JST Kesehatan, April 2011, Vol.1 No.1 Hal : 77 – 84 ISSN 1411-4674 ANALISIS POLIMORFISME GEN VITAMIN D RECEPTOR (VDR) EXON 9 352 PADA PENDERITA KUSTA DI MAKASSAR Polymorphism Analysis of Exon 9 352 Vitamin D Receptor Gene in Leprosy in Makassar Hasri Alang, Moch. Hatta, Nasrum Massi Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Unhas, Makassar (Email: ria_rocketmail.com) ABSTRAK Penyakit kusta (Leprosi) adalah penyakit menular dan merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta terdiri atas tipe MB dan PB. Gen VDR adalah gen yang berperan dalam memodulasi respon imun terhadap serangan kuman pathogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui polimorfisme gen VDR exon 9 352 pada penderita kusta tipe PB, MB dan orang normal, dan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme gen VDR exon 9 352 dengan titer antibodi pada penderita penyakit kusta. Pemeriksaan BTA dilakukan untuk melihat basil kuman yang ada pada sampel, sedangkan tes lateral flow dilakukan untuk melihat titer antibodi yang terbentuk. Selain itu, juga dilakukan ekstraksi DNA dari nasal swab menggunakan proteinase K. Hasil ekstraksi DNA ini digunakan dalam proses PCR nasal swab yang bertujuan untuk melihat kuman pada nasal dan menggunakan primer forward S13 dan primer reverse G2. Ekstraksi DNA darah dilakukan dengan Metode Boom. Deteksi polimorfisme selanjutnya dilakukan dengan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim Taq 1. Hasil produk dielektroforesis kemudian hasilnya dilihat pada UV transilluminator untuk melihat pita yang terbentuk. Uji statistik Fisher Exact menunjukkan nilai p= 0,036 (P≤ 0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara titer antibodi dengan polimorfisme gen VDR. Kata kunci: Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352 ABSTRACT Leprosy is chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Leprosy consists of MB and PB types. Vitamin D Receptor (VDR) gene has important immunoregulatory function in pathogenic intracellular growth of Mycobacterium. The aims of this study were to investigate the polymorphism of VDR Gene Exon 9 352 in PB type of MB leprosy and of normal person, and to analyse the correlation of polymorphism of exon 9 352 of VDR gen with the antibody of a leprosy patient. Acid Fast Bacteria test was carried out to discover bacillus microbes in the sample, and lateral flow test was performed to figure out the formation of antibody. Meanwhile, DNA extraction from nasal swab was done proteinase K. The result from extraction was used to PCR nasal swab to identify the nasal microbes using primer forward S13 and reverse primer G2. Blood DNA extraction was carried out with Boom method. Polymorphism detection was then conducted with PCR-RFLP technique using Taq 1 enzyme. The product result was electrophoresised, and the resut was viewed on UV transilluminator to identifie the band of interest. The study result showed that the Fisher Exact value = 0,036 (P≤0,05). There was a significant correlation between the antibody titer and VDR gene polymorphism. Key Words: Gene Polymorphism, host susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352 77 Hasria Alang ISSN 1411-4674 disease pada bangsa kulit putih. Di India, VDR ditemukan berasosiasi dengan resistensi pada penyakit kusta, sedangkan di Gambia berhubungan dengan resistensi pada tuberculosis. Jika keberadaan gen VDR dapat dibuktikan bersesuaian dengan infeksi Mycobacterium leprae dan kemudian terjadi perubahan polimorfisme pada gen ini yang nantinya akan mempengaruhi respon imun tubuh seseorang terhadap infeksi penyakit kusta, maka dapat dibuktikan bahwa gen VDR mempunyai pengaruh dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit kusta. Pada penelitian ini kami meneliti gen VDR exon 9 kodon 352. Hal ini didasarkan adanya penelitian yang melaporkan adanya polimorfisme genetik pada penderita kusta. Mutasi pada gen VDR Exon 9 merupakan silent mutation (mutasi tidak bermakna) yang tetap menghasilkan asam amino glisin walaupun terjadi perubahan basa nitrogen dari Sitosin (C) menjadi Timin (T). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian terhadap penderita kusta di Makassar dengan menganalisis gen VDR exon 9 352 dan hubungannya dengan titer antibodi menggunakan metode RFLP-PCR dan lateral flow sebagai metode diagnosis penunjang untuk penegasan pasti penyakit kusta. PENDAHULUAN Penyakit kusta (Leprosi) adalah penyakit menular dan merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang biasa diamati dari luar. Dapat menyebabkan lesi kulit, mati rasa, dan kelumpuhan pada tangan dan kaki. Selain itu, juga dapat merusak sistem saraf bahkan menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dan cacat. Kusta juga dikenal sebagai Hansen’s disease (Fitness, dkk, 2003). Mycobacterium leprae merupakan obligat intraselular yang menginfeksi makrofag dan sel Shwann. Dalam melawan bakteri misalnya bakteri penyebab leprosy, diperlukan peningkatan respon selular dan humoral (antibodi atau Ig M) dalam tubuh (Kwenang, 2007& Fitness, et. al., 2002). Terbentuknya antibodi ini merupakan salah satu pula kerja makrofag merangsang pembentukan respon humoral sehingga antibodi IgM dalam tubuh dapat terbentuk. Setelah terjadi peningkatan antibodi penderita maka kuman patogen akan mengalami opsonisasi sehingga kuman menjadi lisis dan penderita menjadi sembuh (Kresno, 2001). Gen Vitamin D Receptor (VDR) adalah gen yang berperan dalam memodulasi respon imun terhadap serangan kuman patogen. Bentuk aktif dari vitamin D yaitu 1,25 dihydroxyvitamin D3 atau 1,25(OH)2 D3, tidak hanya mengatur kalsium dan metabolisme tulang tetapi juga berperan dalam mengatur system imun yang dimediasi melalui pengikatan dengan vitamin D receptor (VDR). VDR terdapat dalam sitoplasma makrofag (Roy, et.al., 1999) Telah ada penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara VDR dengan penyakit tuberculosis, kanker prostat, osteophorosis dan chron’s BAHAN DAN METODE Sampel dalam penelitian ini adalah sampel darah dan serum, kerokan kulit dan nasal swab penderita lepra masingmasing 20 sampel untuk tipe PB dan 20 sampel untuk tipe MB serta sampel darah orang normal 20 sampel. a. Pewarnaan Basil tahan asam (BTA) Dilakukan pada sampel yang berasal dari kerokan kulit yaitu dengan melekatkan sampel di atas kaca benda, kemudian ditetesi dengan carbol fuchsin, kemudian dicuci lalu ditetesi dengan alkohol dan terakhir dengan menetesi Methylen blue. Lalu 78 Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352 ISSN 1411-4674 TE kedalam sedimen dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 56 °C . Kemudian dilakukan vortex dan sentrifus ulang selama 30 menit pada kecepatan 12.000 rpm dan diambil supernatannya dan disimpan pada suhu -20°C sebelum dilakukan analisa PCR. dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop b. Tes Lateral Flow Dilakukan pada serum penderita lepra diambil 1 tetes kemudian diteteskan pada lubang. Setelah itu ditambahkan dengan 5 tetes larutan buffer. Kemudian dibiarkan selama 15 menit untuk melihat ada tidaknya garis warna merah (line test) dan line kontrol yang terbentuk. Positif di mulai dari +1 sampai +4. d. Ektraksi DNA dari swab hidung dengan Enzym Proteinase K Ektraksi DNA dari sampel nasal swab menggunakan enzim proteinase K., Nasal swab diambil dari pasien dan disimpan pada suhu ruangan. Ujung swab dipotong dan Cotton wollnya dipindahkan pada sarstedt vial. Tambahkan 100 µl lysis buffer yang terdiri atas 100 mM tris HCl pH 8.5 , 0.05% tween 20, proteinase K 1 mg/ml. Lysis buffer dipersiapkan dalam dua larutan stok, sebanyak 200 µl dan disimpan pada suhu -20 0C. Stok I : proteinase k 10 mg/ml dicampur dengan tris HCl pH 8.5 Stok II : 0.5% tween 20. Campurkan 100 µl stok I dan 100 µl stok II dengan 800 ul air suling untuk mendapatkan buffer lysis yang tepat. Kemudian ditambakan 40 µl cairan parafin dan diinkubasi pada suhu 60oC selama 18 jam. Lalu diiinkubasi lagi pada suhu 97 0C selama 15 menit. Kemudian dibuat pengenceran 1 : 12,5 sampel dilusi dengan cara memasukkan 115 µl air suling pada botol kecil dan ditambahkan 10 µ l sampel. Campur dengan baik dan sampel siap untuk amplifikasi dengan teknik PCR. c. Ektraksi DNA dari darah dengan Metode Boom Sampel darah utuh 100µl dimasukkan kedalam 900 µl larutan L6. Selanjutnya dihomogenkan selama semalam. Kemudian diputar dengan kecepatan 12.000 rpm dan diambil sedimennya lalu ditambahkan diatom 300µl. Kemudian dilakuan vortex dan disentrifuse di dalam tabung appendorf 1.5 ml dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Sedimen dicuci dengan larutan L2. Selanjutnya divortex dan disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit, pencucian diulangi sebanyak 2 kali. Sedimennya diuci dengan etanol 70%. Selanjutnya divortex dan sentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit, pencucian dilakukan sebanyak 2 kali. Selanjutnya sedimen ditambahkan dengan aceton lalu divortex dan sentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 30 menit. Endapan dipanaskan dalam "waterbath" pada suhu 56°C selama 10 menit dan ditambahkan 60 µl larutan TE yang terdiri dari 1mM EDTA dalam 10 mM Tris HCl pH 8.0. kemudian dilakukan vortex dan dilanjutkan sentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 menit dan supernatan dipindahkan kedalam tabung efendorf yang baru. Kemudian ditambahkan kembali 40 µl larutan e. 79 Deteksi DNA Dari Darah dengan Tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) Pembuatan PCR mix dimasukkan ke dalam tabung PCR yang terdiri dari 2,5 µl MgCl2 , 2µl dNTPs, dan 0,5 µl Taq DNA polymerase, 2,5 µl 10x buffer, 14 µl destilated water. Teknik PCR ini menggunakan Hasria Alang ISSN 1411-4674 primer dari gen VDR yaitu Forward 5’CTGGGGAGCGGGGAGTATGAA GGA-3’, dan reverse 5’CCCTGGCGGCAGCGGATGTA 3’. Selanjutnya pada bagian dasar tabung ditambahkan 2,5 µl ekstrak DNA dan selanjutnya dilakukan amplifikasi dengan menggunakan mesin PCR (Hybaid Omm-E, England) dengan program 35 siklus untuk exon 9 kodon 352 sebagai berikut : 94°C selama 45 detik untuk denaturasi, 57°C selama 45 detik untuk annealing dan 72°C selama 45 detik untuk ekstension ( Astec, Fukuoka, Jepang). Hasil produk amplifikasi ini akan dilewatkan dalam 2 % gel elektroforesis untuk melihat ada tidaknya pita DNA dari sampel dan dipakai pula untuk hibridisasi DNA selanjutnya. f. mencampur 2 µ l DNA hasil PCR, 0,5 µl NEB buffer, dan 0,5 µ l enzim restriksi (Taq 1) serta water 7 µl dalam tabung PCR lalu divortex sebentar. Campuran dimasukan pada tabung kecil kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 x 24 jam. Hasil pemotongan dipisahkan melalui elektroforesis gel agarose 2%. Pada proses elektroforesis digunakan campuran 17 µl amplicon hasil PCR dengan 3 µl cairan Blue juice loading dye. Marker yang digunakan adalah ladder 100 bp dan dimasukkan pada sumur gel lubang pertama sebagai penanda. Selanjutnya sumur gel lubang terakhir dimasukan campuran kontrol negatif yaitu aquades. Selanjutnya proses elektroforesis dimulai dengan memberi aliran listrik dari muatan negatif (katode) ke muatan positif (anode) pada 100 A selama kurang lebih 40 menit. Setelah elektroforesis, gel diamati di atas UV Iluminator dengan melihat pita yang terbentuk lalu hasilnya disimpan. Apabila pita sejajar dengan kontrol positif berarti hasil positif. Hasil positif jika pada pita DNA terjadi pemotongan dan negatif jika tidak terdapat potongan pada pita DNA. Deteksi DNA Dari Nasal Swab dengan Tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) Pembuatan PCR mix dimasukkan ke dalam tabung PCR yang terdiri dari 2,5 µl MgCl2, 2 µl dNTPs, dan 0,5 µl Taq DNA polymerase, 2,5 µl 10x buffer, 14 µl destilated water, primer forward (S13) dan primer reverse (G2). Ampli Taq GOLD (Applied Biosystems, Foster City, California). Ektraksi DNA dari sampel nasal swab diambil sebanyak 2,5 µl dilakukan amplifikasi dengan menggunakan mesin PCR (Hybaid Omm-E, England) dengan program 35 siklus sebagai berikut : 94°C selama 2 menit untuk denaturasi, 60°C selama 2 menit untuk annealing dan 72°C selama 3 menit untuk ekstension (Astec, Fukuoka, Jepang). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Telah dilakukan penelitian terhadap 40 sampel kusta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Gambar 1. Mikroskopi pada salah satu sampel irisan kulit yang menunjukkan adanya kuman lepra yang menginfeksi kulit g. Pemotongan Produk PCR dengan Enzim Restriksi Pemotongan DNA dengan enzim restriksi dilakukan dengan cara 80 ISSN 1411-4674 Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352 Tabel 1. Polimorfisme gen VDR terhadap tipe Kusta (PB, MB) dan orang normal Gen VDR Mutasi Normal Total PB n 0 20 MB % 100 100 n 2 18 20 Normal % 10 90 n 1 19 % 5 95 20 20 Gambar 2. Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP pada kelompok penderita Kusta Gambar 3. Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP pada kelompok orang normal Tabel 2. Polimorfisme gen VDR terhadap titer antibodi Negatif Gen VDR Mutasi Normal n % 0 32 0 100 Tes serologi lateral flow Positif Total n % n % 2 6 25 75 2 38 50 95 P 0,036 BTA, lateral flow dan PCR untuk DNA nasal swab serta PCR-RFLP untuk DNA darah. Untuk tipe PB, pada pemeriksaan BTA, lateral flow dan PCR, semua hasilnya negatif. Hal ini disebabkan Pembahasan Telah dilakukan penelitian terhadap 40 penderita kusta (20 tipe MB dan 20 tipe PB) serta 20 sampel dari orang normal untuk melihat polimorfisme gen VDR menggunakan pemeriksaan 81 Hasria Alang ISSN 1411-4674 polimorfisme gen VDR nya pada exon 9 352 atau perubahan urutan basa nukleotidanya sehingga ada perubahan urutan basa pada gen tersebut yang mengakibatkan gen tersebut tidak dapat dipotong dengan enzim. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya polimorfisme yang bersifat silent mutasi dari C (sitosin) menjadi T (timin) pada gen VDR exon 9 352 menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit kusta (Gouralt et. al., 2006) yang disebabkan karena asam amino yang terdapat pada gen VDR bersifat kurang stabil untuk menginduksi kerja makrofag sehingga fungsi makrofag menjadi terganggu dan tidak mampu memfagosit kuman kusta yang masuk ke dalam tubuh. Studi lain menyebutkan bahwa penggunaan enzim Taq 1 untuk melihat adanya mutasi pada intron 8, memperlihatkan hubungannya dengan kasus kusta tipe MB di Karongo (Fitness, et. al., 2003), sedangkan pada penelitian Bellamy, et. al., (1999) yang menggunakan enzim Taq 1 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara polimorfisme VDR dan tuberculosis di Gambia. Aktifitas makrofag yang tidak normal, yang diatur oleh salah satu gen yaitu VDR yang mana menghasilkan CAMP (Cathelidin Anti Mycroba peptida) yang merupakan peptida dan berfungsi sebagai antimikroba dan apabila telah mengalami polimorfisme, maka akan menyebabkan jumlah kuman dalam tubuh terus bertambah seperti pada kusta tipe MB karena makrofag tidak mampu lagi memfagosit kuman (Hatta 2010). Hal serupa juga didukung oleh Scollard (2006) yang menyatakan bahwa adanya defisiensi VDR berhubungan dengan insiden infeksi yang tinggi, di mana hal ini menunjukkan bahwa defisiensi meningkatkan kemungkinan kejadian infeksi. Bukti terkuat adalah infeksi kronik Mikobakterium. Hal di atas berhubungan dengan lokus polimorfisme VDR dan jenis respon imun antimikobakterial yang terjadi. karena tipe ini merupakan tipe seluler sehingga kuman yang masuk mampu difagosit oleh makrofag menyebabkan jumah kuman menjadi sedikit sehingga pada saat dilakukan pemeriksaan BTA tidak terbaca dan pemerikasaan lateral flow juga tidak ditemukan tite antibodi. Djuanda (1993) menyebutkan bahwa pada pemeriksaan BTA dan lateral flow dimulai dari +1 sampai +4. Untuk tipe MB, ditemukan 9 sampel positif untuk pemeriksaan BTA dan 8 sampel positif untuk pemeriksaan lateral flow. Adanya kuman pada pemeriksaan BTA serta titer antibodi yang terbentuk disebabkan karena kuman kusta yang masuk ke dalam tubuh. Sedangkan pada tipe MB yang hasilnya negatif, hal ini dapat disebabkan karena sampel yang digunakan adalah sampel penderita kusta yang sedang mendapat terapi, sehingga kemungkinan kuman yang ada jumlahnya sudah berkurang. Hal ini menyebabkan titer antibodi yang terbentuk menjadi rendah atau bahkan hilang.Teori menyebutkan bahwa kuman kusta jumlahnya paling banyak ditemukan di dalam mukosa hidung karena kuman ini dapat masuk melalui saluran respirasi atas dan menyebar sampai kulit dan saraf melalui sirkulasi (Walker, S.L & D. N. J. Lockwood. 2006), selain itu Scollard, et. al., (2006) menyebutkan bahwa kuman ini menyukai daerah yang lembab pada tubuh manusia, seperti mukosa hidung maupun pada cuping telinga. Hal inilah yang menyebabkan jumlah kuman tersebut banyak (positif) ditemukan pada bagian hidung ketika dilakukan pemeriksaan (12 sampel yang positif). Pemeriksaan menggunakan PCRRFLP menggunakan enzim restriksi, menunjukkan bahwa ada 38 sampel yang normal. Hal ini berarti ada 2 sampel (10%) penderita kusta yang telah mengalami mutasi karena pita DNA nya tidak terpotong oleh enzim Taq 1 setelah dilakukan pemotongan, yang menunjukkan bahwa kedua penderita kusta tersebut telah mengalami 82 Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352 ISSN 1411-4674 cara mengaktifkan kerja monosit untuk fagositosis dan menekan prolirefasi limfosit (Tachi, Y., et. al., 2003). Kusta tipe PB merupakan tipe kusta yang memiliki respon imun seluler yang kuat yang dimediasi oleh Th-1, sedangkan tipe MB merupakan tipe kusta yang memiliki respon imun humoral yang tinggi tetapi tidak memiliki respon imun seluler yang kuat untuk membunuh kuman disebabkan karena makrofag tidak mampu lagi memfagosit kuman yang masuk ke dalam tubuh karena salah satu gen yang mengatur kerja makrofag telah mengalami perubahan, salah satunya adalah gen VDR (Hatta, 2010, Settin, et. al., 2002). Penelitian dari Adams (2006) menyebutkan bahwa adanya perubahan gen VDR berhubungan dengan insiden infeksi yang tinggi pada Mikobakteria, dimana respon sel Th-1 dapat melindungi tubuh dari infeksi mikobakteria yang lebih akut (kusta tipe MB). Pada penelitian ini, ditemukan bahwa kusta tipe PB tidak ditemukan polimorfisme pada gen VDR nya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukan oleh Mc adam (2004) terhadap kusta di India bahwa polimorfisme gen ini juga memperlihatkan adanya kerentanan kusta untuk tipe MB tetapi tidak untuk tipe PB. Sebuah studi juga melaporkan bahwa tipe PB akan meningkatkan stabilitas gen VDR yang membuat respon imun seluler tinggi sehingga dapat mencegah timbulnya kusta tipe MB (Roy, et. al., 1999). Hasil PCR-RFLP pada 20 orang sehat menunjukkan bahwa terdapat 1 sampel yang tidak terpotong oleh enzim restriksi Taq 1. Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki gen VDR pada Exon 9 352 yang telah mengalami polimorfisme atau perubahan struktur basanya. Seseorang akan menderita penyakit bila ada kontak atau terpapar oleh kuman. Pada orang normal yang memiliki gen VDR yang mengalami polimorfisme, dapat menyebabkan orang tersebut kemungkinan rentan terinfeksi oleh penyakit. Hal ini disebabkan karena VDR melibatkan berbagai fungsi biologi, seperti mengatur sistem imun dengan KESIMPULAN 1. Polimorfisme gen VDR exon 9 352 pada penderita kusta lebih tinggi daripada orang normal, yaitu tipe MB 10 % sedangkan orang normal 5 %. 2. Ada hubungan antara mutasi gen VDR exon 9 352 dan titer antibodi pada penderita kusta tipe MB yaitu P = 0,036 (P≤0,05). DAFTAR PUSTAKA Adams J.S. Vitamin D as a defensin. Journal Musculoskelet Neuron Interact 2006;6(4):344-346. Bellamy, et. al. 1999. Tuberculosis and chronichepatitis B virus infection in Africans and variation in thevitamin D receptor gene. Journal of Infectious Diseses 179: 721–724 Djuanda, Adhi, 1993. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Fitness, et. al., 2002. Genetics of susceptibility to leprosy Oxford university. Journal Genes and Immunity. Vol. 3: 441–453. Fitness, et al., 2003. Large Scale Candidate Gene Study of Leprosy Susceptibility In The Karongo District Of Northern Malawi. American Journal Tropical Media Hyginies. Vol.71:330-340. Gouralt, L.C, et. Al., 2006. Interaction of TaqI polymorphism exon 9 ofthevitamin D receptor genewith the negative lepromin response may favor the occurrence of leprosy. Federation of European Microbiological Societies Immunol Med Microbiol Vol. 48 : 91–98 Hatta, Mochammad, et. al., 2010. NRAMP1/SLC11A1 Gene Polymorphisms And Host Susceptibility to Mycobacterium tuberculosis and M. leprae in South 83 Hasria Alang ISSN 1411-4674 Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian Journal Tropical Medica Public Health. Vol. 41. N0. 2 : 1-9. Kresno, B.S. 2001. Immunologi : Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium, Edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. Kwenang, O. A. 2007. Serologic and Molecular Analysis On Thypoid Endemic Population To Determine The Endemic Level In Jeneponto, South Sulawesi. Disertasi of Hasanuddin University, Makassar. McAdam. 2004. NRAMP1 (SLCIIAr) and Vitamin D Receptor Genes : disease association. Medical research council laboratories, Banjul, The Gambia. Roy, et. al., 1999. Association of Vitamin D Receptor Genotype with Leprosy Type.The Journal of Infectious Diseses. Vol. 179 : 187-191 Settin,et.al., 2002. Association of Cytokine Gene Polymorphism with Susceptibility and Clinical Types of Leprosy. Scollard, dkk., 2006. The Continuing Challenges of Leprosy. Clinical Microbiology Review. Vol. 19, No. 2 : 338-381. Tachi, Yoichi, et. al., 2003. Vitamin D receptor gene polymorphism is associated with chronic periodontitis. Elsevier ife science; 73 : 3313–3321 Walker, S.L & D. N. J. Lockwood. 2006. The Clinical and Immunological Features of Leprosy. British Medical Bulletin 2006 : 1-19. 84