BAB IV PEMBERDAYAAN KAUM AWAM GEREJA KRISTEN INJILI (GKI) DI TANAH PAPUA SUATU KAJIAN DARI PERSPEKTIF ANDRAGOGY TERHADAP SEKOLAH ALKITAB MALAM Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana pemberdayaan kaum awam yang dilakukan oleh GKI di Tanah Papua melalui program Sekolah Alkitab Malam (SAM). Selanjutnya dalam bab ini secara khusus akan dipaparkan tinjauan kritis terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam yang di lakukan SAM GKI di Tanah Papua dari perspektif andragogi. IV. 1. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Alkitab Malam (SAM) Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Data historis tentang berdirinya SAM GKI di Tanah Papua, memperlihatkan bagaimana pendidikan bagi kaum awam dalam gereja menjadi kebutuhan mendesak pada waktu itu. Bapak Drs. John Heumassy dan Bpk Yoppie Mustamu, SH (alm) mewakili kaum awam dalam jemaat mengutarakan kerinduan dan rasa haus untuk belajar dan mendapat pemahaman Firman Tuhan yang lebih mendalam kepada Pdt Dr. Rainer Scheunemann. Berdasarkan kebutuhan kaum awam ini dan apa yang dimiliki oleh Pdt Dr. Rainer Scheunemann secara pribadi (pengalaman pelayanan, adanya jawaban doa, mengambil bagian-bagian penting dari program Sekolah Alkitab Malam yang dilakukan oleh ayahnya Pdt D. Scheunemann, di pulau Jawa). Maka program pemberdayaan kaum awam lewat SAM mulai berjalan. 73 Memang benar mulainya program SAM di mulai dari kebutuhan kaum awam yang nota bene adalah orang dewasa. Di sini ada kesejajaran pengertian kaum awam dan orang dewasa. Kaum awam dihubungkan dengan adanya tugas dan pangilan selaku imamat am orang percaya. Sedangkan orang dewasa dalam perspektif andragogi harus belajar untuk diberdayakan karena memiliki profesi dan harus mencari nafkah serta bertanggungjawab atas iman percayanya pada saat bekerja sebagaimana Tuhan menempatkannya. Kelihatan bahwa ide berdirinya SAM karena kebutuhan orang dewasa atau kaum awam gereja yang dewasa. Namun bila dicermati dengan teliti ternyata orang dewasa tidak dilibatkan atau berpartisipasi sepenuhnya dalam perencanaan program, menentukan tujuan, mempersiapkan bahan dan kurikulum, pengajar dan metode yang harus di pakai serta bagaimana menyusun evaluasi. Badan Pengurus Pusat SAM melalui Pdt Dr. Rainer Scheunemann yang lebih berperan dalam memulai program ini dan dalam pengembangannya. Apa yang terjadi ini belum sejalan dengan prinsipprinsip andragogi. Ada karakteristik khusus dalam pembelajaran orang dewasa, dimana seorang dewasa yang self - directed harus berpartisipasi dan dilibatkan sepenuhnya dalam mempersiapkan suatu bentuk pendidikan dalam gereja. Orang dewasa memiliki pengalaman dan bila dilibatkan akan bertanggung jawab dalam apa yang dipelajari. Orang dewasa akan berusaha untuk mewujudkan apa yang telah dia pelajari dalam kehidupan nyatanya. Seorang dewasa biasanya bergumul dengan tantangan dan masalah yang ditemui dalam kehidupan kerja dan dia mau mencari jalan keluar lewat pendidikan yang dijalaninya. Inilah yang disebut disain instruksional dalam pendidikan orang dewasa. Mereka dapat melakukannya. Sayang dalam kasus pembukaan program SAM, para peserta dewasa tidak sampai kepada tujuan instruksional. Seorang dewasa tertarik belajar karena kebutuhan hidupnya 74 supaya mengalami pertolongan dalam memperoleh pemenuhan diri yang lebih besar dalam kehidupan pribadi dan juga dapat memecahkan masalah-masalah pribadi dan sosial yang dihadapi. Jadi dalam konteks memberdayakan kaum awam lewat SAM GKI, hanya menjawab satu kebutuhan yaitu bagaimana kaum awam ini dapat melayani dengan baik dalam gereja baik sebagai majelis maupun sebagai pengurus unsur-unsur. Padahal yang dinamakan pemberdayaan harus mencakup semua segi kehidupan manusia. Inilah yang dibutuhkan GKI dalam menjawab persoalan-persoalan sosial yang terjadi di Tanah Papua. Persoalan-persoalan ini tidak bisa dijawab hanya dengan asumsi bahwa dengan seorang dewasa memahami Alkitab secara otomatis dapat berperan dalam mentransformasi keadaan sosial. SAM GKI sesuai dengan namanya dapat dilihat sebagai sekolah Alkitab mini yang memang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu memperlengkapi kaum awam dewasa dalam gereja dengan pemahaman Alkitab sehingga mengajarkan dan menekankan bidang teologi. Inilah model pembelajaran Subject-Oriented Adult Learning. Artinya orang dewasa yang menjadi peserta SAM dibantu untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan saja. Peserta sebenarnya belajar Alkitab (tema-tema PL/PB, pengantar PL/PB. Penafsiran) dan diberi ketrampilan (bagaimana berkhotbah, membuat penelahan Alkitab, pastoral kepada orang sakit). Pada akhirnya peserta dapat melayani dengan baik sebagai majelis dan badan pengurus unsur serta dapat membantu pelayanan di gereja. Di samping itu ada juga peserta ikut program SAM karena melihat sebagai majelis sangat membutuhkan pengetahuan Alkitab yang ditawarkan oleh SAM. Ini model ConsumerOriented Adult Learning hanya berfokus pada penambahan pengetahuan dan hanya kepada apa yang dia butuhkan tidak menjamin terjadinya transformative karena hanya akan membawa orang kepada mempertahankan status qua. Padahal berbicara 75 pemberdayaan tidak boleh hanya satu bidang saja. Tidak boleh diatur oleh orangorang tertentu apapun alasannya. Program SAM lebih teologis. Peserta tidak dilibatkan untuk melihat kebutuhan-kebutuhan yang lain. Secara ekonomi, sosial politik dan lain sebagainya. Yang juga perlu dikritisi saat berdirinya SAM, berkaitan dengan tidak adanya survei mengenai kebutuhan (need assessment) yang dilakukan Sinode dan Badan Pengurus Pusat SAM. Memang benar ada kebutuhan yang diungkapkan secara langsung oleh Bapak Drs. John Heumassy dan (Alm) Bapak Yappy Mustamu SH kepada Badan Pengurus Pusat SAM melalui Pdt Dr. Rayner Scheunemann namun ada juga yang langsung ditentukan dari atas dalam hal ini oleh Badan Pengurus Pusat SAM dan bersifat formatif belaka. Bisa dikatakan juga terjadi indoktrinasi atau propaganda karena pengajar menjadi sumber utama bagi pengetahuan (yang tahu segala-galanya) bagi peserta yang belajar seolah-olah belum memiliki pengetahuan sama sekali. IV. 2. Tujuan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua. Tujuan SAM GKI di Tanah Papua adalah memberikan bekal tentang landasan pemahaman teologis dan kehidupan iman Kristiani yang memadai dan praktis kepada kaum awam, untuk dibentuk menjadi SDM Awam GKI yang “siap pakai” sesuai dengan karunia masing-masing dalam membantu pelaksanaan tugas para pendeta dalam pelayanan di dalam jemaat dan di tengah kehidupan masyarakat. Tujuan SAM GKI bukanlah menciptakan pendeta-pendeta kecil, tetapi menciptakan majelis-majelis dan warga jemaat yang besar, dalam pengertian mampu dalam pemahaman dan melaksanakan pelayanan secara berkualitas dalam jemaat dan di tengah masyarakat. Para lulusan SAM GKI diutus kembali ke dalam jemaat asal 76 masing-masing. Dengan demikian SAM GKI tidak membentuk suatu kelompok khusus ikatan tersendiri, tetapi sebagai lembaga yang hanya melengkapi majelis dan warga jemaat untuk pelayanan di jemaat asal masing-masing warga jemaat. Apa yang menjadi tujuan dari SAM GKI di Tanah Papua dari satu sisi telah tercapai yang disesuaikan dengan tujuan SAM itu sendiri (pemberdayaan dalam bidang pemahaman Alkitab, dimana kaum awam ini dapat membantu para pendeta di gereja, dapat melayani sebagai majelis dan pengurus unsur) namun demikian kurang memadai atau masih terbatas sebab bila berbicara tentang konsep pemberdayaan imamat am orang percaya sangat kompleks begitu juga bila ditinjau dari perspektif andragogi. Kaum awam dewasa seharusnya dituntun untuk memahami apa yang menjadi pergumulannya dimana ada ketidak berdayaan dalam menghadapi persoalanpersoalan dalam masyarakat misalnya kemiskinan, kemabukan, kekerasan dalam rumah tangga, ketidak adilan, dan masih banyak lagi (persoalan nyata yang dialami kaum awam dewasa di Tanah Papua). Kaum awam dewasa dengan profesinya masing-masing dipanggil untuk bertanggungjawab atas panggilan imamat am orang percaya dalam menjawab atau menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Disinilah kekurangan yang terlihat dalam pemberdayaan yang dilakukan SAM GKI di Tanah Papua, yang mana kaum awam dewasa dalam gereja tidak diperlengkapi dan dipersiapkan dalam bidang hidup yang lain. Misalnya bagaimana mengatasi kemiskinan dan kekurangan lapangan kerja yang dialami warga masyarakat yang tidak lain adalah warga gereja dewasa. Orang dewasa dalam gereja tidak hanya diberdayakan dalam bidang teologi saja tetapi harus juga diberdayakan melalui para ahli di bidang ekonomi sehingga mereka dapat memiliki pekerjaan dengan berusaha sendiri. Pelatihan dibidang ini juga perlu agar kaum awan dewasa dalam gereja yang juga adalah warga masyarakat tidak hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. 77 Bilamana dari awal kaum awam dewasa dalam gereja dilibatkan dengan mendengar apa yang menjadi kebutuhan mereka (memang dalam hal SAM berdiri telah mendengar kebutuhan dari kaum awam dewasa yang diwakili oleh Drs John Heumassy dan (Alm) Yappy Mustamu SH namun ini masih terbatas adanya) maka pastilah tujuan pemberdayaan itu akan berbeda dengan tujuan ditentukan oleh Badan Pengurus Pusat SAM. Kelihatan sekali tujuan dari program pendidikan orang dewasa melalui SAM bersifat propaganda dan pengajaran teologis Alkitabiah semata. Pendidikan orang dewasa dalam gereja tidak boleh hanya mengajarkan hal-hal yang religius belaka, namun harus jauh lebih luas dari hal itu. Apabila PAK dewasa dalam jemaat (maksudnya program SAM) dipandang dalam arti sempit, maka ia akan gagal sebagai kekuatan utama demi kebaikan. Ia akan tetap merupakan usaha dan kekuatan marginal saja. Padahal diharapkan lulusan SAM dapat berperan di mana saja dan kapan saja. Bukankah orang dewasa dalam pembelajaran memiliki karakteristik tersendiri, meskipun ada misi agama di dalamnya. Hal ini harus dipahami oleh siapa saja yang hendak memulai program pembelajaran. Libatkan orang dewasa untuk bersama-sama berdiskusi tentang kebutuhan dan tujuan yang harus dicapai. Oleh karena orang dewasa mempunyai konsep diri dan pengalaman serta bila dilibatkan akan siap untuk belajar apa yang telah diputuskan karena orientasinya pada hal yang dipelajari bersama. Jadi ketika orang dewasa berpartisipasi dalam pembelajarannya, ia telah melakukan model Emancipatory Adult Learning. Hal itu berarti perspektif orang dewasa dirubah, adanya kesadaran baru sehingga terjadi trasformasi baik untuk diri sendiri maupun untuk transformasi sosial. Praksis Orang dewasa dinyatakan. Hal inilah yang dibutuhkan dalam konteks kompleksitas persoalan gereja yang hadir di 78 Tanah Papua sehingga orang dewasa dalam gereja yang tidak lain warga masyarakat dapat menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Pemerintah tidak bisa menyelesaikan semua persoalan yang ada di Tanah Papua. IV. 3. Kurikulum SAM GKI di Tanah Papua. Pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam melalui SAM GKI menggunakan kurikulum dan bahan-bahan pelajaran yang telah disiapkan oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI di Jayapura. Apa yang menjadi pokok atau tema-tema dalam pembelajaran disusun oleh Pdt Dr. Rayner Scheunemann yang menangani bidang pengajaran . Bilamana melihat kurikulum SAM, ada penekanan dari sisi teologis dan tidak pada sisi-sisi kehidupan yang lain. Bidang pengajaran SAM GKI berpikir karena perlu pemahaman Alkitab maka kurikulum disusun berdasarkan hal itu. Padahal seorang dewasa dalam gereja tidak hanya memiliki persoalan dan membutuhkan diberdayakan dalam bidang teologi saja tetapi juga dia perlu diberdayakan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain sebagaimana ketidak berdayaannya dalam masalah hukum, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Perlu sekali Badan Pengurus Pusat SAM GKI mengadakan survei terhadap apa yang menjadi kebutuhan orang dewasa dan juga melibatkan mereka di dalam membahas bahan dan menyusun kurikulum yang akan dipakai dalam pembelajaran di SAM. Dengan demikian kurikulum yang dibuat ini akan membawa orang dewasa dalam gereja mengalami pemberdayaan dalam hidupnya. Adanya transformasi diri dan transformasi sosial baik di dalam gereja maupun di dalam masyarakat melalui profesinya. Mereka ini hadir di garis terdepan di semua lini kehidupan yang akan menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. 79 Kurikulum SAM memperlihatkan bahwa ada pemahaman yang keliru tentang orang dewasa. Orang dewasa yang belajar, dianggap belum tahu hal-hal berkaitan kebutuhannya. Jadi peserta harus diberikan pengajaran sekalipun mereka belum menyadari pada awalnya namun pada akhirnya peserta sadar bahwa hal itu begitu penting. Tidak adanya survei akan kebutuhan peserta didik berakibat banyak kesalahan dibuat oleh lembaga yang menyelenggarakan pendidikan orang dewasa salah satunya adalah SAM GKI di Papua. Ini menjadi indikasi adanya kelemahan dalam terkait pemahaman prinsip andragogi dan model pembelajaran transformatif. Lewat kurikulum SAM GKI, jelas peserta hanya diberdayakan dalam satu bidang kehidupan yaitu teologi yang di pelajari dan belum atau tidak ada pengajaran dalam bidang kehidupan yang lain. Padahal berbicara pemberdayaan haruslah meliputi semua aspek kehidupan yang dialami seorang dewasa. Bila Peserta yang adalah seorang dewasa dalam gereja tidak partisiatif atau tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum maka pasti tidak dapat menjawab persoalan-persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosial yang dialami peserta dan menjadi pergumulan dalam hidupnya. Apa yang harus peserta dewasa lakukan untuk mempertahankan hidup di saat tidak berdaya menghadapi kerasnya persaingan dalam ekonomi. Tidak boleh ada utopia abstrak yang hanya membuat orang-orang percaya ini menjadi rusak kehidupannya. Dengan berpikir meskipun miskin tidak apa-apa yang penting masuk surga karena setia melayani. Bagaimana orang dewasa atau kaum awam gereja dapat menjalani panggilan imamat am orang percaya dalam kehidupan kerja di mana mereka ditempatkan. Kurikulum tanpa partisipasi orang dewasa berakibat tidak terjadi transformasi dalam diri seorang dewasa. Kurikulum SAM belum menyentuh semua aspek kehidupan seorang dewasa sehingga ia belum dapat mengadakan refleksi diri 80 yang kritis yang menghasilkan perspektif yang baru dalam menghadapi realita kehidupan GKI di Tanah Papua. dengan persoalan-persoalan sosial yang kompleks. IV. 4. Pengajar dan Metode Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Papua Tenaga pengajar atau pendidik yang dilibatkan dalam pembelajaran SAM GKI di Tanah Papua, mempunyai latar belakang teologi, baik itu pendeta maupun para dosen STT “Izaak Samuel Kijne”. Pdt Dr. Rainer Scheunemann bersama Badan Pengurus Pusat SAM yang berperan dalam menentukan keterlibatan para pengajar yang disesuaikan dengan kurikulum. Orang dewasa yang menjadi peserta SAM tidak dilibatkan dalam proses penentuan tenaga pengajar. Badan Pengurus Pusat SAM tidak mengajak orang dewasa untuk ambil bagian dan berpartisipasi dalam membicarakan soal tenaga pengajar dan juga metode yang dipakai. Secara prinsipil hal ini tidak sesuai dengan andragogi. Orang dewasa lebih senang dalam belajar berbagi pengalaman satu terhadap yang lain. Pengajar dalam kelas orang dewasa harus menjadi seorang fasilitator dalam pengajaran yang partisipatif bukan seorang nara sumber yang merasa diri tahu segalanya. Keterlibatan orang dewasa dalam pembelajaran seperti inilah yang mendorong peserta akan prokreatif. Hal penting lainnya SAM GKI di Papua kurang melibatkan pengajar yang ahli di bidang ekonomi, ahli di bidang psikolagi, ahli di bidang kesehatan, ahli di bidang hukum dan ahli-ahli dalam bidang yang lain. Sebenarnya orang dewasa membutuhkan pengajar yang bisa menjadi fasilitator dalam memberdayakan hidupnya. Bukan hanya seorang ahli teologi yang maha tahu dan hanya mengajar dan mengindoktrinasi peserta. Sebab terlalu banyak masalah orang dewasa yang harus dijawab dan diselesaikan sehingga dalam keterlibatan bersama dengan model partisipatif akan hadir pengajar-pengajar yang bertindak sebagai fasilitator. 81 Metode yang dipakai dalam proses pembelajaran di SAM di serahkan semua kepada pengajar dan tidak melibatkan peserta dewasa yang self-directed. Rainer Scheunemann mengatakan hal itu berkaitan dengan Pdt Dr. pengajar yang ada dan materi yang diberikan serta karakter dari peserta. Maksudnya di SAM seorang pengajar yang dilibatkan adalah yang sungguh-sungguh dan yang dapat mengajar. Ini yang penting dimana mempunyai pengajar yang tepat dulu baru metode akan diterapkan dengan baik. Pengajar diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri dengan materi atau bahan yang ada. Dalam kelas metode yang dipakai dalam proses pembelajaran menurut peserta yang diwawancarai100 berjalan dalam dua arah dimana dalam sesi pertama pengajar menjelaskan bagian-bagian yang belum dipahami dan sesi kedua ada Tanya jawab dan diskusi. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi untuk memecahkan masalah atau pertanyaan yang ada. Namun demikian hal ini tidak sesuai dengan bagaimana menolong orang dewasa belajar atau andragogi. Seharusnya dari awal partisipatif orang dewasa nyata dalam proses perencanaan sehinga mendapati metode yang partisipatif juga. Semua ideologi yang mendominasi hidup orang dewasa dengan sendirinya dapat diatasi dengan refleksi diri kritis yang menghasilkan perspektif baru. IV. 5. Evaluasi dalam Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua Badan pengurus pusat SAM GKI di Tanah Papua mengadakan evaluasi yang dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran dengan memberikan angket untuk dijawab oleh peserta sebagai bahan evaluasi. Bahan evaluasi dan intrumen pertanyaan disusun oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI, tanpa melibatkan peserta SAM. Hal 100 Wawancara Ibu Pnt Griapon, Pnt Awak, Pnt Matias Mansumbauw, Pnt Rume, Pnt Mapipi, Bpk/IbuTandi, Sdr Debora, bulan Okt – Nov 2014 82 ini tidak sesuai dengan prinsip andragogi. Dalam perspektif andragogi, orang dewasa seharusnya diikutkan bukan saja untuk mengevaluasi program pendidikan, tetapi juga dalam menyusun serta merencanakan evaluasi program. Itu berarti instrumen pertanyaan dalam evaluasi dibicarakan dan didiskusikan. IV. 6. Refleksi Teologis Rupanya apa yang terjadi dalam GKI di Tanah Papua sebagai gereja dengan jumlah warga jemaat terbesar, diperhadapkan pada minimnya kontribusi kaum awam dewasa dalam kompleksitas persoalan-persoalan yang ada di Tanah Papua. Tidak ada jalan lain disinilah kaum awam dewasa dalam gereja harus diberdayakan. Tidak bisa hanya berharap kepada Pemerintah dalam menyelaikan hal di atas. Apa yang terjadi dalam GKI di Tanah Papua mengarah kepada dua hal yaitu : pertama, adanya suatu kecenderungan dari gereja untuk mengikuti model organisasi sekuler, dimana para pendeta menjadi pemain tunggal (one man show) dan anggota jemaat yang nota bene kaum awam dengan segala potensi serta karunia yang diberikan Tuhan kepadanya hanya menjadi penonton. Model ini tidak sesuai dengan teologi imamat am orang percaya. Kedua, apa yang terjadi dalam GKI Papua, juga mengarah kepada pemahaman abad ketujuh belas memperlihatkan definisi dari orthodoksi Protestan tentang perbedaan yang semakin meningkat antara kaum awam dan kaum rohaniwan. Adanya keunggulan dari pendeta dibandingkan kaum awam. Padahal dalam tradisi Calvinis ajaran tentang imamat universal dalam I Petrus 2 : 9, begitu mendapat penekanan dimana setiap orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus, mempunyai panggilan untuk melayani Allah dengan hati dan melakukan pekerjaan di bidang atau profesi dimana Allah menempatkan mereka. Ada martabat yang tinggi dan tanggung jawab yang penting kepada setiap orang percaya dalam memenuhi panggilan Tuhan, 83 dalam relasi dan keteraturan pelayanan bersama kaum rohaniwan. Ada kerjasama yang baik karena sama-sama teman sekerja di hadapan Allah. Para rohaniwan atau para pendeta GKI, tidak bisa bertahan dengan konsep dan pemahaman mereka yang tidak peduli terhadap kaum awam dewasa dalam gereja. Para pendeta merasa lebih penting dari kaum awam, sehingga tidak memberikan pengajaran dan pembinaan untuk memberdayakan kaum awam. Para pendeta harus kembali untuk membantu kaum awam sehingga mereka bisa diperlengkapi dan pada akhirnya dapat terlibat aktif dalam pelayanan guna menyelesaikan persoalanpersoalan dalam internal gereja dan dapat mentaati kehendak Tuhan dalam menjawab persoalan-persoalan eksternal gereja yang ada di Tanah Papua. Para pendeta perlu juga membuka diri untuk melibatkan para ahli di bidang hukum, ekonomi Lihat juga dalam sistem pemerintahan gereja yang bersifat Presbiterial Sinodal, dan Tata Gereja GKI, pasal 12 yang intinya mengamanatkan pelayanan kepada seluruh warga jemaat atau kaum awam dalam gereja. Semua tanggung jawab pelayanan baik dari kaum rohaniwan maupun kaum awam dilaksanakan secara bersama-sama dalam keteraturan dan keharmonisan, serta dipandu oleh kebenaran Firman Tuhan. Sikap ketebukaan itu juga harus dinampakkan dengan kesediaan untuk mengembangkan diri dengan kesedian belajar agar memiliki pemahaman andragogi yang memadai dalam menunjang pelayanan dalam GKI di Tanah Papua. 84