bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
Kalimat pertama yang dilontarkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu,
sesaat setelah diumumkannya keputusan PBB atas pengakuan kedaulatan Palestina pada 29
November 2012 silam adalah “Selama saya berkuasa, tak akan kubiarkan Negara Palestina
berdiri sampai kapan pun.”1 Pernyataan yang langsung diliput oleh semua media massa ini
sontak membuat dunia internasional menyayangkan ucapan sang Perdana Menteri. Cerita
selanjutnya sudah bisa ditebak, ketegangan pun terjadi terutama bagi negara-negara Eropa
Barat yang semula berada di sekeliling Israel, namun kini berbalik arah memihak Palestina.
Istilah politik “Solusi Dua-Negara” atau disebut juga “Two-State Solution”
sebenarnya merujuk pada dikeluarkannya Resolusi PBB No. 181 tahun 1947 tentang
pemecahan Tanah Palestina menjadi dua bagian, yakni wilayah untuk bangsa Arab dan
bangsa Yahudi. Rencana pembagian ini sesuai dengan Mandat Britania Raya atas Tanah
Palestina (1920-1948) yang dipercayakan oleh LBB ‘Liga Bangsa-bangsa’ untuk
diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I sebagai sebuah wilayah mandat setelah
runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Rencana pembagian disetujui oleh Majelis Umum PBB
dengan perolehan suara 33 mendukung, 13 menolak, dan 10 abstain. Sejak saat itu, isu twostate solution untuk Israel-Palestina menjadi agenda utama PBB karena hingga hari ini kedua
belah pihak masih bertikai atas keputusan yang dibuat 67 tahun silam.
Ketidakpuasan datang dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui
resolusi tersebut. Dimana sebesar 45% wilayah diperuntukkan bagi 70% total populasi
bangsa Arab, sementara 55% wilayah lainnya diberikan pada bangsa Yahudi yang hanya
memiliki 30% dari total populasi. Reaksi ini memicu pemberontakan dan mencapai
puncaknya pada peristiwa Perang Enam Hari yang berlangsung tanggal 5-10 Juni 1967.
Perang yang terjadi antara bangsa Arab-Israel ini dimenangkan oleh Israel dengan
mengokupasi Jalur Gaza, Tepi Barat, Jerusalem Timur, Semenanjung Sinai, dan Dataran
1
E.Y. Kristanti, ‘Netanyahu: Negara Palestina Tak Akan Berdiri Selama Saya Berkuasa,’ mLiputan6 (daring), 17
Maret 2015, <http://m.liputan6.com>, diakses 29 Mei 2015.
1
Tinggi Golan. Melalui berbagai perundingan dan perjanjian, Israel akhirnya sepakat
mengembalikan Semenanjung Sinai ke pangkuan Mesir. Status Dataran Tinggi Golan
sekarang lebih cenderung kearah penyelesaian internasional terkait pertumbuhan ISIS yang
semakin intens disana, dan sejak 2005 Israel sudah menarik mundur pasukannya ‘IDF’ dari
Jalur Gaza. Sedangkan tiga wilayah lainnya tetap dibawah otoritas Israel sampai hari ini.
Selama lebih dari 60 tahun, upaya menciptakan two-state solution untuk Israel-Palestina
dilakukan melalui beragam perundingan perdamaian. Mulai dari Perjanjian Camp David I/II
(1978/2000), Konferensi Madrid (1991), Perjanjian Oslo I/II (1993/1995), Protokol Hebron
(1997), Perjanjian Wye River I/II (1998/1999), hingga Resolusi Dewan Keamanan PBB No.
242 dan 338.2 Meski dalam rentang pelaksanaannya tidak pernah absen dari pemberontakan
dan perang (Intifada’ I dan II).
Dinamika perdamaian di Timur Tengah sempat menunjukkan kemajuan pada masa
pemerintahan kedua PM Yitzhak Rabin (1992), dengan ditandatanganinya Perjanjian Oslo I
(1993). Hal ini penting karena bukan berarti perdana menteri yang lain tidak pernah
melakukan perundingan, hanya kebanyakan perundingan tersebut akhirnya gagal dan
perjanjian akhirnya dilanggar. Sedangkan Rabin adalah sosok yang menginginkan
perdamaian, terbukti dengan sikapnya yang menaati perjanjian, meski ia tahu tidak akan
mudah mengembalikan wilayah okupasi. Rumusan kedaulatan Palestina sesungguhnya sudah
tercantum dalam Perjanjian Oslo, yaitu adanya kesepakatan saling mengakui eksistensi
bangsa dan negara masing-masing.3 Dengan asumsi bahwa tanpa adanya saling pengakuan,
tentu kesepakatan menjadi kurang berarti. Baru selanjutnya rangkaian jadwal rencana
penyelesaian damai Israel-Palestina dapat dimulai. Menurut pandangan Yitzhak Rabin,
2
Resolusi DK PBB No.242 (22/11/1967); berisi tentang ketentuan penarikan mundur pasukan Israel dari
seluruh wilayah aneksasi dalam Perang Enam Hari 1967.
Resolusi DK PBB No.338 (22/10/1973); berisi tentang tuntutan gencatan senjata di Perang Yom Kippur.
(Data terlampir)
3
Sesuai dengan isi surat tanpa kepala yang dikirimkan oleh masing-masing kepala negara dan ditandatangani
keduanya pada 9&10 September 1993.
Isi surat Yasser Arafat; “In firm conviction thereof, I would like to confirm the following PLO commitments: The
PLO recognizes the right of the State of Israel to exist in peace and security” (Text of Letters Exchanged
between Israel and the PLO on Mutual Recognition, 9 September 1993, dalam Palestine Documents, p. 513.) Isi
surat Yitzhak Rabin; “Mr. Chairman, in response to your letter of 9 September 1993, I wish to confirm to you
that, in light of the PLO commitments included in your letter, the Goverment of Israel has dicided to recognize
the PLO as the representatives of the Palestinian People and commence negotiations with the PLO within the
Middle East Peace Process” (Letter from Yitzhak Rabin to Yasser Arafat, 10 September 1993, dalam Palestine
Documents, pp. 514-515.)
Seperti dikutip dalam disertasi Ibnu Burdah, ‘Hambatan Kelompok Messianis terhadap Proses Perdamaian
Israel-Palestina 1990-2000’, UGM: 2007, p. 106.
2
sikapnya tidaklah lunak, melainkan sikap pragmatis yang memang dibutuhkan untuk masa
depan Israel.
Benjamin Netanyahu mengawali periode pertamanya sebagai perdana menteri pada
1996-1999. Kemudian berlanjut periode kedua dan seterusnya berturut-turut mulai 2009
hingga sekarang. Sejak awal karirnya ia sudah menunjukkan pola kebijakan garis keras
dengan membatalkan semua isi Perjanjian Oslo yang sengaja dibuat sebagai peta perdamaian
kedua negara. Sikap kerasnya ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sikap serupa dari
politik Hamas Palestina, sehingga timbul perasaan was-was akan ancaman keamanan negara.
Saat tidak menjabat sebagai perdana menteri pun, Bibi panggilan akrab Benjamin, masih
berpolitik dalam Knesset (parlemen Israel) dengan posisi Menteri Luar Negeri, Menteri
Keuangan, Pemimpin Oposisi, dan Ketua Partai Likud, secara bergantian antara tahun 20022008.
Selama melaksanakan kebijakan politik luar negerinya, Israel masih mengantongi
banyak dukungan negara-negara anggota PBB. Situasi di forum internasional tersebut
berbalik 180 derajat, tepatnya setelah Israel menggelar ‘Operation Cast Lead’ atau Perang
Gaza di tahun 2008-2009. Karena tindakannya tersebut, Israel mendapat ancaman tuntutan
kejahatan kemanusiaan atas pelanggaran HAM yang diajukan PLO ‘Palestinian Liberty
Organization’ (yang diketuai Mahmoud Abbas), ke meja Mahkamah Pidana Internasional
atau ICC. Pada perang tersebut, Israel dituduh telah melakukan genosida menghilangkan
ribuan nyawa warga sipil Palestina lewat penembakan bom fosfor putih yang digunakan
sebagai senjata. Isu ini merebak sangat cepat dan terbilang cukup mudah untuk merubah
kawan menjadi lawan. Hal-hal yang menyebabkan beralihnya dukungan negara-negara
anggota PBB menjadi berpihak pada Palestina juga patut disoroti disamping pernyataan keras
penolakan yang dikeluarkan oleh PM Benjamin Netanyahu. Memasuki milenium baru, dunia
internasional lebih memusatkan perhatian pada penghargaan tentang hak asasi manusia dan
isu-isu lingkungan. Sehingga segala tindakan yang mengindikasikan hilangnya nyawa orang
lain atau membatasi hak dasar manusia untuk menentukan nasib sendiri akan dinilai
melanggar norma hak asasi manusia. Begitu juga dengan segala tindakan eksploitasi alam
tanpa memikirkan dampak buruk yang mungkin terjadi juga akan dinilai melanggar norma
lingkungan.
Kata kunci yang dapat kita gunakan untuk melihat fenomena perubahan sikap negaranegara anggota PBB terkait konflik Israel-Palestina adalah peran “norma” yang wilayah
operasinya berpengaruh internasional. Yakni pengertiannya yang sudah disepakati secara
universal. Bahasan tentang hak asasi manusia secara umum sesungguhnya sudah eksplisit
3
tertulis dalam Pasal tiga Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB; 10
Desember 1948 – yang menyatakan, “Everyone has the right to life, liberty and security of
person”.4 Diterimanya DUHAM secara luas telah memperkuat posisinya sebagai hukum
kebiasaan internasional (customary international law), dan ketentuannya bersifat mengikat
negara-negara di dunia sebagai norma. Namun baru selepas perang dingin, tepatnya di
pertengahan tahun 2000an, isu ini mulai ramai lagi diperbincangkan untuk kemudian
diperjuangkan. Negara-negara Skandinavia-lah yang menjadi pelopor gerakan perdamaian,
karena memang banyak perjanjian perdamaian yang digagas dan ditandatangani di negara ini
sebelumnya. Artinya, norma internasional tentang HAM adalah yang menjadi alasan
keberpihakan Benua Biru tersebut ke sisi Palestina. Karena mereka menilai konflik IsraelPalestina yang tak kunjung selesai dan telah memakan banyak korban jiwa akibat perang,
seharusnya sudah hilang dari muka bumi ini. Menegaskan kembali bahwa segala bentuk
penindasan di atas dunia tidak lagi relevan digunakan untuk memperoleh kekuasaan, dan hak
menentukan nasib sendiri (self-determination) dianggap sesuai dengan semangat yang
didengungkan oleh HAM. Oleh karena itu, kesempatan ini menjadi momentum untuk
merubah nasib bangsa Palestina.
Keputusan Sidang Umum PBB tanggal 29 November 2012, membawa angin segar
bagi kemajuan perjuangan Palestina menuju kemerdekaan. Voting yang dilakukan pada 193
negara anggota menghasilkan 138 suara dukungan untuk pengakuan kedaulatan Palestina.
Selebihnya, sembilan negara menyatakan tidak setuju, termasuk diantaranya AS, Kanada, dan
Israel. Dan sisanya sebanyak 41 negara abstain dalam voting tersebut. Dengan adanya
pengakuan ini, Palestina resmi menjadi ‘Negara Pengamat Non-Anggota’ di PBB.
Peningkatan status Palestina membuka kesempatan untuk bergabung di badan-badan resmi
PBB. Pemilihan tanggal itu pun bukan suatu kebetulan. Karena tepat 65 tahun yang lalu,
Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181 dengan memecah tanah Arab menjadi dua
bagian, namun tidak terwujud dan hanya menjadi akta kelahiran bagi negara Israel. Pada
tahun 2012, PBB baru menyelesaikan keputusan yang tertunda tersebut dengan mengeluarkan
akta kelahiran negara Palestina.5
Disisi lain, ini adalah kekalahan diplomatik memalukan bagi AS dan Israel. Meskipun
Palestina telah diakui kedaulatannya oleh PBB dan dunia, Israel tetap tidak menerima
keputusan tersebut. Negara Yahudi ini tetap akan menduduki wilayah Palestina yang
4
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (daring), 10 December 1948,
<http://www.un.org/en/documents/udhr/>, diakses 10 September 2015.
5
Pernyataan Abbas seperti dimuat BBC., ‘29 November, Tanggal Keramat Israel Direbut Palestina’, mLiputan6
(daring), 2012, <http://m.liputan6.com>, diakses 29 Maret 2015.
4
diokupasi sejak 1967 tersebut, dan terus melangsungkan aktifitas pembangunan lebih dari
3000 permukiman Yahudi di kantong-kantong wilayah yang sudah ditetapkan pihak
internasional sebagai self-determination bangsa Palestina. Langkah sepihak ini diputuskan
oleh Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dan delapan menteri kabinet senior.
Rencana pendudukan yang diberi nama program E-1 ini akan dilakukan di wilayah Tepi
Barat dan Jerusalem Timur. Tindakan Bibi dengan menolak kedaulatan dan terus
menganeksasi wilayah Palestina terbilang sangat beresiko. Gedung Putih bahkan berkali-kali
memeringatkan Israel untuk tidak menjalankan program E-1-nya. Sebab selain akan
memotong wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur, pendudukan itu juga akan
mempermalukan AS sebagai sekutu yang sudah berulang kali menginisiasi perundingan
damai kedua negara. Terlebih lagi program E-1 akan menutup jalan solusi antar dua negara.
Dengan kata lain, peta jalan damai yang sudah dilakukan selama ini akan sia-sia.
Benjamin Netanyahu memasuki arena politik Israel sebagai seseorang dalam
kelompok neokonservatif. Neokonservatisme adalah sebuah kelompok “sayap kanan” yang
mengusung ide politik berdasarkan pada privatisasi, liberalisasi, penghapusan peran
pemerintah di sektor publik, dan kebijakan politik luar negeri “garis keras”. Untuk melacak
pengaruh neokonservatisme dalam keputusan kebijakan politik Israel adalah dengan
mengidentifikasi sumber kuasa, dimana paradigma politik baru didasarkan pada ajaran atau
prinsip yang kemudian berhasil menumbuhkan keyakinan masyarakat.6 Kebangkitan
neokonservatisme di Israel adalah dampak dari gagalnya peace-process tahun 2000 dan
putusnya hubungan dari dua isu sebelumnya; peace-making dan liberalisasi. Oleh sebab itu,
setiap tindakan negosiasi dengan Palestina akan dianggap melemahkan bahkan memecah
konsensus yang telah ada dan dapat mengancam posisi neokonservatif di arena perpolitikan
Israel. Politik inilah yang dijalankan Netanyahu sejak kembali terpilih sebagai Perdana
Menteri pada 2009 hingga saat ini, 2015.
Sikap keras kepala Bibi tidak jelas akan menguntungkan siapa. Karena negara besar
yang berpihak pada Israel kini hanya tersisa AS dan Kanada saja. Boleh jadi rasa optimisme
Bibi tinggi dengan adanya dukungan AS, meski di sisi lain pemerintah AS merasa masalah
ini seharusnya diselesaikan secara damai. Berubahnya haluan negara-negara Eropa Barat
memihak Palestina menjadi pukulan telak bagi Israel, Bibi menganggapnya sebagai
pengkhianatan. Situasi politik internasional juga sudah jauh berbeda jika dibandingkan pada
tahun 1990-an. Norma perang dan penjajahan sudah bergeser menjadi norma perdamaian dan
6
G.B. Porat, ‘Netanyahu's Second Coming: A Neoconservative Policy Paradigm?,’ Israel Studies, Vol. 10, No. 3,
The Right in Israel (Fall, 2005), pp. 225-245.
5
hak asasi manusia. Di tengah tekanan dunia internasional yang seperti itulah akhirnya
menimbulkan pertanyaan, mengapa Israel bisa bertahan dengan keputusan sepihaknya dan
sampai kapan. Jawaban termudah bisa dianggap karena kehadiran Amerika Serikat sebagai
negara adidaya dan salah satu negara pemegang hak veto di PBB, yang akan selalu berada di
sisi Israel, sehingga tekanan dan kecaman yang datang dari dunia internasional lantas tidak
membuat Bibi memperlunak kebijakannya. Tetapi justru frontal menyatakan perlawanan dan
siap bertempur. Namun disamping itu, sejarah juga merekam jika hubungan AS-Israel
ternyata tidak selamanya harmonis seperti yang awam pikirkan.
Berangkat dari latar belakang diatas, peneliti merasa perlu menganalisis sebab-sebab
pilihan rasional Bibi menolak Resolusi 67 ditengah posisi Israel di forum dan iklim dunia
internasional yang tidak mendukung. Cita-cita Israel untuk mendirikan sebuah negara Yahudi
di seluruh wilayah Palestina terbukti mampu membangkitkan gerakan Zionis ratusan tahun
silam.
Idealisme
tersebut
cenderung
masih
bisa
diterapkan
bagi
kelompok
mesianis/masyarakat yang konservatif. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
idealisme bukanlah satu-satunya alasan yang mendasari keputusan seorang aktor rasional
seperti Benjamin Netanyahu. Terdapat kepentingan politik di sana-sini dan kalkulasi untungrugi yang turut diperhitungkan. Alternatif alasan tersebut yang nantinya akan peneliti
kemukakan melalui analisis penelitian kualitatif yang bersudut pandang teori permainan zerosum (zero-sum game theory), dimana akan merefleksikan pilihan rasional kebijakan politik
sang agen/aktor pembuat keputusan. Bagi dunia internasional abad ini, idealisme hanyalah
faktor penunjang, dan tidak bisa lagi dijadikan pembenaran untuk menghalang-halangi hak
menentukan nasib sendiri suatu bangsa. Penelitian ini akan menyajikan analisis tentang
rasionalitas keputusan agen/aktor dalam menolak resolusi. Pilihan rasional yang kemudian
disebut sebagai strategi memenangkan permainan zero-sum, merupakan sebuah strategi
pertarungan menang-kalah agen-agen rasional melalui perhitungan matematika sederhana
optimalisasi payoff (ganjaran tertinggi/keuntungan terbesar) di panggung konflik politik
hubungan internasional.
I.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
“Mengapa PM Israel Benyamin Netanyahu menolak mematuhi Resolusi 67 berikut status
kedaulatan Palestina yang dikeluarkan PBB tanggal 29 November 2012 ?”
6
I.3.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi latar belakang keputusan rasional Benjamin
Netanyahu menolak Resolusi 67 ditengah posisi dan iklim dunia internasional yang tidak
mendukung bagi Israel. Analisis dalam penelitian ini nantinya digunakan untuk memahami
kebijakan dan perilaku politik Sang Perdana Menteri sebagai strategi mempertahankan
eksistensi serta bagaimana solusi dua-negara antara Isrel-Palestina seharusnya dilakukan.
I.4.
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memberikan alternatif analisis dari sudut pandang Israel, sebagai upaya
mengimbangi banyaknya penelitian yang umumnya memojokkan posisi Israel atas kebijakan
politiknya di dunia internasional, khususnya yang menyangkut konfliknya dengan Palestina.
Peneliti menyadari bahwa lebih mudah memberi pembelaan kepada pihak yang secara
eksplisit tertindas (Palestina), daripada mencari pembenaran atas perilaku agresif yang
dilakukan Israel. Namun, justru kontradiksi ini memicu peneliti untuk menyajikan gambaran
perilaku Israel yang tidak patut sepenuhnya dipersalahkan atas semua kejadian yang
menimpa Palestina.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan
pemahaman yang cukup baik terhadap sebagian persoalan yang sesungguhnya terjadi antara
Israel-Palestina, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan serta saran untuk mengedukasi
masyarakat Indonesia dalam merespon dan menentukan sikap yang tepat, arif, dan berwibawa
terhadap persoalan tersebut – baik pada level individu maupun kelompok sesuai dengan
prinsip, keyakinan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
I.5.
TINJAUAN PUSTAKA
Peninjau buku, Leslie Wagner mengemukakan asumsinya terhadap argumen tentang
“rights to Israel” adalah sebuah zero-sum game.7 Yakni bila satu pihak mendapatkan, maka
pihak lain akan kehilangan. Filosofi ini yang umumnya berlaku bagi kedua pihak yang
bertikai. Ia juga menyebutkan ketidakcocokan judul dan isi buku yang ditinjaunya. Alex
7
L. Wagner, ‘Rights as a Zero-Sum Game,’ Jewish Political Studies Review, Vol. 22, No. 3/4 (Fall 2010), pp. 135137.
7
Grobman memberi bukunya judul ‘The Palestinian Right to Israel’, namun isinya cenderung
membahas “Jewish rights to Israel”. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah adanya
keyakinan bahwa klaim Yahudi akan sejarah dan tanah yang dijanjikan sangat luar biasa,
sehingga kasus Palestina dianggap tidak lebih layak menerima pengujian yang serius.
Menelusuri jejak konflik Israel-Palestina tidak cukup hanya melihat dari situasi yang terjadi
beberapa tahun saja, tetapi harus melakukan kilas balik paling tidak seratus tahun ke
belakang. Pengalaman masa lalu yang menyusun narasi sejarah panjang, sehingga
menghadirkan kekinian yang dapat kita saksikan hari ini.
Runtuhnya kekaisaran Ottoman pada PD I waktu itu (1914-1918) dapat dikatakan
sebagai titik tolak nasib Tanah Arab. Keluar sebagai negara pemenang perang, Britania Raya
mendapat mandat menentukan masa depan wilayah bekas kekuasaan Ottoman tersebut.
Deklarasi Balfour (1917) adalah yang pertama kali menyatakan bahwa sebagian Tanah Arab
diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Sikap keberatan muncul dari negara Arab lainnya yang
menganggap bahwa Palestina bukanlah entitas yang terpisah dan bisa diberikan kepada siapa
saja, melainkan merupakan bagian dari wilayah selatan Suriah. Meski perbandingan populasi
penduduk Arab dan Yahudi di Palestina 40:1, hal ini tidak mengubah apapun dalam Deklarasi
Balfour. Hingga setelah PD II berakhir, PBB mengeluarkan Resolusi 181 tentang partisi
wilayah Tanah Arab, dan negara Israel kemudian resmi berdiri. Fenomena yang terlihat sejak
saat itu adalah resistensi bangsa Arab terhadap meningkatnya migrasi Yahudi ke Israel
(gerakan zionis). Kenyataan ini turut meningkatkan tindak kekerasan yang berujung pada
kekacauan (perang). Okupasi Israel atas wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur
pada peristiwa Perang Enam Hari (1967) menjadi akar rentetan konflik selama 48 tahun
terakhir, dengan Palestina yang berusaha merebut kembali ketiga wilayah tersebut.
Alex
Grobman
menyatakan
bahwa
narasi
historis
sengketa
Tanah
Arab
menghantarkan pada dua isu fundamental, yakni; hak untuk Israel dan ikatan abadi antara
Yahudi dengan tanah Israel itu sendiri.8 Selama ini bangsa Arab tidak pernah menerima
kehadiran Yahudi di Timur Tengah. Penyerangannya kepada Israel adalah bentuk
pengingkaran terhadap eksistensi sejarah Yahudi yang mengaitkan zionisme dengan rasisme.
Menilik kembali pembagian wilayah dan proses perdamaian, Grobman mengontraskan upaya
Yahudi dalam berkompromi dengan kekerasan pendirian bangsa Arab adalah sebagai berikut;
“The Arab/Israel conflict is about Israel’s rights to exist, not the size of the Jewish state.”9
8
9
A. Grobman, ‘The Palestinian Rights to Israel’. Balfour Books, 2010, p. 326.
Grobman, p.326.
8
Berdasarkan uraian di atas, peneliti sepakat dengan Wagner atas asumsi zero-sum
game pada pengamatan kasus Israel-Palestina. Bila Grobman mengatakan bahwa konflik ini
hanya tentang Israel yang berupaya menunjukkan eksistensinya, maka hal tersebut hanya bisa
dicapai dengan kekuasaan. Atau lebih tepatnya menunjukkan eksistensi melalui penguasaan
wilayah.
Ukuran
luas
negara
memang
bukanlah
satu-satunya
indikator,
namun
mempertahankan ukuran yang telah dimiliki sebelumnya menjadi sangat penting dan
menentukan
kredibilitas.
Sehingga
ketika
satu
pihak
harus
kehilangan,
maka
perbandingannya lurus dengan ia kehilangan eksistensinya. Dalam pertarungan satu lawan
satu seperti ini, pemenang mendapatkan sejumlah sama dari kehilangan pihak yang kalah
(zero-sum game). Hal ini sesuai dengan perhitungan matematika sederhana dan kenyataan
bahwa tanah (land) tidak tumbuh/berkembang biak.
Sejalan dengan ide diatas, Gideon Doron dan Rebeca Kook dari Universitas Tel Aviv
menyatakan bahwa permainan zero-sum sudah dimulai sejak kedatangan pertama kaum
Zionis Yahudi.10 Sebuah permainan yang memberikan solusi keuntungan hanya pada satu
pihak saja. Oleh karenanya, potensi ketidakstabilan akan selalu mewarnai keadaan dan titik
keseimbangan (ekuilibrium) sementara merupakan hal terbaik yang bisa dicapai. Inti
permainan dalam konteks ini adalah terkait masalah teritori. Kepuasan pada level konflik ini
melibatkan jaminan hak dasar individual dengan mengabaikan batas-batas teritori yang ada,
untuk kemudian mendefinisikan ulang pengertian hubungan antara hak individu dan hak
kolektif. Bagi Yahudi, wilayah sengketa adalah ‘Eretz Israel’ (Tanah Israel). Sedangkan bagi
bangsa Arab, wilayah tersebut adalah Tanah Palestina.
Dalam tulisannya yang dirilis tahun 2001, Doron dan Kook sempat menyebutkan
bahwa kebangkitan masyarakat sipil Palestina terkait Tepi Barat dan jalur Gaza pada
Desember 1987 telah mengubah karakter konflik menjadi ‘negative-sum game’. Dimana
dalam permainannya tidak ada pemenang, karena sebenarnya semua pihak kalah. 11 Namun
selang puluhan tahun berlalu, dengan kenyataan masih terdapat dominasi atas sengketa
wilayah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa konflik Israel-Palestina lebih relevan
dikatakan sebagai sebuah ‘zero-sum game’.
10
S.A. Nagel, ‘Resolving International Disputes Through Super-optimum Solutions; Chap 8,’ Nova Science
Publisher Inc., 2001, p. 101.
11
Nagel, p. 102.
9
I.6.
KERANGKA TEORITIS
I.6.1. Model Aktor Rasional
Rational Actor Model (RAM) digunakan untuk memahami keputusan yang diambil
oleh negara-bangsa, organisasi, atau sosok penting dalam suatu negara. Konsep ini
menggunakan bentuk dasar investigasi dimana seseorang yang terlibat adalah karakter
rasional. RAM menghasilkan berbagai asumsi untuk menghantarkan ke kemungkinan
penjelasan dari aksi aktor tersebut. Setiap asumsi yang dijelaskan merupakan sebuah aksi dan
perilaku yang merefleksikan niat dan tujuan. Setiap asumsi dimana aksi tersebut dipilih
merupakan perhitungan solusi terhadap suatu masalah strategis. Penjelasan terdiri dari apa
yang nampak dari tujuan yang hendak dicapai dan bagaimana tindakan yang diambil menjadi
plihan rasional untuk dilakukan. Asumsi-asumsi inilah kunci dari RAM, yang menilai
aktornya secara rasional.
Model ini hanya merujuk pada aktor yang memegang kendali suatu negara sebagai
dasar teorinya. Dengan tidak melibatkan peran dari organisasi atau permainan politik negara
dalam pembuatan keputusannya. Model ini hanya mensyaratkan peran pemimpin. Pemimpin
yang kemudian menguji keputusan yang ia ambil dan mengasumsikan keputusan itu rasional.
Dasar keputusannya adalah asumsi perilaku rasional – bukan hanya perilaku yang cerdas,
tetapi perilaku yang dimotivasi oleh perhitungan secara sadar akan untung-rugi, perhitungan
yang berbalik ke dasar yang jelas dan secara internal konsisten pada sistem nilai. Melalui
definisi rasionalitas pemimpin, akan lebih mudah menjelaskan langkah-langkah selanjutnya
yang dibuat oleh si pemimpin. Berikut empat konsep kunci yang digunakan dalam RAM,
antara lain; (1)Cita-cita dan tujuan negara, (2)Alternatif yang ada, (3)Konsekuensi, dan
(4)Pilihan yang dibuat oleh negara. Dengan empat konsep ini, kita dapat menganalisis alasan
pemimpin negara dalam pembuatan keputusan menggunakan RAM.12
Pada kasus Kedaulatan Palestina oleh PBB yang ditentang oleh Israel, konsep kunci
RAM berguna untuk menentukan sebab dan akibat dari “penolakan” dengan melihat pada
pemimpin negara Israel yang mengeluarkan keputusan tersebut. Ketika PBB meresmikan
Kedaulatan Palestina, kala itu Israel dipimpin oleh Benyamin Netanyahu. Saat Netanyahu
mendengar Mahmoed Abbas, Presiden Palestina, gencar mencari dukungan dan berhasil
meyakinkan PBB untuk memberi Palestina kedaulatan, Bibi tahu bahwa Abbas sedang
menantang cita-cita dan tujuan Israel terhadap Palestina.
12
E. Swanson, ‘The Rational Actor Model,’ dalam Zelikow, P (eds), ‘Essence of Decision,’ Longman, New York,
1999.
10
Konsep pertama RAM adalah menentukan cita-cita dan tujuan suatu negara. Cita-cita
Bibi adalah menguasai seluruh tanah Palestina dengan memperluas kantong-kantong
permukiman Yahudi di wilayah okupasi. Bibi berusaha keras untuk mengagalkan upaya
Palestina untuk merdeka dan memperoleh kedaulatan. Oleh karena ancaman ini, Abbas
berusaha keras melobi seluruh anggota PBB dan membuat mereka menandatangani
referendum tentang kedaulatan Palestina, agar tidak kehilangan lebih banyak lagi wilayah
yang dianeksasi Israel. Negara anggota PBB merespon dengan merubah arah keberpihakan
mereka ke Palestina, sebagian memilih abstain dan banyak yang meninggalkan Israel. Dari
193 negara anggota PBB, didapat 138 negara yang menyetujui pengakuan kedaulatan bagi
bangsa Palestina. Suara dari negara-negara ini atau boleh peneliti katakan aliansi yang
kemudian menentukan keputusan PBB atas pengakuan kedaulatan Palestina, secara langsung
menantang cita-cita Israel sebagai negara yang berkonflik dengan Palestina. Dan sebuah
tantangan mengakibatkan respon.
Merespon keputusan PBB tersebut, Bibi memiliki dua pilihan/alternatif utama
(konsep kedua RAM). Pertama, ia tidak melakukan apa-apa. Israel, entah sampai kapan akan
menerima keputusan itu. Mematuhi apa yang disyaratkan PBB, termasuk menghentikan
perluasan permukiman. Kedua, menolak dan memberi tekanan diplomatis kepada PBB,
dengan menegaskan isu terorisme yang semakin besar di kawasan Timur Tengah yang
berusaha diperangi oleh PBB. Karena memberi kedaulatan di wilayah tersebut sama saja
dengan membuat kuasa teroris semakin besar. Alternatif kedua telah jelas diambil Bibi dalam
menyikapi keputusan PBB. Sikap penolakan tersebut dibarengi dengan tindakan tetap
memasang pasukan militernya di daerah konflik dan membangun permukiman.
Konsep ketiga RAM adalah mendiskusikan konsekuensi dari alternatif tersebut. Atau
lebih tepatnya mendiskusikan alasan-alasan dari alternatif yang dipilih. Dari sini akan
dijelaskan mengenai pertimbangan untung-rugi dari pilihan alasan yang ada. Menentang
kedaulatan Palestina tidak hanya karena alasan kekuasaan atas tanah Arab, banyak
kemungkinan faktor yang melatarbelakangi Bibi (sebagai aktor) atas tindakan yang
dilakukannya. Kemudian keempat, mendiskusikan pilihan yang dibuat oleh negara. Dalam
hal ini menekankan pada analisis alasan Bibi (sebagai pihak Israel) yang berpengaruh paling
besar terhadap reaksi (tindakan) penolakan tersebut. Yakni pemilihan alasan paling rasional
dari alternatif alasan yang ada beserta analisisnya.
Penjelasan dari beberapa paragraf diatas akan membantu peneliti menjawab
pertanyaan tentang mengapa Netanyahu membuat keputusan (penolakan/tidak memtuhi)
tersebut. Bagaimana RAM membantu menganalisis dan menemukan alasan sebuah keputusan
11
dibuat? Secara sistematis melalui empat konsep yang ditawarkan, RAM menjadi konsep dan
model yang cocok untuk menganalisis alasan dari beberapa pilihan alasan yang ada. Untuk
kemudian membuat peneliti memahami sepenuhnya bahwa terjadinya suatu peristiwa tidak
lantas tanpa sebab, tetapi dengan menguji karakter rasional yang mempengaruhinya.
I.6.2. Teori Permainan ‘zero-sum game’
Teori permainan (game theory) merupakan studi formal tentang pengambilan
keputusan (decision making), dimana pemain-pemainnya (yang biasa disebut agen) harus
membuat keputusan yang berpotensi memengaruhi keputusan pemain yang lain. Konsep
teoritis permainan diaplikasikan saat aksi agen-agen tersebut saling bergantung satu sama
lain. Pendekatan pengambilan keputusan berdasar pada asumsi dari rasionalitas aktor dalam
situasi kompetisi. Masing-masing aktor akan mencoba untuk memaksimalkan keuntungan
dan meminimalkan kerugian di bawah kondisi ketidakpastian dan ketidaksempurnaan
informasi. Kondisi tersebut menuntut tiap aktor mengurutkan peringkat berdasarkan
kecenderungan keinginan (preferences), perkiraan peluang, dan mencoba untuk mengenali
apa yang aktor lain akan lakukan.13
Teori permainan pertama kali diperkenalkan melalui analisis studi duopoli dari
Antoine Cournot pada 1838. Kemudian seorang matematikawan Perancis, Emile Borel
mengemukakan kembali teori ini pada 1921, dan dikembangkan lebih lanjut oleh John von
Neumann tahun 1928 dalam kajian “theory of parlor game”. Teori permainan ditetapkan
sebagai teori yang berdiri sendiri setelah tahun 1944 lewat publikasinya dalam buku ‘Theory
of Games and Economic Behavior’, karya von Neumann dan Oscar Morgenstern (ahli
matematika ekonomi). Selanjutnya pada 1950, John Nash (juga seorang ahli matematika)
memopulerkan teori permainan yang didemonstasikan berbeda dari pendahulunya dengan
menawarkan konsep “non-cooperative” dalam ekuilibriumnya (Nash-equilibrium).
Dari latar belakang para pakarnya, teori permainan sering dijabarkan sebagai cabang
dari ilmu matematika terapan dan ilmu ekonomi yang mempelajari tentang pengambilan
keputusan dalam rangka untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, teori permainan kemudian juga relevan dalam beberapa
kajian ilmu yang lain. Dalam kajian ilmu politik, teori permainan kemudian berkembang dan
menjadi efektif digunakan untuk menentukan strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan maupun kepentingan nasional suatu negara. Terapannya terlihat dalam
13
T.L. Turocy & B.von Stengel, ‘Game Theory,’ CDAM Research Report LSE-CDAM-2001-09. October 8, 2001, p.
2.
12
praktik pengambilan keputusan (secara rasional) oleh aktor-aktor dalam hubungan
internasional.
Bermain menggunakan teori ini mensyaratkan tiga hal pokok, antara lain;
(1)rasionalitas untung-rugi, (2)solusi optimal agen, dan (3)ekuilibrium payoff. Kolaborasi
pertimbangan ketiga faktor tersebut yang akhirnya memengaruhi pengambilan keputusan
rasional oleh seorang/suatu agen. Bentuk paling sederhana teori permainan adalah dengan
melibatkan dua orang pemain, permainan satu lawan satu ini disebut ‘battle of sexes’.
Klasifikasi berdasarkan jumlah pemain dicirikan dengan adanya kepentingan yang berbeda
dari masing-masing pemain. Sehingga permainan berjalan dengan hasil akhir menang-kalah.
Model permainan seperti ini dikenal dengan nama ‘zero-sum game’, yakni suatu kondisi
permainan dimana pemenang mendapatkan keuntungan sebanding jumlah kerugian yang
diderita oleh agen yang kalah (zero).14
Dalam teori permainan, ‘zero-sum game’ dipecahkan menggunakan solusi
ekuilibrium Nash, yang diformulasikan oleh John Nash pada 1951. Ekuilibrium Nash disebut
juga ekuilibrium strategi, merupakan sepasang strategi ketika pilihan yang diambil A adalah
pilihan optimal terhadap kondisi pilihan yang diambil B, dan sebaliknya.15 Masing-masing
pemain mempunyai kesempatan yang sama yang tidak dapat secara sepihak dirubah oleh
salah satu pemain untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Ekuilibrium Nash
adalah konsep solusi dari permainan non-kooperatif, dimana outcome optimal permainan
sudah ditentukan, yaitu jika salah satu menang maka yang lain kalah sejumlah perbandingan
yang sama. Tiap pemain diasumsikan mengetahui strategi ekuilibrium pemain yang lain
(karena hanya ada dua kemungkinan; menang-kalah), dan tidak ada pemain yang akan
diuntungkan
dengan
menyimpang
dari
strategi
yang
sudah
ditentukan
setelah
mempertimbangkan pilihan lawan. Matriks payoff ekuilibrium Nash diilustrasikan sebagai
berikut;
14
R.B. Myerson, ‘Game Theory: Analysis of Conflict,’ Harvard University Press, Cambridge MA, 1991, pp. 370375.
15
Myerson, pp. 370-375.
13
Pada ilustrasi diatas dijelaskan bahwa ketika B memilih kiri, maka payoff A adalah
(2) atau (0). Ketika B memilih kanan, maka payoff A adalah (0) atau (1). Ini berarti bahwa
ketika B memilih kiri, A akan memilih atas; dan ketika B memilih kanan, A akan memilih
bawah. Oleh karena itu, pilihan optimal A tergantung pada pikirannya tentang apa yang B
akan lakukan, dan sebaliknya. Kita dapat mengatakan bahwa seperangkat strategi adalah
sebuah ekuilibrium Nash, jika pilihan A optimal dengan mempertimbangkan pilihan B, dan
pilihan B optimal dengan mempertimbangkan pilihan A. Tidak ada seorang pun mengetahui
apa yang orang lain akan lakukan jika dia harus membuat pilihan strateginya sendiri. Tetapi
setiap orang boleh memiliki beberapa ekspektasi tentang apa yang orang lain akan pilih.
Sebuah ekuilibrium Nash dapat diinterpretasikan sebagai seperangkat ekspektasi pilihan dari
setiap orang, ketika pilihan orang lain terungkap, tidak ada individu yang ingin merubah
perilakunya.
Dalam ilustrasi tersebut, strategi (atas, kiri) adalah sebuah ekuilibrium Nash. Sebagai
buktinya, jika A memilih atas maka hal terbaik untuk B lakukan adalah memilih kiri – karena
payoff B dari memilih kiri adalah (1) dan dari memilih kanan adalah (0). Dan jika B memilih
kanan, maka hal terbaik untuk A lakukan adalah memilih bawah – karena A akan
mendapatkan sebuah payoff (1) daripada (0). Oleh sebab itu jika A memilih atas, pilihan
optimal untuk B adalah memilih kiri; dan jika B memilih kanan, maka pilihan optimal untuk
A adalah bawah – demikian sebaliknya. Jadi kita memiliki sebuah ekuilibrium Nash; yakni
setiap orang membuat pilihan optimal dengan mempertimbangkan pilihan orang lain. Pola
ekuilibrium Nash akan tetap berlaku selama tidak ada pemain yang merubah strateginya,
kendati mengetahui segala tindakan dari pihak lawannya.16 Ekuilibrium Nash menyatakan
bahwa dua atau lebih pihak yang berlawanan dalam permainan diberikan pengetahuan akan
pilihan masing-masing, dan mereka tidak melihat ada keuntungan dari tindakan merubah
16
P. Weirich, ‘Equilibrium and Rationality:Game Theory Revised by Decision Rules,’ University Press,
Cambridge, 1998, pp. 48-59.
14
pilihan yang ditawarkan tersebut, yang artinya pemain tidak akan menyimpang dari pilihan
mereka. Dalam ekuilibrium ini, pilihan yang ditawarkan merupakan satu-satunya pilihan
optimal yang dapat diperoleh pemain untuk memaksimalkan keuntungan maupun
meminimalkan kerugian. Selama agen bersikap rasional, maka wajar bagi agen yang lain
untuk memperkirakan lawannya mengikuti seperti yang direkomendasikan dalam matriks.
Sebuah permainan dapat dikatakan sebagai ‘zero-sum game’ jika dari semua outcomenya, jumlah payoff untuk semua pemain adalah nol (zero). Pada kondisi ‘zero-sum game’
yang melibatkan dua pemain, ilustrasinya adalah satu pemain menang, sementara yang
lainnya kalah, sehingga posisi keduanya akan selalu berlawanan. Pemain rasional pada
kategori ini berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan yang optimal,
dengan sendirinya terjadi kerugian pada pihak lain. Bagi kedua pemain, kompromi tidaklah
memberikan keuntungan bagi mereka. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya kerja sama
sudah tidak ada. Permainan yang disebut ‘zero-sum game’ (kalau satu pemain menang berarti
(+1) dan yang lain kalah (-1), maka jumlahnya=0), pada kategori ini dapat dilihat bahwa jika
pihak A mengalami kerugian (-10), maka pihak B mendapatkan keuntungan (+10). Pada
pilihan yang lain juga berlaku kaidah yang sama, yaitu jika pihak A mendapat perolehan
keuntungan (+7), maka pihak B akan mengalami kerugian (-7).
Melalui matriks payoff ekuilibriumnya, Nash mencoba mengatakan bahwa tidak ada
keadaan ‘win-win solution’. Rasionalitasnya mengarahkan agen untuk memahami bahwa
dalam sebuah persaingan, ketika salah satu menang maka yang lain kalah, itulah yang
dinamakan ekuilibrium versi Nash. Sejalan dengan hal tersebut, ‘zero-sum game’ menjadi
aplikasi yang cocok dalam mendemonstrasikannya. Telah banyak diketahui, teori permainan
sudah banyak diadopsi dalam ilmu-ilmu sosial politik, tak terkecuali ilmu hubungan
internasional. Keputusan rasional (kebijakan politik) seorang pemimpin negara dapat
ditelusuri menggunakan landasan teori permainan ini.
Pada konteks hubungan internasional, seorang agen dalam ‘zero-sum game’ adalah
sosok rasional pemimpin negara yang sangat memikirkan untung-rugi. Keputusan ini
sepenuhnya berada di tangan sang agen dengan pertimbangan kepentingan nasional. Motif
agen melakukan kepentingan nasionalnya dibagi menjadi empat variabel; individu, ideologi,
organisasi, dan strategi. Keempat motif tersebut meski disesuaikan kembali dengan dimensi
ketertarikan (interests) agen, yaitu dimensi; individu, kelompok, dan negara.17 Motif dan
dimensi kepentingan nasional akan memengaruhi hasil pilihan keputusan rasional agen.
17
D.S. Papp, ‘Contemporary International Relations: A Framework for Understanding’ (2nd ed.), MacMillan
Publishing Company, New York, 1988, p. 29.
15
Itulah mengapa seringkali keluar kebijakan yang berbeda meski agen berasal dari organisasi
yang sama, kebijakan yang sama dari agen dengan latar belakang organisasi yang berbeda,
ataupun perpaduan keduanya. Apa yang ingin peneliti sampaikan adalah bahwa motif dan
dimensi dari banyak sisi hanyalah faktor pendukung bagi agen untuk bahan pertimbangan,
karena sesungguhnya apa yang benar-benar agen putuskan lewat pilihan rasional sepenuhnya
berada di tangan agen sebagai seorang pemimpin negara.
Refleksi kepentingan nasional dalam ‘zero-sum game’ langsung dapat terlihat sebagai
ide kaum realis, dimana interaksinya dengan agen yang lain melalui instrumen politik
internasional hanya dalam rangka untuk memaksimalkan keuntungan. Namun tidak ada yang
salah dengan pandangan ini, karena kenyataannya tidak ada seorang pun yang mau menderita
kerugian. Sehingga setiap keputusan rasional ditengarai menjadi pilihan optimal dari setiap
situasi. Oleh sebab itu, setiap kepentingan nasional apapun selalu merefleksikan pilihan
rasional untung-rugi.
I.6.3. Operasionalisasi Teori
Beberapa kata kunci yang dapat dipakai sebagai panduan teori zero-sum game antara
lain; battle of sexes (pertarungan antar pihak yang berlawanan), a game without saddle point
(sebuah permainan tanpa titik keseimbangan) – mengisyaratkan apa yang didapat pemenang
sejumlah sama dengan yang kehilangan (kalah), payoff matrix=profit matrix (masing-masing
agen mempunyai peluang yang sama dalam mengoptimalkan payoff-nya), Nash equilibrium
(model perhitungan yang mengisyaratkan agen adalah rasional dan akan patuh pada pola
matriks, karena tindakan menyimpang tidak akan menguntungkan agen sama sekali=tidak
rasional).
Nash equilibrium adalah suatu keseimbangan (ekuilibrium) tanpa adanya titik
keseimbangan, dengan ilustrasi angka positif yang satu lebih besar dari lainnya; (1,2) atau
(2,1). Sedangkan posisi (0,0) mengindikasikan keadaan tidak bergerak atau tidak ada yang
mendapatkan dan kehilangan. Dengan kata lain suatu keadaan tanpa pertarungan/ konflik.
Pola payoff matrix-nya sebagai berikut:
16
Matriks Nash merupakan bentuk pola paling sederhana karena hanya ada dua
kemungkinan; bila tidak menang maka kalah, dan bila kalah maka yang lain menang. Angka
(1) dan (2) mengisyaratkan pilihan optimal bagi masing-masing agen. Karena bentuknya
sederhana maka dapat langsung kita tentukan nilai row minima dan column maxima
matriksnya, yakni bilangan (1) dan (2) itu sendiri. Sehingga model perhitungan matriks zerosum didapat sebagai berikut18:
P1
P2
A1
2
1
A2
1
2
Rumus:
P1 =
Hasil hitungan:
A22 – A21
P1 =
A11 + A22 – (A12 + A21)
P2 =
= 1
2 + 2 – (1 + 1)
A11 – A12
P2 =
A11 + A22 – (A12 + A21)
V=
2–1
2–1
2
= 1
2 + 2 – (1 + 1)
A11.A22 – A21.A12
V=
A11 + A22 – (A12 + A21)
2.2 – 1.1
2
= 3
2 + 2 – (1 + 1)
2
Perhitungan strategi optimal:
S1 = P2 – P1 = ½ – ½ = 0
S2 = P1 – P2 = ½ – ½ = 0
ZERO-SUM
18
J. Fox & M. Guyer, ‘Equivalence and Stooge Strategies in Zero-Sum Games,’ The Journal of Conflict
Resolution, Vol. 17, No. 3, September 1973, pp. 517-520.
17
Keterangan:

P1 dan P2 adalah Player 1 dan Player 2, dengan perhitungan peluang masing-masing
agen.

V adalah value atau nilai nash equilibrium. Artinya nilai pertarungan agen tidak akan
bisa seimbang. Satu angka akan lebih besar dari lainnya, yang mengindikasikan salah
satu agen akan menang sedangkan agen lainnya menderita kekalahan.

S1 dan S2 adalah strategi optimal yang dapat dilakukan oleh kedua pemain. Hasil
hitungannya menunjukkan bahwa strategi apapun yang dijalankan agen merupakan
implementasi dari zero-sum game.
I.7.
HIPOTESIS
Benyamin Netanyahu menjabat Perdana Menteri Israel selama hampir sepuluh tahun
dikenal sebagai pemimpin “bertangan besi”. Kebijakan politik luar negerinya terbilang garis
keras terkait penyelesaian konflik Israel-Palestina. Ia menjadi satu-satunya pemimpin dari
Partai Likud, partai beraliran neokonservatisme di Knesset yang paling lama bertahan di kursi
kepemimpinan perdana menteri. Ia juga dikenal tidak pernah berkompromi soal sengketa
wilayah dari okupasi Perang Enam Hari. Sikap kerasnya ini bisa jadi dipengaruhi oleh aliran
politik sayap kanan Likud yang neokonservatisme, yakni aliran yang memperjuangkan
berdirinya Israel Raya. Meski demikian, kenyataan tersebut tidak mengharuskannya menutup
diri dari setiap perundingan perdamaian. Karena sebelumnya PM Ariel Sharon, juga dari
Partai Likud, masih membuka diri pada beberapa proses perundingan perdamaian.
Pasca penolakan keputusan PBB atas kedaulatan Palestina pada 29 November 2012
yang ia lakukan secara sepihak bukanlah tanpa resiko. Karena keputusan itu dibuat
berdasarkan mayoritas suara negara-negara anggota. Menolak keputusan tersebut berarti
menolak eksistensi PBB sebagai lembaga resmi internasional dan menolak eksistensi negaranegara anggotanya. Apalagi adanya kenyataan bahwa Israel sudah kehilangan banyak negara
pendukung di forum internasional tersebut. Dengan kata lain, secara internasional posisi
Israel seharusnya sudah terdesak dan tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti keputusan PBB.
Namun, Bibi mengambil sikap yang mencengangkan dengan menolaknya. Konsekuensi yang
jelas mengancam di depan mata tidak membuatnya bergeming. Sebagai decision maker, Bibi
telah mengalkulasi cost and benefit dari tindakannya. Dan dengan kalkulasi yang ia lakukan
18
secara rasional, keputusan menolak berada pada tingkat tertinggi perhitungan keuntungan
yang akan ia dapatkan.
Teori permainan menganalisis fenomena ini sebagai zero-sum, yakni sebuah
permainan dimana dua pihak yang berseteru mati-matian memenangkan pertarungan. Karena
zero-sum, maka hanya ada satu pihak yang akan keluar sebagai pemenang permainan. Tidak
ada pembagian kekuasaan atau kompromi, oleh sebab itu tidak ada win-win solution. Ketika
satu pihak menang, pihak yang lain akan menderita kekalahan sejumlah yang sama. Dan
ekuilibrium milik Nash menawarkan pola payoff matrix yang sejalan dengan kalkulasi
untung-rugi permainan zero-sum.
Fenomena konflik Israel-Palestina, oleh peneliti diilustrasikan sebagai arena
pertarungan antara kedua pemimpin negara tersebut sebagai agen rasionalnya, yakni
Mahmoud Abbas (Palestina) dan Benjamin Netanyahu (Israel). Layaknya sebuah permainan,
selalu terkait dengan aksi dan reaksi. Artinya, saat satu pihak melakukan aksi maka pihak
yang lain akan bereaksi terhadapnya. Dalam permainan zero-sum, setiap agen dianggap
mempunyai intelijensi. Setiap keputusan yang dibuat agen dalam aksi dan reaksi adalah
rasional, dan akan mengikuti pola yang sudah ditetapkan pada payoff matrix ekuilbrium
Nash.
Aksi yang dilakukan Abbas untuk memenangkan pertarungan adalah menantang Bibi
dengan diresmikannya pengakuan kedaulatan Palestina oleh PBB pada 29 November 2012.
Kemudian reaksi yang dilakukan Bibi terkait aksi Abbas adalah menolak mengakui
kedaulatan tersebut. Pada matriks payoff, aksi Abbas bisa masuk angka (1) atau (2), begitu
juga dengan reaksi Bibi mempunyai peluang angka yang sama. Apa yang dilakukan
selanjutnya adalah mengidentifikasi keputusan rasional Bibi. Penolakannya terhadap
kedaulatan Palestina menempatkan dirinya pada posisi “pemenang” untuk sementara.
Dikatakan demikian karena kalkulasi keuntungan yang didapat agen jauh lebih besar daripada
keuntungan jikalau ia menerima kedaulatan itu.
Merujuk pada rumusan masalah penelitian yang menanyakan, “Mengapa Benyamin
Netanyahu menolak mematuhi Resolusi 67 berikut status kedaulatan Palestina yang
dikeluarkan PBB tanggal 29 November 2012 ?”, beberapa hasil analisis rasional yang
melatarbelakanginya antara lain; Pertama, adanya butir yang menyebutkan bahwa status
wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur yang didapatkan Israel lewat Perang
19
Enam Hari 1967 diserahkan kepada keputusan menentukan nasib sendiri rakyat Palestina.19
Artinya, Israel harus siap kehilangan semua wilayah tersebut ke pihak lawan
(kehilangan=kekalahan). (a)Analisisnya, ketentuan mengembalikan wilayah (land) menjadi
tidak relevan bila hanya ditukar dengan sebuah ikrar perdamaian (peace). Kedua pihak samasama butuh berdamai dengan tidak berperang lagi, namun status wilayah sengketa bukanlah
hal yang dapat dipertukarkan atau dibagi. Dengan kata lain, yang seharusnya berlaku adalah
peace for peace, dan bukan land for peace. Sebagai aktor rasional, Bibi tidak mau
melepaskan wilayah-wilayah tersebut
karena
perolehannya
dianggap sah sebagai
kemenangan perang terdahulu, sehingga Israel tidak berkewajiban mengembalikan apa pun.
Lagipula bangsa Arab yang memulai perang kala itu. (b)Secara geopolitik, ketentuan
pengembalian ini sangat merugikan Israel. Karena selama 67 tahun terakhir Israel telah
banyak membangun infrastruktur di sana. Letaknya yang strategis penting bagi kelangsungan
perekonomian Israel, terutama dalam meningkatkan liberalisasi ekonomi hubungan kerja
samanya dengan AS. Ketika itu dituntut untuk dikembalikan (kehilangan=kekalahan) dan
tidak ada insentif apa pun bagi Israel yang sudah mengeluarkan banyak dana, maka negara
menjadi sangat merugi secara materi. (c)Di ketiga wilayah tersebut banyak terdapat
pemukiman Yahudi yang sudah menetap selama puluhan tahun. Sehingga sebagai kepala
negara,
Bibi
berkewajiban
untuk
melindungi
rakyatnya.
Menolak
kedaulatan
mengindikasikan ia menjadi pemenang di permainan ini karena tidak harus kehilangan suatu
apa.
Kedua, Bibi tidak ingin proposal tuntutan kejahatan kemanusiaan pelanggaran HAM
atas Operation Cast Lead 2008-2009 yang diajukan PLO terhadap Israel, naik ke meja
Mahkamah Internasional. Sejak PLO mengajukan tuntutan pada 2009, PBB membentuk Tim
Pencari Fakta untuk melakukan investigasi terkait masalah ini. Hingga hari ini hasil laporan
yang dinamakan Goldstone Report masih terhambat dalam proses investigasi, meski
sebenarnya bukti yang didapatkan sudah cukup kuat. Investigasi hanyalah upaya pengalihan,
karena syarat utama kasus ini dapat diproses adalah jika pelanggaran dilakukan oleh negara
atas negara lain. Artinya, ketika ada indikasi pelanggaran kedaulatan terhadap negara lain.
Posisi Palestina yang hanya diakui sebagai bangsa oleh Israel, tidak akan pernah cukup kuat
untuk menuntut tanggung jawab Israel ke meja Mahkamah Internasional. Eksistensi Palestina
sebagai bangsa (bukan negara), dianggap “tidak bertuan” dan tidak mempunyai kekuatan
hukum internasional. Kasus serupa pernah terjadi antara Jerman dan Israel. Saat itu Israel
19
United Nations, Resolution 67/19 General Assembly: Code: A/RES/67/19 (daring), 29 November 2012,
<www.un.org/ga/search/vm_doc.asp?symbol=A/67/L.28>, diakses 10 September 2015.
20
baru bisa menuntut Jerman bertanggung jawab atas genosida anti-semit semasa Nazi-Hitler
ketika Israel sudah menjadi negara merdeka. Tepatnya tuntutan ini diajukan tahun 1954,
melalui Perjanjian Reparasi atau Perjanjian Ganti Rugi yang ditandatangani oleh PM Israel
David Ben Gurion dan Kanselir Jerman Barat Konrad Adenaver, yang mengharuskan Jerman
membayar uang ganti rugi kepada Israel dan korban individu sebesar 25 miliar euro dengan
tenggat waktu sampai tahun 2007. Menolak kedaulatan menghindarkannya dari tanggung
jawab tuntutan pelanggaran HAM, karena tidak harus membayar suatu apa.
Ketiga, Bibi menolak kedaulatan Palestina karena kala itu Israel sedang dalam masa
kampanye menyambut Pemilu tanggal 22 Januari 2013. Demi terpilih kembali, ia harus
konsisten pada arah politik partai yang neokonsevatisme dengan pertimbangan banyak
pemilih yang cenderung konservatif juga. Karena jika ternyata ia salah perhitungan dan
mayoritas pemilih adalah kaum moderat yang cinta perdamaian, maka ia akan kalah. Satu hal
yang pasti mengapa Bibi begitu yakin akan pemilih konservatif adalah karena adanya proyek
E-1 yang sedang berjalan di bawah otoritasnya. Proyek permukiman untuk Yahudi ini
menjadi daya tarik pemilih, karena menjanjikan ketersediaan tempat tinggal (entah tanah
aneksasi atau tidak). Seorang pemilih (meski moderat), ketika dihadapkan dengan situasi
seperti ini, dapat dengan mudah berubah pikiran di saat terakhir. Selain itu, gerakan zionis
yang masih terus berlangsung, membuat pertambahan penduduk Israel semakin meningkat.
Mereka datang dari seluruh penjuru dunia untuk dapat tinggal menetap di Israel, dan mereka
berpeluang besar menyumbangkan suara. Menolak kedaulatan memberi Bibi peluang
memenangkan pemilu sehingga ia dapat melanjutkan proyek pemukiman (E-1) yang sedang
dijalankannya. Jadi agen rasional menolak kedaulatan Palestina karena profit payoff yang
didapatkan mengindikasikan ia tidak menderita kerugian lebih besar. Satu-satunya kerugian
yang diderita hanyalah kehilangan pendukung serta hal normatif lainnya, dan kalkulasi
perhitungannya jauh lebih kecil jika dibandingkan harus kehilangan aset, mendapat hukuman,
bahkan berhenti berkarir.
Dari hasil analisis di atas, menolak kedaulatan Palestina adalah praktik permainan
zero-sum agen rasional memenangkan pertarungan dengan matriks profit optimum pemenang
mendapatkan semuanya (the winner takes all). Benjamin Netanyahu memperoleh payoff (2)
dalam hitungan matriks ekuilibrium Nash dan menempatkan dirinya pada posisi “pemenang
untuk sementara”. Peneliti katakan sementara karena sesungguhnya permainan tidak pernah
benar-benar berakhir. Reaksi Bibi sebagai akibat aksi Abbas dapat dinilai sebagai aksi oleh
Abbas dan menimbulkan reaksi bagi dirinya (Abbas). Sesuai hukum ekuilibrium Nash,
21
peluang setiap agen adalah sama, sehingga Abbas pun masih mempunyai peluang untuk
membalikkan keadaan dan mendapat payoff (2) pada babak permainan lanjutan.
I.8.
METODE PENELITIAN
I.8.1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, dengan mendasarkan pada studi
literatur. Sebagaimana umumnya bahwa studi literatur dilakukan dengan menghimpun data
dari berbagai literatur, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Pengolahan data
dilakukan secara rasional dengan menggunakan pola pikir tertentu menurut hukum logika.20
Literatur yang dipergunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi juga berupa bahanbahan dokumentasi, majalah, koran dan lain- lain, berupa bahan tertulis. Dari literatur
tersebut dapat ditemukan berbagai teori, prinsip-prinsip, pendapat, gagasan-gagasan dan lainlain, yang dapat dipergunakan untuk analisa dan memecahkan masalah yang diselidiki atau
diteliti.
I.8.2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah yang ditempuh
dalam suatu penelitian kualitatif sebagai berikut: pengumpulan data, penilaian (pemilihan)
data, penafsiran (interpretasi) data, dan penyimpulan data hasil interpretasi. Dalam langkah
pertama, data yang telah dikumpulkan kemudian disusun dan dipilah terlebih dahulu sebelum
diolah lebih lanjut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang sesuai dan komprehensif
sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya adalah melakukan interpretasi data atau
pemberian makna terhadap data dan mencari korelasi antara berbagai konsep. Dengan
langkah-langkah ini akan memungkinkan peneliti untuk merumuskan secara lebih cermat
data mana yang paling relevan dan dibutuhkan sehingga koreksi bisa berlangsung selama
proses pengumpulan data sampai dengan analisa final. Langkah terakhir adalah memuat
simpulan terhadap hasil interpretasi.
20
H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998, p. 32.
22
I.9.
JANGKAUAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian dari kali kedua Benjamin
Netanyahu mendapatkan jabatan di Knesset sebagai Perdana Menteri, yakni antara tahun
2009 hingga 2015. Termasuk didalamnya berada keputusan PBB tentang kedaulatan
Palestina pada 29 November 2012.
I.10.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan penelitian ini dapat dikemukakan secara garis besar sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan. Bagian ini membahas mengenai materi penelitian, yaitu latar
belakang problematik kedaulatan Palestina yang ditentang oleh Israel. Kemudian dilanjutkan
dengan rumusan masalah pilihan peneliti. Bab ini mencakup juga tinjauan pustaka dan
kerangka teoritis yang berguna untuk membantu peneliti menyusun hipotesis.
Bab II dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran umum dinamika eksistensi
Israel melalui episode hubungannya dengan beberapa pemimpin negara Amerika Serikat,
arsitektur keamanan di Timur-Tengah, dan kontestasi norma HAM di PBB sehingga dapat
membantu peneliti dalam menentukan arahan persoalan penelitian.
Bab III akan memaparkan jalannya penelitian. Bagian ini mencakup rancangan
penelitian terkait metode analisis data serta operasionalisasi teori dalam penetapan posisi dua
pihak bertikai – yakni kerangka pertarungan aktor rasional Netanyahu versus Abbas dengan
narasi posisi dominasi Netanyahu dalam matriks permainan zero-sum.
Bab IV Pembahasan, adalah isi dari penelitian, merupakan hasil analisis topik
penelitian dengan menggunakan teori yang telah dipilih peneliti. Bagian ini adalah jawaban
dari rumusan masalah yang meliputi ganjaran optimal Netanyahu untuk terus berkuasa atas
wilayah okupasi (Tepi Barat dan Jerusalem Timur), strategi melepaskan diri dari tuntutan
pidana dan perdata internasional, dan keuntungan politik memenangkan jabatan perdana
menteri (sekali lagi).
Bab V Kesimpulan, yakni uraian singkat mengenai analisis alasan PM Israel
Benjamin Netanyahu menolak kedaulatan Palestina, yang dipandang sebagai kesimpulan
utama dari jawaban rumusan masalah penelitian ini – sekaligus kemungkinan pengembangan
studi lebih lanjut.
23
Download