`SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Ahmad Faqih Syarafaddin NIM: 107043200127 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H / 2011 M SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy) Oleh: Ahmad Faqih Syarafaddin NIM: 107043200127 Di Bawah Bimbingan Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA NIP: 196912011999031003 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Jakarta,14 Desember 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag NIP. 196511191998031002 (............................... ..) Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si NIP. 197412132003121002 (............................... ..) Pembimbing I : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA NIP. 196912011999031003 (............................... ..) Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 195703121985031003 (............................... ..) Penguji II : Dr. Djawahir Jejazziey, SH., MA NIP. 195510151979031002 (... ............................ ..) LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 22 Desember 2011 Ahmad Faqih Syarafaddin KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT Sang kreator Alam Semesta, yang telah memperlihatkan kepada kita rambu-rambu Dien al-Haq dan menurunkan kitab alQur’an yang menjelaskan dan mensyariatkan hukum-hukum kepada kita. Karena atas rahmat serta ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah ke haribaan junjungan alam Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Mudah-mudahan kita termasuk golongan pengikutnya yang mendapatkan syafaat di yaumil mahsyar kelak. Amiin. Penulis pun merasa berhutang sekali kepada semua pihak yang selama ini telah membantu baik secara langsung maupun dorongan moral yang tak ternilai harganya dengan sesuatu apapun dan sampai kapan pun. Semoga suatu saat nanti penulis dapat membalasnya dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terima kasih penulis sampaikan pada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; i 2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag., sebagai Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si., sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum; 3. Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya selama penulis menyelesaikan skrispsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati, dan nasihat-nasihat berharga yang telah bapak berikan; 4. Bapak Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya, M.Si, selaku Tokoh Lingkungan Hidup dan Religion and Conservation Initiative Conservation International Indonesia yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis melalui proses wawancara; 5. Pimpinan beserta seluruh staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Umum Jakarta Selatan, yang telah memberikan fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk mengadakan studi perpustakaan; 6. Keluargaku tercinta, Bapak H. Abdul Ghofur dan Ibu Hj. Laila Anisah yang tak pernah berhenti mendo’akanku. Kakak-kakakku, A kasyfi, Mbak Clara, A Dharief, Mbak Barir, dan keponakanku Ibanez Ajda Abdurrahman. Terima kasih yang tak terhingga atas do’a, kasih sayang, dan dukungan dari kalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan kepada kalian semua; ii 7. Guru-guruku, Abah KH. E. Fachruddin Masthuro, Drs. KH. Abdul Aziz Masthuro, KH. Iyan Tibyani (Alm), Drs. KH. Oman Komaruddin, M. Ag, H. Sholahuddin, M. Ag, Drs. R. Dedi Supriatna, M. Ag. Serta seluruh dewan guru di SDN Setia Darma 03, MI El-Nur El-Kasysyaf, MTs dan MA AlMasthuriyah Sukabumi yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu namun tak mengurangi rasa ta’zim penulis. Terima kasih atas ilmu yang kalian berikan, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dalam mengukir masa depan; 8. Sahabat-sahabatku di Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan 2007, khususnya Keluarga Besar PH Ceria 07. I feel like the luckiest person in the world, because i can through the incredible four years lifetime with the gorgeous people like you all; 9. Keluarga Bapak Muhammad Nuh dan teman-teman KKN Crew21 2010. Terima kasih karena telah membawaku ke dalam satu bulan yang indah. Semoga tali silaturrahim di antara kita takkan pernah putus sampai kapanpun; 10. Sohib-sohibku di kost JW Marriott, Ahmad Fudhoily, S. Psi., Fadil, Bos Dendi, Hajir, Dagol “Hasbi”, Ignazio Nurhalim. Juga teman-teman di Keluarga Alumni Al-Masthuriyah kom. UIN Jakarta, Ardi, Zikril, Adze, Rumpin, Ribop, kita harus selalu Serta seorang wanita menjaga arti dari sebuah persahabatan ini. bernama Sinta Hamidatus Saidah, yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, saya tidak akan melupakan jasamu. Semoga Allah senantiasa melindungimu. iii Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, penulis haturkan beribu-ribu terima kasih dan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan. Robbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idzhadaitanaa wahablanaa minladunka rahmatan innaka antaal-wahhaab. Amiin. Jakarta, 13 Shafar 1433 H 7 Januari 2012 M Penulis iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... ..................................................................................................i DAFTAR ISI ..................................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ... ..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... ................................................ 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ......................................................... 9 D. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 10 E. Metode Penelitian ................................................................................. 12 F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP ... ................................................................................................... 16 A. Pengertian Lingkungan Hidup ............................................................ 16 B. Lingkungan Hidup Menurut Konsepsi Islam ... .................................. 20 C. Unsur-Unsur Lingkungan Hidup ... ..................................................... 26 D. Fungsi Lingkungan Hidup ... ................................................................ 27 E. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup .................................. 29 1. Pengertian Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup ...................................................................... 29 2. Macam-Macam Pencemaran Lingkungan Hidup ........................ 32 v BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ...................................................................... 35 A. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam ... ............. 35 1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................. 35 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 37 3. Pengertian Sanksi Pidana ... ......................................................... 38 4. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................... 38 B. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif ... .............. 55 1. Pengertian Tindak Pidana.............................................................. 55 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 56 3. Pengertian Sanksi Pidana ... ......................................................... 58 4. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................... 60 BAB IV TINDAK PIDANA PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 ................................66 A. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam .........................................................................66 B. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 .............................69 C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup ...............................................................78 vi D. Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup ... ......................................................................... 83 BAB V PENUTUP ... ............................................................................................... 94 A. Kesimpulan ... ....................................................................................... 94 B. Saran ... .................................................................................................. 95 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. LAMPIRAN vii 98 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9 juta mil persegi.1 Sebagai sebuah negara yang dihuni oleh penduduk yang multi-etnik dan multi-kultural, Indonesia telah menjadi negara yang kaya dengan berbagai nilai sejarah dan sosial budaya yang dapat dijadikan modal bagi pembangunan bangsa.2 Namun, di samping itu semua Indonesia termasuk negara yang rawan bencana bila ditinjau dari letak geografi, kondisi topografi, keadaan iklim, dinamika bumi, 1 Tentang Indonesia, artikel diakses http://www.indonesia.bg/indonesian/indonesia/index.htm 2 pada 13 April 2011 dari Rusli Wahid, dkk, Untukmu Kami Hadir, (Jakarta: Sekretariat Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial, 2006), h. 75 1 2 faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi. Indonesia telah menjelma menjadi negeri bencana. Betapa tidak. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, negeri ini dihajar oleh bencana bertubi-tubi dengan korban ratusan ribu jiwa dan harta benda yang tidak terkira. Sebagaimana diketahui, secara geologis wilayah Indonesia terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring of fire). Jalur sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke timur Indonesia yang merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, akan berpotensi memicu berbagai kejadian alam yang besar. Berada pada pertemuan tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pacific, dan Circum Australia), lebih 500 gunung api (128 aktif), negara kepulauan, 2/3 liter air, 5000 sungai besar dan kecil (30% melintasi wilayah padat penduduk), jumlah penduduk yang besar dan tidak merata, keanekaragaman suku, agama, adat, budaya, golongan. Kondisi demikian menyebabkan Indonesia menjadi sangat rawan akan bencana.3 Di dalam Islam, bencana adalah sesuatu yang menimpa atau membinasakan, kemalangan dan kejadian yang tidak diinginkan. Bencana juga lazim disebut dengan musibah. Dua kata itu memiliki makna yang sama.4 3 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana: Respons dan Tindakan Terhadap Bencana, (Yogyakarta: Medpress, 2010), h. 31 4 Hasan Muafif Ambary, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jld. 3, h. 308 3 Namun, sebelum bencana itu terjadi sudah selayaknya manusia sebagai salah satu penghuni muka bumi ini untuk senantiasa merawat, melestarikan serta menjaga bumi ini dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak alam semesta. Paling tidak dapat mengurangi terjadinya bencana yang disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia dan kelalaiannya yang berakibat fatal.5 Berbagai macam bencana alam dapat menyerang kapan saja, menyebabkan kehilangan harta dan nyawa. Gempa bumi, angin puting beliung, banjir, kebakaran hutan, hujan asam, dan gelombang pasang yang umum disebut bencana alam, semuanya akan menyebabkan kerusakan. Namun ada yang perlu direnungkan apakah memang bencana itu datang dari kehendak-Nya? Sebab berbagai bencana itu tidak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia yang terus mengeksploitasi alam tanpa pernah mempertimbangkan keseimbangan alam itu sendiri.6 Akhir-akhir ini kerusakan lingkungan merupakan suatu isu global di samping isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Di antara isu tersebut kerusakan lingkungan merupakan isu yang paling terkristalisasi. Di Indonesia, tata kehidupan yang berwawasan lingkungan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (selanjutnya penulis akan singkat menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009), BAB I Ayat 3 yang berbunyi: Pembangunan yang berkelanjutan yang 5 Agus Mustofa, Menuai Bencana, (Surabaya: PADMA Press, 2005), h. 236. 6 Purnomo, Manajemen Bencana, h. 21 4 berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memajukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.7 Lingkungan sebagai sumber daya merupakan aset yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa , “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Dengan demikian menurut Otto Soemarwoto sebagaimana dikutip oleh Supriyadi, sumber daya mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi alam atau permintaan layanan ada di bawah batas daya regenerasi dan asimilasi, sumber daya terbaharui itu dapat digunakan secara lestari. Tetapi apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.8 Berdasarkan penjelasan di atas dapat terlihat bahwa alam atau lingkungan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia, karena manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, membentuk dan terbentuk juga oleh lingkungan hidupnya. 7 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 130 8 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 4. 5 Melihat betapa pentingnya pengaruh lingkungan bagi manusia, maka yang harus dilakukan adalah menjaga dan melestarikan lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 Pasal 65 ayat 1 menyebutkan bahwa: “ Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.” Namun, begitu besarnya kekayaan alam Indonesia terutama sub-sektor kehutanan sudah seharusnya menjadi perhatian kita guna memanfaatkan dan melestarikannya. Terlebih ini harus diperhatikan dengan serius oleh para pemegang kebijakan negeri ini. Berbagai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi, penebangan kayu ilegal, dan penjarahan kekayaan alam lainnya yang terjadi telah mengakibat berbagai kerusakan dan bencana. Bahkan membawa kerugian yang besar bagi Indonesia, di mana diperkirakan kerugian mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Penjarahan kekayaan alam terutama di sub-sektor kehutanan dengan maraknya penebangan kayu ilegal memang tidak terlepas dari aktivitas produksi perusahaanperusahaan besar swasta. Dan bahkan diperkirakan 70-75% dari kayu ditebang secara illegal. Menurut WWF, penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa faktor: Kapasitas perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang berlebihan. Keduanya memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar walau produksi kayu sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an. WWF melaporkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk mengolah 58,2 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan 6 secara legal hanya mampu mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik. Sisa kapasitasnya digunakan oleh kayu yang ditebang secara illegal.9 Persoalan lingkungan di masa yang akan datang akan semakin berat dan bersifat kompleks, sehingga semakin terbuka demi sistem pendidikan formal maupun informal yang telah mencoba memperkenalkan segi-segi perlindungan lingkungan. Banyak bidang ilmu yang mengkaji tentang lingkungan, tetapi meihat dari sudut pandang tertentu. Lingkungan dan permasalahannya pada akhirnya telah mempunyai spesialisasi ilmu sendiri. Sayangnya manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik bencana alam yang terjadi. Mereka bebal dan buta tuli terhadap tanda-tanda yang dihadirkan oleh alam sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap perilaku manusia yang rakus dan serakah dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade “mungkin alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan kebenaran faktualnya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar benci dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya. Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia.10 Melihat kepada fakta tersebut di mana perusakan lingkungan hidup sudah merajalela sehingga bencana datang silih berganti, jelas-jelas itu sangat bertentangan 9 Harwiyaddin Kama, Eksploitasi Atas Kekayaan Alam Indonesia, artikel diakses pada 20 Juni 2011 dari http://bumianoa.wordpress.com/2010/06/07/eksploitasi-atas-kekayaan-alam-indonesia/ 10 Gunawan Adnan, Fiqih Lingkungan, artikel diakses pada 20 Juni http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/fiqih-lingkungan/ 2011 dari 7 dengan kewajiban kita sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaga dan merawat lingkungan di sekitar kita. Di sinilah pemerintah sangat berperan dalam menciptakan sebuah lingkungan yang jauh dari permasalahan dan dampak yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia sebagai negara yang di dalamnya marak akan perbuatan eksploitasi alam secara illegal, masih banyak terdapat masyarakatnya yang belum mengetahui bagaimana sanksi pidana yang diterapkan Pemerintah di dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan dalam hukum Islam kepada para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut. Meski pada kenyataannya mayoritas warga negara Indonesia adalah beragama Islam. Oleh karena itu ada baiknya perspektif hukum Islam mengenai pemberian sanksi pidana kepada pelaku perusakan ligkungan hidup dimasukkan dalam pembahasan ini sebagai perbandingan. Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009” 8 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Permasalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena masalah ini hampir setiap hari menjadi topik pembicaraan masyarakat. Berita mengenai masalah pencemaran atau perusakan lingkungan hidup pun hampir setiap harinya menghiasi media, baik media massa maupun media elektronik. Guna memudahkan pembatasan masalah dan fokus masalah dalam kajian skripsi ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan permasalahan merupakan poin yang penting untuk menghindari dari meluasnya obyek kajian, sedangkan perumusan masalah bertujuan untuk mengarahkan alur bahasan dan menjawab berbagai permaslahan sebagai suatu substansi dari skripsi. Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi permasalahan pada sanksi pidana yang diterapakan kepada pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam. Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada beberapa pembahasan sebagai berikut: 1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009? 2. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berkut: 1. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009; 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai aspirasi penulis kepada Pemerintah dan Lembaga yang berwenang untuk semakin baik dan adil dalam melaksanakannya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya adalah untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam sistem hukum pidana Islam dan UndangUndang nomor 32 Tahun 2009. Secara akademis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum pada khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif mengenai sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam hukum Islam maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. 10 D. Review Studi Terdahulu Sejauh penelitian mengenai topik yang membahas masalah lingkungan hidup baik mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun masalah lain yang berkaitan dengan perusakan lingkungan hidup, baik yang mengkaji secara spesifik masalah tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Penulispun melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul skripsi, di antaranya sebagai berikut: Penulis : Dana Supriana Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun : 2008 Judul : ISLAM TENTANG LINGKUNGAN SEBUAH KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Dalam skripsi ini dipaparkan bagaimana peranan Pendidikan agama Islam dalam menyikapi lingkungan yang ada di sekitar kita. Pada skripsi ini pula diuraikan mengenai masalah sikap tanggungjawab dan kewajiban kaum muslimin dalam menangani permasalahan lingkungan. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, skripsi yang ditulis oleh Dana Supriana fokus kepada pendidikan agama Islam yang berbasis lingkungan di mana dalam skripsi itu hanya terpaku di dalam dunia pendidikan. Di dalam skripsi yang ditulis oleh Dana Supriana tidak menitikberatkan kepada eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam menerapkan sanksi kepada pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, di dalam skripsi ini pula 11 tidak dicantumkan sksistensi hukum Islam dalam pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya: Penulis : Helmi Maulana Fakultas : Syariah dan Hukum Tahun : 2008 Judul : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2008 DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEHUTANAN DAN KONSEPSI PERLINDUNGAN ALAM DALAM ISLAM. Persamaan dalam skripsi yang ditulis Helmi Maulana adalah sama-sama membahas tentang perlindungan terhadap alam atau lingkungan hidup. Di antaranya adalah membahas tentang konsepsi perlindungan alam dalam Islam. Namun yang menjadi perbedaan dari skripsi penulis adalah di mana dalam skripsi yang ditulis oleh Helmi Maulana dicantumkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan. Sedangkan di dalam skripsi penulis lebih berkutat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang lebih jauh akan membahas mengenai sanksi yang diterapkan kepada pelaku perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang tersebut dan dalam hukum Islam. Dari beberapa kajian yang disebutkan di atas, terlihat bahwa masing-masing hanya membahas mengenai lingkungan menjadi suatu objek tertentu. Akan tetapi, 12 belum terdapat suatu kajian perbandingan yang spesifik mengenai pemberian sanksi kepada pelaku perusakan lingkungan hidup dalam sistem hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang merupakan perbedaan spesifik dibanding karya tulis yang telah ada. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam literatur buku, artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca berbagai macam literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini yang meliputi semua referensi yang terdapat dalam bentuk buku dan sejenisnya yaitu karangan, laporan penelitian, mata pelajaran, majalah, brosur, surat kabar dll.11 Selain itu penulis juga mengumpulkan data melalui teknik wawancara dengan tokoh/aktivis lingkungan hidup guna menggali prinsipprinsip mendasar yang terbaru dan telah berkembang untuk diteliti. 11 Jaenal Aripin, Metode Dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Oktober 2009, h. 1 13 3. Sumber Data a. Sumber data primer, sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.12 Dan yang menjadi sumber data primer dalam penulisan skripsi ini yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penelitian antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan. b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.13 Dan sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikelartikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. Maka hasil kajian kepustakaan dan wawancara akan dianalisis secara deskriptif setelah melalui proses editing 12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke2, h. 225 13 Ibid., h. 225 14 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I Berisikan pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Alasan-alasan subsub bab tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk lebih mengetahui alasan pokok mengapa penulisan ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui batasan dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami. Bab II Tinjauan umum atau landasan teori mengenai lingkungan hidup, yang dibagi dalam beberapa sub, yakni: Pengertian Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup Menurut Konsepsi Islam, Unsur-Unsur Lingkungan Hidup, Fungsi Lingkungan Hidup, serta Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Bab III Membahas mengenai sanksi pidana dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang dibagi dalam dua sub bab, yaitu: Klasifikasi tindak pidana dalam hukum Islam dan Klasifikasi tindak pidana dalam hukum 15 positif. Yang masing-masing terdiri dari pembahasan Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pengertian Sanksi Pidana, dan Macammacam Sanksi Pidana. Bab IVMembahas mengenai tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang dibagi ke dalam empat sub bab, yaitu Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam, Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran dan perusakan Lingkungan Hidup. Bab V Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan berisikan kesimpulan dan saran-saran. Bab ini bertujuan untuk memberikan kesimpulan dari babbab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran mengenai isi dari penulisan ini. BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP A. Pengertian Lingkungan Hidup Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kita berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.1 Lingkungan hidup terdiri dari dua kata, yakni: Lingkungan dan Hidup. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lingkungan berarti daerah, golongan; kalangan, dan semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan.2 Sedangkan hidup berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya.3 Jika kedua kata 1 Afandi Kusuma, Pengeritan, Kerusakan Lingkungan, Dan Pelestarian, artikel diakses pada Selasa 12 Juli 2011 dari http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakanlingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian2 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-4, h. 675 3 Ibid., h. 400 16 17 tersebut digabungkan, maka lingkungan hidup berarti daerah atau tempat di mana makhluk hidup untuk bertahan dan bergerak sebagaimana mestinya. Beberapa pakar lingkungan tidak membedakan secara tegas antara pengertian lingkungan dengan “lingkungan hidup”, baik dalam pengertian sehari-hari maupun dalam forum ilmiah. Namun yang secara umum digunakan adalah bahwa istilah “lingkungan” lebih luas daripada ‘lingkungan hidup.” Istilah lingkungan hidup dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan millieu, atau dalam bahasa Perancis disebut dengan i environment. Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhuk hidup termasuk di dalamya manusia dan perilakunya yang mempegaruhi kelangsungan perkehidupan dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya.4 Lingkungan hidup ialah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah pula bagian dari lingkungan hidup kita masing-masing. Oleh karena itu kelakuan manusia, dan dengan demikian kondisi sosial, merupakan pula unsur lingkungan hidup kita.5 Lebih lanjut beberapa pendapat dari para ahli dan pakar lingkungan dalam mengemukakan tentang definisi lingkungan hidup antara lain: 6 4 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. Ke- 2, h. 1 5 A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ke-2, h. 18 Otto Soemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) tekemuka mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis ruang itu selalu diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan. Munadjat Danusaputro, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat masnusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.6 Menurut Emil Salim lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisikeadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tepati dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia.7 Soedjono mengartikan “lingkungan hidup” sebagai lingkungan hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang terdapat dalam alam. Dalam pengertian ini, maka hewan, dan tumbuh-tumbuhan tersebut dilihat dan dianggap sebagai perwujudan fisik jasmani belaka. Dalam hal ini 6 7 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 4 Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1985), cet. Ke-5, h. 16 19 lingkungan diartikan, mencakup lingkungan hidup manusia, hewan dan tumbuhtumbuhan yang ada di dalamnya.8 Sedangkan menurut pengertian yuridis, seperti diberikan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolan Lingkungan Hidup (selanjutnya penulis singkat menjadi UU RI No. 32 tahun 2009), lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.9 Dan dari definisi-definisi tersebut dapat penulis simpulkan bahwa lingkungan hidup adalah suatu rangkaian atau suatu sistem yang saling mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan, baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan maupun terhadap benda mati lainnya. Istilah lingkungan hidup itu sendiri merupakan hal yang baru di Indonesia. Di mana istilah lingkungan hidup baru muncul sekitar tahu 1970-an seiring dengan adanya konferensi stockholm mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan di tahun 1972.10 8 R. M. Gatot P. Soemartono, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 14 9 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), cet. Ke-1, h. 130 10 Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012 20 B. Lingkungan Hidup Menurut Konsepsi Islam Di dalam Islam, masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada masalah sampah, pencemaran, penghutanan kembali maupun sekedar pelestarian alam. tetapi lebih dari itu semua, masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup, sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh pengejaran pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal. Dengan kata lain lingkugan hidup berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup manusia untuk melihat dirinya sendiri maupun pada titik pengertian yang demikian inilah norma-norma fiqih yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Al-Qur’an dan Sunnah.11 Alam semesta (lingkungan hidup) adalah karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, di mana alam semesta beserta segala isinya diciptakan oleh sang Khaliq untuk kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Allah SWT memberikan langit, bumi, air, tumbuh-tumbuhan, laut, sungai dan segala keperluan hidup manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dan menikmati segala fasilitas yang Allah SWT berikan. 11 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke- 5, h. 133 21 Seperti firman-Nya dalam Q.S. Ibrahim (14) ayat 32-34 yang berbunyi: ⎯Β ⎯μ/ l z'ù ™$Β ™$ϑ¡9# ∅Β Α“Ρ&ρ Ú‘{#ρ N≡θ≈ϑ¡9# ,={ Ν39 ‚™ρ ⎯ν Β'/ s79# ’û ∩⊂⊂∪ ‘$κ]9#ρ ≅‹9# Ν39 “ fG9 =9# Ν39 ‚™ρ Ν39 $%—‘ N≡ ϑV9# ‚™ρ ⎦⎫7←#Š ϑ)9#ρ §ϑ±9# Ν39 ⎯≈¡Σ}# χ) $δθÁtB ω !# “%!# ! ‚™ρ ∩⊂⊄∪ ≈γΡ{# MϑèΡ #ρ‰è? β)ρ νθϑG9'™ $Β ≅2 ⎯Β Ν39?#™ρ (٣٢ -٣٤ : ١٤ / ‘ ∪⊆⊂∩ ) ﻢﻴهﺎﺮﺑإ$2 Πθ=à9 Artinya: ‘‘Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).’’ Dalam ayat di atas sangat jelas bahwa alam semesta dan segala isinya merupakan fasilitas yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya di bumi khususnya umat manusia. Nikmat yang tidak ternilai dan sangat besar. Dengan karunia-Nya Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk memanfaatkan segala faslitas yang sudah tersedia, karena Allah menganggap bahwa manusia sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Allah juga memberikan wewenang kepada manusia agar mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya, karena kedudukan manusia 22 adalah sebagai khalifah di muka bumi. Dengan mengelola dan menjaga bumi dari kerusakan berarti manusia sudah dapat mewujudkan tugasnya sebagai khalifah. Kendatipun manusia diberi kewenangan untuk mengolah isi alam semesta ini, namun tidak berarti manusia memiliki kekuasaan tak terbatas terhadap alam semesta dan segala isinya. Bahkan sebaliknya, justru manusia harus menjaga kelestarian alam agar tidak dirusak, dieksploitasi dan dicemari secara liar, karena pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dapat mangakibatkan hilangnya manfaat lingkungan hidup itu sendiri bagi manusia. Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia untuk memperlakukan bumi dengan ramah, memperbaikinya, dan tidak membuat kerusakan di atasnya. Semua itu merupakan bentuk pemenuhan amanah kekhilafahan yang diemban, dengan mensyukuri nikmat-Nya, serta melaksanakan di atasnya. Dalam hal ini juga manusia berbuat baik terhadap bumi, maka bumi akan bebuat baik pula terhadap kita. Karena sesuatu yang baik untuk yang baik pula. hal tersebut dijelaskan dalam Q.S. Al-A’raf (7):58 79≡‹2 #‰3Ρ ω) l ƒ† ω ]7z “%!#ρ ⎯μ/‘ βŒ*/ …μ?$6Ρ l ƒ† =‹Ü9# $#79#ρ (٧:٥٨/ )ﻓﺎﺮﻋﻷا ∩∈∇∪ βρ 3±„ Θθ)9 M≈ƒψ# ∃ÇΡ Artinya: ‘‘Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orangorang yang bersyukur.’’ 23 Dari ayat di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk perlakuan yang baik yang teragung adalah pencegahan terhadap segala bentuk pencemaran dan perusakan yang dapat mematikan segala potensi baik dan berkah dalam tanah yang teah diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia tidak dibenarkan mengubah fitrah tanah yang telah digariskan oleh Allah SWT. Karena segala penyimpangan dari fitrah dalam bidang apapun merupakan bentuk pengerusakan yang dilarang. Dalam peranannya sebagai khalifah, manusia yang harus memanfaatkan, dan memelihara, baik langsung mengurus, maupun tidak langsung amanah dari Allah SWT berupa bumi dan segala isinya, seperti gunung-gunung, laut, air, awan, dan angin, tumbuh-tumbuhan, sungai, binatang-binatang justru banyak tingkah lakunya yang tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Jika kita membuka kitab suci Al-Qur’an dan mengkajinya, sebenarnya di dalam AlQur’an tersebut sebuah ayat yang menerangkan bahwa bencana alam dan krisis lingkungan adalah ulah dari manusia itu sendiri. Hal demikian diterangkan dalam Q.S. Ar-Rum (30):41 #θ=Ηå “%!# Ùè/ Νγ)ƒ‹‹9 ¨$Ζ9# “‰ƒ& M6¡. $ϑ/ s79#ρ 99# ’û Š$¡9# γß ( ٣٠:٤١ / ∪⊇⊆∩ ﻣ ّﻮﺮﻟ اβθè_ ƒ Νγ=è9 Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” 24 Ayat di atas menerangkan bahwa, terjadinya kerusakan di muka bumi ini adalah disebabkan oleh ulah tangan manusia, dan pada akhirnya akan memberikan dampak buruk bagi manusia itu sendiri. Bencana yang datang silih berganti mengringi kerusakan alam yang semakin hari semakin parah ini bukan salah siapapun. Melainkan salah dari manusia itu sendiri. Sebagai contoh, perilaku manusia yang merusak hutan berakibat pada banjir yang merenggut nyawa dan meleyapkan harta benda manusia. Ketika bencana alam itu datang, manusia seharusnya menyadari kesalahannya dalam mengeksploitasi alam secara semena-mena.12 Oleh sebab itu, yang mengemban tugas untuk menjadikan agar alam ini kembali bersahabat dan menjadi tempat yang nyaman bagi kelangsungan hidup manusia adalah manusia itu sendiri. Di bawah ini ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menerangkan agar manusia senantiasa memelihara dan selalu menjaga karunia Allah SWT yang terbesar yaitu alam semesta beserta isinya. Di antaranya dalam Q.S. An-Nahl (16):30 $‹Ρ‰9# ν‹≈δ ’û #θΖ¡m& ⎥⎪%#9 # z #θ9$% Ν3/‘ Α“Ρ& #Œ$Β #θ)?# ⎦⎪%#9 ≅Š%ρ (١٦:٣٠/ )⎫⎦ ∪⊃⊂∩ ﻞﺤّﻨﻟاGϑ9# ‘#Š ΝèΖ9ρ z ο zψ# ‘#$!ρ πΖ¡m Artinya: “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang Telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah Telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini mendapat (pembalasan) yang 12 Nadjamudddin Ramly, Membangun Lingkungan Hidup yang Harmoni dan Berkepribadian, (Jakarta: Grfindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. Ke-1, h. 5 25 baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang berbuat baik di dunia akan mendapat pembalasan yang baik dari Allah SWT. Arti dari berbuat baik di sini dikatakan juga berbuat baik dalam menjaga lingkungan, dalam ayat ini Allah SWT menjanjikan kepada manusia yang berbuat baik dalam arti luas, baik terhadap terhadap diri sendiri, kepada sesama Tuhan, manusia dan terhadap alam semesta (lingkungan), akan mendapat balasan yang baik dari-Nya.13 Kemudian dalam Q.S. Al-A’raf (7):56 =ƒ % !# MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ ( ٧:٥٦ / ⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷاΖ¡sϑ9# ∅Β Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ayat di atas menujukan larangan untuk berbuat kerusakan atau tidak bermanfaat dalam bentuk apa pun, baik menyangkut perilaku, seperti merusak, membunuh, mencemari sungai, dan lain-lain, maupun menyangkut akidah, seperti kemusyrikan, kekufuran, dan segala bentuk kemaksitan.14 Apabila kita sebagai manusia tidak dapat 13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 7, cet. Ke-8, h. 221 14 Tim Penyusun Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an, Pelestarian Lingkungan Hidup (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diktat Departmen Agama RI, 2009), h. 273 26 menjaga dan melestarikan lingkungan kita sendiri, maka akan mengakibatkan kerusakan dan gangguan serta hilangnya keseimbangan lingkungan hidup. Jadi, pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan dan pelestarian lingkkungan hidup dan segala hasil cipta pekerjaan manusia itu. Juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia mencipta dan bekerja. Selain itu, manusia senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram lalu ia menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya dan pergaulan ramai di masyarakatnya. Hal yang demikian inilah yang diisyaratkan dalam ajaran sunnah yang menegaskan bahwa kalian (manusia) adalah pemelihara (ra’in). Dan pemelihara itu haruslah memikul tanggung jawab (mas’ul).15 Untuk itu, sebagai khalifah di muka bumi tugas manusia adalah menjaga, memelihara, dan melestarikan alam ini dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jangan justru menyalahgunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk merusak dan menjadikan alam ini menjadi tidak nyaman sebagai tempat tinggal makhluk hidup. C. Unsur-Unsur Lingkungan Hidup Lingkungan hidup disebut juga dengan lingkungan hidup manusia (human environment). Istilah ini biasa dipakai dengan lingkungan hidup. Bahkan seringkali dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai lingkungan saja. Dari definisi-definisi di 15 Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, h. 140 27 atas, maka pengertian lingkungan hidup itu dapat dirangkum dalam suatu rangkaian unsur-unsur sebagai berikut: 1. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah, air, udara, rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang disebutkan ini digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuan-stuannya disebutkan sebagai komponen; 2. Daya, disebut juga dengan energi; 3. Keadaan, disebut juga dengan kondisi atau situasi; 4. Perilaku atau tabiat; 5. Ruang, yaitu wadah berbagai komponen itu berada; 6. Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut dengan jaringan kehidupan. 16 D. Fungsi Lingkungan Hidup Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari kehidupan manusia. Manusia mencari makan dan minum serta memenuhi kebutuhan lainnya dari ketersediaan atau sumber-sumber yang diberikan oleh lingkungan dan kekayaan alam sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhannya. Manusia makan dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan biji-bijian atau buah-buahan 16 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 8 28 seperti beras, jagung, tomat. Manusia makan daging hewan, yang juga merupakan bagian dari lingkungan. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.17 Dari lingkungan hidup, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan bisa memperoleh daya atau tenaga. Manusia memperoleh kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder atau bahkan memenuhi lebih dari kebutuhannya sendiri berupa hasrat atau 17 Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, artikel diakses pada 12 Juli 2011 dari http://geo.ugm.ac.id/archives/125 29 keinginan. Atas dasar lingkungan hidupnya pulalah manusia dapat berkreasi mengembangkan bakat atau seni. Adanya sepeda, mobil, rumah, gedung dan sebagainya adalah hasil-hasil kreasi dan seni umat manusia yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya tidak bisa hidup dalam kesendirian. Bagian-bagian atau komponen lain, mutlak harus ada untuk mendampingi dan meneruskan kehidupan dan eksistensinya.18 E. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup 1. Pengertian Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke waktu ialah “pencemaran” dan perusakan lingkungan hidup. Ekosistem dari suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan perusakan lingkungan. Orang sering mencampur adukkan antara pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan padahal antara keduanya terdapat perbedaan. UU RI No. 32 Tahun 2009 juga membedakan keduanya: 1) Pencemaran Lingkungan Hidup: adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 1 Ayat 14). 18 Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pemangunan, h. 4 30 2) Perusakan Lingkungan Hidup: adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.19 (Pasal 1 Ayat 16). Secara mendasar dalam pencemaran terkandung pengertian pengotoran (Costamination) dan perburukan (Deterioration). Pengotoran dan pemburukan terhadap sesuatu semakin lama akan kian menghancurkan apa yang dikotori atau diburukkan sehingga akhirnya dapat memusnahkan setiap sasaran yang dikotorinya. Sebagaimana dilangsir dalam buku Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia karya Abdurrahman, para pakar lingkungan pun memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai masalah pencemaran lingkungan: R.T.M Sutamihardja, merumuskan pencemaran adalah penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan itu. Sedangkan Munadjat Danusaputra merumuskan pencemaran lingkungan sebagai suatu keadaan dalam mana suatu materi, energi dan atau informasi masuk atau dimasukkan di dalam lingkungan oleh kegiatan manusia dan/atau secara alami dalam batas-batas dasar atau kadar tertentu, hingga mengakibatkan terjadinya gangguan keruskan dan atau penurunan mutu lingkungan, sampai 19 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), cet. Ke-1, h. 131 31 lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dilihat dari segi kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati.20 Pencemaran erat kaitannya dengan kegiatan manusia, antara lain berupa: 1) Kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan berbahaya seperti logam-logam berat, zat radioaktif, air buangan panas, juga dalam bentuk kepulan asap; 2) Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buangan-buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan-lahan bahan pertambangan; 3) Kegiatan transportal, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan dari kendaraan bermotor, tumpahan-tumpahan bahan bakar terutama minyak bumi dari kapal-kapal tanker dan lain-lain; 4) Kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia yang memberantas binatang-binatang penggangu seperti insektisida, pestisida, herbisida, dan fungisida. Demikian pula pemakaian pupuk dan arorganis dan lain-lain.21 Pencemaran itu terjadi karena ada intervensi atau ada masukan eksternal dari luar. Apabila terjadi pencemaran, maka otomatis terjadi juga sebuah kerusakan. Tetapi apabila terjadi kerusakan belum tentu terjadi sebuah pencemaran. Hal ini 20 Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), Cet. Ke-2, h. 98 21 Husein, Lingkungan Hidup, h. 25 32 terjadi apabila kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh bencana alam seperti terganggunya keseimbangan pohon di dalam area perhutanan apabila terjadi tanah longsor.22 2. Macam-Macam Pencemaran Lingkungan Hidup Pada dasarnya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak mengandung perbedaan, karena unsur-unsur esensial keduanya adalah sama. Baik pencemaran lingkungan atau perusakan lingkungan adalah tindakantindakan yang menimbulkan perubahan baik langsung ataupun tidak langsung, pada intinya pencemaran dan perusakan menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi. Permasalahan pencemaran lingkungan yang harus kita atasi bersama di antaranya pencemaran air, tanah, dan sungai, pencemaran udara perkotaan, kontaminasi sampah, hujan asam, perubahan iklim global, penipisan lapisan ozon, kontaminasi zat radioaktif, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, tentunya kita harus mengetahui sumber pencemar, bagaimana proses pencemaran itu terjadi, dan bagaimana langkah penyelesaian pencemaran itu sendiri. Proses pencemaran itu dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung yaitu bahan pencemar tersebut langsung berdampak meracuni sehingga menggangggu kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan atau 22 Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012 33 mengganggu keseimbangan ekologi baik air, udara, maupun tanah. Proses tidak langsung, yaitu beberapa zat kimia bereaksi di udara, air, maupun tanah, sehingga menyebabkan pencemaran.23 Berikut akan dipaparkan beberapa macam pencemaran lingkungan hidup yang ada di sekitar, antara lain: 1) Pencemaran Udara Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Bila keadaan tersebut terjadi, maka udara dikatakan telah tercemar dan kenyamanan hidup terganggu.24 2) Pencemaran Air Polusi air dapat berasal dari sumber terpusat yang membawa pencemar dari lokasi-lokasi khusus seperti pabrik-pabrik, instalasi pengolah limbah dan tanker minyak, dan sumber tak terpusat, yang ditimbulkan jika hujan dan salju cair melewati lahan dan menghanyutkan pencemar-pencemar di atasnya 23 Pencemaran Lingkungan, artikel http://daniey.wordpress.com/pencemaran-lingkungan/ 24 diakses pada 21 Juli 2011 Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, (Yogyakarta: Andi, 2004), h. 27 dari 34 seperti pestisida dan pupuk dan mengendapkannya di dalam danau, telaga, rawa perairan pantai dan air yang terdapat dalam bawah tanah. 3) Pencemaran Tanah Pencemaran tanah dapat terjadi karena hal-hal di bawah ini. Pertama ialah pencemaran secara langsung. Misalnya karena menggunakan pupuk secara berlebihan, pemberian pestisida atau insektisida, dan pembuangan limbah yang tidak dapat dicernakan seperti plastik. Pencemaran dapat juga melalui air. Air yang mengandung bahan pencemar (polutan) akan mengubah susunan kimia sehingga mengganggu jasad yang hidup dalam atau di permukaan tanah. Pencemaran dapat juga karena melalui udara. Udara yang tercemar akan menurunkan hujan yang mengandung bahan pencemar ini. Akibatnya tanah akan tercemar juga.25 Apabila bahan-bahan asing tersebut berada di daratan dalam waktu yang lama dan menimbulkan gangguan terhadap kehidupan manusia, hewan maupun tanaman, maka dapat dikatakan bahwa daratan telah mengalami pencemaran. Kalau hal ini terjadi, maka kenyamanan hidup yang merupakan sasaran peningkatan kualitas hidup tidak dapat dicapai. 25 Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, h. 67 BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Tindak Pidana Dalam hukum Islam istilah tindak pidana sering disebut jarimah. atau jinayah ( ). ( ) Secara etimologi jarimah adalah: Artinya: “Jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan.” Menurut Ahmad Warson Munawir, jarimah secara etimologis berarti perbuatan yang diancam hukuman (delik).1 Sedangkan secara terminologis istilah jarimah menurut Abdul Qadir Audah adalah sebagai berikut:2 Artinya: “Jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang (yang apabila dikerjakan) diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.” 1 Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke14, h. 187 2 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassasah, al-Risalah, 1994), cet. Ke-II, Juz. 1, h. 66 35 36 Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkara syara’ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’. Juga perbuatan atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam hukuman terhadapnya.3 Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata jarimah identik dengan pengertian yang dalam hukum positif disebut sebagai tindak pidana pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dapat dikatakan bahwa jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering memakai kata jinayah untuk maksud jarimah. Menurut Abdul Qadir Audah jinayah adalah: ٤ Artinya: “Jinayah menurut terminologi adalah sebuah nama untuk sesuatu perbuatan yang dilarang (haram) secara syar’i baik perbuatan tersebut menyangkut jiwa, harta, atau selainnya.” Dengan memperhatikan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah para fuqaha dianggap sama dengan kata-kata jarimah. Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang 3 Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan Hukum Potong Tangan di Naggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Indhill, 2008), h. 5 4 4 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), juz II, h. 37 diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta, serta diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam setiap perbuatan tindak pidana haruslah mengandung unsur-unsur, sehingga suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah). Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah: 1) Ada nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan ada ancaman hukuman bagi pelakunya. Unsur ini dikenal dengan “unsur formal” (alRukn al-Syar’i); 2) Adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan “unsur materiil” (al-Rukn al-Madi); 3) Adanya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang yang mukallaf (cakap hukum), yaitu orang yang dimintai pertanggungan jawabnya. Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini disebut dengan “unsur moril” (al-Rukn al-Adabi).5 Dari keterangan di atas setidaknya dapat dikatakan bahwa larangan atas perbuatan yang termasuk kategori jarimah berasal dari ketentuan-ketentuan syara’ (nash). Artinya perbuatan manusia dapat dikategorikan jarimah apabila 5 Mardani, Kejahatan Pencurian, h. 9 38 perbuatan tersebut diancam hukuman. Larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang yang dianggap melakukan pidana dan dikenai hukuman. Apabila tidak memenuhi unsur-unsur di atas, maka orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dihukum. 3. Pengertian Sanksi Pidana Kata sanksi dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah yang berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah pembalasan dengan keburukan. Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi (hukuman) adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.6 Dari definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sanksi (hukuman) merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang menyebabkan orang lain menjadi korban atau menderita kerugian atas perbuatannya. Atau penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai balasan dari apa yang telah diperbuat kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara’. 4. Macam-Macam Sanksi Pidana (Uqubah) Tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad’u waz- zarju), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Adapun yang dimaksud pencegahan ialah mencegah diri si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya 6 Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i, juz I, h. 812 39 dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian.7 Dalam hukum Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya: 1) Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan Lainnya, maka hukuman dapat dibagi menjadi empat: a. Hukuman pokok (al-uqubah al-Asliyyah), hukuman pokok yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi pelaku tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian;8 b. Hukuman pengganti (al-Uqubah al-Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i; c. Hukuman tambahan (al-‘Uqubah al-Tabaiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri; 7 Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-6, h. 191 8 Ahsin Sakho Muhammad, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jld III, cet. Ke-1, h. 39 40 d. Hukuman pelengkap (al-‘Uqubah al-Taklimiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dan hakim. 2) Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah Hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua; a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas, artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah atau dikurangi; b. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk memilih hukuman sesuai antara kedua batas tersebut. 3) Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman, dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu: a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya, yaitu hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya); b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk jumlahnya, yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan hukuman yang dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta pelaku. 41 4) Berdasarkan Tempat Dilakukannya Hukuman, hukuman ini dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Hukuman badan (Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan si pelaku, seperti hukuman mati, dera, dan penjara; b. Hukuman Jiwa (Uqubah Nafsiyyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan, dan ancaman; c. Hukuan Harta (Uqubah Maliyyah), yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda, dan biaya administrasi.9 5) Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman, adapun rincian hukuman tersebut adalah sebagai berikut: a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudud. Hukuman hudud terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudud, yaitu: a) Zina; b) Qazaf; c) Meminum minuman keras; d) Mencuri; 9 Ibid., h. 40 42 e) Melakukan hirabah (gangguan keamanan); f) Murtad; g) Memberontak. Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut adalah had (hudud). Huhud adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dikatakan sebagai hak Allah karena hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun masyarakat. Para fuqaha menjadikan suatu hukuman sebagai hak Allah SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian, yakni menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan dan ketentraman untuk mereka.10 a) Hukuman Zina Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga: − Jilid (cambuk atau dera); − Taghrib (diasingkan) − Rajam. Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina ghairu muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan 10 Ibid., h. 41 43 hubungan seksual melalui pernikahan yang sah). Apabila keduanya ghairu muhsan, hukumannya adalah dibuang, tetapi jika keduanya muhsan hukumannya adalah rajam. Apabila salah satunya muhsan sedangkan yang lain ghairu muhsan, pelaku pertama dijatuhi hukuman rajam, sedangkan yang ghairu muhsan dijatuhi hukuman cambuk. b) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik melakukan zina tanpa bukti yang jelas/fitnah) Dalam hukum Islam tindak pidana qazaf dikenai hukuman: − Hukuman Pokok Berupa Hukuman Dera; − Hukuman Tambahan Berupa Tidak Diterima Persaksian. Dasar hukum qazaf adalah firman Allah SWT dalam Q.S AnNur (24):4. Οδρ‰=_$ù ™#‰κ− πè/‘'/ #θ?'ƒ Ο9 ΝO M≈ΨÁsϑ9# βθΒ ƒ ⎦⎪%!#ρ βθ)¡≈9# Νδ 7×≈9ρ&ρ #‰/& ο‰≈κ− Νλ; #θ=7)? ωρ ο$#_ ⎦⎫Ζ≈ΚO (٢٤:٤/ ∪⊆∩ رﻮّﻨﻟا Artinya: ‘‘Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.’’ 44 c) Hukuman Meminum Minuman Keras − Hukuman Dera Hukum Islam menjatuhkan delapan puluh kali dera bagi pelaku tindak pidana meminum minuman keras. Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, manambah, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. d) Hukuman Pencurian − Hukuman Potong Tangan (dan Kaki) Hukum Islam mengancam hukuman potong tangan (dan kaki) bagi pelaku tindak pidana pencurian.11 e) Hukuman Gangguan Keamanan (Hirabah) − Hukuman Mati Hukuman ini wajib dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan. Hukuman ini adalah hukuman hudud, bukan qisas, sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali korban. − Hukuman Mati Disalib Hukuman ini wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta sekaligus.12 11 Ibid., h. 57 45 − Pemotongan Anggota Badan (al-Qat’u) Hukuman ini harus dijatuhkakn kepada pelaku hirabah (gangguan keamanan) jika ia mengambil harta, tetapi tidak melakukan pembunuhan. − Hukuman Pengasingan (pembuangan) Hukuman ini ditetapkan bagi pelaku hirabah apabia ia hanya menakut-nakuti orang, tetapi tidak mengambil harta dan tidak membunuh. f) Hukuman Tindak Pidana Murtad − Hukuman Mati Hukum Islam menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku murtad karena perubahan itu ditujukan terhadap agama Islam sebagai sistem sosial ketidaktegasan masyarakat. dalam Sikap menghukum menggampangkan tindak pidana dan murtad mengakibatkan terguncangnya sistem masyarakat tersebut. Karena itu, tindak pidana ini dijatuhi hukuman terberat untuk menumpas para pelakunya untuk melindungi masyarakat dan sistem sosial mereka dari satu sisi sebagai peringatan dan pencegahan umum dari sisi lainnya.13 12 Ibid., h. 61 13 Ibid., h. 65 46 − Perampasan Harta (musadarah) Hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana murtad adalah perampasan harta pelakunya. g) Hukuman pemberontakan Tindak pidana pemberontakan ditujukan kepada sistem hukum dan pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum Islam bersikap keras karena apabila bersikap memudahkan, akan timbul fitnah, kekacauan, dan ketidakstabilan yang pada akhirnya akan menyebabkan kemunduran dan kehancuran masyarakat umum. b. Hukuman Tindak Pidana-Tindak Pidana Qishas-Diat Tindak pidana qishash-diat itu ada lima macam, yaitu: 1) Pembunuhan disengaja; 2) Pembunuhan menyerupai disengaja; 3) Pembunuhan karena kesalahan (tidak disengaja); 4) Penganiayaan disengaja; dan 5) Penganiayaan karena tidak disengaja. Adapun hukuman yang telah ditetapkan untuk pelaku tindak pidana ini adalah: a) Qishash; b) Diat; c) Kifarat; 47 d) Hilangnya hak waris dan hak wasiat.14 Adapun hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap tindak pidana tersebut adalah qishash, diat, kafarat, hilangnya hak mewaris, dan hilangnya hak menerima wasiat. a) Hukuman qishash Pengertian qishash adalah menghukum pelaku seperti apa yang telah diakukannya terhadap korban, pelaku dibunuh apabila ia membunuh dan dilukai apabila ia melukai. b) Hukuman diat Diat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja (khata’). Sumber hukuman ini di antaranya adalah: Q.S An-Nisa (4):92. $ΨΒσΒ ≅F% ⎯Βρ $↔Üz ω) $ΖΒσΒ ≅F)ƒ β& ⎯Βσϑ9 χ%. $Βρ #θ%‰Áƒ β& ω) ⎯&#δ& ’<) πϑ=¡Β πƒŠρ πΨΒσΒ π7%‘ ƒ sGù $↔Üz ( ٤:٩٢ / ∪⊄®∩ ءﺎﺴّﻨﻟ ا Artinya: ‘‘Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), 14 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinyah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-1, h. 154 48 kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah... ‘‘ Meskipun bersifat hukuman, namun diat merupakan harta yang diberikan kepada korban atau keluarganya, bukan kepada perbendaharaan negara. c) Hukuman kifarat Kifarat adalah hukuman pokok berupa memerdekakan seorang hamba mukmin. Apabila tidak bisa mendapatkan hamba tersebut atau tidak bisa memperoleh uang seharganya, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.15 Hukuman kifarat dijatuhkan atas pembunuhan karena kekeliruan (tidak sengaja) dan menyerupai sengaja. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa (4):92 χ%.ρ !# ⎯Β π/θ? ⎦⎫è/$FFΒ ⎦⎪ γ© Π$‹Áù ‰fƒ Ν9 ⎯ϑù (٤:٩٢/ ∪⊄®∩ ءﺎﺴّﻨﻟا$ϑŠ6m $ϑŠ=ã !# Artinya: ‘‘barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.’’ 15 Sakho Muhammad, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, h. 80 49 d) Pencabutan hak waris dan wasiat Pencabutan hak waris dan hak wasiat adalah hukuman tambahan, di samping hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan. c. Hukuman yang Telah Ditetapkan Terhadap Tindak Pidana Takzir Hukuman takzir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa atau memberi pengajaran ( hukuman untuk ) ﺐﻳدﺄﺘﻟاat-Ta’dib.16 Hukuman takzir adalah jarimah-jarimah takzir. Jarimah takzir jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk mengaturnya. Jenis-jenis hukuman takzir ini adalah sebagai berikut: a) Hukuman mati Meskipun tujuan diadakannya hukuman takzir adalah untuk memberi pengajaran dan tidak boleh sampai membinasakan, namun kebanyakan para fuqaha membuat suatu pengecualian, yaitu dibolehkannya hukuman mati, apabila hukuman itu dikehendaki oleh kepentingan umum. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhi hukuman mati. 16 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 8 50 b) Hukuman dera (jilid) Hukuman dera merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan juga merupakan hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana takzir. Hukuman ini bahkan merupakan hukuman yang diutamakan bagi tindak pidana takzir berbahaya. Sebab-sebab pegutamaan hukuman tersebut adalah beberapa hal berikut: − Hukuman jilid lebih banyak berhasil dalam memberantas para penjahat yang biasa melakukan tindak pidana; − Hukuman jilid mempunyai batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, sehingga hakim bisa memilih jumlah dera yang terletak antara keduanya yang sesuai dengan tindak pidana dan keadaan diri pelaku sekaligus; − Biaya pelaksanaan tidak merepotkan keuangan negara. Di samping itu hukuman tersebut tidak mengganggu kegiatan usaha terhukum, sehingga keluarga tidak terlantar, karena hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu terhukum bisa bebas; − Dengan hukuman jilid, pelaku dapat terhindar dari akibat-akibat buruk hukuman penjara, seperti rusaknya akhlak dan kesehatan. 51 c) Hukuman kawalan (penjara kurungan) Dalam syariat Islam ada dua macam hukuman kawalan, yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pengertian terbatas dan tidak terbatas dalam konteks ini adalah dari segi waktu. − Hukuman kawalan terbatas Hukuman kawalan terbatas ini paling sedikit adalah satu hari, sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan para fuqaha. Hukuman kawalan tidak terbatas Orang yang dikena hukuman kawalan tidak terbatas ini adalah orang yang berbahaya, orang yang terbiasa melakukan tindak pidana. Hukuman kawalan tidak terbatas tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau melakukan taubat dan pribadinya menjadi baik. d) Hukuman pengasingan Masa pengasingan dalam jarimah takzir menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, tidak boleh lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman takzir, bukan hukuman had. Pendapat ini juga 52 dikemukakan oleh Imam Malik, akan tetapi tidak mengemukakan batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).17 e) Hukuman salib Untuk hukuman takzir, hukuman salib sudah pasti tidak dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. Si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang wudhu untuk mengerjakan shalat, tetapi terhukum shalat dengan cara isyarat. f) Hukuman peringatan (al-Waz’u) dan hukuman yang lebih ringan darinya Dalam hukum Islam, hukuman peringatan termasuk kategori hukuman takzir. Hakim hanya boleh menghukum pelaku dengan hukuman perigatan bila hukuman ini cukup membawa hasil, yakni memperbaiki diri pelaku dan mencagahnya untuk mengulangi perbuatannya (berefek jera). g) Hukuman pengucilan (al-hajr) Di antara hukuman takzir adalah hukuman pengucilan sebagai hukuman yang dijatuhkan kepada istri, sebagaimana termaktub dalam Q.S An-Nisa (4):34. 17 Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 160 53 ’û ⎯δρ fδ#ρ ∅δθàèù ∅δ—θ±Σ βθù$ƒB ©L≈9#ρ (٤:٣٤/ ∪⊆⊂∩ ءﺎﺴّﻨﻟا ⎯δθ/Ñ#ρ ì_$Òϑ9# Artinya: ‘‘wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. ‘‘ h) Hukuman teguran (Taubikh) Hukuman takzir dalam hukum Islam antara lain adalah hukuman teguran/pencelaan (taubikh). Apabila hakim memandang bahwa hukuman teguran dapat memperbaiki dan mendidik terpidana, cukup baginya untuk menjatuhkan hukuman taubikh kepadanya. i) Hukuman ancaman (Tahdid) Hukuman ancaman (Tahdid) juga termasuk di antara hukuman takzir, dengan syarat bukan ancaman kosong dan hukumam ini akan membawa hasil serta dapat memperbaiki keadaan terpidana dan mendidiknya. Hukuman tahdid antara lain dengan ancaman apabila terpidana mengulangi perbuatannya, ia akan didera, dipenjara, atau dijatuhi hukuman yang lebih berat. j) Hukuman penyiaran nama pelaku (Tasyhir) Tasyhir adalah mengumumkan tindak pidana pelaku kepada publik. Hukuman tasyhir dijatuhkan atas tindak pidana yang terkait dengan kepercayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan. 54 k) Hukuman-hukuman lainnya Hukuman yang telah disebutkan di atas adalah hukuman takzir terpenting yang bersifat umum dan dapat diterapkan pada setiap tindak pidana. Selain hukuman tersebut, ada beberapa bentuk hukuman yang tidak bersifat umum dan tidak dapat diterapkan pada semua jenis tindak pidana, antara lain: − Dicabut dari hak kepegawaian (pemecatan/al-azlu minal wazifah) − Pencabutan hak-hak tertentu (al-Hirman) Artinya, sebagian hak terpidana yang ditetapkan oleh hukum Islam dicabut, seperti hak menduduki suatu jabatan, memberikan kesaksian, tercabutnya hak mendapat rampasan perang, gugurnya hak mendapatkan nafkah bagi isteri yang nusyuz, dan sebagainya. − Perampasan harta/materiil (al-musadarah) Perampasan yang dilakukan meliputi penyitaan barang bukti tindak pidana dan barang terlarang. − Pemusnahan (izalah) Dalam hal ini termasuk memusnahkan bekas/pengaruh tindak pidana atau perbuatan yang diharamkan, seperti melenyapkan 55 bangunan yang berada di jalanan umum dan melenyapkan botolbotol minuman keras. l) Hukuman denda (al-Gharamah) Suatu hal yang disepakati oleh fuqaha bahwa hukum Islam menghukum sebagian tindak pidana takzir dengan denda. Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang digunakannya hukuman denda bsebagai hukuman untuk setiap jarimah. Sebagian ada yang membolehkan dan sebgian lagi tidak membolehkannya. Di antara ulama yang membolehkannya adalah Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak membolehkannya adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan.18 B. Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana, adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda “strafbaar feit” atau “delict”.19 Kata ini terdiri dari tiga kata, yakni straf yang 18 Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 162 19 Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), cet. Ke-2, h. 25 56 berarti pidana, baar yang berarti boleh, dan feit yang biasa diartikan dengan perbuatan atau peristiwa.20 Di samping itu, dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah dipakai beberapa istilah yang lain, baik di dalam buku-buku maupun di dalam peraturanperaturan tertulis, umpamanya: 1) Peristiwa pidana; 2) Perbuatan pidana; 3) Pelanggaran pidana; 4) Perbuatan yang dapat dihukum; dan 5) Perbuatan yang boleh dihukum Jadi, di dalam bahasa Indonesia untuk terjemahan strafbaar feit atau delict itu ada enam istilah, termasuk istilah tindak pidana.21 Jika melihat pengertian-pengertian ini, maka pada pokoknya tindak pidana ternyata: 1) Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tindakan; 2) Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang menagadakan kelakuan tadi.22 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana 20 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-1, h. 67 21 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung, Remadja Karya, 1986), ct. Ke-2, h. 1 22 Moeljianto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), cet. Ke-5, h. 56 57 Unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud teoritis di sini ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun sudut pandang yang pertama antara lain: 1) Kelakuan dan akibat (perbuatan); 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang obyektif; 5) Unsur melawan hukum yang subyektif Sedangkan menurut Moeljianto, sebagaimana dikutip dalam buku Pelajaran hukum pidana karangan Adami Chazawi, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).23 Setidaknya perbuatan yang sudah memuat rumusan-rumusan di atas, secara teoritis sudah dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Dan sudut pandang yang kedua yakni dari sudut pandang udang-undang. Dan rumusan tindak pidana 23 Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, h. 79 58 tetentu yang tercantum dalam KUHP dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur tingkah laku; 2) Unsur melawan hukum; 3) Unsur kesalahan; 4) Unsur akibat konstitutif; 5) Unsur keadaan yang menyertai; 6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana; 9) Unsur objek hukum tindak pidana; 10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; 11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 24 Pada praktiknya, untuk memidanakan seseorang yang dihadapkan ke ruang sidang pengadilan dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana tetentu, maka diharuskan terpenuhinya semua unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut. Apabila yang didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya terdapat unsur-unsur kesalahan dan atau melawan hukum, maka unsur tersebut juga terdapat dalam diri pelaku, dan harus dapat dibuktikan. 3. Pengertian Sanksi Pidana 24 Ibid., h. 82 59 Sanksi pidana terdiri dari dua kata yakni kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Sanc’tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat pada perjanjian.25 Dalam kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa seseorang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Sedangkan kata pidana berasal dari berasal dari bahasa sanksekerta dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26 Dari beberapa definisi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang dijatukan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di dalam masyarakat. Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat dibenarkan dengan alasan yang dikemukakan sebagai berikut: 1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak dikehendaki atau tindakan yang salah; 2) Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan pelaku tindak pidana 25 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda- Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 26 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007), cet. Ke- 5, h. 361 560 60 Karena itu, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang pelaku sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya membuat sadar dari kesalahan dan tidak mengulang tindakan yang bertentangan dengan hukum.27 4. Macam-Macam Sanksi Pidana Menurut hukum positif, ketentuan pidana tercantun dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), di mana dibedakan pidana pokok dan pidana tambahan. Yaitu: 1) Hukuman Pokok Yaitu hukuman yang dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan dapat juga dijatuhkan sendiri. Macam-macam hukuman pokok adalah: a. Hukuman Mati Hukuman mati masih tetap dipertahankan di Indonesia, walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati telah dihapuskan dari KUHP Nederland. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang 27 Alam Setia Zain, Hukum Llingkungan Konservasi Hutan dan Segi -Segi Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 17 61 akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Karena inilah pada zaman dahulu hukuman mati diberlakukan.28 b. Hukuman Penjara Hukuman penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan.29 c. Hukuman Kurungan Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara, yakni sama-sama menghilangkan kemedekaan seseorang, namun dengan perbedaan yang di antaranya sebagai berikut:30 Pertama, hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif. Kedua, hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara di mana saja, sedangkan hukuman kurungan dengan semuanya terpidana tidak 28 Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), cet. Ke-3, h. 175 29 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya paramita, 1993), h. 37 30 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), cet. Ke-1, h. 35 62 dapat dijalankan di luar daerah, di mana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu dijatuhkan. Ketiga, orang yang dihukum dengan pidana penjara pekerjaannya lebih berat daripada orang yang dihukum dengan pidana kurungan; tempo bekerja tiap-tiap hari bagi pidana penjara selama 9 jam dan kurungan hanya 8 jam. Keempat, orang yang dihukum pidana kurungan mempunyai hak “pistole”, yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara atau ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak. d. Hukuman Denda Hukuman denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada penjara. Hukuman denda adalah hukuman yang tertuju kepada harta seseorang.31 2) Hukuman Tambahan Melihat namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan disebut dalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari: a. Pencabutan Hak-Hak tertentu Yang dapat dicabut itu hanya hak-hak tetentu saja, artinya orang tidak mungkin akan dijatuhi pencabutan semua haknya, karena dengan 31 Ibid., h. 36 63 demikian itu ia tidak akan dapat hidup. Pasal 35 KUHP menentukan hak si bersalah yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang adalah: a) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang tertentu. Yang dimaksud dari jabatan adalah tugas pada negara atau bagian dari negara; b) Hak untuk masuk kekuasaan angkatan bersenjata. Yang masuk kekuasaan angkatan bersenjata adalah tentara dan pewajib tentara baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Udara, Maupun Kepolisian Negara; c) Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum atau berdasarkan undangundang; d) Hak menjadi penasehat, wali, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anakya; e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; f) Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu, artinya segala pekerjaan yang bukan pegawai negeri, jadi pekerjaan partikulir, seperti dagang, sopir, dan lain-lain.32 32 Ibid., h. 38 64 Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 KUHP, yaitu: a) Dalam hal orang dihukum mati atau penjara semur hidup, maka jangka waktu pencabutan hak-hak tersebut adalah selama hidupnya; b) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih. Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman kurungan; c) Dalam hal denda, selama sedikit-dikitnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.33 b. Perampasan barang-barang tertentu Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah: a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana; b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana; 33 Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 188 65 c) Barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana; d) Barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; atau e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.34 c. Pengumuman putusan hakim Pada hakikatnya semua putusan hakim itu senantiasa telah diucapkan di muka umum, akan tetapi bila dianggap perlu, di samping itu sebagai pidana tambahan, putusan tersebut akan disiarkan sejelas- jelasnya melalui cara yang akan ditentukan oleh hakim. Seperti melalui siaran televisi, radio, surat kabar dan sebagainya. Pengumuman ini dilakukan penuntut umum, dan biaya pengumuman menjadi tanggungan terhukum. 34 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2, h.22 BAB IV TINDAK PIDANA PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 A. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam Sebelum membahas lebih jauh mengenai sanksi terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup menurut hukum Islam, terlebih dahulu akan dipaparkan mengapa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-A’raf (7):56 =ƒ % !# MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ (٧:٥٦ / ⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷاΖ¡sϑ9# ∅Β Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” ⎯Βρ $è‹ϑ_ ¨$Ζ9# ≅F% $ϑΡ'6ù Ú‘{# ’û Š$¡ù ρ& §Ρ ó/ $¡Ρ ≅F% ⎯Β (٥:٣٢/ )ةﺪﺋﺎﻤﻟا $è‹ϑ_ ¨$Ψ9# $Šm& $ΚΡ'6ù $δ$Šm& Artinya: ‘‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang 66 67 memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dalam ayat di atas terlihat jelas bahwa Allah SWT melarang hambanya melakukan kerusakan di muka bumi. Tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah) apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Sebagaimana telah dibahas di atas, dalam hukum Islam terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi apabila perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Yang pertama adalah adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan ada ancaman hukuman bagi pelakunya. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa banyak nash yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun Hadits yang melarang manusia untuk merusak lingkungan hidup. Yang kedua adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, yang dalam hal ini adalah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Ketiga adalah adanya pelaku tindak pidana tersebut, yakni orang yang mukallaf (cakap hukum), yaitu orang yang dimintai pertanggungan jawabnya. Dalam hal ini, apabila pelaku perusakan lingkungan hidup adalah orang yang memiliki status mukallaf, maka orang tersebut dapat dituntut atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah) karena telah mengandung ketiga unsur yang disebutkan di atas. Tanpa ketiga unsur tersebut, maka perbuatan pencemaran dan perusakan lingkunan hidup tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah). 68 Mengenai sanksi, ketentuan sanksi atau hukuman bagi pelaku perusakan lingkungan hidup dalam syari’at Islam tidak disebutkan secara jelas atau tidak terdapat ketentuan hadnya. Dengan demikian penulis melihat bahwa tindak pidana perusakan lingkungan hidup termasuk dalam kategori tindak pidana (jarimah) takzir, karena perbuatan tersebut sangat jelas dilarang oleh syara’, akan tetapi tidak ditentukan sanksinya dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Syara’ tidak menentukan macam-macamnya hukuman utuk tiap-tiap jarimah takzir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringanringannya seperti nasihat, ancaman sampai yang seberat-beratnya.1 Adapun selanjutnya, penerapan dan penentuan sanksi untuk tindak pidana perusakan lingkungan hidup diserahkan sepenuhnya kepada penguasa (ulil amri), dalam hal ini adalah hakim dengan ijtihadnya diberi kebebasan untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pelakunya juga. Namun, pelimpahan wewenang kepada penguasa tersebut tidaklah mutlak, melainkan dibatasi oleh kewajiban penguasa untuk memperhatikan ketentuanketentuan dalam menetapkan hukuman tersebut, ketentuan-ketentuan tersebut adalah: 1. Tujuan penetapan hukum itu adalah menjaga dan memelihara kepentingan umat Islam, bukan menurut kehendak hawa nafsunya; 2. Hukuman yang ditetapkan itu benar-benar efektif dalam menghadapi tindakan maksiat serta merendahkan martabat manusia; 1 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 8 69 3. Hukuman tersebut sesuai dengan jarimahnya sehingga hukuman tersebut dirasakan adil; 4. Hukuman tersebut berlaku umum tanpa mebeda-bedakan orang, sesuai dengan prinsip persamaan antara sesama manusia.2 Dari beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, penulis melihat bahwa sanksi takzir terhadap tindak pidana perusakan lingkungan hidup diserahkan kepada hakim. Dan hakim harus jeli dalam menentukan hukuman yang akan diberikan sesuai dengan akibat yang telah ditimbulkan oleh pelaku perusakan lingkungan tersebut. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka kiranya hukuman yang pantas diberikan adalah hukuman mati, jika perbuatan tersebut mengakibatkan seseorang luka, maka hukumannya adalah jarimah pelukaan. B. Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Hukum pidana di Indonesia secara pokok dan umum bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya penulis singkat menjadi KUHP) yang sudah diberlakukan ratusan tahun sejak zaman kolonial hingga kini. Beberapa pasal KUHP mengatur mengenai hal-hal yang dikaitkan dengan lingkungan hidup. Tetapi, dengan perkembangan zaman, jika hanya mengandalkan KUHP sebagai instrument penegakan hukum pidana bagi lingkungan tentu tidak akan memadai dan efektif. 2 Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, (Banten: Yayasan Ulumul Qur’an, t. th), h. 214 70 Salah satu bidang pengaturan yang harus dikembangkan dari KUHP dan berbagai pengaturan pidana tersebar adalah pengaturan mengenai pidana di bidang lingkungan hidup (environmenal criminal regulation). Pengaturan pidana mengenai aspek lingkungan ditandai dengan lahirnya undang-undang yang dinilai sebagai sifat komprehensif dan terpada atas lingkungan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pola hukum pidana lingkungan kemudian berkembang setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengakomodasikan berbagai perkembangan sistem pidana di dalam lingkungan hidup. Akan tetapi, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, UU RI No. 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sistem pemidanaan dalam lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan eksistensi lingkungan kepada fungsi keberlanjutannya. Pada esensinya hukum pidana merupaka sarana represif, yakni serangkaian pengaturan yang ditujukan untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa negatif supaya pada berikutnya kembali kepada keadaan semula.3 Fungsi hukum pidana dinilai oleh para pakar sebagai perangkat pamungkas (ultitum remendium), karena instrumen-instrumen yang lain dinilai dapat sebagai sarana yang melindungi lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan selain dapat didekati dari sudut pandang instrumen hukum adiministrasi dan instrumen hukum 3 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan, (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), cet. Ke-2, h. 354 71 perdata, juga dapat didekati dari instrumen hukum pidana. Penerapan hukum pidana lingkungan ini tetap dikaitkan dengan dengan perbuatan pidana seseorang atau badan hukum.4 Di Amerika Serikat, tuntutan pidana merupakan mata rantai terakhir mata rantai panjang, yaitu bertujuan untuk menghapuskan atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai dimaksud dikelompokkan sebagai berikut: 1. Penetapan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan, pernyataan dapak lingkungan 2. Peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur perizinan; 3. Keputusan administrasi terhadap pelanggaran, penentuan tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati; 4. Gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran, penilalian denda atau ganti rugi; 5. Gugatan masyarakat untum memaksa atau mendesak pemerintah mengambil tindakan, gugatan ganti rugi; 6. Tuntutan pidana.5 4 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. Ke-2, h. 300 5 Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan Tindak Pidanan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, t. th), h. 29 72 Hal demikian didasari pula oleh UU RI No. 32 Tahun 2009 dengan perlu menerapkan asas Subsidairitas sebagaimana dalam Penjelasan Umum UndangUndang ini mengatakan bahwa “sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan atas subsidairitas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.” Dengan demikian pada prinsipnya status fungsi pidana dalam hukum pidana lingkungan tidak lebih sebagai sarana lapis terakhir (alternatif) di mana berbagai perangkat dan sarana-sarana perlindungan lingkungan yang lain lebih didahulukan secara fungsional sementara bila sarana-sarana tersebut dirasakan belum mencapai hasil efektif, maka hukum pidana kemudian difungsikan.6 Prinsip-prinsip hukum pidana yang terkandung dalam hukum lingkungan, sebagaimana menurut UU RI No. 32 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: 1. Prinsip pemidanaan secara delik formal dan delik materil; 2. Prinsip pemidanaan terhadap individu; 3. Prinsip pemidanaan terhadap korporasi (delik korporasi); 4. Prinsip pembedaan atas perbuatan kesengajaan dan kelalaian; 5. Prinsip penyidikan dengan tenaga khusus di bidang lingkungan; 6 Siahaan, Hukum Lingkungan, h. 355 73 6. Prinsip pengenaan sanksi pidana secara khusus. Pola penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses dan setiap proses akan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum, baik yang diatur dengan hukum pidana formil (hukum acara pidana) maupun hukum pidana meterial. Seperti diketahui penegakan hukum lingkungan dapat dibagi ke dalam 3 tahapan pokok, yakni:7 Tindakan pre-emtive, yakni tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara lebih awal berbagai faktor korelasi, kriminogen, yakni faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya kerusakan atau pencemaran lingkungan. Tindakan preventif, adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan, misalnya pengawasan berkelanjutan terhadap pabrik-pabrik, para polisi kehutanan mengawasi pencurian kayu dan penebangan liar. Tindakan represif, adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas hukum melalui proses hukum pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah merusak atau mencemari lingkungan. Dalam UU RI No. 23 Tahun 2009 terdapat pasal yang mengatur tentang delik materil (generic crime), delik Formil (specific crime) dan kejahatan perusahaan (corporate crime). Berikut akan dipaparkan pengertian dan sanksi yang diberikan terhadap delik tersebut. 7 Ibid., h. 358 74 1. Delik Materil Delik materil merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.8 Artinya untuk dapat disebut delik, harus lebih dahulu dibuktikan akibat-akibat sebagai dari suatu perbuatan berupa kerusakan, pencemaran atau penyakit sebagai dampak dari perbuatan yang dituduhkan kepada si tersangka. Di bawah ini akan dikutipkan beberapa Pasal dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 yang termasuk ke dalam ketentuan delik materil: Pasal 98 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mangakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dendan paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 8 122 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Llingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 75 Pasal 99 1) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). 3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mangakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan dendan paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Unsur-unsur yang membuat pasal-pasal di atas sebagai delik materil adalah: 1) Adanya perbuatan atau serangkaian perbuatan, misalnya membuang limbah ke badan air, melepaskan emisi pencemar ke udara; 2) Ada suatu akibat atau dampak tertentu, yakni result atau hasil dari perbuatan itu; 3) Hasil (result) dari perbuatan itu adalah negatif terhadap lingkungan, yakni pencemaran atau perusakan.9 2. Delik Formil Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan melanggar aturan- aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil dikenal juga sebagai 9 Siahaan, Hukum Lingkungan, 309 76 Administrative Dependent Crimes.10 Atau dengan kata lain delik formal adalah rumusan ketentuan pidana di mana bila seorang telah melanggar ketentuan secara formal telah dapat dinyatakan sebagai pelaku delik. Berbeda dengan delik materil, delik formal tidak mendasarkan kepada suatu akibat perbuatan (result), tetapi hanya melihat dari sudut formal dari perbuatan yang dilakukan. Seorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah jika sudah memenuhi salah satu unsur delik formal yang didakwakan sekalipun akibat dari perbuatannya sama sekali tidak ada atau terbukti. Berikut akan dipaparkan beberapa contoh delik formal dalam UU RI no. 32 Tahun 2009: Pasal 113 Setiap orang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah Pasal 115 Setiap orang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). 10 Husin, Penegakan Hukum Llingkungan, h. 123 77 3. Delik Korporasi Dalam kamus hukum, korporasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau digugat di muka Pengadilan.11 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 Tentang Wajib daftar Perusahaan, di dalam Pasal 1 butir b mengartikan perusahaan sebagai setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan atau laba. Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan di samping orang (pengurus). Dengan demikian, crimial lability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu perusahaan, maupun juga terhadap person pemberi perintah dari perusahaan itu.12 Pertanggungjawaban pidana oleh korporasi diatur dalam Pasal 116, 117, 118, 119 UU RI No. 32 Tahun 2009: Pasal 116 1) 11 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha; dan atau Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), cet. Ke-5, h. 231 Siahaan, Hukum Lingkungan, h. 379 12 78 b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau bedasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha atau yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usana dan/atau kegiatan; c. Perbaikan akibat tindak pidana; d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Mengingat bahwa lingkungan hidup sangat menentukan bagi kelangsungan hidup manusia, maka kemampuan daya dukung alam harus dijaga agar tidak rusak dan 79 berakibat buruk bagi manusia. Bila terjadi kerusakan pada lingkungan hidup yang terbentuk melalui proses yang sangat panjang, tidak mugkin untuk ditunggu pemulihannya secara alami. Secara umum pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1. Kerusakan karena faktor internal Kerusakan karena faktor internal adalah kerusakan yang berasal dari dalam bumi/alam itu sendiri atau bisa juga disebut karena peristiwa alam. kerusakan akibat faktor internal pada lingkungan hidup sulit untuk dicegah karena merupakan proses alami yang terjadi pada bumi/alam yang sedang mencari keseimbangan dirinya.13 Kerusakan lingkungan hidup akibat faktor internal antara lain dapat terjadi karena: 1) Letusan gunung berapi, Letusan gunung berapi terjadi karena aktivitas magma di perut bumi yang menimbulkan tekanan kuat keluar melalui puncak gunung berapi. Bahaya yang ditimbulkan letusan gunung berapi di antaranya: terjadi hujan abu vulkanik, turunnya lava dan awan panas yang dapat mematikan makhluk hidup yang dilalui. 2) Gempa bumi, Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang bisa disebabkan karena beberapa hal, di antaranya kegiatan magma (aktivitas gunung berapi), terjadinya tanah turun, maupun karena gerakan lempeng di dasar samudra. Pada saat gempa berlangsung terjadi beberapa 13 Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 16 80 peristiwa sebagai akibat langsung maupun tidak langsung, di antaranya: berbagai bangunan roboh, tanah di permukaan bumi merekah, jalan menjadi putus, tanah longsor akibat guncangan, bahkan bisa terjadi tsunami apabila gempa terjadi di dasar laut. 3) Angin topan, angin topan terjadi akibat aliran udara dari kawasan yang bertekanan tinggi menuju ke kawasan bertekanan rendah. Perbedaan tekanan udara ini terjadi karena perbedaan suhu udara yang mencolok. Serangan angin topan (puting beliung) dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dalam bentuk: Merobohkan bangunan, rusaknya areal pertanian dan perkebunan, membahayakan penerbangan.14 2. Kerusakan karena faktor eksternal Kerusakan karena faktor eksternal ialah kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya.15 Kerusakan lingkungan hidup karena faktor eksternal antara lain disebabkan oleh: 1) Faktor industrialisasi, negara-negara maju menciptakan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebat sehingga mampu mengagumkan seluruh umat di bumi. Akan tetapi salah satu kelemahan Afandi Kusuma, Lingkungan Hidup, Kerusakan Lingkungan, Pengertian, Kerusakan Lingkungan Dan Pelestarian, Artikel diakses pada 20 Desember 2011 dari http://afand.cybermq.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertiankerusakan-lingkungan-dan-pelestarian14 15 Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 16 81 yang belum bisa diusik, ialah ekses-ekses negatif teknologi itu sendiri.16 Kerusakan yang terjadi karena faktor industrialisasi di antaranya adalah: pencemaran udara yang berasal dari cerobong pabrik, pencemaran air yang berasal dari limbah buangan industri, pencemaran daratan oleh kagiatan industri maupun limbah padat/barang bekas.17 2) Faktor urbanisasi, perpindahan masyarakat dari desa ke kota menyebabkan jumlah tenaga kerja di desa berkurang. Sebelum mereka pindah, mereka menggarap lahan pertanian dan menghasilkan panen yang baik. Namun karena berkurangnya jumlah tenaga kerja di desa, maka tidak tertutup kemungkinan adanya sawah atau lahan pertanian yang terbengkalai. Keadaan ini mengakibatkan menurunnya hasil panen. Faktor urbanisasi mengakibatkan kerusakan lingkungan berupa: pembukaan hutan untuk perkampungan, industri dan sistem transportasi, penimbunan atau menumpuknya sisa-sisa buangan/sampah dari hasil proses-proses di atas.18 3) Faktor kepadatan penduduk, Jumlah penduduk yang makin meningkat menyebabkan kebutuhannya makin meningkat pula. Hal ini berdampak negatif pada lingkungan, yaitu: Makin berkurangnya lahan produktif, 16 17 18 Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pemangunan, h. 73 Wardhana, Dampak Pencemaran, h. 17 Achmad Luthfi, Sumber-Sumber Terjadinya Penemaran, artikel diakses pada 20 Desember 2011 dari http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimialingkungan/pencemaran_lingkungan/sumber-sumber-terjadinya-pencemaran/2 82 seperti sawah dan perkebunan karena lahan tersebut dipakai untuk pemukiman. Makin berkurangnya ketersediaan air bersih, manusia membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih, hal ini menyebabkan persediaan air bersih menurun. Pertambahan penduduk juga menyebabkan arus mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat transportasi meningkat dan kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis. Pertambahan penduduk juga menyebabkan makin meningkatnya limbah rumah tangga, seperti sampah dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.19 Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup itu bisa terjadi karena disebabkan banyak faktor, seperti misalnya bencana alam dan ulah tangan manusia. Namun kebanyakan kerusakan terjadi karena faktor bencana alam. Begitu juga halnya dengan pencemaran, tidak selamanya faktor ulah tangan manusia yang menjadi penyebabnya. Faktor bencana alampun bisa menjadi penyebab utama. Contoh yang paling teraktual adalah terjadinya gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 hingga terjadi tsunami yang mengakibatkan bocornya reaktor nuklir sehingga 19 Kepadatan Penduduk dan Pencemaran Lingkungan, artikel diakses pada 20 Desember 2011 dari http://zaifbio.wordpress.com/2010/02/11/kepadatan-penduduk-dan-pencemaran-lingkungan/ 83 menimbulkan bahaya radiasi nuklir melalui udara. Itu adalah salah satu bentuk pencemaran lingkungan yang berada di luar kekuasaan manusia.20 D. Analisis Hukum Islam Terhadap Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan Hidup Berbicara mengenai hukum Islam, kita tidak akan terlepas dari dua cabang ilmu yaitu ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Berikut penulis mencoba menganalisis mengenai permasalahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan ke dua cabang ilmu tersebut. 1. Analisis Ilmu Fiqih tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Ilmu fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil tafsili.21 Hubungan antara ilmu fiqih dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup dari segala macam hal yang bisa membahayakan dan merusak adalah hubungan yang mempunyai aturan-aturan yang jelas. Selain definisi di atas, sebagaimana umum diketahui, ilmu fiqih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan 20 Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2008), jld.1, cet. Ke-3, h. 3 21 84 sunnah Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.22 Ilmu fiqih juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan masyarakat, dan dengan alam di sekitarnya sesuai dengan lima hukum Islam (taklifi): wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Hubungan ilmu fiqih dengan lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada wilayah hukum-hukumnya semata, akan tetapi juga berhubungan dengan kapasitanya sebagai dasar pembentukan hukum secara universal. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri oleh para ahli fiqih, bahwa metode-metode fiqih yang terkenal telah melahirkan bahasan dalam berbagai literatur yang amat banyak yang dalam bahasan-bahasan itu menyinggung pentingnya memberikan perhatian terhadap lingkungan hidup, serta bagaimana Islam mengatur dan memeliharanya. Karena di dalamnya dipaparkan prinsip-prinsip pemeliharaan lingkungan dengan amat terpuji. Di antara prinsip-prinsip yang sangat terkenal dalam ilmu fiqih dan yang lebih khususnya lagi termaktub dalam ilmu qawaid fiqhiyyah mengenai masalah 22 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakata: Raja Grafindo Persada, 1998), cet. Ke-6, h. 49 85 pemeliharaan lingkungan hidup ﻻﺰﻳراﺮّﻀﻟا adalah prinsip/kaidah (kemadharatan, kesulitan atau bahaya harus dihilangkan).23 Qa’idah tersebut kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid alsyari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudharatan atau setidaknya meringankannya.24 Di mana qa’idah tersebut dibangun berdasrkan Q.S Al-Baqarah (2):195. =t† !# β) #θΖ¡m&ρ π3=κJ9# ’<) /3ƒ‰ƒ'/ #θ)=? ωρ !# ≅‹6™ ’û #θ)Ρ&ρ ( ٢:١٩٥ / ) ةﺮﻘﺒﻟا ∩⊇®∈∪ ⎦⎫Ζ¡sϑ9# Artinya:‘‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.’’ Selain itu kaidah tersebut didasarkan kepada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abi Sa’id Al-Hudri: ‘‘Tidak boleh berbuat dloror (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka 23 Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pngentar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-2, h. 70 24 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan MasalahMasalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Ke-2, h. 67 86 Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa mempersulit kepada orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.’’ Pengertian راﺮّﻀﻟا menurut al-Nadawi sebagaimana dikutip dalam buku Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih karangan Ahmad Sudirman Abbas adalah‘‘berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diijinkan oleh agama. Sedangkan tindakan perusakan terhadap orang lain yang diijinkan oleh agama seperti qiyas, diyat, had, dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan.25 Dari kaidah universal ini kemudian dibagi kembali ke dalam kaidah-kaidah parsial sbagai kumpulan metode yang telah disepakati oleh para ahli fiqih. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut: “Menghindari kesulitan harus didahulukan atas menarik kemaslahatan.” Yang dimaksud ﺪﺳﺎﻔﻤﻟاءرد adalah menghilangkan atau melenyapkan sesuatu yang merusak. Jika terjadi tarik menarik antara sesuatu yang merusak dan sesuatu yang maslahah, maka menolak sesuatu yang merusak harus lebih didahulukan, walaupun untuk itu harus kehilangan peluang mendapatkan sesuatu 25 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 128 87 yang maslahah. Sebab kepedulian syariat Islam terhadap hilangnya kerusakan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan menciptakan sesuatu yang maslahah. Kesungguhan syariat Islam dalam menghimbau untuk meninggalkan larangan, lebih diotoritaskan dari pada himbauan untuk melaksanakan perintah.26 Qa’idah ini didasarkan hadis Nabi: “Apabila aku perintahkan kamu sekalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kamu, dan apabila uku larang kamu sekalian dari suatu hal, maka jauhilah.” 2. Analisis Ilmu Ushul Fiqih tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Secara umum, tujuan penciptaan hukum (syar’i) dalam menetapkan dan menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia yang fana ini, maupun kebahagiaan akhirat yang baqa (kekal) kelak. Tujuan hukum Islam yang demikian itu dapat kita tangkap antara lain dari firman Allah SWT dalam Q.S AlAnbiya (21):107. ( ٢١:١٠٧/ ⎫⎥ ∪∠⊃⊇∩ )ءﺎﻴﺒﻥﻷاϑ=≈è=9 πΗq‘ ω) ≈Ψ=™‘& .$Βρ Artinya: ‘‘Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.’’ 26 Ibid., h. 149 88 Perlindungan terhadap lingkungan hidup tidak hanya dibahas dalam ilmu fiqih saja, tetapi juga dibahas dalam ilmu ushul fiqih. Terutama dalam bahasan tujuan hukum Islam (maqashid syari’ah). Abu ishaq al-Shatibi dalam buku Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan Muhammad Daud Ali merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan Islam lainnya.27 Menjaga lima maslahat pokok sebagaimana disebut sebelumnya merupakan keharusan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana jika paham tersebut ditinggalkan, maka kemaslahatan dunia tidak akan dapat berdiri dengan tegak, sehingga akan berakibat terjadinya kerusakan dan hilangnya kenikmatan, dan berujung pada penyesalan abadi. Jika kita telaah secara lebih mandalam, maka tidak diragukan lagi bahwa pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup tercakup pada kategori lima maslahat pokok tersebut. Yaitu: a. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Agama ( ) ﻦﻳّﺪﻟا ﻆﻔﺣ Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia. Lalu, segala pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan manjaga agama. Karena perbuatan dosa yang mencemari dan merusak lingkungan hidup dapat 27 Ali, Hukum Islam, h. 61 89 menodai ajaran agama. Di samping itu, hal tersebut juga merupakan perbuatan yang menyimpang dari perintah Allah SWT dalam konteks hubungan baik dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Selain itu pencemaran dan perusakan lingkungan hidup scara implisit juga telah menodai perintah Allah SWT untuk memakmurkan bumi, memperbaikinya serta melarang segala bentuk perbuatan yang dapat merusak dan membinasakannya. Dalam hal ini Allah berfirman: MΗq‘ β) $èϑÛρ $ùθz νθãŠ#ρ $γs≈=¹) ‰è/ Ú‘{# †û #ρ‰¡? ωρ (٧:٥٦ / ⎫⎦ ∪∉∈∩ ) ﻓﺎﺮﻋﻷاΖ¡sϑ9# ∅Β =ƒ % !# Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” b. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Jiwa ( ) ﺲﻔّﻨﻟا ﻆﻔﺣ Menjaga jiwa merupakan tujuan ke dua hukum Islam. Karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Menjaga lingkungan dari segala kerusakan juga termasuk maslahat pokok yang ke dua, yaitu menjaga jiwa. Maksud dari menjaga jiwa adalah perlindungan terhadap kehidupan psikis mereka. manusia dan keselamatan 90 Terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tentu akan mengakibatkan timbulnya bahaya dalam kehidupan manusia. Sehingga tidak jarang banyak korban jiwa yang berjatuhan karena disebabkan oleh hal tersebut. Semakin luas hal ini dikembangkan, maka semakin tampaklah bahaya yang akan diterima umat manusia. Betapa pentingnya harga sebuah jiwa, sehingga Allah SWT befirman dalam Q.S Al-Maidah (5):32. ¨$Ζ9# ≅F% $ϑΡ'6ù Ú‘{# ’û Š$¡ù ρ& §Ρ ó/ $¡Ρ ≅F% ⎯Β (٥:٣٢ / )ةﺪﺋﺎﻤﻟا $è‹ϑ_ ¨$Ψ9# $Šm& $ΚΡ'6ù $δ$Šm& ⎯Βρ $è‹ϑ_ Artinya: ‘‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’’ c. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Akal ( ) ﻞﻘﻌﻟا ﻆﻔﺣ Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar, hidayah, cahaya, mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dar Allah SWT disampaikan, dengannya pula manusia menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya pula manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.28 28 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmwati, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 91 91 Menjaga lingkungan hidup dapat juga dihubungkan dengan maslahat pokok yang ke tiga, yakni menjaga akal. Maslahat ini merupakan jembatan yang mengantarkan ke arah pemberlakuan taklif dalam hukum Islam. Karena yang tidak mempunyai akal, tidak ada beban yang wajib ditanggungnya. Menjaga lingkungan hidup dalam pengertian luas, mengandung arti menjaga manusia dengan seluruh unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal, jiwa. Maka upaya keberlangsungan hidup manusia tidak akan berjalan, kecuali apabila akalnya tidak dijaga, yang oleh karenannya manusia menjadi berbeda dengan hewan. Sebagian bentuk perusakan lingkungan hidup dewasa ini, selain berakibat bahaya pada dirinya sendiri juga dapat dikatakan perbuatan gila. Karena si pelaku tidak memikirkan dampak negatif yang akan menimpa apabila kerusakan lingkungan itu terjadi. d. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Keturunan ) ﻆﻔﺣ ( ﻞﺴّﻨﻟا Pemeliharaan keturunan bertujuan agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat dilanjutkan. Menjaga lingkungan hidup juga termasuk dalam hal menjaga keturunan. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan umat manusuia yang ada di muka bumi. Dengan menjaga keturunan, maka sama saja kita menjaga kelangsungan hidup untuk generasi masa depan. 92 Perilaku menyimpang yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dengan cara megambil sumber-sumber kekayaan alam yang merupakan hak orang lain akan mengancam keberlangsungan hidup generasi di masa depan. Walaupun kita dapat sadari di satu sisi perbuatan tersebut juga menyebabkan perkembangan dan kemajuan pada masa sekarang. Namun, di sisi lain bahaya dari perbuatan tersebut akan dirasakan oleh generasi-generasi di masa akan datang. Seperti pembalakan liar yang telah menggundulkan hutan-hutan di Indonesia, di satu sisi tersebut memang membuahkan hasil yang positif seperti misalnya pembuatan kertas, tidak dipungkiri kita pun menikmatnya. Akan tetapi apabila hal tersebut terus dilakukan, maka di masa depan anak cucu kita tidak dapat meghirup udara yang segar karena pohon sebagai paruparu bumi sudah semakin sedikit keberadaannya. e. Memelihara Lingkungan Dalam Konteks Menjaga Harta ( ) لﺎﻤﻟا ﻆﻔﺣ Harta adalah semua perantara yang Allah berikan kepada kita unuk menjalani rutinitas kehidupan di dunia yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Harta juga merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana manusia tidak bisa berpisah dengannya.29 Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al-Kahfi (18):46. 29 Ibid., h. 167 93 (١٨:٤٦/ )ﻒﻬﻜﻟا $‹Ρ‰9# οθŠs9# πΖƒ— βθΖ69#ρ Α$ϑ9# Artinya: ‘‘Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.’’ Menjaga lingkungan dapat pula dikatakan menjaga maslahat pokok yang ke lima, yaitu menjaga harta. Harta yang dimaksud di sini bukan hanya sebatas uang, rumah, dan permata saja, melainkan semua benda yang menjadi milik dan dapat dinikmati oleh manusia. Oleh sebab itu, keharusan menjaga lingkungan juga merupakan kewajiban kita dalam menjaga harta dalam bentuk dan jenisnya tersebut. Dalam bentuk pelaksanaannya adalah dengan cara menjaga sumber dayanya dengan cara tidak mengeksploitasi alam, karena dengan pengeksploitasian tersebut, maka segala sumber kekayaan alam akan hilang sebelum waktunya dapat dimanfaatkan. Dengan demikian jelaslah bahwa Islam mensyariatkan beberapa hukum dalam berbagai bab ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), dengan tujuan menjamin keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara, dan menjaganya.30 Disadari atau tidak, menjaga lingkungan hidup dari pencemaran dan kerusakan menjadi sesuatu hal yang sangat urgent, bahkan wajib. Menjaga keselamatan agama (hifdzu al-din), jiwa (hifdzu al-nafs), akal (hifdzu al30 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Noer Iskandar dkk. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke- 8, h. 325 94 ‘aql), keturunan (hifdzu al-nasl), dan harta (hifdzu al-maal) yang merupakan konsep paling sederhana dari tujuan pokok syariat Islam (maqashid alsyari’ah) tidak akan dapat terwujud apabila kita tidak bisa menjaga, merawat, dan memelihara lingkungan hidup.31 31 Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai sanksi pidana terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan: 1. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang memiliki sanksi hukum bagi pelakunya yakni hukuman takzir, karena perbuatan tersebut sangat jelas dilarang oleh syara’, akan tetapi tidak ditentukan sanksinya dalam al-Qur’an dan al-hadits. Mengenai bentuk hukumannya itu sepenuhnya diserahkan kepada penguasa/ulil amri yang dalam hal ini adalah hakim yang diberi kuasa untuk menjatuhkan vonis mengenai bentuk maupun jenis hukuannya. Sedangkan di dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 terdapat tiga macam delik dalam masalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yakni delik materil, delik formil, dan delik korporasi. Sanksi yang diterapkan terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam delik materil dan delik formil adalah berupa hukuman penjara dan hukuman denda. Sedangkan dalam delik korporasi, bagi korpoasi yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi tata tertib sesuai dengan undang-undang tersebut. 94 95 2. Secara umum, faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ada dua dua macam. Pertama adalah faktor internal, dan yang ke dua faktor eksternal. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup karena faktor internal adalah kerusakan lingkungan yang berasal dari dalam bumi/alam itu sendiri, atau penyebabnya adalah karena peristiwa alam. seperti: letusan gunung berapi, gempa bumi, dan angin topan. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup karena faktor eksternal adalah kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya. Seperti faktor industrialisasi, faktor urbanisasi, dan faktor kepadatan penduduk. B. Saran Mengikuti arus perkembangan informasi dan bertumbuhkembangnya era kemajuan pembangunan industri yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup pada saat ini, berbagai dampak dan pengaruh lingkungan telah hadir di permukaan. Sehubungan dengan munculnya kekhawatiran itu, fungsi dan peranan hukum patut dijadikan sarana ujung tombak yang tajam secara efektif di tengah kehidupan sosial dan pembangunan. Untuk ketajaman dan efektivitas hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, disarankan: 1. Kepada Kementerian Lingkungan Hidup, agar diadakannya pembinaan dan peningkatan keterampilan aparat penegak hukum yang bertugas menangani kasus-kasus tindak pidana lingkungan disertai dengan upaya-upaya untuk 96 menigkatkan koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka menciptakan persamaan persepsi aparat yang terkait, serta melengkapi sarana dan prasarana termasuk dana yang berfungsi sebagai penunjang penegakan hukum lingkungan. Juga perlu diadakannya pembinaan dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui penyuluhan dan bimbingan secara PEKA (Persuasif, Edukatif, Komunikatif, dan Akomodatif). 2. Kepada aparat pemerintah pembuat Undang-Undang, dimohon agar memuat aspek-aspek dalam khazanah ke-Islaman khususnya di bidang lingkungan hidup untuk dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 3. Untuk menjaga eksistensi lingkungan hidup di masa depan, dimohon kepada para pendidik khususnya di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), agar lebih menekankan para peserta didik pada study pendidikan mengenai lingkungan hidup dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Karena apabila tidak dididik dari usia dini dikhawatirkan mereka akan menjadi oknum-oknum perusak lingkungan hidup di masa depan yang hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa memperdulikan nasib bumi yang dipijaknya. 4. Kepada para pihak pengelola industri agar lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan agar limbah-limbah buangan dari industri yang dikelolanya tidak menimbulkan berbagai dampak yang merugikan manusia. 97 5. Kepada para pejabat daerah dimohon untuk lebih gencar dan selektif dalam mengadakan operasi kependudukan/yustisi guna mengurangi terjadinya kepadatan penduduk yang berakibat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Al-Qur’an Al-Karim Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004. Abdullah, Mustafa dan Ahmad, Ruben, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: Alumni, 1986 Afif, Wahab, Hukum Pidana Islam, Banten: Yayasan Ulumul Qur’an, t. th Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakata: Raja Grafindo Persada, 1998. Ambary, Hasan Muafif, dkk, 1999. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Aripin, Jaenal, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Oktober 2009. Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz. I, Beirut: Muassasah alRisalah, 1994. --------------, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz. II, Beirut: Muassasah, al-Risalah, 1992. Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Bandung, Remadja Karya, 1986. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007 Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. 98 99 --------------, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya paramita, 1993. Hamzah, Andi dan Rahayu, Siti, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyaersity Press, 2006. Husein, Harun M., Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Llingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmwati, Jakarta: Amzah, 2009. Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Noer Iskandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. KUHP dan KUHAP, Jakarta: Asa Mandiri, 2009. Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan Hukum Potong Tangan di Naggroe Aceh Darussalam, Jakarta: Indhill, 2008. Moeljianto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Muhammad, Ahsin Sakho, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: Karisma Ilmu, 2007. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinyah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Mustofa, Agus, Menuai Bencana, Surabaya: PADMA Press, 2005. Prodjodikoro, Wirdjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009. 100 Purnomo, Hadi dan Sugiantoro, Ronny, Manajemen Bencana: Respons dan Tindakan Terhadap Bencana, Yogyakarta: Medpress, 2010. Ramly, Nadjamudddin, Membangun Lingkungan Hidup yang Harmoni dan Berkepribadian, Jjakarta: Grfindo Khazanah Ilmu, 2005. Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1985. Sastrawijaya, A. Tresna, Pencemaran Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan, Jakarta: Pancuran Alam, 2009. --------------, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004. Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan Tindak Pidanan Lingkungan Hidup, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, t. th Soemartono, R. M. Gatot P., Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007 --------------, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008. Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. --------------, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Tim Penyusun Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an, Pelestarian Lingkungan Hidup (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashilan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diktat Departmen Agama RI, 2009. 101 Tim Redaksi Eska Media, UUD 1945 dan Penjelasannya, Jakarta: Eska Media, t.th. Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010. Usman, Suparman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pngentar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002. Wahid, Rusli, dkk, Untukmu Kami Hadir, Jakarta: Sekretariat Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial, 2006. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Wardhana, Wisnu Arya, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta: Andi, 2004. Wawancara Pribadi dengan Fachruddin Majeri Mangunjaya. Jakarta, 6 Januari 2012 Wojowasito, S., Kamus Umum Belanda- Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1995. Zain, Alam Setia, Hukum Llingkungan Konservasi Hutan dan Segi -Segi Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. 102 B. Sumber Internet http://www.indonesia.bg/indonesian/indonesia/index.htm http://bumianoa.wordpress.com/2010/06/07/eksploitasi-atas-kekayaan-alamindonesia/ http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/fiqih-lingkungan/ http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkunganpengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarianhttp://geo.ugm.ac.id/archives/125 http://daniey.wordpress.com/pencemaran-lingkungan/ http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimialingkungan/pencemaran_lingkungan/sumber-sumber-terjadinya-pencemaran/2 http://zaifbio.wordpress.com/2010/02/11/kepadatan-penduduk-dan-pencemaranlingkungan/ PEDOMAN WAWANCARA 1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup? 2. Apa pengertian lingkungan hidup jika dilihat dari kacamata Islam? 3. Secara definitif, adakah perbedaan sudut pandang antara lingkungan hidup di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan di dalam Islam? 4. Apa yang dimaksud dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Dan adakah perbedaan di antara keduanya? 5. Apa faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? 6. Di dalam hukum Islam, apakah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup termasuk tindak pidana? Mengapa? 7. Jika iya, sanksi apa yang diberikan kepada pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut? 8. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pengguna kendaraan bermotor seperti mobil/motor? Apakah mereka termasuk pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Dan bagaimana solusinya? IDENTITAS RESPONDEN Nama : ... Tempat, Tanggal Lahir : ... Alamat : ... Pekerjaan : ... SURAT PERNYATAAN OBSERVASI/WAWANCARA DENGAN Drs. FACHRUDDIN M. MANGUNJAYA, M.Sc SEBAGAI AKTIVIS CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA Hari/Tanggal : Jum’at, 6 Januari 2012 Waktu : Pukul 10:00 WIB Tempat : Kantor Conservation International Indonesia Jl. Pejaten Barat No. 16A Kemang-Jakarta Selatan Nama Responden : Drs. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Sc Pekerjaan : Aktivis Conservation International Indonesia Jakarta, 6 Januari 2011 Drs. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Sc HASIL OBSERVASI/WAWANCARA DENGAN Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya, M.Si (Religion and Conservation Initiative, Conservation International Indonesia) Jl. Pejaten barat No. 16A Kemang-Jakarta Selatan 1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup? Jawab: Lingkungan hidup itu istilah dalam diterjemahkan dari environment dalam bahasa Indonesia yang bahasa Inggris. Tetapi dalam bahasa ilmiah juga bisa disebut sebagai ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makhluk hidup dan interaksi dengan komunitas di sekelilingnya. Sedangkan di dalam buku-buku, ekologi itu diambil dari dua kata, yaitu aikos dan logos. Aikos itu dikaitkan dengan rumah tangga sedangkan logos ilmu. Jadi ekologi juga bisa disebut sebagai ilmu yang terkait dalam hidup dan kehidupan dalam suatu ruang lingkup tertentu (rumah tangga) atau sistem atau komunitas tertentu. Di Indonesia sendiri istilah lingkungan hidup baru muncul di tahun 1970-an. Dan istilah pembangunan lingkungan secara berkelanjutan muncuk melalui deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1972. 2. Apa pengertian lingkungan hidup jika dilihat dari kacamata Islam? Jawab: Yang saya pelajari Islam itu tidak membicarakan secara spesifik tentang lingkungan hidup, namun aspek ajaran praktis lingkungan, dapat dijumpai itu ada di mana-mana dalam Islam secara integratif. Misalnya kitab fiqih, sudah berbicara dalam berbagai aspek praktek ibadah, juga berbicara mengenai lingkungan. Seperti dalam bab pertama dalam fiqih kita langsung membahas bab Thaharah. Jadi sebenarnya Islam itu sudah ada di dalam sistemnya mengenai lingkungan hidup. Atau dikatakan “Islam is inherently environment” Hanya saja sekarang kita mencari-cari yang mana saja aspek ajaran Islam yang dapat menjawab dengan masalah-masalah yang actual karena persoalan modern. lingkungan banyak ditemui dalam kehidupan Secara makro Islam mengajarkan bahwa alam semesta ini juga termasuk lingkungan hidup, semua makhluk yang ada di Langit dan bumi bertasbih kepada Allah. Kita hidup dan beribadah di bumi Allah, apabila bumi ini rusak, maka kita tidak bisa beribadah dengan tenang. Jadi tujuan disyariatkannya hukum Islam pun sesungguhnya mempunyai pesan, bagaimana kita menjaga lingkungan sebagai tujuan yang paling tinggi. Sebab target umum maqasid al syariah seperti: hifdzu al-din, hifdzu al-nafs, hifdzu al-‘aql, hifdzu al-nasl, hifdzu al-mal, tidak akan tercapai kalau lingkungan hidup rusak. Seperti contohnya apabila air tercemar bagaimana kita bisa beribadah, kita mau shalat, air yang digunakan tercemar, terjadi banjir, maka kita tidak bisa beribadah dengan tenang. Untuk itu maksud syari’ah semuanya harus berada dalam suatu yang holistik. Jadi hukum Islam kapanpun dan di manapun harus menjawab sebuah tantangan zaman, jangan sampai Islam tidak bisa menjawab tantangan dari lingkungan hidup ini. 3. Secara definitif, adakah perbedaan sudut pandang antara lingkungan hidup di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan di dalam Islam? Jawab: Secara umum lingkungan hidup itu netral saja, tetapi kalau kita berbicara Islam berarti ada kemasan dan ada unsur keimanan di dalamnya. Seperti kita membuang sampah kemudian kita mendaur ulangnya, maka itu sebagian dari ibadah. 4. Apa yang dimaksud dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Dan adakah perbedaan di antara keduanya? Jawab: Kalau sudah tercemar itu sudah pasti rusak dan tidak ballance, tetapi kalau rusak belum tentu tercemar. Seperti tanah longsor, itu menyebabkan kerusakan tetapi tidak terjadi pencemaran. Pencemaran itu terjadi karena ada intervensi atau ada masukan eksternal dari luar. Udara tercemar karena ada minyak atau gas buangan, air kalau digelontorkan limbah, maka akan tercemar. Tetapi kalau pohon disebuah kawasan itu tidak tercemar hanya saja keseimbangannya terganggu apabila terjadi longsor itu. Dampak dari pencemaran itu macam-macam dan pencemaran akan mengakibatkan kerusakan, dan kerusakan itu belum tentu yang tercemar. 5. Apa faktor penyebab terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Jawab: Kerusakan itu penyebabnya macam-macam, seperti bencana alam. Sedangkan pencemaran itu terjadi karena faktor manusia tetapi bisa juga terjadi karena faktor alam, contohnya tsunami di jepang yang menyebabkan radiasi nuklir. Jadi itu lah contoh pencemaran yang berada di luar kekuasaan manusia. Tetapi dalam beberapa puluh tahun terakhir bencana alam itu setelah dihitung dari bencanabencana yang terjadi tidak seberat yang diakibatkan oleh manusia. Contohnya gunung meletus yang mengeluarkan karbon dalam jumlah banyak, debu di mana-mana namun itu hanya beberapa saat. Tetapi manusia, ada sekitar 7 milyar orang membuang gas ke mana-mana. 6. Di dalam hukum Islam, apakah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup termasuk tindak pidana? Mengapa? Jawab: Kalau kita analogikan/qiyaskan sebenarnya pencemaran dan perusakan lingkungan itu yang disebut dengan kerusakan. Terjemahan kita saat ini secara fasadat syariat atau kerusakan lingkungan itu akibat dari maksiat dan lain-lain. Kesemuanya itu memang ada hubungannya dengan kerusakan moral dan moral ini mengakibatkan suatu kebijakan seperti kalau orang sudah korupsi dia bisa menghalalkan segala cara. Seperti pertambangan yang tidak lazim itu sebenarnya melanggar. Tetapi sekarang pelanggaran itu sejauh mana? Kita harus punya tolak ukur dan koridor untuk mengetahui di mana pelanggaran yang terjadi. Sebenarnya kalau yang sudah ditetapkan oleh pemerintah itu semua termasuk pelanggaran karena tidak berjalan pada relnya. Kalau di dalam Islam pencemaran tetap sebuah pelanggaran, menurut saya juga itu termasuk kerusakan dan itulah yang dimaksud dengan fasadat fi albarri wa al-Bahri. 7. Jika iya, sanksi apa yang diberikan kepada pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut? Jawab: Kalau sudah menyangkut dialegtika penerapan hukum saya rasa harus ada hakim, sanksi yang dan harus ada pertimbangan dari pengadilannya. Jadi diberikan terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup adalah berupa hukuman takzir dan segala urusannya diserahkan kepada hakim. 8. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pengguna kendaraan bermotor seperti mobil/motor? Apakah mereka termasuk pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup? Dan bagaimana solusinya? Jawab: Jika berbicara mengenai solusi, maka harus ada pilihan. Jika seorang yang idealis sudah pasti dia tidak akan menggunakan kendaraan bermotor. Jadi itulah pentingnya nilai, lingkungan ini sangat terkait sekali dengan nilai karena ini ada sesuatu yang intensif di dalamnya, kita bisa melakukan sesuatu atau tidak? Kalau kita melakukan suatu kebijakan kita bisa terhindar dari dampak lingkungan, kalau tidak akan banyak yang terkena dampaknya karena kita tidak bijak. Mengenai solusi banyak sekali opsi-opsinya, jika kita tidak mau memakai sepeda motor kita bisa menggunakan kendaraan umum. Kalau di Eropa untuk transportasi masal sudah menggunakan kendaraan bawah tanah semua. Jadi solusi bisa menggunakan regulasi bisa juga dengan alternatif, hanya saja harus dijalankan secara konsisten. Jakarta, 12 Januari 2012 Dr (cand) Fachruddin Mangunjaya, MSi Jakarta, 10 Januari 2012 Kepada yth. Bapak Dr H. Ahmad Mukri Aji, MA Pembantu Dekan Akademik, Fak Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Perihal: Keterangan telah melakukan wawancara Assalamualaikum wr wb. Pada hari Jum’at tanggal 6 Januari 2012, telah datang kepada saya mahasiswa bapak, Nama: Ahmad Faqih Syarafaddin No Pokok : 107043200127 Jurusan /Konsentrasi : PMH/PH semester IX Telah benar melakukan wawancara kepada saya untuk topik penelitiannya yang berjudul “Sanksi Pidana terhadap Pelaku Perusak Lingkungan menurut Hukum Islam dan UU 32 /2009”, guna melengkapi data yang berkaitan dengan skripsi yang ditulisnya. Demikian surat keterangan ini agar digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamualaikum wr wb, Dr (cand) Fachruddin Mangunjaya, MSi Religion and Conservation Initiative, Conservation International Indonesia Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; f. bahwa . . . -2f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 2. perlindungan . . . -32. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. 5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. 6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. 8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. 10. Kajian . . . -410. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian sistematis, menyeluruh, dan analisis yang partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. 11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang adalah kajian selanjutnya disebut Amdal, mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. 16. Perusakan . . . -516. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. 19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. 20. Limbah adalah kegiatan. sisa suatu usaha dan/atau 21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 23. Pengelolaan . . . -623. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. 24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. 25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. 26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. yang 27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. 28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. 31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 32. Setiap . . . -7- 32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. 34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. 35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan. 37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. BAB II . . . -8BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Perlindungan dan pengelolaan dilaksanakan berdasarkan asas: lingkungan hidup a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin . . . -9b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; keselarasan, e. mencapai keserasian, keseimbangan lingkungan hidup; f. dan menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber secara bijaksana; daya alam i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global. Bagian Ketiga Ruang Lingkup Pasal 4 Perlindungan dan meliputi: a. perencanaan; pengelolaan lingkungan hidup b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum. BAB III PERENCANAAN Pasal 5 Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: a.inventarisasi . . . - 10 a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion; dan c. penyusunan RPPLH. Bagian Kesatu Inventarisasi Lingkungan Hidup Pasal 6 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup: a. tingkat nasional; b. tingkat pulau/kepulauan; dan c. tingkat wilayah ekoregion. (2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi: a. potensi dan ketersediaan; b. jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan; d. pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan; dan f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Bagian Kedua Penetapan Wilayah Ekoregion Pasal 7 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. (2) Penetapan . . . - 11 (2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c. iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h. hasil inventarisasi lingkungan hidup. Pasal 8 Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam. Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9 (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota. (2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional. (3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan: a. RPPLH nasional; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion. (4) RPPLH . . . - 12 (4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan: a. RPPLH provinsi; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion. Pasal 10 (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. (3) RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota. (4) RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. (5) RPPLH . . . - 13 (5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PEMANFAATAN Pasal 12 (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. (2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu kesejahteraan masyarakat. hidup, dan (3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan; b. gubernur . . . - 14 b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. BAB V PENGENDALIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. pencegahan; penanggulangan; dan pemulihan. (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Bagian Kedua . . . - 15 Bagian Kedua Pencegahan Pasal 14 Instrumen pencegahan pencemaran kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; dan/atau i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pasal 15 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. rencana . . . - 16 a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana (RPJM) pembangunan jangka menengah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. (3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pasal 16 KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai lingkungan hidup; c. dampak dan risiko kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas terhadap perubahan iklim; dan f. adaptasi tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Pasal 17 (1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. (2) Apabila . . . - 17 (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Pasal 18 (1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 19 (1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. (2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 20 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu . . . daya - 18 (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu perkembangan teknologi. lain ilmu sesuai dengan pengetahuan dan (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri. Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Pasal 21 (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (2) Kriteria . . . - 19 (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 5 . . . - 20 Paragraf 5 Amdal Pasal 22 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. (2) Dampak kriteria: penting ditentukan berdasarkan a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan berlangsung; lamanya dampak d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. f. sifat kumulatif dampak; berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 23 (1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas: a. pengubahan bentang alam; bentuk lahan dan b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. proses . . . - 21 c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan kemerosotan sumber daya alam dan dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan hayati dan nonhayati; bahan h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 24 Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pasal 25 . . . - 22 Pasal 25 Dokumen amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak usaha dan/atau kegiatan; rencana b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; masukan serta tanggapan c. saran masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan lingkungan hidup. dan pemantauan Pasal 26 (1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. (2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. Pasal 27 . . . - 23 Pasal 27 Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain. Pasal 28 (1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: metodologi penyusunan a. penguasaan amdal; b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan sertifikasi penyusun Menteri. lebih lanjut mengenai dan kriteria kompetensi amdal diatur dengan peraturan Pasal 29 (1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Komisi . . . - 24 (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Persyaratan dan tatacara sebagaimana dimaksud pada diatur dengan Peraturan Menteri. lisensi ayat (2) Pasal 30 (1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur: a. instansi lingkungan hidup; b. instansi teknis terkait; c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. organisasi lingkungan hidup. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. (3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau keputusan bupati/walikota menetapkan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32 . . . - 25 Pasal 32 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. (2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal. (3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 6 UKL-UPL Pasal 34 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL. (2) Gubernur atau menetapkan jenis kegiatan yang wajib UKL-UPL. bupati/walikota usaha dan/atau dilengkapi dengan Pasal 35 (1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Penetapan . . . - 26 (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria: a. b. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan kegiatan usaha mikro dan kecil. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri. Paragraf 7 Perizinan Pasal 36 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 37 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. (2) Izin . . . - 27 (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 38 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Pasal 39 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Pasal 40 (1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. (2) Dalam . . . - 28 (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud sampai dengan Pasal Peraturan Pemerintah. mengenai izin dalam Pasal 36 40 diatur dalam Paragraf 8 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup Pasal 42 (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. (2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan c. insentif dan/atau disinsentif. Pasal 43 (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi: a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup; b. penyusunan . . . - 29 b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal lingkungan hidup antardaerah; dan jasa d. internalisasi biaya lingkungan hidup. (2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi: a. dana jaminan hidup; pemulihan lingkungan b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi. (3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan hidup; asuransi g. pengembangan sistem lingkungan hidup; dan label lingkungan ramah h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (4) Ketentuan . . . - 30 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 9 Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 44 Setiap penyusunan peraturan perundangundangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Paragraf 10 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 45 (1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai: a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. (2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pasal 46 . . . - 31 Pasal 46 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup. Paragraf 11 Analisis Risiko Lingkungan Hidup Pasal 47 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. (2) Analisis risiko lingkungan sebagaimana dimaksud pada meliputi: hidup ayat (1) a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 12 Audit Lingkungan Hidup Pasal 48 Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup. Pasal 49 - 32 Pasal 49 (1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. (3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. Pasal 50 (1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. (2) Menteri mengumumkan lingkungan hidup. hasil audit Pasal 51 (1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup. (2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. (3) Kriteria . . . - 33 (3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan: a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup; b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup. (4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penanggulangan Pasal 53 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian . . . - 34 b. pengisolasian pencemaran kerusakan lingkungan hidup; dan/atau c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain yang perkembangan ilmu teknologi. (3) sesuai dengan pengetahuan dan Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pemulihan Pasal 54 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan: a. penghentian sumber pencemaran pembersihan unsur pencemar; dan b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi. (3) dan Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 55 . . . - 35 Pasal 55 (1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. untuk Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VI PEMELIHARAAN Pasal 57 (1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer. sumber daya alam; (2) Konservasi . . . - 36 (2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a. b. c. perlindungan sumber daya alam; pengawetan sumber daya alam; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. (3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: (5) a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya asam. perlindungan terhadap hujan Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Bagian Kesatu Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 58 (1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. (2) Ketentuan . . . - 37 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 59 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. (3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. (6) Keputusan diumumkan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Peraturan limbah B3 diatur dalam Pemerintah. pemberian izin wajib Bagian Ketiga . . . - 38 Bagian Ketiga Dumping Pasal 60 Setiap orang dilarang limbah dan/atau bahan hidup tanpa izin. melakukan dumping ke media lingkungan Pasal 61 (1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VIII SISTEM INFORMASI Pasal 62 (1) dan pemerintah daerah Pemerintah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat. (3) Sistem . . . - 39 (3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 63 (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; g. mengembangkan standar kerja sama; h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik; j. menetapkan . . . - 40 j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; dan melaksanakan k. menetapkan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; l. menetapkan dan kebijakan mengenai lingkungan laut; melaksanakan perlindungan m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara; n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan nasional, peraturan daerah, kebijakan dan peraturan kepala daerah; o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s. menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; u. mengelola . . . - 41 u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional; v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; x. mengembangkan sarana dan laboratorium lingkungan hidup; standar y. menerbitkan izin lingkungan; z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan penegakan lingkungan hidup. (2) hukum Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; pembinaan dan h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; i. melakukan . . . - 42 i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. melaksanakan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. pelatihan, memberikan pendidikan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan tingkat provinsi; dan s. melakukan lingkungan provinsi. standar pelayanan pada penegakan hukum hidup pada tingkat (3) Dalam . . . - 43 (3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: a. menetapkan kabupaten/kota; kebijakan tingkat b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; j. melaksanakan minimal; standar pelayanan k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; n. memberikan . . . - 44 n. memberikan pendidikan, pembinaan, dan penghargaan; pelatihan, o. menerbitkan izin lingkungan tingkat kabupaten/kota; dan p. melakukan penegakan lingkungan hidup pada kabupaten/kota. pada hukum tingkat Pasal 64 Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri. BAB X HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Kesatu Hak Pasal 65 (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap . . . - 45 (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 66 Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 67 Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 68 Setiap orang yang melakukan kegiatan berkewajiban: usaha dan/atau a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Bagian Ketiga . . . - 46 Bagian Ketiga Larangan Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan mengakibatkan pencemaran perusakan lingkungan hidup; yang dan/atau b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan cara membakar; lahan dengan i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi menyesatkan, menghilangkan merusak informasi, atau keterangan yang tidak benar. palsu, informasi, memberikan (2) Ketentuan . . . - 47 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di daerah masingmasing. BAB XI PERAN MASYARAKAT Pasal 70 (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, keberatan, pengaduan; dan/atau c. (3) penyampaian laporan. informasi usul, dan/atau Peran masyarakat dilakukan untuk: kepedulian dalam a. meningkatkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan keberdayaan kemitraan; c. kemandirian, masyarakat, dan menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat melakukan pengawasan sosial; dan e. untuk mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. BAB XII . . . - 48 BAB XII PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 71 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Pasal 72 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 73 Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. PASAL 74 . . . - 49 - Pasal 74 (1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang: a. melakukan pemantauan; b. meminta keterangan; c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; d. memasuki tempat tertentu; e. memotret; f. membuat rekaman audio visual; g. mengambil sampel; h. memeriksa peralatan; i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau j. menghentikan pelanggaran tertentu. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua . . . - 50 Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 78 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Pasal 79 Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 80 . . . - 51 Pasal 80 (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a. penghentian produksi; b. c. d. (2) sementara kegiatan pemindahan sarana produksi; penutupan saluran limbah atau emisi; pembuangan air pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. sementara seluruh Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius manusia dan lingkungan hidup; bagi b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih lingkungan hidup jika dihentikan pencemaran perusakannya. besar bagi tidak segera dan/atau Pasal 81 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Pasal 82 . . . - 52 - Pasal 82 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut administratif diatur Pemerintah. mengenai sanksi dalam Peraturan BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Bagian Kedua . . . - 53 - Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Pasal 85 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan dampak hidup. untuk negatif mencegah terhadap timbulnya lingkungan (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. (3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Pasal 86 (1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan penyedia jasa penyelesaian lingkungan hidup yang bersifat tidak berpihak. dapat lembaga sengketa bebas dan (3) Ketentuan . . . - 54 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Pasal 87 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) orang yang melakukan Setiap pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. (3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. (4) uang paksa Besarnya berdasarkan peraturan undangan. diputuskan perundang- Paragraf 2 . . . - 55 Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Paragraf 3 Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Pasal 89 (1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. Paragraf 4 Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 90 (1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. (2) Ketentuan . . . - 56 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Hak Gugat Masyarakat Pasal 91 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup Pasal 92 (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi mengajukan persyaratan: lingkungan gugatan hidup apabila dapat memenuhi a. berbentuk . . . - 57 a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. Paragraf 7 Gugatan Administratif Pasal 93 (1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal; b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau c. (2) badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. BAB XIV . . . - 58 BAB XIV PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN Bagian Kesatu Penyidikan Pasal 94 (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. (2) Penyidik pejabat berwenang: pegawai negeri sipil a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; pemeriksaan atas d. melakukan pembukuan, catatan, dan dokumen lain dengan tindak pidana di berkenaan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; e. melakukan . . . - 59 e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h. menghentikan penyidikan; i. memasuki dan/atau visual; tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. (3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. (5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (6) Hasil . . . - 60 (6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum. Pasal 95 (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai terpadu pelaksanaan penegakan hukum diatur dengan peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Pembuktian Pasal 96 Alat bukti yang sah dalam tuntutan pidana lingkungan hidup terdiri atas: tindak a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundangundangan. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam merupakan kejahatan. undang-undang Pasal 98 . . . ini - 61 Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila . . . - 62 (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 . . . - 63 - Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 . . . - 64 Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 . . . - 65 Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan 36 ayat (1), sebagaimana dimaksud dalam Pasal dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 . . . - 66 Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 . . . - 67 - Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersamasama. Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Pasal 119 . . . - 68 Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. b. c. d. e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; perbaikan akibat tindak pidana; pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 121 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup. (2) Pada . . . - 69 (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 122 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Pasal 123 Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 124 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 125 . . . - 70 - Pasal 125 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 126 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diberlakukan. Pasal 127 Undang-undang diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar . . . - 71 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, SETIO SAPTO NUGROHO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP I. UMUM 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. 2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Ketersedian . . . -2- Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu perlindungan dan pengelolaan lingkungan kebijakan nasional hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. 3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. 4. Ilmu . . . -34. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia. Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal. Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha. 5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan . . . -4Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan. 6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. 7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UndangUndang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. 8. Selain . . . -58. 9. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur: a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; e. pendayagunaan pengendalian; f. pendayagunaan pendekatan ekosistem; g. kepastian dalam merespons perkembangan lingkungan global; h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup. perizinan sebagai dan instrumen mengantisipasi Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh . . . -6- Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah: a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Huruf c . . . -7- Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf i . . . -8Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Huruf k Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Huruf m Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Huruf n Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 3 . . . -9Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD. Huruf e . . . - 10 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian: a. pencemaran air, udara, dan laut; dan b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 . . . - 11 Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi: a. perubahan iklim; b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik. Ayat (2) . . . - 12 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Huruf b Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air . Huruf c Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Huruf d Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Huruf e Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Huruf f . . . - 13 Huruf f Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “produksi adalah bentuk-bentuk pemanfaatan tanah untuk menghasilkan biomassa. biomassa” sumber daya Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan. Huruf b . . . - 14 Huruf b Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. Huruf c Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau oleh suatu usaha lahan yang diakibatkan dan/atau kegiatan. Huruf d Huruf e Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 15 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Jasad renik dalam rekayasa genetik. huruf ini termasuk produk Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e . . . - 16 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal 26 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam pengumuman dan konsultasi publik dalam menjaring saran dan tanggapan. proses rangka Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “pihak lain” penyusun amdal atau konsultan. antara lain lembaga Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 . . . - 17 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekomendasi UKL-UPL lingkungan hidup. dinilai oleh tim teknis instansi Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 . . . - 18 Pasal 39 Ayat (1) Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, perubahan teknologi, karena kepemilikan beralih, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam perencanaan pembangunan” adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Huruf b . . . - 19 Huruf b Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan” adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya. Huruf c Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. atau Disinsentif merupakan pengenaan beban ancaman secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam” adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter. Huruf b Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Yang dimaksud dengan “produk domestik regional bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Huruf c . . . - 20 Huruf c Yang dimaksud dengan “mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah” adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf d Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan” adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan” adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup. Huruf b . . . - 21 Huruf b Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup” adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet. Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup” adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah. Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup” adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah lingkungan hidup” adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Huruf e . . . - 22 Huruf e Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf f Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup” adalah asuransi yang memberikan perlindungan terjadi pencemaran dan/atau kerusakan pada saat lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “sistem label ramah lingkungan hidup” adalah pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 . . . - 23 Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah B3. Ayat (2) Huruf a Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Huruf b Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih. Huruf c Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga nuklir. Dokumen . . . - 24 Dokumen audit lingkungan hidup memuat: a. informasi yang meliputi tujuan pelaksanaan audit; dan proses b. temuan audit; c. kesimpulan audit; dan d. data dan informasi pendukung. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 25 Huruf b Yang dimaksud dengan ”remediasi” adalah upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan ”restorasi” adalah upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Huruf a Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain, konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst. Huruf b . . . - 26 Huruf b Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat membangun: a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan; b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau c. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pengawetan sumber daya alam” adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan ”mitigasi perubahan iklim” adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Yang . . . - 27 Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak melakukan pengelolaan yang mendapatkan izin. lain adalah badan limbah B3 dan Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . usaha telah - 28 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 29 Ayat (2) Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 66 Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Pasal 67 . . . - 30 Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b B3 yang dilarang dalam DDT, PCBs, dan dieldrin. ketentuan ini, antara Huruf c Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) . . . lain, bagi - 31 Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal. ini Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 . . . - 32 - Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat serius” adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 . . . - 33 Pasal 83 Cukup Jelas. Pasal 84 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 34 Ayat (3) Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 88 Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 91 - 35 Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan dalam penyidikan. Ayat (4) Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 36 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik” adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang . . . - 37 - Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik” adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 . . . - 38 - Pasal 113 Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan faktafakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Yang dimaksud dengan pelaku fungsional adalah badan usaha dan badan hukum. dalam Pasal ini Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 . . . - 39 Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059