BAB II KAJIAN TEORI & KERANGKA BERPIKIR 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Partai Politik 2.1.1.1 Pengertian Partai Politik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2006) dijelaskan politik adalah halhal yang berkenaan dengan tata negara, urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara atau terhadap negara lain, cara bertindak atau taktik; urusan ketatanegaraan. Menurut Joyce Mitchell dalam Miriam Budiardjo (2003) politik adalah sebuah bentuk pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Pengertian politik tersebut menyangkut kegiatan pemerintah, dalam prosesnya, pengambilan keputusan politik dan pelaksanaan keputusan politik pasti akan terjadi konflik-konflik kepentingan. Konflik ini terjadi antara pihak-pihak yang berupaya mendapatkan atau mempertahankan sumber yang dipandang penting dan pihak-pihak yang lain yang juga berikhtiar mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber tersebut. Sigmun Neumann mendefinisikan politik sebagai suatu kekuasaan pemerintahan dengan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. (Syafeiie, 2005). Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu pengambilan keputusan secara kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah kebijakan dimana mereka mendapat kekuasaan dan mereka berhak mengatur hubungan antar negara dengan negara ataupun rakyatnya. Politik sebagai suatu istilah adalah berasal dari kata Yunani “ polistaia”.kata “polis” berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri ( Negara) sedangkan “Taia” berarti urusan, jadi istilah “polistaia” adalah suatu kesatuan masyarakat yang mengurus urusan kepentingan negaranya.(Noor Ms Bakry,1980). Sedangkan Partai Politik Menurut Carl Friedrich dalam Inu Kencana (2003) bahwa:’’ A political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a goverment,with the farther objective of giving to members of the party, through such controlideal and material benefits and advatanges”. Maksudnya sebuah partai politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir dengan stabil,dengan tujuan menjaga atau mempertahankan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya,baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya. R.H. Soltau (Maran, 2007) partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, yang bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Selain definisi diatas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Carl J. Frederich (2007) partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan mengamankan atau memelihara para pemimpinnya atas suatu pemerintahan, dengan demikian dapat memberikan kepada anggota-anggotanya keuntungan-keuntungan serta kelebihan-kelebihan ideal maupun material. Miriam Budiardjo,(1998) berpendapat “partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,nilai-nilai,dan cita- cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan partai”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia,yang teroganisir,dan anggota-anggotanya mempunyai orientasi dan nilai, cita-cita yang sama dan memiliki suatu tujuan-tujuan yang sama pula,atau suatu keadaan politik bagi siapa saja (anggota) yang tergabung di dalamnya untuk secara bersama-sama mencapai kekuasaan untuk memerintah dalam hal ini berkaitan dengan pemerintah, dan merupakan ciri khas dari partai politik untuk mencapai suatu kekuasaan. Partai politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan pemerintah secara sah,engan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas dalam badan legislatif, atau mungkin bekerja secara tidak sah / subservatif untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara,yaitu melalui revolusi atau coup d’etat. (Sukarna, 1981). Partai politik menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Republik Indonesia dinyatakan bahwa” Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, melalui pemilihan umum.” Partai politik khususnya Partai Golkar ialah partai yang ditopang oleh sistem dan mekanisme politik yang dirancang oleh pemerintah, dimana militer menjadi bagian dari sistem dan mekanisme politik tersebut dan bagian dari strategi partai. Partai politik merupakan alat utama dan alat yang dinamis dalam pemerintahan. Partai diartikan sebagai organisasi manusia yang menjadi penggandeng antara rakyat dan badan-badan pemerintah, yang pada akhirnya melaksanakan atau mengontrol pelaksanaan kehendak rakyat sebagaiman diwujudkan dalam hukum dan kebijakan (Pamudji, 1983) Menurut Inu Kencana.S (2003) ”Partai politik adalah sekelompok orang-orang yang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat) Negara”. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. masyarakat yang Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan melahirkannya. Kalau kelahiran partai politk sebagai pengejawantahan dari kedaulatan rakyat sebagai politk formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendalian kekuasaan.Partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang alipun dapat membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksitensi partai politik merupakan prasyarat yang baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan sekelompok orang yang terorganisir,untuk memperoleh kekuasaan dan sebagai alat utama (pemerintah), sebagai pengandeng bawahannya dalam arti (rakyat) untuk mengontrol jalannya kehendak rakyat demi mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran, kedaulatan rakyat dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan perwakilan daerah. 2.1.1.2 Fungsi Partai Politik Partai Politik Menurut Mirriam Budiardjo (1982) dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi : 1) Partai sebagai sarana komunikasi politik Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian juga sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat modern yang begitu luas. Proses ini dinamakan “pengabungan kepentingan“ ( interest aggregation ). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi orang lain yang senada.Proses ini dinamakan “perumusan kepentingan”(interest articulation). Perumusan kepentingan dijadikan sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan pemerintah melalui politik. Partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarkanluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dimana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide (“ clearing house of idealis). 2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik Partai politik juga main peranan sebagai sarana sosialisasi politik ( instrumen of political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik,yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanakkanak sampai dewasa. Sosialisasi politik diselenggrakan melalui ceramahceramah penerangan,kursus kader, kursus penataan. 3) Partai politik sebagai sarana recruitment politik Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turun aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment), dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk di didik menjadi kader yang di masa mendatang atau mengganti pimpinan lama ( selection of leadership). Sarana recruitment politik dengan demikian berkaitan erat dengan proses recruitment bakal calon Kepala Daerah yang dilakukan oleh Parpol pada saat Pemilihan Kepala Daerah. 4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar, jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya, dalam praktek politik dilihat bahwa fungsi-fungsi tersebut di atas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya informasi yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat; yang dikejar bukan kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat pengkotaan politik atau konflik tidak diselesaikan akan tetapi melahan dipertajam. Fungsi Partai politik telah diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2008, pada pasal 12 mengenai fungsi partai politik yakni menjadi sarana untuk: 1. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat. 3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. 4. Partisipasi politik warga negara Indonesia. 5. Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 2.1.1.3 Klasifikasi Partai Politik Klasifikasi partai dalam Mirriam Budiardjo (1991) dapat dilakukan dengan berbagai cara, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaanya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung–pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai massa adalah masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung dibawah partai massa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat krisis, sehingga persatuan dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saingan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Kemudian partai politik dilihat secara sistem organisasinya di dalam pemerintahan maka partai politik dibedakan menjadi sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem muti partai. 1. Sistem partai tunggal Sistem partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (condictio in terminis) sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu unsur, namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benarbenar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara,maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi. Pada partai tunggal terdapat di beberapa negara Afrika (Ghana di masa Guinea. Mali. Pantai Gading). Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dinamakan non–kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal disebabkan di negara-negara baru, pimpinan sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan,daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya, dikuatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan. 2. Sistem Dwi Partai Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai biasanya diartikan adanya dua partai dan adanya beberapa partai tetapi dengan peranan yang dominan dari dua partai, dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena memang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal oposition) terhadap kebijaksanaan partaiyang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peranan sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persidangan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering dinamakan pemilih terapung (floating vote). Sistem dwi partai pernah disebut “a convenient system for cotented people“ dan memang kenyataan bahwa sistem dwi partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat adalah homogen (Social Homegenity), konsensus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political concensus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (Historical Continuity). Sistem dwi partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (sistem distric) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. 3. Sistem Multi Partai Sistem ini sering disebut dengan sistem banyak partai, negara yang menganut banyak partai biasanya terjadi pada masyarakat yang mempunyai keanekaragaman/kemajemukan. Sifat kemajemukan yang terdapat pada suatu masyarakat terdiri dari ras, agama, lapisan sosial, dan sebgainya. Hal ini menimbulkan suatu ikatan primordial yang kuat. Primordialisme tersebut akan memunculkan organisasi-organisasi sosial politik yang berdasar pada primordial. Sistem multi-partai, kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang tidak cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partrai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional Representatif) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan – golongan kecil. Melalui sistem perwakilan berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu daerah pemilihan (Dapil) dapat ditarik ke Dapil lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi. Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan bebagai jenis sistem multipartai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya. 2.1.1.4 Partai Golkar Sejarah Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar (Sekretaris Bersama) di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya Perwira Angkatan Darat (Seperti Letkol Suhardiman dan Soksi) menghimpun berpuluh-puluh Organisasi Pemuda, Sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar). Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir Karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari Golongan fungsional karya murni diluar semua organisasi kepartaian. Dilandasi oleh semangat reformasi, Golongan Karya melakukan perubahan paradigma serta menegaskan dirinya sebagai partai politik pada Rapat Pimpinan Paripurna Golongan Karya tanggal 19 Oktober 1998 dan di deklarasikan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1999, dengan nama Partai Golongan Karya. Dengan perubahan tersebut, Partai Golongan Karya sepenuhnya mengemban hakekat partai politik sebagai pilar demokrasi dan kekuatan politik sebagai pilar demokrasi dan kekuatan politik rakyat untuk memperjuangkan cita-cita dan aspirasinya secara mandiri, bebas, dan demokratis. Menghadapi pemilu 1971, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya ( Golkar). Logo dan nama ini, sejak pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang dan pada pemilu 1971, Golkar menjadi salah satu kontestan pemilu, dan ketika golkar diragukan kemampuan komonikasi politiknya, Golkar mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau dimana Partai Golkar keluar sebagai pemenang, Partai kontestan lain tidak menyadari kalau Golkar sukses besar sebagai pemenang dan berhasil mengumpulkan suara 34.348.673 suara atau 62,79% dari total perolehan suara. Semenjak kemenangan tersebut Partai Golkar yang berada di bawah kekuasaan Soeharto selalu mendapatkan posisi yang baik di parlemen sepanjang Orde Baru berlangsung hingga pengujung tahun 1998. Namun demikian, berakhirnya orde baru tidak membuat Partai Golkar hilang dari kancah perpolitikan nasional. Partai Golkar menjelma sebagai kekuatan politik baru dengan tatanan struktural partai yang baru pula di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung. Hal ini dibuktikan dengan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu tahun 1999 yang mencapai 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah dan berada pada posisi kedua setelah PDI Perjuangan. Begitu pula Golkar dibawah Kepemimpinan Yusuf Kalla dan Aburizal Bakrie, pada Pemilu tahun 2004 Partai Golkar kembali mengulang sejarah memenangkan Pemilu dengan menempati urutan pertama yaitu memperoleh suara sah 21,58% dari keseluruhan suara sah. Walaupun pada Pemilu 2009 Golkar mengalami penurunan namun tetap saja Golkar masih menjadi partai yang kuat di parlemen dengan mendapat 107 kursi (19,2%) di DPR yang menempatkan Golkar pada posisi kedua dalam pemilu 2009 (Wikipedia, 2012). 2.1.2 Pemilihan Kepala Daerah 2.1.2.1 Pemilihan Kepala Daerah Langsung Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: 1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi 2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten 3. Walikota dan wakil walikota untuk kota Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam undangundang ini, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam Pemilu, sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau "Pemilukada". Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada Dki Jakarta 2007. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal. 2.1.2.2 Tahap-tahap Pemilihan Kepala Daerah 2.1.2.2.1 Tahap Persiapan Pemilihan Kepala Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 2 tahap persiapan pemilihan kepala daerah sebagai berikut : a. Pemberitahuan DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah. b. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. c. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. d. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pemilihan kepala daerah merupakan tahap atau rencana yang paling mendasar karena tanpa adanya persiapan terlebih dahulu tidak akan berjalan dengan lancar. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 14 yang berbunyi ” Panitia pengawas adalah panitia pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dibentuk oleh DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan pelaksanaan pemilihan”. Penjelasan di atas menerangkan bahwa panitia pengawas peranannya sangat penting bagi kelangsungan proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah supaya berjalan dengan lancar dan tidak disertai kecurangan – kecurangan. Dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 166 ayat 4 bahwa panitia pengawasan pemilihan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang – undangan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan instansi yang berwenang. e. Mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang dimaksud pemantau pemilihan yaitu pelaksana pemantauan pemilihan yang telah tercatat dan memperoleh akreditasi dari KPUD yang berfungsi untuk memantau jalannya proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibentuknya tim pemantau pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada saat pelaksanaan pencoblosan terutama di kalangan masyarakat sebagai tim pemantau diharapkan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2.1.2.2.2 Tahap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di jelaskan bahwa tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi sebagai berikut : a. Penetapan Pemilihan Penetapan pemilihan yaitu warga negara Republik Indonesia yang sudah berumur 17 (tujuh belas tahun) yang pada hari pemungutan suara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau sudah kawin dan mempunyai hak memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana warga negara Republik Indonesia itu terdaftar sebagai pemilih. Adapun syarat yang harus dipenuhi pemilih menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu : 1. Nyata – nyata sedang tidak terganggu jiwa / ingatannya. 2. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan seorang pemilih harus warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan apabila seseorang pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan bila telah terdaftar sebagai peserta akan diberi tanda bukti untuk setiap pemungutan suara dengan catatan seorang pemilih hanya didaftar satu kali dalam pemilih dan bila mempunyai lebih dari satu tempat tinggal maka pemilih tersebut harus menentukan satu untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih. b. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon Dalam proses penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 36 ayat 1 yang berbunyi ” Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik secara berpasangan.” Dengan demikian pasangan calon dapat mendaftarkan diri setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah, dengan ketentuan partai politik atau gabungan dari partai politik hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan tidak boleh dicalonkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya. Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu kepada komisi pemilihan umum paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. c. Kampanye Kegiatan kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Kampanye sendiri diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Adapun jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari masing-masing pasangan calon. Tim kampanye dibentuk secara berjenjang. Selama kampanye orang bebas mengekspresikan kepentingannya, aspirasi maupun pendapat secara bebas, dapat menghantarkan pasangan calon yang bersangkutan pada suasana dimana pasangan calon tersebut mencoba menarik simpatisan pemilih. Suasana kampanye yang dimobilisasi oleh masa yang banyak cenderung akan mendapatkan simpatisan publik dan cenderung pula masa melakukan tindakan – tindakan yang dilarang dalam rambu rambu kampanye. d. Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara Secara formal tata cara pemberian suara berupa memilih pasangan calon sudah menjamin penggunaan hak pilih serta kebebasan dan kerahasiaan, apabila disertakan dengan adanya hak bagi pasangan calon menyiapkan saksi dalam pilkada. Menurut pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 berbunyi bahwa pemungutan suara pemilihan diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Dengan demikian pemungutan suara dimaksud yaitu dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi nomor, foto dan nama pasangan calon dan jadwal waktu pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan berakhir 13.00 waktu setempat, dimana pemberian suara untuk pemilihan dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon yang ada dalam surat suara (PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Selanjutnya sebelum melaksanakan perhitungan suara, KPPS/KPPSLN menghitung jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih tetap,setelah itu jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain,jumlah surat suara yang tidak terpakai, jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau salah dalam cara memberikan suara, sisa surat suara cadangan. Kemudian penggunaan surat suara cadangan dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua KPPS/KPPSLN dan oleh paling sedikit dua orang anggota KPPS/KPPSLN yang hadir. e. Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 9 ayat 1 yang berbunyi ”pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.” Apabila pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari 25 % dari jumlah sah maka calon yang memperoleh suara terbesar ditetapkan sebagai calon terpilih, dan pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 30 hari, sebelum kepala daerah dan wakil kepala daerah memangku jabatan dilantik terlebih dahulu dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dibimbing oleh pejabat yang melantik, adapun cara pelantikan disesuaikan dengan peraturan tata tertib DPRD. f. Tahap Evaluasi Sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 bahwa tahap evaluasi merupakan tahap atau kegiatan penyelesaian yaitu sebagai berikut : (1) pembubaran panitia pemilihan ditingkat PPK, PPS, dan KPPS sesuai dengan tugas dan tingkatannya. (2) penghimpunan dan penyusunan hasil pemantauan pengawasan dan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (3) evaluasi pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (4) laporan pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban anggaran pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 2.1.3 Dinamika Politik dalam Pilkada 2.1.3.1 Pengertian Dinamika Politik Kata “Dinamika” berarti keadaan yang berubah-ubah yang menggambarkan fluktuasi atau pasang surut, sekaligus aktifitas dan sistem sosial yang tidak statis yang bergerak menuju perubahan (Hollander, 1978). Dinamika tersebut menunjuk pada perubahan yang terjadi karena desakan kebutuhan internal dan eksternal. Dinamika kelompok misalnya sebagaimana dinyatakan oleh slamet santoso (2004) bahwa dinamika dipahami tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lainnya secara timbal balik, dia mengartikannya sebagai adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini terjadi karena selama ada kelompok,semangat kelompok (groups spirit) terus menerus berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu, kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Dinamika sebagai pemberian pengaruh terhadap desain organisasi dan karakteristik lingkungan (Hellriegel, 1989). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dinamika politik adalah gerak yang mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja yang kemudian memberikan warna dan perubahan pada pemerintahan. Dinamika tersebut muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal partai sebagai kelompok yang terorganisir dan merupakan dampak dari interakasi masyarakat. Dinamika menurut kamus besar Bahasa Indonesia Depdikbud ( Balai Pustaka 1985) adalah gerak atau kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan dalam tatanan hidup masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan dinamika adalah suatu gerak perubahan yang dimiliki oleh seseorang atau individu, masyarakat yang dapat menimbulkan suatu gerakan perubahan tertentu, yang dapat membentuk suatu tatanan kehidupan masyarakat yang seimbang. Sehinggga dinamika politik yaitu gerak yang mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja yang kemudian memberikan warna dan perubahan pada pemerintahan. Dinamika tersebut muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal partai sebagai kelompok yang yang terorganisir dan merupakan dampak dari interaksi masyarakat. 2.1.3.2 Elit Politik Lokal dalam Pilkada Gelombang reformasi sejak tahun 1998 memproduksi salah satunya yaitu UU No.22 tahun 1999, yang kemudian mengalami pergantian dengan UU No. 32 tahun 2004 yaitu tentang Pemerintah Daerah atau yang dikenal dengan Otonomi Daerah. Otonomi daerah juga sarat dengan konflik elit politik lokal suatu daerah. Konflik politik yang terjadi di suatu daerah sering kali terjadi karena memperebutkan hal yang sama missal memperebutkan kekuasaan pemerintahan di daerah, memperebutkan jabatan politik partai, atau memperebutkan proyek hasil kebijakan pemerintah. Menurut Irtanto (2008) walaupun konflik selalu memperebutkan hal yang sama namun selalu menuju kearah kesepakatan, dalam asumsi ini maka di buat kategori tujuan konflik sebagai berikut: 1) pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang sama, yakni sama-sama berupayan mendapatkan. 2) di satu pihak hendak mendapatkan, sedangkan dipihak lain berupaya keras mempertahankan apa yang dimiliki. Sedangkan menurut Dahrendorf dalam Irtanto (2008) menyatakan pengaturan konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi di antara mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara rapi, tidak tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main (Rules of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka. Teori elit memandang setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas mencakup: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individuindividu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang berada dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (nongoverning elit ) dan massa umum (non elite). Konflik yang terjadi pada level internal dalam Negara disebabkab oleh dua hal, yaitu persoalan: (1) identitas dan (2) ketidakadilan struktural, di Indonesia pada saat ini termasuk “dampak” implementasi kebijakan otonomi daerah. Pengertian “konflik identitas” adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi orang dalam kelompok komunal (budaya), bahasa, dan seterusnya. Konflik yang terjadi manakala ada pihak-pihak yang memanfaatkan, memanipulasi, dan mengeksploitasi identitas dalam konflik untuk kepentingan diri dan kelompoknya, Konflik lebih dipersepsikan mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap. Ketika orang berhadapan dengan seseorang atau sebuah sekelompok yang sumber-sumber dayanya dianggap berharga dan tampak lebih lema daripada dirinya sendiri. Dan bila aspirasi pihak lain tidak menurunkan secara bersamaan dengan meningkatnya aspirasinya sendiri, maka konflik yang bersifat eksploitatif menjadi sangat mungkin terjadi (Irtanto, 2008). 2.2 Kerangka Berpikir Partai Golkar Kota Salatiga Pilkada kota Salatiga Partai Golkar Dinamika Politik Partai Golkar Secara teoritis sistem politik merupakan rangkaian kegiatan politik yang memiliki unsur input, proses, output, dan umpan balik. Proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang terjadi dalam sistem politik tidak akan berjalan tanpa adanya infrastruktur politik. Partai Golkar di Salatiga sebagai infrastruktur politik pemerintahan lokal memiliki peran penting dalam menjalankan sistem politik di kota Salatiga. Kaitannya dengan Pilkada tahun 2011 kota Salatiga Partai Golkar memiliki peranan yang penting. Sebagai infrastruktur politik partai Golkar memiliki dinamika politik yang sarat dengan hal-hal yang berpengaruh dengan kegiatan politik di Salatiga. Dinamika politik lokal di Salatiga ini mempengaruhi kinerja dan kegiatan struktural Partai Golkar tersebut.