BRIEFING PAPER HIV, Hak Asasi Manusia, dan Hukum1 Mengapa melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia penting di dalam respons terhadap HIV? Stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) telah diakui secara luas sebagai penghalang utama terhadap respons nasional yang efektif terhadap HIV. Kini sudah lebih dari tiga puluh tahun epidemi AIDS, namun stigma dan diskriminasi masih marak di banyak negara dan akses terhadap keadilan di dalam konteks HIV masih rendah. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih kerap ditolak oleh dan diusir dari keluarga dan komunitas. Hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan orang dengan HIV/AIDS masih sering disangkal. Maraknya pelanggaran HAM yang ada menyebabkan pencegahan dan pelayanan kesehatan HIV menjadi kurang efektif. Ketika orang dengan HIV/AIDS dan populasi kunci takut akan diskriminasi, mereka akan enggan melakukan tes HIV, termasuk mengakses layanan kesehatan HIV. Karena ketidaksetaraan jender dan kekerasan berbasis jender, perempuan cenderung sulit menghindari relasi yang penuh paksaan dan kekerasan, dan membuat mereka rentan terhadap HIV. Oleh karena itu, stigma, diskriminasi, ketidaksetaraan jender, kekerasan terhadap perempuan, dan pelanggaran HAM dapat dipandang sebagai hambatan pemenuhan hak asasi manusia (human rights barrier) ODHA dan populasi kunci. Guna mewujudkan program pencegahan, layanan dan dukungan HIV yang efektif, maka hambatan hak asasi manusia tersebut harus diatasi. Caranya adalah dengan mengintegrasikan perlindungan dan promosi HAM ke dalam respons HIV, meningkatkan program yang sudah berjalan yang mengatasi hambatan hak asasi manusia tersebut, dan memastikan bahwa program-program HIV tidak berpotensi maupun tidak melanggar HAM. Bagaimana HAM diintegrasikan ke dalam respons HIV? Ketika menyusun program HIV, jender dan HAM harus turut dijadikan sebagai ‘pisau analisis’. Dengan tujuan, program HIV bukan lagi semata merespons persoalan HIV tetapi juga mengatasi persoalan HAM yang terjadi di dalam konteks HIV. Berikut ini panduan kerangka berpikir mengintegrasikan jender dan HAM ke dalam program HIV: 1. Menganalisis situasi hukum, jender, dan HAM dalam konteks HIV. Analisis hukum bisa mencakup peraturan perundang-undangan yang ada, praktik penegakan hukum, dan pengalaman akses terhadap keadilan yang dialami oleh ODHA dan populasi kunci. Analisis hukum ini akan membantu mengidentifikasi dan mencari tahu sejauh mana lingkungan hukum dan sosial berpengaruh kepada kerentanan terhadap HIV, dan menjadi rintangan untuk perwujudan program HIV yang efektif. Bagaimana menganalisis situasi HAM dalam konteks HIV? Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang tanpa kecuali. Hak asasi manusia terdiri dari banyak jenis hak yang dijamin oleh hukum Indonesia maupun secara hukum 1 1 Briefing Paper ini diadaptasi dari Global Fund Information Note: HIV and human rights, February 2013; dan, UNAIDS Guidance Note: Key programmes to reduce stigma and discrimination and increase access to justice in national HIV responses, May 2012. Briefing Paper ini disusun oleh LBH Masyarakat sebagai bagian dari asistensi teknis atas proses penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019, dengan dukungan dari Global Fund. Briefing Paper: HIV, Hak Asasi Manusia, dan Hukum | LBH Masyarakat internasional, mulai dari hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas informasi, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hingga hak atas kesehatan. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Ketika menelaah kasus HIV, coba identifikasi jenis pelanggaran hak asasi manusia yang muncul dalam kasus tersebut dan kaitkan dengan kewajiban Negara yang relevan dengan pelanggaran yang terjadi. Setelah itu analisis HAM dapat diperdalam. 2. Konsultasi dan membangun komunikasi antara kelompok ODHA dan populasi kunci dengan organisasi hukum/HAM. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan yang dialami oleh ODHA dan populasi kunci; mengembangkan rencana untuk mengatasi hambatan tersebut seraya mencari tahu praktik terbaik yang telah berjalan. Terkadang, kelompok ODHA dan populasi kunci memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai solusi atas persoalan hak asasi manusia yang ada dalam konteks HIV. Namun, tidak jarang kelompok ODHA dan populasi kunci memiliki keterbatasan dalam memformulasinya menjadi sebuah inisiatif hak asasi manusia ataupun strategi hukum. Konsultasi dan komunikasi ini menjembatani kedua belah pihak untuk mencari solusi yang ideal dan efektif. 3. Menghubungkan program HAM (potensial) ke program HIV. Contoh kasus: orang dengan HIV kerap didiskriminasi oleh petugas kesehatan. Maka, program HAM yang dapat diintegrasikan ke dalam program HIV berupa misalnya: pelatihan mengenai prinsip non-diskriminasi kepada petugas kesehatan, mengembangkan kebijakan non-diskriminasi di puskesmas atau rumah sakit, mengembangkan mekanisme pengaduan yang efektif dan imparsial untuk menegakkan kebijakan non-diskriminasi yang ada. 4. Kolaborasi, perluas, dan tingkatkan program HAM-HIV yang ada. Dengan tujuan mengoptimalkan pencapaian keberhasilan dan meminimalisir halangan HAM yang ada/akan muncul. Kolaborasi juga penting karena tidak setiap organisasi hukum/HAM memahami isu HIV secara mendalam, dan sebaliknya, tidak setiap kelompok ODHA dan populasi kunci menguasai hukum HAM baik nasional maupun internasional. Dengan demikian, menjaga komunikasi dan membangun kolaborasi yang intens dapat berkontribusi untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang sering muncul dalam konteks HIV. Bagaimana bentuk desain program HAM dan HIV? Setelah para pemangku kepentingan mengidentifikasi jenis intervensi yang akan/dapat dilakukan, tahap berikutnya adalah mendesain program HAM-HIV yang akan diimplementasi dengan tujuan mengatasi hambatan HAM. Berikut ini ada empat area program yang dapat dieksplor:2 1. Hukum dan kebijakan Jika terdapat peraturan perundang-undangan yang menghalangi keberlangsungan program HIV atau mendiskriminasi ODHA dan populasi kunci, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mereformasi peraturan atau kebijakan tersebut. Di banyak 2 Empat area ini diidentifikasi oleh Global Fund dengan mengadaptasi dari tujuh area yang diidentifikasi oleh UNAIDS. Briefing Paper: HIV, Hak Asasi Manusia, dan Hukum | LBH Masyarakat 2 negara, sudah ada peraturan perundang-undangan yang mendukung layanan HIV. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan. Terhadap persoalan ini, pendekatannya tentu berbeda. Di situasi seperti ini, penguatan kapasitas aparat penegak hukum mungkin menjadi opsi yang ideal. Contoh program hukum dan kebijakan HAM yang berhubungan dengan HIV: Mengkaji peraturan perundang-undangan yang dianggap menghalangi pemenuhan HAM ODHA dan populasi kunci, Menyusun draft peraturan/kebijakan alternatif versi masyarakat sipil atau ODHA dan populasi kunci dan melobi pemerintah untuk mengubah peraturan yang diskriminatif, Melakukan advokasi kebijakan melalui riset, analisis dan mendorong pemerintah untuk mengubah/mencabut peraturan/kebijakan yang diskriminatif, Membangun komunikasi aktif/kaukus dengan pemangku kepentingan kunci di sektor pemerintah seperti misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, dll. 2. Penguatan kapasitas dan pelatihan Penguatan kapasitas maupun pelatihan adalah bentuk umum dan paling lazim dari sebuah program HAM maupun HIV. Namun, yang perlu ditekankan adalah, ketika mendesain program penguatan kapasitas atau pelatihan, harus dipastikan bahwa pelatihan tidak boleh dipandang sebagai pelatihan semata dan menjadi formalitas pelaksanaan proyek. Seleksi peserta, jumlah peserta, kualitas narasumber, dan kedalaman materi yang dipelajari, harus diperhatikan secara sungguh-sungguh agar program pelatihan dapat membawa manfaat yang baik bagi peserta pelatihan. Contoh-contoh program penguatan kapasitas dan pelatihan antara lain: Pemberdayaan hukum bagi ODHA dan populasi kunci. Melalui program ini, ODHA dan populasi kunci akan didampingi dan diberdayakan agar mampu mengidentifikasi persoalan hukum dan HAM secara mandiri, memperjuangkan haknya tersebut secara efektif dan mampu melakukan gerakan advokasi mandiri untuk perubahan hukum/kebijakan/sosial. Pendidikan hukum dan HAM bagi ODHA dan populasi kunci. Program ini biasa disebut juga program literasi hukum atau ‘ketahui hak anda’. Misalnya: pelatihan mengenai mekanisme pengaduan dan pemulihan hak sehingga ODHA dan populasi kunci memahami dan dapat menggunakan jalur hukum yang ada untuk mengklaim haknya yang terlanggar. Membangun kepekaan aparat penegak hukum tentang HIV. Program ini juga bisa saja menjangkau para pembuat kebijakan atau anggota parlemen. Program ini bertujuan untuk mengenalkan dan menanamkan pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya peran hukum dan HAM dalam respons terhadap HIV. Dengan demikian, ketika mereka membuat kebijakan dan menegakkan hukum, ada keberpihakan yang jelas terhadap persoalan HAM di konteks HIV. Misalnya: pelatihan mengenai HIV dan penularannya kepada aparat penegak hukum, memfasilitasi diskusi berkala antara pembuat kebijakan dengan ODHA dan populasi kunci, mendiseminasi informasi seputar HAM dan HIV kepada anggota parlemen dan aparat penegak hukum. Pelatihan petugas kesehatan mengenai non-diskriminasi, hukum, dan HAM. Program ini didesain dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada petugas kesehatan mengenai HAM dan non-diskriminasi, mengurangi perilaku yang menstigma dan diskriminatif di lingkungan kesehatan/HIV, dan memastikan hak pasien atas konfidensialitas dan non-diskriminasi terpenuhi. Briefing Paper: HIV, Hak Asasi Manusia, dan Hukum | LBH Masyarakat 3 3. Akses terhadap keadilan. Dalam rangka hukum dan kebijakan dihormati dan dipatuhi bersama, penegakan hukum harus diterapkan secara adil dan tidak sewenang-wenang. Dan untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pemulihan atas hak yang terlanggar harus tersedia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas akses terhadap keadilan bagi ODHA dan populasi kunci. Contoh program yang mendukung ketersediaan akses terhadap keadilan adalah: bantuan hukum, paralegal komunitas, penyediaan informasi hukum, penyediaan konsultasi hukum, penyelesaian sengketa alternatif, litigasi strategis untuk mengubah peraturan yang diskriminatif atau melanggar HAM. Akses terhadap keadilan di sini juga bukan hanya harus tersedia saja, tetapi juga dapat dan mudah diakses oleh ODHA dan populasi kunci. Yang penting diketahui adalah aksesibilitas bukan persoalan jarak semata, namun mencakup persoalan dapat diakses secara ekonomi. Di samping itu, akses terhadap keadilan juga harus tersedia dengan kualitas yang baik. 4. Pemantauan. Guna memastikan program-program tersebut di atas berjalan dengan baik, perlu dilakukan pemantauan terhadap perkembangan dan jalannya program tersebut di atas. Contoh aktivitas pemantauan tersebut di antaranya: pemantauan terhadap penerimaan pengaduan ODHA dan populasi kunci ke badan publik, pemantauan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh ODHA dan populasi kunci, pembuatan database pelanggaran HAM yang dialami oleh ODHA dan populasi kunci, pengajuan laporan alternatif ke badan-badan HAM PBB. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Jl. Tebet Timur Dalam III No. 54A, Jakarta Selatan, Indonesia T. +62 21 830 54 50 | F. +62 21 8370 99 94 E. [email protected] | W. http://www.lbhmasyarakat.org | @LBHMasyarakat 4 Briefing Paper: HIV, Hak Asasi Manusia, dan Hukum | LBH Masyarakat