layout_buku_hijau_revisi-dy 10.FH10

advertisement
PENERAPAN
TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional
Tata Kepemerintahan yang Baik - BAPPENAS
Judul
: Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik
Edisi Revisi
Cetakan Ketiga
Jakarta, Maret 2007
Penerbit
: Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional
Tata Kepemerintahan yang Baik
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Gedung TS2 (Asmen) Lt. 1 Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat
Telp. (021) 390-5650 ext. 298
Fax. (021) 314-8551
Website : http://www.goodgovernance-bappenas.go.id
Email
: [email protected]
[email protected]
ISBN
01
: 978-979-15819-1-2
Kata Pengantar
Agenda reformasi telah mendorong munculnya tuntutan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik sebagai salah satu jawaban terhadap persoalan krisis multi dimensi saat ini.
Penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip tata kepemerintahan
yang baik (good public governance) merupakan landasan bagi penyusunan dan penerapan
kebijakan negara yang demokratis.
Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu
masyarakat madani. Tata kepemerintahan yang baik terkait erat dengan kontribusi,
pemberdayaan, dan keseimbangan peran antara tiga pilarnya (pemerintah, dunia usaha
swasta, dan masyarakat). Tata kepemerintahan yang baik juga mensyaratkan adanya
kompetensi birokrasi sebagai pelaksana kebijakan politik/publik atau sebagai perangkat
otoritas atas peran-peran negara dalam menjalankan amanat yang diembannya. Walaupun
demikian, penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada kenyataannya
sering mengalami kendala yang pada umumnya disebabkan kurangnya pemahaman,
kesadaran, dan kapasitas ketiga pilar tersebut.
Buku Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik ini merupakan hasil revisi dari buku yang
telah dicetak sebelumnya, yaitu pada tahun 2005. Secara singkat buku ini memaparkan
penelusuran mengenai pengertian dan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik serta
langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di
Indonesia. Di samping itu, buku ini juga memuat ulasan singkat para penulis dari berbagai
institusi dan unit kerja di Bappenas tentang permasalahan tertentu sebagai bagian dari tata
kepemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Tim Pengembangan Kebijakan
Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik menyampaikan ucapan terima kasih sebesarbesarnya kepada Drs. Anwar Suprijadi, M.Sc. (Kepala LAN), Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ.
(Ketua Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia), dan Prof. Dr. Sedarmayanti,
M.Pd., APU. (LAN) serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas
segala masukan dan review terhadap buku ini.
Sebagai penutup, perlu kita pahami bahwa upaya membangun tata kepemerintahan yang
baik pada hakekatnya merupakan upaya membangun system nilai sehingga memerlukan
waktu yang relatif lama, kecuali jika pemimpin dan stakeholders lainnya memiliki komitmen
yang kuat dan nyata untuk menerapkannya.Diharapkan buku ini dapat membantu aparatur
pemerintahan khususnya dan pelaku dunia usaha swasta serta masyarakat pada umumnya,
dalam memahami pengertian, nilai-nilai, dan penerapan tata kepemerintahan yang baik.
Jakarta, Maret 2007
Edisi Revisi
Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
i
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
1. TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK:
MENGAPA PERLU DITERAPKAN?
1.1
1.2
1.3
1.4
Permasalahan
Apa yang Terjadi Apabila Tata
Kepemerintahan yang Baik Diterapkan?
Menelusuri Jejak Kepemerintahan
Istilah Government, Governance,
dan Good Governance
(Tata Kepemerintahan yang Baik)
2. PILAR DAN PRINSIP TATA
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
3. PENERAPAN TATA KEPEMERINTAHAN
YANG BAIK DI LINGKUNGAN
INSTANSI PEMERINTAH
3.1 Best Practices
3.2 Strategi
Lampiran
01
01
02
05
06
06
12
15
15
31
1. TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK:
MENGAPA PERLU DITERAPKAN?
Dalam era globalisasi yang terutama dicirikan dengan ketatnya persaingan, tuntutan tata
kepemerintahan yang baik (good governance) dalam seluruh kegiatan pemerintah dan
pembangunan tidak dapat dielakkan lagi. Namun demikian, penerapan tata kepemerintahan
yang baik tidak semata-mata karena adanya proses globalisasi tersebut. Ada tidak adanya
globalisasi, tata kepemerintahan yang baik tetap diperlukan, bahkan sejak suatu organisasi
pemerintahan atau negara dibentuk. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata
kepemerintahan yang baik untuk sektor publik (good public governance) dan tata
kelola/kepemerintahan yang baik untuk dunia usaha swasta (good corporate governance).
Buku ini hanya difokuskan kepada tata kepemerintahan yang baik untuk sektor publik saja.
1.1 Permasalahan
Terjadinya krisis multi dimensi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tata cara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul
berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), lemahnya penegakan hukum,
monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta buruknya kualitas pelayanan publik. Masalahmasalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi sehingga jumlah
pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan
menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflik di berbagai daerah yang dapat
mengancam persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
01
Bersamaan dengan digulirkannya kebijakan tentang desentralisasi dan otonomi daerah,
kecenderungan KKN telah terjadi pula di daerah-daerah. Jika hal ini kurang mendapat
perhatian serius akan berdampak negatif terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Tingginya
perilaku menyimpang di lingkungan aparatur pemerintah, baik di pusat maupun di daerah
antara lain terjadi akibat lemahnya penerapan fungsi manajemen secara konsisten dan
bertanggungjawab, rendahnya disiplin dan kinerja sumber daya manusia aparatur, lemahnya
fungsi pengawasan terhadap kinerja aparatur pemerintah, sistem karier berdasarkan prestasi
kerja belum sepenuhnya diterapkan, gaji yang belum memadai untuk hidup layak, dan
lemahnya sistem pertanggungjawaban publik yang kemudian berakibat pada rendahnya
kualitas pembangunan. Permasalahan tersebut saling terkait dan mempengaruhi satu sama
lain.
Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan, tata kepemerintahan
yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara
pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Di dalam konsep tersebut tidak boleh ada
satu aktor yang dominan, tetapi ketiganya harus dalam keseimbangan. Dalam konsep tata
kepemerintahan yang baik, diterimanya segala sesuatu yang terkait dengan proses
pembangunan bukan karena kekuasaan dominan yang dimiliki salah satu aktor/pilar, melainkan
karena keterlibatan aktor-aktor tersebut secara aktif dan sinergis.
1.2 Apa yang Terjadi Apabila Tata Kepemerintahan yang Baik Diterapkan?
Apabila ketiga pilar seperti tampak dalam Gambar 1 dan 2 menerapkan prinsip-prinsip tata
kepemerintahan yang baik, maka akan terjadi proses yang sinergis dan konstruktif antar
ketiganya sehingga secara umum sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dengan demikian, sesungguhnya penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik
untuk sektor publik harus melibatkan ketiga pilar tersebut. Namun demikian, penggerak
utama seharusnya dimulai dari lingkungan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Beberapa gambaran situasi dan kondisi yang terjadi bilamana tata kepemerintahan yang
baik diterapkan antara lain sebagai berikut:
1. Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi yang antara lain ditunjukkan adanya
Beberapa hal berikut:
· Tidak adanya manipulasi pajak;
· Tidak adanya pungutan liar;
· Tidak adanya manipulasi tanah;
· Tidak adanya manipulasi kredit;
· Tidak adanya penggelapan uang negara;
· Tidak adanya pemalsuan dokumen;
· Tidak adanya pembayaran fiktif;
· Berjalannya proses pelelangan (tender) dengan fair;
· Tidak adanya penggelembungan nilai kontrak (mark-up);
· Tidak adanya uang komisi;
· Tidak adanya penundaan pembayaran kepada rekanan;
· Tidak adanya kelebihan pembayaran;
· Tidak adanya defisit biaya;
· Adanya kepastian hukum
02
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien,
efektif, transparan, profesional dan akuntabel, antara lain ditunjukkan dengan adanya
beberapa hal berikut:
• Lebih efektif, ramping, dan fleksibelnya sistem kelembagaan/organisasi;
• Lebih baiknya kualitas tata laksana dan hubungan kerja antarlembaga di pusat dan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
• Lebih efektif dan efisiennya sistem administrasi pendukung dan kearsipan;
• Dapat dilakukannya upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemeliharaan dokumen/arsip
negara
• Semakin baiknya hasil kerja organisasi/institusi dan prestasi pegawai.
3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat. Beberapa kondisi yang
menunjukkan hal tersebut diantaranya:
• Meningkatnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha swasta;
• Lebih baiknya kualitas sumber daya manusia, prasarana, dan fasilitas pelayanan;
• Berkurangnya hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik;
• Lebih baku dan jelasnya prosedur dan mekanisme serta biaya yang diperlukan dalam
pelayanan publik;
• Diterapkannya sistem merit dalam pelayanan;
• Adanya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik;
• Lebih intensifnya penanganan pengaduan masyarakat.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik yang ditunjukkan
dengan berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan masyarakat
dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik (seperti forum konsultasi publik)
5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, hukum menjadi landasan bertindak
bagi aparatur pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik prima.
Di samping itu, kalangan dunia usaha swasta akan merasa lebih aman dan terjamin ketika
menanamkan modal dan menjalankan usahanya karena ada aturan main (rule of the
game) yang tegas, jelas, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Aspek positif lainnya
adalah tidak akan ada kebingungan di kalangan pemerintah daerah dalam melaksanakan
tugasnya serta berkurangnya konflik antarpemerintah daerah serta antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.
03
1.3 Menelusuri Jejak Kepemerintahan
Dalam sebuah negara, selain komponen fisik tentang batasan wilayah dan pengakuan
kedaulatan, terdapat dua komponen lain yang menjadi prasyarat suatu negara. Kedua
komponen tersebut adalah “rakyat” dan “pemerintah”. Pemerintah dalam arti paling dasar
diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki mandat yang absah dari rakyat
untuk menjalankan wewenangnya dalam urusan pemerintahan. Di sini terdapat hubungan
“kontrak sosial” antara rakyat sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana
mandat.
Kata “pemerintah” dan “pemerintahan”, berasal dari suku kata “perintah” yang berarti sesuatu
yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang terkandung dalam makna “perintah” adalah
sebagai berikut:
1. Adanya “keharusan”, yaitu sesuatu yang menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan
apa yang diperintahkan; 1
2. Adanya dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
3. Adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
4. Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
1
Bayu Suryaningrat, Mengenal Ilmu Pemerintahan, hal. 9, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
04
Untuk kata “pemerintah” dan “pemerintahan” dalam bahasa Inggris dipergunakan kata
“government” yang berasal dari kata “to govern” yang artinya perintah atau memerintahkan.
Istilah “to govern” berbeda dengan “to command” atau “to order” meskipun memiliki arti dasar
“perintah”. “Memerintah” diartikan menguasai atau mengurus negara atau daerah sebagai
bagian dari negara. Dengan demikian, kata “pemerintah” berarti kekuasaan untuk memerintah
suatu negara. “Pemerintah” menunjuk kepada kesatuan aparatur atau badan (lembaga) dan
ditafsirkan pula sebagai “pengelola atau pengurus”. Sedangkan “pemerintahan” menunjuk
kepada perbuatan atau cara atau urusan memerintah, misalnya
pemerintahan yang adil, pemerintahan demokratis, pemerintahan diktator, dan sebagainya.
Dari segi kuantitas, jumlah rakyat akan jauh lebih banyak daripada pemerintah, sehingga
diperlukan tata cara untuk membentuk pemerintah yang dianggap cocok pada suatu negara.
Kedua komponen itu, rakyat dan pemerintah, masing-masing memperluas komponennya.
Komponen rakyat dengan berbagai latar belakang memperluas dirinya dalam karakteristik
paham, ideologi, agama, pekerjaan, profesi, geografi tempat tinggal, dan sebagainya. Begitu
juga dengan komponen pemerintah yang memperluas peran dan fungsinya ke berbagai
kelembagaan, seperti kelembagaan konstitutif, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta berbagai
pelebaran kelembagaan lainnya. Perluasan peran dan fungsi dari komponen itu menjadi cikal
bakal komponen dasar tata kepemerintahan yang baik.
1.4 Istilah Government, Governance, dan Good Public Governance
(Tata Kepemerintahan yang Baik untuk Sektor Publik)
Secara umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu lembaga
beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara dan menjalankan
kehendak rakyat. Kecenderungannya lebih tertuju kepada lembaga eksekutif/kepresidenan
(executive heavy). Proses pemahaman umum mengenai good public governance atau tata
kepemerintahan yang baik mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan semakin
bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi antara Pemerintah Indonesia dan negara
luar beserta lembaga-lembaga bantuan yang menyoroti kondisi objektif perkembangan
ekonomi dan sosial politik Indonesia.
Berbeda dengan istilah “government”, istilah governance lebih komplek karena menyangkut
beberapa persyaratan yang terkandung dalam terminologinya (istilahnya). Ada tiga komponen
yang terlibat dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat
(lihat Gambar 1 dan 2). Hubungan ketiganya harus dalam posisi seimbang dan saling kontrol
(checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau “eksploitasi” oleh satu komponen
terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi daripada yang lain, yang
terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya
Seperti telah dikemukakan bahwa governance terdiri atas tiga pilar (komponen) yaitu public
governance yang merujuk pada lembaga pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif),
corporate governance yang merujuk pada dunia usaha swasta, dan civil society (masyarakat
madani). Untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, upaya pembaruan pada salah
satu pilar mesti dibarengi dengan pembaharuan pada pilar-pilar yang lain.
05
2. PILAR DAN PRINSIP TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila
terjadi keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.
Ketiganya mempunyai peran masing-masing. Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif
bagi unsur-unsur lain dalam governance. Dunia usaha swasta berperan dalam penciptaan
lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial,
ekonomi dan politik. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus
sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan
yang baik.
Tata kepemerintahan yang baik tidak mudah untuk didefinisikan secara baku dan seragam
sebab istilah ini memiliki banyak makna yang bervariasi dan substansi bahasannya cukup
luas. Namun demikian, keberagaman makna tersebut pada hakekatnya memiliki kesatuan
tujuan yang utuh, yakni pencapaian kondisi pemerintahan yang terselenggara secara seimbang
dengan kerja sama individu dan lembaga, serta antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan
pihak masyarakat. Hal ini berarti masing-masing pilar harus saling tahu apa yang dilakukan
oleh pilar lainnya. Adanya ruang dialog dapat membantu proses saling memahami perbedaanperbedaan di antara mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus
dan sinergi di dalam masyarakat.
Dari telusuran keberagaman wacana tata kepemerintahan yang baik, terdapat sekumpulan
nilai yang perlu diterapkan di Indonesia. Sebagian dari nilai tersebut sebenarnya telah tumbuh
dan berkembang dalam akar budaya masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, nilai-nilai
tersebut sangat relevan untuk kembali diterapkan dalam kehidupan kita, hanya saja istilah
dan kemasannya yang berbeda. Sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai yang menjadi
prinsip tata kepemerintahan yang baik, yaitu:
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Wawasan ke Depan (Visionary);
Keterbukaan dan Transparansi (Openness and Transparency);
Partisipasi Masyarakat (Participation);
Tanggung Gugat (Accountability);
Supremasi Hukum (Rule of Law);
Demokrasi (Democracy);
Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and Competency);
DayaTanggap (Responsiveness);
Efisiensi dan Efektivitas(Efficiency and Effectiveness);
Desentralisasi (Decentralization);
Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector and Civil Society
Partnership);
· Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to Reduce Inequality);
· Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment to Environmental Protection);
· Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market).
Keempat belas nilai yang menjadi prinsip-prinsip tersebut apabila diterapkan seluruhnya
dalam pelaksanaan tata kepemerintahan, dipercaya akan membawa keberhasilan yang
optimal. Apabila salah satu dari prinsip-prinsip tersebut tidak dipenuhi, hasil yang dicapai
tidak akan sempurna, sebagaimana yang dijelaskan dalam Diagram 1 berikut.
06
Diagram 1. Empat Belas Prinsip Tata Kepemerintahan yang Baik untuk Sektor Publik
Keempat belas prinsip tata kepemerintahan yang baik tersebut dapat dijelaskan secara
ilustrasi deskriptif sebagai berikut:
1. Wawasan ke Depan (Visionary)
Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai
bidang seharusnya didasarkan visi dan misi yang jelas disertai strategi pelaksanaan yang
tepat sasaran. Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan daerah perlu memiliki rencana
strategis sesuai dengan bidang tugas masing-masing sebagai pegangan dan arah pemerintahan
di masa mendatang. Rencana Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Daerah,
Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah merupakan wujud prinsip wawasan ke depan. Tidak adanya visi akan menyebabkan
pelaksanaan pemerintahan berjalan tanpa arah yang jelas.
2. Keterbukaan dan Transparansi (Openness and Transparency)
Keterbukaan merujuk pada ketersediaan informasi dan kejelasan bagi masyarakat umum
untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan, serta hasil yang telah dicapai melalui
sebuah kebijakan publik. Semua urusan tata kepemerintahan berupa kebijakan-kebijakan
publik, baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah
harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat
diakses oleh publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut
beserta hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Dalam hal ini, aparatur
pemerintahan harus bersedia secara terbuka dan jujur memberikan informasi yang dibutuhkan
publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung dengan
eksekutif dan legislatif, wadah komunikasi dan informasi lintas pelaku baik
07
melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh wujud nyata prinsip keterbukaan
dan transparansi. Tidak adanya keterbukaan dan transparansi dalam urusan pemerintahan
akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat.
3. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Partisipasi masyarakat merujuk pada keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi masyarakat
mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut
cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang
disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi,
dan sebagainya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat tersalurkan di dalam
penyusunan kebijakan sehingga dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi dan
kepentingan masyarakat, serta mendapat dukungan masyarakat luas. Kehadiran dan
keikutsertaan warga masyarakat dalam forum pertemuan publik, serta keaktifan mereka
dalam menyumbangkan pikiran dan saran menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga
menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat. Meskipun demikian, harus diakui
bahwa tidaklah mudah mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam suatu forum
sekaligus. Salah satu alternatif pemecahannya adalah memberi akses kepada seluruh
masyarakat serta wakil dari berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi menyuarakan
kepentingan kelompok yang diwakilinya dan mengajukan usul serta pikiran dalam forumforum pertemuan publik, misalnya pada musyawarah pembangunan tingkat desa atau
konsultasi regional pembangunan. Kurangnya partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
akan menyebabkan kebijakan publik yang diputuskan tidak mampu mengakomodasi berbagai
aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam pencapaian
tujuan kebijakan tersebut.
4. Tanggung Gugat (Accountability)
Akuntabilitas publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar
tingkat kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi publik yang bersangkutan. Pada
dasarnya, setiap pengambilan kebijakan publik akan memiliki dampak tertentu pada sekelompok
orang atau seluruh masyarakat, baik dampak yang menguntungkan atau merugikan, maupun
langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, penyusun kebijakan publik harus dapat
mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambilnya kepada publik. Penerapan
prinsip akuntabilitas atau tanggung jawab/tanggung gugat dalam penyelenggaraan
pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan
(program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), serta pelaksanaan,
pemantauan, dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat
memberikan hasil atau dampak optimal sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan
(outcome accountability). Para penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas
dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan
aparat bawahan yang ada di dalam instansi pemerintahan itu sendiri (downwards accountability),
dan kepada atasan mereka (upwards accountability). Berdasarkan substansinya,
prinsip akuntabilitas mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistem dan
prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability),
akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability),
08
akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik tertentu (professional
accountability), dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila semua yang disebut
terdahulu dapat terpenuhi, kepercayaan rakyat kepada aparat dan keandalan lembaga
pemerintahan yang ada akan tumbuh. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak menerapkan
akuntabilitas akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dengan penerapan prinsip
akuntabilitas tersebut, diharapkan pertanggungjawaban penyelenggaraan
pemerintah/institusi/unit kerja tidak lagi sekedar laporan kesan-kesan dan pesan-pesan,
tetapi menjadi laporan pertanggungjawaban kinerja selama yang bersangkutan menjabat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Anggaran Berbasis Kinerja.
5. Supremasi Hukum (Rule of Law)
Dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi
pelanggaran hukum, seperti yang paling populer saat ini yaitu terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan dalam bentuk KKN, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini,
siapa saja yang melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wujud nyata prinsip ini mencakup
upaya pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan
pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta
pengembangan budaya hukum. Tidak diterapkannya prinsip supremasi hukum akan
menimbulkan ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6. Demokrasi (Democracy)
Perumusan kebijakan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui
mekanisme demokrasi. Dalam demokrasi, rakyat dapat secara aktif menyuarakan aspirasinya.
Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, dan
keputusan kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus. Kebijakan publik
yang diambil sebaiknya benar-benar merupakan hasil keputusan bersama. Apabila prinsip
demokrasi tidak diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan, rakyat akan mempunyai
rasa memiliki yang rendah atas berbagai kebijakan publik yang dihasilkan.
7. Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and competency)
Dalam pengelolaan pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparatur pemerintahan
yang memiliki kualifikasi dan kemampuan tertentu. Oleh karenanya dibutuhkan upaya untuk
menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan
pekerjaan dan kualifikasi atau kemampuan. Tingkat kemampuan dan profesionalisme aparatur
pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali. Berdasarkan penilaian tersebut, dilakukan
peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab
melalui pendidikan, pelatihan, lokakarya, dan sebagainya. Wujud nyata dari prinsip
profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari dilakukannya upaya penilaian kebutuhan
dan evaluasi terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang
ada, serta upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tanpa
diterapkannya prinsip profesionalisme dan kompetensi akan menyebabkan pemborosan
dalam penyelengaraan pemerintahan.
09
8. Daya Tanggap (Responsiveness)
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu menghadapi
berbagai masalah dan krisis sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi. Dalam situasi
seperti ini, aparatur pemerintahan tidak sepantasnya memiliki sikap “masa bodoh”, tetapi
harus cepat tanggap dengan mengambil prakarsa untuk menyelesaikan masalah-masalah
tersebut. Aparat juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat sekaligus menindaklanjutinya
dalam bentuk peraturan/kebijakan, kegiatan, proyek atau program. Wujud nyata dari prinsip
daya tanggap dalam tata kepemerintahan antara lain adalah penyediaan pusat pelayanan
pengaduan/keluhan masyarakat, pusat pelayanan masyarakat dalam hal-hal yang bersifat
kritis dan gawat (crisis center), kotak saran, surat pembaca dan tanggapannya, website,
serta berbagai bentuk tanggapan pihak eksekutif dan legislatif dalam forum-forum pertemuan
publik. Tanpa diterapkannya prinsip daya tanggap, penyelenggaraan pemerintahan akan
berjalan lamban.
9. Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency and Effectiveness)
Agar dapat meningkatkan kinerjanya, tata kepemerintahan membutuhkan dukungan struktur
yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu
harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perubahan struktural sesuai
dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara
keseluruhan serta menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat. Di samping itu,
Pemerin tahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan
memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien. Dalam hal ini,
harus ada upaya untuk selalu menilai tingkat keefektifan dan efisiensi pemanfaatan sumber
daya yang tersedia. Tidak diterapkannya prinsip keefisienan dan keefektifan akan menyebabkan
pemborosan keuangan dan sumber daya negara lainnya.
10. Desentralisasi (Decentralization)
Wujud nyata dari prinsip desentralisasi dalam tata kepemerintahan adalah pendelegasian
urusan pemerintahan disertai sumber daya pendukung kepada lembaga dan aparat yang
ada di bawahnya untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Penerapan prinsip desentralisasi akan dapat mengurangi beban dan penggunaan sumber
daya pada lembaga dan aparat di tingkat yang lebih atas, serta dapat mendayagunakan
sumber daya lembaga dan aparat pada tataran yang lebih bawah sekaligus dapat mempercepat
proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, sumber daya yang ada dapat digunakan
secara proporsional. Sebaliknya tanpa diterapkannya prinsip desentralisasi akan menyebabkan
tidak adanya proporsionalitas dalam penggunaan sumber daya penyelenggaraan pemerintahan.
10
11. Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat
(Private Sector and Civil Society Partnership)
Untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik dan pembangunan masyarakat madani,
serta khususnya dalam rangka otonomi daerah, peranan swasta dan masyarakat sangatlah
penting. Karena itu, masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan
kerjasama atau kemitraan antara pemerintah dengan dunia usaha swasta, pemerintah dengan
masyarakat, dan antara dunia usaha swasta dengan masyarakat. Kemitraan harus didasarkan
pada kebutuhan yang riil (demand driven). Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena
mengalami hambatan birokratis (red tape) seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk izin
dan kemudahan-kemudahan lainnya. Hambatan birokratis seperti ini harus segera diakhiri
antara lain dengan pembentukan pelayanan satu atap, pelayanan terpadu, dan sebagainya.
Dengan demikian, salah satu wujud nyata prinsip kemitraan dengan swasta dan masyarakat
adalah pembentukan kemitraan dan perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan
sektor swasta. Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat akan
meningkatkan sinergi dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya,
tanpa penerapan prinsip kemitraan tersebut, penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan
rapuh.
12. Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to Reduce Inequality)
Kesenjangan ekonomi yang juga menunjukkan adanya kesenjangan tingkat kesejahteraan,
merupakan isu dan permasalahan penting saat ini. Kesenjangan ekonomi baik yang meliputi
kesenjangan antara pusat dan daerah, antar daerah, maupun antar golongan pendapatan
merupakan salah satu penyebab lambatnya proses pemulihan ekonomi dewasa ini.
Kesenjangan lain adalah kesenjangan “perlakuan” antara laki-laki dan perempuan, dimana
perempuan sering mendapatkan perlakuan yang berbeda/diskriminatif dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal penting untuk diperhatikan adalah kesenjangan dapat memicu konflik
dalam masyarakat yang pada akhirnya dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Upaya
yang dilakukan untuk mengurangi berbagai kesenjangan tersebut merupakan wujud nyata
prinsip komitmen pada pengurangan kesenjangan. Tanpa adanya komitmen untuk mengurangi
kesenjangan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan menyebabkan berbagai ketimpangan.
Komitmen tersebut tentu dalam arti tidak sebatas wacana atau lisan, tetapi benar-benar
dapat dibuktikan dengan kegiatan yang nyata dan akuntabel.
13. Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup
(Commitment to Environmental Protection)
Masalah lingkungan dewasa ini telah berkembang menjadi isu yang sangat penting, baik
pada tataran nasional maupun internasional. Hal ini berakar pada kenyataan bahwa daya
dukung lingkungan semakin lama semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali.
Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten, penegakan
hukum lingkungan secara konsekuen, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak
lingkungan hidup serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh
untuk mewujudkan prinsip komitmen pada lingkungan. Tanpa adanya komitmen untuk
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, pemanfaatan sumber daya untuk mendukung
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tidak akan berkelanjutan.
11
14. Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market]
Pengalaman kebijakan yang tidak berkomitmen pada pasar telah membuktikan bahwa
campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya
membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Bantuan pemerintah untuk
mengembangkan perekonomian masyarakat seringkali tidak diikuti oleh pembangunan atau
pemantapan mekanisme pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan
pasar, baik di dalam daerah maupun antar daerah merupakan contoh wujud nyata penerapan
prinsip komitmen pada pasar yang fair. Pengembangan perekonomian masyarakat tanpa
didukung oleh kebijakan publik yang tidak mencerminkan komitmen pada pasar akan
menyebabkan rendahnya daya saing perekonomian.
3. PENERAPAN TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Dl LINGKUNGAN INSTANSI PEMERINTAH
3.1 Best Practices
Penerapan tata kepemerintahan yang baik bukanlah suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Beberapa daerah telah dapat menunjukkan hal tersebut. Berbagai upaya untuk menerapkan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik tercermin dari kemauan dan kesadaran bersama
beberapa daerah kabupaten/kota untuk melakukan pengelolaan kepemerintahan secara
lebih efisien dan efektif. Hal ini berdampak pada rendahnya tingkat penyalahgunaan
kewenangan di lingkungan pemerintah daerah. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo di Jawa Timur telah memiliki standar pelayanan minimum internasional,yaitu ISO
9100. Pemerintah Kota Mataram juga berupaya menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan
yang baik melalui program pembangunan partisipatif. Demikian pula di lingkungan pemerintah
daerah Kabupaten Solok, terus diupayakan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan
yang baik dengan menyediakan pelayanan satu atap.
Di samping itu, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung penerapan
tata kepemerintahan yang baik di Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain mencakup
berbagai peraturan dan rencana pembangunan Indonesia ke depan (RPJM 2005-2009) serta
upaya pemberantasan korupsi. Hal ini akan dijelaskan lebih rinci pada Lampiran 2.
3.2 Strategi
Penerapan tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintahan tidak terlepas dari
penerapan sistem manajemen kepemerintahan yang merupakan rangkaian hasil dari
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, dan controlling) yang
dilaksanakan secara profesional dan konsisten. Penerapan sistem manajemen tersebut
mampu menghasilkan kemitraan positif antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Dengan demikian, lingkungan instansi pemerintah diharapkan dapat memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat.
12
Gambar 3. Membangun Nilai Tambah Berkelanjutan
Gambar 3 menjelaskan proses pengembangan nilai tambah berkelanjutan di antara tiga pilar
tata kepemerintahan yang baik, yakni pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.
Kepercayaan, dukungan, dan legitimasi politik dari masyarakat akan diperoleh apabila
pemerintah dapat menyediakan pelayanan publik yang memadai dan menjalankan fungsi
perlindungan pada masyarakat. Di sisi lain pemerintah juga harus mampu menciptakan
stabilitas politik, hukum, pertahanan dan keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya untuk
mendorong peran dunia usaha swasta dalam pembangunan ekonomi. Dunia usaha swasta
yang sehat akan menghasilkan kualitas layanan serta memberikan nilai tambah yang positif
bagi masyarakat. Hal ini tentunya juga akan menghasilkan pertumbuhan kegiatan usaha
yang tinggi sehingga dapat menumbuhkan loyalitas konsumen dan kontribusi keuntungan
yang lebih besar dari masyarakat sebagai target pasar. Integrasi pengelolaan ketiga rantai
nilai tersebut secara selaras akan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat.
Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif. Tata kepemerintahan yang baik sangat
terkait erat dengan kontribusi, pemberdayaan, dan keseimbangan peran antara tiga pilarnya
(pemerintah, dunia usaha swasta, masyarakat). Walaupun demikian, penerapan nilai-nilai
tata kepemerintahan yang baik kenyataannya sering mengalami kendala yang pada umumnya
13
didasari oleh kurangnya pemahaman, kesadaran, dan kapasitas di kalangan pelaku khususnya
sumber daya manusia aparatur dalam penyelenggaraan pemerintahan.2 Hal ini sebenarnya
telah lama diamati oleh John Stuart Mill (1860) dan dijadikannya pemicu untuk mengawali
upaya menggali secara teoritis hubungan antara birokrasi dan pemerintahan guna merumuskan
tata kepemerintahan yang baik dalam tataran yang lebih implementatif.
3.2.1 Penerapan manajemen secara profesional, konsisten, dan berkelanjutan
di lingkungan instansi pemerintahan
Dalam banyak kasus, timbulnya permasalahan pemerintahan dan pembangunan disebabkan
lemahnya penerapan manajemen yang profesional, konsisten, dan berkelanjutan di berbagai
instansi pemerintah. Ironisnya, masalah manajemen ini sering dianggap sebagai urusan
ketik-mengetik dan ketatausahaan saja. Padahal manajemen adalah proses atau cara
mengelola sumber daya secara efisien dan efektif. Manajemen yang profesional, konsisten,
dan berkelanjutan akan membuat yang buruk berkurang buruknya dan yang baik akan
bertambah baik, termasuk kinerja institusi dan individu/pegawai.
Penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan
bangsa secara profesional dan konsisten di lingkungan instansi pemerintahan pada dasarnya
merupakan unsur yang dinamik dari sistem administrasi negara yang berperan melakukan
transformasi nilai yang terarah pada terwujudnya tata kepemerintahan yang baik. Fungsifungsi tersebut diantaranya meliputi proses planning (perencanaan), organizing
(pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengawasan), yang dapat
diterapkan sebagai strategi penerapan tata kepemerintahan yang baik di lingkungan instansi
pemerintah.
Planning (perencanaan). Setiap instansi dalam lingkungan pemerintahan harus dapat
membuat perencanaan secara sistematik, dinamik, dan sesuai dengan aspirasi yang
berkembang di masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman. Ditinjau dari fungsi manajemen,
perencanaan dapat diartikan sebagai proses pengambilan keputusan atas sejumlah pilihan
mengenai sasaran dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa datang guna mencapai
tujuan yang dikehendaki serta pemantauan dan penilaian atas perkembangan hasil
pelaksanaannya, yang dilakukan secara sistematik dan berkesinambungan.
Organizing (pengorganisasian). Lemahnya pengorganisasian penyelenggaraan
pemerintahaan dapat berakibat adanya tumpang tindih kewenangan dan kegiatan,
ketidakefisienan dalam pelaksanaan, dan tidak berjalannya mekanisme interaksi di antara
unsur-unsur yang ada dalam institusi pemerintahan. Dengan demikian, pengorganisasian
menjadi aspek yang vital dalam rangka mendukung pencapaian tugas dan fungsi organisasi
pemerintahan. Dalam konteks ini, penerapan pengorganisasian dimaksudkan sebagai suatu
proses interaksi melalui komunikasi dan dialog antar berbagai individu dan institusi yang
bertujuan untuk meningkatkan keterpaduan dan sinergi bagi upaya pencapaian tujuan,
sasaran, pemanfaatan sumberdaya, dan pemecahan konflik kepentingan.
2
John Stuart Mill melalui essainya “Considerations on Representative Goverenment”,1860
14
Actuating (pelaksanaan). Realisasi nyata atas segala perencanaan yang telah ditetapkan
merupakan bentuk pelaksanaan kegiatan. Sebagai suatu proses yang berurutan dan menjadi
bagian yang terpenting, pelaksanaan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan menyusul
suatu keputusan dan dimaksudkan untuk mencapai sasaran, tujuan atau peran tertentu.
Agar tujuan dapat dicapai dengan efisien dan efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan, khususnya dalam rangka pelaksanaan anggaran, maka perlu mengacu
pada asas efisiensi, efektivitas, ketentuan hukum, transparansi, asas desentralisasi,
mengutamakan hasil produksi lokal, mengikutsertakan usaha kecil dan menengah, serta
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Controlling (pengawasan). Terwujudnya akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan
secara baik dan benar memerlukan adanya pengawasan, baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Secara umum dapat dinyatakan bahwa pengawasan menjadi salah satu fungsi
organik manajemen. Pengawasan merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan
menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana
dengan baik sesuai rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan yang telah ditetapkan dan
berlaku. Agar dapat secara efektif mencapai tujuannya, pengawasan tidak dilakukan hanya
pada saat akhir proses manajemen saja melainkan berada pada setiap tingkat atau tahapan
proses manajemen. Dengan demikian, pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi
peningkatan kinerja instansi pemerintahan.
3.2.2 Keterlibatan dunia usaha swasta dan masyarakat dalam membangun
tata kepemerintahan yang baik untuk sektor publik
Peran pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan semakin tidak dominan. Dengan
demikian, pemerintah lebih berperan sebagai regulator untuk menciptakan ikiim yang kondusif
bagi keberlangsungan proses pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat bangsa. Dengan berkurangnya peran pemerintah tersebut, dunia usaha swasta
dan masyarakat memiliki peran yang sama untuk turut serta dalam setiap kegiatan
pembangunan dan penyusunan kebijakan publik. Dengan kata lain, ketiga pilar, yaitu,
pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat memiliki peran yang seimbang.
Banyak pakar berupaya mencari format dan rumusan agar konsep tata kepemerintahan
yang baik dapat diimplementasikan serta dijadikan penyangga bagi pemerintahan yang lebih
demokratis dan berkualitas. Hal tersebut menjadi relevan ketika banyak pihak dari berbagai
negara berupaya mengembangkan konsep tata kepemerintahan yang baik untuk dunia usaha
swasta (good corporate governance) dan sektor publik (good public governance). Dunia
usaha swasta dan masyarakat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat
menyuarakan pendapatnya serta mendapatkan kemudahan dalam mengakses segala bentuk
informasi yang diperlukan. Pada akhirnya keduanyalah yang mengawasi kinerja pemerintah.
Untuk mendorong proses keterlibatan dunia usaha swasta dan masyarakat, minimal ada
tiga syarat yang diperlukan, yaitu : (1) adanya kesempatan; (2) adanya kemampuan; dan
(3) adanya kemauan. Ketiga syarat tersebut, hanya dapat dipenuhi bilamana posisi dunia
usaha swasta dan masyarakat setara.
15
Lampiran 1. Beberapa Langkah Strategis yang Dilaksanakan dalam rangka Penerapan
Tata Kepemerintahan yang Baik
a. GOOD GOVERNANCE DALAM PENERAPAN MANAJEMEN Dl INDONESIA
(Drs. Anwar Suprijadi, M.Sc. - Kepala Lembaga Administrasi Negara)
Mencermati perkembangan pembahasan mengenai good governance pada akhir-akhir ini
menurut hemat saya memerlukan pemahaman secara clear-cut menyangkut esensi dan
usungan atribut-atribut atau prinsip-prinsip ikutannya. Paling tidak ada tiga alasan mendasar,
pertama, apa sebenarnya perbedaan antara konsep good governance dengan konsep good
government atau pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yang pada dasarnya sudah
dikembangkan sejak awal keberadaan disiplin administrasi negara atau manajemen
pemerintahan, karena orientasi esensial dari disiplin administrasi atau manajemen dalam
dunia publik dan privat adalah ‘pencapain tujuan secara efisien dan efektif’ kedua, munculnya
klaim dari beberapa pakar hukum administrasi negara yang menyatakan bahwa ajaran good
governance bukanlah sesuatu yang baru, karena pada tahun 1926 di Belanda, sebagai
rujukan sistem hukum di Indonesia, sudah dicanangkan ajaran mengenai ‘asas-asas
pemerintahan yang baik’ di bidang hukum administrasi negara untuk menjadi pedoman bagi
para pejabat negara atau pemerintah dalam mengeluarkan atau menetapkan kebijakan
publik atau surat keputusan administrasi publik.
Alasan ketiga yang tidak kalah menariknya adalah konsep good governance dalam wilayah
publik beriringan secara paralel berkembang pada wilayah privat sebagai konsep good
corporate governance. Berdasarkan alasan-alasan tersebutlah pada pembahasan berikut
terlebih dahulu perlu dibangun kesamaan persepsi atau titik tolah berpikir, sehingga pada
giliran pembahasan terhadap pertanyaan bagaimana penerapan good governance dalam
manajemen di Indonesia tidak terjadi bias.
Tujuan dari konsep good governance tersebut pada dasarnya adalah untuk menciptakan
nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Aktualisasi dari konsep
good governance pada dasarnya merupakan aktualisasi dari beberapa prinsip atau normanorma moral yang dirujuk dari berbagai gatra kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
seperti bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya. Rujukan good governance minimal
mencakup empat prinsip-prinsip utama yaitu keterbukaan (transparency), pertanggunggugatan
(accountability), keadilan (fairness), dan pertanggungjawaban (responsibility). Prinsip-prinsip
tersebut dijabarkan lebih lanjut dan didefinisikan pada tataran implementasi pengaturan,
perilaku dan tindakan dari para pelaksana kepemerintahan, pengorganisasian, sistem
pertangungjawaban hukum dan publik. Standar penerapan prinsip-prinsip good governance
pada dasarnya ditujukan untuk memberikan arahan atau pedoman setiap entitas penyelenggara
pemerintahan negara.
Dengan penerapan prinsip transparency dimaksudkan dalam sistem pemerintahan harus
menyediakan informasi yang obyektif, akurat dan tepat waktu kepada shareholders. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan etika publik karena dengan itu pihak-pihak yang
berkepentingan dengan suatu negara seperti kreditor, investor atau masyarakat, dapat
mengetahui dengan lebih pasti resiko ketika melakukan transaksi atau interaksi dengan
negara tersebut.
16
Prinsip accountability menuntut adanya sistem yang kondusif bagi pengawasan yang efektif,
dengan cara menyeimbangkan kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab antara pihak
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha swasta pada umumnya, terhadap kelangsungan
kehidupan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Prinsip utama ini mengembangkan
prinsip turunannya seperti prinsip efisiensi, prinsip efektivitas, prinsip profesionalitas atau
kompetensi.
Prinsip ketiga, fairness, negara atau perusahaan (dalam good corporate governance) harus
menciptakan kejelasan mengenai hak-hak bagi para pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan sumber daya negara. Pemerintah selaku pihak yang mempunyai otoritas atau
fungsi regulasi harus mampu menciptakan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan
yang memberi rasa keadilan dan memberdayakan bagi semua pihak, dunia usaha swasta
termasuk investor luar negeri, dan masyarakat pada umumnya. Beberapa wacana
mengembangkan prinsip ini dengan prinsip supremasi hukum (rule of law), prinsip visioner
(vision driven), dan sebagainya. Prinsip keempat, responsibility memberi makna bahwa suatu
negara, terlebih negara hukum, haruslah mengedepankan pemenuhan, pematuhan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk di dalamnya pemeliharaan
lingkungan hidup, hak-hak konsumen, hak perlindungan karya intelektual, ketenagakerjaan
dan lain-lain, yang kemudian memunculkan prinsip-prinsip good governance lainnya seperti
prinsip kelestarian lingkungan. Dalam konteks responsibilitas, suatu negara tidak tegak
secara terisolasi dari berbagai kepentingan politik dan sosial budaya kelompok dunia usaha
swasta dan masyarakat lainnya.
Aktualisasi prinsip-prinsip good governance tersebut berlangsung pada keseluruhan tataran
fungsi-fungsi manajemen yang meliputi planning, organizing, actuating, directing, staffing,
budgeting, sampai dengan controlling. Demikan juga aktualisasi prinsip-prinsip tersebut
mewarnai atau menjiwai berbagai unsur manajemen seperti man, money, method, material,
machine dan market. Keseluruhan entitas fungsi dan unsur-unsur manajemen tersebut,
beserta aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan dan aspek sumber daya manusianya
harus mampu memberikan kondisi yang kondusif terhadap produktivitas dunia usaha swasta
beserta masyarakat yang setinggi-tingginya dan memiliki keunggulan kompetitif pada tataran
internasional, yang pada gilirannya mampu mendukung kelangsungan kehidupan dan
perkembagan negara sendiri yang berkualitas.
b. FAKTOR-FAKTOR KUNCI PENCIPTAAN GOOD GOVERNANCE
(Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. - Ketua Departemen llmu Administrasi FISIP
Universitas Indonesia)
1. Kapabilitas Kepemimpinan
Kapasitas kepemimpinan merupakan kunci suksesnya penciptaan good governance. Hal ini
meliputi tiga pertanyaan kunci: (1) kapasitas kepemimpinan politik untuk menentukan prioritas
strategi penciptaan good governance, (2) efektivitas implementasi kebijakan reformasi
penciptaan good governance, (3) fleksibilitas dan kapasitas kepemimpinan politik untuk
mempelajari hasil yang diperoleh dan secara cepat melakukan pengukuran untuk menentukan
strategi inovasi yang lain. Kapabilitas kepemimpinan adalah prasyarat mutlak untuk melakukan
reformasi, mengatasi resistensi kelompok status quo, dan mengatasi masalah sosial yang
ditimbulkan akibat beban dari strategi yang dijalankan.
17
Kunci pertama dan kapabilitas kepemimpinan adalah visi. Seorang pemimpin tanpa visi tidak
akan mendapatkan dukungan yang optimal dari pendukungnya. Karena visi memberikan
inspirasi kepada pendukung dan bawahan untuk mengambil bagian dalam implementasi
strategi. Visi seorang pemimpin diambil melalui pemikiran yang dalam dan melibatkan para
pendukung dan bawahan. Hanya melalui cara itu seorang pemimpin dapat memperoleh
dukungan dari semua pihak dalam strategi penciptaan good governance. Kebanyakan
pemimpin gagal dalam mengkomunikasikan visi mereka secara efektif kepada bawahan dan
pendukungnya.
Kunci kedua dari kapabilitas kepemimpinan adalah melakukan perubahan terhadap proses
yang sudah ada. Seorang pemimpin harus mampu melakukan perubahan terhadap sistem
dan proses bila situasi di lapangan menghendaki hal tersebut. Hal ini akan berarti bahwa
seorang pemimpin siap menghadapi resistensi oleh status quo terhadap perubahan yang
terjadi. Seorang pemimpin harus dapat melakukan perubahan proses yang sudah usang
dan menjadi penyebab terjadinya korupsi.
Kunci ketiga kapabilitas kepimpinan adalah mendapatkan dukungan dan mempertajam
dukungan yang sudah ada. Kepemimpinan politik harus dapat menciptakan lingkungan yang
memungkinkan pendukung dan bawahan untuk beraksi. Hal ini membutuhkan keahlian
khusus pemimpin dalam menyakinkan dan mempengaruhi setiap orang untuk melakukan
perubahan dalam penciptaan good governance. Termasuk dalam kemampuan ini adalah
mengajak setiap orang untuk secara kolaboratif melakukan perubahan perilaku dan secara
aktif memberikan kesempatan kepada setiap orang pada level yang berbeda untuk membuat
keputusan atas inisiatif sendiri dalam rangka penciptaan good governance. Dalam kasus
penciptaan good governance seorang pemimpin harus berani mengambil sikap terhadap
nilai-nilai yang dipercayai dan memberikan contoh teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya
dan semua warganya. Di Indonesia kita mengenal peribahasa Jawa “ing ngarso sung tulodo,
ing madyo mbangun karso, tutwuri handayani.” Masyarakat dan para bawahan membutuhkan
figur yang dapat dijadikan sebagai teladan dalam penciptaan good governance.
2. Efisiensi Penggunaan Sumberdaya
Satu faktor penting dalam penciptaan good governance adalah optimalisasi dan efisiensi
penggunaan sumber daya yang dimiliki. Pertanyaan kunci dalam hal ini adalah: (1) Sejauh
mana pemerintah dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber
daya ekonomi dan sumber daya manusia? (2) Apakah pemerintah dapat melakukan koordinasi
terhadap tujuan-tujuan yang saling konflik dan tumpang tindih ke dalam satu kebijakan dan
strategi yang terpadu? (3) Apakah pemerintah dapat membuat kebijakan yang benar-benar
dapat diterapkan dalam penciptaan good governance?
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam rangka penciptaan good
governance di Indonesia paling tidak ada tiga sasaran yang dapat dilakukan, yaitu (1)
melakukan restrukturisasi hirarki dan transisi ke dalam manajemen pemerintahan yang
menekankan pada tanggung jawab individual terhadap semua keputusan dan tindakan yang
diambil. Hal ini membutuhkan integrasi vertikal sehingga penyelenggaraan pemerintahan
tidak berbelit-belit dan setiap pegawai dapat secara cepat mengambil keputusan dan tindakan,
serta bertanggungjawab terhadap hal tersebut; (2) Melakukan rekayasa proses dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga proses pemerintahan akan semakin mudah,
18
efisien, dan efektif. Dengan rekayasa proses ini, penyelenggaraan pemerintahan akan
semakin responsif dengan kebutuhan masyarakat dan menutup semua bentuk tindakan
yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi; (3) Melakukan perubahan terhadap kompetensi
dan perbaikan moral penyelenggara negara, utamanya para birokrat.
3. Membangun Konsensus
Kepemimpinan politik membutuhkan dukungan dari masyarakat untuk memberantas korupsi.
Karena itu pemerintah harus membangun konsensus dengan aktor-aktor dalam masyarakat,
tanpa mengorbankan agenda dan tujuan reformasi itu sendiri. Hal ini berarti bahwa pemerintah
tidak hanya memasukkan para pendukungnya dalam kebijakan yang dibuat, tetapi juga para
penentangnya yang memiliki veto untuk mengatakan tidak dan menolak perubahan. Adalah
juga menjadi kewajiban pemerintah untuk membangun modal sosial di kalangan masyarakat
dan melibatkan aktor-aktor masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan penciptaan good
governance. Kegagalan pemerintah untuk menggalang dukungan masyarakat seringkali
menyebabkan kegagalan dalam penciptaan good governance. Membangun konsensus itu
sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari penerapan prinsip-prinsip good governance.
c. PERBAIKAN MANAJEMEN BIROKRASI PEMERINTAHAN:
DIMULAI DENGAN MENDIAGNOSANYA
(Drs. Setia Budi, MA - Direktur Aparatur Negara, BAPPENAS)
Berbagai pandangan, kajian dan usulan kebijakan mengenai reformasi birokrasi untuk
perbaikan kinerja aparatur pemerintahan telah banyak disampaikan berbagai pihak, baik
dari lingkungan pemerintahan maupun dari luar pemerintahan. Demikian pula, berbagai
kebijakan pendayagunaan aparatur pemerintahan telah dilaksanakan sejak Repelita I. Namun
hingga saat ini kinerja birokrasi masih jauh dari yang diharapkan. Persoalan birokrasi adalah
sangat rumit dan saling terkait, mulai dari aspek kelembagaan, ketatalaksanaan hingga
aspek sumber daya manusianya termasuk tingkat gaji pegawai negeri yang rendah dan
belum menjamin untuk layak hidup. Karena itu, tidaklah berlebihan jika ada yang mengatakan
bahwa memperbaiki birokrasi pemerintahan di negara yang belum maju seperti mengurai
“benang kusut”, sulit memulai dari mana dan berakhir dimana.
Reformasi birokrasi sudah menjadi tuntutan, dan selayaknya program/kegiatannya bersifat
selektif, prioritas dan memiliki multiplier effects yang signifikan serta diterapkan secara
konsisten dan berkelanjutan. Salah satu prioritas tersebut adalah penerapan fungsi-fungsi
manajemen internal instansi secara benar, antara lain melakukan evaluasi atas prestasi kerja
(evaluasi kinerja) organisasi/unit kerja dan para pegawainya.
Khusus untuk evaluasi kinerja organisasi/unit kerja, telah diterbitkan berbagai
kebijakan/peraturan termasuk kebijakan penerapan anggaran berbasis kinerja (ABK) dan
penyusunan rencana instansi (Rencana Strategis dan Rencana Kerja atau Rencana Kinerja).
Sejalan dengan kebijakan tersebut, dan juga untuk mendukungnya, perlu disusun semacam
instrumen untuk mengetahui kondisi manajemen organisasi/unit kerja pemerintahan yang
difokuskan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan
19
Gambar 4. Positioning Reformasi Birokrasi Good Public Governance dan Diagnosis Manajemen
pencapaian tujuan/sasaran dan atau pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi/unit kerja
tersebut. Metode atau instrumen untuk mendiagnosis kondisi organisasi ini difokuskan pada
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil kerja (realisasi dari Renstra-Renja dimaksud).
Instrumen tersebut kita sebut saja sebagai Sistem Manajemen Akuntabilitas Kinerja untuk
Pemerintahan (SMAK-UP) yang antara lain diinspirasikan oleh model yang dikembangkan
oleh Malcom Balridge. Instrumen SMAK-UP dikembangkan atau dimodifikasi dengan
berpegang pada prinsip sederhana, akurat, dan bermanfaat (SAB) untuk dapat menggambarkan
kondisi manajemen organisasi dan menentukan rekomendasi tindak lanjut perbaikannya.
Ada 8 (delapan) faktor atau kategori yang dievaluasi, yaitu: 1) hasil kerja (prestasi pelaksanaan
Renstra/Renja), 2) kepemimpinan, 3) perencanaan, 4) perbaikan yang berkelanjutan, 5)
fokus kepada stakeholders, 6) proses pelaksanaan, 7) SDM, dan 8) sumber daya lain dan
informasi; sebagaimana tampak dalam gambar di bawah ini. Selanjutnya, masing-masing
kategori dirinci kedalam faktor-faktor kunci (sub kategori), dengan jumlah keseluruhan sekitar
31 faktor kunci untuk kedelapan kategori tersebut. Hasil evaluasi digambarkan dalam bentuk
radar chart agar mudah dipahami.
20
Perencanaan
Hasil Kerja
Kepemimpinan
Pengembangan
Berkelanjutan
Fokus
Stakeholders
Proses/
Pelaksanaan Kerja
Manajemen SDM
Manajemen Sumberdaya
dan Informasi
Gambar 5. Kondisi suatu organisasi/unit kerja yang digambarkan dengan Radar Chart
SMAK-UP dapat digunakan untuk melakukan penilaian mandiri (self assessment) dan juga
oleh pimpinan organisasi/unit organisasi dan auditor kinerja/tim penilai (unit kerja pengawasan).
Apabila melibatkan auditor kinerja atau unit kerja pengawasan, maka hasil self assessment
tersebut dijadikan sebagai salah satu bahan utama untuk melakukan verifikasi untuk melihat
kebenaran dan deviasinya serta rekomendasi tindak lanjut perbaikannya.
Cakupan pengawasan yang selama ini lebih banyak kepada pelaksanaan program/kegiatan
(dahulu proyek) dan terfokus kepada penggunaan anggaran dan kesesuaian dengan peraturan
yang berlaku (complience audit), maka dengan diterapkannya ABK, pengawasan harus
diperluas dengan mencakup juga kinerja organisasi/unit kerja yang juga perlu dikaitkan
dengan kinerja pegawai. Untuk itulah SMAK-UP disusun, agar dapat mendiagnosa dan
melakukan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja. Tahap berikutnya yang harus dilakukan
adalah menyusun sistem evaluasi kinerja untuk para pegawai (DP3 lokal), menggantikan
DP3 yang selama ini digunakan, dan terintegrasi dengan SMAK-UP.
21
Good Governance
Reinventing Government
Anggaran Berbasis Kinerja
Ketaatan Peraturan & Perundangan
Instrumen SMAK-UP dibuat sesederhana mungkin agar mudah diterapkan, dengan tetap
memperhatikan manfaatnya. Sebagai penutup, dapat disampaikan bahwa siapapun dapat
mengembangkan berbagai metode atau instrumen yang sangat diperlukan untuk mendukung
upaya reformasi birokrasi pemerintahan. SMAK-UP hanyalah salah satu contoh saja, dan
nama tersebut dapat saja diubah apabila diperlukan. Namun yang pasti hingga saat ini,
nampaknya kita belum mempunyai metode atau instrumen yang sederhana tetapi akurat
untuk mendiagnosa penyakit atau kondisi manajemen birokrasi pemerintahan dan mengambil
langkah-langkah perbaikannya. Untuk itu, kita perlu melakukan langkah-langkah perbaikan
manajemen birokrasi pemerintahan (termasuk manajemen penanggulangan bencana alam)
yang selama ini dianggap sebagai salah satu kelemahan utama dalam birokrasi kita. Sebagai
penutup, mari kita bertanya dan menjawab sendiri: “Institusi manakah di negeri ini yang telah
menerapkan manajemen secara benar, konsisten, dan berkelanjutan?”.
22
d. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
(Dra. Rd. Siliwanti, MPIA - Direktur Politik dan Komunikasi, BAPPENAS)
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
Tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Dengan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah sebagaimana tertuang di dalam UU No. 32 tahun 2004 tersebut,
penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat melaksanakan percepatan pembangunan
daerah dan meningkatkan pelayanan publik dengan lebih sederhana dan cepat.
Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat menjadi fondasi penting di dalam
mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah dan peningkatan pelayanan
publik, yang tentu hasilnya kemudian dapat memberikan kontribusi terhadap tercapainya
tujuan pembangunan nasional. Dengan kata lain, keberhasilan pembangunan nasional
ditentukan antara lain oleh agregasi keberhasilan pembangunan di daerah.
Kunci penting keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah ditentukan antara lain
oleh kemampuan pemerintah daerah yang dikepalai oleh Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya,
hubungan yang sinergis di antara keduanya, hubungan pusat dan daerah, serta hubungan
antardaerah yang konstruktif.
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memiliki
makna yang antara lain ditandai dengan kemampuannya melakukan pengelolaan pemerintah
daerah secara profesional dan handal, serta memiliki daya inovasi dan kreasi yang tinggi
di dalam meningkatkan kualitas manajemen pemerintahan. Berkaitan erat dengan manajemen
pemerintahan, peran pemimpin daerah yang profesional dan handal menjadi sangatlah
signifikan dan menentukan terhadap pelaksanaan manajemen pemerintahan di daerah yang
bersangkutan. Kemampuan mengelola pemerintahan di daerah termasuk di dalamnya adalah
kemampuan mengelola potensi sumber daya alam, keuangan negara, pengoptimalan peran
birokrasi pemerintahan secara profesional dan netral, melakukan kerjasama kemitraan
dengan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi (swasta), bahkan di dalam melakukan
hubungan luar negeri.
Dengan pentingnya peran pemimpin daerah di dalam mendukung pengelolaan manajemen
pemerintahan di daerah dan memberikan warna terhadap pemerintahan daerah yang
dipimpinnya, maka peran pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan suatu proses politik
yang dapat menentukan warna pemerintah daerah, dan tentunya keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pilkada merupakan momen penting bagi masyarakat untuk memilih
langsung dengan cermat sosok pemimpin kepala daerah paling ideal dan kapabel yang
dapat memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah secara professional dan handal
pada masa selanjutnya ke depan.
Kunci kedua yang sama pentingnya di dalam mendukung keberhasilan pengelolaan
pemerintahan daerah adalah tingginya kapasitas dan kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Pemilu
Umum secara langsung anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/kota merupakan juga salah satu
proses politik yang penting untuk menyeleksi calon yang benar-benar kredibel dan handal.
23
Kemampuan DPRD untuk menyusun berbagai peraturan daerah (perda) tentang pelaksanaan
pembangunan daerah, serta anggaran pembangunan daerah secara transparan, partisipatif
dan akuntabel akan memberikan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah dalam menjalankan
tugas pembangunan daerah. Kemampuan DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan perda dan peraturan perundangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD,
kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan
kerjasama internasional di daerah akan sangat menentukan keberhasilan pemerintah daerah
dalam menjalankan tugas-tugas pembangunannya sesuai aturan hukum dan koridor kebijakan
yang telah disepakati bersama (tidak menyimpang).
Kunci ketiga yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah adanya hubungan yang setara antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Hubungan yang setara antara pemerintah daerah dan DPRD akan meningkatkan harmonisasi
kerja antara pemerintah daerah dan DPRD untuk mencapai keberhasilan pembangunan
daerah. Ketidakharmonisan hubungan akan mengganggu dan menghambat lancarnya proses
pembangunan di daerah.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang
kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa
diantara lembaga pemerintah daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar (checks
and balances), artinya tidak saling mendominasi. Pengalaman telah memberikan peringatan
bahwa pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga tertentu di dalam penyelenggaraan
pemerintahan telah menghasilkan pemerintahan yang otoriter, dan dalam pengalaman bangsa
Indonesia pemerintah otoriter telah menghasilkan hubungan yang kolutif dan parasitik antara
elit penguasa dan pengusaha yang tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat, bahkan
menggerogoti kehidupan masyarakat.
Kunci keempat yang juga sama pentingnya di dalam mendukung mantapnya penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah adanya hubungan yang konstruktif antara Pusat dan Daerah,
serta hubungan kerjasama yang konstruktif antardaerah.
Pola hubungan pusat dan daerah yang tidak seimbang, yang pada masa sebelumnya ditandai
dengan pola hubungan yang sentralistis, telah memberikan dampak yang kurang baik
terutama terkait dengan persoalan integritas dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Kecenderungan untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan salah satu akibat
adanya pola hubungan pusat dan daerah yang lebih bersifat sentralistis. Dengan adanya
pola hubungan pemerintahan yang desentralistis diharapkan dapat memberikan ruang dan
jaminan terhadap peran pemerintah daerah untuk dapat mengurusi rumah tangganya sendiri,
melaksanakan dan mencapai hasil pembangunan demi kepentingan masyarakat sesuai
kemampuan dan kepentingan masyarakat. Pola hubungan pusat dan daerah, dan hubungan
antardaerah sangat erat terkait dengan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumberdaya lainnya.
Hubungan kerjasama yang konstruktif antardaerah menjadi sangat penting mengingat masingmasing daerah tentunya memiliki keunggulan baik itu dari sisi ketersediaan dan profesionalitas
sumber daya manusia, ketersediaan sumber daya alam, kemampuan mengelola pemerintahan,
dan lain sebagainya. Hubungan kerjasama antardaerah dapat mengisi kelemahan yang
dimiliki oleh satu daerah oleh daerah lainnya. Daya saing daerah menjadi kunci utama
adanya hubungan yang konstruktif antardaerah.
24
Deskripsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang intinya dapat ditentukan oleh hubungan
antar pemerintah daerah dan DPRD, serta hubungan pusat dan daerah, dan antardaerah,
dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini.
Gambar 7. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pembangunan Daerah dan
Pembangunan Nasional
25
e. PENGAWASAN DAN AUDIT PUBLIK
(Agus Sudrajat, S.Sos., MA - Direktorat Aparatur Negara, BAPPENAS)
Pada masa lalu, pengawasan kurang mendapat perhatian yang memadai, baik dalam
kerangka bahasan teoritik maupun dalam pelaksanaan praktis di pemerintahan. Dalam
kebijakan praktis, pengawasan hanya menjadi pelengkap, diletakkan dalam posisi kurang
potensial, tanpa ada kekuatan hukum yang berdampak serius pada perbaikan sistemik. Bagi
praktisi pemerintahan, institusi pengawasan diterima secara mendua. Padahal, institusi
pengawasan di satu disi dapat merupakan detektor dini apabila terjadi penyimpangan dalam
implementasi kebijakan publik sehingga dapat segera dikontrol (dikendalikan), dan di sisi
lain, lembaga pengawasan dicurigai sebagai lembaga yang memata-matai pelaku kebijakan
publik sehingga dipandang sebagai ancaman yang mesti dilemahkan.
Hal ini yang mungkin menjadi salah satu penyebab dicurigainya lembaga ini sebagai yang
memata-matai karena di masa lalu model lembaga pengawasan yang dikembangkan
cenderung memakai inclusive authority model, di mana pemerintah nasional memiliki
kekuasaan relatif tidak terbatas dalam melakukan fungsi pengawasan pada berbagai tingkat
pemerintah mulai dari pusat sampai pada struktur yang lebih rendah seperti kabupaten/kota.
Walaupun demikian, institusi pengawasan cenderung berada dalam posisi tidak berdaya
dalam menjalankan tugas dan fungsi idealnya, karena komposisi aparat pengawasan baik
internal maupun eksternal yang kurang memadai serta institusi pengawasan didudukan pada
posisi yang tidak sepenuhnya independen. Di samping itu kedudukan akuntan pemerintah
dalam struktur organisasi lembaga pengawasan internal relatif masih lemah dan yang tidak
kalah pentingnya adalah kurangnya koordinasi antarlembaga pengawasan dalam melakukan
tugas pemeriksaan.
Gerakan reformasi yang bergulir sejak 1998 juga tidak dapat mengubah citra lembaga
pengawasan ini menjadi lebih baik, bahkan berbagai masalah yang dihadapi institusi
pengawasan ini menjadi semakin kompleks. Tuntutan masyarakat akan perubahan dari
sistem pemerintahan yang sangat sentralistik menjadi sistem pemerintahan yang desentralistis
merupakan wujud kekecewaan selama ini terhadap sistem pemerintahan sebelumnya.
Diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 adalah
jawaban dari tuntutan tersebut. Hal ini juga membawa dampak pada adanya tuntutan akan
perubahan terhadap sistem pengawasan.
Kebijakan otonomi daerah membawa konsekuensi:
1. Tuntutan perubahan mendasar di berbagai aspek, baik bagi pemerintah daerah, dunia
usaha swasta maupun masyarakat lokal;
2. Kebijakan otonomi diartikan tidak saja sebagai penyerahan kewenangan dalam pengelolaan
administrasi publik tetapi juga harus dipandang sebagai penyerahan kewenangan di bidang
politik. Daerah dipandang sebagai satu entitas politik yang berhak mengatur urusan rumah
tangganya sendiri tanpa campur tangan pusat, termasuk dalam urusan pengawasan dan
audit publik. Dalam tataran inilah muncul resistensi terhadap badan-badan pengawas
yang bersifat nasional di satu sisi, sementara di sisi lain badan pengawas yang memiliki
kapabilitas tinggi di tingkat lokal belum terbangun secara memadai dan profesional;
26
3. Dengan berpindahnya fokus kekuasaan dari pusat ke daerah, maka bertambah pula
sumber-sumber pendapatan daerah, yang berarti adanya peningkatan jumlah anggaran
yang harus dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Hal ini berarti bertambah besar
potensi penyimpangan anggaran dan pelaksanaan pembangunan di daerah, khususnya
ketika mekanisme sistem pengawasan dan audit di daerah tidak berjalan sebagaimana
mestinya;
4. Kebijakan otonomi daerah telah diikuti oleh perubahan beberapa peraturan pemerintah
di bidang pengawasan dan audit atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di masa
lalu, institusi pengawasan meliputi: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, Itwilprop dan Itwilkab. Di
masa kini, selain BPK dan BPKP yang masih tetap ada, juga ada Badan Pengawas Daerah
(Bawasda) di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Kemudian, ada wacana bahwa
nomenklatur Bawasda di daerah akan berubah menjadi Inspektorat propinsi dan Inspektorat
kabupaten/kota. Namun, perubahan yang lebih penting adalah perubahan terhadap posisi,
peran, tugas dan fungsi, serta kewenangannya sehingga lembaga tersebut dapat
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pembangunan di daerah secara lebih
profesional dan independen.
Persoalan besar selanjutnya adalah, apakah kebijakan otonomi daerah ini diikuti oleh
perubahan format struktur dan fungsi di bidang pengawasan dan audit publik? Kehadiran
institusi pengawas yang independen dan dalam prosesnya melibatkan semua stakeholders
merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Hal ini merupakan kebutuhan
mendesak tidak hanya bagi pemerintah pusat tetapi juga bagi pemerintah daerah.
Pada dasarnya, pengaturan baik pengawasan internal maupun eksternal sangat jelas objek
yang menjadi tujuan pemeriksaannya, dan intinya diselenggarakan guna mewujudkan
outcome yang sama, yakni terciptanya good governance. Namun, output dari kedua jenis
audit ini berbeda. Produk atau output utama dari pengawasan eksternal adalah pernyataan
pendapat yang profesional tentang kesepadanan (keandalan dan kelayakan) informasi dan
laporan pertanggungjawaban yang disajikan oleh pihak atau objek yang diaudit. Output
sampingan dari jenis audit ini adalah pemberian rekomendasi atas temuan yang diperoleh.
Sementara itu, pengawasan internal diselenggarakan bukan dalam rangka menguji kelayakan
laporan, tetapi dimaksudkan untuk membantu manajemen pemerintah dalam mencapai
efisiensi dan efektivitas kegiatan maupun sistem yang diterapkan di lingkungan pemerintah.
Output internal audit ini tidak hanya berbentuk rekomendasi untuk perbaikan sistem dan
metode, tetapi juga harus meliputi upaya perwujudan perbaikan itu sendiri sampai diperoleh
keyakinan bahwa sistem dan metode yang baru dapat berhasil dengan baik
Di Indonesia fungsi pengawasan dilakukan oleh BPKP, Inspektorat Jenderal (Utama), dan
Badan Pegawasan Daerah (Bawasda) yang berperan dalam pengawasan internal. Sedangkan
BPK, berperan dalam pengawasan eksternal (pelaporan kepada legislatif). Idealnya, tugas
pengawasan internal dan eksternal tidak saling tumpang tindih, melainkan bersinergi. Namun,
dalam pelaksanaannya di lapangan sangat dimungkinkan timbulnya pemeriksaan yang
tumpang tindih terhadap suatu obyek. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah
sungguh-sungguh dapat mengembangkan sistem manajemen pengawasan dan audit yang
lebih baik, didukung dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (e-audit), dan
sumber daya manusia aparatur (pengawas) yang handal dan profesional, bertanggungjawab,
serta dapat mengembangkan model pengawasan dan audit yang bersifat partnership
(kemitraan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat).
27
f. E-PROCUREMENT
(Ir. Ikak Gayuh Patriastomo, MSP - Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Publik, BAPPENAS)
Keinginan untuk menyelenggarakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang lebih
efektif, efisien dan akuntabel serta mengedepankan persaingan usaha yang sehat, transparansi,
keterbukaan dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, telah mendorong pemerintah untuk
segera menyelenggarakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik
dengan berbasis pada internet (Electronic Procurement - E-Procuremenf). Melalui
E-Procurement diharapkan:
1. Transparansi proses pengadaan barang/jasa pemerintah akan meningkat;
2. Keterbukaan dan persaingan yang sehat juga akan meningkat; serta
3. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah akan lebih efisien.
Pembaruan sistem pengadaan telah dimulai dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor
80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Penerapan Keppres No. 80/2003 secara konsisten di beberapa instansi telah menghasilkan
penghematan melalui proses pengadaan sekurang-kurangnya 20% dari nilai Harga Perkiraan
Sendiri (HPS)/Owners Estimate. Dalam beberapa kasus penghematan yang diperoleh
mencapai lebih dari 50%.
Penerapan E-Procurement sebagai lanjutan dari upaya pembaruan sistem pengadaan,
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sekaligus keterbukaan dan persaingan usaha yang
lebih sehat dan fair dalam proses pengadaan sehingga lebih menjamin tercapainya tujuan
pengadaan (harga yang semurah-murahnya dengan kualitas yang sebaik-baiknya) dan
tujuan kebijakan pengadaan (memberi manfaat ekonomi sebesar-besarnya). Lebih dari itu,
penerapan E-Procurement akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan,
khususnya dalam pengelolaan keuangan negara karena penerapan E-Procurement
memungkinkan pengelola pengadaan mempertanggungjawabkan proses pengadaan dengan
sederhana dan mudah. Dengan kata lain, dalam konteks ini E-Procurement sebagai alat
untuk mendukung upaya pencegahan korupsi dalam pengadaan barang/jasa.
g. PENDIDIKAN SEBAGAI PRASYARAT PENERAPAN GOOD PUBLIC GOVERNANCE
(Drs. Agus Sutiadi, M.Si. - Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan
Pembangunan, BAPPENAS)
Perubahan dari bad governance ke arah good govenance sejatinya adalah perubahan sosial
yang harus dikampanyekan secara terus menerus. Perubahan sosial adalah perubahan
secara menyeluruh yang terjadi dalam masyarakat dari satu kondisi peradaban yang buruk
menuju kondisi peradaban yang lebih baik.
Kebangkitan atau kemunduran suatu masyarakat berpulang kepada masing-masing
individunya. Suatu bangsa akan berada dalam keadaan yang lebih kuat serta dapat bangkit
dari keterpurukan apabila telah memenuhi syarat-syarat untuk menerapkan good governance.
Proses penyadaran ini akan berlangsung tanpa henti karena standar good governance
sendiri akan terus berubah.
Mengingat terciptanya good governance merupakan pekerjaan bersama maka harus dimulai
dengan menumbuhkan kesadaran di antara pilar-pilarnya terutama masyarakat selaku pemilik
kedaulatan. Proses penyadaran tersebut dilakukan melalui pendidikan (politik) kepada
masyarakat.
28
Pendidikan adalah sebuah proses untuk menumbuhkan sisi kepribadian masyarakat secara
seimbang dan menyeluruh. Pendidikan harus menjadi pilar kebangkitan karena: pertama,
masyarakat harus terdidik dan mengerti hak-haknya secara utuh dan mempelajari berbagai
sarana untuk menyampaikan hak-haknya tersebut. Kedua, masyarakat harus diyakinkan
kemudian ditanamkan dengan kuat keyakinannya tersebut.
Sehubungan dengan itu pemerintah yang menginginkan kebangkitan masyarakatnya harus
menyiapkan sarana pendidikan secara masal. Muridnya adalah seluruh warganegara dan
gurunya adalah pemimpin termasuk para birokrat, sementara ilmunya adalah hak-hak dan
kewajiban sosial. Sebagai guru maka Pemerintah dan Pembantunya (Birokrat) harus
memperoleh pendidikannya terlebih dahulu dan memberikan contoh yang baik kepada
masyarakatnya.
h. MEMIMPIN DAN INDIKATOR KINERJA
(Drs. Setia Budi, MA - Direktur Aparatur Negara, BAPPENAS)
Memimpin adalah satu kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanakan secara
baik. Mengapa? Karena memimpin berkaitan dengan empat faktor kunci yang saling terkait,
yaitu: yang memimpin, yang dipimpin, produk atau hasil kerja, dan konsumen dari produk
kerja tersebut yang umumnya berada di luar organisasi/unit kerja yang bersangkutan.
Seseorang tidak bisa disebut pemimpin jika tidak ada yang dipimpinnya. Seorang pemimpin
tidak bisa disebut berhasil jika: a) hasil atau produk kerjanya tidak laku di pasar atau tidak
layak untuk stakeholders-nya; b) manajemen di organisasinya buruk dan tidak sustainable;
c) tidak ada perbaikan dalam budaya organisasi.
Paling tidak ada dua cara seseorang menjadi pemimpin, yakni dipilih dan ditunjuk. Dipilih
seperti Ketua Karang Taruna, OSIS, BEM, Parpol, LSM, KORPRI, Gubernur, Bupati, Walikota;
sedangkan ditunjuk seperti di birokrasi pemerintah. Baik dipilih maupun ditunjuk punya
kesamaan yaitu wajib memenuhi harapan stakeholders-nya termasuk yang dipimpin dan
atau yang menunjuk/memilihnya. Terpenuhi tidaknya kewajiban tersebut diukur antara lain
dari: hasil kerja yang layak jual, terbangunnya manajemen dan budaya organisasi yang
kondusif dan berorientasi prestasi (baca kinerja), serta berkelanjutan.
Agar transparan, dapat dipertanggungjawabkan, tidak debatable dan tidak membingungkan,
maka perlu disusun indikator kinerja pemimpin yang berhasil, kurang dan tidak berhasil.
Untuk birokrasi pemerintahan, tolok ukur tersebut dikaitkan dengan indikator kinerja
organisasi/unit kerja yang dipimpinnya. Misalnya, pemimpin diukur dari ada atau tidak adanya
perbaikan pada: a) produk organisasi (penjabaran dari tupoksinya); b) kondisi budaya
organisasinya; c) manajemen yang diterapkannya yang memberi peluang meningkatnya
kinerja individu dan kinerja unit kerja. Ketiga indikator tersebut sangat erat sekali dengan
indikator kinerja pemimpin, sehingga dapat digabungkan menjadi indikator yang solid untuk
mengukur kinerja pemimpin dalam birokrasi pemerintahan.
Ada yang komplain, kalau tolok ukurnya seperti itu, pasti sulit mencari orang yang mampu.
Namun, ada yang juga berpendapat, “kalau kita tidak buat sekarang, kapan lagi bisa
memperbaiki birokrasi ini. Sulit karena tidak biasa, kalau sudah biasa maka tidak sulit, bahkan
menjadi budaya organisasi. Paling tidak birokrasi memiliki pemimpin yang mendekati tolok
ukur tersebut. Kata Dale Carnegie: I can’t if I think can’t, I can if I think can. Maksudnya,
kalau sudah menganggap sulit, maka potensi yang ada sudah diperintahkan oleh otak untuk
tidak aktif atau mengurangi kemampuannya, sehingga potensi tidak berkembang.
29
Sebaliknya, potensi yang nampaknya kecil akan menghasilkan yang besar jika dimulai
dengan keyakinan dan upaya yang sungguh-sungguh. Dari sekian banyak tugas pemimpin,
membangun manajemen yang baik adalah salah satunya yang utama. Agar dapat lebih
dimengerti, kita artikan saja manajemen sebagai: “proses atau cara mengelola sumber daya
dengan efisien dan efektif, serta mernbuat yang buruk berkurang buruknya, dan yang baik
bertambah baik.” Hal yang buruk tersebut dapat berupa situasi kerja, cara kerja, budaya
organisasi, kinerja individu bahkan perilaku buruk individunya. Ada kawan yang bertanya,
instansi mana yang sudah menerapkan manajemen secara profesional. Rekannya menjawab:
sulit menemukannya, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada di negeri ini. Peluang terjadinya
keburukan, seringkali disebabkan oleh manajemen yang lemah. Sebaliknya, peluang kebaikan
akan bertambah dan terbuka lebar manakala manajemen yang profesional dapat diterapkan.
Selain itu, manajemen yang baik harus bersifat sustainable, tidak bergantung sepenuhnya
kepada pimpinan. Pemimpin boleh berganti karena mutasi, rotasi, promosi, pensiun atau
sebab lainnya, namun manajemen yang baik harus tetap eksis. Sering kita dengar ada
beberapa daerah yang dinilai berhasil, sehingga berkali-kali menjadi obyek studi banding,
wisata birokrasi atau lahan-materi seminar. Mudah-mudahan keberhasilan tersebut akan
berkelanjutan (sustainable) dan tidak terhenti manakala pemimpin yang baik tersebut tidak
memimpin lagi. Sayangnya, perbaikan manajemen bukan merupakan komoditas yang
menarik, bahkan sering dianggap sebagai hal-hal teknis seperti ketik mengetik, kearsipan,
dan ketatausahaan lainnya. Padahal, manajemen adalah upaya mengelola sumber daya
agar efisien dan efektif. Selain itu, perbaikan manajemen adalah merupakan salah satu hal
yang sangat penting di negeri ini, mengingat salah satu kelemahan di negeri ini adalah
lemahnya penerapan manajemen yang baik di lingkungan aparatur pemerintah.
Memang benar dalam berbagai diskusi, seminar, dokumen, literatur dan rencana kerja
disebutkan bahwa perbaikan manajemen menjadi prioritas. Namun hal itu tidak mustahil
akan menjadi sesuatu yang tidak terlalu serius dikerjakan. Lantas bagaimana? Jawabnya:
perlu dilakukan secara serius, realistis dan berkelanjutan. Tak ada kata terlambat, walaupun
kereta sudah jauh di depan, manajemen profesional harus dibangun agar kesibukan menjadi
berarti dan bukan sibuk tak menentu, kata seorang Bupati ketika membuka suatu pelatihan
beberapa tahun yang lalu.
Agar menjadi sibuk yang menentu dan bermanfaat, maka salah satu hal penting yang perlu
dilakukan adalah membangun manajemen yang baik termasuk menyusun dan menerapkan
indikator kinerja yang dapat menunjukkan suatu prestasi. Indikator kinerja tersebut mencakup
indikator kinerja kelembagaan (instansi/lembaga/unit kerja) dan indikator kinerja pegawai.
Indikator kinerja kelembagaan mengacu kepada tugas dan fungsi kelembagaan. Sedangkan
indikator kinerja pegawai disusun sesuai dengan jabatannya. Dengan adanya indikator
kinerja maka evaluasi kinerja dan pengambilan kebijakan tertentu akan jauh lebih mudah
dan mempunyai dasar yang lebih akurat. Khusus untuk pelaksanaan evaluasi (atau
pengawasan) kinerja kelembagaan, perlu dibangun upaya siapa dan bagaimana melakukannya.
Dalam hal ini, dapat saja unit kerja pengawasan diberi tugas untuk hal tersebut, sehingga
pengawasan tidak hanya terfokus kepada pengawasan keuangan saja, tetapi juga
pengawasan/evaluasi terhadap kinerja kelembagaan (instansi, lembaga, unit kerja).
Mudah-mudahan semakin lama semakin banyak pihak yang tergugah untuk terlibat dalam
reformasi birokrasi yang antara lain melalui perbaikan manajemen aparatur pemerintah ke
arah manajemen yang efisien dan efektif.
30
Lampiran 2. Perkembangan Beberapa Kebijakan dalam Rangka Mewujudkan Tata
Kepemerintahan yang Baik di Indonesia
UNDANG-UNDANG
1. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan;
2. UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
3. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
6. UU No. 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
7. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
8. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
9. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN);
10. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
11. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat
dan Pemerintah Daerah;
12. UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pratun);
13. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara;
14. UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025.
PERATURAN PEMERINTAH
1. PP No. 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan tata
Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang;
2. PP No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
3. PP No. 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara;
4. PP No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. PP No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
6. PP No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
7. PP No. 2 Tahun 2001 Tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan
Negara dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah dalam rangka Pelaksanaan
Otonomi Daerah;
8. PP No. 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan;
31
9. PP No. 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
10. PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
11. PP No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
12. PP No. 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
13. PP No. 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
14. PP No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan;
15. PP No. 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.
PERATURAN PRESIDEN
1. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
2. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Tahun (RPJM) 2004-2009;
3. Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2005 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Tahun 2006;
4. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal;
5. Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2005 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana;
6. Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur;
7. Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2006 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007.
KEPPRES
1. Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
2. Keppres No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
3. Keppres No. 8 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Kepres No. 124 Tahun 2001 tentang
Komite Penanggulangan Kemiskinan;
4. Keppres No. 80 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
INPRES
1. Inpres No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
e-Government;
2. Inpres No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
3. Inpres No. 3 Tahun 2006 Tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.
32
Tim Penyusun:
Drs. Setia Budi, MA.
Dra. Rd. Siliwanti, MPIA.
Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, MA.
Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Juari, ME.
Ir. Ikak Gayuh Patriastomo, MSP.
Drs. Dadang Solihin, MA.
Ir. Nugroho Ananto, M.Eng., MM.
Kurniawan Ariadi, SIP, M.Com.
Ir. Rinella Tambunan, MPA.
Nur Syarifah, SH, LLM.
Drs. Bustang, M.Si.
Agus Sudrajat, S.Sos., MA.
Yunhri Trima Vibian, SE, MM.
Ir. Agus Sutiadi, M.Si.
Farida Rahmawati, M.Si.
Eka Wulandari Hadiputro, SH.
33
Download