BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Peningkatan Pembelajaran Matematika Kelas V SD a. Karakteristik Siswa Kelas V SD Anak pada usia Sekolah Dasar (SD) memiliki karakteristik unik yang harus dipahami seorang guru agar dapat menerapkan pendekatan, model, metode dan media yang inovatif, kreatif, menarik dan tepat sehingga dapat meningkatkan kemampuan atau hasil belajar siswa sesuai kebutuhan dan karakteristiknya. Guru harus mengenal perkembangan siswa baik secara fisik maupun mental. Piaget (Saminanto, 2010: 18-19) kemampuan kognitif manusia berkembang menurut empat tahap, dari lahir sampai dewasa. Keempat tahap tersebut sebagai berikut. (a) Tahap sensori-motor (sensory-motor stage): Tahap sensori-motor berlangsung sejak manusia lahir sampai berusia sekitar 2 tahun. Pada tahap ini, pemahaman anak mengenai berbagai hal terutama bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh beserta alat-alat indera. (b) Tahap pra operasional (pre-operational stage): Tahap pra-operasional berlangsung dari kira-kira usia 2 tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini, anak tidak lagi hanya bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh atau inderanya, tetapi anak sudah menggunakan pemikirannya dalam berbagai hal. Akan tetapi, pada tahap ini pemikiran si anak masih bersifat egosentris belum obyektif, artinya pemahamannya mengenai berbagai hal masih terpusat pada dirinya sendiri dan orang lain dianggap mempunyai pemikiran dan perasaan seperti yang ia alami. 9 10 (c) Tahap operasional konkret (concrete-operational stage): Tahap ini berlangsung kira-kira dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap ini tingkat egosentris anak sudah berkurang, anak sudah dapat berfikir secara obyektif yaitu memahami bahwa orang lain memiliki perasaan yang berbeda dari dirinya. Pada tahap ini anak juga sudah bisa berpikir logis tentang berbagai hal, termasuk hal yang agak rumit, tetapi dengan syarat bahwa hal-hal tersebut disajikan secara konkret (disajikan dalam wujud yang bisa ditangkap dengan panca indera). (d) Tahap operasional formal (formal operational stage): Tahap ini berlangsung kira-kira sejak usia 12 tahun ke atas. Pada tahap ini anak atau orang sudaah mampu berpikir secara logis tanpa kehadiran benda-benda konkret. Sumantri dan Permana (2001: 10-11) masa usia sekolah dasar (sekitar 6,0-12,0) merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Karakteristik anak sekolah dasar secara umum dikemukakan oleh Basset, Jacka dan Logan sebagai berikut: (1) mereka secara ilmiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri, (2) mereka senang bermain dan lebih suka bergembira/riang, (3) mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha baru, (4) mereka bergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalankegagalan, (5) mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi, (6) mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa kelas V SD antara lain berusia 10-11 tahun, berada pada tahap perkembangan operasional konkret, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, tertarik pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka 11 sendiri, aktif bergerak, suka bermain dan hal-hal yang menggembirakan, suka mencoba hal-hal baru, memiliki sifat kooperatif dan dapat bekerja sama dan bergaul dengan teman secara baik, mulai belajar dengan menggunakan prinsip ilmiah sederhana, belajar dengan bekerja mengamati, berinisiatif, mencoba, dapat mengikuti peraturan yang ada, serta mulai terdorong untuk berprestasi. b. Hakikat Pembelajaran 1) Pengertian Pembelajaran UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 20 menyatakan, “Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Depdikbud (2005: 4). Suyitno (Saminanto, 2010: 91) pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta siswa dengan siswa. Syaiful Sagala (2014: 61) menyatakan bahwa “Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa atau murid.” Komalasari (2013: 3) pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/ pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa dan sumber belajar yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis pada suatu lingkungan belajar untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, 12 potensi, minat, bakat dan kebutuhan siswa yang beragam serta mencapai tujuan pembelajaran yang optimal, efektif dan efisien. 2) Tujuan Pembelajaran Robert F. Mager (Yamin dan Maisah, 2009: 131) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah sebagai perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan kompetensi tertentu. Suharjo (2006: 85) tujuan pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu instructional effect dan nurturant effect. instructional effect merupakan tujuan pembelajaran yang secara eksplisit diusahakan dan dicapai melalui tindakan pembelajaran tertentu, serta berbentuk pengetahuan dan keterampilan sedangkan nurturant effect adalah tujuan pembelajaran yang lebih merupakan hasil sampingan dari pembelajaran, misalnya siswa mampu berpikir kritis, terbuka menerima pendapat orang lain, kreatif, displin, melalui penghayatan terhadap pengalaman berupa diskusi kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran merupakan kemampuan yang dapat berupa tingkah laku, pengetahuan, sifat, atau keterampilan yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. 3) Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Menurut Asra dan Sumiati (2008: 5) faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran sebagai berikut: a) Faktor Guru Setiap guru memilki pola mengajar sendiri-sendiri. Pola mengajar tercermin dalam tingkah laku pada waktu pembelajaran. b) Faktor Siswa Setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian. Kecakapan yang dimiliki masing-masing siswa itu 13 meliputi kecakapan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan, seperti bakat dan kecerdasan, maupun kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar. Keragaman dalam kecakapan dan kepribadian ini dapat mempengaruhi terhadap situasi yang dihadapi dalam proses pembelajaran. c) Faktor Kurikulum Secara sederhana arti kurikulum menggambarkan pada isi atau pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Materi pembelajaran sebagai isi kurikulum mengacu kepada tujuan yeng hendak dicapai. Demikian pula pola interaksi guru-siswa. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai itu secara khusus menggambarkan bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai siswa melalui proses belajar yang beraneka ragam. Dengan demikian, baik materi pembelajaran maupun pola interaksi guru-siswa pun beraneka ragam pula. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang bervariasi dalam proses pembelajaran. d) Faktor Lingkungan Lingkungan ini meliputi keadaan ruangan, tata ruang, dan berbagai situasi fisik yang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Lingkungan ini pun dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi situasi belajar. Slameto (2010: 54-71) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu faktor intern dan faktor ekstern. (a) Faktor Intern, dalam faktor intern terdapat tiga faktor yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Faktor jasmaniah meliputi kesehatan dan cacat tubuh. Proses belajar anak akan terganggu jika kesehatan anak juga terganggu. Cacat tubuh juga dapat mempengaruhi belajar, hendaknya anak yang mengalami cacat belajar pada lembaga pendidikan khusus. Faktor psikologis mencakup inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, 14 kematangan dan kesiapan. Sedangkan faktor kelelahan dapat dibedakan menjadi kelelahan rohani dan kelelahan jasmani. Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah dan lunglainya tubuh; (b) Faktor Ekstern. Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Faktor keluarga meliputi cara orang tua dalam mendidik anaknya, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, dan latar belakang kebudayaan. Faktor sekolah meliputi metode mengajar guru, kurikulum, relasi guru dengan siswa, displin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar siswa dan tugas rumah. Faktor masyarakat meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media (radio, TV, surat kabar, majalah, dll), teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran dibagi menjadi 2 golongan yaitu faktor intern meliputi siswa (jasmaniah, psikologis dan kelelahan) dan faktor ekstern meliputi guru, kurikulum, lingkungan (masyarakat) dan keluarga. c. Pembelajaran Matematika di SD 1) Pengertian Matematika H.W. Fowler (Saminanto, 2010: 96) Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan dan ruang yang bersifat abstrak. Ibrahim dan Suparni (2012: 35) Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai displin dan memajukan daya pikir manusia. 15 Wahyudi (2015: 68) mengemukakan bahwa Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya yang sudah diterima sehingga kebenaran antarkonsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, memiliki ruang atau objek abstrak, menggunakan bilangan atau bahasa simbol dan dibangun melalui proses penalaran deduktif untuk memajukan daya pikir manusia. 2) Fungsi Matematika di SD Jihad (2008: 153) fungsi Matematika di SD adalah sebagai wahana untuk: (a) mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol, (b) mengembangkan ketajaman penalaran yang dapat memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi Matematika, Wahyudi (2015: 68) menyatakan: Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecah masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dan menjelaskan gagasan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi Matematika di SD adalah untuk mengembangkan kemampuan menalar yang dapat menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai alat komunikasi. 3) Tujuan Pembelajaran Matematika di SD Depdiknas (Susanto, 2013: 190) tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagai berikut: (a) memahami konsep 16 matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (b) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (c) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (d) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (e) memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Ibrahim dan Suparni (2012: 36) tujuan pembelajaran Matematika di SD agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep tersebut secara luwes, akurat, efesien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Heruman (2009: 2) berpendapat, “Tujuan akhir pembelajaran Matematika di SD yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep Matematika dalam kehidupan sehari-hari.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan Matematika di SD yaitu untuk membekali siswa agar 17 mampu memahami, terampil dalam menggunakan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari serta melatih cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. 4) Ruang Lingkup Matematika Kelas V SD BSNP (2006: 148) mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (a) bilangan, (b) geometri dan pengukuran, (c) pengolahan data. Menurut Standar Kompetensi mata pelajaran Matematika untuk SD dan MI, bahwa ruang lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi aspek bilangan, geometri dan pengukuran serta pengolahan data. Bilangan membahas tentang kaidah konsep simbolisasi lambang bilangan dan perhitungan dasar sederhana yang banyak melibatkan media konkret dan media manipulatif lainnya. Geometri dan pengukuran lebih fokus membelajarkan siswa tentang konsep ruang dan ukurannya dengan perhitungan dasar yang sederhana menggunakan media konkret dan media manipulatif lainnya. Sedangkan Pengolahan data lebih banyak membahas tentang hakikat data, cara mengolah dan membaca data berdasarkan kaidah rasional dan ilmiah menggunakan data-data konkret dan data manipulatif. Berdasarkan aspek-aspek penjabaran ruang lingkup pelajaran Matematika di sekolah dasar, pada penelitian ini peneliti mengambil aspek penjabaran pada kelas V semester 2, yaitu bangun ruang. Penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar tentang materi bangun ruang berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu sebagai berikut: 18 Tabel 2.1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika tentang Bangun Ruang Kelas V SD Semester 2 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antarbangun 6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang 6.3 Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana 6.4 Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan dan simetri 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang sederhana Penelitian ini tidak mengambil semua kompetensi dasar di atas, namun peneliti hanya mengambil sebagian dari kompetensi dasar 6.2 mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang yaitu khususnya bangun prisma tegak segiempat dan prisma tegak segitiga. Selanjutnya, peneliti menentukan indikator yang terdiri dari (1) menyebutkan contoh bendabenda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang, (2) mengidentifikasi sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang, (3) menyebutkan contoh benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang, (4) menghitung banyaknya sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang, (5) mengidentifikasi sifat-sifat bangun prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang, (6) menyebutkan contoh benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi, (7) mengidentifikasi sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi, (8) menyebutkan contoh benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak 19 segiempat yang alasnya daerah persegi, (9) menghitung banyaknya sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi, (10) mengidentifikasi sifat-sifat bangun prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi, (11) menyebutkan contoh benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak segitiga, (12) mengidentifikasi sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segitiga, (13) menyebutkan contoh benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk prisma tegak segitiga, (14) menghitung banyaknya sisi, rusuk dan titik sudut prisma tegak segitiga, (15) mengidentifikasi sifat-sifat bangun prisma tegak segitiga. Pemilihan ini disesuaikan berdasarkan hasil identifikasi masalah yang menunjukkan bahwa siswa kelas V SDN Gumilir 04 sebagian besar masih mengalami kesulitan dalam menentukan sifat-sifat bangun ruang khususnya bangun prisma. d. Bangun Ruang 1) Hakikat Bangun Ruang Wahyudi (2015: 368) berpendapat bahwa, “Bangun ruang dibentuk oleh daerah segi banyak yang disebut sisi. Bangun ruang disebut juga bangun berdimensi tiga, karena mengandung tiga unsur, yaitu panjang, lebar dan tinggi.” Melengkapi pengertian tersebut Suharjana (2008: 5) berpendapat bahwa Bangun ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik yang terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Daerah atau bidang yang membatasi bangun ruang disebut sisi. Sisi-sisi pada bangun ruang bertemu pada satu garis yang disebut rusuk. Tiga atau lebih rusuk pada suatu bangun ruang bertemu pada suatu titik yang disebut titik sudut (Pratama, Irdamurni, & Zulmiyetri, 2013). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bangun ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik yang terdapat pada permukaan bangun tersebut, mempunyai bagian-bagian 20 berupa sisi, rusuk dan titik sudut serta mengandung tiga unsur yaitu panjang, lebar dan tinggi. 2) Macam-Macam Bangun Ruang Dari macam-macam bangun ruang, peneliti mengambil bangun prisma untuk dijadikan bahan penelitian. Prisma adalah bidang banyak yang dibatasi oleh dua bidang yang sejajar dan beberapa bidang lain yang berpotongan menurut garisgaris yang sejajar (Muhsetyo, 2012: 5.13). Wahyudi (2015: 368) Bangun prisma yang sering ditemui adalah prisma tegak yang sisinya berbentuk persegi panjang atau sering disebut prisma siku-siku. Yang termasuk prisma siku-siku diantaranya prisma tegak segiempat dan prisma tegak segitiga dapat dijelaskan seperti di bawah ini: 1. Prisma Tegak Segiempat Muhsetyo (2012: 5.14) Prisma tegak segi empat ada yang alasnya daerah persegi panjang disebut balok, dan alasnya daerah bujur sangkar atau persegi disebut kubus. a) Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Panjang Prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang adalah suatu bangun ruang yang dibatasi oleh tiga pasang (enam) persegi panjang dimana setiap pasang persegi panjang saling sejajar (berhadapan) dan berukuran sama. Nama lainnya adalah prisma siku-siku, kotak atau kuboid. Unsur-Unsur Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Panjang sebagai berikut. 21 Gambar 2.1: Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Panjang ABCD.EFGH 1. Pada prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang ABCD.EFGH terdapat 6 bidang atau sisi yang berhadapan sejajar dan kongruen yaitu: - sisi alas = ABCD - sisi belakang = CDHG - sisi tutup = EFGH - sisi kiri = ADHE - sisi depan = ABFE - sisi kanan = BCGF Gambar 2.2: Kerangka Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Panjang ABCD.EFGH 2. Pada kerangka prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang ABCD.EFGH terdapat 12 rusuk yang sama panjang yaitu: rusuk alas : AB = CD, BC = AD rusuk tegak : AE = BF, DH = CG rusuk atas : EF = GH, FG = EH Gambar 2.3: Kerangka Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Panjang ABCD.EFGH 22 3. Pada kerangka prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang ABCD.EFGH terdapat 8 titik sudut yang sama besar yaitu: Titik sudut A Titik sudut E Titik sudut B Titik sudut F Titik sudut C Titik sudut G Titik sudut D Titik sudut H A= B= C= D= E= F= G= H = 90o b) Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi Prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi disebut kubus. Kubus adalah prisma siku-siku khusus. Semua sisinya berbentuk persegi. Kubus juga disebut bidang enam beraturan. Unsur-Unsur Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi sebagai berikut: Gambar 2.4: Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi ABCD.EFGH 1. Pada prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi ABCD. EFGH terdapat 6 sisi yang kongruen yang berbentuk persegi adalah - sisi alas = ABCD - sisi belakang = CDHG - sisi atas = EFGH - sisi kiri = ADHE - sisi depan = ABFE - sisi kanan = BCGF 23 Gambar 2.5: Kerangka Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi ABCD.EFGH 2. Pada kerangka prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi ABCD.EFGH terdapat 12 rusuk yang sama panjang yaitu: rusuk alas : AB = CD, BC = AD rusuk tegak : AE = BF, DH = CG rusuk atas : EF = GH, FG = EH Gambar 2.6: Kerangka Prisma Tegak Segiempat yang Alasnya Daerah Persegi ABCD.EFGH 3. Pada prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi ABCD.EFGH terdapat 8 titik sudut yang sama besar yaitu: Titik sudut A Titik sudut E Titik sudut B Titik sudut F Titik sudut C Titik sudut G Titik sudut D Titik sudut H A= B= C= D= E= F= G= H = 90o c) Prisma tegak segitiga Prisma tegak segitiga adalah prisma yang alas dan tutupnya berbentuk segitiga 24 Sisi tutup Sisi kiri Sisi belakang Sisi kanan Sisi alas Gambar 2.7: Kerangka dan Prisma Tegak Segitiga ABC.DEF Unsur-unsur yang dimiliki prisma segitiga adalah sebagai berikut: a. Pada prisma tegak segitiga ABC.DEF terdapat 5 sisi yang sejajar dan kongruen, yaitu: - Sisi alas = ABC - Sisi kanan = BCFE - Sisi tutup = DEF - Sisi belakang = ACFD - Sisi kiri = ABED b. Pada prisma tegak segitiga ABC.DEF terdapat 9 rusuk yang sama panjang, yaitu: - Rusuk Alas yaitu rusuk AB, BC dan AC - Rusuk Tutup yaitu DE, EF dan DF - Rusuk Tegak yaitu AD, BE dan CF c. Pada prisma tegak segitiga ABC.DEF terdapat 6 titik sudut yang sama besar yaitu: - Titik sudut A - titik sudut D - Titik sudut B - titik sudut E - Titik sudut C - titik sudut F 3) Sifat-Sifat Prisma Tegak Segiempat a) Sifat-Sifat Prisma Tegak Segiempat yang alasnya persegi panjang sebagai berikut. 1) Mempunyai 8 titik sudut yang sama besar 2) Mempunyai 12 rusuk yang sama panjang 25 3) Mempunyai 6 bidang sisi berbentuk persegi panjang, sisi-sisi yang berhadapan sejajar dan kongruen. b. Sifat-Sifat Prisma Tegak Segiempat yang alasnya persegi sebagai berikut. 1) Mempunyai 8 titik sudut yang sama besar 2) Mempunyai 12 rusuk yang sama panjang 3) Mempunyai 6 bidang sisi berbentuk bujur sangkar atau persegi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar dan kongruen. 4) Sifat-Sifat Prisma Tegak Segitiga Sifat-Sifat Prisma Tegak Segitiga sebagai berikut: a. Prisma memiliki bentuk alas dan tutup yang kongruen. b. Memiliki 5 sisi yaitu satu sisi alas dan satu sisi atas yang berbentuk segitiga yang kongruen serta tiga sisi tegak yang berbentuk persegi panjang yang sejajar dan sama panjang. c. Prisma memiliki 9 rusuk yaitu tiga rusuk alas, tiga rusuk tegak dan tiga rusuk atas yang sama panjang. d. Memiliki 6 titik sudut yang sama besar. 3) Peningkatan Pembelajaran Matematika Kelas V SD Menurut Poerwadarminta (2005: 1281) menyatakan peningkatan berarti proses, cara, perbuatan, meningkatkan. Meningkatkan sendiri berarti menaikkan (derajat, taraf, dsb); mempertinggi; memperhebat (produksi dsb). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian peningkatan ialah suatu proses perubahan meningkatkan, yang berarti proses perubahan dari keadaan tertentu menuju ke arah yang lebih tinggi tarafnya atau ke arah yang positif (lebih baik). Pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. 26 Matematika adalah suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dibangun dengan pola pemikiran deduktif dimana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya melalui pemecahan masalah, sehingga berlaku secara umum. Sedangkan menurut Muhsetyo (2008: 1.26) pembelajaran kepada matematika adalah melalui serangkaian siswa sehingga siswa memperoleh proses pengalaman kegiatan kompetensi belajar yang terencana tentang bahan matematika yang dipelajari. Siswa kelas V SD berada pada rentang usia 10-11 tahun berada pada tahap perkembangan operasional konkret, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, tertarik pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri, aktif bergerak, suka bermain dan hal-hal yang menggembirakan, suka mencoba hal-hal baru, memiliki sifat kooperatif dan dapat bekerja sama dan bergaul dengan teman secara baik, mulai belajar dengan menggunakan prinsip ilmiah sederhana, belajar dengan bekerja mengamati, berinisiatif, mencoba, dapat mengikuti peraturan yang ada, serta mulai terdorong untuk berprestasi. Anak telah mampu berpikir secara logis dan sistematis serta mulai melihat sesuatu berdasarkan persepsinya tetapi hanya melalui pengertian konkret belum mampu berpikir secara abstrak. Maka dalam hal ini pembelajaran Matematika perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pembelajaran Matematika siswa kelas V SD adalah suatu proses perubahan dari keadaan awal menuju ke arah keadaan yang lebih baik atau ke arah yang positif dengan melakukan interaksi antara siswa dan guru, yang merupakan usaha sadar dan terarah yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh guru untuk meningkatkan pembelajaran matematika dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar 27 yang memungkinkan siswa turut serta berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sehingga pembelajaran matematika pada siswa kelas V yang berada pada fase operasional konkret, belajar dengan mengamati dan mencoba, masih senang dengan dunia sekitar, aktif bergerak, masih senang bermain dan bekerjasama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, serta masih berpikir konkret akan lebih bermakna bagi siswa serta hasil belajarnya pun akan mengalami peningkatan. 2. Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Media Konkret a. Penerapan Pendekatan Kontekstual 1) Pengertian Pendekatan Kontekstual Menurut Trianto (2012: 107), “Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. “ Menurut Nurhadi (Rusman 2012: 189) “Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.“ Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah suatu konsep belajar yang mengaitkan materi dengan kejadian nyata yang dialami siswa dalam pembelajaran di sekolah sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial dan budaya 28 sehingga siswa benar-benar memperoleh pemahaman tentang apa yang telah dipelajarinya. 2) Karakteristik Pendekatan Kontekstual di SD Karakteristik CTL yaitu, (a) kerja sama, (b) saling menunjang, (c) menyenangkan dan tidak membosankan, (d) belajar dengan bergairah, (e) pembelajaran terintegrasi, (f) menggunakan berbagai sumber, (g) siswa aktif, (h) sharing dengan teman, (i) siswa kritis guru kreatif, (j) dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain, (k) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain (Shoimin, 2013: 42). Menurut Sanjaya (2014: 256) terdapat lima karakteristik penting CTL, yaitu: a) Dalam CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge), artinya apa yang akan dipelajari, tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. b) Pendekatan kontektual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. c) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi dipahami dan diyakini. d) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh 29 harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa. e) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual di sekolah dasar adalah mengarah pada pembelajaran yang dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan, aktif, kreatif, menghasilkan suatu produk/hasil yang baik dan inovatif, terdapat suatu kerjasama antarsiswa, kebermaknaan dalam pembelajaran dan diarahkan dalam konteks kehidupan nyata atau sehari-hari siswa. Seperti saat pembelajaran, siswa diajak untuk berada di lingkungan nyata dan alamiah sehingga siswa mendapatkan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. 3) Komponen Pendekatan Kontekstual di SD Menurut Nurhadi Contextual Teaching and Learning (CTL) melibatkan tujuh komponen utama (Sagala, 2012: 88) adalah sebagai berikut: a) Konstruktivisme (Construtivism) Konstruktivisme, merupakan suatu pendekatan yang meminta siswa membangun pengertian sendiri mengenal informasi-informasi yang diperoleh, sehingga pengetahuan itu bermakna baginya. b) Bertanya (Questioning) Bertanya (Questioning), merupakan bagian dari proses pembelajaran yang menimbulkan rasa ingin tahu. Dengan keingintahuan itu, maka siswa diajak berpikir kritis, di dorong untuk memperoleh informasi atau mengetahui sesuatu. 30 c) Menemukan (Inquiry) Menemukan (Inquiry) merupakan proses pembelajaran yang dilakukan melalui suatu usaha siswa untuk menemukan sendiri masalah yang dihadapi beserta cara pemecahannya. d) Masyarakat belajar (learning community) Masyarakat belajar (learning community), bahwa pengetahuan akan banyak dibentuk oleh berkomunikasi dengan orang lain. Penerapan dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ini, bahwa hasil belajar akan diperoleh melalui berbagi dengan teman, dengan orang lain, kelompok, sumbersumber belajar lain, di samping guru. e) Permodelan (modelling) Permodelan (modelling), adalah suatu proses pembelajaran yang menggunakan contoh yang ditiru oleh siswa. Dengan permodelan siswa akan terhindar dari verbalisme yang abstrak, karena pembelajaran berproses melalui contoh konkret. Melalui permodelan guru meminta siswa melakukan sesuatu. f) Refleksi (reflection) Refleksi (reflection), merupakan proses berpikir tentang apa yang telah dipelajari dengan jalan menelaah dan merespon kejadian, kegiatan, dan pengalaman yang diperoleh untuk mendapatkan pemahaman baik yang bersifat positif maupun negatif. Melalui refleksi, siswa dapat meninjau kembali apa yang dimiliki dan berusaha memperbaharuinya. g) Penilaian nyata (authentic assessment) Penilaian nyata (authentic assessment), merupakan proses penilaian untuk mengumpulkan semua informasi tentang semua kegiatan belajar yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung, dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Penilaian dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa, mempersyaratkan penerapan pengetahuan dan pengalaman, yang 31 Contextual Teaching and Learning (CTL) dan relevan. Tujuannya menilai proses maupun produk. Menurut Trianto (2012: 111), pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Construtivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (learning community), permodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen pendekatan kontekstual di SD terdiri dari tujuh komponen utama yaitu (1) Konstruktivisme (Construtivism), (2) Bertanya (Questioning), (3) Menemukan (Inquiry), (4) Masyarakat belajar (learning community), (5) Permodelan (modelling), (6) Refleksi (reflection), (7) Penilaian nyata (authentic assessment). 4) Tujuan Pendekatan Kontekstual di SD CTL bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui pemahaman materi dengan mengaitkan antara materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari (Arum, 2013: 32). Grenno (Smith, 2010: 34) menerangkan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan transfer dari kelas ke dalam situasi kehidupan siswa, meningkatkan kemungkinan belajar siswa serta memudahkan penguasaaan siswa terhadap materi pelajaran Hal ini sejalan dengan pernyataan Tambelu (2013: 27) bahwa pendekatan kontekstual bertujuan untuk menyediakan pengetahuan kepada siswa yang dapat diterapkan secara fleksibel serta dapat ditransfer dari satu masalah ke yang lain dan dari satu konteks ke yang lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual di SD bertujuan untuk meningkatkan 32 kemungkinan transfer ilmu pengetahuan dari pembelajaran di kelas ke dalam situasi kehidupan siswa secara fleksibel sehingga dapat memudahkan penguasaan materi pelajaran di sekolah dasar. 5) Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual di SD Rusman (2012: 199) secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dikembangkan dari komponen utama CTL sebagai berikut: 1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. (Constructivisme) 2. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. (Questioning) 3. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. (Inquiry) 4. Ciptakan masyarakat belajar atau belajar dalam kelompokkelompok (Learning Community) 5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran (Modelling) 6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan. (Reflection) 7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dan objektif dengan berbagai cara.(Authentic Assesment) Shoimin (2013: 43-44) memaparkan langkah-langkah penerapan CTL sebagai berikut: 1) Kegiatan Awal a) Guru menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. b) Apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan. c) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari. d) Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar. 33 2) Kegiatan Inti a) Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan guru. b) Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan. c) Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja yang diajukan guru d) Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok dan kelompok yang lain menanggapi kelompok yang mendapat tugas. e) Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa membahas cara penyelesaian masalah yang tepat f) Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal-hal atau materi yang belum dipahami siswa. 3) Kegiatan Akhir a) Guru dan siswa membuat kesimpulan b) Siswa mengerjakan lembar tugas c) Siswa menukar lembar kerja kepada teman yang lain untuk dikoreksi dan dibahas sekaligus memberikan penilaian. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pendekatan kontekstual di sekolah dasar sebagai berikut: 1. Konstruktivisme (Constructivism) Guru memberikan penanaman, pengarahan, dan motivasi kepada siswa bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika mereka mengkonstruksi atau mendapatkan sendiri suatu pengetahuan atau konsep dengan pengalaman yang mereka dapat sendiri. Misalnya siswa mengamati benda-benda disekitar kelas yang termasuk bangun ruang. Kemudian siswa menyebutkan nama-nama bangun ruang tersebut berdasarkan pengalaman atau pengetahuan siswa. 34 2. Bertanya (Questioning) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya ataupun sebaliknya guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk bertanya ataupun sebaliknya guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk membangkitkan respon siswa. Misalnya: guru bertanya tentang berapa jumlah sisi, titik sudut dan rusuk pada bangun prisma tegak segitiga? 3. Menemukan (Inquiry) Guru melakukan inkuiri dalam pembelajaran yaitu dengan siswa melakukan percobaan dan observasi untuk menemukan pengetahuan, informasi, dan konsep itu. Misalnya siswa mengamati, menghitung dan memahami sisi, titik sudut dan rusuk pada bangun prisma tegak segitiga. Serta siswa mengamati dan menyebutkan contoh benda yang berbentuk bangun prisma tegak segitiga dalam kehidupan sehari-hari seperti: kardus bungkus cokelat. 4. Masyarakat belajar (Learning Community) Guru mengajak siswa untuk membentuk kelompok dalam kelas. Pembentukan dilakukan secara merata oleh guru. Dengan tujuan akan terjalin dan berkembangnya keterampilan siswa dalam berkomunikasi, dalam kelas. Yaitu dari siswa-diskusi kelompok, siswa-diskusi kelompok-diskusi kelas. Ataupun menjalin hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitar anak. (Secara berkelompok siswa memecahkan permasalahan tentang jumlah sisi, titik sudut, rusuk pada bangun prisma tegak segitiga serta contoh benda yang berbentuk bangun prisma tegak segitiga dalam kehidupan sehari-hari. 5. Pemodelan (Modelling) Guru bersama-sama dengan siswa melakukan pemodelan misal dengan guru bersama siswa melakukan demonstrasi di depan kelas atau siswa melakukan, memberikan, dan memperagakan sesuatu di depan kelas. (Siswa mendemonstrasikan hasil diskusi tentang jumlah 35 sisi pada bangun prisma tegak segitiga dengan media konkret bungkus cokelat untuk menunjukkan jumlah beserta letak sisi-sisi, titik sudut, dan media kerangka untuk menunjukkan jumlah beserta letak rusuk pada bangun tersebut). 6. Refleksi (Reflection) Guru mengajak siswa bersama-sama melakukan refleksi atau melihat kembali apa yang telah mereka pelajari sekilas. (Guru bersama siswa membahas dan menyimpulkan materi tentang sifat-sifat pada bangun ruang berdasarkan unsur-unsur prisma tegak segitiga tersebut). 7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Guru melakukan penilaian sebenarnya yaitu guru menilai dari hasil pekerjaan siswa baik berupa hasil belajar siswa ataupun hasil karya siswa. (Siswa mengerjakan soal evaluasi tentang sifat-sifat bangun prisma) 6) Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Kontekstual di SD Kelebihan pendekatan CTL dinyatakan oleh Hosnan (2014: 279) antara lain: 1) pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan; 2) pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis 36 konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. Shoimin (2013: 44) kelebihan CTL, yaitu: 1) Pembelajaran kontekstual dapat menekankan aktivitas berpikir siswa secara penuh, baik fisik maupun mental. 2) Pembelajaran kontekstual dapat menjadikan siswa belajar bukan dengan menghafal, melainkan proses berpengalaman dalam kehidupan nyata. 3) Kelas dalam kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan. 4) Materi pelajaran ditentukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain. Kekurangan pendekatan CTL menurut Putra (2013: 260-261) antara lain: 1) Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran kontekstual berlangsung 2) Jika guru tidak bisa menguasai kelas, maka bisa menciptakan situasi kelas yang kurang kondusif. Kekurangan CTL menurut Shoimin (2013: 44) yaitu penerapan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan dalam konteks pembelajaran, selain juga membutuhkan waktu yang lama. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan penerapan pendekatan kontekstual di SD adalah jika diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah dasar maka pembelajaran menjadi lebih bermakna dan nyata bagi siswa karena pengetahuan dibangun dari pengalaman dan pengetahuan sendiri sehingga pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep. Sedangkan kelemahan yang ada dalam pendekatan kontekstual secara umum yaitu guru hanya sebagai pembimbing dan 37 fasilitator dalam pembelajaran sehingga siswa diharapkan mampu menemukan konsep-konsep berdasarkan idenya masing-masing. Dengan adanya kelebihan dan kelemahan pendekatan CTL tersebut maka peneliti berusaha untuk mengembangkan kelebihan-kelebihan CTL yang ada dengan menerapkan ketujuh komponen utama pendekatan kontekstual secara benar dan berusaha menghilangkan kekurangan yang ada dengan melakukan pembelajaran sebaik mungkin dan meminimalkan kesalahan-kesalahan dalam pembelajaran. b. Penggunaan Media Konkret 1) Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin, merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang berarti sesuatu yang terletak di tengah (antara dua pihak atau kutub) atau suatu alat. Media dapat diartikan sebagai perantara atau penghubung antara dua pihak, yaitu antar sumber pesan dengan penerima pesan atau informasi (Anitah, 2009: 123). Arsyad (2011: 4-5) media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Padmono (2011: 11) mengemukakan bahwa “media adalah segala hal (manusia dan alat) yang membantu atau perantara pesan dari pengirim atau penerima”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media merupakan alat bantu komunikasi untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada pebelajar agar tercapai tujuan pembelajaran dengan efektif, aktif, dan efisien. 2) Macam-macam Media Adapun macam-macam media seperti yang dikemukakan oleh Anitah (2009: 128) bahwa media pembelajaran digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu media visual, audio, dan audiovisual. 38 a) Media Visual Media visual adalah media yang hanya dapat digunakan melalui indera penglihatan. Terdiri dari media yang dapat diproyeksikan meliputi media proyeksi diam (gambar diam) serta media proyeksi gerak. media yang tidak dapat diproyeksikan meliputi still picture, ilustrasi, karikatur, poster, bagan, grafik, peta datar, relia dan model (benda nyata), dan berbagai jenis papan. b) Media Audio Media audio adalah media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif atau hanya dapat didengar yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan para siswa untuk mempelajari bahan ajar. Terdiri dari program kaset suara, CD audio, dan program radio. c) Media Audio-Visual Media audio-visual adalah kombinasi dari audio dan visual atau biasa disebut sebagai media pandang dengar. Contohnya yaitu program video/televisi pendidikan, video/televisi instruksional, program slide suara, dan program CD interaktif. Suwarna (2005: 134) mengemukakan klasifikasi media pengajaran atau pembelajaran berdasarkan tujuan praktis yang akan dicapai ialah sebagai berikut: a) media grafis b) media audio c) media proyeksi Mengenal jenis-jenis media, Sudjana dan Rivai (2010: 3) juga menyatakan bahwa ada beberapa jenis media yang dapat digunakan dalam proses pengajaran. Jenis media tersebut, yaitu: 1) media grafis Media ini sering disebut juga media dua dimensi yakni media yang mempunyai ukuran panjang dan lebar. Dengan media grafis guru dapat menyalurkan pesan dan informasi melalui simbol- 39 simbol visual. Fungsi dari media grafis adalah menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran, dan mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan apabila hanya dilakukan melalui penjelasan verbal. Beberapa contoh media grafis antara lain gambar, foto, grafik, kartun, karikatur, puzzle, diagram, komik dan lain-lain 2) media tiga dimensi Media tiga dimensi, meliputi: model padat, model susun, model kerja, diorama dan lain-lain 3) media proyeksi seperti: slide, film, strips, penggunaan OHP dan lain-lain 4) penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum media dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu media audio, media visual, dan media audio-visual. Media yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian adalah media konkret. Berdasarkan jenis dan klasifikasi media di atas, media konkret disebut juga media sebenarnya atau media relia. Media benda konkret termasuk dalam media visual yang tidak dapat diproyeksikan , selain itu termasuk juga dalam media tiga dimensi sebab memiliki panjang, lebar dan tinggi. 3) Kriteria Pemilihan Media Indriana (2011: 27) berpendapat, “dasar pertimbangan dalam pemilihan media adalah terpenuhinya kebutuhan dan tercapainya tujuan pembelajaran. Jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran, maka media tersebut tidak bisa digunakan”. Hal ini dipertegas dengan pendapat Connel (dalam Indriana, 2011: 27) yang menyatakan dalam menggunakan media harus sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. 40 Sudjana & Rivai (Sukiman, 2012: 50-51) mengemukakan dalam memilih media guru hendaknya mempertimbangkan kriteria-kriteria berikut: (1) ketepatan dengan tujuan/kompetensi yang ingin dicapai; (2) ketepatan untuk mendukung isi pelajaran yang bersifat fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi; (3) keterampilan guru dalam menggunakannya; dan (4) tersedianya waktu untuk menggunakan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Padmono (2011: 18) yang menyebutkan kriteria dalam memilih media, meliputi: (1) ketepatan dengan tujuan pengajaran, (2) dukungan terhadap isi bahan pengajaran, (3) pemudahan memilih media, (4) keterampilan guru dalam menggunakannya, (5) tersedianya waktu untuk menggunakan, dan (6) sesuai dengan taraf berpikir siswa. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria memilih media meliputi: (1) ketepatan dengan tujuan pembelajaran, (2) ketepatan untuk mendukung isi pengajaran, (3) media tersedia dengan mudah, (4) kompetensi guru dalam menggunakan media, (5) tersedianya waktu untuk penggunaan, dan (6) sesuai dengan karakteristik peserta didik. Berkenaan dengan kriteria memilih media tersebut, maka media konkret yang dipilih peneliti sudah memenuhi kriteria yang telah disebutkan. Media konkret yang digunakan peneliti sesuai dengan isi materi yang diajarkan yaitu tentang bangun ruang khususnya materi sifat-sifat bangun prisma karena dalam materi ini siswa harus benarbenar mengetahui, mengenal, mengerti dan memahami bentuk nyata, nama, bagian-bagian, unsur-unsur bangun prisma yang dipelajarinya sebelum menuju pada tahap selanjutnya yaitu sifat-sifat bangun prisma, jaring-jaring maupun volume. Dengan adanya media konkret pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa dapat mengamati, meraba, memegang, mengetahui secara langsung bentuk, ukuran bangun ruang tersebut sehingga dapat mendukung tujuan pembelajaran. Penggunaan media konkret tergolong mudah karena 41 berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga guru berkompetensi untuk menggunakannya. Selain itu, media konkret dapat diperoleh secara mudah banyak ditemukan di lingkungan sekitar kita. Penggunaan media konkret sangat sesuai dengan karakteristik peserta didik khususnya anak SD karena usia anak SD masih berada pada tahap operasional konkret, siswa masih berpikir secara konkret belum dapat berpikir secara abstrak. 4) Media Konkret Media konkret dapat juga diartikan sebagai media nyata, realita atau relia. Asyhar (2011: 54) mengemukakan bahwa benda nyata adalah benda yang dapat dilihat, didengar atau dialami oleh siswa sehingga memberikan pengalaman langsung kepada mereka Sanaky (2013: 128) benda asli adalah benda dalam keadaan sebenarnya dan seutuhnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media konkret merupakan media benda asli yang masih dalam keadaan utuh, ukuran yang sebenarnya dan dikenali sebagai wujud asli untuk memudahkan konsep yang akan disampaikan kepada siswa, sehingga siswa merasa tertarik. Media ini dapat berupa benda mati atau makhluk hidup. 5) Langkah-langkah Penggunaan Media Konkret di SD Padmono (2011: 43-44) penerapan media nyata atau media konkret dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan cara: (1) memperkenalkan unit baru perlu metode khusus yang memberi perhatian siswa, (2) menjelaskan proses, media nyata tepat untuk pengajaran yang menunjukkan proses dan tidak sekedar benda, (3) menjawab pertanyaan (perlu diuji sejauh mana keterlibatan siswa dalam berinteraksi dengan media nyata, (4) melengkapi perbandingan, (5) unitakhir atau puncak. 42 Sudjana & Rivai (2010: 197-205) mengemukakan langkahlangkah penggunaan media konkret antara lain: (1) memperkenalkan unit, (2) menjelaskan proses, (3) menjawab pertanyaan-pertanyaan, (4) melengkapi pemahaman siswa tentang media konkret, (5) membimbing siswa menuju unit akhir. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah penggunaan media konkret di sekolah dasar sebagai berikut: a) Persiapan Sebelum Menggunakan Media Konkret Pada langkah yang pertama ini, guru mempersiapkan diri, dan media serta peralatan yang mungkin diperlukan dalam penggunaan media konkret di sekolah dasar. Setelah itu guru perlu mengatur penempatan media konkret dan peralatan yang lain dengan baik sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melihat media tersebut. Dalam penelitian ini media konkret yang digunakan berupa kardus bungkus cokelat, kardus bungkus pasta gigi, kotak kapur, kotak kado dan sebagainya. b) Kegiatan selama penggunaan media Pada langkah kedua, guru menjaga suasana atau ketenangan kelas dan menghindari gangguan yang dimungkinkan dapat menghambat atau mengganggu konsentrasi siswa dalam belajar. Kegiatan apapun yang dilakukan oleh guru selama pembelajaran, bila suasana kelas tidak kondusif dan ketenangan kelas tidak terjaga, maka konsentrasi siswa akan terganggu dan kegiatan pembelajaran akan berjalan kurang baik dan kurang maksimal. Kegiatan selama penggunaan media konkret dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) guru menunjukkan kepada siswa beberapa media konkret seperti bungkus cokelat, kotak kapur, kardus nasi di depan kelas disertai upaya menjaga ketenangan kelas dan siswa diminta 43 memegang, mengamati dan memperhatikan media secara seksama; 2) guru bertanya jawab dengan siswa mengenai nama media konket tersebut dan membimbing siswa dalam memahami ciriciri media konkret tersebut, misalnya: “Apa nama benda yang ibu pegang?” Berbentuk bangun ruang apa benda tersebut? Berapa jumlah sisi bangun ruang tersebut?”; 3) guru menjelaskan materi dan bertanya jawab dengan siswa tentang cara berbicara yang baik dalam mendeskripsikan media konkret tersebut. Andi menjawab pertanyaan ibu guru tentang nama benda yang dipegang ibu guru yaitu wadah cokelat. Bentuknya bangun prisma tegak segitiga, Sisinya ada 5. “Andi, dalam menyampaikan/ mendeskripsikan media konkret tersebut menggunakan kalimat yang jelas, lengkap, baku dan disertai dengan menunjukkan sesuatu seperti ketika mendeskripsikan jumlah sisi prisma tegak segitiga, maka ditunjukkan mana bagian sisi dari bangun tersebut kemudian saat menghitung jumlahnya maka ditunjukkan mana sisi depan, belakang, kanan, kiri, tutup, alas dan sebagainya. 4) guru memberikan contoh berbicara yang baik dalam mendeskripsikan media konkret tersebut misalnya nama benda yang ibu pegang adalah bungkus cokelat. Berbentuk bangun ruang prisma tegak segitiga. Jumlah sisi pada bangun prisma tegak segitiga ada 5. Sisi-sisi pada prisma tegak segitiga yang berhadapan kongruen disampaikan dengan jelas, disertai dengan menunjukkan apa yang dilakukan seperti menunjukkan letak sisi pada prisma tegak segitiga, ; 5) guru memberi penugasaan pada siswa untuk mencoba membuat deskripsi media konkret dan menjaga ketenangan kelas, misalnya: “Anak-anak sekarang coba kalian membuat deskripsi tentang media konkret bungkus cokelat ini ; 44 6) guru meminta beberapa siswa berbicara di depan kelas secara individual untuk mendeskripsikan salah satu media konkret, misalnya: “Setelah kalian membuat deskripsi, sekarang kalian bacakan hasil deskripsi kalian di depan kelas!” c) Kegiatan Tindak Lanjut Pada langkah ketiga, guru menjajagi apakah tujuan pembelajaran telah tercapai atau belum dengan cara melaksanakan evaluasi. 6) Kelebihan dan Kekurangan Media Konkret Sanaky (2013: 128-129) media konkret memiliki beberapa kelebihan yaitu siswa akan lebih banyak belajar, belajar dengan menggunakan benda-benda asli memegang peranan penting dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran, pembelajar juga dapat belajar langsung dan tidak hanya mendengar pengajar menjelaskan dengan monoton gambar yang ditampilkan pengajar. Kemudian Asyhar mengatakan (2011: 55) “Kelebihan dari media nyata ini adalah dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret dan waktu retensi lebih panjang”. Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa media konkret memiliki beberapa kelebihan antara lain: (1) memberi pengalaman yang lebih banyak dan bermakna bagi siswa, (2) memperbaiki proses pembelajaran, (3) memberi variasi kepada pengajar agar dalam menjelaskan, siswa tidak hanya mendengarkan saja dan tidak monoton, (4) memberi waktu retensi yang lebih banyak. Selain memiliki kelebihan, media konkret juga memiliki beberapa kekurangan. Sanaky (2013: 129) menyatakan bahwa belajar menggunakan media konkret memakan biaya yang cukup besar. Menurut Padmono (2011: 43) penggunaan benda nyata perlu mempertimbangkan beberapa hal antara lain: (1) apakah 45 memungkinkan dimanfaatkan dalam kelas secara efisien, (2) bagaimana caranya agar benda nyata sesuai dengan pola belajar siswa, (3) dari mana sumbernya benda nyata digunakan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media konkret memiliki beberapa kekurangan antara lain: (1) media konkret harus dapat dimanfaatkan secara efisien agar dapat memberikan pengalaman secara langsung kepada siswa, (2) harus dapat mengetahui cara penyampaian media tersebut dengan benar, (3) memperhatikan asal sumber benda tersebut agar siswa dapat belajar dengan media yang sama di tempat berbeda. c. Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Media Konkret Pendekatan Kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kejadian nyata yang dialami siswa dalam pembelajaran di sekolah sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan tentang apa yang dimiliki dengan penerapan pada kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial dan budaya serta sehingga siswa benar-benar memperoleh pemahaman tentang apa yang telah dipelajarinya. Media konkret merupakan media benda asli yang masih dalam keadaan utuh, ukuran yang sebenarnya dan dikenali sebagai wujud asli untuk memudahkan konsep yang akan disampaikan kepada siswa, sehingga siswa merasa tertarik. Penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret adalah suatu penerapan pendekatan pembelajaran dengan cara mengaitkan materi yang diajarkan dengan kehidupan siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan tentang apa yang dimiliki dengan penerapan pada kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial dan budaya yang dikombinasikan dengan media benda asli berdimensi tiga yang memiliki panjang, lebar dan tinggi yang masih dalam keadaan utuh, ukuran yang sebenarnya dan dikenali sebagai wujud asli untuk memudahkan konsep 46 yang akan disampaikan kepada siswa sehingga siswa merasa tertarik, dan benar-benar memperoleh pemahaman tentang apa yang telah dipelajarinya. d. Langkah-Langkah Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Media Konkret Kelas V Sekolah Dasar Materi Sifat-Sifat Bangun Prisma Langkah-langkah penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret kelas V sekolah dasar materi sifat-sifat bangun prisma dalam penelitian ini adalah: 1) Konstruktivisme dengan media konkret berupa bangun ruang Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar yaitu dengan cara guru meminta siswa mengamati benda-benda disekitar kelas yang termasuk bangun ruang. Kemudian siswa menyebutkan nama-nama bangun ruang tersebut berdasarkan pengalaman atau pengetahuan siswa. 2) Bertanya mengenai media konkret berupa bangun ruang Siswa dan guru bertanya jawab tentang materi pelajaran dan nama benda-benda yang termasuk dalam media konkret berupa bangun ruang serta membimbing siswa untuk memahami sifat-sifat bangun ruang melalui benda tersebut. Guru bertanya kepada siswa tentang banyaknya sisi, rusuk dan titik sudut bangun prisma tegak segitiga, serta contoh benda yang berbentuk bangun prisma tegak segitiga dalam kehidupan sehari-hari. 3) Inkuiri melalui media konkret berupa bangun ruang Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan dan memberi masalah kepada siswa dengan menggunakan media konkret berupa benda berbentuk bangun ruang kemudian siswa diminta untuk menemukan atau memecahkan permasalahan tersebut serta guru menjelaskan kepada siswa tentang cara berbicara yang baik dalam mendeskripsikan benda tersebut. Dalam hal ini, siswa mengamati, Misalnya siswa mengamati, menghitung dan 47 memahami jumlah sisi, titik sudut dan rusuk pada bangun prisma tegak segitiga. Serta siswa mengamati dan menyebutkan contoh benda yang berbentuk bangun prisma tegak segitiga dalam kehidupan sehari-hari seperti: kardus bungkus cokelat. 4) Masyarakat belajar mengenai media konkret berupa bangun ruang Guru menegaskan siswa serta membimbing siswa dalam kelompokkelompok untuk mendiskusikan materi sifat-sifat bangun ruang berdasarkan media konkret berupa benda berbentuk bangun ruang. Yaitu siswa secara berkelompok mengamati, menghitung, dan memahami jumlah sisi, titik sudut dan rusuk pada bangun prisma tegak segitiga. Serta siswa mengamati dan menyebutkan contoh benda yang berbentuk bangun prisma tegak segitiga dalam kehidupan sehari-hari seperti: kardus bungkus cokelat. 5) Permodelan dengan media konkret berupa bangun ruang Guru menggunakan media konkret dalam pembelajaran bangun ruang berupa benda-benda yang berbentuk bangun ruang seperti kemasan cokelat, santan (prisma segitiga), kemasan sabun mandi, kotak kapur, kota kado, rubik, kotak tisu, kardus (prisma segiempat) dan lain sebagainya kemudian guru meminta beberapa siswa berbicara di depan kelas secara individual untuk mendeskripsikan dengan menggunakan bahasa yang benar salah satu benda seperti kemasan/bungkus cokelat yaitu berbentuk prisma tegak segitiga, memiliki 5 sisi, memiiki 6 titik sudut, memiliki 9 rusuk dan sebagainya sambil menunjukkan letak sisi, titik sudut maupun rusuk bangun prisma tegak segitiga tersebut. 6) Refleksi Guru bersama siswa mengulang sekilas proses pembelajaran yang telah dilakukan serta merefleksikan hasil diskusi siswa, dan bertanya jawab mengenai sifat-sifat bangun ruang menggunakan media konkret berupa benda berbentuk bangun ruang sehingga siswa dapat memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah pengetahuan yang telah dimiliki. Guru membahas dan menjelaskan materi tentang sifat- 48 sifat bangun prisma tegak segitiga tersebut misalnya prisma tegak segitiga memilki 5 sisi yang berhadapan dan kongruen, memilki 8 titik sudut yang sama besar, memilliki 9 rusuk yang berupa tiga rusuk alas dan tiga rusuk tutup serta tiga rusuk tegak yang sama panjang dan sebagainya sambil menunjukkan dengan benar kepada siswa, letak-letak sisi, titik sudut, rusuk dan sebagainya 7) Penilaian autentik Guru melakukan penilaian autentik atau penilaian sebenarnya yaitu guru menilai proses pembelajaran siswa serta hasil belajar siswa melalui penilaian proses seperti dalam mendeskripsikan bangun ruang prisma tegak segitiga dan penilaian tes hasil belajar siswa melalui mengerjakan soal evaluasi tentang bangun prisma tegak segitiga. 3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Sutama (Vol. 4, No 3, 2015) pada jurnal internasional American International Journal of Social Science dari www.aijssnet.com dengan judul “Lesson Study Based Contextual Mathematics Leraning Quality in Elementary School of Selo Boyolali”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis kontekstual dapat meningkatkan pembelajaran Matematika. Persamaan penelitian yang akan dilaksanakan peneliti dengan penelitian Tambelu yaitu sama-sama menggunakan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pembelajaran Matematika. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian Sutama subjeknya siswa kelas IV SD kemudian pada penelitian ini subjeknya siswa kelas V SD. Selain itu penelitian penelitian Sutama tidak menggunakan media konkret sedangkan penelitian ini menggunakan media konkret. Penelitian relevan yang dilakukan oleh Julie Sarama (Vol 3, No. 3, 2009) pada jurnal internasional dengan judul Concrete’’ Computer Manipulatives in Mathematics Education. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan benda manipulatif (benda konkret) dapat meningkatkan 49 pembelajaran matematika. Persamaan penelitian yang dilaksanakan peneliti dengan penelitian Julie yaitu sama-sama menggunakan media konkret untuk meningkatkan pembelajaran Matematika. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian Julie menggunakan media konkret berupa komputer kemudian pada penelitian ini menggunakan media konkret berupa kotak kapur, bungkus cokelat, kardus bungkus pasta gigi dan sebagainya. Selain itu subjek dalam penelitian Julie yaitu siswa secara umum sedangkan dalam penelitian ini, subjeknya siswa kelas V SD. M. Amin Rois (2015: 242) dengan judul “Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Media Konkret dalam Peningkatan Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas IV SDN 7 Kutosari Tahun Ajaran 2014/2015.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan kontekstual dengan media konkret dapat meningkatkan pembelajaran Matematika tentang sifat-sifat bangun ruang pada siswa kelas IV SDN 7 Kutosari Tahun Ajaran 2014/2015. Persamaan penelitian ini adalah samasama menerapkan pendekatan kontekstual dengan media konkret dalam pembelajaran serta materi yang diteliti sama-sama tentang sifat-sifat bangun ruang. Perbedaannya yaitu dalam penelitian yang dilakukan oleh M. Amin Rois subjeknya adalah siswa kelas IV SD kemudian pada penelitian ini subjeknya siswa kelas V SD. Penelitian relevan yang dilakukan oleh Nurul Syifa Urohmah (2015: 225) dengan judul “Penerapan Pendekatan Scientific Dengan Media Konkret Dalam Peningkatan Pembelajaran Matematika Tentang Bangun Ruang Pada Siswa Kelas V SD Negeri 2 Kaleng Tahun Ajaran 2014/2015’’. Penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Matematika dengan media konkret dapat meningkatkan pembelajaran matematika tentang bangun ruang. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan media konkret, subjeknya sama-sama kelas V SD dan materi yang diteliti samasama tentang sifat-sifat bangun ruang. Perbedaannya yaitu penelitian Nurul Syifa Urohmah menggunakan pendekatan pembelajaran scientific, sedangkan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual. 50 Berdasarkan beberapa penelitian relevan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pembelajaran matematika serta penggunaan media konkret juga dapat meningkatkan pembelajaran matematika materi bangun ruang khususnya bangun prisma. B. Kerangka Berpikir Karakteristik siswa kelas V SD yang berusia 10-11 tahun berada pada tahap perkembangan operasional konkret. Pada tahap ini anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat, tertarik pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri, aktif bergerak, suka bermain dan hal-hal yang menggembirakan, suka mencoba hal-hal baru, memiliki sifat kooperatif dan dapat bekerja sama dan bergaul dengan teman secara baik, mulai belajar dengan menggunakan prinsip ilmiah sederhana, belajar dengan bekerja mengamati, berinisiatif, mencoba, dapat mengikuti peraturan yang ada, mulai terdorong untuk berprestasi serta anak telah memiliki kemampuan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret misalnya benda yang dapat dilihat, didengar, diraba, dan diotak-atik dengan penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, belum mampu berpikir secara abstrak karena pengalaman yang dimiliki masih terbatas serta dalam memahami konsep, siswa sangat terikat pada proses mengalami sendiri. Artinya, siswa akan mudah memahami konsep apabila pengertian konsep tersebut dapat diamati atau siswa melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep tersebut. Hal itu bertentangan dengan karakteristik Matematika yang menyatakan bahwa matematika adalah suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dibangun dengan pola pemikiran deduktif yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran yang sudah ada sebelumnya dan diterima sehingga kebenaran antar konsep dalam Matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Bangun ruang merupakan bagian dari ruang lingkup matematika kelas V SD. Bangun ruang disebut juga bangun berdimensi tiga yang mempunyai bagian berupa sisi, rusuk, titik sudut serta mengandung tiga unsur yaitu panjang, lebar dan tinggi. Konsep dan keterampilan yang tercakup dalam bangun ruang sangat baik dalam 51 memberikan apresiasi dan pengalaman bagi siswa SD untuk belajar menjadi bermakna. Artinya, dalam pembelajaran Matematika tentang bangun ruang khususnya prisma perlu adanya pendekatan, model maupun media pembelajaran yang mewakili kenyataan agar materi Matematika tentang bangun ruang yang abstrak dapat tersalurkan ke dalam pemikiran siswa kelas V. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran matematika tentang bangun ruang yaitu melalui pendekatan kontekstual dengan media konkret. Pendekatan Kontekstual adalah suatu proses pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan materi yang diajarkan dengan kehidupan siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial dan budaya sehingga siswa benar-benar memperoleh pemahaman tentang apa yang telah dipelajari. Media konkret adalah media benda asli yang masih dalam keadaan utuh, ukuran sebenarnya dan dikenali sebagai wujud asli untuk memudahkan konsep yang akan disampaikan kepada siswa, sehingga siswa tertarik. Penerapan pendekatan kontektual dengan media konkret dalam pembelajaran Matematika tentang Bangun ruang ini sesuai dengan karakteristik siswa kelas V SD, karena melalui pendekatan kontekstual ini siswa mengkonstruksi atau menemukan serta menggali sendiri materi bangun ruang berdasarkan pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari siswa sesuai dengan karakteristik siswa mencoba hal-hal baru, mengembangkan sifat rasa ingin tahu yang kuat yang dimiliki siswa melalui kegiatan aktif bertanya, siswa bekerja sama dalam kelompok sesuai dengan karakteristik bahwa siswa memiliki sikap kooperatif, menghadirkan media konkret terkait materi bangun ruang yang mendukung proses pembelajaran matematika dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sesuai dengan karakteristik siswa belum mampu memahami hal-hal abstrak dan masih senang bermain dan tertarik dengan lingkungan sekitar, melakukan refleksi di akhir kegiatan pembelajaran dan penilaian sebenarnya. Selain itu penerapan media konkret dapat membantu meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran Matematika tentang bangun ruang, karena dengan media konkret, 52 siswa dapat melihat, memegang, maupun mengotak-atik secara langsung bentuk, ukuran, warna dan sebagainya. Dari bangun ruang tersebut, siswa dapat mengetahui, memahami dan mengerti jumlah sisi, titik sudut dan rusuk bangun ruang tersebut. Sehingga siswa dapat menanamkan pengetahuan secara sendirinya melalui media konkret. Media konkret juga dapat menarik perhatian dan minat siswa dalam pembelajaran sehingga siswa akan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan lebih interaktif dan tujuan pembelajaran tercapai. Pembelajaran Matematika tentang “Sifat-Sifat Bangun Prisma’’ melalui pendekatan kontekstual dengan media konkret pada siswa kelas V dilaksanakan dengan langkah-langkah yaitu: (1) guru mengkonstruk pengetahuan siswa dengan guru meminta siswa mengamati benda-benda disekitar kelas yang termasuk bangun ruang. Kemudian siswa menyebutkan nama-nama media konkret bangun ruang tersebut berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki siswa (konstruktivisme); (2) guru menggali rasa ingin tahu siswa dengan bertanya mengenai jumlah sisi, titik sudut dan rusuk yang terdapat pada media konkret bangun ruang yang dipegang, dipilih maupun diketahui siswa misalnya prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang (questioning); (3) siswa menggali informasi sendiri mengenai banyaknya sisi, titik sudut dan rusuk dari media konkret bangun ruang tersebut prisma tegak segiempat yang alasnya daerah persegi panjang (inquiry); (4) siswa secara berkelompok menyelesaikan masalah mengenai sifat-sifat yang dimiliki bangun ruang tersebut (learning community); (5) siswa mendeskripsikan, menghitung dan menunjukkan letak sisi, titik sudut dan rusuk secara individu salah satu bangun ruang di depan kelas dengan media konkret berupa kemasan cokelat, kotak kapur, kotak susu, kerangka dan sebagainya menggunakan bahasa yang baik (modelling) ; (6) guru bersama siswa melakukan refleksi (reflection); dan (7) guru melakukan penilaian proses yaitu pada saat pembelajaran matematika materi sifat-sifat bangun prisma dan penilaian hasil melalui tes evaluasi di akhir pembelajaran (authentic assessment). Berdasarkan langkah-langkah tersebut, diharapkan penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret akan menimbulkan rasa senang pada diri siswa dan siswa merasa tidak bosan dengan pembelajaran yang sedang dijalani sehingga 53 siswa akan aktif dalam belajar dan pembelajaran akan lebih bermakna. Selain itu jika penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret dalam peningkatan pembelajaran bangun ruang pada siswa kelas V SD dilaksanakan dengan langkahlangkah yang tepat, siswa kelas V SDN Gumilir 04 mampu belajar Matematika tentang sifat-sifat bangun prisma dengan rasa senang, aktif, tidak bosan dan pembelajaran dapat meningkat 85 % serta mencapai KKM yaitu 70. Bagan kerangka berpikir dapat dilihat pada gambar 2.8 sebagai berikut. 54 SISWA Karakteristik siswa kelas V SD yang berusia 10-11 tahun berada pada tahap perkembangan operasional konkret. Pada tahap ini anak telah memiliki kemampuan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan bendabenda yang bersifat konkret. MATEMATIKA BANGUN RUANG Matematika bahan kajian yang memiliki objek abstrak pola pemikiran deduktif kebenaran antar konsep bersifat sangat kuat dan jelas. Bangun ruang bangun berdimensi tiga Mempunyai sisi, rusuk dan titik sudut mengandung tiga unsur yaitu panjang, lebar dan tinggi. PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN MEDIA KONKRET Penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret dalam pembelajaran Matematika tentang bangun ruang yang terdiri dari tujuh langkah yaitu konstruktivisme dengan media konkret, bertanya mengenai media konkret, inkuiri melalui media konkret, masyarakat belajar mengenai media konkret, permodelan dengan media konkret, refleksi dan penilaian autentik ini sesuai dengan karakteristik siswa kelas V SD yaitu belum mampu memahami hal-hal abstrak, masih senang bermain dan tertarik dengan lingkungan sekitar, senang mencoba hal-hal baru, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, karena siswa mengkonstruksi serta menggali sendiri materi bangun ruang berdasarkan pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, siswa dituntut aktif, kreatif, berpikir kritis, bekerja sama, media konkret yang mendukung proses pembelajaran memanfaatkan lingkungan sekitar sehingga pembelajaran menjadi bermakna Penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret dalam peningkatan pembelajaran bangun ruang pada siswa kelas V SD melalui langkah-langkah yang tepat, siswa kelas V SDN Gumilir 04 mampu belajar Matematika tentang sifat-sifat bangun prisma dengan rasa senang, aktif, tidak bosan dan pembelajaran dapat meningkat 85 % serta mencapai KKM yaitu 70 Gambar 2.8: Bagan Kerangka Berpikir 55 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan uraian kajian teori, penelitian yang relevan, serta kerangka berpikir, maka peneliti dapat menentukan hipotesis tindakan “Jika penerapan pendekatan kontekstual dengan media konkret dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat, maka dapat meningkatkan pembelajaran Matematika tentang sifat-sifat bangun prisma pada siswa kelas V SDN Gumilir 04 tahun ajaran 2015/2016.”