TINJAUAN PUSTAKA Liat Aktivitas Rendah istilah liat aktivitas rendah (LAR) muncul ketika para ahli tanah meneliti tanahtanah tropik berkenaan dengan penyusunan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah USDA (Uehara dan Gilman, 1981). Istilah tersebut dikenalkan untuk mencerminkan sifat (behavior) tanah. Dalarn hat ini tanah LAR mempunyai prilaku dan tanggapan berheda terhadap pengelolaan dan manipulasi oleh manusia. Moormann (1986) menyatakan istifah LAR menunjukkan kaitan dengan KTK (pH 7) fraksi liat yang rendah. Menurut Soil Survey Staff(1975) nilai KTK yang rendah adalah lOOg liat dan KTK effektif 5 < l6me per 12me per lOOg liat pada tingkat order hingga greatgroup, dan untuk tingkat suborder nilai KTK (pH 7) 124me. Liat dalam tanah umumnya terbentuk secara pedogenik, walaupun dapat juga berasal dari turunan atau translokasi dari tempat lain (Birkeland, 1974; Hal, 1987). Tanah sendiri menurut Buol. Hole, dan McCracken (1980) adalah sebagai pabrik liat. Liat aktivitas rendah sering dijumpai pada tanah yang telah terlapuk lanjut (Uehara dan Gilman, 1981). Ini menunjukkan bahwa LAR merupakan produk hancuran iklim di tingkat akhir menurut deret perkembangan tanah Jackson clan Sherman (1953). Dengan kata lain, LAR merupakan fase di dalam deret hancuran iklim, yang sifatnya lebih stabil dari fase sebelumnya sesuai dengan prinsip hancuran iklim yang dikemulcakan B o b , McNeal, dan O'Connor (1978). Sifat yang penting dari LAR adalah mempunyai muatan pemukaan variabel (Uehara dan Gilman, 1981). Selanjutnya, Sakurai (1989) menjelaskan hahwa muatan tersebut &pat berubah-uhah tergantung pada pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, dan bahkan valensi ion lawan (counter ions) dari elektrolit sekitarnya. la juga telah mengidentifikasi liat bermuatan variabel sebagai berikut: (a) bahan nonkristalin (alofan, imogolit), hidroksi Fe. Al, dan Si; (b) oksida dan hidroksida Fe, Al, Mn, Si, dan Ti; (c) pinggiran yang patah dari mineral liat tipe I: 1; dan (d) bahan organik. Pada mineral s i l i i t , kelas mineralogi yang bermuatan variabel menurut Uehara d m Gilmm (1981) adalah kloritik (Al antar lapis), haloisitik, kaoliiitik, dan serpentinik. Mineral bemuatan variabel yang telah dikemukakan tidak seluruhnya termasuk LAR. Sesuai dengan batasan niIai KTK-LAR dan infonnasi beberapa literatur (Grim, 1968; Tan, 1982; Barnhisel dan Bertsch, 1989; Milnes dan FitzPatrick, 1989; McKenzie, 1989) mineral-mineral tersebut adalah alofan, imogolit, Mn-oksida, dan haloisit yang mempunyai empat rnolekul air. Mineral klorit akan merniliki KTK yang semakin tinggi bila hidroksida antar lapis rnenurun karena hancuran iklim. Menurut Barnhisell clan Bertsch (1989) nilai KTK klorit dapat bervariasi antara dua hingga 30 me per lOOg liat karena hancuran lapisan tersebut. Liat organik juga tidak termasuk LAR karena KTK yang tinggi. Sakurai (1989) mengemukakan bahwa pada tanah terlapuk lanjut di daerah tropik, LAR yang umum dijumpai adalah kaolinit dan oksida Fe dan atau Al. Tauah Berliat Aktivitas Readah Tanah berliat aktivitas rendah menurut Recel (1985) rnencakup Oxisol, UlrisolLAR, Incepfisol-LAR. Aljisol-LAR, dan Mollisol-LAR. Tanah-tanah tersebut mempunyai horison oksik dan atau h d i k , atau hanya bersifat oksik. Pa& tanah yang hersifat oksik kriteria KTK-liat adalah kurang dari 24me per lOOg liat (Soil Survey Sraff, 1992). sehingga sebenarnya belum memenuhi syarat LAR. Tanah-tanah terse- but herdasarkan Soil Survey Sr@, (1992), dapat diperinci sebagaimana tampak pada Tabel 1 . Tanah pada umurnnya merupakan sistem campuran dari mineral bermuatan tetap dan variahel (Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Hal ini juga dapat dikatakan sebagai carnpuran liat aktivitas rendah dan yang l a i ~ y a .Andaikata LAR Tabel 1. Tanah-tanah LAR M e n w t Tingkat Kategori Sistem Taksonomi Tanah (Soil Surwy Srafl, 1992) - - S i f a t LAR/Oksik Mulai Pada K a t e g o r i Order Suborder Oxisol Ul t is01 Greatgroup Subgroup Kandiaquult Kanhaplaquult Kandi humu 1 t KanhaplohumuIt Kandiudult Kanhapludult Kandiustult Kanhaplustult Kandiaqualf Kandiudalf Kanhapludalf Kanhaplustalf Kandic Plintaquult Kanhap7ic Haplustu7t Semua Taksa Alfisol Moll is01 Inceptisol Oxic Oxic Oxic Oxic Argiudoll Dystropept Humitropept Ustropept Keterangan: - = t i d a k ada merupakan komponen yang dominan maka tanah dapat disebut sebagai tanah berliat aktivitas rendah dominan. Uehara dan Gilman (1981) dan Sakurai (1989) mengistilahkannya sebagai tanah yang didominasi oleh liat bermuatan variabel. Dalam ha1 ini, KTK liat tidak hams memenuhi syarat kurang dari 16me per lOOg liat. Untuk jeIasnya. Uehara dan Gilman (1981) telah membuat batasan sebagai berikut: (a) tanah bermuatan permanen bila muatan permanen > 60% dan muatan variabel < 40% ; (b) tanah bermuatan campuran bila kedua muatan antam 40 dan 60%; dan (c) tanah bermuatan variabel bila muatan permanen < 40 dan m u a m variabel >60%. Menurut batasan dari Uehara dan Gilman (1981) maka tanan berliat aktivitas rendah dominan tidak terbatas pada yang mempunyai horison oksik, kandik, dan hersifat oksik saja seperti pada Tabel 1, melainkan c a k u p a ~ y aakan lebih luas lagi. Sesuai dengan fase tingkat hancuran yang lanjut, maka tanah berliat aktivitas rendah dominan sangat banyak dijumpai didaerah tropik lembab. Sakurai (1989) menjelaskan hahwa di daerah ini curah hujan dan suhu yang tinggi merupakan kondisi ideal untuk pelarutan dan pencucian dari mineral-mineral mudah hancur dan basa-basa. Akibatnya tanah akan menjadi kaya dengan bahan-bahan residual seperti liat kaolinit, besi dan A1 oksida. Van Schuylenborgh (1971) menegaskan bahwa pernbentukan tanah tersebut didukung pula oleh keadaan drainase yang baik serta permukaan yang tua. Tanah-LAR serta dengan keadaan lingkungan pembentukannya dapat juga meluas ke daerah iklim sedang lebih lembab dan panas, yang telah terlindungi dari proses peremajaan kembali pada rnasa pencairan es pleistosen (Uehara dan Gilman, 1981). Dalam ha1 ini umur permukaan semakin penting, karena faktor kelembaban tidak se-intensif di daerah tropik. Atas dasar intensitas hancuraan tersebut, jenis tanah-LAR yang utama adalah Oxisol dan UItisoI (Sakurai, 1989). Dahulu tanah- tanah tersebut disebut Latosol, Lateritik, dan Podsolik Merah Kuning (Soil Survey StaE, 1975). Di Indonesia tanah-tanah ini tersebar di Jawa. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, dan Irian Jaya (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Tanahtanah tersebut umumnya dicirikan oleh wama kekuningan hingga kemerahan. Beberana Mas&& Tanah Berliat Tanah-LAR merupakan tanah yang telah mengalami hancuran iklim lanjut. Mineral-mineral mudah hancur d i dalamnya pada umumnya sudah terlapuk. Unsur hara khususnya basa-hasa sebagian besar telah hilang karena pencucian. Akibatnya tingkat kesuburan fanah sangat rendah; karena basa-basa, pH--, dan KTK-Wah sangat rendah, sedangkan kejenuhan-Al biasanya tinggi. Sifat-sifat tersebut merupa- kan pembatas utama pada tanah yang bersangkutan dalam penggunaannya untuk usaha pertanian (Sakurai, 1989). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ha1 penting yang perlu diperhatikan adalah muatan liat utamanya yang bersifat variabel. Uehara dan Gilman (1981) menjelaskan bahwa prinsigprinsip dasar pengelolaan tanah di daerah tropik banyak berasal dari daerah beriklim sedang, yang mana liat dominan penyusun utama tanahnya bersifat muatan tetap. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya terhadap liat muatan variabel. Hal ini karena mineral bermuatan negatif tetap (KTK) tidak begitu dipengamhi oleh variasi pH, kekuatan ionik, atau konstanta dielektrik ling-kungan medium (Sakurai, 1989). Akibatnya, pengukuran KTK-tanah bukan ha1 yang kritikal, berbeda dengan mineral bermuatan variabel. Oleh karena itu, ciri muatan variabel mempakan masalah yang perlu segera dipahami secara seksama agar penge-lolaan tanah dapat dilakukan secara lebih layak. Masalah lain pada tanah-LAR adalah kemampuannya terhadap fiksasi anion termasuk fosfat, sulfat, clan silikat. Fiksasi fosfat merupakan masalah yang sering dikemukakan dalam pengelolaan tanah seperti Ulrisol Qn Oxisol (Sanchez, 1976; Barber, 1984; Sakurai. 1989). Fenomena tersebut menyebabkan pemupukan khususnya fosfat menjadi tidak efisien. Besi oksida adalah merupakan salah satu jenis mineral yang umum dijumpai pa& tanah tropik terlapuk lanjut, dan dapat memfiksasi fosfat secara efisien (Mekaru dan Uehara. 1972; Parf~tt,Atkinson. dan Smart, 1975; Bigham, Golden, Buol, Weed, dan Brown, 1978; Schwertmann dan Taytor. 1989). Di samping itu besi oksida dapat berinteraksi dengan kaolinit sehingga lebih memperkecil nilai KTK-tanah (Golden dan Dixon, 1985). Pada tanah yang mengandung hesi tinggi. sering t eqadi kahat unsur-unsur hara lain (Tiffin, 1967). di samping Fe bisa herperan sebagai racun. Dalarn ha1 yang pertama, Tiffin menjelaskan bahwa akar tidak cukup mengeluarkan eksudat yang mengandung ion H + untuk mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+. l i b ~ e tidak ~ + tereduksi, ia akan mengendap sebagai Fe(OH)3 di sekeliling akar. Selanjutnya senyawa besi tersebut berperan sebagai penghalang bagi unsur-unsur lain yang akan diserap akar. S e m e n t m itu, menurut Bohn, er al. (1979) besi yang terlalu banyak &lam larutan tanah dapat berperan sebagai racun bagi tanaman. Besi oksida juga dapat menjerap secara efektif beberapa unsur mikro (Schwertmann dan Taylor, 1989), sehingga &pat menyebabkan kekahatan unsur yang bersangkutan. Kemasaman yang tinggi pada tanah merah terlapuk lanjut sering berkorelasi dengan tingginya AI-dd. Kadar Al yang tinggi dalam lamtan tanah, atau bila tanah mempunyai kejenuhan-Al yang tinggi, pada umumnya sering menyebabkan perturnbuhan tanaman terganggu. Masalah lain yang sering dijumpai, khusus pada Ultisol (Podsolik Merah Kuning) adalah adanya horison argilik yang relatif kedap air (Foth, 1980). Hal ini dapat menghambat gerakan air perkolasi serta perkembangan akar ke hagian profil yang lebih bawah. Akibatnya, tanah bagian permukaan dapat menjadi lebih peka terhadap erosi, pertumbuhan tanaman terganggu, dan produktifitas tanah menurun. Besi OksiQadatarn Tanah Besi merupakan unsur keempat terhanyak dalam kerak bumi (Hurlbut dan Klein, 1977). Ia merupakan unsur yang unik secara geokimia, karena mampu membentuk sejumtah senyawa yang stabil dengan S . 0, dan Si (Krauskopf, 1979). Oleh karena keanekaragarnannya, besi sering digambarkan sebagai unsur yang ada di mana-mana dalam lingkungan geokimia da.sar. Besi umumnya ada dalam dua bentuk, yaitu fero dan feri. Bentuk fero bersifat lebih stabil dalam larutan yang reduktif dan setidak-tidaknya sedikit masam. Bentuk ini dapat terangkut cukup jauh, namun ha1 ini tidak umum karena larutan hancuran iklim mengandung 02, dan akan bereaksi dengan fero tersebut membentuk Fe(OH)3. Bentuk feri sendiri relatif irnobil. Oleh karenanya tidak heran bila besi banyak dijumpai pada kebanyakan tanah, apakah dalam bentuk mineral atau unsur. Jenis dan Pembentukannya Besi oksida mencakup semua oksida, hidroksida, dan oksida hidrat. Mereka hadir pada kebanyakan tanah di daerah iklim yang berbeda-be& sebagai partikel yang sangat halus, dalam satu atau lebih bentuk-bentuk mineralnya dan jumlah yang berbeda-beda (Schwertmann dan Taylor, 1989). Di dalarn tanah mereka dapat tersebar merata, atau terkonsentrasi secara terpisah, atau membentuk sifat morfologi tertentu sebagai karat, nodul, atau konkresi. Walaupun kadar besi oksida relatif sedikit &lam tanah, tetapi mereka cukup kuat mempengaruhi warna tanah (Bigham, er al, 1978; Schwertmann dan Taylor, 1989). Jenis mineral besi oksida &lam tanah menurut Segalen (1971) dapat dibagi ke dalam dua kategori utama, yaitu yang hersifat amorf dan yang kristalin. Selanjuulya dijelaskan bahwa besi oksida amorf telah diusulkan dengan nama stilpnosiderit. Mineral ini sangat jarang dalam tanah datam keadaan tersendiri. Akan tetapi, pada tanah yang diturunkan dari bahan inctuk batuan basik, oksida amorf dapat berkadar lebih banyak. Menurut Schwertmann dan Taylor (1989) kebanyakan besi oksida yang dipandang amorf dalam tanah, terutama disebabkan oleh kesulitan cara mendeteksi mereka karena konsentrasi serta fase kristalinitasnya yang rendah. Hal ini dibuktikan oleh masuknya beberapa mineral -yang dahulu dianggap amorf ke dalam kelompok kristalin setelah digunakan metode analisis fisik yang lebih teliti dan memadai. Sehagai contoh adalah ferihidrit, yang dahulu dianggap amorf, dan sekarang diketahui bersifat kristalin. Besi oksida kristalin terbagi ke dalarn besi hidroksida dan besi oksida (Segalen, 197 1; Schulze, 1989). Kelompok hidroksida adalah goetit dan lepidokrosit dengan rumus kimia yang sama. yaitu FeOOH. Menurut Schwertmann dan Taylor (1989) dan Tan (1993), rumus kimia tersebut dibedakan sebagai a-FeOOH untuk goetit dan r-FeOOH uniuk lepidokrosit. Schwertmann dan Taylor (1989) menambahkan bahwa mineral dengan rumus 6-FeOOH juga termasuk anggota kelompok besi hidroksida. Sementara itu, a& dua oksida ferrik yang telah dijumpai dalam tanah dan mempunyai rumus kimia sama (Fe20j),yaitu hematit dan maghemit (Segalen, 1971; Schulze, 1989). Selanjutnya Schwertmann dan Taylor (1989) dan Tan (1993) membedakannya sebagai a-Fe203 (hematit) dan r-Fe203 (maghemit). Besi oksida lain yang bersifat kristalin dan dapat hadir di dalam tanah adalah ferrihidrit. Tan (1993) mengemukakan susunan rumus molekul mineral ini adalah Pe5HOg.4.H20 atau Fe5(04H3)3. Sedangkan Schwertmann dan Taylor (1989) mengemukakan bentuk lain yaitu 5Fe203.9H20 dan Fe203.2Fe00H.2.6H20 disarnping dua kemungkinan sebelumnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa ferrihidrit menyebar luas dan merupakan ciri penyusun dari akumu1a.i besi oksida mu& sebagai endapan warna kuning dari air berbesi fen Cfemiferous). Ia juga dijumpai pada tanah lumpur tambang besi, horison-B Podsol, horison kalsik, dan kerak bumi yang dihan-curkan lichen. Tan (1982) menyebutkan bahwa femhidrit adalah kornponen utama dari sedimen besi warna kuning &lam saluran-salurandrainase. Besi oksida kristalin yang sering dijumpai dalam tanah sebagai fraksi pasir berat adalah magnetit dengan rumus molekul Fc304. la biasanya merupalcan butiran hitam, dan bersifat opak. Magnetit dalam tanah menurut Schwertmann dan Taylor (1989) bukan terbentuk secara pedogenik, melainkan secara litogenik. Identifkasi magnetit pedogenik sulit dilakukan, mungkin karena ia mudah dioksidasi ke arah maghemit &iam keadaan fraksi halus. Gitkes dan Sudhiprakarn (1979) mendapatkan magnetit pada saprolit granit yang sedikit banyak dikonversi ke hematit. Mineral-mineral besi oksida lain yang belum berhasil dideteksi dalam tanah adalah akaganeit (6-FeOOH) dan karat hijau. Mineral ini pernah ditemulran dalam deposit mineral (Mackay, i%2, dalam Schwertmann dan Taylor. 1989). Karat hijau dianggap sebagai fase dari pembentukan mineral hiasa yang lain. l a telah diidentifikasi sebagai produk alami dari jxrkaratan pipa hesi air, namun belum teridentifikasi Hal ini menurut Bernal, Dosgupta, dan Mackay (1959, dab daiam tanah. Schwertmann dan Taylor, 1989) mungkin karena kecepatan oksidasi mineral tersebut yang menyebabkan pecahnya struktur kristal dan warna berubah menjadi kuningcoklat. Pembentukan besi oksida dalam tanah telah dijelaskan secara Iebih detail oleh Schwertmann dan Taylor (1989). Besi yang terikat dalam struktur mineral biasanya bewalensi dua (keadaan tereduksi). Pelepasan Fe dari silikat selama hancuran iklim dapat melalui dua cara, yaitu protolisis dan oksidasi. Kedua proses ini dapat bergabung dalam berbagai cara. Dalam kehadiran proton, silikat &pat hancur melalui reaksi berikut: Besi yang dibebaskan kemudian dapat segera teroksidasi hila ada 02,atau jika tidak, ia dapat t e m g k u t hingga mencapai daerah yang mengandung oksigen. Kemungkinan lain adalah hahwa oksidasi dapat terjadi dalam struktur silikat sendiri (Birkeland, 1974; Berner dan Scott, 1982). Akibatnya muatan tidak seimbang sehingga memperlemah struktur kristal dan memperlancar hancurnya mineral. Jika ~ e terlepas ~ + segera &pat dihidrolisis hila kontak dengan air. Reaksi tersehut digambarkan sebagai berikut : -Fe2+-0-Si- + H 2 0 ------->-Fe3+-OH dirnana 0 menangkap elektron (02 + 4e ----- > + HO-Si- +e 2 0 2 3 . Kecenderungan kuat dari Fe terhidrolisis dan membentuk oksida berkelarutan rendah pada pH > 3 disehabkan + , (a) daya gabung yang tinggi dengan ligand OH oleh dua ciri kation ~ e ~ yaitu: menyebabkan kation Fe3+ terhidrat sebagai asam kuat, seperti terlihat dari konstanta keseimbangannya yang tinggi dari reaksi: Fe3 + + H + (K = + H20 ----- > F~OH' + dan (b) ia segera berpolimerisasi sebagai h a d hidrolisis. Oksida Fe3+ yang dihasilkan mempunyai hasilkali kel-tan IKsp = (Fe).(OH) 3 ] berselang antara 10-39 hingga 10-44. Pelarutan kembali oksida Fe3+ melalui reaksi frotolitik semata-mata, pa& dasarnya tidak mungkin terjadi dalam tanah, karena p H jarang cukup rendah untuk memungkinkan terjadinya kebaIikan reaksi hidrolisis (FeOOH + 3H+ ----- > + 2H20). Pengangkutan besi mungkin lebih mudah melalui reaksi reduktif (FeOOH + 3 ~ -----> + Fe2+ + + e- 2H20). fni dapat terjadi kapan saja dan dimanapun jika keadaan lingkungan kahat O2 karena aktivitas mikrobia. Selanjutnya Fe divalent yang terhentuk dapat teroksidasi kembali in situ, atau dapat diangkut dan dioksidasi di lingkungan yang baru, yang mungkin membentuk fase mineral baru. Jadi Fe dalam bentuk oksida dapat mengalami periode rnobitisasi dan immobilisasi yang berbeda-beda, yang mana dapat merupakan siklus dalam waktu pendek. Proses ini dapat membawa kepada pencirian pola ruang dari konsentrasi besi oksida tinggi dan rendah pada berbagai skala (agregat, horison, profil, atau lanskap), dan kepada peruhahan fase atau kadar ion luar pada masing-masing kejadian. Hubungan pembentukan dan transformasi mineral-mineral besi oksida yang biasa ada &lam tanah diringkaskan oleh Schwertmann dan Taylor (1989) dalam Gambar 1. Hubungan tersebut didasarkan atas pengamatan keadaan lingkungan tanah dimana fase mineral tertentu t e j a d i dalam tanah atau urutan tanah tertentu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa untuk melengkapi dan meneguhkan hasil observasi lapang, dilakukan simulasi di laboratorium, sehingga pada Gambar 1 tercakup pula hasil percobaan laboratorium. Skema tersebut tidak menyertakan sumber Fe primer, melainkan telah dieliminasi ke dalam hentuk larutan ion ~ e dan ~ +Fe3+ serta - S i f 4 .-: Hidrolisis pa >3 Reduksi pa (8 tak : larut larut : , pelamtan* 1 I i Oksidasi Transformasi + bahan organik Katiyn I Ei@olisis Oksldasi pH 5-8 -Lepidokrosit ~-P~OOE Dehidrasi r Haghit 200-300'~ oksidasi (teltp. rendah)I dehidrasi+oksidasi lambat (temp.tinggi) Gambar 1. Jalan Pembentukan Besi Oksida Yang Biasa dalam Tanah {Schwertmann dan Taylor, 1989) kompleks organik dapat larut. Kedua bentuk Fe tersebut berasal dari mineral-mineral primer, dan juga dari o k s i d a - ~ e ~y+m g sudah a&. Berkenaan dengan tanah-LAR dominan di daerah tropik, maka besi oksida yang sangat umum menyebar luas adalah goetit dan hematit (Segalen, 1971; Allen clan Hajek, 1989). Mineral-mineral tersebut terbentuk rnelalui berbagai proses pembentukan tanah. Pembentukan mereka memerlukan lingkungan draiiase baik atau agak baik. Dalam pembentukan Oxisol van Schuylenhrgh (1971) menerangkan bahwa terbentuknya besi oksida &pat melalui proses laterisasi, feralitisasi, dan desilikasi. Dalam ketiga proses tersebut tej a d i pelepasan silika dari mineral silikat primer dan kuarsa. Di samping itu dilepaskan pula logam-logam alkali dan alkali tanah. Pada akhirnya unsur-unsur tersebut tercuci, kecuali silika bila bergabung dengan A1 dapat mernbentuk rnlneral hat. Proses di atas merupakan pemiskinan silika dan logam-logam lainnya. Sebaliknya, untuk Fe akan tejadi pengkayaan karena terbentuk senyawa besi oksida yang stabil. Pelepasan unsur-unsur penyusun batuan atau mineral primer lainnya pada umumnya melatui proses hancuran iklim sepem pemanasan, pendinginan, pembasahan, pengeringan, hidrasi, hidrolisis, karbonasi. oksidasi, dan peiarutan yang juga dipengaruhi vegetasi dan fauna tanah (van Schuylenborg, 1971; Birkeland, 1974). Dari proses-proses tersebut akan terbentuk diantaranya besi oksida, seperti misalnya goetit dan hematit. Menurut Schwertmann dan Taylor (1989) pembentukan goetit disokong oleh keadaan tanah yang lebih lernbab daripada pembentukan hematit. Segalen ( 1971) mengemukakan bahwa goetit sering berasosiasi dengan hematit pa& kebanyakan tanah di d a m h tropik dan subtropik. Schwertmann dan Taylor (1989) rnenyatakan bahwa pembentukan goetit memerlukan temperatur yang relatif rendah, aktivitas H20 tinggi, dan kandungan bahan organik yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan hematit relatif tidak a& dalam tanah-tanah di daerah iklim sedang dan dingin. Oleh karenitnya, nisbatt hematitgoetit akan meningkat dengan menigkatnya temperatur. Hal yang sama juga pengaruh dari kelembaban. Semakin lembab keadaan tanah, nisbah goetit:hematit cenderung meningkat. Curi dan Franzmier (1984) telah menunjukkan fenomena ini pa& suatu toposekuens Chris01 di Brazil Tengah xpanjang transek 176m. Pada lokasi tersebut tanah yang lebih kering di bagian atas berwama merah dan sangat banyak hematit. Sebatiknya, tanah di bagian lembah berwarna kuning clan tidak mengandung hematit. Hal ini disokong pula oleh hasil penelitian Karim dan Adam (1984) pada Oxisol di Melawai. Bagan yang menggambarkan pembentukan goetit dan hematit secara kompetitif disajikan pada Gambar 2. Pembentukan lepidokrosit lebih sering terjadi pa& tanah-tanah hidromorfik (Schwertmann dan Taylor. 1989). Mineral ini biasanya berasosiasi dengan goetit. Selanjutnya diterangkan bahwa lepidokrosit mudah dikenal dari warnanya, yaitu oranye, yang menunjukkan keadaan reduktomorfik. Keadaan ini menyebabkan pembentukan beherapa ion ~ e ~ Besi + . fero yang mobil bergerak ke lokasi teraerasi lebih baik, sehingga ia teroksidasi membentuk lepidokrosit. Oleh karenanya menurut Ailen dan Hajek (1989) lepidokrosit sering dijumpai pada tanah-tanah berkembang yang bersifat akuik. Nisbah lepidokrosit terhadap goetit &lam tanah masih belum difahami sepenuhnya. Menurut Schwertmann dan FitzPab-ick (1977) nishah tersebut dipengaruhi oleh tekanan parsial C%. Goethit lebih sesuai dengan telcanan parsial lebih tinggi daripada lepidokrosit. Disamping itu, goetit juga disokong oleh bertarnbahnya kecepatan oksidasi dan Al dalam larutan. Pembentukan rnaghemit dalam tanah dapat melalui beberapa cara: (a) oksidasi magnetit, (b) dehidrasi lepidokrosit, dan (c) transforrnasi besi oksida pedogenik lain dengan pemanasan antara 300 dan 425-c disertai senyawa organik (Schwertmann dan Taylor, 1989). Oksidasi magnetit terjadi bila ada transisi antam kedua fase mineral tersebut, atau apabila rnaghemit menurunkan ketidak-murnian unsur tertentu Proses Faktor Ion pe3+ Kecepatan Pelepasan Fe Bahan Organik PH (3-8) Suhu Tanah Kelembaban t 1 t I protonasi I Dehidrasi Pengaturan struktur I rn Hematit I kristalisasi dar i '"Tan E l Goetit Gambar 2. Bagan Proses Pernbentukan Kompetitif Goetit dan Hematit (Schwertrnann dan Taylor, 1989) dari magnetit. Proses tersebut tidak akan tejadi biIa magnetit berbutir kasar, karena oksidasi selama hancuran akan menghasilkan hematit (Gilkes dan Sudhiprakam, 1979). Sementara itu, proses dehidrasi lepidokrosit terjadi sebagai karat-karat di bawah permukaan dan tidak dipengaruhi oleh kebakaran. Proses yang paling umurn adalah transformasi besi oksida lain melalui pemanasan karena adanya bahan organik. Pembentukan magnetit telah dikemukakan sebelumnya, yang sifatnya lebih litogenik daripada pedogenik. S i f a t d a n Cara Identifikasi Penelaahan literatur pada bagian ini akan dibatasi hanya pada mineral besi oksida yang biasa dijumpai pada tanah-tanah tropik terlapuk lanjut sebagai salah satu fokus penelitian. Dari pernbicaraan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa besi oksida yang kemungkinan besar dijurnpai pada tanah-LAR dart berdrainase baik adalah goetit, hematit, rnaghemit, dan magnetit. Lepidokmsit jarang dijurnpai, kecuali pada tanah bersifat akuik. Satuan struktural semua besi oksida kristaiin adalah oktahedral, dimana rnasingmasing atom Fe dikelilingi oleh enarn ion 0 atau 0 dan O H (Schwertmann dan Taylor, 1989). Ion-ion 0 dan OH rnernbentuk lapisan apakah secara heksagonal (fase a)atau kubik (fase T). Dalam kedua struktur tersebut terbentuk pula struktur tetrahedral pada sela-sela antara tiga buah 0 atau OH dalam satu bidang dan satu dalam bidang diatasnya. Fe pada rnaghemit dan rnagnetit hadir dalarn beberapa lokasi tetrahedral ini. Struktur goetit terdiri dari rantai ganda oktahedral Fe-0-OH yang meluas sepanjang surnbu-sumbu kristal. Oktahrdral-oktahedral ini terikat ke rantai ganda sekitarnya oleh ikatan Fe-0-Fe dan H. Morfologi goetit dari pengamatan mikroskop elektron, dapat berbenmk jarurn (acicular), walaupun penarnpilannya kurang balk (Schwertmann dan Taylor, 1389). Sementara itu Nakai dan Yoshinaga (1980) menernukan bentuk serabut pada tanah-tanah dari Jepang dan Scotland, atau juga dapat berbentuk seperti rumput (grassy). Jika kristal berkembang hanya satu arah dan besarnya tak teratur, maka penetapannya dengan mikroskop elektronpun sulit diperoleh hasil yang p s i t i f dalam tanah. Di &lam tanah, substitusi isornorfik A l terhadap Fe goetit sering tejadi (Norrish dan Taylor, 1961). Hal ini &an rnerubah berbagai sifat goetit seperti ulcuran satuan sel, absorpsi sinar infra merah, sifat panas, dan sifat rnagnetik. Struktur hematit terdiri dari lapisan 0 fase-a yang tersusun tegak lurus dengan sumbu-surnbu kristal. Ion ~ e menduduki ~ + 213 olctithedral yang terbentuk pada sela-sela. Secara morfologi kristal hematit dalam tanah adalah heksagonal yang penatnpilannya kurang baik. Jika goetit dan hematit hadir bersama-sama, kristal hematit sering kbih besar daripada goetit (Anand dan Gilkes, 1987). Hal ini menyebabkan permukaan spesifik hematit lebih kecil. Hematit sering merupakan komponen utama fraksi liat pada Ulrisol d m Oxisoi berdrainase sangat baik (Allen dan Hajek, 1989). la juga sering rnerupakan komponen utama konkresi dan nodul. Substitusi isomorfik A1 terhadap Fe pada hematit dapat terjaai namun lebih jarang daripada goetit. Dari pengamatan laboratonum submtusi dapat menyebabkan turunnya knstalinitas, serta warna hematit menjadi lehih terang (Barron dan Torrent, 1984). Schwertmann dan Taylor (1989) mengemukakan bahwa magnetit dan maghemit secara kristalografik mempunyai struktur yang sama. Pada magnetit setiap satuan sel mengandung 32 0 dan 24 Fe. Delapan F e terkoordinasi secara tetrahedral, dan 16 secara oktahedral (Schwertmam dan Taylor, 1989). Besi pada magnetit terdiri dari campuran 8 buah ferro dan 16 buah f e m . Sedangkan pa& maghemit Fe telah teroksidasi penuh, sehingga 0 bertambah menjadi 36 buah. Di dalam tanah magnetit terjadi sebagai butiran hitarn pada fraksi pasir berat. Sementara itu maghemit banyak dijumpal pada tanah-tanah tropik dan subtropik berwarna coklat kemerahan. Pada maghemit juga dapat tej a d i substihzsi isomorftk Al terhadap Fe. Cara identifikasi besi oksida yang paling sederhana &lam tanah adalah dengan menggunakan warna khusus mineral pada selang hue lOYR dan 5R dan pertakuan pelarutan terpisah. Cara terakhir dapat sangat berguna baik unhlk identifikasi maupun kuantifikasi (Schwertmann clan raylor, 1989). Untuk identifikasi berbagai fase kristalin diperlukan metode tisik, diantaranya metode difr;tksi sinar-X (XRD), analisis termal (DTA), analisis sinar infra merah (IR Specrroscopy), dm analisis Mossbauer (Bigham et al., 1978; Scwertmann dan Taylor, 1989). Tiga metode yang pertama merupakan yang paling umum digunakan (Tan, 1993). Metode pelarutan (analisis kimia) yang telah digunakan secara luas adalah ekstraksi ditionit sitrat bikarbonat (DSB) pada suhu 8 0 ' ~menurut Mehra dan Jackson (1960). Besi oksida yang terlarut sering disingkat sebagai Fe-d, dan merupakan Fe sekunder total (Schwertmann dan Taylor, 1989). Untuk mengekstrak besi oksida kristalin lemah clan atau amorf sering digunakan asam amonium oksalat (Tan, 1982). Besi oksida yang terekstrak sering disebut Fe-o. Nisbah Fe-o terhadap Fe-d menyatakm secara kuantitatif proporsi fraksi lebih aktif dari fraksi kurang aktif (Schwertmann dan Taylor, 1989). Hal ini juga telah diperagakan sebagai parameter yang berguna untuk karakterisasi sifat-sifat tanah dan genesis tanah (McKeague, Bridon, dan Miles, 1971). Analisis-analisis sinar-X, termal, sinar infra merah, dan kimia menurut Hall (1987) merupakan metode tradisional yang telah mapan untuk identifikasi mineral liat. Dalam penggunaan tiga metode yang pertama, ahli mineralogi mendasarkan pada ciri mineral standar sebagai sidik jari mineral tersebut untuk identifikasi. Sidik jari mineral pada analisis sinar-X adalah p l a difraksi berupa puncak-puncak pada difraktogram sebagai pencerminan jarak antar bidang kristal pada sudut 2 8 tertentu. Sedangkan dalam analisis termal, sidik jari mineral berupa puncak dalam kurva termogram yang mencerminkan reaksa endotermik atau eksotermik suatu minerat pada suhu tertentu pada pema- terkontrol. Sementara itu, pada analisis 1R sidak jari mineral merupakan puncak pada kurva spektrogram-IR yang mencerminkan spektrum absorpsi sinar infra merah dari mineral yang dianalisis. Sebagai kriteria penciri dari mineral-mineral besi oksida disarikan oleh Schwertmann dan Taylor (1989) pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Penciri ldentifikasi Beberapa Mineral Besi Oksida*) Nana Mineral Warna (Itunsell) Bentuk Kris- tal Biasa Jarak X8D Utam ....(* Hematit Herah teranq 5R-2.5YR Haqhemit Herah hinqqa coklat A). hincak Reaksi DTA Band-IRS .. Wqonal daiar 2.70; 3.68; 2.52 Kubus 2.53; 2.97 Goetit Coklat kekuninqan 7.5YR-2.5Y Rombis, janu, bilah 2.45; 2.69; 4-18 End: 280-400 890, 797 Lepidokrosit Oranye 5YR-7.5YR Bilab 1.94; 2.47; 3.29; 6.26 End: 300-500 Eks: 370-500 797, 1026, 1168 -- - Keterangan: *) = @) = slmber Schwertnann dan Taylor (1989); End = endotemik; lagnenetit bebutir Eks = eksotemik; via maghemit, atau langsung ke h a t i t terqantung ukuran Teknik analisis lain yang baru menurut Hall (1987) adalah mikroskop elektron transmisi. Alat tersebut dapat mendeteksi ukuran sampai beberapa puluh nanometer, sehingga dapat secara langsung menggambarkan jarak dan variasi ruang anta- ra atom-atom. Penggunaannya akan sangat bermanfaat jika digabung dengan metode tradisional, karena daya analisisnya menjadi lebih h a t . Bila tidak ada kesesuaian data antara keduanya, hal ini dapat membantu untuk mengkaji ulang sifat penyusun tanah, baik perubahan bentuknya ataupun peranannya &lam proses-proses alami. I Penearufisesi oksida TerhrQaeSifit Tanah S i f a t Fisik dan Kimia Tanah Pengaruh besi oksida terhadap sifat-sifat tanah baik fisik maupun kimia telah lama diketahui. Hal yang sudah terkenal adalah fungsinya sebagai bahan pengikat atau penyemen. Dalam penetapan tekstur tanah merah rnisalnya, terkadang periu adanya perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan besi oksida bebas (Jackson, 1969). Berhubung dengan sifat tersebut, maka besi oksida mempakan penyumbang penting dalam agregasi butiran tanah. Shadfan, Dixon, dan Calhoun (1965) menerangkan bahwa pembentukan agregat lehih banyak melalui daya tarik antara rnuatan positif besi oksida dan rnuatan negatif partikel matriks tanah, teristimewa mineral liat silikat. Dalam genesis tanah telah dikenal pula bahwa agregasi oleh besi oksida dapat menciptakan struktur tanah yang baik. Pada tanah Latosol umpamanya, struktur tanah umumnya granular. Hal ini dapat menciptakan keadaan aerasi atau pasokan udara yang baik, drainase dan perkolasi lancar, sehingga perkembangan akar secara fisik tidak terhambat. Arca dan Weed (1966) telah menunjukkan hubungan positif antara agregasi dan porositas tanah dengan kandungan besi oksida. Agregasi yang terbentuk cenderung tahan terhadap dispersi air. Hal ini sedikit banyak akan mengurangi daya erosifitas tanah. Namun demikian menurut Schwertrnann dan Taylor (1989) pengaruh besi oksida terhadap agregasi cukup bervariasi dengan tanah yang berbeda-beda. Dalam sementasi. Fordham dan Nomsh (1979) mengemukakan bahwa besi oksida mengisi pori-pori dengan proporsi yang nyata diantara partikel matriks tanah. Ia dapat berbentuk nodul, konkresi, dan lain-lain. Horison tanah dimana besi oksida ikut berperan sebagai penyemen adalah horison plasik dan orstein (Soil Survey Srafl, 1975). Datam ha1 seperti itu, sementasi berpengaruh negatif terhadap perkembangan akar dqn gerakan air dalam pmfil tanah. Schwertmann dan Taylor (1989) menambahkan bahwa sementasi dapat berpengaruh tehadap immobilisasi unsur hara seperti P dan Mo, akibat adanya kemacetan saluran pori. Pengaruh besioksida terhadap warna tanah telah dikemukakan sebelumnya. Besi oksida merupakan pigmen yang kuat walaupun dalam jumlah sedikit (Schulze, 1989). Pengaruh besi oksida terhadap sifat kimia tanah menurut Schwertmann dan Taylor (1989) berkaitan erat dengan struktur permukaamya serta ketergantungan muatan permukaan pada pH. Partikel besi oksida yang sangat kecil ( s ~ b m i k r o s k o ~ i k ) mempunyai luas pemukaaan yang besar, dan dapat berperan sebagai penjerap yang efektif terhadap anion dan kation tertentu. Hal ini karena sifatnya yang amfoter. Muatan permukaan besi oksida selain dipengaruhi oleh pH, juga oleh konsentrasi elekaolit dan valensi ion daiam larutan setimbang. Dalam ha1 ini muatan permukaan bisa positif, nol, atau negatif tergantung kondisi lingkungan tersebut. Beberapa kation dan anion dapat dipegang lebih kuat pada permukaan oksida karena melalui ikatan adsorpsi spesifik. Dalam ha1 ini kation atau anion menernbus kulit koordinasi Fe membentuk ikatan kovaien secara langsung dengan kation struktural via grup 0 dan O H (McBridge, 1989). Schwertmann dan Taylor (1989) telah menyimpulkan urutan kekuatan adsorpsi spesifik logam berat oleh goetit dan hematit sebagai berikut: Cu > Pb > Zn > Cd > C o > Ni, dengan kekecualian Pb > Cu pada hematit. Faktor yang sangat penting menentukan kemampuan adsorpsi adalah pH. Semakin tinggi pH larutan medium, jumlah logam berat yang dapat diadsorpsi oleh besi oksida semakin meningkat. Beberapa anion yang dapat diadsorpsi secara spesifik oleh besi oksida antara lain fosfat, silikat, molibdat, arsenat, selenat, sulfat, dan anion organik (Schwertmann dan Taylor. 1989). Menurut Hingston. Atkinson, Posner dan Quirk (1968) anion-anion tersebut berkompetisi dengan fosfat, s e h i g g a dapat rneningkatkan ketersediaan fosfat bagi tanaman. Seperti juga adsorpsi spesifik logarn berat, adsorpsi anion sangat dipenganthi oleh pH. Pada umumnya semakin naik pH, adsorpsi anion semakin menurun jumlahnya, kecuali untuk s i l i i t &hfluorida pada sefang pH tertentu. Muatan No1 (DHO =.ZPCl Muatan di permukaan partikel tanah muncul akibat rusaknya bagian dalam (struktur krista1ografi) partikel dan atau dari adsorpsi ion-ion penentu potensial (Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Muatan yang muncul &bat ha1 pertama bersifat permanen dan konstan. Tanda muatan pada umumnya negatif. Muatan yang diakibatkan ha1 kedua bersifat variabel. Tandanya &pat negatif. nol, atau positif. Pada bahan tanah, ion penentu potensial yang sangat umum adalah ion H + dan OH' (Uehara rlan Gilman, 1981). Salah satu sebab munculnya muatan variabel adalah karena terbentuknya mineral yang berkaitan dengan hancuran iklim atau perkembangan tanah. Hendershot dan LavkuIich (1978) telah menyimpulkan hasil peneiitian para peneliti terdahulu bahwa semakin meningkat perkembangan tanah atau umur pedogenik, muatan tergantung pH (variabel) yang dihasilkan oleh permukaan oksida cenderung semakin rnenjadi dominan. Hal ini dianggap sebagai hasil kombinasi antara faktor-faktor: (I) penghalangan muatan tetap oleh oksida emorf,(2) pelarutan mineral liat, dan (3) bertambahnya dominasi muatan variabel dari oksida amorf, kristalin, dan oksida hidrat terutama Fe dan Al. Dengan munculnya muatan variabel. maka muatan bersih (neno) di permukaan partikel tanah dapat berubah-ubah. Ini menyebabkan perilaku fisiko-kimia tanah ber- beda dengan tanah krmuatan tetap dominan seperti umumnya di daerah sedang (Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Dengan adanya fenomena tersebut, maka rnuncul istilah muatan no1 atau zero poinr of charge (ZPC)yang sering disehut juga pHO. Secara konvensional ZPC diartikan sebagai nilai pH dari larutan tanah yang tidak mempunyai muatan bersih (Park, 1967, d a l m Sposito, 1981). Pengertian ini menunjukkan muatan bersih tersebut secara total, mencakup muatan permanen dan variabel. Hendershot, Singlestone, dan Lavkulich (1979) menyatakan bahwa pada muatan no1 jumlah muatan negatif sama dengan jumlah muatan positif. Dengan kata lain jumlah muatan bersih adalah nol. Dalam perkembangan selanjutnya sebutan ZPC untuk muatan variabel adalah pHO, dan untuk muatan tetap adalah zero point of net charge atau ZPNC (Sakurai, et al. 1991). Model tersebut dikembangkan oleh Uehara dan Gilman, 1981). Pada tanah yang telah terlapuk lanjut dengan muatan variabel sangat dominan, nilai pH0 biasanya sama atau hampir sama dengan ZPNC (Sposito, 1981). Beberapa penei~titelah menggunakan ZFC sebagai kriteria penting dalam pencirian tanah, khususnya yang telah terlapuk lanjut. Gallez, Juo, d m HerbiHon (1976) telah menetapkan nilai ZPC AlfZsol, Ulrisol, dun Oxisol. Hasitnya menunjukkan urutan Alfsol< UIrisol< Oxisol dengan nilai 3.5, 4.0, dan 5.5. Pota yang sama didapatkan pula oIeh Hendershot dan Lavkulich (1978) atas tanah n p i c Eutropepr, v p i c Fenrdalf, dan Spodic Fe&ff Dalam ha1 ini nilai ZPC meningkat dari tanah yang kurang berkembang ke yang lebih berkembang. Gejala demikian menunjukkan bahwa nilai ZPC dapat dipakai sebagai i n ~ k a t o tingkat r perkembangan tanah. Muatan no1 dari hesi oksida menurut Schwertmann dan Fechter (1982) telah banyak diteliti. Nilainya berkisar antara 7 dan 9. Namun secara alami biasztnya nilai tersebut lebih rendah daripada oksida sintetik. Hal ini menunjukkan adanya ketidakmurnian misalnya oleh mineral silikat. Sebaliknya, dengan nilai ZPC tinggi, besi oksida cendemng meningkatkan ZPC tanah (Sakurai, Teshima, dan Kyuma, 1990). Menumt Hendershot, er al.(1979) ZPC akan mempakan fungsi dari p r o p r s i permukaan yang tersusun oleh komponen-komponen berbeda. Hasil penelitian Hendershot dan Lavkulich (1982) menunjukkan bahwa seskuioksida (termasuk besi oksida) menambah besamya muatan tergantung-pH c o n t . tanah, dan mengakibatkan peningkatan ZPC tanah secara keseluruhan ke arah ZPC seskuioksida tersebut. Sakurai. Ohdate. dan Kyuma (1989) mengemukakan bahwa makin tinggi kandungan besi oksida, nilai ZPC tanah semakin meningkat. Mereka mendapatkan nilai-r untuk hubungan ZPC tanah dengan kandungan Fe-o dan Fe-o/Fe-d berturutturut >0.90 dan > 0.80. Contoh tanah penelitian bejumlah 26 buah, dan terdiri dari 13 buah tanah abu volkan serta 13 buah tanah yang terlapuk lanjut. Jika hubungan tersebut hanya didasarkan pada tanah terlapuk lanjut saja (Oxisol dan Ulrisol), maka nilai-r untuk Fe-o dan Fe-d > 0.70. b r a v a n Fosfaf Fosfor &lam tanah rnerupakan unsur makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. la sering dikemukakan banyak terfiksasi pada tanah-tanah berkemhang lanjut. Komponen tanah yang memfiksasi fosfat antara lain adalah besi oksida. Struktur ikatan permukaan ion pada adsorpsi spesifik tersebut belum diketahui sepenuhnya (Schwertmann &an Taylor. 1989). Namun dernikian, kompleks inti tunggal dan inti ganda teiah diusulkan seperti pada Gambar 3. Menurut Partitt, er al. (1975) berdasarkan teknik d i s i s spektroskopik sinar infra merah, pada reaksi permukaan antara besi oksida clan ion fosfat, dua ion hidroksil permukaan (atau molekul air) digantikan oleh satu ion fosfat. Dua daripada atom oksigen dari ion fosfat dikoordinasi masing-masing ke ion ~e~ yang berbeda, dan menghasilkan kompleks permukaan inti ganda dari tipe Fe-O-P(0)2-O-Fe. Hal ini teqadi pada permukan goetit, hematit, lepidokrosit, E f e m k hidroksida dan gel fenik hidroksida amorf. Aktifitas hesi oksida tanah terhadap retensi fosfat sangat bervariasi. Lopes ( 1 977. dulam Bigham. er al.. 1978) mendapatkan bahwa jumlah fosfat teradsorpsi Gambar 3. Bagan Adsorpsi Spesifik Fosfat oleh Besi Oksida per satuan beritt Fe dalam sejurnlah Latosol Merah Kuning dari Brasil lebih besar dari Latosol Merah gelap. Sementara itu, Bigham, er a l . , (1978) mendapatkan bah- wa besi oksida pa& tanah berwama kuning s e h g a i Ultisol dan Oxisol menjerap fosfat lebih banyak per satuan berat daripada tanah berwarna merah dengan Order yang sama. Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan proporsi mineral goetit terhadap hematit yang berbeda. Tanah kuning lebih banyak rnengandung goetit daripa& tanah merah. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian Davey, Russel, dan Wilson (1975) pada tanah Podsolik Merah dan Kuning di sekitar Sidney, Australia. Dalam ha1 ini, luas permukaan besi oksida dari tanah kuning lebih tinggi daripada tanah merah. Diketahui bahwa liat kuning lebih efisien mengabsorpsi fosfat daripada liat merah. Dari penelitian Manikandan clan Sastry (1988) pada tanah-tanah Inceptisol, Enrisol, dan A l f s o l diperoleh hahwa adsorpsi fosfat menurun 23.2 hingga 64.0% karena besi oksida diekstrak oleh DSB dari tanah tersebut. Selanjublya dikernukakan bahwa besi terekstrak DSB dan bahan amorf terekstrak NaOH 0.5N dari liat adalah faktor ynng sangat penting sebagai yang bertanggung jawab terhadap adsorpsi fosfat pada tannh tersebut. Tampaknya berbagai faktor menyebabkan variasi adsorpsi fosfat oleh bcsi oksida, seperti fase mineral oksida, kristalinitas, serta substitusi isomorfii Ai terhadap Fe. Ahsorpsi fosfat, menurut hasil penelitian Juo dan Fox (1977) berkorelasi sangat nyata dengan Fe-d (nilai-r = 0.77). Sementara itu, penelitian Sah, Mikkelsen, dan Hafcr (1989) menunjukkan bahwa besi oksida amorf berkorelasi lebih baik daripada bcsi oksida total (Fe-d) terhadap adsorpsi fosfat. Sedan- Bigham, et al., (1978) mendapatkan bahwa secara struktural perbedaan adsorpsi fosfat antara goetit dan hematit adalah kecil. Namun dari luas p m T n I k a a ~ y ayang lebih besar, goetit lebih tinggi menjerap P daripada hematit. Jerapan P menumn dengan bertambahnya derajat kristalinitas mineral. Ini telah ditunjukkan oleh Bezama dan Aomine (1977) pada tanah Andisol dari Chili. Tanah tcrsebut mengandung mineral liat alofan dan imogolit. lmogolit yang lebih kristalin mempunyai kapasitas adsorpsi P lebih rendah daripada alofan. Sim dan Ellis (1983) juga memperoleh kapasitas erapan P dari endapan oksida-A1 yang menurun dengan waktu karena terbentuk oksida-A1 yang lebih kristalin. Fenomena yang agak mirip seperti sifat diatas adalah jika terjadi substitusi isomorfii A1 atau Ti terhadap Fe. Hal tersebut akan menyebabkan pengerutan ukuran kristal, karena radius atom AI. lebih kecil daripada ~ e (Schwertmann ~ + dan Taylor. 1989). Keadaan tersebut akan mengubah luas permukaan dan cenderung meningkatkan kemampuan adsorpsi P.