BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 6 Tahun 2014 Desa memiliki tugas dantangungjawab yang amat strategis, khususnya dalam bidang pembuatan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Undang-undang ini memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Desa Dinas untuk melakukan pengelolaan keuangan, manajemen, perencanaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan oleh Desa. Pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan yang dimulai dari proses perencanaan, penggunaan dan pertangungjawaban keuangan oleh pemerintahan desa, mewajibkan semua perangkat desa untuk memahami mekanisme pengangaran, penggunaan dan pertangungjawaban keuangan Desa. Berkenaan dengan itu, Kepala Urusan Desa (Kaur desa) sebagai ujung tombang penyelenggaraan kegiatan pembangunan di desa masing-masing, mau tidak mau mesti memahami logika anggaran khususnya laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang menjadi salah satu sumber terbesar Pendapatan Asli Desa (PAD). Disisi lain Kepala Urusan Desa yang ada diwilayah Kecamatan Kintamani secara umum belum memiliki keamampuan yang memadai untuk membuat laporan pertangungjawaban keuangan yang visibel. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pada beberapa kaur yang ada di Wilayah Kecamatan Kintamani pada tanggal 9 dan 10 Agustus 2015, yang menyatakan bahwa salah satu permasalahan prinsip yang dialami Kepala Urusan Desa di Kecamatan Kintamani adalah permasalahan pembuatan rencana keuangan desa, laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan Lembaga Perkreditan Desa. Kondisi ini disebabkan karena Kepala Urusan Desa di Kecamatan Kintamani sebagain besar memiliki kualifikasi akademik Sekolah Menengah Atas, yang tidak pernah mendapatkan keterampilan khusus untuk membuat laporan pertangungjawaban keuangan. Proses pembelajaran pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan yang mereka miliki berdasarkan pada proses autodidak yang dilakukan berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis laporan pertangungjawaban keuangan yang diberikan oleh Kecamatan atau Kabupaten. 1 Proses pembelajaran yang bersifat autodidak ini tidak dapat diberlakukan secara umum, karena sebagian besar hanya berlaku pada kasus tertentu atau bersifat kasuistis, sehingga dalam kegiatan berikutnya dengan anggaran dan spesifikasi anggaran yang berbeda para Kepala Urusan Desa harus belajar dan menyesuaikan lagi. Kondisi ini berimplikasi pada lambannya kinerja keunagan desa yang semestinya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, bahkan beberapa laporan keuangan yang semestinya dapat dilaporkan setelah kegiatan dilakukan tidak dapat dilaporkan, karena belum mampu diselesaikan. Terlebih tugas dan tangungjawan pemerintahan desa untuk melakukan evaluasi terhadap kesehatan Lembaga Perkreditan Desa yang selama ini sering terabaikan, yang mengakibatkan beberapa Lembaga Perkreditan Desa di Kecamatan Kintamani mengalami pailit dan beku atau tidak berjalan. Hal ini disebabkan karena evaluasi kesehatan Lembaga Perkreditan Desa yang dilakukan oleh Pemerintahan Desa tidak berdasarkan pada indikator kesehatan lembaga keuangan yang sudah berlaku secara umum. Akibatnya Lembaga Perkreditan Desa yang mengalami persoalan tidak terdeteksi dan pada akhirnya menyebabkan Lembaga Perkreditan Desa Menjadi tidak berjalan. Kondisi ini terjadi karena pengelolaan manajemen yang lemah serta sumber daya manusia yang kurang handal (Bali Post, 23 September 2014). Padahan Lembaga Perkreditan Desa merupakan satu-satunya lembaga keuangan desa yang menjadi urat nadi kegiatan perekonomian masyarakat desa. Berdasarkan data yang diperoleh pada Dinas Koprasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah Kabupaten Bangli, dari 61 buah LPD yang ada di Kecamatan Kintamani, dibagi menjadi 3 kategori masing-masing 21 dengan kategori sehat, 29 dengan kategori cukup sehat, dan 11 LPD dengan status Mati suri. Padahal evaluasi kesehatan keuangan menjadi salah satu indikator untuk menjadi ukuran untuk memulihkan kesehatan lembaga keuangan yang mengalami permasalahan dan menjadi ukuran untuk meningkatkan kinerja keuangan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi kondisi ini belum tamak terjadi, sehingga beberapa LPD mengalami permasalahan. Berdasarkan analisis konseptual dan kondisi emirik sebagaimana digambarkan di atas, tampaknya perlu dilakukan pelatihan dan pendampingan yang memadai bagi Kepala Urusan Desa yang ada di Wilayah Kecamatan Kintamani untuk membuat laporan pertangungjawab keuangan dan evaluasi terhadap kesehatan 2 Lembaga Perkreditan Desa, sehingga tidak lagi ada Lembaga Perkreditan Desa yang macet disebabkan karena evaluasi kesehatan keuangan yang tidak tepat. 1.2 Analisis Situasi Kabupaten Bangli terdiri dari empat kecamatan, yaitu Susut, Bangli, Tembuku dan Kintamani. Secara geografis Kecamatan Kintamani merupakan Kecamatan terluas dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Bangli dengan luas wilayah 520,8 Km2 (Bangli Dalam Angka, 2013). Secara topografi daerah Kecamatan Kintamani merupakan wilayah pegunungan yang memanjang dari ujung utara sampai ujung selatan. Kondisi ini menyebabkan daerah Kintamani menjadi daerah pertanian yang sumbur dan potensial dengan tanaman utama jeruk, kopi, kubis, cabe, tomat, bawang, kol, dan aneka sayuran lainnya. Tanaman holtikultura ini ditanam oleh para petani secara musiman, khsusnya di musim penghujan. Sedangkan pada musim kemarau penanaman tidak dapat dilakukan secara maksimal, karena membutuhkan air yang sangat banyak. Berdasarkan pada proses penanaman yang terjadi pada areal pertanian yang ada di wilayah Kecamatan Kintamani, proses perputaran uang yang jumlahnya besar juga biasanya terjadi secara musiman. Jumlah penduduk Kecamatan Kintamani tercatat sebanyak 92,12 ribu jiwa atau 42 persen dari seluruh penduduk Bangli. Berdasarkan Data Statistik Kabupaten Bangli, jumlah Desa Dinas yang ada di Kecamatan Kintamani sebanyak 58 buah, dengan jumlah banjar dinas sebanyak 175 buah dan 61 buah Desa Pakraman/Adat. Dari 61 buah Desa Pakraman yang ada di Kecamatan Kintamani seluruhnya memiliki Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang dijadikan sebagai salah satu lembaga keuangan di masing-masing desa. Usaha yang dijalankan Lembaga Pekreditan Desa adalah usaha simpan pinjam. LPD dikelola oleh Desa Adat dengan mengutamakan modal sosial sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman dengan jumlah tertentu dengan tanpa adanya jaminan atau agunan dari peminjam. Jika ada kredit macet, maka sanksi yang diberikan adalah berupa sanksi sosial dengan disampaikan pada paruman desa pakraman. Namun dalam perkembangan selanjutnya LPD yang dikelola oleh Desa Pakraman mengalami berbagai persoalan, mulai dari bandelnya nasabah untuk membayar cicilan, tidak membayar pinjaman sesuai dengan waktu yang disepakati, tidak mau mengembalikan pinjaman, penggelapan uang nasabah oleh pegawai LPD, korupsi oleh pengelola LPD dan pengelolaan LPD 3 yang tidak efektif. Kondisi ini menyebabkan beberapa LPD yang ada di Wilayah Kecamatan Kintamani tidak produktif dan mengalami mati suri dengan asset yang tidak jelas rimbanya. Beberapa LPD di wilayah Kecamatan Kintamani yang mengalami permasalahan ini adalah LPD Desa Katung, LPD Desa Bonyoh, LPD Desa Songan, LPD Desa Pinggan dan LPD Desa Sebaya. Bahkan persoalan LPD Desa Katung sampai menyebabkan ketua LPD Desa katung bunuh diri, karena melakukan penggelapan dana LPD dan tidak mampu mengembalikannya, sehingga memilih mengakhiri hidup dengan cara menggantung diri (Harian Umum Bali Pos, 10 Juli 2010). Berbagai persaolan yang ada pada LPD diwilayah Kecamatan Kintamani disinyalir disebabkan karena beberapa permasalahan, yaitu (1) proses perekrutan pegawai LPD yang tidak berdasarkan pada stndar yang bersifat objektif, (2) kurangnya kemampuan pegawai LPD dalam melakukan pengelolaan keuangan, (3) tingginya kewenangan yang diberikan kepada kepala LPD dalam menentukan pinjaman, (4) lemahnya pengawasan dari lembaga adat dan pemerintahan desa, (5) tidak adanya lembaga pengawas yang bersifat independen dan kualifaid, dan (6) kuranya sosialisasi urgensi dan eksistensi LPD pada masyarakat. Di sisi lain Kepala Urusan Desa yang memiliki tugas untuk melaksanakan pemerintahan desa, membuat laporan pertangungjawaban keuangan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan melakukan evaluasi kesehatan LPD juga mengalami berbagai persoalan berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat dalam membuat laporan keuangan dan evaluasi kesehatan LPD. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya kemampuan yang dimiliki oleh Kepala Urusan Desa dalam membuat laporan keuangan yang sesuai dengan standar pertangungjawaban pelaksanaan kegiatan. Demikian juga dengan kemampuan dan keterampilan dalam melakukan evaluasi kesehatan LPD, sebagian besar Kepala Urusan Desa belum memiliki kemampuan yang memadai, sehingga menyebabkan keterlambatan penanganan terhadap permasalahan yang dialami oleh LPD. Berdasarkan pada persoalan sebagaimana di gambatkan di atas, tampaknya proses pelatihan dan pendampingan bagi Kepala Urusan Desa dan Pegawai LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa memiliki nilai yang sangat strategis bagi masyarakat 4 Kintamani. Mengingat keberlanjutan LPD pada desanya masing-masing akan memberikan dapak yang positif terhadap kemajuan persekonomian masyarakat desa yang mengandalkan lembaga keuangan desa. Di sisi lain Kepala Urusan Desa yang memiliki tugas untuk melaksanakan pemerintahan desa dan membuat laporan pertangungjawaban keuangan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan juga mengalami berbagai persoalan berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat dalam membuat laporan keuangan. 1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan analisis situasi dan kondisi empiris di atas, maka permasalahan yang dialami oleh Kepala Urusan Desa dan Pegawai LPD di Wilayah Kecamatan Kintamani berkaitan dengan kurangnya kemampuan dan keterampilan dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan secara visibel dan kurangnya kemampuan untuk melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa, sehingga permasalahan yang ada pada lembaga perkreditan desa tidak teratasi dengan tepat. Dengan demikian, maka program ini akan difokuskan pada upaya peningkatan wawasan dan keterampilan Kepala Urusan Desa dan anggota LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan melakukan evaluasi kesehatan lembaga keuangan (LPD). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Lembaga Perkreditan Desa di Bali Keberadaan LPD di Bali sesungguhnya terproses dari sebuah kesadaran dan kemauan bersama dari masyarakat adat Bali yang telah lama ada dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum Republik Indonesia ini didirikan. Kesadaran dan kemauan bersama itu terwadahi melalui organisasi komunitas berbasis wilayah yakni Desa Adat (kini Desa Pakraman), Banjar Adat (kini Banjar Pakraman). Selain itu, juga tumbuh berbagai organisasi masyarakat atas dasar aktivitas kegiatan sosial-ekonomi masyarakat yakni sekaa. Sekaa-sekaa itu di antaranya Sekaa Manyi (kelompok pemanen hasil pertanian di sawah), Sekaa Gong (kelompok penabuh), Sekaa Semal (kelompok pengusir hama tupai) dan lain-lainnya. Masing-masing kelompok sekaa tersebut secara aktif melaksanakan kegiatan bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan yakni kegiatan penghimpunan dan peminjaman dana di antara anggota sekaa. Aktivitas penghimpunan dana itu ada yang berupa pepeson atau pecingkreman, baik berupa uang maupun barang yang dilakukan setiap bulan. Uang yang terkumpul itu kemudian didistribusikan kembali kepada anggota melalui rapat. Anggota yang mendapat kesempatan meminjam uang itu ditentukan oleh rapat tersebut, termasuk bunga yang dikenakan kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya, semua anggota sekaa akan mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan dana sekaa itu dalam upaya mengembangkan aktivitas ekonomi yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan bersama. Dinamika ekonomi berbasis komunitas khas Bali itu memberi inspirasi Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Pada tahun 1983, pucuk pimpinan Pemerintah Daerah Provinsi Bali ini merumuskan gagasan untuk membentuk sebuah lembaga keuangan berbasis adat dengan mengadopsi dan mengembangkan konsep sekaa, banjar dan desa adat yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat Bali. Untuk memperkuat gagasannya itu, Gubernur Mantra mengadakan studi banding ke Padang. Di sana sudah berdiri Lumbung Pitih Nagari (LPN). LPN merupakan lembaga simpan pinjam untuk masyarakat adat Padang yang cukup sukses. LPN sudah ada di Minang, jauh sebelum Jepang menjajah Indonesia LPN pada awalnya 6 mengenal prinsip dasar arisan yang dimanfaatkan untuk kepentingan adat seperti upacara pertunangan, pernikahan, pengangkatan datuk dan lain-lain. Namun lamakelamaan pengelolaan uang dimanfaatkan untuk kegiatan produktif seperti modal usaha. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat juga meluncurkan program pembentukan lembaga kredit di pedesaan untuk mendorong pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa bulan kemudian digelar seminar tentang Lembaga Keuangan Desa (LKD) atau Badan Kredit Desa (BKD) di Semarang yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri pada bulan Februari 1984. Salah satu kesimpulan seminar tersebut yaitu “perlu dicari bentuk perkreditan di pedesaan yang mampu membantu pengusaha kecil dipedesaan yang saat itu belum tersentuh oleh Lembaga Keuangan yang ada seperti bank”. Sejumlah provinsi di Indonesia sesungguhnya sudah memiliki Lembaga Perkreditan Pedesaan yang tumbuh subur pada dekade 1980-an. Lembaga ini secara umum disebut Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP). Namun di setiap daerah namanya berbeda-beda seperti di Aceh disebut Lembaga Kredit Kecamatan (LKC), di Jawa Barat disebut Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), di Jawa Tengah disebut Badan Kredit Kecamatan (BKK). Bali mencoba menerjemahkan hasil keputusan seminar di Semarang dengan mengandopsi konsep sekaa yang telah tumbuh di masyarakat Bali. Akhirnya, terbentuklah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali yang dengan tujuan untuk membantu desa adat. Keuntungan LPD direncanakan untuk membangun kehidupan religius berikut kegiatan upacaranya seperti piodalan, sehingga warganya tidak perlu membayar iuran wajib. Mula pertama, dibuat pilot project satu LPD di tiap-tiap kabupaten. Kala itu, dasar hukum pembentukan LPD hanyalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 972 tahun 1984, tanggal 19 Nopember 1984. Sebagai Implementasi dari Kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali tersebut diatas, maka secara resmi LPD beroperasi mulai 1 Maret 1985, dimana disetiap Kabupaten didirikan 1 LPD. Selanjutnya LPD diperkuat oleh peraturan daerah provinsi Bali No. 2 / 1988 hingga peraturan daerah provinsi Bali No.8/2002 dan peraturan terk.Selain persyaratan untuk memiliki peraturan desa adat tertulis, pendirian LPD juga bergantung anggaran tahunan pemerintah provinsi untuk menyediakan modal awal dan menyiapkan para pelaksana manajemen. 7 2.1 Perkembangan LPD Perkembangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Desa Pakraman di Provinsi Bali sampai saat ini cukup pesat. Jika dicermati data laporan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, perkembangan LPD di Bali sangat menggembirakan. Setelah 30 tahun berjalan, keberadaan LPD terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan sekaligus menyangga tumbuh dan berkembangnya budaya Bali sebagai aset bangsa. LPD tidak saja memerankan fungsinya sebagai lembaga keuangan yang melayani transaksi keuangan masyarakat desa tetapi telah pula menjadi solusi atas keterbatasan akses dana bagi masyarakat pedesaan yang nota bene merupakan kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas. Kesuksesan LPD ini merupakan buah dari konsep pendirian dan pengelolaan LPD yang digali dari kearifan lokal dan kultural masyarakat Bali yang berbasis pada kebersamaan, kekeluargaan dan kegotong-royongan. Kendati ide pendirian LPD berasal dari Pemerintah Daerah Bali (Gubernur Prof. IB Mantra), akan tetapi sujatinya gagasan itu digali dari sesuatu yang telah berkembang sebagai kultur dan kearifan lokal masyarakat Bali. Artinya, gagasan LPD sesungguhnya berakar pada adat dan budaya masyarakat Bali. Penyebab kesuksesan LPD juga berasal dari pola pengelolaan yang berbasis komunitas dengan landasan nilai-nilai kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam bingkai adat dan budaya Bali. Masyarakat di Desa Pakraman menjadi pemilik sekaligus pengelola LPD yang menjalankan tugas dan fungsinya dalam ikatan komitmen untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan bersama. Sebagai buah dari inisiatif dan pengelolaan oleh masyarakat Desa Pakraman itu lalu hasil yang dicapai juga akhirnya dinikmati secara bersama-sama. Hasil bersama itu tidak saja tercermin melalui manfaat ekonomi, tetapi yang jauh lebih penting adalah manfaat sosialbudaya berupa semakin kokohnya adat dan budaya. LPD menjadi sumber utama pendanaan kegiatan adat, budaya maupun sosial masyarakat di Desa Pakraman. Tujuan pendirian sebuah LPD pada setiap desa adat, berdasarkan penjelasan peraturan Daerah No.2/ 1988 dan No. 8 tahun 2002 mengenai lembaga peerkreditan desa(LPD), adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi perdesaan melalui peningkatan kebiasaan menabung masyarakat desa dan menyediakan kredit bagi usaha skala kecil, untuk menghapuskan bentuk – benttuk eksploitasi dalam hubungan 8 kredit, untuk menciptakan kesempatan yang setara bagi kegiatan usaha pada tingkat desa, dan unttuk meningkatkan tingkat monetisasi didaerah perddesaan (Government of Bali, 1988, Government of Bali, 2002). Ada empat faktor yang saling terkait yang dapat menjelaskan pertumbuhan LPD yang sangat cepat teersebut sebagai lembaga perantara keuangan di provinsi Bali. Pertama, pertumbuhan LPD yang cepat tersebut secara tidak langsung menunjukan bahwa pemerintah provinsi Bali memiliki keinginan politis yang kuat untuk menyediakan akses kredit bagi masyarakatnya melaluui pendirian LPD. Kedua, pertumbuhan yang sangat cepat pada portofolio nasabah dan pinjaman LPD mengindikasikan bahwa LPD – baik sebagai lembaga keungan maupun mekanisme tata- kelolanya –sesuai dengan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Bali, terutama didaerah perdesaan. Ketiga, Karena masing – masing LPD beroperasi hanya disebuah desa adat yang wilayahnya relatih kecil, anggota komunitas memiliki informasi yang cukup mengenai LPD dan dapat dengan mudah mengaksesnya. Keempat, jumlah tabungan menunjukan bahwa LPD bukan hanya merupakan lembaga pemberi pinjaman ( lending institution) tetapi juga sebagai lembaga tabungan ( saving institution), yang berarti LPD telah mampu berperan sebagai lembaga perantara keuangan seperti halnya Bank umum. LPD merupakan badan usaha keuangan milik desa Pakraman yang melaksanakan kegiatan usaha dilingkungan desa untuk Krama desa, LPD sebagai lembaga keuangan memiliki lapangan usaha sebagai berikut: 1. Menerima /menghimpun dana dari Krama desa dalam bentuk tabungan dan deposito. 2. Memberikan pinjaman hanya kepada Krama desa. 3. Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali batasan lain dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan modal. 4. Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD Bali dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang memadai. 9 2.3 Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa A. Organisasi dan Perencanaan Berdasarkan PERDA Provinsi Bali No.8/2002, setiap LPD dikelola oleh sebuah komite (ketua, kasir dan petugas administrasi). Deskripsi manajemen inti dapat dijelaskan bahwa ketua bertugas mengordinasi kegiatan operasional harian LPD, pembuatan perjanjian kontrak dengan nasabah, bertanggung jawab pada desa adat melalui pemimpinnya (Dewan Pengawas LPD), menyusun rencana kegiatan dan anggaran, dan memformulasikan kebijakan LPD. Petugas administrasi melakukan tugas-tugas administrasi, baik administasi umum maupun tata buku, bertanggung jawab kepada ketua LPD, menyusun laporan neraca dan laporan pendapatan, serta mengelola arsip. Sedangkan kasir adalah mencatat aliran dana. Staf LPD membantu ketua melaksanakan tugasnya dan terlibat dalam pembuatan kegiatan dan rencana anggaran dalam keputusan pemberian kredit. Dalam mengelola LPD, tim manajemen juga memantau perubahan situasi makro-ekonomi, melakukan rapat formal triwulanan untuk evaluasi internal yang melibatkan semua staf. Staf pengumpul kredit diberi pengarahan harian mengenai tugas mereka oleh ketua LPD sebelum mereka mulai bekerja Evaluasi internal LPD dilakukan oleh Dewan pengawas. Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya. Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan pemerintah local pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali. Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya. Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan pemerintah local pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali. B. Prosedur Rekruitmen Tim manejemen inti direkrut dari desa adat local. Mereka dipilih dari anggota komunitas desa dan ditetapkan dalam rapat desa untuk periode empat tahun. Namun mereka dapat dipilih kembali apabila mampu bekerja dengan baik (GovernmentofBali,2002,Articli11). Komite manajemen biasanya dibantu oleh dua atau tiga staf yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan tabungan dan pinjaman. 10 Menurut pasal 11(4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8/2002 bahwa salah satu tugas penting komite inti adalah menjalankan kewenangan untuk menunjuk staf baru atau untuk memberhentikan staf manajemen operasional LPD. Rekruitmen staf tambahan dilakukan berdasarkan perkembangan skala usaha LPD. Pemilihan staf baru oleh Dewan Pengawas juga didasarkan atas tes kemampuan dan sifat atau karakter pelamar, dan masing-masing dusun di desa adat harus terwakili oleh anggota staf. Kemudian para pelamar mengikuti tes kemampuan (motivasi, kemauan untuk mengabdi di LPD, dan pengetahuan umum) yang diadakan oleh PLPDK. Persyaratan umum untuk pelamar ialah memiliki minimal ijazah tingkat SMU. Singkatnya, prosedur rekruitmen ini menggambarkan pentingnya peran institusi informal dalam tata kelola LPD, dan menunjukkan kuatnya keterikatan LPD dengan lingkungan sosio-kulturalnya. Prinsip Pengaturan Operasional Prinsip ini mencakup peraturan mengenai kecakupan modal (capital adequacy), batas jumlah peminjaman (legal lending limit), cadangan untuk kerugian pinjaman manajemen likuiditas, dan sistem pemeringkatan LPD. LPD harus menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dari lembaga keuangan agar dapat menjadi lembaga keuangan yang sehat. Berdasarkan kriteria CAMEL BPR yang diterapkan BI berdasarkan surat edaran No. 30/UUPB, 30 April 1997 (Bank BPD Bali,2000) bahwa pengaturan ini mengatur CAR, kualitas aset produktif, aspek manajemen, pendapatan dan likuiditas. C. Mekanisme Penyaluran Pinjaman Dalam kaitannya dengan tingkat bunga, pada tahun 2002 tingkat bunga pinjaman untk pinjaman beerkisar antara 27 hingga 33 persen, lebih tinggi dari pada rata – rata tingkat bunga bank umum yang hanya 22 persen pertahun pada saat itu.peraturan desa adat juga berlaku bagi staf LPD (Oka, 1999) yang melanggar peraturan dan salah dalam mengelola operasional harian LPD, seperti kolusi, korupsi atau manipulasi.Sanksi sosial dapat dikenakan pada mereka.selain itu, berdasarkan peraturan legal formal,pasal 24 peraturan Daerah No. 8 / 2002 yang menyatakan bahwa staf LPD yang melanggar peratturan dan menyebabkan LPD menderita kerugian keuangan haruslah mengganti kerugian tersebut.pasal 26 yang menerangkan pasal 24 peraturan tersebut menekankan bahwa staf terpidana dapat memperoleh hukuman maksimum 6 bulan penjara atau maksimum denda Rp 5 juta. Singkatnya, 11 gambaran ini menunjukan bahwa institusi informal ( seperti norma – norma dan sanksi sosial ) dan institusi formal ( peraturan legal formal ) digunakan bersamasama dalam tata – kelola LPD. D. Sistem Penggajian Sistem penggajian pada LPD secara umum dimaksudkan untuk menstimulasi kinerja yang lebih baik dari stafnya, terutama dalam mengumpulkan pinjaman dan mempromosikan dan melayani tabungan. Diantara manjemen inti LPD, ketua memperoleh gaji paling tinggi, diikuti oleh petugas kasir dan tenaga administrasi. Prinsip penentuan gaji pokok yang didasarkan biaya hidup di desa di mana LPD berada juga tercermin pada kuatnya hubungan antara LPD dan lingkungan sosioekonominya. Kondisi makro-ekonomi yang terus tumbuh dan stabil disertai dengan liberalisasi pasar keuangan pada tingkat nasional, stabilitas politik di Bali, dukungan dari pemerintah pada semua tingkat administrative, tingkat kohesi sosial masyarakat Bali yang tinggi dan struktur sosial tradisional yang penting telah mendukung pertumbuhan LPD. Tidak ada keraguan bahwa kondisi makro-ekonomi yang terus tumbuh dan stabil dan lingkugan sosio-kultural merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan LPD di Bali. E. Sistem Pengawasan dan Bimbingan LPD LPD berbeda dari lembaga keuangan Mikro lain yang dikendalikan oleh pemerintah provinsi seperti badan kredit kecamatan (BKK) di jawa tengah atau kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) dijwa timur karena kepemilikan dan pengorganisasiannya dipengarui oleh adat istiadat masyarakat Bali. Keputusan Gubernur No. 344 / 1993 juga menyebutkan fungsi Bank BPD Bali. Dalam pasal 2 keputusan tersebut (pemerintah Bali, 1993b) dinyatakan bahwa Bank BPD Bali memiliki 3 fungsi berkenaan dengan LPD.pertama, memberikan bimbingan teknis dalam dua cara yaitu melalui bimbingan pasif, dan melalui bimbingan aktif yang dilakukan dengan kunjungan langsung kelokasi LPD. Kedua, Bank BPD Bali memiliki tugas untuk mengelola koordinasi dengan organisasi lain yang terlibat didalam proses bimbingan dan pengawasan LPD.Ketiga, Bank BPD Bali harus menyiapkan laporan Evaluasi triwulan tentang kinerja keuangan dan kesehatan LPD kepada gubernur. 12 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 3.1 Tujuan Kegiatan Tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan wawasan dan keterampilan Kepala Urusan Desa dan Pegawai LPD di Wilayah Kecamatan Kintamani untuk membuat laporan pertangungjawaban keuangan secara visibel dan melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa, sehingga permasalahan yang ada pada lembaga perkreditan desa tidak teratasi dengan tepat. Dengan demikian, maka program ini akan difokuskan pada upaya peningkatan wawasan dan keterampilan Kepala Urusan Desa dan anggota LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan melakukan evaluasi kesehatan lembaga keuangan (LPD). 3.2 Manfaat Kegiatan Berdasarkan tujuan program pengabdian masyarakat di atas, maka secara realistik implementasi pelatihan dan pendampingan pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa pada Kepala Urusan Desa dan Pegawai LPD di Wilayah Kecamatan Kintamani akan bermanfaat bagi peningkatan kemampuan dan keterampilan dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan secara visibel serta melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa. Secara rinci pelatihan dan pendampingan pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa diharapkan dapat bermanfaat bagi : (a) Pemerintah Kabupaten Bangli, khususnya Dinas Koprasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah Kabupaten Bangli, bahwa program ini dapat membantu merealisasikan salah satu program yang telah disusun dalam rencana pembangunan ekonomi Kabupaten Bangli, khususnya Kecamatan Kintamani untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui manajemen keuangan desa. (b) Bagi Kepala Kepala Desa di Wilayah Kecamatan Kintamani, selaku pelaksana kegiatan pada tingkat desa, program pelatihan dan pendampingan pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan LPD dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk mengembangkan 13 pemerintahan yang bersih dan transparan sebagaimana tujuan dan kebutuhan masyarakat Kecamatan Kintamani. (c) Bagi Pengelola LPD selaku pengelola keuangan LPD, program pelatihan dan pendampingan pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan LPD dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menjalankan kegiatan LPD yang bersifat akuntabel. (d) Bagi Masyarakat selaku pengguna dan pemilik LPD, program pelatihan dan pendampingan pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan LPD dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menentukan peminjaman dan peminjaman pada LPDnya, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. 3.3 Khalayak Sasaran Strategis Khalayak sasaran strategis dalam kegiatan ini adalah Kepala Urusan Desa dan Anggota LPD yang ada di Kecamatan Kintamani. Di sisi lain, Kecamatan Kintamani merupakan salah satu daerah di Kabupaten Bangli yang paling banyak Lembaga perkreditan Desanya yang mengalami masalah. Berdasarkan rasional tersebut, maka sasaran yang dipilih dipandang cukup visibel dan prediktif bagi penyebarluasan informasi atau hasil dari kegiatan ini kedepannya. Di sisi lain kegiatan ini memiliki keterkaitan yang sangat mutualis dengan berbagai pihak, antara lain: (1) Dinas Koprasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah Kabupaten Bangli, (2) Kepada Desa yang ada di Kecamatan Kintamani, (3) Kepala Lembaga Perkreditan Desa di wilayah Kecamatan Kintamani, dan (4) masyarakat Kecamatan Kintamani yang Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD-nya menjadi sasaran antara yang strategis dalam pelaksanaan program pengabdian ini. Semua fihak di atas, akan memperoleh manfaat yang sangat esesial dan aplikatif dalam kaitannya dengan upaya perbaikan kinerja Kepala Urusan Desa dan kesehatan LPD. 14 BAB IV METODE PELAKSANAAN 4.1 Kerangka Pemecahan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dilakukan di lokasi rencana program ini akan dilaksanakan, diperoleh kesimpulan bahwa ada seperangkat permasalahan yang saat ini dihadapi oleh Dinas Koprasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah Kabupaten Bangli, khususnya menyangkut kurangnya kemampuan Kepala Urusan Desa dan Pengelola Lembaga Perkreditan Desa dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa di Wilayah Kecamatan Kintamani. Hal ini disinyalir disebabkan karena Kepala Urusan Desa dan pengelola lembaga perkreditan desa (LPD) di Kecamatan Kintamani sebagain besar memiliki kualifikasi akademik Sekolah Menengah Atas, yang tidak pernah mendapatkan keterampilan khusus untuk membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan LPD. Melalui program ini, guru diharapkan memperoleh “sesuatu” yang baru dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa. 4.2 Metode Pelaksanaan Kegiatan Program ini merupakan program yang bersifat terminal dalam rangka peningkatan kemampuan dan keterampilan Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan secara visibel serta melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa dengan sistim jemput bola. Untuk kepentingan pencapaian tujuan program ini, maka metode yang pandang sesuai adalah Diklat dan Pendamingan. Diklat diberikan pada Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa (LPD). Jadwal pelaksanaan diklat akan diberikan berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD yang ada di Kecamatan Kintamani dengan tim pelaksana. Tahap berikutnya adalah melakukan pelatihan dan pendampingan pertangungjawaban keuangan dan melakukan evaluasi membuat laporan kesehatan lembaga perkreditan desa (LPD). Pada proses ini tim pakar Akuntansi dan Manajemen Undiksha Singaraja akan melakukan pendampingan pada Kepala Urusan Desa dan 15 pengelola LPD dalam mengimplementasikan proses pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa (LPD) pada desa masing-masing. Di sisi lain, program ini juga diarahkan pada terciptanya iklim kerjasama yag kolaboratif dan demokratis dalam dimensi mutualis antara dunia perguruan tinggi dengan masyarakat secara luas di bawah koordinasi pemerintah Kabupaten setempat, khususnya dalam rangka peningkatan kinerja dan profesionalisme Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD di Kecamatan Kintamani secara cepat namun berkualitas bagi kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat di Kabupaten Bangli. Berdasarkan rasional tersebut, maka program ini merupakan sebuah langkah inovatif dalam kaitannya dengan dharma ketiga perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Program ini dirancang sebagai bentuk jawaban dan antisipasi dari berbagai permasalahan yang dialami Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD di Kecamatan Kintamani, yang saat ini tengah berkonsentrasi pada upaya pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan. Berangkat dari rasional tersebut, maka program ini akan dilaksanakan dengan sistim jemput bola, dimana tim pelaksana akan menyelenggarakan program pelatihan dan pendampingan peningkatan wawasan dan keterampilan Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD di Kecamatan Kintamani dalam memahami proses pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa dengan mendatangkan para pakar dan praktisi Akuntansi dan Manajemen Keuangan yang berkualifikasi secara standar di bidang Akuantansi dan Manajemen Keuangan. Model pelaksanaan kegiatan ini akan dilakukan secara langsung (tatap muka) sebagaimana layaknya sistim perkualiahan. Lama pelaksanaan kegiatan adalah 8 (delapan) bulan yang dimulai dari tahap pengajuan proposal, perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dengan melibatkan lima belas orang Kepala Urusan Desa dan lima belas orang pengelola LPD di Kecamatan Kintamani, dimana akan diambil 3 orang untuk 10 desa yang ada di Kecamatan Kintamani, sehingga pesertanya sebanyak 30 orang. Pada akhir program setiap peserta akan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti partisipasi mereka dalam kegiatan ini. Melalui program ini, diharapkan para Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD memiliki keterampilan yang memadai dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa (LPD). 16 4.3 Rancangan Evaluasi Keberhasilan program P2M ini ditentukan oleh tingkat pemahaman, sikap positif, dan keterampilan profesional Kepala Urusan Desa dan pengelola LPD dalam mengimplementasikan proses pembuatan laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa (LPD) pada desanya masing-masing. Untuk itu, maka evaluasi tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilakukan minimal 3 (tiga) kali, yaitu evaluasi proses, evaluasi akhir, dan evaluasi tindak lanjut. Kegiatan evaluasi ini akan melibatkan tutor/pakar dari Undiksha Singaraja. Instrumen evaluasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pelatihan dan pendampingan ini adalah tes obyektif, pedoman observasi dan pedoman wawancara yang dikembangkan sendiri oleh tim pelaksana pengabdian masyarakat. Kriteria dan indikator pencapaian tujuan dan tolak ukur yang digunakan untuk menjastifikasi tingkat keberhasilan kegiatan dapat diuraikan pada tabel berikut (halaman berikut). Tabel. 01. Indikator Pencapaian Program No Jenis Data Pengetahuan Kaur Desa dan Pengelola LPD dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan Sumber Data Kaur Desa dan Pengelola LPD di Kecamatan Kintamani 1. Indikator Kriteria Keberhasilan Pengetahuan Terjadi dan perubahan yang keterampilan positif terhadap Kaur Desa dan pengetahuan dan Pengelola keterampilan LPD Kaur Desa dan Pengelola LPD 2. Pengetahuan dan Keterampilan Kaur Desa dan Pengelola LPD dalam melakukan evaluasi kesehatan LPD Kaur Desa dan Pengelola LPD di Kecamatan Kintamani Pengetahuan dan keterampilan Kaur Desa dan Pengelola LPD 3. Pengetahuan dan Keterampilan Kaur Desa dan Pengelola LPD dalam mengaplikasikan laporan keuangan dan evaluasi kesehatan LPD di Desa masing-masing Kaur Desa dan Pengelola LPD di Kecamatan Kintamani Terjadi perubahan yang positif terhadap pengetahuan dan keterampilan Kaur Desa dan Pengelola LPD Pengetahuan Terjadi dan perubahan yang keterampilan positif terhadap Kaur Desa dan pengetahuan dan Pengelola keterampilan LPD Kaur Desa dan Pengelola LPD Instrumen Tes Obyektif Pedoman wawancara dan format observasi Pedoman wawancara dan format observasi 17 Pada kegiatan pelatihan ini, Kaur Desa dan Pengelola LPD di Kecamatan Kintamani akan dilibatkan secara kolaboratif dari awal sampai akhir kegiatan. Kaur Desa dan Pengelola LPD akan dilibatkan dalam merencanakan program, penjadwalan kegiatan, ikut serta dalam pelatihan dan implementasi produk pelatihan. Pedampingan produk hasil pelatihan ini akan dilakukan pada 2 desa (Desa Abuan dan Desa Bonyoh) yang ada di wilayah Kintamani. 18 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pada permasalahan yang diami Kepala Urusan Desa di Wilayah Kecamatan Kintamani, yaitu berkaitan dengan kurangnya kemampuan dan keterampilan dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan secara visibel dan kurangnya kemampuan untuk melakukan evaluasi kesehatan lembaga perkreditan desa, maka pengabdian masyarakat ini akan difokuskan pada upaya penikatan wawasan dan keterampilan anggota Kepala Urusan Desa dan Kepala Desa dalam membuat laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi lembaga perkreditan desa (LPD). Proses ini diawali dengan komunikasi dan koordinasi pelaksana pengabdian masyarakat dengan Kepala Urusan Desa di Wilayah Kintamani, berkaitan dengan jadwal kegiatan, serta sarana-prasarana yang dibutuhkan. Kemudian dilanjutkan dengan penyiapan narasumber pelatihan dan pendampingan serta materi laporan pertangungjawaban keuangan dan evaluasi lembaga perkreditan pertangungjawaban desa (LPD). keuangan dan Pelatihan evaluasi dan lembaga pendampingan perkreditan laporan desa ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan bulan September 2016 di Desa Bonyoh Kecamatan Kintamai. Adapun materi yang diberikan adalah pengertian dan kegunaan laporan pertangungjawaban keuangan, tujuan laporan pertangungjawaban keuangan, cara membuat laporan pertangungjawaban keuangan, konsep dasar LPD, visi dan misi LPD, cara melakukan evaluasi kesehatan LPD. Pada tahap awal pelaksanaan program dilaksanakan kegiatan berupa perencanaan disain dan kegiatan diklat, persiapan tutor, persiapan alat dan bahan, dan sosialisasi dan koordinasi dengan peserta dan narasumber. Kegiatan diklat dilaksanakan bersama antara tim pengusul dengan Kepala Urusan Desa di Kecamatan Kintamani yang didasarkan pada analisis situasi yang dibuat berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok Kepala Urusan Desa. Rencana kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Mei dan awal Agustus 2016 yang juga melibatkan peran serta aktif peserta program pengabdian kepada masyarakat untuk membuat skala prioritas program yang dilaksanakan. Perencanaan ini berjalan dengan sangat baik berkat peranan aktif tim pelaksana dan peserta yang menjadi mitra program pengabdian masyarakat ini. 19 Pada tahap berikutnya adalah mempersiapkan tutor atau pakar yang menguasai bidang-bidang yang akan dilatihkan kepada para peserta. Persiapan tutor dan instruktur dilaksanakan pada awal kegiatan untuk mematangkan kembali program-program yang akan dilaksanakan kepada mitra, sehingga terjadi sinergi yang baik dalam kegiatan ini. Persiapan tutor dan instruktur ini meliputi: pembuatan materi pelatihan secara terstruktur, baik dalam bentuk bahan cetak mapun media powerpoin, mencetak dan memperbanyak materi pelatihan untuk pelatihan peningkatan wawasan dan keterampilan Kepala Urusan Desa tentang hakekat dan kegunaan laporan pertangungjawaban keuangan, tujuan laporan pertangungjawaban keuangan, cara membuat laporan pertangungjawaban keuangan, konsep dasar LPD, visi dan misi LPD, cara melakukan evaluasi kesehatan LPD. Setelah semua tim pakar siap, tahap berikutnya adalah melakukan negosiasi dan musyawarah untuk menentukan waktu dan tempat kegiatan yang dalam hal ini melibatkan kelompok Kepala Urusan Desa di wilayah terpencil Kecamatan Kintamani. Hal ini dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan waktu dalam pelaksanaan program. Tahap berikutnya kegiatan dilakukan dengan cara ceramah dan tanyajawab tentang laporan pertangungjawaban keuangan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai. Namun, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam mengambil keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dan kejadian masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi nonkeuangan. Laporan keuangan juga menunjukan apa yang telah dilakukan manajemen (bahasa Inggris: stewardship), atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Pemakai yang ingin melihat apa yang telah dilakukan atau pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian agar mereka dapat membuat keputusan ekonomi. Keputusan ini mencakup, misalnya, keputusan untuk menahan atau menjual investasi mereka dalam perusahaan atau keputusan untuk mengangkat kembali atau mengganti manajemen. 20 Dalam prinsip akuntansi Indonesia (PAI 1984), tujuan pelaporan keuangan dinyatakan sebagai “Tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan”. Tujuan tersebut terdiri dari dua tujuan pokok, yaitu “Tujuan Umum” dan “Tujuan Kualitatif”. Tujuan umum akuntansi keuangan dan laporan keuangan merupakan gambaran mengenai informasi apa yang akan dihasilkan oleh akuntansi keuangan. Dalam tujuan tersebut tidak dinyatakan secara tegas mengenai siapa pihak yang dituju oleh informasi keuangan, namun begitu secara implisit dapat disimpulkan bahwa pihak yang dituju oleh informasi keuangan adalah terbatas pada pihak investor dan kreditor. Sedangkan “Tujuan Kualitatif” dalam PAI 1984 sebenarnya merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh informasi keuangan agar mampu mencapai tujuan laporan keuangan itu sendiri. Tujuan akuntansi keuangan dan pelaporan keuangan menurut PAI 384 adalah seperti berikut ini: Pada dasarnya akuntansi keuangan dan laporan keuangan dimaksudkan untuk menyediakan informasi keuangan mengenai suatu badan usaha yang akan dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan ekonomi. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dasar penetapan tujuan akuntansi keuangan adalah siapa yang menjadi pihak yang dituju oleh informasi keuangan yang dihasilkan oleh aktivitas akuntansi keuangan. Pihak yang dituju oleh akuntansi keuangan dinyatakan dengan kata “pihak-pihak” yang berkepentingan”. PAI tidak secara tegas menunjuk mengenai siapa pihak yang berkepentingan terhadap suatu unit usaha. Jika hal ini dibandingkan dengan SFAC No. 1, maka pihak yang dituju oleh informasi keuangan jelas dinyatakan dalam paragraph ke-24. SFAC No. 1 menyebutkan bahwa pihak yang berkepentingan terhadap suatu informasi keuangan unit usaha adalah: pemilik, pemberi kredit, pemasok, calon investor dan kreditor, karyawan, manajemen, direktur, pelanggan, analis keuangan, penjamin efek dan broker, pasar modal, dinas perpajakan, pemerintah, organisasi buruh, asosiasi perdagangan, peneliti bisnis, pengajar/dosen akuntansi dan siswanya, dan masyarakat luas. Tujuan umum laporan keuangan menurut PAI terdiri dari lima tujuan, masing-masing adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai aktiva dan kewajiban serta modal suatu perusahaan. 21 2. Untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya mengenai perubahan dalam aktiva neto (aktiva dikurangi kewajiban) suatu perusahaan yang timbul dari kegiatan usaha dalam rangka memperoleh laba. 3. Untuk memberikan informasi keuangan yang membantu para pemakai laporan di dalam menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba. 4. Untuk memberikan informasi penting lainnya mengenai perubahan dalam aktiva dan kewajiban suatu perusahaan, seperti informasi mengenai aktivitas pembiayaan investasi. 5. Untuk mengungkapkan sejauh mungkin informasi lain yang berhubungan dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan pemakai laporan, seperti informasi mengenai kebijakan akuntansi yang dianut perusahaan. Tujuan umum yang pertama mengisyaratkan bahwa tujuan akuntansi/laporan keuangan adalah menghasilkan informasi mengenai aktiva dan kewajiban serta modal pemilik suatu perusahaan. Media informasi keuangan yang memberikan informasi mengenai aktiva, kewajiban dan modal pemilik adalah neraca. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang berkepentingan” menurut PAI adalah investor dan kreditor, karena investor dan kreditor yang paling berkepentingan terhadap informasi neraca. Tujuan umum yang pertama ini mempunyai makna yang hampir sama dengan yang dinyatakan dalam SFAC No. 1 paragraph ke-41, yaitu mengenai informasi sumber-sumber ekonomi, kewajiban, dan modal pemilik. Menurut pernyataan di atas tujuan pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi mengenai sumber-sumber ekonomik perusahaan, kewajiban-kewajibannya, dan informasi mengenai modal pemilik. Tujuan tersebut dimaksudkan untuk membantu investor dan kreditor serta pemakai lain dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan finansial perusahaan dan untuk mengetahui likuiditas dan solvabilitas perusahaan. Tujuan umum laporan keuangan yang ke-2 menurut PAI adalah informasi mengenai perubahan aktiva neto (aktiva dikurangi kewajiban) suatu perusahaan yang timbul dari kegiatan usaha dalam rangka memperoleh laba. Aktiva neto mempunyai pengertian sejumlah modal pemilik berupa modal saham atau modal disetor. Fokus yang menjadi tujuan informasi mengenai perubahan aktiva neto adalah pihak investor dan kreditor. “Tujuan umum yang ke-2 ini juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan 22 “pihak-pihak yang berkepentingan” oleh PAI adalah investor dan kreditor. Tujuan umum yang ke-2 tersebut dapat dibandingkan dengan tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC No. 1 paragraph ke-40. Tujuan pelaporan keuangan sebagaimana terdapat dalam paragraph ke-40 mempunyai pengertian yang lebih luas, karena juga mencakup pengertian tujuan umum yang pertama dalam PAI, yakni mengenai informasi aktiva, kewajiban dan modal pemilik. Tujuan pelaporan keuangan dalam paragraph ke-40 dinyatakan sebagai berikut: Financial reporting should provide information about the econamic resources of an enterprise, the claims to those resources (obligations of the enterprise to transfer resources to other entities and owners equity), and the effects of transactions, events, and circumstances that change resources and claims to those resources. Informasi yang dimaksud dalam tujuan di atas adalah untuk memenuhi kepentingan investor dan kreditor, sebagaimana juga yang dimaksud oleh PAI dalam tujuan umum yang pertama dan kedua. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa fokus informasi keuangan yang dimaksud oleh PAI adalah terbatas hanya untuk memenuhi kepentingan investor dan kreditor. Tujuan umum laporan keuangan yang ke-3 menurut PAI adalah mengenai informasi keuangan yang membantu para pemakai laporan di dalam menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba. Ada dua pihak yang berkepentingan terhadap informasi laba perusahaan, yaitu pihak investor selaku pemilik dan kreditor selaku pemberi pinjaman. Terhadap informasi laba, investor berkepentingan untuk memperkirakan dividen yang menjadi bagiannya, atau memprediksi harga saham di pasar modal. Pihak kreditor menggunakan informasi laba perusahaan (sekarang dan potensial) untuk mengurangi ketidakpastian mengenai tingkat risiko kredit yang diberikan. Tujuan umum menurut PAI ini mempunyai maksud yang hampir sama dengan tujuan pelaporan keuangan dalam SFAC No. 1 paragraph ke-42 berikut: Financial reporting should provide information about an enterprise’s financial performance during a period. Investors and creditors often use information about the past to help in assessing the prospects of an enterprise. Thus, athough investment and credit decisions reflect investors’ and creditors’ expectations about future enterprise performance, these expectations are commonly based at least partly on evaluations of past enterprise performance. Berdasarkan tujuan di atas, pelaporan keuangan dimaksudkan untuk menyediakan informasi mengenai kinerja finansial 23 perusahaan selama periode tertentu. Informasi mengenai kinerja finansial perusahaan terdapat dalam laporan laba/rugi. Investor dan kreditor menggunakan informasi tersebut untuk membantu memperkirakan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Dalam tujuan umum yang ke-3 ini, PAI masih memfokuskan tujuan informasi keuangan kepada pihak investor dan kreditor. Tujuan umum laporan keuangan yang ke-4 menurut PAI adalah mengenai informasi penting lainnya mengenai perubahan dalam aktiva dan kewajiban suatu perusahaan, seperti informasi mengenai aktivitas pembiayaan dan investasi. Sebenarnya tujuan tersebut sudah tercakup dalam tujuan umum yang pertama dan kedua. Tujuan umum yang keempat ini juga dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada investor dan kreditor. Tujuan umum yang kelima menyatakan bahwa laporan keuangan dimaksudkan untuk mengungkapkan sejauh mungkin informasi lain yang berhubungan dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan pemakai laporan, seperti informasi mengenai kebijakan akuntansi yang dianut perusahaan. Secara sepintas tujuan tersebut memberi kemungkinan bahwa laporan keuangan dapat menyajikan informasi lain, selain neraca, laba/rugi dan perubahan posisi keuangan. Tetapi dengan kalimat seperti informasi mengenai kebijakan akuntansi yang dianut perusahaan.”, menyebabkan tujuan tersebut tetap saja terlalu sempit, karena yang dimaksud dengan “informasi lain” hanyalah keterangan-keterangan tambahan untuk laporan keuangan itu sendiri. Tujuan umum laporan keuangan yang kelima tersebut di atas mempunyai pengertian yang hampir sama dengan SFAC No. 1 paragraph ke54, mengenai keterangan dan penafsiran manajemen. Menurut paragraph tersebut, hal-hal yang mempunyai sifat khusus dalam pelaporan keuangan perlu diperjelas lagi dengan keterangan atau interpretasi manajemen. Tujuannya adalah agar investor dan kreditor serta pemakai lain lebih mudah untuk memahami informasi keuangan yang disajikan. Financial reporting should include explanations and interpretations to help users understand financial information provided. Dari uraian mengenai perbandingan antara tujuan umum laporan keuangan menurut PAI 1984 dengan SFAC No. 1 di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pihak-pihak yang dituju oleh informasi keuangan menurut PAI 1984 terlalu sempit, karena hanya meliputi pihak investor dan kreditor. Dengan demikian 24 maka fungsi laporan keuangan sebagai alat pertanggungjawaban hanya terbatas pada tanggungjawab manajemen kepada investor dan kreditor saja. 2. Secara sepintas tujuan umum laporan keuangan menurut PAI 1984 mempunyai maksud yang sama dengan tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC No. 1, tetapi pihak yang dituju oleh informasi tersebut sesungguhnya sangat lain. SFAC No. 1 secara tegas memang menyebutkan pihak investor dan kreditor sebagai salah satu pihak yang dituju oleh informasi, tetapi di samping itu juga disebut pihak pemakai potensial. Para pemakai potensial inilah yang menjadikan akuntansi sebagai aktivitas sosial, karena begitu luasnya pihak yang dituju oleh informasi akuntansi keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa akuntansi dituntut untuk lebih mampu memenuhi tugasnya sebagai alat pertanggungjawaban yang tidak hanya terbatas pada pihak investor dan kreditor saja, tetapi juga tenggungjawab perusahaan kepada publik. 3. Tujuan umum laporan keuangan menurut PA1 1984 tidak ditetapkan atas dasar pertimbangan tanggungjawab perusahaan secara lengkap, yang meliputi tanggungjawab kepada investor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat luas. Tujuan umum laporan keuangan dalam PAI 1984 secara khusus dan PAI 1984 secara umum merupakan terjemahan dari apa yang ada dalam standar akuntansi di Amerika Serikat, yakni Accounting Principle Board Opinion No. 4. Tujuan umum laporan keuangan PAI 1984 tidak ditetapkan atas dasar pertimbangan tujuan sosial ekonomik nasional, sedangkan FASB menetapkan SFAC No. 1 atas dasar pertimbangan mengenai tujuan sosial ekonomik di Amerika. Tujuan umum menurut PAI 1984 tersebut menyebabkan lingkup akuntansi keuangan menjadi sangat sempit, karena hanya menghasilkan laporan keuangan yang tidak meliputi tanggungjawab perusahaan secara lengkap. 25