BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional dalam perkembangannya bergerak secara dinamis
sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum
internasional telah melahirkan suatu organisasi internasional yang sudah tidak
asing lagi bagi masyarakat internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Lembaga yang lahir pada 24 Oktober 1945 di San Fransisco merupakan
organisasi internasional yang sangat dominan dalam halnya menjaga perdamaian
dan keamanan internasional. Organisasi internasional diakui sebagai subyek
hukum internasional berdasarkan Advisory Opinion 1 Mahkamah Internasional
berkaitan
dengan
status
PBB.
2
PBB
telah
meletakkan
framework
konstitusionalnya pada instrumen pokok yaitu Piagam dengan tekad semua
anggota PBB menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua
kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia.3
1
Advisory Opinion merupakan kewenangan dari Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat
hukum atas suatu permasalahan hukum yang dihadapi. Dasar kewenangan memberikan pendapat
hukum ada pada Pasal 96 Piagam PBB yang menentukan:
(1) The General Assembly or the Security Council may request the Internastional Court of
Justice to give an advisory opinion on any legal question.
(2) Others organs of the United Nations and specialized agencies, which may at any time be
authorized by the General Assembly, may also request advisory opinions of the Court on
legal questions arising within the scope of their activities.
2
Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Edisi Pertama, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 13.
3
Sumaryo Suryokusumo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, hlm. 1.
1
PBB memiliki enam organ utama, yaitu Majelis Umum, Dewan
Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah
Internasional, dan Sekretaris Jenderal. Organ utama PBB yang mendapat mandat
untuk menjalankan perdamaian dan keamanan internasional adalah Dewan
Keamanan. Mandat tersebut secara tertulis terdapat pada Pasal 24 Piagam PBB
yang menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka
negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab
yang utama, yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan juga
menyetujui bahwa Dewan Keamanan bertindak atas nama negara-negara anggota
PBB. Dalam menjalankan kewajiban tersebut, Dewan Keamanan harus bertindak
sesuai dengan tujuan didirikannya PBB.
Adapun tanggung jawab Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VI dan
Bab VII Piagam PBB, adalah menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara
damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas persetujuan sukarela atau paksaan
hukum
dalam
menjalankan
persetujuan,
menentukan
adanya
ancaman
perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan tindakan agresi serta
mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian. Dalam sistem PBB,
organ utama seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan dapat mengeluarkan
resolusi yang masing-masing organ memiliki sifat resolusi yang berbeda. Resolusi
Majelis Umum ada yang bersifat rekomendatif namun ada pula yang bersifat
mengikat seperti resolusi mengenai penerimaan anggota PBB, sedangkan resolusi
2
Dewan Keamanan memiliki kekuatan mengikat (legally binding) sebagaimana
yang diatur pada Pasal 25 Piagam PBB. Kemudian kekuatan mengikat Resolusi
Dewan Keamanan PBB diperluas dengan ketentuan Pasal 2 ayat (6) yang
menetapkan bahwa resolusi Dewan Keamanan selain mengikat negara anggota
juga non anggota, mengikat bagi non anggota jika resolusi berisi aturan tentang
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Pada penulisan ini akan dibahas mengenai Resolusi Dewan Keamanan
Nomor 1272 Tahun 1999 yang memberikan beberapa mandat yang salah satunya
adalah mengenai jaminan perlindungan hak-hak pengungsi Timor Timur yang
direlokasi. Dalam resolusi ini disebutkan bahwa Dewan Keamanan menyambut
dengan baik komitmen pemerintah Indonesia untuk memberikan pilihan kepada
pengungsi dan rakyat yang direlokasi di Timor Barat dan tempat-tempat lain di
wilayah Indonesia untuk memilih apakah mereka ingin kembali ke wilayah Timor
Timur, tetap tinggal di lokasi sekarang atau direlokasi ke tempat lain di Indonesia
serta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah
langsung dan efektif supaya menjaminkan pulang kembalinya pengungsi di Timor
Barat dan di tempat-tempat lain di wilayah Indonesia ke wilayah Timor Timur,
keamanan para pengungsi, suasana sipil dan kemanusiaan pos-pos pengungsi dan
tempat kediamannya.
Timor-Timur yang sekarang dikenal dengan Timor Leste merupakan
wilayah jajahan Portugis. Orang Portugis mulai berdagang di pulau Timor pada
3
awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi
beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuatlah perjanjian pada tahun 1859 di
mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu kepada Belanda. Jepang
menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah
dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya. Pada tahun 1975, terjadi
Revolusi Bunga di Portugal. Pada saat itu, Timor Timur juga sedang bergejolak
akibat perang saudara. Gubernur Portugal yang 5 terakhir di Timor Timur, Lemos
Pires, meminta Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke
Timor Timur.4
Pada 28 November 1975, Frente Revolucionária de Timor Leste
Independente (Fretilin) menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan
Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Leste. Namun, deklarasi itu
tidak mewakili semua suara rakyat Timor Timur. Mereka menolak konsep
kemerdekaan yang disuarakan oleh Fretilin dengan alasan bahwa Fretilin
merupakan partai yang berhaluan komunis. Selain itu, aktor-aktor utama Fretilin
adalah orang-orang Portugis.5
Oleh karena itu, tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan oleh Fretilin,
kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30
November 1975 yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Kelompok pro-integrasi
meminta dukungan pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari
4
East Timor Government, “History of East Timor”, http://www.easttimorgovernment.com/history.htm,
diakses pada tanggal 22 Januari 2015.
5
Ibid.
4
kekuasaan Fretilin. Indonesia masuk ke Timor Timur dengan alasan yang cukup
kuat, dimana beberapa bulan sebelumnya Vietnam dan Kamboja baru saja jatuh
ke tangan komunis dan dengan berdirinya Republik Demokratik Timor Leste
yang beraliran komunis dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi Indonesia.
Terintegrasinya Timor Timur dengan Indonesia pada waktu itu mendapat
dukungan dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan
Australia. Akan tetapi, PBB tidak pernah mengakui integrasi tersebut sampai
dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Bahkan PBB memberikan status
non-self governing territory atas Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan
pada 30 Agustus 1999 dengan dua opsi, yaitu tetap bergabung dengan Indonesia
dengan hak otonomi khusus atau lepas dari Indonesia dan menjadi sebuah negara
baru. Referendum ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga hasil bentukan dari
Resolusi Dewan Keamanan, yaitu United Nations Mission for East Timor
(UNAMET) dan United Nations Transition Administrative in East Timor
(UNTAET). PBB mengumumkan hasil referendum tersebut pada 4 September
1999, yakni 78,5% menginginkan Timor Timur berdiri menjadi negara baru yang
merdeka dan 21,5% ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia.6
Arus pengungsi Timor Timur bertambah setelah hasil jajak pendapat
diumumkan. Masalah pengungsi ini hingga saat ini masih menjadi masalah yang
belum terselesaikan bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya masih banyak
pengungsi Timor Timur yang berada di Indonesia belum memiliki hidup yang
6
Anwar, 2004, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 33.
5
layak. 7 Misalnya saja di kamp pengungsi Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa
Tenggara Timur, setelah 13 tahun berada dalam kamp tersebut masih menghadapi
kesulitan pemulangan pengungsi ke Timor Leste. Kendala pendanaan untuk hidup
yang layak dan transportasi pemulangan ke negara asal yang susah menjadikan
para pengungsi semakin tidak jelas nasibnya.8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemenuhan mandat tentang relokasi dan pemulangan kembali
pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 oleh
Indonesia?
2. Mengapa Indonesia hingga saat ini belum melaksanakan pemenuhan hak bagi
pengungsi yang masih ada di kamp pengungsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk mengetahui,
menganalisis, menelaah, dan memahami pemenuhan mandat tentang
pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun
7
Lukman Hakim Suhdi, “Eurico Guterres: Nasib Warga Eks Timor Timur Lebih Buruk Ketimbang
Pemberontak”, https://komunitasamam.wordpress.com/2010/11/30/eurico-guterres-nasib-warga-ekstimor-timur-lebih-buruk-ketimbang-pemberontak/ diakses pada 6 Juli 2015.
8
Jemris Fointuna, “15 Eks Pengungsi Pulang ke Timor
Leste”,http://nasional.news.viva.co.id/news/read/279032-15-eks-pengungsi-pulang-ke-timor-leste
diakses pada 6 Juli 2015.
6
1999 oleh Indonesia serta mengetahui alasan belum terpenuhinya hak
para pengungsi yang ada di kamp pengungsi.
2. Tujuan Subyektif
Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka
penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar
Master Hukum (M.H) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster
Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
dan
informasi
yang
bermanfaat
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum
internasional.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi kalangan akademisi khususnya dalam hukum
internasional.
E. Keaslian Penelitian
Penelusuran terhadap penelitian dan karya ilmiah yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini telah dilakukan.
7
Berdasarkan hasil penelusuran dan telaah pustaka, belum ditemukan
permasalahan yang sama dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
tesis ini. Adapun penelitian yang mempunyai persamaan variabel
penelitian adalah sebagai berikut.
1. Yohanes Bernando Seran, Tanggung Jawab Negara Indonesia Dalam
Memberikan Perlindungan Hukum Untuk Penduduk Bekas Provinsi
Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Penulisan disertasi ini mengangkat tiga permasalahan terkait
penduduk bekas Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Rumusan masalah tersebut yaitu mengenai status hukum penduduk
bekas provinsi Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur,
mengenai tanggung jawab negara Indonesia terhadap penduduk bekas
Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, dan mengenai norma hukum
organisasi internasional dalam penyelesaian masalah penduduk bekas
Timor Timur di Nusa Tenggara Timur.
Pembahasan dalam disertasi ini memiliki banyak persamaan
dan perbedaan dengan pembahasan yang diuraikan dalam penulisan
tesis ini. Persamaan tersebut ada pada kesamaan obyek penelitian
yaitu para pengungsi Timor Timur dengan perbedaan istilah di
masing-masing
penulisan,
kemudian
persamaan
pembahasan
8
mengenai perlindungan hukum oleh pemerintah Indonesia dan peran
organisasi internasional dalam menangani masalah ini.
Perbedaan mendasar dengan penulisan ini adalah dasar analisis
yang digunakan. Dalam disertasi tersebut analisis yang digunakan
adalah mengenai tanggung jawab negara sebagai subjek hukum
iternasional, sedangkan dalam tesis ini yang digunakan adalah
kekuatan mengikatnya suatu resolusi Dewan Keamanan terhadap
negara anggota PBB.
2. Pricilia Prisca, The Implementation of Non-Refoulement Principle by
Indonesia As a Non-State Party of The 1951 Geneva Convention
Relating to The Status of Refugees.
Tesis tersebut menguraikan penerapan prinsip non-refoulement
di Indonesia. Penerapan asas tersebut diulas secara komprehensif oleh
penulis, dimulai dengan menguraikan instrumen-instrumen baik
nasional maupun internasional terkait dengan pengungsi. Dalam
uraian tesis ini disebutkan bagaimana Indonesia sebagai negara yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia belum meratifikasi Konvensi
Jenewa 1951 dan Protokol 1967. Meski demikian penerapan dari
prinsip non-refoulement yang merupakan prinsip yang menegakkan
perikemanusiaan ini tetap dijalankan oleh Indonesia.
9
Penerapan prinsip non-refoulement ini tampak pada beberapa
peristiwa yang mana Indonesia melaksanakan prinsip tersebut, yaitu
pada 1979 pada peristiwa Galang islands dan yang baru-baru ini
dilakukan oleh Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Pada
kesimpulan tesis ini disimpulkan bahwa Indonesia telah menerapkan
prinsip non-refoulement demi perikemanusiaan.
Perbedaan dengan pembahasan penulisan pada bab selanjutnya
pada tesis ini adalah obyek pembahasan yang mana berfokus pada
penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia, sedangkan tesis ini
membahas mengenai pemenuhan mandat relokasi dan pemulangan
kembali pengungsi Timor Timur.
3. A. Yuan Anggito, Upaya Pembatalan Pemberian Visa Perlindungan
(Protection Visa) oleh Pemerintah Australia Terhadap Pengungsi
Asal Sri Lanka Ditinjau Dari Aspek Hukum Pengungsi Internasional.
Dalam penulisan skripsi tersebut, pokok permasalahannya
adalah mengenai prosedur pemberian temporary protection visa bagi
pengungsi di Australia dan mengenai peninjauan kembali yang
dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Australia tanggal 5 Oktober 2012 terhadap pengungsi asal Sri
Lanka tentang pembatalan pemberian visa perlindungan telah
10
memenuhi standar perlindungan hak terhadap pengungsi berdasarkan
hukum pengungsi internasional.
Penulis skripsi tersebut menyimpulkan bahwa Australia
mewujudkan penegakan hukum pengungsi internasional dalam hukum
nasionalnya
dengan
menentukan
kriteria-kriteria
mengenai
pembatalan dan penolakan visa perlindungan. Australia membagi
kriteria tersebut menjadi dua yaitu kriteria umum dan kriteria khusus.
Menurut penulis skripsi ini, sebagai negara yang berdaulat, Austalia
berhak untuk menerapkan kebijakannya di wilayah yurisdiksinya yang
dalam hal ini adalah mengenai penanganan orang asing. Namun dalam
perspektif internasional, Australia dianggap melanggar beberapa pasal
dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967.
4. Jacinta Lucia Paulo Cardoso, Pilihan Pengungsi Timor Timur Menjadi
Warga Negara Indonesia (WNI).
Skripsi yang ditulis oleh mahasiswa jurusan hubungan
internasional
Universitas
Pembangunan
Nasional
“Veteran”
Yogyakarta ini mengangkat satu rumusan masalah, yaitu mengapa
pengungsi Timor Timur memilih untuk menjadi warga negara
Indonesia. Pembahasan atas rumusan masalah tersebut dimulai dengan
diuraikannya dinamika sosial politik di Timor Timur kemudian alasan
para pengungsi memilih menjadi warga negara Indonesia. Dalam
11
pembahasan skripsi ini rumusan masalah dijawab dengan adanya dua
alasan pengungsi Timor Timur memilih untuk jadi warga negara
Indonesia karena pertimbangan rasional berdasarkan fakta keamanan
di Timor Timur dan pertimbangan fakta sosial ekonomi di Timor
Timur dan Indonesia.
Perbedaan tulisan tersebut dengan penulisan ini adalah
masalah yang diulas oleh masing-masing penulis. Meskipun dengan
obyek yang sama yaitu pengungsi Timor Timur, namun pokok
permasalahan yang dibahas berbeda sehingga analisis yang digunakan
pun berbeda.
5. Cesar Antonio Munthe, Penerapan Asas Non Refoulement Dalam
Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan Dengan Pengungsi Timor Leste di
Indonesia (Pasca Referendum Tahun 1999).
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta
ini menulis skripsi dengan judul tersebut pada tahun 2011 dengan
pokok permasalahan mengenai penerapan asas non refoulement dalam
Konvensi Jenewa 1951 terkait pengungsi Timor Leste di Indonesia
pasca referendum 1999. Skripsi ini membahas mengenai asas non
refoulement secara umum dan juga penerapan serta upaya pemerintah
Indonesia dalam menerapkan asas non refoulement dan dalam
penanganan pengungsi Timor Leste.
12
Meskipun memiliki persamaan pada variabel bebas penelitian
yaitu mengenai pengungsi Timor Timur, namun variabel terikat
penelitian masing-masing penulis memiliki perbedaan. Sama seperti
yang ditulis oleh Pricilia Prisca, yaitu mengenai non refoulement,
meksi sama namun kedua penulisan ini berbeda. Skripsi ini fokus pada
penerapan asa non refoulement pada pengungsi Timor Timur
sedangkan Pricilia Prisca penerapan asas non refoulement di
Indonesia.
6. Gloria Exoudianta Barus, Proses Integrasi Nasional Warga Eks
Pengungsi Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur.
Mahasiswa jurusan ilmu hubungan internasional universitas
Gadjah Mada ini membahas satu permasalahan yaitu mengenai proses
integrasi nasional warga eks pengungsi Timor Timur di Atambua.
Dalam
menjawab
permasalahan
tersebut,
penulis
skripsi
ini
menggunakan landasan konseptual terkait pola integrasi nasional multi
arah, argumen utama dalam skripsi ini menyebutkan bahwa integrasi
warga eks Timor Timur belum maksimal. Dalam skripsi ini dijelaskan
mengenai proses relokasi warga eks Timor Timur, faktor pendorong,
aktor yang terlibat, serta kondisi selama pengungsian.
Penulis skripsi menjabarkan beberapa proses integrasi warga
eks Timor Timur, seperti integrasi sosial, integrasi ekonomi, integrasi
13
politik, dan integrasi budaya. Kemudian pada bagian penutup skripsi
ini, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga aktor utama yang terlibat
dalam proses integrasi. Proses integrasi nasional warga eks Timor
Timur berlangsung dalam berbagai aspek yang salah satunya adalah
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Namun, minimnya interaksi
antara warga eks Timor Timur dan warga lokal mengakibatkan
integrasi tidak berjalan secara maksimal.
Perbedaan dengan tesis ini adalah penulis skripsi dengan judul
Proses Integrasi Nasional Warga Eks Pengungsi Timor Timur di
Atambua, Nusa Tenggara Timur tidak secara khusus menjelaskan
mengenai relokasi dan repatriasi tetapi lebih kepada integrasi nasional
warga eks Timor Timur. Meskipun ada bagian sama terkait
pembahasan mengenai relokasi, namun penjabaran antara skripsi dan
tesis ini berbeda.
7. Theopilus Yanuarto, Strategi Bertahan Hidup Eks-Pengungsi Timor
Timur Pasca Penghentian Durable Solutions (Studi di Barak
Tuapukan, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur).
Dalam tesis dengan judul tersebut, permasalahan yang dibahas
adalah
bagaimana
strategi
bertahan
hidup
khususnya
dalam
mencukupi kebutuhan dasar yang diterapkan oleh eks-pengungsi
Timor Timur yang ada di barak Tuapukan pasca penghentian durable
14
solutions dari Pemerintah Indonesia dan PBB pada akhir Desember
2005. Pada tesis ini dijabarkan mengenai sejarah munculnya
konsentrasi barak pengungsian, keadaan para eks-pengungsi di barak
pengungsian Tuapukan, kebijakan pemerintah terkait eks-pengungsi
Timor Timur, dan penjabaran mengenai strategi bertahan hidup
mereka pasca pemberhentian bantuan dari pemerintah dan PBB.
Jawaban dari permasalahan yang diangkat oleh penulis tesis
ini, strategi yang dilakukan oleh para pengungsi adalah dengan
melakukan subsistensi pangan, kemandirian yang dalam hal ini terkait
mata pencaharian dan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar barak
Tuapukan, dan menggantungkan diri pada bantuan dari kerabat,
pemerintah, dan masyarakat lokal. Perbedaan dengan tesis ini adalah
pada pokok bahasan yang menjadi fokus bahasan masing-masing
penulis.
8. Intan Pelangi, Pengaruh The United Nation Declaration On The
Territorial Asylum 1967 Terhadap Para Pencari Suaka Di Indonesia.
Permasalahan yang diangkat pada skripsi ini adalah mengenai
peranan pemerintah Indonesia dalam memberikan suaka teritorial
kepada pencari suaka asal Afganistan dalam kaitannya bekerja sama
dengan UNHCR menuju pemberian suaka permanen. Skripsi ini
menyimpulkan uraian pembahasan permasalahan tersebut dengan
15
menyebutkan
bahwa
pencari
suaka
merupakan
persoalan
berkepanjangan. Meski Indonesia bukan merupakan negara pihak
dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967 tetap Indonesia harus serius
dalam menanggapi kehadiran para pengungsi. Keseriusan tersebut
nampak pada instrumen nasional yang memasukkan penanganan
pencari suaka dan/atau pengungsi. Dalam kaitannya dengan pengungsi
Afganistan, Indonesia tidak menolak mereka melainkan melakukan
kerja sama dengan UNHCR dalam memberikan tempat penampungan
sementara hingga ada negara lain yang bersedia mereka secara
permanen.
Berdasarkan hasil penelaahan tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan mendasar mengenai penelitian yang diajukan oleh
penulis dan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian yang sudah
ada mengkaji mengenai peranan UNHCR dan pengungsi sedangkan
Penulis mengkaji mengenai pengungsi Timor Timur yang dalam Resolusi
Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 dimandatkan untuk
dilindungi. Adapun persamaan penelitian ada pada instrumen hukum yang
digunakan, yaitu Konvensi 1951 dan Protocol 1967.
16
Download