RIP - ETD UGM

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ribosome Inactivating Protein (RIP) merupakan suatu protein yang memiliki
kemampuan menginaktivasi ribosom (Stirpe, 2005). RIP diketahui memiliki aktivitas
enzimatis yaitu N-glikosidase dan DNAse (Peumans et al, 2001), sebagai antibakteri
(Nugrahani, 2013), antifungi (Vivanco et al, 1999), antivirus (Puri et al, 2009) agen
fotoproteksi terhadap paparan radiasi ultraviolet-B (UV-B) dan kemoprevensi
terhadap sel kanker kulit (Hussaana, 2013) serta sebagai antikanker atau antitumor
dan antioksidan (Sudjadi dan Sismindari, 2008). RIP juga dapat bersifat sitotoksik
terhadap sel-sel kanker (Ikawati et al, 2006) serta dapat bertindak sebagai induktor
apoptosis bagi sel kanker (Hussaana et al, 2010).
RIP dapat diperoleh dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji (Stirpe, 2005).
Uji aktivitas pemotongan DNA superkoil seperti yang dilakukan oleh Suprapti (1997)
pada ekstrak gubal daun, akar dan biji Mirabilis jalapa merupakan metode untuk
skrining keberadaan RIP. Skrining keberadaan RIP pada jenis tanaman yang menjadi
bahan pangan bagi masyarakat, yaitu buah-buahan dapat dilakukan untuk mengetahui
jenis buah yang berpotensi mengandung RIP di dalam daging buahnya, sehingga
masyarakat dapat memperoleh manfaat berupa pemeliharaan kesehatan serta
pencegahan terhadap penyakit dengan mengkonsumsinya.
2
Adanya perubahan sifat kimiawi dan konformasional dari suatu struktur protein
dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya sehingga akan mempengaruhi
stabilitas protein tersebut (Franks, 1993). Uji stabilitas dari aktivitas RIP dapat
dilakukan pada ekstrak gubal protein daging buah yang telah mengalami
penyimpanan selama 3 hari dalam suhu ruang (28 0C) sejak hari pembelian buah. Uji
ini dimaksudkan untuk mengetahui stabilitas RIP di dalam buah yang telah
mengalami penyimpanan secara sederhana dalam suhu runag (tanpa lemari
pendingin) selama 3 hari setelah buah-buahan tersebut diperoleh atau dibeli. Manfaat
dari uji ini agar masyarakat dapat dengan bijak memilih cara dan durasi penyimpanan
buah-buahan sehingga buah-buahan yang dikonsumsi masih dapat memberikan
manfaat bagi kesehatan.
RIP memiliki aktivitas sitotoksik terhadap beberapa sel kanker serviks SiHa dan
HeLa, sel kanker payudara MCF-7 dan T47D, serta sel kanker nasofaring Raji
(Sismindari et al, 2010). Uji sitotoksik in vitro dengan metode MTT dapat dilakukan
pada ekstrak gubal protein daun Mirabilis jalapa (EGM) dan ekstrak gubal protein
daging buah (EGB) untuk mengetahui aktivitas sitotoksik EGM dan EGB terhadap
kultur sel MCF-7. Hasil uji sitotoksik tersebut dapat memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa buah-buahan yang mengandung RIP juga memiliki manfaat
sebagai agen kemoprevensi terhadap penyakit kanker.
3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat disusun beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah ekstrak gubal protein daging buah (EGB) apel, melon, belimbing, sirsat
dan waluh memiliki aktivitas pemotongan DNA superkoil seperti aktivitas yang
dimiliki oleh RIP?
2.
Bagaimana stabilitas dari aktivitas pemotongan DNA superkoil ekstrak gubal
protein daging buah yang telah disimpan 3 hari pada suhu ruang (280C) setelah
hari pembelian buah (EGB-penyimpanan)?
3.
Bagaimana aktivitas sitotoksik EGB terhadap sel kanker payudara MCF-7?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka dapat dihasilkan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1.
Membuktikan bahwa ekstrak gubal protein daging buah (EGB) apel, melon,
belimbing, sirsat dan waluh memiliki aktivitas pemotongan DNA superkoil
seperti yang dimiliki oleh RIP.
2.
Mengetahui stabilitas dari aktivitas pemotongan DNA superkoil ekstrak gubal
protein daging buah yang telah disimpan 3 hari pada suhu ruang (280C) setelah
hari pembelian buah (EGB-penyimpanan).
3.
Mengetahui aktivitas sitotoksik EGB terhadap sel kanker payudara MCF-7.
4
D. Tinjauan Pustaka
1.
Ribosome Inactivating Protein (RIP)
Ribosome Inactivating Protein (RIP) merupakan suatu golongan protein yang
memiliki kemampuan menginaktivasi ribosom mamalia, tanaman maupun fungi.
Kemampuan RIP dalam menginaktivasi ribosom tanaman dan fungi lebih rendah bila
dibandingkan dengan aktivitasnya pada ribosom mamalia (Stirpe, 1997). Menurut
Battelli et al (1984) perbedaan kemampuan inaktivasi ribosom ini dikarenakan
adanya perbedaan spesifikasi transkripsi rRNA serta perbedaan kerusakan RNA
antara sel-sel mamalia dengan sel-sel tanaman sehingga menyebabkan RIP lebih
poten aktivitasnya terhadap sel-sel mamalia dibandingkan sel-sel tanaman. RIP yang
dihasilkan dari tanaman dengan spesies atau jenis yang sama tidak bersifat sebagai
inaktivator bagi tanaman tersebut. Sementara itu pada tanaman yang berbeda jenis
RIP yang dihasilkan juga berbeda, sehingga memungkinkan protein-protein yang
terkandung di dalam tanaman tersebut mengenali RIP asing yang tidak berasal dari
tanaman itu sendiri.
RIP terbagi dalam beberapa tipe berdasarkan strukturnya, antara lain RIP tipe I,
II dan III. Terdapat lebih dari 50 jenis RIP tipe I, sedangkan tipe II hanya sekitar 15
jenis saja. RIP tipe I (Holo-RIP) adalah polipeptida tunggal sepanjang ± 30 kDa yang
sebagian besar merupakan glikoprotein bersifat basa kuat dengan nilai pI ≥ 9,5. RIP
tipe II (Chimero-RIP) memiliki dua rantai peptida, yaitu rantai A (domain aminoterminal) sepanjang ± 30 kDa yang memiliki aktivitas enzimatis dan rantai B (domain
5
karboksil-terminal) sepanjang ± 35 kDa yang mampu mengikat karbohidrat atau gula
melalui ikatan disulfida dengan nilai pI 4,8 sampai 8. Sementara itu RIP tipe III (RIP
maize b-32) adalah sebuah proenzim yang teraktivasi setelah hilangnya segmen
peptida. RIP tipe III dibentuk dari RIP tipe I yang telah mengalami proses proteolitik
sehingga membentuk dua rantai pendek polipeptida yang berinteraksi secara nonkovalen, yaitu α dan β yang masing-masing memiliki panjang 8,5 kDa dan 16,5 kDa
(Peumans et al, 2001; Stirpe, 2005; Sudjadi dan Sismindari, 2008).
a. Aktivitas RIP
RIP diketahui memiliki berbagai aktivitas enzimatis antara lain N-glikosidase,
polinukleotida-adenosin glikosidase, ribonuklease, RNAse, DNAse, DNA glikosidase
(AP liase), fosfatase dan kitinase (Gambar 1). Beberapa jenis RIP dapat memiliki
lebih dari satu jenis aktivitas enzimatis dalam satu jenis protein toksin ini (Peumans
et al, 2001).
Gambar 1. Aktivitas enzimatis RIP
Aktivitas enzimatik RIP (mirip-DNAse, mirip-Fosfatase dan RNA N-glikosidase) pada 28S rRNA
(diadaptasi dari Peumans et al, 2001).
6
RIP tipe II memiliki kemampuan untuk dapat berikatan dengan residu galaktosa
pada membran sel dan akan menyebabkan aglutinasi pada sel. Ikatan ini juga
bertanggungjawab terhadap proses masuknya molekul RIP ke dalam sel dan
selanjutnya bertransportasi menuju badan golgi serta retikulum endoplasma. RIP
selanjutnya akan mengalami translokasi menuju sitoplasma. Di dalam sitoplasma,
rantai A (dengan aktivitas enzimatisnya) akan menyebabkan kerusakan secara
ireversibel pada ribosom serta struktur lainnya hingga akhirnya menyebabkan
kematian sel (Stirpe, 2005). Pada beberapa jenis protein lainnya yang memiliki
aktivitas menginaktivasi atau merusak ribosom namun dengan mekanisme lain, tidak
termasuk dalam golongan ini (Peumans et al, 2001).
Selain aktivitas enzimatis, RIP juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri
(Nugrahani, 2013), antifungi (Vivanco et al, 1999), antivirus (Puri et al, 2009) agen
fotoproteksi terhadap paparan radiasi ultraviolet-B (UV-B) dan kemoprevensi
terhadap sel kanker kulit (Hussaana, 2013) serta sebagai antikanker (antitumor) dan
antioksidan (Sudjadi dan Sismindari, 2008). RIP juga dilaporkan bersifat sitotoksik
terhadap sel-sel kanker (Ikawati et al, 2006) serta dapat bertindak sebagai induktor
apoptosis bagi sel kanker (Hussaana et al, 2010).
1) Aktivitas N-glikosidase RIP
Menurut Stirpe (1997) penelitian yang dilakukan oleh Endo et al pada tahun
1987 terhadap rantai A-ricin telah membuktikan bahwa RIP memiliki aktivitas
spesifik yaitu N-glikosidase yang dapat menyebabkan ribosom tidak dapat berikatan
7
dengan faktor elongasi sehingga proses sintesis protein akan terhambat. Kerusakan
pada ribosom eukariotik ini terjadi dengan cara memutus ikatan spesifik N-C
glikosidik yaitu antara adenin dan nukleotida RNA, tepat pada posisi A4324 (basa
urutan ke-4324) dari 28S rRNA sehingga residu adenin akan menghilang (Gambar 2).
Akibat dari hilangnya residu adenin ini, sisi yang teradenilasi (abasic site) menjadi
tidak stabil dan menyebabkan RNA bereaksi dengan anilin (Pumans et al, 2001).
Gambar 2. Aktivitas N-glikosidase RIP
Aktivitas spesifik RIP (N-glikosidase) yang menyebabkan terputusnya ikatan adenin
dengan nukleotida RNA tepat pada posisi A4324 (basa urutan ke-4324) dari 28S rRNA
(diadaptasi dari Kaur et al, 2011).
8
Rumiyati (1999) dalam tesisnya melakukan uji aktivitas N-glikosidase RIP pada
fraksi protein daun Carica papaya terhadap rRNA khamir. Kemunculan fragmen
nukleotida aktibat terpotongnya residu adenin subunit rRNA 26S setelah perlakuan
dengan anilin merupakan aktivitas enzimatis. Adenin yang menjadi target RIP adalah
adenin pada struktur loop RNA. Pemberian anilin dilakukan bila pemotongan adenin
belum dapat diamati karena adanya struktur sekunder rRNA sehingga hasil
pemotongannya dapat terdeteksi oleh elektroforesis gel poliakrilamid SDS. Adenin
yang terpotong menghasilkan fragmen baru (370 nukleotida) sehingga diketahui
bahwa fraksi protein daun C. papaya memiliki aktivitas N-glikosidase. Stirpe (1997)
mengatakan bahwa aktivitas N-glikosidase (PAP) menyebabkan ribosom tidak dapat
berikatan dengan faktor elongasi (eEF1A dan eEF2), sehingga proses sintesis protein
tidak dapat berjalan (Gambar 3).
Gambar 3. Penghambatan sintesis protein oleh RIP (PAP)
Residu adenin pada S/R loop (bagian dari 28S rRNA) menghilang karena bereaksi dengan
PAP sehingga faktor elongasi eEF1A dan eEF2 tak dapat berikatan dengan ribosom dan
menyebabkan proses sintesis protein berhenti (Diadaptasi dari Mansouri et al, 2006).
9
RIP tipe II (ricin) tidak dapat menunjukkan aktivitasnya terhadap RNA
ribosomal bila rantai A dan B belum terputus melalui reduksi pada ikatan
disulfidanya. Rantai A bertanggungjawab terhadap aktivitas RNA N-glikosidase. Saat
tidak berikatan dengan rantai B, rantai A akan terlipat dan membentuk konformasi
yang dapat dikenali oleh DNA superkoil, namun rantai A dapat mengalami denaturasi
apabila dilakukan perebusan (pada sampel) selama 10 menit, sehingga aktivitas RNA
N-glikosidase sepenuhnya akan terinaktivasi (Ling et al, 1994).
2) Aktivitas DNAse RIP
Pada proses preparasi RIP, kontaminasi oleh enzim-enzim nuklease seperti
RNAse dan DNAse dapat dihilangkan dengan melakukan pemurnian. RIP juga dapat
bertindak sebagai DNAse sehingga mampu mendegradasi DNA (Peumans et al,
2001). DNAse termasuk salah satu jenis enzim nuklease yang dapat mendepolimerasi
molekul DNA menjadi komponen dasarnya yaitu nukleotida. Enzim ini dapat
memotong DNA untai tunggal maupun untai ganda dan terbagi lagi dalam dua
macam yaitu eksonuklease yang memotong DNA dari ujung molekul 5’ atau dari
ujung 3’ dan endonuklease yang memotong DNA dari bagian dalam untaian DNA
(Yuwono, 2005).
Menurut Das et al (2012) aktivitas DNAse secara langsung dapat menyebabkan
apoptosis, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Nicolas et al pada tahun 1997.
Penambahan gelonin (RIP) sebagai protein toksin dapat menyebabkan eliminasi pada
6 kB DNA ekstrakromosomal (mitokondrial) parasit malaria Plasmodium falciparum
10
hingga menyebabkan kematian pada parasit tersebut. Sementara itu penelitian
terhadap RIP antiviral proteins (AVPs) dari daun Bougainvillea xbuttiana yang
memiliki aktivitas DNAse telah dilakukan oleh Bhatia dan Lodha (2005). AVPs dapat
memotong DNA superkoil plasmid menjadi bentuk relaxed dan linear seperti
aktivitas RIP lainnya yaitu PAP, ricin, luffin, cinnamomin, champhorin dan mirabilis
antiviral protein (MAP).
3) Aktivitas antibakteri dan antifungi RIP
Pada tesis yang dibuat oleh Nugrahani (2013) aktivitas antibakteri RIP dapat
ditunjukkan dari data konsentrasi hambat minimal (KHM) ekstrak protein daun
Mirabilis jalapa terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermis. Rusaknya
dinding bakteri merupakan salah satu mekanisme bakteriostatik RIP terhadap
beberapa jenis bakteri lainnya. Penelitian secara in vitro lainnya terhadap aktivitas
antibakteri ini juga pernah dilakukan oleh Vivanco et al (1999). RIP tipe I yang telah
dimurnikan dari akar Mirabilis expansa yaitu ME1 dan ME2 dapat menghambat
pertumbuhan berbagai macam bakteri yang bersifat patogenik terhadap sel-sel
tanaman serta bakteri patogenik dan non patogenik bagi manusia. ME1 dan ME2 juga
bersifat sebagai antifungi karena dapat menghambat pertumbuhan fungi baik yang
bersifat patogen maupun non patogen.
4) Aktivitas fotoprotektif dan kemoprevensi RIP
Menurut disertasi yang dibuat oleh Hussaana (2013), protein daun M. jalapa
mampu mereduksi inflamasi akibat paparan radiasi UV-B secara akut dan berulang
11
yang ditunjukkan dari penurunan tebal lipatan tengah punggung mencit BALB/c
betina secara signifikan. RIP juga mampu memproteksi supresi imun yang diinduksi
oleh UV-B maupun cis-urocanic acid (cis-UCA) yang dapat diketahui dari
pengurangan respon contact hypersensitivity (CHS).
Dalam penelitiannya, Hussaana (2013) juga dapat membuktikan bahwa protein
daun M. jalapa berefek sebagai agen kemoprevensi terhadap kanker kulit. RIP ini
mampu menghambat onset tumorigenesis selama dua minggu, penurunan insidensi
tumor kulit hingga 40% serta penurunan multiplisitas tumor sebesar 30% pada mencit
yang diberi protein ini secara topikal.
5) Aktivitas antikanker (antitumor) RIP
Dalam sebuah review article yang disusun oleh Sha et al (2013) telah diketahui
bahwa trikosantin (RIP tipe I) memiliki aktivitas antikanker secara in vitro dan in
vivo pada berbagai macam sel-sel kanker. Secara in vitro trikosantin dapat
menghambat pertumbuhan kultur sel-sel kanker seperti choriocarcinoma (JAR), sel
leukemia dan limfoma (Jurkat dan Raji), sel kanker prostat (RM-1), sel melanoma
(B16), sel hepatoma dan stomach adenocarcinoma serta secara in vivo pada sel
kanker paru-paru. Sedangkan baik secara in vitro maupun in vivo pada sel-sel kanker
seperti sel kanker serviks, kanker payudara dan colon carcinoma.
Menurut Ikawati et al (2006) fraksi protein RIP yang diisolasi dari daun M.
jalapa (MJ-30) kurang bersifat sitotoksik terhadap sel normal, namun lebih sitotoksik
pada kultur sel kanker serviks SiHa dan sangat toksik pada kultur sel kanker payudara
12
T47D setelah 24 jam inkubasi. Penelitian yang dilakukan dengan metode MTT ini
dapat mengetahui tingkat sitotoksisitas dari data LC50 (konsentrasi yang
menyebabkan 50% kematian) pada T47D (0,36 µg/mL), SiHa (5,6 µg/mL) dan sel
normal (21,04 µg/mL).
Uji sitotoksik dengan metode lainnya, yaitu cell counting kit-8 (CCK-8)
dilakukan oleh Liu et al (2010) pada protein rekombinan α-luffin yang merupakan
RIP tipe I, diperoleh data IC50 (konsentrasi yang menghambat 50% pertumbuhan)
terhadap kultur sel human placental choriocarcinoma (JEG-3), human hepatoma
(HepG2) dan human breast cancer (MCF-7). Uji lanjutan dilakukan untuk
membuktikan bahwa mekanisme antikanker α-luffin adalah melalui mekanisme
induksi apoptosis.
Sementara itu, uji toksisitas akut fraksi daun M. jalapa pada tikus putih jantan
galur Wistar telah dilakukan oleh Listyaningsih (2004). Dalam penelitiannya ini,
telah dibuktikan bahwa fraksi protein tersebut tidak mempengaruhi dan menimbulkan
efek toksik terhadap kerusakan organ vital hewan uji. Uji secara in vivo ini dilakukan
dengan pemberian dosis oral tunggal pada hewan uji yang dilanjutkan dengan
pengamatan selama 14 hari secara makroskopis dan mikroskopis (histopatologi).
Berdasarkan pemeriksaan histopatologis diperoleh nilai LD50 lebih dari 5,2 g/kg
bobot hewan uji, sehingga dapat diketahui bahwa fraksi protein daun M. jalapa
termasuk kategori minimal praktis tidak menimbulkan ketoksikan.
13
6) Aktivitas antivirus RIP
Menurut Puri et al (2009) berdasarkan hasil penelitian Yeung et al pada tahun
1986 telah terbukti bahwa RIP dari Momordica charantia yaitu α- dan βmomorcharins merupakan antivirus yang potensial untuk terapi HIV. RIP ini dapat
menghambat ekspresi antigen HIV pada sel T dan monosit (makrofag) yang terinfeksi
HIV. Puri et al juga berpendapat bahwa RIP lainnya yang diperoleh dari M. charantia
merupakan antivirus berspektrum luas yang dapat menginaktivasi ribosom virus RNA
maupun virus DNA pada sel yang terinfeksi, sehingga sintesis protein terhambat.
b. Sumber RIP
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, diketahui beberapa jenis tanaman yang
mengandung RIP antara lain tersaji dalam Tabel 1. Sebagian besar RIP dapat
ditemukan pada tanaman angiosperma yaitu pada bagian akar, batang, daun, bunga,
buah, biji, lateks serta sel-sel kultur tanaman dan terkadang terdapat dalam bentuk
yang berbeda dalam jaringan yang sama. Jumlah RIP tipe I lebih banyak ditemukan
dalam tanaman dibandingkan RIP tipe II (Stirpe, 2005). Selain dapat ditemukan pada
tanaman, RIP juga dilaporkan dapat diperoleh dari alga, antara lain lamjapin dari alga
yang tumbuh di laut (Laminaria japonica A) dan memiliki aktivitas RNA Nglikosidase (Liu et al, 2002).
14
Tabel 1. Jenis tanaman yang mengandung RIP
Jenis tanaman
Bagian yang
diisolasi
Hasil isolasi
Referensi
Annona squamosa
biji
fraksi protein
Hussaana, 1997 dan
Sismindari et al, 1998
Carica papaya
daun
ekstrak gubal dan
fraksi protein
Rumiyati et al, 2000
getah
ekstrak gubal
Purnamawati, 1997
biji
ekstrak gubal
Purnamawati, 1997
Cucurbita moschata
biji
protein murni
Xia et al, 2003
Curcuma mangga
rimpang
fraksi protein
Sismindari et al, 2004
Erythrina fusca
daun
ekstrak gubal
Ngolady, 2000;
fraksi protein
Sismindari et al, 2002
Kaemferia rotunda
rimpang
ekstrak gubal dan
fraksi protein
Lestariana et al, 2003
Mirabilis jalapa
daun
ekstrak gubal dan
fraksi protein
Nugrahani, 2013
protein murni
Sismindari et al, 2010
protein
rekombinan
Astuti et al, 2012
akar
fraksi protein
Sari, 2002
biji
fraksi protein
Prabanindyah, 2002
Morinda citrifolia
daun
ekstrak gubal dan
fraksi protein
Sulistyani et al, 2002 dan
Karuniaekawati et al, 2003
Phaleria marcrocarpa
biji
ekstrak gubal dan
fraksi protein
Sismindari, 2004
RIP juga ditemukan pada berbagai jenis jamur diantaranya adalah lyophyllin dari
Lyophyllum shimeji yang bersifat teratogenik (Chan et al, 2010), hypsin dari
Hypsizigus marmoreus yang bersifat antifungi dan beraktivitas antiproliferatif
terhadap sel-sel hepatoma dan sel-sel leukemia tikus dan manusia (Lam dan Ng,
2001), flammin dan velin dari Flammulina velutipes (Ng dan Wang, 2004), calcaelin
15
dari Calvatia caelata yang memiliki aktivitas antimitogenik pada splenosit tikus serta
dapat menurunkan viabilitas sel kanker payudara (Ng et al, 2003), ganodermin dari
Ganoderma lucidum yang mampu menghambat pertumbuhan miselial fungi (Wang
dan Ng, 2006), dan grifolin dari Albatrellus confluens yang berpotensi sebagai agen
induktor apoptosis (Ye et al, 2007).
2.
Skrining Keberadaan RIP
Dalam skripsi yang dibuat oleh Suprapti (1997), skrining awal keberadaan RIP
pada ekstrak gubal daun, akar dan biji Mirabilis jalapa dilakukan dengan uji aktivitas
pemotongan DNA superkoil untuk mengetahui keberadaan RIP pada tanaman yang
dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tempat tanaman tersebut
tumbuh. Uji yang sama dilakukan juga oleh Purnamawati (1997) terhadap getah, biji
buah mentah dan biji buah matang C. papaya. Berdasarkan hasil uji pemotongan
DNA superkoil yang dilakukan, dapat diketahui bahwa ekstrak gubal daun, akar, biji
buah matang dan getah C. papaya positif mengandung RIP.
a.
Buah yang berpotensi mengandung RIP
Skrining keberadaan RIP dalam tanaman khususnya pada bagian daging buah
dapat dilakukan dengan memilih buah-buahan yang memiliki aktivitas antikanker,
antioksidan, antimikroba, serta aktivitas induksi apoptosis seperti yang dimiliki oleh
RIP. Buah-buahan yang berpotensi mengandung RIP antara lain buah:
16
1) Apel atau Pyrus malus L.
Tanaman yang juga memiliki nama latin Malus pumila L. dan Malus x
domesticus ini memiliki klasifikasi ilmiah menurut ITIS sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Infradivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Rosanae
Ordo
: Rosales
Famili
: Rosaceae
Genus
: Malus Mill.
Spesies
: Malus pumila L.
Depuydt (2013) dalam tesisnya telah melakukan serangkaian penelitian terhadap
protein rekombinan tanaman apel antara lain analisis in silico untuk mengetahui
kesamaan struktur protein apel dengan struktur RIP, uji aktivitas enzimatik
penghambatan sintesis protein, serta aktivitas antikanker terhadap sel HeLa dengan
pengamatan morfologi sel. Dari keseluruhan penelitian tersebut dapat diketahui
bahwa apel jenis ini mengandung RIP dan bersifat sitotoksik terhadap sel HeLa.
17
2) Melon atau Cucumis melo L.
Tanaman dengan daging buah berwarna hijau muda dan memiliki rasa manis ini,
klasifikasi ilmiahnya menurut ITIS sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Infradivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Rosanae
Ordo
: Cucurbitales
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Cucumis L.
Spesies
: Cucumis melo L.
Menurut Milind dan Kulwant (2011) ekstrak metanolik melon memiliki aktivitas
penangkapan DPPH dan hidroksil radikal karena kandungan senyawa fenolik
flavonoid pada ekstrak daun dan batangnya. Aktivitas antikanker alami juga
ditemukan pada batang melon (cucurbitacin B) yang telah diuji pada kultur sel
leukemia K562, sedangkan ekstrak metanolik dan n-heksan biji melon juga
merupakan agen antimikroba yang bagus.
18
3) Belimbing atau Averrhoa carambola L.
Tanaman dengan buah berwarna hijau kekuningan ini memiliki klasifikasi ilmiah
menurut ITIS sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Infradivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Rosanae
Ordo
: Oxalidales
Famili
: Oxalidaceae
Genus
: Averrhoa L.
Spesies
: Averrhoa carambola L.
Buah belimbing matang memiliki kandungan fitokimia dan fenolik antara lain
flavonoid, alkaloid dan glikosida yang dapat bermanfaat sebagai antimikroba dan
antioksidan (Das, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al (2014) telah
membuktikan adanya aktivitas profilatik secara in vivo ekstrak buah belimbing
terhadap hepatoselular karsinoma pada mencit Swiss albino.
19
4) Sirsat atau Annona muricata L.
Tanaman yang daging buahnya berwarna putih ini memiliki klasifikasi ilmiah
menurut Integrated Taxonomic Information System (ITIS) sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Infradivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Magnoloanae
Ordo
: Magnoliales
Famili
: Annonaceae
Genus
: Annona L.
Spesies
: Annona muricata L.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmani et al (2012) pada
simplisia daun sirsat dapat diketahui bahwa simplisia ini memiliki efek sitotoksik
terhadap kultur sel kanker payudara T47D serta dapat menginduksi apoptosis.
Penelitian yang dilakukan oleh Ezirim et al (2013) terhadap ekstrak etanolik daun
sirsat telah membuktikann bahwa ekstrak etanolik ini mampu menginduksi apoptosis
sel K562 yaitu sel myelogenous leukemic, sedangkan Astirin et al (2014) melakukan
uji terhadap ekstrak partisi daun sirsat dalam larutan etil asetat dan diketahui mampu
menyebabkan apoptosis pada sel Raji.
20
5) Waluh atau Cucurbita moschata Duchesne
Tanaman dengan daging buah yang berwarna jingga kemerahan ini memiliki
klasifikasi ilmiah menurut ITIS sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Infradivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Rosanae
Ordo
: Cucurbitales
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Cucurbita L.
Spesies
: Cucurbita moschata Duchesne.
Penelitian yang dilakukan oleh Xia et al (2003) telah membuktikan bahwa di
dalam biji waluh yang telah matang ditemukan kandungan RIP tipe I yaitu moschatin.
Protein ini diperoleh dengan presipitasi menggunakan amonium sulfat dan
kromatografi. Moschatin memiliki aktivitas rRNA N-glikosidase dan imunotoksin
sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel melanoma secara tertarget.
b.
Isolasi protein
Sebelum melakukan skrining keberadaan RIP dalam daging buah, perlu
dilakukan serangkaian proses isolasi atau ekstraksi untuk mendapatkan protein dari
daging buah. Teknik ekstraksi dan fraksinasi protein bertujuan untuk menghilangkan
21
senyawa-senyawa seperti senyawa fenolik, lemak, asam nukleat, karbohidrat, enzim
proteolitik maupun oksidatif serta pigmen pada tanaman. Selain itu teknik tersebut
harus mampu meminimalkan terjadinya modifikasi protein serta proses proteolisis
yang dapat terjadi (Martinez-Maqueda et al, 2013).
1) Penggunaan dapar
Isolasi tahap awal dengan menggunakan dapar akan menghasilkan ekstrak gubal
(crude extract) seperti yang telah dilakukan oleh Sismindari et al (1998). Isolasi
protein dari biji Annona squamosa dengan menggunakan metode penggerusan biji
yang dilanjutkan dengan melarutkannya dalam dapar fosfat akan menghasilkan
ekstrak gubal biji A. squamosa. Selanjutnya ekstrak gubal yang telah diperoleh diuji
aktivitas pemotongannya terhadap DNA untai ganda superkoil pUC19.
Franks (1993) mengatakan bahwa proses pemecahan sel pada sampel dapat
menyebabkan protein keluar dari dalam sel. Tidak hanya hanya protein saja yang
dihasilkan, namun beberapa kontaminan juga dapat keluar dari dalam sel. Pemecahan
sel dapat dilakukan secara mekanik dan non mekanik. Secara mekanik dapat
menggunakan metode solid shear dengan penggerusan dan penekanan, sedangkan
pada metode liquid shear dapat menggunakan penekanan, agitasi mekanik dan
ultrasound. Sementara itu secara non mekanik dapat menggunakan metode lisis
secara fisika, kimiawi maupun enzimatik serta dengan metode desikasi (penguapan).
Menurut Ogwu dan Apte (2004) dapar yang digunakan hendaknya tidak
bertindak sebagai substrat maupun inhibitor bagi protein, dapat menghindari
22
perubahan pH sekecil mungkin oleh pengaruh suhu, serta memiliki kapasitas dapar
untuk menstabilkan protein secara optimal. Stoll dan Blanchard (1990) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kapasitas dapar adalah kemampuan dapar untuk
menjaga kestabilan pH ketika mengalami penambahan asam atau basa kuat serta
dengan penambahan atau pengenceran menggunakan garam (pH netral). Tingkat
keasaman (pH) dapat diketahui dari persamaan Handerson-Hasselbach berikut:
𝑝𝐻 = π‘πΎπ‘Ž + log
[π΅π‘Žπ‘ π‘Ž]
[π΄π‘ π‘Žπ‘š]
Nilai pKa adalah pH saat konsentrasi asam sama dengan konsentrasi basa. Ada
tiga jenis dapar fosfat dengan nilai pKa yang berbeda-beda yaitu 2,15 (pK1), 7,2
(pK2) dan 12.33 (pK3). Pemilihan nilai pKa ini didasarkan pada nilai pH optimum
protein yang akan diisolasi, sehingga dapat meminimalkan terjadinya penghambatan
atau penurunan kerja enzim. Penggunaan dapar anorganik dapat menghambat kerja
enzim, salah satu contohnya adalah dapat fosfat yang menghambat enzim
karboksipeptidase, urease, kinase dan dehidrogenase. Sementara itu, penurunan
aktivitas enzim dapat dipengaruhi oleh konsentrasi ion dapar yang terlalu tinggi,
sehingga konsentrasi dapar yang digunakan harus sekecil mungkin, yaitu ± 50 mM
(Stoll dan Blanchard, 1990). Sementara itu berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Witzel et al (2011) terhadap metode ekstraksi protein apoplastik daun
jagung dengan menggunakan berbagai jenis pelarut dapat diketahui bahwa ekstraksi
protein menggunakan 100 mM sodium phosphate buffer akan menghasilkan protein
23
dengan jumlah ekstraksi paling tinggi dan kontaminan protein selular (berupa asam
nukleat) paling rendah.
Dalam skripsi yang dibuat oleh Nastity (2006), penggunaan dapar pada proses
isolasi protein dapat menjaga stabilitas protein karena dapar bersifat isotonis.
Sementara itu dengan penambahan garam (NaCl), protein akan berada dalam keadaan
terlarut dan terstabilkan oleh dapar tersebut. Setelah protein terlarut di dalam dapar
untuk mempermudah pemisahannya dapat dilakukan sentrifugasi hingga diperoleh
ekstrak gubal (Nugrahani, 2013).
Pada tanaman, senyawa larut air dan protein dapat diekstraksi dengan air atau
dapar (Cseke et al, 2006) namun apabila pada ekstrak gubal tanaman belum diketahui
kandungan senyawanya maka dapat dilakukan uji penegasan secara kualitatif dengan
thin layer chromatography (TLC) atau high pressure liquid chromatography (HPLC)
untuk mengetahui keberadaan senyawa-senyawa seperti fenolik, steroid, alkaloid
maupun flavonoid (Sarker et al, 2006).
2) Metode pengendapan protein
Pada isolasi tahap ini akan dihasilkan fraksi protein atau hasil pemurnian parsial
protein. Metode ini berdasarkan hubungan antara kelarutan protein dan konsentrasi
garam. Penambahan garam dapat dilakukan dalam bentuk padatan maupun larutan
dengan tingkat kejenuhan tertentu (% saturation). Garam yang digunakan umumnya
adalah ammonium sulfat (Franks, 1993).
24
Protein dapat
membentuk presipitat
pada konsentrasi garam tertentu.
Penambahan garam dapat menurunkan kelarutan protein karena adanya kompetisi
antara ion garam dan protein dengan air sebagai pelarutnya. Pada konsentrasi garam
yang sangat tinggi, banyak ion yang terlarut sehingga pelarut tidak mampu lagi
melarutkan protein tersebut. Proses ini disebut dengan salting out (Alzahrani, 2009).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sismindari (2004) supernatan hasil
sentrifugasi ekstrak gubal dipisahkan dari sedimen dan komponen lemak yang
terapung. Supernatan ini kemudian ditambahkan dengan ammonium sulfat dengan
tingkat kejenuhan 100%. Protein yang telah mengendap lalu dilarutkan dalam dapar
fosfat pH 6,5 dan dihilangkan komponen garamnya menggunakan dialisis.
Proses pengendapan protein dapat dilakukan secara bertingkat contohnya adalah
pengendapan dengan prosentase kejenuhan ammonium sulfat 20%, 40%, 60%, 80%
dan 100% (Rumiyati et al, 2000). Selain menggunakan ammonium fosfat, proses
pengendapan protein juga dapat menggunakan aseton. Akan tetapi pada penggunaan
aseton, protein yang berhasil diendapkan akan sulit untuk dilarutkan kembali
(Nugrahani, 2013).
3) Pemurnian protein
Pemisahan dan pemurnian protein dapat dilakukan dengan metode-metode yang
memiliki resolusi dan selektivitas tinggi (Tabel 2). Pada tahapan ini akan diperoleh
produk yang memiliki karakteristik fisika dan kimia yang sama (produk yang
diinginkan) yaitu protein murni (Franks, 1993).
25
Tabel 2. Metode pemurnian protein
Metode
Fungsi
Keterbatasan
Isoelectric
focusing (IEF)
Dapat mengetahui
keberagaman muatan
protein
Keberagaman semu protein dapat
terjadi apbila protein terdenaturasi saat
proses pengendapan (pemurnian
parsial)
Polyacrylamide
Gel
Electrophoresis
(PAGE)
Dapat memisahkan
protein berdasarkan
ukuran dan jenisnya
Dapat mengetahui
kemurnian protein
Adanya perbedaan intensitas warna
masing-masing protein
Pengukuran data kuantitatif
menggunakan densitometri harus
presisi
Reference standard yang digunakan
harus tervalidasi
Size Exclusion
Chromatography
(SEC)
Dapat memperkirakan
bobot molekular protein
Fraksi yang terelusi harus diklarifikasi
menggunakan metode lain seperti
PAGE
Ion Exchange
Chromatography
(IEC)
Dapat mengetahui
muatan pada permukaan
atau tingkat
hidrofobisitas protein
Digunakan untuk mengidentifikasi jenis
protein maka dapat menggunakan
kombinasi dengan metode lain
Reverse Phase
Chromatography
(RPC)
Dapat mendeteksi
kontaminan dan produk
degradasi protein
Selektivitasnya tidak terlalu tinggi
Pada fase organink, elusidasinya sempit
Diadaptasi dari Franks, 1993
Metode pemurnian protein dari daun M. jalapa dapat menggunakan metode
kromatografi penukar kation (Pamiluti, 2002) yaitu kromatografi kolom CMSepharose (Prasetyowati, 2002), kromatografi kolom Sephacryl S-300 HR (Herawati,
2004) dan kolom ionenaustauscher typ II (Nastity, 2006). Sedangkan protein dari
akar M. jalapa dapat dimurnikan dengan menggunakan metode kromatografi gel
filtrasi (Sarsih, 2004) dan kromatografi penukar ion (Yantini, 2004) yaitu
kromatografi kolom CM-Sepharose (Mutmainah, 2003).
26
Pemurnian protein dari daun M. jalapa yang dilakukan oleh Hussaana et al
(2010) menggunakan kromatografi kolom dengan fase diam CM-Sepharose dan
dapar natrium fosfat 5 mM pH 6,5 sebagai fase geraknya. Protein akan terikat pada
fase diam, kemudian dielusi menggunakan dapar natrium fosfat 50 mM (mengandung
NaCl). Hasil pemurnian protein ini memiliki aktivitas pemotongan DNA superkoil.
c.
Pengukuran kadar protein secara spektrofotometri
Setelah proses pemurnian protein perlu diketahui berapa kadar protein yang telah
diperoleh. Metode pengukuran kadar protein diantaranya dengan uji ultrafast protein
determination (menggunakan peningkatan gelombang mikro), metode asam nitrat
(mengukur kadar protein dalam sampel biologi), flow cytometry (mengukur kadar
protein selular), kinetic silver staining dan metode spektrofotometri dengan pereaksi
seperti metode Lowry, BCA, Bradford (Coomasie blue) dan Biuret. Sedangkan
metode spektrofotometri tanpa pereaksi yaitu metode UV-dekat (Warburg-Christian)
yaitu pengukuran absorbansi protein pada λ (panjang gelombang) A280 dan metode
UV-jauh yaitu pengukuran absorbansi protein pada λ A205 (Boyer, 2006; Walker,
2002). Setiap metode memiliki asam amino spesifik yang diukur serta batas deteksi
protein seperti yang tertera pada Tabel 3.
Pengukuran kadar protein dengan metode spektrofotometri menurut Stoscheck
(1990) memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah dapat dilakukan secara
langsung tanpa penambahan reagen-reagen tertentu pada sampel larutan protein, tidak
perlu melakukan inkubasi, serta hubungan antara kadar protein dan absorbansinya
27
adalalah linear. Carprette (2012) juga berpendapat bahwa keuntungan dari metode ini
adalah tidak memerlukan preparasi untuk standar protein serta metode ini tidak
merusak sampel protein yang diukur absorbansinya.
Tabel 3. Metode pengukuran kadar protein
Asam amino
spesifik
Metode
Diukur pada λ
Batas deteksi
Bicinchoninic
acid (BCA)
-
562 nm
0,1-1 mg/mL (standar) dan
0,5-10 µg/mL (microassay)
Biuret
-
550 nm
1-20 mg
Bradford /
Coomasie blue
residu protein
arginil dan lisil
595 nm
10-100 µg/mL (standar) dan
1-10 µg/mL (microassay)
Lowry
tirosin dan
triptofan
750 nm
< 500 µg/mL
550 nm
100-2000 µg/mL
tirosin dan
triptofan
280 nm dan
260 nm
WarburgChristian
50-1000 µg
Diadaptasi dari Boyer, 2006 dan Walker, 2002
Menurut Stoscheck (1990) Protein secara aktif dapat menyerap sinar UV pada
dua panjang gelombang yang memiliki puncak maksimum pada 280 nm dan 200 nm.
Serapan pada spektroskopi dipengaruhi oleh serapan foton dan elektron. Foton
dengan energi tertinggi berada pada panjang gelombang yang lebih pendek. Hal
serupa terjadi pada elektron yang tereksitasi pada λ 280 nm akan menyerap energi
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penyerapan energi pada λ 200 nm.
Elektron dengan energi rendah (berada pada λ 280 nm) akan berada pada wilayah
serapan cincin aromatik sehingga elektron akan terstabilkan eksitasinya oleh proses
resonansi, sehingga asam amino yang memiliki cincin aromatis seperti fenilalanin,
28
triptopan, histidin dan tirosin memiliki intensitas absorbansi pada λ 280 nm lebih
rendah bila dibandingkan dengan absorbansinya pada λ 200 nm.
Struktur sekunder dan tersier protein dapat pula mempengaruhi pola absorbansi
karena adanya interaksi antara asam amino yang berbeda sehingga mempengaruhi
stabilitas elektron yang tereksitasi. Kondisi pH dapar, polaritas dan kekuatan ion
harus dapat dikontrol agar tidak mempengaruhi pengukuran absorbansi karena ketiga
faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi struktur tersier protein. Batas
konsentrasi minimal bagi dapar fosfat yang masih dapat ditoleransi pada pengukuran
kadar protein (tidak mengganggu pengukuran kadar protein) adalah 1 M (λ 280 nm)
dan 50 mM (λ 205 nm). Sementara itu dapar yang digunakan hendaknya tidak
disimpan dalam wadah plastik karena dapat mempengaruhi absorbansi dapar pada
panjang gelombang sinar UV (Stoscheck, 1990).
1) Metode A280 dan Warburg-Christian
Asam amino tirosin dan triptopan (Gambar 4) memiliki absorbansi pada λ 280
nm, sehingga dengan melakukan pengukuran sampel protein (berupa larutan) pada λ
280 nm dapat diketahui kadar protein sampel khususnya bila sampel tersebut
mengandung protein murni. (Anonim, 2013). Sampel berupa ekstrak gubal dapat
mengandung RNA dan/atau DNA (Stoscheck, 1990) serta beberapa senyawa atau
kontaminan lain juga memiliki absorbansi pada λ 280 nm, dapat dikoreksi
menggunakan metode Warburg-Christian.
29
Gambar 4. Asam amino tirosin (kiri) dan triptofan (kanan)
Asam amino tirosin dan triptofan memiliki ikatan konjugasi, rangkap-tunggal berselangseling sehingga kedua asam amino tersebut memiliki absorbansi pada daerah UV.
Metode ini didasarkan pada sifat asam nukleat yang memiliki absorbansi pada λ
260 nm sedangkan protein tidak. Faktor koreksi digunakan untuk menghitung rasio
absorbansi sampel pada λ 280 nm dan λ 260 nm. Kadar protein sampel juga dapat
diukur menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar protein (mg/mL) = [A280 x 1,55] - [A260 x 0,76]
Karena hanya berdasarkan pada absorbansi dua jenis asam amino saja, maka
metode ini menjadi kurang akurat bila digunakan untuk mengukur kadar protein yang
memiliki komposisi asam amino yang tidak umum (Anonim, 2013).
2) Metode A205
Ikatan peptida dapat menyerap sinar UV-jauh secara maksimal pada λ 190 nm,
namun pengukuran kadar protein pada panjang gelombang ini cukup sulit dilakukan
karena dapat terpengaruhi oleh absorbansi oksigen. Selain itu spektrofotometer
konvensional yang digunakan dapat menghasilkan output yang rendah sehingga
pengukuran kadar protein dilakukan pada λ 205 nm, walaupun intensitasnya setengah
30
dari intensitas absorbansi apabila diukur pada λ 190 nm (Alastair dan Learmounth,
2002). Perhitungan kadar protein dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar protein (mg/mL) = 27 + 120
A 280
A 260
Asam amino triptopan, fenilalanin, tirosin, histidin, sistein, metionin dan arginin
dapat terbaca pada λ 205 nm. Metode ini mudah dilakukan serta sensitif hasilnya,
namun membutuhkan kalibrasi pada keakuratan spektrofotometer untuk mengukur
absorbansi pada UV-jauh. Selain itu beberapa jenis dapar dan keberadaan komponen
lain seperti heme atau senyawa golongan piridoksal juga memiliki absorbansi dengan
intensitas yang tinggi pada panjang gelombang ini (Alastair dan Learmounth, 2002).
d.
Uji aktivitas pemotongan DNA superkoil
Uji yang dapat dilakukan untuk membuktikan bahwa di dalam bagian tanaman
sampel positif mengandung RIP adalah dengan pengujian aktivitas pemotongan DNA
superkoil plasmid menggunakan elektroforesis gel agarosa, baik dalam bentuk
ekstrak gubal, fraksi protein, protein murni maupun rekombinan seperti pada Tabel 4.
Uji
aktivitas
pemotongan
DNA
superkoil
oleh
RIP
dilakukan
dengan
menginkubasikan sejumlah DNA plasmid (pUC18/19) dengan dapar TMN 10x (TrisCl 0,5 M pH 8, Mg2Cl 0,1 M, NaCl 1 M) serta RIP dengan kadar tertentu, selama 1
jam pada suhu ruang (300C). Setelah proses inkubasi selesai, campuran DNA
plasmid, TMN dan RIP kemudian ditambah sejumlah dapar pemuat (loading buffer)
dan dilakukan elektroforesis dengan gel agarosa (Sudjadi et al, 2004).
31
Tabel 4. Aktivitas pemotongan DNA superkoil oleh RIP
Jenis tanaman
Bagian
tanaman
Hasil
isolasi*
Jumlah
plasmid
Jumlah
protein
Referensi
Annona squamosa
biji
EG
1 µg
5 µg
Carica papaya
daun
EG
1 µg
0,3 µg
Purnamawati, 1997
getah
EG
1 µg
0,015 µg
Purnamawati, 1997
biji
EG
1 µg
0,07 µg
Purnamawati, 1997
Curcuma mangga
rimpang
FP
1 µg
0,1 µg
Sismindari et al, 2004
Erythrina fusca
daun
FP
1 µg
5 µg/mL
Sismindari et al, 2002
Kaemferia
rotunda
rimpang
EG
0,1 mg
0,5 mg
Lestariana et al, 2003
FP
0,1 mg
0,125 mg
Lestariana et al, 2003
Mirabilis jalapa
daun
FP
1 µg
2-3 µg
Ikawati et al, 2003
M
1 µg
11,52 µg
Ikawati et al, 2006
R
3 µg
5 µg
Astuti et al, 2012
EG
1 µg
0,1 µg/mL
Sismindari, 2004
FP
1 µg
0,3 µg/mL
Sismindari, 2004
Phaleria
macrocarpa
biji
Sismindari et al, 1998
*) EG = ekstrak gubal, FP = fraksi protein, PM = Protein murni, R = rekombinan
1) DNA superkoil
Struktur molekul DNA berada dalam keadaan yang dinamis di dalam sel. Bentuk
relaxed terjadi saat DNA tidak mengalami torsi sedangkan bentuk superkoil atau
berpilin terjadi saat DNA akan mengalami torsi (Yuwono, 2005). Dalam sebuah tesis
yang dibuat oleh LaMarr (1998), DNA superkoil merupakan bagian terpenting dalam
suatu susunan genomik dan banyak terlibat dalam berbagai proses biologis. Bentuk
superkoil dapat memberikan pengaruh pada struktur dan dinamika DNA yang
berhubungan dengan proses fisiologis pada organisme prokariotik maupun eukariotik,
sehingga bentuk ini dapat dijadikan target dalam pengujian genotoksin secara in vivo.
32
Bentuk DNA superkoil terdiri dari pilinan negatif dan pilinan positif. Pilinan
negatif lebih sering dijumpai di alam. Pembentukkan nukleosom eukariot serta
keberadaan DNA girase (topoisomerase II) pada bakteri menyebabkan terbentukknya
pilinan negatif pada DNA superkoil (Yuwono, 2005). Bentuk DNA superkoil pilinan
negatif juga berkontribusi pada proses terbukanya untai ganda DNA seperti replikasi,
transkripsi dan rekombinasi DNA (Deibler et al, 2001).
Sementara itu ezim yang dapat menghilangkan (membuka) struktur pilinan pada
DNA dikenal dengan topoisomerase I. Struktur pilinan DNA menghilang karena
terjadi pemotongan pada salah satu untai DNA sehingga menyebabkan untaian
tersebut pindah atau melewati untaian yang lainnya dan terbentuklah struktur DNA
relaxed. Topoisomerase I digunakan untuk mengurai untaian DNA pada proses
replikasi DNA (Yuwono, 2005).
Di dalam proses replikasi DNA apabila enzim helikase tidak mampu membuka
heliks DNA karena terbentuknya lilitan DNA yang ketat (over coiling) maka garpu
replikasi tidak mampu menyusuri DNA sehingga proses replikasi dapat berhenti.
Proses pengendoran lilitan DNA dapat dilakukan oleh enzim topoisomerase yang
mampu memotong DNA, memutar lilitan pada arah yang berlawanan dan
menyambungkannya kembali sehingga proses replikasi DNA dapat berlanjut
(Sismindari, 2012).
33
2) Mekanisme pemotongan DNA superkoil oleh RIP
Day et al (1998) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa RIP tipe I,
pokeweed antiviral protein (PAP) dan RIP tipe II, ricin memiliki aktivitas DNAse
yaitu dapat memotong DNA superkoil menjadi bentuk linear dan nicked circular.
Namun setelah dilakukan rekombinasi pada PAP aktivitas DNAse menurun. Day et al
(1998) menyimpulkan bahwa ekstrak protein yang diperoleh dari tanaman dapat
mengandung DNAse atau enzim nuklease lainnya sebagai kontaminan. Sismindari et
al (1998) telah melakukan pengujian untuk membuktikan bahwa protein biji Annona
squamosa memiliki aktivitas pemotongan DNA superkoil yang bukan dikarenakan
adanya suatu kontaminasi oleh suatu enzim nuklease. Uji aktivitas pemotongan DNA
superkoil dilakukan tanpa penambahan Mg2+.
Hussaana (1997) mengungkapkan bahwa apabila aktivitas pemotongan DNA
superkoil tersebut akibat keberadaan enzim nuklease, maka pada kondisi tanpa Mg2+
tidak akan terjadi pemotongan DNA superkoil, karena Mg2+ digunakan sebagai
kofaktor pada proses restriksi enzim-enzim nuklease. Pada hasil uji aktivitas yang
dilakukan oleh Sismindari et al (1998) tersebut aktivitas pemotongan DNA superkoil
masih dapat diamati, sehingga aktivitas dari fraksi protein biji A. squamosa bukan
dikarenakan adanya kontaminan berupa enzim nuklease (DNAse).
Menurut Ling et al (1994) rantai A-ricin, rantai A-cinnamomin, luffin dan
champorin memiliki struktur tiga dimensi yang serupa dengan RNA N-glikosidase,
terutama pada konformasi konsensus sisi aktifnya sehingga mampu memotong DNA
34
superkoil menjadi bentuk nicked circular dan linear. Sejalan dengan hasil penelitian
tersebut, Wang dan Tumer (1999) membuktikan bahwa PAP dapat memotong DNA
superkoil menjadi bentuk relaxed dan linear dengan mekanisme depurinasi, yaitu
penghilangan adenin DNA superkoil seperti yang terjadi pada rRNA.
Bhatia dan Lodha (2005) mengatakan bahwa DNA superkoil memiliki untai
tunggal parsial yang banyak mengandung ikatan A-T (adenosin dan timin) sehingga
mudah diserang oleh ssDNA yaitu sejenis endonuklease spesifik. Bagian-bagian dari
untai tunggal DNA ini dapat menyerupai sarcin/ricin (S/R) loop milik RNA sehingga
menjadikannya target bagi protein antivirus yang memiliki aktivitas memotong DNA
superkoil.
3) Elektroforesis gel agarosa
Uji pemotongan DNA superkoil dapat menggunakan metode elektroforesis gel
agarosa untuk mengetahui profil pergerakan DNA superkoil, nicked circular dan
linear hasil eketroforesis (elektroforegram). Elektroforesis adalah teknik pemisahan
suatu molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik sehingga
molekul yang terlarut akan bergerak atau bermigrasi dengan kecepatan tertentu
berdasarkan muatan dan massanya. Mobilisisasi molekul menuju kutub yang
berlawanan dari muatannya, contohnya DNA bermuatan negatif akan bergerak ke
kutub positif. Molekul dengan massa dan bentuk yang sama namun memiliki muatan
lebih besar akan bergerak ke elektroda lebih cepat, sedangkan molekul yang lebih
besar akan bergerak lebih lambat karena adanya gesekan yang lebih besar saat
35
molekul tersebut melewati pori-pori kecil. Struktur DNA superkoil, linear dan nicked
circular dengan ukuran yang sama memiliki kecepatan migrasi yang berbeda karena
pengaruh mobilitas relatif masing-masing struktur DNA. Akan tetapi pada umumnya
migrasi dari DNA superkoil lebih cepat dibandingkan yang lainnya. Teknik ini juga
digunakan untuk analisis RNA maupun protein (Yuwono, 2005; Sismindari, 2012).
Deteksi hasil migrasi pita DNA superkoil, linear dan nicked circular pada gel
elektroforesis dapat menggunakan etidium bromid (EtBr) yang merupakan senyawa
berfluoresensi. EtBr akan berinterkalasi atau menyisip di antara molekul DNA
(Gambar 5). Jika gel agarosa disinari dengan UV dari bawah, maka akan terlihat pitapita DNA yang berpendar. Molekul DNA dapat mengabsorbsi radiasi UV pada λ 254
nm yang kemudian ditransmisikan pada EtBr, sedangkan EtBr akan mengabsorbsi
radiasi pada λ 302 nm dan 366 nm dan akan memancarkan energi pada λ 590 nm
yaitu daerah jingga-merah. Penggunaan EtBr harus berhati-hati karena senyawa ini
bersifat karsinogen (Yuwono, 2005; Sismindari, 2012).
Kecepatan migrasi fragmen DNA linear pada voltase rendah akan proporsional
dengan jumlah voltase yang digunakan. Bila kekuatan medan listrik ditingkatkan
maka migrasi fragmen DNA berbobot molekul tinggi akan meningkat secara
diferensial, sehingga rentang efektif pemisahan gel agarosa akan menurun seiring
dengan peningkatan voltase listriknya. Resolusi dari fragmen DNA yang berukuran
lebih besar dari 2 kb dapat diketahui dengan melakukan running gel agarose tidak
boleh lebih dari 5 V/cm (Sambrook et al, 1987).
36
Gambar 5. Interkalasi EtBr terhadap molekul DNA
Sifat EtBr yang dapat menyisip di antara molekul DNA digunakan sebagai pendeteksi profil pita-pita
DNA pada gel agarose (diadaptasi dari Anonim, tanpa tahun a).
Migrasi DNA juga dipengaruhi oleh komposisi dan kekuatan ion running buffer
yang digunakan. Dapar TBE (Tris-borat) secara signifikan memiliki kapasitas
pendaparan pH paling tinggi dibandingkan dengan dapar TAE (Tris-asetat). Akan
tetapi resolusi pengamatan DNA superkoil hasil elektroforesis menggunakan dapar
TAE lebih baik bila dibandingkan hasil elektroforesis yang menggunakan dapar TBE
(Sambrook et al, 1987).
3.
Stabilitas dan Kondisi Protein
Protein merupakan polipeptida yang terbentuk dari unit-unit monomer peptida,
asam amino beserta turunannya yang berperan dalam berbagai fungsi sel. Suatu
protein dapat mengalami modifikasi pada asam aminonya sehingga dapat
mempengaruhi sifat-sifat protein seperti kelarutan, stabilitas dan interaksinya dengan
protein-protein lain (Muray et al, 2006). Stabilitas protein dapat dipengaruhi oleh
37
kondisi lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kimiawi serta
perubahan konformasi struktur protein tersebut. Bila terjadi perubahan kimiawi
maupun struktural, maka aktivitas biologi molekulnya juga dapat berubah. Stabilitas
protein terdiri dari stabilitas in vitro dan in vivo (Franks, 1993).
a.
Stabilitas in vitro
Larutan protein hasil isolasi stabilitasnya dapat diganggu oleh reaksi kimia yang
bersifat merusak atau destruktif sehingga mengakibatkan perubahan konformasi
protein melalui proses denaturasi. Proses destabilisasi disebabkan oleh reaksi kimia
secara ireversibel dan dapat mengakibatkan perubahan struktur protein. Destabilisasi
dapat pula menyebabkan perubahan struktur yang diinduksi oleh perubahan
lingkungan pelarutnya secara ireversibel maupun reversibel, seperti perubahan kimia
yang dapat menyebabkan perubahan sifat enzimatis dari protein. Denaturasi
merupakan contoh dari destabilisasi yang dapat terjadi selama proses isolasi dan
pemurnian protein. Sementara itu inaktivasi protein adalah contoh dari destabilisasi
yang bersifat ireversibel (Franks, 1993).
1) Stabilitas kovalen atau kimiawi
Rantai samping asam amino pada peptida secara alami bersifat reaktif. Reaksireaksi yang dapat terjadi antara lain adalah hidrolisis, oksidasi, deamidasi, fosforilasi
atau glikasi, β-eliminasi, pembentukan isopeptida, rasemisasi, reaksi Maillard dan
modifikasi kimia (imobilisasi dan cross linking). Kondisi yang sangat destruktif bagi
protein adalah kondisi lingkungan pH basa dan pemanasan (Franks, 1993). Menurut
38
hasil penelitian Talley dan Alexov (2010), kondisi optimum untuk aktivitas dan
stabilitas protein adalah kondisi netral (pH = 7).
2) Stabilitas non kovalen atau konformasional
Protein terdiri dari gugus-gugus yang bermuatan sehingga kelarutannya dapat
dipengaruhi oleh jumlah garam yang terlarut, polaritas pelarut, pH dan suhu. Larutan
protein hasil isolasi dapat terinaktivasi oleh perubahan struktur tersier maupun
struktur protein yang lebih kompleks atau tinggi lagi. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan perubahan ini antara lain pada kondisi pH ekstrim, agregasi hidrofobik,
pengaruh tekanan, pengadukan, perubahan suhu, pembusaan, terbentuknya ikatan
dengan logam dan efek solven (salting in). Beberapa cara dapat dilakukan untuk
mencegah destabilisasi ini, antara lain dengan melakukan imobilisasi dengan gel atau
kolom, pembentukan ikatan protein dengan kofaktor atau substrat, penurunan suhu
(unfrozen), mereaksikan rantai samping asam amino (cross linking), derivatisasi
protein dengan senyawa hidrofilik (hidrofilisasi) dan liotropisme atau salting out
(Franks, 1993; Alzahrani, 2009).
3) Stabilitas operasional
Protein mengalami proses isolasi, fraksinasi dan pemurnian untuk dapat
dimanfaatkan aktivitas spesifiknya dalam berbagai hal, antara lain pemrosesan
produk pangan, sebagai agen terapeutik dan biokatalis serta merupakan komponen
dalam diagnosis klinik. Perubahan kimia dan suhu secara drastis tidak boleh terjadi
39
selama proses preparasi dan pengolahan protein (operasinal) agar protein tetap dalam
keadaan stabil (Franks, 1993).
Kuveny (2004) dalam skripsinya melakukan perbandingan aktivitas pemotongan
DNA superkoil ekstrak gubal dan fraksi protein daun M. jalapa yang segar,
dikeringkan di bawah sinar matahari (dijemur) dan dikeringkan dengan oven pada
suhu 500C. Penjemuran dilakukan selama 1-2 hari hingga kadar air kurang dari 10%
sedangkan pengeringan dengan oven (500C) dilakukan selama 24 jam hingga kadar
air kurang dari 10%. Penipisan pita DNA superkoil sertamunculnya pita DNA nicked
circular dan linear terjadi pada kadar ekstrak gubal dan fraksi protein sebesar 10
µg/mL. Sedangkan pada ekstrak gubal dan fraksi protein yang dijemur dan dioven,
aktivitas pemotongan DNA superkoil terjadi pada kadar 20 µg/mL. Sehingga dapat
diketahui bahwa protein yang diisolasi dari daun segar memiliki aktivitas
pemotongan DNA superkoil lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein hasil
pengeringan di bawah sinar matahari dan menggunakan oven pada suhu 50 0C.
4) Stabilitas penyimpanan
Protein hasil pemurninan tidak sepenuhnya bebas dari enzim proteolitik,
sehingga untuk komersial protein harus tetap stabil. Protein yang stabil selama proses
preparasi, distribusi dan penyimpanan akan memiliki waktu simpan yang lebih lama
dan dapat bertahan pada perubahan suhu tidak terlalu drastis (Franks, 1993).
Purnamawanti (1997) dalam skripsinya telah melakukan uji stabilitas protein
getah, biji dan daun C. papaya dalam penyimpanan. Ekstrak gubal yang disimpan
40
pada suhu -200C lebih stabil bila dibandingkan ekstrak gubal yang disimpan pada
suhu 40C. Ekstrak gubal getah C. papaya tidak memiliki aktivitas pemotongan DNA
superkoil pada hari ke-7 (penyimpanan suhu 40C), dan pada hari ke-10 (penyimpanan
suhu -200C). Sementara itu ekstrak gubal biji dan daun C. papaya tidak memiliki
aktivitas pemotongan DNA superkoil pada hari ke-6 (penyimpanan suhu 40C), dan
pada hari ke-9 (penyimpanan suhu -200C).
Protein dalam bentuk cairan dapat stabil apabila diformulasikan dalam bentuk
suspensi garam yaitu dengan penambahan 3 M ammonium sulfat atau dalam bentuk
konsentrat yang dibuat dengan penambahan gliserol sebanyak 50%. Kedua bentuk ini
kemudian disimpan pada suhu -200C (Franks, 1993). Sudjadi et al (2004) telah
melakukan uji stabilitas protein MJ-30 dari daun M. jalapa terhadap pH dan
penyimpanan. Aktivitas protein MJ-30 pada pH 5 dan pH 6 adalah sama, namun akan
menurun seiring dengan peningkatan pH. Sementara itu penambahan gliserol (9%)
dapat mempertahankan stabilitas protein sampai hari ke-18 baik pada suhu
penyimpanan 40C maupun 300C.
Protein dalam bentuk padat dapat dibuat dengan cara imobilisasi, deep freezing,
freeze drying dan vacuum atau spray drying (Franks, 1993), namun belum tentu
terjamin stabilitas dari aktivitasnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Sisimindari et al (2004) telah membuktikan bahwa ekstrak segar rizoma Curcuma
mangga memiliki aktivitas pemotongan DNA superkoil lebih tinggi dibandingkan
dengan ekstrak yang dikeringkan pada suhu 400C maupun ekstrak freeze drying.
41
b.
Stabilitas in vivo
Proses penghataran obat secara fisiologis serta aplikasi pengobatan tertarget
sangat memperhatikan stabilitas in vivo protein yang dapat ditentukan oleh aktivitas
enzim proteolitiknya. Masa hidup atau lifetime protein beragam mulai dari yang
berusia sangat pendek (milidetik) seperti pada hormon dan protein kinase, hingga
protein yang berusia panjang (tahunan) yaitu kolagen (Franks, 1993).
Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan stabilitas in vivo protein menurun
adalah saat sitoplasma berada pada tingkat osmoralitas yang tinggi, yaitu saat
kandungan air sitoplasma berkurang dari keadaan normal. Peningkatan stabilitas
intraselular protein dapat dilakukan dengan menambah jumlah atau asupan air ke
dalam sel (Ghaemmaghami dan Oas, 2001).
c. Kondisi protein dalam daging buah
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bashir et al (2003) dapat diketahui
bahwa jumlah protein total pada daging dan kulit buah jambu (Psidium guajava L.)
semakin meningkat selama proses pematangan buah, namun akan menurun
jumlahnya setelah proses pematangan tersebut selesai (proses pembusukan buah).
Pada proses pematangan buah ini protein dibutuhkan dalam bentuk enzim. Sementara
itu, penelitian yang dilakukan oleh Shi et al (2014) terhadap buah apel (Malus x
domestica) membuktikan bahwa kepadatan buah akan meningkat selama proses
pematangan dan penyimpanan. Protein yang terdapat di dalam buah (dalam bentuk
enzim) akan berperan pada respon stress dan pertahanan sel, proses pembentukan
42
energi, metabolisme karbohidrat dan dinding sel, serta proses biosintesis etilen
(senyawa yang berperan pada proses pematangan buah).
Penelitian yang dilakukan oleh Ré et al (2012) telah membuktikan bahwa pada
proses pemanenan dan chilling storage (penyimpanan pada suhu 5-80C) buah tomat
(Solanum lycopersicum) terjadi peningkatan jumlah substrat endogen enzim protease.
Aktivitas enzim protease yaitu proteolisis dan azokaseinolisis juga meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah asam amino.
4.
Efek Sitotoksik RIP terhadap Sel Kanker
Menurut Ikawati et al (2006) respon sitotoksik yang dimiliki oleh setiap kultur
sel tergantung pada jenis agen antikanker yang diujikan. Uji sitotoksik RIP terhadap
sel kanker yang dilakukan Ikawati et al (2003) menunjukkan bahwa fraksi protein
daun M. jalapa memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian
sel) terhadap kultur sel HeLa adalah sebesar 0,65 mg/mL dan terhadap kultur sel Raji
adalah sebesar 1,815 mg/mL (metode trypan blue exclusion).
Uji sitotoksik adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui toksisitas pada
tingkat selular dandapat dilakukan secara in vitro dan in vivo. Menurut Doyle dan
Grififths (2000) uji sitotoksisik secara in vitro dapat menggunakan sel primer maupun
kultur sel. Sel primer adalah sel yang langsung diperoleh dari berbagai organ target
yang proliferatif (hepar, ginjal, paru-paru, kulit dan sistem syaraf) maupun yang non
proliferatif (hepatosit). Sel primer memiliki masa pemakaian yang terbatas (hanya
beberapa kali saja). Sementara itu yang dimaksud dengan kultur sel adalah sel yang
43
telah sub-kulturkan dari sel primer yang dapat memiliki masa pemakaian terbatas
maupun berkelanjutan (dapat digunakan berulang kali).
a.
Sel kanker
Menurut sebuah institusi yang merupakan bagian dari Departement of Health
and Human Service Amerika Serikat yaitu National Cancer Institute, kanker adalah
istilah yang digunakan untuk penyakit yang terjadi akibat adanya pertumbuhan atau
pembelahan sel-sel secara abnormal, tidak terkontrol dan dapat menyerang jaringan
lain di dalam tubuh. Sel-sel kanker dapat menyebar ke bagian lain di dalam tubuh
melalui system peredaran darah dan limfa (Anonim, 2014a). Sel-sel kanker terdiri dari
beberapa golongan seperti yang tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Penggolongan sel kanker
Kanker
Sel dan/atau jaringan awal yang diserang
Contoh kultur sel
Karsinoma
Kulit/jaringan penyelubung organ
internal, contoh karsinoma pada sel
basal, sel skuamosa, sel transisional dan
adenokarsinoma
MCF-7 dan HeLa
(adenokarsinoma),
SiHa (karsinoma sel
skuamosa), dan
T47D (karsinoma duktal)
Sarkoma
Sel tulang, sel tulang rawan, sel lemak,
sel otot, sel penyusun pembuluh darah,
jaringan penghubung atau penyokong
lainnya
Jensen sarcoma dan
Rous sarcoma virus
Leukimia
Jaringan sumsum tulang. Dapat
menyebabkan terbentuknya sel-sel
darah yang abnormal
Murine leukemia virus,
dan BL-3
Limfoma dan
myeloma
Sel-sel imun/daya tahan tubuh
Raji (limfoma) dan
Murine myeloma
Sistem syaraf
pusat
Jaringan otak dan syaraf tulang
belakang
B35 dan
J1-31
Diadaptasi dari Anonim, 2014a dan Anonim, 2014b
44
b.
Kultur sel MCF-7
Soule et al (1973) dari Barbara Ann Karmanos Cancer Institute (dahulu bernama
Michigan Cancer Foundation) berhasil mengembangkan kultur sel kanker payudara
hingga sel tersebut dapat tumbuh di luar tubuh manusia. Sel kanker yang dikulturkan
berasal dari organ payudara hasil operasi mastektomi seorang wanita (ras Kaukasia)
berusia 69 tahun yang menderita karsinoma metastatik pada payudaranya. Lima tahun
kemudian dilakukan operasi pada pasien wanita tersebut untuk mengangkat
adenokarsinoma yang telah malignan pada bagian pleural effusion. Sel tersebut
kemudian dikenal dengan sel MCF-7.
Kultur sel MCF-7 merupakan model sel kanker payudara yang positif reseptor
estrogen dan digunakan dalam penelitian agen antikanker payudara yaitu Tamoksifen.
Media standar seperti MEM (Minimum Essential Media) dan 10% (v/v) FBS (Fetal
Bovine Serum) adalah media yang digunakan untuk pengkulturan sel MCF-7
(Anonim, 2012a; Doyle dan Grififths, 2000).
Dalam sebuah review article yang disusun oleh Hughes et al (2007) pada proses
pengkulturan sel, kontaminasi silang (cross contamination) dan penggunaan kultur
sel dengan passage number tinggi yaitu sel yang telah digunakan atau dikulturkan
berulang kali (over-subculturing) dapat menimbulkan kesalahan dan ketidakvalidan
hasil penelitian. Salah satu cara untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi silang
adalah dengan melakukan cryopreservation kultur sel (menyimpan kultur sel dalam
45
bentuk beku kembali) setalah kultur sel digunakan (dikulturkan) selama 3 bulan atau
dengan jumlah passage number sama dengan 10 (Masters et al, 1999).
c.
Uji sitotoksik in vitro
Pengujian secara in vitro dilakukan untuk dapat mengevaluasi efek sitotoksik
suatu senyawa terhadap sel beserta proses metabolisme yang terlibat. Salah satu
parameter untuk mengevaluasi sitotoksisitas senyawa uji adalah keberadaan enzim
sitoplasmik di dalam media kultur yang terjadi akibat kebocoran atau kerusakan sel
karena perubahan permeabilitas membran sel (Doyle dan Grififths, 2000).
Uji sitotoksik in vitro pada sel kultur secara luas telah digunakan untuk menguji
aktivitas sitotoksik senyawa kimia. Metode ini sensitif, cepat, ekonomis serta tidak
memerlukan pengujian terhadap hewan uji. Informasi yang dapat diperoleh dari uji
sitotoksik in vitro diantaranya adalah viabilitas (keberlangsungan hidup) sel dan
kemampuan sel untuk survive (bertahan hidup). Data penghambatan 50%
pertumbuhan (IC50) adalah data yang digunakan untuk mengetahui viabilitas sel dan
mekanisme toksisitasnya, sedangkan data penghambatan 10% pertumbuhan (IC10)
digunakan untuk mengetahui konsentrasi maksimal senyawa uji yang tidak
menimbulkan ketoksikan. Sementara itu untuk mengetahui mekanisme molekular
toksisitas yang ditimbulkan oleh suatu senyawa toksik, dapat dilakukan pengujuian
seperti perhitungan level GSH (glutathione), perubahan konsentrasi ion kalsium
(Ca2+) dan pengukuran jumlah lipid peroksidase yang terbentuk (Ishiyama et al,
1996; Doyle dan Grififths, 2000).
46
1) Metode direct counting
Metode perhitungan sel dengan hemositometer ini menggunakan pewarna trypan
blue sehingga dapat membedakan sel hidup dan sel mati. Keakuratan sampling baik
berupa pengenceran dan pengisian atau pemberian sampel (sel) ke dalam chamber
hemositometer merupakan hal yang perlu diperhatikan. Bila sampel pada
hemositometer terlalu penuh, terdapat gelembung atau kontaminan, maka perhitungan
sel menjadi tidak valid. Metode ini merupakan metode yang mudah dan dapat
menghitung sel secara aktual. Pada perkembangannya metode ini dapat pula
diaplikasikan dengan pewarna yang bersifat fluoresens (Maruyama dan Sunamura,
2000; Doyle dan Grififths, 2000).
2) Metode colony-forming efficiency
Perhitungan viabilitas sel pada metode ini didasarkan pada kemampuan sel
tunggal untuk dapat memperbanyak diri membentuk koloni (minimal 5-6 doubling
time hingga terdapat 50 sel dalam satu koloninya) sehingga membutuhkan waktu
relatif lebih lama dalam tahapan kerjanya. Efek sitotoksik dari senyawa uji terhadap
kemampuan sel untuk berproliferasi dapat diketahui dengan metode ini. Aplikasi dari
metode ini dapat pula digunakan untuk melakukan skrining pada proses penemuan
agen antitumor baru (Shoemaker et al, 1985; Doyle dan Grififths, 2000).
3) Metode XTT
Uji sitotoksik in vitro dengan menggunakan metode XTT merupakan suatu
metode kolometri yang didasarkan pada proses perubahan warna garam tetrazolium.
47
Metode ini juga dapat digunakan pada uji apoptosis serta untuk mengetahui
proliferasi sel. Metode ini pertama kali digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sel
serta sensitivitas obat terhadap kultur sel kanker. XTT atau (3’-[(phenylamino)carbonyl]-3,4-tetrazolium-bis(4-metoxy-6-nitro)benzene-sulfonicacid hydrate adalah
garam yang mudah larut dan dapat disekresikan ke dalam media kultur. XTT tidak
berwarna atau agak kekuningan, namun saat tereduksi warnanya menjadi jingga
terang (Anonim, 2011; Doyle dan Grififths, 2000).
4) Metode MTT
Uji sitotoksik in vitro metode MTT adalah metode kolometri yang didasarkan
pada proses perubahan warna garam tetrazolium karena adanya aktivitas enzim
mitokondrial suksinat dehidrogenase di dalam sel. Garam MTT akan menghasilkan
formazan yang tidak dapat larut dalam air, mengendap di dalam sel dan dapat
diekstraksi menggunakan pelarut organik (Doyle dan Grififths, 2000). MTT atau 3(4,5-dimetil-2-tiazolil)-2,5-difenil-2H-tetrazolium bromid merupakan metode yang
serbaguna karena viabilitas sel dapat dievaluasi pada berbagai perlakuan. Jumlah
formazan yang terbentuk sebanding dengan jumlah energi yang dimetabolisme oleh
sel, sehingga dapat digunakan untuk mengukur metabolisme sel yang aktif walaupun
proliferasi sel tidak terjadi. Jumlah formazan yang terbentuk juga sebanding dengan
konsentrasi MTT yang digunakan atau diinkubasi di dalam medium, namun dapat
pula dipengaruhi oleh perbedaan kultur sel yang digunakan dan perlakuan yang
diberikan (Ahmadian et al, 2009).
48
Jumlah sel hidup yang sangat sedikit dapat terdeteksi dengan metode ini. Warna
dari kristal formazan stabil di suhu ruangan selama beberapa jam. Akan tetapi pada
metode ini tidak dapat dibedakan antara metabolism sel inaktif dengan sel yang sudah
mati. MTT yang digunakan harus terhindar dari cahaya serta harus disimpan pada
suhu 40C agar dapat bertahan selama satu bulan (Ahmadian et al, 2009).
5) Metode LDH
Metode ini digunakan untuk mengetahui penurunan viabilitas sel secara
kuantitatif berupa respon viabilitas sel dan bukan proses metabolisme yang terjadi di
dalam sel. Metode ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat sitotoksisitas sel
terhadap senyawa kimia atau agen sitotoksik lain. LDH atau laktat dehidrogenase
adalah enzim sitosolik yang dapat keluar dari dalam sel yang sudah mati ke dalam
media kultur dan dapat diukur jumlahnya menggunakan metode spektrofotometri.
Jumlah garam tetrazolim yang terbentuk (berwarna merah) proporsional dengan
jumlah sel yang mengalami lisis (mati). Stabilitas LDH yang terbentuk bervariasi
tergantung pada tingkat kerusakan membran sel yang terjadi hingga sel menjadi lisis
seluruhnya. Kondisi media kultur juga dapat mempengaruhi jumlah LDH intraseluler
(Anonim, 2012b; Doyle dan Grififths, 2000).
6) Metode Neutral Red
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Borenfreund dan Puerner. Metode
ini mudah dilakukan, cepat, hasilnya akurat, sensitif dan reprodusibel. Neutral Red
adalah pewarna yang akan terakumulasi di dalam lisosom sel hidup melalui
49
mekanisme transpor aktif sedangkan sel yang telah mati tidak dapat menyerap
pewarna ini. Neutral Red dapat diekstraksi menggunakan larutan etanol asam untuk
mengetahui jumlahnya secara spektrofotometri. Perubahan warna media yang terjadi
setelah Neutral Red diekstraksi dapat menunjukkan jumlah sel hidup dan kondisi
fisiologisnya (Anonim, tanpa tahunb; Doyle dan Grififths, 2000)
d.
Efek sitotoksik RIP terhadap kultur sel kanker
Hasil uji sitotoksik in vitro RIP terhadap berbagai kultur sel kanker dapat
diketahui dari berbagai penelitian. RIP yang diuji dapat berupa ekstrak gubal, fraksi
protein maupun protein murni yang diperoleh dari berbagai jenis tanaman seperti
yang tertera dalam Tabel 6. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa
potensi aktivitas sitotoksik ekstrak gubal protein, fraksi protein maupun protein murni
berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman yang diisolasi RIP-nya serta jenis kultur
sel yang diuji. Nilai IC50 atau LC50 yang diperoleh dari uji sitotoksik dapat diketahui
bahwa semakin rendah nilai IC50 atau LC50 maka semakin poten aktivitas
sitotoksiknya.
RIP mampu menghambat sintesis protein sehingga dapat menyebabkan kematian
terhadap sel. Selain itu beberapa mekanisme selular yang memperantarai kematian sel
juga dapat diinduksi oleh RIP. Menurut Meiyanto et al (2008) beberapa mekanisme
penghambatan pertumbuhan sel kanker antara lain adalah apoptosis, cell cycle arrest
dan cell cycle delay.
50
Tabel 6. Efek sitotoksik RIP terhadap beberapa kultur sel
Sumber RIP
Carica papaya
(daun)
Curcuma
mangga
(rimpang)
Erythrina fusca
(daun)
Mirabilis jalapa
(daun)
Hasil
isolasi*
Kultur sel
LD50 atau IC50
Refrensi
EG
HeLa
0,623 mg/mL
Rumiyati et al, 2003
FP 80%
HeLa
0,936 mg/mL
Rumiyati et al, 2003
FP 60%
HeLa
1,35 mg/mL
Rumiyati et al, 2003
FP
Raji
41,3 µg/mL Sismindari et al, 2004
HeLa
18,2 µg/mL
Sismindari et al, 2004
normal
37,8 µg/mL
Sismindari et al, 2004
HeLa
14 µg/mL
Sismindari et al, 2002
myeloma
22 µg/mL
Sismindari et al, 2002
Raji
2000 µg/mL
Sismindari et al, 2002
Hela
0,65 mg/mL
Ikawati et al, 2003
Raji
1,815 mg/mL
Ikawati et al, 2003
FP
FP
PM MJ-30
PM MJC
T47D
SiHa
0,36 µg/mL Ikawati et al, 2006
5,6 µg/mL
Ikawati et al, 2006
normal
21,04 µg/mL
Ikawati et al, 2006
MCF-7
880,0 µg/mL Sismindari et al, 2010
T47D
111,0 µg/mL
Sismindari et al, 2010
HeLa
2517,3 µg/mL
Sismindari et al, 2010
Raji
691,7 µg/mL
Sismindari et al, 2010
normal
8775,8 µg/mL
Sismindari et al, 2010
Momordica
carantia (biji)
EG
Raji
8,66 µg/mL
Pahardian et al, 2002
PM
Raji
15,31 µg/mL
Pahardian et al, 2002
Morinda
citrifolia (daun)
FP 80%
HeLa
4,4 mg/mL
Karuniaekawati et al, 2003
FP 20%
HeLa
6,9 mg/mL
Karuniaekawati et al, 2003
*) EG = ekstrak gubal, FP = fraksi protein, PM = Protein murni
Ikawati et al (2006) berpendapat bahwa perbedaan efek sitotoksik RIP terhadap
beberapa jenis kultur sel dapat disebabkan karena adanya perbedaan sensitivitas sel
terhadap RIP. Sel-sel kanker memiliki reseptor tertentu yang menjadikannya sebagai
51
sel target bagi RIP. Dalam penelitiannya, Sismindari et al (2004) mengatakan bahwa
mekanisme kematian sel HeLa yang diperantarai oleh RIP yang diisolasi dari
rimpang Curcuma mangga antara lain adanya kemudahan penetrasi protein melewati
membran sel. Terjadinya inaktivasi protein yang dapat mengakibatkan terhambatnya
ekspresi protein juga dapat menyebabkan kematian sel.
Ikawati et al (2003) membuktikan bahwa RIP juga dapat menginduksi proses
apoptosis pada sel dengan mekanisme fragmentasi DNA seperti yang terjadi pada sel
HeLa. Sementara itu uji sel Raji bersifat lebih resisten terhadap RIP karena tidak
terjadi fragmentasi pada DNA-nya. Salah satu uji yang dapat dilakukan untuk
mengetahui efek induksi apoptosis RIP terhadap sel kanker adalah dengan
penggunaan uji ekspresi Caspase-3 dengan imunositokimia serta uji aktivitas
Caspase-3 dengan metode pengukuran aktivitas secara kolorimetri seperti yang
dilakukan oleh Hussaana et al (2010).
Sementara itu uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui efek antiproliferatif
senyawa terhadap sel kanker adalah dengan metode doubling time. Suatu senyawa
dapat dikatakan berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen kemoterapi adalah
apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 100 µg/mL (Meiyanto et al, 2008).
52
E. Keterangan Empiris
Berdasarkan keterangan mengenai aktivitas RIP seperti pemotongan DNA
superkoil dan efek sitotoksiknya terhadap sel-sel kanker, maka dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat diperoleh:
1. Data keberadaan RIP di dalam daging buah-buahan, yaitu pada buah apel (Pyrus
malus L.), melon (Cucumis melo L.), belimbing (Averrhoa carambola L.), sirsat
(Annona muricata L.) dan waluh (Cucurbita moschata Duchesne) berdasarkan
hasil uji aktivitas pemotongan DNA superkoil dari ekstrak gubal protein daging
buah (EGB).
2. Informasi mengenai stabilitas aktivitas pemotongan DNA superkoil ekstrak gubal
protein daging buah yang telah disimpan 3 hari pada suhu ruang (280C) setelah
hari pembelian buah (EGB-penyimpanan).
3. Informasi mengenai aktivitas sitotoksik ekstrak gubal protein daun Mirabilis
jalapa (EGM) dan EGB apel, melon dan belimbing terhadap kultur sel kanker
payudara (MCF-7) dari hasil uji sitotoksik secara in vitro menggunakan metode
MTT berupa data konsentrasi penghambatan pertumbuhan sebesar 50% (IC 50).
Download