KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah ﺴﺑﺤﻧﺎﻩ ﻮ ﺘﻋﺎﻟﻰ atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya serta Kemuliaan Abadi untuk Junjunganku Baginda Rasululah SAW, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tentunya tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Ayahanda Abdul Halil Machmud dan Ibunda Siti Nuraeni, yang telah menuntunku untuk mengerti akan arti sebuah perjuangan hidup. Serta kepada kedua saudaraku tersayang, Eva Mina Ufa dan Alan Ridha Al-Husni kalian bagian dari hidupku. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak yang memberikan bantuan dan dukungan : 1. Bapak Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi,sp.B.,Sp,BO selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Universitas Hasanuddin. 2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Antropologi, segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin yang telah banyak melakukan transformasi ilmu serta bimbingan bagi penulis dan tidak lupa pada segenap pegawai administrasi di lingkungan Universitas Hasanuddin. 3. DR. Tasrifin Tahara. S.Sos., M.Si selaku pembimbing I dan Muh. Neil S.Sos,. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 4. Para keluarga dan rekan-rekan yang selama ini setia menemani dalam berbagai suka dan duka, dan terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya bagi penulis. 5. Para responden dan informan yang penuh keikhlasan memberikan informasi dan datadata yang sesuai dengan objek penelitian. 6. Kepada seluruh kerabat Antropologi tanpa terkecuali, terkhusus untuk angkatan 2005. 7. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait terutama bagi penulis Insya Allah semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan pahala yang setimpal kepada Bapak, Ibu serta Saudara (i) atas segala bantuannya kepada penulis, Amien Ya Rabbal Alamin. Makassar, 30 Juli 2013. Penulis. ABSTRAK Firman, E 511 050 32 dengan judul skripsi “Karaoke Keluarga, Studi Tentang Gaya Hidup di Perkotaan” dengan pembimbing DR. Tasrifin Tahara S.Sos., M.Si dan Muh. Neil S.Sos., M.Si selaku konsultan I dan II. Penelitian ini mengkaji tentang gaya hidup masyarakat perkotaan di terhadap Karaoke Keluarga. Berlokasi di E-club jalan Boulevard, kota Makassar. Kajian ini membahas permasalahan mengenai persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi, observasi tanpa partisipasi, dan wawancara kepada 15 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis (filed note) dan tape recorder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karaoke sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan karena dengan karaoke mereka memperoleh kepuasan dan kesenangan yang mampu menghilangkan beban pikiran yang mereka rasakan. Berkumpul dan bercanda dengan teman-teman di dalam ruangan karaoke dianggap sebagian masyarakat perkotaan sebagai salah satu cara yang ampuh untuk menghibur diri dan menghilangkan stres. DAFTAR ISI Halaman Judul ………………………………………………………………… Halaman Pengesahan Pembimbing …………………………………………… Halaman Penerimaan Tim Evaluasi …………………………………………… Kata Pengantar ………………………………………………………………… Abstrak ………………………………………………………………………… Daftar Isi ……………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... A. Latar Belakang …………………………………………….. B. Rumusan Masalah ………………………………………… C. Lokasi Penelitian ………………………………………….. D. Tujuan Penelitian …………………………......................... E. Manfaat Penelitian………………………………………… F. Kerangka Konseptual ……………………………………… G. Metode Penelitian ………………………………………….. A. Jenis Penelitian …………………………………….. B. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 1. Data Primer………………………………… - Wawancara ……………………………. - Observasi ………………………………. 2. Data Sekunder ……………………………... C. Narasumber ………………………………………… - Informan ……………………………….. - Key Informan ………………………….. D. Teknik Analisis Data ………………………………. E. Teknik Keabsahan Data …………………………… H. Sistimatika Penulisan ……………………………………….. BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….... A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan …………………………………………………... B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya ……………………… C. Karaoke dan Rekonstruksi Sosial …………………………. D. Karaoke dan Bentuk Makna Lembaga Keluarga di Indonesia ………………………………………………… E. Sekilas Profil E-club Karaoke Keluarga …………………… i ii iii iv vi vii 1 1 3 4 4 5 5 13 13 14 15 15 16 16 16 16 17 18 19 21 22 22 31 35 38 39 viii GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN …………… A. Gambaran Umum Kota Makassar …………………….... a. Pendidikan Penduduk …………………………………… b. Agama Pendidikan ……………………………………… c. Sarana Dan Prasarana …………………………………… B. Profil Informan …………………………………………….. BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ……………………. A. Karaoke dan Masyarakat Perkotaan ………………………... a. Alasan Gengsi …………………………………………... b. Ajakan Teman …………………………………………… c. Alasan Hiburan ………………………………………… B. Pandangan Masyarakat Terhadap Karaoke ………………… C. Manfaat Karaoke …………………………………………… BAB V PENUTUP ……………………………………………………... A. Kesimpulan ………………………………………………….. B. Saran-Saran …………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. LAMPIRAN BAB III 42 42 44 45 46 46 49 49 49 52 53 57 59 61 61 63 65 viii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah ﺘﻋﺎﻟﻰ ﺴﺑﺤﻧﺎﻩ ﻮ atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya serta Kemuliaan Abadi untuk Junjunganku Baginda Rasululah SAW, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tentunya tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Ayahanda Abdul Halil Machmud dan Ibunda Siti Nuraeni, yang telah menuntunku untuk mengerti akan arti sebuah perjuangan hidup. Serta kepada kedua saudaraku tersayang, Eva Mina Ufa dan Alan Ridha AlHusni kalian bagian dari hidupku. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada pihak yang memberikan bantuan dan dukungan : 1. Bapak Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi,sp.B.,Sp,BO selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Universitas Hasanuddin. 2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Antropologi, segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin yang telah banyak melakukan transformasi ilmu serta bimbingan bagi penulis dan tidak lupa pada segenap pegawai administrasi di lingkungan Universitas Hasanuddin. 3. DR. Tasrifin Tahara. S.Sos., M.Si selaku pembimbing I dan Muh. Neil S.Sos,. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 4. Para keluarga dan rekan-rekan yang selama ini setia menemani dalam berbagai suka dan duka, dan terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya bagi penulis. 5. Para responden dan informan yang penuh keikhlasan memberikan informasi dan datadata yang sesuai dengan objek penelitian. 6. Kepada seluruh kerabat Antropologi tanpa terkecuali, terkhusus untuk angkatan 2005. 7. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait terutama bagi penulis Insya Allah semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan pahala yang setimpal kepada Bapak, Ibu serta Saudara (i) atas segala bantuannya kepada penulis, Amien Ya Rabbal Alamin. Makassar, 30 Juli 2013. Penulis. ABSTRAK Firman, E 511 050 32 dengan judul skripsi “Karaoke Keluarga, Studi Tentang Gaya Hidup di Perkotaan” dengan pembimbing DR. Tasrifin Tahara S.Sos., M.Si dan Muh. Neil S.Sos., M.Si selaku konsultan I dan II. Penelitian ini mengkaji tentang gaya hidup masyarakat perkotaan di terhadap Karaoke Keluarga. Berlokasi di E-club jalan Boulevard, kota Makassar. Kajian ini membahas permasalahan mengenai persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat perkotaan tentang karaoke, untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke, dan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dengan karaoke. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi, observasi tanpa partisipasi, dan wawancara kepada 15 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis (filed note) dan tape recorder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karaoke sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan karena dengan karaoke mereka memperoleh kepuasan dan kesenangan yang mampu menghilangkan beban pikiran yang mereka rasakan. Berkumpul dan bercanda dengan teman-teman di dalam ruangan karaoke dianggap sebagian masyarakat perkotaan sebagai salah satu cara yang ampuh untuk menghibur diri dan menghilangkan stres. HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Karaoke (Studi Tentang Kegiatan Karaoke di Happy Puppy pada Mahasiswa FISIP UNHAS) Nama : Firman NIM : E 511 05 032 Jurusan : Antropologi Program Studi : Antropologi Sosial Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Pada Ujian Proposal Menyetujui: Penasehat Akademik Muhammad Neil, S.Sos, M.Si NIP. 19720605 200501 1 001 Mengetahui: Ketua Jurusan Antropologi Fisip Unhas Dr. Munsi Lampe, MA NIP.19561221 198612 1 001 Sekretaris Jurusan Antropologi Fisip Unhas Drs. Yahya, MA NIP. 19621231 200012 1 001 DAFTAR ISI Halaman Judul ………………………………………………………………… Halaman Pengesahan Pembimbing …………………………………………… Halaman Penerimaan Tim Evaluasi …………………………………………… Kata Pengantar ………………………………………………………………… Abstrak ………………………………………………………………………… Daftar Isi ……………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... A. Latar Belakang …………………………………………….. B. Rumusan Masalah ………………………………………… C. Lokasi Penelitian ………………………………………….. D. Tujuan Penelitian …………………………......................... E. Manfaat Penelitian………………………………………… F. Kerangka Konseptual ……………………………………… G. Metode Penelitian ………………………………………….. A. Jenis Penelitian ……………………………………..13 B. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 14 1. Data Primer………………………………… - Wawancara ……………………………. - Observasi ………………………………. 2. Data Sekunder ……………………………... C. Narasumber ………………………………………… - Informan ……………………………….. - Key Informan ………………………….. D. Teknik Analisis Data ……………………………….18 E. Teknik Keabsahan Data …………………………… 19 H. Sistimatika Penulisan ……………………………………….. BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….... A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan …………………………………………………... B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya ……………………… C. Karaoke dan Rekonstruksi Sosial …………………………. D. Karaoke dan Bentuk Makna Lembaga Keluarga di Indonesia ………………………………………………… E. Sekilas Profil E-club Karaoke Keluarga …………………… i ii iii iv vi vii 1 1 3 4 4 5 5 13 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN …………… A. Gambaran Umum Kota Makassar …………………….... a. Pendidikan Penduduk …………………………………… b. Agama Pendidikan ……………………………………… c. Sarana Dan Prasarana …………………………………… B. Profil Informan …………………………………………….. 42 42 44 45 46 46 BAB III 15 15 16 16 16 16 17 21 22 22 31 35 38 39 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ……………………. A. Karaoke dan Masyarakat Perkotaan ………………………... a. Alasan Gengsi …………………………………………... b. Ajakan Teman …………………………………………… c. Alasan Hiburan ………………………………………… B. Pandangan Masyarakat Terhadap Karaoke ………………… C. Manfaat Karaoke …………………………………………… BAB V PENUTUP ……………………………………………………... A. Kesimpulan ………………………………………………….. B. Saran-Saran …………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. LAMPIRAN BAB IV 49 49 49 52 53 57 59 61 61 63 65 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia saat ini adalah pada sektor industri hiburan. Berbagai tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan terus bertambah, mulai dari tempat hiburan yang hanya dinikmati oleh golongangolongan tertentu, hingga tempat hiburan yang dapat dinikmati semua golongan. Setiap tempat hiburan memiliki daya tarik tersendiri dan memiliki penikmatnya masing-masing. Kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan dan salah satu tempat hiburan yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi adalah tempat karaoke. Memang sampai saat ini tidak ada data yang benar-benar valid kapan dan di mana karaoke pertama kali didirikan di Indonesia. Namun, berdasarkan data yang ada karaoke pada awalnya dianggap sebagai hiburan yang mahal dan dipandang sebagai hiburan malam yang berkonotasi negatif oleh sebagian masyarakat Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan negatif ini semakin lama semakin menipis, bahkan telah hilang sama sekali pada masa sekarang. Menjamurnya karaoke-karaoke yang mengklasifikasikan dirinya sebagai karaoke keluarga di kota-kota besar, bahkan sudah pula masuk ke kota-kota kabupaten. Ini merupakan sebuah bukti yang jelas bahwa karaoke sudah dianggap sebagai sebuah bentuk hiburan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Karaoke berasal dari bahasa Jepang yaitu kara dari kata karappo yang berarti kosong dan oke dari kata okesutura atau orkestra. Karaoke berarti sebuah musik orkestra yang kosong atau tidak dilengkapi dengan suara vokal. Meski awalnya hanya sekedar hiburan untuk melepas kepenatan, kini karaoke telah menjelma menjadi salah satu bagian yang dianggap mempunyai andil dalam perkembangan dunia musik. Bagaimana tidak, dengan karaoke setiap orang tanpa harus mempunyai suara bagus bisa langsung merasakan menjadi penyanyi sungguhan karena mereka menyanyi diiringi musik yang sama dengan yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya Oleh karena konotasi karaoke di Indonesia sudah demikian identiknya dengan hiburan malam, maka ditambahlah kata keluarga setelah kata karaoke sebagai upaya penekanan bahwa hiburan yang disediakan adalah hiburan yang baik untuk keluarga atau hiburan untuk orang yang baik-baik. Karaoke keluarga adalah tempat hiburan keluarga di mana pengunjung dapat bernyanyi bersama keluarga, teman-teman, teman kerja, relasi kerja dalam suasana kekeluargaan dan bersih serta jauh dari kesan maksiat. Saat ini E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar merupakan salah satu tempat hiburan yang banyak dipilih oleh sebagian masyarakat Kota Makassar sebagai tempat mereka menghabiskan sebagian waktu mereka untuk bernyanyi. Segudang aktivitas yang dilalui masyarakat perkotaan akhir-akhir ini memaksa mereka untuk menetralisasikan kepenatan mereka dengan berkaraoke sebagai pelampiasannya. Disadari ataupun tidak, karaoke telah mengubah gaya hidup mereka. Idealnya gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti halnya pelajar seharusnya membaca buku, diskusi ataupun mengerjakan tugas, pegawai kantoran yang seharusnya sibuk penyelesaikan kerja kantoran, dan lainnya , akan tetapi kenyataannya sekarang karaoke telah dijadikan masyarakat perkotaan itu sebagai gaya hidup mereka. Bahkan, yang lebih mengherankannya lagi mereka sampai lupa waktu bila berada di tempat karaoke. Inilah yang membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gaya hidup masyarakat perkotaan di E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar. Kedewasaan manusia tidak terlepas dan dipisahkan dari latar belakang sosial budaya tempat seseorang dibesarkan, karena kebudayaan adalah pedoman bertingkah laku, cara seseorang membawa diri, dan menjadi bagian masyarakatnya. Kebudayaan diciptakan manusia dan menciptakan manusia yang selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi karena kemajuan teknologi. Walaupun setiap masyarakat dan kebudayaan berbeda dalam cara mempersiapkan seseorang atau anggotanya, untuk menghadapinya, namun kesamaannya adalah memberikan kematangan, kemandirian, pengetahuan, ketegasan untuk mengadakan pemilihan terhadap hal-hal yang dihadapi (Hans J. Daeng:2000). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana gaya hidup masyarakat perkotaan di Eclub Karaoke Keluarga di Kota Makassar ?. Permasalahan ini akan diuraikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap karaoke keluarga ? 2. Bagaimana situasi sosial di tempat hiburan karaoke keluarga ? 3. Apa manfaat yang diperoleh masyarakat perkotaan dengan karaoke ? C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Jalan Boulevard, tepatnya di E-club Karaoke Keluarga, Kota Makassar. Alasan penulis memilih lokasi ini adalah berdasarkan hasil observasi awal yang menunjukkan bahwa di E-club Karaoke Keluarga ini lebih sering dikunjungi oleh masyarakat, karena letaknya di salah satu centrum keramaian kota Makassar. Dalam proses observasi awal penulis mencoba mengidentifikasi infoman dengan cara memperhatikan proses pengunjung untuk reservasi. Sebelum masuk ke tempat karaoke para pengunjung yang datang ke E-club Karaoke Keluarga harus reservation terlebih dahulu, lalu resepsionis akan menanyakan “atas nama siapa”, “pekerjaannya apa”, “pilih ruangan yang mana”, dan melalui resepsionis ini penulis memperoleh informasi tentang identitas pengunjung yang datang dan pekerjaannya untuk kemudian penulis gunakan untuk kepentingan penelitian. D. Tujuan Penelitian Setiap penelitian membutuhkan tujuan agar penelitian yang dilakukan nantinya dapat berjalan dengan baik, adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang karaoke. 2. Untuk mengetahui situasi sosial di tempat hiburan karaoke keluarga. 3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh masyarakat perkotaan dengan karaoke. E. Manfaat Penelitian Suatu penelitian selain memiliki tujuan sebagai dasar dalam proses kegiatannya juga dapat memberikan manfaat, adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai gaya hidup masyarakat perkotaan pada saat ini. 2. Dapat dijadikan bahan bacaan bagi mahasiswa yang hendak melakukan penelitian yang terkait dengan masalah yang penulis teliti. F. Kerangka Konseptual Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sangat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakannaluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan, berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama kelahirannya (seperti misalnya makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:180). Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang golongan sosial tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu (Koentjaraningrat, 2002:150-151). Golongan sosial dapat terjadi karena manusia-manusia yang diklaskan kedalamnya mempunyai suatu gaya hidup yang khas, dan karena berdasarkan hal itu mereka dipandang oleh orang lain sebagai manusia yang menduduki suatu lapisan tertentu dalam masyarakat. Lapisan itu dapat dianggap lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari sudut orang yang memandang tadi. Karena warganya mempunyai gaya hidup khas yang sama, maka suatu lapisan atau klas sosial tentu dapat juga dianggap mempunyai suatu sistem norma yang sama, dan karena itu juga suatu rasa identitas golongan (Koentjaraningrat, 2002:153). Menurut Winarno (1980:85), gaya hidup dapat diasumsikan sebagai cara-cara bertindak yang sering disebut mekanisme penyesuaian yakni cara-cara itu menjadi cara-cara bertindak yang bersifat kebiasaan. Cara-cara itu pada kenyataannya didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, gaya hidup seseorang itu merupakan gambaran dari watak, status, perilaku, dan peranannya dalam masyarakat. Berbeda dengan Kartodirdjo (1987:53), gaya hidup merupakan suatu produk dari stratifikasi sosial sehingga faktor status, kedudukan, dan kekayaan dapat membentuk struktur gaya hidup. Gaya hidup ini pada hakekatnya akan membentuk suatu eksklusifme yang tidak lain bertujuan hendak membedakan status antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya dalam suatu stratifikasi sosial. Robert Redfield, seorang antropolog yang pernah melihat tentang gaya hidup petani desa sebagaimana dikutip oleh Danandjaja (1994:47) menyatakan bahwa gaya hidup petani desa sebenarnya adalah semacam human type atau tipe manusia yang dapat dikenal dengan segera, agak tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama, dan timbul sebagai akibat peradaban (civilization). Gaya hidup semacam ini mungkin dikembangkan sebagai akibat adanya adaptasi dari sifat masyarakat folk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baru yang diakibatkan oleh timbulnya kota. Selain itu, Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Menno (1994:44-45) juga mengemukakan bahwa komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional, sehingga hubungan-hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented seperti yang terdapat dalam komunitaspedesaan yang mengandalkan hubungan-hubungan yang emosional dan primer, di mana orang saling mengenal secara pribadi dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Di kota orang saling mengenal hanya dalam hubungan dengan aspek-aspek tertentu saja yang berdasarkan perhatian dan kepentingan. Akibat banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi kepada sasaran (goal) dan pencapaian (achievement), maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan kepada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gaya hidup adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat perkotaan telah menjadikan barang-barang ataupun jasa sebagai identitas mereka. Barang dan jasa dikonsumsi bukan dikarenakan kebutuhan mereka, melainkan hanya sebatas memenuhi keinginan dan penunjuk identitas sosial mereka. Pola konsumsi masyarakat perkotaan ini telah mengubah nilai suatu produk yang awalnya memiliki nilai fungsional menjadi memiliki nilai simbolis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Secara umum memang memperlihatkan bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuai dengan kelas, di mana integrasi ke dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikansecara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis, di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesoris, akan tetapi barang-barang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting, di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktek (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi golongan kelas menengah atas citra yang melekat pada suatu produk merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (Irwan Abdullah, 2006:33-34). Dalam mengkonsumsi atau dalam memilih produk mana yang akan dikonsumsi, konsumen sebenarnya memiliki kebebasan penuh untuk memilihnya, walaupun kebebasan itu sendiri dalam beberapa kasus agak rancu atau apa yang oleh Zukin dan Maguire (2004:177) disebut sebagai “Democratized desire”. Democratizeddesire adalah demokrasi yang didikte, konsumen seolah-olah memiliki kebebasan memilih padahal pilihan-pilihan tersebut diatur sepenuhnya oleh produsen, misalnya melalui iklan, sehingga kegiatan konsumsi cenderung lebih sebagai keharusan daripada sebuah pilihan. Kebebasan mengkonsumsi seharusnya adalah setiap manusiadapat mengkonsumsi apapun yang ia suka, asal ia mempunyai akses untuk itu, namun pemilihan ini juga tidak sepenuhnya atas kemauan konsumen tersebut, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh norma di masyarakat tempat ia tinggal. Ungkapan “you are what you drive” adalah gambaran bahwa produk apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan “siapa” diri kita atau “posisi” kita di masyarakat, oleh karena itu dalam pemilihan produk yang akan dikonsumsi seseorang cenderung akan memperhatikan nilai atau makna dalam produk itu (Sopingi, 1995). Hal hampir senada juga diungkapkan oleh David Chaney (1996) yang menyatakan bahwa dalam dunia modern gaya hidup kita membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan kekayaan, serta posisi sosial kita. Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi berlangsung dengan sangat pesat. Munculnya radio, televisi, dan internet menyebabkan batas ruang antara satu negara dengan negara lainnya menjadi tidak ada (Piliang, 1998:81). Keadaan ini membuat transfer kebudayaan menjadi sangat cepat. Salah satu akibat dari perpindahan budaya dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya ialah munculnya berbagai gaya hidup yang dipengaruhi oleh kegiatan konsumsi terhadap barang, jasa, dan aktivitas-aktivitas waktu luang. Kegiatan konsumsi tersebut memunculkan apa yang disebut budaya konsumen, di mana proses konsumsi dilihat sebagai perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury, 1998:3). Oleh Lury budaya konsumen diartikan sebagai “bentuk budaya materi” yakni budaya pemanfaatan benda-benda dalam masyarakat Eropa-Amerika kontemporer. Kini, apa yang dinikmati oleh masyarakat EropaAmerikakontemporer tersebut yang notabene adalah negara kaya ditiru oleh masyarakat dunia lain, termasuk kita. Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (life style). Justruvmenurut Lury (1998), proses pembentukan gaya hiduplah yang merupakan hal terbaik yang mendefinisikan budaya konsumen. Dalam budaya konsumen kontemporer, istilah itu bermakna individualitas, pernyataan diri, dan kesadaran diri. Dalam hal ini, tubuh, pakaian, waktu senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah, mobil, pilihan liburan, dan lain-lain menjadi indikator cita rasa individualitas dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Orang tidak lagi berkomunikasi secara verbal dengan kata-kata, melainkan dengan bentuk komunikasi yang baru yang tidak mengharuskan setiap individu harus saling mengenal untuk mengetahui siapa mereka. Bentuk komunikasi inilah yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi trend sebagai ciri masyarakat modern itu tadi. Selera dalam pemilihan barang-barang konsumsi menjadi sedemikian penting karena ini akan berkaitan dengan siapa saja seseorang itu akan diterima bergaul, karena terdapat kecenderungan bahwa individu hanya akan “diterima” oleh orang dengan kelas sosial yang sama. Fenomena ini tentu paling ketara ada di lingkungan masyarakat golongan kelas menengah atas yaitu mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan primernya. Sebenarnya gejala seperti ini walaupun sedikit juga terjadi digolongan bawah, namun gejala tersebut sukar diamati karena kadarnya sangat kecil (Fernando, 2006:114-115). Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, akan tetapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin (Baudrillard, 2004). Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Lebih lanjut dijelaskan Max Weber bahwa kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image dimata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Untuk merefleksikan image inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, danaction. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resourcesyang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm). Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan, gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material, kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Kamanto Sunarto, 1993:93). Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat). Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama teman-temannya, ada yang senang menyendiri, ada yang berpergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang (http://frommarketing.blogspot.com/2009/08/definisi-gayahidup.html). Status sosial seseorang atau sekelompok warga terungkap dari gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan tindakan dan interaksi sosial yang dilembagakan. Gaya hidup tertentu menjadi lambang suatu status sosial. Artinya, gaya hidup tersebut sudah menjadi ciri yang melekat pada status sosial tertentu (M. Sitorus, 2000:101). Munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan gaya hidup dan cara hidup (style of life dan way of life), baik dalam hal pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku maupun pandangan mengenai dunia sekitarnya (M. Sitorus, 2003:93). Menurut Parsudi Suparlan (1996), setiap makhluk sosial memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan danpengalamannya. Dan itu dijadikan kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong suatu perilaku. Pernyataan yang dilontarkan oleh Suparlan tadi tentunya dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat perilaku tiap-tiap individu ketika melakukan interaksi yang efektif. Semua itu ditujukan untuk mewujudkan sikap, pikiran, dan perasaan sehingga dapat tergambarkan perilaku yang khas pada masyarakat tersebut. G. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian kualitatif adalah suatu strategi yang dipilih oleh penulis untuk mengamati suatu fenomena, mengumpulkan informasi dan menyajikan hasil penelitian pada penelitian ini. Menurut Moeleong (2006:6) menjelaskan bahwa: “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk katakata dan bahasa pada suatu konteks, khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah” Sedangkan menurut David Williams (dalam Moleong, 2006:5) menyatakan bahwa: “Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara ilmiah”. Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskripstif ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengindetifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktik-praktik yang berlaku. Dalam metode deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau bidang tertentu. Menetapkan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang mendatang. Jadi kualitatif deskriptif merupakan penelitian jenis penelitian yang digunakan untuk membuat deskriptif, gambaran atau sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat- sifat situasi, kondisi atau fenomena dengan menggunakan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan objek yang diamati secara utuh. Berkaitan dengan penelitian ini, maka penulis ingin memaparkan secara deskriptif tentang gaya hidup masyarakat perkotaan, dalam fenomena Karaoke Keluarga di E-club. B. Teknik Pengumpulan Data Dalam Bungin ( 2007:107 ), metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisi data adalah wawancara secara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet. Data biasanya dicatat dalam tulisan atau direkam melalui tape casset atau video tape recorder untuk pengambilan suara dan gambar. Data tidak sebagai apa yang diberikan oleh alam, tetapi merupakan hasil interaksi penulis dengan sumber data. Hasil penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Sugiyono (2007:137) juga mengemukakan sumber data dapat menggunakan dua (2) sumber, yaitu: 1) Data Primer Adalah Sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Untuk mendapatkan hasil data primer penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti: Wawancara : Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (dalam Bungin, 2007:108). Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut ( Moleong, 2006:186 ). Pada penelitian ini penulis melakukan wawancara tidak terstruktur, dimana peneliti bebas mewawancara dan tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya (dalam Sugiyono, 2008:140). Observasi Bungin ( 2007:115 ) mengemukakan bahwa: “observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit”, Observasi yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data-data sebagai penunjang penelitiannya, menggunakan observasi analisis kondisi di sekitar lokasi penelitian, di untukkan mengidentifikasi informan dan mekanisme yang diterapkan E-club dalam melayani konsumennya. 2) Data Sekunder Adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya melalui orang lain atau dokumen, dan data-data sekunder didapat penulis melalui: a. Company profile E-club Karaoke Keluarga. b. Daftar reservation (buku-buku referensi). c. Draft petunjuk pelaksanaan teknis E-club dalam proses pemenuhan kebutuhan konsumen. C. Narasumber Pada penelitian ini penulis menggunakan narasumber untuk mendapatkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Informan dan Key Informan. Untuk melakukan penelitian diperlukan adanya informan dan key informan untuk mendapatkan data yang diperlukan. Informan Menurut Moleong (2006:132), informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberi informasi tentang suatu situasi dan kondisi latar penelitian. Seorang informan adalah sumber data yang dibutuhkan oleh penulis dalam sebuah penelitian. Sedangkan menurut Bungin ( 2007:108 ), informan adalah: “orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian”. Untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, dimana terlebih dahulu penulis menetapkan siapa saja informannya dan kemudian mendelegasikan tugas dibidangnya yang sesuai dengan tema penelitian. Dalam penelitian ini, penentuan informan dan key informan diperoleh dari kantor E-clb yang bertempat di jalan boulevard key informan dipilih berdasarkan kesesuaian dengan penulis yang akan teliti. Teknis yang digunakan dalam meneliti yaitu dengan mengggunakan wawancara mendalam (indepth interview). Adapun sumber informasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari informan yaitu: 1. Dalam proses penelitian ini, yang menjadi pedoman penulis untuk memilih sebagai informan yaitu masyarakat perkotaan baik yang memilih karaoke sebagai sebuah gaya hidup. 2. Yang tidak kalah pentingnya penulis memilih sebagai informan berikutnya adalah para staff yang bekerja di E-club, penentuan informan ini dikaitkan dengan pola pelayanan di tempat tersebut. Key Informan Key informan merupakan kunci informasi yang memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mendalam untuk bisa menjawab permasalahn yang diteliti oleh penulis. Dalam menentukan key informan haruslah memilih pertimbangan-pertimbangan diantaranya adalah sebagai berikut (Bungin, 2001:101): 1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti; 2. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani; 3. Orang yang bersangkutan bersifat netral dan tidak memihak kemanapun; 4. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa; 5. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Adapun sumber informasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini dari key informan. Dalam proses penelitian ini, yang menjadi pedoman penulis untuk memilih sebagai key informan yaitu Anina selaku PD (Programme Director) di E-club. Pemilihan beliau sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah karena beliau yang memegang penuh seluruh program-program teknis di E-club. Beliau dapat memberikan keterangan dan informasi yang akurat yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penelitian ini. D. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini. Penulis pada penelitian ini menggunakam teknik analisis data Model Miles dan Huberman. Analisis dilakukan pada saat pengumpulan dta berlangsung dan setelah selesai pengumpulan Selanjutnya data periode tertentu. melakukan teknik analisis data guna mencari, menata, dan merumuskan kesimpulan secara sistematis dari catatan hasil wawancara informan dan key informan, serta observasi langsung. Analisis data kualitatif merupakan bentuk analisis yang tidak menggunakan matematik, statistik dan ekonomi ataupun bentuk-bentuk lainnya. Analisis data yang dilakukan terbatas pada teknik pengolahan datanya yang kemudian penulis melakukan uraian dan penafsiran. Menurut Bogdan dan Biklen ( dalam Moleong, 2006:248 ) mengemukakan bahwa: “Analisis Data Kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang didapat diceritakan kepada orang lain. Dari penjelasan diatas, penulis memahami bahwa analisis data merupakan tahap tahap selanjutnya yang dilakukan peneliti guna mencari, menata, dan merumuskan hipotesis rumusan secara sistematis dari observasi langsung dan lain lain untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang ditelitinya. Dari hasil wawancara secara mendalam dan observasi serta didukung dari data lainnya, maka penulis akan mendapatkan jawaban dari rumusan masalah penelitian yang ada tersebut, yaitu karaoke keluarga sebagai sebuah gaya hidup masyarakat perkotaan. E. Teknik Keabsahan Data Penilaian keabsahan penelitian kualitatif terjadi pada waktu proses pengumpulan data, dan untuk menentukan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah criteria tertentu dan dalam memeriksa keabsahan data yang diperoleh maka penulis menggunakan teknik triangulasi data. Dalam Moleong (2005:330), “triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan yang lain. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam meneliti dibutuhkan keabsahan agar penelitian tersebut dapat dipercaya kredibilitasnya”. Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi teknik. Menurut Sugiyono (2007:274, triangulasi teknik adalah menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Dimana penulis menggunakan wawancara lalu dicek dengan observasi, atau dokumenter. Dalam Sugiyono (2007:274), teknik triangulasi terdapat 3 macam teknik triangulasi, yaitu: triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Kredibilitas pada penelitian kualitatif dapat menentukan proses dan hasil akhir sehingga dapat diterima dan dipercaya H. Sistematika Penulisan Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Berisi tentang studi pustaka/tinjauan pustaka. Bab III : Berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, Dalam Bab ini secara umum digambarkan letak geografis dan keadaan alam lokasi penelitian, keadaan penduduk atau demografi, mata pencaharian, serta sistem kepercayaan Bab IV : Berisi tentang hasil dan pembahasan, yang diperoleh peneliti berdasarkan data di lapangan. Bab V :Berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Life Style: Sebuah Fenomena Kebudayaan Masyarakat Perkotaan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sangat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan, berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama kelahirannya (seperti misalnya makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:180). Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang golongan sosial tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu (Koentjaraningrat, 2002:150-151). Golongan sosial dapat terjadi karena manusia-manusia secara claster mempunyai suatu gaya hidup yang khas, dan karena berdasarkan hal itu mereka dipandang oleh orang lain sebagai manusia yang menduduki suatu lapisan tertentu dalam masyarakat. Lapisan itu dapat dianggap lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari sudut orang yang memandang tadi. Karena warganya mempunyai gaya hidup khas yang sama, maka suatu lapisan atau klas sosial tentu dapat juga dianggap mempunyai suatu sistem norma yang sama, dan karena itu juga suatu rasa identitas golongan (Koentjaraningrat, 2002:153). Menurut Winarno (1980:85), gaya hidup dapat diasumsikan sebagai caracara bertindak yang sering disebut mekanisme penyesuaian yakni cara-cara itu menjadi cara-cara bertindak yang bersifat kebiasaan. Cara-cara itu pada kenyataannya didasarkan pada pengalaman-pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, gaya hidup seseorang itu merupakan gambaran dari watak, status, perilaku, dan peranannya dalam masyarakat. Berbeda dengan Kartodirdjo (1987:53), gaya hidup merupakan suatu produk dari stratifikasi sosial sehingga faktor status, kedudukan, dan kekayaan dapat membentuk struktur gaya hidup. Gaya hidup ini pada hakekatnya akan membentuk suatu eksklusifme yang tidak lain bertujuan hendak membedakan status antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya dalam suatu stratifikasi sosial. Robert Redfield, seorang antropolog yang pernah melihat tentang gaya hidup petani desa sebagaimana dikutip oleh James Danandjaja (1994:47) menyatakan bahwa gaya hidup petani desa sebenarnya adalah semacam human type atau tipe manusia yang dapat dikenal dengan segera, agak tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama, dan timbul sebagai akibat peradaban (civilization). Gaya hidup semacam ini mungkin dikembangkan sebagai akibat adanya adaptasi dari sifat masyarakat folk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baru yang diakibatkan oleh timbulnya kota. Selain itu, Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Menno (1994:4445) juga mengemukakan bahwa komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional, sehingga hubungan-hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented seperti yang terdapat dalam komunitas pedesaan yang mengandalkan hubungan-hubungan yang emosional dan primer, di mana orang saling mengenal secara pribadi dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Di kota orang saling mengenal hanya dalam hubungan dengan aspek- aspek tertentu saja yang berdasarkan perhatian dan kepentingan. Akibat banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi kepada sasaran (goal) dan pencapaian (achievement), maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan kepada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gaya hidup adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat perkotaan telah menjadikan barangbarang ataupun jasa sebagai identitas mereka. Barang dan jasa dikonsumsi bukan dikarenakan kebutuhan mereka, melainkan hanya sebatas memenuhi keinginan dan penunjuk identitas sosial mereka. Pola konsumsi masyarakat perkotaan ini telah mengubah nilai suatu produk yang awalnya memiliki nilai fungsional menjadi memiliki nilai simbolis. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup, di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktek telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi, di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Secara umum memang memperlihatkan bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuai dengan kelas, di mana integrasi ke dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis, di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesoris, akan tetapi barangbarang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting, di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktek (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi golongan kelas menengah atas citra yang melekat pada suatu produk merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (Irwan Abdullah, 2006:3334). Dalam mengkonsumsi atau dalam memilih produk mana yang akan dikonsumsi, konsumen sebenarnya memiliki kebebasan penuh untuk memilihnya, walaupun kebebasan itu sendiri dalam beberapa kasus agak rancu atau apa yang oleh Zukin dan Maguire (2004:177) disebut sebagai “Democratized desire”. Democratized desire adalah demokrasi yang didikte, konsumen seolah-olah memiliki kebebasan memilih padahal pilihan-pilihan tersebut diatur sepenuhnya oleh produsen, misalnya melalui iklan, sehingga kegiatan konsumsi cenderung lebih sebagai keharusan daripada sebuah pilihan. Kebebasan mengkonsumsi seharusnya adalah setiap manusia dapat mengkonsumsi apapun yang ia suka, asal ia mempunyai akses untuk itu, namun pemilihan ini juga tidak sepenuhnya atas kemauan konsumen tersebut, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh norma di masyarakat tempat ia tinggal. Ungkapan “you are what you drive” adalah gambaran bahwa produk apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan “siapa” diri kita atau “posisi” kita di masyarakat, oleh karena itu dalam pemilihan produk yang akan dikonsumsi seseorang cenderung akan memperhatikan nilai atau makna dalam produk itu (Sopingi, 1995). Hal hampir senada juga diungkapkan oleh David Chaney (1996) yang menyatakan bahwa dalam dunia modern gaya hidup kita membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan kekayaan, serta posisi sosial kita. Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi berlangsung dengan sangat pesat. Munculnya radio, televisi, dan internet menyebabkan batas ruang antara satu negara dengan negara lainnya menjadi tidak ada (Piliang, 1998:81). Keadaan ini membuat transfer kebudayaan menjadi sangat cepat. Salah satu akibat dari perpindahan budaya dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya ialah munculnya berbagai gaya hidup yang dipengaruhi oleh kegiatan konsumsi terhadap barang, jasa, dan aktivitas-aktivitas waktu luang. Kegiatan konsumsi tersebut memunculkan apa yang disebut budaya konsumen, di mana proses konsumsi dilihat sebagai perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury, 1998:3). Oleh Lury budaya konsumen diartikan sebagai “bentuk budaya materi” yakni budaya pemanfaatan benda-benda dalam masyarakat Eropa-Amerika kontemporer. Kini, apa yang dinikmati oleh masyarakat Eropa-Amerika kontemporer tersebut yang notabene adalah negara kaya ditiru oleh masyarakat dunia lain, termasuk kita. Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (life style). Justru menurut Lury (1998), proses pembentukan gaya hiduplah yang merupakan hal terbaik yang budaya konsumen mendefinisikan budaya konsumen. Dalam kontemporer, istilah itu bermakna individualitas, pernyataan diri, dan kesadaran diri. Dalam hal ini, tubuh, pakaian, waktu senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah, mobil, pilihan liburan, dan lain-lain menjadi indikator cita rasa individualitas dan gaya hidup seseorang. Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Orang tidak lagi berkomunikasi secara verbal dengan kata-kata, melainkan dengan bentuk komunikasi yang baru yang tidak mengharuskan setiap individu harus saling mengenal untuk mengetahui siapa mereka. Bentuk komunikasi inilah yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi trend sebagai ciri masyarakat modern itu tadi. Selera dalam pemilihan barang-barang konsumsi menjadi sedemikian penting karena ini akan berkaitan dengan siapa saja seseorang itu akan diterima bergaul, karena terdapat kecenderungan bahwa individu hanya akan “diterima” oleh orang dengan kelas sosial yang sama. Fenomena ini tentu paling ketara ada di lingkungan masyarakat golongan kelas menengah atas yaitu mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan primernya. Sebenarnya gejala seperti ini walaupun sedikit juga terjadi di golongan bawah, namun gejala tersebut sukar diamati karena kadarnya sangat kecil (Fernando, 2006:114-115). Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya, yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, akan tetapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin (Baudrillard, 2004). Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Lebih lanjut dijelaskan Max Weber bahwa kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, sementara status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Banyak definisi yang disodorkan mengenai gaya hidup. Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Untuk merefleksikan image inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan action. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikutikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan resources yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-0135.htm). Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan, gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material, kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa yang tercermin kelompok status merupakan pendukung adat yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Kamanto Sunarto, 1993:93). Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat). Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama teman-temannya, ada yang senang menyendiri, ada yang berpergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Status sosial seseorang atau sekelompok warga terungkap dari gaya hidupnya. Gaya hidup merupakan tindakan dan interaksi sosial yang dilembagakan. Gaya hidup tertentu menjadi lambang suatu status sosial. Artinya, gaya hidup tersebut sudah menjadi ciri yang melekat pada status sosial tertentu (M. Sitorus, 2000:101). Munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan gaya hidup dan cara hidup (style of life dan way of life), baik dalam hal pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku maupun pandangan mengenai dunia sekitarnya (M. Sitorus, 2003:93). Menurut Parsudi Suparlan (1996), setiap makhluk sosial memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya. Dan itu dijadikan kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong suatu perilaku. Pernyataan yang dilontarkan oleh Suparlan tadi tentunya dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat perilaku tiap-tiap individu ketika melakukan interaksi yang efektif. Semua itu ditujukan untuk mewujudkan sikap, pikiran, dan perasaan sehingga dapat tergambarkan perilaku yang khas pada masyarakat tersebut. B. Karaoke: Sejarah Perkembangannya Sejarah karaoke pada awalnya berasal dari jepang. Secara etimologi karaoke berasal dari bahasa jepang, yaitu kata kara yang merupakan singkatan dari karappo yang berarti kosong, dan oke singkatan dari okesutora yang berarti orkestra. Jadi secara harafiah karaoke berarti melodi yang tidak ada vokalnya. Karaoke tidak hanya menyebar di seluruh Jepang namun juga di Korea, China, Asia Tenggara, bahkan Amerika Serikat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika istilah karaoke ini tidak hanya tertera dalam kamus bahasa Jepang, namun juga Kamus Bahasa Inggris Oxford. Pengertian karaoke menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford adalah: “A type of entertainment in which a machine plays only the music of popular songs so that people can sing the words themselves.” Terjemahan: Sebuah jenis hiburan dimana sebuah mesin memainkan hanya musik dari lagu-lagu popular sehingga orang-orang dapat menyanyikan lirik lagu tersebut sendiri. Dari beberapa pengertian karaoke di atas dapat diartikan bahwa karaoke adalah melodi yang hanya terdiri dari musik tanpa vokal, dan vokalnya dinyanyikan oleh seseorang bernyanyi sambil mengikuti melodi tersebut mendendangkan lirik yang ditampilkan di layar televisi atau buku. Karaoke muncul pertama kali di kota Kobe, sebuah daerah di wilayah Kansai. Kemunculan karaoke tidak lepas dari peranan utagoe kissa, atau dalam bahasa Inggris disebut song-coffee shop. Utagoe kissa telah menjadi kegemaran di Jepang sejak pemerintahan Taisho (1912-1926) dan semakin meluas antara tahun 1950 hingga tahun 1960. Utagoe kissa adalah bar tradisional yang dilengkapi dengan piano atau gitar, yang sejak dulu telah menjadi pusat hiburan bagi pelaku bisnis Jepang sebagai sarana pelepas stres. Ada empat versi mengenai sejarah kemunculan karaoke yang penulis dapatkan. Keempat versi tersebut menyebutkan bahwa karaoke berasal dari sebuah utagoe kissa di kota Kobe sekitar tahun 1970an. Versi pertama dari sejarah kemunculan karaoke adalah ketika suatu hari pemain gitar di salah satu utagoe kissa di Kobe tidak bisa datang karena sakit. Pemilik utagoe kissa tersebut kemudian menyiapkan alat perekam beserta rekaman dari permainan sang gitaris, dan sang vokalis bernyanyi dengan diiringi rekaman tersebut. Kejadian itu dianggap sebagai asal terciptanya karaoke.Semenjak itu karaoke berkembang dan dikomersialisasikan di seluruh Jepang. Versi kedua menyebutkan bahwa karaoke berasal dari salah satu utagoe kissa di Kobe, dimana manajemen utagoe kissa tersebut merekam sebuah rekaman yang digunakan dalam sesi latihan para penyanyi profesional. Pada tahun 1976, sebuah perusahaan elektronik menjual sebuah mesin bernama “Karaoke 8”, yang terdiri dari delapan pita rekaman berisi empat buah lagu. Mesin ini kemudian berkembang dengan teknologi laserdisk, VHD, CD, dan sebagainya, sehingga peralatan ini menjadi sebuah standar hiburan para sarariman. Versi ketiga menyebutkan bahwa penemu karaoke adalah Kisaburo Takashiro, yang merupakan seorang pemilik dari sebuah toko rekaman di Kobe pada tahun 1970an. Takashiro mengetahui bahwa sebuah utagoe kissa di dekat toko rekaman miliknya menyewa seorang pianis untuk mengiringi seorang penyanyi dengan bayaran 500 hingga 1000 yen untuk setiap lagunya. Takashiro kemudian menciptakan sebuah mesin yang terdiri dari 400 rekaman lagu, memasangnya di utagoe kissa tersebut, dan memberi harga 100 yen untuk setiap lagunya. Mesin tersebut semakin populer diantara Versi terakhir mengenai sejarah kemunculan karaoke adalah ketika sekitar tahun 1970an, seorang pemain drum dan penyanyi bernama Inoue Daisuke yang selalu tampil di sebuah utagoe kissa, diminta oleh tamu utagoe kissa tersebut untuk merekam permainannya sehingga tamu tersebut dapat menyanyi bersama dalam piknik perusahaan. Selanjutnya Inoue selalu dibanjiri pesanan untuk meminjamkan rekaman permainannya. Menyadari potensi yang menguntungkan ini, Inoue kemudian menciptakan alat perekam yang dapat memainkan sebuah musik dengan memasukkan koin 100 yen. Pada awal kemunculannya karaoke dikritik karena kurangnya suasana hidup (live atmosphere) dari sebuah penampilan. Selain itu, karaoke juga dianggap mahal karena pada tahun 1970an 100 yen bisa digunakan untuk membeli dua buah paket makan siang. Namun lama kelamaan penemuan ini dianggap sebagai sebuah alat menghibur, dan karena semakin populer, mesin karaoke ini kemudian banyak ditempatkan di berbagai tempat, seperti restoran, kamar hotel, hingga akhirnya muncul karaoke box. Atas penemuannya ini, Inoue dianugerahi penghargaan Nobel tahun 2004. Dari keempat versi sejarah kemunculan karaoke tersebut, keempatnya menyebutkan kemajuan teknologi karaoke yang semakin berkembang. Karaoke yang awalnya hanya berupa sebuah alat perekam dengan rekaman musik lagulagu terkenal, semakin berkembang dengan menjadi piringan cakram (compact disc) yang dapat mencari awal lagu dengan segera. Perkembangan ini juga memungkinkan penambahan gambar video untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan tiap lagu. Gambar video tersebut ditampilkan di layar televisi bersamaan dengan lirik lagu tersebut. Dengan inovasi teknologi seperti video disk, laser disk, CD bergambar, karaoke telah berkembang menjadi sebuah hiburan yang besar. Beragamnya teknologi karaoke keluarga membuat banyak keluarga dapat menikmati karaoke di rumah. Namun hal ini mendapat rintangan karena rumah-rumah di Jepang kebanyakan terletak berdekatan dan masih banyak yang terbuat dari kayu, sehingga akan mengganggu tetangga jika menggunakan pengeras suara di malam hari. Mencari peluang dari kegagalan tersebut, akhirnya diciptakan karaoke box, sebuah fasilitas di pinggir jalan dengan banyak ruang dan pintu tertutup. Karaoke box pertama muncul tahun 1984 di sebuah daerah di pinggiran perfektur Okayama, sebelah barat wilayah Kansai, terbuat dari mobil box yang dimodifikasi. Semenjak itu, karaoke box telah dibangun di seluruh Jepang, lengkap dengan peralatan kedap suara dan dengan teknologi yang semakin maju. Kehadiran karaoke ini disambut baik oleh keluarga-keluarga Jepang karena dengan mengunjungi karaoke box mereka bisa menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Hubungan antar anggota keluarga menjadi kian erat dan harmonis dengan seringnya mereka menghabiskan waktu bersama. Namun, di lain pihak tidak urung kehadiran karaoke box juga menuai hujan kritik. Ruangan tertutup yang tidak begitu luas ini disinyalir dapat digunakan untuk berbuat maksiat, terutama oleh anak-anak muda. Karaoke box lalu menyebar ke negara-negara Asia lainnya, terutama di negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Di setiap negara, karaoke box mempunyai sebutan yang berbeda-beda. Di Cina, termasuk Taiwan, sebutan karaoke box adalah KTV alias Karaoke Television, merujuk pada MTV yaitu Music Television. Di Filipina, karaoke box terkenal dengan sebutan Videoke, sedangkan di Korea Selatan sebutan yang dipakai adalah Noraebang. Istilah karaoke box selain di Jepang juga dipakai di Hongkong. Di beberapa negara seperti di Taiwan dan Cina kehadiran KTV nyatanya bukan hanya berkisar pada masalah hiburan, akan tetapi juga menyangkut urusan bisnis. Para pelaku usaha banyak menggunakan KTV sebagai tempat untuk melakukan kesepakatan bisnis. Di Hongkong lain lagi, di restoran-restoran tradisional Cina mereka menyediakan ruang karaoke yang disebut mahjong karaoke, di mana di ruangan tersebut juga terdapat tempat untuk bermain mahjong, sehingga saat para orang tua asyik bermain mahjong anak-anak mereka dapat berkaraoke tanpa mengganggu orang tua mereka. Selain sebagai hiburan, karaoke juga digunakan untuk proses belajar. Dengan menyanyikan lagu terutama lagu yang berbahasa Inggris yang disertai teks dapat memperlancar kemampuan berbahasa Inggris mereka. C. Karaoke dan Rekonstruksi Sosial Bagi yang hobinya bernyanyi, karaoke memang menjadi media yang pas sebagai pelampiasan. Belakangan ini karaoke selalu diidentikkan dengan alkohol, hostess, bahkan drug, maka untuk melenyapkan stereotipe ini muncullah yang namanya karaoke keluarga. Di Makassar sendiri, karaoke dengan konsep keluarga sudah muncul sejak tahun 2006 lalu dengan kehadiran NAV di Jalan Boulevard. Ternyata kehadirannya cukup mendapat respon yang lumayan positif. Sejak itu hadir pula karaoke keluarga yang menawarkan kelebihannya masing-masing. Diantaranya NAV di Boulevard, Happy Puppy di Panakukang, Inul Vista di Panakukang, dan E-club di Jalan Boulevard. Namun yang pasti bila menyebut karaoke keluarga, pastilah terbebas dari alkohol, hostess, dan drug. Itulah sebenarnya arti karaoke dengan konsep keluarga. Jadi, kalau misalnya ada tempat karaoke yang masih menyediakan alkohol di atas 5%, itu namanya bukan karaoke keluarga. Selain itu, karaoke keluarga juga tidak menyediakan pendamping wanita untuk menemani saat berkaraoke. Setiap ruangan karaoke keluarga tidak boleh dikunci. Pada pintunya juga diberi kaca transparan gunanya untuk memastikan bahwa pengunjung tidak berpotensi melakukan hal yang tidak-tidak. Dunia karaoke saat ini sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Karaoke kini menjelma menjadi sarana hiburan yang sehat bagi keluarga. Bahkan, keberadaan club-club karaoke bertema karaoke keluarga ini sedikit demi sedikit mengikis citra negatif karaoke yang acapkali dihakimi sebagai sarang kemaksiatan. Harus diakui bagi sebagian orang terutama perempuan apalagi anak-anak, mengunjungi club karaoke adalah satu hal yang menakutkan. Di samping stempel negatif yang sudah terlanjur menempel pada eksistensi club karaoke, ada pendapat yang menyatakan bahwa tempat karaoke umumnya lebih banyak dikunjungi oleh laki-laki dewasa. Alhasil, muncul cap negatif untuk perempuan yang berkunjung ke tempat karaoke. Menyiasati kenyataan seperti itu, beberapa pengusaha tempat karaoke mengubah penampilan tempat karaoke yang mereka kelolah dan hadir dalam bentuk yang lebih bersahabat. Tidak cuma berusaha memperbaiki citra karaoke, tempat-tempat karaoke jenis ini juga mengincar pasar yang lebih luas, tidak tersegmentasi pada laki-laki dewasa. Berbagai perubahan yang menyangkut bangunan, sarana fisik, dan layanan dilakukan untuk mengubah atmosfir tempat karaoke dalam wujud yang lebih bersahabat. Umumnya karaoke keluarga bisa dikenali dengan ruangan- ruangan karaoke yang terang dengan pintu yang tidak terkunci dan dipasangi kaca sehingga lebih bisa diawasi. Tidak hanya tampil dengan koleksi yang lengkap dan fasilitas karaoke yang modern dan canggih, aksesoris desain interiorpun dibuat penuh warna. Lebih penting lagi, pengelola karaoke juga jelas-jelas melarang pengunjungnya untuk aktivitas prostitusi dan minuman keras. Gantinya, pengelola karaoke keluarga umumnya menyediakan makanan ataupun minuman yang penampilan seperti terbatas pada minuman ringan dan jus. Dengan ini, bernyanyi di karaoke keluarga menjadi alternatif pelepas jenuh sekaligus pengisi waktu luang yang aman dan nyaman bagi perempuan, apalagi bila berkunjung bersama suami dan anak-anak. Menyadari pangsa pasar yang mencakup rentang usia yang lebih luas, koleksi lagu yang tersedia di karaoke keluarga umumnya lebih lengkap dan bervariasi, meliputi lagu lama dan lagu baru dengan berbagai jenis musik dalam playlist di tiap mesin karaoke mereka. Inilah yang menjadi alasan anak-anak muda dan orang tua bersama anak-anak mereka berkunjung ke karaoke keluarga. Namun, persaingan bisnis ini tidak urung membuat beberapa tempat karaoke keluarga berkompetisi secara tidak sehat. Tidak jarang pengusaha karaoke memasang embel-embel karaoke keluarga. Meskipun kenyataannya tempat karaoke tersebut menjual minuman beralkohol dan bahkan menyediakan layanan “plus-plus”. Konsep karaoke keluarga di Indonesia sebenarnya sudah mulai diterapkan oleh E-club Karaoke Keluarga pada tahun 1992 di Surabaya. Meski mendapat tantangan dan cibiran dari sesama pengelola karaoke pada awalnya, konsep karaoke keluarga justru berkembang dan diikuti pengusaha karaoke lainnya yang akhirnya beralih. Kehadiran tempat-tempat karaoke keluarga sedikit banyaknya memperbaiki image bisnis karaoke. Harus diakui juga karaoke adalah hiburan yang bisa dinikmati oleh siapa saja, mulai anak-anak hingga orang tua. D. Karaoke dan Bentuk Makna Lembaga Keluarga di Indonesia Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious yang gemar bernyanyi, berhak untuk mendapatkan sarana hiburan bernyanyi yang bebas dari simbol-simbol hiburan malam. Pasar inilah yang kemudian ditangkap dengan jeli oleh wirausahawan Santoso Setyadji. Konsep karaoke keluarga untuk pertama kalinya diperkenalkan di Indonesia oleh Santoso Setyadji dengan didirikannya E-club Family Karaoke Box pada tanggal 14 November 1992 di Surabaya. Pada awalnya pelayanan E-club adalah self-service karena mengadopsi cara-cara di Jepang dan Korea. Pengunjung membayar sewa ruangan karaoke terlebih dahulu, membeli makanan dan minuman dengan datang sendiri ke meja penjualan, demikian juga memainkan lagu sendiri dengan mempergunakan automatic disc changer machine. Konsep di E-club selalu diperbaiki seiring perkembangan zaman. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa dengan konsep swalayan dan lebih memilih dilayani. Menggunakan sistem komputer untuk memilih lagu dan memainkan lagu. Karaoke keluarga mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Indonesia. Dari Surabaya, Santoso Setyadji mengembangkan jaringan karaoke keluarga ke Jakarta, Semarang, Samarinda, Balikpapan, Makassar, Yogyakarta, Pontianak, Manado, Banjarmasin, Malang, Bandung, Medan, Palembang, Batam, Cibubur, Jember, Serpong, Salatiga, dan Papua. Pada Januari 2004, Santoso Setyadji dan Eclub Karaoke Keluarga dianugerahi sertifikat Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pelopor karaoke keluarga di Indonesia. E. Sekilas Profil E-club Karaoke Keluarga Meski karaoke telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu, namun teknologi audio visual yang memungkinkan semua orang dapat bernyanyi dengan lirik yang akurat terus mengalami perkembangan. Di E-club deretan lagu atau playlist favorit dapat di browsing pada sebuah layar komputer yang menyatu dengan meja dengan menggunakan mouse dan keyboard, sedangkan remote biasanya digunakan untuk memperkecil dan memperbesar volume suara. Di E-club juga dapat ditemui lebih kurang 50.000 lagu dengan format DVD dan VCD yang kualitas gambarnya sangat memuaskan. Semua klip dan lagu dapat dinikmati dan dinyanyikan lewat layar LCD yang menyatu dengan dinding ruangan yang ukurannya minimal 34 inchi. Dari sisi sound system Eclub patut diacungi jempol, biasanya di tempat lain suara laudspeakernya agak pecah, akan tetapi di E-club ini tidak terjadi walaupun dari ukuran ruangan tetap sama dengan yang lain. E-club tidak hanya mampu memuaskan pengunjung dengan peralatan teknologi yang mutakhir, namun ditunjang pula desain interior keren dan memanjakan mata. Mulai dari lobby, pengunjung sudah menemui ruang tunggu dengan sofa yang empuk dan suguhan video klip di layar LCD. Beranjak dari situ, ada dua pilihan cara menuju ke lantai 1 dan 2, melalui tangga atau lift. Memasuki lantai 2 dan 3, pengunjung akan menemui lorong penuh warna dengan desain penerangan yang low, namun tidak bernuansa mesum melainkan lebih bernuansa modern. Untuk ruangan juga mendapat perhatian khusus, dengan decoration ruangan yang modern yang ditawarkan menjadikan E-club Karaoke Keluarga menjadi tempat bernyanyi yang tercantik. Agar pengunjung tidak bosan, pihak E-club menawarkan decoration yang berbeda-beda pada room-room karaoke. Ada tema White, di mana pengunjung akan merasakan dinginnya kutub utara. Tema Sea World yaitu seperti di bawah kapal laut. Tema Green, pengunjung akan dibawa ke dalam hijaunya buah apel. Tema Japan, akan membuat pengunjung merasakan keindahan ornamen Jepang. Tema Egypt, membuat pengunjung bernyanyi dalam suasana kemewahan kerajaan mesir. Tema Royal Suite Room sendiri pengunjung akan dibawa ke dalam suasana silaunya Las Vegas, serta tentunya berbagai tema room lainnya yang akan membuat pengalaman berkaraoke pengunjung menjadi lebih menarik. E-club sebagai salah satu pemegang prinsip karaoke keluarga yang bersih, mempunyai slogan NO Whisky, NO Hostess, and NO Drug. Saat ini jumlah ruangan karaoke di E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar sebanyak 26 ruangan. Semua ruangan juga dilengkapi dengan jendela besar tembus pandang dengan rancangan yang unik. Ruangan karaoke di Eclub memiliki tingkat privacy yang terbatas. Jendela besar tembus pandang secara tidak langsung membatasi privacy pengunjung. Untuk mempertahankan citra E-club sebagai karaoke keluarga, E-club tidak bisa memberikan privacy yang terlalu bebas. Selain decoration ruangan yang berbeda-beda, E-club juga menawarkan fasilitas karaoke yang terbilang mewah. Layar LCD 34-43 inchi akan menayangkan klip dan teks lagu yang di request. Di dalam ruangan juga disediakan sofa empuk dan peralatan musik seperti ketipung. Dengan koleksi puluhan ribu lagu, mulai lagu Indonesia, Barat, maupun Mandarin pengunjung di jamin tidak akan bosan. Konsep karaoke keluarga yang diusung E-club tentu akan membuat pengunjung merasa nyaman berkaraoke bersama keluarga ataupun teman-teman. Apalagi ada diskon sebesar 50% yang diberikan kepada setiap pengunjung yang datang dari pukul 12.0018.00 dan pukul 23.01-tutup pada hari minggu-kamis. Diskon yang diberikan tersebut adalah sebagai program promo yang disebut Happy Hour. Happy Hour adalah jam-jam tertentu di mana harga sewa ruangan diberi diskon yang sangat menarik. Selain itu, E-club juga mempunyai program membership yang dinamakan Puppy Club. Puppy Club adalah program keanggotaan dari E-club Karaoke Keluarga. Anggota Puppy Club akan mendapat diskon semua transaksi di luar program promosi sebesar 10%. Selain itu, Puppy Club memberikan berbagai penawaran dan fasilitas menarik bagi para anggotanya. Puppy Club berlaku disemua outlet E-club dan Suka-Suka Karaoke Keluarga. Untuk mendaftar menjadi anggota cukup dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 100.000,-. E-club sendiri setiap hari buka dari pukul 12.00-03.00 pagi. Setiap pengunjung yang ingin berkaraoke di E-club akan dikenakan pajak 10% dan service charge 5% dari harga sewa ruangan, begitu juga apabila memesan makanan ataupun minuman dikenakan pajak 10% dan service charge 5% dari harga makanan ataupun minuman yang di pesan. BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Makassar Kota Makassar merupakan kota terbesar di kawasan timur Indonesia. Sejak abad ke-16 kota ini sudah dikenal sebagai pusat pemerintahan khususnya daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Secara administratif kota makassar adalah Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai pusat pemerintahan Kota Makassar. Kota Makassar dengan luas wilayah 175,77 km², terletak di pantai barat semenanjung Selatan pulau Sulawesi berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), 2. Sebelah Selatan dengan wilayah Kabupaten Gowa, 3. Sebelah Timur dengan wilayah Kabupaten Maros, dan 4. Sebelah Barat dengan pesisir pantai Selat Makassar. Kota Makassar (Macassar, Mangkasar, Ujung Pandang (19711999)) adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia dan sekaligus sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Sebagai pusat pelayanan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kota Makassar terletak antara 119°24‟17‟38” Bujur Timur dan 5°8‟6‟19” Lintang Selatan yang berbatasan sebelahutara dengan Kabupaten 49 Maros, sebelah timur Kabupaten Gowa dan sebelah barat adalah Selat Makassar. Ketinggian Kota Makassar bervariasi antara 0 - 25 meter dari permukaan laut, dengan suhu udara antara 20° C sampai dengan 32° C. Kota Makassar diapit dua buah sungai yaitu: Sungai Tallo yang bermuara disebelah utara kota dan Sungai Jeneberang bermuara pada bagian selatan kota. Luas wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi yang meliputi 14 kecamatan, 143 kelurahan, 971 RW dan 4789 RT. Penduduk kota Makassar tahun 2009 tercatat sebagai 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa. Untuk jumlah penduduk kota Makassar pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1.339.374 jiwa yang terdiri dari 661.379 laki-laki dan 677.995 perempuan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio. jenis kelamin penduduk kota Makassar yaitu sekitar 97,55 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 98 penduduk laki-laki. Penyebaran penduduk kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 170.878 atau sekitar 12,76 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Biringkanaya sebanyak 167,741 jiwa atau 12,52 persen. Kecamatan Rappocini sebanyak 151.091 jiwa (11,28 persen) dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 26.904 jiwa (2,01 persen). 50 Tabel Distribusi Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin JUMLAH PENDUDUK 170.878 jiwa KECAMATAN Tamalate LAKI-LAKI PEREMPUAN 84.474 86.404 Rappocini 151.091 jiwa 73.377 77.714 Panakukang 141.382 jiwa 69.996 71.386 Ujung Pandang 26.904 jiwa 12.684 14.220 Makassar 81.700 jiwa 40.233 41.467 Mariso 55.875 jiwa 27.836 28.039 Bontoala 54.197 jiwa 26.432 27.764 Wajo 29.359 jiwa 14.279 15.080 Tamalanrea 103.192 jiwa 50.976 52.216 Manggala 117.075 jiwa 58.451 58.624 Ujung Tanah 46.688 jiwa 23.380 23.380 Biringkanaya 167.741 jiwa 83.203 84.538 Tallo 134.294 jiwa 67.247 67.047 58.998 jiwa 28.811 30.187 661.379 677.995 Mamajang JUMLAH 1.339.374 jiwa Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar Tahun 2011 a. Pendidikan Penduduk Pembangunan bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan sumber daya manusia suatua Negara akan menentukan ekonomi dan sosial, karena manusia pelaku aktif dari seluruh kegiatan tersebut. Pada tahun 2010/2011 di kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 452 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.033 orang dan jumlah murid sebanyak 144.499 orang. Jumlah SLTP sebanyak 179 unit dengan guru sebanyak 4.268 orang dan murid mencapai 61.107 orang. Jumlah SLTA 116 unit dengan jumlah guru sebanyak 5.595 orang dengan jumlah murid sebanyak 35.567 orang. 51 b. Agama Penduduk Mayoritas penduduk Makassar adalah pemeluk agama Islam, terdapat banyak bangunan Masjid sebagai sarana peribadatan bagi umat Muslim. Pada tahun 2010 masing-masing berjumlah 923 buah dan mushalla 48 buah. Tempat peribadatan Kristen berupa gereja masing-masing 137 buah gereja protestan dan 8 buah gereja katholik. Tempat peribadatan untuk agama Buddha dan Hindu masing-masing berjumlah 26 buah dan 3 buah. Disamping itu juga terdapat berbagai upacara-upacara adat yang berhubungan dengan nilai keagamaan, misalnya saja setiap anak yang lahir dilangsungkan acara-acara yang berhubungan dengan keagamaan, dimana dalam beberapa hari sesudah bayi dilahirkan, dilakukan upacara member nama yang dikenal dengan „aqikah‟ yakni penyembelihan hewan oleh Orang Tua sang bayi. Makassar sebagai salah satu Kota besar yang memiliki sifat penduduk yang heterogen baik dari segi agama, suku, dan budaya, adanya sifat heterogenitas ini pula yang dapat memungkinkan timbulnya banyak masalah-masalah sosial, untuk itu selalu dibutuhkan toleransi, saling menghormati, dan saling menghargai antar umat beragama agar terciptanya suasana masyarakat yang integratif. Penataan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam meningkatnya keimanan dan ketakwaan, makin meningkatnya kerukunan hidup beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan pembangunan dibidang spiritual dapat dilihat dari banyaknya sarana peribadatan, tingkat, keimanan dan ketakwaan masing-masing pemeluk agama, serta sikap toleransi antar umat beragama yang menggambarkan kerukunan antar pemeluk agama dan senantiasa menciptakan suasana yang selalu aman serta kondusif. 52 c. Sarana dan Prasarana Kota Makassar bisa dikategorikan sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sebab Makassar memiliki banyak sarana perekonomian yang terbuka tiap harinya. Yakni Shopping Mall, Supermarket dalam ukuran besar maupun kecil, berbagai industri, took- toko, dan juga termasuk pasar serta pedangang kecil-kecilan. Sarana Jalan di sepanjang kota Makassar tengah dilakukan upaya alternatif jalan dengan melakukan pelebaran badan jalan dan penambahan jembatan laying atau flyover yang dibangun untuk meretas kemacetan yang hampir terjadi tiap harinya. Sedangkan untuk saran komunikasi, penduduk kota Makassar telah difasilitasi dengan beragam pemancar untuk jaringan telivisi, radio dan telepon. B. Profil Informan Dalam rangka untuk mendapatkan data yang akurat dan dijamin kualitasnya maka sebelum menentukan subjek/informan penelitian akan dilakukan overview atau penjajakan terhadap informan yang dianggap representatif memberikan informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya barulah ditentukan subjek/informan. Informan awal dipih orang yang dapat membuka jalan untuk menentukan informan berikutnya dan berhenti apabila data yang dibutuhkan sudah cukup. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara dipih secara sengaja yaitu orang yang dianggap dapat memberikan informasi terhadap masalah, melalui wawancara mendalam (indept interview). Informan yang dipilih berasal dari berbagai kalangan masyarakat perkotaan yang terdapat di E-club Kota Makassar. Berikut profil informan; 53 Daftar Nama Informan 1. Nama Umur Pekerjaan Agama 2. Nama Umur Pekerjaan Agama 3. Nama Umur Pekerjaan Agama 4. Nama Umur Pekerjaan Agama 5. Nama Umur Pekerjaan Agama 6. Nama Umur Pekerjaan Agama 7. Nama Umur Pekerjaan Agama 8. Nama Umur Pekerjaan Agama 9. Nama Umur Pekerjaan Agama 10. Nama Umur Pekerjaaan Agama 11. Nama Umur Pekerjaan Agama 12. Nama Umur Pekerjaan Agama : Aisyah Chadijah : 23 Tahun : Mahasiswa : Islam : Rismayanti : 28 Tahun : Pegawai Swasta : Kristen Protestan : Wawan Rahmadi : 17 Tahun : Pelajar (SMA) : Islam : Hannum Sekar Sari : 24 Tahun : Mahasiswi : Islam : Maya Ayu Setianingsi : 29 Tahun : Pegawai Negeri Sipil : Islam : Lina Mawardi : 18 Tahun : Pelajar (SMA) : Islam : Gunadi Syukur : 53 Tahun : Pegawai Swasta : Islam : Hanatri Putri : 26 Tahun : Mahasiswi (Pascasarjana) : Islam : Sella Hardita : 29 Tahun : SPG (Sales Promotion Girl) : Islam : Rahmadi Setiawan : 34 Tahun : Mahasiswa (Pascasarjana) : Islam : Agus Hendarto : 18 Tahun : Mahasiswa (Pascasarjana) : Islam : Erwin Eka Saputra : 23 Tahun : Pegawai Swasta : Islam 54 13. Nama Umur Pekerjaan Agama 14. Nama Umur Pekerjaan Agama 15. Nama Umur Pekerjaan Agama : Akbar Septa : 23 Tahun : Pegawai Negeri Sipil : Islam : Indah Mayland Sari : 19 Tahun : Mahasiswi : Islam : Uly Dyaningsih Sari : 29 Tahun : Pegawai Swasta : Islam 55 BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Karaoke dan Masyarakat Perkotaan Saat ini E-club Karaoke Keluarga di Kota Makassar merupakan salah satu tempat hiburan yang banyak dipilih oleh sebagian masyarakat sebagai tempat mereka menghabiskan sebagian waktu mereka untuk bernyanyi. Para masyarakat ini biasanya berangkat dengan berbagai alasan masing-masing tentang mengapa mereka memilih karaoke sebagai gaya hidup. Berikut adalah beberapa alasan yang mendorong masyarakat berkaraoke; a. Alasan Gengsi Perkembangan yang bisa dianggap menonjol dalam pergeseran gaya hidup yang melanda kalangan anak muda Indonesia adalah gaya hidup mereka yang secara umum cenderung dipengaruhi oleh gaya hidup Barat. Saat ini gaya hidup yang berasal dari Barat dianggap oleh sebagian masyarakat perkotaan memiliki nilai lebih. Beberapa masyarakat perkotaan yang memiliki gaya hidup “kebarat-baratan” menganggap bahwa mereka itu berasal dari kalangan yang lebih baik bila dibandingkan dengan masyarakat yang masih memegang gaya hidup “ketimur-timuran”. Diserapnya ornamen-ornamen gaya hidup masyarakat di Barat merupakan sebuah cara yang dipakai oleh suatu kelompok masyarakat di Indonesia untuk membedakan dirinya dari kelompok lain. Perbedaan tersebut bertujuan untuk menyadarkan mereka yang tidak mampu “membarat” bahwa mereka berkekurangan, tertinggal, dan terbelakang (Budiman, 2002:250). Secara tidak sadar sebagian Masyarakat Perkotaan telah melakukan perbedaan- 56 perbedaan antara diri mereka dengan masyarakat umum. Selain itu, dalam pergaulannya sebagian masyarakat perkotaan cenderung bergaul dengan individu-individu yang memiliki kesamaan gaya hidup dengan mereka. Bagi sebagian masyarakat perkotaan bergaul dengan orang yang memiliki gaya hidup yang berbeda tentu akan menemukan banyak ketidaksamaan dalam berbagai hal. Sebagian masyarakat perkotaan memang akan lebih merasa nyaman apabila memiliki teman dengan gaya hidup yang sama dengan mereka, namun bukan berarti mereka menutup diri untuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda gaya hidup dengan mereka. Bagi sebagian masyarakat Indonesia budaya ataupun gaya hidup Barat mampu menyatakan sebuah keunggulan (Budiman, 2002:249). Lebih lanjut dijelaskan Budiman, hal ini sangat dimungkinkan berakar pada dua hal; (a) sindrom yang diderita masyarakat-masyarakat bekas jajahan yang cenderung melihat bekas penjajahnya sebagai wakil dari keberhasilan dalam segala hal; (b) orientasi pembangunan yang diberlakukan oleh rezim Orde Baru yang sejak awal jelas-jelas menjadikan negara-negara maju di Barat sebagai model yang harus ditiru. Karaoke merupakan salah satu gaya hidup yang berasal dari negara Jepang. Di mata sebagian masyarakat perkotaan kegiatan karaoke itu memiliki nilai prestige. Adanya anggapan bahwa orang-orang yang melakukan kegiatan karaoke adalah orang-orang yang berasal dari golongan kelas menengah atas yang memiliki uang lebih untuk dihambur-hamburkan telah mendorong sebagia masyarakat perkotaan untuk melakukan hal yang sama agar dianggap berasal dari golongan kelas menengah atas juga. Seperti yang diungkapkan oleh Aisyah Chadijah, mahasiswi swasta semester sepuluh : 57 “Orang-orang yang karaokean di E-club kebanyakan orangorang yang tajir, kalau saya karaokean di E-club saya dianggap tajir juga dong, jadi aku gak harus capek lagi ngumpulin duit banyak biar dikatain tajir. Betul gak?” Namun, pada kenyataannya sebagian masyarakat yang melakukan kegiatan karaoke bukanlah berasal dari golongan kelas menengah atas. Seperti yang diungkapkan oleh Rismayanti, Pegawai di salah satu perusahaan swasta : “Memang banyak orang yang tajir berkaraoke di E-club, tapi lebih banyak lagi yang gak tajir tapi pada sok tajir. Aku bukannya anak tajir, cuma aku pengen aja rasain gimana rasanya karaokean di sini. Akupun datang karaokean ke sini kalau tidak ditraktir teman. Kalau patung-patungan dengan teman biaya yang aku keluarkan gak besar, trus aku uda bisa karaokean sepuasnya.” Selain itu, dalam berpakaianpun mereka berusaha untuk tampil berbeda dengan yang lainnya. Sebisa mungkin gayanya khas dan orang lain tidak mampu menirunya, walaupun dari segi materi sama sekali tidak mendukung keberadaan kelasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Wawan Rahmadi, pelajar SMA Negeri : “Kalau mau karaoke, aku dan teman-teman ku berusaha tampil semenarik mungkin dengan memakai pakaian yang bagus-bagus tentunya, sebab dengan berpenampilan menarik orang pasti mengira kalau kami itu anak tajir, padahal nyatanya ngak”. Selain berpenampilan menarik, sebagian masyarakat perkotaan juga memperhatikan berbagai aksesoris lainnya yang dapat mendukung keberadaan kelasnya yaitu dengan memiliki handphone yang bermerek, laptop, i-phone, dan berbagai alat-alat canggih lainnya. Kegiatan karaoke yang dianggap sebagai gaya hidup masyarakat modern telah membuat sebagian masyarakat Kota Makassar terutama masyarakat perkotaan berusaha untuk bisa melakuan kegiatan tersebut. Mereka melakukan kegiatan karaoke karena tidak ingin dikatakan ketinggalan zaman. 58 Seperti yang diungkapkan oleh Hannum Sekar Sari, mahasiswi negeri semester enam : “Kalau gak karaoke gak gaullah, aku dulu sering dikatain temanteman kuper (kurang pergaulan) karna gak pernah mau diajakin karaokean, trus daripada aku dibilang kuper ya uda aku coba ikutan karaokean dengan teman-teman ku, setelah aku coba sekali, eh… aku malah ketagihan.” Alasan gengsi dan rasa tidak ingin ketinggalan ternyata mampu membuat seseorang mengubah gaya hidupnya. Siapapun orangnya berhak untuk memiliki gaya hidup yang dirasakan nyaman dan sesuai dengan dirinya. Awalnya tujuan masyarakat perkotaan berkaraoke adalah untuk menetralisasikan kepenatannya setelah seharian beraktivitas di kampus ataupun sekedar untuk bersenang-senang mengisi waktu luang. Seiring berjalannya waktu maka terjadilah perubahan. Masyarakat perkotaan melakukan kegitan karaoke bukan lagi untuk menetralisasikan kepenatannya ataupun sekedar untuk bersenang- senang, akan tetapi untuk menunjukkan keberadaan kelas ataupun statusnya dihadapan masyarakat umum. b. Ajakan Teman Adanya ajakan dari teman-teman dekat juga menjadi alasan sebagian masyarakat perkotaan melakukan kegiatan karaoke. Banyak orang yang ikut melakukan suatu kegiatan dikarenakan temannya melakukan kegiatan tersebut, walaupun pada awalnya mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk mencobanya. Menurut Mutmainah, anak muda memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berkomunitas, anak muda paling senang nongkrong bersama kelompok dan teman-teman sebayanya (http://patricktts.blog.friendster.com/ketika-dugemdijadikan-salah-satu ukuran-gaul/). Dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam bergaul selalu ada tekanan dari dalam 59 diri seorang individu untuk melakukan hal yang sama dengan teman satu kelompoknya. Bagi sebagian orang, berkaraoke memang memerlukan adanya teman. Berkaraoke tidak akan terasa ramai dan asyik tanpa adanya teman-teman. c. Alasan Hiburan Setiap manusia pasti pernah merasakan kejenuhan dalam hidupnya dan akan membutuhkan hiburan guna menghilangkan kejenuhan tersebut. Hal ini jugalah yang terjadi pada sebagian masyarakat perkotaan yang melakukan kegiatan karaoke. Segudang aktivitas yang dilalui masyarakat perkotaan memaksa mereka untuk menetralisasikan kepenatan mereka dengan berkaraoke sebagai pelampiasannya. Seperti yang diungkapkan oleh Maya Ayu Setianingsi, Pegawai Negeri Sipil : “Aku biasanya mau diajak karaokean sama teman-teman ku kalau aku lagi suntuk memikirkan banyaknya tugas dari atasan. Kalau sudah berada di ruangan karaoke, seketika pikiran ku tentang tugas- tugas dari atasan itu hilang dengan sekejap. Tapi kalau uda sampe di rumah, aku kembali kepikiran dengan tugastugas ku tadi.” Gaya hidup yang dianut oleh sebagian masyarakat Kota Makassar terutama masyarakat perkotaan pada saat ini cenderung hanya mengikuti trend yang berlaku. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan seorang individu bukanlah murni tindakan objektifnya, akan tetapi termotivasi oleh unsur-unsur yang ada di luar individu sehingga apa yang sedang berlaku umum disekitarnya itulah yang menjadi dasar tindakannya. Bagi masyarakat perkotaan yang ingin berkaraoke harus reservation terlebih dahulu, lalu resepsionis akan menanyakan “pilih ruangan yang mana” dan “atas nama siapa”. Ruangan ditentukan dari jumlah orang yang ingin berkaraoke, misalnya yang ingin berkaraoke sebanyak enam orang, maka 60 ruangan yang dipilih adalah small 6. Setelah selesai reservation, masyarakat perkotaan akan diantar ke dalam ruangan oleh salah seorang petugas yang ditunjuk oleh resepsionis sebagai penunjuk jalan. Biasanya komsumen (masyarakat) akan diantar dengan menggunakan lift. Setelah sampai di dalam ruangan, petugas yang mengantar tadi akan menyalakan lampu, AC, dan TV, serta tidak lupa memakaikan sarung mikropon. Untuk selanjutnya petugas tersebut akan menanyakan kepada komsumen, “mau pesan apa”. Orang yang berkaraoke di E-club wajib memesan makanan ataupun minuman, dan sebaliknya tidak diperbolehkan membawa makanan ataupun minuman dari luar. Untuk alasan khusus makanan ataupun minuman dari luar dapat dikonsumsi di E-club dengan biaya khusus. Apabila kedapatan membawa makanan ataupun minuman dari luar, maka akan dikenakan charge yaitu membayar makanan ataupun minuman yang dibawa kepada pihak E-club sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pihak E-club. Akan tetapi, tidak semua komsumen mahir menggunakan audio visual yang di fasilitasi oleh pihak E-club. Menurut pengakuan salah seorang Pelajar (SMA), namanya Lina Mawardi : “Jujur, awalnya aku dan teman-teman ku sama sekali gak tau gimana cara menggunakan komputernya. Mau bertanya sama petugasnya gengsilah, ntar di pikir cantik-cantik eh... ternyata gaptek (gagap teknologi), kan gak lucu aja, akhirnya gak jadi deh kami tanya. Jalan satu-satunya ya uda kami otak-atik aja komputernya sampai bisa, eh… ternyata bisa. Setelah musiknya jalan, kamipun tertawalah, dan mulai deh nyanyi.” Untuk membuat suasana bernyanyi menjadi lebih seru, diantara komsumen akan bertanding suara siapa yang lebih bagus dengan mengaktifkan reset score dari layar komputer dan sehabis menyanyikan sebuah lagu scorenya akan muncul di layar LCD. Komsumen yang scorenya tinggi akan bangga 61 dengan kualitas suaranya, sedangkan komsumen yang scorenya kecil akan sedikit kecewa dengan kualitas suaranya. Untuk komsumen yang scorenya tinggi akan mendapat tepukan tangan dari teman-temannya, sedangkan komsumen yang scorenya kecil akan mendapat ejekan dari teman-temannya. Berbagai macam kegiatan yang dilakukan masyarakat ketika sudah berada di ruangan karaoke, mengambil mikropon dan langsung menyanyikan lagu yang sedang dimainkan. Menurut pengakuan Gunadi Syukur, pegawai di salah satu perusahaan swasta : “Kita bisa jadi orang lain begitu memasuki ruangan karaoke ini. Awalnya suasana agak kaku dan sering lupa nada lagu termasuk malu-malu, tapi lama kelamaan suasana memanas begitu dengar iringan musik mimpi manisnya Dewi Persik, jangankan jempol, pinggulpun ikut bergoyang”. Sewaktu bernyanyi masyarakat juga bisa menggunakan peralatan musik berupa ketipung untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan. Apabila ketipung dipukul akan memancarkan cahay yang berwarna-warni yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk bernyanyi. Di ruangan karaoke masyarakat bukan hanya bernyanyi, akan tetapi juga pacaran. Biasanya komsumen yang pacaran ini akan menyanyikan lagu yang bertema percintaan dan kalau bisa lagu tersebut yang khusus untuk diduetkan. Satu hal yang perlu diketahui bahwa di E-club Karaoke Keluarga sangat tidak dimungkinkan untuk berbuat mesum, sebab saat bernyanyi pengunjung sudah diawasi dari luar oleh petugas E-club. Para petugas E-club akan memantau pengunjung lewat pintu yang dipasangi kaca besar tembus pandang. Untuk mempertahankan citra Eclub sebagai karaoke keluarga, E-club tidak bisa memberikan privacy yang terlalu bebas. Selain itu, di ruangan karaoke ada juga komsumen yang sama sekali 62 tidak mau bernyanyi dengan alasan suaranya tidak bagus. Konsumen dalam hal ini masyarakat perkotaan yang cenderung tidakmau bernyanyi ini biasanya akan membuka facebook dari handphonenya. Setelah facebookfacebookan, masyarakat ini akan memfoto-foto teman-temannya yang lagi asyik bernyanyi dan berjoget dari kamera handphonenya. Masyarakat bernyanyi disesuaikan dengan suasana hatinya, kalau suasana hatinya lagi sedih ia menyanyikan lagu yang sedih, kalau suasana hatinya lagi gembira ia menyanyikan lagu yang gembira. Berbagai macam jenis musik yang dibawakan oleh masyarakat di E-club yang berkaraoke, mulai dari musik pop, R&B, jazz, rock, hingga dangdut. Musik dangdut merupakan jenis musik yang paling sering dibawakan oleh masyarakat, sebab dengan musik dangdut mereka dapat menetralisasikan kepenatan mereka dengan berjoget. Konsumen yang berjoget di depan akan memancing teman-temannya untuk berjoget juga ke depan, kalau diantara temannya ada yang tidak mau berjoget ke depan, maka salah satu konsumen yang berjoget di depan akan menarik tangan temannya tersebut. Berada di ruangan karaoke membuat konsumen menjadi lupa waktu. Seperti yang dipaparkan oleh Hanatri Putri, mahasiswi pascasarjan di salah satu universitas negeri di Makassar : “Aku dan teman-teman biasa karaoke selama satu jam, tapi satu jam itu terasa sangat cepat, jadi terkadang kalau waktunya sudah mau habis kami perpanjang lagi deh waktunya, perpanjang waktunya gak harus reservation lagi, sebab di layar komputer uda ada tertulis mau perpanjang waktu atau gak.” Pembayaran sewa ruangan, makanan ataupun minuman dibayar ketika konsumen sudah ada setengah jam berkaraoke. Itupun pembayarannya diambil ke dalam ruangan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh pihak Eclub. Berkaraoke di E-club terasa seperti berada di rumah sendiri, apalagi 63 pelayanan dari petugasnya terbilang sangat memuaskan. Setelah selesai berkaraoke, di layar LCD konsumen akan diingatkan untuk melihat barangbarang bawaannya mana tahu ada barang yang ketinggalan. Konsumen yang selesai berkaraoke akan diantarkan oleh seorang petugas sampai ke ruang tunggu dan petugas tersebut akan mengatakan “terima kasih atas kunjungannya dan selamat datang kembali”. B. Pandangan Masyarakat terhadap Karaoke Beragam pendapat yang dikemukakan oleh mahasiswa di lapangan mengenai pandangan mereka tentang karaoke, adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut : Sella Hardita, SPG (Sales Promotion Girl) di salah satu toko di Makassar: “Dulunya aku berpandangan bahwa karaoke itu adalah tempat para kaum lelaki bersenang-senang didampingi wanita penghibur sambil minum-minuman keras. Akan tetapi, setelah aku coba karaokean di sini, ternyata karaoke itu tidak seperti yang aku bayangkan dulu. Karaoke kini telah menjadi tempat hiburan yang baik buatku dan juga buat teman-temanku. Aku merasa senang bisa karaokean di sini.” Rahmadi Setiawan, mahasiswa (Pascasarjana) : “Trend gaya hidup orang perkotaan tidak hanya melulu shopping atau sekedar jalan-jalan di mall untuk menghabiskan waktu luangnya. Jika dulunya anak-anak muda, khususnya anak-anak muda di Kota Makassar suka nongkrong di cafe berjam-jam, atau ngeceng di mall untuk menghabiskan waktu luangnya, kini perlahan mulai bergeser. Anak-anak muda kini sering memanfaatkan waktu luangnya dengan hal yang positif, salah satunya dengan karaoke. Karaoke merupakan sarana rekreasi untuk melepas penat dan sekarang telah menjadi trend pada anak-anak muda.” Agus Hendarto, mahasiswi (Pascasarjana) : “Karaoke itu sudah seperti kebutuhan, setiap satu kali dalam sebulan wajib karaoke, selain sehat juga untuk mengisi waktu luang, sekalian berkumpul dengan teman-teman.Karaoke selain sebagai tempat hiburan pelepas stres juga sebagai media 64 penyalur hobi bernyanyiku” Erwin Eka Saputra, Pegawai Swasta di salah satu perusahaan di Makassar : “Kalau dulunya aku berpandangan bahwa karaoke itu adalah tempat hiburan orang-orang yang ekonominya mapan. Akan tetapi, kenyataannya sekarang karaoke itu sudah menjadi tempat hiburan yang dapat dinikmati oleh kalangan manapun. Mau dia ekonominya mapan atau ngak, tetap saja bisa menikmati tempat hiburan ini. Lagian karaokean di sini ngak mahal-mahal kalinya, masih dalam kategori terjangkaulah.” 65 C. Manfaat Berkaraoke Tidak peduli itu suara fals, sumbang, ataupun merdu, ada banyak manfaat berkaraoke. Pastinya, aktivitas tersebut bisa menghilangkan stres, menumbuhkan suasana akrab dengan teman-teman, bisa tertawa dengan lepas, meningkatkan rasa percaya diri, dan dijadikan sarana latihan vokal. Menurut Akbar Septa, Pegawai Negeri Sipil : “Awalnya kami mulai karaokean di NAV yang terletak di depan MP (Mall Panakukang), lalu seiring munculnya tempat karaoke lain, kamipun coba-coba di E-club. Karaoke bukan hiburan biasa, tapi karaoke berpotensi menjadi terapi hidup. Di tengah ruwetnya problematika kehidupan sosial, sebagian orang menganggap karaoke sebagai terapi. Tidak penting apakah kita butuh atau tidak, yang jelas dengan berkaraoke kita memahami alasan manusia butuh aktualisasi gaya hidup tersebut. Satu hal yang harus kita ingat bahwa karaoke itu lebih sehat ketimbang diskotik.” Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Indah Mayland Sari, mahasiswi negeri semester dua : “Berkaraoke merupakan obat yang paling mujarab untuk mengurangi rasa penat setelah seharian menjalani rutinitas perkuliahan. Berkaraoke bukanlah hobi yang mahal, paling tidak aku cukup menyiapkan uang sebesar Rp 20.000,- untuk dapat berkaraoke dengan lima orang teman ku selama satu jam.” Lain lagi dengan yang diungkapkan oleh Uly Dyaningsih Sari, Pegawai Swasta di perusahaan provider: “Kalau yang aku dapatkan manfaat dari berkaraoke ini adalah timbulnya semangat baru, pikiran jadi segar, dan wajah menjadi ceria.” Bagi orang yang hobinya berkaraoke pasti merasakan manfaat bahwa menyanyi menyenangkan, mendatangkan energi positif, dan menghilangkan ketegangan. Selain itu, berkaraoke merupakan salah satu resep 66 paling murah untuk menjaga kesehatan. Sewaktu bernyanyi secara tidak langsung seseorang akan mengatur nafasnya dengan teratur, hal itu ternyata akan memperbaiki syaraf-syaraf yang tegang. Tidak hanya sampai di situ, ketika selesai bernyanyi biasanya ada tepukan tangan yang diperoleh, tepukan tangan itu juga ternyata memiliki manfaat bagi kehidupan. Tepukan tangan dari keluarga ataupun teman-teman adalah bentuk dari dukungan sosial yang bisa meningkatkan kepuasan serta rasa percaya diri seseorang. “Dengan berkaraoke dapat membawa manfaat dalam mengakrabkan hubungan kedekatan dengan keluarga ataupun teman-teman. Karaoke keluarga saat ini menjadi tempat hiburan yang sangat diminati oleh sebagian masyarakat Kota Makassar. Banyak sekali keluarga ataupun sekelompok anak muda yang sengaja menyediakan waktu luang untuk sekedar berkaraoke bersama. Keadaan ini membuat tempat karaoke selalu dipenuhi penggemarnya. Bahkan, banyak orang yang memesan tempat karaoke terlebih dahulu sebelum menuju ke tempat karaoke.” 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan saran sangat penting pada akhir penelitian, karena kedua hal tersebut mempengaruhi kondisi penelitian. Kesimpulan memuat hal-hal apa saja yang menjadi kata akhir dalam penelitian ini, sedangkan saran merupakan kumpulan masukan maupun kritikan terhadap fokus penulisan yang dapat membangun dan memperbaiki fokus penulisan sejenis dikemudian hari. A. Kesimpulan Berbagai tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan terus bertambah. Setiap tempat hiburan memiliki daya tarik tersendiri dan memiliki penikmatnya masing- masing. Kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya tempat-tempat hiburan di daerah perkotaan dan salah satu tempat hiburan yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi adalah tempat karaoke. Dari hasil penelitian yang diuraikan di atas telah menjawab ketiga pertanyaan penelitian yang diajukan dalam permasalahan. Pertanyaan pertama dapat dijawab bahwa pandangan masyarakat perkotaan tentang karaoke adalah dulunya karaoke dipandang sebagai tempat para kaum lelaki bersenang-senang dengan minum-minuman keras sambil didampingi wanita penghibur. Namun, dengan munculnya karaoke yang bertema karaoke keluarga telah mengubah pandangan miring mereka selama ini. Karaoke kini telah menjadi trend bagi anak-anak muda. Kalau dulunya anak-anak muda suka nongkrong di cafe berjamjam atau sekedar jalan-jalan di mall untuk menghabiskan waktu luangnya, kini perlahan mulai bergeser. Mereka kini sering memanfaatkan waktu luangnya yaitu dengan berkaraoke ria. Selain itu, karaoke juga telah mereka anggap sebagai suatu kebutuhan yaitu sebagai tempat hiburan pelepas stres juga sekaligus sebagai media 68 penyalur hobi bernyanyi mereka. Karaoke bukan hanya tempat hiburan buat orang-orang yang ekonominya mapan. Akan tetapi, karaoke sudah menjadi tempat hiburan yang dapat dinikmati oleh kalangan manapun. Pertanyaan kedua dapat dijawab bahwa yang pertama sekali yang dilakukan masyarakat saat karaoke adalah memesan tempat. Memesan tempat ditentukan dari jumlah orang yang ingin berkaraoke. Setelah memesan tempat, masyarakat akan diantar ke dalam ruangan oleh salah seorang petugas yang ditunjuk oleh resepsionis sebagai penunjuk jalan. Setelah berada di dalam ruangan yang dilakukan masyarakat selanjutnya adalah memilih-milih lagu yang akan dimainkan. Untuk mempermudah pencarian lagu yang akan dimainkan, masyarakat dalam hal ini konsumen karokean tinggal mengetik judul lagu atau nama penyanyinya dari keyboard dan dengan seketika di layar komputer akan muncul judul lagu yang dicari beserta dengan nama penyanyinya. Agar membuat suasana bernyanyi menjadi lebih seru, diantara mereka akan bertanding suara siapa yang lebih bagus dengan mengaktifkan reset score dari layar komputer dan sehabis menyanyikan sebuah lagu scorenya akan muncul di layar LCD. Di dalam ruangan karaoke mahasiswa bukan hanya bernyanyi, akan tetapi juga pacaran. Komsumen yang pacaran akan menyanyikan lagu yang bertema percintaan dan kalau bisa lagu itu yang khusus untuk diduetkan. Selain itu, kegiatan lainnya yang dilakukan konsumen adalah membuka facebook dari handphonenya, memfoto-foto temantemannya yang lagi asyik bernyanyi dan berjoget. Biasanya ini dilakukan oleh konsumen yang sama sekali tidak mau bernyanyi dengan alasan suaranya tidak bagus. Pertanyaan ketiga dapat dijawab bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dengan karaoke adalah karaoke berpotensi menjadi terapi hidup. Karaoke 69 merupakan obat yang paling mujarab untuk mengurangi rasa penat setelah seharian menjalani rutinitas. Dengan berkaraoke dapat menimbulkan semangat baru, pikiran menjadi segar, dan wajah menjadi ceria. Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa karaoke sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan karena dengan karaoke mereka memperoleh kepuasan dan kesenangan yang mampu menghilangkan beban pikiran yang mereka rasakan. Berkumpul dan bercanda dengan teman-teman di dalam ruangan karaoke dianggap sebagian masyarakat perkotaan sebagai salah satu cara yang ampuh untuk menghibur diri dan menghilangkan stres. B. Saran Dengan mengkonsumsi suatu gaya hidup tertentu, sebagian mahasiswa telah merasa bahwa mereka sudah menjadi kelompok masyarakat perkotaan yang modern. Perbedaan pendapat tentang bentuk kemajuan sebuah peradaban tidak terlepas dari perbedaan nilai-nilai budaya yang ada di tengah masyarakat kita dengan nilai-nilai budaya di Barat yang dianut oleh sebagian kalangan di perkotaan. Sebuah kemajuan memang tidak harus menghilangkan nilai-nilai budaya yang ada, namun tidak juga harus menolak nilai-nilai baru yang mampu memberikan perubahan kearah kemajuan. Karaoke sebagai sebuah gaya hidup memang memiliki nilai-nilai tentang kemajuan, namun karaoke juga memiliki nilainilai budaya yang mampu mengubah dan menghilangkan nilai-nilai budaya Timur yang dimiliki masyarakat kita. Dewasa ini perkembangan konstalasi dunia ditentukan oleh kekuatankekuatan negara-negara yang telah mencapai kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi serta bidang lainnya. Negara-negara tersebut terutama berada di Eropa Barat, 70 Amerika Utara, Jepang, China dan sebagainya. Unsur-unsur dari luar yang menunjang kemajuan kita serap. Unsur-unsur dari luar itu misalnya ilmu pengetahuan yang bermutu tinggi, teknologi industri yang canggih, dan kerjasama di bidang ekonomi. Dengan kata lain, kemajuan modernisasi dari luar kita terima guna menyesuaikan diri dengan perkembangan konstelasi dunia. Namun, perlu kita pahami bahwa dalam proses modernisasi, Indonesia tidak hanya menyerap dan menerapkan hasil kebudayaan luar terutama yang berasal dari Barat bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Untuk menerima kemajuan tersebut, bangsa Indonesia harus bisa melakukan filterisasi atau penyaringan untuk menentukan unsur mana yang akan diterima dan unsur mana yang akan ditolak 71 Daftar Pustaka Literatur Buku : Abdullah, Irwan 2006 Baudrillard, Jean. P 2004 Budiman, Hikmat 2002 Chaney, David 1996 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Life Style: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jala Sutra Daeng, Hans J 2000 Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar FEUI Danandjaja, James 1994 Antropologi Psikologi Teori, Metode, dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Kartodirdjo, Sartono 1987 Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: UGM Press Koentjaraningrat 2002 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta Liyansyah, Muhammad 2009 Dugem: Gaya Hidup Para Clubbers (Studi Deskriptif Tentang Kegiatan Dugem di Retrospective). Medan: tidak diterbitkan Lury, Celia 1998 Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mirza, Rafika 2010 Musik R&B (Kajian Tentang Gaya Hidup Pemain Musik R&B di Kota Medan). Medan: tidak Mustamin, Menno 1994 Antropologi Perkotaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Piliang, Yazraf Amir 1998 Dunia yang dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Mizran Satria, Fernando Eka 2006 Sepeda Sebagai Gaya Hidup Masyarakat Freiburg dalam Judith Schlehe dan Pande Made Kutanegara (ed) Budaya Barat dalam Kacamata Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sitorus, M 2000 Berkenalan dengan Sosiologi. Bandar Lampung: Erlangga 72 Sunarto, Kamanto 1993 Suparlan, Parsudi 1996 Winarno, Thomas 1980 Pengantar Sosiologi. Jakarta: LPManusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Pengembangan Gaya Hidup dan Mekanisme Penyesuaian dalam Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan Mental. Bandung: Jemnas Literatur Internet http://frommarketing.blogspot.com/2009/08/definisi-gaya-hidup.html http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm http://soranalala.multiply.com/journal/item/5 http://id.88db.com/id/Knowledge/Knowledge_Detail.page/Club Asosiasi- Komunitas/?kid=22781 http://leisure.id.finroll.com/karoke/13-karaoke/3101-contentproducer.html http://patricktts.blog.friendster.com/2008/09/ketika-dugem-dijadikan-salah satu- ukuran-gaul/ http://www.pemkomedan.go.id/selayang_informasi.php http://www.pemkomedan.go.id/mdnpet.php http://www.scbdp.net/webhelp/scr/Kota%20Medan.htm http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybertainment/detail.aspx?x=Hot+Topic&y=cy ertainment|0|0|2|195 http://www.medantalk.com/karaoke-keluarga-itu-apa-sih/ Literatur Artikel : Artikel Modul Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif dikompilasi oleh Zulkifli Lubis, 2007. 73 LAMPIRAN 74 75 76 77 LAMPIRAN