Kisah Suram Waisak di Candi Borobudur Tahun Ini

advertisement
Kisah Suram Waisak di Candi Borobudur
Tahun Ini
Minggu, 26 Mei 2013 - 13:09 wib
Browser anda tidak mendukung iFrame
Mutya Hanifah - Okezone
Suasana ramai Candi Borobudur saat perayaan Waisak (Foto: Mutya/Okezone)
MAGELANG - Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Waisak di Candi Borobudur tahun
ini menarik banyak wisatawan. Sayangnya, kesakralan hari suci umat Buddha ini menjadi
ternodai karenanya.
Tahun ini, Candi Borobudur tetap dibuka untuk umum saat prosesi Waisak. Ribuan turis, baik
lokal maupun mancanegara, memadati candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini.
Kebanyakan turis mengaku menanti ritual pelepasan seribu lampion, yang menjadi penanda
berakhirnya prosesi Waisak tahun ini.
Menurut pantauan Okezone pada Sabtu, 25 Mei 2013, pukul 14.00 WIB, jalanan menuju Taman
Wisata Candi Borobudur sudah padat dan macet. Padahal, saat itu sedang ada prosesi kirab biksu
dari Candi Mendut ke Candi Borobudur, salah satu bagian dari prosesi Waisak.
Memasuki kawasan Candi, antrean gerbangnya mengular. Tampaknya, tahun ini adalah tahun
teramai perayaan Waisak di Borobudur. Sebagian turis berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tak
hanya dari Jawa Tengah atau Yogyakarta.
Pelataran Candi Borobudur sudah dialasi karpet kuning. Karpet yang seharusnya menjadi tempat
duduk para umat Buddha justru dipenuhi turis, sebagian besar anak muda yang tidur-tiduran
sambil bercanda ria. Jumlah turis bahkan lebih banyak dibandingkan umat Buddha yang ingin
beribadah hingga cukup mengganggu kekhusyukannya.
Pukul 17.00 WIB, para biksu dari majelis-majelis yang sudah dua hari melakukan prosesi
Waisak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur sudah berkumpul di panggung pelataran. Hujan
rintik-rintik turun, membuat para turis mengembangkan payungnya selama menunggu acara
dimulai.
Hingga pukul 19.00, acara masih belum juga dimulai, padahal para biksu dan biksuni sudah
berkumpul di panggung, siap untuk memanjatkan doa bersama. Hujan turun semakin deras,
membuat pengunjung semakin resah.
"Maaf, acara belum dapat kami mulai karena masih menunggu kedatangan Menteri Agama,
Suryadarma Ali," kata pembawa acara. Sontak, pengunjung menyoraki dengan teriakan "huuuu"
panjang. Tak sedikit yang memaki. "Kami sudah menunggu lama!" "Kapan acara lampionnya?,"
begitu teriak turis-turis itu. Pembawa acara pun mencoba menenangkan pengunjung dengan
menggunakan kata-kata mutiara dari kitab ajaran Buddha.
Sekira pukul 20.00 WIB, akhirnya Menteri Agama datang. Kedatangannya disambut sorakan
kecewa yang panjang. Sorakan ini juga terdengar saat Suryadarma membacakan sambutan dan
saat pemuka agama Buddha menyebutkan namanya.
Saat sambutan dari pemuka agama Buddha, pengunjung pun terdengar tak bisa tenang. Di sanasini terdengar suara teriakan dan tawa mereka.
Usai sambutan-sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dari biksu-biksu sembilan
majelis yang hadir saat itu. Hujan masih turun deras, dan mirisnya pada saat pembacaan doa,
pengunjung meringsek naik ke panggung.
Mereka naik ke panggung, berusaha berada sedekat mungkin dengan para biksu dan
memotretnya. Hal ini tentu mengganggu panjatan doa mereka, apalagi pengunjung-pengunjung
ini memotret dengan menggunakan flash.
"Tolong jangan naik ke altar, ini tempat yang tidak boleh dinaiki," kata seorang biksu kepada
pengunjung. "Bila ingin berfoto, tolong memoto dari jauh, para biksu sedang berdoa," imbuhnya.
Namun, peringatan itu tidak dipatuhi pengunjung. Kejadian lebih ricuh lagi terjadi saat ritual
Pradaksina, yaitu ritual para biksu mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali. Pengunjung
semakin mendekat ke arah biksu, mencoba mengikuti mereka melakukan Pradaksina.
"Tolong, bagi pengunjung yang ingin juga melakukan Pradaksina, harap tertib. Jangan
menghalangi jalannya biksu," demikian peringatan dari pembawa acara. Namun lagi-lagi
diabaikan, bahkan seorang biksu terinjak-injak kakinya oleh pengunjung.
Usai Pradaksina, harusnya dimulai acara yang ditunggu-tunggu, yaitu pelepasan 1.000 lampion.
Namun sayang, karena hujan masih turun dengan derasnya, pelepasan lampion terpaksa
dibatalkan.
Teriakan dan keluhan marah dari pengunjung segera terdengar. Sebagian meninggalkan area
candi, sebagian lagi ada yang naik ke panggung, mengambil bunga-bunga dan hiasan panggung.
Area Borobudur menjadi sangat kotor oleh botol minuman, tisu, dan bekas bungkus makanan.
Waisak, yang seharusnya menjadi momen sakral ibadah umat Buddha, justru sebaliknya. Umat
Buddha tidak dapat beribadah dengan tenang lantaran para turis penasaran menunggu pelepasan
lampion, yang perhelatannya diadakan berbarengan.
Browser anda tidak mendukung iFrame
Download