Dinamika Politik Partai Golkar (Studi Kasus Dpd Partai Golkar di

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI & KERANGKA BERPIKIR
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Partai Politik
2.1.1.1 Pengertian Partai Politik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2006) dijelaskan politik adalah halhal yang berkenaan dengan tata negara, urusan yang mencakup siasat dalam
pemerintahan negara atau terhadap negara lain, cara bertindak atau taktik; urusan
ketatanegaraan.
Menurut Joyce Mitchell dalam Miriam Budiardjo (2003) politik adalah sebuah
bentuk pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk
masyarakat seluruhnya. Pengertian politik tersebut menyangkut kegiatan pemerintah,
dalam prosesnya, pengambilan keputusan politik dan pelaksanaan keputusan politik
pasti akan terjadi konflik-konflik kepentingan. Konflik ini terjadi antara pihak-pihak
yang berupaya mendapatkan atau mempertahankan sumber yang dipandang penting
dan pihak-pihak yang lain yang juga berikhtiar mendapatkan dan atau
mempertahankan sumber-sumber tersebut.
Sigmun
Neumann
mendefinisikan
politik
sebagai
suatu
kekuasaan
pemerintahan dengan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
(Syafeiie, 2005).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu
pengambilan keputusan secara kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
tergabung dalam sebuah kebijakan dimana mereka mendapat kekuasaan dan mereka
berhak mengatur hubungan antar negara dengan negara ataupun rakyatnya.
Politik sebagai suatu istilah adalah berasal dari kata Yunani “ polistaia”.kata
“polis” berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri ( Negara) sedangkan
“Taia” berarti urusan, jadi istilah “polistaia” adalah suatu kesatuan masyarakat yang
mengurus urusan kepentingan negaranya.(Noor Ms Bakry,1980).
Sedangkan Partai Politik Menurut Carl Friedrich dalam Inu Kencana (2003)
bahwa:’’ A political party is a group of human beings, stably organized with the
objective of securing or maintaining for its leaders the control of a goverment,with
the farther objective of giving to members of the party, through such controlideal and
material benefits and advatanges”. Maksudnya sebuah partai politik merupakan
sekelompok manusia yang terorganisir dengan stabil,dengan tujuan menjaga atau
mempertahankan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi pimpinan partai dan
berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya,baik
idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.
R.H. Soltau (Maran, 2007) partai politik adalah sekelompok warga negara
yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, yang bertujuan untuk menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
Selain definisi diatas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Carl J. Frederich
(2007) partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil
dengan tujuan mengamankan atau memelihara para pemimpinnya atas suatu
pemerintahan, dengan demikian dapat memberikan kepada anggota-anggotanya
keuntungan-keuntungan serta kelebihan-kelebihan ideal maupun material.
Miriam Budiardjo,(1998) berpendapat “partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,nilai-nilai,dan cita-
cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik
melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan partai”.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah
sekelompok manusia,yang teroganisir,dan anggota-anggotanya mempunyai orientasi
dan nilai, cita-cita yang sama dan memiliki suatu tujuan-tujuan yang sama pula,atau
suatu keadaan politik bagi siapa saja (anggota) yang tergabung di dalamnya untuk
secara bersama-sama mencapai kekuasaan untuk memerintah dalam hal ini berkaitan
dengan pemerintah, dan merupakan ciri khas dari partai politik untuk mencapai suatu
kekuasaan.
Partai politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk
memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan
pemerintah secara sah,engan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas
dalam badan legislatif, atau mungkin bekerja secara tidak sah / subservatif untuk
memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara,yaitu melalui revolusi atau coup d’etat.
(Sukarna, 1981).
Partai politik menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Republik
Indonesia dinyatakan bahwa” Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara, melalui pemilihan umum.”
Partai politik khususnya Partai Golkar ialah partai yang ditopang oleh sistem
dan mekanisme politik yang dirancang oleh pemerintah, dimana militer menjadi
bagian dari sistem dan mekanisme politik tersebut dan bagian dari strategi partai.
Partai politik merupakan alat utama dan
alat yang dinamis dalam
pemerintahan. Partai diartikan sebagai organisasi manusia yang menjadi penggandeng
antara rakyat dan badan-badan pemerintah, yang pada akhirnya melaksanakan atau
mengontrol pelaksanaan kehendak rakyat sebagaiman diwujudkan dalam hukum dan
kebijakan (Pamudji, 1983)
Menurut Inu Kencana.S (2003) ”Partai politik adalah sekelompok orang-orang
yang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan
dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka pribadi paling idealis)
memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat) Negara”. Partai politik
sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam
mengendalikan kekuasaan.
masyarakat
yang
Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
melahirkannya.
Kalau
kelahiran
partai
politk
sebagai
pengejawantahan dari kedaulatan rakyat sebagai politk formal, maka semangat
kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai
pengendalian kekuasaan.Partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut
negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang alipun dapat membantahnya, karena
partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksitensi partai politik merupakan
prasyarat yang baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat
langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk
dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik
merupakan sekelompok orang yang terorganisir,untuk memperoleh kekuasaan dan
sebagai alat utama (pemerintah), sebagai pengandeng bawahannya dalam arti (rakyat)
untuk mengontrol jalannya kehendak rakyat demi mempertahankan kekuasaan dengan
tujuan untuk memperjuangkan kebenaran, kedaulatan rakyat dalam proses
penyelenggaraan negara melalui wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan
perwakilan daerah.
2.1.1.2 Fungsi Partai Politik
Partai Politik Menurut Mirriam Budiardjo (1982) dalam negara demokratis
partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi :
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat
dan
aspirasi
masyarakat
dan
mengaturnya
sedemikian
juga
sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat modern yang begitu luas. Proses ini
dinamakan “pengabungan kepentingan“ ( interest aggregation ). Sesudah
digabung, pendapat dan aspirasi orang lain yang senada.Proses ini dinamakan
“perumusan kepentingan”(interest articulation).
Perumusan
kepentingan
dijadikan
sebagai usul
kebijaksanaan.
Usul
kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau
disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public
policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan
pemerintah melalui politik. Partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan
dan menyebarkanluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas, dimana partai politik memainkan peranan sebagai
penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan
warga masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut
sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide (“ clearing house of idealis).
2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik
Partai politik juga main peranan sebagai sarana sosialisasi politik ( instrumen
of political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan
sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap
phenomena politik,yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana berada.
Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanakkanak sampai dewasa. Sosialisasi politik diselenggrakan melalui ceramahceramah penerangan,kursus kader, kursus penataan.
3) Partai politik sebagai sarana recruitment politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat
untuk turun aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political
recruitment), dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik.
Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi juga diusahakan untuk menarik
golongan muda untuk di didik menjadi kader yang di masa mendatang atau
mengganti pimpinan lama ( selection of leadership). Sarana recruitment politik
dengan demikian berkaitan erat dengan proses recruitment bakal calon Kepala
Daerah yang dilakukan oleh Parpol pada saat Pemilihan Kepala Daerah.
4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam
masyarakat merupakan soal yang wajar, jika sampai terjadi konflik, partai politik
berusaha untuk mengatasinya, dalam praktek politik dilihat bahwa fungsi-fungsi
tersebut di atas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya informasi
yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam
masyarakat; yang dikejar bukan kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan
partai yang sempit dengan akibat pengkotaan politik atau konflik tidak
diselesaikan akan tetapi melahan dipertajam.
Fungsi Partai politik telah diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2008,
pada pasal 12 mengenai fungsi partai politik yakni menjadi sarana untuk:
1. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan
bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.
3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
4. Partisipasi politik warga negara Indonesia.
5. Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
2.1.1.3 Klasifikasi Partai Politik
Klasifikasi partai dalam Mirriam Budiardjo (1991) dapat dilakukan dengan
berbagai cara, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaanya, secara umum
dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.
Partai massa
mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu
biasanya terdiri dari pendukung–pendukung dari berbagai aliran politik dalam
masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu
program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai massa adalah
masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung dibawah partai massa cenderung
untuk memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat krisis, sehingga
persatuan dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah
satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
Sedangkan Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja
dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin
politik yang dianut dengan jalan mengadakan saingan terhadap calon anggotanya dan
memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.
Kemudian partai politik dilihat secara sistem organisasinya di dalam
pemerintahan maka partai politik dibedakan menjadi sistem partai tunggal, sistem dwi
partai, dan sistem muti partai.
1. Sistem partai tunggal
Sistem partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri
(condictio in terminis) sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu
mengandung lebih dari satu unsur, namun demikian istilah ini telah tersebar luas
dikalangan masyarakat dan sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benarbenar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara,maupun untuk partai
yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya dalam
kategori terakhir terdapat banyak variasi.
Pada partai tunggal terdapat di beberapa negara Afrika (Ghana di masa
Guinea. Mali. Pantai Gading). Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian
dinamakan non–kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka
melawan partai itu. Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal
disebabkan di negara-negara baru, pimpinan sering dihadapkan dengan masalah
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan,daerah serta suku bangsa yang
berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya, dikuatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi
gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan.
2. Sistem Dwi Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai biasanya
diartikan adanya dua partai dan adanya beberapa partai tetapi dengan peranan
yang dominan dari dua partai, dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi
dalam partai yang berkuasa (karena memang dalam pemilihan umum) dan partai
oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum) dengan demikian jelaslah dimana
letaknya tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini
partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal oposition)
terhadap kebijaksanaan partaiyang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa peranan sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persidangan
memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan
orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering dinamakan pemilih terapung
(floating vote).
Sistem dwi partai pernah disebut “a convenient system for cotented people“
dan memang kenyataan bahwa sistem dwi partai dapat berjalan baik apabila
terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi
masyarakat adalah homogen (Social
Homegenity), konsensus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang
pokok (political concensus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah
(Historical Continuity). Sistem dwi partai umumnya diperkuat dengan
digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (sistem distric)
dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja.
3.
Sistem Multi Partai
Sistem ini sering disebut dengan sistem banyak partai, negara yang menganut
banyak
partai
biasanya
terjadi
pada
masyarakat
yang
mempunyai
keanekaragaman/kemajemukan. Sifat kemajemukan yang terdapat pada suatu
masyarakat terdiri dari ras, agama, lapisan sosial, dan sebgainya. Hal ini
menimbulkan suatu ikatan primordial yang kuat. Primordialisme tersebut akan
memunculkan organisasi-organisasi sosial politik yang berdasar pada primordial.
Sistem multi-partai, kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan
parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada
badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal
ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang tidak cukup kuat untuk
membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi
dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partrai yang berkoalisi
harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan
menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang
duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen
hilang.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan
berimbang (proportional Representatif) yang memberi kesempatan luas bagi
pertumbuhan partai-partai dan golongan – golongan kecil.
Melalui
sistem
perwakilan berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan
bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu daerah pemilihan (Dapil) dapat
ditarik ke Dapil lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna
memenangkan satu kursi.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan bebagai jenis sistem multipartai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang
berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem
multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu,
sambil menghindari unsur negatifnya.
2.1.1.4 Partai Golkar
Sejarah Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar
(Sekretaris Bersama) di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar
didirikan oleh golongan militer, khususnya Perwira Angkatan Darat (Seperti Letkol
Suhardiman dan Soksi) menghimpun berpuluh-puluh Organisasi Pemuda, Sarjana,
buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir
Karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik di dalam
maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan
wadah dari Golongan fungsional karya murni diluar semua organisasi kepartaian.
Dilandasi oleh semangat reformasi, Golongan Karya melakukan perubahan
paradigma serta menegaskan dirinya sebagai partai politik pada Rapat Pimpinan
Paripurna Golongan Karya tanggal 19 Oktober 1998 dan di deklarasikan di Jakarta
pada tanggal 7 Maret 1999, dengan nama Partai Golongan Karya. Dengan perubahan
tersebut, Partai Golongan Karya sepenuhnya mengemban hakekat partai politik
sebagai pilar demokrasi dan kekuatan politik sebagai pilar demokrasi dan kekuatan
politik rakyat untuk memperjuangkan cita-cita dan aspirasinya secara mandiri, bebas,
dan demokratis.
Menghadapi pemilu 1971, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4
Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta pemilu melalui satu nama dan tanda gambar
yaitu Golongan Karya ( Golkar). Logo dan nama ini, sejak pemilu 1971, tetap
dipertahankan sampai sekarang dan pada pemilu 1971, Golkar menjadi salah satu
kontestan pemilu, dan ketika golkar diragukan kemampuan komonikasi politiknya,
Golkar mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau dimana Partai Golkar keluar
sebagai pemenang, Partai kontestan lain tidak menyadari kalau Golkar sukses besar
sebagai pemenang dan berhasil mengumpulkan suara 34.348.673 suara atau 62,79%
dari total perolehan suara.
Semenjak kemenangan tersebut Partai Golkar yang berada di bawah
kekuasaan Soeharto selalu mendapatkan posisi yang baik di parlemen sepanjang Orde
Baru berlangsung hingga pengujung tahun 1998. Namun demikian, berakhirnya orde
baru tidak membuat Partai Golkar hilang dari kancah perpolitikan nasional. Partai
Golkar menjelma sebagai kekuatan politik baru dengan tatanan struktural partai yang
baru pula di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung. Hal ini dibuktikan dengan
perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu tahun 1999 yang mencapai 23.741.758
suara atau 22,44% dari suara sah dan berada pada posisi kedua setelah PDI
Perjuangan. Begitu pula Golkar dibawah Kepemimpinan Yusuf Kalla dan Aburizal
Bakrie, pada Pemilu tahun 2004 Partai Golkar kembali mengulang sejarah
memenangkan Pemilu dengan menempati urutan pertama yaitu memperoleh suara sah
21,58% dari keseluruhan suara sah. Walaupun pada Pemilu 2009 Golkar mengalami
penurunan namun tetap saja Golkar masih menjadi partai yang kuat di parlemen
dengan mendapat 107 kursi (19,2%) di DPR yang menempatkan Golkar pada posisi
kedua dalam pemilu 2009 (Wikipedia, 2012).
2.1.2 Pemilihan Kepala Daerah
2.1.2.1 Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau seringkali
disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah
setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
3. Walikota dan wakil walikota untuk kota
Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam undangundang ini, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum
dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam Pemilu, sehingga secara
resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau
"Pemilukada". Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini
adalah Pilkada Dki Jakarta 2007.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah
pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan
yang
didukung
oleh
sejumlah
orang.
Undang-undang
ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus
di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai
politik lokal.
2.1.2.2 Tahap-tahap Pemilihan Kepala Daerah
2.1.2.2.1 Tahap Persiapan Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 2 tahap persiapan pemilihan
kepala daerah sebagai berikut :
a.
Pemberitahuan DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
b.
Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
c.
Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS.
d.
Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pemilihan
kepala daerah merupakan tahap atau rencana yang paling mendasar karena tanpa
adanya persiapan terlebih dahulu tidak akan berjalan dengan lancar.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 14 yang berbunyi ”
Panitia pengawas adalah panitia pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang dibentuk oleh DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan
pelaksanaan pemilihan”.
Penjelasan di atas menerangkan bahwa panitia pengawas peranannya sangat
penting bagi kelangsungan proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah supaya berjalan dengan lancar dan tidak disertai kecurangan – kecurangan.
Dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 166 ayat 4 bahwa panitia
pengawasan pemilihan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.
Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
b.
Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang – undangan pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
c.
Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
d.
Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan instansi yang
berwenang.
e.
Mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang dimaksud pemantau
pemilihan yaitu pelaksana pemantauan pemilihan yang telah tercatat dan
memperoleh akreditasi dari KPUD yang berfungsi untuk memantau jalannya proses
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibentuknya tim pemantau
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada saat pelaksanaan
pencoblosan terutama di kalangan masyarakat sebagai tim pemantau diharapkan
dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2.1.2.2.2 Tahap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di
jelaskan bahwa tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah meliputi sebagai berikut :
a. Penetapan Pemilihan
Penetapan pemilihan yaitu warga negara Republik Indonesia yang sudah
berumur 17 (tujuh belas tahun) yang pada hari pemungutan suara Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah atau sudah kawin dan mempunyai hak memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana warga negara Republik Indonesia itu
terdaftar sebagai pemilih. Adapun syarat yang harus dipenuhi pemilih menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
1.
Nyata – nyata sedang tidak terganggu jiwa / ingatannya.
2.
Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan seorang pemilih harus
warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan apabila
seseorang pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan bila telah terdaftar
sebagai peserta akan diberi tanda bukti untuk setiap pemungutan suara dengan
catatan seorang pemilih hanya didaftar satu kali dalam pemilih dan bila mempunyai
lebih dari satu tempat tinggal maka pemilih tersebut harus menentukan satu untuk
ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
b. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon
Dalam proses penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik wajib
memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang
dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 36 ayat 1 yang berbunyi ” Peserta
pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
dari partai politik secara berpasangan.”
Dengan demikian pasangan calon dapat mendaftarkan diri setelah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah
kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan
anggota DPRD di daerah, dengan ketentuan partai politik atau gabungan dari partai
politik hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan tidak boleh dicalonkan
lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.
Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu
kepada komisi pemilihan umum paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
pengumuman pendaftaran pasangan calon.
c. Kampanye
Kegiatan kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye dilakukan selama 14
(empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Kampanye sendiri diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan
calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan
pasangan calon.
Adapun jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul
dari masing-masing pasangan calon. Tim kampanye dibentuk secara berjenjang.
Selama kampanye orang bebas mengekspresikan kepentingannya, aspirasi maupun
pendapat secara bebas, dapat menghantarkan pasangan calon yang bersangkutan
pada suasana dimana pasangan calon tersebut mencoba menarik simpatisan pemilih.
Suasana kampanye yang dimobilisasi oleh masa yang banyak cenderung akan
mendapatkan simpatisan publik dan cenderung pula masa melakukan tindakan –
tindakan yang dilarang dalam rambu rambu kampanye.
d. Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara
Secara formal tata cara pemberian suara berupa memilih pasangan calon sudah
menjamin penggunaan hak pilih serta kebebasan dan kerahasiaan, apabila disertakan
dengan adanya hak bagi pasangan calon menyiapkan saksi dalam pilkada.
Menurut pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 berbunyi bahwa
pemungutan suara pemilihan diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir.
Dengan demikian pemungutan suara dimaksud yaitu dengan memberikan suara
melalui surat suara yang berisi nomor, foto dan nama pasangan calon dan jadwal
waktu pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan berakhir 13.00 waktu
setempat, dimana pemberian suara untuk pemilihan dilakukan dengan mencoblos
salah satu pasangan calon yang ada dalam surat suara (PP No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah).
Selanjutnya sebelum melaksanakan perhitungan suara,
KPPS/KPPSLN
menghitung jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar
pemilih tetap,setelah itu jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain,jumlah
surat suara yang tidak terpakai, jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih
karena rusak atau salah dalam cara memberikan suara, sisa surat suara cadangan.
Kemudian penggunaan surat suara cadangan dibuatkan berita acara yang
ditandatangani oleh ketua KPPS/KPPSLN dan oleh paling sedikit dua orang anggota
KPPS/KPPSLN yang hadir.
e. Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 9 ayat 1 yang
berbunyi ”pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih.”
Apabila pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari 25 % dari jumlah
sah maka calon yang memperoleh suara terbesar ditetapkan sebagai calon terpilih,
dan pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 30
hari, sebelum kepala daerah dan wakil kepala daerah memangku jabatan dilantik
terlebih dahulu dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dibimbing oleh pejabat
yang melantik, adapun cara pelantikan disesuaikan dengan peraturan tata tertib
DPRD.
f. Tahap Evaluasi
Sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
bahwa tahap evaluasi merupakan tahap atau kegiatan penyelesaian yaitu sebagai
berikut : (1) pembubaran panitia pemilihan ditingkat PPK, PPS, dan KPPS sesuai
dengan tugas dan tingkatannya. (2) penghimpunan dan penyusunan hasil
pemantauan pengawasan dan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. (3) evaluasi pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. (4) laporan pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban
anggaran pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2.1.3 Dinamika Politik dalam Pilkada
2.1.3.1 Pengertian Dinamika Politik
Kata “Dinamika” berarti keadaan yang berubah-ubah yang menggambarkan
fluktuasi atau pasang surut, sekaligus aktifitas dan sistem sosial yang tidak statis yang
bergerak menuju perubahan (Hollander, 1978). Dinamika tersebut menunjuk pada
perubahan yang terjadi karena desakan kebutuhan internal dan eksternal. Dinamika
kelompok misalnya sebagaimana dinyatakan oleh slamet santoso (2004) bahwa
dinamika dipahami tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi
warga yang lainnya secara timbal balik, dia mengartikannya sebagai adanya interaksi
dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok
yang lain secara timbal balik dan antara kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini
terjadi karena selama ada kelompok,semangat kelompok (groups spirit) terus menerus
berada dalam kelompok itu.
Oleh karena itu, kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat
kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Dinamika sebagai pemberian pengaruh
terhadap desain organisasi dan karakteristik lingkungan (Hellriegel, 1989). Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dinamika politik adalah gerak yang
mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja yang
kemudian memberikan warna dan perubahan pada pemerintahan. Dinamika tersebut
muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal partai sebagai kelompok
yang terorganisir dan merupakan dampak dari interakasi masyarakat.
Dinamika menurut kamus besar Bahasa Indonesia Depdikbud ( Balai Pustaka
1985) adalah gerak atau kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat
yang dapat menimbulkan perubahan dalam tatanan hidup masyarakat yang
bersangkutan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan dinamika adalah suatu gerak
perubahan yang dimiliki oleh seseorang atau individu, masyarakat yang dapat
menimbulkan suatu gerakan perubahan tertentu, yang dapat membentuk suatu tatanan
kehidupan masyarakat yang seimbang. Sehinggga dinamika politik yaitu gerak yang
mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja yang
kemudian memberikan warna dan perubahan pada pemerintahan. Dinamika tersebut
muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal partai sebagai kelompok
yang yang terorganisir dan merupakan dampak dari interaksi masyarakat.
2.1.3.2 Elit Politik Lokal dalam Pilkada
Gelombang reformasi sejak tahun 1998 memproduksi salah satunya yaitu UU
No.22 tahun 1999, yang kemudian mengalami pergantian dengan UU No. 32 tahun
2004 yaitu tentang Pemerintah Daerah atau yang dikenal dengan Otonomi Daerah.
Otonomi daerah juga sarat dengan konflik elit politik lokal suatu daerah. Konflik
politik yang terjadi di suatu daerah sering kali terjadi karena memperebutkan hal yang
sama missal memperebutkan kekuasaan pemerintahan di daerah, memperebutkan
jabatan politik partai, atau memperebutkan proyek hasil kebijakan pemerintah.
Menurut Irtanto (2008) walaupun konflik selalu memperebutkan hal yang
sama namun selalu menuju kearah kesepakatan, dalam asumsi ini maka di buat
kategori tujuan konflik sebagai berikut: 1) pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
yang sama, yakni sama-sama berupayan mendapatkan. 2) di satu pihak hendak
mendapatkan, sedangkan dipihak lain berupaya keras mempertahankan apa yang
dimiliki.
Sedangkan menurut Dahrendorf dalam Irtanto (2008) menyatakan pengaturan
konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus
mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi di antara mereka (adanya
pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua,
kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara rapi, tidak
tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan
jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main (Rules
of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi
diantara mereka.
Teori elit memandang setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas
mencakup: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah, (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan
untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individuindividu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan
kekuasaan atau kelompok yang berada dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang
berkuasa. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori
yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (nongoverning elit ) dan massa umum (non elite).
Konflik yang terjadi pada level internal dalam Negara disebabkab oleh dua
hal, yaitu persoalan: (1) identitas dan (2) ketidakadilan struktural, di Indonesia pada
saat ini termasuk “dampak” implementasi kebijakan otonomi daerah. Pengertian
“konflik identitas” adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi orang dalam
kelompok komunal (budaya), bahasa, dan seterusnya. Konflik yang terjadi manakala
ada pihak-pihak yang memanfaatkan, memanipulasi, dan mengeksploitasi identitas
dalam konflik untuk kepentingan diri dan kelompoknya,
Konflik lebih dipersepsikan mengenai perbedaan kepentingan atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara
simultan. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi
atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat. Ketika konflik
semacam itu terjadi, maka akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi
pihak lain bersifat kaku dan menetap. Ketika orang berhadapan dengan seseorang
atau sebuah sekelompok yang sumber-sumber dayanya dianggap berharga dan tampak
lebih lema daripada dirinya sendiri. Dan bila aspirasi pihak lain tidak menurunkan
secara bersamaan dengan meningkatnya aspirasinya sendiri, maka konflik yang
bersifat eksploitatif menjadi sangat mungkin terjadi (Irtanto, 2008).
2.2 Kerangka Berpikir
Partai Golkar
Kota Salatiga
Pilkada
kota
Salatiga
Partai
Golkar
Dinamika Politik
Partai Golkar
Secara teoritis sistem politik merupakan rangkaian kegiatan politik yang memiliki
unsur input, proses, output, dan umpan balik. Proses interaksi antara pemerintah dan
masyarakat yang terjadi dalam sistem politik tidak akan berjalan tanpa adanya
infrastruktur politik.
Partai Golkar di Salatiga sebagai infrastruktur politik pemerintahan lokal
memiliki peran penting dalam menjalankan sistem politik di kota Salatiga. Kaitannya
dengan Pilkada tahun 2011 kota Salatiga Partai Golkar memiliki peranan yang penting.
Sebagai infrastruktur politik partai Golkar memiliki dinamika politik yang sarat
dengan hal-hal yang berpengaruh dengan kegiatan politik di Salatiga. Dinamika politik
lokal di Salatiga ini mempengaruhi kinerja dan kegiatan struktural Partai Golkar
tersebut.
Download