model pembelajaran berbasis nilai living value di sekolah full day

advertisement
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS NILAI
LIVING VALUE DI SEKOLAH FULL DAY BERBASIS ISLAM
Pramonoadi
UPBJJ-UT Surabaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Masalahan sopan santun akhir-akhir ini gencar diperbincangkan diberbagai
media. Masyarakat, orang tua, pemerhati pendidikan merasakan ada yang
berubah dalam bertata krama, beretika dan berperilaku dari siswa-siswa kita.
Banyaknya anak-anak sekolah yang berperilaku menyimpang yang tidak
selayaknya dilakukan, berpacaran yang berlebihan, berinternet yang
menyimpang, kebiasaan merokok yang menjurus pada penggunaan obat-obat
terlarang, tawuran antar kelompok, bunuh diri, adalah sesuatu yang sering kita
lihat dan kita jumpai dalam media baik cetak maupun elektronik. Dimasyarakat
dalam hal berlalulintas dapat kita katakan kesadaran pengguna jalan sangat
kurang, tidak peduli kepada pemakai jalan lain. Dalam berorganisasi
berdiskusi wakil-wakil rakyat menunjukkan pribadi yang sudah tidak arif dan
bijaksana. Gejala apakah ini, apakah pendidikan kita tidak berhasil, ataukah
pendidiknya yang tidak bisa digugu dan ditiru, ataukah penciptaan cipta, rasa
dan karsa kepada siswa sudah tidak penting. Ajaran bapak pendidikan Ki
Hajar Dewantoro kehadirannya dirindukan. Apakah pengaruh media masa
yang tak terkontrol. Beberapa elemen masyarakat yang resah dan peduli
dengan hal ini telah melakukan pembentengan kenakalan remaja ini melalui
pendidikan berbasis nilai di sekolah Islam fullday school. Tulisan ini mencoba
sedikit menguraikan masalah pembentukan budi pekerti melalui pembelajaran
berbasis nilai-nilai universal dan keagamaan Islam.
Kata kunci : model pembelajaran, berbasis nilai, sekolah Islam
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini muncul fenomena
menarik dalam masyarakat kita yaitu
kekawatiran bergesernya budaya, adat
istiadat, perilaku dan budi pekerti siswa
yang luntur. Hal ini cukup beralasan
karena sama-sama dirasakan dalam hal
yang disebutkan tersebut ada pergeseran
yang dirasakan. Sebagai contohnya
adalah kebiasaan anak-anak merokok di
usia belum produktif sendiri. Orang tua
dan masyarakat dan pemerintah juga
kurang tegas dalam masalah ini. Anak
usia sekolah yang merokok secara
psikologis akan berperilaku seperti
orang dewasa atau orang tua, padahal
sebenarnya belum mencapai tataran
tersebut. Sifat permisif terhadap hal ini
juga harus dibetulkan.
Jika pendidikan ditujukan untuk
mengembangkan seluruh aspek dari
siswa, baik sebagai individu, anggota
masyarakat maupun warga dunia, maka
mengutip Laporan Komisi Internasional
Pendidikan untuk Abad 21 kepada
UNESCO, atau yang lebih dikenal
dengan Laporan Delor, disebutkan:
"Setiap usaha yang dilakukan untuk
memperbarui dimensi kultur dan moral
dalam pendidikan, akan memungkinkan
setiap individu untuk melihat kualitas
unik dari orang lain dan mencapai
pemahaman tentang pergerakan dunia
saat
ini
yang
menuju
pada
kesatuan".(Delors, 1996)
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 60
Namun
mudah
untuk
mengatakan bahwa masa depan yang
lebih baik secara personal, umum
maupun dalam kehidupan politik
termasuk
dan
tergantung
pada
pembaharuan yang ada dalam bidang
moral, dimana praktek pendidikanlah
yang memegang peranan utama untuk
mencapai tujuan ini. Pada satu sisi
nampak jelas bahwa nilai-nilai yang
bersifat universal seperti menghargai,
tanggung jawab, kejujuran, dan kasih
sayang semestinya tidaklah perlu
dengan sengaja dimunculkan oleh
individu atau masyarakat atau oleh
kebijakan legislatif, bahkan seharusnya
bukan sesuatu yang timbul karena
kebijakan dari atas. Sebaliknya, nilainilai tersebut semestinya tidak hanya
dianggap sebagai suatu hasil atau output
melainkan nilai-nilai itu sendiri turut
andil dalam proses yang menyertai
munculnya nilai tersebut pada individu.
Jadi, cara untuk mengajarkan
kedamaian adalah lewat kedamaian.
Cara untuk mengajarkan kejujuran dan
penghargaan adalah lewat kejujuran dan
penghargaan, dan seterusnya. Hal ini
sejalan dengan apa yang diamanatkan
oleh pakar dan pejuang pendidikan kita
Ki Hajar Dewantoro mengenai “cipta,
rasa
dan
karsa”
yang
diimplementasikan dalam bentuk slogan
“ Ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karyo, tutwuri handayani”
Jika
tujuan
dari
proses
pendidikan adalah untuk menghasilkan
individu yang penuh rasa hormat dan
menghargai, jujur dan bertanggung
jawab, maka untuk mencapainya adalah
dengan menciptakan etos, budaya,
suasana atau lingkungan belajar sekolah
dimana rasa hormat dan menghargai,
kejujuran dan tanggung jawab menjadi
titik berat pelaksanaan sekolah tersebut."
Dalam inti pendidikan nilai, yang
terutama adalah bagaimana suatu nilai
dipercaya
dan
kemudian
diimplementasikan oleh seluruh aspek
kehidupan di sekolah" (Hawkes, 2003).
Ini untuk menggarisbawahi betapa
perlunya kita melihat hubungan guru
dengan siswa dan seluruh komunitas
sekolah
dan apa yang mendasari
hubungan
tersebut.
Dalam
inti
pendidikan, nilai tidak dipandang hanya
melewati proses kognitif "Apa", namun
juga yang terpenting adalah melewati
proses "Bagaimana", yaitu tentang
bagaimana sebuah proses pendidikan
nilai dijalankan. Tanpa mengabaikan
hubungan individu, masyarakat dan
kehidupan politik serta tuntutan
kurikulum, pendidikan nilai seharusnya
tidak dipandang hanya sebagai sebuah
mata pelajaran atau subjek terpisah yang
ada dalam kurikulum namun lebih
sebagai sebuah etos pembimbing dalam
pendidikan.
Sebuah
etos
yang
menekankan
pada
pentingnya
mengembangkan lingkungan belajar dan
mengajar yang dilandasi oleh nilai
seperti rasa hormat dan menghargai,
tanggung jawab, toleransi, kedamaian,
dan kasih sayang. Oleh karena itu, lebih
dari pada sekedar sebuah mata
pelajaran, pendidikan nilai haruslah
berupa sebuah sikap yang menjiwai
proses belajar mengajar secara
keseluruhan, melibatkan seluruh staf
sekolah, wali murid, dan lingkungan
sekitar sekolah. Selain itu, dengan
mengintegrasikan
pendidikan
nilai
dalam proses belajar mengajar membuat
guru memiliki perspektif berbeda
terhadap
aktivitas
kependidikan
mereka…."Untuk memperoleh hasil
nyata,
pendidikan nilai harus
dirancang sebagai sebuah proyek
sekolah, terintegrasi dalam setiap
aspek kurikulum, kependidikan dan
aktivitas
belajar
mengajar,
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 61
melibatkan seluruh staf pengajar atau
guru, organisasi/yayasan sekolah dan
para pembuat kebijakan yang bekerja
bahu membahu sebagai sebuah tim"
(Combes, 2003)
Ketika prinsip ini diambil
sebagai langkah awal, maka langkah
kedua adalah melihat keseluruhan
kurikulum dan memikirkan bagaimana
penekanan nilai dapat dilakukan dalam
berbagai mata pelajaran yang berbeda;
kedalam sains atau pengetahuan alam,
bahasa, seni, dan mata pelajaran lainnya.
Prosesnya tidak pada bagaimana
menanamkan nilai kepada para siswa
atau individu, namun lebih kepada
proses menggali atau mengeksplorasi
dan mengembangkan nilai-nilai yang
memang sudah ada dan atau diwariskan
pada masing-masing individu tersebut.
Langkah ketiga, persoalan yang
sering timbul dalam prakteknya adalah
keterbatasan waktu belajar yang ada
untuk menyelipkan pengajaran tentang
nilai. Sehingga ada kecenderungan
untuk menjadikan nilai sebagai sebuah
mata pelajaran atau subyek khusus atau
sekolah mengalokasikan waktu tertentu,
misalnya pagi hari sebelum pelajaran di
kelas dimulai,
untuk membahas
persoalan tentang nilai. Namun yang
perlu diingat, pengajaran nilai dengan
cara tersebut biasanya kurang efektif,
jika dalam prosesnya tidak disertai pula
dengan penciptaan lingkungan belajar
yang berbasis nilai .
Namun, hanya dengan mencoba
menggali nilai seperti rasa hormat,
menghargai, toleransi, dan kasih sayang
dalam suasana kelas, bukanlah jawaban
mudah untuk semua persoalan nilai yang
muncul. Pada taraf tertentu, ketrampilan
dan teknik mengajar yang dapat
mendukung pembentukan lingkungan
belajar berbasis nilai amatlah penting,
sehingga training, pelatihan dan
berbagai kegiatan pengembangan yang
mendukung bagi apa pendidik amatlah
dibutuhkan.
Kesadaran
pendidik
terhadap nilai-nilai mereka sendiri akan
menunjang
para
guru
untuk
membawanya lebih lanjut ke ruangan
kelas, sehingga suasana penuh nilai akan
lebih terbangun, daripada hanya sekedar
memberlakukan aturan yang ketat dan
kaku, yang wajib dipatuhi oleh seluruh
siswa. " Ide keseluruhan dari pendidikan
berbasis nilai adalah guru pertama-tama
melihat ke dalam diri mereka sendiri
terlebih dahulu." (Combes, 2003) atau
memulai proses "pemahaman diri
dengan melakukan penelusuran ke
dalam
diri
lewat
pengetahuan,
perenungan dan sikap kritis terhadap diri
sendiri".(Delors, 2007)
Fullday
Shool,
merupakan
program pendidikan yang seluruh
aktivitas berada di sekolah (sekolah
sepanjang hari) dengan ciri integrated
activity dan integrated curriculum.
Sekolah terpadu dapat bermanfaat untuk
pembinaan generasi yang berkarakter
baik melalui pembiasaan. Para pendidik
akan tampil sebagai uswatun hasanah
yang mendampingi anak-anak dalam
mencapai perkembangan optimalnya.
Dilaksanakan program full day scholl
pada hakekatnya tidak hanya upaya
menambah waktu dan memperbanyak
materi pelajaran saja. Namun lebih dari
itu adalah untuk mengkondisikan anak
agar memiliki pembiasaan hidup yang
baik, ini yang pertama, Yang kedua
adalah
untuk
pengayaan
atau
pendalaman
konsep-konsep materi
pelajaran yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Yang ketiga adalah
memasukkan materi-materi keislaman
kedalam bidang studi dan sebagai
bidang studi tersendiri yang harus
dikuasai oleh anak-anak sebagai bekal
hidup. Keempat untuk pembinaan
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 62
kejiwaan, mental dan moral anak.
Maksudnya
adalah
memberikan
keseimbangan antara kebutuhan rohani
dan jasmani agar terbentuk kepribadian
yang utuh.
Oleh karena itu program full day
school dilengkapi dengan program
rekreatif dalam pembelajaran agar tidak
timbul kebosanan dalam menempuh
studinya. Dilengkapi pula system
komunikasi dan koordinasi hingga di
rumah melalui buku penghubung. Maka
program ini melibatkan secara utuh
peran orang tua dalam membantu
pendidikan. Dengan program ini
diharapkan tidak terjadi ketimpangan
pendidikan.
Berdasarkan uraian dalam latar
belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
(1)Bagaimanakah
pelaksanaan
pembelajaran bebasis nilai
di SD
Berbasis Islam?. (2)Sejauh mana
pelaksanaan pembelajaran berbasis nilai
yang
dikembangkan di SD Berbasis
Islam sampai saat ini
mampu
menangkal
kenakalan
siswa?
(3)Bagaimanakah
pengaruh
pembelajaran berbasis nilai ini terhadap
hasil belajar siswa?
Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mendiskripsikan sejauh
mana
pelaksanaan
pembelajaran
berbasis nilai di SD Berbasis Islam dan
pengaruhnya terhadap prestasi dan
kemampuan dalam mengendalikan
kenakalan
siswa.
Memberikan
kontribusi terhadap pengembangan
karakter pada sekolah-sekolah yang
berbasis sekolah sehari penuh dan
berbasis
karakter.
Memberikan
gambaran pilihan bagi masyarakat yang
akan memilih sekolah sesuai dengan
karakteristik sekolah yang ditawarkan.
PEMBAHASAN
Menciptakan suasana berbasis
nilai dalam proses belajar mengajar
amatlah penting untuk eksplorasi
optimal dan pengembangan nilai-nilai
oleh anak-anak dan generasi muda.
Sebuah lingkungan belajar yang
berlandaskan kepercayaan, kepedulian
dan saling menghargai, secara natural
akan
meningkatkan
motivasi,
kreativitas, dan pengembangan afeksi
serta kognitif. Teladan dari pendidik,
aturan yang jelas dan penguatan serta
dorongan adalah beberapa faktor positif
yang
dibutuhkan--seperti
yang
dijelaskan dalam Model Teoretis
Pendidikan Menghidupkan Nilai (Living
Values Education/LVE) yang secara
bagan dapat dilihat pada paparan bagan
di bawah ini.
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 63
Gambar 1. Bagan Pembelajaran Berbasis Nilai
Stimulasi Nilai
Pelajaran tentang nilai secara
mudah dapat diintegrasikan dalam
berbagai setting belajar. Kerapkali
diskusi tentang subyek atau pelajaran
yang tengah dipelajari di kelas
mengarah pada diskusi tentang nilai.
Pelajaran tentang nilai dapat pula
diselipkan ketika terjadi konflik antar
siswa. Situasi-situasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengeksplorasi
nilai-nilai lebih lanjut.
Meskipun demikian, kita harus
berhati-hati bila melakukan berbagai
kegiatan tentang nilai yang hanya
bertaraf pada kesadaran.
Maka,
LVE
sangat
menyokong
penggunaan berbagai aktivitas yang
tersedia dalam buku-buku Aktivitas
Pendidikan Nilai. Para siswa cenderung
gemar mengembangkan berbagai nilai
(Drake Cristhoper, 2007)
jika mereka dapat mengeksplorasi dan
mengaplikasikannya dalam berbagai
situasi serta merasakan manfaat dari
pengamalan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Stimulasi nilai yang tercantum
dalam skema adalah Refleksi Internal,
Eksplorasi
Nilai-Nilai
dalam
Kehidupan Nyata dan Penerimaan
Informasi. Setiap aktivitas dalam
Living Values dimulai dengan salah satu
dari stimulasi nilai tersebut. Dan setiap
jenis stimulasi nilai biasanya digunakan
hampir dalam setiap unit aktivitas
Living Values.
Berikut adalah macam-macam aktivitas
dari masing-masing kategori :
Refleksi Internal. Aktivitas
membayangkan dan merefleksikan,
dimana siswa diajak untuk menciptakan
ide atau gagasan mereka sendiri.
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 64
Misalnya,
siswa
diminta
untuk
membayangkan sebuah dunia yang
penuh
kedamaian.
Melakukan
visualisasi terhadap nilai yang ingin
digali, menjadikannya lebih relevan bagi
para siswa karena siswa memiliki
kesempatan
untuk
menciptakan
pengalaman mereka sendiri, memikirkan
ide dan gagasan mereka sendiri.
Aktivitas refleksi mengajak mereka
untuk berpikir dan merenungkan
berbagai pengalaman mereka yang
berkaitan dengan nilai-nilai.
Penerimaan Informasi. Refleksi
menunjuk pada informasi tentang
masing-masing nilai, yaitu tentang
makna dan aplikasinya. Literatur/bahan
bacaan, cerita dan informasi tentag
budaya adalah sumber-sumber yang
amat berguna untuk menggali atau
mengeksplorasi nilai. Akan lebih efektif
jika cerita-cerita atau informasi yang
disajikan sifatnya positif. Misalnya,
siswa akan lebih termotivasi jika
menyimak sebuah cerita tentang
kesuksesan seseorang karena teguh
memegang nilai-nilai positif mereka
daripada kisah kegagalan seseorang
karena tidak memiliki nilai-nilai positif
dalam hidupnya (pemberian penguatan
positif
lebih
efektif
daripada
konsekuensi/penguatan negatif)
Eksplorasi Nilai-Nilai dalam
Kehidupan Nyata. Sebagian besar
kegiatan
dalam
Living
Values
menggunakan games/permainan, situasi
nyata, berita atau persoalan tertentu
dalam kegiatan belajarnya. Contohnya,
unit Kejujuran dimulai dengan sebuah
cerita
sebagai
stimulus
atau
pembukanya. Aktivitas selanjutnya
adalah meminta para siswa untuk
menyusun sebuah drama bertemakan
kejujuran dan korupsi dari bahan
pelajaran sejarah masa lampau yang
telah dipelajari sebelumnya. Pada sesi
ini, akibat dari perbuatan tidak jujur
secara umum dapat dieksplorasi lebih
dahulu sebelum mengarah lebih dalam
ke area kejujuran masing-masing
individu atau personal.
Setiap unit nilai dirancang untuk
dimulai dengan stimulasi nilai sehingga
relevansi dan pemaknaannya dapat
tercapai. Misalnya, memberi ceramah
kepada siswa tentang keburukan
berkelahi di sekolah adalah cara yang
kurang efektif untuk menciptakan
suasana tenang, damai, dan saling
menghargai.
Sebaliknya
memulai
sebuah pelajaran tentang kedamaian
dengan aktivitas membayangkan dan
tidak sekedar memberikan ceramah
tentang bagaimana menjadi 'siswa yang
baik' akan jauh lebih efektif karena
siswa diajak untuk menghubungkannya
dengan
perasaan,
pikiran,
dan
pengalaman mereka sendiri. Sekali para
siswa dapat mendefinisikan makna
damai mereka sendiri, mereka akan
lebih tertarik untuk mendiskusikan efek
yang ditimbulkan oleh kedamaian-sekaligus oleh kekerasan
Diskusi
Menciptakan sebuah ruang yang
terbuka dan penuh rasa hormat serta
saling menghargai adalah bagian yang
amat penting dalam proses diskusi.
Berbagi adalah sebuah proses penguatan
dimana ketika seorang siswa bicara
tentang perasaannya yang berkaitan
dengan nilai, situasi tersebut dapat
menegaskan
lagi
tentang
sudut
pandangnya
dan
mengembangkan
empati para pendengar yang lain. Halhal atau pandangan yang sifatnya negatif
dapat diterima sebagai bagian dari
proses eksplorasi, dan terbuka untuk
dipertanyakan lebih lanjut.
Dalam beberapa aktivitas Living Values,
biasanya terdapat berbagai pertanyaan
pembuka sebagai bahan diskusi, yang
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 65
mengarah pada proses eksplorasi
kognitif lebih lanjut dan penemuan
berbagai alternatif
Eksplorasi Ide dan Gagasan
Kegiatan diskusi kemudian dapat
dilanjutkan dengan refleksi diri atau
pembentukan
grup
kecil
untuk
melakukan berbagai kegiatan seni,
penulisan kreatif atau drama. Diskusi
juga dapat mengarah pada kegiatan mind
mapping tentang nilai dan anti nilai.
Metode ini amat bermanfaat untuk
melihat lebih jauh dampak yang
ditimbulkan oleh nilai dan anti nilai
pada diri sendiri, dalam hubungannya
dengan berbagai elemen berbeda dalam
masyarakat. Jika nantinya para generasi
muda
ini
diharapkan
mampu
mengamalkan nilai-nilai bukan hanya
terhadap diri mereka sendiri melainkan
juga kepada masyarakat, maka penting
juga bagi mereka untuk menggali lebih
dalam isu-isu yang berkenaan dengan
keadilan sosial serta yang terutama
memiliki teladan/figure panutan dalam
kehidupan nyata yang mengamalkan
nilai-nilai tersebut secara konsisten.
Ekspresi Kreatif
Seni adalah media yang pas bagi
para siswa untuk mengekspresikan ide,
gagasan maupun perasaan mereka secara
kreatif- dan menggali nilai mereka
sendiri. Kegiatan menggambar, melukis,
termasuk lukisan mural/dinding dapat
dikombinasikan
dengan
berbagai
kegiatan seni pertunjukan. Tarian,
gerakan dan musik memberikan ruang
berekspresi dan membangun rasa
kebersamaan. Kegiatan yang lainnya
adalah menyusun dan menulis jurnal,
menulis cerita kreatif dan juga puisi.
Cerpen, membuat pantun jenaka, pantun
nasihat, syair dan bentuk-bentuk lain
yang menarik.
Pengembangan Keterampilan
Tidak cukup hanya dengan
memikirkan dan mendiskusikan nilai
serta
memahami
dampak
yang
ditimbulkannya,
keterampilan
mengaplikasikan nilai amat dibutuhkan
dalam pengimplementasiannya seharihari. Para generasi muda saat ini butuh
untuk mengalami sendiri perasaan
positif terhadap nilai dan tidak hanya
berpusat pada tataran kognitif saja,
memahami berbagai dampak dari
perilaku dan berbagai pilihan yang
mereka
ambil,
serta
memiliki
ketrampilan
dalam
pengambilan
keputusan yang berbasis kesadaran
sosial.
Ketrampilan Personal, Sosial, dan
Emosional.
Ada berbagai keterampilan
interpersonal yang dilatihkan dalam
kegiatan Living Values. Latihan
relaksasi/pemusatan
perhatian
membantu siswa lebih menyelami
proses 'merasakan' nilai-nilai tersebut.
Kemampuan untuk mengontrol emosi
dan
mengurangi
stress
adalah
ketrampilan penting yang dibutuhkan
dalam beradaptasi dan berkomunikasi.
Aktivitas
lainnya
antara
lain
membangun
pemahaman
tentang
berbagai kualitas positif individu;
mengembangkan kepercayaan bahwa
"Saya dapat melakukan perbedaan";
belajar lebih lanjut tentang hak-hak
individu
sekaligus
menghormati
persepsi atau cara pandang mereka;
meningkatkan
penguatan
positif
terhadap diri, berfokus pada tujuan serta
bertanggung jawab terhadap pilihan dan
tindakan yang telah diambil.
Keterampilan
Komunikasi
Interpersonal.
Kecerdasan emosional diasah
oleh berbagai kegiatan atau aktivitas
yang ditawarkan di atas dan berbagai
kegiatan lanjutan yang mengarah pada
pemahaman terhadap peran berbagai
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 66
emosi, seperti rasa takut, rasa marah;
dan konsekuensinya terhadap hubungan
individu dengen orang lain. Latihan
menyelesaikan suatu konflik dalam
resolusi konflik, latihan berkomunikasi
positif,
berbagai
games
yang
menekankan pada kerja sama dan bahu
membahu menyelesaikan suatu tugas,
adalah kegiatan-kegiatan dalam Living
Values yang mengasah keterampilan
komunikasi interpersonal.
Masyarakat, Lingkungan, dan Dunia.
Untuk membantu para generasi
muda memberikan kontribusi nyata
kepada masyarakat luas, amatlah
penting bagi mereka untuk mengerti
implikasi praktis dari nilai dalam
hubungannya dengan masyarakat dan
dunia. Beberapa aktivitas disusun untuk
mendukung pengertian implikasi praktis
tersebut;
termasuk
didalamnya
mengembangkan kesadaran kognitif dan
motivasi untuk berkeadilan sosial dan
bertanggung jawab. Tak ketinggalan
bagian ini mengangkat pula topic
tentang kesadaran dan tanggung jawab
terhadap lingkungan.
Transfer
of
Learnin
gMengintegrasikan Nilai - Nilai dalam
Kehidupan Nyata.
Aktivitas Living Values yang
diberikan sebagai penugasan/pekerjaan
rumah, secara tidak langsung menambah
kesempatan para siswa untuk membawa
nilai-nilai tersebut ke lingkungan
keluarga mereka masing-masing. Para
siswa diminta untuk membuat sebuah
project atau penugasan tertentu yang
merupakan contoh nyata perbedaan nilai
yang terdapat di kelas, sekolah dan/atau
masyarakat. Tujuan mengintegrasikan
nilai dalam kehidupan nyata akan
tercapai bila para siswa dapat
menjadikan perilaku berbasis nilai
sebagai bagian dari dirinya untuk
diaplikasikan dalam kehidupan mereka
sendiri, keluarga, lingkungan dan
masyarakat.
PENUTUP
Studi kasus ini masih berlangsung dalam
tahap observasi pengumpulan data-data
dari lapangan. Sedikit gambaran
hasilnya adalah sekolah sehari penuh
sebagai komunitas bersama sepanjang
hari
mampu
meredam
perilaku
menyimpang siswa. Siswa lebih
terkontrol
dan
belajar
perilaku
terintegrasi
dalam
setiap
pembelajarannya.
DAFTAR RUJUKAN
Combes, Bernard (2003). Global
Perspectives
on
Values
Education. Disampaikan pada
Simposium bertajuk Giving Value
to Values Education, Hong Kong,
Oktober 2003
Delors, Jacques, et al. (1996). Learning:
The Treasure Within, Laporan
Komisi Internasional Pendidikan
untuk Abad 21 kepada UNESCO,
UNESCO Publishing, ISBN 07306-9037-7.
Drake, Christopher (2007). Pentingnya
Lingkungan Belajar Berbasis
Nilai. Institut Pendidikan. London
University:London
Dwikoranto.
(2009).
Membangun
karakter melalui pendidikan di
sekolah
sebagai
upaya
peningkatan kualitas anak didik.
Disampaiakan pada Semnas Uny:
Jogjakarta, Desember 2009
Entang, dkk. (2008). Karakteristik
Perkembangan Sosial Emosi
siswa Fullday School. UPI:
Bandung
Hawkes, Neil (2003). How to inspire
and develop Positive Values in
your classroom. Diterbitkan oleh
LDA, ISBN 1-85503-371-2.
Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 67
Download