Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Ide dari penulisan skripsi ini muncul karena kegemaran saya menonton film. Namun apabila membahas film, saya terbentur dengan begitu banyaknya karya tulis lain yang mengangkat film sebagai bahan kajian. Kedua, saya adalah mahasiswa ilmu politik dan bukan mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Maka, atas masukan dari beberapa pihak, saya mengalihkan fokus penelitian pada Komunitas Dokumenter. Tidak terlalu jauh dari pembahasan tentang film, meskipun menggunakan topik dan sudut pandang yang berbeda. Hasil penelitian yang saya angkat ini akan sangat sedikit membicarakan film dalam perspektif komunikasi massa yang biasanya membahas pesan-pesan tersembunyi atau simbol-simbol yang disampaikan oleh sebuah film. Apabila kita bicara film dokumenter, masyarakat akan lebih mengenalnya sebagai “Film hitam putih tentang sejarah”, “Film yang durasinya pendek”, “Film penyuluhan”, atau “Film propaganda”, “Film Ilmu Pengetahuan”, dan tentu saja “Film yang membosankan”. Bahkan sampai sekarang, saya selalu mengantuk jika menonton film dokumenter panjang sendirian. Pendapat-pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi hanya merujuk pada beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter. Namun karya tulis ini tidak akan membahas film-film dokumenter secara detail dan mendalam. Karya ilmiah ini justru akan terfokus pada strategi-strategi komunitas dokumenter dalam mengembangkan film dokumenter. Bagi mereka, apa yang sedang mereka lakukan adalah penting karena selama ini posisi film dokumenter seperti terpinggirkan. 1 Stigma-stigma tersebut muncul karena terlalu sering digunakannya salah satu pendekatan di masa Orde Baru berkuasa, yaitu film dokumenter sebagai media penyuluhan dan propaganda. Sehingga dalam perjalanannya, penonton dan pembuat film dokumenter terbiasa dengan pendekatan tersebut, hingga pada akhirnya menjadi semacam standar baku bagi pembuatan film dokumenter di Indonesia. Predikat “Film yang membosankan” ini menjadi stigma dan cap yang melekat, sehingga media film dokumenter menjadi terpinggirkan. Alasan kedua adalah referensi film dokumenter yang masih terbatas, tidak ada acuan lain bagi pembuat film dokumenter selain film-film dokumenter dengan pendekatan “a la Orde Baru”. Pengembangan film dokumenter yang dilakukan komunitas ini berwujud pada usahausaha mereka dalam membangun dan menyediakan infrastruktur bagi film dokumenter. Esensi dari infrastruktur dokumenter tersebut adalah kemudahan dan ketersediaan akses bagi masyarakat luas terhadap film dokumenter. Tujuannya agar masyarakat bisa dengan mudah menonton film dokumenter, memperoleh informasi tentang dokumenter, mendapatkan pelatihan produksi film dokumenter, dan segala hal yang berhubungan dengan media dokumenter. Kenapa penyediaan infrastruktur untuk film dokumenter ini menjadi layak untuk dibahas? Bagi komunitas dokumenter, film dokumenter bisa jadi adalah media yang sekian lama terlupakan di antara media massa lain yang lebih komersiil. Film dokumenter memiliki ciri khas yang membedakannya dari media massa umum lainnya. Film dokumenter memiliki kekuatan yang signifikan sebagai suatu media yang mencerdaskan, reflektif, dan dapat melewati batas-batas ruang dan waktu. Film dokumenter adalah sebuah genre seni dan sekaligus juga sejarah, sebuah berita sekaligus cerita, suatu media pembelajaran tapi juga bisa memberi hiburan. Film dokumenter yang baik adalah yang mampu merekam jamannya, sehingga generasi mendatang bisa melihat kondisi sosial, politik, kultural saat film tersebut 2 diproduksi, atau bahkan kamera apa yang digunakan saat syuting film tersebut. Sedangkan sebagai sebuah produk sinema, dokumenter tetaplah harus terlihat indah disamping mampu menyampaikan pesan yang ia bawa. Arti penting media film dokmenter tersebut harus tersampaikan kepada masyarakat luas, untuk selanjutnya membentuk aprsesiasi penonton terhadap film dokumenter. Dalam hal ini Komunitas dokumenter melalui Festival Film Dokumenter-nya akan menjadi wahana yang demokratis bagi bertemunya sesama pekerja film dokumenter, para kreator senior, kalangan akademik, dan masyarakat. Kesemua komponen tersebut dapat saling berinteraksi, belajar dan berbagi, sehingga tercipta jaringan yang positif. Dari interaksi yang terjadi tersebut, maka akan terjadi pengenalan, publikasi, penyebarluasan, dan pemasyarakatan film dokumenter. Diharapkan dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter ini, dapat membentuk pula kesadaran akan pentingnya menjaga serta memelihara catatan dan dokumentasi sejarah. Cukuplah sudah kita selalu dikritik sebagai bangsa yang kurang menghargai sejarah dan selalu mengulang kesalahan dari masa lalu. Selain itu, tentu saja dengan semakin meningkatnya minat terhadap film dokumenter, akan melahirkan sineassineas dokumenter baru yang lebih kreatif. Ini adalah cerita bagaimana komunitas dokumenter bersama Festival Film Dokumenter-nya berjuang memajukan, mengembangkan, dan memasyarakatkan film dokumenter Indonesia, serta penolakannya terhadap segala bentuk homogenisasi pendekatan pada Film Dokumenter. B. Rumusan Masalah Bagaimana strategi Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur bagi film dokumenter di Indonesia? 3 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyuguhkan profil Komunitas Film Dokumenter Yogyakarta, menyajikan cerita tentang strategi-strategi mereka dalam membangun infrastruktur perfilman dokumenter Indonesia. Penelitian ini juga ingin menyajikan sebuah fenomena gerakan sosial yang berbeda. Berbeda, karena ciri-ciri yang ditampilkan sangat lain bila dibandingkan dengan gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah, atau gerakan petani untuk menolak kenaikan harga pupuk, misalnya. Dalam melihat gerakan komunitas dokumenter ini, saya menggunakan kerangka Gerakan Sosial Baru. Tujuan yang kedua, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit penjelasan, menawarkan sudut pandang alternatif terhadap film dokumenter, merangsang rasa penasaran pembaca terhadap film dokumenter, dan ikut membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter Indonesia. Meskipun di dalam skripsi ini banyak memuat informasi tentang film-film tertentu, penulisannya tidak dimaksudkan untuk menjadi kumpulan resensi film-film tersebut. Film-film tersebut dibahas untuk memberikan gambaran kepada penonton tentang ragam pendekatan yang ada di dalamnya D. Kerangka Konseptual Dalam skripsi ini, saya menggunakan kerangka gerakan sosial untuk mengkerangkai fenomena gerakan Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur perfilman dokumenter di Indonesia. Fenomena gerakan sosial yang melibatkan media film di Indonesia ternyata bukanlah hal baru, bahkan lahirnya kesadaran sebagai bangsa yang terjajah juga dipengaruhi oleh hadirnya film di masa kolonial. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa film ikut pula melewati fase-fase sejarah bangsa ini dari masa perang revolusi hingga terbentuknya dunia perfilman Indonesia kontemporer. Terjadi pula pergeseran peran dan fungsi film dalam 4 perjalanan tersebut, dari hanya sebagai alat pergerakan, film kemudian bergeser menjadi isu utama gerakan tersebut. Karena itu lah saya menggunakan salah satu aspek dalam gerakan sosial, yaitu Proses Framing, sebelum mengerucut pada teori Gerakan Sosial Baru. D.1 Konsep Gerakan Sosial dan Film Sebagai Media Framing Genealogi gerakan sosial mungkin bisa kita telusuri dari teori fungsionalisme-struktural, pendekatan ini berusaha melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka. Teori ini meng-analogikan bahwa masyarakat itu seperti sebuah organisme. Organisme itu mempunyai bagian-bagian tubuh yang saling terkait, sehingga apabila ada salah satu bagian yang tidak bekerja dengan semestinya, maka akan mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Teori ini menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas kata sepakat di antara para anggotanya akan nilai, norma, sistem sosial tertentu, dan suatu persetujuan umum yang memiliki kekuatan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat, sehingga tercipta lah apa yang disebut dengan keseimbangan (equilibrium). Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi (Parsons, 1951:5-6). Kunci masalah yang dibahas pada sistem sosial ini meliputi aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan cultural.1 Parsons menempatkan analisis sruktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama,2 sehingga Ia tidak memberikan antisipasi terhadap perubahan sosial yang berupa pergeseran, atau berubahnya struktur di dalam 1 Parsons, Talcott, The Social System, New York, Routledge Sociology Classics, 1951. 2 Teori ini terlalu normatif dengan menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parson bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri dengan tangan kanan, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam suatu sistem social. Lembaga masyarakat misalnya, akan selalu terkait secara harmonis, berusaha menghindari konflik,dan tidak mungkin akan menghancurkan keberadaannya sendiri. Dalam teori ini, perubahan sosial terjadi secara evolutif. 5 masyarakat yang meliputi pola pikir, inovasi, sikap, yang sangat mungkin disebabkan oleh interaksi aktor-aktor anggota masyarakat tersebut dengan struktur di luarnya. Asumsi yang terbangun adalah: apabila tidak ada resolusi ketegangan antara aktor-aktor tersebut dengan sistem sosialnya, dan konflik ini terjadi terus menerus, maka akan melahirkan gerakan sosial. Penelusuran berikutnya adalah pada konsep kelas dan perjuangan kelas yang diinisiasi oleh Karl Marx, dengan bahasan utamanya adalah eksploitasi yang dilakukan oleh satu kelompok manusia terhadap kelompok manusia lain. Eksploitasi ini terjadi dalam konteks proses produksi di dalam masyarakat industri, di mana pemilik modal menjadi kelas dominan dan mendapatkan keuntungan berlebih daripada kelas pekerja. Distribusi keuntungan yang tidak seimbang ini lah yang dianggap Marx sebagai awal terbentuknya kelas sosial dalam masyarakat industri sehingga melahirkan pertentangan dan konflik kelas secara laten, kemudian membentuk struktur kelas sosial di masyarakat. Konsep Marx tentang struktur kelas sosial dan perjuangan kelas ini lah yang menjadi motor penggerak bagi gerakan sosial, dan menginspirasi munculnya teori Gerakan Sosial Lama. Gerakan sosial menurut definisi dari A Dictionary of Civil Society, Philanthropy, and the Non-Profit Sector, dimaknai sebagai aksi kolektif di luar institusi formal negara untuk menyuarakan perubahan sistem dalam institusi, masyarakat, negara, atau bahkan tatanan dunia. Di dalamnya adalah orang-orang yang terorganisasi dan terkoordinir secara baik, dan memiliki orientasi jangka panjang terhadap tujuannya tersebut (Helmut K.Anheier and Regina A.List, 2005:239). Dalam bukunya Gerakan Sosial Baru, Rajendra Singh menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah sebuah aksi kolektif, namun tidak semua aksi kolektif adalah gerakan sosial. Singh membedakan gerakan sosial dari beberapa konsep lain, seperti Kerusuhan, Pemberontakan, dan Revolusi.3 Pengalaman-pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketiga 3 Kerusuhan adalah kekacauan massa penuh dengan kekerasan sebagai bentuk akumulasi ketidakpuasaan publik, terjadi dalam waktu relatif singkat dan cenderung spontan, namun tidak mempunyai tendensi untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Pemberontakan adalah sikap dan upaya dari sekelompok warga negara 6 konsep tersebut lebih sering diikuti oleh kekerasan dan chaos dibandingkan dengan gerakan sosial. Gerakan sosial selalu melibatkan mobilisasi massa meskipun ia tidak selalu melibatkan kekerasan. Di dalamnya terdapat kesadaran kolektif tentang tujuan gerakan, adanya ideologi gerakan, strategi gerakan, struktur organisasi, komunikasi yang jelas, adanya pihak yang menjadi lawan, dan dampak atau efek gerakan dalam tatanan sosial politik. Artinya, ia merupakan buah dari kesadaran kolektif dari sekelompok masyarakat yang bangkit sebagai oposisi dari beberapa nilai, norma, dan praktek sosial yang dianggap tidak adil, menindas, dan tidak bisa ditolerir oleh pelaku gerakan tersebut. Gerakan sosial dicirikan pula dengan ideologi politik yang selanjutnya berkembang menjadi pertarungan kanan konservatif dan kiri reformis. Sedangkan pada pengalaman sejarah negara-negara Asia-Afrika, gerakan ini berwujud melalui gerakan perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Analisis tentang gerakan sosial menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memicu kemunculannya, yaitu: 1. Struktur kesempatan politik 2. Struktur mobilisasi 3. Proses framing 4. Repertoir gerakan 5. Sumber intelektual, dan 6. Contentious politic Struktur kesempatan politik diadopsi oleh Peter Eisinger dari pandangan Tocqueville bahwa: revolusi terjadi bukan karena suatu kelompok masyarakat tertentu dalam keadaan tertekan. Tetapi revolusi muncul ke permukaan ketika sebuah sistem ekonomi dan politik untuk menolak atau memberontak kepada otoritas politik. Pemberontakan bersifat terbatas dan lingkupnya lebih sempit bila dibandingkan dengan revolusi, yang merujuk pada keikutsertaan semua lapisan masyarakat di sebuah negara untuk menggulingkan atau menggantikan seluruh tatanan sosial politik sebelumnya. Singh hlm 30 7 yang sebelumnya tertutup mengalami keterbukaan.4 Secara lebih spesifik, struktur kesempatan politik ini didukung oleh beberapa variabel, antara lain: 1. Ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan 2. Ketika keseimbangan politik sedang labil, sedangkan keseimbangan baru belum terbentuk 3. Ketika terjadi konflik antar elit politik, sehingga keadaan tersebut bisa dimanfaatkan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan 4. Ketika para pelaku perubahan digandeng oleh elit-elit yang berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan.5 Dalam konteks sejarah film Indonesia, kedatangan Jepang memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk mengenal lebih jauh tentang fungsi film dengan memberikan pendidikan dan posisi-posisi strategis dalam sebuah produksi film, yang sebelumnya tidak bisa diakses oleh orang-orang pribumi. Artinya, pemerintah militer Jepang dengan sengaja menggandeng insan-insan film Indonesia dalam rangka kampanye Asia Timur Raya-nya, tetapi untuk selanjutnya pengetahuan baru tentang film ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alat perjuangan di fase revolusi fisik paska proklamasi kemerdekaan. Periode revolusi fisik adalah fase di mana segala kondisi serba tidak menentu, sehingga ketidakstabilan ini ikut memberikan pengaruh terhadap gerakan film di masa itu. Pertama, kondisi tersebut justru memberikan kesempatan bergerak bagi perintis perfilman Indonesia. Kedua, dalam masa revolusi fisik ini, film merupakan media framing sebagai counter wacana terhadap tuduhan Belanda bahwa yang terjadi di Indonesia adalah tindakan-tindakan terorisme. Contoh penggunaan film sebagai salah satu alat perjuangan di atas, dalam gerakan sosial disebut Proses Framing. Proses Framing menjadi elemen penting karena ia menjadi tolok ukur sejauh mana pelaku gerakan memenangkan pertarungan atas makna. Hal ini berhubungan dengan usaha para pelaku gerakan untuk mempengaruhi dan membentuk opini 4 5 Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial Abdul Wahib Situmorang, ibid 8 di masyarakat (atau kelompok sasaran tertentu), dan meyakinkan khalayak luas bahwa sedang terjadi ketidakadilan, sehingga perlu adanya gerakan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Proses framing adalah upaya pelaku gerakan untuk mempengaruhi opini publik untuk memunculkan kesadaran kolektif.6 Dalam proses framing ini, terdapat dua komponen penting, yaitu: diagnosis elemen atau pendefinisian masalah beserta sumbernya, dan yang kedua adalah strategi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.7 Dalam proses framing sendiri, terdapat faktor-faktor yang mendukung pembentukan framing, misalnya saja kontradiksi budaya dan alur sejarah yang menimbulkan keluhan, ketidakadilan sehingga memunculkan aksi kolektif. Proses framing juga merupakan strategi gerakan, karena hal-hal seperti kontradiksi budaya, ketidakadilan sosial, maupun keluhan, akan menyediakan momentum, konteks, dan sekaligus kesempatan bagi pelaku gerakan, untuk kemudian menciptakan simbol, ideologi gerakan, dan langkah-langkah berikutnya. Sedangkan untuk mencapai tujuan, pelaku gerakan membutuhkan alat dalam proses framing ini, yaitu media. Dan media massa memang menjadi target utama dalam proses framing ini. Media di sini dapat berupa media cetak, maupun audio-visual (dalam konteks ini, film). Para pelaku gerakan juga menggunakan ruang-ruang publik untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka kepada masyarakat. Proses framing dalam gerakan sosial bukanlah satu-satunya cara dalam mencapai citacita gerakan. Setelah persepsi dan opini publik terbentuk melalui proses framing, pelaku gerakan harus melangkah ke tahap berikutnya yaitu taktik, strategi, dan aksi nyata gerakan sebagai pengejawantahan formulasi yang diperoleh di dalam proses framing sebelumnya. Tilly menyebutnya sebagai repertoir gerakan. Repertoir ini diartikan sebagai penciptaan budaya melalui proses pembelajaran.8 Pada tahap ini, repertoir bukan lagi berupa slogan6 Abdul Wahib Situmorang, ibid 7 Snow dan Banford dalam Abdul Wahib Situmorang, ibid 8 ibid 9 slogan atau jargon-jargon, tetapi sudah berwujud tindakan nyata seperti aksi turun ke jalan, mengeluarkan petisi, pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat umum, bahkan lebih ekstrim lagi bisa berwujud aksi-aksi boikot, pendudukkan tempat-tempat strategis, atau perusakan kantorkantor pemerintah. Bentuk-bentuk aksi tersebut adalah akumulasi ketidakpuasan yang pada akhirnya meluap menjadi sebuah protes politik.9Aksi-aksi tersebut menunjukkan bahwa repertoir gerakan merupakan bentuk interaksi antar kelompok pelaku perubahan dalam jumlah besar dan bukan hanya antar individu saja. D.2 Gerakan Sosial Baru Cara mudah untuk mendefiniskan Gerakan Sosial Baru (GSB) adalah dengan membandingkannya dengan Gerakan Sosial Lama/ Klasik (GSK). Secara singkat, perbedaan keduanya mungkin dapat terjelaskan melalui tabel di bawah ini: Tipe Gerakan Tujuan Struktur Retribusi GSK Ekonomi- Mobilisasi Institusional untuk Politik GSB Taktik Partisipan Ruang Lingkup Kelas Lokal, dan tertentu Nasional Revolusi Isu Identitas Non- Mobilisasi Politik institusional untuk Lintas kelas Trans-nasional pengaruh GSB menunjukkan ciri-ciri gerakan yang berbeda dibanding dengan gerakan sosial klasik. Lebih jauh lagi perbedaan tersebut dapat dirumuskan kedalam beberapa hal (Singh, 2010:126-129), yaitu: 1. Tujuan gerakan. Mereka berjuang untuk otonomi, pluralitas, perubahan gaya hidup dan kebudayaan, keberbedaan tanpa menolak prinsip egaliterianisme, demokrasi, partisipasi politik, parlemen, dan hukum positif. GSB ingin merekonstruksi hubungan negara, 9 Protes Politik menurut The Canadian Encyclopedia, adalah kegiatan politik seperti aksi demonstrasi, perlawanan, yang bahkan bisa berwujud aksi kekerasan. Protes ini biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tertentu, atau oleh mereka yang tertindas oleh kelompok elit tertentu. 10 masyarakat, sistem politik-ekonomi agar tercipta ruang publik yang baik. Ini membuktikan bahwa GSB bergerak merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil daripada persoalan ekonomi dan politik secara makro, lebih memilih mengurusi persoalan demoralisasi kehidupan sehari-hari, dan memusatkan perhatian pada kepentingan-kepentingan masyarakat secara kolektif. 2. Ideologi Gerakan. GSB seolah mengesampingkan faktor ideologi dalam gerakannya. Ia tidak melibatkan diri pada wacana ‘anti kapitalisme’, ‘revolusi kelas’, ‘perjuangan kelas’, maupun penggulingan kekuasaan suatu rezim secara revolusioner. Bahkan gerakan ini tidak berpotensi untuk merombak struktur ekonomi-politik secara makro. Bentuknya yang beragam terlihat mulai dari gerakan anti nuklir, isu lingkungan, penyelamatan fauna, pendidikan, kebebasan sipil, kebebasan personal dan perdamaian, dan lain-lain. Keberagaman bentuk dari GSB ini merupakan indikator kebosanan terhadap ide-ide modernisme tentang pertumbuhan, pembangunan, barat dan timur, maupun pertarungan ideologi kanan dan kiri. Sebagai sebuah paradigma baru dalam gerakan sosial, GSB adalah bentuk baru pertahanan terhadap ekspansi negara dan pasar yang semakin masif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dalam hal perlawanannya terhadap negara, GSB bukanlah untuk anakhi, namun ia menentang campur tangan negara yang terlalu jauh terhadap otonomi dan kebebasan manusia, terhadap kebebasan atas tubuh, atau terhadap urusan moral dan keber-agamaan secara individu. Sedangkan terhadap pasar, GSB menentang komodifikasi, komersialisasi dan materialisme yang sudah merambah segala hal. Dari bentuk-bentuk gerakan yang sudah ada, GSB menyerukan sebuah kondisi yang adil dan bermartabat bagi konsep kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi manusia yang kreatif dan selaras dengan alam. 3. Strategi atau Repertoir Gerakan. Repertoir dalam definisi yang diberikan oleh Tilly, ia adalah penciptaan budaya melalui proses pembelajaran. Artinya, diperlukan repetisi dalam jangka waktu yang lama sehingga ia menjadi kebiasaan dan pada akhirnya membudaya dan membentuk identitas gerakan. GSB mengikuti dinamika bentuk masyarakat baru post-modern, dan paradigma baru mereka dalam memandang gerakan sosial. Sebagai produk dari postmodernisme watak GSB juga terlihat pada tujuan gerakannya yang nampak membingungkan, 11 relatif acak, terlihat tidak terpadu dengan baik, tetapi tegas dalam menolak penunggalan, homogenisasi, dan penyamaan ideologi global dari teori-teori ilmu sosial konvensional maupun sistem kekuasaan yang mengambil keuntungan dari penyeragaman tersebut. GSB tidak lagi berbentuk gerakan-gerakan union atau perserikatan, perjuangan proletar, parpol, melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat horizontal grass root politic, dan biasanya berbentuk komunitas-komunitas yang mengusung isu spesifik, dan jangkauannya melampaui batas-batas teritorial negara. GSB lebih menyukai jalur-jalur di luar politik formal dan memakai taktik pengacauan seperti memobilisasi opini publik melalui media massa, diskusi atau seminar terbuka, atau menampilkan aksi-aksi dramatic dengan mengenakan kostumkostum aneh sebagai representasi simbolik dalam aksi-aksi politiknya. Dalam struktur dan keorganisasian, GSB memilih bentuk yang tidak institusional. Artinya mereka mengorganisir diri dengan gaya yang lentur, cair, dan lebih kental dengan semangat komunalitas. 4. Aktor gerakan. Jika melihat orientasi, tujuan, dan model gerakan yang sangat lentur, orangorang di balik GSB mempunyai basis sosial yang beragam pula. Mode produktivitas a la Marxis diabaikan (Singh, 2010:133), kelas proletar dan kelas borjuis bisa bersama-sama bergabung di dalam GSB. Secara teoritis, partisipan GSB berasal dari tiga sector, yaitu: kelas menengah baru, kelas menengah lama, orang-orang pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar kerja.10 Basis sosial mereka luas, tidak terbagi-bagi, melampaui kategori-kategori gender, pendidikan, dan pekerjaan. Dari berbagai latar belakang tersebut, nampak jelas bahwa orientasi perjuangan mereka bukanlah untuk kelas atau golongan tertentu saja, tetapi untuk kemanusiaan yang universal. 5. Ruang lingkup gerakan. Para aktor GSB berasal dari bermacam basis sosial dan ruang gerak mereka tidak terbatas teritorial negara. Para aktor GSB adalah orang-orang yang melek teknologi, banyak dari mereka yang berasal dari kelas menengah, mempunyai jejaring luas dan kuat, sehingga mereka dengan mudah mengatasi kendala ruang dan waktu dalam 10 Kelas menangah lama misalnya petani, pedagang, seniman dll. Orang-orang pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar kerja misalnya mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pensiunan. Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.10, FISIPOL UGM, 2006 12 berkomunikasi. Wilayah aksi, cara mobilisasi, dan strategi mereka adalah global. Perhatian sosial dan isu-isu yang mereka perjuangkan menyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat. D.3 Dua Pendekatan Dalam Memandang GSB Teori pertama adalah Teori Mobilisasi Sumber Daya. Menurut teori ini, para aktor GSB merupakan makhluk rasional yang mampu menalar, berstrategi, dan mampu memperhitungkan keberhasilan dan kegagalan gerakan mereka. Dalam teori ini, dikatakan bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya sumber-sumber pendukung seperti kelompok koalisi, dukungan finansial yang cukup, pengorganisasian yang baik, dan sumber daya lainnya berupa ide, akses terhadap media massa dan teknologi informasi (media cetak, audio-visual, dunia maya), atau bahkan cara-cara unik lainnya dalam menyerukan ide-ide mereka. Teori mobilisasi sumber daya ini menekankan pada permasalahan teknis dan pengorgnisasian gerakan daripada penyebab munculnya gerakan sosial itu sendiri. Teori yang berasal dari analisis Mancur Olson ini mengedepankan rasionalitas para aktor gerakan. Artinya, dalam teori ini, para aktor yang rasional tersebut bertindak dan beraksi dalam sebuah gerakan kolektif didasarkan pada pertimbangan untung-rugi.11 Olson berpendapat bahwa para aktor gerakan sosial dalam teori ini mempertimbangkan keuntungan dan kerugian apa yang didapat saat mereka ikut dalam sebuah aksi gerakan. Teori ini menggambarkan bahwa GSB diibaratkan sebuah perusahaan besar yang dijalankan oleh struktur manajerial besar, dan pemimpin gerakan harus bertindak sebagai pengusaha yang dapat memikat orang lain untuk berinvestasi dalam gerakan. Dalam beberapa hal, teori ini mampu menjelaskan bagaimana para aktor GSB dapat memaksimalkan segala sumber daya yang ada, namun di sisi lain ia tidak bisa menjelaskan bagaimana loyalitas dan solidarisme bisa muncul di dalam gerakan sosial baru. Sehingga aksi kolektif seakan hanya persoalan konsumsi, menghabiskan nilai guna barang, atau pertukaran 11 Lihat Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru, hlm 135 13 komoditas saja. Teori ini tidak menyentuh latar belakang bagaimana mereka bisa membentuk aksi kolektif, dan bagaimana GSB saling menyebarkan pemahaman mereka, bagaimana menanamkan solidaritas antar individu, dan bagaimana GSB mengartikulasikan kepentingan mereka. Teori kedua yang melengkapi analisis tentang GSB adalah Teori Berorientasi Identitas. Teori ini menolak logika utilitarian (logika untung-rugi) yang terlalu rasionalistik dari teori mobilisasi sumber daya, dan menekankan analisisnya di seputar integritas dan solidaritas di dalam GSB. Ia menerima beberapa konsep klasik Marxis seperti ‘perjuangan’, ‘mobilisasi’, ‘kesadaran’, dan ‘solidaritas’ dengan tetap menolak orientasi materialistik dan penggolongan kelas.12 Orientasi identitas yang diusung merupakan ekspresi dalam pencarian terhadap identitas, otonomi, dan pengakuan atas eksistensi mereka. Dari orientasi ini lah, aksiaksi mereka lebih ekspresif dan menimbulkan kesan unik bagi yang melihatnya. Aksi-aksi ‘unik’ ini adalah cara mereka untuk memaknai dan menafsirkan kembali norma-norma, penciptaan makna-makna baru, dan merekonstruksi nilai-nilai sosial dari batas-batas antara wilayah publik, privat, dan wilayah politis.13 Ini mengingatkan kita pada semangat gerakan sosial klasik sebagai oposisi dari beberapa nilai, norma, dan praktek sosial yang dianggap tidak adil, menindas, dan tidak bisa ditolerir oleh pelaku gerakan. Fakta gerakan sosial di lapangan memang tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan logika untung-rugi, meskipun penjabaran teori berorientasi identitas juga belum bisa memuaskan peminat studi GSB. Dalam konteks gerakan yang dilakukan komunitas dokumenter sendiri, mobilisasi sumber daya memang terjadi. Komunitas ini benar-benar memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki (SDM, teknologi informasi, koneksi jaringan antar pelaku gerakan hingga ke luar negeri), menjadi ajang untuk lebih berprestasi menggeluti film dokumenter bagi masing-masing individu, juga tetap menjaga identitas dan 12 Ibid, Singh hlm 145 13 Jean Cohen dalam Singh, ibid, hlm 148 14 eksistensi mereka lewat tema-tema di setiap festival film dokumenter mereka. Namun yang lebih penting dari itu semua, mereka mampu bersatu di bawah visi-misi memajukan film dokumenter Indonesia. Bahkan Komunitas Dokumenter menunjukan bahwa mereka mempunyai orientasi jangka panjang yang jelas. Salah satu tujuan gerakan GSB adalah menekankan pada perubahan-perubahan gaya hidup dan kebudayaan. Dalam konteks ini, komunitas dokumenter ingin merubah cara pandang masyarakat terhadap media film dokumenter, dan membentuk segmen penonton bagi film dokumenter, sehingga film dokumenter bisa lebih diterima oleh masyarakat luas. Secara sederhana, mereka ingin agar film dokumenter tidak lagi dipandang sebagai media komunikasi yang disajikan secara top down, namun juga bisa dijadikan sebagai alat penyampai aspirasi, penyuara kehendak secara bottom up, maupun alat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Bahkan, seperti film fiksi, dokumenter bisa disajikan sebagai media hiburan, karena bagaimanapun dokumenter adalah produk sinema yang bisa dipandang sebagai sebuah karya seni yang multi-approach. E. Definisi Operasional Menurut UU no.8/1992 Tentang Perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.14 14 http://www.dpr.go.id/uu/uu1992/UU_1992_8.pdf, 25-11-2013, 22.51 wib 15 Sedangkan film dokumenter, salah satu definisinya adalah: Teks Non-Fiksi yang menggunakan footage–footage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dll.15 Teks-teks seperti ini biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isu-isu sosial tertentu yang sangat memungkinkan bisa menarik perhatian penontonnya. Definisi ini bukan merujuk pada subjek atau sebuah gaya (genre), tetapi dokumenter adalah sebuah pendekatan. Pendekatan dalam menampilkan faktualitas agar sesuai dengan harapan, maksud, dan tujuan dari si pembuat film tersebut. Riset menjadi proses yang sangat penting dalam produksi sebuah film dokumenter. Riset di sini bukan hanya seputar data seperti jumlah penduduk, mata pencarian penduduk, ketinggian desa, atau semacamnya. Dalam proses produksi film dokumenter, riset lebih berupa mengamati kebiasaan subjek yang akan difilmkan, misalnya bagaimana kegiatan sehari-harinya dilakukan, jalan mana saja yang tiap hari dilewati, dan permasalahan yang dihadapi oleh subjek yang akan menjadi topik dalam film tersebut. Sedangkan untuk 15 Definisi ini disampaikan oleh praktisi documenter Paul Wells. Dokumenter dapat digolongkan menjadi beberapa pendekatan, antara lain: film factual, film etnografik, film eksplorasi, film jurnalistik dan film propaganda. Sedangkan apabila kita melihat unsure-unsur visual dan verbal yang digunakan, film documenter dapat digolongkan menjadi observasionalisme reaktif, yaitu pembuatan film documenter yang sebisa mungkin bahan-bahannya diambil dari subjeknya, dan mengutamakan ke-otentikan footage-footagenya; Obseravasionalisme proaktif, yaitu pembuatan film documenter yang mengambil gambar/ footage secara khusus sesuai riset yang dilakukan sebelumnya; Dokumenter ilustratif, pendekatan yang banyak menggunakan voice over/ narasi dalam penyampainnya; Dokumenter asosiatif, pendekatan yang menggunakan potongan-potongan gambar/ rekaman yang kemudian dihubung-hubungkan dalam penyampaiannya. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harfiah dalam film itu, dapat terwakili; Overheard exchange; rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung; Kesaksian, yaitu rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara; Eksposisi, yaitu penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen-argumennya. 16 kepentingan pengambilan gambar, riset berguna untuk menjalin keakraban pembuat film dengan lingkungan (termasuk orang-orang di lingkungan tersebut) di sekitar subjek film, agar mereka terbiasa dengan kru film dan “tidak melihat” kehadiran kamera di sekitarnya. Mengetahui kebiasaan subjek dan lingkungannya akan membantu bagaimana sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan bagaimana gambar akan dipilih dalam proses editing nanti. Ini lah yang membuat produksi film dokumenter memakan waktu lama, bahkan hingga bertahun-tahun. Sebagai sebuah karya seni, film juga dipengaruhi faktor-faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor-faktor intrinsik film antara lain: Tema, karakter, konflik dalam cerita, seting dalam cerita (waktu, tempat, suasana), dan masalah-masalah teknis (sudut penempatan kamera, pencahayaan, editing, dan lainnya). Sedangkan faktor-faktor ekstrinsik film adalah kondisi sosial, kultural, politik, ekonomi sebuah tempat atau negara di mana film itu dibuat.16 Komunitas Dokumenter di sini secara khusus mengacu pada komunitas film dokummeter yang bersekretariat di Jl. Sajiono no.15 Kota Baru Yogyakarta, tepatnya berada di sebelah utara SMA Negeri 3 Yogyakarta. Namun dalam tulisan ini, secara lebih luas, komunitas dokumenter tersebut adalah representasi dari seluruh gerakan dokumenter di Indonesia bahkan juga Internasional. Secara kongkrit, visi-misi Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur film dokumenter di Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Pengembangan SDM 16 Faktor ekstrinsik atau lebih spesifiknya kondisi sosio-politik di negeri ini lah yang membuat film-film dokumenter kita dianggap ketinggalan dari negara-negara lain, terutama eropa, yang sering menjadi barometer film-film dokumenter. Tapi terasa kurang bijak jika kita membandingkan konteks Indonesia dengan negaranegara Eropa di mana para pembuat filmnya sudah tidak berhadapan lagi dengan masalah-masalah sosial dan politik seperti di negeri ini. 17 Komunitas Dokumenter memandang sumber daya manusia sebagai salah satu bagian penting dalam kemajuan masyarakat di berbagai bidang. Begitu pula di bidang film dokumenter, komunitas ini menempatkan diri sebagai fasilitator bagi aktivitasaktivitas belajar bersama dan berbagi pengetahuan, tidak hanya di kalangan seniman atau kreator film dokumenter dan film secara umum, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat. Di dalam internal komunitas ini, setiap orang berhak dan boleh mengembangkan diri sendiri melalui pelatihan atau seminar tentang dokumenter yang diselenggarakan oleh lembaga atau komunitas lain. 2. Membangun pusat data dan informasi Komunitas Dokumenter menyediakan diri sebagai pusat data dan informasi film dokumenter, baik dalam tataran keilmuan maupun praktis, dan katalogisasi film-film dokumenter. Pengembangan Komunitas Dokumenter sebagai pusat data dan informasi ini dilakukan sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan dan memajukan film dokumenter Indonesia. 3. Sosialisasi dan membangun jaringan kerja Film dokumenter sebagai wahana seni, informasi, dan ilmu pengetahuan perlu disosialisasikan ke masyarakat umum. Selain untuk memperkenalkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat atas film dokumenter, sosialisasi ini juga diperlukan . Untuk itu, Komunitas Dokumenter membangun jaringan kerja di antara individu dan kelompok yang bergerak di bidang film documenter, sehingga terjalin kerja sama bagi perkembangan dan kemajuan film dokumenter Indonesia. 4. Mengadakan pendidikan dan pelatihan Komunitas kumenter melihat aspek pendidikan dan pelatihan dalam arti yang seluasluasnya. Selain keterampilan teknis dan pengetahuan teoritis, pendidikan dan pelatihan 18 terwujud juga dalam kemampuan apresiasi atas lingkungan, kehidupan, dan kebudayaan, sebagai bagian dari pengembangan SDM. Aktualisasi dari pendidikan dan pelatihan ini terwujud dalam berbagai kemungkinan, antara lain: diskusi, workshop, klinik film, ajang apresiasi, produksi film, dan lain sebagainya. 5. Festival dokumenter Festival adalah implementasi dari keseluruhan visi dan misi Komunitas Dokumenter. Festival dilaksanakan setiap satu tahun sekali dengan arahan sebagai muara dari setiap aktivitas dan program kegiatan, baik dari komunitas sendiri maupun dari masyarakat umum. Festival disusun dengan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan, sebagai perayaan dan ajang berbagi pengalaman dan pengetahuan di bidang film dokumenter di antara berbagai elemen masyarakat, dari dalam dan luar negeri. Festival juga menjadi ajang bagi apresiasi film-film dokumenter terpilih dari berbagai penjuru dunia, dan ajang kompetisi untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya dan kreator-kreator film dokumenter Indonesia terbaik. Festival Film Dokumenter sendiri memiliki peran penting, yaitu sebagai: • Dokumentasi karya-karya film dokumenter. Film dokumenter adalah rekaman sejarah yang memiliki nilai penting tetapi selama ini senantiasa terabaikan. Bangsa kita termasuk bangsa yang kurang menghargai catatan dan dokumentasi sejarah, sesuatu yang bisa jadi membuat bangsa ini terlalu sering mengulang kesalahan masa lalu. • Publikasi karya-karya film dokumenter. Film dokumenter adalah media alternatif yang tidak banyak memiliki ruang publikasi. Festival ini akan menjadi jembatan yang memadai bagi publikasi karya ke khalayak umum. • Wahana interaksi dan belajar. 19 Festival ini akan menjadi wahana yang demokratis bagi bertemunya sesama pekerja film dokumenter, para kreator senior, kalangan akademik, dan masyarakat. Kesemua unsur tersebut dapat saling berinteraksi, belajar dan berbagi, sehingga tercipta jaringan yang positif. • Pemasyarakatan film dokumenter. Film dokumenter memiliki karakteristik yang khusus dan khas. Ada banyak aspek positif yang dapat digali dan ditemukan dalam film dokumenter. Festival ini dapat dijadikan sebagai arena bagi pengenalan, penyebarluasan, dan pemasyarakatan film dokumenter. F. Metodologi Penelitian F.1 Metode Penelitian Penelitian ini akan mengesampingkan menggunakan aspek-aspek metode analisis kualitatif-deskriptif berbasis statistik. dan Metode lebih ini banyak berusaha mendeskripsikan gejala-gejala atas suatu fakta secara lengkap dengan tujuan menjelaskan bagaimana keadaan dan kondisinya.17 Bogdan and Taylor menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.18 Berdasarkan definisi tersebut, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang mengutamakan kualitas analisis serta interpretasi data dan bukan menggunakan data statistik angka-angka sebagi basis analisisnya. Kegiatan generik dalam penelitian kualitatif selalu menampilkan lima fase tataran dari masing-masing pendekatan:19 17 Nawawi, dalam Utan Parlindungan, Genjer-genjer dan Hermaphrodyte Complex, Skripsi JPP UGM, 2007 18 Lexy, J. Moleong.2002,Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,Bandung,hal.3 19 Dr. Agus Salim MS, Teori&Paradigma Penelitian Sosial, Teori Wacana, Yogyakarta, 2006 20 1. Peneliti dan persoalan yang diteliti sebagai subjek yang multikultural 2. Paradigma dan sudut pandang Interpretif 3. Sratategi penelitian 4. Metode pengumpulan data analisis bahan empiris 5. Seni interpretasi dan pemaparan hasil penelitian Kemudian dari bentuknya yang interpretif, penelitian kualitatif berhadapan dengan masalah yang cukup menggangu. Di satu pihak, periset harus menyajikan dan melaporkan data secara objektif, namun di sisi lain para subjek yang diteliti juga memiliki kompetensi untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya dari sudut pandangnya sendiri.20 Dari dua persoalan tersebut, maka diperlukan kompetensi periset untuk menginterpretasikan fakta-fakta yang ada ke dalam bentuknya yang lebih mudah dimengerti. Sebagai perangkat tafsir fenomena sosial, metode kualitatif tidak mengistimewakan salah satu metodologi atas metodologi yang lain. Di samping itu, metode kualitatif juga relatif sulit untuk didefinisikan secara pasti dan tidak memiliki suatu teori dan paradigma yang khas. Sedangkan untuk kepentingan riset ini, penyusun akan menggunakan salah satu jenis penelitian deskriptif, yaitu Studi Kasus. Metode ini akan melibatkan peneliti secara intensif, dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap subjek penelitian.21 Studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Penulis memilih menggunakan metode studi kasus karena ia memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan objek penelitian, yaitu: spesifik, khusus, dan berskala lokal. Selain itu, dalam studi kasus kadang-kadang melibatkan peneliti dalam unit sosial terkecil seperti keluarga, sekolah, perkumpulan atau komunitas.22 20 Ibid 21 Consuelo G. Sevilla dkk, Op.cit, hlm 73 22 Consuelo G. Sevilla dkk, ibid hlm 74 Kedua, metode ini juga berlaku apabila suatu 21 pertanyaan ‘bagaiamana’ dan ‘mengapa’ diajukan terhadap seperangkat peristiwa yang mustahil dikontrol oleh peneliti (Agus Salim, 2006: 118). F.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian dalam skripsi ini dilakukan di sekretariat Komunitas Dokumenter, Jl. Sajiono no.15 Yogyakarta, tepatnya berada di sebelah utara SMA Negeri 3 Yogyakarta. Lokasi kedua adalah tempat diselenggrakannya Festival Film Dokumenter yaitu Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Pencarian data di TBY dilakukan dengan cara mengikuti hampir semua kegiatan FFD, seperti dengan menjadi peserta seminar, menonton hampir semua film di festival, atau sekedar berbincang ringan dengan anggota panitia, peserta festival, dan para pengunjung festival. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara–yang lebih sering bersifat informal–dengan orang-orang di komunitas tersebut. Sedangkan data sekunder didapat dari arsip-arsip dari setiap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Komunitas Dokumenter, atau dari wawancara-wawancara dengan orang-orang di FFD di luar panitia. Studi pustaka juga dilakukan untuk memperoleh data sekunder dalam penelitian ini, terutama menyangkut sejarah perfilman Indonnesia. Wawancara adalah tanya jawab lisan diantara dua orang atau lebih secara langsung.23 Pada dasarnya wawancara dalam penelitian merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi atau data dengan cara bertanya secara langsung kepada responden, narasumber, atau pemberi informasi (informan).24 Wawancara dalam proses penelitian ini dilakukan dengan cara membuat interview guide terlebih dahulu dengan tetap memberi ruang bagi berkembangnya pertanyaan yang bisa saja muncul secara spontan saat wawancara berlangsung. Para informan dalam penelitian ini adalah anggota-anggota Komunitas Dokumenter yang saya anggap lebih ‘senior’ daripada anggota yang lain. Mereka adalah Dwi 23 M.Iqbal Hasan, MM dalam Rizky Lia Pratiwi, Pengelolaan Sampah Tinjauan Deskriptif Mendalam Pengelolaan Sampah Berbasis Reduce, Reuse, Recycle (3R) di Kampung Cokro, Kota Yogyakarta, Skripsi, Sosiologi UGM 2011 24 Ibid 22 Sujanti Nugraheni, Kurnia Yudha, Surya Adi Wibowo, Alia Damaihati,Azizah Laurensia, Krisna Putranto. Suasana informal dan interaktif diperlukan guna memperoleh kedekatan antara peneliti dan narasumber, sehingga dalam proses penelitian terbangun rasa akrab dan saling percaya. Hubungan ini diperlukan agar tidak terjadi sikap defensif, yang mengakibatkan narasumber menjadi enggan memberikan informasi. Cara kedua yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pengamatan, dan persinggungan langsung dengan subjek penelitian. Pengamatan ini akan difokuskan pada tingkah laku responden (analisis kegiatan atau analisis proses).25 G. Sistematika Penulisan Setelah mengkerangkai topik yang akan dibahas dengan konsep Gerakan Sosial Baru di Bab I ini. Pada Bab II secara sengaja penulis tidak langsung secara tegas membedakan antara film dokumenter dan film fiksi, meskipun pembahasannya akan mengerucut pada media film dokumenter dan dinamikanya pasca reformasi. Penulis berusaha mengajak pembaca bernostalgia sejenak di Bab II guna melihat bagaimana perjalanan film di Indonesia hingga saat ini. Penelusuran sejarah film Indonesia ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada pembaca bagaimana dunia per-filman Indonesia terbentuk, bagaimana para insan perfilman memperjuangkan kemajuan film Indonesia, juga untuk menunjukan bagaimana pemanfaatan film di setiap rezim dan situasi sosial politik yang berbeda. Bab III akan memberikan deskripsi kepada pembaca tentang perfilman dokumenter secara lebih komprehensif, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur film dokumenter. 25 Consuello G. Sevilla dkk, ibid hlm 72 23 Pembahasan di Bab IV akan terfokus pada contoh penggunaan film dokumenter sebagai alat untuk merespon sebuah permasalahan sosial, untuk kemudian akan disimpulkan dalam Bab V. 24