1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara agraris, oleh karena itu bagi Indonesia – dan juga bagi negara-negara agraris lainnya – masalah sumber-sumber agraria khususnya tanah adalah masalah yang sangat penting karena kebanyakan masyarakatnya menggantungkan hidup pada tanah, mulai dari bercocok tanam (sebagai faktor produksi utama) hingga menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dalam hal ini, sebagai aset sosial, tanah memiliki dua fungsi krusial yaitu untuk memungkinkan dilakukannya produksi pertanian dan untuk memberikan lapangan kerja yang menghasilkan bagi sebagian besar masyarakat (White dan Wiradi, 1984). Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Di satu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Di sisi lain, kompleksitas ini muncul karena luas tanah relatif tidak bertambah. Kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya kompetisi di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta). Penguasaan tanah tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama menyangkut hubungan antara pemilik tanah dan penggarap (buruh tani). Dengan berlangsungnya waktu, dalam masyarakat tumbuh pembagian kerja. Namun justru mereka yang masih menggarap 2 tanah dan menghasilkan bahan pangan bagi seluruh manusialah yang sering mengalami kekurangan pangan (Wiradi, 2009a). Hal ini terjadi karena sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat tersebut (Spitz dalam Wiradi, 2009a). Data index gini-rasio memperlihatkan peningkatan ketimpangan pemilikan tanah yang besar. Bila tahun 1973 index gini rasio untuk Jawa 0,43 maka pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 0,72. Ketimpangan pemilikan tanah ini tercermin juga pada peningkatan persentase petani gurem (pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Serta perubahan dari rata-rata pemilikan tanah pertanian, dari 0,23 hektar tahun 1995 menjadi 0,19 pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 0,009 pada tahun 2003 (BPS, 2003) Data-data tersebut mengindikasikan fragmentasi tanah yang progresif. terutama dikalangan petani miskin. Dilain pihak data-data memperlihatkan konsentrasi tanah pertanian yang nyata. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 4 persen yang digolongkan sebagai petani kaya menguasai 33 persen dari tanah pertanian. Artinya fragmentasi lahan terutama terjadi pada petani kecil atau miskin yang berdampak pada terus bertambah rentannya kedudukan golongan petani ini. Fakta-fakta di atas sejalan dengan angka kemiskinan yang memperlihatkan mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 58 persen penduduk miskin berada pada sektor pertanian (BPS, 2003). Masyarakat kecil kesulitan untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria terutama dalam pemanfaatan lahan pertanian (tanah). Setiap tahunnya penguasaan tanah oleh petani kecil semakin menurun dan konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh para pemilik modal semakin mencuat. 3 Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya untuk merubah kembali struktur penguasaan tanah guna mencapai keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu berupa pengaturan atau perombakan penguasaan tanah, yang dikenal dengan landreform. Namun berdasarkan pengalaman landreform yang hanya berupa redistribusi tanah ternyata kurang berhasil karena banyak petani yang telah memperoleh tanah namun tidak mampu mengusahakannya karena kekurangan modal, sehingga tanah tersebut akhirnya dijual. Akhirnya, landreform ini perlu didukung oleh programprogram penunjangnya. Inilah yang dinamakan Reforma Agraria. Pada tahun 2006, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI) mulai menjalankan Reforma Agraria dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”. Agenda pemerintah ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Secara garis besar mekanisme penyelenggaraan Reforma Agraria mencakup empat lingkup kegiatan utama, yaitu: penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system Reforma Agraria serta Access Reform. Reforma Agraria harus meninggalkan filsafat paternalisme (Wiradi, 2009a) dimana pelaksanaan Reforma Agraria ini dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintah, sehingga dalam pelaksanaannya sering dipengaruhi oleh “pasar politik”(Hayami dalam Wiradi, 2009a). Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat dimana ketika rakyat mempunyai posisi tawar yang kuat, maka dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan. Untuk mewujudkan peran sebagai pendongkrak (by leverage), organisasi tani/rakyat haruslah kuat, bukan saja secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Artinya, secara kuantitatif jumlah massa petani harus cukup besar dan secara kualitatif 4 organisasi itu harus cukup solid. Agar peran sebagai dongkrak dan pendorong itu dapat lebih efektif, maka diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain dengan menjajaki kemungkinan berkembangnya inisiatif lokal. Salah satu contoh pelaksanaan Reforma Agraria adalah pelaksanaan Reforma Agraria di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis terutama pelaksanaan Reforma Agraria di desa Banjaranyar, khususnya Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II (OTL Banjaranyar II) dan di desa Pasawahan, khususnya Organisasi Tani Lokal Pasawahan II (OTL Pasawahan II). Pelaksanaan Reforma Agraria di kedua desa ini dimulai dengan upaya reklaiming terhadap lahan perkebunan oleh masyarakat Serikat Petani Pasundan (SPP) sekitar tahun 2000. Dalam pelaksanaannya perjuangan SPP ini juga dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya. Namun, khusus di desa Banjaranyar, selain dukungan dari pihak-pihak tersebut, terdapat juga dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa legalisasi kepemilikan lahan (sertifikat) pada tahun 2007. Pada akhirnya pelaksanaan kebijakan PPAN ini harus dapat menjawab dua tantangan dasar untuk dapat mewujudkan amanat konstitusi, yaitu pertama sejauh mana kebijakan itu memihak kepada rakyat miskin (pro-poor) dan kedua sejauh mana kebijakan itu bisa menciptakan tata kepengurusan yang demokratis dan adil (democratic governance) (Shohibuddin, 2010). 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, masyarakat OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II telah melakukan reklaiming terhadap lahan perkebunan. Upaya melakukan reklaiming ini dilakukan melalui gerakan petani yaitu melalui organisasi SPP. Pada tahun 2007 OTL Banjaranyar II mendapatkan sertifikat hak kepemilkan 5 lahan dari BPN melalui PPAN-nya. Pemberian sertifikat ini tentunya memberikan dampak yang berbeda terhadap masyarakat di dua desa tersebut terutama dalam struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 2. Bagaimana perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 3. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya? 4. Bagaimana dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan yang hendak dicapai adalah: 1. Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 2. Mengidentifikasi perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 6 3. Mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya; 4. Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan. Diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi sarana evaluasi dan informasi data baik bagi pemerintah, swasta, LSM, akademisi maupun masyarakat setempat. Di samping itu, penelitian ini mencoba untuk mencari solusi terbaik terhadap permasalahan terkait dengan pelaksanaan landreform by leverage dan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional.