BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional dalam perkembangannya bergerak secara dinamis sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum internasional telah melahirkan suatu organisasi internasional yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga yang lahir pada 24 Oktober 1945 di San Fransisco merupakan organisasi internasional yang sangat dominan dalam halnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Organisasi internasional diakui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Advisory Opinion 1 Mahkamah Internasional berkaitan dengan status PBB. 2 PBB telah meletakkan framework konstitusionalnya pada instrumen pokok yaitu Piagam dengan tekad semua anggota PBB menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia.3 1 Advisory Opinion merupakan kewenangan dari Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat hukum atas suatu permasalahan hukum yang dihadapi. Dasar kewenangan memberikan pendapat hukum ada pada Pasal 96 Piagam PBB yang menentukan: (1) The General Assembly or the Security Council may request the Internastional Court of Justice to give an advisory opinion on any legal question. (2) Others organs of the United Nations and specialized agencies, which may at any time be authorized by the General Assembly, may also request advisory opinions of the Court on legal questions arising within the scope of their activities. 2 Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 13. 3 Sumaryo Suryokusumo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, hlm. 1. 1 PBB memiliki enam organ utama, yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretaris Jenderal. Organ utama PBB yang mendapat mandat untuk menjalankan perdamaian dan keamanan internasional adalah Dewan Keamanan. Mandat tersebut secara tertulis terdapat pada Pasal 24 Piagam PBB yang menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab yang utama, yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan juga menyetujui bahwa Dewan Keamanan bertindak atas nama negara-negara anggota PBB. Dalam menjalankan kewajiban tersebut, Dewan Keamanan harus bertindak sesuai dengan tujuan didirikannya PBB. Adapun tanggung jawab Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VI dan Bab VII Piagam PBB, adalah menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan, menentukan adanya ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan tindakan agresi serta mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian. Dalam sistem PBB, organ utama seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan dapat mengeluarkan resolusi yang masing-masing organ memiliki sifat resolusi yang berbeda. Resolusi Majelis Umum ada yang bersifat rekomendatif namun ada pula yang bersifat mengikat seperti resolusi mengenai penerimaan anggota PBB, sedangkan resolusi 2 Dewan Keamanan memiliki kekuatan mengikat (legally binding) sebagaimana yang diatur pada Pasal 25 Piagam PBB. Kemudian kekuatan mengikat Resolusi Dewan Keamanan PBB diperluas dengan ketentuan Pasal 2 ayat (6) yang menetapkan bahwa resolusi Dewan Keamanan selain mengikat negara anggota juga non anggota, mengikat bagi non anggota jika resolusi berisi aturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 yang memberikan beberapa mandat yang salah satunya adalah mengenai jaminan perlindungan hak-hak pengungsi Timor Timur yang direlokasi. Dalam resolusi ini disebutkan bahwa Dewan Keamanan menyambut dengan baik komitmen pemerintah Indonesia untuk memberikan pilihan kepada pengungsi dan rakyat yang direlokasi di Timor Barat dan tempat-tempat lain di wilayah Indonesia untuk memilih apakah mereka ingin kembali ke wilayah Timor Timur, tetap tinggal di lokasi sekarang atau direlokasi ke tempat lain di Indonesia serta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah langsung dan efektif supaya menjaminkan pulang kembalinya pengungsi di Timor Barat dan di tempat-tempat lain di wilayah Indonesia ke wilayah Timor Timur, keamanan para pengungsi, suasana sipil dan kemanusiaan pos-pos pengungsi dan tempat kediamannya. Timor-Timur yang sekarang dikenal dengan Timor Leste merupakan wilayah jajahan Portugis. Orang Portugis mulai berdagang di pulau Timor pada 3 awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuatlah perjanjian pada tahun 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu kepada Belanda. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya. Pada tahun 1975, terjadi Revolusi Bunga di Portugal. Pada saat itu, Timor Timur juga sedang bergejolak akibat perang saudara. Gubernur Portugal yang 5 terakhir di Timor Timur, Lemos Pires, meminta Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur.4 Pada 28 November 1975, Frente Revolucionária de Timor Leste Independente (Fretilin) menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Leste. Namun, deklarasi itu tidak mewakili semua suara rakyat Timor Timur. Mereka menolak konsep kemerdekaan yang disuarakan oleh Fretilin dengan alasan bahwa Fretilin merupakan partai yang berhaluan komunis. Selain itu, aktor-aktor utama Fretilin adalah orang-orang Portugis.5 Oleh karena itu, tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan oleh Fretilin, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Kelompok pro-integrasi meminta dukungan pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari 4 East Timor Government, “History of East Timor”, http://www.easttimorgovernment.com/history.htm, diakses pada tanggal 22 Januari 2015. 5 Ibid. 4 kekuasaan Fretilin. Indonesia masuk ke Timor Timur dengan alasan yang cukup kuat, dimana beberapa bulan sebelumnya Vietnam dan Kamboja baru saja jatuh ke tangan komunis dan dengan berdirinya Republik Demokratik Timor Leste yang beraliran komunis dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi Indonesia. Terintegrasinya Timor Timur dengan Indonesia pada waktu itu mendapat dukungan dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Akan tetapi, PBB tidak pernah mengakui integrasi tersebut sampai dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Bahkan PBB memberikan status non-self governing territory atas Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dengan dua opsi, yaitu tetap bergabung dengan Indonesia dengan hak otonomi khusus atau lepas dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru. Referendum ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga hasil bentukan dari Resolusi Dewan Keamanan, yaitu United Nations Mission for East Timor (UNAMET) dan United Nations Transition Administrative in East Timor (UNTAET). PBB mengumumkan hasil referendum tersebut pada 4 September 1999, yakni 78,5% menginginkan Timor Timur berdiri menjadi negara baru yang merdeka dan 21,5% ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia.6 Arus pengungsi Timor Timur bertambah setelah hasil jajak pendapat diumumkan. Masalah pengungsi ini hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya masih banyak pengungsi Timor Timur yang berada di Indonesia belum memiliki hidup yang 6 Anwar, 2004, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 33. 5 layak. 7 Misalnya saja di kamp pengungsi Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, setelah 13 tahun berada dalam kamp tersebut masih menghadapi kesulitan pemulangan pengungsi ke Timor Leste. Kendala pendanaan untuk hidup yang layak dan transportasi pemulangan ke negara asal yang susah menjadikan para pengungsi semakin tidak jelas nasibnya.8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemenuhan mandat tentang relokasi dan pemulangan kembali pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 oleh Indonesia? 2. Mengapa Indonesia hingga saat ini belum melaksanakan pemenuhan hak bagi pengungsi yang masih ada di kamp pengungsi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami pemenuhan mandat tentang pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 7 Lukman Hakim Suhdi, “Eurico Guterres: Nasib Warga Eks Timor Timur Lebih Buruk Ketimbang Pemberontak”, https://komunitasamam.wordpress.com/2010/11/30/eurico-guterres-nasib-warga-ekstimor-timur-lebih-buruk-ketimbang-pemberontak/ diakses pada 6 Juli 2015. 8 Jemris Fointuna, “15 Eks Pengungsi Pulang ke Timor Leste”,http://nasional.news.viva.co.id/news/read/279032-15-eks-pengungsi-pulang-ke-timor-leste diakses pada 6 Juli 2015. 6 1999 oleh Indonesia serta mengetahui alasan belum terpenuhinya hak para pengungsi yang ada di kamp pengungsi. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum internasional. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi khususnya dalam hukum internasional. E. Keaslian Penelitian Penelusuran terhadap penelitian dan karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini telah dilakukan. 7 Berdasarkan hasil penelusuran dan telaah pustaka, belum ditemukan permasalahan yang sama dengan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini. Adapun penelitian yang mempunyai persamaan variabel penelitian adalah sebagai berikut. 1. Yohanes Bernando Seran, Tanggung Jawab Negara Indonesia Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Untuk Penduduk Bekas Provinsi Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penulisan disertasi ini mengangkat tiga permasalahan terkait penduduk bekas Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur. Rumusan masalah tersebut yaitu mengenai status hukum penduduk bekas provinsi Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur, mengenai tanggung jawab negara Indonesia terhadap penduduk bekas Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, dan mengenai norma hukum organisasi internasional dalam penyelesaian masalah penduduk bekas Timor Timur di Nusa Tenggara Timur. Pembahasan dalam disertasi ini memiliki banyak persamaan dan perbedaan dengan pembahasan yang diuraikan dalam penulisan tesis ini. Persamaan tersebut ada pada kesamaan obyek penelitian yaitu para pengungsi Timor Timur dengan perbedaan istilah di masing-masing penulisan, kemudian persamaan pembahasan 8 mengenai perlindungan hukum oleh pemerintah Indonesia dan peran organisasi internasional dalam menangani masalah ini. Perbedaan mendasar dengan penulisan ini adalah dasar analisis yang digunakan. Dalam disertasi tersebut analisis yang digunakan adalah mengenai tanggung jawab negara sebagai subjek hukum iternasional, sedangkan dalam tesis ini yang digunakan adalah kekuatan mengikatnya suatu resolusi Dewan Keamanan terhadap negara anggota PBB. 2. Pricilia Prisca, The Implementation of Non-Refoulement Principle by Indonesia As a Non-State Party of The 1951 Geneva Convention Relating to The Status of Refugees. Tesis tersebut menguraikan penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia. Penerapan asas tersebut diulas secara komprehensif oleh penulis, dimulai dengan menguraikan instrumen-instrumen baik nasional maupun internasional terkait dengan pengungsi. Dalam uraian tesis ini disebutkan bagaimana Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967. Meski demikian penerapan dari prinsip non-refoulement yang merupakan prinsip yang menegakkan perikemanusiaan ini tetap dijalankan oleh Indonesia. 9 Penerapan prinsip non-refoulement ini tampak pada beberapa peristiwa yang mana Indonesia melaksanakan prinsip tersebut, yaitu pada 1979 pada peristiwa Galang islands dan yang baru-baru ini dilakukan oleh Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Pada kesimpulan tesis ini disimpulkan bahwa Indonesia telah menerapkan prinsip non-refoulement demi perikemanusiaan. Perbedaan dengan pembahasan penulisan pada bab selanjutnya pada tesis ini adalah obyek pembahasan yang mana berfokus pada penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia, sedangkan tesis ini membahas mengenai pemenuhan mandat relokasi dan pemulangan kembali pengungsi Timor Timur. 3. A. Yuan Anggito, Upaya Pembatalan Pemberian Visa Perlindungan (Protection Visa) oleh Pemerintah Australia Terhadap Pengungsi Asal Sri Lanka Ditinjau Dari Aspek Hukum Pengungsi Internasional. Dalam penulisan skripsi tersebut, pokok permasalahannya adalah mengenai prosedur pemberian temporary protection visa bagi pengungsi di Australia dan mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Australia tanggal 5 Oktober 2012 terhadap pengungsi asal Sri Lanka tentang pembatalan pemberian visa perlindungan telah 10 memenuhi standar perlindungan hak terhadap pengungsi berdasarkan hukum pengungsi internasional. Penulis skripsi tersebut menyimpulkan bahwa Australia mewujudkan penegakan hukum pengungsi internasional dalam hukum nasionalnya dengan menentukan kriteria-kriteria mengenai pembatalan dan penolakan visa perlindungan. Australia membagi kriteria tersebut menjadi dua yaitu kriteria umum dan kriteria khusus. Menurut penulis skripsi ini, sebagai negara yang berdaulat, Austalia berhak untuk menerapkan kebijakannya di wilayah yurisdiksinya yang dalam hal ini adalah mengenai penanganan orang asing. Namun dalam perspektif internasional, Australia dianggap melanggar beberapa pasal dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967. 4. Jacinta Lucia Paulo Cardoso, Pilihan Pengungsi Timor Timur Menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Skripsi yang ditulis oleh mahasiswa jurusan hubungan internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta ini mengangkat satu rumusan masalah, yaitu mengapa pengungsi Timor Timur memilih untuk menjadi warga negara Indonesia. Pembahasan atas rumusan masalah tersebut dimulai dengan diuraikannya dinamika sosial politik di Timor Timur kemudian alasan para pengungsi memilih menjadi warga negara Indonesia. Dalam 11 pembahasan skripsi ini rumusan masalah dijawab dengan adanya dua alasan pengungsi Timor Timur memilih untuk jadi warga negara Indonesia karena pertimbangan rasional berdasarkan fakta keamanan di Timor Timur dan pertimbangan fakta sosial ekonomi di Timor Timur dan Indonesia. Perbedaan tulisan tersebut dengan penulisan ini adalah masalah yang diulas oleh masing-masing penulis. Meskipun dengan obyek yang sama yaitu pengungsi Timor Timur, namun pokok permasalahan yang dibahas berbeda sehingga analisis yang digunakan pun berbeda. 5. Cesar Antonio Munthe, Penerapan Asas Non Refoulement Dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan Dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum Tahun 1999). Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta ini menulis skripsi dengan judul tersebut pada tahun 2011 dengan pokok permasalahan mengenai penerapan asas non refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 terkait pengungsi Timor Leste di Indonesia pasca referendum 1999. Skripsi ini membahas mengenai asas non refoulement secara umum dan juga penerapan serta upaya pemerintah Indonesia dalam menerapkan asas non refoulement dan dalam penanganan pengungsi Timor Leste. 12 Meskipun memiliki persamaan pada variabel bebas penelitian yaitu mengenai pengungsi Timor Timur, namun variabel terikat penelitian masing-masing penulis memiliki perbedaan. Sama seperti yang ditulis oleh Pricilia Prisca, yaitu mengenai non refoulement, meksi sama namun kedua penulisan ini berbeda. Skripsi ini fokus pada penerapan asa non refoulement pada pengungsi Timor Timur sedangkan Pricilia Prisca penerapan asas non refoulement di Indonesia. 6. Gloria Exoudianta Barus, Proses Integrasi Nasional Warga Eks Pengungsi Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Mahasiswa jurusan ilmu hubungan internasional universitas Gadjah Mada ini membahas satu permasalahan yaitu mengenai proses integrasi nasional warga eks pengungsi Timor Timur di Atambua. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis skripsi ini menggunakan landasan konseptual terkait pola integrasi nasional multi arah, argumen utama dalam skripsi ini menyebutkan bahwa integrasi warga eks Timor Timur belum maksimal. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai proses relokasi warga eks Timor Timur, faktor pendorong, aktor yang terlibat, serta kondisi selama pengungsian. Penulis skripsi menjabarkan beberapa proses integrasi warga eks Timor Timur, seperti integrasi sosial, integrasi ekonomi, integrasi 13 politik, dan integrasi budaya. Kemudian pada bagian penutup skripsi ini, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga aktor utama yang terlibat dalam proses integrasi. Proses integrasi nasional warga eks Timor Timur berlangsung dalam berbagai aspek yang salah satunya adalah dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Namun, minimnya interaksi antara warga eks Timor Timur dan warga lokal mengakibatkan integrasi tidak berjalan secara maksimal. Perbedaan dengan tesis ini adalah penulis skripsi dengan judul Proses Integrasi Nasional Warga Eks Pengungsi Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur tidak secara khusus menjelaskan mengenai relokasi dan repatriasi tetapi lebih kepada integrasi nasional warga eks Timor Timur. Meskipun ada bagian sama terkait pembahasan mengenai relokasi, namun penjabaran antara skripsi dan tesis ini berbeda. 7. Theopilus Yanuarto, Strategi Bertahan Hidup Eks-Pengungsi Timor Timur Pasca Penghentian Durable Solutions (Studi di Barak Tuapukan, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur). Dalam tesis dengan judul tersebut, permasalahan yang dibahas adalah bagaimana strategi bertahan hidup khususnya dalam mencukupi kebutuhan dasar yang diterapkan oleh eks-pengungsi Timor Timur yang ada di barak Tuapukan pasca penghentian durable 14 solutions dari Pemerintah Indonesia dan PBB pada akhir Desember 2005. Pada tesis ini dijabarkan mengenai sejarah munculnya konsentrasi barak pengungsian, keadaan para eks-pengungsi di barak pengungsian Tuapukan, kebijakan pemerintah terkait eks-pengungsi Timor Timur, dan penjabaran mengenai strategi bertahan hidup mereka pasca pemberhentian bantuan dari pemerintah dan PBB. Jawaban dari permasalahan yang diangkat oleh penulis tesis ini, strategi yang dilakukan oleh para pengungsi adalah dengan melakukan subsistensi pangan, kemandirian yang dalam hal ini terkait mata pencaharian dan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar barak Tuapukan, dan menggantungkan diri pada bantuan dari kerabat, pemerintah, dan masyarakat lokal. Perbedaan dengan tesis ini adalah pada pokok bahasan yang menjadi fokus bahasan masing-masing penulis. 8. Intan Pelangi, Pengaruh The United Nation Declaration On The Territorial Asylum 1967 Terhadap Para Pencari Suaka Di Indonesia. Permasalahan yang diangkat pada skripsi ini adalah mengenai peranan pemerintah Indonesia dalam memberikan suaka teritorial kepada pencari suaka asal Afganistan dalam kaitannya bekerja sama dengan UNHCR menuju pemberian suaka permanen. Skripsi ini menyimpulkan uraian pembahasan permasalahan tersebut dengan 15 menyebutkan bahwa pencari suaka merupakan persoalan berkepanjangan. Meski Indonesia bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967 tetap Indonesia harus serius dalam menanggapi kehadiran para pengungsi. Keseriusan tersebut nampak pada instrumen nasional yang memasukkan penanganan pencari suaka dan/atau pengungsi. Dalam kaitannya dengan pengungsi Afganistan, Indonesia tidak menolak mereka melainkan melakukan kerja sama dengan UNHCR dalam memberikan tempat penampungan sementara hingga ada negara lain yang bersedia mereka secara permanen. Berdasarkan hasil penelaahan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar mengenai penelitian yang diajukan oleh penulis dan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian yang sudah ada mengkaji mengenai peranan UNHCR dan pengungsi sedangkan Penulis mengkaji mengenai pengungsi Timor Timur yang dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 dimandatkan untuk dilindungi. Adapun persamaan penelitian ada pada instrumen hukum yang digunakan, yaitu Konvensi 1951 dan Protocol 1967. 16