LAYOUT-EDISI 23 (Page 46)

advertisement
WACANA PEMBAHARUAN HUKUM
Konsentrasi Kekaya
T
Ekonomi pasar kapitalistik mulanya bekerja
dengan memasukkan
secara paksa tanah
dan kekayaan alam
yang dimiliki rakyat ke
dalam usaha-usaha produksi berskala raksasa.
Proses ini bukan
berlangsung sekali jadi
lalu selesai, tetapi
sejak masa kolonial
terdahulu dan terus
menerus berlanjut
secara buas hingga
sekarang. Siapakah di
antara para pejabat
pemerintah Indonesia
sekarang ini yang
bertindak melindungi
(kepemilikan) rakyat,
baik yang telah,
sedang dan akan menjadi korban dari daya
rusak ekonomi pasar
kapitalistik itu?
Noer Fauzi
Anggota HuMa dan mahasiswa program doctoral pada
Department of Environmental
Science, Policy and Management (ESPM) – University of
California, Berkeley
46
FORUM KEADILAN: N0. 23, 01 OKTOBER 2006
anggal 24 September 1960, UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) ditetapkan. Undang-undang ini kemudian menjadi tonggak baru dalam perjalanan negara dan rakyat Indonesia untuk
mengubah struktur agraria warisan rejim
kapitalisme-kolonial. Bagi yang mempercayai bahwa sumber dari kemiskinan dan
ketidakberdayaan rakyat di pedesaan adalah struktur agraria yang timpang, maka
mereka akan sangat menghargai UUPA sebagai karya besar (master piece) dan akan
terus-menerus menjunjung tinggi prinsip
tanah berfungsi sosial dan mendorong pelaksanaan tekad untuk menjalankan reforma agraria, baik melalui apa yang disebut
sebagai Hak Menguasai dari Negara
(HMN), maupun melalui prakarsa-prakarsa
rakyat sendiri.
Sebaliknya, mereka yang justru percaya
bahwa konsentrasi penguasaan tanah merupakan salah satu keharusan dan alas bagi pembangunan ekonomi pro-pertumbuhan, maka UUPA yang telah berumur lebih
dari empat puluh enam tahun itu akan dianggapnya sebagai warisan masa lalu yang
usang, dan tidak sesuai bahkan bertentangan dengan tuntutan pembangunan ekonomi
dan kompleksitas penyesuaian diri ke arus
utama tata ekonomi politik dunia global
dewasa ini.
Adalah juga merupakan tugas utama para promotor reforma agraria dewasa ini untuk menunjukkan dengan mudah dan jelas
mengenai akibat-akibat buruk yang telah
dan akan terjadi dari model pertumbuhan
ekonomi-politik yang mengandalkan pada
kapitalisme dan pengelolaan negara secara
neoliberal, dan tidak dijalankannya reforma
agraria.
De Facto versus De Jure
Membahas masalah sepenting reforma
agraria, perlu memperhatikan aspek de jure
dan de facto dari kepemilikan atas tanah.
Istilah de jure umumnya digunakan untuk
menunjukkan kepemilikan formal yang
berdasarkan hukum atau peraturan yang
dianggap sah oleh hukum negara atau pihak
yang berkuasa. Penguasaan kawasan hutan
oleh Departemen Kehutanan adalah contoh
dari kepemilikan de jure ini. Walaupun
pada kenyataannya banyak kelompok
masyarakat yang hidup atau setidaknya
mengambil manfaat dari kawasan tersebut
sejak dahulu kala. Pasalnya, Departemen
Kehutanan berkuasa dengan kewenangan
yang dipegangnya atas dasar perundangundangan dengan menentukan wilayahwilayah mana yang diklaimnya sebagai
kawasan hutan yang dikuasai oleh negara.
Sementara, istilah de facto umumnya mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, dikenal, digunakan, dan yang terpenting diberlakukan oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu. Dalam banyak kasus
konflik agraria, cara-cara kepemilikan de
jure atas tanah dan sumber alam tidak sama dengan tata-cara penguasaannya secara
de facto. Kondisi de facto ini sangat penting
untuk diketahui, yang jika diabaikan oleh
negara maupun oleh mereka yang memegang hak de jure, tentunya bisa menimbulkan masalah. Banyak konflik yang terjadi di Indonesia saat ini adalah akibat dari
perbenturan konsep kepemilikan atau pengusaan tanah dan kekayaan alam secara de
facto dan de jure ini.
Dalam upaya memahami masalah agraria ini, kita tidak bisa sama sekali melepaskan diri dari watak dan peran institusi
pemerintahan. Salah satu kerumitan konflik agraria ini bersumber dari dalam tubuh
birokrasi pemerintahan yang sektoral dan
dominan. Di dalam suatu batas wilayah negara, kewenangan pengurusan atas tanah
dan kekayaan alam ini seringkali dibagibagi ke dalam beberapa sektor. Adanya sektoralisasi dalam negara ini tidak jarang
malah menimbulkan konflik karena setiap
lembaga menciptakan perundang-undangan, kelembagaan, sistem manajemen hingga
aparatusnya sendiri-sendiri, yang tidak
jarang betengkar satu sama lainnya. Tiga
sektor utama adalah kehutanan, pertanahan (di dalamnya ada pertanian, perkebunan, industri, dan permukiman) dan pertambangan. Masing-masing lebih memikirkan kepentingan dan kewenangannya
masing-masing (sering disebut dengan istilah: “egoisme sektoral” atau “ego-sektoral”)
yang tidak jarang tidak cocok dan saling
tumpang tindih.
Selain masalah ini, ketegangan dapat
juga terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, juga di dalam
pemerintahan daerah antara DPRD dengan
birokrasi pemerintahan daerah. Mereka
mempertontonkan tarik-menarik kepentingan dan kewenangan untuk mengatur siapa
yang dapat mempunyai hak, siapa yang
dapat memperoleh hasil, dan siapa yang
menentukan pemilikan, pengelolaan,
Kerjasama Forum Keadilan dan HuMa
aan atau Reforma Agraria?
memanfaatan, pelestarian, hingga pengalihan hak atas tanah
dan sumber alam di wilayah tertentu. Bukan hanya perbedaan
antara kebijakan dan praktek dari masing-masing sektor dan
juga antar pusat dan daerah itu saja yang merumitkan konflik
agraria, tetapi juga saling tegang dan multi-arahnya perubahan
kebijakan-kebijakan mereka itu dari waktu ke waktu, lebihlebih di masa para pemerintahan setelah tumbangnya rejim
otoritarian di tahun 1998. Disana muncul perbedaan antara
kebijakan yang tertulis, baik yang lama maupun yang diperbarui dengan apa yang dipraktekkan mereka sehari-hari yang
menyulitkan terlaksananya agenda perubahan. Hal inilah yang
antara lain menjadi sumber rasa sangsi yang umum
diprasangkai bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan
untuk mengatasi masalah, sebab mereka sendiri adalah bagian
dari pencipta masalah itu.
Siapa Pelindung Rakyat dari “Pasar Bebas”?
Para pelajar sejarah agraria Indonesia, lebih-lebih mereka
yang mempelajari sejarah agraria Eropa, Amerika, Amerika
Latin hingga Afrika, akan banyak menemukan contoh-contoh
dimana pemberlakukan hukum agraria baru, termasuk di
dalamnya yang disebut sebagai hukum kehutanan atau pertambangan merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah
dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu. Transformasi dari alam
menjadi sumber daya alam merupakan suatu cerita yang sangat pahit bagi rakyat yang tidak lagi dapat menguasai, memanfaatkan bahkan memperoleh layanan dari alam yang telah
dijadikan sumber daya eksklusif bagi perusahaan-perusahaan
itu. Akses mereka telah ditutup melalui pemberlakuan hukum,
penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status
kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja
sekelompok rakyat melakukan tindakan-tindakan untuk menguasai dan menikmati kembali, akibatnya sangat nyata, yakni
mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi
hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja
dibenarkan secara hukum.
Gerakan penutupan lahan (enclosure movement) intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu dan memasukkannya ke dalam modal
bagi perusahaan kapitalistik. Hal ini adalah bentuk kongkrit
dari apa yang dulu pernah diteorikan dan dianjurkan oleh
Adam Smith dalam karya terkenalnya The Weath of Nations
bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum
pembagian kerja” (1776, I.3:277). Belajar dari kenyataan dan
keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori mengenai
original accumulation, yang mendudukkan proses ini sebagai
satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx,
Das Capital, 1867). Maksudnya, proses paksa menciptakan
orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan
alam, tetapi pada tenaga kerja yang melekat pada dirinya saja,
lalu menjadi para penganggur pekerja bebas, yang disertai
berbagai gejala lain yang menyertainya, seperti pergi menjadi
pengungsi dari tanah mereka berasal (land refugee) ke kota-ko-
Kerjasama Forum Keadilan dan HuMa
ta. Kantung-kantung kemiskinan di desa-desa dan di kota-kota
tidak lain dan tidak bukan juga dilahirkan oleh proses yang
tersembunyi seperti ini. Juga demikian halnya dengan konflik
agraria, yang dalam konteks ini dapat dipahami sebagai perlawanan balik yang berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan gerakan
penutupan lahan itu, baik telah terjadi di masa lampau yang
mengenai para pendahulu mereka maupun yang langsung mengenai mereka dan melekat sebagai pengalaman kolektif mereka.
Masalah terbesar mengenai rakyat agraris sekarang ini adalah struktur ekonomi politik kapitalistik neoliberal yang terusmenerus mengambil asset kepemilikan publik (accumulation by
dispossession — Istilah dari David Harvey, The New Imperialism 2003), maupun akumulasi modal secara meluas melalui
produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi. Gejala yang
mengkhawatirkan adalah penggunaan kewenangan eksklusif
dari pemerintahan, seperti pembuatan perundang-undangan,
pengggunaan hukum, birokrasi dan aparatus pidana, hingga
anggaran publik untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan
kapitalistik raksasa itu bekerja dengan mudah dalam ekonomi
pasar kapitalistik itu? Ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama
sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang.
Tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan. Tanah terikat dan melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Mereka yang memperlakukannya sebagai komoditi pada mulanya suatu tindakan
imajiner. Dia dibayangkan sebagai komoditi oleh mereka yang
memperlakukannya sebagai komoditi, walaupun sesungguhnya tidak bisa (fictitious commodity). Menurut Karl Polanyi
dalam Great Transformation (1944), memperlakukan tanah
(alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari
ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu,
dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi
masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.
Demikianlah. Memahami masalah agraria dari perspektif
demikian akan membantu pembaca untuk di satu pihak menghargai inisiatif gerakan-gerakan reforma agraria yang bertumbuh hidup-mati selama ini, dan kemudian semoga dengan
kesadaran itu, ikut mendukung gerakan itu, dan mendorong
pemerintah menjalankan kewajibannya melindungi rakyat dari
kerusakan yang telah dan akan ditimbulkan dari tabiat buruk
ideologi, kebijakan dan praktek ekonomi pasar kapitalistik. ❏
Tanggapan atas rubrik ini silakan kirim ke Perkumpulan Untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat & Ekologis (HuMa),
Jl Jati Agung No. 8, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta 12540.
Telp. (021) 7806959, 78845871 Faks. (021) 7806959
E-mail: [email protected]; [email protected]
FORUM KEADILAN: N0. 23, 01 OKTOBER 2006
47
Download