meraih suara 38,38 persen, kemudian disusul Badrul Kamal-Supriyanto dengan 27 persen, Yuyun-Pradi dengan 22 persen dan Gagah-Derry dengan 10,91 persen. Sementara, sedikit berbeda, versi Indopolling memprediksi pasangan Nur Mahmudi-Idris akan meraih 38,8 persen suara, dibayangi oleh pasangan Badrul Kamal-Agus Supriyanto 25,9 persen, pasangan YuyunPradi 24.5 persen dan pasangan Gagah-Derry dengan 10.8 persen. Sedangkan, sampai tulisan ini selesai dibuat, KPUD Kota Depok sedang melakukan perhitungan manual di 11 kecamatan. Anarkis Bahwasanya ada pihak yang puas dan tidak puas dengan proses dan hasil Pemilukada, adalah hal yang - 93 - jamak. Namun, sayangnya, ternyata ada pihak yang mengekspresikan ketidakpuasannya itu dengan cara-cara kekerasan. Sehari setelah Pemilukada, belasan massa yang mengatasnamakan Barisan Penyelamat Rakyat Depok (Bentrok) menggelar aksi unjuk rasa ke dua tempat, yakni kantor KPUD Kota Depok dan kantor harian Radar Depok. Demonstrasi ke kantor KPUD diisi dengan aksi mengencingi kantor penyelenggara Pemilukada. Sedangkan, demonstrasi ke Radar Depok diwarnai dengan adu mulut, aksi saling dorong, dan bahkan nyaris melayangkan bogem mentah antara pendemo dengan sejumlah wartawan koran tersebut. Penulis menilai bahwa meluapkan ketidakpuasan adalah hal yang sangat biasa. Hanya saja, seyogyanya cara yang digunakan untuk mengekspresikannya tidak perlu dengan cara anarkis. Pertama, perselisihan hasil pemilu dapat disengketakan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bertautan dengan hal itu, UUD 1945 dalam pasal 24C menyebutkan bahwa MK memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena Pemilukada termasuk ke dalam rezim pemilu, maka MK juga bisa menjadi penengah persengketaan hasil Pemilukada. Pemberian wewenang kepada MK dalam UUD 1945 seperti disebutkan di atas sejalan dengan tujuan akhir menuju masyarakat Indonesia yang demokratis. Menurut Henry Mayo (1960), salah satu nilai yang dianut oleh masyarakat demokratis adalah menyelesaikan perselisihan dengan damai dan - 94 - melembaga. Artinya, dalam proses Pemilukada, wajar jika terdapat perselisihan pendapat dan kepentingan. Tetapi, perselisihan itu harus dapat diselesaikan melalui perundingan dan dialog terbuka dalam usaha mencapai kompromi tanpa kekerasan. Oleh karena itu, maka seluruh pihak yang bersangkut paut dengan sengketa Pemilukada di mana pun akan jauh lebih baik mempercayakan MK untuk menjadi pemutus akhir gugatan Pemilukada. Berbeda dengan Pemilukada 2005, apabila nanti dilanjutkan dengan sengketa, Pemilukada Depok 2010 boleh jadi akan lebih pendek dari segi panjangnya proses pengajuan sengketa dikarenakan pihak-pihak yang bersengketa langsung mengajukan gugatan ke MK. Kedua, menggunakan cara kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Sebaliknya, cenderung menambah persoalan. Niatan akhir Pemilukada untuk menentukan Walikota dan Wakil Walikota Depok jangan sampai justru merugikan masyarakat karna diwarnai oleh tindakan-tindakan yang bersinggungan dengan kekerasan. Ketiga, sikap-sikap yang bersentuhan dengan anarkisme tidak baik untuk menjadi contoh bagi masyarakat Kota Depok. Semakin berjalannya proses politik berujung pada kekerasan, semakin membuat masyarakat menjadi acuh terhadap kegiatan-kegiatan politik. Oleh karenanya, pendidikan politik untuk masyarakat yang menjadi salah satu domain fungsi dari partai politik (parpol) menjadi begitu relevan dalam hal ini. Pendidikan politik sebaiknya tidak diinterpretasikan hanya sebatas pada mengadakan workshop yang sifatnya - 95 - sesekali waktu, tapi juga termasuk dengan mendukung kesuksesan memberi pemahaman dan meredam emosi pihak yang tidak terima dengan hasil Pemilukada 2010 ini. Tahan Diri Berpijak pada keburukan-keburukan dari perilaku anarkisme menanggapi Pemilukada, sudah sepantasnya semua pihak agar menahan diri. Setiap pasangan calon dan tim sukses harus bisa menjadi pihak yang menenangkan pendukung-pendukung mereka. Begitu pula dengan parpol dan seluruh penyelenggara Pemilukada (KPUD dan Panwaslu). Bagi penguruspengurus parpol, memberikan pengertian kepada anggota-anggotanya dan juga masyarakat tentang langkah yang tepat menyikapi hasil Pemilukada sama halnya dengan menunjukkan sikap dewasa parpol dalam berpolitik. Terakhir, KPUD dan Panwaslu alangkah baiknya menjembatani tuntutan-tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan (karena indikasi kecurangan), apabila kecurangan itu memang terjadi. - 96 - SUMBER TULISAN I. Eksistensi dan Penyelenggaraan Pemilukada Mempertahankan Hak Rakyat untuk Memilih, Suara Pembaruan, 8 September 2009. Belajar dari Pilpres, Monitor Depok, 31 Juli 2009. Seputar Biaya Pemilukada, Monitor Depok, 7 Oktober 2010. Jabatan Kepala Daerah dan Pemilukada, Monitor Depok, 11 Oktober 2010. Sintesis Demokrasi dan Teknologi dalam E-Voting, Sinar Harapan, 27 Maret 2010. Berduyun-duyun Melanggar Pemilukada, Monitor Depok, 17 Januari 2011. II. Pencalonan dalam Pemilukada Menjaring Calon Kepala Daerah Lewat Survei, Suara Karya, 2 Februari 2010. Kandidasi, Klaim, dan Keputusan Politik, Monitor Depok, 6 Juli 2010. Episode Baru Pesta Demokrasi Depok, Monitor Depok, 2 Agustus 2010. Satu Lawan Satu, Monitor Depok, 18 Agustus 2010. Koalisi Besar Tidak Mudah, Monitor Depok, 3 Februari 2010. III. Kampanye dan Pemilihan dalam Pemilukada Hura-Hura Politik, Monitor Depok, 1 Oktober 2010. Nir-netralitas Birokrasi dalam Pemilukada, Pelita, - 97 - 6 Mei 2010. Memilih Dengan Cerdas, Monitor Depok, 28 Juli 2010. Pesan Menuju Bilik Suara, Monitor Depok, 16 Oktober 2010. Survei dan Bandwagon Effect, Monitor Depok, 1 November 2010. IV. Perihal Konflik dan Penyelenggara Pemilukada Titik Rawan Pilkada Depok, Monitor Depok, 11 September 2009. Pembelot Politik, Radar Depok, 2 Oktober 2010. Wacana Persiapan Pemilukada, Radar Depok, 13 Oktober 2010. Panwaslu Yang "Tak Bergigi”, Monitor Depok, 5 Oktober 2010. Bara Pasca 16 Oktober, Monitor Depok, 21 Oktober 2010. - 98 - Daftar Referensi Buku Agustino, Leo, 2009, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bonne, Hughe A. dan Austin Ranney, 1981, Politics and Voters, New York: McCraw-Hill. Cavdar, Gamze “Beyond Election Fraud: Manipulation, Violence, and Foreign Power Intervention,” dalam Michael Alvarez, Thad Hall, dan Susan Hyde, Election Fraud: Detecting and Preventing Electoral Manipulation, 2008, Washington, D.C.: Brookings Institution Press. Eisenstadt, S.N., 1999, Paradoxes of Democracy, Maryland: The John Hopkins University Press. Hickman, H., 1991, “Public Polls and Election Participants”, dalam P.J. Lavrakas & J.K. Holley (Eds.), Polling and Presidential Election Coverage, Newbury Park, CA: Sage. Hofilena (Ed.), Chay Florentino, 2006, How to Win An Election: Lessons from The Experts, Manila: ASG Ateneo University dan KAS. Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson, 1976, No Easy Choice: Political Participation in - 99 - Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press. International IDEA, 2002, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Stockholm: International IDEA. Kersting, Norbert dan Harald Baldersheim (Ed.), 2004, Electronic Voting and Democracy: A Comparative Analysis, New York: Palgrave Macmillan. Linz, Juan dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic Transition and Consolidation. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Mayo, Henry B., 1960, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press. Powell Jr., G. Bingham, 2000, Elections as Instruments of Democracy: Majoritarian and Proportional Visions, New Haven: Yale University Press. Ranney, Austin, 1987, Governing: An Introduction to Political Political Science, New Jersey: PrenticeHall. Inc. Romli, Lili, et.al., 2008, Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, Depok: Puskapol FISIP UI. Romli, Lili (Ed.), 2010, Evaluasi Pemilu Legislatif 2009: Tinjauan atas Proses Pemilu, Strategi - 100 - Kampanye, Perilaku Memilih, dan Konstelasi Politik Hasil Pemilu, Jakarta: LIPI Press. Traugott, M.W. & Lavrakas, P.J., 1996, The voter’s guide to election polls, Chatham, NJ: Chatham House Publishers. Wall, Allan, et.al., 2006, Electoral Management Design: The International IDEA Handbook, Stockholm: International IDEA. Jurnal Ansolabehere, S. & Iyengar S., 1994, Of Horseshoes and Horseraces: Experimental Studies of the Impact of Poll Results on Electoral Behavior. Political Communication, 11, 413-430. Fiorina, Morris, Economic Retrospective Voting in American National Elections: A Micro-Analysis, dalam American Journal of Political Science, Volume 22 No.2 , Midwest Political Science Association, 1978, di-download dari www.jstor.org. Moynihan, Donald P., “Building Secure Elections: EVoting, Security, and Systems Theory”, Source: Public Administration Review, Vol. 64, No. 5 (Sep. - Oct., 2004), pp. 515-528, Blackwell Publishing on behalf of the American Society for Public Administration. - 101 - Reed, Robert dan Joonmo Choo, “A Comparison of Prospective and Retrospective Voting with Heterogeneous Politicians”, Source: Public Choice, Vol.96, Issue 1-2 (1998), pp. 93-116. Roseman Jr., Gary H. dan E. Frank Stephenson Willis, “The Effect of Voting Technology on Voter Turnout: Do Computers Scare the Elderly?” Source: Public Choice, Vol. 123, No. 1/2 (Apr., 2005), pp. 39-47, Springer. Willis, George L., “Electronic Vote Counting in a Metropolitan Area”, Source: Public Administration Review, Vol. 26, No. 1 (Mar., 1966), pp. 25-30, Blackwell Publishing on behalf of the American Society for Public Administration. Koran Media Indonesia, 24 Januari 2010. Radar Depok, 8 Oktober 2010. Harian Pelita, 26 Juni 2010. Monitor Depok, 30 September 2010. - 102 - Tentang Penulis Ikhsan Darmawan dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Mei 1984. Sehari-hari mengajar di Program Studi Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia sejak tahun 2005 pada matakuliah “Pengantar Ilmu Politik”, “Sistem Politik Indonesia”, dan “Pemerintahan dan Politik Desa”, di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama sejak tahun 2008 sampai tahun 2009 pada matakuliah “Pengantar Ilmu Politik” dan “Statistik Sosial I”, dan di Jurusan Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) sejak tahun 2009 pada matakuliah “Kekuatankekuatan Politik di Indonesia”, “Teori Politik”, “Sistem Perwakilan Politik”, dan “Pemikiran Politik Indonesia”. Minat besarnya pada persoalan pemilu dan Pemilukada dimulai sejak mengikuti penelitian-penelitian tentang Pemilu, antara lain: “Pemantauan Pilkada Depok tahun 2005”, “Survey Nasional Perilaku Pemilih Menjelang Pemilu Legislatif 2009 (untuk Pusat Kajian Politik UI dan menjadi koordinator pada wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat pada bulan Maret 2009)”, “Survey Nasional Perilaku Pemilih Menjelang Pemilu Presiden 2009 (untuk Pusat Kajian Politik UI dan menjadi koordinator pada wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah pada bulan Juni 2009)”. - 103 - Pernah menjadi peneliti bidang politik domestik di Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2006. Aktif menulis untuk beberapa surat kabar lokal, seperti Monitor Depok dan Radar Depok, dan surat kabar nasional, seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, Sinar Harapan, dan Pelita. - 104 -