Perbandingan Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan
anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai
bangsa di dunia, termasuk di dalamnya negara Indonesia. Perdagangan
terhadap manusia meskipun sebagai kasus sudah demikian akrab terjadi di
masyarakat. Namun secara terminologis tampaknya belum banyak dipahami
orang.1
Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat
terbatas, hal ini dikarenakan informasi yang diperoleh di dalam masyarakat
mengenai trafficking masih rendah. Isu perdagangan anak dan perempuan
mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tatkala ESCAP (Komite
Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan
yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lain pada peringkat ketiga
atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 Secara rinci perdagangan
perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial di Indonesia menurut data
Polri mencapai 173 kasus yang dilaporkan dan 134 kasus selesai pada tahun
1999, pada tahun 2000 sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus dan pada
1
M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam
Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta. Hal. 3.
2
Ibid, hlm 21
1
tahun 2001 sebanyak 178 kasus dilaporkan dan 128 kasus bisa terselesaikan.3
Perdagangan manusia merupakan kejahatan yang keji terhadap HAM,
yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, beragam hak untuk tidak diperbudak dan
lainnya.
Bertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak di
berbagai negara, terutama negara-negara berkembang telah menjadi perhatian
masyarakat internasional terutama perserikatan bangsa-bangsa, Protocol To
Prevent, Suppress And Punish Trafficking in Persons, Especially Women And
Children, yang selanjutnya disebut sebagai Protocol Trafficking adalah salah
satu protokol tambahan dari Konvensi TOC (Transnational Organized Crime)
atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Palermo yang dihasilkan oleh PBB
dan merupakan instrument internasional yang sangat membantu dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan perdagangan orang, khususnya
perdagangan perempuan dan anak. Pasal perlindungan dalam Konvensi TOC
dinyatakan bahwa Bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan
manusia adalah:
1. Dalam kasus-kasus yang layak dan yang sejauh mana dimungkinkan di
bawah hukum nasional, setiap Negara Pihak harus melindungi privasi dan
identitas dari korban perdagangan manusia, termasuk salah satunya,
dengan cara menerapkan proses hukum yang berhubungan dengan
perdagangan.
3
Ibid, hlm 10
2
2. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum nasional atau sistem
administrasinya memuat langkah-langkah yang memberikan korban
perdagangan manusia hal-hal di bawah ini:
(a)
Informasi mengenai proses pengadilan dan administratif yang
relevan;
(b)
Bantuan yang memungkinkan bagi pandangan-pandangan dan
kekhawatiran-kekhawatiran mereka untuk bisa tersampaikan dan
dipertimbangkan pada tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutantuntutan kriminal melawan para pelanggar, namun tetap dalam
kerangka tidak merugikan hak terdakwa.
3. Setiap
Negara
Pihak
harus
mempertimbangkan
untuk
mengimplementasikan langkah-langkah pemulihan fisik, psikologi dan
sosial bagi korban perdagangan manusia, dalam kasus-kasus yang sesuai,
bekerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasiorganisasi lain yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya,
dan terutama dalam ketentuan-ketentuan:
(a) Tempat tinggal yang layak;
(b) Konseling dan informasi, terutama yang terkait dengan hak hukum
mereka, dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh
korban perdagangan mansusia;
(c) Bantuan medis, psikologi dan material; dan
(d) Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pelatihanpelatihan.
3
4. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, setiap Negara
Pihak harus mempertimbangkan umur, gender, dan kebutuhan-kebutuhan
khusus korban perdagangan manusia, terutama kebutuhan-kebutuhan
khusus anak-anak, termasuk didalamnya tempat tinggal, pendidikan dan
pengasuhan yang layak.
5. Setiap Negara Pihak harus berupaya keras untuk menjamin keselamatan
fisik korban perdagangan manusia ketika mereka berada dalam
wilayahnya.
6. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem hukum nasionalnya
memuat langkah-langkah yang menawarkan korban perdagangan manusia
kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita.
Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani serta meratifikasi
Konvensi beserta protokol tambahannya tersebut dengan Undang-undang No.
5 Tahun 2009 tentang pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime, sedangkan Undang-undang No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
merupakan undang-undang yang di bentuk
beberapa tahun sebelum
Indonesia meratifikasi ketentuan internasional tersebut, dengan demikian
maka perlu adanya harmonisasi antara ketentuan hukum internasional dengan
ketentuan yang ada di hukum nasional Indonesia dengan tetap menyesuaikan
dan memperhatikan isi dari ketentuan hukum nasional Indonesia.
4
Saat ini Indonesia sudah mempunyai UU PTPPO sebagai upaya untuk
memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada korban dan calon korban agar tidak menjadi korban. Namun
demikian pendefinisian trafficking dalam UU PTPPO masih harus
diperdebatkan. Karena dengan pemahaman itu, ada interpretasi yang berbeda
dengan protokol PBB.
Ada masalah lain dari UU PTPPO, tentang masalah akibat hukumnya.
Dimana orang-orang yang ‘mengajak’ seperti teman, tetangga, kakak atau
adiknya untuk bekerja (yang notabene orang-orang yang tidak tahu dan tidak
mencari keuntungan) malah akan terjerat sanksi. Padahal, banyak kasus
memperlihatkan orang-orang yang terlibat membantu praktik trafficking juga
"korban". Sebab, mereka benar-benar tidak tahu jika kegiatan yang mereka
lakukan bagian dari proses trafficking dan jika hal ini diimplementasikan
secara kaku, akan melenyapkan rasa keadilan. Ini antara lain terdapat dalam
UU PTPPO Pasal 11 yang menyatakan, orang yang membantu pelaksanaan
trafficking dihukum seberat pelaku utama (otak) trafficking. Menyangkut
tanggung jawab pelaku kepada korban, jika memperhatikan ketentuan Pasal
50 ayat (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 timbul masalah, karena yang
dapat dijatuhi pidana yang sifatnya badaniah (kurungan) hanyalah orang atau
manusia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pasal 1 ayat (4) Undangundang No. 21 Tahun 2007 menentukan bahwa yang dimaksud dengan setiap
orang tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi. Dengan
demikian, suatu kemustahilan jika korporasi akan dijatuhi pidana kurungan
5
pengganti, hal ini menunjukkan bahwa Undang-undang No. 21 Tahun 2007
mempunyai kelemahan dalam upaya memaksa korporasi untuk memenuhi
kewajibannya atas korban akibat dari tindak pidana perdagangan orang yang
telah dilakukannya. Di samping itu, juga menunjukkan adanya inkonsistensi
dalam perumusan subjek hukum tindak pidana perdagangan orang.
Tampaknya, pembentuk undang-undang sudah terpola dengan pemikiran
lama (seperti dalam KUHP) bahwa subjek hukum pidana adalah orang
perseorangan.
Mengingat pelaku tindak pidana perdagangan orang akan sangat
berpotensi bagi timbulnya korban, maka yang patut dipertanyakan: apakah
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah mengatur mengenai perlindungan
korban tindak pidana perdagangan orang? Karena dalam Pasal 43 Undangundang No. 21 Tahun 2007 telah disebutkan bahwa ketentuan mengenai
perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan
berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun
2007. Jika demikian halnya, maka yang perlu dipertanyakan lagi, apakah
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah cukup baik dalam mengatur
mengenai perlindungan korban.
UU PTPPO belum mengakomodasi perdagangan anak. UU ini tidak
mencantumkan definisi perdagangan anak, yang secara substansi berbeda
dengan perdagangan orang. Masuknya "cara" sebagai unsur tindak pidana
perdagangan anak menyebabkan beban pembuktian yang lebih berat bagi
6
pelaku. Jika cara yang digunakan tidak tercantum dalam UU, pelaku bisa
lepas dari jeratan hukum. Ini sama saja menjauh dari semangat awal
perlindungan khusus bagi anak korban trafficking.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana perbandingan pengaturan perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang PTPPO dibandingkan dengan Konvensi TOC (Transnational
Organized Crime).
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah Pengaturan Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
dibandingkan Dengan Konvensi TOC (Transnational Organized Crime)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
uraian
latar
belakang
masalah
dan
pokok-pokok
permasalahan sebagaimana telah disebutkan dalam perumusan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Pengaturan
Perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang
berdasarkan UU PTPPO dibandingkan dengan Konvensi TOC (Transnational
Organized Crime).
7
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan
pertimbangan khususnya para akademisi dalam upaya penyempurnaan
pengaturan mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia
dimasa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia.
2. Kegunaan Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan informasi
kepustakaan dibidang hukum yang berkaitan dengan bidang perdagangan
manusia di Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat digunakan para
akademisi dalam upaya pengkajian dan pengembangan ilmu hukum
pidana.
E. Kerangka Pemikiran
Upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare ) dapat diwujudkan melalui
kebijakan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan.
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini
menunjukkan kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan
kejahatan perdagangan orang, hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia
untuk menanggulanginya yaitu dengan meratifikasi konvensi Palermo dan
diaplikasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
8
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka pengaturan perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia harus
pula merupakan perwujudan ke arah tercapainya tujuan negara dengan
berdasarkan pada hukum internasional dengan tetap menyesuaikan dan
memperhatikan isi dari ketentuan hukum nasional Indonesia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam hal ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum Normatif sering pula disebut
sebagai penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian terhadap apa yang
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundangundangan atau norma dan kaidah khususnya dalam hal ini bagaimana
pengaturan
terhadap
perdagangan
manusia
secara
nasional
dan
internasional.4
2. Pendekatan Masalah
Penelitian tentang perbandingan pengaturan perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dengan Konvensi TOC (Transnational Organized
Crime) adalah penelitian hukum dengan mempergunakan cara pendekatan
yuridis. Pendekatan
4
yuridis
adalah
pendekatan
yang
memakai
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, 2009, hal. 127
9
kaidah-kaidah
serta
perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
3. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang yang digunakan adalah data
sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, yang berdasarkan kekuatan mengikatnya dibagi menjadi 3 (tiga):
a.
Bahan hukum primer yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang
bersifat mengikat, diantaranya adalah UU Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang Termasuk di dalamnya penjelasan dari
undang-undang tersebut, Konvensi TOC (Transnational Organized
Crime) atau konvensi Palermo.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang menjelaskan bahan hukum
primer terdiri dari hasil penelitian, pendapat para pakar/ahli, jurnal,
bahan pustaka, dan lain-lain
c.
Bahan hukum tersier berupa kamus hukum
5. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data penulis melakukan langkah-langkah melalui
identifikasi literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan literatur
yang relevan terhadap permasalahan. Penulis membaca, mempelajari dan
mengkaji buku-buku, dan bahan tulisan yang berkaitan dengan penelitian
yang diadakan.
10
6. Teknik analisis data
Teknik analisis data bertujuan menguraikan dan memecahkan masalah
yang berdasarkan data yang diperoleh. Analisis data yang digunakan
adalah analisis kualitatif dan komparatif yaitu dengan menginventarisir 2
(dua) permasalahan pokok yaitu terkait perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 dan Konvensi Palermo. Selanjutnya diantara
Pasal-Pasal tersebut dilakukan komparasi. Langkah-langkah tersebut
dimaksudkan supaya memperoleh jawaban atas rumusan masalah.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari 4 (empat) bab
Bab I Pendahuluan.
Berisi pendahuluan, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitiaan, kerangka pemikiran, metode penelitian
dan sistematika penulisan
Bab II tentang Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengaturan perlindungan hukum
mengenai tindak pidana perdagangan orang menurut UU No 21 Tahun
2007 dan Pengaturan Perlindungan hukum menurut Konvensi TOC
(Transnational Organized Crime) atau konvensi Palermo.
11
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan membahas mengenai persamaan dan perbedaan
pengaturan perlindungan hukum terhadap tindak pidana perdagangan
orang di Indonesia berdasarkan UU No 21 Tahun 2007 dibandingkan
dengan Pengaturan Perlindungan hukum menurut Konvensi Konvensi
TOC (Transnational Organized Crime) atau konvensi Palermo.
Bab IV Penutup mengemukakan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penelitian dan pembahasan serta dikemukakan pula mengenai
beberapa saran.
12
Download