Pemberdayaan Kaum Awam Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah

advertisement
BAB IV
PEMBERDAYAAN KAUM AWAM
GEREJA KRISTEN INJILI (GKI) DI TANAH PAPUA
SUATU KAJIAN DARI PERSPEKTIF ANDRAGOGY
TERHADAP SEKOLAH ALKITAB MALAM
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana pemberdayaan kaum
awam yang dilakukan oleh GKI di Tanah Papua melalui program Sekolah Alkitab
Malam (SAM). Selanjutnya dalam bab ini secara khusus akan dipaparkan tinjauan
kritis terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam yang di lakukan
SAM GKI di Tanah Papua dari perspektif andragogi.
IV. 1. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Alkitab Malam (SAM) Gereja
Kristen Injili di Tanah Papua.
Data historis tentang berdirinya SAM GKI di Tanah Papua, memperlihatkan
bagaimana pendidikan bagi kaum awam dalam gereja menjadi kebutuhan mendesak
pada waktu itu. Bapak Drs. John Heumassy dan Bpk Yoppie Mustamu, SH (alm)
mewakili kaum awam dalam jemaat mengutarakan kerinduan dan rasa haus untuk
belajar dan mendapat pemahaman Firman Tuhan yang lebih mendalam kepada Pdt
Dr. Rainer Scheunemann. Berdasarkan kebutuhan kaum awam ini dan apa yang
dimiliki oleh Pdt Dr. Rainer Scheunemann secara pribadi (pengalaman pelayanan,
adanya jawaban doa, mengambil bagian-bagian penting dari program Sekolah Alkitab
Malam yang dilakukan oleh ayahnya Pdt D. Scheunemann, di pulau Jawa). Maka
program pemberdayaan kaum awam lewat SAM mulai berjalan.
73
Memang benar mulainya program SAM di mulai dari kebutuhan kaum awam
yang nota bene adalah orang dewasa. Di sini ada kesejajaran pengertian kaum awam
dan orang dewasa. Kaum awam dihubungkan dengan adanya tugas dan pangilan
selaku imamat am orang percaya. Sedangkan orang dewasa dalam perspektif
andragogi harus belajar untuk
diberdayakan karena memiliki profesi dan harus
mencari nafkah serta bertanggungjawab atas iman percayanya pada saat bekerja
sebagaimana Tuhan menempatkannya.
Kelihatan bahwa ide berdirinya SAM karena kebutuhan orang dewasa atau
kaum awam gereja yang dewasa. Namun bila dicermati dengan teliti ternyata orang
dewasa tidak dilibatkan atau berpartisipasi sepenuhnya dalam perencanaan program,
menentukan tujuan, mempersiapkan bahan dan kurikulum, pengajar dan metode yang
harus di pakai serta bagaimana menyusun evaluasi. Badan Pengurus Pusat SAM
melalui Pdt Dr. Rainer Scheunemann yang lebih berperan dalam memulai program
ini dan dalam pengembangannya. Apa yang terjadi ini belum sejalan dengan prinsipprinsip andragogi. Ada karakteristik khusus dalam pembelajaran orang dewasa,
dimana seorang dewasa yang self - directed harus berpartisipasi dan dilibatkan
sepenuhnya dalam mempersiapkan suatu bentuk pendidikan dalam gereja. Orang
dewasa memiliki pengalaman dan bila dilibatkan akan bertanggung jawab dalam apa
yang dipelajari. Orang dewasa akan berusaha untuk mewujudkan apa yang telah dia
pelajari dalam kehidupan nyatanya. Seorang dewasa biasanya bergumul dengan
tantangan dan masalah yang ditemui dalam kehidupan kerja dan dia mau mencari
jalan keluar lewat pendidikan yang dijalaninya. Inilah yang disebut disain
instruksional dalam pendidikan orang dewasa. Mereka dapat melakukannya. Sayang
dalam kasus pembukaan program SAM, para peserta dewasa tidak sampai kepada
tujuan instruksional. Seorang dewasa tertarik belajar karena kebutuhan hidupnya
74
supaya mengalami pertolongan dalam memperoleh pemenuhan diri yang lebih besar
dalam kehidupan pribadi dan juga dapat memecahkan masalah-masalah pribadi dan
sosial yang dihadapi.
Jadi dalam konteks memberdayakan kaum awam lewat SAM GKI, hanya
menjawab satu kebutuhan yaitu bagaimana kaum awam ini dapat melayani dengan
baik dalam gereja baik sebagai majelis maupun sebagai pengurus unsur-unsur.
Padahal yang dinamakan pemberdayaan harus mencakup semua segi kehidupan
manusia. Inilah yang dibutuhkan GKI dalam menjawab persoalan-persoalan sosial
yang terjadi di Tanah Papua. Persoalan-persoalan ini tidak bisa dijawab hanya dengan
asumsi bahwa dengan seorang dewasa memahami Alkitab secara otomatis dapat
berperan dalam mentransformasi keadaan sosial. SAM GKI sesuai dengan namanya
dapat dilihat sebagai sekolah Alkitab mini yang memang sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai yaitu memperlengkapi kaum awam dewasa dalam gereja dengan
pemahaman Alkitab sehingga mengajarkan dan menekankan bidang teologi. Inilah
model pembelajaran Subject-Oriented Adult Learning. Artinya orang dewasa yang
menjadi peserta SAM dibantu untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan saja.
Peserta sebenarnya belajar Alkitab (tema-tema PL/PB, pengantar PL/PB. Penafsiran)
dan diberi ketrampilan (bagaimana berkhotbah, membuat penelahan Alkitab, pastoral
kepada orang sakit). Pada akhirnya peserta dapat melayani dengan baik sebagai
majelis dan badan pengurus unsur serta dapat membantu pelayanan di gereja. Di
samping itu ada juga peserta ikut program SAM karena melihat sebagai majelis sangat
membutuhkan pengetahuan Alkitab yang ditawarkan oleh SAM. Ini model ConsumerOriented Adult Learning hanya berfokus pada penambahan pengetahuan dan hanya
kepada apa yang dia butuhkan tidak menjamin terjadinya transformative karena hanya
akan membawa orang kepada mempertahankan status qua. Padahal berbicara
75
pemberdayaan tidak boleh hanya satu bidang saja. Tidak boleh diatur oleh orangorang tertentu apapun alasannya. Program SAM lebih teologis. Peserta tidak
dilibatkan untuk melihat kebutuhan-kebutuhan yang lain. Secara ekonomi, sosial
politik dan lain sebagainya.
Yang juga perlu dikritisi saat berdirinya SAM, berkaitan dengan tidak adanya
survei mengenai kebutuhan (need assessment) yang dilakukan Sinode dan Badan
Pengurus Pusat SAM. Memang benar ada kebutuhan yang diungkapkan secara
langsung oleh Bapak Drs. John Heumassy dan (Alm) Bapak Yappy Mustamu SH
kepada Badan Pengurus Pusat SAM melalui Pdt Dr. Rayner Scheunemann namun ada
juga yang langsung ditentukan dari atas dalam hal ini oleh Badan Pengurus Pusat
SAM
dan bersifat formatif belaka. Bisa dikatakan juga terjadi indoktrinasi atau
propaganda karena pengajar menjadi sumber utama bagi pengetahuan (yang tahu
segala-galanya) bagi peserta yang belajar seolah-olah belum memiliki pengetahuan
sama sekali.
IV. 2. Tujuan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua.
Tujuan SAM GKI di Tanah Papua adalah memberikan bekal tentang landasan
pemahaman teologis dan kehidupan iman Kristiani yang memadai dan praktis kepada
kaum awam, untuk dibentuk menjadi SDM Awam GKI yang “siap pakai” sesuai
dengan karunia masing-masing dalam membantu pelaksanaan tugas para pendeta
dalam pelayanan di dalam jemaat dan di tengah kehidupan masyarakat.
Tujuan SAM GKI bukanlah menciptakan pendeta-pendeta kecil, tetapi
menciptakan majelis-majelis dan warga jemaat yang besar, dalam pengertian mampu
dalam pemahaman dan melaksanakan pelayanan secara berkualitas dalam jemaat dan
di tengah masyarakat. Para lulusan SAM GKI diutus kembali ke dalam jemaat asal
76
masing-masing. Dengan demikian SAM GKI tidak membentuk suatu kelompok
khusus ikatan tersendiri, tetapi sebagai lembaga yang hanya melengkapi majelis dan
warga jemaat untuk pelayanan di jemaat asal masing-masing warga jemaat.
Apa yang menjadi tujuan dari SAM GKI di Tanah Papua dari satu sisi telah
tercapai yang disesuaikan dengan tujuan SAM itu sendiri (pemberdayaan dalam
bidang pemahaman Alkitab, dimana kaum awam ini dapat membantu para pendeta di
gereja, dapat melayani sebagai majelis dan pengurus unsur) namun demikian kurang
memadai atau masih terbatas sebab bila berbicara tentang konsep pemberdayaan
imamat am orang percaya sangat kompleks begitu juga bila ditinjau dari perspektif
andragogi. Kaum awam dewasa seharusnya dituntun untuk memahami apa yang
menjadi pergumulannya dimana ada ketidak berdayaan dalam menghadapi persoalanpersoalan dalam masyarakat misalnya kemiskinan, kemabukan, kekerasan dalam
rumah tangga, ketidak adilan, dan masih banyak lagi (persoalan nyata yang dialami
kaum awam dewasa di Tanah Papua). Kaum awam dewasa
dengan profesinya
masing-masing dipanggil untuk bertanggungjawab atas panggilan imamat am orang
percaya dalam menjawab atau menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Disinilah kekurangan yang terlihat dalam pemberdayaan yang dilakukan SAM
GKI di Tanah Papua, yang mana kaum awam dewasa dalam gereja tidak
diperlengkapi dan dipersiapkan dalam bidang hidup yang lain. Misalnya bagaimana
mengatasi kemiskinan dan kekurangan lapangan kerja yang dialami warga masyarakat
yang tidak lain adalah warga gereja dewasa. Orang dewasa dalam gereja tidak hanya
diberdayakan dalam bidang teologi saja tetapi harus juga diberdayakan melalui para
ahli di bidang ekonomi sehingga mereka dapat memiliki pekerjaan dengan berusaha
sendiri. Pelatihan dibidang ini juga perlu agar kaum awan dewasa dalam gereja yang
juga adalah warga masyarakat tidak hanya menjadi penonton di negerinya sendiri.
77
Bilamana dari awal kaum awam dewasa dalam gereja dilibatkan dengan
mendengar apa yang menjadi kebutuhan mereka (memang dalam hal SAM berdiri
telah mendengar kebutuhan dari kaum awam dewasa yang diwakili oleh Drs John
Heumassy dan (Alm) Yappy Mustamu SH namun ini masih terbatas adanya) maka
pastilah tujuan pemberdayaan itu akan berbeda dengan tujuan ditentukan oleh Badan
Pengurus Pusat SAM. Kelihatan sekali tujuan dari program pendidikan orang dewasa
melalui SAM
bersifat propaganda dan pengajaran teologis Alkitabiah semata.
Pendidikan orang dewasa dalam gereja tidak boleh hanya mengajarkan hal-hal yang
religius belaka, namun harus jauh lebih luas dari hal itu. Apabila PAK dewasa dalam
jemaat (maksudnya program SAM) dipandang dalam arti sempit, maka ia akan gagal
sebagai kekuatan utama demi kebaikan. Ia akan tetap merupakan usaha dan kekuatan
marginal saja. Padahal diharapkan lulusan SAM dapat berperan di mana saja dan
kapan saja.
Bukankah orang dewasa dalam pembelajaran
memiliki karakteristik
tersendiri, meskipun ada misi agama di dalamnya. Hal ini harus dipahami oleh siapa
saja yang hendak memulai program pembelajaran. Libatkan orang dewasa untuk
bersama-sama berdiskusi tentang kebutuhan dan tujuan yang harus dicapai. Oleh
karena orang dewasa mempunyai konsep diri dan pengalaman serta bila dilibatkan
akan siap untuk belajar apa yang telah diputuskan karena orientasinya pada hal yang
dipelajari bersama.
Jadi ketika orang dewasa berpartisipasi dalam pembelajarannya, ia telah
melakukan model Emancipatory Adult Learning.
Hal itu berarti perspektif orang
dewasa dirubah, adanya kesadaran baru sehingga terjadi trasformasi baik untuk diri
sendiri maupun untuk transformasi sosial. Praksis Orang dewasa dinyatakan. Hal
inilah yang dibutuhkan dalam konteks kompleksitas persoalan gereja yang hadir di
78
Tanah Papua sehingga orang dewasa dalam gereja yang tidak lain warga masyarakat
dapat menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pemerintah tidak bisa menyelesaikan semua persoalan yang ada di Tanah Papua.
IV. 3. Kurikulum SAM GKI di Tanah Papua.
Pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam melalui
SAM GKI
menggunakan kurikulum dan bahan-bahan pelajaran yang telah disiapkan oleh Badan
Pengurus Pusat SAM GKI di Jayapura. Apa yang menjadi pokok atau tema-tema
dalam pembelajaran disusun oleh Pdt Dr. Rayner Scheunemann yang menangani
bidang pengajaran . Bilamana melihat kurikulum SAM, ada penekanan dari sisi
teologis dan tidak pada sisi-sisi kehidupan yang lain. Bidang pengajaran SAM GKI
berpikir karena perlu pemahaman Alkitab maka kurikulum disusun berdasarkan hal
itu.
Padahal seorang dewasa dalam gereja tidak hanya memiliki persoalan dan
membutuhkan diberdayakan dalam bidang teologi saja tetapi juga dia perlu
diberdayakan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain sebagaimana ketidak
berdayaannya dalam masalah hukum, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.
Perlu sekali Badan Pengurus Pusat SAM GKI mengadakan survei terhadap apa yang
menjadi kebutuhan orang dewasa dan juga melibatkan mereka di dalam membahas
bahan dan menyusun kurikulum yang akan dipakai dalam pembelajaran di SAM.
Dengan demikian kurikulum yang dibuat ini akan membawa orang dewasa dalam
gereja mengalami pemberdayaan dalam hidupnya. Adanya transformasi diri dan
transformasi sosial baik di dalam gereja maupun di dalam masyarakat melalui
profesinya. Mereka ini hadir di garis terdepan di semua lini kehidupan yang akan
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
79
Kurikulum SAM memperlihatkan bahwa ada pemahaman yang keliru tentang
orang dewasa. Orang dewasa yang belajar, dianggap belum tahu hal-hal berkaitan
kebutuhannya. Jadi peserta harus diberikan pengajaran sekalipun mereka belum
menyadari pada awalnya namun pada akhirnya peserta sadar bahwa hal itu begitu
penting. Tidak adanya survei akan kebutuhan peserta didik berakibat banyak
kesalahan dibuat oleh lembaga yang menyelenggarakan pendidikan orang dewasa
salah satunya adalah SAM GKI di Papua. Ini menjadi indikasi adanya kelemahan
dalam terkait pemahaman prinsip andragogi dan model pembelajaran transformatif.
Lewat kurikulum SAM GKI, jelas peserta hanya diberdayakan dalam satu
bidang kehidupan yaitu teologi yang di pelajari dan belum atau tidak ada pengajaran
dalam bidang kehidupan yang lain. Padahal berbicara pemberdayaan haruslah
meliputi semua aspek kehidupan yang dialami seorang dewasa. Bila Peserta yang
adalah seorang dewasa dalam gereja tidak partisiatif atau tidak dilibatkan dalam
penyusunan kurikulum maka pasti tidak dapat menjawab persoalan-persoalan
ekonomi, politik, hukum dan sosial yang dialami peserta dan menjadi pergumulan
dalam hidupnya. Apa yang harus peserta dewasa lakukan untuk mempertahankan
hidup di saat tidak berdaya menghadapi kerasnya persaingan dalam ekonomi. Tidak
boleh ada utopia abstrak yang hanya membuat orang-orang percaya ini menjadi rusak
kehidupannya. Dengan berpikir meskipun miskin tidak apa-apa yang penting masuk
surga karena setia melayani. Bagaimana orang dewasa atau kaum awam gereja dapat
menjalani panggilan imamat am orang percaya dalam kehidupan kerja di mana
mereka ditempatkan. Kurikulum tanpa partisipasi orang dewasa berakibat tidak terjadi
transformasi dalam diri seorang dewasa. Kurikulum SAM belum menyentuh semua
aspek kehidupan seorang dewasa sehingga ia belum dapat mengadakan refleksi diri
80
yang kritis yang menghasilkan perspektif yang baru dalam menghadapi realita
kehidupan GKI di Tanah Papua. dengan persoalan-persoalan sosial yang kompleks.
IV. 4.
Pengajar dan Metode Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Papua
Tenaga pengajar atau pendidik yang dilibatkan dalam pembelajaran SAM GKI
di Tanah Papua, mempunyai latar belakang teologi, baik itu pendeta maupun para
dosen STT “Izaak Samuel Kijne”. Pdt Dr. Rainer Scheunemann bersama Badan
Pengurus Pusat SAM yang berperan dalam menentukan keterlibatan para pengajar
yang disesuaikan dengan kurikulum. Orang dewasa yang menjadi peserta SAM tidak
dilibatkan dalam proses penentuan tenaga pengajar. Badan Pengurus Pusat SAM tidak
mengajak orang dewasa untuk ambil bagian dan berpartisipasi dalam membicarakan
soal tenaga pengajar dan juga metode yang dipakai. Secara prinsipil hal ini tidak
sesuai dengan andragogi. Orang dewasa lebih senang dalam belajar berbagi
pengalaman satu terhadap yang lain. Pengajar dalam kelas orang dewasa harus
menjadi seorang fasilitator dalam pengajaran yang partisipatif bukan seorang nara
sumber yang merasa diri tahu segalanya. Keterlibatan orang dewasa dalam
pembelajaran seperti inilah yang mendorong peserta akan prokreatif.
Hal penting lainnya SAM GKI di Papua kurang melibatkan pengajar yang
ahli di bidang ekonomi, ahli di bidang psikolagi, ahli di bidang kesehatan, ahli di
bidang hukum dan ahli-ahli dalam bidang yang lain. Sebenarnya orang dewasa
membutuhkan pengajar yang bisa menjadi fasilitator dalam memberdayakan
hidupnya. Bukan hanya seorang ahli teologi yang maha tahu dan hanya mengajar dan
mengindoktrinasi peserta. Sebab terlalu banyak masalah orang dewasa yang harus
dijawab dan diselesaikan sehingga dalam keterlibatan bersama dengan model
partisipatif akan hadir pengajar-pengajar yang bertindak sebagai fasilitator.
81
Metode yang dipakai dalam proses pembelajaran di SAM di serahkan semua
kepada pengajar dan tidak melibatkan peserta dewasa yang self-directed.
Rainer Scheunemann mengatakan hal itu berkaitan dengan
Pdt Dr.
pengajar yang ada dan
materi yang diberikan serta karakter dari peserta. Maksudnya di SAM seorang
pengajar yang dilibatkan adalah yang sungguh-sungguh dan yang dapat mengajar.
Ini yang penting dimana mempunyai pengajar yang tepat dulu baru metode akan
diterapkan dengan baik. Pengajar diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri
dengan materi atau bahan yang ada.
Dalam kelas metode yang dipakai dalam proses pembelajaran menurut peserta
yang diwawancarai100 berjalan dalam dua arah dimana dalam sesi pertama pengajar
menjelaskan bagian-bagian yang belum dipahami dan sesi kedua ada Tanya jawab
dan diskusi. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi untuk memecahkan
masalah atau pertanyaan yang ada. Namun demikian hal ini tidak sesuai dengan
bagaimana menolong orang dewasa belajar atau andragogi. Seharusnya dari awal
partisipatif orang dewasa nyata dalam proses perencanaan sehinga mendapati metode
yang partisipatif juga. Semua
ideologi yang mendominasi hidup orang dewasa
dengan sendirinya dapat diatasi dengan refleksi diri kritis yang menghasilkan
perspektif baru.
IV. 5.
Evaluasi dalam Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua
Badan pengurus pusat SAM GKI di Tanah Papua mengadakan evaluasi yang
dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran dengan memberikan angket untuk
dijawab oleh peserta sebagai bahan evaluasi. Bahan evaluasi dan intrumen pertanyaan
disusun oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI, tanpa melibatkan peserta SAM. Hal
100
Wawancara Ibu Pnt Griapon, Pnt Awak, Pnt Matias Mansumbauw, Pnt Rume, Pnt Mapipi,
Bpk/IbuTandi, Sdr Debora, bulan Okt – Nov 2014
82
ini tidak sesuai dengan prinsip andragogi. Dalam perspektif andragogi, orang dewasa
seharusnya diikutkan bukan saja untuk mengevaluasi program pendidikan, tetapi juga
dalam menyusun serta merencanakan evaluasi program. Itu berarti instrumen
pertanyaan dalam evaluasi dibicarakan dan didiskusikan.
IV. 6. Refleksi Teologis
Rupanya apa yang terjadi dalam GKI di Tanah Papua sebagai gereja dengan
jumlah warga jemaat terbesar, diperhadapkan pada minimnya kontribusi kaum awam
dewasa dalam kompleksitas persoalan-persoalan yang ada di Tanah Papua. Tidak ada
jalan lain disinilah kaum awam dewasa dalam gereja harus diberdayakan. Tidak bisa
hanya berharap kepada Pemerintah dalam menyelaikan hal di atas. Apa yang terjadi
dalam GKI di Tanah Papua mengarah kepada dua hal yaitu : pertama, adanya suatu
kecenderungan dari gereja untuk mengikuti model organisasi sekuler, dimana para
pendeta menjadi pemain tunggal (one man show) dan anggota jemaat yang nota bene
kaum awam dengan segala potensi serta karunia yang diberikan Tuhan kepadanya
hanya menjadi penonton. Model ini tidak sesuai dengan teologi imamat am orang
percaya. Kedua, apa yang terjadi dalam GKI Papua, juga mengarah kepada
pemahaman abad ketujuh belas memperlihatkan definisi dari orthodoksi Protestan
tentang perbedaan yang semakin meningkat antara kaum awam dan kaum rohaniwan.
Adanya keunggulan dari pendeta dibandingkan kaum awam. Padahal dalam tradisi
Calvinis ajaran tentang imamat universal dalam I Petrus 2 : 9, begitu mendapat
penekanan dimana setiap orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus, mempunyai
panggilan untuk melayani Allah dengan hati dan melakukan pekerjaan di bidang atau
profesi dimana Allah menempatkan mereka. Ada martabat yang tinggi dan tanggung
jawab yang penting kepada setiap orang percaya dalam memenuhi panggilan Tuhan,
83
dalam relasi dan keteraturan pelayanan bersama kaum rohaniwan. Ada kerjasama
yang baik karena sama-sama teman sekerja di hadapan Allah.
Para rohaniwan atau para pendeta GKI, tidak bisa bertahan dengan konsep
dan pemahaman mereka yang tidak peduli terhadap kaum awam dewasa dalam gereja.
Para pendeta merasa lebih penting dari kaum awam, sehingga tidak memberikan
pengajaran dan pembinaan untuk memberdayakan kaum awam. Para pendeta harus
kembali untuk membantu kaum awam sehingga mereka bisa diperlengkapi dan pada
akhirnya dapat terlibat aktif dalam pelayanan guna menyelesaikan persoalanpersoalan dalam internal gereja dan dapat mentaati kehendak Tuhan dalam menjawab
persoalan-persoalan eksternal gereja yang ada di Tanah Papua. Para pendeta perlu
juga membuka diri untuk melibatkan para ahli di bidang hukum, ekonomi Lihat juga
dalam sistem pemerintahan gereja yang bersifat Presbiterial Sinodal, dan Tata
Gereja GKI, pasal 12 yang intinya mengamanatkan pelayanan kepada seluruh warga
jemaat atau kaum awam dalam gereja. Semua tanggung jawab pelayanan baik dari
kaum rohaniwan maupun kaum awam dilaksanakan secara bersama-sama dalam
keteraturan dan keharmonisan, serta dipandu oleh kebenaran Firman Tuhan. Sikap
ketebukaan itu juga harus dinampakkan dengan kesediaan untuk mengembangkan diri
dengan kesedian belajar agar memiliki pemahaman andragogi yang memadai dalam
menunjang pelayanan dalam GKI di Tanah Papua.
84
Download