Studi Pemetaan Lahan Kritis di Sub DAS Gunting

advertisement
STUDI PEMETAAN LAHAN KRITIS DI SUB DAS KALI GUNTING
KABUPATEN JOMBANG
Andhita Widyaningtyas.1, Runi Asmaranto2, Rahmah Dara Lufira2
1)
Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya
2)
Dosen Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya-Malang, Jawa Timur, Indonesia
Jalan MT.Haryono 167 Malang 65145 Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sub DAS Kali Gunting mempunyai tata guna lahan di dominasi oleh hutan dan lahan
perkebunan di bagian hulu dan pemukiman di hilir. Kemiringan daerah hulu yang cukup
terjal dan adanya perubahan tata guna lahan mengakibatkan tanah kehilangan kemampuan
untuk infiltrasi sehingga debit air sungai menjadi meningkat. Berdasarkan kondisi tersebut,
studi ini mengkaji tingkat bahaya erosi yang terjadi pada kondisi lahan eksisting 2014 dan
rekomendasi lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan pada Sub DAS Kali
Gunting.
Metode yang digunakan dalam menghitung besarnya laju erosi adalah metode MUSLE
karena menggunakan pendekatan limpasan permukaan. Data yang diperlukan yaitu data
curah hujan 10 tahun, tata guna lahan, jenis tanah, peta kedalaman solum, kelerengan, peta
tekstur tanah yang diolah menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Hasil dari studi ini menunjukkan jumlah laju erosi pada sub DAS Kali Gunting sebesar
2.564,28 ton/ha/tahun atau kehilangan tanah sebesar 16,03 mm/tahun. Sedangkan erosi
terberat terjadi pada Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam sebesar 9972,51 ton/ha/tahun atau
kehilangan tanah sebesar 62,328 mm/tahun. Tingkat kekritisan lahan yang terjadi sebagian
besar sangat kritis yaitu seluas 19.228,05 ha, kritis 9.787,93 ha, semi kritis 3.560,11 ha,
dan potensial kritis 54,80 ha. Sub DAS Kali Gunting terbagi menjadi 4 fungsi kawasan
yaitu kawasan budidaya tanaman tahunan seluas 21.704,3 ha, kawasan lindung seluas
2.848,4 ha, kawasan penyangga 4.943.14 ha, kawasan budidaya tanaman semusim
3.135,06 ha.
Kata kunci: Erosi, Kekritisan Lahan, Kemampuan Lahan, Arahan Fungsi Kawasan, Arahan
Penggunaan Lahan.
ABSTRACT
Gunting Watershed was characterized by land-uses dominated by forest and
plantation at upstream with human settlement at downstream. The slope of the upstream
was very steep. The change of land-use eroded the infiltrative capacity of the soil, and
therefore, river water debit was becoming excess. Pursuant to this condition, the study
attempted to review the danger rate of erosion against the existing land condition in 2014,
and also to examine whether land-use was directed based on the class of land capacity at
Gunting Watershed.
Erosion rate was calculated by MUSLE method, because it used the approach of
surface run-off. The involved data were 10-year rainfall, land-use, soil type, solum soil
map, slope, and soil texture that processed by Geographic Information System (GIS).
Result of study showed that erosion rate at Kali Gunting sub catchment was
2,564.28 tons/ha/year or identical with the soil lost amount of 16.03 mm/year. From the
result of classification susceptibility/degradation level obtained critical area of high
category 19,228.05 ha, 9,787.93 ha were critical; 3,560.11 were semi critical; and 54.80
ha were potentially critical. Gunting Watershed was divided into 4 zone functions, there
was annual plant cultivation was 21,704.3 ha; that for protected zone was 2,848.4 ha; that
for buffer zone was 4,943.14 ha; and that for seasonal plant cultivation was 3,135.06 ha.
Keywords: Erosion, susceptibility/degradation level, Land Capacity, , Land-Use
recommendation
1.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2012 terjadi bencana
longsor di Kecamatan Wonosalam yang
mengakibatkan
jalur
transportasi
terganggu. Desember 2013 kembali
terjadi bencana longsor di Dusun
Sumber, Desa Wonosalam, Kecamatan
Wonosalam akibat hujan deras yang
mengakibatkan 1 unit rumah tertimbun
material longsoran.
Berdasarkan kejadian tersebut diatas,
maka arahan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah di DAS Kali Gunting
harus
segera
dilakukan
untuk
memperbaiki sarana dan prasarana yang
telah rusak akibat bencana. Untuk itu
diperlukan analisa yang mendalam
mengenai laju erosi, tingkat bahaya erosi,
dan ARLKT (Arahan Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah) sehingga akan
didapatkan petunjuk maupun cara-cara
mengkonservasi lahan sesuai dengan
kondisi tingkat kemampuan lahan dan
arahan kawasan di Sub DAS Kali
Gunting. Dalam studi analisa ini, Sistem
Informasi Geografis (SIG) digunakan
untuk menganalisa Sub DAS Kali
Gunting.
2. BAHAN DAN METODE
2.1 Pendugaan
Laju
Erosi
Berdasarkan Metode MUSLE
Metode
MUSLE
merupakan
modifikasi dari metode USLE (Universal
Soil Loss Equation) yang dikembangkan
oleh Williams (1975). Pada metode
MUSLE, faktor energi curah hujan (R)
digantikan dengan faktor limpasan
permukaan (Rw). Metode MUSLE ini
sudah memperhitungkan baik erosi
maupun pergerakan sedimen pada DAS
berdasarkan pada kejadian hujan tunggal
(single
event).
Perhitungan
SDR
(Sediment Delivery Ratio) ini tidak
diperlukan dalam perhitungan perkiraan
hasil sedimen dengan MUSLE karena
faktor limpasan permukaan menghasilkan
energi yang digunakan dalam proses
pelepasan dan pengangkutan sedimen.
Secara matematis, persamaan metode
MUSLE ini adalah sebagai berikut
(Utomo, W. H, 1994)):
A = Rw.K.LS.C.P
dengan:
A = besarnya kehilangan tanah per
satuan luas lahan (ton/ha/th)
Rw = faktor
erosivitas
limpasan
permukaan (m2/jam)
K = faktor erodibilitas tanah, yaitu
angka
yang
menunjukkan
kemudahan tanah dan merupakan
kehilangan tanah persatuan indeks
erosivitas pada keadaan standard
L = faktor panjang lereng, yaitu
nisbah kehilangan tanah terhadap
kehilangan tanah dari lahan
dengan panjang baku
S = faktor kemiringan, yaitu nisbah
kehilangan
tanah
terhadap
kehilangan tanah dari lahan dan
lereng baku
C = faktor (pengelolaan) cara bercocok
tanam yang tidak mempunyai
satuan dan merupakan bilangan
perbandingan antara besarnya
kehilangan tanah pada kondisi
cara bercocok tanam yang
diinginkan
dengan
besarnya
kehilangan tanah pada keadaan
tilled continuous fallow
P = faktor praktek konservasi tanah
(cara mekanik) yang tidak
mempunyai
satuan
dan
merupakan bilangan perbandingan
antara besarnya kehilangan tanah
pada kondisi usaha konservasi
tanah ideal dengan besarnya
kehilangan tanah pada kondisi
penanaman tegak lurus terhadap
garis kontur.
Indeks Erosivitas Hujan (Rw)
Indeks erosivitas untuk pendugaan
besarnya laju erosi dalam studi ini
menggunakan analisa Williams. Analisa
indeks erosivitas menurut Williams
(1975) ini digunakan pada daerah aliran
yang cukup luas, selama erosi juga terjadi
pengendapan
dalam
proses
pengangkutan. Hasil endapan dipengaruhi
oleh limpasan permukaan. Dalam rumus
ini, Williams mengadakan modifikasi
USLE untuk menduga hasil endapan dari
setiap kejadian limpasan permukaan
dengan cara mengganti indeks erosivitas
(R)
dengan
erosivitas
limpasan
permukaan (Rw). Dengan rumus-rumus
sebagai berikut (Utomo, W. H, 1994:
155):
Rw = 9,05 . (Vo. Qp)0,56
Vo = R . exp (-Rc / Ro)
Rc = 1000 . MS . b . RD . (Et / Eo)0,50
Ro = R / Rn
dengan :
Rw = indeks
erosivitas
limpasan
permukaan (m2 / jam)
Vo = volume limpasan permukaan
(m3)
Qp = laju maksimum aliran air
permukaan (m3 /det)
R = jumlah curah hujan rerata
bulanan (mm)
MS = kandungan massa pada kapasitas
lapang (%w/w)
b = berat jenis volume lapisan tanah
atas (mg /m-3)
RD = kedalaman tanah lapisan atas
(tanaman keras, tanaman kayu =
0,10 m; rumput dan padi-padian
= 0.05 m)
Et/Eo= perbandingan evapotranspirasi
aktual
(Et)
dengan
evapotraspirasi potensial (Eo)
Rn = jumlah hari hujan rerata bulanan
(hari)
Ro = rerata hujan setiap harinya
(mm/hari)
Tabel 1. Nilai MS dan b pada Berbagai
Macam Tekstur Tanah
Tekstur Tanah
Liat (clay)
Lempung berliat
Liat berdebu
Lempung berpasir
Lempung berdebu
Lempung
Pasir halus
Pasir
MS (% w/w)
45
40
30
28
25
20
15
8
b (Mg/m3)
1,1
1,3
1,2
1,3
1,3
1,4
1,5
Sumber: Utomo.1994: 155
Tabel 2. Nilai Et/Eo Beberapa Macam
Tanaman
Tanaman
Padi sawah
Wheat
Jagung
Cassava
Kentang
Beans
Kacang tanah
Teh
Karet
Kelapa sawit
Rumput prairie
Hutan
Tanah Bero
Et/Eo
1,35
0,60
0,67 – 0,70
0,62
0,70 – 0,80
0,62 – 0,69
0,50 – 0,87
0,85 – 1,00
0,90
1,20
0,80 – 0,95
0,90 – 1,00
0,05
Sumber: Utomo, 1994:157
Indeks Erodibilitas (K)
Kepekaan suatu tanah terhadap erosi
atau nilai erodibilitas suatu tanah
ditentukan oleh ketahanan tanah terhadap
gaya rusak dari luar serta kemampuan
tanah untuk menyerap air.
Dalam penentuan nilai K dapat
dilihat pada tabel hasil Screening Study
Brantas Watershed dan beberapa hasil
penelitian Pusat Penelitian Tanah (PPT)
Bogor dan PSLH Unibraw:
Tabel 3.
Nilai K Hasil Penelitian
Beberapa Jenis Tanah
No
Jenis Tanah
Nilai K
1
Latosol Dermaga (Haplartnox)
0,03
2
Latosol Citayam (Haplortnox)
0,09
3
Regosol Tanjungharjo (Tropothens)
0,14
4
Grumosol Jegu (Caromuderts)
0,27
5
Podsolik Jonggol (Tropudults)
0,16
6
Citaman (Troponumults)
0,1
7
Mediteran Putat (Tropudalis)
0,23
8
Mediteran Punung (Tropuqualis)
0,22
9
Latosol Merah (Humox)
0,12
10
Regosol (Oxiedystropept)
Latosol Merah Kuning
Naplortnox)
0,12
11
12
13
14
15
16
(Typic
Latosol Coklat (Typic Tropudulut)
Lithosol pada lereng tajam (Lytic
Tropotlnert/Dystropept)
Regosol di atas Kolovium (Oxic
Dystropept)
Regosol pada puncak bukit (Typic
Entropept)
Gley
Humic
(Typic
Tropuguep/Aquic Entropept)
0,26
0,23
0,27
0,16
0,29
0,13 (Clay)
0,26 (Silty Clay)
17
Litosol (Litnic Eutropept/Orthen)
0,16 (Clay)
0,29 (Silty Clay)
18
Grumosol (Caromuderts)
0,21
19
Regosol (typic Dytropept)
0,31
20
0,31
21
Latosol Coklat (Epyquic Tropodults)
Gley
Numic
di
atas
teras
(Tropaguept)
22
Hydromorf abu-abu (Tropolluent)
0,2
23
Andosol Batu
0,08-0,10
24
Andosol Pujon
0,04-0,10
25
Cambisol Pujon
0,12-0,16
26
Mediteran Ngantang
0,20-0,30
27
Litosol Blitar Selatan
0,26-0,30
28
Regosol Blitar Selatan
0,16-0,28
Latosol Blitar Selatan
0,14-0,20
29
0,2
Sumber : BRLKT Brantas
Faktor Panjang Lereng (L) dan
Kemiringan Lereng (S)
Kemiringan
mempengaruhi
kecepatan
dan
volume
limpasan
permukaan. Pada dasarnya makin curam
suatu lereng, maka persentase kemiringan
lereng semakin besar, sehingga semakin
cepat laju limpasan permukaan. Hal ini
akan menyebabkan volume limpasan
yang semakin besar, karena singkatnya
waktu untuk infiltrasi, dengan demikian
laju erosi semakin besar.
Nilai panjang lereng rata-rata
didapatkan dari pengukuran (measur)
manual dari batas atas tiap sub sub DAS
(nilai kontur tertinggi) hingga ke titik
dimana aliran air terkonsentrasi pada
saluran.
Tabel 4. Nilai Faktor Panjang Lereng (L)
Rata-rata Panjang Lereng
(m)
50
75
150
300
Nilai L
1,5
1,8
2,7
3,7
Sumber: Dirjen RLKT
Tabel 5. Nilai Faktor Kemiringan Lereng (S)
Kelas Lereng
I
II
III
IV
V
VI
Kemiringan (%)
0–3
3–8
8 – 15
15 – 25
25 – 40
40 – 65
Nilai S
0,1
0,5
1,4
3,1
6,1
11,9
Sumber: Dirjen RLKT
Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Dan
Konservasi Tanah (P)
Faktor
pengelolaan
tanaman
menunjukkan
keseluruhan
vegetasi,
seresah, kondisi permukaan tanah, dan
pengelolaan lahan terhadap besarnya
tanah yang hilang (erosi). Besarnya faktor
pengelolaan tanaman (C) tergantung dari
jenis, intensitas, kombinasi, kemampatan,
panen, dan rotasi tanaman.
Faktor pengelolaan dan konservasi
tanah (P) adalah nisbah antara tanah
tererosi rata-rata dari lahan yang
mendapat perlakuan konservasi tertentu
terhadap tanah tererosi rata-rata dari
lahan yang diolah tanpa tindakan
konservasi, dengan catatan faktor-faktor
penyebab erosi yang lain diasumsikan
tidak berubah. Praktek bercocok tanam
yang kondusif terhadap penurunan
kecepatan
air
larian
dan
yang
memberikan kecenderungan bagi air
larian untuk mengalir ke tempat yang
lebih rendah dapat memperkecil nilai P
(Asdak, 2002 : 374).
Penilaian faktor P di lapangan lebih
mudah bila digabungkan dengan faktor C
karena dalam kenyataannya, kedua faktor
tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai
faktor CP telah dapat ditentukan
berdasarkan penelitian di Jawa seperti
pada tabel
Tabel 6. Perkiraan Nilai Factor CP
Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di
Jawa
Konservasi dan Pengelolaan Tanaman
Hutan :
a. Tak terganggu
b. Tanpa tumbuhan bawah, disertai seresah
c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa seresah
Semak :
a. Tak terganggu
b. Sebagian rumput
Kebun :
a. Kebun-talun
b. Kebun-pekarangan
Perkebunan :
a. Penutupan tanah sempurna
b. Penutupan tanah sebagian
Perumputan :
a. Penutupan tanah sempurna
b. Penutupan tanah sebagian, ditumbuhi alangalang
c. Alang-alang, pembakaran sekali setahun
d. Serai wangi
Tanaman Pertanian :
a. Umbi-umbian
b. Biji-bijian
c. Kacang-kacangan
d. Campuran
e. Padi irigasi
Perladangan :
a. 1 tahun tanam-1 tahun bero
b. 1 tahun tanam- 2 tahun bero
Pertanian dengan konservasi :
a. mulsa
b. teras bangku
c. contour cropping
Nilai CP
0,01
0,05
0,50
0,01
0,10
0,02
0,20
0,01
0,07
0,01
0,02
0,06
0,65
0,51
0,51
0,36
0,43
0,02
0,28
0,19
0,14
0,04
0,14
Sumber : Asdak, 2002 : 376
2.2 Lahan
Kritis
Pendugaan
Kekritisan Lahan
Kekritisan lahan adalah suatu lahan
yang keadaan fisiknya sedemikian rupa
sehingga lahan tersebut tidak dapat
berfungsi secara baik sesuai dengan
peruntukannya baik sebagai media
produksi maupun sebagai media tata air.
Lahan yang tergolong kritis tersebut
dapat berupa: (a) tanah gundul yang tidak
bervegetasi sama sekali; (b) ladang alangalang atau tanah yang ditumbuhi semak
belukar yang tidak produktif; (c) areal
berbatu-batu, berjurang atau berparit
sebagai akibat erosi tanah; (d) tanah yang
kedalaman
solumnya
sudah
tipis
sehingga tanaman tidak dapat tumbuh
dengan baik; (e) tanah yang tingkat
erosinya melebihi erosi yang diijinkan.
Adapun macam-macam dari kekritisan
lahan
menurut
Kebutuhan
Riset,
Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Tanah adalah sebagai
berikut (Notohadiprawiro : 1999):
(1) Potensial kritis
Tanah termasuk potensial kritis
mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Tanah yang bebas dari erosi (masih
tertutup vegetasi), atau erosi ringan.
b. Tanah umumnya mempunyai solum
yang tebal dengan ketebalan 15 cm.
c. Persentase tutupan tanah (vegetasi
permanen) cukup rapat (> 75 %),
lereng dan kesuburan tanah bervariasi.
d. Tanah masih mempunyai fungsi
produksi dan hidrologi, tetapi bahaya
untuk menjadi kritis sangat besar bila
tanah tersebut dibuka atau tidak
dikelola dengan usaha konservasi.
e. Tanah masih tertutup vegetasi, tetapi
karena kondisi topografi atau keadaan
lereng yang curam (> 45 %), kondisi
tanah yang mudah longsor, maka bila
vegetasi dibuka akan terjadi erosi
berat.
f. Tanah karena keadaan topografi dan
bahan induknya, bila terbuka atau
vegetasinya rusak akan cepat menjadi
rusak karena erosi atau longsor
g. Tanah yang produktivitasnya masih
baik, tetapi penggunaannya tidak
sesuai dengan kemampuannya dan
belum dilakukan usaha konservasi.
(2) Semi kritis
Tanah
termasuk
semi
kritis
mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Tanah telah mengalami erosi sedang,
tetapi produktivitasnya rendah karena
tingkat kesuburannya rendah.
b. Tebal solum sedang (60-90 cm).
c. Persentase vegetasi permanen 50-75
%, vegetasi dominan biasanya alangalang, rumput, semak belukar, dan
hutan jarang.
(3) Kritis
Tanah termasuk kritis mempunyai
ciri-ciri antara lain:
a. Tanah telah mengalami erosi berat.
b. Tebal solum sedang-dangkal (< 60
cm).
c. Vegetasi permanennya 25-50 %.
d. Kemiringan lereng 15-25 %.
e. Kesuburan tanah rendah.
(4) Sangat kritis
Tanah
termasuk
sangat
kritis
mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Tanah telah mengalami erosi sangat
berat, dengan dinding longsoran
sangat terjal.
b. Solum tanah sangat dangkal (< 30
cm).
c. Vegetasi permanen sangat rendah (<
25 %) bahkan beberapa tempat
tertentu gundul/tandus.
d. Kemiringan lereng umumnya > 45 %.
Tingkat bahaya erosi merupakan
suatu perkiraan jumlah tanah hilang
maksimum yang akan terjadi pada
sebidang lahan, bila pengelolaan dan
konservasi tanah tidak mengalami
perubahan dalam jangka panjang. Dalam
pelaksanaan program konservasi tanah
salah satu informasi penting yang harus
diketahui adalah tingkat bahaya erosi
(TBE) dalam suatu DAS atau Sub DAS
yang dikaji. Dengan mengetahui tingkat
bahaya erosi (TBE) suatu DAS atau
masing-masing Sub DAS maka prioritas
tingkat
kemampuan
lahan
dapat
ditentukan.
Untuk menentukan TBE, Dirjen
RLKT
(Departemen
Kehutanan)
menggunakan pendekatan tebal solum
tanah yang sudah ada dan besarnya erosi
sebagai dasar. Makin dangkal solum
tanahnya, berarti makin sedikit tanahnya
yang tererosi, sehingga TBEnya sudah
cukup besar meskipun tanah yang hilang
belum terlalu besar (Hardjowigeno, 2003:
203).
B = Berat
SB= Sangat Berat
2.3 Arahan Penggunaan Lahan
Arahan penggunaan lahan ditetapkan
berdasarkan kriteria dan tata cara
penetapan hutan lindung dan hutan
produksi
yang
berkaitan
dengan
karakteristik fisik DAS. Karakteristik
fisik DAS, antara lain :
1. Kemiringan lereng
2. Jenis tanah menurut kepekaannya
terhadap erosi
3. Curah hujan harian rata-rata
Kemiringan lereng dapat ditentukan
dengan melihat garis-garis kontur pada
peta topografi. Jenis tanah diperoleh dari
interpretasi peta tanah ditinjau dari DAS
atau sub DAS yang menjadi kajian.
Besarnya curah hujan ditentukan dari
data hujan pada stasiun penakar hujan
yang terdekat..
Untuk karakteristik DAS yang terdiri
dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan
curah hujan harian rata-rata pada setiap
satuan lahan perlu diklasifikasikan dan
diberi bobot (skor) sebagai berikut
(Asdak, 2002: 415):
Tabel 8 Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng
Skor
1
0-8% (datar)
20
2
8-15% (landai)
40
3
15-25% (agak curam)
60
4
25-45% (curam)
80
5
≥ 45% (sangat curam)
100
Sumber : Asdak, 2002 : 415
Tabel 9. Jenis Tanah
Kepekaannya Terhadap Erosi
Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi
Kelas
Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/thn)
Kedalaman Solum Tanah
Kelas
Jenis Tanah
Menurut
Skor
I
II
III
IV
V
1
Aluvial, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik (tidak peka)
15
<15
15 – 60
60 -180
180 - 480
> 480
2
Latosol (agak peka)
30
a. Dalam (> 90)
SR
R
S
B
SB
b. Sedang (60-90)
R
S
B
SB
SB
3
Tanah hutan coklat, tanah mediteran (kepekaan sedang)
45
(cm)
c. Dangkal (30-60)
S
B
SB
SB
SB
4
Andosol Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolic (peka)
60
d. Sangat dangkal (<30)
B
SB
SB
SB
SB
5
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (sangat peka)
75
Sumber : Utomo, 1994: 59
Keterangan :
SR= Sangat Ringan
R = Ringan
S = Sedang
Sumber : Asdak, 2002 : 416
Tabel 10. Intensitas Hujan Harian Rerata
Kelas
Hujan harian rata-rata
Skor
1
≤ 13,6 mm/hari (sangat rendah)
10
2
13,6-20,7 mm/hari (rendah)
20
3
20,7-27,7 mm/hari (sedang)
30
4
27,7-34,8 mm/hari (tinggi)
40
5
≥ 34,8 mm/hari (sangat tinggi)
50
Sumber : Asdak, 2002 : 416
Penetapan penggunaan lahan
setiap satuan lahan kedalam suatu
kawasan fungsional dilakukan dengan
menjumlahkan skor dari ketiga faktor
tersebut
diatas
dengan
mempertimbangkan keadaan setempat.
Dengan demikian, dapat menentukan
status kawasan yang tepat untuk suatu
DAS atau sub DAS tersebut.
Menurut Balai Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah (BRLKT)
Departemen Kehutanan, kriteria yang
digunakan untuk menentukan status
kawasan berdasarkan fungsinya, adalah
sebagai berikut (Dirjen RLKT, 2000):
1. Kawasan Lindung
Satuan lahan dengan jumlah skor
dari ketiga faktor fisik yang sama dengan
atau lebih besar dari 175 dan memenuhi
salah satu atau beberapa syarat di bawah
ini :
 Mempunyai kemiringan lereng > 45%
 Tanah dengan klasifikasi sangat peka
terhadap erosi dan mempunyai
kemiringan lereng > 15%
 Merupakan jalur pengaman aliran
sungai, sekurang-kurangnya 100 m di
kiri-kanan alur sungai
 Merupakan pelindung mata air, yaitu
200 m dari pusat mata air
 Berada pada ketinggian ≥ 2000 m dpl
 Guna kepentingan khusus dan
ditetapkan oleh pemerintah sebagai
kawasan lindung
2. Kawasan Penyangga
Satuan lahan dengan jumlah skor
dari ketiga faktor fisik antara 125-174
serta memenuhi kriteria umum sebagai
berikut :
 Keadaan fisik areal memungkinkan
untuk dilakukan budidaya pertanian
secara ekonomis
 Lokasinya secara ekonomis mudah
dikembangkan
sebagai
kawasan
penyangga
 Tidak merugikan dari segi ekologi
atau lingkungan hidup.
3. Kawasan
Budidaya
Tanaman
Tahunan
Satuan lahan dengan jumlah skor dari
ketiga faktor fisik ≤ 124 serta sesuai
untuk dikembangkan usaha tani tanaman
tahunan (tanaman perkebunan, tanaman
industri). Selain itu areal tersebut harus
memenuhi kriteria umum untuk kawasan
penyangga.
4. Kawasan
Budidaya
Tanaman
Semusim
Satuan lahan dengan kriteria seperti
dalam penetapan kawasan budidaya
tanaman tahunan serta terletak di tanah
milik, tanah adat, dan tanah negara yang
seharusnya dikembangkan sebagai usaha
tani tanaman semusim.
2.4 Metodologi
Analisa
Erosivitas
Limpasan
Permukaan dan Laju Erosi
Dalam penentuan erosivitas limpasan
permukaan (Rw) dengan menggunakan
metode MUSLE, dibutuhkan data-data
berupa peta topografi, data hujan, peta
jenis tanah, dan peta tata guna lahan.
Kesemua data tersebut diproses melalui
analisa secara manual dan melalui
bantuan SIG (khusus untuk penentuan
panjang dan kemiringan lahan/LS).
Penentuan Arahan Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah (ARLKT)
dengan SIG
Semua proses pengolahan data untuk
penentuan ARLKT tersebut akan
dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak ArcView 3.3
dan untuk
menentukan status kawasan berdasarkan
fungsinya menggunakan kriteria dari
BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi
Tanah)
Departemen
Kehutanan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pendugaan Laju Erosi Metode
MUSLE/MPUKT
Rata – rata laju erosi pada sub DAS
Kali
Gunting
sebesar
2.564,28
ton/ha/tahun atau 107.549,62 ton/tahun.
Berat volume tanah berkisar antara 0,8
gr/cc sampai 1,6 gr/cc. Pada analisis kali
ini digunakan nilai berat volume tanah
sebesar 1,6 gr/cc. Dengan demikian, pada
Sub DAS Kali Gunting kehilangan tanah
sebesar 16,0268 mm/tahun. Sedangkan
erosi terberat terjadi pada Desa Jarak,
Kecamatan
Wonosalam
sebesar
9.972,512 ton/ha/tahun atau kehilangan
tanah sebesar 62,328 mm/tahun.
3.2. Analisis
Dan
Penggambaran
Tingkat Bahaya Erosi
Dari hasil analisis didapatkan bahwa
75,22% dari luas Sub DAS Kali Gunting
memiliki tingkat bahaya erosi sangat
besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kondisi Sub DAS Kali Gunting sangat
buruk. Oleh sebab itu diperlukan
konservasi secara serius.
Tabel 11. Rekapitulasi Tingkat Bahaya
Erosi
TBE
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Jumlah
Luas
(ha)
54,80
4212,14
3817,93
24546,02
32630,9
3.3. Pendugaan Kekritisan Lahan
Dari hasil analisis didapatkan bahwa
58,93% dari total luas Sub DAS Kali
Gunting mengalami tingkat kekritisan
lahan sangat kritis. Sedangkan untuk
kategori kritis seluas 9787,932 ha, semi
kritis seluas 3560,111 ha, dan potensial
kritis seluas 54,80371 ha. Apabila
dilakukan
pembobotan
dengan
memberikan nilai (1) untuk potensil
kritis, (2) untuk semi kritis, (3) untuk
kritis, dan (4) untuk sangat kritis, makan
didapatkan hasil nilai 3,48 untuk seluruh
wilayah kali guning ini. Dari pembobotan
keseluruhan wilayah Sub DAS Kali
Gunting termasuk dalam kategori Sangat
Kritis.
Tabel 12. Rekapitulasi Kekritisan Lahan
Tingkat Kekritisan
Potensial kritis
Semi kritis
Kritis
Sangat Kritis
Jumlah
Luas
(ha)
54,80371
3560,111
9787,932
19228,05
32630,9
Persentase
0,2%
10,9%
30,0%
58,9%
100%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Persentase
0,17%
12,91%
11,70%
75,22%
100%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Gambar 3. Peta Kekritisan Lahan
Sumber: hasil analisis
3.4. Arahan Fungsi Kawasan
Arahan fungsi kawasan didapatkan
dari penilaian dari tiga faktor yang
mempengaruhi, yaitu kemiringan lereng,
jenis tanah menurut kepekaannya
terhadap erosi, dan intensitas hujan
harian.
Gambar 2. Peta Tingkat Bahaya Erosi
Sumber: hasil analis
Tabel 13. Rekapitulasi Arahan Fungsi
Kawasan
Arahan Fungsi Kawasan
Luas (ha)
Persentase
K. Budidaya tanaman semusim
3135,06
9,61%
K. Budidaya tanaman tahunan
21704,3
66,51%
Kawasan Lindung
2848,398
8,73%
Kawasan Penyangga
4943,142
15,15%
Jumlah
32630,9
100,00%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Tabel
4.22.
Rekapitulasi
Penggunaan Lahan
Arahan
Lahan
Penggunaan
Arahan
Luas
(ha)
Persentase
Hutan Campuran
831,04
2,55%
Hutan Lindung
2848,40
8,73%
Hutan Produksi
Hutan
Produksi
Terbatas
4002,74
12,27%
2827,91
8,67%
Hutan Rakyat
3639,46
11,15%
Pemukiman
4308,01
13,20%
Perkebunan
4089,79
12,53%
Sawah Irigasi
8658,52
26,53%
Sawah Tadah Hujan
1118,86
3,43%
Semak Belukar
81,67
0,25%
Tanah Ladang
224,50
0,69%
Jumlah
32630,90
100,00%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Gambar 4. Peta Arahan Fungsi Kawasan
Sumber: hasil analisis
3.5. Analisa
dan
Penggambaran
Arahan Penggunaan Lahan Baru
Dalam
penentuan
arahan
penggunaan lahan baru didasarkan pada
kriteria
arahan
fungsi
kawasan
Departemen
Kehutanan,
kelas
kemampuan lahan, Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kab. Jombang, dan
Keppres 32 tahun 1997. Keempat dasar
kriteria tersebut akan dikondisikan dan
dikombinasikan
sedemikian
rupa
sehingga
terbetuk
suatu
arahan
penggunaan lahan yang cukup optimal
dan efektif dalam pengendalian erosi
yang kemungkinan besar akan terjadi jika
tidak segera dilakukan usaha rehabilitasi
lahan yang baik.
Gambar 5. Peta Arahan Penggunaan Lahan
Sumber: hasil analsis
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan
pembahasan pada studi pemetaan lahan
kritis di Sub DAS Kali Gnting Kabupaten
Jombang yang telah dilakakukan
sebelumnya
didapatkan
beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Laju erosi pada Sub DAS Kali
Gunting
sebesar
2564,28
ton/ha/tahun
atau
107549,62
ton/tahun. Dengan demikian, pada
Sub DAS Kali Gunting kehilangan
tanah sebesar 16,03 mm/tahun.
Sedangkan erosi terberat terjadi pada
Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam
sebesar 9972,51 ton/ha/tahun atau
kehilangan tanah sebesar 62,328
mm/tahun.
2a. Tingkat bahaya erosi yang terjadi
pada Sub DAS Kali Gunting
sebagian besar sangat berat yaitu
seluas 24.546,02 ha (75,22%),
sedangkan tingkat bahaya erosi yang
lainnya yaitu berat seluas 3.817,93
ha (11,70%), sedang 4.212,14 ha
(12,91%), dan ringan seluas 54,80 ha
(0,17%).
b. Tingkat kekritisan lahan yang
terjadi pada Sub DAS Kali Gunting
dengan tata guna lahan eksisting
tahun 2014 sebagian besar sangat
kritis yaitu seluas 19.228,05 ha
(58,9%),
sedangkan
tingkat
kekritisan lahan yang lainnya yaitu
kritis seluas 9.787,93 ha (30,0%),
semi kritis 3.560,11 ha (10,9%),
dan potensial kritis seluas 54,80 ha
(0,2%).
Dengan
melakukan
pembobotan secara keseluruhan Sub
DAS Kali Gunting tergolong
kategori sangat kritis.
3a. Fungsi kawasan berdasarkan kelas
kemampuan lahannya, pada Sub
DAS Kali Gunting terdiri dari 4
kawasan. Kawasan lindung seluas
2.848,40 ha, kawasan penyangga
seluas 4.943,14 ha, kawasan
budidaya tanaman tahunan seluas
21.704,30 ha, dan kawasan budidaya
tanaman semusim seluas 3.135,06
ha.
b. Komposisi penggunaan lahan yang
tepat untuk Sub DAS Kali Gunting
adalah sesuai dengan fungsi
kawasannya, yaitu kawasan lindung
digunakan sebagai hutan lindung
seluas
2.848,4
ha.
Kawasan
penyangga terdiri dari hutan
campuran seluas 304,49 ha, hutan
produksi seluas 58,992 ha, hutan
produksi terbatas seluas 1.942,26 ha,
pemukiman seluas 135,232 ha,
sawah irigasi seluas 24,813 ha, dan
sawah tadah hujan seluas 30,246 ha.
Kawasan budidaya tananan semusim
digunakan untuk hutan produksi
terbatas seluas 36,296 ha, hutan
rakyat 53,054 ha, pemukiman seluas
656,501 ha, perkebunan 244,96,
sawah irigasi seluas 1.569,30 ha,
semak belukar seluas 53,37, tanah
ladang seluas 125,96 ha. Kawasan
budidaya tanaman tahunan terdiri
dari hutan campuran seluas 421,68
ha, hutan produksi seluas 1.862,071
ha, hutan produksi terbatas seluas
492,499 ha, hutan rakyat 3.127,137
ha, pemukiman seluas 2.972,95 ha,
perkebunan 3.081,98 ha, sawah
irigasi 5.971,78 ha, sawah tadah
hujan 947,42 ha, semak belukar
17,99 ha, tanah ladang 70,21 ha.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak Chay. 1995. Hidrologi dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Asmaranto, Runi., Suhartanto, Ery.,
Permana, B. A. 2008. Aplikasi
Sistem Informasi Geografis (Sig)
untuk Identifikasi Lahan Kritis dan
Arahan Fungsi Lahan Daerah Aliran
Sungai Sampean. Jurnal Penilitian.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah. 2000. Urutan
DAS Prioritas dan Lahan Kritis
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial.
Notohadiprawiro, T., Rachman S., Azwar
M., dan S. Yasni. 1999. Kebutuhan
Riset, Inventarisasi dan Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Tanah di
Indonesia. Kantor Menteri Negara
Riset dan Teknologi dan Dewan
Riset Nasional. Jakarta. 169 hal
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya
Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi.
Utomo, W. H. 1994. Erosi dan
Konservasi Tanah. Malang: IKIP
MALANG.
Download