didaktika islamika - Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

advertisement
1
JURNAL KEPENDIDIKAN DAN KEGURUAN
DIDAKTIKA
ISLAMIKA
2
DIDAKTIKA
ISLAMIKA
JURNAL KEPENDIDIKAN DAN KEGURUAN
ISSN 1411-5913
Vol. XII, No. 2, Desember 2011
Penerbit:
Jurusan Kependidikan Islam (KI)
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penanggung Jawab:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyunting/Redaktur Ahli:
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (UIN Jakarta)
Prof. Dr. Abuddin Nata, MA (UIN Jakarta)
Prof. Dr. Muhaimin, MA (UIN Malang)
Prof. Dr. Sutrisno, MA (UIN Yogyakarta)
Prof. Dr. Supiana, MA (UIN Bandung)
Fuad Fachruddin, Ph.D. (UIN Jakarta
Pemimpin Redaksi:
Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phill
Sekretaris Redaksi
Fauzan, MA
Dewan Redaksi
Dr. Faridal Arkam
Drs. H. Muarrif SAM, M.Pd
Dra. Eri Rosatria, M.Ag
Sekretariat:
Mi’raj, S.Pd.I
Iffah Zahrriani, S.Pd
Design Grafis:
Faza Design
Alamat:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl Ir. H. Juanda No 95 Ciputat Jakarta Selatan
Tlp./Fax. 021-7443328
Didaktika Islamika, Vol. IX No. 1, Juni, 2011
3
Salam Redaksi
Sejalan dengan berbagai kebijakan peningkatan mutu akademik,
keberadaan jurnal nampaknya semakin mendapat perhatian yang serius
khususnya di kalangan dosen. Kondisi ini yang mendasari pengelola Jurnal
Didaktika Islamika Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguran (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk memperluas bahasan yang tidak hanya dalam lingkup kependidikan,
tapi juga mencakup tema-tema keislaman dan kebudayaan, sebagaimana
tergambar dalam edisi sekarang ini.
Dalam edisi ini, pembahasan difokuskan pada tema tentang pendidikan
holistik. Ada sembilan artikel, pembahasan dimulai dengan pembahasan
tentang Menggagas Pendidikan Islam Holistik, satu kajian yang melihat
pendidikan secara utuh, baik dari kurikulum, implementasi pembelajaran,
bahkan keterlibatan pihak-pihak dalam pendidikan. Tema selanjutnya,
holistika pemikiran pendidikan: upaya membangun manusia berkarakter.
Tema kedua ini lebih menitikberatkan pada pemahaman bahwa pendidikan
harus dipahami sebagai satu kesatuan utuh, sehingga menjadi sistem yang
saling keberhantungan. Bahkan pada tema selanjutnya, Taufiqurrahman
melihat bahwa pendidikan holistik harus dilakukan sejak usia dini (AUD).
Pembahasan dirangkai dalam judul artikel: pendidikan holistik anak usia
dini. Tema selanjutnya membahas tentang integrasi multidisipliner model
twin tower: upaya pengembangan kurikulum IAIN menuju UIN Sunan
Ampel. Tema lainnya tentang integrated curriculum coba dikaji oleh Fauzan.
Pembahasan lebih difokuskan pada peranan kurikulum yang begitu sentral,
keberadaannya sangat berpengaruh dalam menghadapi persoalan global.
Tema lain yang masih terkait juga dibahas tentang nilai-nilai humanisme
Islam. Edisi ini ditutup dengan tulisan Zahruddin tentang perlunya
perguruan tinggi mengembangkan entrepreneurship.
Akhirnya, semoga sajian tulisan edisi ini tetap menarik untuk disimak
dan dibaca.
Redaksi
4
Daftar Isi
135
152
169
185
199
214
MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK
Oleh Abuddin Nata
HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN: Upaya Membangun
Manusia Berkarakter
Oleh Agus Zaenul Fitri
PENDIDIKAN HOLISTIK ANAK USIA DINI
Oleh Taufiqurrahman
MODEL PEMBELAJARAN TERPADU; Alternatif Penerapan
Pendidikan Holistik
Oleh Adri Efferi
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK
Oleh Jejen Musfah
INTEGRASI MULTIDISIPLINER MODEL TWIN TOWER: Upaya
Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan
Ampel
230
Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati
INTEGRATED CURRICULUM: Upaya Alternatif Menghadapi
Problematika Masyarakat
240
Oleh Fauzan
NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM :IMPLIKASINYA DALAM
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN
256
Oleh Musthofa
PERLUNYA PERGURUAN TINGGI MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP
Oleh Zahruddin
Didaktika Islamika, Vol. IX No. 1, Juni, 2011
135
MENGGAGAS
PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK
Oleh Abuddin Nata
Abstracts
Holistic education to develop around 1960-1970 as a result of
widespread concern for the ecological crisis, the impact of nuclear,
chemical and radiation pollution, destruction of families, loss of
traditional society, the breakdown of traditional values and institutions.
The development of a holistic educational ideas began to experience
significant progress occurs when the first conference held national
holistic education organized by the University of California in July 1979,
and since it is a holistic education was introduced and practiced in
various educational institutions in Indonesia, with a different title.
Holistic Education-Comprehensive hopefully could be an alternative to
solve the various problems of education, especially in Indonesia today.
Key word: Holistic Education
Pendahuluan
Terdapat sejumlah masalah yang melatar-belakangi perlunya
menggagas pendidikan Islam Holistik-Komprehensif sebagai
berikut. Pertama, sebagai dampak era globalisasi yang terjadi saat
ini telah terjadi proses integrasi ekonomi, fragmentasi politik, high
technology, interdependensi dan new colonization in culture. Kedua,
sebagai dampak dari budaya masyarakat global dan masyarakat
urban yang cenderung ingin serba cepat, instan, rasional, efisien,
pragmatis, hedonis, materialistik, maka telah terjadi tingkat
Guru Besar pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan
Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
136
Abuddin Nata
persaingan dalam memperebutkan berbagai kebuthan hidup yang makin
tinggi. Ketiga, sebagai akibat dari proses pembangunan yang lebih
menekankan segi-segi materi dan hal-hal yang bersifat kebutuhan jangka
pendek telah mendorong lahirnya berbagai kegiatan usaha di bidang
industri dan jasa yang meningkat. Keempat, sebagai akibat dari sulitnya
mendapatkan berbagai kebutuhan hidup serta adanya budaya yang kurang
sehat, yakni budaya hipokrit yang menghalalkan segala cara mengakibatkan
manusia harus bersifat bohong atau bersikap mendua, yakni sebuah
penampilan yang berbeda-beda dalam menyikapi sebuah masalah. Kelima,
sebagai akibat dari suasana kehidupan yang makin individualistik dan
banyaknya hal-hal pribadi yang bersifat rahasia dan berbahaya jika
diketahui orang lain, menyebabkan timbulnya sikap hidup menyendiri dan
perasaan terasing dan terisolir dari sebuah kehidupan. Keenam, munculnya
gejala perasaan hidup yang kurang bermakna (loose of spiritual vision),
sebagai akibat dari pandangan hidup yang terlampau menekankan aspek
materi yang tidak pernah ada batas kepuasannya. Ketujuh, pelaksanaan
pendidikan yang c enderung mengutamakan aspek kognitif dan
meninggalkan aspek afektif dan psikomotorik; pendidikan yang terlampau
mengutamakan kecerdasan intelektual, keterampilan dan pancaindera, dan
kurang memperhatikan kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan
berbagai kecerdasan lainnya. Kedelapan, bahwa dalam merancang dan
merumuskan konsep pendidikan kurang melibatkan berbagai pendekatan
yang bersifat holistik, terutama pendekatan agama dan filsafat.
Dengan mengemukakan beberapa alasan tersebut di atas, maka
gagasan pendidikan yang bersifat Holistik-Komprehensif yang berdasarkan
pada pendekatan agama dan filsafat penting dilakukan. Hal yang demikian
terjadi, karena hanya agama dan filsafatlah yang memiliki pandangan yang
Holistik-Komprehensif. Untuk itu, tulisan ini akan diarahkan pada upaya
menggagas pendidikan yang holistik dengan pendekatan agama dan filsafat
dengan tidak mengabaikan pendekatan disiplin ilmu lainnya. Dengan
demikian, tulisan ini selain akan mengemukakan pengertian pendidikan
holistik dengan pendekatan agama dan filsafat, juga akan mengemukakan
tentang sejarah pendidikan holistik dalam Islam, akar-akar yang menjadi
landasan pendidikan holistik, dan selanjutnya dikemukakan tentang
gagasan mengenai desain pendidikan holistik dengan pendekatan agama
dan filsafat.
Pengertian Pendidikan Holistik-Komprehensif
Pendidikan yang Holistik-Komprehensif adalah pendidikan yang
bertujuan memberikan kebebasan peserta didik untuk mengembangkan
diri tidak saja secara intelektual, tetapi juga memfasilitasi pekembangan
jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang
berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa, mewujudkan
manusia yang merdeka sebagaimana diungkapkan Ki Hadjar Dewantara,
yaitu manusia utuh merdeka yang hidup lahir batinnya tidak tergantung
kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.1 Sedangkan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
137
pendidikan Holistik-Komprehensif adalah pendidikan holistik yang
berbasis pada multi pendekatan, seperti pendekatan psikologi, pendekatan
karakter, pendekatan sosial, emosional, spiritual, intelektual dan lain
sebagainya. Pendidikan Holistik-Komprehensif juga pendidikan holistik
yang terjadi pada seluruh aspek atau komponen pendidikan:visi, misi,
tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu, Indonesia Heritage Foundation di Jakarta
misalnya mempelopori praktek model pendidikan holistik yang berbasis
karakter untuk level Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD).
Model pendidikan ini menerapkan teori-teori sosial, emosi, kognitif, fisik,
moral dan spiritual. Model ini diharapkan dapat memampukan peserta
didik berkembang sebagai individu yang terintegrasi dengan baik secara
spiritual, intelektual, sosial, fisik, dan emosi yang berpikir kreatif secara
manditi, dan bertanggung jawab. 2 Pendidikan holistik yang berbasis
karakter ini bertujuan untuk membangun seluruh dimensi manusia dengan
pendekatan pada pengamalan belajar yang menyenangkan dan inspiratif
untuk peserta didik. Guru akan diperlengkaki dengan pengetahuan teoritis
dan praktis mengenai pendidikan yang patut dan menyenangkan,
pembelajaran yang ramah otak, kecerdasan emosi, komunikasi efektif,
penerapan pendidikan sembilan pilar karakter secara eksplisit, yaitu
mengetahui, merasakan, dan melakukan, kec erdasan majemuk,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis
pertanyaan, manajemen kelas efektif, pembelajaran siswa aktif, whole language, aplikasi modul pendidikan holistik berbasis karakter, aplikasi modul
karakter di ruang kelas, teknik bercerita, kreativitas dan lain sebagainya.3
Pendidikan Holistik-Komprehensif adalah pendidikan yang bertolak
dari filsafat tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam jagat raya, ilmu
pengetahuan dan akhlak mulia yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Hasil kajian terhadap semua aspek ini selanjutnya digunakan untuk
merumuskan berbagai komponen pendidikan, yakni visi, misi, tujuan,
kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, peserta didik, proses belajar
mengajar, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, lingkungan,
kerjasama dan penilaian. Dengan demikian pendidikan HolistikKomprehensif memiliki ciri-ciri dan corak yang bersifat reflektif, integrasi
kurikulum, mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan,
pengembangan sumber daya manusia(SDM), dan memanfaatkan seluruh
pendekatan dan metode pembekajaran yang memadukan antara yang
berbasis pada guru dengan yang berbasis pada peserta didik.
Sejarah Pendidikan Holistik
Pendidikan holistik lahir sebagai respon positif dan bijaksana atas
krisis ekologi, budaya dan tantangan moral abad ini, yang bertujuan untuk
mendorong kaum muda sebagai generasi penerus agar dapat hidup dengan
bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling
pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan dalam
pembangunan masyarakat.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
138
Abuddin Nata
Pendidikan holistik berkembang sekitar tahun 1960-1970 sebagai akibat
dari keprihatinan merebaknya krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia
dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional,
hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Namun sampai saat
ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke-19 yang
menekankan pada reductionism (pembelajaran yang terkotak-kotak), linear
thinking (pembelajaran non sistemik), dan positivism (pembelajaran di mana
fisik yang diutamakan) yang membuat siswa sulit untuk memahami
relevansi dan nilai (meaning relevance dan values) antara yang dipelajari di
sekolah dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu sangat dibutuhkan
adanya sistem pendidikan yang terpusat pada peserta didik yang dibangun
berdasarkan asumsi komunikatif, menyeluruh dan demi pemenuhan jati
diri peserta didik dan guru. Sistem pendidikan holistik inilah yang mampu
memenuhi cita-cita pendidikan ini.4
Beberapa tokoh klasik yang dapat dianggap sebagai perintis pendidikan
holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralp Waldo Emerson, Henry Thoreau,
Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer.
Selain itu terdapat pula tokoh lain yang dianggap sebagai pendukung
pendidikan holistik, yaitu: Ridolf Steiner, Maria Montessori, Francis Farker,
John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison, Kieran Egan, Howard
Gardner, Jiddu Khrisnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul
Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.5
Gagasan dan pemikiran inti dari para perintis pendidikan holistik
sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural
pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk
menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik.
Perkembangan gagasan pendidikan holistik mulai mengalami
kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama
pendidikan holistik nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan
The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun
kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan
tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, yaitu akronim dari
relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada
umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing
(menulis), reading (membaca), dan arithmetic (menghitung), yang
selanjutnya di Indonesia dikenal dengan sebutan ’calistung” (membaca,
menulis dan berhitung.
Dari semenjak itu pendidikan holistik mulai diperkenalkan dan
dipraktekkan di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, dengan sebutan
yang berbeda-beda. Namun telah seberapa jauh pendidikan holistik dikenal
dan dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut belum ada data yang dapat
dijadikan pegangan. Untuk sebuah penelitian dalam rangka untuk
mengetahui seberapa jauh para pengelola lembaga pendidikan telah
mengenal konsep pendidikan holistik, serta implementasinya, serta
bagaimana perbedaannya dengan lembaga pendidikan yang belum
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
139
menerapkan konsep pendidikan holistik, serta apa saja faktor-faktor
pendukung dan penghambatnya, nampaknya perlu dijadikan obyek
penelitian tersebut. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditawarkan sebuah
strategi yang efektif untuk mendukung pelaksanaan pendidikan holistik
tersebut.
Akar-akar Landasan Pendidikan Holistik
Pendidikan Holistik-Komprehensif sebagaimana dikemukakan di atas,
memiliki landasan normatif, filosofis, psikologis, sosiologis, epistimologis
dan historis. Beberapa landasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, secara normatif pendidikan Holistik-Komprehensif dapat
dijumpai dalam berbagai ajaran agama yang berdasarkan wahyu yang
diturunkan Tuhan, serta penjelasannya yang diberikan para nabi. Di dalam
kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu (Q.S. al-Baqarah [2]:208); Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (Q.S. Saba’ [34]:28). Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata
kaaffah yang diartikan seluruhnya, yang mengandung arti seluruh ajaran
Islam, yakni dimensi akidah, ibadah, muamalah; atau dimensi iman, Islam
dan Ihsan, atau dimensi teologi, ritual dan filosofis, dan juga memeluk Islam bukan hanya ucapan, tetapi juga keyakinan dan perbuatan. Selain itu,
di dalam al-Qur ’an juga terdapat istilah insan6 yang mengacu kepada
manusia selain pada dimensi proses kejadiannya, juga mengacu kepada
manusia sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual
dan emosional; istilah al-naas7 yang mengacu kepada manusia sebagai
makluk sosial; dan al-basyar8 yang mengacu kepada manusia sebagai
makhluk biologis yang memiliki fisik dan pancaindera. Selanjutnya di dalam
hadisnya, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak (hanya) akan
melihat rupamu, melainkan juga pada hati dan perbuatanmu (H.R. Baihaqi);
Setiap anak yang dilahirkan memiliki fithrah (rasa ingin tahu (curiosity),
rasa suka pada kebaikan (etika) dan rasa keindahan (estetika). Perpaduan
antara ilmu, etika dan keindahan itulah yang akan membentuk manusia
yang cerdas yang dilandasi dengan nilai akhlak dan kelembutan hati.9
Kedua, akar landasan pendidikan Holistik-Komprehensif secara
filosofis dapat dijumpai pada penjelasan dari para filosof sejak zaman
Yunani Kuno, Filosof Muslim hingga saat ini, yang mengemukakan tentang
jiwa manusia secara utuh. Al-Farabi misalnya, mengatakan bahwa jiwa
manusia memiliti tiga daya, yaitu daya al-muharrikah (makan, memelihara
dan berkembang), daya al-mudrikah (merasa dan imaginasi), dan daya alnathiqah (akal praktis dan akal teoritis). Akal teoritis ini terbagi tiga, yaitu
akal potensial yang baru mempunyai potensi berfikir dalam arti
melepaskan arti-arti atau bentuk dari materinya; akal aktual yang telah
dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
140
Abuddin Nata
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk
potensi, tetapi dalam bentuk aktuil, dan akal mustafad yang telah dapat
menangkap bentuk semata-mata. Kalau akal aktual hanya dapat
menangkap arti terlepas dari materi, maka akal mustafad telah sanggup
menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata ini berlainan dengan
al-ma’qulat al-mujarrodah (arti yang terlepas dari materi), tidak pernah
berada dalam materi untuk dapat melepaskan dari materi. Bentuk sematamata berada tanpa materi seperti akal yang sepuluh dan Tuhan.10 Informasi
tentang keutuhan jiwa manusia dari al-Farabi lebih lanjut mencapai
kesempurnaannya pada Ibn Sina. Menurut filosof yang disebut terakhir
ini, bahwa jiwa terbagi tiga macam, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah) yang memiliki daya makan, tumbuh, dan berkembang biak;
jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki daya gerak dan
menangkap, yang terdiri dari menangkap dari luar dengan pancaindera,
dan menangkap dari luar yang mengggunakan indera bersama
(commonsense), representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh
indera bersama, imajinasi yang menyusun apa yang disimpan dalam
representasi, estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas
dari materinya, dan rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima oleh estimasi; dan jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang memiliki
dua daya, yaitu al-amilah yang hubungannya dengan badan; dan teoritis
(al-’alimah) yang hubungannya dengan hal-hal abstrak yang memiliki
tingkatan akal materi (al-ql al-hayulani) yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit; al-aql bi almalakah yang telah dilatih untuk berfikir hal-hal abstrak; akal aktual (alaql bi al-fi’i) yang telah dapat beerfikir tentang hal-hal abstrak, dan akal
mustafad (al-aql al-mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang
hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih
begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal
yang serupa ini, akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif.11
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada diri manusia terdapat
potensi atau daya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Jiwa tumbuhtumbuhan berkaitan dengan potensi yang bersifat jasmani dan
kecenderungannya, jiwa binatang yang berkaitan dengan fisik dan hal-hal
yang bersifat hedonistik, syahwat dan ghadab, dan jiwa manusia yang
berkaitan dengan hal-hal yang abstrak dan nilai-nilai spiritual. Sifat
seseorang tergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa tersebut
yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berkuasa pada dirinya, maka manusia itu menyerupai binatang. Tetapi
jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang
tersebut dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Dalam
hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang
berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat
dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa
manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha menc apai
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
141
kesempurnaan.12
Landasan psikologis ini juga dapat dijumpai pada teori multiple
intelegence yang berasal dari Howard Gardner. Menurunya, bahwa manusia
memiliki kecerdasan linguistik, logika matematika, spasial, musik, kinestetik
jasmaniah, interpersonal, intrapersonal dan naturalis.13 Seluruh kecerdasan
ini ada pada manusia dengan tingkat konfigurasi yang berbeda-beda. Jika
yang menonjol kecerdasan linguistik, maka orang tersebut akan menjadi
ahli bahasa, sastrawan atau penyair. Jika yang menonjol kecerdasan
matematika, maka orang tersebut akan menjadi ahli akuntansi; jika yang
menonjol kecerdasan spasial, maka orang tersebut akan menjadi ahli desain
tata ruang; jika yang menonjol kecerdasan musik, maka orang tersebut akan
menjadi seniman ahli musik; jika yang menonjol kecerdasan kinestetik
jasmaniah, maka orang tersebut akan menjadi olahragawan profesional
yang dapat menggerakan anggota fisiknya dengan mudah; jika yang
menonjol kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, maka orang tersebut
akan menjadi orang yang mampu memenej dirinya dan orang lain, sehingga
ia dapat menjadi orang yang ahli dalam membangun komunikasi.
Pendidikan yang holistik harus mampu memberdayakan seluruh potensi
ini dengan memberikan porsi yang lebih besar pada kecerdasan yang paling menonjol.
Dewasa ini berbagai kecerdasan tersebut telah diteliti secara seksama
hingga amat detail, dan hasil penelitian tersebut diteliti lagi aplikasinya
dalam bentuk eksperimen (penelitian terapan), hingga menghasilkan
konsep, desain dan kontruksi tentang cara-cara memberdayakan berbagai
kecerdasan tersebut. Cara-cara tersebut dipadukan dengan bentuk teknologi
atau alat-alat permainan, hingga lahirlah industri alat mainan anak-anak
yang terkait dengan upaya pengembangan berbagai kecerdasan tersebut,
misalnya ada alat mainan yang melatih kecerdasan matematika seperti
mainan tentang hitungan; ada alat mainan yang melatih kecerdasan spasial,
seperti mainan tentang menyusun balok; ada alat mainan yang melatih
kecerdasan linguistik seperti mainan tentang nama-nama buah-buahan
dalam bahasa Inggris, demikian seterusnya. Dengan demikian adanya
berbagai kecerdasan tersebut telah membuka lapangan kerja yang luas,
dan mendatangkan keuntungan yang luar biasa.
Selanjutnya landasan psikologis bagi pendidikan HolistikKomprehensif juga dapat digali pada teori yang terdapat pada psikologi
belajar. Dalam hubungan ini, Gagne, misalnya berkata: Learning is a change
in human disposition or capability, which can be retrained, and which is not simply ascrible to the process of growth. Artinya belajar adalah merubah atau
membina kemampuan manusia yang dapat dilatih yang proses
pertumbuhannya tidak dapat digambarkan secara sederhana.14 Berkaitan
dengan ini Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt mengatakan tentang adanya
tiga rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme dan Cognitive Gestalt Field. Di dalam rumpun teori disiplin mental ini ada teori
disiplin mental theistik, disiplin mental humanistik, naturalisme dan
apresepsi. Selanjutnya dari rumpun teori belajar behaviorisme muncul teori
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
142
Abuddin Nata
S-R Bond (hubungan stimulus dan respon), conditioning (penciptaan kondisi),
dan reinforcement (pemberian dorongan). Sedangkan dari rumpun teori
Cognitive Gestalt Field lahir teori insight yang mengatakan, bahwa belajar
adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau
mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu
mengubah cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam
lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat
bahwa belajar merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif
dan kreatif. Pemahamn atau insight merupakan citra dari atau perasaan
tentang pola-pola atau hubungan.15
Adanya berbagai teori belajar ini dapat digunakan sebagai landasan
bagi perumusan konsep pendidikan Holistik-Komprehensif dari segi proses
belajar mengajar. Yakni dalam mengajar tersebut seseorang dapat
mengkombinasikan tentang berbagai teori tersebut sesuai dengan tujuan
dan bahan pelajaran yang akan diajarkan, atau situasi dan pengalaman
belajar yang akan dilahirkan. Berbagai metode mengajar dengan cara
ceramah, bimbingan dan keteladanan misalnya dapat dikombinasikan
dengan diskusi, pemecahan masalah, eksperimen, penugasan, kerjasama
kelompok, belajar mengajar berbasis pada situasi riil yang dihadapi (contextual teaching and learning).
Pendidikan Holistik-Komprehensif juga dapat dibangun dari tiga teori
perilaku yang dikembangkan Benyamin S. Bloom dan kawan-kawannya
dengan nama The Taxonomy of Educational Objectives, yaitu taksonomi tujuan
pendidikan. Bloom dan kawan-kawan berpendapat bahwa tujuan
pendidikan/pengajaran dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (matra,
domain, bidang), yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah
psikomotorik. Di dalam ranah kognitif tersebut terdapat tingkatan
kemampuan yang terdiri dari (1) mengetahui (to know), (2) memahami (to
understand), (3) menerapkan (to aplicate), (4) menganalisa (to analysis), (5)
menyimpulkan (to concluse), dan (6) mengevaluasi (to evaluate). Sedangkan
ranah afektif terdiri dari kemampuan (1) kemauan menerima (receiving);(2)
kemauan menanggapi (responding); (3) berkeyakinan (valuing); (4)
penerapan karya (organisation), dan (5) ketekunan dan ketelitian (characterization by a value complex). Selanjutnya di dalam ranah psikomotorik
terdapat kemampuan (1) persepsi (perception); (2) kesiapan melakukan
sesuatu pekerjaan (set); (3) mekanisme (mechanisme); (4) respons terbimbing
(guide response); (5) kemahiran (complekx overt response); (6) adaptasi; dan
(7) originasi (origination).16
Di dalam pendidikan Holistik-Komprehensif, ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik dengan berbagai tingkatan kemampuannya itu harus
dikembangkan secara seimbang dan terpadu, sehingga tidak hanya
melahirkan manusia yang dapat memahami sesuatu, melainkan juga dapat
menghayati dan mengamalkannya secara baik. Hal yang demikian penting
dilakukan, karena pada setiap mata pelajaran ketiga aspek tersebut
terdapat di dalamnya. Pada pelajaran fikih ibadah misalnya, seorang anak
bukan hanya diajarkan tentang dalil-dalil yang berkaitan dengan ibadah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
143
tersebut, melainkan ada keinginan yang kuat untuk mengamalkannya, serta
dapat mempraktekkannya dan memberi pengaruh bagi kehidupannya.
Selanjutnya pendidikan yang holistik dan komprhensif juga
didasarkan pada teori perilaku yang dikembangkan oleh Maslow,
MacClelland, dan McGregor. Menurut Maslow bahwa perilaku manusia
dipengaruhi oleh berbagai motivasi yang terdapat dalam dirinya, yaitu
motivasi (1) aktualisasi diri; (2) penghargaan (status, titel, simbol-simbol,
promosi), (3) pengakuan sosial (menjadi pimpinan); (4) keamanan (jaminan
masa pensiun, jaminan kecelakaan dan sakit); dan (5) kebutuhan fisiologis
(gaji, upah, tunjangan, honorarium, perumahan dan sebagainya.
Selanjutnya dalam pandangan David McClelland, bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk beprestasi di atas kemampuan yang dimiliki orang lain
yang selanjutnya dikenal dengan virus n-Ach (need for achievement).
Sementara itu dalam teoi McGregor bahwa manusia terbagi ke dalam tipe
X dan tipe Y. Pada tipe X dikatakan, bahwa sebagian besar manusia lebih
suka diperintah; dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab dan
menginginkan kesamaan atas segalanya, dan karenanya manusia yang
demikian itu perlu diawasi. Sementara itu teori Y berpendapat, bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk berkreativitas, motivasinya tidak
hanya yang bersifat fisiologis (materi), melainkan lebih tinggi dari itu.
Manusia yang demikian itu akan memiliki kemauan dan inisiatif untuk
bekerja secara produktif, dan karenanya tidak perlu diawasi.17
Adanya berbagai motivasi yang dimiliki manusia itu dapat digunakan
sebagai pintu masuk dalam melakukan pembinaan dan pengembangan
sumber daya manusia (SDM) dalam kegiatan pendidikan, yakni dalam
membina para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, serta dalam
memotivasi peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, serta dalam
meraih berbagai prestasi dalam kegiatan pertandingan, dan sebagainya.
Berbagai motivasi tersebut dapat digunakan secara utuh, yakni tidak hanya
menggunakan motivasi yang bersifat fisiologis, melainkan juga motivasi
yang bersifat psikologis seperti aktualisasi diri, penghargaan, dan
sebagainya. Dengan cara demikian, akan dapat dihasilkan sebuah metode
dan pendekatan yang holistik dalam kegiatan belajar mengajar, dan
karenanya tidak akan membosankan para peserta didik.
Ketiga, pendidikan Holistik-Komprehensif dapat menggunakan
landasan sosiologis, yaitu sebuah ilmu yang di dalamnya membahas tentang
sekumpulan manusia yang berada di sebuah teritori tertentu yang memiliki
tujuan dan cita-cita bersama, serta berinteraksi dan berkomunikasi antara
satu dan lainnya. Selain itu di dalam sosiologi juga dibahas tentang adanya
stratifikasi dan struktur sosial, nilai-nilai, tradisi, budaya, agama, tingkat
pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat, kepemimpinan, integrasi
dan konflik, pranata sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, keadaan iklim
cuaca, tingkat kesuburan tanah, keadaan geografis berupa daratan dan
lautan, tingkat kepadatan penduduk, jalur transportasi, berbagai peralatan
komunikasi, dan sebagainya. Berbagai informasi yang diberikan ilmu
sosiologi yang demikian itu harus dipertimbangkan dalam merancang
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
144
Abuddin Nata
pendidikan yang Holistik-Komprehensif, terutama dalam merumuskan visi,
misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana,
pembiayaan, dan lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian, maka
pendidikan tidak akan kehilangan makna dan orientasinya dalam
mengembangkan masyarakat.18
Keempat, pendidikan Holistik-Komprehensif juga dapat menggunakan
landasan kultural, yaitu landasan yang melihat bahwa kehidupan manusia
ditentukan oleh sistem budaya yang dianutnya, yakni nilai-nilai yang
dianggap luhur, teruji, dan ampuh, yang selanjutnya secara selektif
dijadikan sebagai acuan, referensi, atau blue print dalam mengahapi dan
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Nilai-nilai tersebut ada di
dalam mindset atau pola pikir seseorang yang tertanam kuat dan
mempribadi dalam karakter hidupnya. Nilai-nilai budaya tersebut ada yang
terkait dengan masalah komunikasi dan interaksi, hubungan orang tua dan
anak, rakyat dan pimpinan, peribadatan, transaksi jual beli, hubungan
kekeluargaan, perkawinan, bertutur kata, berpakaian, penghargaan
terhadap orang lain, toleransi, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya tersebut
ada yang bersifat seragam (homogeen) sebagaimana yang dijumpai pada
masyarakat agraris di pedesaan dan ada pula yang bersifat aneka ragam
(heterogeen) sebagaimana terlihat pada masyarakat perkotaan. Selan itu
nilai-nilai budaya tersebut ada yang didominasi oleh keyakinan keagamaan
tertentu, seperti nilai budaya yang berkembang di pesantren di pedesaan,
atau nilai budaya yang berkembang di kalangan gereja; dan ada pula nilainilai budaya yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu, seperti ideologi
komunis dan kapitalis; dan ada pula nilai-nilai budaya yang dipengaruhi
oleh filsafat hidup tertentu, seperti filsafat pragmatisme, kapitalisme,
hedonisme, liberalisme, humanisme, egalitarianisme, dan sebagainya. 19
Selain itu nilai-nilai budaya tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan
informasi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Dengan adanya landasan kultural tersebut, maka pendidikan HolistikKomprehensif akan bersikap bijaksana, adil dan arif, yakni
memperlakukan dan menghargai nilai-nilai budaya tersebut sebagai sebuah
kekayaan yang dapat membangun kekuatan dan identitas masyarakat, serta
akan menjamin stabilitas masyarakat yang dinamis. Dengan landasan
kultural ini dapat dikembangkan konsep pendidikan yang berbasis
multikultural, yaitu pendidikan yang menghargai adanya perbedaan
budaya di masyarakat, dan menggunakannya sebagai dasar bagi
pengembangan setiap anggota masyarakat. Dengan cara demikian, maka
berbagai potensi yang ada di masyarakat akan dapat dibangun dan
diberdayakan, yang pada gilirannya akan memperkuat ketahanan
masyarakat dan negara.
Kelima, pendidikan Holistik-Komprehensif dapat pula menggunakan
landasan filsafat keilmuan, yaitu sebuah filsafat yang mengkaji tentang
dimensi ontologi (sumber ilmu), epistimologi (cara dan metode dalam
mengembangkan ilmu), serta aksiologi (cara memanfaatkan ilmu).
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
145
Ontologi Barat, memandang bahwa sumber ilmu terdiri dari akal, phenomena sosial dan fenomena alam. Sedangkan dalam Islam, sumber ilmu
selain akal, phenomena sosial dan phenomena alam, juga wahyu dan intuisi.
Selanjutnya epistimologi Barat memandang, bahwa yang dinamakan ilmu
hanyalah yang dihasilkan berdasarkan riset empiris, eksperimen dan logika
yang bebas, yang selanjutnya menghasilkan ilmu sosial, sains dan filsafat
yang liberal. Dalam riset tersebut hanya menggunakan akal dan
pancaindera, sehingga yang disebut ilmu adalah yang masuk akal, yang
dapat dihitung, diprediksi, dan diobservasi dengan menggunakan
pancaindera dan berbagai peralatan yang bersifat fisik.
Epistimologi Barat tidak mengakui adanya hal-hal yang bersifat
methaphisik, wahyu dan intuisi, dan tidak pula mengakui adanya
hubungan di antara ilmu dengan wahyu. Ilmu dalam pandangan Barat
terpisah dan tidak ada hubungannya dengan agama, dan karenanya
bersifat dikhotomis. Ilmu di Barat bersifat empiris, positivisme dan berdasar
pada pandangan antrhopo-centris. Hal ini berbeda dengan pandangan Islam yang melihat bahwa antara hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik
terdapat hubungan yang erat. Islam memandang bahwa yang ada (wujud)
tidaklah mesti yang dapat dilihat oleh mata kepala, melainkan juga oleh
mata hati, atau mata batin. Islam memandang, bahwa tanpa ada yang
bersifat metaphisic (batin), maka yang bersifat physic (lahir) tidak dapat
dijelaskan tentang asal usul dan akhir perjalanannya. Islam memandang
bahwa yang disebut ilmu bukan hanya ilmu sosial, sains dan filsafat,
melainkan juga ilmu agama dan ma’rifah. Berbagai ilmu tersebut saling
berhubungan antara satu dan lainnya, karena seluruh ilmu tersebut
menggunakan sumber yang diciptakan Allah SWT, dan karenanya semua
itu pada hakikatnya berasal dari Tuhan.
Aksiologi Barat memandang, bahwa semua itu adalah netral dan
karenanya dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak manusia. Ilmu
dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan, terserah manusia.
Sedangkan dalam pandangan Islam, bahwa ilmu pengetahuan (sains)
bersifat netral dari segi ontologi dan epistimologinya, sedangkan dari segi
penggunaannya harus didasarkan pada petunjuk Tuhan, sehingga ilmu
tersebut tidak disalah-gunakan. Sedangkan ilmu sosial, filsafat, ilmu agama
dan ma’rifat, baik pada dataran ontologi, epistimologi dan aksiologinya
tidak netral, karena ilmu-ilmu yang disebutkan terakhir ini berkaitan erat
dengan perilaku manusia dan keyakinan yang antara satu dan lainnya
tidaklah sama.
Dalam mengembangkan konsep pendidikan Holistik-Komprehensif
pandangan keilmuan yang integrated dari ajaran Islam itulah yang harus
dijadikan landasan, terutama dalam mengkontruksi dan mengembangkan
kurikulum.
Keenam, pendidikan yang Holistik-Komprehensif juga dapat
menggunakan landasan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), yaitu manajemen yang melihat bahwa seluruh aspek yang terkait
dengan fungsi manajemen, yakni planning, organizing, actuating, controling,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
146
Abuddin Nata
supervising, evaluating, dan revicing sebagai suatu kesatuan yang saling
berkaitan, antara strength, weakness, opportunity dan threat harus saling
berkaitan dalam mendukung lahirnya sebuah rencana pengembangan.
Selain itu dalam manajemen mutu ini juga harus melihat pelanggan sebagai
titik sentral yang harus mendapatkan perhatian, baik pelanggan internal
maupun pelanggan eksternal. Penilaian terhadap sesuatu yang bermutu
bukan hanya dari segi hasilnya saja, melainlan juga input, proses, kemasan,
pemasaran, pelayanan, penyajian, pasc a penggunaan produk dan
sebagainya. Berbagai kekurangan, kritik dan saran yang diajukan pelanggan
harus dilihat sebagai masukan berharga untuk perbaikan di masa depan.20
Ketujuh, pendidikan yang Holistik-Komprehensif juga dapat
menggunakan landasan ideologis, yaitu pandangan dan cita-cita yang
mendalam, sistematik dan sistemik yang digunakan sebagai kerangka
konseptual dalam melaksanakan suatu usaha. Pendidikan sebagai usaha
besar dan strategis juga memiliki ideologi. Dalam kajian berbagai literatur
terdapat ideologi-ideologi pendidikan konservatif yang terdiri dari
fundamentalisme pendidikan, intelektual pendidikan dan konservatisme
pendidikan; dan ideologi-ideologi pendidikan liberal, yajg terdiri dari
liberalisme pendidikan, liberasionisme pendidikan, dan anarkhisme
pendidikan.21 Ideologi pendidikan ini bersifat dikhotomis, karena hanya
mendasarkan pada kehendak Tuhan semata-mata (theo-centris), dan
mendasarkan pada manusia (anthropo-centris). Ideologi pendidikan Barat
yang dikhotomis inilah yang mempengaruhi dunia pendidikan modern saat
ini, sebagaimana terlihat pada pendidikan progressivisme dan
pragmatisme yang hanya mengandalkan pembinaan intelektual dan
keterampilan manusia semata, namun moralitas dan spiritualitasnya
kosong. Dalam membangun pendidikan yang Holistik-Komprehensif,
seharusnya yang dijadikan landasan adalah ideologi pendidikan Islam yang
bercorak humanisme theo-centris, yakni keberhasilan pendidikan bukan
hanya ditentukan oleh usaha manusia atau Tuhan semata-mata, melainkan
ditentukan oleh usaha manusia dan Tuhan bersama. Pendidikan yang
Holistik-Komprehensif tidak hanya mengandalkan potensi bawaan dari
manusia sebagaimana dijumpai pada paham nativisme dengan tokohnya
Arthur Schopenhaur; bukan pula mengandalkan pengaruh lingkungan yang
mengitari manusia sebagamana dijumpai pada paham empirisme atau
behaviorisme dengan tokohnya John Locke dengan teorinya Tabularasa(Lilin
di Atas Meja); dan bukan pula mengandalkan pengaruh dari bawaan
manusia dan lingkungan sebagaimana dijumpai pada paham konvergensi
dengan tokohnya William Stern. Pendidikan yang Holistik-Komprehensif
mengandalkan pada konvergensi yang disertai Tuhan atau convergensi plus.
Dalam Islam pendidikan diibaratkan seperti bertani yang keberhasilannya
bukan hanya ditentukan oleh keadaan bibit tanaman yang unggul
(nativisme) dan tanah yang subur (empirisme) melainkan juga oleh
kehendak Tuhan. Bibit yang unggul dan tanah yang subur masih belum
dapat menjamin tanaman tersebut berbuah dan menghasilkan panen,
melainkan juga atas kehendak Tuhan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
147
SWT berfirman: Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?
Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya? (Q.S.
al-Waqi’ah, 56:63-64). Pandangan yang demikian itu dapat dilihat dari
pendidikan yang dilaksanakan oleh Lukman al-Hakim kepada anaknya.
Allah SWT memerintahkan kepada anaknya Lukman, agar terlebih dahulu
berterima kasih kepada Allah, sebelum berterima kasih kepada Lukman,
karena Allah-lah yang menjadikan dan memberikan kemampuan kepada
Lukman untuk mendidik (Lihat Q.S. Luqman, [31]:12-14).
Kedelapan, konsep pendidikan Holistik-Komprehensif dapat pula
berlandaskan pada konsep insan kamil sebagaimana yang dijumpai pada
paham tasawuf sebagaimana dijumpai pada pemikiran al-Jilli.22 Insan kamil
adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai
sesuatu yang dianggap mutlak. Tuhan Yang Maha Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu yang baik dan sempurna. Sifat sempurna
inilah yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri
kepada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah
dirinya. Selain itu konsep insan kamil juga memiliki anggapan atau
keyakinan adanya yang Mutlak itu mencakup nama-Nya, sifat-Nya dan
hakikat-Nya atau esensinya.23 Sifat-sifat Allah SWT sebagaimana terdapat
dalam al-Asma al-Husna jika dipahami, dihayati dan diamalkan akan dapat
melahirkan manusia yang sempurna. Konsep pendidikan yang HolistikKomprehensif dapat memanfaatkan pandangan insan kamil tersebut dalam
membangun berbagai komponennya, sebagaimana akan dijelaskan
kemudian.
Disain Konsep Pendidikan Islam Holistik
Disain konsep pendidikan Islam Holistik-Komprehensif pada dasarnya
adalah upaya mengkontruksi seluruh komponen pendidikan: visi, misi,
tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga
kependidikan, lulusan, pengelolaan, sarana prrasarana, pembiayaan,
lingkungan, kerjasama dan evaluasi dengan berdasarkan pada akar-akar
landasan normatif, psikologis, sosiologis, kultural, filsafat keilmuan,
manajemen, ideologi, dan tasawuf, sehingga konsep pendidikan tersebut
mampu melahirkan manusia seutuhnya.
Kajian yang bersifat akademis terhadap pendidikan HolistikKomprehensif ini sesungguhnya telah lama dilakukan di Barat. Sedangkan
di Indonesia kajian tersebut secara akademik belum banyak dilakukan,
walaupun dalam ucapan dan kebijakan sering disinggung.
Di tengah-tengah dunia pendidikan yang nampaknya kurang berdaya
dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dampak dari era
globalisasi sebagaimana tersebut di atas, kajian terhadap konsep
pendidikan yang Holistik-Komprehensif ini mulai dilakukan para ahli.
Pendidikan Holistik-Komprehensif inilah yang nampaknya menjadi salah
satu alternatif yang amat diharapkan untuk memecahkan berbagai masalah
pendidikan tersebut. Di antara masalah pendidikan tersebut misalnya,
lulusan pendidikan yang hanya memiliki keunggulan dari segi intelektual
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
148
Abuddin Nata
dan keterampilan namun kurang dari segi moral, spiritual dan akhlak;
pendidikan yang cenderung menjadi komoditas yang diperdagangkan dan
dikelola dengan pendekatan bisnis, pendidikan yang selalu tertinggal dari
perkembangan zaman, pendidikan yang kurang link and mach dengan
kebutuhan masyarakat, pendidikan yang cenderung membonsai atau
mengkerdilkan peserta didik, pendidikan yang membosankan, pendidikan
yang belum mencerahkan, lingkungan pendidikan yang kurang kondusif
dan berbagai masalah lainnya.
Kajian terhadap konsep pendidikan Holistik-Komprehensif telah
mencoba memaksimalkan aspek kreatif-inovatif pendidikan, seperti pada
pembelajaran yang berbasis karakter, bercorak reflektif, mengintegrasikan
kurikulum, mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan, aktif dan
mencerahkan, menyempurnakan proses transformasi pendidikan,
memberdayakan interaksi keilmuan yang dinamis, memfokuskan tujuan
demi pendidikan masa depan, memanfaatkan kemampuan dasariah (basic
skill), mengolah pengalaman siswa, bercorak kontekstual, menumbuhkan
spiritualitas anak, mewujudkan pribadi berintegritas, mengenalkan seni
holistik untuk penggalian metodologi pembelajaran, menjawab tantangan
pendidikan, menawarkan transformasi sebagai sarana problem solving
pembelajaran holistik, mengkritisi penelitian tindakan kelas (PTK),
pemberian hak otonomi penuh pada sekolah, pendidikan anak usia dini
(PAUD) sebagai sarana pendidikan holistik, serta mencetak generasi
berkualitas. 24
Berdasarkan paparan tersebut nampak bahwa dalam disain
pendidikan Holistik-Komprehensif banyak agenda yang harus
diselesaikan, yakni sebanyak komponen pendidikan dengan berbagai
elemen lainnya yang terkait. Berbagai aspek tersebut masih perlu kajian
dan pendalaman dengan menggunakan berbagai akar landasan
sebagaimana tersebut di atas. Berbagai kajian tersebut mengharuskan
adanya kerja keras dari para pakar pendidikan, yakni pakar pendidikan di
bidang kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen, sarana prasarana,
dan seterusnya.
Dilihat dari segi sifatnya yang holistik, komprehensif dan integralistik,
agama dan filsafat nampaknya memiliki peran dan fungsi yang amat
strategis dalam ikut serta membangun desain pendidikan HolistikKomprehensif. Untuk itu kajian secara lebih khusus terhadap agama dan
filsafat dalam hubungannya dengan disain pendidikan holistik masih perlu
dilakukan. Dalam kaitan inilah, maka posisi tulisan ini lebih merupakan
pengantar yang berisi argumentasi dan alasan-alasan yang mendasari
tentang perlunya mendesain pendidikan Holistik-Komprehensif dengan
berdasarkan pada ajaran agama dan filsafat.
Penutup
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat
dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut. Pertama, dilihat
dari pengertiannya adalah pendidikan yang seluruh komponennya: visi,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
149
misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, kompetensi pendidik dan
tenaga kependidikan, lulusan, lingkungan, sarana prasarana dan lainnya,
dibangun berdasarkan landasan yang kokoh dan utuh, sehingga mampu
menghasilkan manusia yang utuh.
Kedua, dilihat dari segi latar belakang dan alasannya, pendidikan
Holistik-Komprehensif dibangun dalam rangka mengatasi berbagai
masalah kemanusiaan yang ditimbulkan sebagai akibat dari dampak era
globalisasi: integrasi ekonomi, fragmentasi politik, high technology,
interdependensi, new colonization in culture. Dampak era globalisasi ini
selanjutnya menimbulkan kemerosotan moral pada sebagian kalangan
pelajar dan mahasiswa, penyakit jiwa (stress, cemas, miris, gelisah,
tempramental, hilang ingatan), kurang menghargai harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang memiliki hak-hak asasi yang harus
dihormati (dehumanisasi), dislokasi, munculnya gejala kepribadian yang
terpecah (split personality), merasa terasing di tengah-tengah kemodernan,
munculnya gejala hidup kurang bermakna, berorientasi pada hukum
transaksional, pendidikan yang mengutamakan aspek kognitif, yakni
wawasan dan keterampilan belaka, dan menganggap pendidikan sebagai
investasi dan komoditas yang diperdagangkan.
Ketiga, dilihat dari segi akar-akar landasannya, pendidikan HolistikKomprehensif dapat dibangun dari landasan normatif (agama), psikologi,
sosiologi, kultural, filsafat, epistimologi, budaya, manajemen dan tasawuf.
Berkaitan dengan ini berbagai literatur yang dibutuhkan cukup tersedia di
berbagai perpustakaan, serta sumber-sumber lainnya.
Keempat, agama Islam dengan sifatnya yang universal, mutlak, berisi
ajaran tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan juga filsafat Islam
dengan sifatnya yang berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, universal, komprehensif, holistik dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama
memiliki posisi yang strategis serta menyediakan bahan-bahan yang kaya
untuk membangun konsep pendidikan yang Holistik-Komprehensif.
Kelima, kajian pendidikan Holistik-Komprehensif yang berdasarkan
ajaran Islam dan filsafat Islam sebagaimana dikemukakan di atas, belum
banyak dilakukan, bahkan nyaris belum ada yang melakukannya.
Sementara itu berbagai masalah pendidikan yang harus dipercahkan dari
waktu ke waktu demikian banyak dan beragam. Dengan demikian kajian
pendidikan Holistik-Komprehensif dari sudut ajaran dan filsafat Islam ini
perlu dilakukan.
Catatan:
1
2
3
4
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi
(Jakarta:Prestasi Pustakarya, 2010), hal. 1.
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pembelajaran Holistik di Sekolah,
Pembelajaran Holistik..., hal. 45.
Pembelajaran Holistik..., hal. 47.
Pembelajaran Holistik..., hal. 31.
150
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Abuddin Nata
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik...., hal. 32.
Kata insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat dan digunakan
untuk menyatakan manusia sebagai manusia yang menerima pelajaran (Q.S. 96:15, dan 55:1-3); manusiayang mempunyai musuh yang nayata, yaitu syaitan
(Q.S.12:5 dan 17:53: manusia yang memikul amanat dari Tuhan. (Q.S. 33:72:
manusia yang dapat membagi waktu (Q.S. 103:1-3); manusia yang akan
mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannnya. (Q.S. 53:39, dan 79:35),
manusia mempunyai keterikatan dengan moral dan sopan santun (Q.S. 19:8. dan
31:14;46:15). Lihat Musa Asy’arie. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam AlQur’an, (Yogyakarta: LSFI, 1992), cet. I, hal. 23-25; Fazlur Rahman, Tema Pokok
Al-Qur’an, Terj. dari Major Themes of Themes of The Qur’an oleh Anas Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1980), cet.I, hal. 26-41;
Kata al-naas dalam al-Qur’an disebut sebanyak 241 kali dalam 225 ayat, dan
digunakan untuk menyatakan: adanya kelompok orang atau masyarakat yang
mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya. Berbagai
kegiatan itu antara lain disebutkan: tentang peternakan. (Q.S. 28:23 dan 25:49);
tentang perlunya mendayagunakan kekuatan besi (Q.S. 57:25); tentang pelayaran
dan perlunya manusia memperhatikan perubahan alam. (Q.S. 2:164); tentang
perubahan sosial (Q.S. 3:140 dan 8:26), tentang kepemimpinan (Q.S. 2:124). Lihat
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan..., hal. 25-28; Fazlur Rahman, Tema
Pokok Al-Qur’an..., hal. 54.
Kata basyar, yang tersebut dalam al-Qur’an dalam 36 ayat dipakai untuk menyebut
manusia dalam pengertian lahiriyah. Di antaranya digunakan untuk menyebutkan
kata basyar dalam pengertian kulit manusia. (Q.S. 74:27-29). Dalam 23 ayat, kata
basyar dipakai al-Qur’an dalam kaitan dengan kenabian dan 11 di antara 23 ayat
tersebut menyatakan, bahwa seorang nabi adalah basyar, yaitu manusia kebanyakan
yang secara lahiriyah mempunyai ciri yang sama, yaitu makan dan minum dari
bahan yang sama, (Q.S. 23:33-34; 3:79; 5:18; 6:91; 14:10-11; 16:104: 21:3: 23:24,
26:154;36:15; 41:6; 42:51: 64:6; 74:31: 11:27:12:31:17:93-94:23:34 dan 54:24). Dua
ayat, kata basyar dipakai dalam kaitan dengan persentuhan laki-laki dengan
perempuan atau persetubuhan. (Q.S. 19:20 dan 3:47. Empat ayat lainnya, kata
basyar dipakai dalam pengertian manusia pada umumnya. (Q.S. 74:25; 19:26;
74:36, dan 19:17. Dan satu ayat lainnya, kata basyar digunakan untuk menyatakan
manusia sebagai makhluk yang semuanya akan mati. (Q.S. 21:34-35). Lihat Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan..., hal. 320-35.
Lihat H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Al-Qur’an dalam
Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994), cet. I, hal. 87-98.
Lihat Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,
1983), cet. III, hal. 29-30.
Lihat Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, op, cit, hal. 35-37.
Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme ..., hal. 37.
Lihat Joy. A. Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 487.
Dikutip oleh Nana Syaodih Sukmadinata dalam Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), cet. I. hal. 52.
Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum..., hal. 54-55.
Lihat Sudirman, dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1989), cet. III,
hal. 54-57.
Lihat Abdul Aziz Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 203-204.
Lihat Abuddin Nata, Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), cet. I, hal. 187-190.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
19
20
21
22
23
24
151
Lihat Sutan Tadir Alisyahbana, Budaya Baru, (Jakarta:Gramedia, 1985), hal.87
Lihat Fandy Tjiptoni & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta:
Andi Yogyakarta, 2001), hal. 2-3.
Lihat William F. O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Terj. dari Educational Ideologies Contemporary Expression of Educational Philosophies oleh Imo Intan
Naomi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal. 183-488.
Nama al-Jilli atau Jilan (Gilani) berasal dari nama sebuah provinsi sebelah selatan
Laut Kaspia di Asia Tengah. Nama tersebut agaknya mempunyai hubungan dengan
nama pendiri tarekat Qadaiyah, yakni Abdul Qadir al-Jilli atau Gilani. (Di kalangan
masyarakat kita tokoh ini dikenal dengan nama Abdul Kadir al-Jaelani). Lihat Hari
Zamharir, “Insan Kami, Citra Sufistik al-Jilli tentang Manusia,” dalam, M. Dawam
Rahardjo, (ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta:
Grafitipers, 1987), cet. II, hal. 110.
Lihat Hari Zamharir, “Insan Kamil, Citra Sufistik al-Jilli...., hal. 110-11.
Lihat Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik...,
hal.45-114.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
152
HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN:
Upaya Membangun Manusia Berkarakter
Oleh Agus Zaenul Fitri
Abstracts
Education is a systematic process to enhance human dignity holistically,
which allows the most elementary of human dimension can develop
optimally. Thus, education should be a strategic vehicle to develop all
of individual potentials, so the ideals of building human completely can
be achieved. Holistic education according to Jeremy Henzell is an effort
to build a comprehensive and balanced on each student in all aspects of
learning, which includes spiritual, moral, imaginative, intellectual, cultural, aesthetic, emotional, and physical that directs all aspect towards
achievement awareness of his relationship with God which is the ultimate goal of life on earth.
Key word: Holistika, Pendidikan, Karakter.
Pendahuluan
Manusia telah diciptakan Tuhan dengan segenap potensi
yang ada agar menjadi pribadi-pribadi yang unggul, sehingga
mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh. Istilah
“Insan Kamil” merupakan gambaran idealis bagi sosok manusia
yang memiliki kemampuan dan kematangan diri dari aspek
intelegensi, emosi, kepribadian, sosial dan spiritual, sehingga
mampu memahami realitas alam profan dan sakral dengan baik
serta dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil
Tuhan di bumi.
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Tulungagung
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 153
Agar dapat mewujudkan insan yang paripurna (kamil), maka proses
pendidikan harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh (kaffah). Utuh
dan menyeluruh dalam mengapresiasi peserta didik sebagai subyek
sekaligus obyek pendidikan. Peserta didik merupakan makhluk multi
dimensi dengan beragam potensi kemampuan dan kelemahan. Potensi
kemampuan dan kelemahan manusia terdapat baik pada dimensi fisik
maupun psikisnya. Oleh sebab itu, perhatian yang berat sebelah tentang
eksistensi peserta didik dari dimensi lahiriyah-nya saja, tidak dibenarkan
dalam pendidikan. Peserta didik tidak cukup hanya memahami atau
mengetahui nilai dan norma saja, yang merupakan kecerdasan
intelegensinya, melainkan juga harus mampu mengembangkan kecerdasan
yang lain sebagai aspek dari keutuhan manusia. Pada akhirnya peserta didik
diharapkan mampu mengimplementasikan ilmu dan nilai-nilai yang
didapat dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dicita-citakan dalam
tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Hakikat pendidikan menurut Krishnamurti ini dikemas Scott Forbes
dalam tujuan pendidikan adalah untuk mendidikkan seluruh aspek yang
dimiliki manusia (all part of the person), mendidik manusia sebagai kesatuan
yang utuh (the person as the whole), mendidik manusia sebagai bagian dari
keseluruhan (the person within the whole), yaitu sebagai bagian dari
masyarakat, komunitas manusia, dan alam semesta. Oleh karena itu,
pelayanan pendidikan mesti mampu mengubah paradigma dari yang
terkotak-kotak (fragmented) menjadi pendekatan ekologis. Melihat anak
hanya dalam aspek kognitif semata yang diselesaikan dengan tugas-tugas
akademik yang steril dan memberikan mereka mata pelajaran yang tidak
saling berhubungan dan relevan dalam konteks kehidupan nyata tidak akan
mampu menumbuhkan kesadaran (consciousness). Transformasi kesadaran
ini merupakan bagian dari proses pendidikan yang akan mampu meredam
segala carut-marut kondisi yang terjadi dalam masyarakat modern, seperti
kerusakan lingkungan, konflik antaretnis, dan peperangan atau keadaan
chaos lainnya.
Fitjrof Capra (1975), mengungkapkan bahwa betapa pengetahuan
manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan, telah terkotak-kotak
sehingga manusia tidak mampu lagi melihat gambar keseluruhan dari
sebuah fenomena. Akibatnya banyak solusi dilakukan manusia didekati
secara terpisah sehingga membuat masalah semakin terpuruk. Inti
pemikiran dari Fitjrof adalah bagaimana upaya melihat segala sesuatu
secara utuh dan menyeluruh yang diistilahkannya dengan
“Multidisciplinary, Holistic Approach to Reality”. Kondisi ini diperkuat dengan
pernyataan David Orr bahwa akar permasalahan yang ada saat sekarang
dikarenakan pemikiran manusia dididik dengan sistem pendidikan yang
terkotak-kotak yang kemudian membuat manusia berfikir secara parsial.
Berdasarkan kajian di atas, maka jelas bahwa pendidikan bukan
semata-mata menyiapkan manusia agar dapat berperan dalam salah satu
dimensi kehidupan saja, melainkan agar siap menjalani seluruh dimensi
kehidupan. Untuk itu potensi anak usia dini yang perlu dikembangkan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
154
Agus Zaenul Fitri
dalam proses pendidikannya sesuai dengan prinsip holistik hendaknya
terkait dengan: (1) Aspek Fisik (terkait dengan perkembangan motorik halus,
motorik kasar, termasuk menjaga stamina, gizi dan kesehatan); (2) Aspek
Emosi (aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan tekanan/stress,
mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa percaya diri,
berani mengambil risiko, dan memiliki empati); (3) Aspek Sosial
(menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerjasama,
pintar bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial dan dermawan,
bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan
keunikan, mematuhi peraturan yang berlaku); (4) Aspek Kreativitas
(mendorong anak untuk mampu mengekspresikan diri dalam berbagai
kegiatan produktif seperti dalam dunia seni, berbahasa, berkomunikasi,
dan sebagainya); (5) Aspek Spiritual(mampu memaknai arti dan tujuan
hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang diyakini melalui
perbuatan baik yang konsisten); (6) Aspek Akademik(mampu berfikir logis,
berbahasa, dan menulis dengan baik. Selain itu dapat mengemukakan
pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi dengan
cermat).
Kesadaran akan terbentuknya manusia yang dapat berkembang
dengan baik, utuh dan padu semakin jelas apabila melihat paradigma
pendidikan internasional PBB yang cenderung semakin manusiawi, realistis,
demokratis, dan religius. Paradigma pendidikan internasional tersebut
adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam konteks ini, teori Kec erdasan Ganda dari Howard
Gadner (dalam Joe 2004: 9), yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh
yang lain dapat memperkuat akan terwujudnya hasil pendidikan yang dapat
berkembang secara utuh dan padu.
Kecerdasan Ganda yang dikenalkan oleh Gadner (1989) meliputi
kecerdasan bahasa, logika, visual, kinestetik, musikal, interpersonal,
naturalis, spiritual, dan kecerdasan eksistensial (Budiningsih, 2004: 128).
Bila teori Gadner ini diikuti, maka pembelajaran harus mengembangkan
seluruh kecerdasan tersebut. Karena boleh jadi seorang peserta didik
tidak dapat memahami dengan baik Pendidikan Agama, tetapi ia mampu
dengan baik memaknai ajaran agama dalam kehidupannya. Oleh sebab
itu, Budiningsih (2004: 128), mengungkapkan bahwa: “tidak ada manusia
yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada
dirinya. Yang ada adalah manusia yang memiliki kecerdasan yang tinggi
pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya.”
Upaya untuk membentuk pendidikan paripurna sebenarnya sudah
digagas pada tahun 1960-an salah satunya adalah model pendidikan
holistik. Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang
berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat
menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya
dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Pada era
tahun 1960-an pendidikan holistik sempat ditinggalkan para pakarnya,
namun pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali sejak
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 155
dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Internasional yang
diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan
menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential.
Model pendidikan holistik menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1)
knowing the good, (2) feeling and the good, dan (3) acting the good. Pertama,
knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif
saja. Kedua, feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi mesin (penggerak) yang selalu bekerja
membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau
melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan
itu. Ketiga, acting the good berubah menjadi kebiasaan. Setiap anak untuk
tiba pada perilaku berkarakater kuat membutuhkan proses luar biasa sulit,
butuh perjuangan yang tidak mudah. Namun kalau anak sudah terbiasa
berbuat baik, sekali dia berbuat tidak baik sudah tidak enak. Timbul budaya
malu dalam dirinya jika melakukan perbuatan buruk. Termasuk menyontek
pada saat ulangan.
Dengan demikian, penting sekali untuk menghadirkan dan
mewujudkan kembali pendidikan holistik agar tercipta pribadi-pribadi yang
paripurna (insan kamil) yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual,
emosional dan sosial saja, akan tetapi mereka juga dapat mengenal siapa
Tuhan yang telah menciptakan dirinya dan seluruh jagad raya ini.
Pendidikan Holistik
Pendidikan holistik adalah filsafat pendidikan yang didasarkan pada
anggapan bahwa setiap orang dapat menemukan identitas, makna, dan
tujuan dalam hidup melalui hubungan dengan masyarakat, alam, dan
untuk nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian. Ini
adalah definisi yang diberikan oleh Ron Miller, pendiri jurnal pendidikan
holistik (sekarang berjudul: Education for Meaning and Social Justice). Istilah Pendidikan holistik ini sering digunakan pada model pendidikan
yang lebih demokratis dan humanistik pendidikan. Robin Ann Martin (2003:
19) lebih lanjut menyatakan bahwa, “Pada tingkat yang paling umum, apa
yang membedakan pendidikan holistik dari bentuk-bentuk lain dari
pendidikan adalah tujuannya, yaitu perhatian untuk belajar dari
pengalaman. Konsep holisme mengacu pada gagasan bahwa semua sifat-sifat
sistem yang diberikan dalam bidang studi apa pun tidak dapat ditentukan
atau dijelaskan dari jumlah bagian-bagian komponennya. Sebaliknya,
sistem sebagai keseluruhan menentukan bagaimana bagian-bagiannya itu
berperilaku. Sebuah cara berpikir yang holistik mencoba untuk mencakup
dan mengintegrasikan beberapa lapisan makna dan pengalaman daripada
mendefinisikan manusia secara sempit.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang
berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat
menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
156
Agus Zaenul Fitri
dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, di antaranya: Jean
Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann
Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat
beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan
holistik, yaitu: Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey,
John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu
Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman,
Ivan Illich, dan Paulo Freire. (Martin, 2002: 33).
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik
sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural
pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk
menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik.
Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama
pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala
Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam
tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai
memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3R
yang merupakan akronim dari Relationship, Responsibility dan Reverence.
Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R ini lebih
diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal
dengan sebutan Calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan
potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan
dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta
didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti
dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik,
belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan
sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Tujuan
Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3 disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan mencakup dimensi nilai filosofis,
psikologis, sosiologis, pribadi, dan budaya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
secara detail oleh Sukmadinata (2005: 27), bahwa tujuan pendidikan
mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia dengan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 157
kualitas pribadi yang terintegrasi, bermoral dan berakhlak mulia,
berbudi luhur dan berilmu.
2) mewujudkan peran aktif dalam pembangunan masyarakat yang religius,
demokratis, adil dan makmur, cinta damai, cinta ilmu dan bermartabat
dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan upaya untuk
mewujudkan manusia yang berakhlak (ta’dib) dalam diri manusia,
mencakup upaya peningkatan pengajaran (ta’lim) dan pembinaan
(tarbiyah). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mewujudkan manusia yang seutuhnya (paripurna).
Pandangan lain juga dikemukakan oleh Al-Abrasyi (1997: 179), bahwa
tujuan asasi pendidikan menurut Islam adalah mengembangkan potensi
jasmani, akal dan akhlaq. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut, yaitu:
1) untuk membentuk akhlak yang mulia.
2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
3) persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
4) untuk menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan
memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia
mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
5) menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis supaya dapat menguasai
profesi tertentu, dan ketrampilan tertentu agar ia dapat mencapai rizki
dalam hidup di samping memelihara kerohanian.
Makna dan tujuan pendidikan menurut Musthafa al-Maraghy
terkandung dalam istilah al-tarbiyah, yang meliputi tarbiyah al- khalqiyah,
yaitu penciptaan, pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik
agar dapat dijadikan sarana bagi pengembangan jiwanya, tarbiyah aldiniyah al-tahdibiyah, yaitu pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya
melalui petunjuk wahyu ilahi. Dengan demikian pendidikan yang
terkandung dalam al-tarbiyah mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik
kebutuhan dunia akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri,
sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan.
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan
harus dapat mengantarkan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan
diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2)
kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang
dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional,
fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung
jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena
itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan
bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam
mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1)
menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
158
Agus Zaenul Fitri
pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin
ilmu (interdisciplinary), (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5)
pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin
dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak
berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996)
mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang
telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah hendaknya menjadi
tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling
menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting,
perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang
dirancang juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan
manusia utuh pula. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi
pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu
adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan
pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar
sejati di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang
merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan
belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain.
Pendidikan holistik juga dapat diaplikasikan dalam proses
pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya dengan
menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/ terpadu,
yaitu suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu
sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami
keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata
pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari Integrated Learning inilah
muncul istilah Integrated Curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu).
Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam
Megawangi, et.al (2005) antara lain: Adanya keterkaitan antar mata
pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada
aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk
bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk
memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan
motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut
mengenai materi yang dipelajarinya.
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik membuat siswa
belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena
kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu
sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh.
Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk
menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai
suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan
faktor-faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan
kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual
sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
159
sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, sosial, emosi, dan
akademik).
Sembilan pilar karakter yang dikembangkan di dalam penyelenggaraan
pendidikan holistik, yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2)
Kemandirian dan tanggungjawab; (3) Kejujuran/amanah, diplomatis; (4)
Hormat dan santun; (5) Suka tolong-menolong dan gotong royong/
kerjasama; (6) Percaya diri dan pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan
keadilan; (8) Baik dan rendah hati; (9) Karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan.
Selain model pembelajaran terintegrasi agar peserta didik dapat
menemukan identitas dirinya, maka strategi pembelajaran kontekstual
perlu didorong dan dikembangkan dalam sistem pendidikan. Contextual
Teaching Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan pada keterlibatan siswa sec ara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2007: 253). Oleh karena
itu, pendidikan yang holistik haruslah mengembangkan semua potensi yang
ada pada diri peserta didik sehingga tercipta pribadi-pribadi yang utuh
(paripurna).
Pendidikan Karakter secara Holistik
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “character”,
yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti,
kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan
sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak
sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang
atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan
sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik
dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang
tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau
tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma
atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
160
Agus Zaenul Fitri
merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter
dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler
merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh
pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan
berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta
potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen
atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana
pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan
tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan
kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan,
dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di
sekolah. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya
membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan
nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh
semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di
mata masyarakat luas.
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin ilmu Antropologi
Sosial. Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah
budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian,
kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan
pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau
penduduk yang ditransmisikan bersama. (Kotter, 1992: 4).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan
sebagai: pikiran; adat istiadat; sesuatu yang sudah berkembang; sesuatu
yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehari-hari,
orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan
kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
161
menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.
(Indrafachrudi, 1994: 29).
Tylor mengartikan budaya sebagai “that complex whole which includes
knowledge, beliefs, art, morals, laws, customs and other capabilities and habits
acquired by man as a member of society”. Budaya merupakan suatu kesatuan
yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi
manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya.
(Budiningsih, 2004: 18).
Koentjaraningrat mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan
dimensi wujudnya, yaitu: (1) Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran,
pengetahuan, nilai, keyakinan, norma dan sikap. (2) Kompleks aktivis
seperti, pola komunikasi, tari-tarian, upacara adat. (3) Material hasil benda
seperti, seni, peralatan dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1969: 17).
Sedang menurut Robert K. Marton di antara segenap unsur-unsur budaya
terdapat unsur yang terpenting yaitu kerangka aspirasi tersebut, dalam
artian ada nilai budaya yang merupakan konsepsi abstrak yang hidup di
dalam alam pikiran. (Fernandez, 1990: 28).
Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus
ada proses internalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, internalized berarti
to incorporate in oneself. Jadi, internalisasi berarti proses menanamkan dan
menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self)
orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai
tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan
pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan
lain sebagainya (Dhara, 1997: 82). Selanjutnya adalah proses pembentukan
budaya yang terdiri dari sub-proses yang saling berhubungan antara lain
kontak budaya, penggalian budaya, seleksi budaya, pemantapan budaya,
sosialisasi budaya, internalisasi budaya, perubahan budaya, pewarisan
budaya yang terjadi dalam hubungannya dengan lingkungannya secara
terus-menerus dan berkesinambungan. (Hofstede, 1980: 27).
Koentjaraningrat (1989: 74), menyebutkan unsur-unsur universal dari
kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2)
sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa,
(5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi
dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya itu paling sedikit
mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu kompleks ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma; (2) suatu kompleks aktivitas
kelakukan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda
karya manusia. (Ekosusilo, 2003: 10).
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut
dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam konteks perusahaan,
diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dan pada lembaga
pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture).
Gagasan yang memandang bahwa Organisasi sebagai suatu budaya
dimana ada suatu sistem dari makna yang dianut bersama di kalangan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
162
Agus Zaenul Fitri
para anggotanya merupakan fenomena yang relatif baru. Pemahaman
umum yang selama ini berkembang, bahwa organisasi didefinisikan sebagai
suatu alat yang rasional untuk mengkordinasikan dan mengendalikan
sekelompok orang yang di dalamnya ada tingkatan jabatan, hubungan,
wewenang, dan seterusnya. Namun organisasi sebenarnya lebih dari itu.
Organisasi juga merupakan kepribadian, persis seperti individu; bisa tegar
atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif atau konservatif.
Para teoritisi organisasi, akhir-akhir ini telah mulai mengakui hal ini
dengan menyadari pentingnya peran yang dimainkan budaya tersebut
dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Meskipun demikian, menarik
bahwa asal-usul budaya sebagai satu variabel independen yang
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang atau dapat dirunut baik sejak
adanya ide pelembagaan.
Budaya organisasi mengacu pada keyakinan bersama, sikap dan tata
hubungan serta asumsi-asumsi yang secara eksplisit atau implisit diterima
dan digunakan oleh seluruh anggota organisasi untuk mengahadapi
lingkungan luar dalam mencapai tujun-tujuan organisasi. Dalam hal ini,
budaya organisasi mempunyai pengaruh penting terhadap motivasi.
(Bedford , 1992: 67).
Budaya organisasi (organizatinoal culture) jika diaplikasikan pada
lingkungan manajemen organisasi, lahirlah konsep budaya manajemen.
Lebih spesifik lagi, jika budaya organisasi diaplikasikan pada lingkungan
manajemen organisasi sekolah, maka lahirlah konsep budaya manajemen
sekolah. (Dhara, 1997: 4).
Dalam suatu organisasi (termasuk lembaga pendidikan), budaya
diartikan sebagai berikut: Pertama, sistem nilai yaitu keyakinan dan tujuan
yang dianut bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi yang potensial
membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi
pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan misalnya, budaya ini
berupa semangat belajar, cinta kebersihan, mengutamakan kerjasama dan
nilai-nilai luhur lainnya.
Kedua, norma perilaku yaitu cara berperilaku yang sudah lazim
digunakan dalam sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua
anggotanya mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru. Dalam
lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semangat untuk selalu
giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur sapa santun dan berbagai
perilaku mulia lainnya. (Kotter, 1997: 5).
Dalam organisasi sekolah, pada hakikatnya terjadi interaksi antar
individu sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Tatanan nilai yang telah dirumuskan dengan
baik berusaha diwujudkan dalam berbagai perilaku keseharian melalui
proses interaksi yang efektif. Dalam rentang waktu yang panjang, perilaku
tersebut akan membentuk suatu pola budaya tertentu yang unik antara
satu organisasi dengan organisasi lainnya. Hal inilah yang pada akhirnya
menjadi karakter khusus suatu lembaga pendidikan yang sekaligus menjadi
pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
163
Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang
sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai
berhubungan erat dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk,
indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil dan
sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba,
hanya dapat diketahui dari perilaku yang bersangkutan. Maka pendidikan
nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta
didik yang diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang
dianggapanya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku.
Graham (Gulo, 2002), melihat empat faktor yang merupakan dasar
kepatuhan seseorang terhadap nilai-nilai tertentu, yaitu:
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat daam tiga bentuk,
yaitu: (1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan
pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan
pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basabasi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan sendiri.
Perubahan budaya dan informasi yang sangat cepat, berimplikasi
terhadap perubahan nilai itu sendiri. Nilai bagai seseorang tidaklah statis,
akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik
sesuai dengan pandangannya saat itu. Oleh karena itu, sistem nilai yang
dimiliki seseorang bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang
menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang
lain akan bergantung kepada nilai-nilai itu. Dengan demikian, sikap
seseorang akan bergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling
benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang
tersebut.
Pembelajaran merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan sering
diartikan sebagai proses menyiapkan seorang individu menjadi kesatuan
anggota masyarakat dan berperan penting dalam transfer budaya dari
generasi ke generasi berikutnya, serta mengembangkan budaya itu sesuai
dengan perubahan yang terjadi. (Dobbledum, 1995: 23) Dalam memenuhi
logika jaman, pendidikan akan selalu berubah seiring perubahan
masyarakat (Havighurst , 1952: 76). (As society changes, education changes, as
education changes, society changes). Dengan demikian, hubungan antara
masyarakat dengan pendidikan adalah timbal balik (reciprocal). Hubungan
ini lebih jauh diharapkan mampu menghantarkan anak menjadi manusia
dewasa yang sesuai dengan konteks zaman dan budayanya. Anak yang
sudah dewasa ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
164
Agus Zaenul Fitri
atau moral character. (Montemayor, 1994: 11).
Pribadi yang bermoral adalah memiliki kemampuan untuk mengelola
hidupnya sesuai dengan zaman dan masyarakatnya yang dijiwai dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan. Untuk bisa mencapai pribadi
yang bermoral, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pembelajaran secara efektif, efisien, dan menarik atau dalam
bahasa sekarang disebut dengan PAIKEM yang merupakan singkatan dari
pembelajaran Praktis, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif-Efisien, dan
Menyenangkan.
Pembelajaran nilai yang berkembang selama ini dibangun atas dasar
dua pengertian dasar tersebut, yaitu pembelajaran dan nilai. Ketika kedua
pengertian itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi
pembelajaran nilai. Karena definisi pembelajaran dan nilai dapat dimaknai
berbeda, maka definisi mengenai pembelajaran nilai dapat berbeda pula,
tergantung pada penekanan dan rumusan yang dibangun atas dasar
sintesa dua definisi tersebut.
Dengan merujuk pada sintesa definisi nilai di atas, bahwa nilai adalah
hakekat sesuatu yang baik yang pantas dilakukan oleh manusia
menyangkut keyakinan, kepercayaan, norma, dan perilaku, maka definisi
nilai ini apabila digabungkan dengan kata pembelajaran mempunyai
makna dan arti yang berbeda dengan makna tekstualnya. Jika dilihat dari
makna tekstualnya, maka arti pembelajaran nilai adalah upaya untuk
membelajarkan siswa, agar mereka memahami hakekat sesuatu yang baik
yang pantas dilakukan oleh manusia menyangkut keyakinan, kepercayaan,
norma, dan perilaku. Definisi secara tekstual tersebut nampaknya perlu
pengembangan, sehingga diperlukan sintesa kedua istilah itu secara lebih
kontekstual. Dengan ini diharapkan akan lahir definisi pembelajaran nilai
yang lebih komprehensif.
Berangkat dari konsepsi nilai dan pembelajaran, maka dapat
dirumuskan bahwa, pembelajaran nilai adalah upaya untuk membentuk
pribadi yang bermoral yang memiliki kemampuan untuk mengelola
hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Secara singkat, pembelajaran nilai dapat didefinisikan sebagai penanaman
dan pengembangan nilai-nilai (kemanusiaan dan ketuhanan) dalam diri
seseorang. (Sastrapratedja, 2000: 3).
Pembelajaran nilai tidak harus merupakan satu program atau pelajaran
khusus, seperti mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila
& Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Ilmu
Pengetahuan Sosial, dan sebagainya, tetapi lebih merupakan suatu dimensi
dari seluruh usaha pendidikan, sehingga pembelajaran nilai dapat
dimasukkan pada semua bidang mata pelajaran. Sebab pada dasarnya,
pembelajaran yang dilakukan di sekolah yang tercermin pada berbagai
mata pelajaran itu tidak hanya mengembangkan ilmu, ketrampilan,
teknologi, dan seni, tetapi juga ingin mengembangkan aspek kepribadian,
etik, moral, dan lainnya, yang kesemuanya dapat disebut pembelajaran
nilai.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
165
Pemikiran tersebut relevan dengan pendekatan integratif pada
pendidikan karakter yang dinyatakan oleh Rusnak (1998: 4-5), bahwa: (1)
pendidikan karakter bukan mata pelajaran tersendiri, tetapi masuk menjadi
bagian dari semua mata pelajaran, (2) pendidikan karakter terintegrasi
pada semua kegiatan pendidikan, (3) lingkungan sekolah yang positif
membantu mengembangkan karakter, (4) pengembangan karakter harus
didukung oleh kebijakan pimpinan, (5) memberdayakan guru
mempromosikan pengembangan karakter, dan (6) sekolah dan masyarakat
adalah vital bagi pengembangan karakter.
Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, pendidikan karakter atau
pembelajaran nilai bukan tipu daya pendidikan hari ini (today’s education
gimmick), tetapi merupakan produk dari penelitian bertahun-tahun yang
bersifat praktis dan berdasarkan pendekatan akal sehat untuk bahan
mengajar guru. Pengenalan pendekatan yang fundamental ini penting untuk
menghilangkan kekakuan akademik pada berbagai sekolah, dan inilah
kekuatan nilai yang sesungguhnya.
Karena ruang lingkup nilai yang diajarkan di sekolah demikian luas,
maka proses penyadaran nilai-nilai dapat berlangsung secara integral
dalam keseluruhan proses pendidikan. Artinya, nilai-nilai itu dapat masuk
ke semua mata pelajaran, sehingga menjadi ruh dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Pada setiap pembelajaran seperti ini, pembelajaran nilai
diperankan sebagai bagian dari keseluruhan dimensi pendidikan dan
pembelajaran di sekolah.
Menurut Rachman, pembelajaran nilai mencakup kawasan budi
pekerti, nilai, norma, dan moral. Budi pekerti adalah buah dari budi nurani.
Budi nurani bersumber pada moral. Moral bersumber pada kesadaran
hidup yang berpusat pada alam pikiran. Budi pekerti atau perbuatan
manusia merupakan bahan tinjauan, tempat nilai etis diterapkan. Dia
menjadi obyek, pada mana etika mencobakan teori-teori nilainya. (Ahmad,
1985: 22)
Sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang bebas merdeka,
dalam moral manusia mempunyai kemerdekaan untuk memilih nilai dan
norma yang dijadikan pedoman berbuat, bertingkah laku dalam hidup
bersama dengan manusia lain. Memperhatikan pernyataan tersebut, jelas
sekali hubungan antara budi pekerti, nilai, norma, dan moral. Nilai yang
diambil adalah nilai tinggi, luhur, mulia, suci, dan jujur. Norma yang
diambil juga mendekatkan hidupnya kepada yang memberi hidup agar
selamat. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk
berbuat dengan tanggungjawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih.
Dengan demikian, mempelajari budi pekerti tidak lepas dari mempelajari
nilai, norma, dan moral.
Menurut Winecoff, pembelajaran nilai berbeda dengan pembelajaran
moral. Pembelajaran nilai berkaitan dengan keputusan moral dan nonmoral pada suatu obyek, meliputi estetis (gambaran nilai suatu obyek dari
kebaikan dan kepribadian) dan etik (gambaran nilai dari baik dan buruk
pada kehidupan antar pribadi). Tujuan pembelajaran nilai adalah proses
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
166
Agus Zaenul Fitri
membantu siswa untuk mendalami keberadaan nilai-nilai melalui ujian
kritik dengan meningkatkan atau memperbaiki kualitas pemikiran dan
perasaan mereka. Pembelajaran nilai meliputi sedikitnya empat dimensi
pokok, yaitu: (1) mengidentifikasi suatu inti dari nilai personal dan sosial,
(2) menemukan secara filosofis dan rasional menuju suatu inti, (3) respon
afektif dan emosi menuju suatu inti, dan (4) membuat keputusan
hubungannya dengan basis inti pada penemuan dan respon. Sedang
pembelajaran moral adalah berkaitan dengan pertanyaan baik dan buruk
pada kehidupan antar pribadi, mencakup konsep, seperti HAM, martabat
kemanusiaan, nilai kemanusiaan, keadilan, pertimbangan, persamaan hak,
dan hubungan timbal balik. Tujuan pembelajaran moral adalah membantu
siswa untuk lebih bertanggungjawab, adil, dan pertimbangan matang
tentang dirinya dan orang lain.
Menurut Tamuri & Awang, pembelajaran nilai terdiri atas minimal 4
(empat) dimensi utama, yaitu: (1) identifikasi nilai-nilai inti individual dan
sosial, (2) penemuan filosofis dan rasional pada nilai-nlai inti, (3) tanggapan
afektif dan emosi terhadap nilai-nilai inti, dan (4) pengambilan keputusan
yang berhubungan dengan nilai-nilai inti berdasarkan penemuan dan
tanggapan. Nilai-nilai inti (core values) menurut Akin (1995: 3), meliputi:
dapat dipercaya (trustworthines), kehormatan (respect), tanggungjawab (responsibility), keadilan dan kejujuran (justice and fairness), perhatian (caring),
kepentingan umum dan kewarganegaraan (civic and citizenship). Nilai inti
tersebut jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan, akan nampak
kesamaannya. Nilai dapat dipercaya, tanggungjawab, kejujuran, simpati,
empati, dsb, adalah nilai-nilai luhur yang sudah dijunjung tinggi oleh
bangsa Indonesia sejak lama. Ini menunjukkan bahwa, ada nilai-nilai universal yang bisa diterapkan secara praktis pada semua negara di belahan
muka bumi ini.
Ada 18 nilai yang relevan untuk diterapkan di Sekolah Dasar sesuai
dengan karakteristik siswa. Nilai dimaksud adalah (1) cinta & kasih sayang,
(2) kepedulian dan empati, (3) kerjasama, (4) berani, (5) keteguhan hati &
komitmen, (6) adil, (7) suka menolong, (8) kejujuran & integritas, (9) humor, (10) mandiri & percaya diri, (11) disiplin diri, (12) loyalitas, (13) sabar,
(14) rasa bangga, (15) banyak akal, (16) sikap respek, (17) tanggungjawab,
dan (18) toleransi.
Penutup
Membangun manusia yang utuh, paripurna (kaffah) atau insan kamil
dapat dilakukan dengan model pendidikan yang teringtegrasi dan
menyeluruh (holistik). Karena manusia tidak dapat dipahami sebagai
dirinya sendiri, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari kehidupan yang
saling berhubungan antara satu dan lainnya. Dengan potensi yang
dimilikinya manusia dapat melakukan apa saja, karena kurnia Allah SWT
yang tidak terbatas baik dari aspek fisik, psikologis, sosial, dan religius.
Dengan demikian maka tugas pendidikan adalah mengembangkan semua
potensi yang ada agar dapat hidup sebagai pribadi yang seutuhnya dan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
167
berkarakter bukan pribadi yang terpecah (split personality) yang diakibatkan
kesalahan sistem pendidikan yang hanya mengembangkan satu atau
beberapa potensi (kemampuan) saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony-Darden-Bedford. Sistem Pengendalan manajemen, Jilid I, (Jakarta:
Bina Rupa Aksara, 1992).
Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Budiningsih, C. Asri. Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta : FIK UNY, 2004.
Danah, Zohar dan Marshal Ian. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung,
Mizan. 2001).
David, Kaiser. How the Hippies Saved Physics: Science, Counterculture and the
Quantum Revival. W. W. (Norton & Company. 2011)
F.M. Montemayor, Ethics: The Philosophy of Life (Manila: National Book Store,
Inc, 1994)
Forbes, Scott H. and Robin Ann Martin. What Holistic Education Claims About
Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature. Paper presented at the
American Education Research Association Annual Conference (San Diego,
California, April 2004).
Geertz Hofstede, Corperate Culture of Organization, (London Francs
Pub.1980).
Goleman, Danel. Kecerdasan Emosi Untuk Meraih Puncak Prestasi, (Jakarta:
Gramedia 2001).
Herbert Larry Winecoff, Values Education: Conceps and Models (Bandung: FPS
IKIP, 1987-1988).
Howard Gardner. Schaler, Jeffrey A.. ed. ”A Blessing of Influences” in Howard
Gardner Under Fire. (Illinois: Open Court. 2006).
Howard Gardner. To Open Minds: Chinese Clues to the Dilemma of American
Education. (New York: Basic Books, 1989).
J.P. Kotter & J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja.
Terjemahan oleh Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 1992).
John P. Kotter dan James L. Heskett, Corporate Culture an Performance, Alih
Bahasa Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, (Jakarta: PT
Perhallindo, 1997).
Kincheloe, Joe L., ed (2004). Multiple Intelligences Reconsidered. Counterpoints
v. 278. (New York: Peter Lang. 2004.)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta:
Gramedia, 1989).
Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi
di Indonesia. (Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni, No
2, 1969),
Leo Dubbeldam, “The role of cultural identity in development”, Values and Value
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
168
Agus Zaenul Fitri
Education. ed. Ledo Dubbeldam (The Hague: CESO, 1995)
M. Kornhaber, Palmer, Joy. ed. ”Howard Gardner” in Fifty Modern Thinkers in
Education. (New York: Routledge, 2001).
M. Sastrapratedja, Pendidikan Nilai, Dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun
2000, Penyunting, Em. K. Kaswardi (Jakarta: Pendidikan KWI/MNPK
& Gramedia Widiasarana, 1993).
Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai
(Studi Multi Kasus di SMA Negeri 1, SMA Regia Pacis, dan SMA Al Islam
01 Surakarta), Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003).
Martin, Robin Ann. Alternatives in Education: An Exploration of Learner-Centered, Progressive, and Holistic Education. Paper presented at the Annual Meeting of the American Educational Research Association (New
Orleans, LA, April 1-5, 2002).
Michel Rokeach, The Nature of Human Values (New York: The Free Press, 1973)
Moh. Noorsyam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986)
Mudhor Achmad, Etika Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1985)
Muhajir, Noeng. 1993, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori
Pendidikan, Yogyakarta : Reka Sarasin
Robert .M. Gagne, The Conditions of Learning and Theory of Instruction (Japan:
Holt, Rinehart and Winston Holt-Saunders, 1985).
Robert J. Havighurst , “Social Foundations of General Education”, The FiftyFirst Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part I:
General Education, ed. Nelson B. Henry (Chicago 37, Illinois: The University of Chicago Press, 1952)
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta,
2004).
Soekarto Indrafchrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orangtua
Murid dan Masyarakat, (Malang, IKIP Malang, 1994)
Talizhidu Dhara, Budaya Organisasi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1997).
Tamuri Halim & Jaafary Awang, “Cabaran Pendidikan Nilai dalam
Pembangunan Insan di Malaysia”, Dalam Ismail,, dkk (Penyunting).
Permufakatan Pendidikan Ke Arah Kualiti Hidup Serantau. (Bangi,
Selangor: Seri Penerbitan UKM, 2005).
Terri Akin, et. al., Character Education in America’s Schools (Torrance, California: Innerchoice Publishing, 1995)
Timothy Rusnak, (Ed.) An Integrated Approach to Character Education (California : A Sage Publications Company, 1998).
Yvon Ambroise, “Pendidikan Nilai”, penyunting, Em. K. Kaswardi, (Jakarta:
Pendidikan KWI/MNPK & Gramedia Widiasarana, 1993)
Megawangi, R., Melly L.,Wahyu F.D. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia (Heritage Foundation. 2005)
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
169
PENDIDIKAN HOLISTIK
ANAK USIA DINI
Oleh Taufiqurrahman
Abstracts:
Early childhood is a critical period in human development. This period is a
period of intensive change, which became the foundation for advanced stages
in the cycle of his life. The holistic education, in the context of early childhood,
is to facilitate children’s development in all its dimensions are intact and
complete. Development of a holistic education into account environmental,
cognitive processes and the formation of knowledge of children, and the values
are believed to be. Amputate these aspects can reduce the whole meaning of
education in early childhood. Preschool education is not only aims to prepare
children to enter school, but also prepared him to live in the real world.
Key word: Holistic Education, AUD
Pendahuluan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seharusnya
mengedepankan pertim-bangan pendidikan dan memandang anak
sebagai anak. Penetapan standar untuk memasuki jenjang sekolah,
memaksa lembaga prasekolah untuk mengejar standar tersebut.
Namun hal tersebut dapat mereduksir makna anak dan pendidikan
sekaligus. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif yang
komprehensif untuk menjelaskan sekaligus mem-praktikkan
PAUD.
Pendidikan holistik yang mengedepankan keutuhan dimensidimensi yang berinteraksi dalam proses pendidikan serta
menekankan pada nilai-nilai universal daripada kepentingan
Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
170
Taufiqurrahman
pragmatis. Meskipun pertimbangan psikologis merupakan aspek dominan
dalam diskursus pendidikan di Indonesia, namun aspek lingkungan dan
tata nilai, etika dan moral merupakan pertimbangan kritis dalam
mempersiapkan anak untuk bersekolah dan hidup dalam kehidupan nyata.
Mendefinisikan Pendidikan Anak Usia Dini
Usia dini merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia. Masa
ini merupakan masa perubahan intensif, yang menjadi landasan bagi tahaptahap lanjutan dalam siklus kehidupannya1. Masa perkembangan yang
pesat ini perlu perlakuan yang berbeda dengan anak pada usia sekolah.
Masa ini merupakan masa perkembangan fisik-motorik, bahasa, penilaiandiri, dan landasan moral. Masa ini mencakup masa emas (golden age).
Menurut UNESCO ECCE (Early Childhood Care and Education), rentang masa
usia dini adalah sejak lahir hingga berusia 8 tahun. Berbeda dengan US
NAEYC (National Association for the Education for Young Children) yang
membatasi pada usia sebelum 8 tahun. Para Ulama Islam pun bervariasi
dalam menentukannya, Ibnu Hazm2 membatasi sampai usia lima tahun,
sedangkah Ibn al-Jawzi3 pada usia enam tahun.
Rentang anak usia dini di Indonesia mencakup usia nol hingga enam
tahun. Pendidikan pada usia ini diklasifikasikan sebagai formal, yaitu:
Taman Kanak-Kanak (TK)/ Raudlatul Athfal (RA); nonformal, yaitu
Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) atau yang sederajat;
dan informal yang berlangsung di dalam keluarga. Klasifikasi tersebut
secara kronologis dimulai pendidikan di rumah (masa menyusui hingga
dua tahun, marhalah al-rodo’ah, arab), dilanjutkan dengan Kelompok
Bermain (atau l’école maternelle, Prancis) dan memasuki pra-sekolah atau
PAUD formal. Pembagian ini berimplikasi pada tingkat perhatian yang
berbeda-beda antara pengasuhan, pengajaran dan pendidikan. Ketiga
istilah tersebut, dalam Pendidikan Islam, selaras dengan tarbiyah, ta’lim
dan ta’dib.
Masa kelahiran hingga usia dua tahun menekankan pada aspek
pengasuhan (tarbiyah atau childcare). Pengasuhan merupakan tindakan,
keyakinan dan sikap dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar anak bagi pertumbuhan dan perkembangan anak secara
optimal. Pengasuhan merupakan proses berkesinambungan. Pengasuhan
anak dipengaruhi kerangka berpikir, merasa dan bertindak yang berlaku
pada suatu budaya tertentu. Karakteristik pengasuhan ini membentuk habitus anak di masa depan4.
Peran pengasuhan ini, pertama dan terutama dilakukan oleh ibu.
Perhatian ibu merupakan sumber nutrisi dan rasa aman serta kenyamanan
bagi anak. Hal ini menggambarkan faktor biologis sekaligus sosial yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak. Mittal dan Saksena5 membagi
pola pengasuhan menjadi otoritarian, demokratis dan permisif.
Pola pengasuhan yang otoriter akan membentuk anak yang pendiam,
berperilaku baik, tidak resisten, tidak agresif secara sosial namun memiliki
rasa ingin tahu (curiosity), orisinalitas dan daya imajinasi yang rendah. Pola
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
171
perilaku ini dicirikan dengan penggunaan tata aturan dan regulasi yang
memaksa anak untuk bertindak sesuai yang diinginkan pengasuhnya. Pola
seperti ini mengontrol anak melalui kekuatan eksternal dalam bentuk
sanksi. Pola pengasuhan otoriter menuntut anak perilaku anak sesuai
dengan kebutuhan orang tuanya, dibandingkan dengan kebutuhan anak.
Pelakuan yang ketat dan penyesuaian yang kaku pada anak usia dini
berpotensi bagi tumbuh kembang kepribadian yang ‘authoritarian personality syndrome’.
Pelakukan yang terlalu ketat tersebut dapat menyebabkan anak
menjadi penurut, sehingga kurang kompetitif dan cenderung gagal secara
sosial dibandingkan anak lain. Hal ini membuat mereka memiliki dorongan
untuk tunduk secara penuh (pasif). Kondisi demikian merusak kepercayaan
diri akan kemampuan untuk mandiri dan bertindak sesuai pilihannya.
Orang tua yang terlalu membatasi dengan memaksakan banyak peraturan
terhadap anak, mengawasi anaknya secara ketat, dan memancangkan
standar perilaku tertentu yang harus diikuti oleh anak dan sering diikuti
dengan hukuman yang tidak perlu. Orang yang sukses menerapkan
peraturan yang ketat terhadap anak namun tidak terlalu banyak
memberikan hukuman.
Pola pengasuhan yang lebih demokratis menghasilkan anak yang lebih
independen dalam berpikir, bertindak, lebih sehat secara mental, dan
memiliki rasa percaya diri yang positif. Hal ini memudahkan anak untuk
melakukan penyesuaian secara personal dan sosial serta menunjukkan
perilaku yang ramah dan spontan. Anak yang dididik secara demokratis
lebih aktif dalam pertemanan, lebih memiliki inisiatif, menghasilkan ideide kreatif dan cenderung menunjukkan sebagai pribadi yang bebas dalam
mengungkapkan perasaannya dan tidak mementingkan diri sendiri.
Anak yang dibesarkan melalui pola pengasuhan yang permisif, anak
belajar dengan trials and errors daripada petunjuk dari orang tua atau
pengasuhnya. Anak membentuk pola kepribadiannya tanpa pengarahan
dan bantuan dari orang lain. Pola pengasuhan yang permisif memiliki
sedikit aturan dan tuntutan terhadap anak, memandang tindakan agresif
sebagai hal yang alami, pola pengasuhan demikian cenderung memberikan
kebebasan kepada anak untuk bermain tanpa pengawasan dan intervensi
dari orang dewasa.
Kontrol terhadap anak yang terlalu sedikit dapat menyebabkan anak
gelisah dan kebingungan. Anak merasa tidak siap untuk menghadapi
masalah hidup. Anak seperti ini cenderung selfish, mementingkan diri
sendiri dan kurang memiliki empati terhadap orang lain. Anak yang didik
dengan membiarkan anak melakukan sesuatu yang disukainya cenderung
menjadi pasif dan melarikan dari situasi sosial serta tergantung terhadap
orang lain.
Pendidikan anak usia dini merupakan proses pengasuhan, pendidikan
dan (pengenalan) pengajaran yang ditujukan pada anak sejak lahir sampai
dengan usia delapan tahun untuk mendorong pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan psikologis secara maksimal.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
172
Taufiqurrahman
Perspektif Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini merupakan sebuah praktik sekaligus ilmu
pengetahuan. Praktik PAUD telah berlangsung lebih awal daripada ilmu
pengetahuan tentangnya. Pengasuhan secara alami telah diberikan orang
tua, terutama ibu. Pelatihan juga terjadi dalam kehidupan nyata dan
pengalaman hidup sehari-hari. Anak belajar dari lingkungan dan orang
dewasa. Pendidikan diberikan orang tua tentang keyakinan, tata nilai dan
tata krama di masyarakat. Anak belajar dengan meniru.
Dasar-dasar pendidikan anak usia dini sebagai disiplin termaktub
dalam ajaran-ajaran normatif agama, tata nilai dalam budaya dan praktikpraktik di masyarakat. Weigel6 memaparkan berbagai perspektif tentang
PAUD menjadi empat kategori, yaitu: Pendidikan Anak Usia Dini sebagai
(1) simbolisasi, (2) tindakan operatif, (3) penyesuaian dengan lingkungan,
dan (4) sudut pandang etis dan moral.
Pendidikan anak usia dini sebagai pembentukan simbol. Simbolisasi
pendidikan anak usia dini dijelaskan dengan memperhatikan dimensi
kehidupan dan personalitasnya, baik impresif maupun ekspresif. Lebih
jauh, dimensi kehidupan tersebut dalam bidang psikologi dinamis 7
dijelaskan dengan menghadapkan anak pada dunia kehidupan sehari-hari
(altagswelten) dan dunia kehidupan (lebenswelten). Penelusuran terhadap
proses simbolisasi yang dilakukan anak dapat dikaji melalui dunia
kehidupan dan kehidupan sehari-hari anak. Sudut pandang psikodimanis
dalam menjelaskan pembentukan diri anak ini membutuhkan penjelasan
lebih lanjut, namun tidak mudah untuk mengamati atau memperoleh
penjelasan berdasarkan data-data empiris. Oleh karena ini, penekanan
terhadap aspek-aspek perkembangan anak berpotensi untuk menjauhkan
dari pembahasan tentang pendidikan anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini sebagai tindakan operatif. Tindakan operatif
ini dipandang sebagai proses intelektual, kemampuan berpikir dan belajar.
Proses tersebut, dalam konteks pendidikan anak usia dini merupakan hal
yang penting, namun kecerdasan aktual anak sangat sulit untuk diamati
secara langsung. Hal tersebut dapat ketahui melalui tindakan operasional.
yang ditunjukkan dalam kapabilitas melakukan sesuatu serta dilakukan
secara terencana, ketika anak mendapatkan rangsangan terstruktur dari
guru dan/atau menghadapi situasi baru. Temuan Gardner tentang
“kec erdasan manjemuk” memberikan informasi penting tentang
kecerdasan anak. Respon anak dapat berbeda, berkaitan dengan dominasi
kecenderungan kecerdasan anak. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa tindakan operatif anak dapat berbeda-beda dalam lingkungan yang
berbeda pula.
Pendidikan anak usia dini sebagai rujukan terhadap realitas (der
Realitätsbezug). Pengetahuan sebagai reproduksi kognitif dalam peradaban
dan budaya tergambar dalam pengetahuan yang ada di masyarakat dan
dipandang sebagai given. Pengetahuan tidak berhubungan langsung dengan
tujuan pendidikan. Pengetahuan anak dalam pengertian disiplin ilmu
pengetahuan tidak dapat dikategorikan sahih atau valid, tetapi anak
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
173
menampilkan pengetahuan sebagaimana yang dipahami anak. Dengan
demikian adalah penting untuk mengamati pengetahuan sebagaimana anak
pahami tentang benda dan situasi (yaitu pengetahuan dalam pengertian
yang lebih luas, mencakup pengenalan terhadap karakteristik obyek) dan
mengarahkan pengetahuan ini terhadap realitas. Dengan demikian,
menghadirkan pengetahuan sebagai hasil referensi terhadap realitas
menjelaskan posisi teoritis tentang konsep Pendidikan Anak Usia Dini.
Pendidikan anak usia dini dari sudut pandang etika-moral. Merujuk
pada literatur tentang pendidikan-diri anak sering ditemukan bahwa
“personalitas” merupakan medium untuk memahami fenomena anak yang
belajar. Pendefinisian personalitas ini merujuk pada penjelasan Hentig8.
Personalitas yang dibentuk merupakan representasi dari etika dan moral
yang berkembang dalam budaya masyarakat sebagai kriteria kemanusiaan
dan kebermaknaan hidup dan kehidupan. Tindakan yang dapat diobservasi
tidak dapat menggambarkan personalitas anak karena ketidakjelasan
dimensinya, personalitas lebih terlihat melalui sudut pandang etika dan
moral. Posisi teoritis ini menyarankan untuk mengamati terhadap perilaku
sehari-hari anak di taman kanak-kanak apakah dan sejauhmana sudut
pandang etis dan moral ini diekspresikan dalam permainan anak, baik verbal maupun nonverbal.
Konfigurasi perspektif tersebut memberikan wawasan tentang
kebutuhan kajian yang lebih komprehensif tentang pendidikan anak usia
dini sebagai praktik maupun disiplin ilmu pengetahuan. Perspektif tersebut
juga memberikan gambaran tentang posisi praktik yang dilakukan pada
suatu tempat tertentu serta penekanan pada dimensi-dimensi tertentu
pendidikan anak usia dini.
Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Perkembangan anak usia dini menunjukkan pada perubahan biologis,
psikologis dan emosional pada diri manusia dari masa kelahiran dan
berakhir pada usia anak (rentang usia yang umum adalah sejak lahir hingga
enam tahun). Perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik
dan lingkungan selama masa kandungan dan perkembangan kehamilan
(pra-natal) dan lingkungan anak hidup dan kehidupan anak (pos-natal).
Perkembangan anak yang optimal berpengaruh penting bagi kehidupan
sosial. Oleh karena itu, adalah penting untuk memahami perkembangan
sosial, kognitif, emosi dan pendidikan anak.
Hasil penelitian Bloom menyatakan bahwa 50% perkembangan otak
anak antara rentang usia nol hingga empat tahun9. Lalu 30% terbentuk pada
usia empat hingga 8 tahun. Usia anak usia dini merupakan masa kritis
perkembangan manusia. Bidang ini telah menarik perhatian banyak tokoh,
terutama bidang psikologi untuk menjelaskan fenomena perkembangan
anak ini. Dalam bagian ini akan disajikan secara kikir enam tokoh penting
dalam menjelaskan masa perkembangan, yaitu Uri Bronfenbrenner, Jean
Piaget, Lev Vygotsky, Mary Ainsworth, Erik Erikson dan John Watson.
Uri Bronfenbrenner, psikolog yang lahir di Rusia 29 April 1917.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
174
Taufiqurrahman
Bronfenbrenner mengajukan teori sistem ekologis, yang menggambarkan
empat sub-sistem, yaitu meso-sistem yaitu interaksi antara dua sistem
mikro atau hubungan antar konteks, seperti hubungan antara pengalaman
di rumah dan pengalaman di sekolah. Misalnya, anak yang mengalami
penolakan dari orang tuanya akan menghadapi kesulitan dalam
berinteraksi dengan gurunya; ekso-sistem, yaitu hubungan antara latar
sosial dimana individu tidak memiliki peran aktif dengan konteks yang
dihadapi anak. Misalnya, pengalaman ibu dan anak di rumah dapat
mempengaruhi pengalaman bapak di kantor, misalnya mendapatkan tugas
tambahan untuk melakukan perjalanan. Hal ini berpotensi menimbulkan
ketegangan yang berpengaruh terhadap pola interaksi dengan anak; makro
sistem, yaitu lingkungan sosial budaya masyarakat. Individu-individu
dalam kelompok sosial budaya ini saling mempengaruhi dalam membentuk
identitas, kebudayaan dan nilai-nilai. Sub-sistem ini selalu berkembang
sepanjang waktu dan membentuk pengaruh yang unik pada anak10; Kronosistem, yaitu pembentukan dan transisi lingkungan yang terus menerus.
Misalnya, kesempatan perempuan untuk berkarir semakin meningkat dari
tahun ke tahun.11 Hal ini berimplikasi terhadap pola pengasuhan anak, baik
di rumah, sekolah maupun masyarakat. Setiap sub-sistem tersebut memiliki
peran, norma dan peraturan yang berpotensi membentuk perkembangan
anak. Namun teori ini tidak menjelaskan tentang aspek internal anak. Teori
ini lebih memfokuskan pada aspek-aspek makro sistem yang
mempengaruhi.
Teori ini memberikan kerangka kerja tentang klasifikasi lingkungan
yang berpengaruh terhadap perkembangan anak usia dini. Proses
pendidikan pada masa kritis ini tidak hanya ditentukan oleh sekolah (TK/
RA), tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah dan
masyarakat.
Jean Piaget, psikolog Swiss, menyatakan bahwa anak belajar secara
aktif melalui bermain. Piaget menyatakan bahwa peran orang dewasa
dalam membantu anak belajar adalah dengan mempersiapkan bahanbahan bagi anak untuk bermain dan berinteraksi. Setiap manusia butuh
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses penyesuaian diri
(adaptasi) melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan
proses menerima rangsangan dari lingkungan yang sesuai dengan struktur
kognitif seseorang, tetapi proses perkembangan intelektual tidak akan
terjadi apabila tidak sesuai dengan skemata yang dimiliki. Oleh karena itu
dibutuhkan proses akomodasi, yaitu perubahan struktur kognitif,
menyesuaikan dengan lingkungan. Proses ini menurut Piaget disamakan
dengan belajar. Piaget mengembangkan tahap-tahap perkembangan
manusia.
Tahap-tahap perkembangan anak usia dini (usia 0 hingga 8 tahun)
mencakup dua tahap perkembangan Piaget. Pertama, sensori-motorik (usia
0 hingga 2 tahun). Pada masa ini, anak belajar dari sensasi dan gerak. Anak
belajar memisahkan dirinya dari lingkungan. Namun, aspek-aspek
lingkungan –orang tua atau mainan– tetap ada meskipun tidak berpengaruh
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
175
terhadap sensori anak. Pada tahap ini, pengajaran terhadap anak diarahkan
untuk mengembangkan system sensorimotoriknya. Anak menyesuaikan
perilakunya dengan menggunakan sensori.
Tahap selanjutnya, pra-operasional (mulai dari belajar bicara hingga
hamper tujuh tahun). Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk
menggambarkan obyek. Awal tahap ini, anak juga mempersonifikasi obyek.
Anak telah lebih mampu berpikir tentang benda dan kejadian meskipun
mereka tidak segera hadir. Anak mengalami kesulitan berkaitan dengan
waktu, sebab pemikiran mereka dipengaruhi oleh fantasi –the way they’d
like things to be- dan anak menganggap orang lain melihat situasi dari sudut
pandangnya. Anak memperoleh informasi dan menyesuaikannya sesuai
dengan ide-ide fantasinya. Pengajaran anak pada usia ini harus
mempertimbangkan fantasi anak yang jernih dan ketidakberkembangan
pemahaman tentang waktu. Pada tahap ini, anak dapat belajar dengan aktif,
ketika guru menggunakan bahasa yang netral, garis-garis dan alat
permainan edukatif.
Lev Vygotsky memandang bahwa anak belajar melalui pengalaman
langsung, sebagaimana pandangan Piaget. Namun berbeda dengan Piaget,
Vygotsky menyatakan bahwa intervensi oleh orang dewasa secara peka
dan tepat waktu ketika anak mempelajari tugas baru (disebut ZPD, the Zone
of Proximal Development) dapat membantu anak dalam mempelajarinya.
Teknik ini disebut “scaffolding”. Dikatakan demikian, karena anak
membangun pengetahuan baru di atas pengetahuan yang telah dimilikinya
melalui bantuan orang yang lebih tahu (more knowledgeable people).
Vygotsky memfokuskan pada peran budaya dalam menentukan pola
pengembangan anak. Dia menyatakan bahwa:
“Every function in the child’s cultural development appears twice: first, on the social
level, and later, on the individual level; first, between people (interpsychological) and
then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary attention,
to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher functions originate
as actual relationships between individuals.” 12
Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan merupakan proses
sekaligus periode kritis anak selama masa transformasi kualitatif fungsi
mental anak ini. Oleh karena itu, menempatkan anak pada lingkungan dan
pendampingan yang tepat akan memberikan dampak positif bagi
perkembangan fisik dan psikologis anak.
Mary Ainsworth mengembangkan Attachment theory, yang diinspirasi
dari karya John Bowlby. Teori ini memberikan kerangka deskriptif dan
eksplanatif dalam memahami hubungan interpersonal antar manusia. Teori
ini memandang bahwa anak membutuhkan hubungan dengan orang lain
agar perkembangan social dan emosional berlangsung dengan normal. Hal
tersebut merupakan prinsip terpenting dari teori ini.
Anak usia dini menjadi sangat dekat dengan orang dewasa yang
sensitif dan responsif dalam berinteraksi dengan anak, dan secara konsisten
memberikan perhatian dari usia enam bulan hingga dua tahun. Ketika anak
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
176
Taufiqurrahman
mulai belajar merangkak dan berjalan, mereka mulai menggunakan figur
yang dekat sebagai tempat berangkat dan kembali yang aman. Respon orang tua akan membentuk pola pengembangan kedekatan. Hal ini, pada
gilirannya, akan membentuk model kerja internal yang akan membentuk
persepsi, emosi, pemikiran dan harapan dalam hubungan selanjutnya13.
Ketakutan akan perpisahan yang diikuti dengan kehilangan figur
dipandang sebagai sesuatu yang normal dan merupakan proses adaptif
bagi kedekatan anak. Perilaku ini berkembang karena mereka meningkatkan
probabilitas kehidupan anak.14 Perilaku bayi berkaitan dengan kasih sayang
terutama dalam menemukan kedekatan dengan figur kasih sayang.
Erik Erikson mengklasifikasikan perkembangan manusia dalam
delapan tahap (dalam tulisan ini dibatasi hingga tahap ketiga). Tahap
pertama, dari lahir hingga 12 – 18 bulan. Pada tahap ini ditekankan pada
kebutuhan dasar. Bayi sangat tergantung pada orang tuanya, terutama ibu
untuk menyusu dan kenyamanan. Bayi ‘memahami’ dunia dan
lingkungannya dari orang tua dalam interaksinya dengan bayi. Jika orang
tua memberikan kehangatan, keteraturan dan kasih sayang, maka anak
akan melihat dunia dengan kepercayaan. Sebaliknya jika orang gagal
memenuhi kebutuhan dasar ini, akan menghasilkan anak yang tidak
percaya terhadap dunia. Tugas utama perkembangan masa bayi, menurut
Erikson apakah orang lain (orang tua atau pengasuh) dapat memberikan
kepuasan terhadap kebutuhan dasar akan secara teratur.
Tahap kedua (18 bulan hingga 3 tahun). Ketika anak telah dapat
mengontrol kemampuan motoriknya, anak mulai mengeksplorasi
lingkungannya. Orang tua harus memperhatikan keamanan dari tindakan
anak yang berbahaya. Kesabaran dan dorongan orang tua dapat
mempercepat otonomi anak. Pada usia ini, anak sangat meminati untuk
mengeksplorasi dan belajar tentang lingkungannya. Pada tahap ini, anak
mengembangkan minatnya.
Tahap ketiga (3 hingga 6 tahun). Pada tahap ini anak semakin aktif
bergerak. Anak belajar untuk menguasai dunia sekitarnya, mempelajari
keterampilan dan prinsip dasar fisika. Benda jatuh, tidak naik, benda
berputar. Anak belajar untuk melipat dan mengikat, menghitung dan
berbic ara dengan semangat. Pada tahap ini anak memulai dan
menyelesaikan tindakannya untuk tujuan tertentu. Anak akan merasa
bersalah menghadapi sesuatu yang secara logis menurut anak tidak
merupakan kesalahan, ketika usaha ini tidak memperoleh hasil yang
diinginkan.
Anak pada usia ini menghadapi pilihan antara berani bertindak atau
perasaan takut salah. Anak belajar untuk berinisiatif dan merencanakan
untuk mencapai tujuan tertentu. Anak yang bersekolah lebih memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan cara mereka sendiri.
Dengan perkembangan kemandirian, anak memiliki lebih banyak pilihan
aktivitas yang dapat dilakukan. Anak, kadang-kadang membuat permainan
yang pernah mereka lakukan, tetapi lain waktu, anak melakukan permainan
yang lebih sulit atau meniru aktivitas orang lain. Adalah peran orang tua
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
177
untuk membantu anak untuk membuat pilihan yang sesuai dan realistis.
Sebaliknya, orang tua yang tidak membiarkan anak untuk melakukan
tindakan independen atau memperlakukan mereka dengan manja, anak
akan mengembangkan sikap takut untuk mengungkapkan kebutuhan dan
keinginannya.
John Watson adalah behavioris banyak menulis dan meneliti tentang
perkembangan anak. Watson menyatakan bahwa anak seharusnya
diperlakukan sebagai orang dewasa muda. Watson juga mengingatkan
bahaya yang tidak terhindarkan dari pemberian kasih sayang yang
berlebihan dari orang tua. Kasih sayang, menurutnya adalah pembiasaan
(conditioned). Hal ini ditunjukkannya bahwa masyarakat tidak sepenuhnya
merasa nyaman dengan anak ketika mereka menjadi orang dewasa di dunia
nyata, jadi orang tua tidak seharusnya berharap yang tidak realistis
terhadap anak. Pengasuhan anak bukan insting, tetapi dibentuk oleh
lingkungan. Jadi orang tua bertanggung jawab atas pemilihan lingkungan
yang tepat buat anaknya.
Kekerasan dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Kekerasan terhadap anak mencakup pengabaian, agresi fisik, pelecehan
seksual dan kekerasan psikologis. Pengabaian terhadap anak ketika orang
tua (atau yang bertanggung jawab tidak memberikan kebutuhan dasar yang
dibutuhkan anak, yaitu kebutuhan fisik, emosional, pendidikan, bahkan
kesehatan. Dampak negatif pengabaian ini, anak tidak mampu berinteraksi
dengan anak-anak sebayanya.
Penyerangan fisik yang dilakukan orang dewasa kepada anak
merupakan sebuah kekerasan. Kekerasan fisik ini dapat terjadi dimana saja,
bahkan kekerasan atas nama norma atau hukuman juga termasuk dalam
kekerasan fisik. Kekerasan seksual adalah “a form of child abuse in which an
adult or older adolescent abuses a child for sexual stimulation”15.
Kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang dicirikan oleh
seseorang yang memaksa orang lain untuk bertindak yang dapat
menimbulkan trauma psikologis16. Kekerasan tersebut umumnya berkaitan
dengan situasi kekuasaan yang tidak seimbang, seperti hubungan yang
kasar, bullying, dan kekerasan terhadap anak. Kekerasan psikologi ini
dikategorikan menjadi tiga, yaitu agresi verbal, perilaku dominan dan
kecemburuan17.
Kekerasan terhadap anak di negara berkembang, menurut laporan
Wolfe, menunjukkan peningkatan. Hal ini disebabkan oleh variabel
kepribadian dan demografi, seperti pola kepribadian anak yang impulsif,
pengabaian dalam pola pengasuhan, broken home, status sosio-ekonomi
dan apati masyarakat terhadap ekspresi agresi terhadap anak. Kekerasan
terhadap anak ini dapat mengakibatkan “compensatory determinant”. Anak
yang mengalami kekerasan fisik atau psikologi dapat menjadi orang tua
yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak18.
Kekerasan dan/atau pengabaian yang diterima anak berpotensi untuk
berpengaruh di masa depan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor: usia
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
178
Taufiqurrahman
anak dan status perkembangan ketika kekerasan dan/atau pengabaian
terjadi, jenis kekerasan (fisik, pengabaian, seksual, psikologis), frekuensi,
durasi dan kualitas kekerasan, dan hubungan antara korban dan pelaku
kekerasan19.
Kekerasan atau pelecehan terhadap anak dapat mengakibatkan trauma,
yang berpengaruh panjang dalam kehidupan anak. Anak sebagai korban
pelec ehan dapat menginternalisasi perlakuan yang diterima dan
menyalurkannya dalam berbagai tindakan agresif ataupun tindakan
ekspresif lainnya.
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
Pendidikan holistik adalah sebuah filosofi pendidikan yang didasarkan
pada premis bahwa setiap individu mencari identitas, makna, tujuan dalam
hidup melalui hubungan dan interaksi dengan komunitas, alam semesta
dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.
Pendidikan holistik bertujuan untuk terus-menerus mendorong individu
untuk menghargai hidup dan keinginan untuk terus belajar yang tumbuh
dari dalam. Istilah pendidikan holistik ini sering kali merujuk pada bentuk
pendidikan alternatif, seperti pendidikan demokratis dan humanistik. Lebih
lanjut Robin Ann Martin menjelaskan bahwa “At its most general level, what
distinguishes holistic education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance that it places on relationships and primary human values within the learning environment.” 20
Pendidikan holistik bertujuan untuk membantu pembelajar menjadi
insan paripurna. Abraham Maslow menyebutnya sebagai “aktualisasi-diri”.
Forbes21 menemukan bahwa tujuan umum pendidikan holistik adalah untuk
mencapai “highest extent thought possible for a human”. Pendidikan holistik
menggambarkan pandangan kemanusiaan, apakah yang dimaksud
manusia. Pendidikan dalam perspektif ini memfokuskan pada
pengembangan potensi intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik,
kreativitas dan spiritualitas individu; mendorong pembelajar dalam proses
belajar mengajar dan bertanggung jawab secara personal dan sosial.
Martin dan Forbes, dalam menjelaskan filosofi umum pendidikan
holistik, membaginya menjadi dua kategori, yaitu Ultimacy dan Sagacious
Competence. Tingkat eksistensi paling tinggi manusia adalah “Ultimacy”,
semakna dengan pencerahan atau aktualisasi diri. Untuk mencapai tingkat
tersebut, seseorang harus mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan
“kebijaksanaan” atau apa yang disebut sebagai “Sagacious Competence”22.
Istilah ini menunjukkan bahwa kompetensi ini “cannot be construed as performance; cannot be learned through any combination of skills, facts, or concepts;
and cannot be assessed through any single or series of performances”23
Sc hreiner bersama koleganya merumuskan delapan prinsip
pendidikan holistik, yaitu: pertama, pendidikan holistik berpusat pada
Tuhan yang menciptakan dan menjaga kehidupan. Oleh karena itu,
pendidikan holistik memberikan sumbangan bagi pencarian terhadap
pemulihan alam semesta.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
179
Kedua, pendidikan holistik adalah pendidikan untuk transformasi.
Pendidikan holistik membutuhkan berbagai piranti dan pendekatan untuk
melakukan transformasi. Dibutuhkan kemampuan untuk mengembangkan
kompetensi kritis untuk melakukan analisis terhadap konteks politik dan
sosial yang memungkinkan keberpihakan pada tindakan praksis. Hal ini
berbeda dengan pandangan mekanistik.
Ketiga, pendidikan holistik berkaitan dengan pengembangan individu
secara utuh di dalam masyarakat. Pendidikan konvensional menekankan
pada dimensi kognitif, mengabaikan dimensi lain kehidupan manusia.
Pendidikan holistik mendorong pencarian terhadap makna dengan cara
mengajukan sudut pandang yang utuh (holistik) tentang dunia dan
kehidupan. Strategi holistik ini memungkinkan individu untuk memahami
berbagai konteks yang membentuk sekaligus memberikan makna terhadap
kehidupan.
Keempat, pendidikan holistik menghargai keunikan dan kreatifitas
individu dan masyarakat yang didasarkan pada kesalinghubugannya
(interconnectedness). Hal ini kecenderungan pandangan bahwa kemungkinan
untuk mengembangan masyarakat belajar yang menghargai perbedaan
antar individu, penilaian diri yang positif dan memberdayakan orang lain.
Kelima, pendidikan holistik memungkinkan partisipasi aktif di
masyarakat. Pendidikan holistik mengusulkan sebuah kesalingpahaman
paham dan penghargaan terhadap perbedaan budaya dan agama. Oleh
karena itu, penting untuk memandang keberagaman ini merupakan suatu
yang kaya, sekaligus berpotensi menimbulkan konflik. Pendidikan holistik
juga mencakup metode mengelola konflik untuk menciptakan perdamaian.
Keenam, pendidikan holistik memperkokoh spiritualitas sebagai inti
hidup dan sekaligus pusat pendidikan. Pendidikan holistik mencakup
dimensi batin manusia yang mempertimbangkan landasan spritual realitas.
Spritualitas merupakan kondisi keterkaitan semua aspek hidup dan
kehidupan, menghargai perbedaan dalam kesatuan. Keserasian antara
kehidupan lahir dan batin.
Ketujuh, pendidikan holistik mengajukan sebuah praksis (refleksi dan
aksi) mengetahui, mengajar dan belajar. Pendidikan holistik
mempromosikan sudut pandang alternatif tentang pembelajar dan guru.
Kontributor utama terhadap konsep tersebut diberikan oleh Paulo Freire.
Kedelapan, pendidikan holistik berhubungan dan berinteraksi dengan
pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda.24
Pendidikah holistik, dalam konteks PAUD, adalah memfasilitasi
perkembangan anak dalam segala dimensinya secara utuh dan paripurna.
Pengembangan pendidikan holistik memperhitungkan lingkungan, proses
kognitif dan pembentukan pengetahuan anak, serta nilai-nilai yang diyakini.
Mengamputasi aspek-aspek tersebut dapat mereduksi makna pendidikan
yang utuh pada anak usia dini. Pendidikan prasekolah bukan hanya
bertujuan untuk mempersiapkan anak untuk memasuki sekolah, tetapi juga
mempersiapkannya untuk hidup dalam dunia nyata.
Kecenderungan manajerialisme dan serangan budaya bisnis, semakin
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
180
Taufiqurrahman
mereduksi tujuan pendidikan anak usia dini; persyaratan kompetensi
akademik untuk memasuki sekolah dan fenomena bimbingan belajar bagi
anak semakin menjauhkan anak dari dunianya, dan cenderung memandang
anak sebagai orang dewasa, pun standar pencapaian anak usia dini semakin
menjauhkan anak dari dunia dan perkembangan normalnya.
Pranata Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan merupakan sebuah tindakan sadar yang memungkinkan
manusia untuk pertumbuhan fisik, kemampuan intelektual dan
mengembangkan rasa sosial, estetik dan moral.25 Untuk meningkatkan
pencapaian tersebut dibutuhkan peran the More Knowledgeable People26
sebagai fasilitator proses.
Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasarnya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Undangundang nomor 20 TAHUN 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut”. Sedangkan pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini
dinyatakan bahwa “(1) Pendidikan Anak usia dini diselenggarakan sebelum
jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau
informal, (3) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA,
atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan non formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5)
Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan
mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.”
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum
jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan
pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar
ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus
dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama)
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
181
bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu
anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam
memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan
belajar (akademik) di sekolah.
Tujuan pranata pendidikan anak usia dini, secara khusus adalah (1)
Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta
mencintai sesamanya; (2) Agar anak mampu mengelola keterampilan
tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu
menerima rangsangan sensorik; (3) Anak mampu menggunakan bahasa
untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif
sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar; (4) Anak mampu
berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan
menemukan hubungan sebab akibat; (5) Anak mampu mengenal
lingkungan alam, lingkungan social, peranan masyarakat dan menghargai
keragaman social dan budaya serta mampu mngembangkan konsep diri
yang positif dan control diri; dan (6) Anak memiliki kepekaan terhadap
irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif27.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003
ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan
PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan
sejak usia 0-8 tahun. Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini: Infant (01 tahun), Toddler (2-3 tahun), Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun),
Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun).
Praktik pendidikan anak usia dini, pada bagian ini dibatasi pada
lingkup formal, yaitu TK atau RA. PAUD formal ini dilihat dari dua aspek:
manajemen dan pendidikan. Aspek pertama menggambarkan pengelolaan
terhadap dimensi manusia, kerja dan operasional. berikut akan dipaparkan
sekilas tentang dua dimensi awal. Dimensi manusia mencakup administrator, guru dan terutama peserta didik. Perlakuan terhadap anak usia dini
berbeda dengan anak yang lebih tua. Ketergantungan anak terhadap orang lain masih tinggi dan kedekatan emosional sangat berpengaruh.
Pengelolaan terhadap lingkungan bermain, berlatih dan belajar menjadi
penting diperhatikan berkaitan dengan keselamatan fisik dan ketenangan
psikologis anak.
Dimensi kerja lebih merupakan aspek teknis dan administratif
pengelolaan PAUD, namun tidak mengesampingkan aspek esensial dan
substantif pendidikan. Dimensi ini berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian pengelolaan pendidikan, termasuk di dalamnya
kurikulum. Perencanaan program maupun pendidikan seharusnya
memperhatikan keragaman perkembangan anak, lingkungan di sekolah –
kedekatan dengan orang tua/pengasuh, dan kapasitas pendidik.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
182
Taufiqurrahman
Pengelolaan PAUD mendahulukan pertimbangan nilai pendidikan
daripada manajemen. Pendidikan seharusnya mempengaruhi orientasi
kebudayaan, bukan sebaliknya. Namun, menurut catatan Morley, nilai-nilai
pendidikan diarahkan oleh dunia industri dan bisnis. “...how values, as well
as technologies and drive systems from the cultural world of business and commerce have been imported into education, bringing with them new meanings, priorities and truth”28. Kenyataan ini menantang dunia pendidikan untuk
konsisten dengan nilai-nilai pendidikan yang melandasi pendidikan sebagai
institusi sosial.
Aspek pendidikan di PAUD mencakup pengasuhan, pembiasaan dan
pengenalan belajar. Pengasuhan bertujuan untuk menjaga anak dari
dampak negatif perbuatan anak, seperti tindakan berbahaya, maupun
pelecehan dari orang yang lebih dewasa; baik fisik, oral bahkan psikologis.
Pembiasaan merupakan perangkat adaptasi anak terhadap lingkungan
sosialnya, lebih luas dengan hidup dan kehidupan. Pembiasaan mempelajari
perilaku hidup sehat, tata krama dan nilai-nilai yang harus dipatuhi anak.
Pengenalan belajar merupakan persiapan anak untuk belajar pada jenjang
berikutnya, sekolah dasar. Pada lembaga ini sangat tidak dianjurkan untuk
memaksa anak untuk belajar.
Bermain anak telah digantikan oleh belajar. Hirsk-Pasek, dkk menulis
“In an effort to give children a head start on academic skills such as reading and
mathematics, play is discouraged and didactic learning is stressed”29. Lebih lanjut
dijelaskan:
“preschool classes have replaced playful learning with practice and drill. Blocks were
replaced with worksheets. Both play and playful learning declined precipitously in US
preschools, where they were sidelined as an expendable diversion in favour of early
preparation for school test-taking...skills once deemed appropriate for first and second
graders are being taught in kindergarten, while kindergarten skills have been bumped
down to preschool”30
Pendidikan anak usia dini tidak dibatasi pada prestasi aspek akademik
semata, tetapi pengembangan utuh seluruh potensi anak. Pengembangan
kurikulum PAUD menggunakan pendekatan yang dapat mengembangkan
“emotional maturity, social competence, cognition, language development, and
physical well-being”31. Penerapan konsep kurikulum yang holistik tersebut
dalam pembelajaran mencakup semua konsep yang dibingkai secara integrated, dan dilakukan melalui proses bermain.
Kesimpulan
Perspektif terhadap pendidikan anak usia dini mencakup proses
pembentukan simbol, tindakan operatif sebagai gejala mental, realitas
sebagai referensi yang sahih bagi pengetahuan anak dan pertimbangan
etika dan moral yang menjadi landasan kehidupan anak. Berdasarkan hal
tersebut perkembangan anak mencakup dimensi fisik, emosi dan spiritual
anak. Pengabaian, kekerasan ataupun pelecehan terhadap dimensi tersebut
berpotensi mengakibatkan trauma dan perilaku negatif anak.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
183
Pengembangan pendidikan anak usia dini pada jalur formal harus
mempertimbangkan aspek manajemen dan pendidikan. Aspek manajemen
merupakan supporting system bagi upaya mencapai tujuan pendidikan.
Dimensi sistem pendukung ini (manusia, kerja dan operasi) harus sinergi
dengan karakteristik pendidikan anak. Ketidakpedulian terhadap
karakteristik pendidikan anak akan menyempitkan makna pendidikan
sebagai pengajaran. Pemahaman dan praktik yang holistik terhadap
pendidikan anak merupakan kebutuhan kritis dalam membentuk kesiapan
anak menghadapi hidup dan kehidupan.
Catatan:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Richard Cloutier dan Andreé Renaud dalam Micheline Lalonde-Graton,
Fondements et pratiques de l’éducation à la petite enfancec, ( Presses de l’Universite
du Quebéc, 2003 ), 5
‘Ali bin Ahmad Ibn Hazm, Risalat Maratib al- ‘Ulum, dalam Rasa ’il Ibn Hazm
al-Andalusy, editor: Ihsan Abbas, Beirut: al-Mu ’assasah al- ‘Arabiyah lil Dirasat wa
al-Nasr, 1987, vol. 4, 65
Abu al-Farj Ibn al-Jawzi, Laftat al-Kabad ila Nasihat al-Walad, editor: Asyraf bin
Abdul al-Maqsud bin Abdul al-Rohim, ( Mesir: Maktab al-Imam al-Bukhori, 1992
), 36
Shalini Saxena Mittal dan Shalini Saksena, Child development of personality traits,
(Delhi: Kalpaz Publications, 2006), 83.
Shalini Saxena Mittal dan Shalini Saksena, Child development…, 84-86
Dietmar Weigel, Was ist frühkindliche Bildung?: Positionen und Befunde, (Lohmar
-Koln, Joser Eul Verlag GmbH, 2010), 112-115
yaitu penelitian dan teori tentang kekuatan-kekuatan psikologis yang mendasari
perilaku manusia, menekankan pada kesalinghubungan antara motivasi sadar dan
tidak sadar serta fungsi signifikan emosi. (http://dictionary.webmd.com/terms/
psycho-dynamics). Kekuatan mental dalam psikologi dinamis dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: (a) interaksi kekuatan emosi: interaksi kekuatan motivasi dan
emosi yang mempengaruhi perilaku dan kondisi mental, terutama pada tingkat
bawah sadar; (b) kekuatan batin yang mempengaruhi perilaku: studi tentang
kekuatan emosi dan motivasi yang mempengaruhi perilaku dan kondisi mental
(http://encarta.msn.com/-dictionary_1861736149/psychodynamics.html)
Hans von Hentig (lahir 9 Juni 1887 di Berlin, meninggal 6 Juli 1974 di Bad Tölz)
kriminolog Jerman yang mengemukakan teori Victimology menyatakan bahwa
“the personality characteristics of some crime victims, and/or the community environment they inhabit, may actually contribute to their victimization“ Ann Wolbert
Burgess, Cheryl Regehr, Albert R. Roberts, Victimoloty: theories and applications,
(Sudbury, MA: Jones and Barlett Publishers, 2009), 38.
Norman R. Ellis, International review of research in mental retardation, volume 6,
(London: Academic Press, Inc., 1973), 2.
Robert V. Kail dan John C. Cavanaugh, Human Development: A Life-span View,
ed. 5. (Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning, 2010).
John W. Santrock, A Topical Approach to Life-Span Development . ( New York,
NY: McGraw-Hill , 2007 )
Lev Vygotsky, Mind in Society: The development of higher psychological processes , penerjemah Michael Cole), (Cambridge, MA: Harvard University Press,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
184
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Taufiqurrahman
1978); Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (Boston, MA: Allyn & Bacon,
2006), 39
Inge Bretherton dan Kristine A. Munholland, “Internal Working Models in Attachment Relationships: A Construct Revisited”. Dalam Jude Cassidy dan Phillip
R. Shaver, Handbook of Attachment: Theory, Research and Clinical Applications.
(New York: Guilford Press, 1999), 89–114
Vivien Prior dan Danya Glaser, Understanding Attachment and Attachment Disorders: Theory, Evidence and Practice. Child and Adolescent Mental Health,
RCPRTU. (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2006), 17
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/childsexualabuse.html
Roland D. Maiuro dan K. Daniel O’Leary, Psychological Abuse in Violent Domestic Relations. (New York: Springer Publishing Company, 2000), 197
http://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_abuse
Carina Coulacoglou, Exploring the child’s personality: developmental, clinical, and
cross-culture application of the Fairy Tale Test, (Illinois: Charles C. Thomas Publishier,
Ltd., 2008), 277
Rosemary Chalk, Alison Gibbons, dan Harriet J. Scarupa, The multiple dimensions of child abuse and neglect: New insights into an old problem. (Washington,
DC: Child Trends, 2002) diunduh: 27 Oktober 2011, alamat: www.childtrends.org/
Files/-ChildAbuseRB.pdf
http://www.holistic-education.net/articles/research04.pdf
Schott H. Forbes and Robin Ann Martin, What Holistic Education Claims About
Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature, Annual Conference, (American
Education Research Association, 2004), 4.
Louellyn White, Free to be Kanien’kehaka: A case study of educational self-determination the Akwesasne Freedom School, (ProQuest LLc., 2009), 114.
Forbes sebagaimana dikutip Brenda Burton Grimes, Multidimensional classrooms:
Developing a comprehensive research base for, (ProQuest, 2007), 174.
Peter Schreiner, Esther Banev, Simon Oxley (eds), Holistic Education Resource
Book: Learning and Teaching in an Ecumenical Context. (New York: Waxmann
Munster, 2010), 20-22
Micheline Lalonde-Graton, Fondements et pratiques de l’éducation à la petite
enfance, (Presses de l’Universite du Quebéc, 2003), 6.
Children learn through direct instruction from more knowledgeable people around
them. This ‘expert intervention’, Vygotsky argued, should be at a level beyond
their current thinking, but not so far ahead that the instruction is beyond their
comprehension (Nisha Dograh, Sarah Hogan, Sharon Leighton, Nursing in Child
and Adolescent Mental Health, (New York: Open University Press, 2009), 23.
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: PT
Indeks, 2009), 42-43.
Louise Morley, ‘Freedom to Manage’ Leadership, Excellence and the New Professionalism dalam Jim Graham (ed), Teacher professionalism and the challenge of
change, (England: Trentham Books Limited, 1999), 71.
Kathy Hirsh-Pasek, Roberta Michnick Golinkoff, Laura E. Berk dan Dorothy Singer,
A mandate for palyful learning in preschool: Presenting the evidence. (Oxford:
Oxford University Press., 2000), 3.
Kathy Hirsh-Pasek, A mandate for..., hal. 9
Carol Gestwicki dan Jane Bertrand,, Essentials of Early Childhood Education,
(Canada: Nelson Education, Ltd., 2011), 47
.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
185
MODEL PEMBELAJARAN TERPADU;
Alternatif Penerapan Pendidikan Holistik
Oleh Adri Efferi
Abstracts:
integrated learning is a learning system that allows students, either
individually or in groups actively seek out, explore and discover concepts and
scientific principles in a holistic, meaningful and authentic. Integrated learning
will occur if the events or the exploration of authentic topic / theme to be
controlling in learning activities. By participating in the exploration of the
theme / events, students learn about the process and content of several subjects
simultaneously.
Key word: integrated learning
Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan
kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan.
Perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang
memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya
kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi
kepentingan masa depan.
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa
mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan
potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu
menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang
dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani
maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan
tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki
kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
186
Adri Efferi
bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah
untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
saat ini maupun yang akan datang.
Agar ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat
berkembang secara optimal, menurut para pakar pendidikan modern harus
didukung dengan model pendidikan yang dirancang secara sistematis dan
bersifat menyeluruh (holistik). Dengan demikian, pendidikan akan menjadi
wahana strategis bagi upaya pengembangan segenap potensi individu,
sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat
tercapai.
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran
dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan pembelajaran
terintergrasi/terpadu (integrated learning), yaitu suatu pembelajaran yang
memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti
pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu
materi dengan materi lainnya, antara satu mata pelajaran dengan mata
pelajaran lain.
Disamping itu, model pembelajaran terpadu juga memungkinkan
peserta didik, baik secara individual maupun kelompok aktif mencari,
menggali dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik.
Karena dengan model pembelajaran ini beberapa pokok bahasan dipadukan
dalam satu tema tertentu. Sehingga diharapkan siswa lebih memiliki
kedalaman wawasan materi dengan tingkat keterampilan dan pengetahuan
yang beragam dan kompleks (multiple knowledge) serta tidak terpecahpecah.
Konsep Dasar Model Pembelajaran Terpadu
Pembelajaran terpadu mulai mendapat perhatian yang luas dari para
menulis maupun para penyusun kurikulum, semenjak empat puluh tahun
silam, khususnya dalam pembelajaran IPA (sains). Menurut Prihantoro
(1986: 120), pada tahun 1968 diadakan Konferensi Internasional tentang
Pembelajaran Terpadu untuk sains yang pertama di Varna (Bulgaria).
Hingga tahun 1978, telah diadakan konferensi serupa sebanyak lima kali.
Berbagai kurikulum pembelajaran terpadu dikembangkan di seluruh dunia,
tetapi tampaknya pengertian pembelajaran terpadu masih banyak variasi.
Menurut Joni, T.R (1996: 3), pembelajaran terpadu merupakan suatu
sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual
maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta
prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran
terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi
topik/tema menjadi pengendali dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
berpartisipasi dalam eksplorasi tema/peristiwa, siswa belajar tentang
proses dan isi beberapa mata pelajaran secara serempak.
Senada dengan pendapat di atas, menurut Hadisubroto (2000: 9),
pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu
pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
187
lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep lain, yang dilakukan secara
spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau lebih, dan
dengan beragam pengalaman belajar anak, maka pembelajaran akan
menjadi lebih bermakna.
Menurut Collins, yang dikutip kembali oleh Trianto (2010: 56),
mengatakan:
Integrated learning occurs when an authentic event or exploration of a topics the
driving force in the curriculum. By participating in the every topic exploration,
student learn both the processes and content relating, to more then curriculum
area at the same time.
Apabila dikaitkan dengan tingkat perkembangan anak, pembelajaran
terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan
menyesuaikan pemberian konsep sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Pendekatan ini berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drillsystem sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual
anak.
Adapun menurut Ujang Sukandi, dkk. (2000) yang dikutip kembali oleh
Trianto (2010: 57), pembelajaran terpadu pada dasarnya dimaksudkan
sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan materi beberapa mata
pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar
dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi
pelajaran disajikan tiap pertemuan.
Dari sejumlah teori pembelajaran terpadu yang ada, maka
pengertiannya dapat diuraikan sebagai berikut: (1) pembelajaran terpadu
beranjak dari suatu tema sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk
memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal dari bidang
studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi lain, (2) pembelajaran
terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata
di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak, (3)
pembelajaran terpadu merupakan suatu cara untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan secara simultan, dan (4) pembelajaran
terpadu merakit dan menghubungkan sejumlah konsep dalam beberapa
bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak akan belajar dengan lebih
baik dan bermakna.
Pembelajaran terpadu akan terjadi jika kejadian yang wajar atau
eksplorasi suatu topik merupakan inti dalam pengembangan kurikulum.
Dengan berperan secara aktif dalam eksplorasi tersebut, siswa akan
mempelajari materi ajar dan proses belajar beberapa bidang studi dalam
waktu yang bersamaan.
Dalam pernyataan tersebut jelas bahwa sebagai pemacu dalam
pelaksanaan pembelajaran terpadu adalah melalui ekplorasi topik. Dalam
eksplorasi topik diangkatlah suatu tema tertentu. Kegiatan pembelajaran
berlangsung di seputar tema kemudian baru membahas masalah konsepkonsep pokok yang terkait dalam tema.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
188
Adri Efferi
Dari beberapa pemaknaan terhadap konsep pembelajaran terpadu,
intinya terletak pada sejauh mana kemampuan seorang pendidik untuk
dapat mengemas kurikulum pembelajarannya, sehingga terc ipta
kesatupaduan antara satu tema/topik dengan tema/topik yang lain atau
satu konsep dengan konsep yang lain pula. Model kurikulum seperti yang
disebutkan tersebut, para pakar pendidikan menyebutnya dengan istilah
kurikulum terintegrasi/terpadu (integrated curriculum).
Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi,
et.al (2005) antara lain: pertama, adanya keterkaitan antar mata pelajaran
dengan tema sebagai pusat keterkaitan, kedua, menekankan pada aktivitas
kongkret atau nyata, dan ketiga, memberikan peluang bagi siswa untuk
bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk
memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan
motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut
mengenai materi yang dipelajarinya.
Kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), sering dikenal juga
dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic
teaching. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa
untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda
mengenai suatu tema, serta dapat memec ahkan masalah dengan
memperhatikan faktor-faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Tidak
kalah pentingnya adalah dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar
menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat
siswa dapat berpartisipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat
aktif (fisik, sosial, emosi, dan akademik).
Prinsip Dasar Pembelajaran Terpadu
Nielsen (1989) menyatakan bahwa pendekatan terpadu adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan aspek-aspek
intra dan inter-bidang studi, sehingga pembelajar memperoleh
pengetahuan dan keterampilan secara utuh dan simultan dalam konteks
yang bermakna. Karena itu, ukuran keterpaduan dalam pembelajaran
terpadu adalah bahwa pembelajaran dilakukan secara sadar, sengaja,
bertujuan, dan sistematis yang dapat membantu anak memahami topik
tertentu atau ide umum dari berbagai sisi. Aktivitas pendidikan hendaknya
menghilangkan jurang pemisah antara bidang-bidang studi dan agar
memfokuskan arah pembelajaran kepada proses integratif, yang
mengharuskan anak larut bila hendak mengorganisasi pengetahuan dan
pengalaman mereka.
Sementara itu, ahli pembelajaran terpadu seperti H. Jacobs dalam
sebuah wawancara dengan Brandt (1991) mengatakan bahwa kebutuhan
untuk melaksanakan pembelajaran terpadu didasari beberapa alasan, yaitu
(1) bahwa sementara jam belajar di sekolah tetap, ilmu pengetahuan terus
berkembang, (2) ada kecenderungan anak tidak betah di sekolah karena
apa yang harus dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhannya, dan (3) sudah
jelas tidak logis mengajarkan konsep-konsep secara terpisah-pisah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
189
sementara kehidupan anak tidak pernah menuntut pemisahan tersebut.
Sebagai suatu pendekatan yang berorientasi proses, pembelajaran
terpadu mempunyai ciri-ciri (1) berpusat pada siswa, (2) memberikan
pengalaman langsung pada anak, (3) pemisahan antar bidang studi tidak
begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu
proses pembelajaran, (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran dapat
berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (Zuchdi, 1997).
Model pembelajaran terpadu yang paling dikenal adalah model
terhubung (connected model), model jaring laba-laba (webbed model), dan
model terpadu (integrated model). Pembelajaran terpadu antar bidang studi
dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
B a h a sa In do n e sia
1 . m e n y im a k cerita N y i
R o ro K id u l
2 . m e n y usun
w a ca n a
te n ta n g p en ce m a ra n
la ut
3 . b e rce rita
te n ta n g
d a rm a
w isa ta
ke
p a n ta i
IPA
1 . m en g en a l b erb a g a i jen is
b in a ta n g la u t
2 . m em b e da k a n a ir la u t
d a n a ir ta w a r
3 . m en era n g k an ek o sistem
la ut
T e m a K e la u ta n
M a te m a tik a
1 . m e n g h itu n g
lua s
la u t
b erd a sa rk an ska la p e ta
2 . m e n d e m o n stra sik an
m e n g h itu n g b e ra t jen is
a ir la ut
3 . m e n g h itu n g p ro se n ta se
pe rb a n d in g a n
d a ra tan
da n la uta n
IPS
1 . m en je la ska n fu n g si la ut
2 . m e m b a ca p e ta te n ta n g
k e d a la m an la ut
3 . m e n c erita k a n ten tan g
k e k a y a an la ut
Pembelajaran terpadu perlu memilih materi beberapa mata pelajaran
yang mungkin dan saling terkait. Dengan demikian, materi-materi yang
dipilih dapat mengungkapkan tema secara bermakna. Mungkin terjadi ada
materi pengayaan dalam bentuk contoh aplikasi yang tidak termuat dalam
kurikulum. Tetapi satu hal yang perlu diingat, penyajian materi pengayaan
seperti itu perlu dibatasi dengan mengacu pada tujuan pembelajaran.
Pembelajaran terpadu tidak boleh bertentangan dengan tujuan
pembelajaran yang berlaku, tetapi sebaliknya pembelajaran terpadu harus
mendukung pencapaian tujuan pembelajaran yang termuat dalam
kurikulum. Materi pembelajaran yang dapat dipadukan dalam satu tema
perlu mempertimbangkan karakteristik siswa, seperti minat, kemampuan,
kebutuhan dan pengetahuan awal. Materi pembelajaran yang dipadukan
tidak perlu dipaksakan, artinya materi yang tidak mungkin dipadukan tidak
usah dipadukan.
Menurut Trianto (2010: 58-59), secara umum prinsip-prinsip
pembelajaran terpadu dapat diklasifikasikan menjadi empat hal, yaitu: (1)
prinsip penggalian tema, (2) prinsip pengelolaan pembelajaran, (3) prinsip
evaluasi dan (4) prinsip reaksi.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
190
Adri Efferi
1. Prinsip Penggalian Tema
Prinsip penggalian merupakan prinsip utama (fokus) dalam
pembelajaran terpadu. Artinya, tema-tema yang saling tumpang tindih dan
ada keterkaitan menjadi target utama dalam pembelajaran. Dengan
demikian, dalam penggalian tema tersebut hendaklah memperhatikan
beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat
digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran.
b. tema harus bermakna, maksudnya ialah tema yang dipilih untuk dikaji
harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya.
c. tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak.
d. tema dikembangkan harus mewadahi sebagian besar minat anak.
e. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa
otentik yang terjadi dalam rentang waktu belajar.
f. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang
berlaku serta harapan masyarakat (asas relevansi).
g. tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan
sumber belajar.
2. Prinsip Pengelolaan Pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran dapat optimal apabila guru mampu
menempatkan dirinya dalam keseluruhan proses. Artinya, guru harus
mampu menempatkan diri sebagai fasilitator dan mediator dalam proses
pembelajaran. Karena itu, dalam pengelolaan pembelajaran hendaklah guru
dapat berperan sebagai berikut:
a. guru hendaknya jangan menjadi pemain tunggal (single actor) yang
mendominasi pembicaraan dalam proses belajar mengajar.
b. pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam
setiap tugas yang menuntut adanya kerja sama kelompok.
c. guru perlu mengakomodasi terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali
tidak terpikirkan dalam perencanaan.
3. Prinsip Evaluasi
Evaluasi pada dasarnya menjadi fokus dalam setiap kegiatan.
Bagaimana suatu kerja dapat diketahui hasilnya apabila tidak dilakukan
evaluasi. Dalam hal ini ketika melaksanakan evaluasi dalam pembelajaran
terpadu, perlu beberapa langkah positif antara lain:
a. memberi desempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri (self
evaluation/self assessment) disamping bentuk evaluasi lainnya.
b. guru perlu mengajak para siswa untuk mengevaluasi perolehan belajar
yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan
yang akan dicapai.
4. Prinsip Reaksi
Dampak pengiring (nurturant effect) yang penting bagi perilaku secara
sadar belum tersentuh oleh guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
191
Karena itu, guru dituntut agar mampu merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran sehingga tercapai secara tuntas tujuan-tujuan pembelajaran.
Guru harus bereaksi terhadap aksi siswa dalam semua peristiwa serta tidak
mengarahkan aspek yang sempit ke suatu kesatuan yang utuh dan
bermakna. Pembelajaran terpadu memungkinkan hal ini dan guru
hendaknya menemukan kiat-kiat untuk memunculkan ke permukaan halhal yang dicapai melalui dampak pengiring.
Arti Penting Pembelajaran Terpadu
Pembelajaran terpadu memiliki arti penting dalam kegiatan belajar
mengajar. Menurut Trianto (2010: 59-61), ada beberapa alasan yang
mendasarinya, antara lain:
1. Dunia anak adalah dunia nyata
Tingkat perkembangan mental anak selalu dimulai dengan tahap
berpikir nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak melihat mata
pelajaran berdiri sendiri. Mereka melihat objek atau peristiwa yang di
dalamnya memuat sejumlah konsep/materi beberapa mata pelajaran.
Misalnya saat mereka berbelanja di pasar, mereka akan dihadapkan dengan
suatu perhitungan (matematika), aneka ragam makanan sehat (IPA), dialog tawar menawar (Bahasa Indonesia), harga yang naik turun (IPS) dan
beberapa materi pelajaran lain.
2. Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu peristiwa
objek lebih terorganisir
Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu objek
sangat bergantung pada pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.
Masing-masing anak selalu membangun sendiri pemahaman terhadap
konsep baru. Anak menjadi “arsitek” pembangun gagasan baru. Guru dan
orang tua hanya sebagai “fasilitator” atau mempermudah sehingga peristiwa
belajar dapat berlangsung. Anak dapat gagasan baru jika pengetahuan yang
disajikan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
3. Pembelajaran akan lebih bermakna
Pembelajaran akan lebih bermakna kalau pelajaran yang sudah
dipelajari siswa dapat dimanfaatkan untuk mempelajari materi berikutnya.
Pembelajaran terpadu sangat berpeluang untuk memanfaatkan
pengetahuan sebelumnya.
4. Memberi peluang siswa untuk mengembangkan kemampuan diri
Pembelajaran terpadu memberi peluang siswa untuk mengembangkan
tiga ranah sasaran pendidikan secara bersamaan. Ketiga ranah sasaran
pendidikan itu meliputi: sikap (jujur, teliti, tekun, terbuka terhadap gagasan
ilmiah), keterampilan (memperoleh, memanfaatkan dan memilih informasi,
menggunakan alat, bekerja sama dan kepemimpinan), dan ranak kognitif
(pengetahuan).
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
192
Adri Efferi
5. Memperkuat kemampuan yang diperoleh
Kemampuan yang diperoleh dari satu mata pelajaran akan saling
memperkuat kemampuan yang diperoleh dari mata pelajaran lain.
6. Efisiensi waktu
Guru dapat lebih menghemat waktu dalam menyusun persiapan
mengajar. Tidak hanya siswa, guru pun dapat belajar lebih bermakna
terhadap konsep-konsep sulit yang akan diajarkan.
Pembelajaran terpadu dalam kenyataannya memiliki beberapa
kelebihan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996),
pembelajaran terpadu memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:
a. pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat
perkembangannya.
b. kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
c. kegiatan belajar bermakna bagi anak sehingga hasilnya dapat bertahan
lama.
d. keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran
terpadu.
e. kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai lingkungan anak.
f. keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran
terpadu. Keterampilan sosial ini antara lain adalah: kerjasama,
komunikasi dan mau mendengarkan pendapat orang lain.
Disamping itu, pembelajaran terpadu menyajikan beberapa
keterampilan dalam suatu proses pembelajaran. Selain mempunyai sifat
luwes, pembelajaran terpadu memberikan hasil yang dapat berkembang
sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. (Depdiknas, 2000: 2)
Karakteristik Pembelajaran Terpadu
Menurut Depdikbud (1996: 3), pembelajaran terpadu sebagai suatu
proses mempunyai beberapa karakteristik atau ciri-ciri, yaitu: holistik,
bermakna, otentik dan aktif.
1. Holistik
Suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat perhatian dalam
pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari beberapa bidang kajian
sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak.
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa untuk memahami suatu
fenomena dari segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal itu akan membuat
siswa menjadi lebih arif dan bijaksana di dalam menyikapi atau
menghadapi kejadian yang ada di depan mereka.
2. Bermakna
Pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek seperti yang
dijelaskan di atas, memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar
konsep-konsep yang berhubungan yang disebut skemata. Hal ini akan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
193
berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari.
Rujukan yang nyata dari segala konsep yang diperoleh dan
keterkaitannya dengan konsep-konsep lainnya akan menambah
kebermaknaan konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya hal ini akan
mengakibatkan pembelajaran yang fungsional. Siswa mampu menerapkan
perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul
didalam kehidupannya.
3. Otentik
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara
langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan
belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya sendiri,
bukan sekedar pemberitahuan guru. Informasi dan pengetahuan yang
diperoleh sifatnya menjadi lebih otentik. Misalnya, hukum pemantulan
cahaya diperoleh siswa melalui kegiatan eksperimen. Guru lebih banyak
bersifat sebagai fasilitator dan katalisator, sedang siswa bertindak sebagai
aktor pencari informasi dan pengetahuan. Guru memberikan bimbingan
ke arah mana yang dilalui dan memberikan fasilitas seoptimal mungkin
untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Aktif
Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam
pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun emosional guna
tercapainya hasil belajar yang optimal dengan mempertimbangkan hasrat,
minat dan kemampuan siswa sehingga mereka termotivasi untuk terus
menerus belajar. Dengan demikian pembelajaran terpadu bukan sematamata merancang aktivitas-aktivitas dari masing-masing mata pelajaran
yang saling terkait. Pembelajaran terpadu bisa saja dikembangkan dari
suatu tema yang disepakati bersama dengan melirik aspek-aspek kurikulum
yang bisa dipelajari secara bersama melalui pengembangan tema tersebut.
Implikasi Pembelajaran Terpadu
Sesuatu yang baru atau merupakan inovasi tentu tidak mudah untuk
dilaksanakan, karena memerlukan penyesuaian diri dan kemauan untuk
beradaptasi. Begitu pula dengan pembelajaran terpadu. Pembelajaran
terpadu pada awalnya dan biasa diterapkan pada jenjang pendidikan usia
dini, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan di jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, yaitu jenjang SMP/MTs dan SMA/MA, bahkan
tidak menutup kemungkinan juga bisa diujicobakan pada jenjang perguruan
tinggi.
Lebih lanjut akan coba diuraikan dampak atau implikasi pembelajaran
terpadu dalam suatu proses pembelajaran. Implikasi pembelajaran terpadu
tersebut dapat terjadi pada segenap komponen pembelajaran, namun pada
makalah ini hanya akan dibatasi pada aspek guru, peserta didik, bahan
ajar, dan sarana prasarana.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
194
Adri Efferi
1. Guru
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dapat dilakukan oleh tim
pengajar atau guru tunggal, tergantung pada kondisi sekolah. Kita ambil
contoh guru yang mengampu mata pelajaran IPA. Bila di suatu sekolah
guru IPA terdiri atas guru Fisika, Kimia, dan Biologi, maka dalam
penyusunan silabus, perencanaan pembelajaran, penggunaan media, dan
strategi mengajar sebaiknya dibuat bersama hingga penyusunan alat
penilaiannya. Namun dalam pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru
tunggal atau dilakukan oleh guru mata pelajaran yang dominan. Misalnya
bahan ajar tersebut dominan Biologi maka yang mengajar sebaiknya guru
Biologi, atau bersama-sama.
Bila di sekolah, seorang guru mengajar semua mata pelajaran IPA,
dan mengalami kesulitan untuk memadukan kompetensi dasar, indikator,
dan materi, maka sangat dianjurkan agar guru tersebut bekerja sama dalam
kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) agar dapat terjadi
diskusi tentang perencanaan strategi dan pelaksanaan Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM). Indikator yang sudah dipadukan tidak perlu diajarkan
dua kali karena tujuan pembelajaran terpadu adalah efisiensi dan efektivitas
dalam pembelajaran.
Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka pembelajaran terpadu dapat
meningkatkan kerja sama antar guru, baik yang ada di sekolah maupun
dalam lingkup MGMP. Kerja sama ini meliputi saling mempelajari materi
dari mata pelajaran yang lain. Selain meningkatkan kerja sama,
pembelajaran terpadu juga meningkatkan keharusan bagi guru untuk
memperluas wawasan pengetahuannya. Pembelajaran terpadu oleh guru
tunggal dapat memperkecil masalah pelaksanaannya yang menyangkut
jadwal pelajaran. Secara teknis, pengaturannya dapat dilakukan sejak awal
semester atau awal tahun pelajaran. Hal yang perlu dihindarkan adalah
pembahasan materi yang tidak seimbang karena wawasan pengetahuan
tentang materi pelajaran yang lain kurang memadai. Hal utama yang harus
dilakukan guru adalah memahami model pembelajaran terpadu secara
konseptual maupun praktikal.
Meskipun sekilas terlihat sederhana dan mudah untuk diterapkan,
ternyata di lapangan pembelajaran terpadu masih terbentur pada masalahmasalah berikut ini:
a) jadwal pelajaran yang sudah diatur sedemikian rupa dan tak dapat
diubah begitu saja.
b) masalah guru mata pelajaran yang cenderung terpisah-pisah.
c) program semester yang telah memuat urutan materi yang akan
diajarkan.
d) penguasaan bahan ajar bagi setiap guru yang cukup bervariatif.
e) keterpaduan kompetensi yang cenderung lintas kelas.
2. Peserta didik
Bagi peserta didik, pembelajaran terpadu dapat mempertajam
kemampuan analitis terhadap konsep-konsep yang dipadukan, karena dapat
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
195
mengembangkan kemampuan asosiasi konsep dan aplikasi konsep.
Pembelajaran terpadu perlu dilakukan dengan variasi metode yang tidak
membosankan. Aktivitas pembelajaran harus lebih banyak berpusat pada
peserta didik agar dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.
3. Bahan Ajar
Bahan ajar yang digunakan tidak hanya buku mata pelajaran saja,
tetapi dapat dari berbagai mata pelajaran yang direkatkan oleh tema.
Peserta didik dapat juga mencari berbagai sumber belajar lainnya. Bahkan
bila memungkinkan mereka dapat menggunakan teknologi informasi yang
ada. Aktivitas peserta didik dalam penugasan dapat menjadi nilai tambah
yang menguntungkan.
Dalam pembelajaran terpadu, suatu bahan ajar dapat dibahas dari
beberapa mata pelajaran sehingga wawasan peserta didik diharapkan akan
lebih terbuka. Di samping itu karena konsep-konsep itu dipadukan dalam
suatu pembelajaran, maka akan mengurangi kebosanan peserta didik
terhadap pengulangan bahan ajar pada berbagai mata pelajaran.
4. Sarana dan Prasarana
Dalam pembelajaran terpadu diperlukan berbagai alat dan media
pembelajaran. Karena digunakan untuk pembelajaran konsep yang
direkatkan oleh tema, maka penggunaan sarana pembelajaran dapat lebih
efisien jika dibandingkan dengan pemisahan mata pelajaran. Memang
tidak semua konsep dapat dipadukan. Konsep-konsep yang dipilih untuk
direkat oleh tema dapat menghemat waktu dan ruang.
Kekuatan dan Kelemahan Pembelajaran Terpadu
1. Kekuatan
Kekuatan atau manfaat yang dapat dipetik melalui pelaksanaan
pembelajaran terpadu antara lain sebagai berikut:
a) dengan menggabungkan berbagai mata pelajaran akan terjadi
penghematan waktu, seperti contoh yang dibahas terdahulu yakni pada
Mata Pelajaran IPA. Ketiga disiplin ilmu yang masuk dalam wilayah IPA
(Fisika, Kimia, dan Biologi) dapat dibelajarkan sekaligus. Tumpang tindih
materi juga dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
b) peserta didik dapat melihat hubungan yang bermakna antar konsep.
c) meningkatkan taraf kecakapan berpikir peserta didik, karena peserta
didik dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih luas dan lebih
dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran.
d) pembelajaran terpadu menyajikan penerapan/aplikasi tentang dunia
nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
memudahkan pemahaman konsep dan kepemilikan kompetensi.
e) motivasi belajar peserta didik dapat diperbaiki dan ditingkatkan.
f ) pembelajaran terpadu membantu menciptakan struktur kognitif yang
dapat menjembatani antara pengetahuan awal peserta didik dengan
pengalaman belajar yang terkait, sehingga pemahaman menjadi lebih
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
196
Adri Efferi
terorganisasi dan mendalam, juga memudahkan memahami hubungan
materi dari satu konteks ke konteks lainnya.
g) akan terjadi peningkatan kerja sama antar guru submata pelajaran
terkait, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik,
peserta didik atau guru dengan narasumber; sehingga belajar lebih
menyenangkan, belajar dalam situasi nyata, dan dalam konteks yang
lebih bermakna.
2. Kelemahan
Di samping kekuatan atau manfaat yang dikemukakan itu, model
pembelajaran terpadu juga memiliki beberapa sisi kelemahan. Perlu
disadari, bahwa sebenarnya tidak ada model pembelajaran yang cocok
untuk semua konsep, oleh karena itu model pembelajaran harus
disesuaikan dengan konsep yang akan diajarkan. Akan tetapi kelemahan
tersebut seyogianya menjadi tantangan, untuk terus berupaya diatasi oleh
pihak-pihak yang terlibat di sekolah. Beberapa kelemahan yang perlu
diatasi, dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Aspek Guru: Guru harus berwawasan luas, memiliki kreativitas tinggi,
keterampilan metodologis yang handal, rasa percaya diri yang tinggi,
dan berani mengemas dan mengembangkan materi. Secara akademik,
guru dituntut untuk terus menggali informasi ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan materi yang akan diajarkan dan banyak membaca
buku agar penguasaan bahan ajar tidak terfokus pada mata pelajaran
tertentu saja. Tanpa kondisi ini, maka pembelajaran terpadu akan sulit
terwujud.
b) Aspek peserta didik: Pembelajaran terpadu menuntut kemampuan
belajar peserta didik yang relatif “baik”, baik dalam kemampuan
akademik maupun kreativitasnya. Hal ini terjadi karena model
pembelajaran terpadu menekankan pada kemampuan analitik
(mengurai), kemampuan asosiatif (menghubung-hubungkan),
kemampuan eksploratif dan elaboratif (menemukan dan menggali). Bila
kondisi ini tidak dimiliki, maka penerapan model pembelajaran terpadu
ini sangat sulit dilaksanakan.
c) Aspek sarana dan sumber pembelajaran: Pembelajaran terpadu
memerlukan bahan bacaan atau sumber informasi yang cukup banyak
dan bervariasi, mungkin juga fasilitas internet. Semua ini akan
menunjang, memperkaya, dan mempermudah pengembangan
wawasan. Bila sarana ini tidak dipenuhi, maka penerapan pembelajaran
terpadu juga akan terhambat.
d) Aspek kurikulum: Kurikulum harus luwes, berorientasi pada
pencapaian ketuntasan pemahaman peserta didik (bukan pada
pencapaian target penyampaian materi). Guru perlu diberi kewenangan
dalam mengembangkan materi, metode, penilaian keberhasilan
pembelajaran peserta didik.
e) Aspek penilaian: Pembelajaran terpadu membutuhkan cara penilaian
yang menyeluruh (komprehensif), yaitu menetapkan keberhasilan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
197
belajar peserta didik dari beberapa mata pelajaran terkait yang
dipadukan. Dalam kaitan ini, guru selain dituntut untuk menyediakan
teknik dan prosedur pelaksanaan penilaian dan pengukuran yang
komprehensif, juga dituntut untuk berkoordinasi dengan guru lain, bila
materi pelajaran berasal dari guru yang berbeda.
f) Suasana pembelajaran: Pembelajaran terpadu berkecenderungan
mengutamakan salah satu mata pelajaran dan ‘tenggelam’nya mata
pelajaran lain. Dengan kata lain, pada saat mengajarkan sebuah TEMA,
maka guru berkecenderungan menekankan atau mengutamakan
substansi gabungan tersebut sesuai dengan pemahaman, selera, dan
latar belakang pendidikan guru itu sendiri.
Sekalipun pembelajaran terpadu mengandung beberapa kelemahan
selain keunggulannya, sebagai sebuah bentuk inovasi dalam implementasi
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar perlu dikembangkan lebih
lanjut. Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan di atas, perlu dibahas
bersama antara guru mata pelajaran terkait dengan sikap terbuka.
Kesemuanya ini ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dalam pembelajaran.
Penutup
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang
berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat
menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya
dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Tujuan pendidikan ini membantu mengembangkan potensi individu
dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan
menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta
didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti
dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik,
belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan
sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Disamping itu, pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan
potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional,
fisik, artistik, kreatif, dan spiritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung
jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena
itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan
bagaimana orang belajar. Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru
untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan
guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator.
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran
dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan pembelajaran
terintergrasi/terpadu (Integrated Learning). Model pembelajarn ini
menempatkan siswa dalam posisi sentral, siswa sebagai peserta didik yang
aktif, terutama dalam keterampilan berpikir. Beberapa keterampilan
berpikir dikembangkan dalam pembelajaran ini, seperti: mengamati,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
198
Adri Efferi
membedakan, mengurutkan, menduga dan mengukur, mengelompokan,
bertanya, merumuskan hipotesis, membandingkan, menganalisis,
memadukan, menggenarilasisikan, menilai, memperkirakan,
menginterpretasikan, merencanakan, melakukan perc obaan,
berkomunikasi, berpikir konvergen, berpikir divergen, berpikir induktif,
berpikir deduktif, menyimpulkan, dan mengambil keputusan.
Bentuk penerapan pembelajaran terpadu didasarkan pada pengaitan
konseptual intra dan/atau antar bidang studi yang terjadi secara spontan,
dengan program kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan secara
sepenuhnya mengikuti kurikulum yang isinya masih terkotak-kotak
berdasarkan bidang studi agar terorganisasi secara terstruktur, lebih
eksplisit dan bertolak dari tema-tema.
Akhirnya, sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru
bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang
terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama
lebih utama daripada kompetisi. Cita-cita mulia ini, hanya mungkin
diwujudkan dengan melaksanakan pendidikan yang bersifat menyeluruh
(holistik) dan menyatu (integratif), baik antar komponen pendukung proses
pembelajaran maupun dalam materi yang akan disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2005). Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar Bahasa Indonesia untuk SD/MI.
Brandt, R. (1991). On Interdiciplinary Curriculum: a Convensation with Heidi Hayes
Jacobs. Educational Leadership. Oktober.
Depdiknas. (1996). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar,
Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 –
2009. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Joni, T.R, dkk. (1996). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar,
Jakarta: Depdiknas.
Latifah, M. (2008). “Pendidikan Holistik”. Bahan Kuliah (tidak dipublikasikan).
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. (2005). Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Nielsen, M.N. (1989). Integrative Learning for Young Children: Thematic Approach.
Education Horizon. Fall.
Prihantoro, dkk. (1986). IPA Terpadu. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.
Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.
Zuchdi, D. (1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta:
Depdikbud.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
199
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK
Oleh Jejen Musfah
Abstracts:
Holistic education can be understood as an educational model that can provide an
understanding of global issues such as human rights, social justice, multicultural,
religious, and global warming, so that learners are able to create insightful and global
character and able to provide solutions to the problems of humanity and peace.
Implementation of this educational model, of course,have to see the most important elements
in education, such as goals, curriculum, methods, educators, and evaluation.
Key word: Objectives, curriculum, methods, educators, and evaluation
Pendahuluan
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan di setiap negara
tidak menunjukkan perkembangan yang positif. Konflik horizontal dan
kekerasan kerap menghiasi media. Kemajuan ekonomi dan Teknologi
Informasi (TI) tidak berbanding lurus dengan terciptanya masyarakat
beradab yang menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, seperti
bersikap jujur, adil, sederhana, toleran, disiplin, dan bertanggung jawab.
Sebagai contoh, perilaku kekerasan dilakukan oleh banyak lapisan
mulai dari siswa, mahasiswa, hingga masyarakat. Berdasarkan data dari
Polda Metro Jaya, sejak Januari hingga awal Juli lalu terjadi 36 tawuran di
lima wilayah kota di Jakarta dan Bekasi. Paling banyak terjadi di Jakarta
Pusat, yaitu 24 kejadian, lalu Jakarta Selatan 5 kejadian, Jakarta Barat 3
kejadian, Bekasi 2 kejadian, serta Jakarta Utara dan Jakarta Timur masingmasing 1 kejadian (Kompas, 21 Juli 2011).
Makalah pernah dipresentasikan pada Seminar Internasional Education for Humanity: Redesigning Global Education towards Holistic Education” tanggal 23-24 Nopember
2011. Penulis adalah Dosen Program Studi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
200
Jejen Musfah
Kekerasan terjadi di kalangan masyarakat akademik (academic society),
dari pelajar hingga mahasiswa. Pemberitaan tentang pelajar dan
mahasiswa memunculkan sederet diksi yang tidak relevan dengan kultur
akademik (academic culture), seperti—pada level mahasiswa—parang,
kampus rusuh, gedung terbakar, botol bom Molotov, pisau, pedang,
mahasiswa luka, dan—pada level pelajar—gir sepeda motor, golok, tongkat
bambu, dan celurit.
Generasi saat ini merupakan hasil dari pendidikan masa lalu—10
hingga 15 tahun ke belakang. Pendidikan di mana pun sejatinya berorientasi
pada pembentukan manusia seutuhnya yang mencakup penguasaan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap; manusia yang tidak hanya cerdas
dan terampil, tetapi juga menjalankan keluhuran budi pekerti dalam
menjalankan hidup ini—utamanya terhadap sesama. Tegasnya, pendidikan
selalu berorientasi pada pembentukan manusia yang beradab dan terampil
serta cerdas.
Proses pendidikan perlu ditinjau ulang, karena dianggap belum
berhasil melahirkan generasi yang holistik atau utuh sebagai pembawa
kedamaian, ketentraman, dan ketenangan bagi sesama dan alam ini.
Pendidikan tidak saja perlu merevisi kurikulum, meningkatkan mutu
pendidik, mengembangkan sarana-prasana, akan tetapi harus juga
memerhatikan bagaimana pengetahuan itu disampaikan, bagaimana
budaya sekolah dan perguruan tinggi, dan bagaimana kepemimpinan
lembaga pendidikan. Kecuali itu, penting juga mempertanyakan bagaimana
kontribusi masyarakat dalam bidang pendidikan.
Pendidikan harus mengenalkan peserta didik tentang isu-isu penting
yang dihadapi oleh kemanusiaan, sekaligus harus mampu memberikan
pemec ahan atas masalah-masalah kemanusiaan tersebut. Dengan
demikian, peserta didik memiliki kesadaran tentang hakikat dirinya, yaitu:
siapa, untuk apa, dan bagaimana. Kehidupan seorang manusia bermakna
manakala ia mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan
pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya. Pendidikan dengan gambaran
seperti itu dinamakan dengan pendidikan Holistik.
Kecuali itu, agenda pendidikan bukan hanya terfokus pada level
sekolah dan kampus, tetapi harus turun menyentuh lapisan masyarakat,
seperti organisasi masyarakat, partai politik, kalangan pengusaha, dan
masyarakat bawah (grass root) yang rawan konflik kekerasan.
Tentu banyak variabel penting yang terkait dengan gagasan perlunya
pendidikan holitik dirumuskan. Sebut saja misalnya dari visi dan misi,
kurikulum, budaya, sumber belajar, pendidik dan tenaga kependidikan,
metode, hingga pada kebijakan pemerintah. Ini dari segi praktik pendidikan,
sedangkan dari segi sudut pandang yang lain, pendidikan holistik bisa
dianalisis dari perspektif hukum, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan
antropologi—baik teoritis maupun praksis. Semua harus dirancang
sedemikian rupa sehingga mewujud menjadi satu kesatuan utuh sebagai
sebuah konsep yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sinergi dan
konsistensi, serta tentu saja evaluasi yang menyeluruh.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
201
Makalah ini berisi tinjauan selintas tentang pendidikan holistik dari
sudut pandang teoritis (konsep [?]) pendidikan dan pelaku pendidikan—
sebagai guru dan dosen. Karena itu, isi makalah ini lebih tepat disebut
sebagai pengantar. Tidak juga semua aspek pendidikan dibahas, karena
pertimbangan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis.
Pembahasan
1. Beberapa Pengertian
Berikut ini beberapa pengertian pendidikan holistik menurut tokoh.
Menurut Ron Miller—pendiri Jurnal Holistic Education Review, “Holistic education is a philosophy of education based on the premise that each person finds
identity, meaning, and purpose in life through connections to the community, to
the natural world, and to humanitarian values such as compassion and peace. Holistic education aims to call forth from people an intrinsic reverence for life and a
passionate love of learning,” (www.eng.wikipedia.com).
Karena praktik pendidikan selama ini dianggap gagal menjawab
tantangan dan kemelut zaman, maka pendidikan holistik sering dianggap
sebagai pendidikan alternatif. Robin Ann Martin (2003) menjelaskan, “At
its most general level, what distinguishes holistic education from other forms of
education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance
that it places on relationships and primary human values within the learning
environment,” (www.eng.wikipedia.com).
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman
terhadap permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial, multikultural,
agama, dan pemanasan global, sehingga mampu melahirkan peserta didik
yang berwawasan dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi
terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian.
Dengan demikian, pendidikan holistik bertujuan membentuk peserta
didik yang setia memahami persoalan lingkungannya dan berusaha ikut
terlibat langsung dalam upaya pemecahan masalah-masalah lokal dan global. Hal ini meniscayakan kompetensi dan militansi yang memadai dari
setiap peserta didik tentang diri, lingkungan sosial, dan Teknologi,
Informasi, dan Komunikasi (TIK).
Tanpa kata holistik di belakangnya, pendidikan—secara teoritis—sejak
dulu sebenarnya telah komprehensif atau utuh. Utuh dalam pengertian
bahwa ia bertujuan melahirkan murid yang memiliki kecerdasan
pengetahuan, emosional, dan spiritual, serta terampil. Demikian juga
dengan kurikulum, metode, media, dan evaluasinya. Ini terbaca misalnya
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal
1 Poin 1, bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Hanya saja dalam praktiknya sering menyimpang, terutama di sekolah/
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
202
Jejen Musfah
madrasah yang tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas. Bahkan,
pendidikan, jika ingin berhasil, membutuhkan perencanaan, eksekusi, dan
penilaian/evaluasi yang matang. Jadi bukan proses yang serba instan, asal
jalan, apalagi dikelola dan dijalankan oleh tenaga-tenaga tidak profesional.
Sebagai contoh, bagaimana menjamin mutu madrasah jika para gurunya
tidak memenuhi standar semisal S1, dan tidak pernah mengikuti
serangkaian pelatihan profesional.
Sama dengan saat ramai ide pentingnya pendidikan anti korupsi dan
pendidikan karakter, pendidikan holistik tidak harus menjadi tambahan
mata pelajaran baru di sekolah/madrasah. Persoalannya bagaimana para
pendidik mengintegrasikan pembelajaran di kelas dengan persoalanpersoalan sosial, keagamaan, ekonomi, dan hukum. Pendidikan holistik
adalah pendidikan yang memahamkan peserta didik pada persoalanpersoalan yang terjadi di sekitarnya, plus menerampilkan mereka
pemecahan masalah tersebut. Minimal, murid aware dengan persoalanpersoalan tersebut.
Jadi pendidikan holistik tidak semata utuh dari segi tujuan pendidikan.
Lebih dari itu, murid harus mampu memahami diri dan lingkungannya;
kurikulum, metode, dan pendidik harus pula diarahkan sesuai karakter dan
prinsip-prinsip, serta core pendidikan holistik.
2. Tujuan Pendidikan
Di atas telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan harus
mengembangkan potensi manuusia secara utuh, yaitu: kognitif, psikomor,
dan afektif. Beberapa pemetaan dan istilah muncul dalam konteks
pengembangan kompetensi manusia yang menjadi tanggung jawab dan
atau tujuan pendidikan, mulai dari perspektif agama hingga psikologi (lihat
bagan 1).
Bagan 1, Tujuan Pendidikan
No
1
2
3
4
5
Aspek
Jasmani dan Ruhani
Tubuh, Jiwa, Akal, Otak, dan Hati/Kalbu
Kognitif, Psikomotorik, dan Afektif
IQ, EQ, SQ, dan SQ
(Kecerdasan Intelektual, Emosional, Sosial, dan Spiritual)
Multiple Intelligence
(Kecerdasan Kinestetik, Bahasa, Musik, Logika, Intrapersonal,
Interpersonal, Naturalis, dan Visual)
Pertama, jasmani atau tubuh. Sistem pendidikan Indonesia menyadari
pentingnya kesehatan jasmani bagi generasi muda. Dari Pendidikan Usia
Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK)/RA, Sekolah Dasar (SD)/MI, SLTP/
MTS, hingga SMA/MA ada mata pelajaran olahraga dan kesehatan, tentu
berikut kewajiban membeli dan memakai seragam olahraga di hari
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
203
tertentu. Entah bagaimana sejarahnya, di perguruan tinggi, mahasiswa
tidak diwajibkan berolahraga seperti di level atas, menengah, dan dasar
tersebut. Olahraga atau olahtubuh penting untuk kesehatan fisik. Dalam
tubuh yang sehat ada pikiran yang jernih.
Keberhasilan pendidikan kesehatan harus mewujud dalam fakta
masyarakat yang tidak saja menyadari pentingnya berolahraga secara rutin sesuai pilihan dan kemampuan ekonomi masing-masing, tetapi
menghindari kebiasaan buruk yang mengganggu kesehatan tubuh dalam
jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang, seperti kebiasaan
merokok, mengkonsumsi narkoba, dan minuman keras. Sebaliknya,
masyarakat sadar pentingnya mengkonsumsi makanan dan minuman yang
seimbang kandungan gizi, nutrisi dan vitaminnya (dulu, apa yang disebut
dengan empat sehat lima sempurna), seperti susu, nasi, tahu, tempe, daging,
sayur-mayur, dan buah-buahan. Kadar makan tidak boleh berlebihan;
berhenti sebelum kenyang. Minum air putih yang cukup dan istirahat atau
tidur yang cukup.
Apakah masyarakat kita sudah memilih hidup sehat atau sebaliknya?
Di sinilah pentingnya pendidikan kesehatan. Pendidikan yang mampu
menanamkan kesadaran kepada generasi muda, bahwa sampai kapan pun
mereka harus meluangkan waktunya untuk kepentingan kesehatan tubuh.
Mengejar karir dan bekerja penuh loyalitas dan dedikasi tinggi penting,
tetapi tidak boleh sampai meninggalkan olahraga dan istirahat yang
seimbang. Dengan demikian, usia panjang dan sehat bisa diraih.
Kedua, akal dan atau otak. Pendidikan mengisi akal atau otak manusia
dengan pengetahuan. Pengetahuan yang mendalam mengantar manusia
pada kecerdasan dan keterampilan yang sangat bermanfaat untuk modal
bekerja pada beragam bidang. Kecerdasan dan keterampilan mengantar
manusia pada kesejahteraan ekonomi, sehingga ia mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya sebagai manusia, seperti rumah, makanan, kendaraan,
rasa aman, cinta, diakui, aktualisasi diri, dan seterusnya.
Perubahan dunia yang tampak pada kemajuan pendidikan, peradaban,
ekonomi, budaya, teknologi dan informasi, sains, menunjukkan kemajuan
akal manusia yang mana pintu utamanya adalah pendidikan. Pendidikan
lah—dalam bentuknya yang beragam—yang memungkinkan ide-ide kreatif
dan inovatif muncul di tengah-tengah kehidupan kita. Kecerdasan dan
kecemerlangan akal manusia memungkinkan hidup manusia menjadi lebih
mudah dan simpel. Jarak yang jauh menjadi terasa dekat. Beban yang berat
menjadi terasa ringan. Masalah yang sulit menjadi terasa mudah. Bahkan
sesuatu yang mahal menjadi terasa murah. Contoh yang mudah diberikan
adalah kehadiran internet dan telepon genggam, serta pesawat terbang.
Untuk pergi keluar kota selama seminggu seseorang tidak harus membawa
uang cash 5 hingga 10 juta, cukup dengan membawa kartu ATM. Demikian
juga pada saat membeli tiket pesawat. Cukup memesan melalui telepon,
satu jam kemudian tiket diantar ke kantora. Di bidang kesehatan ditemukan
banyak cara atau metode penyembuhan penyakit, baik penyembuhan a la
modern maupun tradisional (herbal). Di bidang agama, penghafal Al-Quran
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
204
Jejen Musfah
dan Hadis tidak sedikit.
Tentu banyak contoh lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan kita
yang membuktikan pentingnya pendidikan akal atau otak manusia. Otak
manusia menyimpan potensi yang tak terbatas untuk memecahkan
beragam problem kehidupan di dunia ini. Kuncinya pendidikan. Kita
memiliki beberapa tokoh cerdas seperti RA Kartini, Zakiyah Darajat, Buya
Hamka, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Ir. Soekarno, Muhammad
Hatta, M. Quraish Shihab, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, KH Hasyim
As’ari, Goenawan Muhammad, Nurcholish Majid, Emha Ainun Najib,
Harun Nasution, Haidar Baghir, Azyumardi Azra, Imam Suprayogo,
Komaruddin Hidayat, Moeslim Abdurrahman, Jalaluddin Rahmat, dan
seterusnya. Kepada penguasaan aspek apa sebuah generasi akan diarahkan
tergantung pada political and good will pemimpin bangsa dan pendidikan
saat ini.
Ketiga, ruhani dan hati. Pendidikan menyentuh pula sisi terdalam dalam
manusia, yaitu ruhani dan hatinya. Ini bertujuan melahirkan generasi yang
mampu membuat pilihan yang terbaik dalam hidupnya. Baik untuk diri
dan lingkungannya. Perbuatan yang membawa manfaat. Phenix menulis
(1964: 215), “Esensi makna etik, atau pengetahuan moral, adalah perbuatan
yang benar, yaitu, apa yang seharusnya seseorang lakukan”.
Pintar dan cerdas intelektual seperti digambarkan di atas harus
diimbangi kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual agar manusia
menemukan makna hidupnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Desain
gedung yang kokoh, tinggi, megah, dan indah; mobil mewah, rumah megah,
pakaian yang necis, dan telepon genggam yang canggih, itulah yang
dibanggakan oleh generasi sekarang, namun melupakan pentingnya
pembangunan karakter. Menurut Husain dan Ashraf (1979: 107), “Dalam
dunia kontemporer saat ini perhatian lebih ditujukan pada bangunan,
peralatan, perlengkapan, dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan
karakter… “.
Pendidikan berhasil jika mampu melahirkan murid yang mampu
melakukan kebaikan di tengah pilihan yang sulit. Misalnya, ia mampu
mencontek tetapi tidak melakukannya; ia mampu berbohong pada orang
tua tetapi tidak melakukannya; kelak, ia mampu korupsi tapi tidak
melakukannya; dan seterusnya. Phenix menulis (1964: 215), “The essence of
ethical meanings, or of moral knowledge, is right deliberate action, that is, what a
person ought voluntarily to do.” Berkenaan dengan pengembangan akhlak
dalam pendidikan, Miller dan Seller (1985: 47), menjelaskan bahwa, “Education should teach children to restrain and control themselves.”
Pendidikan bertujuan mengembangkan kecerdasan intelektual,
emosional, sosial, dan spiritual peserta didik. Dalam diri manusia
diharapkan muncul kesalehan spiritual sekaligus kesalehan sosial. Dengan
demikian, wujud kehidupan masyarakat dan bangsa diwarnai dengan nilainilai kasih sayang, ketulusan, tanggung jawab, kejujuran, pengorbanan,
kepatuhan, kedisiplinan, rasa malu, penghormatan, penghargaan,
kemuliaan, rendah hati, cinta lingkungan, dan nasionalisme. Nilai-nilai
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
205
tersebut seharusnya menjadi budaya dan karakter bangsa. Whitehead
(1957: 26) menulis, “The essence of education is that it be religious.” Menurut
Muhammad Qutb (1967: 50), “Tujuan pendidikan Islam adalah
membimbing manusia sedemikian rupa, sehingga ia selalu tetap berada
dalam hubungan dengan Allah Swt.”. Merasa dekat dengan Allah akan
membimbing manusia ke arah perilaku yang semata baik.
Apakah pendidikan nasional dengan demikian bisa dikatakan gagal?
Tidak sepenuhnya gagal. Di atas telah disebutkan sejumlah nama tokoh
putra-putri bangsa hasil dari pendidikan nasional. Persoalannya,
melahirkan generasi yang berkarakter sekelas Mahatma Ghandi, Nelson
Mandela, Arif Rahman, Kak Seto Mulyadi, Ratna Megawangi, dan Munir,
memerlukan tokoh teladan—untuk tidak mengatakan membutuhkan
keajaiban atau takdir sejarah. Singkatnya, apakah tokoh berkarakter itu
merupakan hasil dari proses pendidikan atau keharusan sejarah—karena
dunia memerlukan tokoh-tokoh inspiratif untuk pembelajaran bagi
penguasa lalim dan generasi mendatang.
Jadi kalau kita percaya asumsi pertama, bahwa pendidikan karakter
memerlukan teladan, apakah kita memilikinya? Presiden, menteri, wakil
menteri, anggota legislatif, hakim, jaksa, polisi, pengusaha, politisi, guru
besar, dosen, guru, kepala sekolah/madrasah, pegawai pemerintah, apakah
merupakan sosok ideal yang layak ditiru sisi intelektual, emosional, sosial,
dan spiritualnya oleh generasi muda?
Dan kalau kita sudah menggeleng kepala tanda ragu, apakah bangsa
kita memiliki sistem yang bisa membuat masyarakat menjadi hidup lebih
teratur, disiplin, taat hukum, hidup bersih, mau sekolah, taat membayar
pajak, tidak korupsi, tidak menyogok, dan tidak segan berobat ke rumah
sakit? Kehadiran sistem yang memihak rakyat hanya akan lahir dari
pemimpin-pemimpin yang tegas dan berjiwa besar. Pemimpin yang
berkarakter. Pemimpin yang dalam bekerja dilandasi nurani dan hati bukan
pertimbangan akal semata.
Di sinilah peran pendidikan yang utama, yaitu melahirkan generasi
pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Tegas dan siap menanggung
resiko sepahit apa pun, karena yang diperjuangkannya adalah kebenaran,
kemanusiaan, dan keadilan.
Pengembangan moral peserta didik harus menjadi pijakan dasar pelaku
pendidikan dalam menjalankan proses belajar mengajar. Menurut Henson
(1995: 84), “Guru tidak dapat menolak mengajarkan etik. Alasan lain
mengapa guru harus memperhatikan etik adalah bahwa, di setiap
masyarakat, pendidikan menginisiasikan para pemuda ke dalam
budayanya, dan kepercayaan moral merupakan bagian besar budaya”.
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Amr menunjukkan
bahwa, “seorang mukmin yang paling utama imannya adalah yang paling
baik akhlaknya,” (Bek, t.th.: 30).
Manusia lahir dengan membawa potensi jamak. Potensi dan atau
kecerdasan yang mungkin muncul dalam diri manusia adalah Kinestetik,
Bahasa, Musik, Logika, Intrapersonal, Interpersonal, Naturalis, dan Visual.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
206
Jejen Musfah
Dalam pribadi seseorang bisa muncul lebih dari satu kecerdasan. “Tujuan
pendidikan harus menyentuh kecerdasan jamak yang ada pada setiap
murid,” (Armstrong, 1994; Goleman, 2006).
Sekolah harus menjadi tempat tumbuh kembangnya potensi peserta
didik seraya mengapresiasi keragaman kecerdasan yang dimiliki anak.
Dalam praktik, sekolah memberi penghargaan berdasarkan prestasi anak
dalam ragam kecerdasan—seperti per bidang studi atau mata pelajaran,
bukan akumulasi nilai akhir raport, semisal Juara I, II, III, dan seterusnya.
3. Kurikulum
Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh
pengalaman peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar
peserta didik cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Kurikulum
sekolah mencakup kebiasaan, tata tertib, ektra kurikuler, dan teladan dari
pendidik, staf, dan kepala sekolah.
Eisner (2002: 26) menjelaskan makna kurikulum, yaitu “all of the experience the child has under the aegis of the school.” Ia juga menjelaskan bahwa,
“the curriculum of a school, or a course, or a classroom can be conceived of as a
series of planned events that are intended to have educational consequences for one
or more students.” Ronald C. Doll (1974: 22) menyatakan, “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of course of study and
list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school…”
Karena pendidikan bertujuan mengembangkan potensi manusia yang
holistik, jasmani-ruhani, akal-hati, dan intelektual-emosional-sosial-spiritual, maka kurikulum pendidikan pun mestinya berisi materi, aturan,
kegiatan, dan program yang dapat dan terkait dengan pencapaian tujuan
beragam aspek tersebut.
Kurikulum pendidikan harus berlandaskan norma agama, disamping
budaya. Muhammad Qutb (Al-Attas, 1979: 48-9) dalam The Role of Religion
in Education, tiga puluh tahun yang silam menulis, “Agama telah terisolasi
dan teralienasi dari kehidupan dan perasaan kita karena kita tidak
menjalankannya dalam kehidupan nyata…Hidup kita, dalam segala aspek,
bukanlah contoh dari kurikulum Allah yang terdiri dari kepercayaan, tugastugas ibadah, bekerja, perasaan, tingkah-laku, politik, ekonomi, sosial, dan
seterusnya”.
Budaya mutu sekolah sebagai hidden curriculum harus terpelihara
dengan baik karena ia akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
intelektual dan keterampilan serta sikap murid. Bruner (1973: 52) menulis,
“For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such
intellectual potential as he may posses.”
Di era modern masih kokoh tiang penindasan terhadap yang lemah
oleh pihak yang kuat dan berkuasa dan subur benih pembelaan terhadap
yang jelas salah. Inilah yang harus diajarkan kepada para murid, bahwa
realitas dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak semestinya. Oleh karena
itu, kelak mereka harus menjadi penegak keadilan dan kebebasan—sesuai
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
207
dengan kapasitas masing-masing. Menurut Kohlberg, “Wanted to see people
advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society
would contain individuals who not only understand the need for social order, but
can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty,” (Crain,
2000: 165).
Krisis ekonomi, lingkungan, politik, kekerasan, korupsi, suap,
nepotisme, dan kolusi terjadi karena lemahnya etika dan karakter. Karena
itu, pendidik perlu mendapat wawasan karakter yang mungkin bisa
diajarkan dan dicontohkan kepada peserta didik, tanpa kecuali. Pendidikan
karakter tidak harus menjadi mata pelajaran, karena inti pendidikan adalah
pembentukan karakter dan setiap mata pelajaran yang sudah ada
mengandung nilai-nilai utama. Persoalannya adalah para guru/pendidik
telah kehilangan legitimasi sebagai teladan, karena sikap dan perbuatannya
tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Henson (1995: 89) menulis, “Teachers cannot avoid teaching ethics. Teachers must be concerned with ethics is that, in
any society, education serves to help initiate its young into its culture, and certainly moral beliefs are a large part of any culture.”
Sulit mengembangkan karakter jika guru kehilangan kepercayaan diri,
dan apalagi tidak sadar bahwa ia adalah harapan masyarakat dan bangsa.
Guru adalah kurikulum bagi pembentukan karakter peserta didik. Kepala
sekolah merupakan kurikulum bagi sikap guru. Pemimpin ialah kurikulum
bagi peningkatan budaya bawahannya. Presiden adalah kurikulum bagi
pengembangan karakter dan jiwa rakyatnya. Demikianlah, penegakkan
karakter sebuah generasi akan sia-sia tanpa keteladanan dari guru,
masyarakat, dan pemimpin.
Kurikulum mencakup semua hal yang bisa mencerahkan dan memberi
pelajaran kepada peserta didik, langsung maupun tak langsung. Kurikulum
pendidikan adalah buku pelajaran, interaksi guru-murid, murid dengan
murid, murid dengan karyawan, perpustakaan, kantin, taman, program,
tata tertib, suasana dan kondisi kelas dan sekolah. Karena itu, semua hal
tersebut harus dirancang (by design) dengan matang untuk pembelajaran.
Program rutin sekolah bisa berupa workshop tentang tema-tema
krusial seperti korupsi, anak jalanan, banjir, narkoba, tawuran, terorisme,
krisis ekonomi, pemanasan global, perdagangan manusia, dan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI). Di samping workshop, sekolah bisa membuat program
yang langsung menyentuh komunitas-komunitas yang terkait masalahmasalah tersebut. Dengan demikian, peserta didik mengetahui akar
persoalan, dan berkontribusi terhadap pemecahan masalah tertentu. Dari
kegiatan semacam ini peserta didik diharapkan belajar tentang problem
sosial, mengetahui posisinya di tengah persoalan tersebut, serta
membuatnya semakin dewasa.
4. Metode
Tujuan yang baik dan benar harus dilakukan dengan cara yang benar
dan baik pula. Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan.
Di antara metode pendidikan yang bisa digunakan adalah perumpamaan,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
208
Jejen Musfah
kisah, targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik, dan nasihat, (Musfah, 2009).
Dalam metode praktik, peserta didik hendaknya dilatih untuk memecahkan
masalah seputar kehidupan dan lingkungannya. Dengan demikian ia telah
belajar bagaimana cara memecahkan masalah (problem solving) dan
pembelajaran sesuai konteks (Contextual Teaching Learning [CTL]).
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu-ilmu pengetahuan dalam kaitannya
dengan proses pendidikan, sangat tergantung pada guru dan bagaimana
mereka mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik. Oleh karena
itu, guru wajib mengetahui faidah dari metode yang digunakan (Ahmad,
1975: 300).
Dalam mendidik guru harus pertama, sabar. Peltz (2007: xv)
menyatakan, “Mengajarkan keterampilan merupakan kerja sulit; itu
membutuhkan kesabaran yang besar, keuletan, dan kepekaan. Kita butuh
kesadaran bahwa betapa sulit mengubah perilaku”.
Kedua, menghindari hukuman fisik. Ketaatan yang lahir karena
hukuman fisik hanya bersifat semu. Sebaliknya, kepatuhan harus lahir dari
kesadaran diri pribadi (inner self) karena memahami kebaikan dan manfaat
dari perbuatannya tersebut. Brumbaugh dan Lawrence (h. 114) menulis,
“If we wish to establish morality, we must abolish punishment,”
Ketiga, berusaha menjadi teladan. Ormord menulis, “Beberapa aspek
pemikiran dan perilaku moral rupanya dipengaruhi oleh pengamatan dan
teladan,” (2003: 136). Karena guru juga manusia, maka menjadi teladan
baik di depan peserta didik dan masyarakat merupakan usaha tanpa henti
dan penuh perjuangan serta rintangan.
Pendidik harus menguasai metode pendidikan dan tidak boleh putus
asa dalam mendidik. Tidak ada metode yang lebih baik dari metode yang
lainnya. Setiap metode memiliki pengaruhnya masing-masing. Yang perlu
diperhatikan pendidik adalah kemampuannya memilih metode yang sesuai
dengan materi dan situasi saat pendidikan berlangsung, juga fasilitas yang
tersedia.
Pemilihan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan
pendidikan, menyenangkan dan tidaknya proses pendidikan. Penerapan
metode yang kurang tepat membuat proses pembelajaran dan pendidikan
akan terasa membosankan, sehingga siswa sulit menerima pelajaran.
Bahkan materi yang mudah akan terasa sulit. Mendidik dengan cara salah
sering menimbulkan penolakan. Sebaliknya, ketepatan memilih metode
akan membuat transfer ilmu dan sikap terasa mudah dan menyenangkan
(Musfah, 2009).
Karena itu, seorang pendidik harus sering berlatih dan berlatih, praktik
dan praktik, disamping menguasai metode pengajaran dan pendidikan
secara teoritis. Keterbatasan fasilitas sekolah—yang sering terjadi—tidak
boleh menghambat kreatifitas guru dalam menyampaikan metode tertentu
yang menyenangkan.
5. Pendidik
Tidak ada yang dapat menggantikan posisi guru dalam pendidikan.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
209
Keberhasilan pendidikan ada pada kompetensi guru. Seorang guru harus
memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional,
kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus menguasai materi yang
akan disampaikan; memilih metode yang tepat; memahami peserta didik;
dan mampu menyampaikan ide dengan baik, sehingga peserta didik benarbenar belajar dan mendapatkan sesuatu yang bermakna.
Guru penting memahami peserta didik, karena ia harus membantu
murid memahami jati dirinya, sehingga ia mampu menjadi orang yang baik
dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Henderson (1960: 114)
menulis, “We can find the basis for morality in our own natures, in the conduct
necessary to realize our best potentialities and the kind of society in which man
could live as man.”
Inti sosok guru ada pada kepribadian atau karakternya. Karena itu,
tidak semua orang bisa menjadi guru. Menjadi guru sejati harus lahir dari
panggilan jiwa. Guru harus berusaha baik agar menjadi teladan. Beberapa
aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131), “1)
Manusia saling mempengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan,
pemikiran, dan keyakinan; 2) Perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding
ucapan; 3) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.” Menurut
Husain dan Ashraf (1979: 106), “Jika disepakati bahwa pendidikan bukan
hanya melatih manusia untuk hidup, maka karakter guru merupakan hal
yang sangat penting”.
Kompetensi guru paling tinggi adalah kepribadiannya. Artinya, ia
harus menjadi teladan dalam segala aspek. Guru di sini diposisikan sebagai
manusia sempurna (insan kamil). Tugas guru adalah membentuk dan
memengaruhi kepribadian murid agar tumbuh dan cenderung pada
kebaikan. Ormord menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling,” (2003: 136).
Karakter guru adalah pertama, pembelajar. Menurut Al-Zarnuji (Afandi,
1993: 92), “Seorang guru harus seorang pembelajar, saleh, dan
berpengalaman”.
Kedua, bijak. “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia pembelajar
tapi menjadi pribadi bijak, seorang saleh yang bisa memengaruhi pikiran
generasi muda,” tulis Husain dan Ashraf (1979: 104).
Ketiga, rela berkorban. Seorang guru harus sampai pada derajat—apa
yang disebut Peck dan Havighurst (Cronbach, 1954: 578-587)—rational altruistic, bahwa ia mengembangkan sistem moral yang tinggi sehingga rela
berkorban bagi kepentingan orang lain.
Apakah mudah mencari guru teladan? Tidak mudah menjawab
pertanyaan ini. Hanya saja, ketika tawuran siswa dan mahasiswa masih
terus terjadi dan tidak menunjukkan gejala akan berakhir, di manakah
peran guru yang semestinya bisa digugu dan ditiru. Kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa seolah menegaskan bahwa arahan
dan bimbingan guru sudah tidak diindahkan oleh anak didiknya.
Pertanyaannya, mengapa guru diabaikan? Bisa jadi peserta didik
selama ini melihat sesuatu yang serba paradoks di dalam praktik
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
210
Jejen Musfah
pendidikan, seperti sekolah. Guru mengajarkan kejujuran tetapi saat Ujian
Nasional memaklumi kecurangan; guru mengajarkan disiplin tetapi
lingkungan sekolah tidak bersih; guru mengajarkan pentingnya kreatif
tetapi buku-buku sumber yang dibaca murid bukan karya gurunya; dan
seterusnya. Hadis yang diriwayatkan Thabrani dari Jundub menyatakan,
“Perumpamaan seorang guru yang mengajarkan kebaikan pada manusia,
namun melupakan dirinya, seperti lilin yang menyinari manusia, namun
membakar dirinya,” (Bek, t.th.: 157).
6. Evaluasi
Hal penting yang tidak boleh dilewatkan oleh lembaga pendidikan
adalah evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi berguna untuk mengetahui
seberapa besar tujuan sekolah tercapai, dan mengetahui kekurangannya
untuk perbaikan di masa datang. Melalui hasil evaluasi juga pelaksana
dapat menentukan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di masa
mendatang.
Evaluasi adalah perbandingan hasil yang diharapkan dengan hasil yang
nyata. Menurut Mike Scriven (Madaus, et al., 1985: 291), “Evaluasi adalah
sebuah pengamatan nilai-nilai dibandingkan dengan beberapa standar”.
Wand dan Brown (1957: 1) menulis, “Evaluasi adalah tindakan atau proses
untuk menentukan nilai sesuatu.” Stone, et al. (1956: 3-4) berpendapat
bahwa, “Evaluasi adalah penilaian yang lebih menitikberatkan pada
perubahan kepribadian secara luas dan terhadap sasaran-sasaran umum
program kependidikan, sedangkan pengukuran lebih menekankan pada
aspek-aspek kemajuan bahan pelajaran atau keterampilan khusus dan
kemampuan spesifik”.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi
adalah proses untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan atau
pencapaian aspek kognitif, keterampilan, dan afektif seseorang atau
kelompok, yang bertujuan untuk peningkatan mutu kegiatan atau orang di
masa mendatang.
Demikian pula penilaian tidak sama dengan umpan balik. “Umpan
balik hanya dimaksudkan untuk mencari informasi sampai di mana murid mengerti bahan yang telah dibahas,” (Rooijakkers, 2003: 11). Caranya
adalah dengan guru bertanya kepada murid atau melakukan ujian singkat,
semacam kwis.
Tujuan paling penting dari evaluasi program adalah bukan untuk
membuktikan tapi untuk meningkatkan. Menurut Alex Astin dan Bob Panos,
“Tujuan yang prinsip dari evaluasi adalah untuk menghasilkan informasi
yang dapat menuntun keputusan mengenai adopsi atau modifikasi program pendidikan,” (Madaus, et al., 1985: 293).
Lembaga pendidikan sering mengabaikan evaluasi, padahal evaluasi
penting untuk mengetahui apakah kinerja lembaga sudah sejalan dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi penting untuk
memperbaiki kinerja, memperbaharui motivasi, dan mengatasi kekurangan
dan kelemahan lembaga, baik aspek sarana-prasarana, tenaga pendidik dan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
211
kependidikan, kerjasama dengan pihak lain, kepemimpinan, dan lain
sebagainya. Akhirnya, evaluasi harus dilakukan secara sadar, dan harus
lahir dari keinginan yang tulus untuk meraih tujuan dan mewujudkannya
menjadi kenyataan. Lembaga pendidikan yang mengabaikan evaluasi akan
menuai keterbelakangan dan berjalan di tempat, karena meriah tujuan
lembaga adalah kerja kolektif dan sistematis. Masalahnya, setiap unsur
dalam lembaga pendidikan, baik SDM maupun pendukung lainnya, sering
mengalami disorientasi karena bekerja sesuai dengan kepentingannya
masing-masing. Dalam hal ini dibutuhkan kepemimpinan yang sadar
pentingnya melihat ke dalam tubuh lembaga, bukan ikut mengalamai
disorientasi kepemimpinan.
Penutup
1. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman
terhadap permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial,
multikultural, agama, dan pemanasan global, sehingga mampu
melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global serta
mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan dan
perdamaian.
2. Pendidikan bertujuan mengembangkan kec erdasan intelektual,
emosional, sosial, dan spiritual peserta didik.
3. Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh
pengalaman peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar
peserta didik cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Kurikulum
sekolah mencakup kebiasaan, tata tertib, ektra kurikuler, dan teladan
dari pendidik, staf, dan kepala sekolah.
4. Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan. Di antara
metode pendidikan yang bisa digunakan adalah perumpamaan, kisah,
targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik, dan nasihat. Dalam mendidik
guru harus sabar, menghindari hukuman fisik, dan berusaha menjadi
teladan.
5. Seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
profesional, kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus
menguasai materi yang akan disampaikan; memilih metode yang tepat;
memahami peserta didik; dan mampu menyampaikan ide dengan baik,
sehingga peserta didik benar-benar belajar dan mendapatkan sesuatu
yang bermakna. Karakter guru adalah pembelajar, bijak, dan rela
berkorban.
6. Evaluasi adalah proses untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan
atau pencapaian aspek kognitif, keterampilan, dan afektif seseorang
atau kelompok, yang bertujuan untuk peningkatan mutu kegiatan atau
orang di masa mendatang.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
212
Jejen Musfah
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. (1993). The Method of Muslim Learning as Illustrated in Al-Zarnuji’s
Ta’lim Al-MUta’allim Tariq Al-Ta’allum. Thesis. Institute of Islamic
Studies. McGill University.
Ahmad, Sa’ad Mursa, Tathawwur Al-Fikry Al-Tarbawy, (Kairo: Matabi’ Sabjal
Al-Arabi, 1975).
Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât.
Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I.
Al-Attas, S.M.A. (Editor). (1979). Aims and Objectives of Islamic Education.
Jeddah: King Abdulaziz University.
Armstrong, T., Multiple Intelligences in the Classroom, USA: Association for
Supervision and Curriculum Development (ASCD), 1994.
Bek, A.H. (t.th.). Mukhtâr Al-Ahâdîts Al-Nabawiyyah wa Al-Hikam AlMuhammadiyyah. Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ’ Al-Kutub Al‘Arabiyyah. Cet. VI.
Brumbaugh, R. S. dan Lawrence, N.M., Philosophers on Education: Six Essays
on the Foundations of Western Thought, USA: Houghton Mifflin Company.
Bruner, J.S., The Relevance of Education, New York: The Norton Library.
Cronbach, L.J., Educational Psychology, USA: Harcourt, Brace, and Company,
1954.
Doll, R. C., Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Boston: Allyn
& Bacon, Inc. 1974.
Eisner, E. W., The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School
Program, Third Edition, New Jersey: Merril Prentice Hall, 2002.
Goleman, D., Social Intelligence: The New Science of Human Relationship, New
York: A Bantam Books, 2006.
Husain, S.S. dan Ashraf, S.A. (1979). Crisis in Muslim Education. Jeddah: King
Abdulaziz University.
Madaus, G.F., et al. (Eds). (1985). Evaluation Models: Viewpoints on Education
and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. USA: McGraw-Hill.
Henderson, S.V.P., Introduction to Philosophy of Education, Chicago: The University of Chicago Press, 1960.
Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Education Reform. New York:
Longman.
Musfah, J. 2009. “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal
Tahdzib; Jurnal Pendidikan Agama Islam. Jurusan PAI FITK UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. (Fourth Edition). New York: Pearson
Prentice Hall.
Peltz, W.H. (2007). Dear Teacher; Expert Advice for Effective Study Skills. California: Corwin Press.
Stone, J.W. et al. (1956). Evaluation in Modern Education. New York: American
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
213
Book Company.
Qutb, M. (1967). Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyah. Kairo: Dar Al-Qalam.
Wand, E. dan Brown, G. W. (1957). Essential of Educational Evaluation. New
York: Rincart and Winston.
Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England:
William and Norgate, Ltd.
www.eng.wikipedia.com
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
214
INTEGRASI MULTIDISIPLINER
MODEL TWIN TOWER:
Upaya Pengembangan Kurikulum IAIN
Menuju UIN Sunan Ampel
Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati
Abstracts
The result of the study suggests that the scholarly structure of UIN Sunan
Ampel Surabaya integrates the religious teaching with science using
the integrated twin tower paradigm with three pillars. To support the
program there are at least two strategies being developed (1) The new
students have to stay in the provided dorm during the full 2 semesters
(2) Strengthening the science spiritualism using the integrated scholarly principles (social-humanities, science and technology) and Islam.
The curriculum design is based on the three pillars (1) the strengthening of the pure and rare Islamic knowledge (2) the integration of Islamic
knowledge and the social-humanity science (3) the weighting of science
and technology with the Islamic teaching. Furthermore, to integrate the
religious teaching and science, the symbiosis-mutualism model can be
utilized.
Key word: The design of the curriculum development in UIN Sunan
Ampel, dichotomy approach towards the integrative multidisciplinary
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
215
Pendahuluan
Perjalanan panjang cita-cita konversi IAIN Sunan Ampel ke Universitas Islam Negeri (UIN) seolah-olah hampir di depan mata, setelah Senat
Institut menyetujui konversi tersebut pada tanggal 1-2 Juli 2010 di Hotel
Wisata Bahari Lamongan. Meskipun sebelumnya, kehawatiran dan
kecemasan dari civitas akademik tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai
pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagaimana nasib Fakultas Adab,
Dakwah, Syariah, Ushuluddin, dan Tarbiyah? Akankah fakultas-fakultas
ini dipinggirkan dan dimarginalkan? Bernasib samakah fakultas-fakultas
ini dengan fakultas agama di Universitas Islam Indonesia (UII).
Mengapa harus berubah menjadi Universitas? Tidak cukupkah dengan
nama Institut seperti yang disandangnya kurang lebih selama 48 tahun?
Jika fakultas atau program studi umum dikembangkan, bagaimana nasib
prodi yang selama ini telah berjalan? Akankah struktur keilmuan,
kurikulum, dan silabusnya sama dan sebangun dengan sebelum dan
sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur mata
kuliah, kurikulum dan silabus pada prodi-prodi umum di UIN dan universitas umum yang lain?. Dan berbagai pertanyaan yang lain.
Untuk merespon berbagai pertanyaan tersebut, yang perlu digaris
bawahi adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat
Mendiknas yang ditujukan kepada Menteri Agama tanggal 23 Januari 2004
sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang
berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, tugas
pokoknya tetap sebagai institut pendidikan tinggi bidang Agama Islam,
sedang penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan
tugas tambahan”. Dengan demikian, sebagai institut pendidikan tinggi,
bidang agama Islam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya
tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh wider mandate-nya. Hanya saja
kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan
kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta
mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik
fokus penekanan yang lebih daripada sebelumnya sesuai dengan kultur
akademik yang ada pada universitas. (Abdullah, 2005: 238-239).
Di samping itu, menurut Dr.Afandi Muchtar, MA, Sekretaris Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, ada
beberapa isu strategis yang ter terkait dengan pengembangan IAIN ke UIN.
Diantara isu strategis itu adalah: pertama, integrasi ilmu keislaman dengan
ilmu umum. Jika hanya menjadi institusi keagamaan saja, maka akan
menemui kesulitan dalam program islamisasi ilmu atau merumuskan
integrasi antara ilmu keislaman dengan ilmu umum. Dikhotomi keilmuan
ini adalah peninggalan zaman Balanda yang tetap dilestarikan hingga
sekarang. Ada pembagian dan batas yang tegas antara ilmu agama dan ilmu
umum.
Tugas UIN adalah melakukan integrai keilmuan dimaksud. Sudah ada
beberapa model pengintegrasian ilmu agama dan umum yang dilakukan
oleh beberapa UIN, misalnya UIN Sunan Kalijaga dengan model
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
216
Husniyatus Salamah Zainiyati
interkoneksi dan integrasi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan
model pohon ilmu, UIN Syarif Hidayatullah dengan model integrasi dan
IAIN Sunan Ampel dengan model twin tower. Ini adalah bagian dari
kekayaan akademik yang ke depan harus dikembangkan baik dari sisi
ontologis, epistemologis san aksiologisnya.
Kedua, tantangan yang tidak kalah penting adalah pendidikan untuk
bangsa. Yang menjadi tantangan di era sekarang adalah pendidikan untuk
pendidikan atau pendidikan untuk kepentingan diri. Padahal pendidikan
adalah investasi manusia dan sekaligus investasi masyarakat. Pendidikan
adalah untuk bangsa. Pendidikan harus mencetak manusia menjadi agen
perubahan. Pendidikan harus diarahkan agar dapat menghasilkan agenagen pengembangan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang lebih.
Jadi, pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia Indonesia yang pintar
untuk kepentingan dirinya saja, akan tetapi juga untuk menjadi agen sosial.
Ketiga, pendidikan harus diarahkan kepada dan menjawab tentang
keindonesiaan. Dan secara khusus untuk pendidikan Islam adalah untuk
menjawab keislaman dan keindonesiaan. Univesitas Islam harus memberi
bukti bahwa keislaman tidak bertentangan secara diametral dengan
keindonesiaan. (Syam, 9 Maret 2011).
Kerena itulah, ke depan, yang diharapkan bisa menyelesaikan relasi
pendidikan, keislaman dan keindonesiaan adalah insitusi yang memiliki
seperangkat pengetahuan yang cukup untuk hal ini. Problem ini tidak bisa
diselesaikan secara parsial, namun harus dilakukan melalui sistem
integratif. Melalui UIN maka pemecahan sistemik integratif akan bisa
dilaksanakan.
Dalam konteks pendidikan, usaha integrasi ilmu agama dan ilmu
umum pernah dilakukan oleh M.Natsir. Dia mengatakan bahwa pendidikan
Islam yang integral tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan
agama. Karena penyatuan antara sistem-sistem pendidikan Islam adalah
tuntutan aqidah Islam.
Usaha Natsir untuk mengintegrasikan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang
menyatukan dua kurikulum yaitu antara kurikulum sekolah-sekolah
tradisional yang banyak memuat pelajaran agama dengan sekolah Barat
yang memuat pelajaran umum.
( Nata, dkk., 2005: 149).
Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh
Mukti Ali dalam usahanya memformulasikan lembaga madarasah dan
pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam
lembaga-lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi aldin. Sebagaimana gagasan Harun Nasution dalam upayanya
menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di
lembaga pendidikan tinggi Islam, khususnya IAIN Jakarta dengan cara
pendekatan kelembagaan dan kurikulum. Pendekatan kelembagaan telah
merubah status IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang
berimplikasi pada pengembangan kurikulum pendidikan.
Namun pembaharuan pendidikan dengan menggunakan model
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
217
pendekatan di atas mempunyai kelemahan, yaitu; pertama, akar keilmuan
yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ilmu agama
bersumber dari wahyu dan berorientasi ketuhanan, sedangkan ilmu-ilmu
umum bersumber pada empirisme dan berorientasikan kemanusiaan.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum
dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya
integralisme dan integrasi keilmuan Islam dan umum, sampai kapanpun
akan menyisakan dikotomi keilmuan. Implementasi pembagian kurikulum
dalam lembaga pendidikan yang dinyatakan telah melaksanakan
integralisasi (UIN) yang tetap mengelompokkan mata pelajaran/mata
kuliah ilmu-ilmu agama dan mata pelajaran/mata kuliah ilmu-ilmu umum
“belum” bisa mewujudkan proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Yang
terjadi adalah proses Islamisasi kelembagaan dan proses Islamisasi
kurikulum. (Nata, dkk., 2005: 150).
Berkaitan dengan hal tersebut, Bilgrami menawarkan konsep Universitas Islam. Dia mengatakan, tujuan universitas Islam bukan sekedar
menyelenggarakan “pendidikan tinggi”, tetapi universitas Islam harus
mencetak sarjana-sarjana di bidang ilmu-ilmu keislaman dan bersedia
menyebarkan ilmu tersebut ke dalam ilmu pengetahuan modern. Di
samping itu, juga mencetak orang-orang yang mendalami ilmunya dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan, yaitu teknik, sosial dan budaya, serta
sains. (Bilgrami, tt: 60). Pola seperti ini bisa digunakan sebagai upaya untuk
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Dalam rangka mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu umum,
IAIN Sunan Ampel memakai “Pendekatan Multidisipliner dengan model
Integrative Twin Tower”. Menurut Prof. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan
Ampel, bahwa menara kembar itu dihubungkan oleh jembatan yang saling
bertemu. Jika tower yang satu berisi ilmu alam, ilmu social, ilmu budaya &
humaniora, maka di tower yang satu berisi ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu
fiqh, ilmu tasawuf dan sebagainya. Dua pembidangan ilmu ini kemudian
saling disapakan atau dihubungkan dengan jembatan pendekatan (approach) yang kemudian menghasilkan ilmu keislaman multidisipliner.
Pendekatan, yang di dalam filsafat ilmu dinyatakan sebagai pendekatan
antar bidang atau antar disiplin atau lintas bidang atau lintas disiplin. Satu
bidang atau disiplin menjadi pendekatan dan lainnya menjadi obyek kajian.
Al-Qur’an bisa didekati dengan berbagai pendekatan di dalam ilmu-ilmu
modern. Demikian pula fiqh, hadits, tasawuf dan sebagainya. (Syam, 9
Maret 2011).
Lebih jelasnya dalam era UIN, misalnya, Fakultas Syariah tidak boleh
menolak untuk dimasuki mata kuliah baru yang mengandung muatan humanities kontemporer dan ilmu-ilmu sosial seperti, hermeneutik, cultural
dan religious studies, HAM, filsafat ilmu, dan begitu seterusnya. Jika tidak,
mahasiswa akan menderita ketika keluar kampus berhadapan dengan
realitas sosial-kemasyarakatan dan realitas sosial-keagamaan yang begitu
kompleks. Berdasarkan pemikiran tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana
pengembangan kurikulum integratif yang dapat menjawab tuntutan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
218
Husniyatus Salamah Zainiyati
masyarakat dan perkembangan IPTEK?
Kebutuhan untuk mengembangkan kurikulum integratif pada
pendidikan tinggi Islam disebabkan oleh adanya tuntutan kebutuhan
masyarakat dan perkembanan IPTEK. Sumardi menyatakan dalam suasana
yang semakin kompetetif khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan
kemampuan-kemampuan intelektual lainnya, para sarjana IAIN adalah yang
banyak menderita kekurangan. Karena pada umumnya pendekatan kurikuler
di IAIN masih sangat doktriner dan dogmatis dan sarjana Agama itu belum
banyak “ber-try-out” dalam berbagai kesempatan. Sedangkan Ma’arif (1993)
mengungkapkan bahwa kaitan antara pendidikan Islam dan konsep Ilmu,
setidak-tidaknya ada tiga persolan pokok yang saling berkaitan yang dapat
dijabarkan menjadi; (i) sosok muslim yang menjadi luntang-lantung bila
dihadapkan kepada persoalan-persoalan dunia yang selalu berubah dan
menantang tampaknya disebabkan oleh idapan krisis identitas diri,
sedangkan system pendidikan dan kurikulum pendidikan Islam yang sedang
berlalu tidak dapat menolong keadaan, (ii) kegiatan pendidikan Islam di bumi
haruslah berorientasi ke langit—suatu orientasi transcendental agar kegiatan
itu punya makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu, dan (iii) perlunya
dilakukan redefinisi ulama. (Ma’arif, 1993: 12).
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana struktur
keilmuan IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya dengan paradigma
integratif-multidisipliner model twin towers? (2) Bagaimana strategi
pengembangan kurikulum IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya
dengan paradigma integratif-multidisipliner model twin towers?. Penelitian
ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data
dihimpun dari library research. Teknik ini akan digunakan untuk mengkaji
buku-buku, jurnal tentang integrasi-multidisipliner, maupun dokumen proposal pengembangan IAIN menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Selanjutnya dalam analisis data peneliti menggunakan pola induktif dan
deskriptif analitis.
Pembahasan
1. Problem Akademik terhadap Rancang Bangun Keilmuan Keislaman
yang Dikotomis-Atomistik
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat
dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Science, Sosial Science,
dan Humanities. Oleh karenanya, untuk pendirian sebuah universitas,
Departemen Pendidikan Nasional mensyaratkan dipenuhinya 6 program
studi umum dan 4 program studi sosial. Persyaratan ini bagus, tetapi para
ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkn oleh model
pendidikan unversitas yang berpola demikian. Sama halnya keluhan orang terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soalsoal “normatifitas” agama, tetapi kesulitan memahami historisitas agama
sendiri., lebih-lebih historisitas agama lain.
Dalam hal ini, Amin Abdullah (2005: 241-253) mencermati terlebih
dahulu pola dikotomis-atomistik dalam bangunan ilmu-ilmu agama (Islam)
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
219
yang biasa diajarkan di PTAIN. Dalam skema 1, yang diambil inspirasinya
dari karya-karya Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (1990) dengan modifikasi di
sana-sini sesuai dengan perkembangan telaah epistemologi dalam ilmu
pengetahuan, Amin Abdullah ingin memperlihatkan struktur fundamental ulumuddin dalam prespektif epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut
Al Jabiri, corak Epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fiqih dan kalam.
Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN., besar
kemungkinan juga pengajaran agama di sekolah-sekolah, perguruan tinggi
umum negeri dan swasta, dan lebih bayani sangatlah mendominasi dan
bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi
‘irfani dan burhani. Oleh karenanya, bagan skema 1 disebut sebagai corak
atau model dikotomis-astomistik. Corak pemikiran ‘irfani (tasawuf; intuitif;
al-‘atifi) kurang begitu disukai oleh tradisi berpikir keilmuan bayani (fiqih
dan kalam) yang murni, lantaran bercampuraduknya bahkan
dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan ‘irfani dengan kelompok-kelompok
atau organisasi-organisasi tarekat dengan satahat-satahat nya serta memang
kurang dipahaminya struktur fundamental epistemologi dan pola pikir
‘irfani berikut nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.
Menurut Amin Abdullah, pengembangan pola pikir bayani hanya dapat
dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat
dari sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir ‘irfani maupun pola
pikir burhani dan begitu pula sebaliknya. Jika saja masing-masing sistem
kefilsafatan ilmu keagamaan dalam islamic studies ini berdiri sendiri, tidak
bersentuhan antara satu dan lainnya sebagaimana tercermin dengan
kukuhnya dinding-dinding pembatas fakultas di lingkungan IAIN dan
STAIN, belum lagi tembok pembatas antara keilmuan umum dan keilmuan
agama, agak sulit dibayangkan terjadi pengembangan ilmu-ilmu keislaman
dalam menghadapi problem-problem komtemporer.
Jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemology bayani adalah teks,
sedngkan ‘irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), epistemology burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, social, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi
burhani disebut-sebut sebagai al-’ilm al-hushuli, yakni ilmu yang dikonsep,
disusun, dan disistematiskan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan
bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi.
Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu bayani, ‘irfani,
dan burhani saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam satu kesatuan yang
utuh, corak dan model keberagaman Islam, kata Amin Abdullah, jauh lebih
komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis seperti yang
dijumpai sekarang ini. Keilmuan tarbiyah dan juga dakwah mungkin juga
ketiga fakultas yang lain belum tentu memahami basis filisofi keilmuan
Islam yang fundamental ini dan implikasi dan konsekuensinya dalam dunia
praktis kependidikan agama, dunia praktis kedakwaan, kesyariahan,
keushuluddinan, dan begitu seterusnya.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
220
Husniyatus Salamah Zainiyati
Skema 1
Keilmuan IAIN: Pendekatan Dikotomik-Atomistik
No
Gugus
Paradigmati
k
Metodologi
(Process&
Procedure)
Tipe
Argumen
Tujuan
Pembelajaran
Sifat Dasar
Keilmuan
Pembidangan
Ilmu
1
Sumbe
r Ilmu
Penget
.
Akal
Tajridiyyah
(Abstraktif)
Bahtsiyyah
Demonstratif
Silogistik (AlManthiqiyyah)
Al-‘Ilm AlHushull
2
Wahyu
Istintajiyyah
Ijtihadiyyah
Intuisi
(Dhami
r)
Jadaliyyah (Al‘Uqul AlMutanafisah)
Al-La’aqlaniyyah
(Preverbal)
UstifikatifRepetitif (AlTaqlidiyyah)
Partisipatif
Al-‘Ilm AlTauqifi
3
Lughawiyyah
(Kalam;
Word)
Dzauqiyyah
ï‚· Idrak alsabab Wa alMusabbab
Muqarabah AlNashsh Li AlWaqi’
Universal
Reciprocy
TajribahBathiniyyah
(experience)
Al-‘Ilm AlHudhuri
2. Kerangka Kurikulum Berdasarkan Paradigma Integrated Twin Towers
Ada sejumlah persoalan krusial yang menimbulkan kekhawatiran di sejumlah komponen penting dari stakeholders, baik internal maupun eksternal, berpusar pada masa depan ilmu ilmu atau studi keislaman
(Islamic studies) dalam kerangka kelembagaan UIN. Pertanyaan
pertanyaan dimaksud di antaranya adalah apakah dengan menjadi UIN, ilmu ilmu keislaman yang selama ini dikembangkan di IAIN Sunan Ampel Surabaya akan terpinggirkan, ataukah justeru menjadi kekuatan khas? Bagaimanakah strategi kelembagaan dan akademik yang akan dikembangkan UIN Sunan Ampel Surabaya bisa menjamin bahwa ilmu ilmu keislaman tidak terpinggirkan, melainkan justeru mengalami penguatan melalui integrasi bersama keilmuan sosial
himaniora serta sains dan teknologi? Sesuai dengan dasar filosofis dan epistemologis di atas, maka ada
dua strategi yang dikembangkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya untuk merespon pertanyaan pertanyan mendasar di atas. Kedua strategi itu adalah (1) pengasramaan model pesantren selama 2 semester bagi mahasiswa baru di semua jurusan, dan (2) penguatan spiritualisasi keilmuan umum. Kedua strategi ini menunjuk kepada kerangka pengembangan praktik penyelenggaraan pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya. Strategi pertama berdimensi kegiatan nonkurikuler (termasuk melalui skema pendampingan mahasiswa yang dikelola oleh Pusat Pendampingan Mahasiswa/Puspema), dan diselenggarakan semaksimal mungkin sesuai dengan tingkat kekuatan dan kapasitas kelembagaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Adapun strategi kedua berdimensi kurikuler dengan menunjuk kepada prinsip integralisasi keilmuan sosial
humaniora serta sains dan teknologi dengan keislaman.
Masa pengasramaan model pesantren hingga 2 semester di atas dimaksudkan untuk menjamin pendalaman dan pengayaan pemahaman seluruh mahasiswa atas ajaran Islam dan sekaligus praktik implementatifnya. Untuk kepentingan ini, IAIN Sunan Ampel saat
ini telah memiliki pesantren mahasiswa yang, meskipun belum sanggup Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
221
menampung semua mahasiswa baru, namun mampu menjadi penyedia layanan akademik dan sosial keagamaan melalui pengasramaan model pesantren. Selain keilmuan agama yang menjadi fokus materi akademiknya, penguatan keterampilan teknis bahasa asing, Arab dan Inggris, menjadi perhatian penting. Dengan begitu,
ada standar minimal dari pembelajaran ilmu ilmu keislaman yang harus dimiliki oleh seluruh mahasiswa untuk kelak menunjang penguasaan kompetensi sebagai lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pada tataran operasional praktis, kerangka kurikulum digerakkan melalui penguatan tiga pilar program akademik. Ketiga pilar tersebut bermakna penting untuk memperkuat keilmuan keislaman di satu sisi dan spiritualisasi keilmuan umum di sisi lain. Ketiga pilar program
akademik dimaksud adalah: (1) penguatan ilmu
ilmu keislaman murni tapi langka, (2) integralisasi keilmuan keislaman pengembangan dengan keilmuan sosial humaniora, dan (3) pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan keislaman. Atas kerangka
akademik ini, maka model pengembangan keilmuan UIN Sunan Ampel Surabaya disebut dengan “integrated twin towers with three pillars”.
Dengan pilar kerangka pengembangan kurikulum melalui pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan keislaman ini, UIN Sunan Ampel Surabaya sama sekali bukan merupakan ancaman bagi berkembangnya ilmu ilmu keislaman, atau minimal meminggirkan ilmu ilmu keislaman dari kerangka penyelengaraan ragam pendidikan di dalamnya. Ketiga pilar program akademik dari kerangka kurikulum berdasarkan paradigma integrated twin towers di atas merupakan ciri khas pengembangan akademik keilmuan UIN Sunan Ampel Surabaya. Kekhasan akademik keilmuan dimaksud, di samping merupakan bentuk idealisasi dari pengembangan keilmuan di UIN Sunan Ampel Surabaya sendiri, juga merupakan respon atas berbagai kelemahan (untuk tidak menyebut kesalahan) yang banyak merebak dalam praktik penyelenggaraan pendidikan oleh institusi pendidikan tinggi lainnya, termasuk beberapa UIN yang lebih dulu beroperasi. Dengan ciri khas pengembangan akademik keilmuan dimaksud, maka semangat yang dikembangkan oleh semboyan UIN Sunan Ampel Surabaya “Smart (Cerdas)–Pious (Berbudi Luhur)–Honourable (Bermartabat)” .
Dengan begitu, amanat ilahi berupa konsep Ulul Albab dengan
relatif mudah bisa dibuka jalan realisasinya melalui pengembangan keilmuan model integrated twin towers . Di antara karakteristik Ulul Albab tersebut adalah terintegrasinya praktik dzikir dan fikir dan amal.
Pengembangan keilmuan model integrated twin towers memfasilitas terciptanya kekayaan intelektual, kematangan spiritual, dan kearifan perilaku. Selanjutnya, kekayaan intelektual menghasilkan kepribadian smart (cerdas), kematangan spiritual menciptakan keribadian honourable (bermartabat), dan kearifan perilaku melahirkan kepribadian pious (berbudi Luhur),
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
222
Husniyatus Salamah Zainiyati
3. Strategi Pengembangan Kurikulum Berdasarkan Paradigma Integrated Twin Towers Strategi pengembangan kurikulum dimaksud mengambil rancang bangun yang meliputi pengembangan 4 ranah kompetensi, yakni dasar, utama, pendukung, dan lainnya. Pengembangan kompetensi dasar dirangkai ke dalam rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Pengembangan kompetensi utama disusun ke dalam rumpun mata kuliah keilmuan dan keterampilan (MKK), mata kuliah keahlian berkarya (MKB), mata kuliah perilaku berkarya (MPB), serta mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Pengembangan kompetensi pendukung tersebar di semua rumpun mata kuliah. Adapun pengembangan kompetensi lainnya berada di rumpun mata kuliah keahlianalternatif. Seluruh mata kuliah yang masuk ke dalam rumpun MPK berorientasi pada pengembangan kompetensi dasar, dan karena itu berlaku
bagi semua mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya. Karena itu pula , maka struktur MPK didesain untuk sanggup merespon kebutuhan pengembangan kompetensi dasar bagi mahasiswa
di seluruh jurusan dimaksud. Adapun struktur MPK sendiri meliputi 8 mata kuliah dengan total SKS sebanyak 14, sebagaimana berikut: 1. Pengantar Studi Islam (PSI) (3 SKS)
2. Studi al Qur’an (2 SKS)
3. Studi Hadits (2 SKS)
4. Bahasa Indonesia (3 SKS)
5. Basaha Arab (non SKS)
6. Bahasa Inggris (non SKS)
7. ISD/IAD/IBD (2 SKS)
8. Civic Education
(2 SKS)
Sejumlah poin perlu dijelaskan pada struktur MPK di atas.
Poin pertama terkait dengan keberadaan atau jati diri mata kuliah. Beberapa mata kuliah dalam rumpun MPK merupakan hasil pengembangan atau peleburan. Mata kuliah Pengantar Studi Islam (PSI) merupakan contoh hasil pengembangan dari mata kuliah Ilmu Kalam
dan PSI yang selama ini diajarkan dalam kerangka kelembagaan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dengan kata lain, mata kuliah PSI di
UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan mata kuliah ilmu kalam dan PSI
yang diperluas dari yang selama ini ada.Perluasan itu meliputi kisi
kisipembahasan seperti yang selama ini diajarkan dalam kelembagaan
IAIN Sunan Ampel (misalnya sejarah Islam dan sejarah studi Islam), namun juga mencakup substansi studi Islam lainnya seperti dasar
dasar pemahaman Islam, tauhid, fiqih , serta tasawuf . Seperti halnya PSI
, Bahasa Indonesia juga merupkan mata kuliah Bahasa Indonesia yang
diperluas dari mata kuliah Bahasa Indonesia dalam wadah IAIN dengan mengakomodasi materi penyusunan karya ilmiah. Adapun Civic Education merupakan hasil peleburan dari mata kuliah Pancasila. Adapun poin kedua berhubungan dengan status mata kuliah
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
223
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Penting untuk dicatat bahwa dalam struktur MPK UIN Sunan Ampel Surabaya, kedua mata kuliah (yang dalam penyelenggaraan pendidikan sebelumnya masing masing bernilai 6 SKS) akan dijadikan sebagai mata kuliah dalam rumpun MPK namun tidak berbobot SKS (non SKS) sama sekali.
Perubahan status ini tanpa mengurangi kualitas pembelajaran Bahasa Arab dan Inggris. Pasalnya, UIN Sunan Ampel juga mengembangkan komponen strategi lain dari pengembangan kurikulum dengan tiga program kegiatan akademik utama, yakni:
(1) menjadikan keterlibatan kedua mata kuliah (masing masing bernilai 6 SKS) melalui skema program pembelajaran intensif oleh Pusat Pengembangan Bahasa (P2B) sebagai prasyarat untuk mengikuti mata kuliah keislaman lainnya, (2) pengasramaan wajib model pesantren mahasiswa yang di dalamnya terdapat penguatan keterampilan
kebahasaan secara intensif, Arab maupun Inggris, serta (3) skema pendampingan mahasiswa yang dikelola oleh Pusat Pendampingan
Mahasiswa (Puspema). Poin ketiga yang perlu dijelaskan dalam kaitan ini berhubungan dengan content material mata kuliah Studi al Qur ’an dan Studi Hadits. Selain materi materi substansial yang berkaitan masing masing
dengan kajian Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Studi al Qur’an dan
Studi Hadits mengakomodasi kepentingan praktis ibadah. Pada kemasan silabus Studi al Qur ’an, misalnya, akan dilakukan penguatan satu kompetensi dasar yang secara spesifik menyangkut keterampilan membaca al Qur’an. Keterampilan praktis ibadah lainnya
dan lebih lanjut di antaranya diperkuat melalui skema pendampingan
mahasiswa yang dikelola oleh Puspema. UIN Sunan Ampel Surabaya akan mengimplementasikan program akademik berupa penguatan penalaran keislaman mahasiswa yang berfungsi sebagai penguatan basis akademik keislaman mereka. Dengan menggunakan bahan ajar atau modul pendampingan penalaran keislaman yang diciptakan oleh Puspema, program ini, pada hakikatnya, adalah matrikulasi bagi mahasiswa yang berasal dari pendidikan non
sekolah keislaman dengan tujuan untuk menstandarkan pemahaman
materi keislaman mahasiswa. Minimal sebelum menempuh Kuliah
Kerja Nyata (KKN), mahasiswa diharuskan untuk lulus dalam mengikuti program pendampingan melalui modul penalaran keislaman ini. Lebih dari itu, dalam kerangka strategi pengembangan kurikulum di atas, seluruh mata kuliah yang berkepentingan untuk penguatan kemampuan atau kompetensi utama mahasiswa akan diselenggarakan dalam desain kurikulum kompeteni utama dengan beberapa rumpun mata kuliahnya, dan bukan dalam desain kurikulum kompetensi dasar atau rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Rumpun mata kuliah bagi pengembangan kompetensi utama dimaksud meliputi MKK, MKB, MPB, serta MBB. Dengan strategi pengembangan kurikulum, maka pembelajaran Bahasa Inggris, antar jurusan akan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
224
Husniyatus Salamah Zainiyati
berbeda karena kompetensi utama masing masingnya berlainan. Contoh konkretnya, akan muncul English for Islamic Studies bagi mahasiswa jurusan Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran. Juga, akan lahir English for Soc ial Sciences bagi mahasiswa di FISIP, dan seterusnya. (Muzakki, dkk., 2010).
Dalam pengembangan desain kurikulum keilmuan multidisipliner di
atas, sebuah fakta tidak bisa dielakkan bahwa yang membedakan lembaga
pendidikan tinggi Islam di Indonesia seperti IAIN sunan Ampel dari
perguruan tinggi umum, baik di Indonesia maupun apalagi di Barat, adalah
beban sosial di samping beban akademik. Beban sosial ini lahir dari
ekspektasi publik Muslim terhadap kelembagaan pendidikan tinggi Islam
itu sendiri. Konsep beban sosial ini penting untuk diajukan di sini sebagai
satu bahan pertimbangan dari pengembangan pendidikan dalam
penyelenggaraan institusi pendidikan tinggi Islam.
Poin penting dari hasil penelitian terkini ini semakin tampak
signifikansinya bagi pengembangan keilmuan multidisipliner atau
interdisipliner di lembaga pendidikan tinggi Islam, seperti IAIN (menuju
UIN) Sunan Ampel. Pasalnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN diasumsikan oleh masyarakat luas sebagai tidak terlepas
dari dua kepentingan sekaligus, yakni sebagai lembaga akademik dan
lembaga keagamaan, seperti dijelaskan di atas. Sesuai dengan semangat
dari hasil penelitian terkini dimaksud, maka pola pengembangan keilmuan
multidisipliner di UIN Sunan Ampel harus dibangun dari kesadaran bahwa
keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan tidak saja dipengaruhi oleh
pembelajaran di kampus akan tetapi pembelajaran lebih luas, yakni melalui
interaksi kehidupan mahasiswanya dengan lingkungan di sekitarnya, baik
langsung maupun tidak. Standar keberhasilan seperti ini memang juga
berlaku di perguruan tinggi lainnya, namun tidak seberat yang harus
ditunaikan oleh IAIN menyusul posisinya yang sudah dari awal
dipersepsikan oleh masyarakat luas sebagai lembaga akademik dan
dakwah. (Syam, 2010: 430-436).
Oleh karena itu, pengembangan keilmuan multidisipliner di UIN Sunan
Ampel Surabaya patut untuk melengkapi perkuliahan reguler, sebagaimana
perguruan tinggi lainnya, dengan perkuliahan non-reguler model
pengasramaan pesantren. Patut disemai di lingkungan pendidikan tinggi
Islam tardisi penyelenggaraan pendidikan model pengasramaan pesantren
di sela-sela pendidikan formal-reguler di perkuliahan. Kepentingan
pengembangan keilmuan multidisipliner melalui skema perkuliahan
reguler dan pengasraman di atas adalah bersifat komplemen., yakni untuk
membantu menjamin terselenggaranya kurikulum pembelajaran yang
bergerak di dua pendulum besar, keilmuan agama dan umum, melalui
proses integrasi. Tentu, integrasi disini lebih dimaksudkan untuk
membantu menjamin satu disiplin keilmuan sebagai obyek kajian dan
lainnya sebagai pendekatan. Jika praktik penyelenggaraan pendidikan
seperti ini bisa dijamin, maka proyek besar pengembangan keilmuan
multidisipliner menjadi menemukan jalan realisasinya. Dengan model
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
225
pengelolaan pembelajaran seperti ini, maka upaya pencapaian kompetensi
dasar, utama dan tambahan bisa mengalami sinergi, dan dengan demikian
mempermudah jalan keberhasilan bagi pengembangan keilmuan
multidisipliner di atas.
Analisis Data
1. Struktur Keilmuan UIN Sunan Ampel dengan Paradigma Integrated
Twin Towers Model Pentadik Integralisme Monistik Islam
Mencermati model integrasi yang akan dikembangkan di UIN Sunan
Ampel Surabaya. Barangkali inilah yang disebut zaman postmodern. Di era
ini kita menyaksikan suatu bentuk realitas dunia yang mulai memperlihatkan
suatu unitas, tapi sekaligus di dalamnya ada pluralitas. Misalnya,
kecenderungan besar (mega trend) terjadinya globalisasi yang menjadikan
dunia lain menjadi transparan. Dalam dunia kultural, kita menyaksikan
saling mendekatnya antara wacana tradisional dan modern. Demikian juga
dalam dunia pendidikan tampaknya tidak dapat lepas dari dua arus besar
ini. Maka pola pendidikan lama, yaitu pendidikan yang bercorak tradisional
di satu pihak, dan pendidikan yang bercorak modern di pihak lain, mulai
banyak dikritik orang, kata Malik Fadjar pendidikan seperti itu hanya akan
menghasilkan pribadi yang pincang (split personality). (Barizi, 2001: 225).
Jika kita mencoba menguak kembali konsep ’ilm dalam al-Qur’an, maka
akan nampak jelas cacat teologis dan filosofis pembidangan keilmuan yang
bersifat dualisme-dikotomis itu. Sebagian besar ayat-ayat al-Qur ’an,
menurut penjelasan Mahdi Ghulsyani, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang masih umum (generik). Misalnya, QS. Al-Baqarah
[2]: 31, QS Yusuf [12]: 76, dan An-Nahl [16]: 70. Bahkan kata Murtadha
Muthahhari, akan menyebabkan kesalahan memandang bahwa ilmu “non
agama” terpisah dari Islam.
Karena itulah, dalam rangka pengembangan keilmuan IAIN menuju
UIN Sunan Ampel Surabaya menekankan integrasi ilmu agama dan ilmu
umum dalam kurikulum dan model pembelajaran yang dijalankan. Dengan
demikian, Islamic knowledges (al-ulum al-Islamiyyah) yang akan
dikembangkan oleh UIN Suan Ampel adalah ilmu pengetahuan yang
dibangun berdasarkan ajaran Islam—sebagaimana tertuang dalam sumber
ajarannya yang utama, yakni al-Qur ’an dan al-Sunnah—sekaligus
pengetahuan yang sama dibangun berdasarkan hasil observasi,
eksperimentasi, dan penalaran logis.
Sedangkan model integrasi keilmuannya dapat menggunakan model
pentadik integralisme monistik Islam yaitu sebuah paradigma unifikasi bagi
ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan. Akan tetapi, paradigma
unifikasi itu bukan hanya menyatukan ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu
keagamaan, melainkan juga merupakan paradigma ilmu-ilmu
kemasyarakatan dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam tidak sekadar
menjadi perspektif, atau sebagai pelengkap dari kajian ilmiah yang ada,
dan apalagi kajian yang terpisah dari sains. Tetapi, justru Islam harus
menjadi ‘pengawal’ dari setiap kerja sains oleh setiap para ilmuan (dosen).
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
226
Husniyatus SalamahZainiyati
Di samping tercermin dalam aspek kurikulum, integrasi ilmu agama
dan ilmu umum juga teaktualisasikan dalam model pembelajaran yang
dikembangkan, di mana UIN Sunan Ampel seharusnya mengembangkan
keterpaduan tradisi intelektual perguruan tinggi dan tradisi kearifan
pesantren. Tradisi intelektual perguruan tinggi dikembangkan melalui
proses pembelajaran di ruang-ruang kelas, laboratorium, perpustakaan,
serta sumber-sumber belajar di pusat-pusat kajian UIN Sunan Ampel,
seperti Pusat Informasi dan Kajian Islam (PIKI) dan Laboratorium
Keagamaan, sedangkan pengembangan kearifan pesantren dijalankankan
melalui pembinaan kearifan Islam di lembaga pesantren mahasiswadan
berkoordinasi dengan Pusat Pendampingan Mahasiswa (Puspema), serta
pengembangan kultur Islami yang melibatkan seluruh warga kampus
melalui kegiatan-kegiatan bersama, seperti shalat berjamaah, dan Iain-lain.
2. Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Ampel dengan Paradigma Integrated Twin Towers Model Simbiosis-Mutualism
Berdasarkan pemaparan data di atas dan mencermati rencana visi dan
misi UIN Sunan Ampel serta skema pengembangan keilmuan berdasarkan
integrated twin towers, maka dalam rangka mengembangkan kurikulum
UIN Sunan Ampel Surabaya dapat menggunakan model simbiosis-mutualism yaitu materi kurikulum disusun dan dikembangkan bersama-sama
secara multidisipliner untuk mencapai standar kompetensi tertentu atau
standar kompetensi lulusan lembaga pendidikan. Misalnya kompetensi
dasar tertentu yang ada pada Prodi PGMI Fakultas Tarbiyah yaitu mata
kuliah biologi dikaitkan dengan kompetensi dasar yang ada pada mata
kuliah sosiologi, pendidikan agama, atau studi al-qur’an, studi al-hadits,
fikih dan kemudian digabungkan dan/atau dilebur menjadi satu kompetensi
dasar tertentu dan/atau suatu standar kompetensi untuk mencapai standar
kompetensi lulusan dan misi-visi Prodi PGMI. Lebih jelasnya, mengenai
implementasi kurikulum integratif model simbiosis-mutualism di tingkat
kelembagaan, desain kegiatan pembelajaran dan proses pembelajarannya
dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Kurikulum
Prodi Umum
Sistem Pend Pesantren
Mahasiswa
(Budaya dan
Tradisinya)
Kur Program Studi
(prodi) Agama
Sistem Penyelenggaraan
UIN Sunan Ampel
Visi-misi
Aktivitas
Pembelajaran
Pusat Studi
Visi-misi Lembaga
Kajian
Gambar 7: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme
kelembagaan di UIN Sunan Ampel Surabaya
pada tingkat
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
Pendekatan
Integrated
Teaching and
Learning
Budaya dan Tradisi
227
Kontent
Sistem Pembelajaran
Gambar 8: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme pada Desain kegiatan
pembelajarannya
Mata kuliah
Rumpun MIPA
Mata kuliah
Center Core
Rumpun Agama
Mata kuliah
Rumpun Bahasa-Seni
Mata Kuliah
Rumpun IPS
Gambar 9: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme pada Proses
pembelajarannya
Penutup
Struktur keilmuan IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya adalah
memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan menggunakan
paradigma Integrated Twin Towers with 3 Pilars. Yaitu membangun
struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
228
Husniyatus SalamahZainiyati
wajar, sehingga keduanya tersambung dan bertemu dalam puncak yang saling
menyapa,
yang
dikenal
dengan
konsep
ilmu
keislaman multidisipliner. Untuk mendukung program tersebut, ada dua
strategi yang akan dikembangkan yaitu (1) pengasramaan selama 2 semester bagi semua mahasiswa baru di pesantren mahasiswa, dan (2) penguatan spiritualisasi keilmuan umum dengan prinsip integralisasi keilmuan umum (sosial humaniora, sains dan teknologi) dan keislaman.
Desain pengembangan kurikulum berdasarkan paradigma integrated
twin towers yang akan dikembangkan UIN Sunan Ampel Surabaya digerakkan melalui penguatan tiga pilar program akademik, yaitu (1)
penguatan ilmu ilmu keislaman murni tapi langka, (2) integralisasi keilmuan keislaman pengembangan dengan keilmuan sosial humaniora,
dan (3) pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan
keilmuan keislaman. Sedangkan untuk mengintegrasikan kurikulum ilmu
agama dan umum dapat menggunakan model simbiosis-mutualism
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 2005. “ Desin Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN
Sunan Kalijaga: dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah
Integratif Interdiciplinary, dalam Jarot Wahyudi dkk, Integrasi Ilmu dan
Agama Interpretasi dan Aksi. Bandung Mizan.
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, 1990. Bunyah Al-‘Aql Al-Arabi: Dirasah
tahliliyyah naqdiyyah li nuzhum al-ma’rifah fi al-tsaqafah al-‘arabiyyah,
Beirut: Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyyah.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mudzhar, M. Athok. 2002. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet.
IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2003. Arah Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan.
Bandung: Nuansa.
Muzakki, Akh. 2010. “Perspektif Pendidikan tentang Pengembangan
Keilmuan Multidisipliner”, dalam Nur Syam, ed., Integrated Twin Towers Arah Pengembangan Islamic Studies Multidisipliner. Surabaya, Sunan
Ampel Press.
Prayogo, Imam. 2006. “Pengembangan Ilmu Pengetahuan di PTAI”, Makalah
pada Annual Conference Kajian Islam, Bandung 23-30 Nopember.
Qomar, Mujamil. T.t. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi . Jakarta: Penerbit Erlangga.
Syam, Nur. 2010. “Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner: Memahami
Proses Saling Menyapa Ilmu Agama dan Umum”, dalam Nur Syam,
ed., Integrated Twin Towers Arah Pengembangan Islamic Studies
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
229
Multidisipliner. Surabaya, Sunan Ampel Press.
Barizi, Ahmad, Imam Tholhah. 2004. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai
Akar Tradisi dan Intregasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta:
RajaGrasindo Persada.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
230
INTEGRATED CURRICULUM:
Upaya Alternatif Menghadapi Problematika Masyarakat
Oleh Fauzan
Abstracts:
Globalization is loaded with the progress of science and technology has implications for
the birth of various problems, such as: sedimentation of faith, science disintegration, split
personality, abuse of science and technology, and so forth. In the context of education,
the curriculum is considered as the most important component that will determine the
direction of education. Curriculum integration is considered as an alternative attempt to
answer the problems that arise. Integration of curriculum is a product of the effort of
integrating learning materials from a variety of subjects. Integration was created by
centered lessons on specific issues that require the solution to the material or materials
from various disciplines or subjects.
Key word: Integration of curriculum
Pendahuluan
Sebagai suatu kelompok besar yang membentuk sistem, masyarakat
sering dihadapkan pada persoalan yang terus membesar. Persoalan
tersebut, di samping hadir karena adanya pragmatisme kehidupan, juga
karena adanya faktor lain yang menyulut timbulnya “riak-riak” di tengah
masyarakat. Progresivitas budaya sering dicap sebagai satu faktor yang
ikut mendalangi lahirnya berbagai persoalan, seperti tradisi, akhlak/
Makalah pernah dipresentasikan pada Seminar Internasional Education for Humanity: Redesigning Global Education towards Holistic Education” tanggal 23-24 Nopember
2011. Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
231
karakter, HAM, politik, nasionalisme, dan persoalan agama.
Adanya berbagai persoalan tersebut, tentu saja hanya dapat dijawab
melalui pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah “proses” dan
“kelembagaan” semestinya dapat memberikan alternatif solusi atas
persoalan tersebut. Ada banyak problematika masyarakat yang harus
dijawab oleh pendidikan. Di antara fakor terpenting dalam pendidikan
adalah kurikulum. Kurikulum pendidikan harus dapat melihat/
mempertimbangkan kemajuan informasi, teknologi yang berkembang.
Kurikulum diharapkan dapat memberikan jawaban/solusi alternatif secara
holistik terhadap apa yang terjadi di masyarakat.
Uraian di bawah ini akan menjelaskan pentingnya penerapan konsep
integrasi kurikulum (integrited curicullum) dalam pendidikan, sebagai
bahan pertimbangan proses dalam rangka menyelesaikan berbagai
persoalan dalam masyarakat .
Integrasi Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa latin, curriculum yang berarti bahan
pengajaran. Ada juga yang mengatakan kata tersebut berasal dari bahasa
Perancis couriar yang berarti berlari (Nasution, 1991: 9). Lewis dan Meil
(Supandi, 1986: 52) mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat bahan
pelajaran, rumusan hasil belajar, penyediaan kesempatan belajar, kewajiban
dan pengalaman peserta didik. Sementara Taba (Beeby, 1998: 75)
memandang kurikulum sebagai hal yang mengandung suatu kenyataan
mengenai maksud dan tujuan tertentu; memberi petunjuk tentang beberapa
pilihan dan susunan isinya; menyuratkan pada pola belajar dan mengajar
tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuan maupun susunan isinya,
akibatnya kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian hasilhasilnya.
Ada juga yang berpendapat kalau secara bahasa kata “kurikulum”,
berasal dari bahasa Perancis, ‘courier’ yang artinya to run: berlari (Nasution,
1990: 9). Kurikulum dalam bahasa Yunani, diartikan ‘jarak’ yang harus
ditempuh oleh pelari. maka kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai
‘sejumlah’ mata pelajaran yang harus ditempuh/ diselesaikan anak didik
untuk memperoleh ijazah (Sudjana, 1991: 4). Pengertian ini sejalan dengan
pendapat, Crow dan Crow, bawa kurikulum adalah rancangan. Pengajaran
yang isinya terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis dan sejalan dengan hal-hal yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu proses dalam kegiatan pendidikan tertentu.
kurikulum pada hakekatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu
kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang
dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah (Nata, 1996: 123).
Dengan demikian secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata
pelajaran yang diajarkan disekolah. namun dalam perkembangannya
pengertian kurikulum mempunyai cakupan yang lebih luas seperti:
pendapat Saylor dan Alexander bahwa kurikulum itu bukan hanya meliputi
mata pelajaran atau mata kuliah, akan tetapi segala usaha lembaga
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
232
Fauzan
pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan baik yang dilakukan
di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam studi Kependidikan Islam, istilah kurikulum menggunakan kata
“manhaj” yang diartikan jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh
manuia pada berbagai bidang kehidupan. Jalan terang tersebut adalah jalan
yang dilalui oleh pendidik dan guru latih dengan orang yang dididik atau
dilatihnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan
sikap mereka. Namun demikian, Muhammad Al Toumy Al Syaibani, melihat
kurikulum Islam berbeda dengan kurikulum pada umumnya. Kurikulum
Pendidikan Islam mengandung makna sebagai suatu rangkaian program
yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar yang terencana secara
sistematis dan berarah tujuan yang mencerminkan cita-cita dari para
pendidik sebagai norma drager (pembawa norma) Islami.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum semakin luas
dan semakin bertambahnya beban yang harus dipikul oleh sekolah. Dalam
hubungan ini S. Nasution ( : 10) mengatakan bahwa luasnya cakupan
kurikulum ini antara lain disebabkan adanya tugas-tugas yang semula
menjadi beban badan-badan lain kemudian dibebankan pada sekolah.
Berdasarkan tuntutan zaman tersebut, para perancang kurikulum dewasa
ini menetapkan struktur kurikulum ke dalam empat bagian:
1. Tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar
2. Isi atau mata pelajaran yaitu berisi pengetahuan, informasiinformasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman
yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya
berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus.
3. Metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut
4. Evaluasi yaitu metode atau cara melakukan penilaian dan
pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu. (Nata:
125)
Olivia (1997) mengatakan bahwa kurikulum adalah: “we may think of
the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas
we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation,
and presentation. Olivia termasuk orang yang setuju dengan pemisahan
antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai
a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the
direction of the school”.
Pendapat yang sedikit berbeda tentang kurikulum dikemukakan oleh
Marsh (1997), dia mengemukakan bahwa kurikulum merupakan suatu
hubungan antara perenc anaan-perencanaan dengan pengalamanpengalaman yang seorang siswa lengkapi di bawah bimbingan sekolah.
Senada dengan Marsh, Schubert (1986) mengatakan the interpretation that
teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
233
pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang
sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya
bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang
dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.
Dari beragam definisi kurikulum yang ditawarkan para tokoh di atas,
kurikulum dapat dipahami sebagai sebuah rangkaian siklus yang di
dalamnya harus mencerminkan sebuah perencanaan yang matang,
pelaksanaan kegiatan atau implementasinya di lapangan, serta proses
evalusi yang akan menjadi penentu berhasil atau tidaknya kurikulum
diterapkan. Hal ini sebagaimana definisi kurikulum yang tercantum dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat (19) yang berbununyi: kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dengan kata lain, kurikulum harus dipahami sebagai sebuah
rangkaian siklus yang di dalamnya harus mencerminkan sebuah
perencanaan yang matang, pelaksanaan kegiatan atau implementasinya
di lapangan, serta proses evalusi yang akan menjadi penentu berhasil atau
tidaknya kurikulum diterapkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan John
Miller (1985) bahwa pengembangan kurikulum merupakan sebuah proses
yang berjalan dari mulai orientasi, pengembangan, implementasi sampai
pada evaluasi, Artinya, kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 tahun 2003). Ada 3
komponen penting yang harus diperhatikan dalam kurikulum, yakni: 1)
perencanaan, 2) implementasi, dan 3) evaluasi kurikulum.
Keberadaan Kurikulum harus dapat menjawab pertanyaan sebagai
berikut: 1) Apa tujuan yang diinginkan pendidikan, 2) Apa metode yang
diterapkan untuk mencapai tujuan pendidikan?, 3) Bagaimana pelaksanaan
pendidikan, dan 4) Bagaimana hasil pelaksanaan pendidikan tersebut
dilaksanakan?. Oleh karena itu, kurikulum semestinya dapat menjawab
segala problem pendidikan yang muncul dan dapat memberikan alternative jawaban tentang keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang telah
dilakukan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003¸pasal 3 disebutkan bahwa tujuan dan
fungsi pendidikan adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Jika tujuan pendidikan menjadi arah pelaksanaan kurikulum, tentu
saja keberadaannya harus dapat menjawab segala problematika yang
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
234
Fauzan
muncul di tengah-tengah masyarakat, menyangkut persoalan kognitif,
karakter, akhlak, nasionalisme, kemandirian, demokrasi, spiritual, dan lain
sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu saja keberadaan
kurikulum yang ditawarkan seharusnya dapat menjawab segala persoalan
tersebut. Kurikulum –sebagai sebuah konsep struktur kurikulum—
sebaiknya berisi mata pelajaran yang pada akhirnya dapat menjawab
segala persoalan tersebut. Model/jenis kurikulum tersebut dikenal sebagai
model “integrated curriculum”.
Model/jenis kurikulum integrated curriculum adalah jenis kurikulum
yang di dalamnya berisi mata pelajaran dengan mengintegrasikan beberapa
nilai (karakter) positif yang diinginkan serta bertujuan untuk memberikan
“jawaban” atas permasalahan dimaksud. Integrated curriculum berarti
multidisciplinary curriculum, correlated curriculum, dan correlated curriculum.
Problematika Masyarakat Global
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari
kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat
adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas
yang teratur. Hal ini sebagaimana ditegaskan Syaikh Taqyuddin AnNabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat
apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama.
Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi
sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. (wikipedia//org//masyarakat)
Menurut Alfin Toffler, sebagaimana dikemukakan oleh Jalaludin
Rahmat, membagi masyarakat ke dalam tiga bagian. Yaitu masyarakat
pertanian (Agricultural Society), masyarakat industri (Industrial Society), dan
masyarakat infomasi (Informatical Society).
Menurut Deliar Noer ada 5 ciri-ciri masyarakat modern sebagai
berikut: 1) Bersifat rasional, 2) Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh,
3) Menghargai waktu, 4) Bersikap terbuka, dan 5) Berpikir objektf.
Untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, yang kalangan fungsionalis
menyebutnya dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisites).
Kebutuhan-kebutuhan itu diantaranya:
1. Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan
jasmaniyah, seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan,
tempat untuk bernaung, dan tidur, yang kesemuanya harus dipenuhi
agar bisa bertahan hidup. Manusia juga membutuhkan kebutuhan
jasmaniyah yang lainnya seperti kebutuhan akan rasa sayang,
menghindari stress, dan keikutsertaan dalam sebuah sistem keyakinan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
2.
3.
4.
5.
6.
235
bersama. Pemenuhan kebutuhan subsistens ini biasanya memerlukan
berbagai usaha kerja, seperi berburu, mengumpulkan buah-buahan, atau
memproduksi makanan, dan memerlukan tempat untuk bernaung.
Kebutuhan distribusi. Kepemilikan kekayaan subsistens itu perlu
didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat. Bayi dan anak kecil
termasuk orang yang membutuhkan orang lain untuk memberi mereka
suplai makanan yang cukup.
Kebutuhan reproduksi biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan survive maka diantara anggota masyarakatnya harus melakukan
reproduksi biologis. Biasanya di kita dilakukan melalui pernikahan.
Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan
budaya mereka —kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide dalam masyarakat—
kepada anggota baru mereka agar kebudayaan bisa terus bertahan atau
berlanjut.
Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari
tindakan yang merusak satu sama lain dan masyarakat secara
keseluruhan membutuhkan perlindungan dari ancaman luar.
Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan di
atas, maka anggota masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan
sesama anggota yang lainnya (Persell, 1987:48).
Dalam konteks masyarakat modern, kemajuan informasi, ilmu
pengetahuan dan canggihnya teknologi menjadi “ciri” dari masyarakat
yang ada di dalamnya. Kemajuan di bidang teknologi pada zaman modern
ini telah membawa manusia ke dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai
tambah (positif), tapi pada sisi laian dapat mengurangi (negatif).
Bahkan menurut Nashr sendiri, kondisi manusia modern sekarang
sangat mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat
spiritual, mereka lebih suka dengan keindahan materi dan harta benda,
mereka telah gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada
keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya
pada kebutuhan materi semakin meningkat sehingga keseimbangan
semakin rusak.
Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran iptek telah melahirkan
sejumlah problematika masyarakat modern, sebagai berikut:
1. Desintegrasi ilmu pengetahuan
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Dalam perspektif penulis, semua ilmu semua berasal dari Tuhan, baik ilmu
pengatahuan alama (natural sciences), ilmu sosial (social sciences), maupun
ilmu agama itu sendiri (religion sciences). Yang membedakan ketiganya hanya
sumber atau objek pencarian ilmu tersebut. Semua ilmu seharusnya
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
236
Fauzan
menyatu (integrated), saling menguatkan satu dengan lainnya.
Efek kemajuan IPTEK telah membawa perubahan pemahaman cukup
besar, masyarakat –terutama Barat— menganggap bahwa keberadaan satu
ilmu dengan ilmu lainnya adalah sesuatu yang berbeda. Ada “kesan” jika
ilmu itu hanya berasal dari dua wilayah, Barat sebagai representasi ilmu
pengetahuan umum dan Timur Tengah sebagai representasi ilmu-ilmu
keagamaan.
2. Kepribadian yang Terpecah
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan
yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, maka
manusianya menjadi pribadi yang terpecah, hilangnya kekayaan rohaniah
karena jauhnya dari ajaran agama.
3. Penyalahgunaan Iptek
Berbagai iptek disalahgunakan dengan segala efek negatifnya
sebagaimana disebutkan di atas.
4. Pendangkalan Iman
Manusia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu,
bahkan hal itu menjadi bahan tertawaan dan dianggap tidak ilmiah dan
kampungan.
5. Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya
Mereka menghabiskan masa mudanya dengan memperturutkan hawa
nafsu dan menghalalkan segala cara. Namun ada suatu saat tiba waktunya
mereka tua segala tenaga, fisik, fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak
dapat mereka lakukan, mereka merasa kehilangan harga diri dan masa
depannya.
Berbagai permasalahan tersebut adalah efek dari kemajuan
masyarakat yang sarat dengan informasi dan teknologi. Akan ada
permasalahan lain yang terus mengiringi kemajuan masyarakat. Jika
persoalan terus bertambah, lalu siapa yang seharusnya bertanggung
jawab? Pendidikan –baik dilihat sebagai proses maupun kelembagaan—
dituding sebagai “oknum” yang paling bertang jawab atas problematika
yann ada.
Integrasi Kurikulum dan Tantangan Masyarakat
Integrasi kurikulum berarti proses pembelajaran yang didasarkan pada
keterkaitan ilmu pengetahuan (multdisipliner), mengajar sinergis dengan
mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Dalam kerangka aplikatif, integrasi kurikulum dapat digambarkan oleh
Palmer (1991, hal 59) dalam pelaksanaan pembelajaran sebagai berikut:
· Mengembangkan kurikulum lintas-sub-sasaran dalam suatu diberikan
panduan kurikulum
· Pengembangan Model pelajaran yang mencakup lintas-kurikuler dan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
237
penilaian
Mengembangkan kegiatan pengayaan atau perangkat tambahan dengan
fokus crosscurricular termasuk saran untuk cross-kurikuler “kontak”
berikut masing-masing tujuan
· Mengembangkan kegiatan penilaian yang lintas-kurikuler di alam
· Termasuk roda perencanaan sampel di semua panduan kurikulum.
Integrasi Kurikulum (integrated curriculum) merupakan suatu produk
dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai macam
pelajaran. Integrasi diciptakan dengan memmusatkan pelajaran pada
masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan
dari berbagai disiplin atau mata pelajaran (Idi, : 146). Lihat gambar berikut:
·
Pola Integrasi kurikulum
Sumber: google
Bagi S. Nasution, kurikulum jenis ini membuka kesempatan yang lebih
banyak mempertimbangkan perbedaan individual peserta didik dan
bertujuan agar peserta didik memperoleh sejumlah pengetahuan secara
fungsional dan mengutaman proses belajarnya. Oleh karena itu, dalam
implementasinya integrasi kurikulum harus tetap memperhatikan hal-hal
berikut: 1) child centered curriculum; satu konsep kurikulum yang
mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, 2) social functions curriculum,
kurikulum yang mencoba mengeliminasi matapelajaran sekolah dari
keterpisahan dengan fungsi-fungsi utama kehidupan sosial. dan 3)
experinece curriculum. Kurikulum yang mempertimbangkan pengalaman
yang muncul ketika proses pembelajaran berlangsung.
Ada kesamaan karakter antara masyarakat dan kurikulum. Masyarakat
sebagai komunitas terbesar manusia terus berubah seiring dengan tuntutan
dan keinginan masyarakat itu sendiri. Eksistensinya terus berubah seiring
dengan kemajuan informasi dan teknologi. Dalam konteks “kurikulum”,
posisi masyarakat harus dijadikan sebagai acuan atau landasan yang tidak
boleh dilepaskan.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
238
Fauzan
Hal ini karena setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki
sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem
sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan
dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber
dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga
masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer dalam Nana Syaodih Sukmadinata (1997),
mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban
masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban
masa yang akan datang.
Perkembangan masyarakat juga tidak lepas dengan adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berfikir manusia.
Terciptanya produk-produk teknologi informasi dan transformasi dengan
segala kecanggihan dan efeknya merupakan bagian penting untuk
dipetimbangkan dalam mengembangkan kurikulum. Perkembangan ekonomi
seperti penggunakan transaksi perdagangan melalui perbangkan, pasar
modal, asuransi juga merupakan bahan pertimbangan dalam pengembangan
kurikulum.
Di samping karena kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan
teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban
manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini
terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara
kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat
yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu
yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai
masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum
yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk
berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses,
memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu
dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat lebih khususnya dengan
dunia industri merupakan karakteristik yang sangat penting dalam konteks
pendidikan teknologi dan kejuruan. Peran masyarakat dan pemerintah dalam
hal ini sama pentingnya. Masyarakat dan pemerintah memiliki tanggung
jawab untuk mengembangkan pendidikan teknologi dan kejuruan.
Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya
dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory committee),
kesediaan dunia usaha menampung siswa pendidikan teknologi dan kejuruan
dalam program kerjasama yang memungkinkan kesempatan pengalaman
lapangan, informasi kecenderungan ketenagakerjaan yang selalu dijabarkan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
239
ke dalam perencanaan dan implementasi program pendidikan.
Untuk menjawab keinginan tersebut, sangat terkait dengan tawaran
konsep kurikulum pendidikan. Sebagai sebuah gagasan/ide, kurikulum
harus dapat menawarkan solusi atas problematika yang muncul. Bahkan
dalam pelaksanaannya, kurikulum juga harus dapat menyajikan kegiatan
yang dapat mengakomodir potensi, minat, bakat siswa. Kondisi tersebut,
tentu saja kurikulum harus dilihat sebagai konsep yang merepresentasikan
berbagai ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Modifikasi Kurikulum, Langkah Awal Pemberdayaan IAIN,
PERTA, (Vol, 1 No. 1 September, 1997).
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung: Rifka
Aditama, 2009.
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: ArRuz Media, 2008).
Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk kebudayaan dalam al-Qur’an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat islam, cet. I, 1992.
Beeby, C.F., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan,
LP3ES, Jakarta, 1998, Edisi III.
E. Mulyasa (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Kesuma Karya
Bandung.
——————. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan
Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Kaber Achasius. 1988. Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti Proyek Pengembangan LPTK.
Miller, John F and Seller Wayne (1985). Curriculum: Perspective and Practice;
Logman, New York & London.
Miller, John P dan Seller, Wayne (1985), Curriculum: Prespective and practis,
New York: MacMillan Publishing Co.
Nana Sudjana: Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru,
Bandung. 1991.
Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Oliva F. Peter. 1991. Developing the Curriculum. New York: Harpercollins.
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991,
cet. IV,
Schubert William H (1986). Curriculum: Perspective, paradigma and Possibility, New York: MacMillan Publishing Co.
Wina Sanjaya, Kuriukulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik KTSP, (Jakarta:
Prenada Media, 2007.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
240
NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM:
Implikasinya dalam Konsep Tujuan Pendidikan
Oleh Musthofa
Abstracts:
Islamic humanism is religious humanism derived from the teachings of Islam. This thinking
comes from the human bond of a primordial covenant with God as the Ultimate Reality.
The orientation of the divine made human living soul. Elements of this theoantroposentrism God made man as the caliph. Thought this humanism which departed
from the doctrine of monotheism form values: freedom (liberty), brotherhood (fraternity),
and equation (equality). In this perspective, Islamic education is intended to help students
actualize their potential to become conscious of the human creative presence of God in
him. It seeks to deliver education students to be human Rabbani.
Key word: Theo-antroposentrism, freedom, brotherhood, equality, human Rabbani.
Pendahuluan
Humanisme sebagai teori yang menempatkan manusia sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri yang menjadi nilai tertinggi merupakan tema yang
jarang dibahas dalam al-Qur’an. Humanisme sebagai sebuah aliran filsafat
yang bertolak dari faham antropomorfisme sering dipandang bertentangan
dengan ajaran Islam yang bertolak dari keimanan dan kepercayaan adanya
Allah. Kalangan humanis memandang manusia sebagai penguasa alam
semesta sehingga menolak eksistensi Tuhan. Mereka bahkan
“menuhankan” manusia. Pandangan ini mengantarkan adanya penolakan
pemikiran humanisme dalam al-Qur’an.
*) Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
241
Akan tetapi Islam sebagai ajaran suci sangat memperhatikan kearifan
kemanusiaan sepanjang zaman.1. Ajaran Islam memberikan perlindungan
dan jaminan nilai-nilai kemanusiaan kepada semua umat. Setiap muslim
dituntut mengakui, memelihara, dan menetapkan kehormatan diri orang
lain. Upaya pemanusiawian manusia dikembangkan menjadi pendidikan
dengan pendekatan humanistik.2 Untuk itu, Islam dengan al-Qur’an sebagai
sumber ajarannya dinyatakan Nasr sebagai pedoman dan realitas sentral
kehidupan Islam yang merupakan dunia kehidupan setiap muslim.3 AlQur ’an memberi jawaban atas permasalahan hidup manusia. Sebagai
pedoman hidup manusia, kitab suci ini banyak membahas tentang jati diri
manusia.
Teoantroposentrisme: Dasar Humanisme Islam
Pembahasan mengenai humanisme dalam Alquran tidak bisa
dilepaskan dari pemikiran Barat yang memunculkan teori ini. Humanisme
di dunia Barat muncul sebagai dasar gerakan Renaissance.4 Gerakan ini
mencari tafsir baru tentang manusia dalam kehidupan dunia. Pada awal
kemunculannya, humanisme merupakan gerakan filsafat dan sastra di
Italia pada paruh kedua abad ke-14 yang menyebar ke negara-negara lain
di Eropa sebagai satu di antara faktor peradaban modern. Sikap humanis
terhadap kehidupan ini berlangsung sampai sekarang.5
Humanisme muncul karena adanya rasionalisme sehingga melahirkan
Renaisans, yaitu gerakan kebangunan-kembali manusia dari
keterkungkungan mitologi dan dogma.6 Bertolak dari mitologi tersebut,
menjadi wajar dan logislah bila konsep humanismenya mengambil bentuk
sebagai penentang kekuasaan para dewa yang menjadi Tuhan-Tuhan dan
sembahan mereka. Meski demikian, Rene Descartes (1598-1650) yang
dikenal sebagai bapak pendiri filsafat modern memandang rasionalisme
tidak boleh mengingkari eksistensi Tuhan sebagai ide tentang ‘ada’ yang
paling sempurna.7 Humanisme yang hanya didasarkan pada pemikiran
akal tidak mampu mewujudkan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Seharusnya humanisme yang bertolak dari paham rasionalisme tidak
menentang adanya Tuhan.
Humanisme religius (humanisme teosentris) merupakan upaya untuk
menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.8 Ajaran agama (keyakinan
tentang Tuhan), menurut Boisard dalam L’Humanisme de l’Islam,
mempengaruhi watak dan persepsi manusia yang selanjutnya menentukan
kedudukan dirinya, prioritas kebutuhan dan pembentukan kaidah
hubungan dengan manusia lainnya. 9 Agama bukan hanya sistem
kepercayaan yang tidak berubah tapi juga nilai yang berorientasi
kemanusiaan. Dalam pemikiran humanisme, mazhab agama lebih tua dan
memiliki akar yang lebih dalam daripada ketiga aliran sebelumnya. Semua
agama memiliki misi untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju
kebahagiaan abadi. Humanisme agama adalah keyakinan dalam aksi.
Amin Abdullah menyatakan, religion is not merely a set of metaphysical
beliefs that never change. Religion is also an attitude and orientation towards huDidaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
242
Musthofa
manity, nature and human culture that shows respect and awe for the mystery of
human life.”10 Kaum humanis-religius mengakui bahwa agama dalam
budaya manusia berperan untuk membantu manusia dalam menyelesaikan
keterpusatan diri yang membuat diri terasing dari orang lain. Agama tidak
mengabaikan nilai kemanusiaan. Justru agama diturunkan kepada manusia
untuk menjamin kebebasannya supaya terhindar dari perilaku tirani pihak
lain.
Humanisme Islam sebagai humanisme-religius bersumber dari ajaran
Islam. 11 Dasar humanisme Islam yang semuanya bertolak dari ikatan
manusia terhadap suatu perjanjian primordial dengan Tuhan yang
menurut Iqbal disebut sebagai puncak realitas (the Ultimate Reality). 12
Pengakuan Allah sebagai pusat orientasi hidup manusia dilakukan sejak
awal kehidupannya. Manusia mengakui Allah sebagai Tuhannya (Q.S. alA‘raf [7]: 172). Karena perjanjian itu, setiap manusia terlahir dalam fitrah,
kesucian asal (Q.S. al-Ruum [30]: 30). Orientasi ketuhanan itulah yang
menurut Syariati harus dimasukkan dalam jiwa hidup manusia, baik dalam
tradisi, adat-istiadat dan tata krama masyarakat untuk diaplikasikan dalam
ideologi materialisme, sosialisme, dan ekonomisme. Inilah yang
membedakan konsep humanisme Islam dengan Barat.
Konsep humanisme ini dalam pandangan Sarwar disebabkan oleh
karena ajaran al-Qur’an didasarkan pada kemurnian jiwa manusia sebagai
bagian dari jiwa yang Mahaagung.13 Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang mendapatkan Ruh Ilahi (jiwa Tuhan) (Q.S. al-Hijr [15]: 29). Ruh ilahi
sebagai penyebab manusia memiliki akal yang membedakannya dari
makhluk lain. Ruh Ilahiah yang menyatu dengan jasad atau fisik manusia
membentuk kesatuan manusia dinyatakan sebagai puncak segala makhluk
Allah yang diciptakan oleh-Nya dalam bentuk sebaik-baiknya ciptaan (Q.S.
al-Tin [95]: 4).
Realitas manusia tersebut menjadi dasar pemikiran humanisme Islam
yang bersifat religius-transendental. Transendensi Tuhan dalam Islam tidak
menjauhkan rahmat dan inayah-Nya dari manusia. Tuhan dalam konsepsi
Islam itu tidak terisolir, tapi justru bisa dihubungi. Allah selalu berbuat
memenuhi kebutuhan manusia (Q.S. al-Rahman [55]: 29). Fitrah manusia
menjadi esensi humanisme Islam. Nurcholish Madjid mengatakan, “... the
Qur’an defines the true religion as none other than the primordial, pristine quality of humanity, express in the innate and the naturally unspoiled inclination of
man to the sacred and the true, which is the essence of the universal humanism, the
fitrah and the hanifiyah.”14
Nilai kemanusiaan seorang manusia itu secara alamiah dan sosial juga
didasarkan pada kemampuannya menghargai kode etik dan sopan santun
sebagai makhluk berbudaya yang tidak liar. Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia dihargai bukan karena bangun tubuhnya yang indah, akan tetapi
karena kualitas perbuatannya yang didasarkan pada kematangan
pemikiran dan kesadaran yang membentuk sikap hidup yang bijak.
Kapasitas akal manusia itulah yang menjadi ciri utama kemanusiaan
(humanitas) manusia dan aktualitasnya dalam kehidupan kongkret.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
243
Nilai kemanusiaan manusia ditentukan jiwanya, yaitu penyucian diri
sehingga tidak menuruti keinginan nafsu jahat (Q.S. al-Syams [91]: 9-10).
Machasin menyatakan: “... for the philosophers, the humanity lies in the spirit.
The body for them is only vehicle by which the human soul operates in this worldly
life and it is not here that it should dwell. The soul must release itself out of the
web of the body and go back to God.”15
Badan manusia sebagai tempat melaksanakan maksud jiwanya dalam
kehidupan. Jiwa manusia harus mampu membebaskan badannya untuk
bisa kembali kepada Tuhan. Hubungan kemanusiaan yang baik dapat
terwujud manakala manusia mampu membebaskan dirinya dari tawanan
orang lain dan bisa meniadakan perbudakan pada dirinya sendiri. Caranya
adalah manusia disuruh berperilaku seperti akhlak yang dimiliki Allah,
yaitu mengamalkan sifat-sifat-Nya yang terformulasi dalam al-asma’ alhusna (nama-nama yang bagus).
Akhlak bukanlah sesuatu yang kita “pakaikan” pada diri kita. Akhlak
adalah sifat Allah yang kita “serap” dan kemudian mengubah kita secara
ontologis. Setiap kali kita menyerap asma (sifat) Allah, esensi kemanusiaan
kita berubah sehingga mengalami tranformasi. Penyerapan sifat Allah akan
mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa sehingga memunculkan
kebenaran dalam berpikir, keteguhan dalam bersikap, dan kebaikan dalam
berperilaku (akhlak). Bertrand Russel memandang perlunya menyelaraskan
aspek pribadi dan aspek kemasyarakatan dari perilaku individu.16 Reformasi
sosial akan membawa reformasi individual, bukan sebaliknya.
Unsur teosentrisme dalam humanisme Islam tersebut berupaya
membentuk manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan menjadi khalifah Allah fi al-ardl (agen Tuhan di bumi) sebagai bukti kemuliaan manusia (Q.S.
al-Isra’ [17]:70). Karena kemuliaan itu, Mutahhari menggambarkan manusia
sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi. 17 Kemuliaan
manusia dalam kajian Islam diwujudkan dengan nilai-nilai moral yang
abadi dan asli tentang fitrah kebaikan yang suci dan asas manusia yang
kreatif dan luhur. Menurut ‘Abd al-Gani ‘Abud, dasar penciptaan manusia
adalah kebaikan, bukan kejahatan.18 Manusia harus dibela, diperjuangkan
dan diberikan hak-haknya supaya menjadi manusia yang sesungguhnya
sesuai keterbatasan potensi yang dimiliki.
Dengan demikian, humanisme Islam memiliki dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Humanisme ini bertolak dari faham
teoantroposentrisme. Dimensi vertikal (hablun min Allah) berupa hubungan
baik kepada Allah dengan cara mengabdi pada kekuasaan tertinggi untuk
membangun hati yang baik guna mencegah kesombongan. Dimensi vertikal
dalam humanisme Islam mengharuskan manusia mengabdi kepada Allah
sedangkan dimensi horizontal (hablun min al-nas) berupa hubungan baik
kepada sesama manusia dan alam semesta sehingga muncul nilai keadilan,
kasih sayang, dan nilai lain sebagai akhlak mulia. Itulah sebabnya akhlak
menjadi inti ajaran humanisme Islam.
Humanisme Islam adalah jalan tengah, yaitu harmonisasi antara
dimensi material dan dimensi spiritual, dimensi fisik dan psikis, dimensi
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
244
Musthofa
dunia dan akhirat. Melupakan kehidupan duniawi itu tidak menonjolkan
materi tetapi menghancurkan diri sehingga menjadi miskin dan bodoh. Hal
ini merupakan tindakan dehumanis. Dimensi spiritual menjadi pengendali
nafsu manusia untuk tidak berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menghancurkan harkat dan martabat manusia.
Nilai-nilai Humanisme Islam
Nilai-nilai kemanusiaan dalam humanisme Islam memiliki kesamaan
dengan humanisme Barat karena sumbernya memang sama. Moussa
mengatakan: “We may …declare that humanity is indebted for the principles of
“liberty, fraternity and equality” to Islam and not to French Revolution as alleged
by those who are ignorant of Islam and its history or those who are prejudiced against
the religion perfected by the Lord of the worlds for all mankind.”19
Humanisme Barat itu berutang budi terhadap prinsip kebebasan (liberty), persudaraan (fraternity), dan persamaan (equality) dalam Islam. Lebih
dari itu, Iqbal menyatakan ketiga prinsip tersebut merupakan inti ajaran
Islam. Dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
dinyatakan bahwa intisari tauhid adalah persamaan, solidaritas, dan
kebebasan. 20 Konsep tauhid berimplikasi kepada upaya mewujudkan
persamaan. Adanya persamaan itu akan menumbuhkan solidaritas atau
persaudaraan. Selanjutnya, solidaritas menuntut pemberian kebebasan
kepada manusia dalam hidupnya. Kebebasan, persudaraan, dan persamaan
inilah yang menjadi nilai humanisme Islam.
1. Kebebasan
Kebebasan (hurriyyah, kemerdekaan) adalah jiwa ajaran Islam.
Kebebasan sebagai nilai humanisme Islam ditujukan untuk menjamin hak
manusia. Nilai kebebasan dalam humanisme Islam menurut pandangan
Syari’ati bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk mandiri
yang mulia, berpikir, sadar akan dirinya sendiri, berkehendak bebas,
bercita-cita dan merindukan ideal, bermoral. Kebebasan dalam Islam
dibatasi oleh ketentuan moral.21 Menurut Khuri dalam Freedom, Modernity,
and Islam, tanpa pengakuan moral dan spiritualitas, kebebasan akan
menyebabkan kehancuran.22
Ketentuan moral itu pada hakikatnya berperan sebagai pengikat
kebebasan. Islam memandang nilai hidup seorang manusia tergantung
pada adanya kebebasan. Kebebasan menurut al-Siba‘i dalam Isytirakiyyah
al-Islam tidak akan terwujud bila tidak didasarkan perasaan yang mendalam
dalam pribadi seseorang, kebutuhan masyarakat, ketaatan kepada Allah,
dan nilai kemanusiaan.23 Ketaatan merupakan ketentuan moral yang harus
diikuti oleh semua manusia.
Islam memberikan ketentuan moral dengan memberikan kewajiban
kepada manusia berupa taklif (kewajiban keagamaan). Pada dasarnya, taklif
adalah bimbingan Allah supaya manusia menuju jalan yang benar.24 Taklif
atau ketentuan moral sebagai petunjuk bagi manusia tidak akan terlaksana
bila manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengikuti atau menolaknya.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
245
Petunjuk itu hanya akan berguna bila ada kemungkinan tersesat. Tanpa
adanya kemungkinan tersesat, petunjuk akan kahilangan arti. Di sinilah
letak kebebasan manusia yang dicita-citakan humanisme Islam untuk
menjamin harkat dan martabat manusia sehingga relevan untuk segala
tempat dan waktu. Islam memberikan legitimasi penuh tentang kebebasan.
Pandangan tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan
inilah yang membedakan dasar pemikiran humanisme di Barat dengan
pemikiran humanisme di Timur. Ada perbedaan yang sangat mendasar
antara kedua konsep humanisme tersebut.
Islam memberikan kebebasan yang sangat luas. Bahkan, dalam hal
keimanan sebagai hak yang paling asasi dalam diri manusia pun diberikan
kebebasan (seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29).
Sebagai konsekuensinya, pemaksaan keyakinan merupakan tindakan yang
tidak diperbolehkan. Islam juga mengajarkan kebebasan berpikir dan
bertindak atau berusaha.25 Kebebasan berpikir dalam Islam dimaksudkan
supaya manusia benar-benar mencapai kebebasan dan dapat menentukan
pilihannya. Ajaran Islam itu rasional. Hasan Hanafi mengatakan, Revelation in Islam is a dictum of Reason. It is not anti-rational, irrational or superrational. Reason is the most common element shared by all human beings.26
Jalan yang benar untuk mendapatkan kebebasan bukan dengan
meninggalkan agama, tetapi dengan menanamkan semangat membangun
dan memperbaiki kondisi masyarakat yang membenci ketidakadilan. 27
Semangat inilah yang menjadi kebebasan muslim. Tidaklah logis apabila
Islam menyerukan semangat berpikir, namun tidak memberikan kebebasan
ilmiah agar akal dan ilmu pengetahuan menempati posisi yang seharusnya.
Gaya bahasa al-Qur’an yang menggunakan model kalimat pertanyaan itu
sering digunakan menjadi tanda bahwa manusia diberi kebebasan dalam
berpikir yang berakhir untuk percaya atau tidak mengenai ajaran Islam.
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan atau tindakan
terhadap ajaran itu.
Kebebasan lain yang diberikan Islam adalah berusaha. Manusia
memungkinkan memilih usaha yang baik dan mulia sesuai kemampuannya.
Manusia bisa melakukan usaha atau pekerjaan yang tidak harus merugikan
orang lain. Apa pun yang diusahakan manusia kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya (Q.S. al-Taubah [9]: 105). Kebebasan berusaha
tidak boleh menyebabkan gangguan dan kehancuran bagi orang lain.
Kebebasan itu didasarkan pada kebebasan orang lain.
Karena itu, harus disadari bahwa kebebasan memunculkan perbedaan.
Setiap perbedaan memiliki kekhususan dan manfaat tersendiri (Q.S. alNahl [16]: 13). Perbedaan menjadi ketentuan Allah. Dalam al-Qur ’an
disebutkan:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orangorang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan, untuk itulah Allah
menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
246
Musthofa
manusia (yang durhaka) semuanya (Q.S. Hud [11]: 118-119).
Ayat ini menjamin adanya kebebasan yang menuntut manusia untuk
bersikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaan menerima
kenyataan seperti apa adanya secara wajar. Setiap orang memliki kebebasan
sebagai haknya, tetapi mereka juga harus mempertanggungjawabkannya.
Keserasian antara hak dan kewajiban sosial itu menurut Madjid
menghasilkan ajaran tentang jalan tengah (wast), wajar dan fair (qist) serta
adil (‘adl).28 Itulah sikap yang berulang-ulang ditekankan dalam al-Qur’an.
Semua bentuk kebebasan atau kemerdekaan dan kehormatan manusia
merupakan nilai-nilai sekunder yang selalu terjadi dalam kerangka hubungan
pengabdian kepada Allah, Tuhan yang transenden.
Kebebasan dalam humanisme Islam harus diikuti tanggung jawab
sesuai hukum yang ditentukan oleh Allah. Dalam humanisme Islam tidak
ada kebebasan tanpa tanggung jawab. Karena jaminan kebebasan itu juga
Islam memberikan legalitas adanya pluralitas. Pluralitas pemikiran setiap
manusia juga harus diterima. Kedamaian terjadi karena adanya sikap
toleran di antara mereka. Mereka bersikap menerima pihak lain meski tidak
menyetujuinya. Menerima yang tidak disetujui itulah toleransi. Dengan
demikian, toleransi menjadi bagian yang terpisahkan dari konsep atau
pemikiran pluralisme. Tanpa adanya sikap toleran, praktik atau kondisi
plural akan selalu terjadi ketimpangan, kerusuhan, perpecahan, bahkan
sampai peperangan. Pluralisme menjadi bagian dari kebebasan dalam
humanisme Islam.
Karena itu, Fazlur Rahman memandang manusia adalah satu-satunya
makhluk yang memiliki kebebasan untuk menaati atau mengingkari
perintah Tuhan.29 Al-Aqqad memberikan persyaratan kebebasan itu harus
dibenarkan akal. 30 Akal yang sehat mampu menemukan kebenaran
sehingga tidak bertentangan dengan nafsu yang mengajak berbuat jahat.
Inilah yang menjadi keistimewaan manusia. Kebebasan menjadi cara
mengangkat derajat manusia. Manusia yang bisa memilih dan melakukan
perbuatan baik akan menjadikan manusia mulai; sebaliknya mereka yang
salah memilih dan berbuat menjadikan mereka hina. Hati dan akal manusia
diharapkan bisa mengantarkan pada pilihan yang membawa manusia
kepada kemuliaan dirinya. Di sinilah manusia dituntut bertanggung jawab
akan perbuatannya. Kebebasan dan tanggung jawab dalam Islam menjadi
satu kesatuan karena dari tanggung jawab inilah muncul kebebasan.
2. Persamaan
Nilai persamaan (al-musawah) antarmanusia dalam Islam didasarkan
pada kesatuan jenisnya. Islam menegaskan bahwa kesamaan individu
adalah dasar martabat manusia. Persamaan manusia dalam ajaran Islam
tidak mengenal suku, ras, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Ayat
ini menegaskan bahwa nilai manusia hanya dibedakan oleh kualitas
ketakwaannya kepada Allah. Kekuasaan mutlak dan transendensi Allah
memberikan kemerdekaan kepada manusia dan membentuk konsep
persamaan total kepada setiap orang. Persamaan ini menjadi sumbangan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
247
Islam bagi kebudayaan universal. Ajaran Islam tentang persamaan ini
dijelaskan Siddiqi dalam Islam and the Remaking of Humanity sebagai berikut:
It was Islam which taught man for the first time that religion is neither ‘national’ nor
‘individual’ nor ‘private’, but purely ‘human’ and its objective is to weld and organize
the entire mankind despite its natural diversity. Such a program cannot be framed on
the basis of nationality or race, nor can was regard it as private. It can only means by
which the feelings and thoughts of humanity can be integrated and harmonized and
this is an essential task for the formation and survival of an ummah.31
Ajaran Islam itu bersifat murni kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk
menggalang dan mengatur seluruh umat manusia meskipun berbeda secara
alami. Program ini hanya berarti bila perasaan dan ajaran kemanusiaan
bisa disatukan dan diharmonisasikan. Penyatuan dan pengharmonisan
merupakan tugas pokok dalam membentuk dan melangsungkan hidup
umat manusia. Biosard menilai tak ada agama atau ideologi sebelum Islam yang menekankan dengan kuat tentang prinsip persamaan manusia
sebagai dasar pola hubungan manusia.
Humanisme Islam membela manusia dalam seluruh sistem dan
sejarahnya didasarkan pada prinsip keadilan, kehormatan, hidayah,
tanggung jawab, nilai moral, dan hakikat manusia guna membentuk ciri
khusus budayanya. Karena petunjuk agama ini menyebabkan jiwa manusia
tidak akan pernah damai kecuali dengan melaksanakan pola hidup sesuai
petunjuk ajaran Islam.
Penilaian objektif diberikan seorang pemikir Barat non-muslim, seperti
ditulis Marcel A Boisard berikut ini:
Peradaban Arab Islam telah memberikan iuran yang sangat besar kepada sistem
yang menjamin penghormatan terhadap pribadi manusia dan mengatur hubungan
antarbangsa. Pengingkaran Barat akan peran Islam dalam memperjuangkan nilainilai humaisme ... disebabkan oleh kesombongan Barat yang sejak semula telah
menyatukan bangsa-bangsa Eropa untuk melawan Islam.32
Pengakuan ini menunjukkan konsep humanisme Islam relevan dengan
sisi kemanusiaan hakiki yang berlaku sepanajang zaman. Keharusan sifat
universal itu menjadikan humanisme sering diasosiakan dengan
individualisme, liberalisme, egalitarianisme, dan kosmopolitanisme.
Peradaban yang akan datang harus ramah yang menempatkan fitrah
manusia dalam posisi yang wajar dan berdaya, bukan manusia congkak
antroposentrik seperti yang dihasilkan peradaban Renaissance Eropa.
Humanisme menemuan penghargaan di antara manusia yang berbeda-beda
(suku, agama, warna kulit, dsb.).
Universalitas konsep ini merupakan konsekuensi Islam sebagai ajaran
suci terakhir sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang
zaman. Moussa mengatakan, “Islam is the last of all the divine messages …
The nature of this messages must be of a kind that makes it fit for all humanity in
every age, generation and time.”33 Kenyataan ini memberikan legitimasi bahwa
Islam memberikan jawaban atas problem sentral tentang arah perilaku
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
248
Musthofa
manusia dalam kehidupan kolektif sesuai nilai moralnya sepanjang masa.
Nilai persamaan merupakan dasar dalam hubungan sosial.
Atas dasar inilah Islam mengembangkan filsafat dan perundangundangan hak asasi manusia. Cara berpikir ini adalah logis. Islam
membenarkan pemberontakan terhadap ketidakadilan politik dan sosial.
Ajaran Islam tidak hanya berkenaan dengan masalah hubungan manusia
dengan Tuhan atau penyucian jiwa semata, tapi juga mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia, dari pandangan filosofisnya tentang alam
sampai pada pedoman hidup individual. Agama ini menekankan
kepribadian, perkembangan, dan kemerdekaan manusia dalam persamaan.
Persamaan ini selanjutnya memunculkan persaudaraan.
3. Persaudaraan
Nilai persaudaraan (al-ikha’) dalam humanisme Islam didasarkan pada
kebaikan (al-birr) dan kasih sayang (al-rahmah). Rasul dan para pengikutnya
itu sangat sayang kepada sesamanya, meskipun sangat keras terhadap
orang kafir yang memusuhi Islam (Q.S. al-Fath [48]: 29). Semua muslim
adalah saudara. Allah berfirman, bahwa “Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”
(Q.S. al-Hujurat [49]: 10).
Dengan nilai persaudaraan ini manusia mengetahui hak sesama
manusia sehingga bisa menghindari perbuatan aniaya terhadap yang lain.
Karena jalinan persaudaraan ini juga seorang manusia tidak akan bersikap
egois dalam berinteraksi dengan sesamanya. Persaudaraan menuntut
adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Perhatian ini bisa
jadi muncul karena persamaan di antara pihak-pihak yang merasa
bersaudara. Makna persaudaraan diartikan sebagai setiap persamaan dan
keserasian dengan pihak lain. Makna ini bisa mencakup salah satu unsur,
seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Prinsip-prinsip inilah yang
harus dikembangkan dalam sistem kehidupan masyarakat.
Ajaran Islam tentang persaudaraan ini sangat luas cakupannya.
Quraish Shihab mengidentifikasi jenis persaudaraan dalam Islam
(ukhuwwah) menjadi tujuh macam, yaitu: saudara seketurunan, saudara
ikatan keluarga, saudara sebangsa, saudara semasyarakat, saudara
seagama, saudara sekemanusiaan, dan saudara semakhluk.34 Setiap muslim
harus berbuat baik kepada semua pihak. Persaudaraan tidak hanya
terhadap sesama manusia, tapi juga persaudaraan terhadap sesama
makhluk yang diciptakan oleh Allah. Berlaku baik terhadap benda sesuai
kondisi yang seharusnya, seperti mengalirkan air yang tergenang dan
menutup kran air merupakan nilai kebaikan. Karena itu, berbuat yang
sebaliknya merupakan kejahatan atau keburukan. Hal ini bisa berlaku bagi
semua jenis benda dalam lingkungan setiap manusia berada.
Kalau terhadap benda atau lingkungan saja manusia dituntut oleh
ajaran Islam untuk memperlakukan sesuai kondisi yang harus terjadi,
apalagi terhadap sesama manusia, terlebih lagi persaudaraan sesama
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
249
muslim. Jalinan terhadap sesama muslim ini terdapat kekhususan. Makna
sesama mukmin adalah saudara (ikhwah) itu tidak semata-mata diikat oleh
kesamaan iman, melainkan juga “seakan-akan” dijalin oleh persaudaraan
seketurunan. Ada kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin
hubungan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun dalih yang
bisa dibenarkan untuk memunculkan keretakan hubungan, apalagi
permusuhan dan peperangan.
Manusia memiliki rasa guna merespon kenyataan hidup yang dialami.
Karena itu, dalam kaitannya dengan tema persaudaraan sebagai bagian
dari nilai kemanusiaan diilustrasikan oleh Mutahhari dengan satu kalimat,
sebagaimana diungkapkan para sufi dan teolog modern, yakni “rasa perih”.
Perih adalah sumber rasa tidak enak tetapi pada saat yang sama juga
memberikan kesadaran dan kewaspadaan untuk menemukan
penyebabnya.35 Betapa pun merugikan, rasa perih adalah rahmat. Semakin
perih semakin waspada. Tidak merasa perih sama dengan tidak merasa
dan tidak mengetahui. Itu sama halnya dengan menjadi jahil. Menjadi
terpelajar dan bijaksana yang tidak mempunyai kesenangan lebih baik
daripada menjadi orang tolol yang menikmati segala kesenangan.
Tidak merasa perih bisa menjadikan orang lupa diri. Selanjutnya, lupa
diri akan menyebabkan kehancuran umat manusia. Keruntuhan umat
manusia di dunia Barat disebabkan oleh budaya duniawi yang menyimpang
sehingga menjadi lupa diri. Mereka hanya mengenal dunia semata. Padahal
semakin sadar akan aspek duniawi, orang semakin lupa diri. Masalah yang
terjadi di dunia itu disebabkan oleh karena orang kurang memiliki rasa
kemanusiaaan; Orang tidak mencintai manusia.
Perilaku yang humanis itu saling mencintai manusia. Etika kemanusiaan
menjadi pedoman dalam kehidupan manusia supaya tidak sewenang-wenang
terhadap orang lain. Rasa perikemanusiaan diharapkan akan tumbuh dari
pemahaman tentang nilai-nilai etik tersebut. Etika kemanusiaanberfungsi untuk
menciptakan pola hubungan antarindividu, sosial, dan kenegaraan. Standar
inilah yang menentukan tanggung jawab, amanat, dan janji bagi yang berhak
sehingga terjauh dari tindakan yang mengarah kepada lenyapnya nilai-nilai
kemanusiaan. Islam mengajarkan kepedulian kepada masalah kemanusiaan
sama pentingnya dengan ritual (ibadah) kepada Allah. Kepedulian dan kemauan
membela sesama manusia menjadi tanda kesalehan seorang muslim.
Karenanya, keberadaan standar nilai-nilai kemanusiaan merupakan kepentingan
bagi kehidupan manusia berdasarkan persamaan antarmanusia.
Aktualisasi Nilai Humanisme Islam dalam Konsep Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dimaksudkan sebagai perubahan yang akan
dihasilkan dalam diri peserta didik akibat aktivitas pendidikan.36 Sebuah
tujuan ditentukan oleh pandangan hidup (way of life) yang meliputi keyakinan
agama dan realitas sosial dalam hidup keseharian. Nilai-nilai dalam
pandangan hidup menjadi dasar dalam menggerakkan dan
menyelenggarakan sistem pendidikan.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
250
Musthofa
Pendidikan dalam Islam bertolak dari paham teosentrisme dan
antroposentrisme sekaligus. 37 Nilai-nilai spiritual dan kebaikan moral
menjadi dasar dalam merumuskan tujuannya. Menurut Fahmi, tujuan
kejiwaan dan tujuan keagamaan menjadi ciri khas pendidikan Islam ini
memberikan nilai ideal yang tidak terdapat dalam pendidikan modern yang
dikonsepkan Barat.
Tujuan pendidikan humanistik di Barat yang hanya didasarkan pada
paham antropomorfisme terbatas pada aktualisasi potensi secara penuh
dan penjaminan hak dan nilai hidup manusia, yaitu kebebasan dan
kemerdekaan manusia dalam mengaktualisasikan dirinya. 38 McNeil
mengatakan, “To humanists, the goals of education are dynamic personal processes related to the ideals of personal growth, integrity, and autonomy.”39
Pendidikan humanistik bertujuan membentuk pribadi yang dinamis sesuai
dengan pertumbuhan pribadi yang ideal, integritas dan otonominya.
Tujuan ini ditandai dengan pengembangan kepribadian dan bakat
individu secara menyeluruh. Aktualisasi diri hanya didasarkan pada tujuan
material dan sosial yang bersifat sekuler ini terlepas dari upaya
menghadirkan Tuhan dalam diri peserta didik. Lepasnya kesadaran
ketuhanan akan memunculkan kesombongan intelektual, kezaliman,
pengkhianatan, dan kejahatan lain yang ditentang oleh ajaran Islam sesuai
nurani manusia. Semua itu disebut akhlak mulia yang bisa dicapai dengan
mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual. Keduanya harus
disinergikan. Kecerdasan emosional diperlukan untuk menjalin hubungan
yang baik antarmanusia, sedangkan kecerdasan spiritual harus dimiliki
untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan.
Dalam Islam, aktualisasi potensi sebagai tujuan proses
pemanusiawian manusia dalam pendidikan humanistik meliputi dimensi
material dan spiritualnya. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah,
dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan
al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 79).
Manusia rabbani sebagai hasil atau tujuan proses pendidikan menurut
al-Tabariy adalah orang yang memiliki kemampuan berbagai disiplin ilmu
sehingga bisa berperan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan
hidup manusia, baik urusan keduniaan maupun urusan keagamaan. Mereka
adalah orang ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli takwa.40 Profil manusia ini
menjadi tujuan pendidikan. Kesatuan ilmu dan takwa sebagai
kesempurnaan diri menjadikan manusia sebagai orang yang baik secara
sosial dan spiritual membentuk manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah)
sedangkan kemampuannya menciptakan kebaikan hidup manusia di dunia
menjadikan manusia sebagai khalifah Allah.
Tujuan mengaktualisasikan potensi manusia (peserta didik) menjadi
‘abdullah merupakan tujuan pendidikan humanistik dalam Islam sesuai
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
251
tujuan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia hanyalah untuk
beribadah kepada-Nya (Q.S. al-Zariyat: 56). Tugas manusia sebagai tujuan
umum pendidikan Islam adalah mengabdi kepada Allah. Pengembangan
potensi yang disertai dengan penyucian jiwa dan pengajaran al-Qur’an akan
menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia
sebagai ciri religiusitasnya. Hal ini akan memunculkan kepekaan untuk
berbuat baik kepada masyarakat sekitarnya. Menurut Husain dan Ashraf,
penyadaran supaya tumbuh keimanan dan kesalehan dalam diri seseorang
merupakan tujuan fundamental yang sekaligus menjadi ciri khusus
pendidikan Islam.41
Tujuan ini menjadi bukti bahwa pendidikan dalam Islam tidak mengejar
objektivitas dan manfaat material seperti teknologi Barat. Pendidikan Islam
mencari sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk untuk mengagungkan
Tuhan. Karena itu, semua aktivitas harus didasarkan pada nilai spiritual
(Q.S. al-‘Alaq: 1-4). Perintah membaca (iqra’) sebagai aktivitas pendidikan
atau pengajaran (ta‘lim) dalam Islam harus disertai bi-ismi rabbik (membaca
berdasarkan nilai atau ajaran ketuhanan). Landasan spiritual yang sekaligus
mengantarkan tujuan pendidikan itu dijelaskan Ali Yafie sebagai berikut:
Melalui kata iqra’ itu, al-Qur’an juga mengingatkan bahwa pemikiran dan
perenungan, sehubungan dengan rahasia penciptaan dan makna kehidupan,
teramat penting untuk diinsyafi sebelum memulai segala perbuatan. Tanpa itu,
manusia tak dapat mengembangkan pengetahuan yang sangat asasi bagi
terwujudnya manusia dan peningkatan martabatnya sebagai makhluk pilihan.
Namun tentu saja, al-Qur’an mengingatkan bahwa pikir saja tidaklah cukup. Pikir
harus dilengkapi dengan dzikir (mengingat Allah), sebab Dialah—melalui kasih
sayangnya—tempat memancarnya sumber kehidupan dan pengetahuan.42
Dimensi zikir (mengingat Allah) menjadi syarat aktivitas pendidikan
dalam menjamin nilai kemanusiaan manusia. Menurut Ibn Taimiyah, ilmu
yang lepas dari nilai-nilai spiritual itu jauh dari kebenaran dan kebaikan.43
Penguasaan ilmu harus menjaga potensi spiritualitas peserta didik agar
tetap menjadi manusia muslim yang taat kepada Allah. Pendidikan Islam
mengembangkan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi
intelektual, spiritual, emosi, dan fisik sehingga seorang muslim akan
menyiapkan diri dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya
di sisi Tuhan. Pendidikan harus mengantarkan peserta didik menjadi
hamba Allah (‘abdullah), bukannya hamba harta serta bukan hamba ilmu
dan kemajuan teknologi yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Adapun aktualisasi potensi dalam pendidikan humanistik-Islami yang
membentuk manusia (peserta didik) sebagai khalifah Allah di muka bumi
merupakan bekal dalam merealisasikan kelestarian dan daya guna alam
semesta (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-31). Khalifah adalah jabatan yang lebih
bersifat kreatif daripada sekadar status. Eksistensi manusia terletak pada
daya kreatif untuk memakmurkan bumi.44 Manusia memegang mandat
Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang
diberikan kepada manusia itu bersifat kreatif yang memungkinkan manusia
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
252
Musthofa
mengolah serta mendayagunakan alam semesta untuk kepentingan
hidupnya. Untuk keperluan ini manusia disuruh berbuat baik dan
mencegah perbuatan jahat (amar ma‘ruf nahy munkar).
Karena itu, pengembangan potensi dalam pendidikan humanistikIslami harus mengantarkan terwujudnya manusia kreatif yang dapat
memberikan kebaikan hidup manusia lain. Dengan bekal ilmunya, mereka
harus mampu mengolah serta mendayagunakan bahan baku di bumi
menjadi produk teknologi untuk kepentingan hidupnya. Karena
kemampuan lebih yang tidak dimiliki makhluk lain inilah manusia diangkat
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Akan tetapi, status khalifah
mengharuskan manusia selalu menyeru kepada kebaikan dan mencegah
keburukan. Tugas sosial bagi setiap manusia adalah saling menasihati
sesama supaya selamat hidupnya.
Tanggung jawab sosial dalam upaya memelihara nilai kemanusiaan
sebagai tugas ke-khilafah-an manusia menjadi tujuan pendidikan.
Bangunan masyarakat yang terbentuk dari individu-individu hasil
pendidikan ini juga merupakan sasaran dari c ita-c ita pemikiran
humanisme Islam. Pendidikan memiliki kontribusi dalam mewujudkan
masyarakat humanis. Nilai-nilai akhlak harus menyatu dalam menjamin
dan memberikan perlindungan nilai, harkat, dan martabat manusia sebagai
peserta didik. Predikat manusia sempurna (insan kamil), manusia teladan,
unggul, dan luhur ditandai dengan kepemilikan akhlak mulia.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tujuan pendidikan humanistik
dalam Islam adalah membantu, menolong, dan memberikan kesempatan
peserta didik untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi manusia rabbani.
Pendidikan ini akan mengembangkan potensinya menjadi hamba Allah
(‘abdullah) dan wakil Tuhan (khalifatullah) yang bertugas membangun
kemakmuran, keadilan, kedamaian, persamaan, dan persaudaraan dalam
masyarakat secara luas sebagai pengabdian kepada-Nya. Pendidikan
humanistik dalam Islam berupaya memahami kebenaran, kebaikan universal, dan aktualisasi diri lebih jauh kepada kehidupan spiritual (dimensi
vertikal) di samping memahami realitas dan permasalahan manusia
(dimensi horizontal) dalam kehidupan bersama.
Hasil pendidikan ini adalah manusia sempurna karena
kemampuannya mengembangkan potensi positif dan menghilangkan
potensi negatif sehingga mencapai hakikat kemanusiaan sesuai fitrahnya.
Pendidikan humanistik-Islami membangun masyarakat yang bertakwa
kepada Allah atas dasar kasih sayang, keutamaan, cinta kebaikan, toleransi,
rasa persaudaraan, kebebasan berpikir yang bertanggung jawab, dan
demokratis. Karena itu, pendidikan ini harus memberikan perlindungan
terhadap nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia guna menjamin
potensi anak didik supaya bisa teraktualisasi secara maksimal. Tujuan dan
nilai-nilai ini merupakan dasar dalam merumuskan materi pendidikan.
Penutup
Humanisme Islam yang bertolak dari teoantroposentrisme akan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
253
mampu membangkitkan semangat dan berhasil meraih cita-cita dalam
melindungi nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia sebagai
kemenangannya. Pemikiran humanisme ini bertolak dari ajaran tawhid yang
yang berupa nilai: kebebasan (liberty), persudaraan (fraternity), dan
persamaan (equality). Ajaran Islam menumbuhkan kebebasan jati diri
manusia yang mandiri dan luhur dalam wujudnya yang bersifat ilahiah
dan ideal. Ajaran ini sesuai dengan kondisi riil dunia yang terformulasi
dalam humanisme Islam karena mengedepankan akhlak dan kebaikan
untuk semua (rahmah li al-‘alamin).
Pemikiran humanisme inilah yang harus dijadikan dasar dalam
melaksanakan sistem pendidikan Islam. Sistem nilai dalam Islam berperan
juga dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada
proses dehumanisasi. Dalam kaitan inilah pendidikan berperan penting
dalam proses humanisasi. Tujuan pendidikan humanistik-Islami adalah
membantu peserta didik mengaktualisasikan potensinya supaya menjadi
manusia kreatif yang sadar akan kehadiran Allah dalam dirinya. Pendidikan
ini berupaya mengantarkan peserta didik menjadi manusia Rabbani. Dia
adalah hamba Allah (‘abdullah) dan khalifah Allah yang kreatif yang
memakmurkan dunia untuk kebaikan manusia sepanjang masa.
Catatan:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It, (Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379 H), h. 60
Nicola Abbagnano, “Humanism” dalam Paul Edward. (eds). The Encyclopedia of
Philosophy. Jilid III. (New York: Macmillan, 1972), h. 70
Lihat Sayed Hosen Nasr, Idelas and Realities of Islam (London: George Allen Unwin
Ltd, 1996).
Bertrand Russel, History of Western Philosphy. (London: Unwin University Press,
t.t), h. 488
Nicola Abbagnano, “Humanism...., h. 69-70
Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat. terj. Afif Muhammad.
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h.42
Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai
Wittgenstein. Terj. Zainal Arifin Tandjung. (Jakarta: Pantja Simpati, 1984), h. 31
dan 37.
Abdurrahman Mas’ud, “Pengantar”. dalam Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam:
Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. x
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Terj. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 148
M. Amin Abdullah, “Religious Humanism versus Secular Humanism: towards a
New Spiritual Humanism” makalah dalam International Seminar on Islam and
Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity di IAIN
Walisongo Semarang pada 5-8 November 2000, h. 3
Joel L. Kraemer, Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Revival during the Buyid Age, (Leiden: E.J. Brill, 1986), h. 10
M.M. Sharif. (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other
Disciplines and the Modern Renaissnce in Muslims Lands, (Germany: Otto Harraso
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
254
Musthofa
witz-Wiesbaden, 1966), 162
Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, Filsafat Qur’an, Terj. Tim Penerjamah Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 180-1
14
Nuscholish Madjid, “Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawaah
dalam Masyarakat Madani” dalam Widodo Usman (ed.). Membongkar Mitos
Masyarakat Madani. Yogykarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 4
15
Machasin, “The Concept of Human Being in Islam” makalah dalam International
Seminar on Islam and Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of
Religiosity pada IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000, h. 3.
16
Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Terj.
Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), h. 23
17
Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia...., h. 121
18
‘Abd al-Gani ‘Abud, al-Insan fi al-Islam wa al-Insan al-Mu’asir, (t.tp.: Dar al-Fikr al‘Arabi, 1978), h. 123
19
Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It..., h. 55
20
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. (Lahore:
Asyraf Publication, 1971), h. 154
21
Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat..., h. 47-9
22
Richard K. Khuri, Freedom. Modernity. and Islam: Toward a Creative Synthesis,
(USA: Syracuse University Press, 1998), h. 338
23
Musthafa al-Sibai, Isytirakiyyah al-Islam, (t.tp.: al-Nasyirun al-‘Arab, 1977), h. 71
24
Ali Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim,
(t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980), h. 96
25
Aisyah bint Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an. terj. Ali Zawawi. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. 58-9
26
Hassan Hanafi, “Global Ethics and Human Solidarity” makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism: Universal Crisis of Humanity and the
Future of Religiosity pada IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000, h. 4
27
Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas. Terj. Fungky Kusnaedi Timur,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), h. 338-9
28
Nuscholish Madjid, “Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan..., h. 97
29
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka
1996), h. 36
30
Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), 57-64
31
(Siddiqi, 1978: 227).
32
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam..., h. 20
33
Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It..., h. 60
34
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan, 1996), h. 487-9
35
Manusia Sempurna: Pandangan Islam tentang Hakekat Manusia. Terj. M. Hashem,
(Jakarta: Lentera, 1994), h. 22-3
36
Majid ‘Irsan al- Kailani, Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi Tarbiyah al-Fard wa
Ikhraj al-Ummah wa Tanmiyah al-Ikhwah al-Insaniyyah. (Henrdon Virginia: alMa’had al-‘Alami li al-Fikri al-Islami, 1996), h. 27
37
Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h.
15
38
George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan:
Andews University Press-Berrien Spring, 1982), h. 87
39
John D. McNeil, Curriculum: A Comprehensive Introduction, (London: Brown
Higher Education, 1972), h. 6
13
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
40
41
42
43
44
255
Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid al-Tabriy. (1999). Jami‘ al-Bayan ‘an
Ta’wil al-Qur’an. Juz 3. dalam Maktabah al-Tafsir wa-‘Ulum al-Qur’an. CD Program Versi 1.5. (Urdun: al-Khatib, 1999), h. 327
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam. Terj. Rahmani
Astuti, (Bandung: Risalah, 1986), h. 121
Ali Yafie, “Al-Qur’an Memperkenalkan Diri” dalam Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan. No. 1 Vol. I. 1989, h. 3
Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Hiraniy, Kutub wa Rasail wa Fatawa
Ibn Taimiyah fi al-Tafsir. dalam Maktabah al-Tafsir wa-‘Ulum al-Qur’an. CD Program Versi 1.5. (Urdun: al-Khatib, 1999), h. 297
A.M. Saefuddin, (et. all.) Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. (Bandung:
Mizan, 1998), h. 87
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
256
PERLUNYA PERGURUAN TINGGI
MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP
Oleh Zahruddin
Abstracts
The policy of state and local government to decrease support for public
higher education occours almost all over the world. This is in consequence
of the increasing pressures on state and local government to address
greater demands for expanded societal services such as crime prevention, health care, social security and including primary and secondary
education. Therefore there is no choice for public higher educations in
terms of that case except taking a new approach that tends toward a
more entrepreneurial manner. The questions are: what approaches should
be taken by a university to be entrepreneurial, what new sources or revenue opportunities can be sought by a university to be entrepreneurial,
what are the characteristics of entrepreneurial university, etc.
Key word: entrepreneurship
Pendahuluan
Perguruan tinggi dewasa ini menghadapi tantangan dan
tuntutan yang luar biasa seiring dengan gelombang perubahan
yang melingkupi dunia ini seperti kecenderungan perubahan
masa depan yang sulit diprediksi, kompetisi yang semakin ketat,
kemajuan teknologi yang begitu cepat, globalisasi yang bertambah
luas dan sebagainya.
Oleh karena itu, perubahan sudah menjadi keharusan dan
merupakan karakteristik sebagaimana juga yang terjadi pada
organisasi-organisasi lain seperti pemerintahan, perusahaan dan
Penulis adalah Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
257
lain-lain yangmana masing-masing menggunakan bahasa atau istilah yang
berbeda sesuai dengan usaha yang dilakukannya seperti transform, restructure atau reinvent. Duderstadt (2000:269) mengungkapan tentang hal itu:
The major paradigm shift that will likely characterize higher education in the years
ahead will require a more strategic approach to transformation, capable of staying the
course until the desired changes have occured. Many institutions already have embarked
on transformation agendas similar to those characterizing the private sector. Some even
use similar language as they refer to their effort to ‘transform’, ‘restructure’ or even
‘reinvent’ their institution.
Lebih lanjut Duderstadt mengungkapkan faktor-faktor yang
mendorong perguruan tinggi perlunya melakukan perubahan, yaitu : (1)
financial imperatives; di satu sisi tuntutan terhadap pelayanan pendidikan
meningkat dan biaya operasional untuk menyediakan pelayanan tersebut
juga naik, sedangkan di sisi lain bantuan publik bagi perguruan tinggi
bergerak lurus dan menurun yang sudah terjadi lebih dari dua dekade yang
lalu, (2) societal needs; kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan oleh universitas akan terus berkembang. Ekspansi yang
signifikan akan menjadi penting untuk merespon kebutuhan akan populasi
yang meningkat yang akan menciptakan 30 persen pertumbuhan jumlah
mahasiswa umur kuliah lebih dua dekade yang akan datang, (3) technology
drivers; sebagai organisasi yang digerakkan oleh pengetahuan, universitas
sangat dipengaruhi oleh kemajuan yang pesat dalam teknologi informasikomputer, telekomunikasi, jaringan, (4) market forces; kita umumnya berpikir
tentang pendidikan tinggi umum seperti public enterprise, yang dibentuk
oleh kebijakan dan aksi publik untuk melayani tujuan warganegara.
Perubahan Arah Kebijakan Perguruan Tinggi di Indonesia
Perubahaan yang terjadi pada perguruan tinggi di berbagai negara
dikarenakan faktor-faktor yang disebutkan diatas terjadi juga di Indonesia. Dalam merespon tantangan sebagaimana yang disinggung diatas,
Pemerintah Indonesia dengan kebijakannya memberikan otonomi yang
lebih luas agar perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri (public higher education) dapat dengan cepat bergerak dan berkembang.
Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi umunya menyangkut
beberapa aspek (Hasbullah, 2006:132) : (1) otonomi eksternal, dalam bentuk
pemberian status sebagai badan hukum, (2) otonomi organisasi, perguruan
tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk
menerapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta
merencanakan sumber daya, (3) otonomi kelembagaan, dimana perguruan
tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan
kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan,
mentransmisikan dan menggunakan ilmu pengetahuan, dan kebebasan
untuk memutuskan riset apa yang perlu dilakukan dan bagaimana
melakukannya, serta dengan pihak siapa saja bekerja sama dalam
melakukan penelitian & pelatihan penelitian.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
258
Zahruddin
Pemberian otonomi tersebut lebih dikenal dengan istilah BHMN
(Badan Hukum Miliki Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum) untuk
perguruan tinggi negeri dan BHP (Badan Hukum Pendidikan) untuk
perguruan tinggi swasta. Perguruan tinggi negeri yang memilih BHMN
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum
(BHMN) adalah badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua
perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum pada
umumnya dan walaupun bersifat nirlaba, perguruan tinggi tersebut dapat
menyelenggarakan kegiatan lain dan mendirikan unit usaha yang hasilnya
digunakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi utama perguruan
tinggi. Sedangkan perguruan tinggi negeri yang memilih BLU sebagaimana
yang diatur dalam UU No. I tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
dan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU adalah
Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas dan diberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Peluang besar yang diberikan oleh pemerintah berupa kebebasan dalam
mengembangkan praktek-praktek bisnis atau ventura-ventura perlu
direspon dengan baik oleh perguruan tinggi dengan membangun dan
mengembangkan entreprenuerial culture and manner.
Universitas dan Entrepreneurship
a. Pengertian enterpreneurship
Istilah entrepreneurship dalam bahasa Indonesia biasanya
diterjemahkan dengan kewirausahaan atau kewiraswastaan. Asal kedua
kata tersebut adalah wirausaha dan wiraswasta yang mendapat imbuhan
ke-an. Namun kedua kata tersebut sedikit membingungkan bagi sebagian
orang karena adanya perbedaan kata pada kedua istilah tersebut. Untuk
itu, perlu dibahas sehingga menjadi jelas.
Kata wirausaha atau wiraswasta adalah padanan kata bahasa perancis
enterpreneur, yang sudah dikenal paling kurang sejak abad 17. Kata entrepreneur diturunkan dari kata kerja entreprende yang dalam The Coincise Oxford French Dictionary diartikan sebagai to undertake (menjalankan,
melakukan, berusaha), to set about (memulai), to begin (memulai), to attempt
(mencoba, berusaha) (Riyanti, 2003:21).
Secara etiomolgis, kata wirausaha merupakan gabungan kata wira
artinya gagah berani, perkasa dan usaha (Riyanti, 2003:21). Sedangkan kata
wiraswasta sebenarnya terdiri dari tiga kata : wira, swa, dan sta, masingmasing berarti; wira adalah manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa
besar, berani, pahlawan kemajuan, dan memiliki keagungan watak; swa
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
259
artinya sendiri; dan sta artinya berdiri (Alma, 2005:31).
Bertolak dari ungkapan etimologis di atas, maka kata wirausaha dan
wiraswasta tidak memiliki perbedaan yang berarti. Perbedaannya hanya
terletak pada kata saja, sedangkan makna dan pengertiannya secara
substansial adalah sama.
Sedangkan para pakar memberikan pengertian yang berbeda-beda
tentang entrepreneur dan entrepreneurship. Berikut adalah beberapa
pengertian entrepreneur yang dirangkum oleh Coleman & Anderson
(2004:42-43):
1. Someone who specialises in taking judgmental decisions about the coordination of scarce resources (Cason, 1982)
2. Exploiting innovation (Drucker, 1985)
Sedangkan untuk pengertian entrepreneurship, berikut pendapat yang
diutarakan oleh para pakar:
1. The esssence of entrepreneuralism/entrepreneurship is to perceive
worthwile opportunities and to act upon them (Binks dan Vale, 1989)
2. The active search for possibilities unrestricted by resources (Roberts
dan Grousbeck, 1993)
Berdasarkan beberapa pendapat para pakar yang disebutkan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa entrepreneurship berarti penemuan atau
penciptaan peluang, pencarian aktif dan pengambilan resiko. Adapun
pelakunya atau entrepreneur memiliki ciri-ciri: memiliki kemampuan khusus
dalam koordinasi sumberdaya, memiliki sifat inovatif, memiliki kemampuan
menemukan gap yang ada, memiliki kemampuan membaca peluang.
b. Pengertian Universitas
Menelusuri sejarah perkembangan universitas di dunia sangat
berkaitan erat dengan dinamika masyarakat pada masa lalu. Universitas
berkembang dalam kurun waktu yang amat panjang. Di setiap
perkembangannya, universitas diwarnai oleh dinamika masyarakat, tidak
terlepas dari pengaruh pranata sosial, budaya, agama dan sekaligus konflik
politik yang sedang berkembang pada zamannya. Kesemua ini memberi
warna dan karakter dari tumbuhnya suatu universitas dimana universitas
nerupakan wadah pengelolaan pendidikan tinggi.
Menurut Harold (dalam Somad, 2006:159) asal muasal kata universitas adalah “meant no more than a society or guild, like contemporary guild of
craftsmen or merchants in most mediaeval town”. Ini dapat dikatakan pengertian
universitas yang paling sederhana dan paling umum karena tidak
menunjukkan karakteristiknya sedikit pun yang membedakannya dari yang
lain yang hanya berupa kumpulan orang.
Sedangkan menurut The Oxford English Dictionary (dalam Warner &
Palfreyman, 1996:16) memberikan pengertian:
university is a educational institution designed for instruction or examination or both
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
260
Zahruddin
of students in all or many of the more important branches of learning, conferrring
degrees in various faculties and often embodying colleges and similar institutions
Dalam pengertian di atas tampak sangat jelas perbedaan atau
karakteristik antara institusi pendidikan dengan non-pendidikan dan antara
institusi pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan pengertian universitas yang lebih universal dalam konteks
globalisasi sekarang ini diutarakan oleh Duderstadt (2000:38): “university
is a place of light, of liberty and of learning” or “a place of instruction where
universal knowledge is professed”. Pengertian ini menggambarkan tentang
peran penting universitas dalam evolusi sebuah peradaban dengan
menekankan berpikir empiris secara luas atas dogma dan ortodoksi dan
menyampaikan nilai-nilai fundamental yang menopang kebebasan individu
dan demokrasi institusi.
c. Taksonomi pendidikan tinggi
Duderstadt (2000: 44-52) dalam karyanya “A university for the 21 st
century”, mengklasifikasikan pendidikan tinggi kedalam tiga jenis:
1. Universitas Umum
Istilah “universitas umum” digunakan untuk merujuk kepada universitas yang misinya masih bersifat tradisional yaitu sebatas mengembangkan
dan menyebarkan pengetahuan kepada mahasiswa dan itu dipandang
sebagai mekanisme yang pokok dalam menyebarkan pengetahuan kepada
masyarakat. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lain yang menonjol dan
merupakan karakteristiknya adalah seperti memberikan kesempatan
pendidikan yang terbuka lebar bagi siapa saja, memajukan penelitian dan
memperkaya budaya. Karakteristik lain yang tidak kalah pentingnya adalah
universitas umum terkait erat dengan masyarakat karena dibentuk oleh
masyarakat sehingga bertanggung jawab juga kepada masyarakat.
Istilah “universitas umum” biasanya juga untuk merujuk kepada
institusi yang dibiayai sepenuhnya dari pendapatan pajak pemerintah atau
lebih dikenal di Indonesia dengan universitas negeri. Namun pengertian
ini dapat menimbulkan kontraproduktif karena dalam realitasnya
disamping ada universitas negeri, juga ada universitas swasta.
Membedakan universitas negeri dengan universitas swasta yang
didasarkan pada sumber dana (funding sources), ukuran (size) dan misi (mission), atau tanggung jawab (resposibility) kepada masyarakat dapat
menyesatkan.
Sebagai contoh dari sisi sumber dana (funding sources), sekarang ini
banyak universitas negeri mendapat dukungan dari sumber non-negara
seperti biaya iuran siswa dan pendapatan, penelitian hibah dan kontrak,
hadiah swasta, dan pendapatan dari kegiatan tambahan seperti perawatan
kesehatan atau atletik antar perguruan tinggi. Kebanyakan universitas
negeri sekarang ini sering terlibat dalam penggalangan dana swasta
yangmana beberapa diantaranya sukses melunc urkan kampanye
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
261
penggalangan dana miliaran dolar menyaingi universitas swasta
terkemuka. Baik universitas negeri maupun swasta sama-sama semakin
tergantung pada pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan seperti
kesehatan dan pendidikan lanjutan.
Ada juga yang membedakan universitas negeri dengan universitas
swasta dari sisi tingkat tanggung jawab dan akuntabilitas publik. Namun,
pembedaan ini juga kurang tepat karena terdapat lebih banyak kesamaan
daripada perbedaan. Kedua jenis lembaga ini sama-sama melaksanakan
kewajiban yang bersifat sosial dan signifikan berupa pelayanan publik dan
konstituen yang luas dan beragam. Karena mendapat dukungan
masyarakat, maka layanan yang diberikan oleh keduanya harus tersedia
bagi semua orang yang memenuhi syarat, tanpa memandang ras, agama,
status sosial ekonomi. Singkatnya, keduanya memerlukan dukungan
akuntabilitas publik, tanggung jawab pelayanan kepada semua tanpa
diskriminasi, dan dedikasi untuk kepentingan publik.
Barangkali perbedaan yang penting antara lembaga negeri dan swasta
adalah keterlibatan pemerintah. Universitas negeri atau umum adalah milik
negara, jadi jelas dimiliki dan diatur oleh masyarakat. Universitas negeri
terikat erat dengan berbagai peraturan dan undang-undang negara. Hal
ini tercermin dalam aturan-aturan dan peraturan yang mengatur operasi
universitas. Dan hal ini juga diwujudkan dalam lapisan demi lapisan
struktur negara dan badan-badan yang mengkoordinasikan dan yang
mendanai pendidikan tinggi, seperti mulai dari komite legislative, lembagalembaga yang mengkoordinir hingga sistem pendidikan tinggi negeri secara
luas. Karena perbedaan sebagaimana yang disebutkan diatas itu, maka
universitas swasta disebut juga dengan universitas “independen”.
Perbedaan penting yang lain adalah Dewan pengurus yang mengelola
universitas swasta umumnya mengabadikan diri, dan anggota atau
pengurusnya dipandang selalu bertindak untuk kepentingan terbaik
institusi yang mereka layani. Sebaliknya, dewan yang mengatur universitas publik umumnya bersifat politis, sering dipilih melalui mekanisme
politik partisan seperti penunjukan gubernur.
Lebih jauh lagi, universitas publik cenderung memiliki misi jauh lebih
luas dan lebih beragam untuk melayani konstituen. Kegiatan
instruksionalnya berkisar dari pendidikan lanjutan yang paling canggih
hingga program pelatihan dan pengayaan yang paling praktis. Kegiatan
penelitiannya berkisar dari penyelidikan dasar hingga layanan ilmu terapan
seperti penyuluhan pertanian dan pembangunan ekonomi.
2. Universitas Riset
Pada puncak tangga evolusioner dalam ekosistem pendidikan tinggi setidaknya dalam kaitanya dengan kemakmuran dan prestise- adalah universitas riset. Universitas riset adalah universitas yang menawarkan
seluruh rangkaian mulai dari program prasarjana, berkomitmen pada
pendidikan sarjana hingga doktor, dan memberikan prioritas tinggi untuk
riset. Universitas riset -jika disesuaikan dengan Pola klasifikasi CarnegieDidaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
262
Zahruddin
maka ada 2 jenis yaitu institusi riset I dengan karakteristik: meluluskan
setidaknya 50 doktor pertahun dan menghabiskan diatas 40 juta dolar
dalam riset per tahun; dan institusi riset II dengan karakteristik 25 juta
dolar per tahun. Disamping itu, ada ukuran lain yang dijadikan patokan
dalam menentukan universitas riset yaitu dalam bentuk keanggotaan dalam
Asosiasi Universitas Amerika yang terdiri dari 60 universitas riset yang
sangat prestisius seperti Harvard, Yale, Princeton, Stanford, MIT, UC-Berkeley, Michigan, Wisconsin, dan Virginia.
Kriteria yang digunakan untuk menggolongkan sebuah universitas
sebagai universitas riset atau memilihnya untuk keanggotaan di AAU tidak
hanya diukur dari faktor-faktor seperti jumlah riset, jumlah tingkat lulusan,
reputasi fakultas seperti dosen-dosen, tapi juga juga diukur dari keterlibatan
universitas yang sangat signifikan dalam pendidikan prasarjana dan
pelayanan publik.
Meskipun nama “universitas riset” memberi kesan bagi sebagian orang terkait dengan menghabiskan waktu fakultasnya dan uang pembayar
pajak pada riset tak karuan pada biaya pengajaran sarjana, namun dalam
realitasnya, institusi ini telah berkembang disebabkan oleh kebijakan
publik yang disengaja dan strategis. Sebagian besar sebagai hasil dari
peran universitas dalam mendukung usaha Sekutu selama Perang Dunia
II, sebuah kontrak sosial berkembang yang mengarah kepada kemitraan
antara pemerintah federal dan universitas Amerika yang dimaksudkan
untuk mendukung dan melaksanakan riset dasar di kampus. Pemerintah
federal memutuskan untuk mendukung para peneliti universitas untuk
terlibat dalam riset pilihan mereka sendiri dengan harapan bahwa
keuntungan-keuntungan signifikan akan mengalir kembali ke masyarakat
Amerika dalam bentuk keamanan militer, kesehatan publik, dan
kemakmuran ekonomi.
Universitas riset Amerika memiliki pengaruh besar pada negara.
Pengetahuan yang dihasilkan di kampus secara mutlak penting bagi
keamanan nasional kami, kesehatan publik dan kekuatan ekonomi. Institusiinstitusi menghasilkan para ilmuan, insinyur, dan profesional yang begitu
penting bagi masyarakat, sambil menyediakan banyak kepemimpinan bagi
negara. Universitas riset telah menentukan bentuk dan karakter
masyarakat dan ekonomi yang digerakkan oleh pengetahuan.
Tentunya sebagai sumber pengetahuan dasar yang utama dan generasi
para sarjana dan profesional yang akan datang, universitas riset akan tetap
aset bernilai tinggi. Pada saat ketika industri dan pemerintah bergeser lebih
kearah riset terapan dan pengembangan, universitas riset menjadi lebih
penting sebagai kekuatan intelektual dalam masyarakat. Sekarang ini
anggota fakultas riset di institusi-institusi ini menjadi keduanya pemimpin
dan wasit sains dan keilmuan bagi dunia. Kelompok ini tidak hanya
memimpin dalam produksi dan distribusi ilmu, tapi mereka telah menjadi
penjaga pintu dan pemegang standar, yang memimpin sebuah sistem
pengetahuan yang kompleks yang keduanyan menggerakan dan menopang
pendidikan dan pembelajaran dunia. Lebih jauh, sebagaimana para sarjana
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
263
dan profesional yang sangat terdidik terus dicari sebagai pemimpin di
dunia yang digerakkan oleh pengethauan, institusi-isnstitusi ini seharusnya
melanjutkan perannya yang penting.
3. Universitas Entrepreneurial
Universitas kontemporer dan kekuatan-kekuatan penggerak evolusinya
bersifat kompleks dan sering disalahpahami. Publik masih berpikir tentang
universitas dalam cara yang sangat tradisional, dengan gambaran para
mahasiswa duduk di ruang kelas yang besar, mendengarkan kuliah tentang
matakuliah-matakuliah seperti literatur atau sejarah. Kalau dilihat selintas
dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh universitas, maka yang tampak
adalah hal-hal yang pokok saja seperti pengajaran, riset dan pelayanan.
Tapi kalau diamati lebih jauh dan mendalam, dari ketiga hal tadi lahir dan
muncul cabang-cabang berbagai macam aktivitas lain yang terkait. Sebagai
contoh dari pengajaran, muncul cabang-cabang seperti diploma, sarjana,
profesional dan pendidikan lanjutan.
Jaringan yang bercabang tersebut memperlihatkan gambaran tentang
universitas riset modern, yang beda dari pandangan mahasiswa, fakultas
dan masyarakat secara umum yaitu; sangat kompleks, kumpulan bisnis
internasional yang sangat beragam. Sebagai contoh, jaringan bisnis “universitas Michigan, Inc” milik universitas Michigan dengan budget tahunan
3 miliar dolar dan 3 miliar dolar tambahan dari aset investasi dibawah
manajemen aktif, Universitas Michigan, Inc. menduduki ranking ke 470 pada
daftar The 500 Fortune. Universitas Michigan mendidik kurang lebih 50 ribu
pada beberapa kampus-sebuah bisnis pendidikan yang bernilai hingga 1
miliar dolar pertahun. Universitas juga merupakan sebuah laboran R & D,
melakukan riset yang bernilai lebih 500 juta dolar setahun yang disponsori,
didukung terutama oleh kontrak-kontrak dan pemberian (grant). Universitas mengoperasikan perusahaan perawatan kesehatan yang besar-besaran.
Rumah sakit dan klinik yang dimiliki universitas merawat hampir 1 juta
pasien setahun, dengan total pendapatan medis kira-kira 1.2 miliar dolar.
Universitas juga membentuk korporasi non-profit, The Michigan Health
Corporation, dengan tujuan sebagai investasi keadilan dalam joint ventures
(usaha bersama/kongsi) untuk membangun sebuah sistem perawatan
kesehatan yang terintegrasi seluruh negeri yang kasarnya 1,5 juta pelanggan.
Universitas memiliki perusahaan asuransi yang menarik, Veritas,
perusahan terbatas di New Hampshire. Universitas aktif terlibat dalam
memberikan pelayanan pengetahuan yang luas mulai dari program gelar
yang ditawarkan di Hongkong, Seoul, dan Paris, hingga produk yang
didasarkan pada cyberspace seperti institut otomotive vitual Michigan.
Universitas terlibat dalam entertainmen pubik, Michigan Wolverines, yang
aktivitas komersilnya bernilai kira-kira 259 juta dolar setahun. Sedangkan
budget operasi departemen atletik Michigan hanya kira-kira 50 juta dolar
pertahun. Lebih dari itu, universitas memegang lisensi dan pemasaran
aktivitas olahraga sehingga nilai enterprisenya jauh lebih besar.
Organisasi korporasi ini sebanding dengan korporasi global yang besar
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
264
Zahruddin
dalam hal skala dan kompleksitas. Faktanya, universitas saat ini telah
menjadi satu institusi yang paling kompleks di masyarakat modern-jauh
lebih kompleks, contohnya daripada korporasi dan pemerintahan
kebanyakan. Kita terdiri dari banyak aktivitas, beberapa nonprofit,
beberapa diatur secara terbuka, beberapa yang beroperasi di pasar yang
sangat kompetitif. Universitas melakukan pengajaran kepada mahasiswa,
melakukan riset untuk klien yang berbeda-beda, memberikan perawatan
kesehatan, terlibat pengembangan ekonomi, mendorong perubahan sosial,
dan kami menyediakan entertaimen masal (atletik). Dalam terminologi
sistem, universitas modern adalah “sistem yang adaptif, yang
bergandengan secara longgar” dengan kompleksitas yang tumbuh, seperti
berbagai macam komponen merespon perubahan di lingkungannya.
Universitas modern sudah menjadi kesatuan ilmu yang sangat adaptif
dikarenakan kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha fakultas. Fakultas
dilengkapi dengan kebebasan, pengobaran semangat, dan insentif untuk
bergerak menuju tujuan-tujuan pribadinya dalam cara yang sangat
fleksibel. Uuniversitas saat ini dipandang sebagai federasi yang longgar
dari para entrepreneur fakultas yang menggerakan evolusi universitas
untuk menyelesaikan tujuan-tujuan perseorangannya. Kami telah
mengembangkan budaya tranaksional yang mana segala sesuatu sudah
waktunya dinegosiaiskan. Administrasi universitas mengelola universitas
sebagai sebuah federasi yang menetapkan beberapa kaidah dan regulasi,
bertindak sebagai juru pisah, mengumpulkan uang untuk enterprise, dan
mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas terus-menerus.
Selanjutnya, meningkatnya tekanan terhadap dosen, tidak hanya untuk
menghasilkan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan
mereka, tetapi juga untuk mengelola batasan antara akademi dan dunia
luar. Misalnya, anggota dosen kedokteran: bertanggung jawab untuk
mengajar mahasiswa kedokteran dan penduduk; memberikan pendapatan
yang memadai untuk mendukung klinis tidak hanya gajinya tapi juga biaya
overhead pusat medis; mengamankan hibah penelitian yang memadai untuk
mendukung laboratorium, mahasiswa pascasarjana, dan doktoral;
menjajaki kesempatan untuk transfer teknologi dan memulai bisnis, dan
membangun momentum dan reputasi ilmiah untuk mencapai masa jabatan.
Bayangkan juga konflik yang tak dapat dielakan munc ul diantara
tanggungjawab bagi mahasiswa, pasien, kesarjanaan, kolega profesional.
Universitas entrepreneurial telah mengembangkan struktur yang
memungkinkannya untuk berinteraksi dengan masyarakat lebih baik dan
mengejar kesempatan-kesempatan yang menarik. Ini telah membentuk
pusat dan institusi penelitian yang bermultidisiplin dalam universitas
tersebut yang membolehkannya untuk mencari pendanaan penelitian yang
berfokus pada proyek. Ini telah menciptakan unit-unit administratif yang
mengembangkan keahlian dalam kontrak, lisensi, dan transfer teknologi.
Hal ini juga menelurkan sebuah organisasi eksternal seperti yayasan,
korporasi nirlaba, dan cabang-cabang untuk mendapatkan profit untuk
menangani kegiatan-kegiatan utama mulai dari penyediaan layanan
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
265
kesehatan hingga penggalangan dana untuk atletik antar perguruan tinggi
Kesimpulan
Mengutip ungkapan Michael Shattock dalam karyanya, Managing Successful University bahwa entrepreneurial university sekarang ini menjadi iconic
status diantara universitas-universitas di abad 21 dan menandai bahwa
revolusi dalam manajemen universitas sedang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. (2005). Kewirausahaan untuk Umum dan Mahasiswa. Bandung:
Alfabeta.
Coleman, Marianne & Lesley, Anderson, (2004). Managing Finance And Resources In Education. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.
(2004). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 (HELTS)Menuju Sinergi Kebijakan Nasional. Jakarta : Kemendiknas.
Duderstadt, J.J. (2000). A university for the 21 st century. USA: The university
of Michigan Press.
Dwi Riyanti B.P. (2003). Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hasbullah (2006). Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Dan
Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta :
Rajagrafindo Perkasa.
Higgins, J.M. (1994). Innovate or Evaporate, Test and Improve Your Organization’s
IQ. New York: New Management Publishing Company, Inc.
Indrajit, R. Eko dan Djokopranoto, R. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi
Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Johnson, Sandra L. & Rush, Sean C. (1995). Reinventing The University:
Managing And Financing Institutions Of Higher Education. Canada: John
Wiley & Sons, Inc.
Johnson, Sandra L. & Rush, Sean C.”(1995). Reinventing The University:
Managing And Financing Institutions Of Higher Eductaion. Canada: John
Wiley & sons, Inc.
Karol, Nathaniel H. & Ginsburg, Sigmund G. (1980). Managing Higher Education Enterprise. New York: John Wiley & Sons.
Marginson, Simon & Considine, Mark (2000). The Enterprise University: Power,
Governance And Reinvention In Australia. UK: Cambridge University
Press.
Mintzberg, H. (1989). Mintzberg on Management: Inside Our Strange World of
Organizationa. New York: The free Press A Division of Macmillan, Inc.
Mintzberg, H. (1993). Structure in Five: Designing Effective Organizations. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Slaughter, Sheila and Leslie, Larry L.(1997). Academic Capitalism: Politic,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
266
Zahruddin
Policies and Entrepreneurial University. Baltimore and London: The
Johns Hopkins University Press.
Somad, Kemas A., (2007). “Universitas Dalam Perspektif Sejarah”, dalam
Tantangan Kontemporer Perguruan Tinggi. Jakarta: Forum HEDS
Suyanto, (2006). Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PSAP (Pusat Studi
Agama & Peradaban) Muhammadiyah.
Winardi, (2005). Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi Dan Manajemen.
Jakarta: RajaGrapindo Persada
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
267
INDEKS
Volume XII, No. 1, Juni 2011
1. KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM DI IAIN
Oleh Ahmad Tafsir
2. PERANAN PERGURUAN TINGGI DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER
(Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik)
Oleh Udin Saripudin Winataputra
3. PENINGKATKAN PERAN STRATEGIS PENDIDIK DALAM
MEMBENTUK NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA
Oleh Azis Mahfuddin
4. KONSEP DIRI SEBAGAI UNSUR PENCAPAIAN PRESTASI BELAJAR
YANG OPTIMAL
Oleh Eni Rosda Syarbaini
5. PELUANG, TANTANGAN, DAN PROSPEK LULUSAN JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
Oleh M. Mujab
6. MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE DAN INTERACTIVE
LEARNING DI PESANTREN
Oleh Fauzan
7. EFEKTIFITAS MUTU MADRASAH: Studi Evaluatif Penyelenggaraan
Pendidikan Pada MAN 2 Model Padang Sidimpuan Sumatera Utara
Oleh Rusydy Zakaria
8. PROFESIONALISME GURU DALAM PENILAIAN PENDIDIKAN
Oleh Dudi Taufik Rahman
9. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS WEB: Upaya Pengembangan Sikap
Belajar Efektif Memanfaatkan Internet MAN 1 Kendari
Oleh Ratna
10. PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR): Upaya
Meningkatkan Kemampuan Berfikir Siswa di Tingkat Sekolah Dasar
Oleh Evi Soviawati
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
268
Volume XII, No. 2, Desember 2011
1. MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK
Oleh Abuddin Nata
2. HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN: Upaya Membangun Manusia
Berkarakter
Oleh Agus Zaenul Fitri
3. PENDIDIKAN HOLISTIK ANAK USIA DINI
Oleh Tufiqurrahman
4. MODEL PEMBELAJARAN TERPADU; Alternatif Penerapan
Pendidikan Holistik
Oleh Adri Efferi
5. MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK
Oleh Jejen Musfah
6. INTEGRASI MULTIDISIPLINER MODEL TWIN TOWER: Upaya
Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati
7. INTEGRATED CURRICULUM: Upaya Alternatif Menghadapi
Problematika Masyarakat
Oleh Fauzan
8. NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM :IMPLIKASINYA DALAM
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN
Oleh Musthofa
9. PERLUNYA PERGURUAN TINGGI MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP
Oleh Zahruddin
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
269
Pedoman Penulisan
1. Penyunting menerima tiga jenis artikel, yaitu artikel hasil penelitian,
artikel konseptual, dan resensi buku baru.
2. Artikel berisi naskah ilmiah yang berisi teori, konsep, konsensus, yang
terkait dengan pendidikan (maksimal 150 kata).
3. Artikel Konseptual berstruktur: JUDUL, ABSTRAK & dan Kata Kunci
(maksimal 150 kata), PENDAHULUAN, ISI (SUB-JUDUL) disesuaikan
keperluan), KESIMPULAN, dan REFERENSI.
4. Artikel yang diketik dengan menggunakan MS Word, dapat dikirimkan
melalui e-mail ke alamat: [email protected] .id atau
[email protected]. Mohon untuk menyertakan biodata penulis
(Nama, Universitas/Instansi, alamat lengkap, No. Telp./HP, dan alamat
email). Panjang artikel termasuk daftar pustaka adalah 20-25 halaman
Kuarto (A4), dengan satu setengah spasi.
5. Artikel disertai dengan abstrak sekitar 150-200 kata dan diletakkan
setelah judul artikel dan afiliasi penulis. Abstrak untuk artikel dalam
bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab; abstrak
untuk artikel bahasa Inggris atau bahasa Arab ditulis dalam bahasa
Indonesia.
6. Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis tanpa tanda petik,
kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan
diketik dengan satu spasi, diberi indensi sepuluh huruf, centered, dan
tanpa tanda petik. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama
depan, (4) titik, (5) tahun penerbitan dalam kurung, (6) titik, (7) judul buku
dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua/kolon, (11)
nama penerbit, dan (12) titik. Contoh:
Crain, W. (2000). Theories of Development; Concepts and Applications. New
Jersey: Prentice Hall.
Hall, C.S. dan Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality.
New York: John Wiley & Sons.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
270
Hesselbein, F, et al. (Editors). (1996). The Leader of The Future. San
Francisco: Jossey-Bass.
7. Untuk artikel: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama depan, (4) titik,
(5) tahun penerbitan dalam kurung, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8)
judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jurnal dalam
huruf miring, (12) volume, (13) nomor, dan (14) titik. Bila artikel
diterbitkan di sebuah buku, berilah kata “dalam” atau “in” sebelum
nama editor dari buku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara
lengkap dalam referensi tersendiri. Contoh:
Furqon. (2007). “Assesment of Learning for Continuous Quality
Improvement in Education (The Case of Indonesia).” Dalam
International Journal of Education. Vol. 1, No. 2. H. 125-138.
Darling-Hammond, et al. “The Design of Teacher Education
Programs”, dalam Darling-Hammond, L. dan Bransford, J.
(Eds). (2005). Preparing Teacher for A Changing World: What
Teacher Should Learn and Be Able To Do. San Francisco: JosseyBass.
8.
Pengiriman artikel:
Artikel bisa dikirim lewat Pos maupun e-mail ke:
Sekretariat Jurnal DIDAKTIKA ISLAMIKA Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Gedung FITK Lt 5, Jl. Ir. H Juanda No.95 Ciputat 15412, Tel/Fax
(021) 744 3328 atau email: [email protected].
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Download