MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS NILAI LIVING VALUE DI SEKOLAH FULL DAY BERBASIS ISLAM Pramonoadi UPBJJ-UT Surabaya E-mail: [email protected] ABSTRAK Masalahan sopan santun akhir-akhir ini gencar diperbincangkan diberbagai media. Masyarakat, orang tua, pemerhati pendidikan merasakan ada yang berubah dalam bertata krama, beretika dan berperilaku dari siswa-siswa kita. Banyaknya anak-anak sekolah yang berperilaku menyimpang yang tidak selayaknya dilakukan, berpacaran yang berlebihan, berinternet yang menyimpang, kebiasaan merokok yang menjurus pada penggunaan obat-obat terlarang, tawuran antar kelompok, bunuh diri, adalah sesuatu yang sering kita lihat dan kita jumpai dalam media baik cetak maupun elektronik. Dimasyarakat dalam hal berlalulintas dapat kita katakan kesadaran pengguna jalan sangat kurang, tidak peduli kepada pemakai jalan lain. Dalam berorganisasi berdiskusi wakil-wakil rakyat menunjukkan pribadi yang sudah tidak arif dan bijaksana. Gejala apakah ini, apakah pendidikan kita tidak berhasil, ataukah pendidiknya yang tidak bisa digugu dan ditiru, ataukah penciptaan cipta, rasa dan karsa kepada siswa sudah tidak penting. Ajaran bapak pendidikan Ki Hajar Dewantoro kehadirannya dirindukan. Apakah pengaruh media masa yang tak terkontrol. Beberapa elemen masyarakat yang resah dan peduli dengan hal ini telah melakukan pembentengan kenakalan remaja ini melalui pendidikan berbasis nilai di sekolah Islam fullday school. Tulisan ini mencoba sedikit menguraikan masalah pembentukan budi pekerti melalui pembelajaran berbasis nilai-nilai universal dan keagamaan Islam. Kata kunci : model pembelajaran, berbasis nilai, sekolah Islam PENDAHULUAN Akhir-akhir ini muncul fenomena menarik dalam masyarakat kita yaitu kekawatiran bergesernya budaya, adat istiadat, perilaku dan budi pekerti siswa yang luntur. Hal ini cukup beralasan karena sama-sama dirasakan dalam hal yang disebutkan tersebut ada pergeseran yang dirasakan. Sebagai contohnya adalah kebiasaan anak-anak merokok di usia belum produktif sendiri. Orang tua dan masyarakat dan pemerintah juga kurang tegas dalam masalah ini. Anak usia sekolah yang merokok secara psikologis akan berperilaku seperti orang dewasa atau orang tua, padahal sebenarnya belum mencapai tataran tersebut. Sifat permisif terhadap hal ini juga harus dibetulkan. Jika pendidikan ditujukan untuk mengembangkan seluruh aspek dari siswa, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun warga dunia, maka mengutip Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad 21 kepada UNESCO, atau yang lebih dikenal dengan Laporan Delor, disebutkan: "Setiap usaha yang dilakukan untuk memperbarui dimensi kultur dan moral dalam pendidikan, akan memungkinkan setiap individu untuk melihat kualitas unik dari orang lain dan mencapai pemahaman tentang pergerakan dunia saat ini yang menuju pada kesatuan".(Delors, 1996) Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 60 Namun mudah untuk mengatakan bahwa masa depan yang lebih baik secara personal, umum maupun dalam kehidupan politik termasuk dan tergantung pada pembaharuan yang ada dalam bidang moral, dimana praktek pendidikanlah yang memegang peranan utama untuk mencapai tujuan ini. Pada satu sisi nampak jelas bahwa nilai-nilai yang bersifat universal seperti menghargai, tanggung jawab, kejujuran, dan kasih sayang semestinya tidaklah perlu dengan sengaja dimunculkan oleh individu atau masyarakat atau oleh kebijakan legislatif, bahkan seharusnya bukan sesuatu yang timbul karena kebijakan dari atas. Sebaliknya, nilainilai tersebut semestinya tidak hanya dianggap sebagai suatu hasil atau output melainkan nilai-nilai itu sendiri turut andil dalam proses yang menyertai munculnya nilai tersebut pada individu. Jadi, cara untuk mengajarkan kedamaian adalah lewat kedamaian. Cara untuk mengajarkan kejujuran dan penghargaan adalah lewat kejujuran dan penghargaan, dan seterusnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh pakar dan pejuang pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro mengenai “cipta, rasa dan karsa” yang diimplementasikan dalam bentuk slogan “ Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karyo, tutwuri handayani” Jika tujuan dari proses pendidikan adalah untuk menghasilkan individu yang penuh rasa hormat dan menghargai, jujur dan bertanggung jawab, maka untuk mencapainya adalah dengan menciptakan etos, budaya, suasana atau lingkungan belajar sekolah dimana rasa hormat dan menghargai, kejujuran dan tanggung jawab menjadi titik berat pelaksanaan sekolah tersebut." Dalam inti pendidikan nilai, yang terutama adalah bagaimana suatu nilai dipercaya dan kemudian diimplementasikan oleh seluruh aspek kehidupan di sekolah" (Hawkes, 2003). Ini untuk menggarisbawahi betapa perlunya kita melihat hubungan guru dengan siswa dan seluruh komunitas sekolah dan apa yang mendasari hubungan tersebut. Dalam inti pendidikan, nilai tidak dipandang hanya melewati proses kognitif "Apa", namun juga yang terpenting adalah melewati proses "Bagaimana", yaitu tentang bagaimana sebuah proses pendidikan nilai dijalankan. Tanpa mengabaikan hubungan individu, masyarakat dan kehidupan politik serta tuntutan kurikulum, pendidikan nilai seharusnya tidak dipandang hanya sebagai sebuah mata pelajaran atau subjek terpisah yang ada dalam kurikulum namun lebih sebagai sebuah etos pembimbing dalam pendidikan. Sebuah etos yang menekankan pada pentingnya mengembangkan lingkungan belajar dan mengajar yang dilandasi oleh nilai seperti rasa hormat dan menghargai, tanggung jawab, toleransi, kedamaian, dan kasih sayang. Oleh karena itu, lebih dari pada sekedar sebuah mata pelajaran, pendidikan nilai haruslah berupa sebuah sikap yang menjiwai proses belajar mengajar secara keseluruhan, melibatkan seluruh staf sekolah, wali murid, dan lingkungan sekitar sekolah. Selain itu, dengan mengintegrasikan pendidikan nilai dalam proses belajar mengajar membuat guru memiliki perspektif berbeda terhadap aktivitas kependidikan mereka…."Untuk memperoleh hasil nyata, pendidikan nilai harus dirancang sebagai sebuah proyek sekolah, terintegrasi dalam setiap aspek kurikulum, kependidikan dan aktivitas belajar mengajar, Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 61 melibatkan seluruh staf pengajar atau guru, organisasi/yayasan sekolah dan para pembuat kebijakan yang bekerja bahu membahu sebagai sebuah tim" (Combes, 2003) Ketika prinsip ini diambil sebagai langkah awal, maka langkah kedua adalah melihat keseluruhan kurikulum dan memikirkan bagaimana penekanan nilai dapat dilakukan dalam berbagai mata pelajaran yang berbeda; kedalam sains atau pengetahuan alam, bahasa, seni, dan mata pelajaran lainnya. Prosesnya tidak pada bagaimana menanamkan nilai kepada para siswa atau individu, namun lebih kepada proses menggali atau mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai yang memang sudah ada dan atau diwariskan pada masing-masing individu tersebut. Langkah ketiga, persoalan yang sering timbul dalam prakteknya adalah keterbatasan waktu belajar yang ada untuk menyelipkan pengajaran tentang nilai. Sehingga ada kecenderungan untuk menjadikan nilai sebagai sebuah mata pelajaran atau subyek khusus atau sekolah mengalokasikan waktu tertentu, misalnya pagi hari sebelum pelajaran di kelas dimulai, untuk membahas persoalan tentang nilai. Namun yang perlu diingat, pengajaran nilai dengan cara tersebut biasanya kurang efektif, jika dalam prosesnya tidak disertai pula dengan penciptaan lingkungan belajar yang berbasis nilai . Namun, hanya dengan mencoba menggali nilai seperti rasa hormat, menghargai, toleransi, dan kasih sayang dalam suasana kelas, bukanlah jawaban mudah untuk semua persoalan nilai yang muncul. Pada taraf tertentu, ketrampilan dan teknik mengajar yang dapat mendukung pembentukan lingkungan belajar berbasis nilai amatlah penting, sehingga training, pelatihan dan berbagai kegiatan pengembangan yang mendukung bagi apa pendidik amatlah dibutuhkan. Kesadaran pendidik terhadap nilai-nilai mereka sendiri akan menunjang para guru untuk membawanya lebih lanjut ke ruangan kelas, sehingga suasana penuh nilai akan lebih terbangun, daripada hanya sekedar memberlakukan aturan yang ketat dan kaku, yang wajib dipatuhi oleh seluruh siswa. " Ide keseluruhan dari pendidikan berbasis nilai adalah guru pertama-tama melihat ke dalam diri mereka sendiri terlebih dahulu." (Combes, 2003) atau memulai proses "pemahaman diri dengan melakukan penelusuran ke dalam diri lewat pengetahuan, perenungan dan sikap kritis terhadap diri sendiri".(Delors, 2007) Fullday Shool, merupakan program pendidikan yang seluruh aktivitas berada di sekolah (sekolah sepanjang hari) dengan ciri integrated activity dan integrated curriculum. Sekolah terpadu dapat bermanfaat untuk pembinaan generasi yang berkarakter baik melalui pembiasaan. Para pendidik akan tampil sebagai uswatun hasanah yang mendampingi anak-anak dalam mencapai perkembangan optimalnya. Dilaksanakan program full day scholl pada hakekatnya tidak hanya upaya menambah waktu dan memperbanyak materi pelajaran saja. Namun lebih dari itu adalah untuk mengkondisikan anak agar memiliki pembiasaan hidup yang baik, ini yang pertama, Yang kedua adalah untuk pengayaan atau pendalaman konsep-konsep materi pelajaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Yang ketiga adalah memasukkan materi-materi keislaman kedalam bidang studi dan sebagai bidang studi tersendiri yang harus dikuasai oleh anak-anak sebagai bekal hidup. Keempat untuk pembinaan Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 62 kejiwaan, mental dan moral anak. Maksudnya adalah memberikan keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani agar terbentuk kepribadian yang utuh. Oleh karena itu program full day school dilengkapi dengan program rekreatif dalam pembelajaran agar tidak timbul kebosanan dalam menempuh studinya. Dilengkapi pula system komunikasi dan koordinasi hingga di rumah melalui buku penghubung. Maka program ini melibatkan secara utuh peran orang tua dalam membantu pendidikan. Dengan program ini diharapkan tidak terjadi ketimpangan pendidikan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: (1)Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran bebasis nilai di SD Berbasis Islam?. (2)Sejauh mana pelaksanaan pembelajaran berbasis nilai yang dikembangkan di SD Berbasis Islam sampai saat ini mampu menangkal kenakalan siswa? (3)Bagaimanakah pengaruh pembelajaran berbasis nilai ini terhadap hasil belajar siswa? Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan sejauh mana pelaksanaan pembelajaran berbasis nilai di SD Berbasis Islam dan pengaruhnya terhadap prestasi dan kemampuan dalam mengendalikan kenakalan siswa. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan karakter pada sekolah-sekolah yang berbasis sekolah sehari penuh dan berbasis karakter. Memberikan gambaran pilihan bagi masyarakat yang akan memilih sekolah sesuai dengan karakteristik sekolah yang ditawarkan. PEMBAHASAN Menciptakan suasana berbasis nilai dalam proses belajar mengajar amatlah penting untuk eksplorasi optimal dan pengembangan nilai-nilai oleh anak-anak dan generasi muda. Sebuah lingkungan belajar yang berlandaskan kepercayaan, kepedulian dan saling menghargai, secara natural akan meningkatkan motivasi, kreativitas, dan pengembangan afeksi serta kognitif. Teladan dari pendidik, aturan yang jelas dan penguatan serta dorongan adalah beberapa faktor positif yang dibutuhkan--seperti yang dijelaskan dalam Model Teoretis Pendidikan Menghidupkan Nilai (Living Values Education/LVE) yang secara bagan dapat dilihat pada paparan bagan di bawah ini. Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 63 Gambar 1. Bagan Pembelajaran Berbasis Nilai Stimulasi Nilai Pelajaran tentang nilai secara mudah dapat diintegrasikan dalam berbagai setting belajar. Kerapkali diskusi tentang subyek atau pelajaran yang tengah dipelajari di kelas mengarah pada diskusi tentang nilai. Pelajaran tentang nilai dapat pula diselipkan ketika terjadi konflik antar siswa. Situasi-situasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi nilai-nilai lebih lanjut. Meskipun demikian, kita harus berhati-hati bila melakukan berbagai kegiatan tentang nilai yang hanya bertaraf pada kesadaran. Maka, LVE sangat menyokong penggunaan berbagai aktivitas yang tersedia dalam buku-buku Aktivitas Pendidikan Nilai. Para siswa cenderung gemar mengembangkan berbagai nilai (Drake Cristhoper, 2007) jika mereka dapat mengeksplorasi dan mengaplikasikannya dalam berbagai situasi serta merasakan manfaat dari pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka. Stimulasi nilai yang tercantum dalam skema adalah Refleksi Internal, Eksplorasi Nilai-Nilai dalam Kehidupan Nyata dan Penerimaan Informasi. Setiap aktivitas dalam Living Values dimulai dengan salah satu dari stimulasi nilai tersebut. Dan setiap jenis stimulasi nilai biasanya digunakan hampir dalam setiap unit aktivitas Living Values. Berikut adalah macam-macam aktivitas dari masing-masing kategori : Refleksi Internal. Aktivitas membayangkan dan merefleksikan, dimana siswa diajak untuk menciptakan ide atau gagasan mereka sendiri. Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 64 Misalnya, siswa diminta untuk membayangkan sebuah dunia yang penuh kedamaian. Melakukan visualisasi terhadap nilai yang ingin digali, menjadikannya lebih relevan bagi para siswa karena siswa memiliki kesempatan untuk menciptakan pengalaman mereka sendiri, memikirkan ide dan gagasan mereka sendiri. Aktivitas refleksi mengajak mereka untuk berpikir dan merenungkan berbagai pengalaman mereka yang berkaitan dengan nilai-nilai. Penerimaan Informasi. Refleksi menunjuk pada informasi tentang masing-masing nilai, yaitu tentang makna dan aplikasinya. Literatur/bahan bacaan, cerita dan informasi tentag budaya adalah sumber-sumber yang amat berguna untuk menggali atau mengeksplorasi nilai. Akan lebih efektif jika cerita-cerita atau informasi yang disajikan sifatnya positif. Misalnya, siswa akan lebih termotivasi jika menyimak sebuah cerita tentang kesuksesan seseorang karena teguh memegang nilai-nilai positif mereka daripada kisah kegagalan seseorang karena tidak memiliki nilai-nilai positif dalam hidupnya (pemberian penguatan positif lebih efektif daripada konsekuensi/penguatan negatif) Eksplorasi Nilai-Nilai dalam Kehidupan Nyata. Sebagian besar kegiatan dalam Living Values menggunakan games/permainan, situasi nyata, berita atau persoalan tertentu dalam kegiatan belajarnya. Contohnya, unit Kejujuran dimulai dengan sebuah cerita sebagai stimulus atau pembukanya. Aktivitas selanjutnya adalah meminta para siswa untuk menyusun sebuah drama bertemakan kejujuran dan korupsi dari bahan pelajaran sejarah masa lampau yang telah dipelajari sebelumnya. Pada sesi ini, akibat dari perbuatan tidak jujur secara umum dapat dieksplorasi lebih dahulu sebelum mengarah lebih dalam ke area kejujuran masing-masing individu atau personal. Setiap unit nilai dirancang untuk dimulai dengan stimulasi nilai sehingga relevansi dan pemaknaannya dapat tercapai. Misalnya, memberi ceramah kepada siswa tentang keburukan berkelahi di sekolah adalah cara yang kurang efektif untuk menciptakan suasana tenang, damai, dan saling menghargai. Sebaliknya memulai sebuah pelajaran tentang kedamaian dengan aktivitas membayangkan dan tidak sekedar memberikan ceramah tentang bagaimana menjadi 'siswa yang baik' akan jauh lebih efektif karena siswa diajak untuk menghubungkannya dengan perasaan, pikiran, dan pengalaman mereka sendiri. Sekali para siswa dapat mendefinisikan makna damai mereka sendiri, mereka akan lebih tertarik untuk mendiskusikan efek yang ditimbulkan oleh kedamaian-sekaligus oleh kekerasan Diskusi Menciptakan sebuah ruang yang terbuka dan penuh rasa hormat serta saling menghargai adalah bagian yang amat penting dalam proses diskusi. Berbagi adalah sebuah proses penguatan dimana ketika seorang siswa bicara tentang perasaannya yang berkaitan dengan nilai, situasi tersebut dapat menegaskan lagi tentang sudut pandangnya dan mengembangkan empati para pendengar yang lain. Halhal atau pandangan yang sifatnya negatif dapat diterima sebagai bagian dari proses eksplorasi, dan terbuka untuk dipertanyakan lebih lanjut. Dalam beberapa aktivitas Living Values, biasanya terdapat berbagai pertanyaan pembuka sebagai bahan diskusi, yang Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 65 mengarah pada proses eksplorasi kognitif lebih lanjut dan penemuan berbagai alternatif Eksplorasi Ide dan Gagasan Kegiatan diskusi kemudian dapat dilanjutkan dengan refleksi diri atau pembentukan grup kecil untuk melakukan berbagai kegiatan seni, penulisan kreatif atau drama. Diskusi juga dapat mengarah pada kegiatan mind mapping tentang nilai dan anti nilai. Metode ini amat bermanfaat untuk melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan oleh nilai dan anti nilai pada diri sendiri, dalam hubungannya dengan berbagai elemen berbeda dalam masyarakat. Jika nantinya para generasi muda ini diharapkan mampu mengamalkan nilai-nilai bukan hanya terhadap diri mereka sendiri melainkan juga kepada masyarakat, maka penting juga bagi mereka untuk menggali lebih dalam isu-isu yang berkenaan dengan keadilan sosial serta yang terutama memiliki teladan/figure panutan dalam kehidupan nyata yang mengamalkan nilai-nilai tersebut secara konsisten. Ekspresi Kreatif Seni adalah media yang pas bagi para siswa untuk mengekspresikan ide, gagasan maupun perasaan mereka secara kreatif- dan menggali nilai mereka sendiri. Kegiatan menggambar, melukis, termasuk lukisan mural/dinding dapat dikombinasikan dengan berbagai kegiatan seni pertunjukan. Tarian, gerakan dan musik memberikan ruang berekspresi dan membangun rasa kebersamaan. Kegiatan yang lainnya adalah menyusun dan menulis jurnal, menulis cerita kreatif dan juga puisi. Cerpen, membuat pantun jenaka, pantun nasihat, syair dan bentuk-bentuk lain yang menarik. Pengembangan Keterampilan Tidak cukup hanya dengan memikirkan dan mendiskusikan nilai serta memahami dampak yang ditimbulkannya, keterampilan mengaplikasikan nilai amat dibutuhkan dalam pengimplementasiannya seharihari. Para generasi muda saat ini butuh untuk mengalami sendiri perasaan positif terhadap nilai dan tidak hanya berpusat pada tataran kognitif saja, memahami berbagai dampak dari perilaku dan berbagai pilihan yang mereka ambil, serta memiliki ketrampilan dalam pengambilan keputusan yang berbasis kesadaran sosial. Ketrampilan Personal, Sosial, dan Emosional. Ada berbagai keterampilan interpersonal yang dilatihkan dalam kegiatan Living Values. Latihan relaksasi/pemusatan perhatian membantu siswa lebih menyelami proses 'merasakan' nilai-nilai tersebut. Kemampuan untuk mengontrol emosi dan mengurangi stress adalah ketrampilan penting yang dibutuhkan dalam beradaptasi dan berkomunikasi. Aktivitas lainnya antara lain membangun pemahaman tentang berbagai kualitas positif individu; mengembangkan kepercayaan bahwa "Saya dapat melakukan perbedaan"; belajar lebih lanjut tentang hak-hak individu sekaligus menghormati persepsi atau cara pandang mereka; meningkatkan penguatan positif terhadap diri, berfokus pada tujuan serta bertanggung jawab terhadap pilihan dan tindakan yang telah diambil. Keterampilan Komunikasi Interpersonal. Kecerdasan emosional diasah oleh berbagai kegiatan atau aktivitas yang ditawarkan di atas dan berbagai kegiatan lanjutan yang mengarah pada pemahaman terhadap peran berbagai Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 66 emosi, seperti rasa takut, rasa marah; dan konsekuensinya terhadap hubungan individu dengen orang lain. Latihan menyelesaikan suatu konflik dalam resolusi konflik, latihan berkomunikasi positif, berbagai games yang menekankan pada kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan suatu tugas, adalah kegiatan-kegiatan dalam Living Values yang mengasah keterampilan komunikasi interpersonal. Masyarakat, Lingkungan, dan Dunia. Untuk membantu para generasi muda memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat luas, amatlah penting bagi mereka untuk mengerti implikasi praktis dari nilai dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia. Beberapa aktivitas disusun untuk mendukung pengertian implikasi praktis tersebut; termasuk didalamnya mengembangkan kesadaran kognitif dan motivasi untuk berkeadilan sosial dan bertanggung jawab. Tak ketinggalan bagian ini mengangkat pula topic tentang kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Transfer of Learnin gMengintegrasikan Nilai - Nilai dalam Kehidupan Nyata. Aktivitas Living Values yang diberikan sebagai penugasan/pekerjaan rumah, secara tidak langsung menambah kesempatan para siswa untuk membawa nilai-nilai tersebut ke lingkungan keluarga mereka masing-masing. Para siswa diminta untuk membuat sebuah project atau penugasan tertentu yang merupakan contoh nyata perbedaan nilai yang terdapat di kelas, sekolah dan/atau masyarakat. Tujuan mengintegrasikan nilai dalam kehidupan nyata akan tercapai bila para siswa dapat menjadikan perilaku berbasis nilai sebagai bagian dari dirinya untuk diaplikasikan dalam kehidupan mereka sendiri, keluarga, lingkungan dan masyarakat. PENUTUP Studi kasus ini masih berlangsung dalam tahap observasi pengumpulan data-data dari lapangan. Sedikit gambaran hasilnya adalah sekolah sehari penuh sebagai komunitas bersama sepanjang hari mampu meredam perilaku menyimpang siswa. Siswa lebih terkontrol dan belajar perilaku terintegrasi dalam setiap pembelajarannya. DAFTAR RUJUKAN Combes, Bernard (2003). Global Perspectives on Values Education. Disampaikan pada Simposium bertajuk Giving Value to Values Education, Hong Kong, Oktober 2003 Delors, Jacques, et al. (1996). Learning: The Treasure Within, Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad 21 kepada UNESCO, UNESCO Publishing, ISBN 07306-9037-7. Drake, Christopher (2007). Pentingnya Lingkungan Belajar Berbasis Nilai. Institut Pendidikan. London University:London Dwikoranto. (2009). Membangun karakter melalui pendidikan di sekolah sebagai upaya peningkatan kualitas anak didik. Disampaiakan pada Semnas Uny: Jogjakarta, Desember 2009 Entang, dkk. (2008). Karakteristik Perkembangan Sosial Emosi siswa Fullday School. UPI: Bandung Hawkes, Neil (2003). How to inspire and develop Positive Values in your classroom. Diterbitkan oleh LDA, ISBN 1-85503-371-2. Pramonoadi, Pembelajaran berbasis Nilai Lilving Velue, Desember 2012 67